TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.) Oleh : Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798 PROGRAM STUDY PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI Skripsi Oleh: Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798 Dibawah Bimbingan Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI,” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh. Jakarta, 27 September 2011 Dekan, Fakultas Syari’ah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua : DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., NIP : 196511191998031002 Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP : 197412132003121002 Pembimbing : Prof. Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917 Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP : 195703121985031003 Penguji II : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP : 197412132003121002 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul: TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya otomatis batal demi hukum. Jakarta, 06 September 2011 Penulis Veratih Iskadi Putri NIM. 107043101798 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta : 06 September 2011 Penulis KATA PENGANTAR بسم اهلل الرمحن الرحيم Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis mampu melangkah kepada hal yang lebih positif serta mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Tinjauan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri” sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih (PMF) Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawatullah Wasalamuhu, semoga senantiasa terlimpahkan kepada revolusioner penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Rasulullah SAW. Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak terkait yang telah banyak memberikan motivasi serta kritikan yang kostruktif. Untuk itu penulis mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembantu Dekan I, II, III yang telah membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis. i 2. Bapak DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis disela-sela kesibukan beliau. 3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan jurusan. 4. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA., selaku pembimbing, atas segala nasehat, petunjuk serta jerih payah yang dengan sabar dan telaten membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan staf perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Yang sangat penulis cintai dan hormati Ibu (Diah Utami) dan Ayah (H. Muhammad Ishak), adik (Dwi Elda, Yus Rizal, Muhammad Ali Ridho) yang selalu memberikan motivasi serta do’a yang tiada henti kepada Allah SWT. Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan (skripsi) dengan baik. ii 7. Kepada semua pihak yang telah ikut membantu terselesainya skripsi ini dengan baik, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Semoga atas bantuan dan dorongan yang dicurahkan kepada penulis akan menjadi amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT. Dan semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan pengetahuan serta ketajaman analisis yang penulis miliki. Harapan penulis mudah-mudahan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amin. Jakarta, 16 Agustus 2011 Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv BAB I : BAB II : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 6 E. Metode Penelitian ....................................................................... 7 F. Sistematika Pembahasan ............................................................ 9 TINJAUAN UMUM A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT ..................................................................................... 11 B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 ............................................................................................ 16 C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang PKDRT ......................................................................................... 28 D. Relasi Suami Istri Menurut Islam .............................................. 31 BAB III : PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Isteri Dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih ..................................... 43 B. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2004 ................................................................................ 51 iv C. Hukum Melakukan Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Terhadap Istri Menurut Fikih .......................................... 63 BAB IV: PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG KEKERASAN SEKSUAL A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang NO.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri ........................................................ 74 B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri .............................................................................................. 78 C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Kepada Istri ........................................................... 82 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 85 B. Saran-Saran ................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 88 LAMPIRAN v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam bukunya, Zainuddin Ali menyebutkan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami-istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri.1 Perkawinan merupakan suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.2 Sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi: 1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.51. 2 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka AlKautsar), Cet kelima, 2006, h.159-160. 1 2 Artinya: “Rasulullah SAW bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya”. (HR. Tirmidzi)3 Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri). Idealnya adalah persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan. Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape) sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap kaum perempuan. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap 3 h.387. Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Ibn Saurah, Sunnah at-Turmudzi, (Beirut : Dar al Fikr, 1994), 3 perempuan. Akan tetapi, sangat ironis pelaku kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan. Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara lain: Pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri. Kedua, kerap dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami „kalap”. Ketiga, menderita gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stress, seperti infertilitas (kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid. 4 Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. Sebagaimana di dalam Hukum Islam, KDRT sama halnya dengan penganiayaan, dimana hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan cedera atau cacat pada seseorang, 4 sehingga pelaku KDRT dapat dikenakan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak. Dalam Hukum Islam, orang yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan seperti lebam akibat pemukulan dengan benda keras, tidak dapat diganti dengan diyat karena sulit menetapkan ukuran diyatnya. Dalam hal ini hukuman penggantinya adalah ta‟zir yang ditetapkan oleh imam atau Negara melalui badan legislatifnya.5 Tapi hukuman ta‟zir bisa menjadi hukuman qishas, apabila dengan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan sengaja. Allah h.273 4 Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta : CV. Amalia), 1986, h.35 5 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor : Prenada Media Kencana), Cet.1, 2003, 5 memerintahkan kepada hamba-hambanya. Apabila terjadi pertengkaran antara suami dengan istri, maka diselesaikan dengan cara damai. Istri memaafkan suami dengan tidak meminta imbalan atau istri memaafkan suami dengan menuntut diyat yaitu denda ganti rugi yang dibayar suami kepada istri dengan proses pengadilan karena perbuatan yg membuat istri cedera.6 Upaya penggalian bentuk kekerasan tersebut, penulis ingin mengetahui lebih dalam dengan mengangkat judul penelitian yaitu: “TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI ” B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Fikih? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT? 3. Bagaimana hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih? 6 Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, (Jakarta : Darul Haq), 2001, h.126-127. 6 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Fikih. 2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT. 3. Untuk mengetahui hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti lain, uraian dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan, baik penulis maupun mahasiswa fakultas syariah. 2. Praktis: dapat menghindari pola pikir sempit dan menyimpang tentang hukum islam yang mengindahkan bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. 7 E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif, dikatakan penelitian deskriptif karena akan memberikan penjelasan atau pemaparan. Hasil penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyeluruh dan sistematis serta memberikan data yang seteliti mungkin. 7 Dikatakan penelitian deskriptif karena di dalam penjelasan menggunakan metode yuridis normatif. Dikatakan penelitian yuridis normatif, karena bertujuan untuk menjelaskan dan menerangkan suatu produk hukum. Penelitian ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian hukum positif, karena penelitian ini akan membahas norma hukum yang akan diterapkan di dalam masyarakat. Adapun secara spesifik, maka penelitian ini akan membahas tentang Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap isteri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh. 2. Bahan Hukum Penelitian Adapun bahan hukum di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mengikat. Dikatakan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun yang 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press), 2008, Cet ke 3, h.10. 8 menjadi data primer di dalam penelitian ini adalah Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer. Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder di dalam penelitian ini adalah buku-buku, atau rujukan semisalnya yang secara langsung maupun tidak membahas permasalahan yang menjadi rumusan masalah di dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian Dalam rangka pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan sistematis. Studi kepustakaan sistematis khusus untuk undang-undang yang dilacak berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, tehnik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah: a. Penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. b. Penelusuran bahan kepustakaan yang membahas masalah kekerasan suami istri terutama yang berkaitan dengan seksual. 9 4. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan gambaran atau keadaan yang sebenarnya mengenai dasar hukum tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atas istri dalam perundang-undangan dan peraturan hukum yang sedang berlaku. Kemudian bahan yang didapat atau yang sudah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan bahan yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan teori atau ketentuan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan.8 F. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara sistematis sebagai berikut : BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang KDRT. Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal yang ada kaitannya dengan sejarah lahirnya Undang- 8 Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional), 1992, cet pertama, h.112. 10 Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, Pengertian KDRT menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004, Pasal-Pasal kekerasan seksual dalam Undang-Undang P-KDRT, Relasi suami istri menurut Fikih. BAB III : Merupakan penyajian data yang memuat (1) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif fikih. (2) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No.23 Tahun 2004 (3) Hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih. BAB IV : Merupakan pandangan hukum islam terhadap salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang kekerasaan seksual yang memuat (1) Pandangan Hukum Islam terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT mengenai bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri (2) Relevansi Hukum Islam dengan Hukum Positif (3) Analisis Hukum Islam dalam pemaksaan hubungan seksual antara suami kepada istri. BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri seluruh penelitian ini dengan suatu kesimpulan dan tidak lupa untuk menyertakan saran. BAB II TINJAUAN UMUM A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Mentri Pemberdayaan Perempuan RI, Mentri Kesehatan RI, Mentri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasaan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.1 Di tingkat daerah, Gubenur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No.751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan terpadu bagi Perempuan dan Anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003 ini pada intinya membentuk Tim Penanganan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan 1 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17. 11 12 advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM dan Lembaga profesional lainnya.2 Di tingkat Regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di Jakarta pada tanggal 13 juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan data untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekar holistik dan terintegrasi dalam mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.3 Adapun yang menjadi gagasan dan latar belakang pentingnya pembentukkan sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan terjadi di ranah domestik rumah tangga ataupun keluarga. Di mana kekerasan rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari ke-hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dalam kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut sudah menjurus dalam bentuk tindakan pidana penganiyaan dan ancaman kepada korban yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan, atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang. 2 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17. 3 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17. 13 Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% – 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007 11%. KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur). Tahun 2002, RUU diajukan ke Komisi VII DPR RI dan diseminarkan di DPR. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR. Lalu memutuskan membahas RUU KDRT. Puncaknya pada tanggal 13 Mei 2003, 14 melalui sidang Paripurna di DPR, RUU anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR. 4 Pembahasan RUU anti KDRT di DPR (Pansus Komisi VII) yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004 berlangsung cepat, namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/jenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Selesai sidang pleno, kemudian RUU tersebut segera dibawa ke sidang paripurna melalui pandangan umum fraksi-fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan RUU menjadi Undang-Undang. Tahun 2004 adalah tahun yang bersejarah bagi perempuan Indonesia, dan khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena pada tahun inilah lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi perempuan. 5 Pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU KDRT ini kemudian pada tanggal pada 22 September 2004, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. Pada hari yang sama, pihak Sekretariat Negara mengundangkannya ke dalam 4 Ratna Batara Munti, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga “sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. (LBH-APIK Jakarta, 2005) Edisi ke-2. h.5 5 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17 15 Lembaran Negara Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau lebih dikenal dengan UU P-KDRT.6 Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuan korban yang seringkali harus ditanggung sendiri, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ‟berdosa‟ jika menceritakan ‟kejelekan, keburukan, atau aib‟ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya. Dalam UU. No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT aturan marital rape diatur dalam pasal yang diistilahkan dengan pemaksaan hubungan seksual, yang secara tegas diatur pada pasal 8 ayat 1. Dalam penelitian tersebut yang menjadi pembahasanya yaitu bagaimana tanggapan hukum dalam UU. No. 23 6 Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R. Dyatmiko Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Perpustakaan Nasional), Cet 1, Mei, 2006, h.19. 16 tahun 2004 dan hukum islam tentang pemaksaan hubungan seksual seorang suami terhadap istri (Marital rape), sedangkan dalam penelitian yang akan saya tulis, lebih fokus pada bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan suami terhadap istri dalam perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam. B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Dalam Undang-Undang No.23 tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7 Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasn seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, pasal 1 ayat 1. 17 wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan masih sering kita jumpai dimana-mana, di dalam rumah tangga, di lingkungan kerja, dalam lingkungan sosial, dan dalam kehidupan bernegara.8 Kekerasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan :9 1. Perihal yang bersifat, berciri khas 2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain 3. Paksaan Kekerasan adalah perilaku yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka atau tertutup. 10 Sedangkan kekerasan dalam konteks perempuan adalah tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam 8 Abdul Muqsit Ghozali, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta : Rahima, 2002, Cet.1, h.105. 9 Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), 2005, Cet.3, h.550. 10 Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal manusia : Modul Pelatihan Untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi Dalam Perspektif Pluralisme, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender), 2003, Cet.1, h.104. 18 kehidupan pribadi.11 Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin dalam kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Melakukan hubungan seksual berkali-kali dalam waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupi melakukan hubungan seksual dengan ancaman paksaan. Hubungan seksual yang dilakukan suami dan istri, yang lebih banyak menikmati hubungan tersebut adalah suami. Sementara itu, istri hanya bersikap pasif, hanya melayani. Tidak pernah mengungkapkan perasaan puas atau tidaknya dalam hubungan seksual itu.12 Hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu pihak melaksanakan kehendak seksual sendiri terhadap pasangannya. Dan menganggap bahwa hal itu kewajiban perempuan, sehingga para suami mengabaikan hak istri untuk menikmati hubungan seks. Banyak pihak berpendapat bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perlu diatur tersendiri di luar KUHP, bahkan RUU KUHP yang baru dan merupakan revisi KUHP yang lama dianggap tidak cukup untuk dapat mengakomodir keseluruhan masalah KDRT. Karena masalah KDRT mencangkup beberapa aspek, kepentingan perempuan, sudut pandang yang berbeda khususnya dalam hal penyidikan dan pembuktiannya. Hingga akhirnya pada tanggal 14 september 2004, DPR akhirnya menyetujui RUU penghapusan kekerasan dalam 11 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.154. 12 Sri Suhandjati Sukri, dkk, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2002, h.158. 19 rumah tangga (KDRT) untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR setelah tertunda kurang lebih enam tahun. Dibandingkan Malaysia, Indonesia terkesan lamban merespon permintaan kaum perempuan mengenai perlunya payung hukum bagi perempuan agar terhindar dari pelaku tindak kekerasan.13 Meskipun pada dasarnya UU ini ditujukan untuk melindungi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan khususnya mereka yang berada dalam posisi subordinat, dan rentan terhadap KDRT akibat adanya relasi sosial yang timpang di masyarakat, apakah karena jender, jenis kelaminnya, usianya, status social atau kelas sosial. Nilai strategis UU ini adalah menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu public. Karena dulunya masalah kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai masalah hubungan suami istri atau masalah pribadi yang tidak bisa diintervensi orang lain. Bahkan KUHP tidak menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan. UU penghapusan KDRT ini memberi ruang kepada Negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga. Adapun asas yang melandasi UU ini adalah penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia merdeka, kesetaraan dan keadilan gender, diskriminasi dan juga perlindungan terhadap korban. Sedangkan kata kunci dalam UU KDRT adalah pergaulan yang baik antara suami dan istri (muasyarah bil ma‟ruf). Sedangkan tujuan UU KDRT yang terdapat dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan tentang kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : 13 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.177. 20 1. Mencegah kejahatan KDRT 2. Melindungi korban dan saksi kasus KDRT secara maksimal 3. Memberikan kemudahan bagi korban maupun saksi kasus KDRT untuk melaporkan ataupun memperoleh bantuan 4. Menciptakan upaya pemulihan terutama bagi korban, namun tidak menutup kemungkinan bagi pelaku kasus KDRT 5. Menciptakan sistem penegakkan hukum yang tepatguna oleh aparat hukum 6. Bahwa KDRT merupakan masalah publik, bukan masalah domestik Dalam pembahasan mengenai UU ini terjadi perdebatan yang cukup panjang. Kelompok yang tidak setuju pada konsep RUU menghendaki agar UU nantinya tidak akan semakin menimbulkan perpecahan dalam rumah keluarga, tidak akan menambah tingginya angka perceraian dimasyarakat. Sebab, kebanyakan masyarakat beranggapan jika pihak istri diberikan wewenang atau kebebasan, dikhawatirkan akan menyalahgunakan hak kebebasannya tersebut. UU kekerasan dalam rumah tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat macam, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan seksual dibagi menjadi dua yaitu kekerasan seksual berat yang terdiri : 1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 21 2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. 3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. 4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. 5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. 6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera. Sedangkan yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. UU No 23 Tahun 2004 membagi criteria kekerasan sebagaimana terdapat pada bab III pasal 5 yang berisi : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: 1. kekerasan fisik 2. kekerasan psikis 3. kekerasan seksual, atau 4. penelantaran rumah tangga 22 Sedangkan mengenai kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 yang berbunyi : kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: 1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. 2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Secara jelas UU tersebut tidak menyertakan kata-kata perkosaan, akan tetapi hanya menyertakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga diatur dalam pasal 2 yang meliputi : 1. Suami, istri, dan anak 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga 3. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut Selain mendefinisikan perkosaan dalam perkawinan UU No 23 tahun 2004 juga mengatur mengenai bukti dan saksi yang diatur dalam pasal 55. Pasal ini merupakan titik terang untuk para korban marital rape karena pasal ini meringankan korban dalam hal bukti dan saksi. Selain itu UU ini juga mengatur mengenai hak-hak korban yang diantaranya ialah : 23 1. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari individu, kelompok, atau lembaga baik pemerintah ataupun swasta. 2. Korban berhak mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainya. 3. Korban mendapatkan pelayanan secara rahasia. 4. Korban berhak atas informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan khusus lainnya. 5. Korban berhak mendapatkan jaminan atas haknya yang berkaitan dengan statusnya sebagai istri, ibu, anak dan anggota rumah tangga lainnya. 6. Korban berhak mendapatkan pendampingan secara psikologis oleh pekerja sosial dan bantuan hukum yang dilakukan advokad pada setiap tingkat proses peradilan. 7. Korban berhak mendapatkan bimbingan rohani. Pelayanan darurat yang dimaksud mencangkup pelayanan medis, konseling, informasi hukum, sarana transportasi ke rumah sakit atau ke tempat penampungan yang aman. Sehingga korban bisa menenangkan diri dan merasa aman untuk sementara waktu sebelum kasus tersebut ditangani lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Perlindungan merupakan hal baru dalam hukum pidana Indonesia. Karena selama ini memang belum ada aturan tentang ha-hal tersebut, sehingga tidak heran kalau dalam UU ini masalah perlindungan diatur sangat terperinci. Alasannya ialah karena dalam kasus perkosaan dalam perkawinan, diperlukan untuk menghentikan berlanjutnya tindakan tersebut. Memisahkan pelaku dari korban sangat penting, karena tinggal bersama dalam satu tempat 24 tinggal atau paling tidak keduanya mempunyai kesempatan untuk dengan mudah dapat bertemu atau berhubungan. Dalam kerangka perlindungan ini, UU memuat sejumlah kewajiban pemerintah untuk menjamin terciptanya perlindungan yang dimaksud, diantaranya ialah memfasilitasi tersedianya pendampingan, pelayanan darurat, tersedianya pendamping, tersedianya ruang pemeriksaan khusus disetiap kantor polisi tingkat kabupaten dan kota, dan memberikan perlindungan terhadap pendamping, saksi-saksi keluarga, anggota komunitas, dan teman korban. Pemerintah juga memfasilitasi tersedianya aparat, termasuk konselor, pekerja medis dan pekerja social, dan kesehatan. Masyarakat juga diwajibkan untuk menyediakan perlindungan yang dimaksud, apabila menyaksikan atau mendengar terjadinya kasus pemaksaan hubungan seksual suami tehadap istri (marital rape). Dalam hal ini aparat kepolisian sangat berperan penting, karena kepolisian diwajibkan memberikan perlindungan sementara kepada korban tanpa diskriminasi. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu: 1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan sering kali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan suatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas dilapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan pada asumsi dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan 25 tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan. Sehingga ketika dihadapkan jasa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan. 2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan bisa gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidak berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan subtansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau sikorban, bahkan justru belum adanya subtansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. Secara umum ada beberapa bentuk kekerasan gender terhadap kaum perempuan. Pertama, kekerasan terhadap pribadi (personal violence). Sering kali kaum perempuan secara personal menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akan tetapi, tidak terdokumentasi secara resmi dan baik. Hanya beberapa Negara saja yang memiliki angka resmi, seperti diamerika dan peru. Di amerika serikat misalnya tercatat, pemukulan terhadap istri adalah penyebab tertinggi kecelakaan perempuan. Di peru juga menyebutkan, 70 persen kejahatan yang dilaporkan polisi adalah pemukulan suami terhadap pasangan mereka. Sementara WHO memperkirakan lebih dari 90 juta perempuan afrika menjadi korban penyunatan (genital mutilation). Padahal, kekerasan terhadap perempuan tersebut mempengaruhi kesehatan mental, menghancurkan kepercayaan diri serta menyulitkan perkembangan 26 kepribadian perempuan. Kekerasan yang paling besar adalah dalam bentuk perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam rumah tangga. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini sering kali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh factor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, social maupun cultural, atau karena tidak ada pilihan dan sebagainya.14 Salah satu segi dalam perjuangan keadilan, khususnya bagi perempuan, adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan. Pembicaraan tindak kekerasan terhadap perempuan secara eksplisit, berarti mengungkap sejumlah perilaku dan praktikpraktik terhadap perempuan yang selama ini telah menjadi kebiasaan dan dianggap biasa oleh masyarakat. Kekerasan ini berupa perilaku yang diwujudkan, seperti penyalahgunaan seks, pelecehan, ancaman, penindasan, intimidasi, pemerkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan yang halus adalah menguasai, mengikat, mengontrol, dan tidak menghargai. Dalam situasi ini, hampir selalu pelakunya adalah laki-laki, dengan korbannya dipihak perempuan. Semua itu adalah bukti dari pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki dominant di masyarakat. Dalam budaya patriarkhi, dominasi laki-laki dianggap wajar atas perempuan, sehingga dianggap wajar pula segala perilaku laki-laki atas perempuan, sungguh pun perilaku tersebut mengakibatkan pihak perempuan teraniaya, terlukai. 14 Ahmad Suaedy, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren (PT Grasindo, Jakarta), h.78-79. 27 Berangkat dari konsep ketidakadilan, tentu sulit diharap melahirkan keadilan. Konstruksi social yang bisa gender telah memberikan keleluasan pada laki-laki untuk memposisikan perempuan sedemikian rupa berada dalam penindasan. Berbagai bentuk praktik pelecehan terhadap perempuan, juga lebih dikarenakan praktik-praktik itu mendapatkan berbagai legalitas dari kebudayaan, peradaban, tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Semuanya itu, seharusnya dikritisi dan dicermati karena tidak sedikit dari praktik-praktik dimasyarakat hanya merupakan kedok, mitos-mitos yang diciptakan sebagai benteng untuk pengesahan berlangsungnya kekuasaan laki-laki. Dalam kesadaran akan bentuk relasi baru yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan saling menumbuhkan, maka harus dilakukan reposisioning mengenai berbagai bentuk kebiasaan itu, kemudian dinilai mana yang merugikan, menindas, menyakiti, dan merampas hak-hak perempuan dan laki-laki. Perempuan beriman akan merefleksikan keadaan hidupnya yang luka itu kepada kehendak sang pencipta. Kebebasan menggiring umat manusia untuk bisa maju dan berjejak pada kebahagiaan. Kebebasan dianggap sebagai salah satu hak manusia yang paling berharga oleh bangsa yang memahami rahasia kesuksesannya.15 Kekerasan dalam rumah tangga hingga saat ini tampak kurang mendapat perhatian serius di kalangan masyarakat. Beberapa alasan bisa dikemukakan. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga cenderung tak kentara dan ditutupi 15 Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru”, (Yogyakarta : IRCiSoD), Cet.1, Mei 2003, h.49. 28 karena rumah tangga adalah area ”privat”. Kedua, kekerasan dalam rumah tangga sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi dalam sebuah lembaga yang sah (legal), yaitu perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat masyarakat abai dan tak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa suami sebisanya harus mengendalikan istri.16 C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT Ketentuan Pasal 5 UU-PKDRT menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis; c.kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.” Kekerasan fisik, psikis, seksual, semakin menegaskan bahwa cakupan diskriminasi adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ancaman-ancaman lain serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 UU-PKDRT disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan UU-PKDRT pun telah menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan: fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah 16 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.4. 29 tangga, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud kekerasan fisik, Pasal 7 tentang kekerasan psikis, Pasal 8 tentang kekerasan seksual, dan Pasal 9 tentang penelantaran dalam rumah tangga. a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. b. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c. Kekerasan seksual yaitu (1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. d. Penelantaran rumah tangga yaitu (1) tindakan/perbuatan seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau 30 karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud diatas juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44Pasal 49 UU-PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara. Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran hakim yang akan menentukan berat atau ringannya putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara KDRT. Untuk hal itu sangat diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada perempuan dan/atau anak. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut secara tegas dilarang dan dikenai sanksi pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal yang lebih memperkuat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk diskriminasi adalah sebagaimana dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga telah dijamin perlindungannya dalam Konstitusi Indonesia. 31 D. Relasi Suami Isteri Menurut Fikih Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mengembangkan keturunan dengan cara legal dan bertanggung jawab secara sosial maupun moral. Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan dasar terdapat pada manusia laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal yang alami atau sunnatullah jika suami istri satu sama lain saling membutuhkan, dan saling memenuhi kebutuhan ini. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis merupakan karunia Allah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan yang perlu disalurkan sesuai dengan petunjuknya. Seks bukanlah sesuatu yang tabu dalam islam, tetapi dianggap sebagai aktifitas yang sah dalam perkawinan. Tidak ada konsep dosa yang dilekatkan kepadanya. Seks dianggap kebutuhan prokreasi, dan penciptaan manusia adalah melalui aktifitas seksual. Karena prokreasi perlu bagi kelangsungan hidup manusia, maka perkawinan dalam islam menjadi penting sekalipun belum tentu wajib hukumnya. 17 Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur alat reproduksinya, tetapi secara psikologis. Allah memberikan perasaan yang sama dalam hal kebutuhan reproduksi ini. Oleh karena itu suami maupun istri tidak diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan sendiri dengan mengabaikan kebutuhan pasangannya. Sebab perkawinan memiliki tujuan yang agung, dan merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling menghormati. Al Qur‟an suratal Baqarah: 187 menegaskan: 17 Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya), 1994, h.139. 32 )187:2/ )البقرة Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamu pun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah/2:187) Suami istri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat, melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara, dan juga untuk menghias diri. Dalam konteks suami istri memiliki hak untuk melakukan hubungan seksual pasangannya secara ma‟ruf dalam arti setara, adil dan demokratis. Aktifitas seksual suami istri diharapkan dapat menumbuhkan perasaan indah, mengokohkan rasa kasih sayang dan juga melahirkan rasa syukur 33 kepada dzat yang memberi keindahan dan kasih sayang pada manusia. Dalam Q.S al Baqarah: 223 )223:2/ )البقرة Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” )Q.S. Al-Baqarah/2:223) Dalam ayat ini istri diibaratkan seperti ladang atau kebun, suami sebagai petani pemilik ladang yang bertugas untuk mengelola ladangnya. Secara tekstual suami seakan-akan memiliki hak dan kewajiban secara aktif dan pemegang peran dalam mengendalikan kebutuhan seksual untuk dirinya dan istrinya. Pemahaman tekstual ini berakibat pada cara pandang masyarakat muslim tentang seksualitas, bahwa laki-lakilah yang memiliki inisiatif, mengatur dan menentukan masalah hubungan seks, termasuk implikasi lainnya diseputar seksualitas dan hak-hak reproduksi istri. Lain halnya jika ayat tersebut dipahami dengan memperhatikan konteks masyarakat pada waktu ayat ini diturunkan. Ayat ini turun pada masyarakat mengambil latar kehidupan masyarakat arab dengan kondisi geografisnya yang sangat tandus. Kebun atau taman merupakan sesuatu yang 34 indah dan hanya berada dalam imajinasi mereka. Perempuan (istri) diibaratkan seperti ladang/ taman/ kebun yang menurut mereka merupakan barang mewah. Memiliki istri seperti halnya seseorang yang memiliki kekayaan barang berharga yang sangat diharapkan pada saat itu. Sebagai petani yang baik, ia akan memperlakukan ladangnya dengan baik, memilih benih yang unggul, menanami, membersihkan rumput dan memberantas hama, mengairi, dan memupuknya dengan rutin. Semua aktifitas pertanian ini dilakukan secara bertahap dan pada saat yang tepat. Demikian pula suami yang diibaratkan sebagai petani yang baik, dia akan memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda : Artinya: „‟Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya (istrinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah). Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa relasi seksual suami istri merupakan pahala jika dilakukan dengan cara-cara yang ma‟ruf, karena masingmasing suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi seksual ini diharapkan dapat memelihara komunikasi lahir batin dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Hanya saja ditekankan bahwa semua itu harus dilakukan dengan memperhatikan etika, tanpa merugikan satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat pentingya mengelola relasi seksual suami istri dalam rumah tangga, maka diharapkan suami atau istri berpenampilan yang menyenangkan bagi pasangannya. Mengenali selera pasangan merupakan 35 cara yang tepat. Hubungan seks bukan merupakan hal yang tabu dibicarakan diantara suami istri. Karena itu penting untuk mendiskusikan tema ini demi kemaslahatan bersama, seperti apa yang disukai dan yang tidak disukai. Apa yang kurang dari pasangannya yang dapat mengganggu hubungan baik dan sebagainya. Sebaliknya membicarakan masalah kekurangan atau ketidakpuasan dalam hubungan suami istri kepada orang lain merupakan tindakan yang tidak semestinya dilakukan, bahkan akan dapat membuka aib sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam membangun relasi seksual suami dan istri dalam islam menghindari adanya kekerasan seksual terhadap istri. Masalah ini menjadi persoalan serius tetapi banyak orang yang mengabaikannya. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki (suami) lah yang memegang kendali kebutuhan seksual istrinya. Suami terhadap istri memiliki hak penuh untuk mengatur dan memperlakukan istri karena konsep nikah yang digunakan masih berparadigma lama, dimana nikah dipahami sebagai akan tamlik, sehingga istri berada dibawah kepemilikan suami. Masalah sekspun ditentukan oleh suami, salah satu bentuknya adalah pemaksaan hubungan seksual pada saat istri tidak siap untuk melayani. Relasi suami istri yang benar juga berdasar pada prinsip”muasyarah bi al ma‟ruf” (pergaulan suami istri yang baik). Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat islam, menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman : 36 )71 :9/ )التوبت Artinya: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah/9:71). Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hakhaknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf. Allah berfirman : :4 / )النساء )19 Artinya: „‟Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.‟‟ )Q.S. An Nisa/4:19( 37 Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli istri-istri mereka secara ma‟ruf. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyus, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan. Jika masingmasing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah kaum laki-laki memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga, mengayomi, berjuang sekaligus mencukupi segala kebutuhan kaum perempuan. Makna „‟kepemimpinan” disini merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh kaum laki-laki.18 Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah menghendaki dalam sebuah perkawinan harus dibangun relasi suami istri dalam pola interaksi positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh keseimbangan hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah mawadah warahmah akan terwujud jika keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis yang mengatur relasi suami dan istri dalam pergaulan sehari-hari. Untuk itu diperlukan 18 Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, (Jakarta : Sinar Grafika), Cet 1 Sep 2003, Cet 2 Jan 2005, h.35. 38 individu-individu sebagai anggota keluarga yang baik sebagai subyek pengelola kehidupan keluarga menuju keluarga ideal. Maksud dari ayat di atas juga, adalah menggauli istri harus dilakukan dengan baik. Ini mencakup menjaga kata-kata, harta, dan perbuatan. Terkait dengan pergaulan suami kepada istri dan sebaliknya istri kepada suami, harus dilakukan dengan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun materi. Hubungan badan termasuk mempergauli istri dengan baik, merupakan puncak dari kenikmatan. Banyak wanita yang tidak menikah kecuali untuk menikmati hal itu. Maka dari itu suami harus memberikannya kenikmatan berhubungan badan secukupnya selama dia masih kuat. Adapun jika membahayakan badannya, maka ini bukan sebagai kewajiban baginya.19 Seorang perempuan muslimah berhak untuk menikmati kebebasan dalam berfikir dan berakidah. Tugas utama perempuan adalah membuat kaum adam merasa tenang dan damai ketika berada disamping mereka. Keutamaan laki-laki adalah mampu untuk bekerja keras melawan rasa lelah dan mengadu nasib dengan kehidupan di dunia. Menuntut laki-laki untuk menjalankan tugasnya dan perempuan sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Allah telah meletakan kemampuan memberikan kasih sayang yang luar biasa dalam diri perempuan. Tujuannya agar dapat mendidik anak. Sedangkan laki-laki memenuhi semua kebutuhan keluarga dan menjaganya.20 19 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akbar Media), Cet.1, Januari 2009, Cet.2, Desember 2009, h.333. 20 Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, h.167. 39 An-Nur : 31 )31 :24 / (النور Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau puteraputera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudarasaudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anakanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.‟‟ (Q.S. An-Nur/24:31) 40 Allah memberikan perintah kepada Rasulnya untuk menyampaikan kepada laki-laki dan wanita mukmin untuk selalu menurunkan pandangan mata dan menjaga kemaluan dari zina.21 An-Nisa : 34 :4/ )النساء )34 Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.‟‟ (Q.S. An-Nisa/4:34) Menurut Quraish Shihab, kepemimpinan menurut Al-Qur‟an dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan 2 hal. Pertama, adanya sifat-sifat fisik 21 Asy Syaikh Al „Allaamah Abdul Azizi bin Baaz, Fatwa-Fatwa Islamiyah Untuk Ukhti Muslimah, (Solo : At –Tibyan), h.29. 41 dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga. Jika dibandingkan dengan istri. Kedua, adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.22 Seorang wanita yang mati dan suaminya rela kepadanya, maka surgalah ganjarannya. Tak mungkin seorang istri dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah kecuali terlebih dahulu menjalankan kewajibannya terhadap suami. 23 Antara suami dan istri seringkali berbeda pandangan mengenai cara mengatur keluarga secara umum. Namun semua itu akan terselesaikan bila di antara keduanya terjalin saling pengertian. Tidaklah pantas apabila salah seorang dari keduanya memaksa pihak yang lain untuk memenhi keinginannya, lebih-lebih dengan menggunakan kekerasan. Laki-laki seringkali memperihatkan sikap kasar dan melontarkan kata-kata cemohan yang tidak senonoh, bahkan sampai memaki dan memukul apabila istrinya tidak mengikuti perintah serta aturannya.24 Islam melihat pernikahan sebagai stabilisator aspek mental dan berbagai peribadatan. Islam juga memandang pernikahan sebagai sarana pengampunan dosa dan ketinggian martabat, serta sarana untuk hidup istiqomah dan bertobat. Pernikahan mengandung perjuangan melawan nafsu dan pelatihan manajemen. 22 Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟rawi, (Jakarta : Teraju), Cet 1 Sep 2004, h.110. 23 Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri, (Jakarta : Cet 1 April 2008), h.27. 24 Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri , h.200-201. 42 Islam memandang pernikahan sebagai sarana memantapkan aspek moral, politik, stabilitas sosial, dan aspek kesehatan terapi berbagai penyakit kronis.25 Semua berkenaan dengan etika dan akhlak dalam pergaulan suami istri yang didasarkan pada dalil-dalil yang jelas dan kongkret. Selain itu, penyajian masalah ini dimaksudkan untuk mengetahui perhatian Islam terhadap kehidupan rumah tangga dan pergaulan suami istri untuk mencapai kehidupan yang bahagia, baik dan penuh kemuliaan. Sebuah rumah tangga yang ditinggali oleh anak-anak shalih dan shalihat yang penuh dengan dinamika dan keakraban. Dari rumah tangga itu lahir masyarakat yang dinamis, penuh kedamaian yang dihiasi dengan akhlak mulia dan didalamnya nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang sangat dijunjung tinggi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa perkawinan itu merupakan suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Dari sinilah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa berawal yang jika kehidupan rumah tangga itu baik, maka akan lahir pula kehidupan masyarakat yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya hubungan yang erat antara pasangan suami istri serta pergaulan yang baik antara keduanya. Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.26 25 Thariq Ismail Kakhya, Nikah dan Seks Menurut Islam, (Jakarta : Dar Al-Mathbu‟ah AlHaditsah), Cet 1 April 2001, Cet 4 Juli 2005, h.23. 26 Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.159. BAB III PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih Berdasarkan pada beberapa pengertian secara teoritis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dapat dirumuskan ke dalam kategori marital rape. Adapun bentuk-bentuk marital rape sebagai berikut: 1. hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri dalam bentuk fisik dan psikis. 2. hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri misalnya dengan oral atau anal. 3. hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat.1 Terkait dengan masalah seksualitas suami istri, ada beberapa statemen alQur‟an yang bisa dikemukakan diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 187 yaitu: )187 :2/)البقراة 1 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.13. 43 44 Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka (para istrimu) adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian bagi istri-istrimu.2(Q.S. Al-Baqarah/2:187) Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli istrinya dengan ma‟ruf ini tentunya tidak diperbolehkan adanya kekerasan baik pemukulan, penganiayaan dan lain sebagainya. Meskipun pada dasarnya istri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau menangguhkannya, dan bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika suami tetap memaksa pada hakekatnya ia telah melanggar prinsip muasyaroh bil ma‟ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi. 3 Ulama‟ Madzhab memandang „azl (coitus interruptus) yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau keluar mani merupakan bagian dari kekerasan seksual yang kemudian dapat mengarah kepada pemaksaan seksual jika itu tetap dilakukan. Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa „azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. Umar berkata: 2 3 Depag. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h.45. Masdar F. Mas‟udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (PT. Mizan Hazanah Ilmuilmu Islam, Bandung), Cet. II, 1997, h.113. 45 Artinya: „Rasulullah saw melarang mengeluarkan mani di luar farj istri yang merdeka tanpa izinnya.‟ (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah ; Al-Muntaqa II : 564)4 Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati hubungan seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita bahwa dalam hubungan seks dan justru pada detik-detik kenikmatannya istri sama sekali bukan hanya objek tapi juga menjadi subjek. 5 Dari sini jelaslah perspektif al-Qur‟an melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam perkawinan. Dalam perspektif agama secara makro, maka pemaksaan seksual merupakan suatu pelanggaran kemanusian. Suami istri ini harus menyatu membangun diri mereka supaya lebih koordinatif, berbicara untuk menyelesaikan masalah mereka secara adil dan berdasarkan konsensus, tidak atas dasar kepentingan sesaat. Ayat-ayat di atas adalah sumber betapa secara teologis Islam telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan hubungan itu adalah menyangkut bagaimana laki-laki dihadapkan masalah dengan istrinya. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama, sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan. Dalam hal diatas, biasanya yang dibuat rujukan adalah QS Al-Nisa‟; 34 yang berbunyi: 5 نيل االوطار الجزء4 5 Masdar F. Mas‟udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, h.117. 46 )34 :4/ )النساء Artinya: “Perempuan yang kamu khawatirkan nusyusnya (pembangkangan), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ranjang dari tempat tidur dan pukullah. Kemudian jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka."6 (Q.S. An-Nisa/4:34) Artinya: Rasulullah saw bersabda : „Apabila salah seorang kamu menganggil istrinya ke tempat tidur, namun istrinya menolak. Kemudian suami tidur dalam keadaan hati dongkol kepadanya, maka malaikat melaknat istrinya hingga waktu subuh tiba. (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud) Dari beberapa teks di atas, baik al-Qur‟an maupun hadis kalau dimaknai secara tekstual, menunjukkan bahwa suami memiliki kekuasaan mutlak terhadap istri terutama dalam hubungan seksual sehingga istri tidak memiliki hak sedikitpun dalam hal tersebut diatas. Seperti kata dlarb atau pemukulan, seringkali dimaknai secara eksplisit, sehingga sangat wajar hal tersebut seakan-akan dilegitimasi agama. Dan hadis-hadis di ataslah yang sering dijadikan pengesahan oleh suami melakukan apa saja ketika ia akan meminta jatah hubungan seksual terhadap istri. Tingginya egoisme laki-laki untuk menaklukkan perempuan menyebabkan terjadinya pemaksaan. Pertama dalam fiqh ada yang mengatakan bahwa perempuan adalah kelemahan dan aurat, maka tutuplah kelemahan dan 6 Depag, Al-Qur‟an dan Terjemahannya h.123. )120/) و مسلم (النكاح5193( البخارى 7 47 aurat itu dengan diam dan tanpa banyak bicara. tutuplah kelemahan dan aurat itu dengan tinggal dirumah saja. Kedua ada ajaran fiqh yang menyatakan barang siapa yang tunduk pada perempuan maka Allah akan menyusupkan mukanya kedalam api. Istrilah yang harus tunduk pada suami, tidak menentang perintah tidak memberikan sesuatu dan tidak keluar rumah kecuali atas izin suami. Jika keluar tanpa izin suami maka malaikat rahmat dan murkanya akan mengutuk sampai kembali pulang. Ketiga ada ajaran yang menyatakan “suami boleh memukul istri karena tidak mau bersolek sementara suami menghendakinya atau karena menolak ajakan tidur bersama atau karena bicara sama laki-laki lain. Usamah ibn Zaid r.a. menerangkan : Artinya: „Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, lalu berkata : „Sesungguhnya saya mengeluarkan mani di luar farj istriku.‟ Maka berkatalah Rasulullah saw, kepadanya : „Mengapa engkau lakukan yang demikian/‟ Orang itu menjawab : Saya sayang kepada anaknya atau kepada anakanaknya. „Maka bersabdalah Rasul saw : „Sekiranya yang demikian itu memberi mudarat, tentulah telah memberi mudarat kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi.‟ (H.R. Ahmad dan Muslim ; AlMuntaqa II : 563) 48 Hadis ini menyatakan, bahwa menumpahkan mani didalam rahim, tidaklah mengganggu istri yang sedang menyusui dan memberi pengertian bahwa mengeluarkan mani di luar rahim, adalah salah satu cara mengurangi kelahiran.8 Umar ibnul Khatab .r.a. menerangkan : Artinya: “Rasulullah saw melarang mengeluarkan mani di luar farj istri yang merdeka tanpa izinnya.‟ (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah ; Al-Muntaqa II : 564)9 Hadis ini menyatakan, bahwa adzal terhadap istri merdeka dibolehkan asal mendapat izin dari sang istri. Para ulama berselisihan paham dalam masalah adzal ini. Ibnul Qaiyim dalam Zadul Ma‟ad, setelah menyebut hadis-hadis dan mazhabmazhab ulama yang berpautan dengan masalah ini berkata : „Ulama yang membolehkan adzal secara mutlak berhujjah dengan hadis-hadis ini dan dengan alasan bahwasannya istri hanya berhak merasakan kenikmatan persetubuhan, tidak berhak menuntut inzal (tumpahnya mani) ke dalam farjnya. Jumhur ulama membolehkan adzal. Ibnu Hazm mengharamkannya. Adapun mempergunakan obat untuk menggugurkan nuthfah sebelum ditiup ruh, maka hukumnya sama dengan adzal. Golongan yang membolehkan adzal, membolehkan ini. Demikian pula hukum istri menggunakan obat yang menghilangkan daya hamil sama sekali. 8 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra), Cet 3, 2001, h.198-199. 5 نيل االوطار الجزء9 49 Hukum adzal, walaupun dibolehkan namun dia adalah perbuatan yang tidak disukai (makruh).10 Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya. Menurut Wahbah Zuhaili bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, pencekikan, pemotongan, penempelengan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.11 Diharamkan bagi istri menggunakan obat anti hamil tanpa mendapat persetujuan dari suami karena keturunan adalah hak suami dan istri, maka para ulama berpendapat bahwa tidak boleh suami melakukan „azel sementara istrinya tidak setuju. Azel adalah menumpahkan mani di luar rahim agar tidak terjadi kehamilan. Akan tetapi jika kedua belah pihak setuju, maka hal tersebut dibolehkan.12 Dalam kitab Fiqhus-sunnah, Sayyid Sabiq mengatakan : Diperbolehkan membatasi keturunan jika keadaan suami banyak mempunyai anggota keluarga, sehingga dikhawatirkan tidak mampu memberikan pendidikan kepada putra putrinya secara baik. Dengan demikian pula jika istri dalam keadaan lemah atau 10 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra), Cet 3, 2001, h.200-201. 11 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika), Cet 1, Maret, 2005, h.179. 12 Amin bin Yahya Al-Wazan, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, (Jakarta : Darul Haq), Cet.V, Maret, 2008. 50 secara terus menerus hamil, sementara suami dalam keadaan miskin. Pada kondisi seperti ini pembatasan kelahiran diperbolehkan. Bahkan sebagian ulama berpendapat, bahwa pembatasan kelahiran pada kondisi seperti ini bukan hanya dibolehkan akan tetapi disunnahkan. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah, dimana mereka memberikan keringanan dalam azl dan mereka mengganggapnya boleh-boleh saja. Adapun imam Ghazali mengatakan : Ada beberapa hadis shahih yang membolehkan azl. Sedangkan sabda Rasulullah, yang menyatakan bahwa azl merupakan tindak pembunuhan secara tersembunyi. Atau sabdanya, bahwa azl merupakan syirik tersembunyi hanya menunjukkan kemakruhannya dan tidak berarti haram.13 Menurut Al-Bukhari, Al-Hafizh ibnu Hajar berkata Azl adalah mencabut zakar setelah masuk ke dalam faraj untuk menumpahkan sperma diluar faraj. Abu Isa At-Tirmidzi berkata segolongan kaum ahli ilmu dari kalangan shabat Nabi dan lainnya memperbolehkan azl. Ibnu Taimiyah berkata azl itu diharamkan oleh segolongan ulama tetapi madzhab imam empat memperbolehkannya dengan seizin wanita.14 13 Syaikh Kamil Muhammad ‟Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), Cet.1, 1998, Cet.24, April, 2007. 14 h.142. Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta : Gema Insani Press), Cet 1 1998, 51 B. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif UU No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Marital rape adalah kosakata Inggris, gabungan dari kata marital yang berarti ”segala hal yang terkait perkawinan” dan rape yang berarti ”pemerkosaan”. Marital rape merupakan tindak kekerasaan atau pemaksaan yang diakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan aktifitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri. Elli N. Hasbianto mendefinisikan marital rape sebagai pemaksaan hubungan seksual atau serela seksual tanpa memperhatikan kepuasaan istri. Farha Ciciek mengelompokkan marital rape ke dalam 3 bagian, yaitu : pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak siap, hubungan seksual yang diiringi penyiksaan dan pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki istri. Nurul Ilmi Idrus mendefinisikan marital rape sebagai hubungan seksual yang disertai paksaan, ancaman, pemaksaan selera sendiri dan penggunaan obat alkohol terlarang atau minuman berakohol.15 Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri merupakan bagian dari kekerasan seksual sebagaimana yang diakomodir oleh UU No. 23 tahun 2004. Berbicara mengenai kekerasan seksual seorang suami terhadap istri tidak terlepas dari perbincangan mengenai definisi kekerasan seperti yang telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar terhadap orang lain. 15 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, (Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara), Cet.1, Januari 2007, h.11-13. 52 1. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara. 2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi 3. Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah tindakan sosial, dimana pelakunya harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat 4. Kekerasan terhadap perempuan adalah pelaku yang muncul sebagai akibat adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin, dan berkaitan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya. 16 Kekerasan terdiri atas tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasaan kepada pihak lain. Biasanya diikuti dengan tujuan untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Tindak kekerasan terhadap 16 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.18. 53 perempuan meliputi berbagai fenomena, baik hukum, etika, kesehatan, budaya, politik, maupun moral. 17 Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kekerasan yang bersifat fisik dan nonfisik. Kekerasan fisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti perabaan, colekan yang tidak diinginkan, pemukulan, penganiayaan, serta perkosaan. Termasuk dalam kategori ini adalah teror dan intimidasi, kawin paksa, kawin dibawah tangan, pelacuran paksa, stigma negatif, eksploitasi tenaga kerja, dan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi. Sedangkan kekersan nonfisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti sapaan, siulan, colekan, atau bentuk perhatian yang tidak diinginkan, direndahkan, dianggap selalu tidak mampu, dan (istri yang) ditinggal suami tanpa kabar berita. Kekerasan terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasan kepada pihak lain. Biasanya perilaku ini bertujuan untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Meski tindak kekerasan, baik berbentuk fisik maupun nonfisik, keduanya menyebabkan implikasi yang serius bagi kesehatan dan mental seseorang, namun perlu diingat bahwa fenomena ini bukanlah semata persoalan keilmuan medis, melainkan melingkupi segala aspek kehidupan.18 Demikian juga tindak kekerasan bukanlah fenomena kriminal semata, melainkan terkait dengan persoalan hukum, etika-moral, kesehatan, serta sosial 17 Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta), h.6-7. 18 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.19. 54 budaya, politik, dan latar belakang seseorang. Tindak kekerasan juga bisa dialami oleh anak perempuan, sebagaimana dengan anak laki-laki, dimana mereka merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan orang dewasa, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan badan hukum. Dalam berbagai bentuk tindak kekerasan, anak perempuan lebih banyak menjadi korban, baik fisik maupun nonfisik. Tindak kekerasan ini bisa muncul dalam bentuk perdagangan dan pelacuran perempuan atau anak perempuan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui secara jelas tentang bentuk pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam perspektif UU no. 23 tahun 2004, dapat diidentifikasi sebagaimana uraian berikut ini: UU kekerasan dalam rumah tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat macam, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Sedangkan Kekerasan seksual sendiri dibagi menjadi dua yaitu: 1. kekerasan seksual berat yang terdiri : a. pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. b. pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. c. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. 55 d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. e. terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. f. tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera. 2. kekerasan seksual ringan ialah Berupa pelecehan seksual secara verbal seperti: gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Seperti yang disinggung sebelumnya, perkosaan dalam perkawinan adalah hal yang masih kontroversial sampai saat ini. Rancanagan KUHP yang ingin memasukkan perkosaan dalam perkawinan sebagai perbuatan pidana, telah memunculkan banyak pertentangan. Sejumlah kalangan menilai kalau hal tersebut dianggap bertentangan dengan nilai, agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia atau dianggap bertentangan dengan pancasila. Hingga saat ini kontroversi tentang masalah pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri tak kunjung berakhir. Meski rumusan tersebut sama sekali tidak menyebut istilah perkosaan dalam perkawinan, namun karena RUU tersebut telah menghilangkan kata “bukan istrinya” pada rumusan lama maka segera terbentuk opini bahwa RUU KUHP mencantumkan delik baru yakni 56 perkosaan dalam perkawinan. Walaupun pada dasarnya rumusan baru tersebut sebenarnya melarang semua bentuk hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak didasarkan persetujuan atau konsen kedua belah pihak. 19 Pada akhirnya, pasal pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri (marital rape) dalam RUU KUHP baru tidak jadi diundangkan, karena pakar hukum yang tergabung dalam panitia khusus RUU KUHP telah sepakat untuk menghilangkan penjelasan pasal mengenai marital rape dengan alasan karena masyarakat kita belum siap menerima pasal yang kontroversial. Berbeda dengan KUHP, UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga mempunyai bentuk hukum acara yang berbeda, sehingga walaupun didalam UU tersebut tidak ada kata-kata yang menyinggung perkosaan dalam perkawinan, namun dalam UU tersebut ada kata-kata untuk kekerasan seksual yang tidak hanya terbatas pada pelaku diluar rumah tangga, namun juga pada pelaku didalam rumah tangga. UU No 23 tahun 2004 mengakui bahwa realitas pemaksaan hubungan seksual (pemerkosaan) tidak hanya terjadi di luar perkawinan, bahkan dalam sebuah perkawinan realitas pemaksaan hubungan seksual malah sering terjadi. Namun harus disadari pula bahwa setiap korban mau melaporkan tindakan pemaksaan hubungan seksual (marital rape) yang dialaminya. Banyak sebab yang membuat para korban enggan untuk melapor. Sebagian dari mereka menganggap 19 Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Malang: LBH APIK dan Pusat Pengembangan Hukum Dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), 2000, h.22-23. 57 bahwa persoalan seksual dalam sebuah keluarga adalah persoalan domestik, yang publik tidak berhak untuk ikut campur. Menurut penilaian Apri Danarto, kaum pria lebih cenderung mengekspresikan kemarahan dan frustasi dalam bentukbentuk kekerasan sehingga mereka lebih dipandang sebagai pasien “akut”. Kaum wanita lebih banyak didiagnosa menderita depresi. Karena bentuk-bentuk emosi relative dapat dilampiaskan lebih cepat melalui ngamuk, maka penurunan tingkat ngamuk dapat dipandang sebagai tanda “kesembuhan”, sehingga pria dipulangkan lebih cepat. Ini hanya spekulasi saya. Namun mungkin juga pihak keluarga menginginkan kepulangan mereka karena alasan financial, karena kaum pria lebih dipandang sebagai pencari nafkah dibanding wanita. 20 Dalam sisi lain, bentukbentuk kekerasan terhadap perempuan yang tertuang dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, yang di adopsi majelis PBB tahun 1993, pada pasal 2 adalah: 1. Tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan dengan maskawin(mahar), perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan, dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan diluar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi 20 Apri Danarto, Lanskap Hasrat Dan Kekerasan, (Yogyakarta : Jendela), h.273. 58 2. kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya. 3. kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara.21 Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencangkup pelecehan seksual, memaksa istri baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan atau melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan dan disaat istri tidak menghendaki, melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. Seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan dasar dari sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan seksual, dan kepuasan seksual. Namun bila salah satu seorang dari dua insan yang sedang melakukan hubungan seksual tidak menikmatinya, maka hubungan seksual dapat merupakan sesuatu yang ingin dihindari, bahkan dibenci. Banyak pasangan suami istri yang tidak menikmati hubungan seksual yang mereka lakukan. Seks bagi mereka dapat menjadi beban, bahkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. Hal ini terjadi karena salah satu merasa tidak diperlakukan selayaknya. Satu pihak memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan keinginan pihak lain. Pemaksaan dan ketidakacuhan terhadap hasrat dan kepuasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan 21 Fathul Djannah.dkk, Kekerasan Terhadap Istri, (LKiS, Yogyakarta.) h.12-13. 59 seksual. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dialami antara lain: dilecehkan setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan istri, dan tidak memenuhi kebutuhan seks istri karena suami punya istri lain, serta perselingkuhan atau hubungan suami dengan perempuan lain diluar nikah.22 Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri seolah dianggap bukanlah kejahatan. Kekerasan seolah sebuah perlakuan yang biasa saja, sangat keseharian, dan tidak istimewa. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mempermasalahkan dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, berlebihan, dan terlalu dicari-cari. Setiap upaya untuk mempertanyakan, apalagi mempermasalahkan dan menggugat kebiasaan, tentu saja akan memunculkan kontroversi. Namun, upaya itu harus tetap dilakukan karena berbagai bentuk perlakuan dianggap biasa dan kebiasaan itu telah menimbulkan efek luka pada pihak korban. Istilah korban selama ini hanya dikenakan pada pihak yang secara fisik terlukai, karena pemahaman atas manusia hanyalah pada aspek fisik semata. Unsur-unsur lain yang ada dibalik tubuh manusia sering terabaikan. Seolah-olah tidak ada hati yang terluka dan tidak ada jiwa yang tergores akibat perlakuan tidak adil konstruk sosial kepada perempuan. Pelecehan seks adalah penyalahgunaan hubungan perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu pihak. Tetapi, pemahaman ini sering ditolak oleh masyarakat karena pemahaman itu dianggap mengada-ada, terlalu berlebihan. Masyarakat menganggap apa yang 22 Fathul Djannah.dkk, Kekerasan Terhadap Istri, h.45. 60 dilakukan dalam “peristiwa pelecehan seks” itu adalah sesuatu yang biasa saja, sudah selumrahnya dan tidak perlu diperdebatkan, karena tidak ada yang berkurang akibat pelecehan itu. Pelecehan perempuan berarti pelecehan seks yang lebih khusus dikaitkan dengan perempuan, yaitu praktik menguasai perempuan, dengan merapas hak-hak asasi perempuan sebagai pribadi manusia. Namun pemahaman atas pelecehan ini, juga dianggap berlebihan, karena sama seperti pelecehan seks, tidak ada yang berkurang dalam pelecehan itu pada tubuh perempuan. Semua penilaian itu menunjukkan bahwa aspek-aspek manusia hanyalah dilihat pada sisi fisik lahiriahnya semata. Sama sekali tidak dilihat bahwa dibalik tubuh masing-masing manusia itu, terdapat jiwa, perasaan, hati dan pikiran, dan lebih lagi kehormatan, harga diri. Sisi diluar fisik lahiriah itu sama sekali dinisbikan, tidak diperhatikan, karena pemahaman dan penghormatan atas manusia memang semakin merosot. Oleh karena itu, masih banyak lagi praktikpraktik pelecehan perempuan yang belum atau kurang disadari, bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Kondisi ini disebabkan oleh begitu kuatnya pranata sosial dalam masyarakat, sehingga manusia menjadi tidak sadar bahwa semuanya itu perlu untuk ditinjau kembali demi keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Kekerasan seksual dalam rumah tangga terjadi sebagai superioritas suami terhadap istri. Selanjutnya disebutkan bahwa kekerasan seksual ibarat fenomena gunung es, 23 dimana masih tersembunyi dan sulit terdeteksi yang muncul dan 23 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2004, Cet.1, h.154. 61 kelihatan di permukaan hanya sedikit. Persepsi istri tentang kekerasaan seksual berkaitan erat dengan kondisi dan situasi dan pengalaman yang dialami istri dalam melakukan hubungan intim dengan suami. Meskipun persepsi setiap iatri tentang kekerasan seksual berbeda tapi secara umum bentuk kekerasan seksual sebagai berikut : 1. Hubungan seksual dengan paksaan24 Memaksa istri untuk berhubungan badan pada istri sedang tidak bergairah, kelelahan sesuadah beraktifitas seharian, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Memukul atau menghempaskan istri ke tempat tidur bila menolak hubungan suami istri. Suami menuntut istri melayani nafsu seksualnya, kapan pun, dimana pun, tanpa memperhatikan kondisi istri. 2. Hubungan seksual dengan ancaman Melakukan ancaman saati istri menolak ajakan suami untuk berhubungan badan, misal ancaman dengan senjata tajam. Meskipun tidak sampai melukai fisik istri, akan tetapi kekerasan seksual dengan ancaman ini dapat menghancurkan kepribadian istri. 3. Hubungan seksual dengan memaksakan selera sendiri Memaksa istri untuk berhubungan suami istri dengan cara dan gaya yang di inginkan suami, sementara istri tidak menyukai. Seperti melakukan 24 Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan, (Yogyakarta : Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation), 1999, Cet.1, h.25. 62 hubungan badan dengan gaya yang aneh bagi istri, berhubungan badan saat istri sedang haid. 4. Hubungan seksual dengan menggunakan obat terlarang atau minuman berakohol Bentuk lain dari kekerasan seksual adalah hubungan suami istri yang dimaksudkan untuk menyakiti istri. Dengan cara memakai obat terlarang, mabuk, yang menyebabkan istri tersiksa saat berhubungan badan karena bau alkohol yang menyengat hidung istri. Hal ini dimaksudkan agar suami dapat melakukan hubungan intim selama mungkin saat pengaruh obat menguasai dirinya. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, suami, istri, anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga, ataupun orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Bahkan perempuan lebih banyak mengalami tindak kekerasan didalam rumah tangganya sendiri. Pelaku kekerasan adalah orang yang justru dicintai dan dipercayai untuk menjaganya : seperti, ayah, suami, paman, kerabat, dan oran-orang di dalam rumah sendiri.25 25 LBH APIK Jakarta, Undang-Undang, h.3 63 C. Hukum Melakukan Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Terhadap Istri Menurut Fikih Secara umum, pemaksaan tidak akan ada tanpa adanya penolakan terlebih dahulu. Pemaksaan hubungan seksual muncul dari akibat sikap penolakan. Untuk penolakan istri melayani suami, al-Qur‟an maupun hadis mengambil sikap tegas dalam pelarangannya. Dan sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw : Artinya: ”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, sedangkan istrinya tidak memenuhinya, lantas semalaman suami merasa kecewa terhadapnya, maka dia dilaknat malaikat hingga pagi”. (HR. Bukhari dan Muslim)27 Pada hadis di atas, para istri diwajibkan untuk memenuhi ajakan para suaminya ke tempat tidur. Pemahaman tentang adanya perintah wajib tersebut adalah laknat para malaikat yang ditimpakan kepada istri yang menolak terhadap ajakan suami. Logikanya, para malaikat tidak mungkin akan melaknati seorang hamba yang tidak melakukan maksiat. Dan setiap perbuatan maksiat adalah dilarang. Dengan ditolaknya keinginan seksual suami, maka timbul beberapa persoalan baru. Pertama, kewenangan suami untuk memaksa istrinya melayani hasrat seksualnya. 26 )120/) و مسلم (النكاح5193( البخارى Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya‟by, juz III, h.260. 27 64 Oleh karena tidak adanya penolakan maka sebaiknya dalam perkawinan tidak perlu ada kekerasaan seksual. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat alNisa ayat 34 : )344 :4/ ) النساء Artinya: ”Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (Q.S. An-Nisa/4:34) Maksud memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. Dalam ayat tersebut adalah istri dapat menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri sendiri maupun harta bendanya. Inilah merupakan kewajiban tertinggi bagi seorang istri terhadap suami. 28 Kewajiban taat kepada suami ini berlaku dalam segala hal yang tidak bertentangan dengan syara‟, dan selama perintah suami tidak membawa kepada maksiat. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan melakukan hubungan seksual jika hal itu dapat mendatangkan bahaya bagi istrinya. Dalil yang dipakai sebagai dasar pendapat beliau ialah firman Allah surat al-Nisa ayat 19 : )19 :4/ )النساء Artinya: ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (Q.S. An-Nisa/4:19) 28 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali, 2009, h.160. 65 Keharusan mempergauli istri dengan cara yang makruf ini berlaku bagi suami pada setiap keadaan. Ini dapat dipahami dari kelanjutan ayat di atas : ”Maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Memaksakan persenggamaan dengan cara kekerasan adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Perbuatan itu hanya akan menyebabkan penderitaan batin dan fisik istri. Ketidaksiapan istri melayani hubungan seksual yang dipaksakan hanya akan mendatangkan berbagai gejala gangguan kesehatan baru pada organ reproduksinya. Penolakan istri bersumber pada dua faktor, yaitu fisik dan psikis. Sedangkan pemaksaan suami dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu libido seksual dan sikap perilaku seksual. Al-Qur‟an surat al-Baqarah : 233 )233 :2/ )البقراة Artinya: ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan 66 cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Al-Baqarah/2:233) Ayat di atas sering di salah pahami dan digunakan sebagai alasan suami untuk menang sendiri. Suami memposisikan istri sebagai objek yang harus menuruti kemauan suami, khususnya masalah seks. Sementara itu, di pihak istri sering memandang bahwa ini adalah bentuk sebuah pengorbanan, bukan hanya untuk suami saja, melainkan juga untuk menjaga keutuhan keluarga. Salah satu tujuan Allah memberikan wadah pernikahan bagi umatnya adalah untuk menghalalkan hubungan seksual diantara setiap pasangan. Suami halal menikmati tubuh istrinya, dan begitu juga dengan istri halal untuk menikmati tubuh suaminya. Persetubuhan yang dilakukan diluar pernikahan disebut zina. Persetubuhan yang halal menjadikan tentram di hati pasangan yang melakukannya. Tidak terbesit rasa khawatir, cemas di dada mereka terhadap perkataan fitnah dari orang lain saat berhubungan badan dengan pasangannya. Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah persetubuhan yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang 67 dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan. Di dalam islam persetubuhan yang akan dilakukan oleh kedua pasangan haruslah dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dimulai dengan cumbu rayu dan ciuman. Idealnya suami yang akan menggauli istrinya menghindari cara-cara kekerasan. Suami yang menggauli istrinya dengan kekerasan akan menyebabkan banyak penderitaan bagi istri.29 )228 :2/ )البقراة 29 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007. 68 Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” )AlBaqarah/2:228( Ayat ini menerangkan tentang hak laki-laki yang menjadi kewajiban perempuan dan hak perempuan menjadi kewajiban laki-laki. Dalam ayat ini telah diberikan pengutamaan kepada hak istri yang menjadi kewajiban suami, kemudian baru hak suami yang menjadi kewajiban istri. Maka hak-hak perempuan ada sebagian diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur‟an dan ada pula sebagian diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya. Perempuan telah dipandang enteng dalam banyak masyarakat, namun hal yang aneh adalah bahwa kesalahan ini sering dislaahkan pada ajaran islam, yang telah memperlihatkan respek sepenuhnya dan rasa keadilan kepada perempuan. Allah berfirman : ”perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya (dalam bentuk tenggungjawab keuangan), di sini tampak dengan jelas ketentuan hak dan kewajiban yang sama antara suami dan istri. Meskipun demikian satu catatan, pada masyarakat tertentu masa lalu, bahwa perempuan cenderung memberikan lebih ketimbang hak yang mereka 69 terima, tau bahwa mereka diperlakukan dengan kekerasan yang tidak semestinya dan diremehkan.30 Telah diterangkan dalam surat al-Baqarah bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, dan Allah telah menaikan kedudukan lakilaki satu tingkat daripada perempuan yaitu hak mengatur dan hak mengetuai yang keduanya berada di tangan pihak laki-laki, oleh karena dua sebab. Pertama, pada umumnya laki-laki mempunyai kelebihan watak dari perempuan. Kedua, laki-laki mempunyai kewajiban untuk membelanjai perempuan, mengeluarkan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Dan dalam surat al-Baqarah juga telah diterangkan apa kewajiban istri terhadap suaminya dan sebaliknya sebagai suami istri. Jika pihak suami berkehendak melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan suami istri, maka perempuan tidak boleh membantah kalau bukan karena ada halangan atau udzur. Adalah satu kesalahan yang masuk daftar dosa besar, jika pihak istri menolak selapik seketiduran (bersetubuh).31 Mempergauli suami dengan baik merupakan akhlak yang mulia dan amal yang baik. Seorang istri yang melakukan hal tersebut akan mendapatkan pahala besar dari Allah.32 30 Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2004, h.18. 31 Syekh H. Abdul Halim Hasam Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h.261. 32 Ali Yusuf As-Subky, Membangun Surga Dalam Keluarga, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing), Cet 1 April 2005, h.147. 70 )222 :2/ )البقراة Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” )Al-Baqarah/2:222( Suami tidak diperbolehkan mengumpuli istri sehingga mandi setelah haidnya berhenti. Apabila melakukannya dengan sengaja, maka dia berhak membayar kafarat. 1 dinar atau ½ dinar, 4,25 gr.33 Menurut bahasa kata isyrah adalah berkumpul atau bercampur. Sangat dianjurkan kepada pasangan suami istri agar bergaul dengan etika yang baik, lemah lembut dan bersama-sama menaggung beban hidup.34 33 Syamsuddin TU, Dosa-dosa yang Diremehkan, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar), Cet 1 Nov 1995, Cet 2 Feb 2005, h.58-59. 34 Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani Press), Cet 1 2005, h.682. 71 Artinya: Dari Abu Sa‟id Al Khudri ra, dia berkata, ”Seseorang mengucapkan ‟Azl di hadapan Nabi saw, lalu beliau bertanya, ‟Apa yang kalian maksudkan?‟ Para sahabat berkata, ‟Seorang laki-laki mempunyai istri yang sedang menyusui, lalu laki-laki itu menyetubuhinya tetapi tidak menginginkan istrinya hamil (maka ia melakukan azl). Juga seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, lalu laki-laki tersebut menyetubuhinya tetapi ia tidak ingin budak perempuannya hamil (maka ia melakukan azl).‟ Rasulullah saw bersabda, ‟Jangan kalian melakukan hal itu, karena kehamilan itu adalah takdir. Kata Ibnu Aun, “Aku ceritakan hal itu kepada Al Hasan, Lalu ia berkata,‟Demi Allah ! Hal seperti ini adalah sebagai peringatan keras.‟”35 Artinya: ”Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya bercampur, lalu sang istri menolaknya melainkan Allah yang ada di langit murka kepadanya sehingga suami meridhainya.” (HR. Muslim) Dalam islam, pernikahan bertujuan untuk melindungi kali-laki dan perempuan dari perbuatan zina. Dan hal itu akan terwujud jika tiap-tiap pihak, baik suami dan istri saling menunaikan kewajibannya. Oelh karena itu, banyak hadis yang menganjurkan kaum wanita agar segera memenuhi keinginan suaminya sedapat mungkin meski banyak kesibukan, kecuali jika ada alasan yang tidak dapat dihindari.36 Sabda Rasulullah saw, 35 Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim Buku 1, Beirut : Al Maktab Al-Islami, h.582. 36 Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.171. 72 Artinya: ”Yang demikian itu adalah pembunuhan terhadap anak secara sembunyi.” (HR. Muslim) Azl yaitu seorang suami mencabut kemauan dari kemaluan istrinya pada saat akan orgasme agar air maninya keluar diluar kemaluan istrinya, baik dilakukan terhadap budak dengan tujuan agar tidak hamil dan melahirkan anak atau terhadap wanita merdeka karena adanya kekhawatiran akan dampak yang kurang baik terhadap istri yang sedang menyusui atau karena tidak menghendaki kehamilan terlebih dahulu. Dari hadis di atas menunjukkan pengharaman terhadap tindakan tersebut. Karena al-wa‟du berarti mengubur anak dalam keadaan hidup. Ibnu Hazm berpegang pada hadis tersebut. Jumhur ulama mengemukakan, ”Azl itu dibolehkan terhadap wanita merdeka dengan seizinnya dan juga terhadap budak wanita tanpa harus ada izin darinya. Namun mereka masih berbeda pendapat tentang seorang wanita mereka yang bercampur dengan budak”.38 Dari Abu Daud dan An-Nasai dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda, Artinya: ”Allah tidak akan melihat seorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan lewat dubur”. (Sanad hadis ini shahih) Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, )141 / مسلم (النكاح37 Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.172. صححه االلباني اداب الزفاف سحيخ الجامع الصغير39 38 73 Artinya: ”Dilaknat orang yang mencampuri istri dari duburnya”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi)41 Segala macam obat-obatan untuk membatasi kelahiran harus dihindarkan penggunaannya, kecuali dalam kondisi darurat, seperti wanita mempunyai gangguan rahim atau penyakit lainnya yang mengganggu kehamilan. Dan obatobatan tersebut hanya boleh digunakan oleh wanita yang mempunyai anak lagi yang seandainya dia mengandung lagi. Dia merasa berat dan tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Sangat tidak dibenarkan bagi wanita yang mengkonsumsi obat-obatan anti hamil hanya agar bisa bekerja atau memperlancarkan karir bisnisnya.42 Seorang istri dalam sebuah bangunan rumah tangga memegang peranan penting yang tidak kalah dibandingkan dengan peranan suami untuk mewujudkan sebuah keluarga yang surgawi dan penuh taburan rahmat dari Allah SWT. Tidak sedikit kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang istri. Kewajiban yang paling penting yang harus dijalankan dengan baik oleh seorang istri adalah melayani dan mematuhi suaminya dalam hal berhubungan dengan sebuah kedekatan keluarga antara suami dan istri, sehingga suami benar-benar terhibur dan hatinya selalu )2162 ( ابوداود40 Muhammad ‟Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet1 1998, Cet24, April, 2007, h.420. 42 Alu Asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jakarta : Darul Haq, 2001, h.98. 41 74 bahagia memiliki istrinya selalu bahagia memiliki istri yang dapat dipertanggungjawabkan.43 43 Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta : Darussalam, Cet.1, Maret 2004, h.208. BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG KEKERASAN SEKSUAL A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri Pada salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang cerai gugat, dimana didalamnya membahas masalah KDRT. Dijelaskan mengenai duduk perkara, bahwa istri menggugat cerai suaminya. Karena keharmonisan keluarga sudah tidak didapati lagi. Dalam masalah tersebut, suami melakukan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran keluarga sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004. Akan tetapi, pihak pengadilan tidak menghiraukan masalah tersebut. Pengadilan hanya menyetujui permintaan istri untuk menggugat cerai suaminya. Menurut pendapat saya, kurangnya perhatian dan kepedulian pihak yang berwajib dalam menangani masalah KDRT. Seharusnya mereka harus memperhatikan hukuman bagi orang yang melakukan KDRT dan penanganan bagi korban. Dalam salinan putusan tersebut, suami memukul istri beberapa kali 74 75 terjadi. Suami juga tidak memberi nafkah lahir dan bathin kepada istri dan anakanaknya selama lebih dari 7-8 bulan.1 Hukum islam tampaknya belum mengakomodir masalah pemerkosaan dalam rumah tangga, salah satunya karena tidak ada nash yang secara khusus memberikan penjelasan tentangnya. Hadits yang berbunyi : Artinya: ”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, sedangkan istrinya tidak memenuhinya, lantas semalaman suami merasa kecewa terhadapnya, maka dia dilaknat malaikat hingga pagi”. (HR. Bukhari dan Muslim)3 Secara tekstual, hadits di atas terkesan tidak mencerminkan keadilan, kesetaraan hak, dan mu’asyarah bi al-ma’ruf. Banyak ulama menyarankan agar hadits di atas tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah mengatakan bahwa laknat malaikat itu muncul bila penolakan istri dilakukan tanpa alasan. Sedang Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa laknat itu terjadi apabila istri menolak senggama, padahal ia sedang longgar dan tidak takut disakiti. Alhasil, pada prinsipnya seorang suami itu tidak boleh memaksakan kehendak kepada istrinya, khususnya terkait perkara seksualitas. Memaksa berarti memperlakukan pasangan secara tidak manusiawi dan memandangnya 1 Lampiran Salinan Putusan Nomor 809/Pdt.G/2010/PAJS 2 )120/) و مسلم (النكاح5193( البخارى 3 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya’by, juz III, h.260. 76 tidak lebih sekadar objek pemenuhan nafsu seks, dan ini adalah tindak pidana pemerkosaan, yakni pemerkosaan dalam ikatan perkawinan. Di Indonesia, persoalan marital rape masih menjadi perdebatan. KUHP sendiri tidak menyebutkan status dan sanksi hukumannya, hingga masyarakat pun kurang meresponnya. Padahal, bila masalah ini dibiarkan dan tidak ditangani, kaum perempuan terus akan dirugikan dan dilukai fisik maupun psikisnya. Marital rape hingga saat ini belum mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum maupun pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan terhadap hak-hak korban dan memberi hukuman setimpal bagi pelaku. Walaupun UndangUndang No.23 Tahun 2004 tentang P-KDRT telah disahkan, namun dalam Pasal 46 yang mengatur soal sanksi tidak menyebutkan hukuman minimal, sehingga hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku cenderung masih jauh dari rasa keadilan. Sudah saatnya Hukum Islam dan Hukum Pidana merespons masalah ini. Hukum Islam, secara khusus harus bisa menangkap sisi normatif Al-Qur’an dan hadits sekaligus sisi sosiologis dan psikologis dalam memandang kasus marital rape. Demikian pula, Hukum Pidana sudah semestinya membuka diri bagi usahausaha menjaring kasus marital rape dengan pasal-pasal yang ada dan berlaku.4 4 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.9. 77 Reproduksi merupakan salah satu karakteristik makhluk hidup. Reproduksi manusia diawali dengan pertemuan sperma dan ovum dalam sebuah aktivitas persetubuhan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dalam kehidupan berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan seks, istri pun tidak bisa membunuh naluri dasariah tersebut. Sungguhpun kekerasan seksual suami terhadap istri dalam perkawinan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, namun persoalan ini jarang sekali diselesaikan secara hukum, bahkan dibahas secara terbuka pun masih tabu. Mungkin dikarenakan perangkat hukumnya belum memadai dan kurangnya perhatian pihak yang berwenang. Kenyataan itu didukung pula budaya yang masih menganggap tabu menceritakan aib rumah tangga dan korbannya dalam hali ini istri lebih memilih diam dengan alasan menjaga keutuhan keluarga. Di dalam perkawinan, marital rape masih dianggap persoalan internal keluarga. Penerapan pasal-pasal delik kesusilaan KUHP, khususnya pasal 285, kurang memenuhi rasa keadilan. Vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidananya tidak mencapai setengah dari besarnya sanksi. Padahal penderitaan yang dialami korban pemerkosaan tak dapat diukur. Korban mengalami stress, depresi, trauma dan bahkan kegilaan. Menurut Zakiyah Drajat, seorang psikolog dan ustadzah berpendapat dalam Islam, jelas seorang istri tidak boleh menolak bila suami ingin dilayani bathiniah. Seharusnya seorang perempuan sadar akan fitrahnya sebagai istri yang tugasnya 78 melayani suami. Marital rape lebih baik ditangani psikolog atau pemuka agama, jangan diatur KUHP.5 Menurut Quraish Shihab, seorang ahli tafsir Indonesia yang terkenal berpendapat pemerkosaan itu haram hukumnya dalam islam, walaupun dilakukan terhadap istrinya. Dalam agama islam, istri memang berkewajiban turut pada perintah suami. Tapi kalau permintaan dan perintah suami itu melanggar norma agama seperti meminta hubungan seksual ketika masa nifas, terlarang hukumnya atas nama agama bagi sang istri untuk menuruti perintah suaminya. Istri mempunyai hak untuk mengadukan pada hakim atas perbuatan suaminya itu. B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri Berdasarkan penelitian bahwa Islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara umum. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan 5 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.64. 79 perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu melalui pemberian sanksi/hukuman dimana hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari empat bagian yaitu Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat; Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Pemulihan Korban; dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Penerapan Sanksi Hukum. Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu Perjanjian suami atas istri ketika akad nikah (Sighat Ta’liq Talaq) dan Hak perempuan atas suami untuk meminta cerai (Khulu’). Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Perlindungan Sementara; Penetapan Perintah Perlindungan Oleh Pengadilan; Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian; Penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif; Pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hakhak korban dan proses peradilan; Pendampingan advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. 80 Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembentukan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga diharapkan nantinya akan membuat kinerja Pemerintah Indonesia semakin optimal dan efektif dalam mengatasi tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Implikasi praktis penelitian ini adalah adanya penghargaan dan penghormatan terhadap kaum perempuan sehingga mereka tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Implikasi teoritis dan praktis ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar cita-cita Pemerintah Indonesia menghapus tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga dapat segera terwujud. Istilah perkosaan terhadap istri merupakan istilah baru yang belum dikenal luas oleh masyarakat, sebab selama ini pengertian perkosaan lebih dikhususkan pada perkosaan terhadap perempuan yang terjadi diluar perkawinan. Pandangan sebagian masyarakat selama ini, apabila seseorang telah menjadi suami istri, maka seorang suami memiliki hak penuh atas istrinya, termasuk kepemilikian penuh atas organ reproduksi perempuan. Pandangan demikian banyak dipengaruhi pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang terkait dengan persoalan relasi suami istri. Selain itu, pengertian perkawinan yang diungkapkan oleh sebagian besar ahli fiqh yang mengartikan perkawinan sebagai ‘aqd tamlik (hak kepemilikan) telah menempatkan seorang suami sebagai pemilik penuh terhadap perempuan yang menjadi istrinya. 81 Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkosaan dalam rumah tangga merupakan perbuatan yang dilarang, karena bertentangan dengan firman Alllah dalam QS. ALBaqarah /2:187). Dengan demikian, suami maupun istri tidak boleh memaksa melakukan hubungan seksual, sebab memaksa itu sama halnya dengan memperlakukan pasangannya tidak manusiawi, memandang pasangannya sebagai obyek pelampiasan nafsu, serta menempatkan pasangannya seperti layaknya orang yang dijajah. Sedangkan dalam kajian hukum pidana Islam, perkosaan terhadap istri dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang termasuk jarimah ta’zir. Padahal larangan pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga telah ditegaskan di dalam pasal 8 huruf a UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2003, yaitu : "Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut". Pengertian Undang-undang di atas bisa jadi sangat bias, sehingga seorang isteri tidak dapat menolak keinginan seks suami walau dengan alasan yang dapat diterima. Karena kalimat 'pemaksaan hubungan seksual' tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan UU penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004. Belum adanya hukum yang ditetapkan secara tegas terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap istri dalam hukum pidana Islam, mengakibatkan kerancuan dan kesewenangan itu senantiasa lestari. 82 Kesimpulannya pasal 8 Undang undang penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004 tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam bahwa istri harus patuh pada suami, khususnya dalam melayani hubungan seksual, akan tetapi akan sebaliknya apabila ada kekerasan dalam melakukan hubungan seksual. Justru Undang undang penghapusan KDRT pasal 8 ini ingin mengcounter pandangan yang menempatkan istri sebagai sex provider atas nama institusi perkawinan. Prinsipnya bahwa setiap orang berhak memiliki control atas integritas tubuhnya dan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Tidak ada satu institusipun yang berwenang merenggut hak-haknya ini. C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri Menurut penulis, azl dengan marital rape itu berbeda. Azl adalah mengeluarkan sperma diluar vagina istri. Jadi, pada mulanya suami istri melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi, pada saat sperma ingin keluar, suami tidak mengeluarkan dalam ovum. Suami mengeluarkan sperma diluar vagina istri. Akibatnya, istri tidak merasakan kenikmatan saat berhubungan. Menurut pendapat para ulama, azl termasuk salah satu bentuk pemaksaan hubungan seksual. Sedangkan marital rape, adalah melakukan pemerkosaan atau kekerasaan yang dilakukan suami kepada istri untuk melakukan hubungan seksual. Pada mulanya istri tidak mau atau tidak siap melayani hubungan seksual dengan suaminya. Akan tetapi, suami memaksa dan tidak mau mengerti. Menurut 83 Undang-Undang No.23 Tahun 2004, marital rape termasuk bentuk pemaksaan hubungan seksual. Menurut hukum islam melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau marital rape. Marital rape bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar islam tentang seksualitas dalam perkawinan. Terkait dengan soal relasi suami istri, islam setidaknya menggariskan 2 prinsip ajaran yaitu persamaan hak suami istri dan relasi yang baik atau mu’asyarah bi al ma’ruf. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku orang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, verbal maupun nonverbal yang menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis. Kekerasan didalam rumah tangga bisa berupa kekerasaan fisik, kekerasaan emosional, kekerasaan ekonomi dan juga kekerasaan seksual. Pemerkosaan merupakan bentuk kekerasaan seksual yang dialami laki-laki maupun perempuan. Kekerasaan seksual bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Akan tetapi, pada umumnya terjadi dengan pelaku laki-laki dan korban perempuan. Di dalam hukum islam, salah satu unsur penting dalam penetapan hukum adalah maqasid asy-syari’ah. Prinsip maqasid asy-syari’ah (perlindungan maslahah primer, kepentingan umum, dan hak-hak dasar manusia), sexual equality (persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan) dan mu’asyarah bi alma’ruf (relasi suami istri yang baik dan patut) sebagaimana yang diajarkan hukum islam. Menurut penulis, harus dikampayekan dalam rangka menyikapi marital 84 rape, baik sebagai bentuk kekerasaan terhadap perempuan maupun sebagai masalah hukum dan perundang-undangan. Suami, dalam pandangan hukum islam tidak memiliki hak monopoli seksual atas istrinya. Hubungan seksual suami istri harus dilakukan di atas kerelaan dan kesetaran dua pihak. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemerkosaan adalah sebuah penghinaan paling serius terhadap integritas perempuan. Ia merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terberat karena tidak hanya membawa dampak buruk yang sifatnya fisik tapi juga psikis. Oleh karena itu, sudah semestinya diperjuangkan sistem yang lebih adil dan lebih melindungi hak-hak seksual perempuan. Islam sangat mengecam tindak pidana pemerkosaan, juga pemerkosaan yang dilakukan suami atas istri. Islam datang dengan misi pokonya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh makhluk, laki-laki maupun perempuan. Islam mengajarkan relasi seksual suami istri yang sejajar dan setara. Kesejajaran dan kesetaraan ini tertuang dalam ajaran islam tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan dan reasi yang baik dan patut antara suami dan istri (mu’asyarah bi al-ma’ruf). 1. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif Fiqh. Ulama’ Madzhab memandang ‘azl (coitus interruptus) yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau keluar mani merupakan kekerasan seksual. Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. 85 86 2. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT antara lain ialah Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan, Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu, Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera. 3. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, penolakan dan pemaksaan sering kali mengambil dua macam bentuk. Bentuk pertama ialah ”pemaksaan” yang timbul akibat dari sikap batin istri yang menolak seluruh gagasan tentang hubungan seksual itu sendiri. Sikap batin tersebut dapat berupa trauma, rasa takut atau anggapan jijik terhadap perilaku seksual dan sebagainya yang dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual. Apabila gangguan-gangguan seksual di atas de derita seorang istri, maka hubungan seksual hampir tidak mungkin dapat dinikmati dengan normal. Bentuk kedua ialah penolakan dan pemaksaan murni. Yaitu setiap bentuk pemaksaan yang dilakukan oleh sebab penolakan istri secara frontal untuk melayani permintaan suami. Seperti, adanya unsur penganiayaan yang dilakukan oleh suami. 87 B. Saran-Saran 1. Masih banyak praktik-praktik pelecehan perempuan terutama yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya yang belum atau kurang disadari, bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Kondisi ini disebabkan oleh begitu kuatnya pranata social dalam masyarakat, sehingga manusia menjadi tidak sadar bahwa semuanya itu perlu untuk ditinjau kembali demi keadilan bagi seluruh anggota masyarakat 2. Islam mengajarkan nilai-nilai persamaan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masingmasing. Islam senantiasa menempatkan segala sesuatu secara proporsional dan seimbang. Pola relasi yang harmonis dan seimbang antara suami dan istri dalam rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah adalah sangat diharapkan oleh Islam. Oleh karena itu, hendaknya setiap Muslim, mampu meningkatkan pemahaman dan pengamalan agamanya. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahannya. Abdul Azizi bin Baaz, Asy Syaikh Al „Allaamah, Fatwa-Fatwa Islamiyah Untuk Ukhti Muslimah, Solo : At –Tibyan. Abu Syuqqah, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, Jakarta : Gema Insani Press, Cet 1 1998. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Alu Asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jakarta : Darul Haq, 2001. Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim Buku 1, Beirut : Al Maktab Al-Islami. Al-Fauzan, Saleh, Fikih Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, Cet 1 2005. Al-Wazan, Amin bin Yahya, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, Jakarta : Darul Haq, Cet V, Maret, 2008. Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru”, Yogyakarta : IRCiSoD, Cet.1, Mei 2003. Amini, Ibrahim, Hak-hak Suami dan Istri, Jakarta : Cahaya, Cet 1 April 2008. Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta : Darussalam, Cet.1, Maret 2004. As-Subky, Ali Yusuf, Membangun Surga Dalam Keluarga, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, Cet 1 April 2005. As-Sya‟rawi, Syaikh Mutawalli, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Jakarta : Sinar Grafika, Cet 1 Sep 2003, Cet 2 Jan 2005. Asy-Syarif, Isham bin Muhammad, Meneladani Kehidupan Rasulullah dan Para Istrinya, Jakarta : Cendikia, Cet.1, Juni 2007. 88 89 Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006. Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R. Dyatmiko Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : Perpustakaan Nasional, Cet 1, Mei, 2006. Djannah,Fathul, dkk, Kekerasan Terhadap Istri, Yogyakarta : LKiS. F. Mas‟udi, Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung : PT. Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam, Cet. II, 1997. Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional, Cet pertama, 1992. Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Media Pratama, 2004. Jakarta : Gaya Ghozali, Abdul Muqsit, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan “Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda”, Jakarta : Rahima, Cet.1, 2002. Hasam Binjai, Syekh H. Abdul Halim, Tafsir Al-Ahkam. Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, Cet 3, 2001. Ibn Saurah, Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Sunnah at-Turmudzi, Beirut : Dar al Fikr, 1994. Idrus, Nurul Ilmi, Marital Rape, Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan, Yogyakarta : Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation, Cet.1, 1999. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi, Jakarta : Teraju, Cet 1 Sep 2004. Kakhya, Thariq Ismail, Nikah dan Seks Menurut Islam, Jakarta : Dar Al-Mathbu‟ah Al-Haditsah, Cet 1 April 2001, Cet 4 Juli 2005. Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, Jakarta : CV. Amalia, 1986. 90 Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007. Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Abu Abdullah, Shahih al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya‟by, Juz III, hal.260. Muhammad ‟Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet1 1998, Cet24, April, 2007. Mulia, Siti Musdah, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal manusia : Modul Pelatihan Untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi Dalam Perspektif Pluralisme, Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender, Cet.1, 2003. ____________, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung : Penerbit Mizan, Cet.1, 2005. Munti, Ratna Batara, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga “sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. LBH-APIK Jakarta, 2005. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet 1, Maret, 2005. Nailul Authar, Juz 5. Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Malang: LBH APIK dan Pusat Pengembangan Hukum Dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, Cet ke 3, 2008. Suaedy, Ahmad, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren Jakarta : PT Grasindo. Subhan, Zaitunah, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara. Subulus Salam, Juz 3. Sukri, Sri Suhandjati, dkk, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta : Gama Media, 2002. 91 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut AlQur’an dan As-Sunnah, Jakarta : Akbar Media, Cet.1, Januari 2009, Cet.2, Desember 2009. Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : Prenada Media Kencana, Cet.1, 2003. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali, 2009. Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cet.3, 2005. TU, Syamsuddin, Dosa-dosa yang Diremehkan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, Cet 1 Nov 1995, Cet 2 Feb 2005. Wajidi, Farid, dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta : Yayasan Benteng Budaya, 1994. Peraturan Perundang-undangan : Surat Mohon Data/Wawancara Kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan Lampiran Salinan Putusan Nomor 809/Pdt.G/2010/PAJS Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT) LAMPIRAN-LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perlindungan dari perempuan, negara dan/atau harus mendapat masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 2 dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 2. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 3. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi 3 korban kekerasan dalam rumah tangga. 4. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 5. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban. 7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan. Pasal 2 (1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: b. suami, isteri, dan anak; c. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau d. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. BAB II ASAS DAN TUJUAN 4 Pasal 3 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: b. penghormatan hak asasi manusia; c. keadilan dan kesetaraan gender; d. nondiskriminasi; dan e. perlindungan korban. Pasal 4 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan: b. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; c. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; d. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan e. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. BAB III LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: b. kekerasan fisik; c. kekerasan psikis; d. kekerasan seksual; atau e. penelantaran rumah tangga. Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, 5 hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Pasal 9 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. BAB IV HAK-HAK KORBAN Pasal 10 Korban berhak mendapatkan: a. perlindungan dari pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, atau kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap 6 tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. BAB V KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Pasal 11 Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 12 (1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah: a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri. (3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 13 Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: 7 b. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; c. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; d. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan e. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Pasal 14 Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. Pasal 15 Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: b. mencegah berlangsungnya tindak pidana; c. memberikan perlindungan kepada korban; d. memberikan pertolongan darurat; dan e. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. BAB VI PERLINDUNGAN Pasal 16 (2) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada 8 korban. (3) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. (4) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pasal 17 Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pasal 18 Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. Pasal 19 Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 20 Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: b. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; c. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan d. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Pasal 21 (1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus: a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan 9 visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. (2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pasal 22 (1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. (2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pasal 23 Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat: b. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; c. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; d. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan e. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada 10 korban. Pasal 24 Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. Pasal 25 Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan proses peradilan; b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau c. melakukan pendamping, koordinasi dan dengan pekerja sesama sosial agar penegak proses hukum, relawan peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Pasal 26 (2) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. (3) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Pasal 27 Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 11 Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. Pasal 29 Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: b. korban atau keluarga korban; c. teman korban; d. kepolisian; e. relawan pendamping; atau f. pembimbing rohani. Pasal 30 (1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. (3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya. (4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. Pasal 31 (1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk: a. menetapkan suatu kondisi khusus; b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan 12 bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 32 (1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. (2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. (3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya. Pasal 33 (1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. (2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. Pasal 34 (1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. (2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. Pasal 35 (2) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. 13 (3) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. (4) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2). Pasal 36 (1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Pasal 37 (1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. (2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi. Pasal 38 (1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. 14 (2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. (3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. BAB VII PEMULIHAN KORBAN Pasal 39 Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: b. tenaga kesehatan; c. pekerja sosial; d. relawan pendamping; dan/atau e. pembimbing rohani. Pasal 40 (2) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. (3) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban. Pasal 41 Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban. Pasal 42 Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama. Pasal 43 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 44 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana mengakibatkan matinya korban, dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 16 oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 49 17 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); c. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). Pasal 50 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; c. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Pasal 51 Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Pasal 52 Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan. Pasal 53 Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 54 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain 18 dalam Undang-undang ini. Pasal 55 Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 19 BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO 20 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I. UMUM Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup kewajibannya rumah harus tangga didasari dalam oleh melaksanakan agama. Hal ini hak perlu dan terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku 21 kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum pengaturan tentang masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai 22 penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan. Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan melaksanakan menyelenggarakan tindakan komunikasi, pencegahan, informasi, dan antara edukasi lain, tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk UndangUndang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan 23 berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah termasuk anak angkat dan anak tiri. Huruf b Yang dimaksud dengan “hubungan perkawinan” dalam ketentuan ini, misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan. Huruf c. Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk 24 mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional. Huruf c. Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga 25 atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga bantuan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. Huruf e Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan 26 melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “kerja sama” adalah sebagai wujud peran serta masyarakat. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan ini adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 27 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar yang ditentukan. Misalnya, trauma center di Departemen Sosial. Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif” dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan dan/atau dijauhkan dari pelaku. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 untuk dipisahkan 28 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a 29 Yang dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan ini adalah pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki membuntuti, korban. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 tempat tinggal mengawasi, bersama, atau larangan mengintimidasi 30 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. 31 Pasal 50 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah lembaga yang sudah terakreditasi menyediakan konseling layanan kelompok bagi pelaku. konselor, Misalnya atau yang rumah sakit, mempunyai klinik, keahlian memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu tertentu. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa. Pasal 56 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4419 32