PERSPEKTIF LIBERALISME DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur mata kuliah hubungan internasional Kelompok 3 1. Ardika Wasis H 2. Cik ida Kumalasari A 3. Dinda Feby S 4. Enggar Niko P 5. Fachri Surya Nanda 6. Hafiz Alfiansyah I 7. M Ilham Mahardika 8. Whisnu Yudha Caretta 135030107111033 135030100111043 135030100111033 135030101111040 135030100111134 135030101111052 135030100111040 135030101111037 PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 LATAR BELAKANG Pemikiran liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Secara sederhana, dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki pandangan liberal adalah mereka yang mengejar kebebasan: berpikir, berpendapat, berkarya, berkumpul dan berinteraksi. Kalangan liberal mempercayai kebebasan yang diperoleh oleh individu dapat mendorong pada kemajuan kualitas sautu individu. Namun, perdebatan muncul karena masih biasnya batasan-batasan dari kebebasan yang dikehendaki oleh kalangan liberalisme. Asumsi Dasar Liberalisme dalam HI Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang secara ontologis memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, pandangan positif tentang sifat manusia, artinya dalam hukum alam sifat manusia adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama. Kedua, keyakinan bahwa hubungan internasional lebih bersifat kooperatif dari pada konfliktual. Ketiga, percaya akan kemajuan. Keempat, negara pada hakikatnya dibentuk oleh manusia, oleh karena itu memiliki sifat dasar yang sama dengan manusia (Jackson & Sorensen 2005:139). Kaum liberal pada umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia. Mereka meyakini bahwa akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional yang ada di dalam masing-masing individu dapat dipakai pada masalah-masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap satu hal. Di sisi lain, mereka mempercayai bahwa individuindividu memiliki banyak kepentingan dan dengan demikian dapat terlibat dalam berbagai aksi sosial yang kooperatif dan kolabiratif, baik domestik atau internasional, yang dapat memberikan manfaat besar bagi setiap orang baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Jackson & Sorensen 2005:141). Pemikiran liberal dalam studi HI sangat erat kaitannya dengan munculnya negara liberal modern. Filsuf liberal, dimulai dari John Locke di abad ketujuhbelas, melihat potensi yang besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern, keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Modernitas membentuk kehidupan yang baru dan lebih baik, bebas dari pemerintahan yang otoriter dan dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih tinggi. Ketika semua negara menerapakan prinsip ini, John Locke meyakini bahwa negara-negara itu akan saling menghargai dan saling mempercayai satu sama lain (Jackson & Sorensen 2005:140). PERSPEKTIF LIBERALISME DENGAN STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Dalam studi Hubungan Internasional telah dijelaskan, bahwa memiliki banyak perspektif yang digunakan sebagai alat untuk mencari sebuah preposisi untuk menganalisis sebuah permasalahan. Liberalisme adalah salah satu perspektif yang paling tua dalam perkembangan studi ini disamping perspektif Realisme sebagai rival utamanya. Jika sebelumnya perspektif Realisme berpandangan dengan asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya jahat serta Homo Homini Lupus, atau manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya. Serta , manusia adalah egois dan akan mencapai segala keinginannya apapun caranya, termasuk tanpa harus mempertimbangkan nilai moralitas Internasional. Kemudian berorientasi pada power dalam mencapai kepentingannya dengan berperang sebagai ‘pemukul’ utama. Berbicara mengenai perspektif Liberalisme memang tidak pernah lepas dari rival abadinya, yaitu perspektif Realisme (Dugis, 2013). Perspektif ini pula mencoba untuk menjelaskan essensi dari studi Hubungan Internasional yang berdasarkan sebuah optimisme. Berdasarkan Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005: 140), tradisi Liberalisme dalam studi Hubungan Internasional sendiri muncul pada sekitar abad ketujuhbelas, dipelopori oleh John Locke di Amerika Serikat yang mana baru saja merdeka dari jajahan Britania Raya. Dengan mempertimbangkan perkembangan civil society serta kebebasan individu yang mulai berkembang bersamaan dengan kapitalisme modern (Jackson&Sorensen, 2009). Revolusi Industri turut berperan pula dengan perkembangan Liberalisme itu sendiri. Manusia semakin menyadari bahwa ia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber terbatas, dan membutuhkan bantuan manusia yang lain untuk mencapai kepentingan yang dia inginkan. Perspektif Liberalisme menjadi seperti halnya konsolidasi kepentingan setiap aktor yang berkepentingan didalamnya. Sebagai perumpamaan, Negara A memiliki kepentingan mengisi cadangan devisa negaranya untuk pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan batubara dan minyak bumi sebagai komoditas utamanya untuk diekspor, dan masih sedikit ilmuwan yang berkompeten dibidang pembangunan. Sedangkan Negara B, perindustrian negaranya berkembang dengan pesat dan memiliki pelabuhan besar, sehingga membutuhkan pasokan energi yang mencukupi, dalam hal ini khusunya batubara, akan tetapi ia tidak memiliki cukup sumber daya batu baranya. Negara C memiliki banyak sekali ilmuwan sehingga kurang mampu untuk memperkerjakan seluruh ilmuwannya sehingga membutuhkan Negara yang sedang membangun, serta aksestabilitas Negara C kurang dalam hal ekspor impor karena membutuhkan pelabuhan besar sedangkan Negara C berupa daratan penuh dan tidak memiliki pelabuhan. Bisa dilihat dari perbedaan kepentingan antar negara A, B, dan C maka, Negara A, B , dan C melakukan konsolidasi dengan bekerja sama demi mencapai kepentingan Negaranya. Kerjasama ini dapat berwujud sebuah organisasi Internasional antar-pemerintah yang mengakomodir berbagai kepentingan setiap negara anggotanya dengan kesepakatan yang disetujui oleh para anggotanya. Negara A, menjual Batubara ke Negara B, Negara A mendapat pemasukan untuk tambahan devisanya dan Negara B memperoleh sokongan energi. Negara C menawarkan diri untuk membantu bekerjasama untuk pembangunan infrastruktur di Negara A, dengan mempekerjakan ilmuwan Negara C ke Negara A. Sekaligus Negara C menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Negara B untuk akses bersama pelabuhan dengan imbalan bantuan para ilmuwan dari negaranya dalam pengembangan industrinya dan bagi hasil. Dengan kepentingan yang berbeda-beda, dan dengan kepemilikan sumber-sumber yang berbeda pula mendorong setiap negara untuk melakukan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan satu-sama lain. Oleh karena itu para penganut perspektif Liberalisme ini tidaklah menyiapkan diri untuk berperang, akan tetapi lebih menyiapkan strategi untk bagaimana bekerjasama dan berkompetisi dengan cara-cara yang lebih ‘beradab’. Menurut Rober Jackson dan R. Sorensen (2009: 139) ada 3 asumsi dasar kaum Liberalis dalam memahami Hubungan Internasional, diantaranya (1) pandangan posotif dan optimisme terhadap manusia; (2) keyakinan bahwa Hubungan Interansional lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan. Menurut John Locke (Jackson&Sorensen, 2009: 142) Kemajuan bagi kaum Liberal adalah kemajuan bagi para individu untuk meraih kebebasan serta kebahagiaan, dalam menjalani kehidupan tanpa intervensi dari Negara. Negara hanya berperan mengamankan dan menjamin kepentingan setiap individu yang hidup didalamnya. Tentu saja kembali membandingakn dengan perspektif Realis hal ini sangatlah bertentangan dengan Realis yang menyatakan bahwa kekuasaasn sepenuhnya berada ditangan Negara sebagai sebuah Anarchy. Perspektif Liberalisme menjadi dominan setelah pecahnya perang dunia pertama, dimana muncul suatu rasa trauma serta kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh peperangan. baik berupa harta , maupun nyawa. Perang merupakan sesuatu yang termat sangat mengerikan bagi umat manusia, dan khususnya bagi tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan parit di garis depan pihak Barat (Gillbert 1995: 258 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 46). Liberalisme awal ini disebut dengan Liberalisme ‘Utopian’. Tokoh terkenalnya adalah presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat yang terkenal dengan “Empatbelas poin perdamaian Wilson”. Liberalisme menginginkan seluruh negara yang ada didunia untuk menganut paham demokrasi, dengan begitu akan semakin memperkecil nafsu dari sistem otokratisnya untuk berperang serta melakukan ekspansi terhadap negara lain. Dengan menyatukan kesepahaman tersebut maka lebih menjamin tercegahnya perang-perang besar yang lain (Jackson&Sorensen, 2009: 48). Wilson menganalogikan bahwa negara-negara yang ada di dunia bagaikan binatang ‘buas’ dan sistem politik internasional adalah sebuah hutan belantara. Wilson berkeyakinan bahwa binatang-binatang yang buas tersebut mampu untuk ‘diikat’ melalui sebuah perjanjian internasional dan dimasukkan kedalam sebuah ‘kandang’ serta dengan kontrol organisasi internasional yang berperan sebagai ‘kebun binatang’, pernyataannya ini mengingatkan akan tokoh Liberalisme klasik pula Immanuel Kant dengan bukunya yang berjudul “Perpetual Peace”, yang hirau akan peranan organisasi internasional (Jackson&Sorensen, 2009: 50). Tokoh Liberalis Utopian lainnya adalah Norman Angell dengan karyanya yang berjudul “The Great Illussion” pada 1909. Pemikirannya yaitu tentang betapa mahalnya kecerobohan suatu negara untuk menduduki negara lain melalui sebuah jalan peperangan. Di era modern sebuah penaklukan harus dibayar mahal secara politis. Perang hanya akan mengganggu jalannya perdagangan Internasional dengan dunia yang semakin mengalami sebuah interdependensi yang mana akan mengabaikan peperangan dan unjuk kekuatan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kepentingan (Jackson&Sorensen, 2009: 50-51). Membahas nama dari Liberalisme Utopian, dinamakan demikian karena Liga Bangsa-bangsa yang didirikan oleh Wilson telah gagal dalam ‘mengurung’ negara yang ‘buas’ dalam sebuah kurungan organisasi Internasional. Hewan yang buas tidak akan mau dengan semudah itu untuk dimasukkan kedalam sebuah kandang. Negara yang buas akan berontak dan melawan. (E.H Carr, 1939 dalam Jackson&Sorensen, 2009). Hal ini ditunjukkan dengan invasi Jerman yang notabene kalah pada perang dunia pertama, kepada Polandia. Hingga akhirnya Liberalisme klasik ini pun mendapat kekalahan mutlak dari penganut paham Realisme setelah Perang Dunia 2 pecah. Ditambah pemikiran kaum Liberal begitu Idealis sehinga sulit untuk diwujudkan secara sempurna. Setelah selesainya perang dunia kedua, perspektif Liberalisme terbagi menjadi empat aliran. Liberalisme sosiologis, Liberalisme interdependensi, Liberalisme institusional, dan yang terakhir Liberalisme republikan (Nye 1988: 246; Keohane 1989: 11; Zacher dan Matthew 1995: 121 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 143). Pertama, mengenai Liberalisme Sosiologis, dimana kaum ini menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam Hubungan Internasional tidak hanya antara Pemerintah dan Negara berdaulat, melainkan masyarakat turut memiliki peranan penting didalamnya atau terletak pula pada aktor transnasional yang hidup dan salin berinteraksi antar negara yang berbeda. James Rosenau mendefinisikan Liberalisme Sosiologi sebagai berikut “proses dimana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai hubungan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakt-masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya suatu peristiwa” (Rosenau 1980: 1 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144). Bahkan pandangan terhadap hubungan internasional lebih terfokus kepada rakyat maupun individu yang hidup dalam suatu negara, karena individu dinilai lebih memiliki sifat kooperatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian daripada negara. Seperti halnya yang diucapkan Richard Cobden, semakin kecil keterlibatan diantara pemerintah, semakin banyak hubungan antara bangsa-bangsa di dunia” (Cobden 1903: 216; Taylor 1957: 49 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144). Yang terkenal adalah pemikiran dari John Burton (1972) mengenai konsep “jaring laba-laba” dimana didunia ini banyak kelompok kepentingan yang saling tumpang tindih anatar satu dengan yang lain bahkan didalam sutau negara sekalipun. Tumpang tindih inilah yang membuat dorongan untuk bekerjasama tanpa melihat batas negara yang semu. Sebab utamanya adalah karena setiap individu adalah anggota dari banyak kelompok yang berbeda (Jackson&Sorensen, 2009: 145). Konsep jaring laba-laba yang kompleks menyebabkan lebih eratnya suatu kerjasama, apabila satu saja benang terputus maka akan mengganggu jalannya kepentingan kelompok yang lain. Sebagai contoh dari Liberalisme Sosiologis ini adalah adanya organisasi WWF, Green Peace, Amnesti Internasional, dan masih banyak lagi. Kemudian Liberalisme Interdependensi, dimana asumsi dasar dari penganut teori ini adalah terfokus pada Perdagangan Internasional. Negara-negara industrialis cenderung lebih mementingkan kerjasama mengenai sumber-sumber yang mampu diolah secara bersama-sama dalam mecapai sebuah kesejahteraan. Sebagai contoh adalah adanya kerjasama kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau yang disebut dengan ASEAN Free Trade Area, yang telah disepakati dan dilaksanakan pada tahun 1993 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 33). Untuk selanjutnya adalah Liberalisme Institusional, perspektif ini lebih menekankan kepada adanya suatu Institusi Internasional yang mengaur jalnnya pola perilaku aktor-akator yang berperan dalam Hubungan Internasional. Institusi Internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat. mereka merupakan kepentingan yang independen, dan mereka dapat memajukan kerjasama antara negara-negara (Keohane1989; Young 1989; Rittberger 1993; Levy et. al dalam Jackson&Sorensen, 2009: 154). Sebagai contoh kasus adalah didirikannya ASEAN di kawasan Asia Tenggara yang dilatar belakangi oleh kegagalan-kegagalan organisasi kerjasama regional dimasa lalu karena berbagai konflik kepentingan sehingga mendorong negara-negara yang berada di kawasan ASEAN untuk kembali membangun kerjasama serta stabilitas kawasan. Sehingga resmi mulai Deklarasi Bangkok yang ditandatangani pada tanggal 8 Agusutus 1967 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 1-2). Terakhir adalah pandangan mengenai Liberalisme Republikan yang mana menekankan kepada nilai-nilai demokrasi. Negara-negara yang menganut paham demokrasi kecil kemungkinannya terlibat konflik dengan negara demokrasi lainnya. Menurut Michael Doyle (1983; 1986) melihat ada tiga elemen dasar kondisi negara-negara demokrasi liberal, yaitu Norma Demokratis atasresolusi damai, Hubungan Damai antara negara-negara demokratis, berdasarkan ataslandasan yang sama, dan yang ketiga adalah kerjasama ekonomi antara negara-negara demokrasi: hubungan Interdependensi. Jadi Kesimpulannya adalah bahwa perspektif Liberalisme adalah sebuah perspektif yang memiliki pandangan lain terhadap manusia yang bertentangan denga perspektif Realisme. Apabila Perspektif Realisme menyatakan bahwa manusia pada dasrnya adalah jahat, maka perspektif liberalisme menyatakan bahwa tidak selamanya manusia adalah jahat. Manusia pun pada dasrnya memiliki sifat yang kooperatif dan mampu bekerjasama. Jika perspektif realisme menekankan pada power untuk mencapai kepentingan dan perdamaian maka perspektif liberalisme menekankan pada interdepensi antar negara serta sifat kerjasamalah yang membuat setiap negara akan berpikir ulang untuk berkonflik dengan negara lain mengingat kondisi dimana saling membutuhkan satu sama lain. Liberalisme ini sebelumnya dikenal dengan Liberalisme Utopian. tokoh yang terkenal adalah presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson dengan empat belas poin perdamaian Wilson. Mengapa disebut Utopian, kaena isi dari perjanjian perdamaian serta idealisme Wilson terlalu sulit untuk di aplikasikkan di kehidupan yang sesungguhnya, sehingga tampak hanya seperti mimpi belaka. Terlebih setelah pecahnya perang dunia kedua yang menyebabkan Liberalisme ini seakan ‘habis’ karena telah dianggap gagal oleh kaum realis dalam memahami essensi Hubunga Internasional yang sesungguhnya. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, Liberalisme terbagi menjadi empat. Yaitu Liberalisme Sosiologis yang menekankan mengenai peranan masyarakat global, lalu Liberalisme Interdependensi yang menekankan pada perdagangan serta kerjasama pengolahan sumbersumber yanga ada. Dilanjutkan dengan Liberalisme Institusional, yang mengingatkan kepada Immanuel Kant akan pentiganya sebuah Institusi Internasional yang mengatur jalannya aktoraktor yang berpartisipasi dalam sistem politik internasional. Terakhir adalah Liberalisme Republikan dimana penekanan utama adalah pada pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi membuat negara-negara yang menganutnya engggan untuk melakukan konflik dengan negara demokrasi yang lain. Meskipun pada kenyataannya negara demokrasi pun tidaklah luput dari peperangan yang juga tidak kalah banyaknya dibandingkan negar yang tidak menganut sitem demokrasi tersebut. Aliran Pemikiran dalam Liberalisme terbagi menjadi 4 : Liberalisme Sosiologis Liberalisme sosiologi menganggap hubungan transnasional merupakan aspek hubungan internasional yang penting. James Rosenau (1980) mengatakan bahwa hubungan transnasional merupakan suatu proses di mana hubungan internasional dilaksanakan oleh pemerintah yang disertai juga oleh adanya hubungan antar-individu, antar-kelompok, dan antar-masyarakat swasta yang dapat dan memiliki konsekuensi penting bagi berlangsungnya berbagai peristiwa. Richard Cobden menambahkan bahwa dengan semakin kecilnya keterlibatan pemerintah akan akan menyebabkan semakin meningkatnya hubungan antar-bangsa di dunia. Konferensi kepemudaan seperti International Youth Conference adalah bentuk transnasionalisme antar individu yang berhasil mempertemukan pemuda-pemuda potensial dari berbagai bangsa untuk membicarakan solusi dari berbagai macam isu internasional kontemporer. Liberalisme Interdependensi Liberalisme interdependensi beranggapan bahwa perekonomian internasional yang meningkatkan interdependensi antar-negara akan menekan dan mengurangi konflik kekerasan antar-negara (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 148). David Mitrany (1966) berpendapat bahwa semakin besarnya tingkat interdependensi dalam hubungan internasional akan semakin mewujudkan perdamaian. Dalam interdependensi, aktor-aktor transnasional semakin penting, kekuatan militer merupakan instrumen yang kurang berguna, dan kesejahteraan menjadi tujuan utama bagi negara-negara. Proses integrasi dan interdependensi yang terjadi di dalamnya adalah cara untuk membentuk hubungan antar negara dan mewujudkan perdamaian. Itulah yang terjadi pada Uni Eropa, salah satu kawasan yang sebelumnya memiliki sejarah konflik yang panjang namun telah bergerak pada stabilitas politik serta kerjasama ekonomi yang kuat dan membawa pada pertumbuhan secara signifikan di kawasan (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 149). Liberalisme Institusional Dalam Liberalisme institusional adanya institusi internasional mampu mendorong dan memajukan kerjasama di antara negara-negara. Adanya organisasi internasional mampu menjadi seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara. Dengan adanya institusi internasional akan membantu mengurangi rasa saling curiga antara negara yang satu dengan negara yang lain (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 155). Rezim-rezim internasional seperti, WTO (World Trade Organization) atau organisasi regional seperti Uni Eropa dan ASEAN, telah secara inheren menciptakan iklim kerjasama dalam begitu banyak bidang. Liberalisme Republikan Liberalisme republikan menekankan nilai pentingnya demokrasi dalam hubungan internasional. Liberalisme republikan berpendapat bahwa negara demokrasi merupakan negara yang patuh pada hukum dan bersifat lebih damai. Hal tersebut kemudian tidak berarti negara demokrasi tidak pernah berperang sama sekali. Negara demokrasi tidak berperang dengan negara demokrasi lainnya. Liberalis republikan berpendapat bahwa perdamaian dan kerjasama akan dapat berlangsung dalam hubungan internasional apabila didorong pula dengan adanya kemajuan menuju dunia yang lebih demokratis (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 159). Kelebihan Liberalisme dapat menjelaskan aspek non negara sebagai aktor hubungan internasional. Individu ditambah berbagai macam kolektifitas individu menjadi suatu fokus analisis: yang menjadi paling utama adalah negara, tetapi juga perusahaan, organisasi dan asosiasi. Kaum liberal menegaskan bahwa tidak hanya konflik yang ada dalam masalah internasional, tetapi juga kerjasama dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 176). Kalangan liberal memiliki pandangan optimistis: ketika manusia melakukan kerjasama maka bukan hanya situasi menguntungkan yang didapat, tetapi juga dapat membawa kondisi ketergantungan dan meminimalisir perang. Ini yang sebenarnya juga dapat membawa hubungan internasional ke arah yang lebih baik. (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 177). Menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan demokrasi yang merupakan kebutuhan dasar dari setiap manusia. Kelemahan Sikap positif dan kooperatif sering membawa pada situasi yang kurang menguntungkan: menjadi pihak yang dirugikan karena regulasi-regulasi yang dihasilkan saat berusaha aktif tergabung di dalam suatu rezim internasional. Seperti negara-negara berkembang yang kalah bersaing dengan negara-negara maju dalam kerjasama dagang WTO. Pendapat liberalisme republikan mengenai negara demokrasi merupakan negara yang patuh pada hukum dan bersifat lebih damai seakan terbantahkan jika melihat masih rentannya kecurigaan di antara negara yang sama-sama demokratis sekalipun: seperti penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia pada Indonesia. Atau isu penyadapan pemerintah Amerika Serikat pada warganya sendiri adalah bukti besarnya kecurigaan di dalam negara demokratis yang sulit diterima akal sehat. Adanya anomali dalam upaya demokratisasi melalui peperangan: jika kalangan liberalis berpandangan bahwa demokrasi akan membawa dunia pada situasi damai, menjadi paradoksal ketika peperangan dijadikan upaya memaksakan kehendak melalui justifikasi demokratisasi. Kalangan liberal harus memikirkan cara-cara yang lebih damai dalam upaya demokratisasi untuk menyempurnakan teorinya. STUDI KASUS : KONFLIK LAUT CHINA SELATAN Pada Maret 2009, Pentagon melaporkan bahwa terdapat kapal milik China yang mengganggu kapal pengawasan dari United States Naval Ship (USNS) yang melintas di Laut China Selatan. Pada tanggal 26 Mei 2011 muncul pertikaian antara kapal Vietnam dengan tiga kapal marinir patroli China karena pemotongan kabel kapal. April 2012, kapal perang Filipina yang bernama Gregorio del Pilar bertikai dengan dua kapal pengawas China di kawasan Scarborough, yang diakui sebagai teritori kedua negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut merupakan bagian dari sebuah peristiwa besar yang dikenal sebagai Konflik Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan adalah konflik perbatasan yang melibatkan lima negara yang terdiri dari China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Konflik ini bermula di tahun 1992 ketika China yang pada waktu itu kekuatan ekonomi dan militernya mulai menanjak naik tiba-tiba mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah teritorinya. Permasalahan pun muncul karena empat negara lainnya, yakni Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei merasa bahwa wilayah yang diklaim oleh China merupakan teritori mereka juga. Permasalahan kemudian menjadi semakin parah karena Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis, sehingga negara-negara di luar kawasan tersebut, seperti Amerika Serikat, memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di Laut China Selatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi benturan kepentingan nasional dari negara-negara yang terlibat dalam Konflik Laut China Selatan. Pada dasarnya, benturan kepentingan merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi dalam sistem internasional anarkis. Sebab dalam sistem yang anarkis, tidak ada satu kekuatan besar yang dapat mengkoordinir semua aktor yang berinteraksi di dalamnya. Ilmu Hubungan Internasional selalu berusaha untuk memahami situasi tersebut melalui teori-teorinya. Salah satu teori paling awal yang digunakan sarjana Hubungan Internasional untuk menjelaskan dan memberikan solusi bagi situasi seperti yang terjadi dalam Konflik Laut China Selatan adalah Teori Liberalisme. Tulisan ini merupakan tulisan deskriptif yang akan menjelaskan bagaimana Liberalisme memandang konflik Laut China Selatan. Untuk melakukannya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu asumsi dasar dari teori Liberalisme terhadap situasi konflik di tingkat internasional. Setelah itu, penulis akan menjelaskan mengenai Konflik Laut China Selatan tersebut menggunakan asumsi dasar teori Liberalisme. Asumsi Dasar Liberalisme Liberalisme menyadari bahwa sistem internasional dimana negara-negara saling berinteraksi merupakan sebuah sistem yang anarkis. Namun, Liberalisme tidak mau menerima keadaan itu begitu saja. Mereka percaya, bahwa harus ada usaha yang dilakukan untuk membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis. Hal ini penting karena mereka beranggapan bahwa dunia yang tidak anarkis akan memungkinkan adanya kerjasama di antara negara-negara. Kerjasama penting karena mereka percaya bahwa hanya melalui kerjasamalah semua pihak akan merasa mendapat manfaat yang maksimal. Selain itu, kerjasama di antara negara sangatlah relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, perang bagi mereka bukanlah sebuah opsi karena hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak dan mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam memandang negara, Liberalisme memiliki asumsi bahwa setiap negara pada dasarnya adalah baik. Bahwa setiap negara pada dasarnya memiliki keinginan untuk hidup dengan damai dan tenteram bersama negara-negara lainnya. Kendati demikian, negara tetap tidak dapat mewujudkan keinginannya karena adanya rasa tidak percaya terhadap negara lainnya, sehingga sering terjadi konflik di antara negara karena kesalahpahaman. Dengan berlandaskan pada asumsi tersebut, Liberalisme berargumen bahwa solusi untuk mengurangi keanarkisan dunia adalah dengan meningkatkan rasa saling percaya di antara negara. Untuk meningkatkan rasa saling percaya, Liberalisme percaya bahwa dibutuhkan suatu institusi yang bersifat legal formal, namun tidak mengikat anggotanya yang mana merupakan negara. Institusi tersebut harus mampu menciptakan sebuah hukum yang pembuatannya dilandasi oleh kepentingan dan pandangan seluruh anggotanya. Dengan begitu, negara-negara pun akan mematuhi hukum yang dibuat dengan sukarela. Ide inilah yang kemudian membuat terciptanya organisasi internasional yang bernama LBB dan PBB. Pada prakteknya, Liberalisme menempatkan organisasi internasional sebagai aktor yang paling penting dalam sistem internasional. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka percaya organisasi internasional dapat menjadi sarana untuk melakukan komunikasi di antara negaranegara sehingga rasa saling percaya dapat tumbuh. Selain itu, mereka juga percaya bahwa hukum internasional yang dibuat oleh organisasi internasional dapat dijadikan landasan utama seandainya terjadi suatu konflik di antara negara-negara yang bertikai. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga asumsi dasar dari Liberalisme: (1) Penekanan pada kerjasama antarnegara; (2) Pandangan positif terhadap sifat alamiah negara; (3) Kepercayaan penuh terhadap fungsi dari organisasi dan hukum internasional. Konflik Laut China Selatanm Kerangka Berpikir Liberalisme Pada dasarnya, Konflik Laut China Selatan merupakan benturan kepentingan antara lima negara: China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Benturan kepentingan terjadi karena adanya sumber daya yang melimpah di area Laut China Selatan dan fakta bahwa area tersebut merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis. Liberalisme tidak akan mengelak bahwa terjadinya benturan kepentingan dalam situasi seperti itu adalah sesuatu hal yang wajar jika terjadi. Namun, Liberalisme tidak akan dapat mentolerir aksi China yang kemudian menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi benturan kepentingan tersebut. Secara normatif, Liberalisme akan mengatakan bahwa China seharusnya mengedepankan dialog dengan empat negara lain yang juga mengklaim wilayah Laut China Selatan. Dengan adanya dialog, Liberalisme percaya bahwa gerbang menuju kerjasama yang menguntungkan semua pihak akan terbuka. Terhadap empat negara selain China, Liberalisme akan menekankan bahwa China tidak memiliki niat jahat dalam hal klaim-nya terhadap Laut China Selatan. Liberalisme akan berpendapat bahwa klaim China terhadap Laut China Selatan terjadi karena adanya kesalahpahaman dari China yang tidak menyadari bahwa telah ada sebuah hukum internasional yang mengatur batas-batas dari wilayah lautan sebuah negara secara tegas. Menghadapi China yang seperti itu, Liberalisme akan menekankan bahwa tidak seharusnya Philipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei menjadi berprasangka buruk dan kemudian ikut menggunakan kekerasan. Sebaliknya mereka harus memulai proses dialog dengan China untuk menyelesaikan segala kesalahpahaman yang telah terjadi. Oleh sebab itu, terkait usaha Indonesia yang berusaha untuk mempersatukan Philipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia di bawah ASEAN agar dapat melakukan proses dialog dengan China akan sangat didukung oleh Liberalisme. Sebagai solusi konkret, Liberalisme akan menyarankan negara-negara yang berkonflik untuk membawa kasusnya ke Sidang Majelis Umum PBB agar seluruh dunia dapat memberikan pendapatnya terkait konflik tersebut. Kemudian, untuk membuat sebuah keputusan yang mengikat, maka negara-negara tersebut harus membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional, khususnya Mahkamah Internasional Kelautan, agar Konflik Laut China Selatan dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam hal ini, United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), yang mengatur mengenai pembagian batas tegas wilayah teritori kelautan negara, dipandang Liberalisme sebagai instrumen yang paling objektif untuk menyelesaikan Konflik Laut China Selatan. Melalui penilaian UNCLOS dan hasil persidangan, maka akan ditemukan sebuah keputusan mengikat yang akan memberikan keuntungan bagi semua pihak. Oleh sebab itu, Liberalisme akan sangat mendukung usaha Philipina yang bertekad untuk membawa Konflik Laut China Selatan ke Mahkamah Internasional agar diselesaikan melalui UNCLOS. Dari pemaparan di atas dapat ditemukan tiga argumen utama yang akan diajukan Liberalisme terkait Konflik Laut China Selatan: (1) China tidak seharusnya menggunakan kekerasan, melainkan harus mengedepankan dialog dan kerjasama; (2) Negara-negara yang bertikai tidak boleh berprasangka buruk kepada China dan harus mengedepankan dialog untuk menyelesaikan kesalahpahaman; (3) Negara-negara yang berkonflik harus membawa kasus tersebut ke tingkat PBB agar dapat ditemukan satu keputusan yang menguntungkan semua pihak. dala Kesimpulan Dari semua asumsi dasar dan argument yang dimiliki oleh Liberalisme untuk menjelaskan Konflik Laut China Selatan, dapat disimpulkan bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang sangat bertentangan dengan logika umum kebanyakan orang. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka masih mengharapkan China untuk tidak menggunakan kekerasan kendatipun mereka memang kuat secara militer atau dari bagaimana mereka bersikeras mengatakan bahwa China tidak memiliki maksud jahat kendatipun mereka jelas-jelas melakukan kekerasan. Melalui kesimpulan ini, bukan berarti bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang berusaha lari dari kenyataan atau utopis menurut teori Realisme. Namun, Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang berusaha untuk mengubah status quo ke arah yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka pemikiran mereka berusaha untuk membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis, dimana negara-negara dapat menyelesaikan segala sesuatunya melalui kerjasama atau hukum. DAFTAR PUSTAKA Dugis, Vinsensio. 2013. Liberalisme. Materi dibahas dan didiskusikan pada kuliah Teori Ilmu Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga. 14 Maret 2013. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Sekretariat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. 2012. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Burchill, Scoot et. Al. 2005. Theories of International Relations (Third Edition). New York: Palgrave Macmillan. Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. Rekha Kersana adalah mahasiswa pascasarjana Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.