Perkembangan Ekonomi Internasional Oktober Pemantauan Ekonomi Internasional 2010 Highlight • Overview beberapa negara maju dan emerging market dalam bentuk Perkembangan Ekonomi Internasional quantitive easing, intervensi mata uang dan capital control (Kristiyanto & Parjiono) • • • • • • Global Economic Outlook (Oktober 2010) Perkembangan Perekonomian Amerika Serikat Perkembangan Perekonomian Eropa Perkembangan Perekonomian Jepang Perkembangan Perekonomian China Pengaruh ke Indonesia Ancaman currency war akibat intervensi dan kebijakan • Nilai tukar Yen terkuat terhadap dollar Amerika dalam 15 tahun terakhir terjadi pada akhir September, dimana US$1 senilai ¥82.88. • Bank Sentral Jepang merespon apresiasi Yen dengan intervensi di pasar uang dengan melakukan penjualan kurang lebih 20 miliar yen cadangan devisa. Yen langsung Current isues Currency War 2010 (Kristiyanto) melemah pada nilai ¥85.5 • Pertumbuhan ekonomi China kembali turun menjadi 9.6% d kuartal ketiga 2010 Overview Global Economic Outlook (Oktober 2010) Proses pemulihan ekonomi global pasca krisis keuangan lobal tahun 2008 terus berlangsung, dengan China, India, Brazil dan emerging economies di Asia masih memimpin proses tersebut dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil. Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut nampak dengan 1 positifnya kinerja sektor rill dengan indikasi turunnya jumlah pengagguran, naiknya penanaman modal asing dan naiknya investasi di pasar saham. Perkembangan positif juga terlihat di sektor pariwisata dengan naiknya tingkat keterisian pesawat dan hunian hotel ditambah dengan membaiknya upah yang mendorong naiknya belanja masyarakat. Kinerja positif ekonomi negara berkembang dan emerging economies berdampak pada penguatan mata uang mereka, baik terhadap dolar Amerika maupun Euro. Hal ini disebabkan oleh besarnya surplus neraca perdagangan dan neraca berjalan serta masuknya modal asing baik secara langsung maupun melalui investasi di pasar saham. Sehingga jumlah cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing yang negara-negara berkembang dan emerging market saat ini naik. Beberapa negara, seperti China, menempa an surplus tersebut dalam bentuk US Treasury Bills dan aset dalam nilai dolar Amerika yang lain. Namun, kecenderungan positif ekonomi negara emerging market ini tidak diikuti oleh negaranegara maju, dimana tingkat pertumbuhan jumlah tenaga erja masih rendah, begitu juga dengan ekspor, import dan pertumbuhan produksi serta konsumsi masyarakat. Selain itu tingkat kepercayaan konsumen juga turun drastis yang dikhawatirkan dapat memperlambat laju pemulihan dalam permintaan agregat. Hanya Jerman yang menunjukkan performa ekonomi yang cukup positif, dengan pertumbuhan produksi yang tetap kuat sebagaimana pertumbuhan ekspo dan impor. Kepercayaan bisnis dan konsumen juga terus meningkat. Jerman menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Uni Eropa di kuartal kedua, dengan pertumbuhan diatas negara-negara eurozone. Sepanjang September-Oktober ini, pemulihan ekonomi global diwarnai dengan adanya perang mata uang global. Wacana akan adanya perang mata uang global muncul sendiri dimulai dengan pernyataan dari Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega pada tanggal 27 September 2010. Guido Mantega menyatakan bahwa perang mata uang al kembali terjadi setelah beberapa negara melakukan intervensi di pasar uang asing dalam rangka menurunkan nilai 2 mata uang mereka dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing ekspor masing-masing negara. Pernyataan Guido berdasarkan oleh fakta adanya langkah-langkah beberapa otoritas keuangan dalam bentuk tiga intervensi yakni quantitive easing (mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah), intervensi mata uang dan capital control. Pemerintah Jepang misalnya, melakukan intervensi ke pa ar uang asing dengan melakukan penjualan kurang lebih 20 miliar yen. Intervensi ini mengakibatkan nilai tukar yen terdepresiasi secara signifikan terhadap dolar Amerika. Yen mencapai nilai tukar tertingginya dalam k run waktu 15 tahun dengan nilai ¥82.88 sebelum adanya inte ensi. Setelah dilakukan intervensi nilai tukarnya melemah menjadi ¥85.5. Selain itu langkah Pemerintah China untuk tidak membiarkan Renminbi terapresiasi dan juga rencana Federal Reserve untuk kembali melakukan kebijakan mencetak uang untuk kemudian diedarkan di pasar uang dan modal (quantitative easing) juga dianggap sebagai penyebabnya. Kebijakan quantitative easing telah dilakukan Amerika tahun ini dan berdampak pada terapreasianya beberapa mata uang terhadap dolar dan diikuti menurunnya daya saing ekspor negara-negara tersebut. Perkembangan Perkonomian Amerika Serikat Ekonomi Amerika Serikat belum menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini terlihat dari pengumuman yang disampaikan oleh Departement of Commerce akhir September 2010, dimana pada kuartal 2 tahun ini ekonomi Amerika hanya umbuh 1.7%. Sementara pada kuartal ketiga tahun ini ekonomi diperkirakan akan tumbuh 2% sebagaimana estimasi Bureau of Economic Analysis, pada akhir Oktober 2010. Diselerasi pertumbuhan terjadi mengingat ekonomi negara tersebut tumbuh sebesar 3.4% pada kuart pertama. Namun, pada kuartal kedua ini komposisi domestic demand terhadap PDB meningkat dari 4.05% pada kuartal pertama menjadi 5.22%. 3 Pertumbuhan di kuartal ketiga didukung oleh kotribusi dari personal consumption expenditures (PCE), private inventory investment, investasi tetap investor asing (nonresidential fixed investment), belanja pemerintah federal dan ekspor. Konsumsi masyarakat yang merupakan komponen utama PDB Amerika Serikat belum menunjukkan kenaikan yang cukup berarti, dengan memberikan kontribusi sebesar 1.54% kepada PDB. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah tenaga yang terkena pemutusan hubungan kerja di bulan September 2010. Tenaga kerja non-pertanian kehilangan tenaga kerja sebanyak 95.000 orang pada bulan September, dengan rincian bahwa sektor swasta mampu menampung tambahan 64.000 tenaga kerja ba u, namun 159.000 orang pegawai dari sektor pemerintah terpaksa kehilangannya kerjaannya. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah mulai mengurangi jumlah guru dan ten ga kerja lainnya sebagai akibat turunnya pemerimaan pajak serta berhentinya program sensus Pemerintah Federal. Dengan tambahan 64.000 tenaga kerja baru sektor swasta, berati jumlah tenaga kerja sektor swasta hanya tumbuh 0.1%. Hal ini menunjukkan ada masalah dengan ekonomi Amerika, mengingat dengan perekonomian berada dalam kapasitas penuh paling tidak akan tercipta 8 juta lapangan kerja baru. Tingkat pengangguran tetap berada pada level 9.6% pada bulan Septe ber 2010 ini. Tingkat pengangguran telah berada pada level 9.5% atau lebih selama 14 bulan berturut-turut, yang merupakan periode terburuk dalam 50 tahun terakhir, dimana dengan angka pengangguran berada pada level tinggi secara berturut-turut. Dengan kondisi ini, Bureau of Labour Statistic memperkirakan Amerika akan kehilangan 366.000 lapangan kerja sampai dengan akhir tahun 2010. 4 Sementara itu inflasi tahunan tercatat 1.1% pada bulan Agustus dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara inflasi inti di luar m kanan dan energi tercatat naik 0.9% (y-oy) Lemahnya domestic demand dianggap sebagai penyebab utama stagnan-nya ekonomi Amerika Serikat tahun ini. Sektor rumah tangga tidak banyak menaikkan belanjanya, namun fokus pada pengembalian utang. Dalam menghadapi deselerasi ekonomi, Pemerintah Amerika Serikat saat ini lebih bergantung kepada kebijakan Federal Reserve daripada dengan kebijakan fiskal. Hal ini terlihat dari keputusan Kongres untuk menunda persetujuan akan rencana Pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal senilai US$50 miliar bagi akselerasi pembangunan infrastruktur. Mulai awal tahun sampai dengan Maret 2010, Federal Reserve telah membeli treasury dan mortgage bonds senilai US$1.7 triliun dengan mencetak uang baru (quantitative easing) dengan tujuan untuk menurunkan suku bunga jangka panjang dan melepas likuiditas. Pemerintah Amerika Serikat juga berencana untuk melakukan lagi kebijaan quantitative easing periode kedua, dengan tujuan utama untuk meningkatkan saing ekspor dan sebagai upaya apabila Pemerintah China tidak membiarkan nilai mata uang Yuan terapreasiasi sesuai nilai pasarnya. Menurunnya daya saing ekspor Amerika terlihat dari defisit perdagangan Amerika yang terus meningkat. Pada bulan Agustus 2010 defisit mencapai US$46.3 miliar, naik dari US$42.6 miliar di bulan Juli. Ekspor mencapai kenaikan senilai US$0.3 miliar, dima sebagian besar berasal dari ekspor jasa. Sementara impor naik sebesar US$4.1 miliar, yang disebabkan oleh naiknya nilai impor barang konsumsi, barang modal dan produk o omotif. Defisit Amerika dengan mitra dagang utamanya China dan Kanada naik masing-masing sebesar US$2.1 miliar menjadi US$28.0 miliar dan US$0.8 miliar menjadi US$2. miliar. Sementara 5 defisit dengan Uni Eropa menurun dari US$9.9 miliar di bulan Juli menjadi hanya $8.1 miliar di bulan Agustus. Kemudian, dalam rangka menekan Pemerintah China dalam hal manajemen Yuan, Kongres Amerika juga sedang mempertimbangkan untuk memberikan perlakuan khusus bagi produkproduk impor dari China atau mengusulkan kepada World Trade Organization (WTO) untuk mendeklarasikan bahwa kebijakan pengelolaan mata uang China adalah ilegal. Perkembangan Perkonomian Eropa (Euro Area) Pemulihan ekonomi d Eurozone belum menunjukkan perkembangan signifikan sejak terjadinya krisis utang di Yunani empat bulan yang lalu. Hasil dari The Purchasing Managers Index (PMI), indeks yang dikasilkan oleh lembaga surebi terkemuka Markit Economics, menunjukkan bahwa pertumbuhan di ekonomi Eurozone akan sangat rendak pada bulan Oktober. Indeks PMI untu Eurozone adalah 53.4 poin turun dari 54.1 di bulan September, s dikit diatas batas 50 poin yang menjadi tanda bahwa ekonomi akan memasuki resesi. Dengan demikian, ekonomi Eurozone diperkirakan hanya akan tumbuh 0.4% di kuartal ketiga 2010 ini. Pada bulan Agustus, Eurozone mengalami defisit perdagangan senilai €4.3 miliar, melebihi defisit pada periode yang sama tahun lalu senilai €2.8 miliar. Ekspor hanya tumbuh 1.0% sementara impor naik 1.8% pada bulan Agustus dibanding bulan sebelumnya. Usaha pemulihan di Eurozone terganggu dengan memburuknya per omian Irlandia, dimana negara tersebut mengalami defisit anggaran sebesar 32% terhadap PDB di tahun 2010 ini. Pertumbuhan Eurozone masih tergantung pada kinerja perkonomian Jerman, yang juga mengalami penurunan nilai surplus perdagangan. Pada bu Agustus surplus perdagangan Jerman turun menjadi €9 miliar dari €11.6 miliar di bulan sebelumnya. Ekspor Jerman turun 0.4% di bulan yang sama (m-o-m), sementara impor naik 0.9%. Menurunkanya ekspor Jerman juga berakibat pada menurunnya surplus neraca berjalan menjadi €4.6 miliar di bulanAgustus 2010. Indeks sentimen pelaku usaha di Jerman naik menjadi 10 .8 di bulan 6 September, yang menandakan kepuasan pelaku usaha terha kondisi ekonomi terkini. Menurunnya nilai surplus antara lain disebabkan oleh t rapresiasinya euro. Perkembangan Perekonomian Jepang Pemerintah Jepang mengambil beberapa kebijakan ekonomi dan moneter yang cukup penting selama kurun waktu September sampai dengan Oktober 2010. Langkah-langkah ini diambil sebagai respon atas masih melemahnya ekonomi mereka di satu sisi dan menguatnya mata uang Yen disisi lain. Penguatan Yen tersebut disebabkan antara lain oleh adanya kebijakan moneter longgar diterapkan beberapa negara maju. Pertama, pada pertengahan September 2010, Pemerintah Jepang melakukan intervensi ke pasar uang asing setelah kurang lebih enam tahun tidak melakukan kebijakan tersebut. Bank Sentral Jepang melakukan kebijakan unilateral dengan melakukan penjualan kurang lebih 20 miliar yen cadangan devisa yang mereka miliki untuk kemudian ditukarkan dengan dolar Amerika untuk meningkatkan likuditas cadangan devisa. Intervensi ini ada bagian dari kebijakan moneter yang longgar yang sedang dilakukan Pemerintah Jepang dalam rangka memberikan keuntungan kompetitif bagi produk ekspor mereka dalam sudut pandang harga dan meningkatkan belanja masyarakat. Intervensi ini memberikan dampak yang cukup signifikan, dimana Yen langsung mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika sehari setelah dilakukan kebijakan unilateral tersebut. Yen telah mencapai nilai tukar tertingginya dalam kurun waktu 15 tahun dengan nilai ¥82.88 sebelum adanya intervensi pada tanggal 7 Oktober 2010. Setelah dilakukan intervensi, nilai tukarnya kemudian melemah menjadi ¥85.52 per dolar Amerika. Intervensi juga memberikan akibat yaitu menguatnya nilai indeks Nikkei 225, yang naik 2%. Kenaikan ini antara lain disebabkan oleh pembeliaan besar-besaran saham perusahaan eksportir oleh investor, sebagai antisipasi apabila terjadinya kenaikan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan Jepang. 7 Kedua, Bank Sentral Jepang mengeluarkan tiga kebijakan moneter selama kurun waktu minggu pertama Oktober 2010. Kebijakan yang pertama berkenaan dengan keputusan Bank of Japan (BOJ) untuk menurunkan tingkat suku bunganya dari 0.1% menjadi diantara 0% dan 0.1%. Kebijakan yang kedua adalah keputusan BOJ untuk mempertahankan kebijakan suku bunga tersebut sampai dengan adanya stabilitas harga dalam jangka menengah sampai dengan jangka panjang. Apabila dalam setahun inflasi di Jepang tidak mencapai lebih dari 2%, maka kebijakan bunga nol ini akan tetap dipertahankan. Selanjutnya, Bank Sentral Jepang juga sedang menimbang-nimbang untuk melakukan program pembelian aset pemerintah dan swasta yang dimiliki perbankan. Aset-aset tersebut adalah commercial paper (promissory note jangka pendek), obligasi korporat dan real estate investment trust. Kebijakan-kebijakan moneter Jepang, terutama keputusan untuk melakukan intervensi ke pasar mata uang internasional, memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dalam usaha ereka untuk menekan Pemerintah China untuk mengakhiri kebijakan yang membuat nilai mata uang Yuan dibawah nilai pasarnya (undervalued). Perkembangan Perekonomian China Pertumbuhan ekonomi China terus mengalami perlambatan di tahun 2010 dan memberikan pertanyaan akan kesinambungan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Produk Domestik Bruto negara tersebut tumbuh 11.9% di kuartal pertama 010, namun pertumbuhan ekonomi China menurun dan hanya naik 10.3% di kuartal Kedua dan 9.6% di kuartal ketiga. Namun, pertumbuhan yang melambat ini masih berada diatas target pertumbuhan ekonomi 7.5% yang ditetapkan Pemerintah China dalam Rencana Pe bangunan Jangka 5 tahun pada 2006 lalu. China tetap memimpin pemulihan ekonomi dunia dan diharapkan akan tumbuh 10.5% sepanjang tahun 2010 ini, jauh diatas ekonomi global yang diperkirakan tumbuh 4.5%. 8 Pertumbuhan yang mulai menurun menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi negara tersebut berkembang terlalu cepat dan akan mengakibat n overheating terutama di sektor real estate. Pemerintah China menanggapi dengan kebijakan Bank Sentral China yang menaikkan suku bunga untuk membatasi pinjaman di dalam negeri. Namun, kebijakan ini di satu sisi dikhawatirkan akan mengakibatkan adanya penurunan output yang tajam (hard landing). Pertumbuhan ekonomi China didorong oleh kuatnya ekspor. Pada bulan September 2010, surplus perdagangan China mencapai US$17.8 miliar, sem pada bulan Agustus negara tersebut mengalami surplus US$20 miliar. Sehingga pada kuartal ketiga 2010, China mengalami surplus perdagangan senilai US$66.5 miliar yang merupakan surplus terbesar dalam satu kuartal sejak akhir tahun 2008. Surplus perdagangan ini akan berdampak pada naiknya cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing. Pada kuartal ketiga ini, cadangan devisa China diperkirakan naik sebesar US$48 miliar menjadi US$2.5 triliun. Meskipun terus mengalami kenaikan dalam surplus perdagangan, China mengalami perlambatan ekspor pada bulan September 2010. Ekspor China hanya tumbuh 25.1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sementara pada bulan Agustus tumbuh 34.4% (y-o-y). Sampai bulan Oktober ini, China masih terus mendapat an dari negara maju terutama Amerika Serikat untuk membiarkan Renminbi berada pada ai pasarnya. Undervalued Renminbi menyebabkan daya saing ekspor negara-negara lain menjadi turun. Pemerintah China sendiri pada Juni 2010 menyatakan akan membiarkan mata uangnya terapresiasi dan sampai pertengahan Oktober ini, renminbi menguat terhadap dol sebanyak 2.5%. Sementara itu, inflasi pada bulan Agustus tercatat 3.6 pada bulan Agustus dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan harga ini disebabkan oleh naiknya harga bahan makanan yang disebabkan oleh banjir yang melanda kawasan selatan China 9 Pengaruh ke Indonesia Indonesia harus bersiap-siap akan dampak dari intervensi-intervensi dan kebijakan untuk mendepresiasikan mata uang yang dilakukan oleh beberapa negara maju dan emerging economies. Salah satu implikasina adalah akan adanya Capital inflows yang cukup besar. Capital inflows dapat memacu pertumbuhan dan apresiasi mata uang, namun rawan akan adanya economic shock apabila modal yang masuk hanya bersifat jangka pendek. Daya saing ekspor juga akan turun. Pilihan langkah-langkah antisipasinya adalah dengan membeli mata uang asing, atau mengenakan pajak pada foreign capital inflows. Apabila Kongres Amerika Serikat menyetujui akan adanya proteksi terhadap barang impor dari China sebagai bentuk aksi unilateral, maka Indonesia bisa me t hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan ekspornya di satu sisi. Di sisi lain ekspor Indonesia ke China juga akan turun. 10 Current Issue Currency War 2010 I. Pendahuluan Perang mata uang global (Currency war) atau devaluasi kompetitif (competitive devaluation) terjadi ketika otoritas keuangan beberapa negara dalam waktu yang bersamaan berusaha untuk menurunkan nilai mata uangnya terhadap mata uang utama dunia. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk membantu meningkatkan daya saing industri domestik mereka. Tindakan ini tidak banyak dilakukan, bahkan pada waktu belum adanya penerapan fixed exchange rate. Mayoritas otoritas keuangan lebih memilih untuk mempertahankan n tukar mereka setinggi mungkin atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar. II. Kemungkinan Currency War Saat Ini Kondisi dan syarat untuk melakukan devaluasi kembali terjadi pasca krisis keuangan global tahun 2008. Krisis global telah mengakibatkan turunnya nilai perdagangan dunia pada tahun 2009 sebanyak 12.5%. Keinginan untuk melakukan devalua ulai nampak baik di negara maju maupun negara berkembang seperti China, Jepang dan Swiss. Wacana akan adanya perang mata uang global muncul sendiri dimulai dengan pernyataan dari Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega pada tanggal 27 er 2010. Guido Mantega menyatakan bahwa perang mata uang global kembali terjadi setelah beberapa negara melakukan intervensi di pasar uang asing dalam rangka enurunkan nilai mata uang mereka dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing ekspor masing-masing negara. Pernyataan Guido berdasarkan oleh fakta adanya langkah-langkah beberapa otoritas keuangan dalam bentuk tiga intervensi yakni quantitive easing (mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah), intervensi mata uang dan capital control. Tiga bentuk intervensi tersebut terlihat 11 dari beberapa kebijakan-kebijakan penting dan yang telah diambil beberapa otoritas sebagai berikut: 1. Pada tanggal 15 September 2010, Pemerintah Jepang mela kan intervensi ke pasar uang asing dengan melakukan penjualan kurang lebih 20 iliar yen. Intervensi ini mengakibatkan nilai tukar yen terdepresiasi secara signifikan terhadap dolar Amerika. Yen mencapai nilai tukar tertingginya dalam kurun waktu 15 tahun dengan nilai ¥82.88 sebelum adanya intervensi. Setelah dilakukan intervensi nilai tukarnya melemah menjadi ¥85.52. Intervensi ini juga diikuti dengan menguatnya indeks Nikkei 225 yang naik 2%, yang diakibatkan oleh pembeliaan besar-besaran saham perusahaan eksportir oleh investor. 2. Sepanjang tahun 2009 dan 2010 China mendapat tekanan d ri Amerika Serikat untuk membiarkan Yuan terapreasiasi. Tekanan ini ditanggapi China dengan mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan apresiasi Yuan sebanyak 2% antara periode Juni dan Oktober 2010. Namun, kebijakan ini tidak didukung dengan fakta adanya intervensi Pemerintah China di pasar uang internasional. Pemerintah China membeli obligasi Pemerintah Jepang senilai ¥2.3 triliun sepanjang tujuh bulan pertama tahun 2010. Langkah ini dinilai mengakibatkan apresiasi yen terhadap dolar Amerika sebanyak 15% sejak bulan April 2010. Pada bulan Agustus 2010, Pemerintah China kembali menjual obligasi Pemerintah Jepang senilai ¥2 triliun. Disamping itu, Pemerintah China juga mempunyai cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing senilai US$2.6 triliun, dimana 65% dari devisa ini berbentuk dolar Amerika. Pemerintah China juga memegang obligasi Pemerintah Korea Selatan senilai US$5.2 triliun won pada akhir September 2010. 3. Pemerintah Korea Selatan mengambil keputusan untuk tidak menjual cadangan devisa berbentuk mata uang won selama tahun 2010 ini. Kebijakan ini menyebabkan 12 melemahnya won terhadap dolar Amerika, namun memberika dampak tercapainya surplus necara berjalan. 4. Pada bulan September 2010, Kongres Amerika Serikat menyetujui aturan yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan Amerika untuk meminta proteksi kepada pemerintah dalam bentuk tarif terhadap barang-barang yang berasal dari negara yang mata uang nya dianggap undervalued. 5. Beberapa otoritas-otoritas keuangan seperti Singapura dan Kolombia telah menyatakan akan melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi laju apresiasi mata uangnya. Fokus kemungkinan terjadinya curency war terletak pada langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah China dan yang akan dilakukan oleh Ame ka Serikat. Kebijakan Federal Reserve yang mungkin akan kembali melakukan kebijakan quantitative easing, dimana mereka akan mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah negara lain, menjadi sebuah aksi unilateral yang memungkinkan terjadinya perang mata ua g. Kecenderungan inilah yang saat ini dianggap Pemerintah China akan terjadi dan menjadi penyebab currency war. Selain itu quantitative easing juga menyebabkan adanya gross distorsion bagi ekonomi global yang disebabkan oleh banyaknya inv stor yang akan mencari imbal balik tertinggi, terutama ke negara emerging economies. Selanjutnya timbul pertanyaan apakah Amerika Serikat m mpu secara unilateral melakukan tindakan sebagai respon atas kebijakan Pemerintah China. Amerika Serikat sendiri saat ini menghadapi tingkat pengangguran yang cukup tinggi sekaligus defisit anggaran yang cukup besar. 13 III. Aksi Bersama Menghadapi Currency War. Sebagai tanggapan atas kemungkinan terjadinya currency wars ini, para Menteri Keuangan negara-negara anggora G20, pada tanggal 23 Oktober 2010 sepak t untuk menerapkan kebijakan market-determined exchange rate dan sepakat untuk menghindari pemberlakukan kebijakan devaluasi mata uang yang kompetitif (competitive currency devaluations). Mereka sepakat untuk mengurangi ketidakseimbangan den an penentuan threshold atau batas untuk mengetahui apakah surplus dan defisit perdagangan berada dalam level yang sustain. Para menteri Keuangan G20 juga sepakat untuk ukan reformasi IMF dan memungkinkan IMF untuk memainkan peran lebih aktif dalam sistem moneter dan keuangan internasional. Para Menteri Keuangan G20 juga mengusulkan adan pergeseran kuota IMF dari negara maju ke negara emerging market, negara berkembang dan underrepresented countries. IV. Dampak dan Respon Indonesia Apabila kemudian Federal Reserve melakukan kebijakan quantitative easing dan terjadi currency war, serta negara-negara maju lainnya melakukan fiscal austerity, maka Indonesia dan negara-negara emerging market lainnya akan menerima aliran modal yang cukup besar dari investor yang menginkan hasil imbal balik yang cukup tinggi dari negara yang mengalami apresiasi terhadap dolar. Capital inflows yang cukup besar ke negara emerging dan berkembang dapat dikatakan sebagai dampak bermata dua dari currency war, karena memacu pertumbuhan dan apresiasi mata uang. Di sisi lain, currency war akan membawa dampak turunnya daya saing ekspor negaranegara berkembang yang mempunyai produk dan tujuan e ng sama dengan China. 14 Kemudian apa tindakan yang akan dilakukan oleh emerging market tersebut terhadap capital inflow ini? Kemungkinan yang akan terjadi adalah otoritas keuangan negara-negara berkembang tidak akan membiarkan nilai mata uang mereka terapresiasi. Langkah-langkah antisipasinya adalah dengan membeli mata uang asing, atau mengenakan pajak pada foreign capital inflows. Tindakan-tindakan ini telah dilakukan oleh Pemerintah Brasil, dimana mereka telah menaikkan 100% pajak bagi pembelian surat utang domestik yang dibeli oleh investor asing. Sementara Pemerintah Thailand menerapkan pajak withholding baru sebesar 15% untuk investors asing yang akan membeli obligasi pemerintah mereka. Namun, negara-negara emerging economies, terutama negara kecil yang berstatus open ekonomi juga harus mampu membedakan apakah kenaikan capital inflow tersebut bersifat permanen atau hanya bersifat sementara (a temporary surge), serta bagaimana mereka menghadapi perubahan tersebut. Pada akhirnya, pemerintah Indonesia dan negara emerging market dihadapkan pada tiga pilihan apabila terjadi currency wars. Pertama apakah mereka akan memilih untuk kehilangan daya saing, kedua meraka melakukan capital control atau membiarkan ekonomi mereka overheat. V. Beberapa Periode Devaluasi Kompetitif. a. Sampai dengan Periode 1930 Metode devaluasi yang umum dilakukan sampai dengan periode 1930-an adalah dengan menurunkan nilai intrinsik mata uang, misalnya dengan mengurangi ka koin. Tujuannya adalah untuk menaikkan peredaran uang emas dalam menaikkan dana yang dimiliki pemerintah, terutama untuk membiayai perang dan membayar utang. 15 b. Periode Great Depression Devaluasi kompetitif dimulai pada tahun 1931 ketika Inggris menghilangkan standar emas sampai dengan adanya Tripartite Monetary Agreement pada tahun 1936. Devaluasi menjadi umum dilakukan ketika terjadi tingka pengangguran sangat tinggi. Hal ini diikuti dengan kebijakan negara-negara untuk melakukan ekspor tenaga kerja yang menganggur. Tidak banyak negara yang mendapatkan untungan dari kebijakan ini, mengingat banyak negara juga melakukan devaluasi. Perang mata uang ini justru merugikan semua pihak yang terlibat, sebagai akibat penurunan volume perdagangan internasional dan melemahkan ekonomi. c. 1973 sampai dengan 2000 Pada periode ini, beberapa negara memilih untuk mempertahankan nilai mata uang mereka dan berusaha agar mata uang mereka tidak terdevaluasi sebagaimana keinginan pasar, meskipun terdapat beberapa alasan untuk melaku devaluasi. Contohnya adalah ketika kebijakan untuk tidak mendevaluasi mata uang yang dilakukan negaranegara Asia pada waktu terjadi krisis ekonomi tahun 1997. d. 2000 sampai dengan 2008 Beberapa negara-negara dengan cadangan devisa rendah dan terkena dampa krisis 1997 harus menerima program dari IMF. Salah satu konse ensi dari program ini adalah aset-aset negara tersebut harus dijual dengan harga rendah. Pada saat itu, negaranegara tersebut memutuskan untuk mulai melakukan intervensi sup ya nilai mata uang mereka tetap rendah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor dan menambah cadangan devisa. Kebijakan ini dapat diterima oleh negara-negara maju pada waktu itu, sehingga tidak terjadi perang mata uang global. Hal ini disebabkan dalam jangka pendek, penduduk di negara maju dapat menikmati harga-harga barang yang murah. Pada saat krisis 1997, 16 defisit neraca pembayaran Amerika Serikat (AS) naik, n hal ini tidak dianggap sebagai ancaman bagi AS. VI. Kesimpulan Sangat tidak bijaksana apabila menempatkan isu currency wars ini hanya pada tataran unilateral antara Amerika dan China. Perlu sebuah upaya multilateral untuk mengatasi masalah tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Menteri-Menteri Keuangan G20. Terdapat beberapa isu kebijakan yang mungkin muncul sebagai res n atas isu ini: Pertama mengenai rebalancing spending antara negara maju dengan negara emerging market. Kedua, kebutuhan akan reformasi struktural untuk meningkatkan domestic consumption. 17