FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENULARAN PENYAKIT KUSTA

advertisement
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENULARAN PENYAKIT KUSTA
BERDASARKAN PENGUKURAN KADAR ANTIBODI ANTI PGL-1 PADA
NARAKONTAK DI KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP
Mujib Hannan
Leprosy is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae and primarily attacks
the peripheral nerves and then causes manifestation on the skin. in certain types, it also
attacks the upper respiratory tract mucosa. Leprosy is a problem faced by most people of the
world especially in developing countries that has yet to be resolved in accordance with the
target population prevalence of less than 1/10.000.
The purpose of this study is to analyze the factors that influence the transmission of
leprosy based on measurement of antibody levels of anti PGL-1 in contact in District
Pragaan Sumenep.
The study design using crossectional approach. Sample is taken with simple random
sampling technique as much as 60 respondents who had contact with MB leprosy patients in
District Pragaan Sumenep in 2011 with a maximum radius of 10 meters. The research data
was taken with a sampling of peripheral blood in the fingertips of contact to know the PGL-1
Positive infected or not. The observations on the respondent is then performed to determine
the characteristics of knowledge, education, gender, age, economic status , nutritional status,
water use, residential density, and contacts (old contacts, intensive contacts and household
contacts). To see the influence of each variable used Logistic Regression analysis. The result
of serological examination of IgM antibodies against PGL-1 on all respondents 15% of
respondents obtained a positive result of contracting leprosy subclinical.
The result shows there is no influence of knowledge, education, gender, age,
economic status, nutritional status, water use, residential density and household contacts with
leprosy transmission in the District Pragaan Sumenep. In other way, intensive contact values
obtained P values 0.027 and p value of long contact is 0.000. It can indicate that there is the
influence of intensive contact and prolonged contact against the transmission of leprosy in the
district Pragaan tahun2011 Sumenep.
After learning of the results of this study it is advisable to people to reduce the
frequency of contact with MB leprosy patients to avoid the transmission process, and
advocate on health care in order to increase health promotion dan prevention efforts so that
the leprosy can be eliminated.
PENDAHULUAN
Langkah
dalam
mewujudkan
pembangunan di bidang kesehatan salah
satunya adalah pemberantasan penyakit
menular. Penyakit menular merupakan
masalah yang belum dapat diselesaikan
sampai saat ini, dimana salah satu penyakit
menular yang menjadi masalah adalah
penyakit kusta. Kusta merupakan penyakit
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Penyakit kusta secara primer
Pembangunan di bidang kesehatan
bertujuan untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusia dan lingkungan serta
berlandaskan paradigma sehat, yaitu
pembangunan pada setiap bidang yang
berwawasan sehat dengan memberikan
prioritas
dalam
upaya
peningkatan
kesehatan, promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif sebagai ujung tombak untuk
mencapai Indonesia Sehat.
73
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
menyerang syaraf tepi kemudian terdapat
manifestasi dikulit, pada tipe tertentu dapat
juga menyerang mukosa dan saluran nafas
bagian atas (hidung, faring, laring) juga
kelenjar limfe, hati, mata, dan testis
(Mansjoer,dkk., 2000).
dapat diperkirakan bahwa penyakit kusta
akan hilang secara alamiah (S Rimayani,
2007)
Pada tahun 2010 penderita baru yang
ditemukan di propinsi Jawa timur sebanyak
3.305 penderita dan Jawa Timur termasuk
peringkat pertama jumlah penderita di
Indonesia. (Dinkes Jatim, 2010).
Penanggulangan
penyakit
kusta
melibatkan banyak hal yang tidak hanya
menyangkut problem medis tetapi juga
masalah sosial dan ekonomi. Hal ini sampai
sekarang masyarakat masih memandang
kusta berbeda dengan penyakit lain. Kusta
dianggap penyakit yang mudah menurun,
sehingga
sangat
ditakuti
sehingga
penderitanya harus disingkirkan. Alasan dan
pendapat untuk menyingkirkan mereka
bukan semata-mata takut tertular saja, tetapi
perasaan ngeri dan takut melihat cacat yang
diakibatkan penyakit kusta ini (Agusni,
2001)
Kejadian penyakit kusta berdasarkan
data di Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumenep menunjukkan bahwa prevalensi
dan penemuan penderita baru penyakit kusta
per 10.000 penduduk dapat dilihat pada
gambar 1.1 dibawah ini.
Penyakit kusta masih menjadi
permasalahan yang dihadapi oleh sebagian
besar masyarakat dunia terutama di negara
berkembang. Pada awal tahun 2009,
prevalensi kusta secara global adalah
213.036, dan jumlah kasus baru yang
ditemukan 254.525. Pada tahun 2009
Indonesia merupakan peringkat ketiga
penyumbang penyakit kusta di dunia dengan
jumlah
17.723
penderita,
sementara
peringkat kesatu India sebanyak 137.685
penderita dan diikuti Brazil sebagai
peringkat kedua dengan jumlah 39.125
penderita. Risiko penyebab lain belum
diketahui secara pasti, diperkirakan faktor
lingkungan, keadaan sosial budaya dan
ekonomi cukup berperan.
Berdasarkan gambar 1.1 diatas
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
kusta di Kabuapaten Sumenep mengalami
penurunan yaitu pada tahun 2010 penderita
baru sebanyak 580 (5,57) penderita kusta.
Kabupaten Sumenep termasuk peringkat
kedua kejadian kusta di Jawa Timur setelah
Kabupaten Sampang.
Meskipun pada tahun 2000 Indonesia
sudah dapat mencapai eliminasi kusta, dan
tahun 2003, angka prevalensi mencapai
0,86/10.000 penduduk. Namun angka
prevalensi kurang dari 1/10.000 ini hanya
pada beberapa propinsi dan Kabupaten/Kota,
yaitu 18 dari 30 Propinsi dan 325 dari 440
Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi.
Eleminasi yaitu suatu kondisi dimana
penderita kusta tercatat angka prevalensi
kurang dari 1 per 10.000 penduduk sehingga
Penemuan penderita kusta tersebar
ada di 30 Wilayah kerja Puskesmas yang ada
di Kabupaten Sumenep, namun Puskesmas
yang prevalensinya tinggi dan penemuan
penderita baru pada tahun 2010 peringkat
satu ada di Wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan. Prevalensi dan penemuan penderita
baru penyakit kusta per 10.000 penduduk di
wilayah kerja UPT Puskemas Pragaan
74
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada
gambar 1.2 dibawah ini.
mengidentifikasi faktor-faktor risiko dari
orang yang tertular penyakit kusta dan juga
pendekatan bakteri penyebab (M. Leprae)
hal ini salah satu komponennya adalah PGL1 yang merupakan antigen yang dapat
menimbulkan respon imun antibodi spesifik
dalam tubuh kita, maka dapat dilakukan
pemeriksaan serologis Phenolic glicolipid -1
(PGL-1) dengan cut off sekitar 600 u/ml
dengan serum sedangkan kertas saring cut off
300,2 u/ml. PGL-1 merupakan trisakarida
terminal yang menjadi epitop untuk memicu
antibodi spesifik terhadap M. leprae. Deteksi
antibodi terhadap PGL-1 telah digunakan
secara luas untuk survey komunitas, kontak
penderita kusta, diagnosis dini, monitoring
pengobatan,
monitoring
reaksi
dan
mengidentifikasi penderita yang mengalami
relaps. (S.Rimayani, 2007)..
Berdasarkan gambar 1.2 diatas
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan Kabupaten Sumenep pada tahun
2010 mengalami penurunan sebesar 9,76 dan
penderita baru sebanyak 70 (13,40) penderita
kusta. Wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan dapat dikatakan daerah penemuan
yang tiap tahunnya tertinggi dan tetap di
wilayah tersebut sehingga dapat dikatakan
daerah Endemis karena penderita dari tahun
ke tahun ada atau menetap di wilayah
tersebut.
Berdasarkan penemuan kasus baru
yang ada di Kabupaten Sumenep dan di
Wilayah kerja UPT Puskesmas Pragaan
Kabupaten Sumenep dari tahun 2008, 2009
terjadi peningkatan kasus dan pada tahun
2010 terjadi penurunan, akan tetapi
prevalensinya masih tinggi yaitu sebesar
9,76/10.000 penduduk. Keadaan tersebut
memungkinkan adanya sumber penularan
yang masih tinggi mengingat masa inkubasi
yang sangat lama dan masalah tersebut
masih belum memenuhi target secara global
karena prevalensi yang ingin dicapai kurang
dari 1 per 10.000 penduduk. Namun
kenyataan yang terjadi di Kabupaten
Sumenep dan di wilayah kerja UPT
Puskesmas Pragaan masih belum mencapai
target dilihat dari peningkatan prevalensi dan
penemuan kasus baru yang terus meningkat.
Berdasarkan tempat penemuan penyakit
kusta yang ada di Kabupaten Sumenep
bahwa wilayah kerja yang prevalensinya
tinggi ada di wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu
tempat ke tempat lain sampai tersebar
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke
Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orangorang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara maupun dalam negara sendiri
berbeda-beda.
Banyaknya penemuan penderita baru
dan prevalensi kusta masih tinggi diperlukan
pemutusan mata rantai penularan. Salah satu
upaya dalam melakukan pemutusan mata
rantai yaitu melalui pendekatan pencegahan
penularan,
penemuan orang
tertular,
pengobatan pada penderita, mengurangi
kontak pada kelompok orang yang
mempunyai kemungkinan besar tertular
sehingga penelitian ini berfokus untuk
Cara penularan penyakit kusta
melalui saluran pernafasan dan kontak kulit
namun timbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu di
takuti meskipun cara penularan di dalam
rumah tangga dan kontak/hubungan dekat
75
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
dan tergantung dari beberapa faktor antara
lain sumber penularan penyakit kusta, faktor
kuman kusta, faktor daya tahan tubuh
manusia, faktor genetik, umur, status
ekonomi, status gizi dan sanitasi rumah,
kepadatan penduduk dalam suatu daerah,
jenis kelamin, kontak individu dengan
penderita kusta lama, letak geografis,
pengetahuan individu tentang penyakit kusta,
iklim dan kelembaban serta air yang
digunakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu hasil pemeriksaan
Kontak Intensif tahun 2004 di Kabupaten
Sumenep bahwa jumlah penderita yang
ditemukan lebih banyak yang merupakan
penderita kontak tetangga 188 (83,6%) dari
pada kontak serumah 37 (16,4%) (Dinkes
Sumenep, 2004).
menggunakan teknik simple random
sampling (Bhisma murti, 2010). Cara
pengambilan sampel yaitu dengan cara
mendata jumlah anggota keluarga dari 30
penderita kusta MB yang kontak dalam
serumah selanjutnya diambil satu dengan
teknik lotrey, dan untuk yang kontak
dengan tetangga radius maksimal 10 meter
juga didata jumlah anggota keluarganya
selanjutnya diambil satu sebagai responden
dengan teknik lotrey.
Variabel
independent
dalam
penelitian ini yaitu: Pengetahuan, umur,
jenis kelamin, pendidikan, kontak (kontak
intensif, lama kontak, kontak serumah),
status gizi, status ekonomi, kepadatan
penghuni, penggunaan air dan variable
dependentnya adalah Penularan Penyakit
Kusta Berdasarkan Pengukuran Kadar
Antibodi Anti PGL-1 Pada Narakontak.
Data dikumpulkan melalui kuesiner
sedangkan data variable dependennya
pengambilan sampel darah dengan cara
pengambilan dari ujung jari dengan
memakai kertas saring selanjutnya dibawa
untuk diukur di Laboratorium TDC Unair
Surabaya untuk dilihat positif tertular atau
tidak.
Sedangkan
untuk
melihat
pengaruhnya yaitu dengan cara memakai uji
statistic regresi logistic dan dari beberapa
variable juga dilihat mana model yang fit
yang paling berpengaruh terhadap penularan
penyakit kusta.
Dari latar belakang diatas maka
peneliti membatasi berdasarkan variabel
orang, waktu dan tempat yaitu “Bagaimana
Analisis
faktor
yang
mempengaruhi
penularan penyakit kusta berdasarkan
pengukuran kadar antibodi anti PGL-1 Pada
Narakontak
di
Kecamatan
Pragaan
Kabupaten Sumenep Tahun 2011”?.
Tujuan penelitian ini untuk Menganalisis
faktor yang mempengaruhi penularan
penyakit kusta berdasarkan pengukuran
kadar antibodi anti PGL-1 pada narakontak
di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep
Tahun 2011.
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
1. Penularan penyakit kusta
Jenis
penilitian
ini
yaitu
observasional Analitik dan Rancang bangun
yang digunakan yaitu studi Cross-Sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
individu yang kontak dengan penderita
kusta MB di wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan Kabupaten Sumenep Tahun 2011.
sampel dalam penelitian ini sebanyak 60
yaitu 30 dengan kontak serumah dan 30
dengan kontak tetangga.
Kadar
Antibodi
Anti
PGL-1
merupakan indikator telah terjadinya
penularan Penyakit Kusta secara dini. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa proporsi
responden yang tidak tertular penyakit kusta
adalah lebih tinggi (85%) dibanding
responden yang tertular Penyakit Kusta
(15%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2
dibawah ini:
Adapun teknik dalam pengambilan
sampel dalam penelitian ini yaitu dengan
76
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
4. Umur terhadap penularan
5. Jenis Kelamin terhadap penularan
2. Pengetahuan terhadap penularan
3. Pendidikan terhadap penularan
6. Status ekonomi terhadap penularan
77
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
7. Status gizi terhadap penularan
10. Kontak intensif terhadap penularan
11. Lama kontak terhadap penularan
8. Kepadatan hunian terhadap penularan
12. Kontak serumah terhadap penularan
9. Penggunaaan air terhadap penularan
78
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
13. Model Regresi Logistik Multivariat
faktor yang mempengaruhi penularan
penyakit kusta
Dari beberapa variabel faktor yang
mempengaruhi penularan penyakit kusta
pada narakontak di Kecamatan Pragaan
Kabuapten Sumenep Tahun 2011,
dengan menggunakan uji analisis
Regresi Logistik
multivariat dengan
memasukkan semua varibel dan
memakai metode Backward Wald
didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Pada tabel omnibus Tests of Model
Coefficients terlihat nilai signifikansi
model sebesar 0,000 < alpha 0,05 yang
berarti Ho ditolak, sehingga dapat
disimpulkan model yang terbentuk layak
untuk variabel lama kontak
2. Dari tabel model summary berdasarkan
Coefisien Nagel R square diperoleh
bahwa prediktor lama kontak, mampu
menjelaskan 70,6%.
3. Dari tabel Classification nilai ketepatan
klasifikasi model adalah sebesar 95%.
4. Beberapa
model
faktor
yang
mempengaruhi penularan penyakit kusta
pada narakontak yang masuk dalam
model hanya satu variabel yaitu Lama
Kontak, dapat dilihat sebagai berikut:
Variabel in the Equation
Varia B
SE Wal D Sig
Exp(
bel
d
f (pva B)
lue
Lama
1,2 16,9 1 0,00 196,
konta 5,2 83 31
0
000
k
78
Konst 1.0 14,8 1 0,08 0,02
anta
3,8 10 43
0
0
92
)
=
)
= 0,79
,
Dari model Regresi Logistik
tersebut
diatas
bahwa
nilai
probabilitas untuk tertular penyakit
kusta terhadap narakontak yang Lama
Kontak ≥ 3 tahun dengan penderita
adalah sebesar 79,0%.
PEMBAHASAN
A. Penularan Penyakit Kusta
Hasil pemeriksaan Kadar Antibodi Anti
PGL-1 (IgM) pada 60 responden yang
kontak dengan penderita kusta dengan
nilai titer kadar Antibodinya ≥302,5u/ml
yang terindikasi positif tertular penyakit
kusta subklinik sebanyak 9 responden
(15%) dan yang negatif sebanyak 51
responden (85%). Hasil penelitian
tersebut berbeda dengan penelitian yang
pernah dilakukan oleh Erlyati (2007)
dimana telah didapatkan angka yang
terindikasi positif tertular penyakit kusta
subklinik pada anak sekolah yang berada
di pondok pesantren didapatkan sebesar
44,5%.
B. Pengaruh tingkat pengetahuan
Hasil analisis data didapatkan bahwa
tidak
terdapat
pengaruh
tingkat
pengetahuan terhadap penularan penyakit
kusta subklinik pada narakontak di
wilayah kerja UPT Puskesmas Pragaan
Kabupaten Sumenep. Berdasarkan dari
hasil observasi diatas dimungkinkan
karena dari beberapa responden yang
positif tertular penyakit kusta subklinik
ini masih terdapat responden yang
berpengetahuan baik tertular penyakit
kusta subklinik. Hal ini sejalan dengan
penelitian sejenis lainnya seperti
penelitian yang dilakukan oleh Erlyati
(2007)
di
wilayah
yang
sama
menunjukkan bahwa responden yang
mempunyai pengetahuan baik dan
ternyata positif kusta sebesar 54,2% dari
24 responden dan juga dinyatakan tidak
Adapun model Regresi Logistik
dan probabilitas untuk terjadinya
penularan
penyakit
kusta
pada
narakontak dari beberapa variabel
tersebut sebagai berikut:
( )
1
=
)
1+ ( . ) . (
79
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
terdapat pengaruh pengetahuan terhadap
kejadian penyakit kusta subklinik.
Melihat dari hasil penelitian tersebut
diatas dimungkinkan karena daerah
penelitian merupakan daerah endemis
kusta yang mana pengetahuan responden
tidak tertalu berpengaruh
Departemen Kesehatan. Hasil uji
statistik didapatkan bahwa faktor
umur tidak berpengaruh terhadap
penularan penyakit kusta subklinik
pada narakontak di wilayah kerja
UPT Puskesmas Pragaan Kabupaten
Sumenep. Berdasarkan dari hasil
penelitian tersebut dimungkinkan
karena wilayah penelitian sudah
merupakan daerah endemis kusta
sehingga faktor umur tidak begitu
penting karena penyakit kusta ini
dapat menyerang pada semua
golongan umur.
C. Pengaruh
tingkat
pendidikan
terhadap penularan penyakit kusta
pada narakontak
Hasil analisis penelitian ini didapatkan
bahwa tingkat pendidikan responden
tidak terdapat pengaruh terhadap
penularan
penyakit
kusta
pada
narakontak di wilayah kerja UPT
Puskesmas
Pragaan
Kabupaten
Sumenep. Melihat hasil penelitian
tersebut diatas dimungkinkan karena
dari beberapa responden yang positif
tertular penyakit kusta subklinik ini
masih
terdapat
responden
yang
berpendidikan tinggi tertular penyakit
kusta subklinik. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan penelitian yang
pernah dilakukan oleh Imamul (2005)
dinyatakan bahwa terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan dengan
terjadinya penyakit kusta subklinik.
Seharusnya semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka akan
menimbulkan tingkat pemahaman yang
lebih baik terhadap kesehatan, dan pada
akhirnya orang tersebut makin tahu
bagaimana cara mencegah terjadinya
suatu penyakit pada dirinya, tapi data
telah menunjukkan bahwa terdapat
kenyataan yang terbalik dari persepsi
tersebut.
Studi kohort oleh Noordeen
SK
(1994)
diketahui
bahwa
kelompok umur 15- 29 tahun
merupakan puncak insiden terjadinya
penyakit kusta. Hal tersebut sangat
sesuai dengan teori bahwa kusta
memiliki periode masa inkubasi yang
panjang
dan
lama,
sehingga
memungkinkan penyakit kusta terjadi
pada kelompok usia tua. Pada
penelitian lain juga yang dilakukan
oleh Mudatsir (2006) di pulau poteran
sumenep bahwa penderita kusta
terbanyak pada umur 40-59 tahun.
E. Pengaruh jenis kelamin terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak
di
Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep
Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh bahwa tidak terdapat
pengaruh jenis kelamin terhadap
penularan penyakit kusta di wilayah
kerja UPT Puskesmas Pragaan
Kabupaten Sumenep. Dari hasil
penelitian ini dimungkinkan karena
antara jenis kelamin laki-laki yang
positif tertular penyakit kusta hampir
sama jumlahnya dengan jenis
kelamin perempuan, dalam hal ini
bahwa laki-laki yang positif sebanyak
4 orang dan perempuan yang positif
sebanyak 5 orang.
D. Pengaruh
umur
terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak
di
Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep
Pada
penelitian
ini
penggolongan umur tersebut sesuai
dengan
penggolongan
umur
umumnya
ada
pada
program
pemberantasan penyakit kusta yang
selama
ini dilaksanakan oleh
pemerintah yang dalam hal ini
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sri
80
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Rimayani
(2007)
di
daerah
Jeneponto Sulawesi Selatan yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara
jenis
kelamin
laki-laki
dan
perempuan
dengan
kejadian
seropositif pada anak sekolah. Hasil
dari penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang pernah dilakukan
oleh Fine at all (1988) yang
menyatakan bahwa frekuensi infeksi
penyakit kusta subklinik lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan lakilaki. Hal yang sama juga dari hasil
penelitian Imamul M (2005) di
wilayah kerja UPT Puskesmas
Talango
Kabupaten
Sumenep,
bahwa jenis kelamin laki-laki lebih
banyak 16 kasus kusta subklinik
dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan 12 kasus kusta subklinik.
bahwa faktor ekonomi disini bukan
merupakan faktor yang mencetus
terjadinya penularan kusta pada
narakontak.
G. Pengaruh status gizi terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak
di
Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep
Keadaan
malnutrisi atau
kekurangan kalori, protein, vitamin,
zat besi dan lain-lain, akan
mempengaruhi daya tahan tubuh
seseorang terhadap penyakit termasuk
penyakit kusta. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
proporsi
responden yang status gizinya baik
justru terdapat positif tertular
penyakit kusta. setelah dilakukan
analisis uji statistik tidak ditemukan
pengaruh status gizi terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak di wilayah keraja UPT
Puskesmas
Pragaan
Kabupaten
Sumenep. Hasil penelitian tersebut
dimungkin karena adanya sumber
penularan lain yang sampai saat ini
berdasarkan informasi dari tenaga
kesehatan yang ada di wilayah kerja
UPT Puskesmas Pragaan masih
belum jelas penyebab proses dari
sumber
penularannya
kepada
narakontak.
F. Pengaruh
sosial
ekonomi
terhadap penularan penyakit
kusta
pada
narakontak
di
Kecamatan Pragaan Kabupaten
Sumenep
Hasil
penelitian
ini
didapatkan tidak terdapat pengaruh
pendapatan keluarga (sosial ekonomi)
terhadap risiko penularan penyakit
kusta pada narakontak di wilayah
kerja UPT Puskesmas Pragaan
Kabupaten
Sumenep.
Artinya
responden dengan pendapatan rendah
atau tinggi pada narakontak tidak
berisiko untuk tertular penyakit kusta
subklinik.
H. Pengaruh
penggunaan
air
terhadap penularan penyakit
kusta
pada
narakontak
di
Kecamatan Pragaan Kabupaten
Sumenep
Hasil analisis uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat
pengaruh antara penggunaan air
sumber bersama terhadap penularan
penyakit kusta pada narakontak di
wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan Kabupaten Sumenep. Hal
tersebut
dikarenakan
bahwa
masyarakat di tempat penelitian rata rata menggunakan air sumber
bersama.
Hasil
penelitian
dimungkinkan
bahwa
proses
penularan bukan karena faktor
ekonomi saja tapi, berdasarkan dari
hasil pengamatan atau observasi
ternyata masyarakat di wilayah kerja
UPT
Puskesmas Pragaan ini
mempunyai
kebiasaan
sering
berkumpul pada waktu sore hari
dengan penderita dan juga sering
berkumpul pada waktu malam hari,
sehingga secara tidak langsung
81
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Penelitian lain telah melakukan
penelitian langsung pada sampel air
penduduk yang dilakukan oleh
Mudatsir (2006) di Pulau Poteran
Kabupaten Sumenep didapatkan dari
201 sampel yang diperiksa dengan
tehnik PCR telah teridentifikasi 74
isolat mycobacterium leprae yang
terdiri dari sumber air penduduk, 26
isolat
dari
hapusan
hidung
narakontak kusta dan 24 isolat dari
sayatan kulit penderita kusta, akan
tetapi dari hasil penelitian yang
dilakukan Mudastir tersebut juga
tidak bermakna atau tidak terdapat
pengaruh.
I.
kontak dengan
subklinik.
kejadian
kusta
J. Pengaruh lama kontak terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak
di
Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep
Penelitian ini diperoleh hasil
terdapat pengaruh lama kontak
terhadapat penularan penyakit kusta
pada narakontak di Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Erliyati (2007)
di daerah yang sama yaitu di
Kecamatan Pragaan Pada Anak
pondok pesantran didapatkan bahwa
terdapat hubungan antara lama
kontak responden dengan kejadian
kusta subklinik. Hal yang sama pula
juga dari hasil penelitian Imamul
(2006) di Kabupaten sumenep
Kecamatan Talango ternyata terdapat
pengaruh antara lama kontak dengan
kejadian kusta.
Pengaruh
kontak
intensif
terhadap penularan penyakit
kusta
pada
narakontak
di
Kecamatan Pragaan Kabupaten
Sumenep
Analisis data didapatkan hasil
bahwa antara responden yang kontak
intensif terhadap penularan penyakit
kusta
di
Kecamatan
Pragaan
Kabupaten
Sumenep
terdapat
pengaruh antara kontak intensif
terhadap penularan penyakit kusta
subklinik. Hasil penelitian ini sesuai
dengan teori yang ada dimana
penularan kusta terjadi apabila
M.lepare yang utuh (hidup) keluar
dari tubuh penderita dan masuk
kedalam
tubuh
orang
lain
dikarenakan narakontak tersebut
mempunyai kecenderungan sering
kontak (frekeunsi kontak lebih
intensif), (Depkes, 2007).
Derajat dan lama kontak
tampaknya merupakan hal yang
penting
sebagai
faktor
risiko
penularan penyakit kusta yang
dikarenakan tingginya dosis paparan
atau lamanya kontak (Mehra at al.,
1984). Paparan yang terlalu lama
kontak dengan penderita akan
menyebabkan infeksi berat dan
tegantung dari daya tahan tubuh
manusia, dimana tubuh manusia ada
yang mempunyai kerentanan tubuh
yang tinggi atau daya tahan tubuh
yang rendah sehingga setelah
kemasukan kuman kusta dapat timbul
tanda-tanda dari penyakit kusta. Hal
tersebut terbukti dengan tingginya
angka insiden dan prevalensi di
wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan Kabupaten Sumenep.
Frekuensi kontak yang sering
akan mengakibatkan risiko lebih
tinggi untuk tertular penyakit kusta
dibandingkan dengan orang yang
jarang kontak dengan penderita kusta.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sri
Rimayani (2007) di Jeneponto
Sulawesi Selatan yang menjelaskan
bahwa terdapat hubungan keberadaan
82
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
dapat dilihat bahwa proporsi dari
hasil penelitian ini didapatkan bahwa
responden yang lama kontak, positif
tertular penyakit kusta lebih tinggi
sebesar 80% dibandingkan dengan
responden yang tidak lama kontak
(kurang dari 3 tahun).
K. Pengaruh lama kontak terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak
di
Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep
Penelitian ini diperoleh hasil
terdapat pengaruh lama kontak
terhadapat penularan penyakit kusta
pada narakontak di Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Erliyati (2007)
di daerah yang sama yaitu di
Kecamatan Pragaan Pada Anak
pondok pesantran didapatkan bahwa
terdapat hubungan antara lama
kontak responden dengan kejadian
kusta subklinik. Hal yang sama pula
juga dari hasil penelitian Imamul
(2006) di Kabupaten sumenep
Kecamatan Talango ternyata terdapat
pengaruh antara lama kontak dengan
kejadian kusta.
KESIMPULAN
1. Penularan penyakit kusta berdasarkan
pengukuran antibody anti PGL-1
pada narakontak di Kecamatan
Pragaan Kabupaten Sumenep tahun
2011 sebesar 15 % tertular penyakit
kusta subklinik.
2. Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan, pendidikan, umur, jenis
kelamin tidak berpengaruh terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak di Kecamatan Pragaan
Kabupaten Sumenep tahun2011
3. Faktor
Status Ekonomi tidak
berpengaruh terhadap penularan
penyakit kusta pada narakontak di
Kecamatan
Pragaan
Kabupaten
Sumenep tahun 2011
4. Faktor status gizi tidak berpengaruh
terhadap penularan penyakit kusta
pada narakontak di Kecamatan
Pragaan
Kabupaten
Sumenep
tahun2011
5. Faktor kepadatan hunian tidak
berpengaruh terhadap penularan
penyakit kusta pada narakontak di
Kecamatan
Pragaan
Kabupaten
Sumenep tahun 2011
6. Faktor
penggunaan
air
tidak
berpengaruh terhadap penularan
penyakit kusta pada narakontak di
Kecamatan
Pragaan
Kabupaten
Sumenep tahun2011
7. Faktor lama kontak ≥ 3 tahun, kontak
intensif,
berpengaruh
terhadap
penularan penyakit kusta pada
narakontak di Kecamatan Pragaan
Kabupaten Sumenep tahun 2011,
sedangkan kontak serumah tidak
berpengaruh terhadap penularan
penyakit kusta pada narakontak di
Derajat dan lama kontak
tampaknya merupakan hal yang
penting
sebagai
faktor
risiko
penularan penyakit kusta yang
dikarenakan tingginya dosis paparan
atau lamanya kontak (Mehra at al.,
1984). Paparan yang terlalu lama
kontak dengan penderita akan
menyebabkan infeksi berat dan
tegantung dari daya tahan tubuh
manusia, dimana tubuh manusia ada
yang mempunyai kerentanan tubuh
yang tinggi atau daya tahan tubuh
yang rendah sehingga setelah
kemasukan kuman kusta dapat timbul
tanda-tanda dari penyakit kusta. Hal
tersebut terbukti dengan tingginya
angka insiden dan prevalensi di
wilayah kerja UPT Puskesmas
Pragaan Kabupaten Sumenep.
Jika dilihat dari risiko
penularannya didapatkan bahwa
risiko untuk tertular penyakit kusta
bagi orang yang lama kontak sebesar
196 kali lebih besar dibandingkan
dengan orang yang tidak lama kontak
terhadap penderita kusta. Hal tersebut
83
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Kecamatan
Pragaan
Sumenep tahun 2011
Kabupaten
Pengobatan Penyakit
Tokyo: Jepang
Kusta,
Agusni I, (2001), Kusta Stadium Subklinik
dan
kedudukannya
dalam
Epidemiologi Penyakit Kusta,
Majalah Kedokteran Indonesia
volume 51, (Januari).
SARAN
1. Peningkatan
promosi
kepada
masyarakat tentang upaya-upaya
penanggulangan dan pencegahan
penyakit kusta terutama pada lama
kontak ≥ 3 tahundan kontak yang
terlalu sering dengan penderita kusta.
2. Peningkatan pelayanan kesehatan
terutama pada penemuan dan
pengobatan penderita sedini mungkin
untuk mencegah penularan kusta
pada narakontak, dan memotivasi
penderita agar melakukan pengobatan
secara teratur tanpa terputus.
3. Konsep dalam proses penularan
penyakit kusta di wilayah kerja UPT
Puskesmas Pragaan ini tidak fokus
pada penularan dalam rumah tapi
memungkin
penularannya
pada
tetangga yang ada disekitarnya
terutama pada tetangga
yang
mempunyai frekuensi ketemu atau
kontak intensif dengan penderita dan
juga dapat dilihat dari segi derajat
lama kontak > 3 tahun dengan
penderita. Selain itu juga bahwa
proses penularan bisa saja pada air
yang digunakan oleh penduduk
setempat dan juga pada tanah.
4. Konsep
untuk
penanggulangan
penyakit kusta bukan hanya pada
focus pengobatan saja, namun harus
mulai melihat ke depan dengan
melakukan intervensi pada faktorfaktor risiko penyebab penyakit kusta
sebagai upaya pencegahan, misalnya
melakukan deteksi dini melalui upaya
pemeriksaan serologis Anti PGL-1.
Agusni I, (2004), Studi M Leprae dari Alam
Lingkungan di daerah Endemik
Kusta, Majalah Kedokteran
Indonesia Volume 54 (agustus)
Agusni, I; Izumi, S; Adriaty, D; Iswahyudi.
(2004) Study Mycobacterium
leprae dari Alam Lingkungan di
daerah endemic Kusta, Majalah
Kedokteran Indonesia Volume
58 (Agustus)
Amiruddin, (2003), Ilmu Penyakit Kusta,
Makasar,
Hasanuuddin
University Press
Azwar (1990), Pengantar Ilmu Kesehatan
Lingkungan, Mutiara Sumber
Widya, Jakarta,
Bhisma M. (2010), Desain dan Ukuran
Sampel
untuk
Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif di
Bidang Kesehatan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Chin J. (2006), Manual Pemberantasan
Penyakit Menular Edisi ke-17,
Editor I Nyoman Kandun,
Jakarta: Cv Infomedika.
DAFTAR PUSTAKA
Dauglas, JT., Wort RM, (1984), Field
Evaluation of an ELISA to Detect
Antibody in Leprosy Patiens and
Their Contact. Int, J. Lepr
A Colin Mc D. (2005), Atlas Kusta Buku
Pedoman
untuk
Membantu
Tenaga Kesehatan lini depan
Mengenai Cara
Deteksi,
Diagnosis
Klinis
dan
84
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Djuanda, A., at al. (2010). Ilmu penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
George K, John KR, Muiyil JP, Josep A,
(1990),
The
Role
of
Intrahousehold Contact in The
Transmission of Leprosy. Lepr.
Rev.61:6--63
Departemen Kesehatan RI. (1999), Tindakan
Penting
Untuk Mengurangi
Risiko Cacat pada Pnderita
Kusta, Jakarta : Depkes RI
Harahap, Marwali (2000), Ilmu Penyakit
Kulit.
Penerbit
Hipokrates:
Jakarta
Departemen Kesehatan RI. (1995), Buku
Pedoman
Pemberantasan
Penyakit Kusta, Jakarta : Depkes
RI
Imamul M (2005), Factors Correlated with
Subclinical Leprosy Prevalence
In
Household
and
Non
Household Contacts Of , Tesis,
Airlangga University, Surabaya.
Departemen Kesehatan RI. (2003), Kusta,
Jakarta : Depkes RI
Kuntoro. (2009), Dasar Filosofis Metodelogi
Penelitian, Surabaya: Pustaka
Melati
Departemen Kesehatan RI. (2007), Buku
Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta, Jakarta : Depkes
RI
Mansjoer A dkk (2000). Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius
: Jakarta
Departemen Kesehatan RI. (2007), Indonesia
Bebas dari Penyakit Kusta dan
Frambusia Tanggung Jawa Kita
Bersama, Jakarta : Depkes RI
Mehra V, Brennan PJ,Rada E, Covit J,
Bloom BR, (1984), Lymphocyte
Suppression In Leprosy Induced
By Unique M. Leprae Glycolipid
Nature 308
Dinas Kesehatan Jatim. (2007), Pedoman
Pelaksanaan
Pemeriksaan
Kontak Intensif, Surabaya :
Dinkes Jatim.
Mudatsir, (2006), Analisis Pola Distribusi
Pengulangan sekuens Nukleotida
TTC Mycobacterium Leprae dari
Penderita Kusta dan Sumber Air
Penduduk, di Pulau Poteran,
Sumenep, Disertasi, Universitas
Airlangga Surabaya
Doull, James A, Lenard. (1962), The Control
Of
leprosy
epidemiologist,
Washington, DC, 134
Erliyati , (2007), Perbandingan Faktor
Risiko
Terjadinya
Stadium
Subklinik di Pondok Pesantren
Syalaf dengan Pondok Pesantren
Syalaf Modern di Kecamatan
Pragaan Kabuapten Sumenep,
Tesis, Universitas Airlangga,
Surabaya
Noordeen SK; Hombach JM (1993), Leprosy
Tropical
Desease Research
Progress 1991-1992
WHO.
Geneva
Rahmawati S. (2010), Titer Antibodi Anti
PGL-1 Pada Anak SD di daratan
Tinggi dan daratan Rendah Pada
Daerah
Low
Endemic
Kusta,Tesis, Kabuapten Selayar,
Universitas
Hasanuddin
Makassar.
Fajar dkk, (2004), Hubungan Status Gizi
terhadap penularan Penyakit
Kusta, Litbang, Depkes, Jakarta.
Fine, FEM (1988), Implication of Genetics
For The Epidemiologi and
Control Of Leprosy. Phil. Trans.
R.Soc. Lond B321
Rao PSS, Karat ABA, Kaliaperumal JG,
Karat S, (1975). Transmission of
85
Jurnal Kesehatan “Wiraraja Medika”
Leprosy within Households, Int.J.
Lepr 43.
Report
Of The Internasional Leprossy
Assosiation Tehnical forum
(2002),
Epidemiologi
and
Control, Volume 70
Reddley
DS, Jopling WH, (1962),
Classification
of
leprosy
according to immunity, Int J
lepry 43
Sri Rimayani. (2007), Profil Kadar Antibodi
Anti PGL-1(Elisa) Pada Anak
Sekolah Umur 10 Tahun di
Daerah
Kabuapten
Jeneponto,Tesis,
Universitas
Hasanuddin Makassar.
WHO, (1995), A Guide to elimination
leprosy as public health problem,
edisi I, Geneva
Widoyono.
(2005),
Penyakit Tropis
eipdemiologi,
Penularan,
Pencegahan dan Pemberantasan,
Jakarta: penerbit Erlangga.
86
Download