Pemilu - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesta demokrasi baik pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala
daerah (Pilkada) di Indonesia dewasa ini sudah menjadi bidang baru yang
membuat sejumlah pihak tertarik terjun di dalamnya, tidak terkecuali para artis.
Beberapa tahun terakhir ini panggung politik Indonesia dimeriahkan dengan
masuknya beberapa tokoh selebritis untuk bersaing terjun ke dunia politik. Baik
dalam pemilihan calon anggota legislatif maupun kepala daerah. Hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa keterlibatan para artis di dunia politik telah mewarnai dan
menghiasai perjalanan politik indonesia.
Keberhasilan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, Rano Karno
menjadi Wakil Bupati Tangerang, Vena Menlinda, Nurul Arifin, Komeng dan
artis-artis lainnya sebagai anggota legislatif menjadi inspirasi bagi artis lain untuk
turut serta menjadi politisi. Gambaran politik ini semakin mengukuhkan telah
datangnya suatu era baru dalam demokrasi di Indonesia.
Dari tahun ke tahun ketertarikan artis menjadi politisi semakin bertambah.
Sebagai catatan, pada pemilu 2009 calon anggota legislatif dari kalangan artis
sebesar 0,7 persen dari 8.762 jumlah caleg DPR RI. Namun yang berhasil
mendapat jatah kursi DPR sebanyak 18 orang. Meskipun persentasenya sangat
kecil dibandingkan jumlah keseluruhan anggota DPR RI, tingkat keberhasilan
artis meraup banyaknya suara sangat signifikan. Bukti kuat tingginya tingkat
keterpilihan artis adalah di daerah pemilihan (dapil) yang ada di jawa barat.
Beberapa Dapil di Jabar berhasil menghantarkan 8 orang artis ke kursi DPR RI.
Bahkan ada satu dapil di Jawa Barat yaitu Dapil Jabar II, berhasil mengantar 3
1
artis ke senayan, disusul Dapil Jabar VIII sebanyak 2 orang artis, dan Dapil Jabar
IV VII dan IX masing-masing 1 orang.1
Sedangkan menuju pemilihan umum 2014, tingkat partisipasi artis yang
maju dalam bursa calon anggota DPR pun meningkat pesat. Data yang dilangsir
oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menunjukkan
jumlah sekitar 80 orang artis yang bergabung dalam perebutan kursi parlemen.2
Masyarakat pun mulai dihadapkan pada opini yang berkembang bahwa
ketertarikan artis untuk ikut pemilihan kepala daerah dan menjadi calon legislatif
pada mulanya bukan berdasar pada niat dari pihak artis itu sendiri, namun lebih
kepada ajakan dan rayuan partai politik. Hal tersebut tentu menguntungkan bagi
partai politik, dikarenakan popularitas artis yang dapat dimanfaatkan oleh partai
tersebut dalam meraup suara. Artis diyakini mampu menjadi modal untuk
memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun
pemilihan umum. Partai-partai politik pun bersaing dalam mendapatkan kandidat
artis yang mumpuni dalam meraih suara terbanyak.
Istilah celebrity politics (politisi artis) sendiri mulai dikenal dalam terminologi
Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi
terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau
pengumpul suara. Namun mereka dengan serius mengejar kursi jabatan publik
seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Keterlibatan mereka dalam panggung politik sesungguhnya merupakan
sesuatu yang lumrah. Hal tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga
negara lain seperti Amerika Serikat. Ronald Reagen dan Arnold Schwarzenegger,
merupakan contoh artis yang juga masuk arena politik serta berhasil menjadi
presiden dan gubernur. Berbeda dengan sebagian artis Indonesia yang terjun di
1
M. Alinapiah Simbolon, Politisasi Artis Jadi Politisi diunggah di laman http://politik.
kompasiana.com/2013/03/03/politisasi-artis-jadi-politisi-538876 diakses pada 1 Oktober 2013
2
Artis Masih Menjadi Primadona Partai Politik dilangsir dari laman
http://www.gresnews.com/berita/politik/14571411diakses pada 22 November 2013
2
dunia politik secara instan, mereka sejak awal aktif menjadi anggota partai politik
dan terlibat dalam program dan kerja-kerja partai.
Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat, para artis tergiur
terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan
demokrasi.3 Televisi menjadi medium sempurna bagi selebriti untuk mendulang
kepopuleran dan citra diri. Sementara sistem pemilihan langsung, telah membuat
selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan masyarakat.
Popularitas artis memang berpotensi mendulang suara bagi partai politik. Para
selebriti yang berniat menjadi politisi tentu dituntut dedikasi dan loyalitasnya
pada rakyat. Rakyat tentu tidak mengharapkan kehadiran mereka sekadar sebagai
penghibur di lembaga eksekutif atau legislatif.
McGinniss dalam buku The Selling of The President 1968 pernah
menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan oleh media massa dalam
pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut
membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat.4 Terbukti, ada
peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah
dipublikasikan media massa. Itulah sebabnya, artis-artis banyak didekati partai
politik untuk menjadi jagoan mereka. Karena sangat sedikit dari kader mereka
yang dikenal masyarakat. Maka dengan menjagokan artis, partai politik tak perlu
mengadakan sosialisasi dan memopulerkan nama dan nomor partainya. Namun
yang disesalkan, aspek kualitas menjadi dinomorsekiankan oleh partai politik.
Secara substansial, masyarakat belum dapat menemukan artis yang memiliki
gagasan politik yang jelas yang menjadikan mereka bisa diandalkan. Efek negatif
dari fenomena ini, menjadikan politik sebagai sesuatu yang terlalu cair.
Akibatnya, tak ada lagi pemahaman yang memadai tentang politik yang
kontemplatif dari para pelakunya. Dari sisi lain masuknya para artis dalam praktik
pemilihan di Indonesia memperlihatkan kurang berfungsinya kaderisasi partai
3
Selebriti Politik dilangsir dari laman http://www.antaranews.com/selebriti-politik diakses 1
Oktober 2014
4
Andi Dewananta, Artis dan Politik dipublikasikan dalam www.unisosdem.org diakses pada 30
Maret 2012
3
politik. Kontroversi pun berkembang. Beberapa pihak mendukung kehadiran artis
dalam kancah politik. Hal tersebut dikarenakan aktif di dunia politik itu
merupakan hak setiap orang. Namun, tentu saja tidak semua orang layak terjun ke
dunia politik, karena diperlukan sejumlah persyaratan berupa kapabilitas tertentu.
Apabila persyaratan tersebut terpenuhi, tidak ada kendala bagi artis atau siapa saja
untuk bergabung dengan parpol pilihan mereka, agar dapat berkiprah di dunia
politik.
Fenomena itu memunculkan dua pendapat yang bertentangan. Pendapat
pertama beranggapan bahwa masuknya para artis ke dunia politik adalah
fenomena biasa karena siapa pun berhak menjadi aktivis partai dan menduduki
jabatan politik. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa keterlibatan para artis
dalam politik adalah langkah yang salah karena dunia politik tidak sesuai dengan
para artis sehingga keterlibatan para artis dalam politik dianggap sebagai
pemanfaatan kesempatan yang ada untuk menduduki jabatan politik.
Artis saat ini masih dianggap sebagai public figure yang belum dapat
memenuhi kriteria sebagai calon wakil rakyat yang dapat diandalkan. Pengalaman
yang minim terkait aktivitas politik maupun sosial dan gaya hidup yang glamour
menunjukkan kurangnya kapabilitas mereka untuk dapat terjun ke dunia politik.
Kapabilitas yang masih dipertanyakan oleh masyarakat. Hal ini pun menjadi topik
yang sering diangkat di beberapa media di Indonesia. Beberapa media mencoba
untuk mengangkat masalah ini ke dalam bentuk produk jurnalistik dengan bingkai
dan framing yang berbeda-beda. Sebagian menganggap hal itu wajar, namun
banyak pula media yang memojokkan artis dan merepresentasikan mereka sebagai
politisi yang memiliki kapabilitas politik rendah.
Beberapa contoh media Indonesia yang menjadikan politisi artis sebagai
bahan pemberitaannya antara lain:
a) Detik News yang melangsir headline “Politisi Artis, Nama Populer
Kinerja Tak Moncer”. Dalam berita tersebut Detik mencoba untuk
memaparkan fenomena tentang politisi artis yang tidak semua memiliki
4
pengalaman yang mumpuni dalam politik praktis. Detik juga menukil
pendapat dari Sebastian Salang, Koordinator FORMAPPI, yang menyebut
sederet artis beken sengaja dipajang sebagai pemanis. Dan sebagian besar
kalangan artis di Senayan tidak menunjukkan kinerja yang berdampak luas
bagi publik. 5
b) Tempo juga melangsir berita dengan headline “Kualitas Politisi Artis
Masih Rendah”. Dalam tulisan ini Tempo menulis hasil press conference
dari Indonesia Indicator yang mengumumkan kualitas anggota DPR dari
kalangan artis masih rendah. Hasil tersebut didapatkan dari survey
pemberitaan politisi artis di media selama setahun terakhir. Menurut Staf
Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang, politisi dari
kalangan artis lebih banyak membicarakan diri sendiri daripada persoalan
Negara.6
c) Mantan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan dalam media
massa Bisnis Indonesia turut memberikan tanggapan terkait politisi artis.
Dalam berita yang berheadline “Artis Jadi Politisi, Efek Negatif Berlipat
Bagi Citra Partai” Anis Baswedan bahkan memprediksi jumlah artis yang
akan terjun ke dunia politik pada 2014 akan menurun. Menurutnya
seorang artis yang menjadi politisi tidak akan hanya menjadi bahan
pemberitaan, namun juga akan ikut dikupas dalam infotainment. Sehingga
lebih berlipat efek negatif bagi citra partai.7
Selain beberapa media daring yang banyak mengangkat tema tentang politisi
artis, beberapa media televisi pun tak luput mengangkat hal tersebut dalam produk
jurnalistiknya, misalnya Metro TV dan TV One. Dua media televisi ini cukup
gencar dalam mengangkat fenomena politisi artis. Terlebih dalam program talk
5
Politisi Artis Nama Populer Kinerja Tak Moncer dilansir dari laman
http://news.detik.com/read/2013/07/29/152939/2317706/10/ diakses ada 22 November 2013.
6
Kualitas Politisi Artis Masih Rendah dilangsir dari laman
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/26/078476153/ diakses ada 22 November 2013.
7
Artis Jadi Politisi Efek Negatif Berlipat Bagi Citra Partai dilangsir dari laman
http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/02/ diakses pada 22 November 2013.
5
show berita mereka. Beberapa program talk show yang pernah mengangkat tema
politisi artis sebagai bahan obrolan dan pertanyaan diantaranya: Mata Najwa,
Gesture dan To the Point.
Penelitian ini sendiri akan melihat bagaimana komunikator, media televisi
Metro TV merepresentasikan politisi artis dalam program talkshow Mata Najwa.
Proses representasi tersebut meliputi beberapa dimensi dan elemen-elemen
pembentuk citra dan image. Melalui analisis yang mendalam, diharapkan
penelitian ini memunculkan hasil bagaimana politisi artis yang merupakan
narasumber digambarkan dan direpresentasikan melalui media televisi.
Di samping apa yang telah dipaparkan diatas, gagasan untuk meneliti masalah
ini bagi penulis juga dilatarbelakangi dengan maraknya fenomena artis yang
semakin banyak ikut bersaing dalam proses pemilu dan pilkada. Fenomena ini
merupakan sebuah wacana yang masih terbilang baru dalam proses demokratisasi
di Indonesia. Hal tersebut tentu menimbulkan kontroversi termasuk bagi media
massa televisi. Karena faktor popularitas seorang artis di media massa cukup
berpengaruh dalam menentukan pilihan politik masyarakat baik dengan
kemampuan dan kapabilitas yang mumpuni atau tidak. Dengan adanya penelitian
ini diharapkan muncul suatu gambaran bagaimana media merepresentasikan
politisi artis dan bagaimana politisi artis merepresentasikan dirinya sendiri dalam
sebuah tayangan televisi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana representasi kapabilitas politisi artis menuju pemilu 2014 yang
dibangun oleh Metro TV dalam tayangan talkshow Mata Najwa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana media televisi Metro TV merepresentasikan
kapabilitas politisi artis dalam tayangan program Mata Najwa.
2. Untuk mengetahui bagaimana teks dan bahasa yang dibentuk oleh Metro
TV dalam tayangannya terhadap maraknya fenomena politisi artis.
6
3. Untuk mengetahui bagaimana artis menunjukkan kemampuannya sebagai
seorang politisi yang baik dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan oleh pembawa acara.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai dokumentasi dan bahan evaluasi bagi Partai-partai politik
2. Sebagai bahan kajian dan referensi bagi pihak-pihak yang terkait dengan
topik penelitian
3. Memperkaya kajian di bidang ilmu komunikasi, khususnya komunikasi
politik
E. Kerangka Pemikiran
1. Media Massa dalam Proses Politik
Ada dua pendekatan utama dalam studi mengenai komunikasi politik
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ann C. Crigler. Pendekatan tertua dan
dominan dalam studi komunikasi politik adalah efek media yang menitik-beratkan
pada pengaruh media kepada khalayak, memeriksa aliran komunikasi dan
pengaruh dari sumber melalui saluran yang membawa pesan kepada publik.8
Berbeda dari pendekatan ini adalah pendekatan konstruksionis. Fokus
pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh
komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima. Pendekatan konstruksionis memusatkan perhatian kepada
bagaimana seseorang membuat gambaran mengenai suatu peristiwa politik,
personalitas, konstruksi melalui dimana realitas politik dibentuk dan diubah.
Sehingga semua pihak, baik individu, institusi, atau kelompok mempunyai peran
yang sama dalam menafsirkan dan mengkonstruksi peristiwa politik.9
8
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta, 2002,
hlm. 19.
9
Ibid.
7
Memang secara teoritis, media massa memiliki posisi yang penting dalam
memediasi berbagai kepentingan. Media massa mampu memediasi kegiatan
politik dari politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa
memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada politisi. Dengan kata
lain, media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang
menyangkut kepentingan orang banyak.10
Setidaknya jika kita perhatikan, ada tiga kecenderungan sikap media dalam
suatu peristiwa politik, misalnya pada pemilihan umum. Pertama, sikap
konservatif atau pro status-quo. Sikap ini bisa kita lihat pada pemberitaan yang
mengedepankan kisah sukses pemerintah yang sedang berkuasa tanpa diimbangi
kritik yang tajam atas kekurangan-kekurangannya.
Kedua, sikap progesif atau cenderung ke perubahan. Sikap ini tampak pada
liputan media itu sendiri tentang perlu tidaknya perubahan atau pergantian
kekuasaan.
Ketiga, sikap skeptis atau apatis. Sikap ini bisa kita lihat pada pemberitaan
yang hanya menggunakan peristiwa pemilu sebagai momentum untuk menyajikan
berita bisnis dan hiburan sebagai trademark-nya, media jenis ini cenderung
menghindari kontroversi dengan cara tidak memuatnya sama sekali. Selain itu,
keterlibatan pemilik media dalam tim sukses kandidat pemerintah turut
mempengaruhi kualitas dan kuantitas jurnalisme politik yang diterapkan
medianya.11
Dalam aktivitas sebuah media berita, faktor jurnalisme dipengaruhi oleh dua
dorongan, (1) bertolak dari pemenuhan kebutuhan masyarakat akan realitas.
Dalam hal ini jurnalisme merefleksikan masyarakat dengan mensyaratkan asumsi
bahwa informasi yang bernilai adalah realitas yang berlangsung di masyarakat, (2)
bertolak dari dorongan sebuah misi khusus atau disebut dorongan misionaris. Hal
10
11
Ali Novel, Peradaban Komunikasi Politik, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 290.
Eriyanto, Op.Cit., hlm. 76.
8
ini berkaitan dengan kecenderungan kuat dari wartawan atau komunikator untuk
mengubah masyarakat sesuai dengan standar kehidupannya.12
Dorongan kedua inilah yang akan banyak mempengaruhi corak jurnalisme
serta keberpihakan atau afiliasi terhadap satu ideologi atau kepentingan tertentu.
Mendukung pernyataan di atas, Brian McNair lebih menegaskan pandangannya
tentang kekuatan media massa sebagai aktor politik.
“The media make statements about politics in their own right, in the form of
commentaries, editorials and interview questios. These stetements may have a
significant impact on the wider political environment.”13
McNair juga memandang peran penting media sebagai aktor politik, “The
media should be viewed as important as political actors in themselves not only do
they transmit the message of political organization to the public, but they
transform them through various process of news-making and interpretation.”14
Berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa, Gurevitch dan Blumler
menyebutkan bahwa “(mass) communication influences if people’s political
opinions and attitudes”.15
Seringnya media massa memberitakan tentang peristiwa-peristiwa politik
yang bekaitan dengan suatu partai atau seorang kandidat akan bisa mempengaruhi
perilaku politik khalayak. Dengan kata lain, yang berpengaruh dalam hal ini
adalah intensitas pesan media massa itu sendiri. Berikut ini tiga karakteristik
pesan media massa yang ditulis oleh Shirley Biagi. (1) A message is sent out using
some from of mass media (such as newspapers or television); (2) the message is
12
Ashadi Siregar dalam Haryo Setyoko, Upaya Pembukaan Dagang Indonesia-Israel Oleh
Presiden Abdurrahman Wahid di Harian Umum Republik, Skripsi-S1 Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2007, hlm. 27.
13
Brian McNair, An Introduction to Political Communication, Routledge, London, 2003, hlm. 47
14
Ibid.
15
James Curran, et. al. Mass Communication and Society, Sage, California, 1977, hlm. 270.
9
delivered rapidly; (3) the message reaches large groups of different kinds of
people simultaneously or within a short period of time.16
Banyak aspek dari media massa yang membuat dirinya penting dalam
kehidupan politik. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
a) Daya jangkauan (coverage) yang sangat luas dalam menyebarluaskan
informasi politik; yang mampu melewati batas wilayah (geografis),
kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomi-status (demografis),
dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis).
b) Kemampuannya melipatgandakan pesan (multiplier of message) yang luar
biasa.
c) Sebuah media dapat memberikan wacana sebuah peristiwa politik sesuai
pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya
menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan.
d) Tentu saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, aspek inilah
yang membuat media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan
hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah persitiwa politik.
e) Pemberitaan peristiwa politik oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan
media lainnya hingga membentuk rantai informasi (media as links in other
chains). Hal ini akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran
informasi politik dan dampaknya terhadap publik.
Adapun kenyataan yang kita saksikan saat ini dimana para penguasa berusaha
senantiasa mengendalikan media massa disebabkan karena tugas media massa itu
sendiri yakni untuk menenangkan wacana politik. Dengan wacana politik itulah
kelak menentukan persepsi atau opini publik terhadap suatu partai atau seorang
penguasa, terutama berkenaan dengan legitimasi dan delegitimasi kekuasaan.17
16
17
Shirley Biagi, Media Impact, Wadsworth, California, 1990, hlm. 13.
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004, hlm. 76.
10
2. Politik Selebriti
a. Kritik Maraknya Selebriti dalam Kancah Politik
Reformasi telah menciptakan posisi tawar yang lebih dominan pada politisi
dibandingkan pada massa sebelumnya. Situasi ini mendatangkan euphoria politik
yang mengharuskan adanya peningkatan kemampuan komunikasi politik para
politisi. Maraknya aktifitas politik yang dilakukan oleh politisi merupakan
fenomena menarik untuk dicermati. Upaya membangun sebuah citra positif
menjadi sebuah kerja besar. Salah satunya menerapkan sebuah pencitraan partai
politik dengan menghadirkan sosok yang mampu menaikkan citra partai, yakni
dengan menghadirkan para artis dalam aktifitas komunikasi politik partai. Bukan
hanya sebagai penghibur namun turut serta aktif dalam memperebutkan kursi
pemerintahan.
Agenda politik itulah yang kini membuat ruang politik di Indonesia banyak
dihiasi oleh sosok popular, dan public figure dari industri hiburan. Kehadiran
Marissa Haque, Vena Melinda, Angelia Sondakh, Miing, Eko Patrio dan sejumlah
artis lainnya sebagai politis hasil dari Pemilihan Umum tahun 2009 yang berasal
dari kalangan selebriti merupakan gambaran perubahan pola politik di Indonesia.
Sosok mereka yang identik dengan dunia keartisan, industri hiburan dan gaya
hidup yang glamour menjadi hal yang dipertanyakan atas kapabilitas mereka
sebagai politisi. Karier politik pun tidak diawali dengan track record dalam dunia
politik sama sekali.
Kandidat politisi yang tidak memiliki jejak politik kuat diuntungkan oleh
mekanisme pemilihan umum langsung pertama yang dilakukan berdasarkan
sistem semi distrik. Hal tersebut terjadi karena tidak hanya nama wakil rakyat
yang ditulis di kertas suara, namun juga mulai terpampang foto-foto mereka.
Dalam pemilu 2009 sendiri banyak selebriti yang masuk ke kancah politik,
menggunakan popularitasnya untuk mengumpulkan suaranya. Para kompetitor
politisi lainnya yang tidak dikenal rakyat tiba-tiba mendapat saingan berat dengan
munculnya wajah-wajah para politisi selebriti ini karena wajah mereka sering
11
tampil di media. Lebih banyak dikenal sehingga lebih popular di mata para calon
pemilihnya.
Fenomena terpilihnya selebriti ke panggung politik baik di Indonesia maupun
di Negara-negara demokrasi lainnya, memperlihatkan kekuatan selebriti sudah
mampu untuk menggalang massa (vote getter) dan dipergunakan untuk menjaring
pemilih bagi partai politik. Selebriti dijadikan produk politik atau kandidat untuk
ditawarkan bagi pasar pemilih melalui strategi political marketing. Posisi tawar
yang besar bagi para artis untuk masuk dalam bursa politik menciptakan sebuah
opera baru dengan pentas yang berbeda. Konstelasi politik pun semakin marak,
tatkala artis-artis yang dikenal masyarakat hadir mengunjungi daerah-daerah
untuk menyemarakkan kampanye masing-masing partainya.18 Namun muncul
pula stereotip negatif artis yang hanya menjadi vote getter dalam pesta demokrasi.
Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat memberikan komentar terkait
partisipasi artis dalam politik tersebut.
Berikut kutipan tertulis dari berita online, yang mengukuhkan stereotip artis
hanya sekedar sebagai vote getter dalam suatu partai politik; “Lembaga kajian
The Indonesian Institue (TII) berpendapat, perekrutan artis-artis ke partai politik
masih efektif sebagai pengumpul suara (vote getter) dalam Pemilu legislatif tahun
2009, karena mereka dinilai dapat menaikkan citra partai politik. Namun untuk
jabatan eksekutif, seperti bupati, walikota dan gubernur, apalagi presiden, masih
sulit bagi masyarakat untuk berspekulasi dengan memilih artis, kata Direktur
Eksekutif TII, Jefrey Geovanie. Namun ia memberikan pengecualian bagi artis
yang popular dan konsisten di dunia hiburan, seperti halnya Ronald Reagen di
Amerika Serikat, tentu punya peluang untuk dipilih di jabatan eksekutif.
Menggunakan artis sebagai vote getter sebenarnya bukan hal yang baru di
pentas politik Indonesia. Misalnya di era Orde Baru, artis senior sudah ditarik ke
partai politik. Berdasarkan catatan, pada Pemilu 2004, artis-artis juga dijadikan
18
Wahyuni Choiriyati, Popularitas Selebiti Sebagai Komoditas Politik, Ilmu Komunikasi
FISIPOL UPN, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 9, Nomor 2, Yogyakarta, 2011, hlm 128-142.
12
sebagai pengumpul suara dengan mengajukannya sebagai calon anggota dewan,
seperti di Partai Demokrat, Golkar, PAN dan PDIP.
Stereotip politisi artis yang dijadikan sebagai vote getter memang sudah
dipahami sebagian masyarakat Indonesia. Di masyarakat Indonesia, dalam
memperoleh dukungan politik, popularitas masih menjadi hal yanga amatlah
penting. Karena itu selebritis yang identik dengan publikasi sangat mudah
memperoleh dukungan politik. Namun yang menjadi pertanyaan adalah fenomena
popularitas dalam dunia politik ini apakah akan menjadikan kualitas demokrasi
dalam suatu negara menjadi lebih baik atau fenomena tersebut akan memperburuk
kualitas demokrasi suatu Negara.
Peluang untuk mendapatkan dukungan yang besar dari pemilih selayaknya
ditentukan oleh popularitas dari partai politik itu sendiri. Ada cukup banyak aspek
yang mendasari terbentuknya popularitas partai politik. Mulai nama besar pendiri,
kontribusinya secara langsung kepada para pemilih, pendidikan politik terhadap
masyarakat baik pemilih maupun bukan pemilihnya, hingga orang-orang yang
menggerakkannya. Kunci untuk memenangkan popularitas ini terletak dari
kemampuan partai politik dalam memahami cara berpikir calon-calon
pemilihnya, bukan didasarkan pada kemampuan untuk memahami apa yang
diinginkan oleh calon pemilihnya. Sejauh manakah kontribusi mereka dalam
percaturan politik ditanah air, dan sejauh manakah pula partai-partai politik
memanfaatkannya.
Keikutsertaan artis dalam politik semakin meningkat seiring dengan
berubahnya konstelasi politik di Indonesia mulai dari masa orde baru sampai
pasca orde baru.
Pada pemilihan umum tahun 2014 ini, juga menunjukkan
peningkatan dalam partisipasi artis dalam politik. Jumlah keikutsertaan artis ini
hampir merata di semua partai yang lolos menuju Pemilihan Umum 2014. Berikut
tabel jumlah partisipasi artis dalam partai politik sebagai calon anggota DPR pada
periode 2014-2019.
13
Diagram 1.1
Jumlah Caleg Artis
Politisi Artis
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Jumlah Politisi Artis
Sumber: www.kpu.go.id
Seiring maraknya partisipasi artis dalam pemilu 2014, media massa pun
banyak yang kembali mengangkat tema ini. Dalam beberapa media tersebut lebih
banyak cenderung memojokkan para politisi artis tersebut. Politisi artis masih
dianggap belum dapat diandalkan untuk menjadi wakil rakyat. Hanya sebagian
kecil saja media yang mengangkat peran politis artis yang efektif dalam pentas
politik Indonesia. Terlebih lagi dengan tersangkutnya salah satu politisi yang
berlatar belakang artis, Angelina Sondakh dalam kasus korupsi, media pun gencar
memberitakan kasus ini. Masyarakat semakin dihadapkan pada pertanyaanpertanyaan yang kontroversial tentang kapabilitas artis sebagai politisi yang
diharapkan dapat memegang tanggung jawab secara baik.
Berdasarkan pada pemberitaan di berbagai media yang memberikan citra
negatif kepada sosok politisi artis, peneliti menyimpulkan beberapa hal yang
memunculkan kontroversi tentang politisi artis, diantaranya adalah:
1) Gaya hidup artis yang tampak glamour dan jauh dari kesan sederhana.
2) Kurangnya kapabilitas, pengalaman dan track record dalam hal politik.
14
3) Artis hanya dipandang sebagai vote getter.
4) Mencuatnya kasus artis yang terjerat masalah korupsi.
5) Artis lebih banyak membicarakan tentang kehidupan pribadi di media
dibanding masalah Negara.
Selain itu, sebagian besar pemahaman tentang keterlibatan artis hanya sebatas
pada upaya mencari sensasi. Beberapa media pun tidak luput mengangkat tema
seputar selebriti politisi tersebut. Diantara media itu justru menempatkan artis
sebagai figuran politik seperti dalam survey Kompas periode 13-14 Agustus 2008.
Merujuk pada survey Kompas dengan responden sebanyak 837 orang dengan usia
diatas 17 tahun ke atas, menyatakan 75 persen menyatakan tidak setuju
keterwakilan artis sebagai wakil rakyat. Survey ini tidak memberikan opsi atas
kiprah artis yang memiliki kecerdasan dan kompetensi di bidang politik.19
3. Kapabilitas Kepemimpinan
Berbicara masalah kapabilitas seorang calon anggota legislatif yang
merupakan bagian dari seorang pemimpin, maka erat kaitannya dengan
kepribadian pemimpin itu sendiri. Kepribadian tersebut akan mencerminkan
bagaimana kualitas kepemimpinannya. Oleh sebab itu perlu diketahui lebih jelas
apa saja kepribadian seorang pemimpin yang ideal.
Mulai dari permulaan abad 20 sampai sekarang ini, para peneliti telah fokus
dalam menaruh perhatian mereka untuk menemukan karakteristik pemimpin yang
ideal dan sukses. Beberapa penelitian telah diadakan untuk mengidentifikasi
kepribadian seorang pemimpin yang efektif. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan banyaknya kepribadian yang penting dimiliki oleh seorang
pemimpin, setiap kepribadian tersebut berpengaruh dalam proses kepemimpinan.
Misalnya, dalam beberapa investigasi para peneliti menemukan kepribadian
yang sangat penting diantaranya: prestasi, konsisten, inisiatif, percaya diri,
19
Wahyuni Choiriyati, Popularitas Selebiti Sebagai Komoditas Politik, Ilmu Komunikasi
FISIPOL UPN, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 9, Nomor 2, Yogyakarta, 2011, hlm 128-142.
15
bertanggungjawab, kooperatif, toleran, berpengaruh, memiliki jiwa sosial, dapat
mengarahkan, memiliki motivasi yang tinggi, memiliki integritas, kemampuan
kognitif, mengetahui tugas dan masalah, dan terbuka. Beberapa kepribadian
tersebut membuat para peneliti mengidentifikasi 6 karakteristik penting bagi para
pemimpin secara umum,20 diantaranya:
a. Intelektualitas
Intelektualitas merupakan salah satu kepribadian yang sangat penting bagi
seorang pemimpin yang ideal. Intelektualitas disini juga termasuk kemampuan
seorang pemimpin dalam berkomunikasi, kemampuan dalam mempersepsikan
sesuatu, dan kemampuan dalam memberikan alasan. Kemampuan inilah yang
membuat seseorang menjadi pemikir dan pemimpin yang baik. Intelektualitas
pemimpin merupakan salah satu indikator yang tepat. Mereka sadar atas apa yang
terjadi di sekitarnya dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Hal tersebut
sangatlah penting bagi seorang pemimpin dalam mengetahui seberapa besar peran
mereka dan bagaimana cara mereka dalam mempelajari sebanyak mungkin segala
sesutu yang terdapat di lingkungan kerja. Sehingga mereka akan lebih tahu
tentang kondisi, masalah dan menambah perhatian mereka terhadap situasi
tersebut.
b. Percaya diri
Menjadi seorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi merupakan
salah satu kepribadian yang penting bagi seorang pemimpin. Orang yang percaya
diri akan merasa yakin dan percaya bahwa dia akan meraih tujuan dan apa yang
mereka inginkan. Seorang pemimpin yang percaya diri akan merasa kuat dan
nyaman terhadap posisi mereka. Dia tidak akan meremehkan dirinya sendiri,
namun mereka akan bergerak maju melakukan tugas dan tanggung jawab dengan
visi yang jelas. Pemimpin yang percaya diri akan merasa yakin bahwa apa yang
dia lakukan dan apa yang dia putuskan merupakan hal yang tepat. Hal tersebut
20
Peter G, Northouse, Introduction Leadership Concept and Practice, SAGE Publication, Inc,
London, 2009, hlm. 20-25.
16
menunjukkan bahwa rasa percaya diri merupakan kepribadian dalam melakukan
sesuatu dengan perasaan positif kepada dirinya sendiri dan kemampuannya untuk
meraih kesuksesan.
Di dalam proses kepemimpinan, rasa percaya diri dapat ditumbuhkan melalui
pemahaman atas apa yang dibutuhkan oleh diri sendiri. Selain itu juga rasa
percaya diri juga dapat dikembangkan dengan dilatih sebaik mungkin. latihan
tersebut dapat menjadi acuan bahwa seorang pemimpin yang menginspirasi
melakukan segala sesuatu yang memang harus dilakukan. Seseorang yang
bergabung dalam satu kegiatan kepanitiaan atau kegiatan sosial walaupun dalam
bagian yang kecil akan melatih kepemimpinan orang tersebut.
Sedangkan orang yang sangat aktif dalam kegiatan kepemimpinan atau
lainnya akan dapat menambah rasa percaya dirinya dan memperkuat keinginannya
untuk berperan sebagai seorang pemimpin. Oleh sebab itu seseorang yang mau
mengambil kesempatan untuk melatih jiwa kepemimpinan mereka melalui
berbagai pengalaman akan menambah kepercayaan diri dan kemampuan
memimpinnya. Sehingga pengalaman dalam kegiatan baik kegiatan organisasi
atau kegiatan sosial akan menambah kemampuan kepemimpinan seseorang.
c. Karisma
Salah satu kepribadian seorang pemimpin yang perlu diperhatikan adalah
soal karisma. Karisma merupakan salah satu kepribadian pemimpin yang khas dan
menarik karena melalui karisma inilah dapat memberikan efek yang besar dalam
proses kepemimpinan. Selain itu karisma merupakan karakteristik kepribadian
yang khusus dimiliki seorang pemimpin untuk meningkatkan kapabilitas dalam
melakukan hal yang luar biasa. Hal ini merupakan kekuatan lain yang dimiliki
pemimpin untuk mempengaruhi orang lain. Salah satu contoh pemimpin yang
berkarisma yakni John F Kennedy, yang mana memberikan motivasi kepada
rakyat Amerika melalui gaya orasinya yang karismatik. Sehingga dengan gayanya
tersebut dia mampu memberikan pengaruh yang besar di Amerika.
17
Karisma bukan kepribadian yang biasa dimiliki setiap orang. Hanya beberapa
orang yang memiliki karisma tertentu. Beberapa peneliti menunjukkan sikap dan
perilaku yang dimiliki oleh pemimpin yang karismatik.21 Diantaranya, pemimpin
yang karismatik mampu menjadi sosok teladan dan menjadi contoh bagi orang
yang ingin mengikuti nilai-nilai yang dipegangnya. Pemimpin yang karismatik
juga menunjukkan kompetensinya di beberapa aspek kepemimpinan, sehingga
orang akan mempercayai keputusan yang diambilnya. Pemimpin yang berkarisma
berusaha untuk mengartikulasikan tujuan yang jelas dan nilai-nilai yang kuat.
Selain itu pemimpin yang karismatik mampu memberikan harapan besar bagi
orang lain dan menunjukkan percaya dirinya dalam mencapai apa yang
diharapkan.
d. Tekad
Tekad merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang efektif bagi
seorang pemimpin. Pemimpin yang memiliki tekad yang bulat sangat fokus dan
bertanggungjawab dalam tugas yang dimilikinya. Mereka tahu apa masalah yang
dihadapi dan bagaimana harus menyelesaikannya. Tekad merupakan sifat yang
sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan segala sesuatu, termasuk didalamnya
terdapat beberapa karakter diantaranya inisiatif, konsisten dan kerja keras. Orang
yang memiliki tekad yang besar berusaha untuk meningkatkan kapasitas dirinya,
mereka juga proaktif dan memiliki kapasitas yang baik dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Selain itu orang yang memiliki kepribadian ini juga
berusaha untuk menunjukkan dominasinya khususnya dalam memberikan bantuan
kepada orang yang membutuhkan.
Ada beberapa orang yang memiliki tekad kuat yang telah berhasil melakukan
hal yang luar biasa. Salah satunya adalah Nelson Mandela. Mandela yang
memiliki keinginan besar untuk menyelesaikan masalah apartheid di Afrika
Selatan akhirnya berhasil menghapus bentuk diskriminasi tersebut. Walaupun dia
telah dipenjara selama beberapa tahun, namun dia tetap bertekad pada
21
Ibid., hlm. 22.
18
pendiriannya. Dia berkomitmen untuk meraih tujuannya tersebut dan tidak pernah
putus asa. Mandela mampu menjadi contoh seorang pemimpin yang memiliki
tekad, fokus dan disiplin.
e. Jiwa Sosial
Salah satu kepribadian yang penting bagi seorang pemimpin adalah jiwa
sosial. Pemimpin yang berjiwa sosial akan mampu untuk membangun hubungan
sosial yang baik. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang berjiwa sosial dan
mampu berkomunikasi dengan mereka. Pemimpin yang mau menunjukkan jiwa
sosialnya merupakan tipikal orang yang bersahabat, mau mendengarkan orang lain
dan mampu berdiplomasi dengan baik. Mereka tipe pemimpin yang peka dan
menunjukkan perhatiannya terhadap orang yang sedang membutuhkan bantuan.
Selain itu mereka juga memiliki kemampuan interpersonal yang baik dan mampu
menciptakan hubungan kerjasama di lingkungan sekitarnya.
f. Integritas
Kepribadian yang terakhir dan sangat penting bagi seorang pemimpin yang
ideal adalah integritas. Karakter pemimpin yang memiliki integritas yang baik
adalah seorang jujur dan dapat dipercaya. Seseorang yang memegang prinsip
secara kuat dan bertanggungjawab atas apapun yang dia lakukan. Pemimpin yang
memiliki integritas akan memberikan keyakinan kepada orang lain dan
masyarakat, karena dia akan tetap jujur dan melakukan apa yang telah
diucapkannya. Pemimpin ini termasuk tipe pemimpin yang loyal, independen dan
transparan. Hal tersebut dikarenakan integritas membuat pemimpin dapat
dipercaya oleh orang lain dan masyarakat.
Sikap integritas merupakan bagian dalam membentuk sosok pemimpin yang
ideal. Hal tersebut dikarenakan integritas merupakan aspek penting dalam
meningkatkan kualitas pemimpin dalam mempengaruhi orang lain. Apabila
masyarakat tidak percaya dengan pemimpinnya, maka kualitas pengaruh
pemimpin tersebut sangat lemah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa integritas itu
19
sendiri bagian pendukung dalam sebuah kepemimpinan. Karena apabila integritas
seorang pemimpin dipertanyakan, maka kualitas kepemimpinannya pun turut
dipertanyakan.
4. Konsep dan Proses Representasi Media
a. Konsep Representasi
Pada dasarnya, studi media massa mencangkup pencarian makna dan pesan.
Basis studi komunikasi adalah „proses komunikasi‟ sedangkan inti dari „proses
komunikasi‟ adalah „makna‟ itu sendiri. Terkait dengan makna, spektrum
pembicaraan akan menyangkut fungsi ketersembunyian (unconsciousness) yang
ada di balik media massa. Kenyataan itu berangkat dari fungsi media yang
disadari maupun tidak telah menentukan pemikiran, persepsi, opini, dan bahkan
perilaku masyarakat. Pada saat inilah media dipandang sebagai penyampai image.
Image ini tidak terbatas pada sesuatu yang kasat mata, melainkan juga sesuatu
yang „tampak‟ dan hadir pada batin sebagaimana yang sering disebut Horowitz
dalam “Theory of Imagination”. 22
Untuk memahami ekspresi hubungan antara teks media dengan realitas
budaya, konsep representasi sering digunakan. Secara semantik Giaccardi Chiara
mengartikan representasi sebagai to depict, to be a picture of, atau to act or speak
for (in the place, in the name of) somebody.23 Berdasarkan makna-makna tersebut,
to represent bisa didefinisikan sebagai to stand for, yang menjadi sebuah tanda (a
sign) untuk sesuatu atau seseorang. Ia adalah sebuah tanda yang tidak sama
dengan realitas yang direpresentasikan, tetapi dihubungkan dan mendasarkan diri
pada realitas tersebut. Representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi
referensinya. Dalam pembahasan kajian ini, referensi yang digunakan adalah
politik dan budaya.
22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003 hlm. 111.
Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi, dan Simulasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 61.
23
20
Menurut Tim O‟Sullivan, istilah representasi memiliki dua pengertian.24
Pertama, representasi sebagai sebuah „proses sosial‟ dan representing. Kedua,
representasi sebagai „produk‟ dari proses sosial representing. Istilah yang pertama
merujuk pada proses, sedangkan yang kedua merupakan produk dari pembuatan
tanda yang mengacu ada suatu makna. Proses representasi sendiri melibatkan tiga
elemen. Pertama, sesuatu yang direpresentasikan, disebut objek; kedua,
representasi itu sendiri, yang disebut sebagai tanda; dan ketiga, adalah
seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan,
disebut coding.
Istilah representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu
kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.
Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok,
atau gagasan tersebut dalam teks ditampilkan sebagaimana mestinya, kata
semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa
adanya, ataukah diburukkan atau ditampilkan sempurna tanpa cela.
Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan
cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Disini hanya citra
yang buruk saja ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari
pemberitaan. Kedua, bagaimana reresentasi tersebut ditampilkan. Dengan kata
lain, kalimat, eksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau
gagasan tertentu ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. 25
Pentingnya dua hal diatas paling tidak berasal dari daya konstruksi makna dan
citra yang menjadi implikasi dari representasi. Seperti telah dipahami bahwa
konsep representasi berasal dari kata represent yang berarti mewakili,
menggambarkan, memainkan peran, melambangkan, menunjukkan, yang pada
intinya merujuk bukan pada sosok, benda sesungguhnya. Jadi representasi adalah
perwujudan sesuatu dalam „bingkai‟ lain yang tidak pernah sama, serupa, persis
24
25
Ibid.
Eriyanto, Op. Cit., hlm. 113.
21
dengan „aslinya‟. Secara singkat representasi berarti gambaran atau perwakilan.26
Dalam dunia jurnalistik, konsep inilah yang berlaku. Artinya media massa dalam
penyajiannya selalu merupakan sebuah representasi atau gambaran sosok atau
fenomena yang mereka angkat menjadi bahan berita. Fakta bahwa kemudian
audiens selalu merasa bahwa berita di media massa adalah sebagai persitiwa itu
sendiri hanyalah karena „pembiasan‟ yang dimungkinkan oleh bekerjanya
kekuatan organisasi media massa.
Hal ini secara tegas dikatakan oleh Stuart Price bahwa “representation mark a
different stage from the representation mades by objects and life-forms in the real
world…..means the way in which ideas, objects, people, groups, and life-forms
are depicted by the mass media”.27 Penggambaran atau pelukisan yang dilakukan
oleh media massa tentu saja bukanlah realitas peristiwa itu sendiri, karena itu
tidak bisa disamakan antara realitas dunia nyata peristiwa dengan apa yang yang
diberitakan oleh media massa. Disinilah makna representasi memainkan
peranannya.
Terkait dengan proses bagaimana menghadirkan sebuah berita oleh seorang
wartawan, menurut Fiske minimal ada tiga tingkatan. Level pertama, terjadi
peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu
dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan media. Dalam bahasa gambar
(khususnya televisi) hal ini selalu berhubungan dengan aspek-aspek konkret
semisal pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi. Di sini, realitas selalu siap
ditandakan, ketika kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut
sebagai sebuah realitas.
Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Disini kita menggunakan
perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat
atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Dalam bahasa gambar, alat itu berupa
26
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Penerbit Arkola, Surabaya,
1994.
27
Price Stuart, Media Studies, Longman Group Limited, London, 1999, hlm. 33.
22
kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau
proposisi tertentu akan membawa suatu makna tertentu pula ketika diterima oleh
khalayak. Level ketiga, pada tataran berikutnya adalah bagaimana peristiwa
tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis.
Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam
koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam
masyarakat (patriarki, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya). 28
Berbicara dalam tataran teks, maka unsur utama yang menciptakan
representasi yang kemudian diinterpretasikan itu adalah unsur kebahasaan.
Bahasalah yang menjadi alat memediasi khalayak yang membaca ataupun
menonton media massa. Apabila terjadi kesalahpahaman (misinterpretasi) maka
paling tidak itu berawal dari tidak dipahaminya bahasa yang digunakan dalam
menyamaikan pesan sebagai sebuah representasi peristiwa. Karena itu mengupas
tentang bahasa menjadi relevan untuk dilakukan pada bagian ini. Bahasalah yang
dipakai oleh wartawan untuk menggambarkan realitas yang direkamnya. Pada
titik ini terjadi keunikan bagaimana wartawan sebagai kepanjangan organisasi
media melakukan proses memaknai realitas.
Menurut Eriyanto, paling tidak ada dua proses yang dilakukan media.
Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa
wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan
fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan
kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi
yang bagaimana, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan lain
sebagainya. 29
Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan
antara teks (media) dengan realitas. Representasi merupakan proses di mana para
anggota sebuah budaya menggunakan bahasa atau gambar untuk memproduksi
makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem
28
29
Eriyanto, Op.Cit., hlm. 114.
Ibid., hlm. 116.
23
apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda disini dapat berbentuk verbal
maupun nonverbal. Representasi juga berarti konsep yang digunakan dalam
proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan,
video, film, fotografi dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi
makna melalui bahasa.
Berger dan Luckmann mencoba memahami representasi sebagai bagian dari
konsep objektivasi.30 Representasi dalam teori konstruksi sosial merupakan
representasi simbolik, dimana bahasa memegang peran penting dalam proses
obyektivasi terhadap tanda-tanda karena bahasa mampu mendirikan bangunanbangunan representasi simbolis yang kenyataan hidup sehari-hari. Bahasa
digunakan
untuk
mensignifikasi
makna-makna
yang
dipahami
sebagai
pengetahuan yang relevan dengan masyarakat.
Stuart Hall mencoba melengkapi pengertian representasi melalui Theory of
Representation. Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan bagaimana
representasi dari bahasa menghasilkan sebuah makna. Ketiga pendekatan tersebut
adalah the reflective, the intentional dan the constructionis (contructionist
approach).
Di dalam the reflective approach, makna ditujukan untuk mengelabuhi objek
yang dimaksudkan, baik itu orang, ide ataupun suatu kejadian di dunia yang
nyata, dan fungsi bahasa sebagai cermin, untuk merefleksikan maksud sebenarnya
seperti keadaan yang sebenarnya di dunia. Sedangkan intentional approach
merupakan pendekatan yang berkaitan erat dengan pembicara atau penulis yang
menekankan pada diri sendiri mengenai pemaknaan yang unik di dunia ini melalui
bahasa. Kata-kata yang dihasilkan
memiliki makna sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh penulis.31
30
Ibid.
Stuart Hall, Representation : Cultural Representation and Signifying Practises, Sage, London,
1997, hlm. 25.
31
24
Representasi merupakan sebuah sistem yang memiliki proses. Dalam hal ini,
Stuart Hall membaginya ke dalam dua bagian, antara lain:
1) Representasi Mental, yaitu konsep-konsep yang ada dalam kepala kita
melalui indera kita, seperti objek yang kita lihat, sesuatu yang kita dengar
dan sesuatu yang kita rasakan.
2) Representasi Bahasa, yaitu konsep-konsep yang telah kita pahami melalu
indera diwujudkan dalam bentuk kata-kata untuk mendapatkan suatu
makna.
Salah satu unsur budaya yang paling berpengaruh dalam merepresentasikan
sebuah objek, peristiwa, atau simbol adalah bahasa. Bahasa adalah sebuah
medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi, dan
mengubah makna. Melalui bahasa (simbol, kata tertulis, kata lisan, atau gambar)
kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu.
Makna sesuatu hal itu sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya.
Representasi merekatkan semua tanda-tanda menjadi makna dan makna
sendiri bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak.
Ada 3 pendekatan yang dikemukakan oleh Stuart Hall mengenai representasi
makna dan bahasa32, antara lain:
1) Pendekatan Reflektif, yaitu bahasa dimaknai sebagai refleksi dari
kenyataan.
2) Pendekatan Intensional, yaitu bahasa dimaknai sebagai kehendak dari
penulis (author).
3) Pendekatan Konstruksionis, yaitu bahasa merupakan serangkaian kata-kata
yang ditafsirkan hingga memiliki makna.
32
Ibid.
25
b. Proses Representasi Media Massa
Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil
dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain
diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk
melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Proses tersebut
dilihat mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuantujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain
diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai sebuah proses
perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara terlihat dengan penggunaan
tanda baik itu gambar, suara dan lain sebagainya, untuk menampilkan ulang
sesuatu yang diserap, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi, yakni petama representasi
mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing (peta
konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua,
bahasa yang berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
di kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dari simbolsimbol tertentu. Media sebagai pembentuk teks banyak menciptakan bentukbentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjukkan
bagaimana seseorang atau kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan
dalam sebuah informasi.
Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi iklan dan hal-hal lain di luar
pemberitaan. Sama halnya dengan berita, iklan juga merepresentasikan orangorang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang
terjadi dalam representasi melalui tabel berikut ini.33
33
Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi,
Mitra Wacana Media, Jakarta, 2011, hlm.123.
26
Tabel 1.1
Tiga Proses dalam Representasi
1
Realitas
Ada beberapa bentuk realitas diantaranya: teks seperti dokumen transkip
wawancara dan acara televisi seperti perilaku, penampilan, pakaian, ucapan,
bahasa, gerak-gerik, ekspresi, dan sebagainya
2
Representasi
Realitas dibentuk dan ditandakan secara teknis. Dalam teks seperti kata,
proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dan dalam acara
televisi seperti bahasa, pengambilan gambar, musik, tata cahaya dan
lainnya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasi
yang memasukkan hal-hal yang akan menggabarkan objek (karakter, narasi,
setting, dialog dan lainnya)
3
Ideologi
Semua elemen diatur dalam koheransi dan kode ideologi, seperti
individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme
dan sebagainya
Sumber: John Fiske, Television Culture, Routledge, London, 1987, hlm. 5-6.
Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi
sendiri dapat berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah
akibat makna yang juga berubah. Setiap saat terjadi proses negosiasi dalam
pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi
merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan
intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga
terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha
konstruksi. Karena pandangan terhadap sesuatu akan menghasilkan pemaknaan
baru, yang mana hal tersebut merupakan akibat dari konstruksi pemikiran
27
manusia. Jadi, sebuah makna diproduksi dan dikontruksi melalui proses
representasi, yakni melalui praktik penandaan dan simbolisasi.
5. Representasi dalam Program Televisi
Media massa, khususnya media televisi memang tidak pernah jauh dari
konsep representasi. Televisi mampu membangun sebuah konstruksi melalui
representasi. Membangun pemahaman tertentu atas sebuah realitas. Neil Casey
menjelaskan bahwa representasi, tidak peduli seberapa realistis tayangannya, yang
kita lihat di layar merupakan hasil konstruksi, terkait keputusan tentang apa yang
harus direkam, dimana menempatkan kamera, bagaimana mengedit materi yang
ada dan sebagainya.34
Hal ini berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam media sebagaimana
diungkapkan McQuail, media diyakini sebagai cermin yang merefleksikan realitas
sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan gambaran yang
sebenarnya atas realitas. Lebih dari itu, media saat ini tidak hanya merefleksikan
realitas, tetapi juga merepresentasikan realitas. 35
Realitas sosial dihadirkan kembali oleh media lewat proses representasi
dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang
baru sehingga menjadi realitas media. Dengan begitu, media massa telah
melakukan konstruksi atas realitas.36 Termasuk konstruksi gambaran terhadap
kelompok-kelompok tertentu. Seperti penggambaran akan sosok politisi artis
dengan kemampuan dan kapabilitas yang dimilikinya.
Oleh karena itu, tidak heran jika muncul istilah second reality atau realitas
kedua sebagai hasil dari konstruksi dan olahan media atas realitas sosial. Second
reality diartikan sebagai hasil dari penciptaan model-model realitas yang
ditentukan oleh media. Dalam hal ini media televisi merekonstruksi realitas yang
34
Neil Casey, Television Studies: The Key Concepts,Routledge, London, 2002, hlm. 144.
Dennis McQuail, Media Performance: Mass Communication and The Public Interest, SAGE
Publications, London, 1992, hlm. 161-168.
36
Ibid.
35
28
begitu kompleks, diolah, dan dipilih sehingga menjadi rangkaian realitas kedua
dalam tayangannya.
Rangkaian realitas kedua atau second reality dalam media itu hadir dalam
bentuk bahasa simbolik yang hadir dalam tanda dan simbol-simbol. Dalam hal ini
media televisi menggunakan tanda-tanda tertentu dalam bentuk audio dan visual
untuk mengkonstruksi realitas. Realitas empiris dikonstruksi menjadi realitas
simbolik yang dalam hal ini berarti menjadi realitas media.
Kemampuan media massa dalam mengkonstruksi realitas itulah yang
mempengaruhi cara kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Termasuk
menimbulkan gambaran lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat.
Terjadilah apa yang disebut dengan stereotipe. Stereotipe merujuk pada tindakan
atau sikap seseorang yang dapat dianggap merefleksikan sifat keseluruhan dari
suatu kultur, jenis kelamin, umur, suku, kelas, atau nasionalitas.
Stereotipe kadang juga diartikan sebagai alat yang digunakan oleh seseorang
untuk memberi label pada orang lainnya. Pada praktiknya, individu melihat orang
lain dan memulai untuk membuat generalisasi mengenai atribut fisik dan
intelektual yang dimiliki oleh orang tersebut dan kemudian menggolongkan
mereka ke dalam kategori tertentu.37
Televisi sendiri merupakan alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi
berasal dari kata tele dan vision yang mempunyai arti jauh (tele) dan tampak
(vision). Televisi saat ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Bagi sebagian orang televisi dapat menjadikan cerminan
perilaku masyarakat, dan televisi juga mampu membujuk kita untuk
mengkonsumsi banyak dan lebih banyak lagi program-program acara yang ada di
televisi.38 Sebagai media audio visual, televisi muncul karena adanya
perkembangan teknologi. Kehadirannya, setelah beberapa penemuan seperti
telepon, telegraf, fotografi serta rekaman suara.
37
38
Rakhmat, J, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung. 2007.
Morissan, Jurnalistik Televisi Mutahir, PT. Ramadina Prakarsa, Jakarta, 2005, hlm. 1.
29
Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikasi dan informasi.
Informasi yang disampaikan televisi lebih mudah dimengerti karena jelas
terdengar secara audio dan terlihat secara visual. Pesan- pesan yang disampaikan
langsung mempengaruhi otak, emosi, dan sikap pemirsa.39 Televisi sebagai media
penyiaran yang banyak menarik banyak audien setiap harinya, tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan. Salah satu kelebihan media penyiaran televisi
diantaranya memiliki daya jangkaun yang luas, maka televisi dapat memilih
secara selektivitas dan fleksibilitas dalam menjangkau penontonnya dengan
beragam program yang dihasilkan dari stasiun televisi nasional maupun televisi
lokal.
Televisi bisa menghibur, menciptakan opini publik, rumor bahkan mendorong
sikap masyarakat terhadap suatu isu dapat pula membunuh karakter seseorang
atau sebuah objek. Di sisi lain televisi dapat membuat masyarakat bertambah
cerdas, kritis atau justru tenggelam dalam pola pikir yang destruktif.
Fokus perhatian yang dilakukan televisi membuat penonton membutuhkan
waktu khusus dan fokus terhadap tayangan yang disaksikan. Sedangkan unsur
Prestise dalam televisi masih sangat dipandang karena pada unsur inilah orang
mudah dikenal dan bisa menjadi public figure. Penggambaran akan seorang tokoh
pada televisi dapat secara cepat menjangkau penonton karena televisi media yang
menggunakan perangkat audio visual yang dapat memunculkan nilai yang
menimbulkan rasa nyaman kepada audien dalam tiap programnya.40
Dalam penelitian ini, perangkat audio visual yang dimiliki televisi memiliki
peranan sangat dalam proses representasi itu sendiri. Elemen representasi pada
acara talkshow Mata terdiri dari tanda verbal dan nonverbal yang tampak dari
bahasa verbal dan gambar dalam setiap program acara. Bahasa verbal adalah
bahasa tutur yang diucapkan oleh pembawa acara maupun narasumber, maupun
bahasa tulis seperti caption dan slogan yang tercantum pada layar televisi. Selain
39
Adi Badjuri, Analisis Televisi, Graha Bina, Yogyakarta, 2010, hlm. 5-6.
Asti Musman dan Sugeng WA, Marketing Media Penyiaran Bukan Sekedar Jual Kecap,
Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2011, hlm. 88-90.
40
30
verbal yang tidak kalah pentingnya adalah unsur nonverbal dalam tayangan
talkshow tersebut yang disebut juga dengan paralanguage ‐ terdiri dari gesture
fisik, kontak mata, bahasa tubuh, latar, pakaian, dan sebagainya yang bisa
dimaknai.
Program acara talk show sendiri merupakan bagian dari produk jurnalistik
yang hadir dalam media televisi dengan memanfaatkan fungsi audio visual yang
dimiliki oleh media televisi. Terdapat tiga aspek yang dimiliki oleh acara talk
show sebagai produk jurnalistik yakni:41
1) Pembawa acara
Dengan penampilan audio visual, televisi mampu memberi alternatif
tontonan yang informatif. Pembawa acara yang tampak memiliki integritas
dan kemampuan dalam menarik penonton untuk tetap menonton tayangan
talkshow. Selain itu penampilan pembawa acara yang santai, bersahabat,
dan komunikatif mampu mengajak penonton untuk lebih antusias
mengikuti tayangan tersebut.
2) Narasumber
Salah satu kelebihan televisi adalah khalayak dapat mendengar
narasumber yang menuturkan kesaksiannya tentang suatu kejadian secara
langsung. Hal ini tidak dapat ditemukan di media cetak. Dengan
penampilan audio visual, penonton dapat melihat secara langsung
bagaimana narasumber menjawab setiap pertanyaan. Penonton dapat
mendengar jawaban-jawaban narasumber secara langsung dan melihat
bagaimana narasumber meyampaikan jawaban tersebut. Baik dari sisi
ekspresi, gesture maupun penampilan narasumber.
3) Bahasa
41
Askurifai Baksin, Jurnalistik Televisi Teori dan Praktek, Simbiosa Rekatama Media, Bandung,
2006, hlm. 63.
31
Di dunia jurnalistik, terdapat perbedaan dalam menggunakan bahasa.
Bahasa formal ditekankan pada media cetak seperti koran dan majalah,
sedangkan bahasa informal sering dipakai di dunia jurnalistik televisi.
Bahasa formal merupakan bahasa tulis yang kaku dan tidak menimbulkan
intimacy, kecuali dalam penulisan khas seperti feature. Sementara itu,
bahasa informal merupakan bahasa tutur yang memungkinkan terjadinya
kontak antara komunikator dalam hal ini pembawa acara dengan
narasumber atau juga audience.
Berdasarkan pemaparan kerangka pemikiran yang telah peneliti jelaskan
sebelumnya, selanjutnya peneliti akan menggambarkan dan merumuskan konsep
yang akan digunakan dalam mengolah dan menganalisis data yang sudah
ditentukan.
F. Kerangka Konsep
Dari penjabaran kerangka pemikiran diatas, maka peneliti akan memberikan
batasan-batasan mengenai konsep yang akan digunakan pada penelitian ini.
Seperti yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya bahwa representasi merupakan
proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan mengabaikan hal
lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini representasi politis artis dibentuk
dengan cara menyeleksi hal-hal yang dipandang penting oleh pembawa acara
untuk ditampilkan dan diinformasikan kepada masyarakat.
Proses representasi dalam program talkshow Mata Najwa ini dapat dijabarkan
kedalam tiga hal, yakni penentuan narasumber, dialog (bahasa verbal) yang
dibangun antara pembawa acara dan narasumber, dialog ini merupakan point
utama yang akan lebih menjelaskan proses representasi politisi artis itu sendiri
dan terakhir adalah elemen-elemen penunjang representasi itu sendiri yakni
bahasa non verbal yang berupa gambar maupun teks atau data tertulis. Ketiga hal
tersebut dibentuk dan diproses dengan perangkat audio visual yang dimiliki media
televisi tersebut. Berikut adalah gambaran singkat mengenai alur analisis dalam
penelitian ini.
32
Bagan 1.1 Alur Analisis Representasi Program Mata Najwa
Audio: Bahasa verbal,
dialog dan komentar
Konsep Representasi
Pemilihan
Narasumber Mata
Najwa
Visual: Bahasa non
verbal, penampilan,
gesture, ekspresi.
Visual: gambar, video
sisipan dan teks tertulis
Sumber: Olah data peneliti
Program talk show Mata Najwa sama seperti program talk show di Metro TV
lainnya, dalam proses produksi program ini harus melewati berbagai aktivitas
produksi untuk menghasilkan sebuah program acara televisi. Sehingga dalam
proses produksi acara televisi diharuskan memiliki manajemen produksi yang
baik, dalam hal ini proses pertama dalam produksi acara televisi adalah
perencanaan/planning.
Pada fungsi perencanaan atau planning ini merupakan tahapan pertama dalam
penerapan manajemen produksi yang berisi berbagai macam kegiatan produksi
mulai dari pra-produksi, produksi hingga pasca produksi. Dalam hal ini peneliti
berusaha memaparkan berbagai aktivitas atau proses pembuatan produksi program
acara televisi sesuai dengan rancangan yang telah ditetapkan secara efektif dan
efisien dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan usaha kreativitas dari
team work nya sendiri.
Tahapan pertama dalam setiap proses persiapan tayangan program talk show
adalah menyiapkan konsep ide yang akan digarap menjadi satu topik bahasan dan
tema yang menarik. Daya tarik program talk show terletak pada topik
pembicaraan atau permasalahan yang dibicarakan. Dalam hal ini, ada tiga kategori
33
untuk mengetahui sampai seberapa jauh permasalahan itu menarik.42 Pertama,
masalah itu merupakan masalah yang sedang menjadi pergunjingan di masyakarat
atau masalah yang sedang hangat di masyarakat. Kedua, masalah itu mengundang
kontroversial dan konflik di antara masyarakat. Ketiga, masalah itu menyangkut
atau bersangkut-paut dengan kepentingan masyarakat banyak dan masyarakat
membutuhkan informasi serta jawaban yang jelas mengenai permasalahan
tersebut.
Setelah tahap pengumpulan tema sudah dilakukan tahapan berikutnya adalah
menentukan narasumber. Dalam menentukan narasumber setiap talk show
memiliki standar masing-masing. Mata Najwa merupakan talk show yang
menyajikan tema-tema sosial politik. Program ini selalu berusaha untuk
menghadirkan narasumber-narasumber yang menarik. Ada tiga kategori tokoh
yang menarik yaitu pertama, ia adalah seorang public figure atau idola (panutan)
masyarakat. Kedua, salah satu tokoh yang paling ahli atau diangggap paling
menguasai bidang atau permasalahan. Ketiga, tokoh kontroversi, kritis, dan vocal.
Pemilihan narasumber terkait dengan prinsip prominence atau seberapa penting
arti bintang tamu tersebut terhadap audiens.43
Menurut Timberg, dalam sebuah program acara televisi yang berformat talk
show memiliki elemen-elemen tertentu. Elemen-elemen itu terdiri dari naskah
atau materi talk show yang digunakan, penggunaan host sebagai pembawa acara
serta bintang tamu yang diundang dalam program talk show.44 Bintang tamu atau
narasumber merupakan salah satu elemen terpenting dalam program talk show.
Karena dialog akan terbangun dengan adanya wawancara antara pembawa acara
dan narasumber.
42
Ibid., hlm. 89.
Ibid., hlm. 97.
44
Jane Shattuc, The Talking Cure: TV Talk Shows and Women.1997 terarsip dalam laman
http://talkshows.about.com/cs/daytimetalkshows/a/postwar.htm diakses tanggal 22
Oktober 2014
43
34
Bagan 1.2 Elemen-elemen dalam format talkshow
Host
Naskah
Narasumber
Sumber: Olah data peneliti
Penentuan atau pemilihan narasumber merupakan elemen yang pertama dalam
menjelaskan representasi sebuah program acara talk show. Dalam penelitian
representasi politisi artis ini, peneliti tidak akan menjelaskan proses pemilihan dan
penetapan narasumber, namun peneliti akan lebih fokus dalam melihat sosok
narasumber tersebut. Program takshow Mata Najwa ini termasuk dalam issueoriented talkshow, yakni jenis talkshow yang berkaitan dengan isu tertentu.
Dalam konteks penelitian ini talkshow Mata Najwa mengangkat tentang isu
keterlibatan artis dalam agenda politik. Sehingga narasumber yang dipilih
merupakan sosok artis yang aktif terlibat dalam proses politik baik itu yang baru
memulai atau yang sudah lama aktif. Selain itu proses representasi juga tidak
lepas dari objek yang direpresentasikan, yakni artis itu sendiri.
Oleh sebab itu peneliti akan menggali lebih dalam terkait sosok narasumber
yang diundang dalam program takhshow Mata Najwa. Aspek penelitian sosok
narasumber ini dilihat dari beberapa hal diantaranya: latar belakang sosok artis
tersebut dan korelasi antara narasumber (artis) dengan tema atau isu yang
diangkat dalam program talkshow. Pertanyaan dalam elemen ini adalah apakah
narasumber yang dipilih merupakan narasumber yang kredibel di bidangnya atau
narasumber yang kontroversial.
Elemen representasi kedua dalam penelitian ini adalah dialog. Dialog disini
merupakan proses wawancara antara pembawa acara dan narasumber atau bintang
35
tamu. Dalam penelitian ini, peneliti tidak akan melihat sisi ideologis akan tetapi
lebih fokus terhadap representasi yang terlihat ditilik dari dialog yang terjadi. Dari
dialog yang terbangun, peneliti akan mengkaji bahasa dan jawaban narasumber
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara. Elemen kedua ini
merupakan elemen pokok untuk melihat representasi politisi artis dalam tayangan
talk show Mata Najwa. Oleh sebab itu peneliti mencoba untuk membuat konsep
penelitian untuk menganalisis dialog atau bahasa verbal antara pembawa acara
dan narasumber dengan membaginya kedalam dua kategori, yakni:
1. Kapabilitas Politisi
Pembahasan ini akan meneliti dialog yang terjadi antara pembawa
acara dan narasumber dengan mengkaji jawaban-jawaban dari narasumber
yang berkaitan atas pertanyaan pembawa acara terkait kredibilitas dan
kapabilitas seorang politisi artis. Pembahasan ini sendiri bertujuan untuk
meneliti representasi narasumber dilihat dari aspek politik praktis. Dalam
pokok bahasan ini peneliti membaginya menjadi beberapa sub bahasan
diantaranya:
a) Pengetahuan Politik
Pengetahuan politik yang mumpuni menjadi salah satu aspek
kapabilitas seorang politisi. Dengan pengetahuan poliik yang baik,
seorang politisi akan mengetahui situasi dan kondisi yang akan
dihadapinya. Sehingga dia akan mempersiapkannya dengan baik
pula.
b) Penguasaan gagasan atas isu publik
Bagi seorang politisi sudah selayaknya mengetahui isu-isu apa saja
yang berkembang di masyarakat. Selain itu dia juga mengerti
secara detail permasalahan-permasalahan negara apa saja yang
harus segera diselesaikan. Oleh sebab itu gagasan-gagasan yang
efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut menjadi salah satu
36
aspek penting yang harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang
politisi. Gagasan implementatif yang dimiliki oleh seorang politisi
menjadikannya lebih terpecaya di mata masyarakat.
c) Kepribadian atau Pengalaman Kepemimpinan
Politisi yang kredibel dan memiliki nilai kapabilitas yang baik
ditunjang dengan pengalaman yang dimiliki. Dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang politisi akan mengerti apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus diperbaiki. Selain itu kepribadian
kepemimpinan juga menjadi aspek penting bagi seorang politisi
untuk
menunjukkan
dirinya
layak
menjadi
wakil
rakyat.
Kepribadian kepemimpinan itu akan terlihat dari segala macam
pengalaman kepemimpinan yang dimilikinya.
2. Popularitas Artis
Pembahasan ini akan digunakan dalam meneliti dialog antara
pembawa acara dengan narasumber denga mengkaji jawaban-jawaban
narasumber atas pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara terkait halhal yang menyangkut keartisan narasumber atau bintang tamu dan
mengkorelasikan
aspek
popularitasnya
dengan
aktifitas
politik.
Pembahasan ini bertujuan untuk meneliti representasi narasumber dilihat
dari aspek keartisan. Dalam pokok bahasan ini peneliti membaginya
menjadi beberapa sub bahasan diantaranya:
a) Vote Getter
Seorang artis berkaitan erat dengan popularitas yang dimiliki.
Dengan popularitas yang dimilikinya, masyarakat luas dapat
mengenal sosok artis tersebut. Dia dapat menarik perhatian massa
dengan cepat. Maka tak heran apabila dengan ketenarannya, artis
mampu menarik suara massa yang cukup banyak. Oleh sebab itu,
banyak partai politik yang mencoba untuk dapat menaikkan
37
perolehan suara secara instan dengan cara merekrut artis untuk
terjun ke ranah politik. Dengan banyaknya argumen terkait
partisipasi artis ke dalam agenda politik hanya sebagai vote getter
menguatkan pertanyaan atas kapabilitas artis tersebut.
b) Isu-Isu Keartisan
Seorang politisi yang memiliki latar belakang artis akan terlihat
memiliki kapabilitas yang baik apabila dia lebih aktif berbicara di
depan publik terkait isu-isu publik, dan mampu menyampaikan
gagasan-gagasan atas masalah yang ada di tengah masyarakat
dibanding bicara soal isu-isu keartisannya. Selayaknya dia lebih
fokus menunjukkan dirinya sebagai politisi bukan sebagai sosok
artis yang terkenal.
c) Kontroversi dan Sensasi
Sosok artis sangat lekat dengan adanya kontroversi dan sensasi.
Hal ini tentu dapat menjadi boomerang yang cukup kuat untuk
dapat dipercayai publik. Masyarakat akan memandang negatif atas
sosok yang kontroversial tersebut. Opini publik yang berkembang
ini sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat atas sosok
artis yang ingin maju ke ranah politik untuk menjadi wakil rakyat.
Oleh karena itu banyak artis mencoba untuk menutupi segala
kontroversi dan sensasi yang pernah terjadi kepadanya agar dapat
mendapat kepercayaan publik yang tinggi.
Beberapa pokok bahasan yang telah peneliti jabarkan diatas menjadi pegangan
peneliti untuk mengkaji representasi yang terdapat dalam objek penelitian.
Dengan konsep sistematis akan memudahkan peneliti untuk mengkaji teks yang
terdapat dalam dialog antara pembawa acara dan narasumber. Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat bagan di bawah ini:
38
Bagan 1.3 Konsep Penelitian Representasi Pada Dialog atau Bahasa Verbal
Representasi Politisi Artis
Kapabilitas Politisi
Pengetahuan Politik
Popularitas Artis
Kepribadian/Pengalaman
Vote Getter
Kontroversi dan sensasi
Kepemimpinan
Penguasaan gagasan atas isu publik
Isu-isu Keartisan
Sumber: Olah data peneliti
Selain elemen-elemen yang telah peneliti jabarkan diatas, terdapat atributatribut pendukung yang dapat membantu proses representasi yang terdapat di
media massa. Fungsi elemen ini sendiri sebagai penguat dan penekan aspek
representasi lainnya. Dan terkadang elemen pendukung ini menjadi bagian
penjelas dalam proses representasi media massa. Elemen-elemen pendukung ini
dapat berupa teks tertulis, argumen dari narasumber sekunder, dapat juga berupa
visual image, gambar, video atau ekspresi dan gestur yang ditampilkan.
G. Metodologi Penelitian
Dalam pembahasan metodologi penelitian yang dipakai, perlu dikaji hal-hal
mengenai metode analisis isi, objek penelitian, dan metode pengumpulan serta
analisis data.
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan dipakai ialah pendekatan
kualitatif. Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah instrument, artinya peneliti
yang bertindak selaku instrument itu sendiri. Analisis isi kualitatif menekankan
pandangan yang terpadu berbicara atas teks dan konteks khusus. Analisis isi
39
kualitatif bukan sekedar menghitung kata-kata atau penggalian konten obyektif
dari teks melainkan untuk memeriksa makna, tema dan pola yang mungkin nyata
atau laten dalam teks tertentu. Hal ini memungkinkan peneliti untuk memahami
realitas sosial secara subjektif tapi ilmiah. Disampaikan lebih lanjut oleh Idrus
mengenai karakteristik yang melekat pada penelitian kualitatif, di antaranya45:
a) Bersifat Deskriptif
Penelitian kualitatif akan melakukan penggambaran secara mendalam
tentang situasi dan proses yang diteliti. Karena sifatnya ini, kualitatif tidak
berusaha untuk menguji hipotesis.
b) Human Instrument
Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menggunakan alat bantu saat
dilakukan pengumpulan data, pada penelitian kualitatif pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti sendiri yang diistilahkan sebagai human instrument
atau key instrument. Dengan begitu, kedudukan seorang peneliti dalam
desain penelitian kualitatif begitu penting. Sebagai instrument utama,
peneliti dituntut untuk dapat memahami pelbagai perilaku, interaksi antar
subyek, aktivitas, gerak, mimik, nilai-nilai, simbol, atau apapun yang
terkait dengan subyek yang ditelitinya.
c) Analisis Data Dilakukan Secara Induktif
Metode penelitian kualitatif lebih berorientasi pada eksplorasi dan
penemuan dan tidak bermaksud untuk menguji teori. Dengan metode
kualitatif analisi isi, peneliti akan berupaya untuk mengintepretasikan data
berupa penggunaan teks dan bahasa dalam dialog antara pembawa acara
dan narasumber, serta gambar yang termanifestasikan dalam tayangan talk
show.
45
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 21.
40
2. Obyek Penelitian
Obyek utama dari penelitian ini adalah tayangan-tayangan program yang
menampilkan tema terkait politisi artis menjelang pemilu 2014. Tayangan
program ini dikhususkan kepada tayangan talkshow Mata Najwa di media Metro
TV. Pemilihan acara tersebut dikarenakan Metro TV merupakan media televisi
yang fokus pada produk jurnalistik yang tentu mengutamakan faktualitas dalam
program tayangan. Selain itu pemilihan acara Mata Najwa dikarenakan peneliti
melihat program acara tersebut merupakan program acara talkshow mingguan
yang mencoba mengupas tema dengan detail melalui pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan oleh pembawa acara tersebut. Adapun ketiga video tersebut berjudul:
a) Mendadak Capres
Narasumber : Rhoma Irama.
b) Politik Selebriti
Narasumber : Vena Melinda, Gita KDI, Charles Bonar Sirait, Dedi
Gumelar (Miing).
c) Gengsi Berebut Kursi
Narasumber : Angel Lelga
3. Metode Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan observasi teks/bahasa
dan gambar/visual.
b. Data Sekunder
Peneliti mengumpulkan data sekunder yang dilakukan dengan
mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan bahan-bahan tertulis
yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber
41
dokumen, data kepustakaan, jurnal maupun artikel pada situs internet
yang akan digunakan sebagai bahan acuan dalam menkonstruksi
kerangka pemikiran dalam proses analisa data.
Teknik pengumpulan data menggunakan data audio dan data visual ataupun
tektual, dimana data diperoleh dari rekaman tayangan Mata Najwa episode
Mendadak Capres, Politik Selebriti dan episode Gengsi Berebut Kursi. Data audio
sendiri akan dibagi ke dalam kategori dialog, komentar maupun bahasa verbal
lainnya. Sedangkan data visual akan diklasifikasikan ke dalam gambar,
penampilan, ekspresi atau gestur dan video sisipan serta teks tertulis.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan peneliti akan dianalisis dengan pendekatan
kualitatif model interaktif seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman
yakni terdiri dari 3 hal utama46:
1) Reduksi Data
Tahapan
reduksi
data
dimaksudkan
untuk
lebih
menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang bagian data yang tidak
diperlukan, serta mengorganisasi data sehingga memudahkan untuk
dilakukan penarikan kesimpulan yang kemudian akan dilanjutkan dengan
proses verifikasi.
2) Display Data
Setelah dilakukan reduksi data, peneliti akan menyajikan data di mana
dimaknai oleh Miles dan Huberman sebagai kumpulan informasi tersusun
yang
memberi
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan. Dengan mencermati data ini, peneliti akan lebih
mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
46
Ibid., hlm. 151.
42
3) Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan
Tahap akhir proses pengumpulan data adalah verfikasi dan penarikan
kesimpulan, yang dimaknai sebagai penarikan arti data yang telah
ditampilkan. Pemberian makna ini tentu saja sejauh pemahaman peneliti
dan interpretasi yang dibuatnya. Beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam proses ini adalah dengan melakukan pencatatan untuk pola-pola dan
tema serta kategori yang sama, pengelompokan dan pencarian citra dan
representasi baik itu positif maupun negatif.
43
Download