HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN

advertisement
HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN,
INTEGRASI, DAN PEMELIHARAAN SISTEM) DENGAN
KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN
BENCANA
Christin Haryati
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ABSTRACT
CHRISTIN HARYATI. The Correlation Between AGIL (Adaptation, Goal
Attainment, Integration, and Latency) Family Function with Family Fishermen
Welfare in Area of Disaster Prone (Supervised by EUIS SUNARTI and IRNI
RAHMAYANI JOHAN).
Indonesian coastal area which is vulnerable of natural disaster will effect
to fishermen’s welfare. Family welfare are output of family strengthen which is
can increase by a shape of fishermen family that able to survive from natural
disaster risk. Family can survive from any condition by maximizing and managing
their own resources or resources that not belong to them. Resources
management are correlated to AGIL family function (Adaptation, Goal attainment,
Integration & Latency). The objective of this study is to analyze the correlation
among research’s variables i.e., family characteristics, family welfare, and AGIL
family functions. This is a cross sectional study. This research has done in
Pangandaran village. It is based on the consideration of its location where has
happened natural disaster such as tsunami in 2006. There are 80 family samples
that taken in 3 RW with simple random sampling. They are divided in two kinds of
family, which are 53 ‘master/juragan’ of fishermen family and 27 ‘servant/janggol’
of fishermen family. Result of research showed that appearance AGIL family
function in both of fishermen family not differ reality. Correlation of AGIL family
function and family welfare shows positive relation between adaptation function
and objective prosperity. It means more adaptation can increase income percapita for each family. Spearman correlation also shows positive correlation
between latency of family with subjective prosperity. It means better latency can
increase rates of subjective prosperity. In the conclusion of this research is family
have a good satisfaction with anything that belong to them.
Keywords: Fishermen Family, Family Welfare,
Attainment, Integration, and Latency)
AGIL
(Adaptation, Goal
RINGKASAN
CHRISTIN HARYATI. Hubungan fungsi AGIL (Adaptation, Goal Attainment,
Integration, dan Latency) dengan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah
Rawan Bencana (Di bawah bimbingan EUIS SUNARTI dan IRNI RAHMAYANI
JOHAN).
Kondisi wilayah perairan Indonesia yang rawan bencana alam akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia.
Kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia saat ini belum beranjak jauh dari
lingkaran kemiskinan dan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
Kesejahteraan keluarga merupakan output dari ketahanan keluarga yang dapat
ditingkatkan melalui upaya perwujudan keluarga nelayan yang mampu bertahan
dari kerawanan bencana. Keluarga dapat mempertahankan keberlangsungan
hidup keluarganya pada keadaaan apapun dengan memaksimalkan pengelolaan
sumberdaya yang ada dalam keluarga. Pengelolaan sumberdaya yang sudah
dimiliki dan tidak dimiliki keluarga terkait dengan pengelolaan fungsi AGIL dalam
keluarga tersebut. Fungsi AGIL merupakan salah satu teori yang menjelaskan
keberfungsian keluarga. Oleh karena itu, penelitian hubungan fungsi AGIL
dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana penting untuk
dilakukan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji ketahanan keluarga
terutama menganalisis hubungan antara fungsi adaptasi (adaptation),
pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi (integration), dan pemeliharaan
sistem (latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan
bencana. Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi
karakteristik keluarga, dukungan sosial serta fungsi AGIL pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh, (2) menganalisis keragaan fungsi AGIL dan
kesejahteraan keluarga nelayan nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, (3)
menganalisis perbedaan sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, (4) menganalisis
hubungan antara karakteristik keluarga nelayan dan dukungan sosial dengan
fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem serta
kesejahteraan keluarga nelayan, (5) menganalisis pola hubungan antar variabel
fungsi AGIL, (6) menganalisis hubungan antara fungsi AGIL dengan
kesejahteraan keluarga nelayan, (7) menganalisis hubungan antara
kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan objektif pada keluarga nelayan
yang rawan terkena bencana alam.
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Pengumpulan data dilakukan
di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, pada
tanggal 12 sampai 26 Maret 2008. Penarikan contoh dilakukan dengan cara
simple random sampling di tiga RW yaitu RW 03, RW 07, dan RW 09. Contoh
penelitian sebanyak 80 orang yang terdiri atas 53 nelayan juragan dan 27
nelayan buruh. Selain itu, menggunakan metode retrospektif untuk mendapatkan
data sebelum terjadinya bencana alam.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik keluarga nelayan (besar keluarga, umur, tingkat
pendidikan, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, dan akses informasi,
sumber informasi, jenis informasi), dukungan sosial, fungsi AGIL (adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem), kesejahteraan objektif
(indikator utama yaitu pendapatan), dan kesejahteraan subjektif. Data diperoleh
dari pengamatan dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data
sekunder berupa gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari arsip
data di kantor desa dan kantor pemerintahan (BPS, kantor Kabupaten Ciamis)
yang bersangkutan dengan penelitian ini.
Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry,
cleaning dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel 2003, SPSS
versi 13.0 for windows, dan Minitab versi 14 for windows. Selanjutnya data
dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensia. Analisis statistik inferensia
yang digunakan adalah uji independent sample t-test dan Mann-Whitney untuk
melihat adanya perbedaan variabel antara keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh, serta analisis korelasi Rank Spearman untuk melihat
hubungan antar variabel yang diteliti dan untuk melihat pola hubungan antar
variabel fungsi AGIL pada keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam.
Karakteristik keluarga yang diukur dalam penelitian ini, yaitu: 1) besar
keluarga, 2) umur, 3) lama pendidikan, 4) pendapatan, 5) kepemilikan aset, dan
6) akses informasi, jenis informasi serta sumber informasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proporsi terbesar keluarga nelayan juragan (50.94%) dan
keluarga nelayan buruh (74.07%) termasuk keluarga kecil (≤ 4 orang). Hampir 50
persen keluarga nelayan juragan termasuk keluarga sedang dan besar. Hal ini
dikarenakan keluarga nelayan juragan banyak yang memiliki anak lebih dari dua,
menampung anggota keluarga lain serta nelayan buruh yang belum berkeluarga.
Persentase terbesar pada suami keluarga nelayan juragan (41.51%) dan
keluarga nelayan buruh (33.33%) serta isteri keluarga nelayan juragan (33,96%)
dan keluarga nelayan buruh (44,44%) termasuk ke dalam usia produktif dengan
rentang usia antara 20 sampai 40 tahun. Sebanyak 74,57 persen suami keluarga
nelayan juragan dan 66,67 persen suami keluarga nelayan buruh memiliki lama
pendidikan kurang dari 9 tahun. Persentase terbesar lama pendidikan isteri pada
keluarga nelayan juragan (73,58%) dan keluarga nelayan buruh (66,67%) kurang
dari 9 tahun. Rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga nelayan juragan (Rp 1
191 015) lebih besar daripada keluarga nelayan buruh (Rp 513 018). Seluruh
keluarga nelayan juragan (100%) dan sebagian besar keluarga nelayan buruh
(81,48%) memiliki aset lebih dari atau sama dengan 3 kali kebutuhan minimum
per bulan. Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi yang dimiliki
keluarga nelayan juragan (64.15%) dan keluarga nelayan buruh (66.67%) berada
pada kategori sedang.
Dukungan sosial yang diterima oleh sebagian besar keluarga nelayan
juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%;) dari keluarga luas
termasuk dalam kategori tinggi. Dukungan sosial yang diberikan oleh tetangga
kepada keluarga nelayan juragan (81,13%) dan keluarga nelayan buruh
(77,78%) pun termasuk dalam kategori tinggi. Persentase keluarga nelayan
juragan (60,38%) dua kali lebih besar dari persentase keluarga nelayan
buruh(25,93%) yang terkategori tinggi dalam mendapatkan dukungan sosial dari
lembaga masyarakat/pemerintah. Hal ini dikarenakan nelayan juragan
mendapatkan bantuan dan fasilitas yang baik ketika terjadi bencana. Sebagian
besar keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak mengalami
perubahan dukungan sosial yang diterima dari keluarga luas, tetangga, dan
lembaga masyarakat/pemerintah pada saat sebelum dan sesudah terjadi
bencana alam.
Secara umum, pengelolaan fungsi AGIL yang terdiri atas adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh memiliki keragaan yang
tidak jauh berbeda. Sebagian besar keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh tidak memiliki perubahan fungsi AGIL pada saat sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam. Berdasarkan kesejahteraan objektif, pada musim
paceklik (pada saat penelitian dilakukan)sebagian besar keluarga nelayan
juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh (92.59%) tergolong tidak
sejahtera. Berdasarkan persentase terbesar kesejahteraan subjektif, keluarga
nelayan juragan (73.58%) dan keluarga nelayan buruh (55.56%) tergolong
sejahtera.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara fungsi adaptasi dan fungsi integrasi dengan lama
pendidikan suami, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi. Hal ini
berarti semakin tinggi pendidikan suami serta semakin banyak akses informasi,
sumber informasi, dan jenis informasi yang diperoleh maka semakin tinggi pula
tindakan adaptasi dan integrasi yang dilakukan dalam keluarga. Lama pendidikan
suami dan dukungan sosial berhubungan positif dengan pencapaian tujuan. Hal
ini berarti semakin tinggi pendidikan suami dan semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima oleh keluarga maka semakin banyak tujuan yang ingin dicapai
dalam keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama
pendidikan suami dengan fungsi pemeliharaan sistem dalam keluarga. Hal ini
berarti semakin tinggi pendidikan suami maka semakin baik tindakan
pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga.
Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa lama pendidikan suami, lama
pendidikan isteri, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi
berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan objektif dan subjektif. Hal ini
berarti semakin tinggi pendidikan suami–isteri, dan semakin banyak akses
informasi, sumber informasi, jenis informasi yang diperoleh maka kesejahteraan
objektif dan kesejahteraan subjektif keluarga juga semakin tinggi. Sedangkan
besar keluarga berhubungan signifikan negatif dengan kesejahteraan objektif.
Hal ini berarti semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kesejahteraan
objektifnya semakin rendah.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi, fungsi
pemeliharaan sistem dan fungsi adaptasi. Hal ini berarti semakin tinggi tujuan
yang ingin dicapai keluarga maka semakin tinggi pula tindakan integrasi dan
pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga sehingga tindakan adaptasi yang
dilakukan oleh keluarga juga semakin tinggi.
Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara fungsi adaptasi dengan kesejahteraan objektif. Hal ini berarti
semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga maka semakin
tinggi kesejahteraan objektif keluarga tersebut. Fungsi pemeliharaan sistem
berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti
semakin tinggi tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga maka
semakin tinggi kesejahteraan subjektif keluarga tersebut.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan negatif antara kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif.
Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kesejahteraan objektif keluarga nelayan,
maka belum tentu kesejahteraan subjektifnya juga tinggi.
HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN,
INTEGRASI, DAN PEMELIHARAAN SISTEM) DENGAN
KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN
BENCANA
Christin Haryati
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Keluarga Dan Konsumen Pada
Program Studi Ilmu Keluarga Dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
:
Nama
:
HUBUNGAN
FUNGSI
AGIL
(ADAPTASI,
PENCAPAIAN TUJUAN, INTEGRASI, DAN
PEMELIHARAAN
SISTEM)
DENGAN
KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI
DAERAH RAWAN BENCANA
CHRISTIN HARYATI
NIM
:
I24053672
Disetujui,
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si
Irni Rahmayani Johan, SP, MM
Pembimbing Pertama
Pembimbing Kedua
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, MSc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta Timur pada tanggal 14 Juli 1987 dari
pasangan Pudjo Haryono dan Pelniati Padjonge. Penulis adalah anak pertama
dari tiga bersaudara dalam sebuah keluarga yang sederhana.
Penulis memulai pendidikan dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Malaka
Jaya 11 Pagi Jakarta Timur dari tahun dari tahun 1993 sampai lulus pada tahun
1999. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Negeri (SLTPN) 139 Jakarta Timur dari tahun 1999 sampai lulus pada tahun
2002, kemudian penulis meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)
44 Jakarta Timur sampai lulus pada tahun 2005.
Selepas lulus dari SMA tahun 2005, penulis berhasil lulus seleksi
penerimaan mahasiswa baru (SPMB) di Institut Pertanian Bogor. Setelah
mengikuti Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama 1 tahun, akhirnya penulis
berhasil masuk ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala Puji untuk Allah, Tuhan Semesta Alam atas karunia dan rahmat-Nya yang
selalu melimpah serta bakat yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat
terselesaikan.
Skripsi yang berjudul Hubungan Fungsi AGIL dengan Kesejahteraan Keluarga
Nelayan yang Rawan Terkena Bencana Alam merupakan salah satu syarat
penulis untuk mendapatkan gelar sarjana.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si selaku pembimbing skripsi pertama atas
bimbingannya
selama
penulis
kuliah
dan menyelesaikan
skripsi
di
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Irni Rahmayani Johan. SP. MM selaku pembimbing skripsi kedua atas
bimbingan arahan dan informasinya dalam pelaksanaan dan penyelesaian
penelitian ini

Dr. Ir. Dyah K Pranadji, M.Si., selaku penguji dan masukan-masukannya
dalam skripsi ini

Staf BPS Kabupaten Ciamis serta Staf kantor Desa Pangandaran yang
sudah memberikan banyak bantuan dan informasi sehingga karya ilmiah ini
dapat terselesaikan dengan baik

Mamahku yang luar biasa, Bapak, Iqbal, Fia atas dukungan fisik, materi, moril
dan kasih sayang yang tidak terukur banyaknya

Rekan satu penilitian, Rahma, Esty, Fitri yang sudah bersama-sama
mengerjakan penelitian dalam keadaan suka maupun duka serta anak-anak
IKK ’42 yang tidak dapat disebut satu persatu yang terut men-support

Dimazs Reditya Hamihenda, Sarjana Pertanian bin Yussa Agusjaya untuk
dukungannya, semangat, inspirasi, energi, kesabaran, kasih sayang dan
untuk yang terakhir
Akhir kata, penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, mudah-
mudahan dapat bermanfaat buat kita semua.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................
1
Tujuan .................................................................................................
3
Kegunaan.............................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Keluarga ...........................................................................
5
Fungsi AGIL ........................................................................................
7
Kesejahteraan Keluarga .....................................................................
13
Karakteristik Keluarga .........................................................................
16
Dukungan Sosial .................................................................................
19
Kondisi Rawan Bencana Alam ............................................................
20
KERANGKA PENELITIAN ...........................................................................
22
METODE PENELITIAN
Desain Tempat dan Waktu Penelitian .................................................
25
Contoh Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh .................................
25
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................
26
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................
27
Definisi Operasional ............................................................................
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................
35
Karakteristik Keluarga .........................................................................
35
Dukungan Sosial .................................................................................
41
Fungsi AGIL ........................................................................................
44
Kesejahteraan Keluarga .....................................................................
52
Hubungan Antar Variabel ....................................................................
56
Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .........................................................................................
63
Saran ..................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
65
LAMPIRAN ...................................................................................................
68
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis dan cara pengambilan data ........................................................
27
2 Pengkategorian data penelitian ...........................................................
33
3 Sebaran contoh menurut besar keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh .......................................................................
36
4 Sebaran contoh menurut umur pada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh .......................................................................
37
5 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
37
6 Sebaran contoh menurut lama pendidikan pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
38
7 Sebaran contoh menurut pendapatan perkapita pada keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
38
8 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
39
9 Sebaran contoh menurut akses informasi, sumber informasi, jenis
informasi pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh ...................................................................................................
40
10 Sebaran contoh menurut kategori akses informasi, sumber informasi,
jenis informasi pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh ...................................................................................................
41
11 Sebaran contoh menurut dukungan sosial keluarga luas ....................
41
12 Sebaran contoh menurut dukungan sosial tetangga ...........................
42
13 Sebaran contoh menurut dukungan sosial lembaga masyarakat
/pemerintah .........................................................................................
43
14 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial pada keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
43
15 Sebaran contoh menurut perubahan dukungan sosial sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh .......................................................................
44
16 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan adaptasi yang
dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh....................................................................................................
45
17 Sebaran contoh menurut pencarian nafkah yang dilakukan keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
45
18 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi adaptasi sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh .......................................................................
46
19 Sebaran contoh menurut banyaknya tujuan yang ingin dicapai
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
47
Halaman
20 Sebaran contoh menurut tujuan yang ingin dicapai
47
21 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pencapaian tujuan
sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
48
Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan integrasi yang
dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh....................................................................................................
48
23 Sebaran contoh menurut jenis integrasi yang dilakukan keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
49
24 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi integrasi sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh .......................................................................
49
25 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan pemeliharaan sistem
yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh ...................................................................................................
50
26 Sebaran contoh menurut jenis pemeliharaan sistem yang diberikan
keluarga pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan
buruh....................................................................................................
51
27 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pemeliharaan sistem
sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
52
28 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim panen
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
53
29 Sebaran contoh menurut persentase kesejahteraan subjektif pada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
54
30 Sebaran contoh menurut kategori kesejahteraan subjektif pada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
56
31 Sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan
dukungan sosial dengan fungsi AGIL ..................................................
58
Sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan
dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga ...............................
59
33 Sebaran koefisien pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL ...
61
34 Sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan kesejahteraan
keluarga ...............................................................................................
62
22
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema AGIL .............................................................................................
8
2 Kerangka pemikiran hubungan fungsi adaptasi, pencapaian tujuan,
integrasi dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga
nelayan yang rawan terkena bencana alam ............................................
24
3 Teknik pengambilan contoh .....................................................................
26
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Sebaran contoh menurut pendapatan per musim .................................
68
2 Hasil uji korelasi antar variabel ..............................................................
69
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayah lautannya lebih luas
dibandingkan wilayah daratannya dengan garis pantai sepanjang 81.000 km
(Savitri dan M. Khazali, 1999). Laut-laut yang ada di wilayah Indonesia pun
mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah. Selain sumberdaya mineral
yang banyak terkandung di wilayah lautan Indonesia, ikan-ikan serta terumbu
karang yang terdapat di wilayah lautan Indonesia pun sangat melimpah ruah.
Kekayaan alam di wilayah Indonesia membuat hampir dari setengah penduduk
Indonesia bermata pencaharian sebagai nelayan (Satria, 2008).
Wilayah perairan Indonesia berada diantara dua lempeng yaitu lempeng
samudera dan lempeng benua (Kumaat, 2007). Secara teknis, kondisi demikian
membawa konsekuensi dan perhatian lebih dikarenakan sebagian besar
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia berada pada daerah rawan
bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, erosi pantai,
banjir pasang-surut dan subsiden, badai dan sedimentasi (Bakosurtanal, 2009).
Kondisi wilayah perairan Indonesia yang rawan bencana alam akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia.
Kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia saat ini belum beranjak jauh dari
lingkaran kemiskinan dan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Data
yang ada hanya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir tahun 2002 sebayak 32
persen ditinjau dari indikator pendapatan satu dollar per hari (Satria, 2008).
Ketiadaan
data
kemiskinan
nelayan
mempersulit
pertanggungjawaban
pemerintah terhadap publik yang menimbulkan banyak kritik dari organisasiorganisasi luar yang peduli terhadap kesejahteraan nelayan.
Kesejahteraan keluarga merupakan output dari ketahanan keluarga yang
dapat ditingkatkan melalui upaya perwujudan keluarga nelayan yang mampu
bertahan dari kerawanan bencana. Menurut Sunarti (2001), ketahanan keluarga
dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapi
sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh keluarga tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk meningkatkan ketahanan keluarga
yaitu melaksanakan fungsi keluarga dengan baik sehingga dapat tetap
mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya (Nuryani, 2007).
Keluarga dapat mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya
pada keadaaan apapun dengan memaksimalkan pengelolaan sumberdaya yang
ada dalam keluarga. Pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dan tidak dimiliki
oleh keluarga terkait dengan pengelolaan fungsi AGIL (Adaptation, Goal
Attainment, Integration, dan Latency) dalam keluarga tersebut. Fungsi AGIL
merupakan salah satu teori yang dapat menggambarkan apakah fungsi keluarga
sudah dapat dijalankan dengan baik. Pengelolaan fungsi AGIL pada setiap
keluarga berbeda-beda. Fungsi AGIL terdiri dari masalah adaptasi yang
mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan
luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem; masalah
pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan
tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk
mencapai tujuan; masalah integrasi mengacu kepada proses pemeliharaan
ikatan dan solidaritas, dan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol,
memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem, serta;
masalah latency mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan
didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah yang saling berkaitan
yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Parsons
1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Sehubungan dengan adanya bencana alam yang mempengaruhi
kehidupan keluarga nelayan dalam memenuhi pelaksanaan fungsi keluarga dan
pengelolaan sumberdaya yang dimilki, maka penelitian untuk mengkaji
ketahanan keluarga nelayan di kecamatan Pengandaran terutama menganalisis
hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi,
dan pemeliharaan sistem (latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga
merupakan hal yang sangat menarik. Dengan demikian dapat dirumuskan
beberapa masalah antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana keragaan karakteristik keluarga, dukungan sosial yang diterima
keluarga nelayan, fungsi AGIL dan kesejahteraan keluarga nelayan juragan
dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan bencana?
2. Apakah terdapat perbedaan fungsi AGIL dan dukungan sosial sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh?
3. Adakah hubungan antar karakteristik keluarga nelayan, dukungan sosial,
fungsi pencapaian tujuan, fungsi adaptasi, fungsi integrasi, serta fungsi
pemeliharaan sistem (latency) pada keluarga nelayan di daerah rawan
bencana?
4. Adakah pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL pada keluarga
nelayan di daerah bencana?
5. Adakah hubungan antara fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga
nelayan di daerah rawan bencana?
6. Adakah hubungan antara kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan
objektif pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji ketahanan
keluarga nelayan terutama menganalisis hubungan antara fungsi adaptasi,
pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi, dan pemeliharaan sistem
(latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan
bencana.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, dukungan sosial serta fungsi AGIL
pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan
bencana.
2. Menganalisis keragaan dukungan sosial, fungsi AGIL, kesejahteraan
keluarga dan perubahan sebelum dan sesudah terjadi bencana pada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan
bencana.
3. Menganalisis perbedaan fungsi AGIL dan dukungan sosial sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga nelayan dan dukungan
sosial
dengan
fungsi
adaptasi,
pencapaian
tujuan,
integrasi
dan
pemeliharaan sistem serta kesejahteraan keluarga pada keluarga nelayan di
daerah rawan bencana.
5. Menganalisis pola hubungan antar variabel fungsi AGIL pada keluarga
nelayan di daerah rawan bencana.
6. Menganalisis hubungan antara fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga
nelayan di daerah rawan bencana.
7. Menganalisis hubungan antara kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan
objektif pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi pemerintah
khususnya pemerintah kabupaten Ciamis mengenai kondisi kesejahteraan
keluarga nelayan, agar pemerintah dapat menetapkan kebijakan programprogram yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan hidup nelayan.
Bagi seluruh keluarga pada umumnya dan keluarga nelayan pada khususnya,
diharapkan lebih memahami penerapan fungsi AGIL dengan baik sehingga dapat
mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya. Bagi pembaca, penelitian
ini diharapkan dapat menambah pengetahuan khususnya di bidang keluarga
yang dapat diterapkan pada kehidupan keluarga nanti guna mencapai
kesejahteraan keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Keluarga
Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 merupakan kondisi
dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta
mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup
mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan
meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani
2007). Menurut Sunarti (2001) karakteristik atau komponen ketahanan keluarga
terdiri dari dorongan berprestasi, komitmen terhadap keluarga, komunikasi,
orientasi agama, hubungan sosial, penghargaan, peran yang jelas dalam
keluarga, dan waktu kebersamaan. Ketahanan keluarga yang kuat nyatanya
akan mencerminkan adanya unsur-unsur penting yang sangat mempengaruhi
kehidupan beragama secara nyata, kesadaran melaksanakan nilai-nilai tradisi
dan peran pendidikan dalam keluarga (Soedarsono 1997). Sedangkan
Kaykuzma (1992) diacu oleh Desmarita (2004), menyatakan bahwa keluarga
yang kuat biasanya memiliki komitmen, penghargaan, waktu bersama yang
memadai, komunikasi yang bagus, selera humor yang bagus, saling berbagi,
punya ketertarikan yang sama, saling membantu dan bekerjasama.
Berdasarkan kajian pustaka ketahanan keluarga dapat dirumuskan
definisi operasional ketahanan keluarga yaitu kemampuan keluarga dalam
mengelola sumberdaya yang dimiliki dan menanggulangi masalah yang dihadapi,
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial keluarga (Sunarti, 2001).
Ukuran ketahanan keluarga melalui pendekatan sistem terdiri dari komponen
masukan (input) proses, dan keluaran (output). Komponen proses seperti
pengelolaan masalah, adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency, serta
kesejahteraan sebagai tujuan keluarga. Pengukuran ketahanan keluarga
diperoleh dengan cara melakukan uji validitas konstruk menggunakan analisis
faktor (exploratory dan confirmatory) menghasilkan tiga peubah laten, yaitu
ketahanan fisik, ketahanan sosial, dan ketahanan psikologis (Sunarti, 2001).
Menurut Sunarti (2001), ketahanan fisik keluarga adalah kemampuan
ekonomi yang dimiliki oleh keluarga yaitu komponen anggota keluarga dalam
memperoleh sumberdaya ekonomi dari luar sistem untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Ketahanan
sosial keluarga adalah ketahanan keluarga dalam menerapkan nilai agama,
memelihara mekanisme penanggulangan krisis yang baik pula. Sedangkan
ketahanan psikologis keluarga adalah kemampuan anggota keluarga dalam
mengelola emosi, sehingga menghasilkan konsep diri yang positif.
Ketahanan keluarga pun berperan penting mengurangi tingkat kemiskinan
dengan
menciptakan
kapasitas,
kesempatan
dan
ketahanan
untuk
mengakumulasikan aset seperti pengetahuan, kesehatan, lahan, keuangan,
peralatan, pendidikan, jaringan sosial dan pengaruh politik (Sunarti, et al. 2008).
Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta
adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan
fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan
keluarga dalam pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Kristin A Moore, & Zill,
1990, diacu oleh Sunarti 2001). Ciri kemandirian keluarga adalah sikap mental
keluarga dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada seluruh lembaga
keluarga untuk meningkatkan kesejahteraannya dan membangun seluruh
potensinya agar menjadi sumberdaya insani dalam mendukung pembangunan
bangsa (Puspa, 2007).
Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui “Delapan Pilar
Gerakan Keluarga Sejahtera (BKKBN 1992, diacu oleh Desmarita 2004), yaitu:
1. Mengisi nilai-nilai keagamaan dalam keluarga hingga menjadikan anggota
keluarga beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME.
2. Membudayakan anggota keluarga dengan cara melestarikan nilai-nilai
kebudayaan yang luhur dan mewariskannya pada generasi penerus.
3. Memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga akan kasih sayang dan
kebutuhan efektif lainnya yang amat diperlukan dalam menyempurnakan
kemanusiaan.
4. Melindungi setiap anggota keluarga dan menciptakan rasa aman bagi
seluruh anggota keluarga.
5. Menciptakan hubungan suami-isteri yang harmonis melalui interaksi seksual
menuju kehidupan reproduktif yang sehat.
6. Memberikan pendidikan dan pembinaan sosialisasi pada anggotanya
terutama terhadap anak-anak yang sedang tumbuh kembang dengan
kesadaran membina anak menjadi sumberdaya manusia yang berguna
untuk pembangunan.
7. Menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga terutama dengan memenuhi
kebutuhan
dasar
yaitu
makan-pakaian-perumahan
dan
kesehatan,
selanjutnyameningkatkan
kesejahteraan
keluarga
dengan
memenuhi
kebutuhan sekunder dan pengembangannya.
8. Melestarikan lingkungan dan merawatnya dengan penuh kesadaran bahwa
daya dukung lingkungan amat diperlukan manusia dalam pembangunan.
Fungsi AGIL
Keluarga memiliki berbagai fungsi penting yang menentukan kualitas
kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial
(kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi ekspresif dan
instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak.
Sementara itu, fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya
untuk mencapai berbagai tujuan keluarga (Sunarti, 2008).
Salah satu teori yang dapat digunakan dalam menjelaskan fungsi
keberlangsungan keluarga adalah teori AGIL (Adaptation, Goal Attainment,
Integration, dan Latency), yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Berdasarkan
hasil penelitian yang mendalam mengenai struktur dari proses interaksi, Parsons
menyatakan bahwa keluarga dapat dianggap sebagai contoh dari kelompok kecil
dalam sistem sosial. Parsons melakukan penelitian mengenai teori AGIL yang
menghasilkan sebuah buku berjudul Working Papers in Theory of Action (WPTA)
yang menjelaskan bahwa setiap sistem sosial mempunyai empat masalah
fungsional utama secara berturut-turut, yaitu adaptasi terhadap situasi dan
kondisi eksternal, perangkat kontrol terhadap kinerja-kinerja yang berorientasi
tujuan, manajemen pengungkapan perasaan dan tekanan dari para anggotanya,
serta mempertahankan integrasi sosial antara sesama anggotanya sebagai suatu
keutuhan bersama (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Keluarga adalah suatu pranata sosial yang sangat penting fungsinya
dalam setiap masyarakat (Ogburn 1999, diacu oleh Nuryani 2007). Yang menarik
dari teori Ogburn (1999) bagi peminat studi keluarga adalah pendapatnya bahwa
sistem keluarga berubah sebagai akibat perubahan teknologi. Proses sosialisasi
pada tahap ini dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan
oleh Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (D.P. Jonson,
1086 hal 128-136). Fase-fase seperti adaptation, goal attainment, integration,
dan lattent pattern maintenance tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan
suatu proses yang terjadi secara sinambung. Fase-fase tersebut dalam proses
sosialisasi dijelaskan sebagai berikut:L-A-G-I. Parsons lebih mengarah ke
pendekatan structural fungsional: yang disoroti 1) fungsi-fungsi keluarga untuk
masyarakat 2) fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan
subsistem-subsistem itu sendiri 3) fungsi-fungsi keluarga untuk anggota-anggota
keluarga termasuk perkembangan kepribadian. Dengan kata lain yang dipelajari
adalah : 1) hubungan antara keluarga dan unit-unit sosial yang lebih luas 2)
hubungan di antara keluarga dan subsistem-subsistemnya 3) hubungan diantara
keluarga dan kepribadian.
Pada dasarnya empat masalah fungsional ini membentuk dasar dari
spesifikasi yang terperinci mengenai fungsi penting untuk keberlangsungan
(survival) dari setiap sistem sosial. Menurut Parsons (1953) diacu oleh Hamilton
(1983) keberlangsungan (survival) merupakan fungsi utama seluruh masyarakat
yang melibatkan pembelajaran terhadap segala sesuatu yang mengikat anggota
masyarakat untuk bersatu melalui bahasa serta nilai-nilai sosial dan budaya.
Berdasarkan pengembangan dari WPTA, Parsons membentuk empat paradigma
fungsi yang disebut “four function paradigm” atau skema AGIL yang digambarkan
sebagai berikut:
Adaptation (A)
Goal Attainment (G)
Latency (L)
Integration (I)
Gambar 1. Skema fungsi AGIL
Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) mengaplikasikan model
konseptual ini terhadap pengembangan dari disiplin ilmu yang luas mulai dari
ekonomi, kesehatan mental, politik, sistem kepribadian, dinamika kelompok,
sosialisasi, pendidikan, agama, hukum, organisasi, dan lain-lain. Berdasarkan
hasil-hasil pengembangan skema AGIL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang berada pada
tingkatan sistem kepribadian, sosial, dan budaya. Keluarga sebagai unit sosial
terkecil merupakan tulang punggung pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut yang
selanjutnya menentukan keberlangsungan serta keseimbangan sistem sosial
yang lebih luas (Sunarti 2001).
Fungsi Adaptasi
Adaptasi mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup
dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem
(Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Adaptasi adalah suatu pilihan
tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan
sosial ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan
tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan
sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial
ekonomi (Kusnadi 1996, diacu oleh Lubis 1999).
Tindakan adaptasi bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut
pandang eksternal dan internal. Berdasarkan sudut pandang internal, adaptasi
dibagi dua yaitu eksistensi interpretasi (existential interpretation) dan kategorisasi
moral-evaluasi (moral-evaluation categorization). Tindakan eksistensi interpretasi
adalah kemampuan seseorang untuk memandang dirinya agar tetap eksis dalam
lingkungannya,
sedangkan
tindakan
moral-evaluasi
merupakan
tindakan
seseorang untuk tetap dapat mengikuti kaidah atau nilai-nilai moral yang ada di
lingkungan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Berdasarkan sudut pandang eksternal, tindakan adaptasi seseorang
dibagi menjadi dua yaitu simbolisasi kognitif (cognitive symbolization) dan
simbolisasi ekspresif (exspressive symbolization). Tindakan kognitif merupakan
cara berpikir seseorang dengan memandang berbagai sumberdaya yang ada di
lingkungan luar untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Parsons
1953, diacu oleh Hamilton 1983). Tindakan adaptasi dalam penelitian ini
merupakan coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memperoleh
sumberdaya dari lingkungan luar.
Dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga perlu
mengembangkan strategi adaptasi yang memadai, salah satunya adalah coping
strategy. Friedman (1998) mendefinisikan coping keluarga sebagai respon positif
yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau
mengurangi stress yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Selanjutnya Mc
Cubin dan Thompson (1987), diacu oleh Noverina (2006) menyatakan bahwa
coping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga
termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan
keutuhan keluarga, peningkatan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol
pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian
keseimbangan dalam keluarga.
Coping strategy keluarga dibagi menjadi dua yaitu coping internal atau
intrafamiliar dan eksternal atau ekstrafamiliar. Coping strategy internal meliputi
mengandalkan
kemampuan
sendiri
dari
keluarga,
penggunaan
humor,
musyawarah bersama (memelihara ikatan bersama), mengartikan masalah,
pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran, dan normalisasi.
Sedangkan coping strategy eksternal meliputi mencari informasi, memelihara
hubungan aktif dengan komunitas, mencari sistem pendukung sosial, mencari
dukungan spiritual (Friedman 1998).
Adaptasi
yang
dilakukan
oleh
suatu
sistem
keluarga
dalam
mempertahankan kelangsungan hidup semua anggota keluarganya berbedabeda menurut derajatnya, mulai dari mempertahankan masalah hidup dan mati
sampai dengan mempertahankan hidup agar dapat menjalankan aktivitas seharihari seperti mampu bekerja secara normal sesuai dengan jenis pekerjaannya
masing-masing (Pakpahan & Pasandaran 1990, diacu oleh Nuryani 2007).
Selanjutnya dapat menentukan tingkat pendapatan bagi rumahtangga tersebut
(Ginting & Penny 1984, diacu oleh Nuryani 2007).
Fungsi Pencapaian Tujuan (Goal Attainment)
Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam
menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam
sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap
keluarga mempunyai tujuan atau rencana yang akan dicapai (output), dengan
syarat adanya sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi, dan informasi.
Sehingga keluarga dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan fungsifungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu melalui
proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Firebaugh 1988).
Masalah pencapaian tujuan dalam suatu keluarga dapat diukur dari
kualitas dan performace tujuan itu sendiri. Pencapaian tujuan berdasarkan
kualitas dapat diukur dari nilai yang didapat dari pencapaian tujuan, biasanya
berupa kepuasan dan penghargaan terhadap sesuatu yang telah dicapai.
Pencapaian tujuan berdasarkan performance dapat diukur berdasarkan suatu hal
yang dapat ditunjukkan dalam tindakan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton
1983).
Banyaknya tujuan yang ingin dicapai keluarga yang satu dengan lainnya
berbeda-beda, berkaitan dengan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya
yang ada di dalam dan lingkungan luar keluarga. Salah satu kemampuan
keluarga dalam memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar dapat dilihat
berdasarkan besarnya pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan
akan mempengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh keluarga.
Perubahan pendapatan akan mengubah selera dan kebutuhan keluarga sebagai
upaya untuk mewujudkan secara kualitatif tujuan yang akan dicapai (Deacon &
Firebaugh 1988).
Fungsi Integrasi
Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok yang
terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan dan berinteraksi satu
dengan lainnya sehingga membentuk suatu mata rantai yang sulit untuk
dipisahkan dan mempunyai tujuan yang akan dicapai. Hubungan tersebut terikat
begitu erat sehubungan suatu perubahan yang terjadi pada suatu bagian pasti
menyebabkan perubahan-perubahan dalam seluruh sistem (Dewi 2002). Sistem
keluarga memiliki ciri khas penting yang terdiri dari komponen-komponen yang
saling terkait satu sama lain sehingga menjadi penyebab adanya sifat-sifat dan
karakteristik baru yang merupakan suatu fungsi dari keterkaitan tersebut
(Friedman 1998). Hal ini terkait dengan tindakan integrasi keluarga dalam
mempererat hubungan antar anggota keluarganya (Nuryani 2007).
Integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dengan
melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan
mencegah gangguan utama dalam sistem. Tindakan integrasi dalam sebuah
keluarga merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup berkeluarga, karena
integrasi melibatkan ke empat variabel AGIL itu sendiri, sehingga dari ke empat
variabel tersebut adanya suatu keterikatan yang dapat saling membangun, agar
semua anggota keluarga yang ada di dalamnya dapat tetap bertahan dalam
lingkungannya (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas
keluarga sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan
kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok
konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior).
Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan
tidak menghilangkan hak asasi manusia sebagai makhluk sosial dengan
melakukan berbagai penyesuaian (Suandi 2007).
Fungsi Pemeliharaan Sistem (Latency)
Menurut Megawangi (2001), keluarga sebagai sebuah sistem sosial yang
mempunyai tugas dan fungsi agar sistem dapat berjalan. Tugas tersebut
berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi, dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Pemeliharaan sistem (latency)
mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di
dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan
dan
pengelolaan
masalah
atau
ketegangan.
Secara
umum,
masalah
pemeliharaan sistem dibagi menjadi tiga aspek yaitu pembagian peran masingmasing anggota keluarga, bantuan yang diterima untuk memotivasi anggota
keluarga, dan peraturan atau norma yang berlaku dalam keluarga (Parsons
1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Keluarga sebagai sistem terkecil, mempunyai ciri-ciri sistem seperti
memiliki keutuhan, memiliki subsistem yang saling terkait, mempunyai batas
sebagai tempat pertemuan antar sistem, mempunyai fungsi, ada hierarki yang
terbentuk karena adanya subsistem dan adanya dinamika (Megawangi, 2001).
Pembagian peranan dalam keluarga dapat membantu berjalannya fungsi
keluarga secara optimal. Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu
peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran
dimana sistem sosial dibangun (Sunarti, 2001). Levy diacu oleh Megawangi
(2001) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masingmasing anggota keluarga dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan
terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi.
Terjadinya salah satu disfungsi keluarga akan berdampak besar bagi keluarga
dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga.
Menurut Tati (2004) motivasi yang diberikan dalam bentuk dukungan
suami terhadap isteri untuk melaksanakan peranannya sebagai isteri, atau
terhadap
isteri
dalam
memerankan
seorang
ibu
untuk
melaksanakan
pengasuhan anak, dengan cara suami memberi simpati, perhatian, dan
kepercayaan yang dilandasi kasih sayang, akan memberi kekuatan yang besar
pengaruhnya terhadap isteri dalam melaksanakan tugas dan perannya. Pada
gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga yang
memiliki kesejahteraan yang tinggi maka pemeliharaan sistem (latency) yang
dilakukannya pun akan semakin baik.
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran,
kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau
kelompok keluarga dan masyarakat. Menetapkan indikator kesejahteraan
keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan
secara tuntas karena tingkat kesejahteraan mencerminkan kualitas hidup dari
sebuah keluarga (Ancok 1990, diacu oleh Ibrahim 2007). Hal ini disebabkan
permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan di
satu bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat
kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi
berbagai bidang disiplin ilmu dan atau melalui pengamatan empiric berbagai
kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum
dan spesifik (Prabawa 1998, diacu oleh Nuryani 2007).
Kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga setiap
orang yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan
memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tinkat
kesejahteraan (Sukirno 1985, diacu oleh Ibrahim 2007). Kesejahteraan sering
diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas
hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan
masyarakat. Keadaan yang sejahtera dapat ditunjukkan oleh kemampuan
mengupayakan sumberdaya keluarga untuk memenuhi kebutuhan barang dan
jasa yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga (Prabawa 1998, diacu
oleh Nuryani 2007).
Menurut World Health Organization (WHO) (Santamarina et al. 2002,
diacu oleh Suandi 2007), terdapat enam kategori dan kesejahteraan (quality of
life or individu well-being) yaitu fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan
sosial, lingkungan dan spiritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran
kesejahteraan keluarga yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) (Suandi 2007). BPS mengartikan kesejahteraan sebagai
kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (Ibrahim
2007).
Tingkat
kesejahteraan
keluarga berbeda-beda
tergantung
wilayah
regional maupun geografi serta nilai-nilai sosial budaya dimana keluarga berada
yang mengakibatkan terjadi perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Pendekatan yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan
pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data
kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang
telah ditelaah. Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang
aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek
kesejahteraan.
Pendekatan
dengan
indikator
subjektif
secara
filosofi
berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin
mempunyai pandangan sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa
berbeda dengan pandangan objektif. Konsep subjektif dapat memberikan
pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi
rumahtangga (Raharto & Romdiati 2000).
Pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif
melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya
diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi sosial
maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat
diukur dengan pendekatan baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya
dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang,
pemilikan
akan
tanah,
pengetahuan,
energi,
keamanan,
dan
lain-lain.
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensial untuk kepentingan politik
karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali
menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et al. 2002,
diau oleh Suandi 2007).
Kesejahteraan
dengan
pendekatan
subjektif
diukur
dari
tingkat
kebahagiaan dan kepuasan dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang
lain.
Pendekatan
subjektif
mendefinisikan
kesejahteraan
berdasarakan
pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka
mengartikannya (Santamarina et al. 2002, diacu oleh Suandi 2007). Selanjutnya
menurut
Diener
menggambarkan
&
Biswas
evaluasi
(2000),
individu
kesejahteraan
terhadap kehidupan
secara
yang
subjektif
mencakup
kebahagiaan, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak
adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan.
Menurut Mardinus (1995), diacu dalam Puspa (2007) mengatakan bahwa
untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara material
atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis
kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara batas kemiskinan
absolute yaitu suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk
memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan
sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan perkapitanya di bawah
garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam
rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan
pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Garis kemiskinan
diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan,
tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material. Namun ada kalanya
suatu keluarga, walau berpendapatan di bawah garis kemiskinan tetapi merasa
sejahtera daripada keluarga yang berpendapatan lebih tinggi. Hal tersebut
dikarenakan kesejahteraan non-fisik dalam keluarga. Kesejahteraan non-fisik
dapat diukur dari kesejahteraan spiritual yang lebih subjektif. Kesejahteraan
spiritual suatu keluarga dapat diukur dengan kualitas kehidupan non-fisik, antara
lain: ketaqwaan, keselarasan, keserasian, daya juang dan aspek non-fisik lainnya
(Mardius 1995, diacu oleh Puspa 2007).
Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan keluarga antara lain:
1. Faktor ekonomi. Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan
menghambat upaya peningkatan pembangunan sumberdaya yang dimiliki
keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan
kesejahteraan keluarga.
2. Faktor budaya. Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya
kemantapan
budaya
yang
dicerminkan
dengan
penghayatan
dan
pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini
dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar.
Adanya kemantapan budaya diharpakan akan mampu memperkokoh
keluarga dalam melaksanakan fungsinya.
3. Faktor teknologi. Peningkatan kesejahteraan juga harus didukung oleh
pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi
diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi.
Penguasaan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan
modal.
4. Faktor keamanan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh adanya stabilitas
keamanan yang terjamin.
5. Faktor kehidupan beragama.Kesejahteraan keluarga akan menyangkut
masalah kesejahteraan spiritual. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat
mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan
tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya.
Sehingga pemahaman keagaman dan pelaksanaan syariat akan mampu
meningkatkan kesejahteraan spiritualnya.
6. Faktor kepastian hukum. Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut
adanya jaminan atau kepastian hukum.
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga,
biasanya jumlah anak. Besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan
tingkah laku anak. Semakin besar keluarga, maka semakin sedikit perhatian
yang diperoleh anak dari orangtua. Selain itu, keluarga dengan jumlah anak yang
terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan
pokok keluarga (Palungan 1993, diacu oleh Cahyaningsih 1999). Dalam
masyarakat Indonesia, masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah
dengan nenek, adik, bibi, paman, dan keponakan-kpeonakan, namun inti
keluarga tetap terdiri dari orangtua dan anak.
Dalam penelitian Prabawa (1998) diacu dalam Puspa (2007) diungkapkan
bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala
keluarga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan
banyak ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita
selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, ditentukan juga oleh
seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala keluarga yang
bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja
produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya
jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per
kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota
keluarga atau ukuran keluarga akan memberi dorongan bagi rumahtangga
bersngkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi
keefektifan komunikasi (Guhardja et al. 1992). Keterlibatan seseorang dalam
proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi
dan membentuk cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan
kepribadiannya (Gunarsa & Gunarsa 2004).
Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang
memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi, pada umumnya mereka juga
mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang
bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al. 1992). Selain itu, seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi umumnya memiliki akses informasi
yang lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah (Arianti 2002).
Pendidikan dan kesejahteraan adalah dua aspek yang saling mempengaruhi.
Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga untuk
mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala
keluarga akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Syarief 1998).
Pendapatan Per Kapita
Pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan
penerimaan yang diterima seluruh anggota keluarga ekonomi. Rumahtangga
biasanya digunakan untuk unit analisis pendapatan di daerah pedesaan, karena
berbagai kegiatan sektor perekonomian dalam masyarakat pedesaan sulit untuk
dipisahkan
pencaharian.
karena
satu
Besarnya
keluarga
pendapatan
mempunyai
yang
berbagai
diterima
sumber
mata
rumahtangga
dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005).
Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga
dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan juga merupakan indikator yang baik
bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang,
tetapi juga terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin
tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan
bergerak. Dengan demikian pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap
kekurangan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny
1984). Aspek yang menonjol pada masyarakat pedesaan adalah gejala pola
nafkah ganda, yaitu melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan utama untuk
dapat meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat hidup keluarganya.
Menurut Mangkuprawira
(1985), diacu oleh Puspa (2007) ukuran
pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga
adalah pendapatan keluarga yang diperoleh dari bekerja. Tiap anggota keluarga
berusia kerja yang ada pada tiap keluarga akan terdorong bekerja untuk
kesejahteraan keluarganya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
anggota keluarga seperti istri dan anak adalah penyumbang dalam berbagai
kegiatan baik dalam pekerjaan rumahtangga maupun mencari nafkah.
Kepemilikan Aset Keluarga
Sumberdaya bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan
kemauan untuk mencapai sesuatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya merupakan
aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang
dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa
sumberdaya ekonomi potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan,
sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986).
Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan
alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi
kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya
berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya
manusia
dan
sumberdaya
materi/non
manusia.
Sumberdaya
manusia
mempunyai dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal. Sedangkan
sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang jasa, waktu, dan energi.
Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset/kekayaan keluarga. Menurut
Guhardja et al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu 1)
aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan
misalnya emas, perhiasan, dan tentu saja termasuk uang tunai, 2) aset tidak
lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan
misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi
modal.
Sumberdaya keluarga mempunyai arti mengikutsertakan setiap anggota
keluarga (pria dan wanita) dalam turut menentukan tingkat pangan, sandang, dan
perumahan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor
penentuan agar anggota keluarga dapat ikut secara aktif, harus adanya peluang
berusaha dan peluang bekerja terkait dengan modal produksi yang diikuasai.
Akses Informasi, Sumber Informasi, dan Jenis Informasi
Keberadaan media informasi telah menjadi bagian dalam hidup manusia.
Perkembangan teknologi informasi direspon oleh masyarakat yang menghendaki
kemudahan akses yang berkaitan dengan jasa telekomunikasi. Interaksi yang
tercapai
antara
manusia
dengan
teknologi
komunikasi
dan
informasi
mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup manusia modern masa kini
(Deppen 1993). Menurut Fleur (1966) setiap individu tidak sama perhatiannya,
kepentingannya, kepercayaan maupun nilai-nilainya, maka dengan sendirinya
pemilihan
individu
Kekosmopolitan
terhadap
adalah
komunikasi
keterbukaan
massa
seseorang
juga
pada
berbeda-beda.
informasi
melalui
hubungan dengan berbagai sumber informasi. Rogers & Shoemaker (1971)
menyatakan bahwa orang yang bersifat kosmopolitmya tinggi biasanya mencari
informasi dari sumber informasi di luar lingkungannya, sebaliknya orang yang
kosmopolitannya rendah cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi
pada tetangganya atau teman-temannya.
Hasil penelitian Gunardi (1988), diacu oleh Puspa (2007) menunjukkan
bahwa media radio mulai tidak digemari dan kedudukannya mulai digeser
dengan media televisi. Namun begitu pemanfaatan kombinasi media radiotelevisi lebih banyak digunakan oleh responden diabndingkan dengan kombinasi
radio-surat kabar, dan televisi-surat kabar. Kombinasi kedua media elektronik ini
lebih banyak digemari karena dalam menggunakannya tidak menggunakan
ketrampilan khusus, harga televisi yang dapat dijangkau, serta dari segi hiburan
kombinasi media elektronik ini lebih menarik.
Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya
dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingannya, terutama
dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang
memerlukam bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber
dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri
melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau isteri),
saudara, masyarakat (tetangga), dan lembaga masyarakat atau pemerintah.
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau
bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan
atau kelompok. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan terdiri dari
dukungan emosional (emotional support), dukungan instrumen (instrument
support), dukungan penghargaan (esteem support), dan dukungan informasi
(informational support). Dukungan instrumental yaitu dukungan yang dapat
diberikan
langsung
berupa
bantuan
dalam
mengerjakan
tugas-tugas
rumahtangga, pinjaman barang dan uang, serta tenaga (Sarafino 1996).
Dukungan emosional yaitu bentuk dukungan yang diberikan seseorang, sehingga
penerima dukungan dapat
mencurahkan perasaan,
kesedihan, ataupun
kekecewaan pada sanak keluarganya atau orang lain, yang akhirnya dapat
membuat pihak penerima dukungan merasa adanya keterikatan, kedekatan,
yang menimbulkan perasaan aman dan percaya (Herrick & Witty 1992, diacu
oleh Tati 2004).
Sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara
kontinu dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari
individu-individu anggota keluarga, mereka merupakan anggota kelompok yang
dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial. Secara operasional
sumber-sumber dukungan sosial dibagi ke dalam dua golongan, yaitu sumber
dukungan informal dan sumber dukungan formal. Sumber dukungan informal
terdiri dari sumber dukungan individu seperti suami/isteri, tetangga, saudara,
teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional,
kasih sayang, nasehat, material, dan informasi. Selanjutnya sumber dukungan
formal yang dapat diperoleh dari bidang professional seperti psikiater atau
psikolog, dan dari pusat-pusat pelayanan seperti rumah sakit, panti sosial, dan
lembaga pelayanan lainnya (Tati, 2004).
Kondisi Rawan Bencana Alam
Psikologi lingkungan mempelajari interaksi antar manusia dan lingkungan
fisik mereka. Satuan dari individu dan lingkungannya dinamakan ekosistem.
Dalam ekosistem kita, lingkungan membantu membentuk perilaku kita dengan
tiga cara, yaitu: 1) dengan menghalangi perilaku; 2) dengan mendatangkan
perilaku tertentu; dan 3) dengan membentuk diri pribadi (Calhoun & Acocella
1995). Aspek lingkungan tertentu dapat menyebabkan stress.
Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu
peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas
manusia. Karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen
keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan
struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada
kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka
(Bankoff et al 2003 dalam Anonim c 2009).
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun
oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
bencana antara lain:
1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster
reduction
(UN-ISDR)
dapat
dikelompokkan
menjadi
bahaya
geologi
(geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards),
bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards)
dan penurunan kualitas lingkungan (enviromental degradation)
2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kawasan berisiko bencana
3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak
pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, benua
Australia, lempeng samudera Hindia, dan samudera Pasifik. Pada bagian selatan
dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari
pulau
Sumatra–Jawa–Nusa
Tenggara-Sulawesi,
yang
sisinya
berupa
pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian didominasi rawarawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti
letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan
di Amerika Serikat (Arnold 1986 diacu dalam kementrian negara perencanaan
pembangunan nasional/badan perencanaan pembangunan nasional 2006).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga
setiap keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan, dan
cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktorfaktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Pengertian keluarga sejahtera
menurut UU No 1992 merupakan keluarga yang dibentuk berdasarkan
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material
yang layak, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat
dan lingkungannya (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani 2007). Kesejahteraan
keluarga akan tercapai apabila keluarga memiliki ketahanan yang kuat.
Ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga dalam mengelola
sumberdaya keluarga untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam
kehidupan keluarga. Kondisi ini sesuai dengan pengertian yang diberikan UU
No. 10 tahun 1992 (pasal 1 ayat 15) yaitu kondisi dinamik suatu keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-material
dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan
batin. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan
fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan,
pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta
kemampuan keluarga dalam pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Moore, &
Zill 1990, diacu oleh Sunarti 2001).
Tingkat kesejahteraan mencerminkan kualitas hidup dari sebuah
keluarga. Keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berarti
memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sehingga pada akhirnya keluarga
tersebut mampu untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk bisa
meningkatkan kesejahteraan mereka (Ibrahim 2007). Tingkat kesejahteraan
keluarga nelayan berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya dari input berupa dukungan sosial dan karakteristik keluarga meliputi
besar keluarga, umur, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, dan akses
informasi, sumber informasi, jenis informasi. Input tersebut dipengaruhi oleh
keadaan alam di lingkungan sekitar keluarga karena kehidupan keluarga nelayan
sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya sebagai mata pencaharian.
Berdasarkan input dan faktor lingkungan yang mempengaruhi maka dapat
diketahui masalah fungsional utama yang merupakan proses yang terjadi dalam
keluarga nelayan. Pada gilirannya, maka dapat diukur output keluarga nelayan
berupa kesejahteraan keluarga, baik dari kesejahteraan objektif
maupun
kesejahteraan subjektif.
Masalah fungsi keberlangsungan keluarga menurut Parsons (1953) diacu
oleh Hamilton (1983) ada empat variabel yaitu adaptacy, goal attainment,
integration, dan latency (AGIL). Variabel tersebut masing-masing saling terkait
yaitu bagaimana keluarga memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar,
bagaimana keluarga mencapai tujuan hidup, bagaimana tindakan integrasi
keluarga dalam pemeliharaan ikatan dan solidaritas, bagaimana proses
pendistribusian energi dalam sistem, yang melibatkan dua masalah saling
berikatan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan.
Penerapan fungsi AGIL yang baik dalam keluarga dapat mempengaruhi
keberlangsungan hidup suatu keluarga yang akhirnya dapat menciptakan
kesejahteraan keluarga (Sunarti, 2001).
Karakteristik keluarga nelayan
 Umur
 Besar keluarga
 Tingkat pendidikan
 Pendapatan per kapita
 Kepemilikan aset
 Akses informasi, sumber
informasi, jenis informasi
A (Adaptasi)
G (Pencapaian Tujuan)
Kesejahteraan Keluarga
 Kesejateraan objektif
I (Integrasi)
L (Latency)
Dukungan Sosial
Keterangan:
: Hubungan yang diteliti
: Variabel yang diteliti
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
 Kesejahteraan subjektif
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan topik
“Kajian Ketahanan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana”. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu data dikumpulkan
dalam waktu tertentu dan tidak berkelanjutan (Singarimbun & Effendi 1991).
Penelitian dilaksanakan di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran,
Kabupaten Ciamis pada bulan Maret selama dua minggu. Lokasi penelitian dipilih
secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa pantai Pangandaran merupakan
daerah pesisir yang pernah terkena tsunami pada tahun 2006. Oleh karena itu,
dilakukan juga metode retrospektif untuk mendapatkan data sebelum terjadi
bencana alam.
Contoh, Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Contoh pada penelitian ini adalah keluarga nelayan yang rawan terkena
bencana alam seperti badai, air pasang, angin puting beliung, ataupun tsunami.
Responden dalam penelitian ini adalah isteri keluarga nelayan di daerah rawan
bencana. Desa yang dipilih untuk penelitian yaitu Desa Pangandaran karena
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Proses pengambilan contoh
yang dilakukan di tiga RW menggunakan metode simple random sampling, yaitu
di RW 03, RW 07, RW 09 dengan ketiga RW tersebut memiliki jumlah KK yang
bekerja sebagai nelayan paling banyak. Jumlah contoh yang akan diambil di
masing-masing RW ditentukan dengan cara proporsi sehingga jumlah keluarga
contoh yang diambil di RW 03 sebanyak 22 responden, RW 07 sebanyak 28
responden, dan di RW 09 sebanyak 30 responden. Jadi jumlah seluruh
responden sebanyak 80 orang. Teknik pengambilan contoh tersebut dapat dilihat
pada Gambar 3.
Desa
Pangandaran
RW 03
N = 118
RW 07
N = 153
Purposive sampling
RW 09
N = 167
Proporsional random sampling
RW 03
n = 22
RW 07
n = 28
RW 09
n = 30
N = 80
27 Nelayan
buruh
53 Nelayan
juragan
Gambar 3. Kerangka pengambilan sampel
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data sekunder diperoleh dari pemerintah daerah setempat berupa
gambaran umum lokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan pengamatan
dan wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang terdiri
dari data :
1. Karakteristik keluarga nelayan (besar keluarga, umur, tingkat pendidikan,
pendapatan per kapita, kepemilikan aset, dan akses informasi, sumber
informasi, jenis informasi).
2. Dukungan
sosial
keluarga
luas,
tetangga,
dan
lembaga
masyarakat/pemerintah (masalah ekonomi, pengasuhan, kesehatan, dan
konflik)
3. Fungsi AGIL yang terdiri dari adaptasi, goal attainment (pencapaian tujuan),
integrasi dan latency (pemeliharaan sistem).
4. Kesejahteraan dilihat dari dua dimensi yaitu kesejahteraan objektif dan
kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur dari dua indikator yaitu
indikator utama dilihat dari pendapatan dan indikator tambahan dilihat dari
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan anak, dan
kesehatan keluarga. Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan kepuasan
seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
pendidikan anak, kesehatan keluarga dan pendapatan per kapita.
Secara rinci peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan cara pengumpulan data
No.
1.
2.
Peubah
Skala
Responden
Alat
Pengukuran
Cara
Pengukuran
Karakteristik Keluarga
1. Umur
2. Besar keluarga
3. Lama pendidikan
4. Pendapatan perkapita
5. Kepemilikan asset
6. Akses Informasi, sumber
informasi, jenis informasi
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Ordinal
Istri
Kuesioner
Wawancara
dan
observasi
Ordinal
Istri
Kuesioner
yang
dikembangkan
dari Tati 2004
Wawancara
Ordinal
Istri
Diacu Nuryani
2007 dan
dimodifikasi
Wawancara
Ordinal
Istri
Kuesioner
Suandi 2007
Wawancara
dan
observasi
Dukungan sosial
3.
Fungsi AGIL
1. Fungsi Pencapaian Tujuan
2. Fungsi Adapatasi
3. Fungsi Integrasi
4. Fungsi Latency
4. Kesejahteraan Keluarga:
1. Kesejahteraan objektif
2. Kesejahteraan subjektif
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry,
cleaning dan analisis data. Program yang digunakan untuk mengolah dan
menganalisis data adalah Microsoft Exceel 2003, SPSS versi 13.0 for Windows,
dan Minitab versi 14 for Windows. Sesuai dengan pertanyaan dan tujuan
penelitian, dilakukan analisis:
1. Uji deskriptif untuk menggambarkan karakteristik keluarga nelayan, dukungan
sosial yang diterima, fungsi AGIL, dan kesejahteraan keluarga nelayan
2. Uji hubungan antar peubah penelitian
Data karakteristik keluarga meliputi umur, besar keluarga, lama
pendidikan, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, akses informasi, sumber
informasi, dan jenis informasi. Besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kategori
yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥ 7 orang). Umur
mengacu kepada Papalia dan Old (1981) diacu oleh Nuryani (2007) yang dibagi
menjadi empat kategori yaitu dewasa awal (20-30), dewasa madya (31-40),
dewasa akhir (41-50), dan lansia awal (51-65). Lama pendidikan mengacu
kepada Wajib Belajar 9 tahun yaitu, ≤9 tahun, >9 tahun. Pendapatan perkapita
diperoleh dari total pendapatan pendapatan keluarga dalam setahun yang
dikonversikan per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga
diperoleh dari sebaran contoh dari total pendapatan saat ini ditambah dengan
pendapatan anggota keluarga yang lain. Pendapatan per kapita per bulan dibagi
menjadi tiga kategori yaitu rendah (Rp 100.000–Rp 1.400.000), sedang (Rp
1.400.001–Rp 2.700.000), dan tinggi (Rp 2.700.001–Rp 4.000.000). Aset yang
dimasukkan berupa aset yang telah diuangkan, kemudian dikategorikan menjadi
< 3 kali pendapatan per kapita per bulan dan ≥ 3 kali pendapatan per kapita per
bulan. Akses informasi diperoleh dengan mengisi jenis informasi seperti
pekerjaan, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, cuaca, harga, lainnya dengan
1= televisi, 2= radio, 3=surat kabar, 4=teman, dan 5= lainnya.
Pembuatan interval kelas berdasarkan Slamet (1993) diacu oleh Nuryani
(2007), dengan rumus berikut:
Interval kelas (I) = Skor maksimum (NT)-skor minimum (NR)
Jumlah kategori
Dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosi, instrumen, dan
informasi dinilai berdasarkan sumber dukungan sosial seperti keluarga besar,
tetangga, dan lembaga masyarakat atau pemerintah. Data dukungan sosial diberi
skor 0 jika jawabannya tidak, dan skor 1 jika jawabannya ya. Langkah
selanjutnya skor dijumlahkan berdasarkan sumber dukungan sosial dan dibuat
penggolongan interval, sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang,
dan tinggi.
Data fungsi AGIL terdiri dari empat variabel yaitu fungsi pencapaian
tujuan, fungsi adaptasi, fungsi integrasi, dan fungsi pemeliharaan sistem
(latency). Data dukungan sosial diberi skor 0 jika jawabannya tidak dan skor 1
jika jawabannya ya. Langkah selanjutnya skor dijumlahkan dan dibuat
penggolongan interval, sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang,
dan tinggi.
Data kesejahteraan diukur berdasarkan dua dimensi kesejahteraan,
yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif
diukur berdasarkan pendapatan, frekuensi makan, kelengkapan menu makan,
keragaman pakaian, tipe rumah tempat tinggal, jumlah ruangan, densitas rumah,
akses rumah terhadap fasilitas umum, fasilitas rumah, dan akses kesehatan.
Pendekatan pendapatan yang digunakan berdasarkan ukuran garis
kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS 2007) kabupaten
Ciamis dan dikelompokkan ke dalam 3 musim yaitu musim panen, musim biasa,
dan musim paceklik. Ada tiga kategori yang ditetapkan oleh BPS yaitu sangat
miskin apabila pengeluaran untuk pangan kurang dari Rp 120.000, miskin
apabila pengeluaran untuk pangan Rp 120.000–Rp 150.000, dan mendekati
miskin apabila pengeluatan untuk pangan lebih dari Rp 150.000 tetapi kurang
dari Rp 175.000. Garis kemiskinan untuk kabupaten Ciamis menurut BPS 2007
adalah Rp 175.000 per bulan pengeluaran untuk pangan. Kesejahteraan subjektif
diukur berdasarkan 12 item pertanyaan tentang kepuasan responden terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan
anak, kesehatan keluarga, kemudahan akses, dan pemenuhan kebutuhan sosial
di dalam masyarakat. Masing-masing pertanyaan diberi skor berdasarkan skala
likert, yaitu skor 0= tidak puas, 1=kurang puas, 2=puas, 3=sangat puas.
Selanjutnya, skor yang diperoleh dari masing-masing pertanyaan dijumlahkan,
kemudian ditransformasikan dalam skala ordinal dari skor 0-100 persen dengan
rumus sebagai berikut (Tati 2004):
Z= Y - Min x 100
Max-Min
Jika skor lebih dari 50 persen maka dikategorikan menjadi sejahtera dan tidak
sejahtera jika skor lebih kecil atau sama dengan 50 persen.
Pengolahan dan analisis data-data di atas secara deskriptif dan
inferensia. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain sebaran frekuensi dan
tabulasi silang, sedangkan analisis inferensia yang digunakan yaitu uji korelasi
Rank Spearman. Analisis korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat
hubungan antar variabel yang diteliti dan pola hubungan antar variabel pada
fungsi AGIL.
Uji korelasi Rank Spearman (Daniel, 1990)
rs= 1 - 6∑di2
di2= (xi – yi)
N(n2 – 1)
Keterangan:
rs: koefisien korelasi Rank Spearman
di: selisih ranking xi dan yi
xi: ranking xi
yi: ranking yi
N: banyaknya pasangan data
Definisi Operasional
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air
Keluarga nelayan adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, isteri, dan
anak yang salah satu anggota keluarganya bermata pencaharian sebagai
nelayan ataupun melakukan pekerjaan sampingan selain menjadi
nelayan.
Keluarga nelayan juragan adalah keluarga nelayan yang sekurang-kurangnya
memiliki perahu
Keluarga nelayan buruh adalah keluarga nelayan yang tidak memiliki perahu
maupun alat tangkap
Daerah rawan bencana adalah tempat yang memiliki kondisi atau karakteristik
geologis, biologis, hidrologis,klimatologis, serta geografis untuk jangka
waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu
Keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam adalah sekelompok
orang yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang salah satu anggota
keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun melakukan
pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan yang bertempat tinggal di
daerah yang sering terjadi bencana alam sehingga rawan terkena
bencana alam.
Karakteristik keluarga nelayan adalah ciri-ciri yang dimiliki atau melekat pada
suami-isteri
yang meliputi besar keluarga, umur, tingkat pendidikan,
pendapatan per kapita, kepemilikan aset, akses informasi, sumber
informasi, dan jenis informasi.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam
satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orangtua dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh
oleh suami atau isteri yaitu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, SD,
tidak tamat SMP, SMP, tidak tamat SMA, SMA, dan PT atau akademi.
Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dari
pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun
tambahan, ditambah dengan hasil bersih berlayar yang dikonversikan
dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam
rupiah per kapita per bulan.
Aset keluarga adalah seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga berupa perahu
untuk berlayar, jaring ikan, barang elektronik, kendaraan ,barang
berharga (misalnya emas), tabungan, luas dan status kepemilikan tanah
atau rumah, dan ternak yang dikonversikan ke dalam nilai uang. Aset
dalam penelitian ini belum dibandingkan dengan rasio hutang keluarga.
Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi adalah kemampuan
seseorang untuk memperoleh jenis informasi dari sumber informasi yang
tersedia, dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan penjumlahan skor
kemudahan keluarga memperoleh informasi, jumlah informasi, dan jumlah
jenis informasi yang diterima.
Dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh dan diupayakan keluarga
dalam mengatasi masalah ekonomi, pengasuhan, kesehatan, dan konflik
dalam keluarga.
Fungsi AGIL adalah penerapan fungsi keberlangsungan keluarga yang terdiri
dari masalah adaptasi, pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi,
dan pemeliharaan sistem (latency) guna mempertahankan hidup
keluarganya dari tempat tinggalnya yang rawan bencana alam.
Fungsi Pencapaian tujuan (goal attainment) adalah tujuan yang ingin dicapai
dalam keluarga ataupun masing-masing individu dalam keluarga yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dan dilihat berdasarkan kualitas
dan performance dari tujuan yang ingin dicapai.
Fungsi adaptasi adalah tindakan yang dilakukan oleh keluarga untuk
memperoleh sumberdaya dari lingkungan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya (makan, pakaian, dan tempat tinggal), dilihat
berdasarkan cara yang dilakukan oleh keluarga untuk aware terhadap
bencana alam yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka.
Fungsi integrasi adalah tindakan atau kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga
dalam upaya pemeliharaan ikatan dan solidaritas antar anggota keluarga.
Fungsi pemeliharaan sistem (latency) adalah tindakan pemeliharaan yang
dilakukan antar anggota keluarga sebagai dorongan atau motivasi yang
dapat menimbulkan semangat dalam melakukan berbagai aktivitas,
dalam penelitian ini dilihat dari jenis.pemeliharaan yang dilakukan suami,
yang dilakukan isteri dan yang dilakukan orangtua terhadap anak dalam
mengahadapi kerawanan bencana alam yang terjadi di lingkungan tempat
tinggal mereka.
Kesejahteraan keluarga adalah kepuasan, kemakmuran, dan kualitas hidup
kelompok keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam dalam hal
ini diukur berdasarkan dimensi kesejahteraan objektif dan kesejahteraan
subjektif.
Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang diukur dengan indikator
utama yaitu indikator yang menggunakan pendekatan pendapatan
berdasarkan garis kemiskinan BPS kabupaten Ciamis (2008) sebesar Rp
175 000.
Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan
kapuasan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas
rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan pendapatan
per kapita keluarga.
Tabel 2 Pengkategorian data penelitian
Variabel Penelitian
Jenis (Jumlah)
Besar Keluarga
Besar keluarga (1)
Umur
Umur (1)
Jenjang pendidikan (1)
Tingkat Pendidikan
Lama pendidikan yang telah
diselesaikan (1)
Pendapatan per
kapita
Pendapatan hasil melaut per
musim (3)
Pendapatan keluarga (1)
Kepemilikan Aset
Luas dan status kepemilikan
lahan, perahu, jaring ikan, barang
elektronik, kendaraan, barang
berharga, tabungan, ternak (8)
Akses Informasi,
Sumber Informasi,
Jenis Informasi
Mudah atau tidak memperoleh
informasi, sumber informasi, jenis
informasi (3)
Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan
oleh keluarga besar, tetangga dan
lembaga masyarakat/pemerintah
dalam hal dukungan emosi,
instrument, dan informasi (9)
Fungsi adaptasi yang mencakup
tindakan apa saja untuk dapat
survive (3)
Fungsi AGIL
Fungsi pencapaian tujuan (2)
Fungsi Integrasi (3)
Fungsi AGIL
Fungsi Latency (2)
Kategori Skor Data
Berdasarkan BKKBN (1998)
Kecil
: ≤ 4 orang
Sedang : 5–6 orang
Besar : ≥ 7 orang
Berdasarkan Hurlock
Dewasa awal : 18–40 tahun
Dewasa madya : 41–60 tahun
Dewasa akhir : >60 tahun
Berdasarkan jenjang pendidikan
1 : Tidak tamat SD
2 : Tamat SD
3 : Tamat SMP
4 : Tamat SMA
5 : PT/Akademi
Berdasarkan wajib belajar 9 tahun
≤ 9 tahun
> 9 tahun
Berdasarkan BPS (2007)
Sangat miskin : Rp 120 000 orang
per bulan
Miskin : Rp 150 000 orang per bulan
Mendekati miskin : Rp 175 000 orang
per bulan
Atau
Sejahtera : di atas garis kemiskinan
(> Rp 175 000)
Tidak sejahtera : di bawah sama
dengan garis kemiskinan
(≤ Rp 175 000)
Berdasarkan perbandingan dengan
kebutuhan bulanan
< 3 kali kebutuhan minimum/bulan
≥ 3 kali kebutuhan minimum/bulan
Berdasarkan sebaran interval
Rendah (0–33.31)
Sedang (33.32–66.62)
Tinggi (66.63–100)
Berdasarkan sebaran interval
Rendah
Sedang
Tinggi
Berdasarkan banyaknya tindakan
yang dilakukan
1 : 0 tindakan;
4 : 3 tindakan;
2 : 1 tindakan;
5 : 4 tindakan;
3 : 2 tindakan;
6 : 5 tindakan
Berdasarkan banyaknya tujuan yang
ingin dicapai
1 : 1 tindakan;
4 : 4 tindakan;
2 : 2 tindakan;
5 : 5 tindakan;
3 : 3 tindakan;
6 : 6 tindakan
Berdasarkan banyaknya tindakan
yang dilakukan
1 : 1 tindakan;
4 : 4 tindakan;
2 : 2 tindakan;
5 : 5 tindakan
3 : 3 tindakan;
Berdasarkan banyaknya tindakan
yang dilakukan
1 : 1 tindakan;
4 : 3 tindakan;
2 : 2 tindakan;
5 : 4 tindakan;
Variabel Penelitian
Jenis (Jumlah)
Kesejahteraan
Objektif
Pendapatan hasil melaut per
musim (3)
Pendapatan keluarga (1)
Kesejahteraan
Subjektif
Pangan, pakaian, kualitas rumah,
kualitas pendidikan anak,
kesehatan keluarga, pendapatan
perkapita
Kategori Skor Data
Berdasarkan BPS (2007)
Sangat miskin : Rp 120 000 orang
per bulan
Miskin : Rp 150 000 orang per bulan
Mendekati miskin : Rp 175 000 orang
per bulan
Atau
Sejahtera : di atas garis kemiskinan
(> Rp 175 000)
Tidak sejahtera : di bawah sama
dengan garis kemiskinan (≤ Rp 175
000)
Berdasarkan total skor
Tidak sejahtera : ≤ 50% dari total
skor
Sejahtera
: > 50 % dari total skor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Keadaan Geografis
Desa Pangandaran merupakan desa yang berada di sepanjang pantai
selatan pulau jawa Indonesia yang rawan bencana. Desa ini terletak di
Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Desa
Pangandaran merupakan pecahan dari Desa Babakan. Luas Desa Pangandaran
yaitu 667.87 ha yang terdiri atas luas daratan 137.87 ha dan luas pegunungan
530 ha. Secara geografis, batas wilayah Desa Pangandaran di sebelah selatan
dan barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah utara dengan Desa
babakan dan Sungai Cikidang, dan di sebelah timur dengan Desa Pananjung.
Desa Pangandaran merupakan desa yang rawan bencana alam karena pernah
mengalami tsunami pada tahun 2006.
Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Pangandaran pada tahun 2008 adalah 9.125 jiwa
yang terdiri dari 4.318 jiwa laki-laki (47.32%) dan 4.794 jiwa perempuan (52.54%)
dengan jumlah kepala keluarga (KK) laki-laki 2.429 KK. Tingkat pendidikan
tertinggi penduduk pada umumnya adalah tamat SD/sederajat (76.15%), tidak
sekolah (7.30%), tidak tamat SD (0.10%), tamat SMP (9.75%), tamat SMA
(0.07%), dan perguruan tinggi (PT) (0.10%). Pekerjaan utama penduduk di Desa
Pangandaran pada umumnya bekerja sebagai nelayan (51.55%), pedagang atau
wiraswasta (30.59%), petani (10.48%), PNS (5.03%), pensiunan PNS (1.38%),
dan buruh (0.96%).
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga merupakan penjumlahan anggota keluarga inti dan sanak
saudara yang tinggal bersama keluarga contoh (Firdaus 2008). Pendapatan per
kapita dipengaruhi oleh besar keluarga karena pendapatan per kapita merupakan
pendapatan total keluarga yang dibagi oleh semua jumlah anggota keluarga. Hal
ini menunjukkan besar keluarga dapat menentukan apakah keluarga tersebut
berada di bawah garis kemiskinan atau tidak.
Besar keluarga dalam penelitian ini, dikategorikan ke dalam tiga kelas
yaitu keluarga kecil yang jumlah anggotanya kurang dari atau sama dengan
empat orang; keluarga sedang yang jumlah anggotanya antara 5-6 orang; dan
keluarga besar apabila jumlah anggota keluarganya lebih dari atau sama dengan
7 orang (BKKBN 1998). Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada tabel 3,
besar keluarga contoh berkisar antara 2 sampai 8 orang.
Proporsi terbesar keluarga nelayan buruh (74,07%) lebih banyak yang
masuk ke dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dibandingkan keluarga
nelayan juragan (50,94%). Hal ini dikarenakan keluarga nelayan juragan banyak
yang memiliki anak lebih dari dua, menampung keluarga (seperti orangtua, adik
kandung, dll), dan nelayan buruh yang belum berkeluarga. Hasil uji beda
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 3 Sebaran contoh menurut besaran keluarga
Besar keluarga
Kecil (≤ 4 orang)
Sedang (5-6 orang)
Besar (≥ 7 orang)
Total
Rata-rata ± sd
p-value
Juragan
n
%
27
50,94
20
37,74
6
11,32
80
100.00
4,58 ± 1,351
0,082
Buruh
n
%
20
74,07
6
22,22
1
3,70
27
100,00
4,04 ± 1,285
Umur
Rata-rata umur isteri keluarga nelayan juragan adalah 37,08 tahun dan
keluarga nelayan buruh adalah 34,11 tahun dengan kisaran antara 20 sampai 62
tahun sedangkan rata-rata umur suami keluarga nelayan juragan adalah 41,04
tahun dan kelaurga nelayan buruh adalah 40,07 dengan kisaran antara 22
sampai 65 tahun. Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 4,
proporsi terbesar umur isteri keluarga nelayan buruh (81,48%) lebih banyak yang
berusia produktif dibandingkan dengan keluarga nelayan juragan (64,15%).
Sedangkan lebih dari setengah umur suami keluarga nelayan juragan (56,60%)
dan keluarga nelayan buruh (59,26%) termasuk ke dalam kategori dewasa awal
(18-40). Hal ini dapat menggambarkan bahwa suami keluarga nelayan juragan
dan keluarga nelayan buruh masih termasuk ke dalam usia produktif. Hasil uji
beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara umur
suami dan isteri pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 4 Sebaran contoh menurut umur suami-isteri
Umur (tahun)
Dewasa awal (18-40)
Dewasa madya (41-60)
Dewasa akhir (> 60)
Total
Rata-rata ± sd
Isteri
Juragan
Buruh
n
%
n
%
64,15
81,48
34
22
18
33,96
5
18,52
1
1,89
0
0,00
53
100,00
27
100,00
37,08 ± 10,073
34,11 ± 10,718
p-value
Suami
Juragan
Buruh
n
%
n
%
56,60
59,26
30
16
23
43,40
9
33,33
0
0,00
2
7,41
53
100,00
27
100,00
41,04 ± 9,271
40,07 ± 11,642
0,238
0,710
Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat menentukan
sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 1996, diacu oleh Fahmi
2008). Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 5, proporsi terbesar
tingkat pendidikan isteri keluarga nelayan juragan (49.06%) dan keluarga
nelayan buruh (51.85%) termasuk ke dalam kategori tamat SD. Persentase
tingkat pendidikan suami keluarga nelayan juragan (37,74%) yang tidak tamat
SD lebih banyak dibandingkan keluarga nelayan buruh (7,41%). Berdasarkan
hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pendidikan
contoh dan suami pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan suami-isteri
Tingkat pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Total
p-value
Isteri
Juragan
Buruh
n
%
n
%
13
24,53
4
14,81
26
49,06
14
51,85
11
20,75
4
14,81
3
5,66
5
18,52
53
100,00 27
100,00
0,183
Suami
Juragan
Buruh
n
%
n
%
20
37,74
2
7,41
19
35,85
16
59,26
10
18,87
5
18,52
4
7,55
4
14,81
53
100,00 27 100,00
0,036
Sebagian besar isteri dan suami pada keluarga nelayan juragan dan lebih
dari setengah keluarga nelayan buruh memiliki lama pendidikan kurang dari 9
tahun. Menurut Guhardja dkk (1992), diacu dalam Fahmi (2008) menyatakan
bahwa situasi keluarga di pedesaan dicirikan oleh sumberdaya manusia yang
tingkat pendidikannya rendah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat
perbedaan yang cukup signifikan antara lama pendidikan suami dan isteri pada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut lama pendidikan suami-isteri
Lama pendidikan (tahun)
< 9 tahun
≥ 9 tahun
Total
p-value
Isteri
Juragan
Buruh
n
%
n
%
39
73,58
18
66,67
14
26,42
9
33,33
53
100,00 27
100,00
0,039
Suami
Juragan
Buruh
n
%
n
%
40
75,47
18
66,67
13
24,53
9
33,33
53
100,00 27 100,00
0,024
Pendapatan Per Kapita
Pada penelitian ini, pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan di
tiga musim berlayar yaitu musim panen, musim paceklik, dan musim biasa
ditambah dengan pendapatan sampingan contoh, anak dan anggota keluarga
lain yang rutin diberikan kepada keluarga contoh. Menurut Sumarwan (2002)
pendapatan suatu keluarga bukan hanya pendapatan yang diterima oleh
seseorang individu, tetapi dari seluruh anggota keluarga yang bekerja dan tinggal
di rumah orangtuanya.
Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan per kapita per bulan keluarga
contoh berkisar antara Rp 100 533 sampai dengan Rp 3 885 000. Sebanyak 1,89
persen keluarga nelayan juragan masuk ke dalam kategori sangat miskin. Hal ini
dikarenakan kurangnya alat tangkap yang menyebabkan penghasilan pada saat
melaut tidak maksimal. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (94,34%) dan
keluarga nelayan buruh (81,48%) termasuk ke dalam kategori tidak miskin.
Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang signifikan antara
pendapatan per kapita per bulan keluarga nelayan juragan dengan keluarga
nelayan buruh.
Tabel 7 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita
Pendapatan per kapita (Rp)
Sangat Miskin
Miskin
Mendekati Miskin
Tidak miskin
Total
Rata-rata ± sd
p-value
Nelayan juragan
Nelayan buruh
n
%
n
%
1
1,89
0
0,00
2
3,77
2
7,41
0
0,00
3
11,11
50
94,34
22
81,48
53
100.00
27
100.00
1 191 015 ± 1 007 497, 620
513 017 ± 484 680, 646
0.000
Kepemilikan Aset
Aset merupakan sumberdaya materi yang dimiliki oleh keluarga
(Guhardja et all 1993). Kepemilikan aset keluarga di lokasi penelitian meliputi
perahu, barang elektronik, kendaraan, barang berharga, tabungan, ternak, luas
dan status kepemilikan lahan. Keluarga dapat dikatakan survive apabila memiliki
aset lebih dari atau sama dengan tiga kali pendapatan per kapita per bulan.
Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 8, sebanyak 18,52
persen keluarga nelayan buruh yang memiliki aset kurang dari 3 kali kebutuhan
minimum per bulan sedangkan tidak ada keluarga nelayan juragan yang memiliki
aset kurang dari 3 kali kebutuhan minimum per bulan. Hal ini dikarenakan
keluarga nelayan juragan mempunyai aset yang lebih banyak sehingga dapat
memenuhi 3 kali kebutuhan minimum per bulan. Rata-rata aset yang dimiliki oleh
keluarga nelayan juragan sebesar Rp 45 887 038, sedangkan pada keluarga
nelayan buruh sebesar Rp 26 741 601 (Tabel 8). Berdasarkan hasil uji beda,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara aset yang dimiliki keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Hal ini disebabkan karena
kepemilikan aset yang dimiliki oleh keluarga nelayan juragan dan keluaga
nelayan buruh relatif sama, yang membedakan hanya kepemilikan perahu dan
alat tangkap.
Tabel 8 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset keluarga
Kepemilikan Aset
(Rp)
<3 kali kebutuhan minimum/bulan
≥3 kali kebutuhan minimum/bulan
Total
Rata-rata ± sd
p-value
Juragan
Buruh
n
%
n
%
0
0,00
5
18,52
100,00
81,48
53
22
53
100,00
27
100,00
4,6E+07 ± 42 839 877, 717
2,7E+07 ± 41 573 157, 908
0,059
Akses Informasi, Sumber Informasi, Jenis Informasi
Akses informasi dinilai dari kemudahan keluarga contoh memperoleh
informasi, berbagai sumber untuk memperoleh informasi (TV, radio, surat kabar,
teman/tetangga), dan jenis informasi yang diperoleh (informasi pekerjaan,
pengasuhan, pendidikan, kesehatan, harga, cuaca, dll).
Berdasarkan Tabel 9, keluarga nelayan juragan (84.90%) lebih mudah
memperoleh informasi daripada keluarga nelayan buruh (77.78%). Sebagian
besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan keluarga nelayan buruh (77.78%)
memperoleh informasi dari dari TV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Gunardi (2003) yang menunjukkan bahwa media radio mulai tidak digemari dan
kedudukannya mulai digeser dengan media televisi. Keseluruhan keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak mengakses informasi dari
surat kabar. Hal ini dapat menggambarkan kurangnya minat membaca dan
terbatasnya media massa yang masuk ke desa lokasi penelitian.
Berdasarkan jumlah akses informasi, sebagian besar keluarga nelayan
juragan (86.79%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%) dapat mengakses satu
sampai dua sumber informasi saja. Hanya sebanyak 7.55 persen keluarga
nelayan juragan dan 7.41 persen keluarga nelayan buruh yang dapat mengakses
informasi tiga sampai empat jenis informasi. Jenis informasi yang
banyak
diperoleh keluarga nelayan juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh
(74.07%) adalah mengenai keadaan cuaca. Hal ini diduga karena berhubungan
dengan jadwal melaut nelayan. Apabila cuaca cerah maka nelayan dapat melaut
sedangkan apabila cuaca buruk maka nelayan tidak dapat melaut. Hal ini
disebabkan cuaca yang buruk dapat mengakibatkan gelombang air laut tinggi
sehingga dapat membahayakan nelayan.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut akses informasi, sumber informasi, jenis
informasi
Akses Informasi
Kemudahan memperoleh informasi
Ya
Tidak
Total
Sumber informasi
TV
Radio
Surat kabar
Tetangga
Jumlah sumber informasi
1-2 jenis sumber informasi
3-4 jenis sumber informasi
Jenis informasi
Pekerjaan
Pengasuhan
Pendidikan
Kesehatan
Cuaca
Harga
Lain-lain (olahraga, sinetron, gossip,
komedi, criminal, kartun, musik)
Juragan
Buruh
n
%
n
%
45
8
53
84,90
15,10
100,00
21
6
27
77,78
22,22
100,00
43
5
0
22
81,13
9,43
0
41,51
20
4
0
11
74,07
14,81
0
40,74
46
4
86,79
7,55
23
2
85,19
7,41
9
14
19
23
41
31
16,98
26,42
35,85
43,40
77,36
58,49
2
11
9
10
20
14
7,41
40,74
33,33
37,04
74,07
51,85
22
41,51
10
37,04
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah keluarga
nelayan juragan (64.15%) dan keluarga nelayan buruh (66.66%) termasuk dalam
kategori akses informasi sedang (Tabel 10). Hal ini diduga karena baik keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak memperoleh akses informasi,
sumber informasi, dan jenis informasi dari berbagai sumber seperti internet dan
surat kabar, serta jenis informasi yang diperoleh hanya berita yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara akses informasi keluarga nelayan juragan
dengan keluarga nelayan buruh.
Tabel 10 Sebaran contoh menurut kategori akses informasi, sumber informasi,
jenis informasi
Juragan
Kategori akses Informasi
n
10
34
9
53
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
p-value
Buruh
%
18,87
64,15
16,98
100,00
0,653
n
5
18
4
27
%
18,52
66,66
14,81
100,00
Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan keluarga luas, tetangga
dan lembaga masyarakat/pemerintah berupa dukungan emosional, instrument,
dan informasi pada keluarga contoh. Dukungan sosial yang diukur pada
penelitian ini adalah berbagai macam dukungan yang diberikan oleh keluarga
luas, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah terhadap berbagai macam
permasalahan atau kesulitan yang dialami oleh keluarga contoh yakni masalah
ekonomi, pengasuhan anak, kesehatan, konflik dalam keluarga, dan informasi.
Tabel 11 Sebaran contoh menurut dukungan sosial keluarga luas
Dukungan sosial
keluarga luas
Emosi
Mendengarkan
masalah
Kepedulian
Hubungan akrab
Bagian penting dari
keluarga
Perbuatan yang
menunjukkan dihargai
Perkataan yang
menunjukkan dihargai
Instrumen
Bantuan keuangan
Bantuan barang
Bantuan pengasuhan
Memberikan solusi
terhadap masalah
yang dihadapi
Informasi
Pemberitahuan
informasi
Bertanya informasi
Juragan
Ya
n
Buruh
Tidak
%
n
Ya
%
n
Tidak
%
n
%
48
90,57
5
9,43
23
85,18
4
14,81
48
50
90,57
94,34
5
3
9,43
5,66
25
25
92,59
92,59
2
2
7,41
7,41
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
40
37
38
75,47
69,81
71,70
13
16
15
24,53
30,19
28,30
20
17
17
74,07
62,96
62,96
7
10
10
25,93
37,04
37,04
46
86,79
7
13,21
24
88,89
3
11,11
45
84,91
8
15,09
22
81,48
5
18,52
41
77,36
12
22,64
19
70,37
8
29,63
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa persentase terbesar
keluarga contoh baik nelayan juragan (84.91%) maupun nelayan buruh (85.19%)
termasuk dalam kategori tinggi dalam memperoleh dukungan dari keluarga luas
(Tabel 11). Dukungan yang paling banyak diberikan oleh keluarga luas kepada
keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh adalah dukungan emosi
yaitu berupa membuat keluarga contoh merasa bahwa mereka adalah bagian
penting dari keluarga, melakukan perbuatan dan perkataan yang menghargai
keluarga contoh.
Tabel 12 Sebaran contoh menurut dukungan sosial tetangga
Dukungan sosial
tetangga
Emosi
Mendengarkan
masalah
Kepedulian
Hubungan yang akrab
Bagian dari
kelompok
Perbuatan
penghargaan
Perkataan
penghargaan
Perasaan aman
Saling berbagi
Bertukar pikiran
Memberikan saran
Instrumen
Bantuan keuangan
Bantuan pengasuhan
Memberikan solusi
Instrumen
Pertolongan ketika
musibah
Pertolongan ketika
kekurangan
Informasi
Pemberitahuan cuaca
Bertanya tentang
cuaca
Juragan
Ya
n
%
Buruh
Tidak
n
%
Ya
n
%
n
Tidak
%
43
81,13
10
18,87
21
77,78
6
22,22
50
53
94,34
100,00
3
0
5,66
0,00
25
25
92,59
92,59
2
2
7,41
7,41
48
90,57
5
9,43
25
92,59
2
7,41
49
92,45
4
7,55
25
92,59
2
7,41
50
94,34
3
5,66
25
92,59
2
7,41
50
37
40
33
94,34
69,81
75,47
62,26
3
16
13
20
5,66
30,19
24,53
37,74
27
21
21
23
100,00
77,78
77,78
85,19
0
6
6
4
0,00
22,22
22,22
14,81
24
19
29
45,28
35,85
54,72
29
34
24
54,72
64,15
45,28
12
9
17
44,44
33,33
62,96
15
18
10
55,56
66,67
37,04
47
88,68
6
11,32
25
92,59
2
7,41
48
90,57
5
9,43
25
92,59
2
7,41
48
90,57
5
9,43
22
81,48
5
18,52
48
90,57
5
9,43
20
74,07
7
25,93
Dukungan yang diterima keluarga contoh baik nelayan juragan (81.33%)
maupun nelayan buruh (77.78%) dari tetangga pun termasuk ke dalam kategori
tinggi (Tabel 12). Dukungan yang banyak diberikan oleh tetangga kepada
keluarga nelayan juragan (100,00%) berupa dukungan emosi dengan menjalin
hubungan yang akrab dengan keluarga nelayan. Sedangkan untuk keluarga
nelayan buruh dukungan yang banyak diberikan oleh tetangga pun lebih banyak
dukungan emosi berupa perasaan aman.
Tabel 13 Sebaran contoh menurut dukungan sosial lembaga masyarakat
/pemerintah
Juragan
Buruh
Dukungan sosial
lembaga
Ya
Tidak
Ya
Tidak
masyarakat/pemerintah
n
%
n
%
n
%
n
%
Emosi
Mendengarkan masalah
21 39,62
32 60,38
7 25,93
20 74,07
Memperlihatkan
kepedulian
Hubungan akrab
Bertukar pikiran
Menunjukkan kepedulian
33 62,26
20 37,74
17 62,96
10 37,04
31 58,49
21 39,62
35 66,04
22 41,51
32 60,38
18 33,96
10 37,04
7 25,93
18 66,67
17 62,96
20 74,07
9 33,33
40 75,47
26 49,06
39 73,58
13 24,53
27 50,94
14 26,42
15 55,56
6 22,22
15 55,56
12 44,44
21 77,78
12 44,44
38 71,70
35 66,04
15 28,30
18 33,96
16 59,26
12 44,44
11 40,74
15 55,56
Instrumen
Bantuan keuangan
Memberikan solusi
Bantuan barang
Informasi
Pemberitahuan cuaca
Bertanya tentang cuaca
Bentuk dukungan yang diterima oleh keluarga nelayan buruh (25.93%)
dari lembaga masyarakat/pemerintah tidak sebesar yang diterima oleh keluarga
nelayan juragan (60.38%) (Tabel 13). Hal ini dikarenakan keluarga nelayan buruh
tidak termasuk kedalam anggota lembaga masyarakat yang ada di lokasi
penelitian. Bantuan yang diberikan oleh lembaga masyarakat/pemerintah berupa
uang, pinjaman dana, dan beras. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara dukungan sosial dari keluarga luas, tetangga,
dan lembaga masyarakat/pemerintah
kepada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh.
Tabel 14 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial
Kategori
dukungan sosial
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rata-rata ± sd
p-value
Keluarga luas
tetangga
Juragan
Buruh
(%)
(%)
1,89
3,70
13,21
11,11
84,91
85,19
100,00
100,00
10,358
10,111
± 1,991
± 2,577
0,8161
Juragan
Buruh
(%)
(%)
5,66
3,70
13,21
18,52
81,13
77,78
100,00
100,00
13,509
13,630
± 3,620
± 3,341
0,9508
Lembaga
masyarakat/pemerintah
Juragan
Buruh
(%)
(%)
28,30
37,04
11,32
37,04
60,38
25,93
100,00
100,00
6,019 ±
4,556 ±
3,400
3.203
0,0525
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa persentase terbesar
keluarga contoh baik nelayan juragan (90.57%, 84.91%, 67.92%) maupun
nelayan buruh (92.59%, 96.30%, 932.59%) tidak mengalami perubahan terhadap
dukungan sosial yang diterima dari keluarga besar, tetangga, dan lembaga
masyarakat/pemerintah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara perubahan dukungan sosial yang diterima dari keluarga
besar dan tetangga terhadap keluarga nelayan juragan dan nelayan buruh
sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Perbedaan yang signifikan terdapat
pada dukungan sosial yang diterima oleh keluarga nelayan juragan dan nelayan
buruh dari lembaga masyarakat/pemerintah. Hal ini dikarenakan banyaknya
sumbangan dan pemberian yang diberikan oleh lembaga masyarakat/pemerintah
kepada keluarga nelayan buruh pada saat terjadi bencana alam tidak sebanyak
yang diberikan kepada keluarga nelayan juragan. Hanya sebagian keluarga
nelayan buruh yang mendapatkan perahu pada saat terjadi bencana tsunami
pada tahun 2006.
Tabel 15 Sebaran contoh menurut perubahan dukungan sosial saat terjadi
bencana alam
Perubahan
dukungan
sosial
Ya
Tidak
Total
p-value
Keluarga luas
n
juragan
%
5
48
53
n
9,43
2
90,57
25
100,00
27
0,7710
tetangga
Buruh
%
7,41
92,59
100,00
n
juragan
%
8
45
53
n
15,09
1
84,91
26
100,00
27
0,1321
buruh
%
3,70
96,30
100,00
Lembaga
masyarakat/pemerintah
juragan
buruh
n
%
n
%
17
36
53
32,08
2
67,92
25
100,00
27
0,0151
7,41
92,59
100,00
Fungsi AGIL
Fungsi Adaptasi
Adaptasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh keluarga untuk
memperoleh sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem
dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem (Parsons 1953, diacu oleh
Hamilton 1983). Pada penelitian ini fungsi adaptasi yang diteliti adalah
bagaimana keluarga memperoleh sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari
lingkungan luar sistem, belum sampai mendistribusikan di dalam sistem.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 32.08 persen keluarga nelayan
juragan dan 25.93 persen nelayan buruh hanya melakukan satu tindakan
adaptasi. Hal ini dikarenakan keterbatasan akses dan keadaan masyarakat di
tempat penelitian relatif sama sehingga hanya bisa melakukan satu tindakan
adaptasi. Selain itu, terdapat 7.55 persen keluarga nelayan juragan dan 11.11
persen mampu melakukan empat tindakan adaptasi, bahkan ada yang juga yang
mampu melakukan lima tindakan adaptasi yaitu sebanyak 5.66 persen pada
keluarga nelayan juragan dan 7.41 persen pada keluarga nelayan buruh. (Tabel
16). Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin banyak tindakan adaptasi yang
dilakukan, maka kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara banyaknya tindakan adaptasi yang dilakukan keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 16 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan adaptasi
Tindakan adaptasi
0 tindakan
1 tindakan
2 tindakan
3 tindakan
4 tindakan
5 tindakan
Total
p-value
Juragan
n
14
17
9
6
4
3
53
%
26,42
32,08
16,98
11,32
7,55
5,66
100,00
0,4488
Buruh
n
6
7
6
3
3
2
27
%
22,22
25,93
22,22
11,11
11,11
7,41
100,00
Tindakan adaptasi yang dilakukan berupa pencarian nafkah ganda yang
dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Berdasarkan hasil
penelitian,pencarian nafkah yang dilakukan keluarga contoh tidak hanya melaut
saja, tetapi juga mengkombinasikannya dengan menambah jadwal melaut,
membuat dan menjual ikan asin, menjadi buruh bangunan, serta pekerjaan di
bidang jasa.
Tabel 17 Sebaran contoh menurut pencarian nafkah yang dilakukan selama
musim paceklik
Jenis pencarian nafkah
Menjadi buruh bangunan
Menambah jadwal melaut
Membuat dan menjual ikan asin
Narik becak
Buruh tani
Jahit
Ojek laut
Buruh pembuat cindera mata
Warung
Juragan
n
7
15
9
2
1
1
1
1
5
%
13,21
28,30
16,98
3,77
1,89
1,89
1,89
1,89
9,43
Buruh
n
7
7
2
2
1
0
0
0
5
%
25,93
25,93
7,41
7,41
3,70
0,00
0,00
0,00
18,52
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga nelayan juragan (28.30%)
cenderung mencari nafkah tambahan dengan cara menambah jadwal melaut,
sedangkan
keluarga nelayan buruh (25.93%) cenderung mencari nafkah
tambahan dengan cara ikut juragan menambah jadwal melaut dan menjadi buruh
bangunan. Selain itu sebesar 1.89 persen keluarga nelayan juragan mencari
pendapatan tambahan dengan di bidang jasa dengan cara menyewakan
perahunya untuk wisatawan yang datang di lokasi penelitian (Tabel 17).
Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan
keluarga nelayan buruh (81.48%) tidak mengalami perubahan pola nafkah dalam
keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya perubahan kondisi dan keadaan di lokasi penelitian sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara perubahan adaptasi keluarga contoh sebelum
dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh.
Tabel 18 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi adaptasi
Perubahan fungsi adaptasi
Ya
Tidak
Total
p-value
Juragan
n
8
45
53
%
n
15,09
5
84,91
22
100,00
27
0,7024
Buruh
%
18,52
81,48
100,00
Fungsi Pencapaian Tujuan
Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam
menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam
sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap
keluarga mempunyai tujuan yang berbeda-beda tergantung pada sumberdaya
yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Tujuan keluarga merupakan output dalam
sebuah keluarga. Tujuan keluarga akan tercapai dengan syarat adanya
sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi dan informasi. Agar keluarga
dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarga
dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu melalui proses
(throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Fire baugh 1988).
Berdasarkan hasil penelitian, tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal ekonomi berkisar antara
satu sampai enam tujuan. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal pendidikan anak dan
agama berkisar antara satu sampai empat tujuan. Persentase terbesar keluarga
nelayan juragan (35.85%) dan keluarga nelayan buruh (37.04%) dalam hal
ekonomi mempunyai lima tujuan yang ingin dicapai. Persentase terbesar
keluarga nelayan juragan (37.74%) dan keluarga nelayan buruh (48.15%) dalam
hal pendidikan anak dan agama mempunyai tiga tujuan yang ingin dicapai (Tabel
19).
Tabel 19 Sebaran contoh menurut banyaknya tujuan yang ingin dicapai
Tujuan
yang
ingin
dicapai
1 tujuan
2 tujuan
3 tujuan
4 tujuan
5 tujuan
6 tujuan
Total
p-value
Ekonomi
Juragan
Buruh
n
5
6
5
13
19
5
53
%
n
9,43
1
11,32
2
9,43
1
24,53
6
35,85 10
9,43
7
100
27
0,0460
Pendidikan anak
Juragan
Buruh
%
n
3,70
7,41
3,70
22,22
37,04
25,93
100
8
9
20
16
0
0
53
%
n
15,09
6
16,98
1
37,74 13
30,19
7
0,00
0
0,00
0
100
27
0,8933
Agama
Juragan
%
n
22,22
3,70
48,15
25,93
0,00
0,00
100
6
14
22
11
0
0
53
%
Buruh
n
%
11,32
3
26,42
4
41,51
14
20,75
6
0,00
0
0,00
0
100
27
0,4892
11,11
14,81
51,85
22,22
0,00
0,00
100
Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
tujuan yang ingin dicapai keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh
dalam hal pendidikan anak dan agama, namun terdapat perbedaan yang
signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal
ekonomi. Hal ini disebabkan karena terdapat keluarga nelayan buruh sangat
ingin membeli perahu agar bisa menjadi nelayan juragan.
Ukuran pencapaian tujuan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan
kualitas dan penampilan dari tujuan itu sendiri. Untuk dapat mengukur
pencapaian tujuan dari keluarga contoh, maka kualitas dan penampilan tujuan
dilihat berdasarkan jenis tujuan yang ingin dicapai.
Tabel 20 Sebaran contoh menurut tujuan yang ingin dicapai
Jenis tujuan
Ekonomi
Ekonomi, pendidikan anak
Ekonomi, agama
Pendidikan anak, agama
Ekonomi, pendidikan anak, agama
Total
p-value
Juragan
N
4
19
10
15
5
53
%
n
7,55
1
35,85
12
18,87
6
28,30
6
9,43
2
100,00
27
0,6783
Buruh
%
3,70
44,44
22,22
22,22
7,41
100,00
Proporsi terbesar keluarga nelayan juragan (35.85%) dan keluarga
nelayan buruh (44.44%) memiliki jenis tujuan yang ingin dicapai di bidang
pendidikan anak dan ekonomi (Tabel 20). Ditinjau dari segi ekonomi, tujuan yang
ingin dicapai keluarga nelayan juragan bersifat jangka panjang sampai pada
pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier, sedangkan keluarga nelayan buruh
hanya mempunyai tujuan yang bersifat jangka pendek atau untuk masa sekarang
hanya sampai kebutuhan primer saja. Berdasarkan hasil uji coba, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh dalam hal pencapaian tujuan.
Tabel 21 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pencapaian tujuan
Perubahan fungsi pencapaian tujuan
Ya
Tidak
Total
p-value
Juragan
n
12
41
53
%
n
22,64
7
77,36
20
100,00
27
0,7509
Buruh
%
25,93
74,07
100,00
Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan juragan (77.36%) dan
keluarga nelayan buruh (74.07%) tidak mengalami perubahan tujuan dalam
keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya perbedaan sumberdaya yang ada dalam keluarga yang membuat
tujuan keluarga berubah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara perubahan tujuan yang ingin dicapai keluarga contoh
sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh.
Fungsi Integrasi
Integrasi menurut Parsons (1953), diacu oleh Hamilton (1983) merupakan
upaya pemeliharaan ikatan dan solidaritas dengan melibatkan elemen tersebut
dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama
dalam sistem. Selanjutnya, Parsons menyatakan bahwa solidaritas dalam
keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari
sebuah sistem, adanya saling ketergantungan satu sama lain, dan saling percaya
sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai.
Tabel 22 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan integrasi
Tindakan Integrasi
1 tindakan
2 tindakan
3 tindakan
4 tindakan
5 tindakan
Total
p-value
Juragan
n
1
15
16
16
5
53
%
N
1,87
0
28,30
7
30,19
8
30,19
10
9,43
2
100,00
27
0,6982
Buruh
%
0,00
25,93
29,63
37,04
7,41
100,00
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar keluarga nelayan
juragan (30.19%) melakukan tiga sampai empat tindakan integrasi, sedangkan
proporsi terbesar keluarga nelayan buruh (37.04%) melakukan empat tindakan
integrasi. Bahkan ada sebesar 9.43 persen keluarga nelayan juragan dan 7.41
persen keluarga nelayan buruh yang melakukan lima tindakan integrasi dalam
keluarga (Tabel 22). Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan
tindakan integrasi yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh. Berdasarkan data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa
tindakan integrasi yang dilakukan oleh keluarga nelayan juragan dan keluarga
nelayan buruh sudah baik.
Tabel 23 Sebaran contoh menurut jenis integrasi yang dilakukan
Jenis integrasi
Aktivitas bersama sehari-hari
Aktivitas bersama sehari-hari, rekreasi
Aktivitas bersama sehari-hari, beribadah
Aktivitas bersama sehari-hari, rekreasi,
beribadah
Total
Juragan
Buruh
n
15
15
9
%
28,30
28,30
16,98
n
5
10
6
%
18,52
37,04
22,22
14
26,42
6
22,22
53
100,00
27
100,00
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar keluarga nelayan
juragan (28.30%) dan keluarga nelayan buruh (37.04%) melakukan aktivitas
bersama sehari-hari dan rekreasi. Biasanya aktivitas bersama yang dilakukan
adalah makan dan menonton TV. Selain melakukan aktivitas bersama seharihari, kebiasaan yang dilakukan keluarga nelayan juragan (26.42%) dan keluarga
nelayan buruh (22.22%) untuk mempererat hubungan integrasi antar anggota
keluarganya yaitu dengan cara melakukan kegiatan beribadah dan rekreasi
bersama.
Tabel 24 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi integrasi dalam keluarga
Perubahan fungsi integrasi
Ya
Tidak
Total
p-value
Juragan
n
8
45
53
%
n
15,09
3
84,91
24
100,00
27
0,6329
Buruh
%
11,11
88,89
100,00
Berdasarkan Tabel 24 sebagian besar keluarga contoh, baik nelayan
juragan (84.91%) maupun keluarga nelayan buruh (88.89%) menunujukkan
bahwa tidak terjadi perubahan tindakan integrasi dalam keluarga sebelum dan
sesudah terjadi bencana alam. Perubahan yang terjadi pada keluarga nelayan
juragan (15.09%) dan keluarga nelayan buruh (11.11%) sebelum dan sesudah
terjadi bencana alam adalah semakin baiknya tindakan integrasi yang dilakukan
oleh keluarga contoh. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara perubahan fungsi integrasi yang terjadi pada keluarga nelayan
juragan dan keluarga nelayan buruh.
Fungsi Pemeliharaan Sistem
Pemeliharaan sistem (latency) mengacu kepada proses dimana energi
dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah
yang saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau
ketegangan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Tindakan pemeliharaan
sistem yang dilakukan oleh keluarga disesuaikan dengan peran masing-masing
anggota keluarga. Peran pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh suami, isteri,
dan suami-isteri sebagai orangtua pasti berbeda-beda. Levy diacu oleh
Megawangi (2001) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas
pada masing-masing anggota keluarga dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang
lebih besar lagi.
Tabel 25 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan pemeliharaan sistem
Juragan
Tindakan pemeliharaan sistem
n
Buruh
%
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan suami
1 tindakan
0
0,00
2 tindakan
15
28,30
3 tindakan
16
30,19
4 tindakan
22
41,51
Total
53
100,00
p-value
0,1709
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan isteri
1 tindakan
3
5,66
2 tindakan
5
9,43
3 tindakan
29
54,72
4 tindakan
16
30,19
Total
53
100.00
p-value
0,0051
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap anak
1 tindakan
17
32,08
2 tindakan
9
16,98
3 tindakan
15
28,30
4 tindakan
12
22,64
Total
53
100,00
p-value
0,6127
n
%
1
8
12
6
27
3,70
29,63
44,44
22,22
100,00
12
2
7
6
27
44,44
7,41
25,93
22,22
100,00
7
5
8
7
27
25,93
18,52
29,63
25,93
100,00
Berdasarkan Tabel 25, proporsi terbesar keluarga nelayan juragan
(41.51%) melakukan empat tindakan pemeliharaan sistem suami terhadap isteri,
sedangkan keluarga nelayan
buruh
(44.44%) melakukan
tiga
tindakan
pemeliharaan sistem suami terhadap isteri. Tindakan pemeliharaan sistem yang
dilakukan isteri terhadap suami pada keluarga nelayan juragan (54.72%)
melakukan tiga tindakan, sedangkan keluarga nelayan buruh (44.44%) hanya
melakukan satu tindakan saja. Sebanyak 32.08 persen keluarga nelayan juragan
melakukan satu tindakan saja untuk pemeliharaan sistem orangtua terhadap
anak, sedangkan sebanyak 29.63 persen keluarga nelayan buruh melakukan tiga
tindakan pemeliharaan sistem orangtua terhadap anak.
Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara tindakan pemeliharaan yang dilakukan suami terhadap isteri dan orangtua
terhadap anak pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tindakan pemeliharaan sistem isteri terhadap suami berdasarkan hasil uji beda,
berbeda signifikan. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak tindakan
pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga, maka semakin baik
hubungan antar anggota keluarga.
Tabel 26 Sebaran contoh menurut jenis pemeliharaan sistem dalam keluarga
Jenis pemeliharaan sistem
Juragan
n
Buruh
%
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan suami
Materi
14
26,42
Mental
1
1,87
Materi, mental
11
20,75
Materi, fisik
5
9,43
Materi, mental, fisik
22
41,51
Total
53
100,00
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan isteri
Mental
4
7,55
Mental, fisik
49
92,45
Total
53
100,00
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap anak
Materi
9
16,98
Mental
13
24,53
Materi, mental
31
58,49
Total
53
100,00
n
%
5
4
11
1
6
27
18,52
14,81
40,74
3,70
22,22
100,00
12
15
27
44,44
55,56
100,00
4
6
17
27
14,81
22,22
62,96
100,00
Tabel 26 menunjukkan bahwa proporsi terbesar suami pada keluarga
nelayan juragan (41.51%) melakukan pemeliharaan dalam bentuk pemberian
materi, mental, dan fisik kepada isteri. Sedangkan proporsi terbesar keluarga
nelayan buruh (40.74%) melakukan pemeliharaan hanya dalam bentuk
pemberian materi dan mental kepada isteri. Jenis materi yang diberikan berupa
uang hasil melaut, emas, dan pakaian, jenis pemeliharaan dalam bentuk fisik
yang
diberikan
adalah
bantuan
membuat
ikan
asin, sedangkan
jenis
pemeliharaan dalam bentuk mental berupa kasih sayang dan perhatian yang
diberikan suami terhadap isteri. Motivasi yang diberikan dalam bentuk dukungan
suami terhadap isteri dengan cara suami memberikan simpati, perhatian, dan
kepercayaan yang dilandasi kasih sayang, akan memberi kekuatan yang besar
pengaruhnya pada isteri dalam melaksanakan tugas dan perannya (Tati, 2004).
Sebagian besar jenis pemeliharaan yang dilakukan isteri terhadap suami
pada keluarga nelayan juragan (92.45%) dan lebih dari separuh keluarga
nelayan buruh (55.56%) yaitu berupa mental dan fisik. Pemeliharaan yang
dilakukan isteri dalam bentuk mental, sama halnya dengan yang dilakukan
suami. Jenis pemeliharaan dalam bentuk fisik yang dilakukan oleh isteri terhadap
suami biasanya berupa menyiapkan peralatan, perlengkapan, dan bekal untuk
suami sebelum melaut.
Persentase terbesar pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap
anak pada keluarga nelayan juragan (58.49%) dan keluarga nelayan buruh
(62.96%) berupa pemberian materi dan mental. Bentuk pemeliharaan berupa
materi adalah pemberian uang jajan anak, sedangkan pemeliharaan dalam
bentuk mental berupa kasih sayang, perhatian, dan nasehat yang diberikan
orantua terhadap anak-anaknya (Tabel 26).
Tabel 27 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pemeliharaan sistem
Perubahan fungsi pemeliharaan sistem
Ya
Tidak
Total
p-value
Juragan
n
8
45
53
%
n
15,09
4
84,91
23
100,00
27
0,9803
Buruh
%
14,81
85,19
100,00
Berdasarkan Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga
nelayan juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%) tidak mengalami
perubahan dalam memelihara sistem keluarga sebelum dan sesudah terjadi
bencana alam. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh terdapat
perubahan fungsi pemeliharaan sistem sebelum dan sesudah terjadi bencana
alam.
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan Objektif
Pendekatan kesejahteraan secara objektif diukur melalui indikator utama.
Indikator utama yang diukur adalah pendapatan keluarga. Pendapatan yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan objektif keluarga contoh dalam
penelitian ini adalah pendapatan per kapita per bulan berdasarkan garis
kemiskinan untuk Kabupaten Ciamis menurut BPS (2007). Pendapatan per
kapita dibedakan berdasarkan musim melaut yang ada di lokasi penelitian, yaitu:
musim panen, musim paceklik, dan musim biasa. Keluarga contoh yang berada
di garis kemiskinan dikatakan tidak sejahtera, sedangkan keluarga contoh yang
berada di atas garis kemiskinan dikatakan sejahtera.
Tabel 28 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim paceklik
Musim Paceklik
Pendapatan
Juragan
Buruh
Nelayan
n
%
n
%
Sangat Miskin
39
73,58
24
88,89
Miskin
2
3,77
1
3,70
Mendekati
1
1,89
0
0
Miskin
Tidak Miskin
11
20,76
2
7,41
Total
53
100
27
100
Rata-rata ± sd
78 746 ± 149 180, 051
51 403 ± 123 965, 325
p-value
0,388
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa hampir seluruh keluarga
contoh baik nelayan juragan (94.33%) maupun nelayan buruh (92.59%) berada
pada kategori tidak miskin atau sejahtera pada musim panen (Tabel lampiran 1).
Sebanyak 5,67 persen keluarga nelayan juragan berada pada kategori sangat
miskin pada musim panen (Tabel lampiran 1). Pada saat musim panen masih
ada nelayan juragan yang tergolong sangat miskin. Hal ini dikarenakan
penggolongan nelayan juragan dan nelayan buruh didasarkan atas kepemilikan
perahu. Nelayan yang sudah mempunyai perahu digolongkan sebagai nelayan
juragan. Nelayan juragan yang tergolong miskin pada saat musim panen
dikarenakan memiliki peralatan yang tidak memadai sehingga hasil laut yang
ditangkap tidak maksimal sehingga pendapatan yang diperoleh sedikit.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut masih harus dibagi untuk membeli
bahan bakar dan upah nelayan buruh (10% dari total pendapatan hasil melaut).
Sebagian besar keluarga contoh baik nelayan juragan (73.58%) dan
nelayan buruh (88.89%) berada pada kategori sangat miskin pada musim
paceklik (Tabel 28). Pada musim paceklik ada keluarga nelayan buruh yang
masuk dalam kategori tidak miskin karena bekerja dengan keluarga nelayan
juragan yang mempunyai peralatan dan perlengkapan melaut yang lengkap
sehingga pendapatan dari hasil melaut besar. Hal ini berpengaruh terhadap upah
yang diterima oleh keluarga nelayan buruh. Berdasarkan hasil uji beda, tidak
terdapat perbedaan signifikan antara pendapatan keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh pada musim paceklik.
Pada musim biasa sebanyak 56.60 persen keluarga nelayan juragan
termasuk dalam kategori tidak miskin atau sejahtera dan 48.15 persen keluarga
nelayan buruh termasuk dalam kategori sangat miskin (Tabel lampiran 1).
Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang signifikan antara
pendapatan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh pada musim
biasa.
Kesejahteraan Subjektif
Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek
kesejahteraan.
Pendekatan
dengan
indikator
subjektif
secara
filosofi
berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk bisa memiliki
pandangan sendiri mengenai apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda
dengan pandangan objektif. Konsep subjektif. dapat memberikan pengertian
yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga.
Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah
tangga. Oleh karenanya, pengukuran kesejahteraan subjektif dibutuhkan untuk
melengkapi pengukuran kesejahteraan secara objektif (Raharto & Romdiati 2000,
diacu oleh Puspa 2007).
Tabel 29 Sebaran persentase contoh menurut kesejahteraan subjektif
Tingkat
Kepuasan
Frekuensi
makan
Keragaman
pangan
Jumlah pakaian
Kualitas rumah
Aksesibilitas
rumah
Fasilitas rumah
Kualitas
pendidikan
Pendidikan
tambahan anak
Pola
penanganan
keluarga sakit
Tindakan
penanganan
keluarga sakit
Pendapatan per
kapita
Kepedulian
sosial
0
%
Juragan (n=53)
1
2
%
%
3
%
0
%
Buruh (n=27)
1
2
%
%
3
%
0.00
11.32
88.68
0.00
3.70
3.70
92.59
0.00
1.89
22.64
75.47
0.00
11.11
25.93
62.96
0.00
1.89
1.89
28.30
41.51
69.81
54.72
0.00
1.89
11.11
14.81
22.22
10
66.67
48.15
0.00
0.00
0.00
20.75
79.25
0.00
3.70
25.93
70.37
0.00
3.77
49.06
47.17
0.00
14.81
40.74
44.44
0.00
11.32
35.85
52.83
0.00
11.11
40.74
48.15
0.00
9.43
49.06
41.51
0.00
22.22
40.74
37.04
0.00
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
77.78
3.70
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
1.89
35.85
62.26
0.00
11.11
33.33
55.56
0,00
15.09
84.91
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
0.00
Ketarangan: (0) Tidak puas;
(1) Kurang puas;
(2) Merasa puas;
(3) Sangat puas
Pemenuhan kebutuhan pangan dikaji dalam dua aspek yaitu aspek
frekuensi makan per hari dan keragaman pangan yang dikonsumsi. Berdasarkan
hasil penelitian, frekuensi makan per hari keluarga contoh realtif terpenuhi karena
sebagian besar keluarga nelayan juragan (88.68%) dan keluarga nelayan buruh
(92.59%) menyatakan puas terhadap frekuensi makan tiga kali sehari.
Selanjutnya, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (75.47%) dan keluarga
nelayan buruh (62.96%) merasa puas dengan keberagaman makanan yang
dikonsumsinya (Tabel 29). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan pangan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dapat
dipenuhi dengan baik karena kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan
dasar yang paling utama dan mutlak tidak dapat ditunda. Berdasarkan Tabel 29
diketahui bahwa lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (69.81%) dan
keluarga nelayan buruh (66.67%) merasa puas dengan rata-rata jumlah pakaian
yang dimiliki.
Sebanyak 54,72 persen keluarga nelayan juragan dan 48,15 persen
keluarga nelayan buruh menyatakan puas terhadap kualitas rumah. Sedangkan
sebanyak 49.06 persen keluarga nelayan juragan menyatakan kurang puas
terhadap fasilitas rumah. Hal ini disebabkan keluarga nelayan juragan lebih
mementingkan peralatan dan perlengkapan melaut dibandingkan fasilitas rumah.
Sebanyak 44.44 persen keluarga nelayan buruh merasa puas dengan fasilitas
rumah yang dimilikinya. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (79.25%) dan
keluarga nelayan buruh (70.37%) menyatakan puas terhadap aksesibilitas
rumah.
Tabel 29 menunjukkan bahwa keluarga nelayan juragan (52.83%) dan
keluarga nelayan buruh (48.15%) merasa puas terhadap kualitas pendidikan
anak-anak, namun keluarga nelayan juragan (49.06%) dan keluarga nelayan
buruh (40.74%) merasa kurang puas terhadap pendidikan tambahan anak. Hal
ini disebabkan kurangnya fasilitas pendidikan tambahan seperti kursus bahasa
inggris dan bimbingan belajar di lokasi penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga nelayan juragan (81.13%) dan
keluarga nelayan buruh (77.78%) merasa puas terhadap pola penangan keluarga
yang sakit. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan keluarga
nelayan buruh (81.48%) juga merasa puas dengan tindakan penangan keluarga
yang sakit. Hal ini dikarenakan keluarga contoh menganggap bahwa kesehatan
itu penting, agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Lebih dari separuh keluarga contoh (juragan=62.26%; buruh=55.56%)
merasa puas atas pendapatan per kapita yang dimiliki. Keluarga contoh selalu
bersyukur atas pendapatan yang diterimanya. Sebagian besar keluarga nelayan
juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (81.48%) merasa puas terhadap
dukungan sosial yang diterima.
Berdasarkan dua belas item tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga
nelayan buruh sudah merasa puas terhadap apa yang dimilikinya. Hal ini ditandai
dengan besarnya persentase keluarga nelayan buruh yang merasa puas
terhadap sebelas item pemenuhan kebutuhan kecuali pemenuhan pendidikan
tambahan anak karena keterbatasan lembaga pendidikan tambahan untuk anak
di lokasi penelitian. Hal ini juga dialami oleh keluarga nelayan juragan.
Sedangkan keluarga nelayan juragan masih kurang puas terhadap fasilitas
rumah yang dimiliki karena terlalu memprioritaskan peralatan dan perlengkapan
melaut dibandingkan pemenuhan fasilitas rumah.
Tabel 30 Sebaran contoh menurut kategori kesejahteraan subjektif
Kesejahteraan Keluarga
Subjektif
Tidak Sejahtera
Sejahtera
Total
p-value
Juragan
n
14
39
53
Buruh
%
26,42
73,58
100
n
12
15
27
%
44,44
55,56
100
0,4030
Tabel 30 menunjukkan bahwa persentase terbesar keluarga contoh baik
keluarga nelayan juragan (73.58%) dan keluarga nelayan buruh (55.56%) berada
pada kategori sejahtera. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kesejahteraan subjektif pada keluarga nelayan juragan
dan keluarga nelayan buruh.
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Antara Karakteristik Keluarga Nelayan Dan Dukungan
Sosial Dengan Fungsi AGIL Dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di
Daerah Rawan Bencana
Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan dukungan sosial
dengan fungsi AGIL, dapat dilihat pada Tabel 29. Hasil uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama
pendidikan suami (r=0.1, p<0.05) dan akses informasi (r=0.130, p<0.05) dengan
tindakan
adaptasi
yang
dilakukan
keluarga.
Hal
ini
berarti
terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan suami, maka semakin banyak
tindakan coping strategy yang dilakukan keluarga. Pernyataan tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Nuryani (2007) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
suami, maka semakin tinggi coping strategy yang dilakukan, begitu juga
sebaliknya. Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi yang banyak dan
beragam yang diterima oleh keluarga juga akan membuat coping strategy
keluarga semakin baik.
Berdasarkan hasil penelitian di lapang, ternyata tidak terdapat hubungan
antara besar keluarga, lama pendidikan isteri, dan dukungan sosial dengan
tindakan adaptasi. Sunarti (2007) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga
yang bekerja mencerminkan langsung kemampuan ekonomi keluarga melalui
banyaknya tindakan adaptasi yang dilakukan. Jumlah anggota keluarga tidak
langsung mencerminkan banyaknya anggota keluarga yang bekerja dalam
keluarga. Begitu pula dengan dukungan sosial yang hanya sedikit diperoleh
keluarga contoh sehingga tidak memudahkan keluarga melakukan tindakan
adaptasi.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.301, p<0.01) dan dukungan
sosial (r=0.235, p<0.05) dengan pencapaian tujuan dalam keluarga.
Artinya
semakin tinggi pendidikan suami dan semakin banyak dukungan sosial yang
diterima oleh keluarga, maka semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam
keluarga. Hal ini diduga karena semakin tinggi pendidikan suami sebagai pencari
nafkah maka kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya keluarga pun tinggi
yang akhirnya keluarga tersebut pun tidak akan mengalami kemiskinan.
Dukungan sosial yang semakin banyak diterima oleh keluarga maka akan
semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga. Hal ini diduga karena
semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh keluarga maka keluarga
akan mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang
ingin dicapai.
Tabel 31 Sebaran koefisien korelasi spearman karakteristik keluarga dan
dukungan sosial dengan fungsi AGIL
Variabel
Besar keluarga
Lama pendidikan suami
Lama pendidikan isteri
Akses informasi,
Sumber informasi,
Jenis informasi
Dukungan sosial
-.087
.196*
-.072
Pencapaian
tujuan
-.126
.301**
.139
.130*
.023
Adaptasi
-.192
.260*
.139
Pemeliharaan
sistem
-.192
.382**
.076
.120
.608*
.144
.235*
.204
.219
Integrasi
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif
antara lama pendidikan suami (r=0.260, p<0.05) dengan tindakan integrasi.
Artinya semakin tinggi pendidikan suami, maka semakin baik tindakan integrasi
yang dilakukan dalam keluarga. Selain itu, akses informasi, sumber informasi,
jenis informasi juga berhubungan signifikan positif dengan dengan integrasi
(r=0.608, p<0.05), artinya semakin banyak akses informasi, jumlah sumber
informasi dan jenis informasi yang diterima oleh keluarga, maka semakin baik
tindakan integrasi yang dilakukan oleh keluarga. Biasanya sumber informasi
yang dapat dijangkau oleh keluarga contoh adalah TV , sehingga pada saat
menonton TV bersama keluarga akan ada interaksi antar anggota keluarga yang
membuat hubungan keluarga semakin erat. Lama pendidikan isteri, besar
keluarga dan dukungan sosial tidak berhubungan dengan tindakan integrasi yang
dilakukan dalam keluarga.
Lama
pendidikan
suami
berhubungan
signifikan
positif
dengan
pemeliharaan sistem dalam keluarga (r=0.382, p<0.01). Hal ini berarti terdapat
kecenderungan bahwa semakin lama pendidikan suami maka pemeliharaan
sistem yang dilakukan keluarga akan semakin baik. Hal ini diduga karena
tingginya tingkat pendidikan suami maka cara berfikirnya akan semakin baik
sehingga mampu mengajarkan anggota keluarganya untuk dapat menjalankan
peran dan fungsinya masing-masing di dalam keluarga. Tidak terdapat hubungan
antara besar keluarga dengan pemeliharaan sistem dalam keluarga. Menurut
Suhardjo (1989) dalam Nuryani (2007) besar keluarga memiliki hubungan negatif
dengan pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga khususnya mengenai
pemeliharaan sistem orangtua terhadap anak, karena semakin besar jumlah
anggota keluarga, maka semakin sedikit waktu dan perhatian orangtua terhadap
anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.423, p<0.01) dan lama
pendidikan isteri (r=0.399, p<0.05) dengan kesejahteraan objektif. Artinya
semakin tinggi tingkat pendidikan suami dan isteri maka semakin baik pula
kesejahteraan objektif dalam keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam mengakses kebutuhan hidupnya. Keluarga yang
dipimpin oleh kepala keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai peluang
yang lebih besar untuk hidup lebih sejahtera (Ibrahim 2007).
Tabel 32 Sebaran koefisien korelasi spearman karakteristik keluarga dan
dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga
Variabel
Besar keluarga
Lama pendidikan suami
Lama pendidikan isteri
Akses informasi,
Sumber informasi,
Jenis informasi
Dukungan sosial
Kesejahteraan objektif
-.320**
.423**
.339*
Kesejahteraan subjektif
-.129
.139**
.267**
.245*
.478**
.069
-.020
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi berhubungan
signifikan positif dengan kesejahteraan
objektif (r=0.478, p<0.01), artinya
semakin banyak akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi yang
diperoleh maka semakin tinggi pula pendapatan per kapita keluarga. Hal ini
diduga karena semakin banyak akses informasi, sumber informasi dan jenis
informasi yang diperoleh keluarga, maka semakin tinggi kemampuan keluarga
untuk
mengelola
sumberdaya
yang
dimilikinya
yang
dapat menambah
pendapatan keluarga. Namun, besar keluarga mempunyai hubungan yang
negatif dengan kesejahteraan objektif, yang artinya adalah semakin besar jumlah
anggota keluarga maka pendapatan perkapitanya semakin kecil. Hal ini sesuai
dengan yang ditetapkan BPS (2007) bahwa pendapatan per kapita adalah
pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Jadi
semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin kecil pendapatan
perkapitanya.
Secara umum, terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama
pendidikan suami (r=0.139, p<0.01) dan lama pendidikan isteri (r=0.267, p<0.01)
dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan suami dan isteri maka semakin tinggi pula tingkat
kesejahteraan subjektif. Selain itu, akses informasi, sumber informasi, dan jenis
informasi juga berhubungan positif dengan kesejahteraan subjektif (r=0.478,
p<0.01). Artinya semakin banyak akses informasi, sumber informasi, dan jenis
informasi yang didapatkan keluarga maka tingkat kesejahteraan subjektif
keluarga pun semakin meningkat. Santamarina et al (2002) dikutip dalam Suandi
(2007) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan pemahaman penduduk
mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya.
Pola Hubungan Antar Variabel Fungsi AGIL Pada Keluarga Nelayan
di Daerah Rawan Bencana.
Hubungan antar fungsi AGIL yang terdiri atas fungsi adaptasi, pencapaian
tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem, disajikan pada Tabel 33. Hasil uji
korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
tindakan adaptasi dengan pemeliharaan sistem (r=0.622, p<0.01). Artinya
semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan keluarga, maka semakin baik
pemeliharaan sistem anggota keluarga menjalankan fungsi dan perannya
masing-masing di dalam keluarga. Hal ini diduga karena keluarga menjalankan
fungsi dan perannya masing-masing sehingga untuk dapat meningkatkan
pendapatan keluarga maka isteri dan anak yang sudah bekerja pun menjadi
tumpuan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pencapaian tujuan dengan tindakan integrasi (r=0.221, p<0.01)
(Tabel 33). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak tujuan
yang ingin dicapai dalam keluarga, maka semakin baik tindakan integrasi yang
dilakukan di dalam keluarga. Hal ini diduga karena semakin baik tindakan
integrasi yang dilakukan keluarga yang memungkinkan semakin kuatnya ikatan
solidaritas antar anggota keluarga, maka akan timbul kerjasama yang baik untuk
bersama mencapai tujuan keluarga.
Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif antara pencapaian tujuan dengan pemeliharaan sistem yang dilakukan
oleh keluarga (r=0.625, p<0.001). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa
semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga, maka semakin baik
pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga Hal ini diduga karena
semakin baik peran dan fungsi yang dijalankan oleh masing-masing anggota
keluarga, maka tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga akan lebih cepat
tercapai.
Tabel 33 Sebaran koefisien pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL
Variabel
Adaptasi
Adaptasi
Pencapaian tujuan
Integrasi
Pemeliharaan sistem
Pencapaian
tujuan
1.000
.118
-1.29
.622**
1.00
.221*
.625**
Integrasi
Pemeliharaan
sistem
1.00
.524**
1.00
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif
antara tindakan integrasi dengan pemeliharaan sistem dalam keluarga (r=0.524,
p<0.01). Artinya, semakin baik tindakan integrasi dalam keluarga menunjukkan
bahwa pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga tersebut juga
semakin baik. Pada akhirnya hubungan antar subsistem dalam keluarga dapat
terjalin dengan baik, sehingga ikatan solidaritas keluarga akan semakin kuat
(Nuryani 2007).
Berdasarkan hasil uji korelasi dapat disimpulkan bahwa hubungan antar
variabel
fungsi
keberlangsungan
ini
memiliki
pola
A-L-G-I
(Adaptasi–
Pemeliharaan Sistem–Pencapaian Tujuan–Integrasi). Hal ini disebabkan karena
tidak adanya hubungan antara fungsi adaptasi dan fungsi pencapaian tujuan
dalam keluarga contoh. Dengan kata lain, semakin banyak tindakan adaptasi
yang dilakukan, maka semakin baik pula tindakan pemeliharaan sistem yang
dilakukan oleh keluarga. Banyaknya tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga akan
membuat peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga dijalankan dengan
penuh tanggung jawab sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryani (2007) di
keluarga petani karena perbedaan karakteristik keluarga dan daerah penelitian.
Hubungan Antara Fungsi AGIL Dengan Kesejahteraan Keluarga
Nelayan di Daerah Rawan Bencana.
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang
signifikan positif antara adaptasi dengan kesejahteraan objektif (r=0.266,
p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan
oleh keluarga maka semakin bertambah pendapatan per kapita setiap keluarga
contoh. Dapat disimpulkan bahwa berbagai macam tindakan yang dilakukan oleh
keluarga dalam meningkatkan pendapatan perkapitanya maka kesejahteraan
objektif keluarga juga akan meningkat.
Tabel 34 Sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga
Variabel
Adaptasi
Pencapaian tujuan
Integrasi
Pemeliharaan sistem
Kesejahteraan objektif
.266*
-.173
.131
-.172
Kesejahteraan subjektif
.292
-.033
-.011
.119**
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan
positif
antara
pemeliharaan
sistem
dalam
keluarga
dengan
kesejahteraan subjektif (r=0.119, p<0.01). Hal ini berarti terdapat kecenderungan
bahwa semakin baik pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga maka
semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektifnya. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Sunarti (2007) yang menyatakan bahwa pemeliharaan sistem
berupa pengaturan sumberdaya fisik yang terbatas, serta sosialisasi pesan dan
atau dukungan moril serta mental terhadap keterbatasan ekonomi keluarga,
dapat membawa kepada penerimaan dan atau meminimalisasi munculnya
ketidakpuasan. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, keluarga contoh sudah
merasa puas dan mensyukuri dengan apa yang dimiliki.
Hubungan Antara Kesejahteraan Subjektif Dengan Kesejahteraan
Objektif Pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana.
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang tidak
signifikan negatif antara kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif
(r=-0.260, p<0.05). Artinya bahwa, semakin tinggi kesejahteraan objektif maka
semakin rendah kesejahteraan subjektif suatu keluarga. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Suandi (2007) yang menyatakan bahwa tingkat
penghasilan dan pengeluaran sebagai froxy kesejahteraan objektif tidak selalu
berkorelasi positif dengan dengan tingkat kepuasan (kesejahteraan subjektif.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah semakin tinggi kesejahteraan objektif
suatu keluarga tidak selalu memiliki tingkat kepuasan yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Proporsi terbesar kedua keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga kecil (≤
4 orang). Persentase terbesar umur suami-istri pada kedua keluarga contoh
berumur 18–40 tahun. Lama pendidikan suami – isteri pada kedua keluarga
contoh adalah kurang dari 9 tahun. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga
nelayan juragan (Rp 1 191 015) lebih besar daripada keluarga nelayan buruh
(Rp 513 018). Seluruh keluarga nelayan juragan dan sebagian besar
keluarga nelayan buruh memiliki aset lebih dari atau sama dengan tiga kali
kebutuhan minimum per bulan. Akses informasi, sumber informasi dan jenis
informasi kedua keluarga contoh termasuk pada kategori sedang. Dukungan
sosial yang diterima kedua keluarga contoh dari keluarga luas, tetangga, dan
lembaga masyarakat/pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Sebagian
besar kedua keluarga contoh tidak mengalami perubahan terhadap dukungan
sosial yang diterima sebelum dan sesudah terjadi bencana alam.
2. Pengelolaan fungsi AGIL yang terdiri atas fungsi adaptasi, fungsi pencapaian
tujuan, fungsi integrasi, dan fungsi pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh
keluarga nelayan buruh dan keluarga nelayan juragan memiliki keragaan
yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Sebagian besar kedua keluarga
contoh tergolong sangat miskin pada musim paceklik (saat dilakukan
penelitian). Kesejahteraan subjektif kedua keluarga contoh termasuk ke
dalam kategori sejahtera karena sudah merasa puas terhadap apa yang
dimilikinya. Keluarga contoh tidak mengalami perubahan yang lebih baik
pada fungsi AGIL sebelum dan sesudah terjadi bencana alam karena kondisi
lingkungan pun tidak berubah sehingga tidak ada tindakan khusus dalam
menghadapi bencana alam yang terjadi.
3.
Terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami dan
akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi dengan fungsi
adaptasi dan fungsi integrasi. Lama pendidikan suami dan dukungan sosial
berhubungan positif dengan pencapaian tujuan. Terdapat hubungan yang
signifikan positif antara lama pendidikan suami dengan fungsi pemeliharaan
sistem dalam keluarga. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa lama
pendidikan suami, lama pendidikan isteri, akses informasi, sumber informasi,
dan jenis informasi berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan
objektif dan subjektif. Sedangkan besar keluarga berhubungan signifikan
negatif dengan kesejahteraan objektif.
4. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara fungsi pencapaian tujuan,
fungsi integrasi, fungsi pemeliharaan sistem dan fungsi adaptasi.
5. Terdapat hubungan yang positif antara fungsi adaptasi dengan kesejahteraan
objektif. Fungsi pemeliharaan sistem berhubungan signifikan positif dengan
kesejahteraan subjektif.
6. Terdapat hubungan yang signifikan negatif antara kesejahteraan objektif
dengan kesejahteraan subjektif.
Saran
Diharapkan pada penelitian selanjutnya wawancara dilakukan lebih dalam
dan mendetail terutama data mengenai aset keluarga sehingga data yang
didapatkan lebih dalam dan mendetail. Perlunya pengkajian dan pengujian
instrumen untuk mengukur dukungan sosial dan fungsi AGIL. Bagi pemerintahan
Desa Pangandaran diharapkan mampu menetapkan program serta kebijakan
yang dapat meningkatkan kondisi kesejahteraan keluarga nelayan khususnya
keluarga nelayan buruh. Selain itu, lembaga masyarakat/pemerintah pun
diharapkan dapat memberikan dukungan sosial yang lebih baik kepada keluarga
nelayan buruh. Bagi keluarga nelayan diharapkan dapat memahami penerapan
fungsi AGIL dengan baik sehingga dapat mempertahankan dan memperbaiki
ketahanan keluarganya. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis diharapkan
agar dapat lebih memperhatikan kualitas pendidkan anak-anak keluarga nelayan
baik juragan ataupun buruh agar dapat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
karena hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pendidikan mempunyai peran
yang cukup besar untuk menerapkan fungsi AGIL dengan baik di dalam
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Arianti, R. T. 2002. Tingkat stress dan strategi koping ibu pada keluarga dengan
anak retardasi mental [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Anonim c. 2009. Bencana Alam. http://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alam. [27
Maret 2009].
Bakosurtanal. 2009. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional & Pusat
Studi Bencana UGM. http://www.ppsda,org/_web/index.html. [15 Maret
2009]
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. Undangundang Repiblik Indonesia Nomor 10 tahun 1992 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN.
Cahyaningsih, N. 1999. Persepsi remaja terhadap gaya pengasuhan orangtua
dan hubungannya dengan kenakalan remaja SMU di Jakarta Pusat
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Daniel, W. Wayne. 1990. Applied Nonparametric Statistics 2nd Edition. Boston:
PWS-Kent Publishing Company
Deacon, R. E., & F. M. Firebough. 1988. Family Resource Management Principle
and Aplication 2nd ed. London Sydney: Allyn and Bacon, Inc.
Desmarita, Ika. 2004. Kajian ketahanan keluarga: tinjauan perubahan kehidupan
keluarga dan reorientasi keluarga pengungsi korban kerusuhan Aceh di
Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dewi, R. S. 2002. Dinamika fungsi keluarga pada keluarga korban kerusuhan
sambas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dienar, E., & R. Biswas. 2000. New Direction Well-being Research: The Curting
Edge. USA: University of Illinous Pacific.
Fahmi, Sri Andriyani. 2008. Analisis nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga
dan peran gender serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga
petani [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Firdaus. 2008. Hubungan antara tekanan ekonomi, manajemen keuangan, dan
mekanisme koping, dengan kesejahteraan keluarga wanita pemetik teh
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor
Fleur M de. 1966. Theories of Mass Communication. Di dalam: MacAndrews C,
Depari E, editor. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada.
Friedman. 1998. Family Nursing, Theory and Practice 3rd ed. California: Appleton
and Lange.
Ginting, M., & D.H. Penny. 1984. Pekarangan, Pertanian, dan Kemiskinan.
Yayasan Agro Ekonomik: Gajah Mada University Press.
Guhardja S, H. Puspitawati, Hartoyo & D.H. Martianto. 1992. Manajemen
Sumberdaya Keluarga [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Gross, I.H., E.W.Crandall, & M.M.Knoll. 1980. Management For Modern Families
4th ed. New Jersey: Prentice-Hall.Inc. Englewood Clifts.
Hamilton, P. 1983. Key Sociologist Talcott Parsons. England: Ellis Horwood
Limited. Tavistock Publications Limited.
Ibrahim, Hasan. 2007. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
kesejahteraan keluarga di Kabupaten Lembata, NTT [disertasi]. Bogor.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi Nasional: Pengurangan
Risiko Bencana. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Kumaat, Joyke Christian. 2004. Pemberdayaan masyarakat Pesisir di daerah
rawan bencana alam. http://www.jchkumaat.wordpress.com15/04. html [15
Maret 2009].
Lubis, M. 1999. Strategi hidup rumahtangga petani miskin pada saat krisis
moneter (studi kasus: rumahtangga miskin di Desa Wargaluyu, Kecamatan
Tanjung Kerta, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat) [skripsi].
Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Megawangi, R. 2001. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan Pustaka.
Noverina, A. 2006. Perilaku sehat, lingkungan sehat dan coping strategy
rumahtangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) (studi kasus di
Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor) [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nia, Nuryani. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi
Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan
Kesejahteraan Keluarga [skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Ogburn. 1999. Bunga Rampai sosiolog Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Pakpahan, Agus dkk. 1992. Penelitian tentang ketahanan pangan masyarakat
berpendapatan rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik
Indonesia.
Prabawa, S. 1998. Sumberdaya keluarga dan tingkat kesejahteraan
rumahtangga petani (studi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor. Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Puspa, Amalina Ratih. 2007. Kajian ketahanan keluarga petani: pengambilan
keputusan istri dan hubungannya dengan kesejahteraan keluarga [skripsi].
Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Raharto & Romdiati. 2000. Identifikasi rumahtangga miskin. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi Bappenas, Unicef, Deptan, dan BPS.
Rice, A. S., & S.M. Tucker. 1986. Family Life Mangement 6th ed. New York:
McMillan Publishing Company.
Roger, M. & Shoemaker. 1971. Communications of Innovations: Across-Cultural
Approach 2nd ed. New York: The Free Press.
Satria, Arif. 2008. Negeri bahari yang melupakan nelayan.
http://www.beritamaritim.com/berita/01//11.shtml. [27 Juni 2008].
Savitri, A. Laksmi., & Khazali. M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir (Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan
Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove di Indramayu).
Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Soedarsono, Soemarno. 1997. Ketahanan Pribadi dan Ketahanan Keluarga
Sebagai Tumpuan Ketahan Nasional. Jakarta: Intermasa.
Suandi. 2007. Modal sosial dan kesejahteraan keluarga di daerah pedesaan
Propinsi Jambi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Sunarti, E. 2001. Ketahanan keluarga dan pengaruhnya terhadap kualitas
kehamilan [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
__________. 2008. Program Pemerintah Terkait Kesejahteraan dan
Pemberdayaan Keluarga. Paper Kuliah Kerja Profesi. Bogor: Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
___________. 2008. Keragaan pemetik teh wanita: sosial ekonomi, ketahanan
keluarga, konsumsi pangan, pertumbuhan dan perkembangan anak
[laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
____________. 2007. Hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan,
integrasi dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga
[makalah penelitian]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tati. 2004. Pengaruh tekanan ekonomi keluarga, dukungan sosial, dan kualitas
perkawinan terhadap pengasuhan anak [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1a: Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim
biasa
Musim Biasa
Pendapatan
Juragan
Buruh
Nelayan
n
%
n
%
Sangat Miskin
17
32,07
13
48,15
Miskin
2
3,78
4
14,82
Mendekati
4
7,55
1
3,70
Miskin
Tidak Miskin
30
56,60
9
33,33
Total
53
100
27
100
Rata-rata ± sd
1 092 723 ± 1 357 757, 681
461 492, 06 ± 651 957, 156
p-value
0,006
Tabel lampiran 1b: Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim
panen
Pendapatan
Nelayan
Sangat Miskin
Miskin
Mendekati
Miskin
Tidak Miskin
Total
Rata-rata ± sd
p-value
Musim Panen
Juragan
Buruh
n
3
0
%
5,67
0
n
0
2
%
0
7.41
0
0
0
0
50
94,33
53
100
2 858 013 ± 2 760 691, 185
25
92.59
27
100
1 154 590 ± 1 230 127, 966
0.000
Tabel lampiran 2a: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik
keluarga dan dukungan sosial dengan fungsi AGIL
Adaptasi
Besar
Keluarga
Lama
Pendidikan
Suami
Lama
Pendidikan
Isteri
Akses
Informasi
Dukungan
Sosial
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Keterangan =
-.087
.441
80
.196*
.028
80
-.072
.525
80
.130*
.025
80
.023
.841
80
Pencapaian
tujuan
-.126
.266
80
.301**
.007
80
.139
.217
80
.120
.291
80
.235*
.036
80
Integrasi
-.192
.087
80
.260*
.020
80
.139
.219
80
.608*
.029
80
.204
.070
80
Pemeliharaan
sistem
-.192
.088
80
.382**
.000
80
.076
.501
80
.144
.203
80
.219
.051
80
* : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel lampiran 2b: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik
keluarga dan dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga
Kesejahteraan
objektif
Besar Keluarga
Lama Pendidikan Suami
Lama Pendidikan Isteri
Akses Informasi
Dukungan Sosial
Keterangan =
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
* : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
-.320**
.025
80
.423**
.033
80
.339*
.042
80
.245*
.025
80
.069
.544
80
Kesejahteraan
subjektif
-.129
.225
80
.139**
.022
80
-.267**
.038
80
.478**
.017
80
-.020
.861
80
Tabel lampiran 2c: Hasil SPSS sebaran koefisien pola hubungan antar variabel
pada fungsi AGIL
Adaptasi
Adaptasi
Pencapaian
tujuan
Integrasi
Pemeliharaan
sistem
Keterangan =
1.000
.
80
.118
.298
80
-.129
.256
80
.622**
.000
80
* : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Pencapaian
tujuan
1.000
.
80
.221*
.048
80
.625**
.000
80
Integrasi
1.000
.
80
.524**
.000
80
Pemeliharaan
sistem
1.000
.
80
Tabel lampiran 2d: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan
kesejahteraan keluarga
Kesejahteraan
objektif
Adaptasi
Pencapaian tujuan
Integrasi
Pemeliharaan sistem
Keterangan =
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
.266*
.017
80
-.173
.125
80
.131
.247
80
-.172
.128
80
Kesejahteraan
subjektif
.292
.128
80
-.033
.773
80
-.011
.919
80
.119**
.023
80
* : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel lampiran 2e: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi kesejahteraan objektif
dengan kesejahteraan subjektif
Kesejahteraan
objektif
Kesejahteraan objektif
Kesejahteraan subjektif
Keterangan =
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
Correlation coefficient
Sig. (2–tailed)
N
* : korelasi signifikan pada p<0.05
**: korelasi signifikan pada p<0.01
1.000
.
80
-.260*
.020
80
Kesejahteraan
subjektif
1.000
.
80
Download