PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG

advertisement
PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
Oleh:
Wahyu Ernaningsih
Abstrak: Kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak menimpa perempuan, meskipun tidak menutup
kemungkinan ada kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh isteri terhadap suami, yang jelas dalam
suatu tindakan kekerasan yang terjadi kepada istri akan juga berimbas kepada anak. Konsep kekerasan rumah
tangga bukan hanya sekedar kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologi, dan ekonomi. Berbagai macam bentuk
kekerasan ini pada dasarnya memposisikan perempuan tidak ada pilihan dan menjadi pihak lemah yang hampir
tidak berani menuntut haknya. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004
merupakan paying hukum yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dimata hukum. Analisis
tentang perspektif gender dalam UU KDRT merupakan salah satu bentuk pemikiran yang dituangkan demi
pemahaman akan hak-hak perempuan.
Kata Kunci: Perspektif, Gender, Kekerasan, Rumah Tangga.
A. Pendahuluan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004
merupakan payung hukum dan terobosan hukum sangat penting dalam mengupayakan keadilan
bagi korban. Undang-undang ini telah berumur enam (6) tahun, namun demikian masih banyak
yang belum memahaminya. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU No 23 Tahun 2004) disahkan pada tanggal 22 September 2004 oleh
Presiden Republik Indonesia yang kala itu dijabat oleh Megawati Soekarno Putri. Yang menjadi
pertimbangan disusun dan disahkannya UU No 23 Tahun 2004 ini seperti yang tertuang dalam
pembukaan undang-undang ini adalah Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945; Bahwa
segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus dihapus; Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan; Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah
tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; Bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Berdasarkan penjabaran pada Pasal 1 Yang dimaksud Undang-Undang No.23 Tahun
2004 Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam undang-undang ini adalah “setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga”
Lingkup Rumah tangga dalam pasal 2 undang-undang No.23 Tahun 2004 meliputi:
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga, dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Sementara itu jenis atau macam kekerasan yang dimaksud dalam Pasal 5 undang-undang No.23
Tahun 2004 adalah:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; dan
d. Penelantaran rumah tangga.
Dalam United Nation Declaration of Anti Violence of Women, article 1 tahun 1993 memberkan
batasan tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi perempuan secara fisik,
seksual, atau psikologis termasuk ancaman tindakan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.
Dari definisi tersebut diatas menunjukan bahwa perempuan (dewasa dan anak-anak) dapat
mengalami kekerasan melalui berbagai modus, bisa terjadi di berbagai tempat, dapat berdampak
terhadap berbagai aspek, dan dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik perseorangan maupun
korporasi. (Kementrian Negara Pemberdayaan Wanita RI: 2008)
B. Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan,
dengan korbannya laki-laki dan perempuan juga.
Hal ini terjadi adanya relasi yang tidak
seimbang yaitu ada pihak yang diposisikan dalam posisi “superior” dan pihak lainnya
diposisikan dalam posisi “inferior”, sehingga ada pihak yang ter-subordinasi. Dalam rumah
tangga, pada umumnya yang menjadi pihak superior adalah laki-laki (suami, ayah, anak lakilaki) sementara pihak inferior adalah perempuan (isteri, ibu dan anak perempuan). Yang
dimaksud sub-ordinasi adalah pembedaan-pebedaan peran dan posisi terhadap laki-laki dan
perempuan yang menempatkan keduanya dalam situasi berlawanan atau saling melengkapi. Bila
diperhatikan dengan seksama, pembedaannya cenderung menempatkan perempuan dalam posisi
lebih rendah, kurang bernilai dan merugikan. (Kristi Poerwandi dan Ester Lianawati:2010)
Kristi Poerwandari mengatakan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan kekerasan
berbasis gender sering sulit dipahami sehingga sulit pula untuk ditanggulangi secara tuntas. Hal
ini dipengaruhi oleh stereotipe dan pola fikir masyarakat yang disosialisasi dan telah
terinternalisasi serta diturunkan dari generasi ke generasi, seperti posisi dan peran gender (lakilaki dan perempuan) yang berdampak terhadap pandangan mengenai pantas atau tidak pantas,
boleh atau tidak bolehnya suatu hal dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Gender adalah pembagian peran yang diberikan oleh masyarakat kepada laki-laki dan
perempuan, oleh karenanya akan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, berbeda
dari suatu waktu ke waktu lainnya serta dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan adat
istiadatnya. Sementara stereotipe adalah keyakinan yang tidak tepat tetapi terus diulang,
didengungkan, dilanjutkan dari generasi ke generasi, dengan menganggap bahwa laki-laki dan
perempuan “seharusnya” memiliki karakteristik berbeda yang terbentuk sejak sebelum lahir.
Seperti kalau perempuan itu lemah-lembut, pasif, emosional, cerewet, tidak mandiri atau
tergantung, sedangkan laki-laki itu perkara, aktif, agresif, rasional dan tegas.
Selanjutnya, akibat dari stereotipe dan sub-ordinasi maka perempuan tidak jarang
mempunyai multi-peran yaitu peran “reproduktif” yaitu melahirkan, menyusui, mengasuh anak,
mengurus rumah dan keluarga; peran “produktif” yaitu bekerja mencari uang serta peran
“sosial” seperti terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan misalkan mengurus Posyandu, PKK,
pengajian dan lain-lain. Selain dari pada itu, pekerjaan dan kegiatan perempuan kurang dihargai
atau tidak dianggap sebagai pekerjaan hal ini disebabkan karena keyakinan tentang karakteristik
perempuan yang cenderung “merendahkan”. Seperti peran sebagai ibu rumah tangga sering
diucapkan atau dikatakan dengan kalimat “Cuma ibu rumah tangga” atau perempuan bekerja
“membantu suami”, padahal tugas seorang ibu rumah tangga sangatlah berat dan sulit diukur
dengan waktu, sementara perempuan bekerja tidak jarang dialah yang menjadi pencari nafkah
utama dalam keluarga.
Perempuan dituntut untuk melakukan berbagai kewajiban, namun pemenuhan hakhaknya sering dilupaka. Dengan kondisi demikian, perempuan lebih mudah mengalami
ketidakadilan, menjadi sasaran kesewenang-wenangan dan rentan mengalami kekerasan. Ada
beberapa bentuk kekerasan terutama terhadap perempuan dan anak yang dapat dikelompokan ke
dalam 5 kategori sebagai berikut (Kristi Poerwandi dan Ester Lianawati:2010):
1. Perlakuan salah (abuse) yang dapat mencederai secara fisik, mental psikis, dan seksual
melalui pemukulan, pernyataan/ucapan, paksaan hubungan seksual dan sebagainya.
2. Tindak eksploitasi (exploitation) dilakukan untuk memperoleh keuntungan mated,
ekonomi dan kepuasan sendiri seperti perdagangan anak, pelacuran, pengemis dan
sebagainya.
3. Penelantaran (nglected) dilakukan dalan bentuk pengabaian (melalaikan) pemenuhan
kebutuhan sosial ekonomi dasar sehingga menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan
yang tiada henti.
4. Perbedaan perlakuan (discrimination) dengan memberikan perhatian dan kasih sayang
yang berbeda terhadap anak, isteri dengan orang tua dan sebagainya.
5. Pengabaian kondisi berbahaya (emergency condition) dengan membiarkan anak dan
perempuan di wilayah konflik, di pengungsian, menggunakan zat kimia dan dalam
keadaan bahaya lainnya.
C. Multi kekerasan dalam KDRT
Kekerasan yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga pada umumnya bukanlah
kekerasan tunggal, artinya koban akan mengalami beberapa macam kekerasan dalam waktu yang
hampir bersamaan (beruntun). Misalnya apabila seseorang mengalami kekerasan fisik biasanya
juga
diikuti
oleh
kekerasan
psikis,
contohnya
sebelum
dipukul/ditampar/dijambak/didorong/ditendang, korban sebelumnya sudah diancam, dihina dan
bahkan diikuti pula dengan kekerasan ekonomi (tidak diberi uang belanja atau dirampas
uangnya) atau penelantaran rumah tangga; korban kekerasan seksual, juga mengalami kekerasan
psikis dan kekerasan fisik bahkan juga kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga).
Pada umumnya yang menjadi korban KDRT adalah perempuan (isteri). Tapi bukan
berarti laki-laki tidak menjadi korban KDRT, walaupun jumlahnya yang dilaporkan/tercatat
relatif tidak banyak. Hal ini terjadi karena laki-laki korban kekerasan (KDRT) akan menjadi
olok-olok temannya seandainya korban menceritakan kepada temannya bahkan di cap sebagai
“suami takut isteri”. Umumnya perempuan (isteri) melakukan kekerasan psikis dengan cara
mendiamkan (tidak mau diajak bicara) dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari), bicara
kasar, menghina bahkan mendominasi setiap keputusan. Anak-anak laki-laki dan perempuan
juga rentan mengalami kekerasan. Pembantu rumah tangga atau orang-orang yang ikut tinggal
menetap (adik dan keponakan) juga kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Kondisi
ini tidak lain karen korban pada umumnya berada dalam posisi inferior.
Laki-laki ditempatkan dalam posisi superior oleh budaya, adat, agama dan dikuatkan oleh
undang-undang (Undang-undang Perkawinan). Penafsiran yang kurang tepat terhadap kondisi ini
menyebabkan laki-laki bertindak sewenang-wenang bahkan melakukan kekerasan karena tidak
paham secara benar dengan apa yang ada dalam ajaran agama, budaya, adat dan undang-undang.
Agama
Budaya
Kekerasan
Adat
Undang-undang
Superior
inferior
D. Kesimpulan
Kerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan berbasis gender terjadi karena relasi yang
tidak seimbang yaitu ada pihak yang diposisikan sebagai superior dan pihak lain diposisikan
sebagai pihak inferior. Pada umumnya yang dikonotasikan sebagai superior adalah laki-laki hal
ini terjadi karena latar belakang adat, budaya dan agama yang melatar belakang yang ada dalam
masyarakatnya. Ketimpangan relasi mengakibatkan timbulnya kekerasan ini terjadinya dapat
dikarenakan penafsiran yang kurang tepat dari pembagian peran yang ada dalam budaya, adat,
agama dan hukum.
Daftar Pustaka
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. Keluarga sebagai Wahana Membangun
Masyarakat tanpa Kekerasan (bahan ajar/buku sumber PKTP-KDRT bagi fasilitator
kabupaten/kota). Jakarta: 2008.
Kristi Poerwandari dan Ester Lianawati. Petunjuk Penjabaran Kekerasan Psikis untuk
menindaklanjuti laporan kasus KDRT. Buku saku. Program Studi Kajian Wanita
Programpascasarjana Univeritas Indonesia. Jakarta: 2010.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
KDRT; Manifestasi Kekerasan Berbasis Gender
Download