Halaman Isi - Library Binus

advertisement
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 SUMBER DATA
Data dan Informasi yang dipakai dalam pembuatan tugas akhir ini diperoleh
dari beberapa sumber, antara lain:
1. Data Sumatif: Berasal dari survey dan artikel internet.
2.2 DATA PROYEK
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam
beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif
yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. World Health Organization (WHO)
dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun
2002, menemukan bahwa antara 40% hingga 70% perempuan yang meninggal karena
pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Laporan
Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan
KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup
rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya
dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat
langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.”
Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan
melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.
Data statistik tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Mitra Perempuan, salah satu lembaga
layanan Crisis Center di Jakarta menjelaskan bahwa kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) masih merupakan kasus terbanyak ditahun 2007, yakni 87,32 % dari
284 kasus kekerasan. Dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami (77,46%),
mantan suami (5,28%), orang tua/mertua (2,11%), saudara dan anak serta majikan.
Usia perempuan yang mengalami kekerasan 3,53% (18 tahun ke bawah), sedangkan
88,69% perempuan berusia 26 tahun keatas. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta
(2005); menunjukkan bahwa 9 dari 10 perempuan telah mengalami lebih dari 1 (satu)
jenis kekerasan (berganda/berlapis); diantaranya kekerasan fisik, psikis, seksual &
penelantaran dalam rumah tangga. Mereka yang mengalami kekerasan fisik 54,22%,
kekerasan psikis 94,72%, sedangkan kekerasan seksual 29,92% dan penelantaran
ekonomi 70,10%. Di samping konflik domestik 61,27 % diantaranya perebutan hak
perwalian anak, hak waris & harta bersama, poligami dan perceraian, juga menyertai
kasus kekerasan yang mereka alami. Data juga menunjukkan dampak kekerasan
terhadap kesehatan perempuan yang mengalami kekerasan masih tetap
memprihatinkan, dimana 9 dari 10 perempuan mengalami dampak kekerasan yang
6
7
mengganggu kesehatan jiwanya (mental health) termasuk 12 orang pernah mencoba
bunuh diri, sedangkan 13,12% dari mereka terganggu kesehatan reproduksinya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre
(RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden
(istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2%
mengalami kekerasan fisik.
Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku)
menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari
wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.
Korban (istri) yang bekerja dan suami tidak
bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami
(RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower
(1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan
hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang),
kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian
responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20
responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan
pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang
menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan
fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak
kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri
dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu,
pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami
kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.
Signifikansi menggunakan gender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini
yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan
obeservasi sebagai berikut, “Daripada menanyakan kenapa pihak pria memukul,
terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri”. Analisa
gender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa pria melakukan kekerasan,
tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima
oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting
dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak
asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender
adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut
terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan
yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan
oleh Sally E. Merry, “Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk
memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul,
dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”.
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu
8
tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah
diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi,
dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki
dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan
perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap
stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah,
sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri
sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor
dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan
bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi
pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri
mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada
tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak
boleh ikut campur (http://kompas.com).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap
perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga
menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun
kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat,
fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang
privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung
jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik
itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau
mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.
Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya
solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian besar
masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun
juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM internasional,
tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah diakui sebagian besar
negara di dunia.
Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar
untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan
diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya
sendiri. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di
bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah,
menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak
mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak
sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana
pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu
9
keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama
maupun wilayah.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 bentuk tindak kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 macam, yaitu:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka-luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain:
a. Menampar
b. Memukul
c. Meludahi
d. Menarik rambut
e. Menendang
f. Menyundut dengan rokok
g. Memukul/melukai dengan senjata
Dan lalu akibat dari perlakuan kekerasan fisik pada perempuan ini, akan
menyebabkan beberapa hal ini:
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari.
c. Pingsan
d. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera
f. Mendapat cacat
g. Menderita sakit lumpuh
h. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
i. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
j. Kematian korban
2. Kekerasan Psikologis / Emosional
Kekerasan secara psikologis atau emosinal terbagi dalam 3 bagian, yaitu:
a. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan:
• Pengendalian
• Manipulasi
• Eksploitasi
• Kesewenangan
• Perendahan dan penghinaan
• Bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial
• Tindakan atau ucapan yang merendahkan atau menghina
• Penguntitan
• Kekerasan dan ancaman kekerasan fisik, seksual, dan
ekonomis
10
Yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan
obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya
berat dan atau menahun.
• Gangguan stress pasca trauma.
• Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis).
• Depresi berat atau destruksi diri.
• Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan
realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya.
• Bunuh diri.
b. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan:
• Pengendalian
• Manipulasi
• Eksploitasi
• Kesewenangan
• Perendahan dan penghinaan
• Pelarangan
• Pemaksaan dan isolasi sosial
• Tindakan atau ucapan yang merendahkan atau menghina
• Penguntitan
• Ancaman kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi
Yang masing-masing bisa mengakibatkan penderitaan psikis
ringan, berupa salah satu atau beberapa hal dibawah ini:
• Ketakutan dan perasaan terteror.
• Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak.
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi
seksual.
• Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis).
• Fobia atau depresi temporer.
3. Kekerasan Seksual
a. Kekerasan Seksual Berat, berupa:
• Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan, dan atau menyakitkan.
11
• Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak mengkehendaki.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
• Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
• Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
b. Kekerasan Seksual Ringan, berupa:
Pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan
porno, siulan, ejekan dan julukan. Atau secara non-verbal seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban yang
bersifat melecehkan dan atau merendahkan korban.
c. Melakukan Repitisi, berupa:
Kekerasan seksual ringan dapat dimasukan dalam kategori jenis
kekerasan seksual berat.
Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri
(formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa
melihat implikasinya. Implikasi itu sendiri harus nya dimasukkan
sebagai unsure pemberat (hukuman). Imlikasi tersebut misalnya,
rusaknya hymen, hamil, keguguran, terinfeksi Penyakit Menular
Seksual (PMS), kecacatan, dll.
4. Kekerasan Ekonomi
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi,
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
• Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
• Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
• Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Dalam kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk
mengendalikan korban.
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak
perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Efek psikologisnya berupa:
• Rasa takut
• Rasa cemas
12
• Letih
• Kelainan stress post traumatic
• Gangguan makan dan tidur yang merupakan efek jangka panjang
dari tindak kekerasan
• Terganggunya kesehatan reproduksi secara biologis yang pada
akhirnya mengakibatkan terganggunya sosiologis.
• Mengisolasi diri dan menarik diri dari masyarakat karena berusaha
menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa
negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka
negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen
internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula
dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui
13
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment (“CAT”). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan
perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban.
Namun perjuangan penghapusan KDRT terus nyaring disuarakan organisasi,
kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All
Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga
berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan
PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang
‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa
Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang
tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan seIndonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas
kekuasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi
dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan
perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan
pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan
anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami
akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat
yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi
laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya
agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana
posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup.
Kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan ini biasanya terdiri
dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan
seksual. Dari segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, meninju, menendang,
menjambak, mencubit dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan terhadap mental
seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, pemaksaan, memaki-maki di
depan umum dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan dalam hal ekonomi jika
14
pasangan sering pinjam uang atau barang-barang lain tanpa pernah
mengembalikannya, selalu minta ditraktir, dan lain-lain.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1)
menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi
kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak
hukum masih timbul berbagai persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas,
terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya
pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar
bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hakhaknya.
Yang patut diketahui adalah bahwa kekerasan, apapun bentuknya, adalah suatu
hal yang akan mengakar dan akan terjadi berulang. Sikap menyesal dan pernyataan
maaf yang dilakukan pelaku adalah suatu fase “reda” dari suatu siklus. Biasanya
setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali
bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, maka
kekerasan akan terjadi lagi.
Oleh karena itu, sebesar apapun cinta yang kita rasakan pada mereka yang
melakukan kekerasan, tetap saja kita tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.
Kekerasan adalah suatu hal yang harus kita laporkan, dengan demikian si pelaku
dapat mendapatkan penanganan yang tepat (konseling dan terapi). Karena dengan
mendiamkan atau tidak melaporkan kekerasan yang terjadi, baik yang kita alami
maupun yang dialami oleh teman kita, sama saja artinya kita membiarkan kekerasan
itu terjadi, dan hal itu tentu bukan suatu hal yang kita ingini. Tidak pada mereka,
tidak pada diri kita.
15
2.3 TARGET KONSUMEN
2.3.1 Target Konsumen Primer
a. Demografi
• Pria dan wanita
• Usia 23 - 35
• Pekerjaan : Pelajar, Mahasiswa, Pekerja
• Kelas Sosial : B-A
b. Geografi
• Daerah Kota dan Sekitarnya
c. Psikografi
Personality
• Peduli dengan seni
• Peka terhadap situasi sekitar
• Fotografer
Behavior
• Penikmat seni
• Penikmat fashion
• Kritis akan segala sesuatu
• Suka pergi nongkrong di Cafe atau Mall
Lifestyle
• Suka mencoba hal yang baru
• Mencintai dunia fashion
2.3.2 Target Konsumen Sekunder
a. Demografi
• Pria dan wanita
• Usia 36 - 45
• Kelas Sosial : B-A
b. Geografi
• Daerah Kota dan Sekitarnya
c. Psikografi
Personality
• Peduli dengan seni
• Personal yang berpikiran luas dan bebas
16
Behavior
• Penikmat fashion
• Kritis akan segala sesuatu
Lifestyle
• Suka mencoba hal yang baru
• Metropolis lifestyle
2.4 KERANGKA BUKU
a. Halaman Judul Dalam
b. Prologue
Psikologi perilaku kekerasan dan cinta terhadap wanita di dalam
hubungan.
c. Isi Buku
1. “Violence”
Pembahasan mengenai wujud kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga dengan tampilan visual melalui hasil fotografi.
2. “Love”
Pembahasan mengenai wujud perasaan cinta kasih terhadap
perempuan dalam rumah tangga dengan tampilan visual melalui
hasil fotografi.
a. Index
2.5 SPESIFIKASI BUKU
Ukuran buku : 24.5 x 33 Centimeter
Halaman
: 130 Halaman Full Color
Binding
: Perfect Binding
Kertas
: Art Paper 150 gr.
17
2.6 SWOT
Strength (Kekuatan)
• Banyaknya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga.
• Tindak kekerasan terhadap permuan dalam rumah tangga yang
didominasi oleh masyarakat kalangan atas.
Weakness (Kelemahan)
• Kurang adanya publikasi dan edukasi melalui visual.
• Sangat minimnya publikasi dan informasi terhadap masyarakat
kalangan atas.
Opportunity (Kesempatan)
pada masyarakat
• Dengan melihat keadaan ekonomi dan sosial
Indonesia yang akhirnya menciptakan issue sosial kekerasan pada
wanita.
• Melihat masyarakat yang mulai kurang tidak peka terhadap masalah
sosial disekelilingnya.
• Kurangnya minat masyarakat untuk mempelajari mengenai masalah
sosial kekerasan terhadap wanita karena kurang menariknya
penyampaian melalui buku dan berita yang bersifat verbal dan audio
sosial yg statis.
• Tingginya ketertarikan minat masyarakat saat ini akan fashion yang
menampilkan keindahan yang terdapat pada wanita.
Threat (Ancaman)
• Kurangnya minat masyarakat untuk mempelajari mengenai masalah
sosial kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga karena
kurang menariknya penyampaian melalui buku dan berita yang
sebagian besar berisi tulisan dan audio visual yang statis.
Download