bahan kuliah hukum organisasi internasional 13

advertisement
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL
Match Day 13
KETERLIBATAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL (BAGIAN 1)
A. POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA1
Kebijakan umum Pemerintah RI pada organisasi-organisasi internasional didasarkan
pada Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan
Peningkatan Kerjasama Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha
meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan
perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional
dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional.
Prioritas politik luar negeri Indonesia dalam 5 tahun ke depan dituangkan dalam 3
program utama yaitu program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi
Indonesia,
program
peningkatan
kerjasama
internasional
yang
bertujuan
untuk
memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum
kerjasama internasional dan program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia.
Sesuai dengan Keppres No. 64 tahun 1999, keanggotaan Indonesia pada organisasi
internasional diamanatkan untuk memperoleh manfaat yang maksimal bagi kepentingan
nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan
efisiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara.
Keanggotaan Indonesia pada OI diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu antara
lain:
1. Secara Politik: dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan
kesatuan, mendukung terciptanya kohesi sosial, meningkatkan pemahaman dan
toleransi terhadap perbedaan, mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik,
mendorong pernghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia;
2. Secara ekonomi dan keuangan: mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang
berkelanjutan, meningkatkan
daya
saing,
meningkatkan
kemampuan
iptek,
meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional,
mendorong peningkatan produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, grant
dan bantuan lain yang tidak mengikat;
1
Keseluruhan materi pada bagian ini dicuplik dari
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFP.aspx?P=OrganisasiInternasional&l=id, yang diunduh pada hari Kamis 15
Desember 2011 Jam 21.00 Wita.
3. Secara Sosial Budaya: menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan
derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional,
mendorong upaya perlindungan dan hak-hak pekerja migran; menciptakan stabilitas
nasional, regional dan internasional;
4. Segi kemanusiaan: mengembangkan early warning system di wilayah rawan bencana,
meningkatkan capacity building di bidang penanganan bencana, membantu proses
rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana; mewujudkan citra positif Indonesia di
masyarakat internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong
keterlibatan berbagai pihak dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup.
Mengenai pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu Organisasi
Internasional diatur dalam Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK.
1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Kembali Keanggotaan Indonesia serta
Pembayaran Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional.
Menurut SK Menlu tersebut, dalam hal suatu instansi bermaksud mengusulkan
keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional, usulan tersebut disampaikan secara
tertulis kepada menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta
hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan
dibahas oleh Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah
Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Pembahasan mengenai usulan tersebut
memperhatikan:
1. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang
bersangkutan;
2. Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam
ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula penghitungannya;
3. Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang emmpunyai lingkup dan
kegiatan sejenis;
4. Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah.
B. KETERLIBATAN RI DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL
Untuk keterlibatan RI dalam organisasi Internasional dapat dilihat pada website
berikut ini: http://www.kemlu.go.id/Documents/Keanggotaan_Indonesia_pada_OI.pdf
C. GERAKAN NON BLOK (GNB)2
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya
GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala
2
Keseluruhan materi pada bagian ini dicuplik dari
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=3&P=Multilateral&l=id,
yang diunduh pada hari Kamis 15 Desember 2011 Jam 21.05 Wita.
Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja mencapai
kemerdekaannya. KAA ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah
dunia waktu itu dan berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru
tersebut pada tataran hubungan internasional. KAA menyepakati ’Dasa Sila Bandung’ yang
dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerjasama
antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan,
dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden
Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India
Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.
Kelima tokoh dunia ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.
GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di
Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara yakni
Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir,
Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi,
Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara
pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi
untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama di
antara mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran
pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara
independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia
sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang
diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’ yang menjadi prinsipprinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam
mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh
penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang
selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB
merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945.
Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan
nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara
anggota. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak
pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi
imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme, neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan
dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain
dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau ancaman
kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi
sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan
hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negaranegara anggota GNB. Untuk itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah
mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan
pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).
Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-politik
komunisme di Eropa Timur, muncul perdebatan mengenai relevansi, manfaat dan
keberadaan GNB. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa dengan berakhirnya sistem
bipolar, eksistensi GNB telah tidak bermakna. Namun, sebagian besar negara mengusulkan
agar GNB menyalurkan energinya untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dunia pasca
Perang Dingin, di mana ketegangan Utara-Selatan kembali mengemuka dan jurang pemisah
antara negara maju dan negara berkembang menjadi krisis dalam hubungan internasional.
Perhatian GNB pada masalah-masalah terkait dengan pembangunan ekonomi negara
berkembang, pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup, telah menjadi fokus
perjuangan GNB di berbagai forum internasional pada dekade 90-an.
Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian
dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan
Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang
dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain:
1. Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif
sebagai komponen integral hubungan internasional;
2. Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang
berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya;
3. Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama SelatanSelatan.
Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog
konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine
interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama”.
Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negaranegara berkembang miskin (HIPCs/Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu,
berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama SelatanSelatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama SelatanSelatan berdasarkan prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai
mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam mendirikan Pusat Kerjasama
Teknik Selatan-Selatan GNB.
Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB,
sesuai mandat KTT GNB Ke-11, di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerjasama
Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh
Pemerintah
Brunei
menyelenggarakan
Darussalam
berbagai
dan
bidang
Pemerintah
program
dan
Indonesia.
kegiatan
NAM
pelatihan,
CSSTC
kajian
telah
dan
lokakarya/seminar yang diikuti negara-negara anggota GNB. Bentuk program kegiatan NAM
CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, memajukan usaha kecil dan
menengah, penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam masa mendatang
diharapkan negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta dan organisasi
internasional terdorong untuk terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerjasama
Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya mengaktifkan kembali kerjasama SelatanSelatan ini merupakan tantangan bagi GNB antara lain untuk menjadikan dirinya tetap
relevan saat ini dan di waktu mendatang.
Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa
GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu
menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi
lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu
menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara,
perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang
ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan
perjuangannya. Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek
tetapi sebagai mitra seimbang bagi pemeran global lainnya.
Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan
tanggal 11-16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang merupakan sikap,
pandangan dan posisi GNB tentang semua isu dan permasalahan internasional dewasa ini.
KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter global,
perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen menjunjung prinsip-prinsip pada
Piagam PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama antara negara maju dan
berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.
Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara
berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan
Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi
perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negaranegara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.
KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi
rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu,
GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk
mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu
kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194.
GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan
Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB
juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari
Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah
Lebanon yang masih diduduki.
Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran
GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan
kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan
upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi
Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite
Politik, dan anggota Komite Palestina.
Pada tanggal 17-18 Maret 2010 telah diselenggarakan Pertemuan Special NonAligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for
Peace and Development
di Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria
Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam
Treki; Menlu Filipina, Alberto Romulo; dan Menteri Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy
Zakzouk, dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari 105 negara anggota
GNB.
Secara umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut
sepakat, bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi.
Disamping itu banyak negara anggota GNB menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan
politik, ekonomi dan sosial yang dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme.
Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri
dalam diskursus tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah
menghadapi berbagai tantangan global. Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan
atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara anggota GNB dapat memberikan
kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun ”global resilience” untuk
menghadapi berbagai tantangan di dunia.
Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar peradaban dan lintas
agama untuk meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan
melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan dan
harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling percaya dan saling menghormati.
Untuk itu, GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkrit
dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari
pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai
tingkatkan,
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
upaya
global
dalam
mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia.
Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir yaitu:
Report of the Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation
for Peace and evelopment, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith
Dialogue and Cooperation for Peace and Development.
Indonesia akan menyelenggarakan 16th Ministerial Conference and Commemorative
Meeting of the Non-Aligned Movement/Konferensi Tingkat Menteri ke-16 Gerakan Non Blok
(KTM ke-16 GNB) dan sekaligus Pertemuan Peringatan 50 Tahun GNB di Bali pada tanggal
23 – 27 Mei 2011. Keistimewaan KTM ke-16 GNB adalah pelaksanaannya yang bertepatan
dengan 50 tahun berdirinya GNB sejak terselenggaranya pada bulan September 1961 di
Beograd, Yugoslavia. Oleh karena itu, pelaksanaan KTM akan pula diikuti dengan Pertemuan
Peringatan 50 tahun berdirinya GNB (Commemorative Meeting).
KTM ke-16 GNB yang mengangkat tema “Shared Vision on the Contribution of NAM
for the Next 50 Years” merupakan pertemuan paruh waktu antar dua KTT dan agenda
utamanya adalah mengulas perjalanan GNB pasca KTT di Sharm El Sheik, Mesir pada bulan
Juli 2009. KTM ini akan menghasilkan dokumen akhir yang menjadi rujukan terkini bagi
anggota GNB dalam pelaksanaan hubungan internasionalnya, sedangkan Commemorative
Meeting akan menghasilkan Bali Commemorative Declaration (BCD) yang berisi visi GNB ke
depan.
KTM ke-16 GNB kali ini mengundang partisipasi para Menteri Luar Negeri dari 118
negara anggota GNB dan 2 (dua) negara calon anggota, yaitu Fiji dan Azerbaijan yang akan
dikukuhkan keanggotaannya pada acara tersebut. Selain Menteri Luar Negeri, turut
diundang pula kehadiran delegasi dari 18 negara dan 10 organisasi pengamat, serta 26
negara dan 23 organisasi undangan.
D. G-153
Pada KTT ke-9 Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd bulan September 1989, 15
negara berkembang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Kelompok Tingkat Tinggi
untuk Konsultasi dan Kerjasama Selatan-Selatan (Summit Level Consultative Group on World
Economic Crisis and Development/SLCG) yang kemudian lebih dikenal dengan nama G-15.
Meskipun diumumkan pada kesempatan KTT GNB, G-15 secara organisasi bukan bagian dari
GNB.
G-15 bertujuan sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negaranegara berkembang yang terdiri dari Aljazair, Argentina, Brazil, Chile, Kolombia, India,
Indonesia, Iran, Jamaika, Kenya, Malaysia, Mesir, Meksiko, Nigeria, Peru, Senegal, Sri
Lanka, Venezuela dan Zimbabwe. G-15 diharapkan dapat mendayagunakan potensi
kerjasama diantara negara berkembang. Melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan
tersebut pada gilirannya akan menunjang kredibilitas negara-negara berkembang dalam
upayanya untuk mengaktifkan kembali dialog Utara-Selatan. G-15 juga dapat dimanfaatkan
sebagai mekanisme untuk menyampaikan kepentingan negara berkembang dalam forum G20. Untuk mencapai tujuannya, G-15 telah
mencanangkan berbagai macam proyek
pembangunan dan kerjasama teknis dalam berbagai bidang antara lain di bidang
perdagangan, usaha kecil dan menengah (SME’s), energi, pertambangan, investasi,
pembiayaan perbankan dan perdagangan, teknologi informasi, pertanian, pendidikan, dan
pembangunan kapasitas sumber daya manusia.
Pada KTT ke-3 G-15 pada tanggal 11-14 September 2006, di Havana, Cuba, telah
dilakukan serah terima keketuaan G-15 dari Aljazair kepada Iran. KTT tersebut telah
menyepakati sebuah Joint Communique yang memuat komitmen bersama negara-negara
anggota G-15 dalam menghadapi berbagai tantangan global, meningkatkan kerjasama di
berbagai bidang dan upaya revitalisasi dan konsolidasi internal sehingga kerjasama G-15
lebih efektif dalam membantu pembangunan negara-negara anggota.
Indonesia melihat bahwa G-15 memiliki berbagai potensi dalam meningkatkan
kerjasama saling menguntungkan antar negara anggotanya, antara lain karena sebagian
besar negara anggota G-15 memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah,
dan beberapa diantaranya merupakan negara yang tingkat ekonominya relatif sudah sangat
berkembang dengan beragam kemajuan di bidang industri, infrastruktur dan teknologi.
Keuntungan G-15 yang lain adalah beberapa negara anggotanya telah memiliki atau
menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga negara maju seperti OECD dan G-8, maupun
3
Keseluruhan materi pada bagian ini dicuplik dari
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=7&P=Multilateral&l=id,
yang diunduh pada hari Kamis 15 Desember 2011 Jam 22.05 Wita.
dengan kelompok regional lainnya yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global,
dimana hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi kepentingan organisasi
umumnya dan Indonesia khususnya.
KTT G-15 ke-14 telah diselenggarakan di Tehran, Iran pada tanggal 17 Mei 2010.
Konferensi ini didahului oleh pertemuan Personal Representative Meeting (PRM), dan
Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) pada tanggal 14 dan 15 Mei 2010. Pada kesempatan
tersebut, Delri pada PRM dipimpin oleh Watapri Jenewa, sementara pada PTM dipimpin oleh
Dirjen Multilateral. Di tingkat KTT, Delri dipimpin oleh Menteri Perindustrian selaku Utusan
Khusus Presiden RI.
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berkesempatan untuk membuka KTT G-15 ke 17 dan menyampaikan opening remarks di hadapan delegasi dari 16 negara yaitu: Aljazair,
Brazil, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Meksiko, Mesir, Nigeria, Srilanka, Senegal, dan
Venezuela. Selain itu, Iran juga mengundang Turki, Belarusia dan Qatar untuk hadir. Dalam
KTT kali ini salah satu negara anggota G-15, Jamaika, tidak mengirimkan delegasinya ke
Tehran.
Sebagai hasil akhir, KTT G-15 ke-14 berhasil menyepakati Draft Joint Communique
yang mencakup 11 isu utama, yaitu: a) krisis keuangan/moneter internasional; b) fasilitasi
bagi pekerja migran; c) pencapaian MDGs; d) penyelesaian Putaran Doha WTO; e)
penanganan perubahan iklim; f) isu HAKI dan GRTKF; g) keamanan energi; h) kesehatan
masyarakat; i)Kerjasama Selatan-Selatan; j) situasi palestina; dan k) pembentukan High
Level Task Force (HLTF) untuk mengkaji progress dan prospek G-15. Selain itu, dalam KTT
ini, Presiden Iran juga telah menyerahkan jabatan keketuaan G-15 kepada Srilanka untuk
periode berikutnya.
E. G-204
Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2007 merupakan
dampak dari sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional yang tidak berimbang
terutama dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Berawal dari krisis
kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS, lemahnya regulasi keuangan dan
tingginya keterikatan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan,
menyebabkan menjalarnya krisis negara maju ke negara berkembang lainnya. Efek domino
krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya
perekonomian negara-negara di dunia.
4
Keseluruhan materi pada bagian ini dicuplik dari
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=11&P=Multilateral&l=id,
yang diunduh pada hari Kamis 15 Desember 2011 Jam 22.25 Wita.
Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis kali ini
memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih
menyeluruh dan kerjasama negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global
telah menghambat proses pembangunan terutama negara Least Developed Countries serta
telah menyebabkan kemunduran pencapaian MDGs.
Namun, seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan untuk menyelamatkan
perekonomian oleh pemerintah masing-masing negara, perekonomian global telah mulai
menunjukkan tanda-tanda perbaikan awal 2010, walaupun proses recovery diprediksi masih
berjalan lambat mengingat sistem finansial yang masih lemah. Proses pemulihan juga tidak
akan merata dirasakan per kawasan. Selain itu, terdapat kecenderungan di perekonomian
negara maju bahwa perbaikan di sektor finansial kurang sejalan paralel dengan perbaikan di
sektor riil dengan salah satu indikator utama yang memprihatinkan adalah semakin
meningkatnya angka pengangguran.
Untuk mengatasi krisis tersebut, Pemerintah AS berinisiatif menyelenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi (G20 Summit) bagi para pemimpin/kepala negara G20 yang
diadakan di Washington DC tanggal 15 November 2008. Krisis ekonomi global menyadarkan
otoritas keuangan dan bank sentral berbagai negara bahwa integrasi sistem keuangan yang
semakin erat membutuhkan adanya forum diskusi permanen yang intensif dalam rangka
menciptakan stabilitas keuangan global melalui upaya pencegahan dan penyelesaian krisis
keuangan internasional. Keanggotaan G20 terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Itali,
Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia,
Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki.
Peran Indonesia dalam setiap KTT G20 senantiasa memajukan kepentingan negara
berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan
berkelanjutan (antara lain: usulan pembentukan global expenditure support fund,
menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara
berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder). Lebih lanjut
peran tersebut antara lain:
1. Indonesia dapat mengedepankan pendekatan konstruktif dalam pembahasan isu di G20.
2. Semangat G20 yang mendorong equlity, trust building dan berorentasi solusi menjadikan
forum G20 menjadi forum yang demokratis di mana semua negara mempunyai
kesempatan untuk speaking on equal footing dengan negara manapun. Indonesia perlu
terus menjaga karakteristik dasar G20 tersebut dari desakan dominasi ataupun
pengerasan sikap/posisi dari negara-negara anggota G20.
3. Pergeseran posisi Indonesia dari negara low income countries menjadi negara middle
income countries serta dari negara penerima bantuan menjadi negara penerima sekaligus
negara donor, membutuhkan penyesuaian profile Indonesia di dunia luar. Untuk itu,
peran aktif Indonesia di G20 menjadi penting karena G20 dapat dijadikan sebagai wadah
untuk instrumen politik luar negeri RI mendukung upaya Indonesia menjadi negara maju
pada tahun 2025.
4. Mengingat Indonesia mempunyai cukup banyak success stories dalam program
pembangunan, partisipasi Indonesia dalam G20 dapat digunakan untuk mengedepankan
pengalaman Indonesia sebagai kontribusi global Indonesia dalam pembahasan forum
G20. Pada KTT Pittsburgh, misalnya, Indonesia menjadi contoh sukses pengalihan subsidi
BBM tidak langsung menjadi subsidi langsung (program BLT). Indonesia dapat
bekerjasama dengan Bank Dunia dan OECD untuk mengangkat berbagai success stories
Indonesia.
Selama berlangsungnya krisis ekonomi global, secara umum kawasan Asia
menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Beberapa negara berkembang di kawasan ini
bahkan tetap dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat
yang kemudian menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu, Indonesia
bersama-sama negara di kawasan Asia Pasifik, perlu terus mendorong peran penting
kawasan dalam proses recovery dan pertumbuhan ekonomi global.
KTT G20 terakhir diadakan di Seoul, Korea Selatan, tanggal 11-12 November 2010.
Para Leaders berhasil menyepakati G20 Seoul Summit Leaders’ Declaration serta Seoul
Summit Document yang berisi Seoul Action Plan serta 3 tiga annexes (Seoul Development
Consensus for Shared Growth; Multi-Year Action Plan on Development; Anti-Corruption
Action Plan). Sebagai dokumen pendukung juga disertakan Policy Commitments by G20
Members sebagai bagian pencapaian G20 Framework for Strong, Sustainable and Balanced
Growth.
KTT G20 selanjutnya akan diadakan pada tanggal 3-4 November 2011 di Cannes,
Perancis, dengan tiga isu utama yang meliputi:
1. international monetary reform;
2. reducing excessive volatility;
3. improving global governance (institutions and standards).
Sedang prioritas yang dibangun dari keketuaan Korea Selatan pada tahun 2010:
1. Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth;
2. financial regulatory reform;
3. development. Perhatian khusus akan diberikan pada isu food security, infrastructure,
private sector development, financial inclusion and inclusive growth.
F. DEVELOPING EIGHT (D-8)5
D-8 didirikan melalui Deklarasi Istanbul yang dihasilkan pada Konperensi Tingkat
Tinggi (KTT) D-8 yang ke-1 pada 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. D-8 terdiri dari 8 (delapan)
negara berkembang, yaitu Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan
dan Turki.
Dasar pendirian D-8 adalah Deklarasi Istanbul yang memuat tujuan, prinsip-prinsip
dasar dan bidang-bidang kerjasama D-8. Adapun prinsip-prinsip dasar D-8 adalah peace
instead of conflict, dialogue instead of confrontation, justice instead of double-standards,
equality instead of discrimination, and democracy instead of oppression.
Awalnya pembentukan D-8 dimaksudkan untuk menghimpun kekuatan negaranegara Islam yang semuanya anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) guna menghadapi
ketidakadilan dan sikap mendua negara-negara Barat. Namun, dalam perkembangannya, D8 ditetapkan sebagai kelompok yang tidak bersifat eksklusif keagamaan dan ditujukan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat negara anggotanya melalui pembangunan sosial dan
ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kerjasama D-8 difokuskan pada peningkatan intratrade di antara negara-negara anggotanya. Sejak tahun 1999 - 2007, nilai intra-trade antara
negara D-8 telah meningkat lebih dari 200 persen dari US $ 14.5 Milyar menjadi US $ 49
Milyar. Walau cukup signifikan, namun jumlah ini belum melebihi 5 persen dari total
perdagangan negara anggota D-8 dengan dunia. Maka diharapkan pada akhir dekade kedua
kerjasamanya (2018), intra-trade D-8 dapat meningkat menjadi 15-20 persen dari total
perdagangan negara anggotanya dengan dunia, atau mencapai US $ 100 Milyar.
Tujuan kerjasama D-8 adalah sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan posisi negara anggotanya dalam perekonomian dunia;
2. Untuk memperluas dan menciptakan peluang-peluang baru dalam bidang perdagangan
khususnya intra trade D-8;
3. Untuk memperkuat tercapainya aspirasi negara anggotanya dalam proses pembuatan
keputusan pada tingkat global, dan;
4. Meningkatkan taraf hidup masyarakat negara anggota D-8.
Pada KTT D-8 ke-5 tahun 2006 di Bali, Indonesia telah menerima keketuaan D-8 dari
Iran untuk periode 2006-2008. Pada kesempatan KTT tersebut, negara-negara D-8 juga
5
Keseluruhan materi pada bagian ini dicuplik dari
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=8&P=Multilateral&l=id,
yang diunduh pada hari Kamis 15 Desember 2011 Jam 21.25 Wita
telah membubuhkan tanda tangan pada 2 naskah Persetujuan yang dimaksudkan untuk
memfasilitasi perdagangan di antara negara anggota yaitu D-8 Preferential Trade Agreement
(PTA), dan Multilateral Agreement among D-8 Member Countries on Administrative
Assistance in Customs Matters (AACM).
Hingga saat ini, PTA belum berlaku efektif karena baru 2 negara yaitu Iran dan
Malaysia yang menyelesaikan proses ratifikasi Persetujuan tersebut. Sementara itu,
Indonesia masih menunggu pengumpulan offer list of products sebagai salah satu annexes
PTA D-8 oleh seluruh negara D-8 sebelum menyelesaikan proses ratifikasi. Sedangkan untuk
AACM, Persetujuan ini belum dapat berjalan karena baru Indonesia yang menyelesaikan
proses ratifikasi.
Sebagai ketua D-8 periode 2006-2008, Indonesia telah berhasil dalam melakukan
revitalisasi D-8 yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah kegiatan dalam
kerangka D-8 secara signifikan dengan diselenggarakannya 31 kegiatan D-8 dimana 15
diantaranya diadakan oleh Indonesia. Tiga hal yang dapat dianggap sebagai pencapaian
utama pada masa keketuaan Indonesia adalah upaya peningkatan status Sekretariat D-8
dari Office of Executive Director melalui interim arrangement Sekretariat D-8 dimana 3
negara anggota D-8 masing-masing mengirimkan Sekjen (Indonesia), Direktur (Iran), dan
Ahli Ekonomi (Turki); Perumusan Roadmap D-8 (2008-2018) yang difasilitasi oleh Indonesia
di Bangka Belitung, bulan April 2008; serta Penyelesaian pembahasan PTA D-8 beserta
annexes-nya secara menyeluruh.
Pada KTT D-8 ke-6 di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 4-8 Juli 2009, Indonesia telah
melakukan serah terima keketuaan D-8 kepada Malaysia. KTT tersebut menyepakati
finalisasi pembentukan Sekretariat Permanen D-8 yang akan dibiayai oleh seluruh negara
anggota melalui kontribusi tahunan dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang pertama dari
Indonesia yakni Dr. Dipo Alam mulai 1 Januari 2009 – 31 Desember 2012. KTT tersebut juga
telah mengadopsi Roadmap D-8 yang akan berfungsi sebagai guidelines kerjasama D-8
untuk dekade kedua kerjasamanya (2008-2018).
D-8
memiliki
bidang-bidang
kerjasama
yang
kesemuanya
diarahkan
untuk
menghasilkan capaian-capaian konkrit di bidang perdagangan, industri, perhubungan udara,
energi, pertambangan dan mineral, kepabeanan, pariwisata, pertanian, kelautan dan
perikanan, dan kredit mikro.
Dalam bidang Perhubungan Udara, pada 3rd D-8 Working Group Meeting on Civil
Aviation and Directors General Meeting (WGCA ke-3) pada Juni 2008, negara-negara D-8
telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) for the Establishment of D-8
Working Group on the Co-operation in Civil Aviation yang ditujukan untuk memfasilitasi
pergerakan para pejabat pemerintah, kalangan pebisnis dan masyarakat negara-negara D-8.
Pada Pertemuan tersebut, beberapa MoU dan kesepakatan lainnya secara bilateral juga
telah ditandatangani oleh Indonesia dan negara-negara D-8 yakni:
1. MoU antara Garuda Airlines dan Turkish Airlines.
2. MoU on Maintenance, Repair, and Overhaul antara GMF Aero Asia and MNG Airlines
Turkey.
3. Letter of Intent (LoI) antara PT Angkasa Pura II dan TAV Airports Holding Turki dalam
bidang Airport Development.
4. LoI di bidang perhubungan udara antara Dirjen Perhubungan Udara Indonesia dengan
Dirjen Perhubungan Udara Turki.
Di bidang kerjasama industri D-8, pada 4th D-8 Working Group Meeting on Industrial
Cooperation di Bali bulan November 2008, Indonesia telah ditunjuk sebagai prime mover
aktivitas industri D-8 periode 2008-2010. Pada kesempatan pertemuan tersebut, Indonesia,
Iran dan Turki juga telah membubuhkan tanda tangan pada naskah “Minutes of Meeting”
(MoM) yang bertujuan untuk memfasilitasi program kerjasama jangka panjang di bidang
industri otomotif dan pembentukan Joint Working Group untuk mengembangkan
pelaksanaan kerjasama tersebut.
Selain kerjasama dalam bidang-bidang tersebut di atas, D-8 juga melakukan
kerjasama dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang sedang dihadapi oleh negaranegara berkembang khususnya negara-negara D-8, melalui Pertemuan Tingkat Menteri D-8
(PTM) mengenai Ketahanan Pangan yang diselenggarakan tanggal 25-27 Pebruari 2009 di
Kuala Lumpur, Malaysia. PTM mengupayakan pembentukan kerjasama konkrit di bidang
pertanian antara negara-negara D-8, dengan meliputi pembahasan 3 isu pokok yaitu
produksi dan suplai pupuk berkualitas (Fertilizer), produksi dan suplai pakan ternak (Animal
Feed), dan penyediaan benih berkualitas (Seed Bank). Selain mengadopsi Kuala Lumpur
Initiative to Address Food Security by D-8 Countries, PTM juga telah menyepakati
penunjukan prime movers untuk mewujudkan inisiatif Kuala Lumpur sebagai berikut:
1. Seed Bank (Turki dan Iran);
2. Animal Feed (Malaysia dan Indonesia);
3. Fertilizer (Mesir);
4. Standards and Trade Issues (Iran dan Turki);
5. Marine and Fisheries (Indonesia).
Semua kesepakatan antara negara-negara D-8 yang telah dituangkan dalam bentuk
Persetujuan, MoU, LoI ataupun MoM seperti disebutkan di atas berpotensi mendorong
peningkatan intra-trade D-8 guna mencapai target pada akhir dekade kedua kerjasamanya.
Sedangkan posisi-posisi strategis Indonesia sebagai prime mover berbagai aktivitas D-8
turut berpotensi meningkatkan kontribusi D-8 terhadap pembangunan sosial dan ekonomi
negara anggotanya yang sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia yaitu untuk
meningkatkan taraf hidup rakyatnya.
Secara politis, keikutsertaan Indonesia pada kerjasama D-8 merupakan wujud
solidaritas Indonesia terhadap negara berkembang lainnya dalam rangka memperjuangkan
kepentingannya di tingkat internasional. Semua anggota D-8 juga merupakan negara
anggota OKI namun secara organisatoris D-8 tidak merupakan sub-ordinasi OKI. Sebagai
wujud komitmen Indonesia terhadap kerjasama Selatan-Selatan, Indonesia memandang
penting forum D-8 karena keterlibatannya dalam kerjasama Kelompok D-8 dapat membuka
peluang untuk memperluas dan meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan
negara-negara tujuan ekspor non-tradisional.
Melalui kerjasama D-8, Indonesia dapat menggalang dukungan dari negara-negara
anggota D-8 bagi kepentingan Indonesia misalnya dalam pencalonan di fora kerjasama
internasional lainnya.
MP7™
Download