brand jokowi - Maknainformasi

advertisement
Ummi Salamah
1
Bab 1
PENDAHULUAN
BRAND pemimpin politik merupakan konsep yang relatif baru dalam
ranah komunikasi politik Indonesia. Konsep brand mendapatkan ruang
dan tumbuh semarak seiring liberalisasi politik Indonesia yang ditandai
dengan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah baik Gubernur maupun
Walikota secara langsung.
Buku ini membahas tentang brand pemimpin politik di tingkat nasional,
yaitu bakal Calon Presiden (Capres) Republik Indonesia (RI) yang bertarung
pada Pemilihan Presiden pada Juli 2014. Bersumber dari penelitian
empiris, telaah konsep ini merupakan karya akademis yaitu disertasi dari
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia (UI). Sumber data penelitian berasal dari konten 5
(lima) surat kabar nasional dan survey terhadap pemilih DKI Jakarta.
Seperti disebutkan di atas, liberalisasi merupakan salah satu faktor
pemicu kemunculan brand politik. Selain itu, pergeseran pada praktik
politik itu sendiri, penggunaan konsep ilmu pemasaran (marketing) dalam
politik dan perubahan lansekap komunikasi politik turut berperan dalam
membentuk brand politik, khususnya brand pemimpin politik. Berikut
dinamika yang kemudian memunculkan brand pemimpin politik.
Liberalisasi dan Personalisasi Politik
Modernisasi telah membawa gelombang liberalisasi yang berlaku secara
global dan merambah berbagai bidang, termasuk politik. Indikasi bahwa
politik telah mengalami modernisasi terlihat dari munculnya negara-negara
2
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
2
demokrasi baru di berbagai belahan dunia. Liberalisasi politik melahirkan
praktik-praktik yang kemudian dikenal sebagai ciri-ciri negara penganut
demokrasi seperti aturan dan ketentuan tentang tata cara pemilihan
umum, partisipasi mayoritas warga negara di dalamnya dan kesempatan
untuk menentukan pilihan politik secara rasional (McNair, 1995: 15-17).
Gelombang liberalisasi membawa serta konsumerisme. Dalam isme
ini, publik mulai berpikir dan bertindak layaknya konsumen di hampir
semua bidang kehidupan, termasuk politik. Semangat konsumerisme
menjadikan individu semakin memiliki kebebasan dan kekuasaan untuk
memilih dan melakukan konsumsi. Muncul istilah "konsumen politik"
(politi
al 
onsumer) yang menunjukkan pergeseran orientasi warga
negara dalam menentukan pilihan politik, dari ideologi ke isu dan solusi
yang bersifat pragmatis.
Dalam perspektif ini, partai politik yang semula merupakan ekspresi
dari identitas kolektif dan aspirasi dari pendukungnya (Esser & Pfetsch,
2004: 47) kemudian dianggap sebagai entitas penyedia jasa yang
menawarkan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi publik, dan lain
sebagainya. Pendeknya, partai sebagai entitas politik telah mengalami
pergeseran fungsi sebagai penyedia layanan bagi publik layaknya entitas
bisnis (Lees - Marshment, 2004; Brants & 
oltmer, 2011: 9).
Di sisi lain, politik juga terpengaruh oleh individualisme yang
menjadi akar dari paham liberalisme. Politik gaya lama (old politi
s) yang
menekankan pada koalisi partai berbasis ideologi dan kelompok sosial
bergeser ke politik gaya baru (ne
politi
s) yang menekankan pada kualitas
personal kandidat (Bartels dalam King, 2002: 44). Fenomena kontestasi
politik yang semakin mengandalkan sosok pemimpin ini menjadi sebuah
tren yang dikenal dengan istilah personalisasi atau presidensialisasi
politik. Gejala ini tidak hanya terjadi di negara yang menganut sistem
presidensial, melainkan juga di negara yang menerapkan sistem
demokrasi parlementer (McAllister, 2007: 571; Stanyer, 2008: 80).
Personalisasi politik kemudian memang menjadi karakteristik utama
dari politik demokrasi abad ini (McAllister, 2007: 585). Sistem politik kini
memberi ruang yang lebih luas kepada kandidat yang memiliki daya tarik
3
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
3
di publik, bahkan dibandingkan dengan kandidat yang memiliki jabatan
di partai politik (Iyengar & McGrady 2005: 226). Salah satu faktor yang
diasumsikan memperkuat kecenderungan personalisasi politik adalah
penggunaan medium komunikasi yang makin kerap digunakan dalam
kampanye modern, yaitu televisi, yang memperbesar visibilitas kandidat
di media (Stanyer, 2008: 80; Bartels dalam King, 2002: 44). Setidaknya
transisi inilah yang tengah terjadi juga di Indonesia dengan kehadiran
sosok-sosok yang disukai publik dan belakangan mendapatkan dukungan
partai politik seperti Joko Widodo atau Jokowi (mantan Walikota Surakarta
dan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi calon presiden dalam Pemilihan
Presiden 2014) dan Ridwan Kamil (Walikota Bandung) untuk menyebut
beberapa diantaranya.
Kecenderungan global yang juga terjadi dalam dunia politik
Indonesia ini memperkuat anggapan bahwa liberalisasi atau modernisasi

terkadang juga disebut "amerikanisasi" 
memang cenderung
menghilangkan perbedaan antara satu negara dan negara lain. Hal
yang sama juga terjadi pada sistem media dan komunikasi politik yang
mengalami homogenisasi pada sistem antarnegara yang awalnya
berbeda antara satu dengan lainnya (Esser & Pfetsch, 2004: 41; Swanson
& Mancini, 1996: 4).
Mediatisasi dan Pro
esionalisasi Politik
Komunikasi politik yang merupakan semua bentuk komunikasi oleh aktor
politik untuk mencapai tujuannya dan terutama terkait dengan pemilih
dan media massa (McNair, 1995: 4), juga mengalami pergeseran ke arah
yang cenderung sama. Partai politik tidak lagi menjadi rujukan utama
dalam mengelola dan melakukan agregasi preferensi publik. Fungsi ini
telah mengalami atropi dan digantikan oleh media berita (ne
s media)
(Iyengar & McGrady dalam Brock & Green, 2005: 226).
Perubahan komunikasi politik ini terlihat pada 2 (dua) sisi dalam
hubungan segitiga antara media, politisi dan pemilih. Kedua sisi yang
4
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
4
dimaksud adalah hubungan antara politisi dengan media dan hubungan
antara elite komunikasi politik (baca: media dan politisi) dengan warga.
Hubungan yang pertama, yaitu antara politisi dengan media, ditengarai
mengalami mediatisasi (mediatization) sehingga logika media (media
logi
) semakin dominan dalam penyampaian masalah-masalah politik
kepada publik dibandingkan dengan logika politik (politi
al logi
).
Sedangkan hubungan yang kedua, yaitu antara elite komunikasi politik
dengan warga, mengalami desentralisasai (de
entralization) karena
meningkatnya tantangan dari individu terhadap legitimasi dan kredibilitas
institusi politik dan media tradisional (Mazzoleni, 1987 dalam Esser &
Pfetsch, 2004; Brants & 
oltmer, 2011: 3-8).
Gambar berikut menunjukkan perubahan yang terjadi dalam
komunikasi politik.
Gambar 1. 1. Perubahan dalam Komunikasi Politik
Wartawan/ Media
Massa
Mediatisasi
Politisi/
Institusi Politik
De – sentralisasi
Warga Negara/
Pemilih/ Audiens
(Sumber: Brants & 
oltmer, 2011: 4)
Pergeseran hubungan yang digambarkan dalam bentuk garis
horisontal maupun vertikal dari hubungan 3 (tiga) pihak di atas menunjukkan
bahwa representasi publik terkait politik semakin berpusat kepada media
yang telah berkembang menjadi industri, selain juga semakin didorong
oleh berbagai tuntutan dari warga. Dinamika tersebut menunjukkan daya
yang semakin menarik komunikasi politik ke arah logika media, budaya
pop,
dan
konsumerisme.
5
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
5
Dinamika ini menuntut profesionalisasi komunikasi politik yang
ditandai dengan penggunaan polling pendapat, konsultan politik,
penerapan manajemen berita (ne
s management), riset, hingga
pembuatan "ruang perang" (
ar room) (Papathanassopoulos, Negrine,
Mancini, & Holtz - Bacha, 2007: 6-7). Partai politik besar di banyak negara
kemudian mulai melibatkan ahli di bidang pemasaran dan publi
relations,
polling pendapat, penggalangan dana, dan teknik lainnya untuk meramu
teknik kampanye langsung ke warga maupun melalui media massa untuk
membujuk pemilih 
yang notabene merupakan konsumen komunikasi
politik. Kampanye yang dilakukan menjadikan kepribadian pemimpin
parpol atau kandidat yang didukung sebagai pusatnya (
andidate

entered) (Swanson & Mancini, 1996: 5; Franklin, 1994; Kavanagh, 1995;
Maarek, 1995, 1997; Scammel, 1995, 1999; Blumler et al, 1996; Negrine,
1996 dalam Esser & Pfetsch, 2004: 49).
Profesionalisasi politik berupa manajemen berita dan pemasaran
politik merupakan bagian dari upaya agar aktor politik kembali memegang
kendali dalam proses komunikasi politik (Brants & 
oltmer, 2011: 5).
Profesionalisasi merupakan tuntutan bagi aktor politik untuk menang
dalam pemilihan yang hasilnya semakin tidak pasti. Seperti disampaikan
di atas, kampanye politik modern menjadi lebih berpusat pada kandidat
(
andidate
entered), didorong untuk pencitraan (imagedriven
),
terpolarisasi karena pembagian fungsi dan tugas yang lebih jelas antar
bagiannya, serta menekankan pada hal-hal yang spektakuler dengan
cenderung kurang menekankan pada isu dan ideologi (Patterson, 1993
dalam Brants & 
oltmer, 2011: 5). Hal ini terjadi saat institusi partai
politik menjadi lebih berjarak dengan pemilihnya karena kehilangan basis
hubungan tradisional (Swanson & Mancini, 1996: 14-17).
Profesionalisasi politik merupakan gaya kampanye modern dengan
titik tekan pada media dan menggunakan teknik yang sama dengan
pemasaran produk (Esser & Pfetsch, 2004: 26). Logika pemasaran mulai
menjadi rujukan untuk mengatur hubungan antara aktor dan institusi
politik dengan pemilih atau warga (Lilleker & Lees-Marshment, 2005:
6). Adaptasi konsep pemasaran ini menjadikan partai politik, termasuk
6
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
6
partai politik di Indonesia, harus semakin menunjukkan perhatian kepada
kebutuhan pelanggan, mengandalkan riset, agak bias ke arah segmentasi,
mendefinisikan kompetisi secara luas, dan menggunakan strategi yang
menggunakan semua elemen dari bauran pemasaran (marketing mix)
(Kotler & Andreasen, 1991 dalam O'Cass, 1996: 48).
Keterbukaan politik di Indonesia yang ditandai oleh Reformasi 1998
memberi ruang bagi praktik pemasaran politik di Indonesia. Pada Pemilu
1999, partai-partai politik (parpol) telah memanfaatkan media massa
cetak dan elektronik sebagai media untuk menjual partai, kebijakan, dan
kandidat demi mendapatkan simpati dan dukungan pemilih. Praktik ini
terus berkembang lebih semarak sejalan dengan dilakukannya pemilihan
kepala daerah secara langsung. Wajah demokrasi Indonesia tengah
mengalami perubahan yang diikuti dengan maraknya lembaga polling
opini publik (pollster) (Mietzner, 2009: 95), selain juga tingginya belanja
iklan dan penggunaan berbagai instrumen promosi.
Pemakaian konsep pemasaran dalam politik cenderung mempertajam
intensionalitas komunikasi politik. Konsep-konsep seperti pengirim,
pesan, saluran atau kanal, dan penerima yang banyak digunakan dalam
kampanye politik dipertajam pemakaiannya dengan memanfaatkan
konsep-konsep pemasaran seperti market, segmentasi, dan positioning
(Newman & Perloff dalam Kaid, 2004: 22). Bahkan diakui bahwa benang
merah dalam riset pemasaran politik adalah komunikasi politik (LeesMarshment, 2001: 1074) meski beberapa pihak juga menganggap
pemasaran politik telah mengatasi komunikasi politik karena komunikasi
hanya menjadi salah satu bagian saja dari pemasaran politik (Scammel,
1999: 723).
Dominasi konsep pemasaran kemudian semakin menonjol dengan
dimanfaatkannya konsep brand. Brand merupakan bentuk paling baru
dari pemasaran politik (Scammel, 2007: 178) dan brand politik (politi
al
brand) mulai menjadi praktik standar dalam kampanye politik. Kandidat,
partai, dan kebijakan yang merupakan produk politik menjadi brand yang
dikomunikasikan melalui berbagai saluran. Bahkan loyalitas hubungan
antara pemilih dengan kandidat, partai, dan/atau kebijakan juga diwakili
7
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
7
melalui konsep brand (Needham, 2006: 178). Oleh karena kebaruan dan
penggunaannya dalam kampanye politik, sudah seharusnya brand politik
mendapatkan perhatian yang layak dalam kaitannya dengan komunikasi
politik.
Brand Politik Pemimpin Politik
Kombinasi antara personalisasi politik dan profesionalisasi politik
menjadikan brand pemimpin politik sebagai hal yang di kedepankan dalam
kampanye politik. Persaingan politik modern antarkandidat presiden telah
memanfaatkan konsep brand sebagai bagian dari pemasaran politik
(French dan Smith, 2008: 460). Mediatisasi komunikasi politik menjadikan
brand pemimpin politik harus berinteraksi dengan pemilih meski interaksi
yang terjadi bersifat semu (
uasi intera
tion) dan menonjolkan visibilitas
di media (Thompson, 1994: 119).
Brand (atau seringkali diterjemahkan menjadi merk) adalah entitas
simbolik yang dapat berupa nama atau logo yang digunakan untuk
mengidentifikasi penyedia layanan jasa atau produsen barang agar
produk dapat segera dikenali di pasar. Proses dari penyusunan brand
atau branding adalah pengembangan logo, simbol, dan nama yang
memastikan bahwa brand atau merk tersebut dikenali di pasar (Lilleker,
2006: 41).
Senada dengan definisi tersebut, Ameri
an Marketing Asso
iation
(AMA) mendefinisikan brand sebagai berikut.
"..a name, term, sign, symbol, or design or a 
ombination of them 
hi
h
is intended to identify the goods or servi
es of one seller or group of
seller and to differentiate them from those 
ompetitors" (Keller, 2008:
2; Heding, Knutzen dan Bjerrre, 2009: 8)
Barang atau jasa dalam definisi di atas dapat mengacu kepada produk,
layanan, organisasi, tempat, maupun orang. Pemimpin politik dapat
menjadi sebuah brand karena brand kadang juga dapat mengandung
simbol kebangsaan atau bahkan mengandung unsur ideologi atau
8
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
8
idealisme tertentu (Lilleker, 2006: 42).
Brand selain merupakan konsep yang mengedepankan pembedaan
(differensiasi) adalah juga konsep gabungan dari fungsi dan makna. Brand
merupakan simbol (sign) yang menjadi penanda identitas sosial yang
bersifat siap pakai (ready made) dan jembatan penghubung (interfa
e)
antara konsumen dengan produsen (Kornberger, 2010: 15-19). Seorang
pemimpin politik yang diwakili oleh konsep brand adalah identitas dari diri
pemimpin tersebut yang melingkupi diri dan organisasi atau kelompoknya
serta menjembatani antara harapan konsumen (baca: pemilih) serta
pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya (Ulrich & Smallwood,
2007: 5). Brand adalah satu paket pesan yang sarat dengan muatan
identitas pemimpin sekaligus janji pemimpin tersebut untuk disampaikan
kepada audiens (calon pemilih). Karena identitas yang dimiliki oleh
pemimpin politik dan disampaikan melalui brand, pemilih kemudian
mengidentifikasikan diri dan mengambil posisi sebagai pengikut (baca:
pemilih).
Brand pemimpin politik merupakan pesan yang memuat identitas
sosial dan digunakan agar mudah dicerap oleh pengikut. Adanya
identitas sosial ini menjadikan pemimpin sebagai brand melampaui
kondisi minimum (boundary 
ondition) menjadi brand yang berbeda baik
dari aspek kultural, sosial, maupun psikologis (Scammel, 2007: 180).
Perbedaan antara produk pada umumnya dengan brand memang terletak
pada kemampuannya dalam memberikan dan mempertegas identitas
(Kornberger, 2010: 77). Brand pemimpin politik adalah simbol yang
diperkenalkan dengan cara-cara pemasaran massal untuk memunculkan
identifikasi dan mobilisasi pendukung. Inilah inti dari komunikasi politik
era modern yang dilakukan agar institusi politik dapat bertahan dan
menjalankan fungsinya (Blumler & Kavanagh, 1999: 209; juga dalam
Bennet & Entman, 2001: 16).
Penerapan branding dalam produk politik, khususnya pemimpin
politik, bukan tanpa kontroversi. Akademisi terbagi menjadi setidaknya 2
(dua) kelompok, yaitu mereka yang mendukung pendekatan yang terkait
dengan kerangka kerja kewarganegaraan (
ivi
oriented frame
ork) dan
9
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
9
yang lain merupakan pendukung kerangka kerja konsumen (
onsumer
oriented frame
ork). Dalam studi ini, terlihat jelas bahwa pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan berbasis konsumen namun tetap
mempertimbangkan bahwa pada dasarnya politik adalah ekspresi dari
identitas kolektif dan aspirasi dari pendukung dan/atau pemilih (Esser &
Pfetsch, 2004: 47).
Dalam perspektif yang berorientasi konsumen ini pun, terdapat
tarik-menarik bahwa brand politik tidak hanya harus memenuhi
keinginan konsumen semata (voters driven), tetapi juga harus memiliki
tanggungjawab dalam jangka panjang. Artinya, brand politik tidak dapat
hanya mengikuti apa yang menjadi keinginan pasar (baca: pemilih)
(market driven), namun juga harus menyeimbangkan perannya sebagai
pendorong pemilih (market driver) dengan memiliki visi dan misi yang jelas
untuk membangun negeri meski secara praktik sulit terwujud (Reeves,
Chernatony, & Carrigan, 2006: 425-426).
Pilihan studi yang dilakukan ini mendapatkan ruang karena brand
adalah juga bentuk dari ekspresi identitas selain sebagai sebuah
instrumen pemasaran politik. Dan politik merupakan ranah di mana
identitas, khususnya identitas sosial, menemukan ekspresinya secara
nyata.
Brand Pemimpin Politik dan Media
Komunikasi politik adalah fenomena multi dimensi dan multi bentuk
dengan spektrum yang nyaris tidak terbatas. Agar menjadi pemimpin
politik yang berhasil, seorang politisi harus menguasai seluruh khasanah
komunikasi dan belajar mengimplementasikan bentuk komunikasi yang
sesuai dengan tantangan yang dihadapi (Louw, 2005; 14).
Pemanfaatan konsep brand dalam kampanye politik sudah menjadi
fenomena yang nyata untuk diimplementasikan demi menjawab tantangan
yang ada saat ini. Pendekatan brand yang merupakan bentuk lebih lanjut
dari pemasaran politik harus dilihat sebagai proses komunikasi 2 (dua)
10
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
10
langkah (t
o
step 
ommuni
ation) yang mempengaruhi konsumen
secara langsung namun juga secara tidak langsung melalui perantaraan
dari media (O'Saughnessy, 2001: 1050). Konsep brand digunakan untuk
melakukan diferensiasi dengan entitas politik (baca: pemimpin politik)
yang ada.
Sebagai brand politik, pemimpin politik memiliki identitas yang harus
disampaikan kepada pemilih. Brand yang mampu berinteraksi dengan
pemilih adalah brand yang akan berhasil dalam pemilihan (Nakanishi,
1974: 42). Untuk itu brand pemimpin politik harus mendapatkan dukungan
(endorsement) dari berbagai pihak, termasuk media, agar dapat berhasil
meraih suara pemilih.
Media memiliki peran penting dalam proses demokratisasi karena
kemampuannya dalam menyampaikan informasi, melakukan edukasi,
menyediakan platform untuk wacana politik publik, termasuk di dalamnya
memfasilitasi terbentuknya opini publik, memberikan publisitas kepada
pemerintah dan institusi politik, serta menjadi saluran bagi advokasi sudut
pandang politik. Bila fungsi ini secara ideal dipenuhi oleh media, maka
akan tercipta ruang publik dan pada akhirnya demokrasi dalam arti yang
sebenarnya (McNair, 1995: 18-20).
Kebanyakan pemilih memang cenderung tidak tergerak untuk
memantau dunia politik secara seksama. Mereka membentuk opini dan/
atau preferensi berdasarkan apa yang dilihat dan dibaca melalui media
berita (ne
s media). Pendeknya, pengetahuan politik yang dimiliki
merupakan hasil konstruksi media massa. Oleh karena itu, 
eteris
paribus, kandidat yang mampu mengelola media secara lebih efektif
adalah kandidat yang akan menang di hari pemilihan (Iyengar & McGrady
dalam Brock & Green, 2005: 225).
Hal ini senada dengan pernyataan Lippman tentang "gambaran di
kepala" (pi
ture in our heads) atau citra (image). Persepsi masyarakat
modern tentang politik adalah gabungan dari mosaik yang disediakan
oleh media massa. Mosaik-mosaik ini kemudian masuk ke layar persepsi,
menjadi topik pembicaraan dengan orang lain, untuk kemudian menjadi
realitas (mass mediated reality) (Nimmo & Combs, 1983 dalam Johnson-
11
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
11
Carte & Copeland, 2004: 136). Citra (image) yang dimiliki pemilih tentang
seorang pemimpin merupakan hasil predisposisi dari media (media
predisposition). Media merupakan wahana sosialisasi bahasa-bahasa
simbolik yang membentuk citra pemimpin yang ideal (Nimmo, 1978: 378).
Peran media dalam sistem demokrasi cenderung dominan karena
dalam masyarakat demokratis seleksi pemimpin maupun kebijakan
yang diusungnya berbasis pada opini publik. Seorang kandidat harus
mendapatkan dukungan pemilih yang banyak dan beragam agar dapat
memenangkan pemilihan. Sementara opini politik tidak dibentuk melalui
pengalaman langsung terhadap politik melainkan merupakan konsekuensi
dari citra (images) yang diberikan oleh berita mengenai politik (Ross &
Nightingale, 2003: 97). Oleh karena itu, akses terhadap komunikasi
adalah salah satu tolok ukur kekuasaan yang dimiliki aktor politik di alam
demokrasi modern (Bennet & Entman, 2001: 2). Dan media massa adalah
instrumen untuk memenangkan opini publik dan memastikan dukungan
suara kepada kandidat.
Pemilihan Presiden dan dan Wakil Presiden secara langsung melalui
Undang-undang No. 03 tahun 2003 telah semakin mendorong praktik politik
Indonesia untuk beradaptasi dengan perubahan di lansekap komunikasi
politik seperti yang digambarkan di atas. Studi yang dipaparkan dalam
buku ini berupaya menggali aspek-aspek penggunaan brand pemimpin
politik dalam Pilpres yang diselenggarakan pada 09 Juli 2014 lalu. Analisis
dilakukan terhadap brand politik 12 (duabelas) bakal Capres RI 2014,
baik brand sebagai pesan di media maupun brand sebagai citra yang ada
di benak publik. Saat studi ini pertama kali dilakukan pada pertengahan
2013, bakal Capres RI 2014 tengah berupaya menjalin interaksi dengan
pemilih, terutama melalui visibilitas di media.
Beberapa penelitian pernah mengangkat tentang brand politik, baik
brand partai politik maupun kandidat politik. Namun penelitian tentang
brand politik pemimpin politik dan bagaimana brand tersebut berinteraksi
dengan pemilih via media massa dalam konteks kampanye politik relatif
masih sedikit jumlahnya. Karena bersumber pada penelitian komunikasi
politik, telaah mengenai brand pemimpin politik dilihat dari 2 (dua) tataran,
12
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
12
yaitu tataran media dan tataran individu. Oleh karena itu, penelitian
ini pun secara garis besar terdiri dari 2 (dua) tahap untuk mengetahui
gambaran tentang brand politik pemimpin politik baik sebagai pesan di
media maupun dalam persepsi pemilih.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai brand pemimpin politik
di media sebagai pesan di media, analisis konten dilakukan terhadap
artikel-artikel yang memuat brand bakal capres RI 2014 di 5 (lima)
surat kabar nasional. Sedangkan pada tataran individu, gambaran
tentang persepsi publik direkam dengan menggunakan metode survey.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui survey adalah tentang
brand bakal capres RI 2014 yang menonjol di media baik sebagai brand
politik maupun kaitan brand sebagai pemimpin yang mewakili identitas
sosial pemilihnya.
Brand Pemimpin Politik di Media
Analisis brand pemimpin politik dilakukan dengan melakukan analisis
konten surat kabar. Mengapa surat kabar? Sementara media yang
selama ini diangap mempertegas visibilitas kandidat justru adalah televisi.
Karakteristik media memang menjadi pertimbangan dalam
menentukan pilihan untuk analisis konten. Pembaca suatu surat kabar
cenderung memiliki preferensi tersendiri sehingga isu-isu yang diangkat
oleh surat kabar tersebut adalah isu yang relatif familiar dengan
pembacanya dan sedikit banyak mempengaruhi pilihan politik secara
terbatas (Norris, Curtice, Sanders, Scammel, Semetko dalam Negrine &
Stanyer, 2007: 168-169). Oleh karena itu, peran surat kabar terkait beritaberita politik relatif besar.
Surat kabar juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
media lainnya. Pertama, peran surat kabar relatif masih dominan terkait
efek agendasetting
. Kedua, materi konten surat kabar memungkinkan
untuk dianalisis secara seksama (Ross & Nightingale, 2003: 20) karena
sifatnya yang deskriptif. Media cetak dianggap sebagai sumber informasi
13
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
13
yang relatif superior dalam hal informasi yang mendalam selama
kampanye pemilihan dibandingkan dengan media elektronik khususnya
televisi (Ross & Nightingale, 2003: 107). Hal ini dikarenakan media cetak
cenderung memberi ruang yang memadai untuk cerita politik termasuk
memberikan latar belakang dan konteks selain juga memungkinkan
pembacanya menggunakan materi tersebut dengan tingkat kecepatan
(pa
e) masing-masing (Ross & Nightingale, 2003: 108).
Lain halnya dengan televisi yang merupakan medium yang sangat
visual. Karakteristik ini menjadikan televisi kurang cocok untuk menangani
perdebatan yang bersifat kompleks namun lebih sesuai untuk konsep
sederhana yang dapat dengan mudah direpresentasikan. Realitas ini
sebenarnya merupakan sebuah ironi karena televisi justru dianggap
sebagai sumber informasi paling penting saat ini kecuali untuk isu-isu
terkait pemilihan umum.
Analisis konten dilakukan terhadap artikel-artikel surat kabar nasional
karena efek agendasettingsurat kabar nasional berbeda dengan koran
lokal (Bartels, 1996 dalam Walgrave & 
an Aelst, 2006: 92), dalam
arti surat kabar nasional memiliki pengaruh yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan surat kabar lokal. Hal ini antara lain disebabkan
oleh tingkat keterbacaan (readership) surat kabar nasional yang lebih
tinggi dibandingkan dengan surat kabar lokal.
Selain pertimbangan terkait efek maupun tingkat keterbacaan
(readership) dari berita yang dimuat surat kabar, masalah kepemilikan
media juga menjadi hal yang patut untuk mendapatkan perhatian.
Dewasa ini industri media di Indonesia cenderung dikuasai oleh segelintir
perusahaan media yang melakukan integrasi horisontal dan mengalami
polarisasi menjadi kelompok-kelompok bisnis media. Artinya, hampir
setiap perusahaan media besar memiliki media massa lainnya dalam
berbagai jenis. Kelompok usaha media pemilik surat kabar juga memiliki
radio, televisi, majalah, dan/atau media online. Oleh karena itu, pemilihan
sampel media juga harus mempertimbangkan keterwakilan kelompok
perusahaan media besar yang ada di Indonesia.
Surat kabar yang dipilih, yaitu Kompas, Seputar Indonesia, Media
14
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
14
Indonesia, Koran Tempo dan Indo Pos, dianggap mewakili kelompok
bisnis media yang ada di Indonesia sehingga analisis terhadap konten
surat kabar diharapkan dapat mewakili variasi konten yang ada di media
massa secara umum. Masing-masing surat kabar yang menjadi sampel
penelitian selain merupakan perwakilan dari kelompok perusahaan media
juga memiliki tiras yang relatif tinggi dibandingkan dengan surat kabar
lainnya.
Masing-masing surat kabar tersebut merupakan produk perusahaan
kelompok media yang juga memiliki media jenis lain seperti dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. 1. Kelompok Perusahaan Media di Indonesia
No.
Surat
Kabar
Perusahaan
Induk
1
Kompas
2
Seputar
Media
Indonesia Nusantara
Citra (MNC)
Group
3
Koran
Tempo
4
Media
Media Group
Indonesia
Kompas
Gramedia
Media Lain Milik Perusahaan Induk
Surat kabar daerah (grup Tribun), surat kabar
regional (Warta Kota dan Surya), tabloid
(Kontan, Nova, Saji, Bola, So
er, Motor Plus,
Citra, Otomotif, PC Plus, Gaya Hidup Sehat,
Oto Plus), majalah (Intisari, Sedap National
Geographi
, National Geographi
for Kids,
Prin
ess, Barbie, Cars, Bobo, Bobo Junior, Hai,
Ka
anku, CHIP, Info Komputer, Angkasa, What
HiFi?,Hot Game, Digital Camera Indonesia,
Idea), daring (Kompas.
om), televisi (KompasTV,
Trans7) dan radio (Sonora, Motion Radio) serta
lainnya.
Televisi (RCTI, Global TV, MNCTV, SINDOtv),
radio (MNC Net
orks, Sindo Trijaya FM, Radio
Dangdut Indonesia), tabloid (Genie, Mom &
Kiddie, Realita), majalah (Sindo Weekly, High

nd, High 
nd Teen, Just for Kids Magazine),
daring (Okezone.
om) dan lainnya.
Tempo Media Majalah (Tempo, Tempo 
nglish, Travelounge,
Group
Komunika, Aha!), daring (Tempo.
o).
Surat kabar daerah (Lampung Post,
Borneone
s), tabloid (Prioritas) dan televisi
(Metro TV).
15
Brand Pemimpin Politik
5
Indo Pos
Jawa Pos
Group
Ummi Salamah
15
Surat kabar nasional (Rakyat Merdeka, Guo Ji
Ribao), surat kabar regional (Bibir Mer,
Bolly
ood, Sinar Glodok, Lampu Hijau), surat
kabar daerah (grup Pos(t), Radar, 
kspress,
Metro, Independent, Rakyat, dan Satelit Ne
s),
tabloid (Komputek, Nyata, Posmo, Canti
,
Bunda, Koki, Tunas, Modis, Hikmah, Otorend,
Nurani, Suksesi), majalah (Mentari, Liberty) dan
televisi (Ja
a Pos Multimedia Corporation 
JPMC).
(Sumber: dari berbagai sumber)
Pemilihan sampel surat kabar berdasarkan kepemilikan selain
tingkat keterbacaan (readership) didasari oleh anggapan bahwa variasi
konten didasari oleh kepemilikan organisasi media selain pola kompetisi
antar media tersebut, norma profesional yang mempengaruhi pandangan
wartawan terhadap pelaporan berita serta faktor-faktor yang terkait
dengan konsumsi informasi audiens seperti gaya hidup (Bennet &
Entman, 2001: 6).
Analisis konten dilakukan pada artikel-artikel berita seputar bakal
capres RI 2014 yang dimuat di kelima surat kabar tersebut selama 9
(sembilan) bulan, terhitung sejak Juni 2013 sampai dengan Februari
2014. Analisis dilakukan terhadap berita yang dimuat pada hari kerja
Senin 
Jumat dan berada pada rubrik laporan utama maupun rubrik
yang terkait dengan politik.
Analisis konten yang dilakukan fokus pada 2 (dua) aspek, yaitu
visibilitas dan atribut brand bakal Capres RI 2014. 
isibilitas merupakan
frekuensi jumlah berita yang memuat tentang bakal capres RI 2014,
baik terkait aktivitas atau event perseorangan maupun terkait dengan
isu tertentu yang masih terkait dengan Pilpres 2014. Sedangkan atribut
kandidat merupakan kata sifat atau kata benda yang relatif banyak
digunakan oleh media-media sampel untuk menggambarkan brand bakal
capres RI 2014 tersebut. Secara kuantitatif, berita akan dianalisis untuk
mendapatkan atribut-atribut kandidat politik yang juga akan menjadi dasar
bagi penyusunan instrumen penelitian tahap berikutnya, yaitu survey.
16
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
16
Dari validasi yang dilakukan melalui analisis konten sejak Juni 
Desember 2013 terdapat 12 (duabelas) nama yang mengemuka di media
sebagai brand bakal capres RI 2014 paling menonjol. Keduabelas nama
inilah yang akan menjadi obyek penelitian.
Nama-nama tersebut dalam urutan abjad adalah sebagai berikut:
Tabel 1. 2. Brand Bakal Capres 
I 2014
Nama
Keterangan
1
No.
Aburizal Bakrie
Ketua Umum Partai Golkar; bakal capres RI 2014 dari
Partai Golkar; salah satu pengusaha terkaya di Indonesia
dengan bisnis yang bersifat konglomerasi, meliputi antara
lain properti, keuangan, asuransi, tambang, telekomunikasi,
dan media
2
Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
II (dua); Peserta Konvensi Partai Demokrat*; salah satu
pemilik grup media Jawa Pos Group
3
Gita Wirjawan
Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II
(dua); Peserta Konvensi Partai Demokrat; pengusaha
dan pemilik Ancora Group yang bergerak di bidang jasa
keuangan
4
Hatta Rajasa
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II (dua); Ketua Umum Partai Amanat
Nasional (PAN); besan dari Presiden RI Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY); sebelumnya menjabat beberapa pos
sebagai menteri dan dikenal sebagai pengusaha energi
5
Jokowi
(Joko Widodo)
Gubernur DKI Jakarta yang terpilih pada tahun 2012;
mantan Walikota Solo selama 2 (dua) periode; sebelumnya
pengusaha meubel ekspor
6
Jusuf Kalla
Mantan Wakil Presiden RI periode 2004-2009 berpasangan
dengan SBY; Pernah menjadi Ketua Umum Golkar selama
1 (satu) periode; capres dari Partai Golkar pada Pilpres
2009, maju bersama Wiranto dari Partai Hanura sebagai
cawapres namun kalah; kini Ketua Palang Merah Indonesia
(PMI)
 Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK); mantan Menteri
Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM pada kabinet
Presiden Gus Dur; Anggota DPR dari Partai Kebangkitan
Bangsa (2004-2009)
17
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
17
8
Marzuki Alie
Ketua DPR periode 2009-2014 dari Partai Demokrat;
peserta Konvensi Partai Demokrat
9
Megawati
Soekarnoputri
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP); anak dari Presiden pertama RI Soekarno; mantan
Wapres RI periode 1999-2001; mantan Presiden RI periode
2001-2004 menggantikan Gus Dur yang dicopot; dua kali
mengikuti Pilpres sebagai capres (2004 bersama Hasyim
Muzadi; 2009 bersama Prabowo Subianto) namun kalah
10
Prabowo
Subianto
Ketua Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra);
mantan Komandan Jendral (Danjen) Pasukan Khusus
(Kopassus); mantan menantu Presiden kedua RI Soeharto
11
Pramono Edhie
Wibowo
Adik ipar dari Presiden RI periode 2004-2009 dan 20092014 SBY; peserta Konvensi Partai Demokrat
12
Wiranto
Mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) pada era Orde Baru; Mantan Menteri Koordinator
Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) pada kabinet
Gus Dur; Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura);
tiga kali mengikuti Pilpres namun kalah
*Konvensi Partai Demokrat digelar untuk menjaring bakal capres yang akan diusung oleh Partai
Demokrat
Brand Pemimpin Politik di Benak Publik
Selain sebagai pesan di media massa, brand pemimpin politik juga dilihat
dalam bentuk citra yang ada di benak publik. Brand sebagai konsep yang
dipinjam dari ilmu pemasaran juga ditelaah dengan menggunakan teori
identitas sosial yang sejatinya lekat dengan praktik-praktik politik sebelum
maraknya praktik pemasaran politik. Hal ini dilakukan untuk memberikan
masukan (insight) mengenai konsep brand politik, khususnya brand
pemimpin politik, dan sejauh mana kontribusi brand terhadap kehidupan
demokrasi Indonesia yang terwujud melalui partisipasi warga dalam politik.
Survey ditujukan untuk mengukur persepsi pemilih terhadap brand
bakal capres RI 2014. Survey bersifat 
ross  se

tional dan dirancang
untuk mengukur variabel-variabel terkait brand (brand a
areness, brand
18
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
18
asso
iation, brand personality dan brand e
uity) serta terkait identitas
sosial (prototipikalitas).
Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan pada Februari 2014
di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta sehingga hasil penelitian juga sangat terkait
dengan konteks dan dinamika politik yang ada pada saat itu serta relatif
terbatas pada populasi yang diwakili oleh sampel penelitian, yaitu calon
pemilih warga DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan hasil penelitian dapat
saja memiliki perbedaan dengan hasil Pilpres 2014 yang dilaksanakan
pada 09 Juli 2014 secara nasional.
Pemilihan DKI Jakarta sebagai lo
us penelitian didasari beberapa
pertimbangan yang meliputi ukuran wilayah, jumlah penduduk, dan profil
penduduk. Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia dengan luas
wilayah mencapai 740,3 kilometer persegi. Penduduk Jakarta mencapai
angka lebih dari 10 (sepuluh) juta jiwa dengan latar belakang yang cukup
heterogen. Keragaman penduduk DKI Jakarta ini diharapkan cukup
mencerminkan keragaman identitas sosial yang dimiliki oleh Indonesia
meski relatif terbatas pada setting perkotaan.
Jumlah responden mencapai 486 (empat ratus delapan puluh enam)
orang yang tersebar di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta. Jumlah responden
ini berada pada interval kepercayaan (
onfiden
e interval) 4,6% untuk
populasi pemilih DKI Jakarta yang mencapai 7 (tujuh) juta orang.
Penarikan sampel dilakukan secara multistage dengan menggunakan
metode 
luster sampling agar setiap orang dalam populasi memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi responden penelitian (probability
sampling).
Daftar pertanyaan yang diberikan dalam survey bersifat terbuka dan/
atau tertutup. Untuk memudahkan perbandingan yang akan dilakukan
antarbrand bakal capres RI 2014 skala yang digunakan menggunakan
rating 1 - 10 (satu sampai 10), kecuali untuk pengukuran variabel brand
asso
iation yang bersifat melekat dengan masing-masing brand bakal
capres RI 2014. Penggunaan rentang skala yang relatif panjang ini bertujuan
untuk meningkatkan sensitivitas instrumen yang digunakan dalam survey
sekaligus memudahkan penilaian yang akan dilakukan oleh responden.
19
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
19
Secara umum, profil responden penelitian mirip dengan profil warga
DKI Jakarta baik dari segi usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa
dan sebaran wilayah disandingkan dengan data demografi dari Badan
Pusat Statistik (BPS) 2010. Beberapa catatan terkait sampel penelitian
adalah dari segi agama penganut agama Katolik yang relatif kurang
terwakili sementara penganut agama Islam dan Kristen yang cenderung
lebih besar dari prosentase yang ada di tingkat populasi. Dari segi suku
bangsa, suku Sunda memiliki proporsi yang lebih tinggi dalam sampel
sementara suku bangsa Tionghoa sebaliknya relatif kurang terwakili.
Dari segi wilayah, Jakarta Barat cenderung kurang terwakili sementara
Jakarta Pusat mengalami kelebihan jumlah sampel (oversampling); hal
ini terkait dengan perbedaan tingkat respons (response rate) di masingmasing wilayah. Selebihnya secara umum profil responden cenderung
mewakili profil yang ada dalam populasi.
Hasil penelitian yang lebih rinci akan disampaikan dalam bagian
tersendiri dalam buku ini. Sebelum sampai ke sana, berikut beberapa
pembahasan mengenai konsep-konsep yang terkait dengan brand
pemimpin politik.
Ummi Salamah
161
Epilog
BRAND JOKOWI:
ANOMALI ATAU REVOLUSI
PARADIGMA KEPEMIMPINAN?
JOKO Widodo atau Jokowi adalah "bintang yang bersinar" (rising star)
dan fenomena baru di ranah politik Indonesia. Sebagai brand pemimpin
politik, Jokowi belum memiliki rekam jejak yang menonjol sampai dengan
periode pertama masa jabatannya sebagai Walikota Solo. Perolehan
suara yang melonjak lebih dari 90% (sembilan puluh persen) untuk
pemilihan periode jabatan kedua menjadikan sosok Jokowi mulai dikenal
publik secara nasional.
Berlatar belakang sebagai pengusaha, Jokowi mampu memberikan
sentuhan kewirausahaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Solo.
Gebrakan Jokowi yang membangun kota Solo dengan memperkuat
identitasnya sebagai "pusat Jawa", memberikan efek promosi yang kuat
baik bagi Solo maupun sosok Jokowi. Keberhasilannya membangun
Solo kemudian memberikan kesempatan kepada Jokowi mendapatkan
"promosi" menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dukungan untuk Jokowi yang kebanyakan berasal dari kelompok
masyarakat madani (
ivil so
iety) memberikan desakan kepada partaipartai, khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang
turut mengusung Jokowi sebagai Walikota Solo, untuk mencalonkan
Jokowi sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta. Hal ini sejalan dengan
tuntutan perubahan terhadap Jakarta. PDIP beserta Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) kemudian mencalonkan pasangan Jokowi 
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2012. Jokowi 
Ahok
kemudian memenangkan Pilgub DKI Jakarta yang berlangsung 2 (dua)
putaran. Catatan yang menarik dari Pilgub ini adalah bentuk dukungan
162
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
162
yang massif untuk Jokowi 
Ahok. Dukungan yang kemudian turut
mendorong partisipasi pemilih ini terjadi via media sosial.
Setelah beberapa bulan memerintah, Jokowi dianggap memulai
terjadinya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta.
Kepemimpinan Jokowi mendapat perhatian banyak pihak, khususnya
media massa. Liputan media massa pun membangun popularitas Jokowi
secara nasional. Popularitas Jokowi tidak luput dari perhatian PDIP yang
tidak melewatkan kesempatan dengan memanfaatkan Jokowi sebagai
juru kampanye berbagai calon kepala daerah yang diusung oleh parpol
tersebut. Jokowi lalu muncul menjadi elite penting PDIP mendampingi
Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam berbagai kesempatan.
Selain itu, sosok Jokowi dianggap juga berkontribusi meningkatkan
harapan publik kepada PDIP saat harapan terhadap partai lain cenderung
melemah.
Semenjak kemenangannya dalam Pilgub DKI 2012, Jokowi semakin
dikenal publik dan semakin banyak diangkat oleh media massa. 
isibilitas
tersebut kemudian makin menyebar karena kepala daerah-kepala daerah
lain turut meniru gaya Jokowi. Bahkan, pendapat yang kontra sekalipun
terhadap gaya blusukan, juga turut meningkatkan visibilitas Gubernur DKI
Jakarta tersebut. Meluasnya gaya kepemimpinan a la Jokowi dianggap
membawa harapan lahirnya bentuk "kepemimpinan baru".
Brand 
oko
i
Kekuatan sebuah brand diwakili oleh konsep ekuitas brand. Ekuitas
brand pemimpin politik sejatinya ditentukan oleh 2 (dua) hal, yaitu tingkat
pengenalan (a
areness) dan prototipikalitas. Keduanya merupakan
prasyarat yang harus dipenuhi (ne
essary 
ondition) demi terbentuknya
ekuitas brand pemimpin politik.
Tingkat pengenalan merupakan langkah awal (entry point)
pembentukan ekuitas brand pemimpin politik. Brand Jokowi telah
melampaui tahap ini berkat perhatian media massa nasional yang terus-
163
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
163
menerus. Publik menjadi sangat mengenal sosok Jokowi yang diberitakan
melalui media massa dan diperbincangkan melalui media sosial. Brand ini
telah mencapai tingkat pengenalan yang tinggi. Hal ini ditambah dengan
gaya blusukan yang menjadikan brand Jokowi dikenal secara langsung
oleh pemilih. Jokowi merupakan brand pemimpin politik yang paling
banyak melakukan kontak langsung dengan pemilih Jakarta.
Brand yang kuat adalah brand yang populer dan dianggap mampu
mewakili identias sosial. Selain dikenal luas, brand Jokowi juga memiliki
prototipikalitas yang tinggi. Prototipikalitas menunjukkan bahwa
dibandingkan brand pemimpin politik lainnya, brand Jokowi dianggap
mampu mewakili identitas sosial pemilih. Ia dianggap sebagai pemimpin
prototip kelompok pemilih yang mewakili kelompok sosial pemilih. Ada
kepercayaan yang tinggi selain keyakinan bahwa Jokowi mampu menjadi
pemimpin yang adil, berpengaruh, karismatik dan populer tentunya.
Brand yang populer dan dianggap mewakili identitas pemilih mampu
membentuk dukungan pemilih. Dukungan tersebut akan mendorong
pemilih untuk lebih jauh terlibat dalam berbagai kegiatan terkait brand
tersebut. Elektabilitas yang dimiliki sebuah brand politik pemimpin politik
merupakan prakondisi munculnya partisipasi pemilih untuk terlibat dalam
organisasi (baca: partai politik atau organisasi masyarakat) yang terkait
dengan brand pemimpin politik dan/atau kegiatan kampanye politik untuk
brand tersebut.
Di antara 12 (dua belas) brand pemimpin politik lainnya, brand Jokowi
adalah brand dengan ekuitas tertinggi. Brand seperti ini cenderung solid,
artinya pada masa krisis ia lebih mampu bertahan menghadapi persaingan
dibandingkan dengan brand lain. Ekuitas ibarat tabungan yang dapat
habis bila tergerus oleh krisis. Bila ekuitas tinggi, meski tergerus maka
brand tersebut tetap mampu bertahan. Oleh karena itu, brand dengan
ekuitas yang tinggi adalah brand yang kuat.
Sebagai brand pemimpin politik terkuat, brand Jokowi memiliki tingkat
elektabilitas tertinggi dan mampu mendorong partisipasi pemilih lebih
tinggi daripada brand pemimpin politik lainnya. Namun brand Jokowi juga
dapat disebut sebagai sebuah anomali dalam kancah brand pemimpin
164
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
164
politik Indonesia. Brand ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan
brand pemimpin politik lainnya.
Saat sebagian besar brand pemimpin politik dipersepsikan dengan
ciri-ciri seperti kaya, mapan, sukses, cerdas dan sehat, brand Jokowi
justru tampil secara berbeda. Sifat merakyat, membumi, turun ke
lapangan, ramah, jujur adalah ciri Jokowi yang unik dan berbeda dari
sebagian besar brand pemimpin politik lainnya. Sifat-sifat ini tidak dimiliki
oleh brand lainnya sehingga brand Jokowi memiliki diferensiasi yang
tinggi dan keunggulan sebagai brand pemimpin politik.
Berikut gambar yang menunjukkan perbedaan antara brand Jokowi
dengan brand pemimpin politik lainnya.
Gambar . 1. -ciri
Ciri Brand 
oko
i
Turun
Lapangan
Membumi
Merakyat
Ramah
Jokowi
Jujur
Gambar .2. -ciri
Ciri Brand Pemimpin Politik Umumnya
Sukses
Mapan
Kaya
Cerdas
Lainnya
Sehat
165
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
165
Selain terkait dengan sifat, brand Jokowi juga memiliki asosiasi yang
positif yang melekat kuat. Umumnya brand pemimpin politik lainnya selain
memiliki asosiasi positif juga lekat dengan asosiasi yang bersifat netral,
bahkan negatif. Namun brand Jokowi memiliki tone yang positif secara
merata. Asosiasi ini menunjukkan kekuatan brand Jokowi di mata media
maupun pemilih.
Meski asosiasi brand maupun kepribadian brand tidak secara langsung
mempengaruhi kekuatan sebuah brand, keduanya merupakan pelengkap
yang diperlukan meski tidak menentukan (
ontributory 
ondition). Brand
Jokowi adalah sebuah kisah sukses dari brand pemimpin politik karena
memiliki ekuitas yang tinggi, asosiasi positif yang melekat kuat serta unik.
Hal inilah yang menjadikan brand Jokowi relatif lebih kuat dibandingkan
dengan brand pemimpin politik lainnya. Brand Jokowi menempati top of
mind di benak pemilih dengan brand Prabowo Subianto sebagai pesaing
terdekat.
Brand 
oko
i dalam Pilpres 2014
Bukan sebuah kebetulan bila dalam Pilpres 2014 brand Jokowi berhadapan
dengan brand Prabowo Subianto. Kedua brand ini adalah brand terkuat
pemimpin Indonesia dan otomatis memiliki elektabilitas tertinggi di antara
brand pemimpin politik lainnya. Fakta ini, selain bahwa Pilpres 2014 hanya
diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon, menjadikan persaingan yang terjadi
antara pasangan Jokowi 
Jusuf Kalla (JK) dan pasangan Prabowo
Subianto 
Hatta Rajasa berlangsung secara ketat dan tajam.
Dalam pelaksanaan kampanye, patut menjadi catatan bahwa ciri-ciri
yang dimiliki brand Jokowi lebih mampu membangun partisipasi. Sifatsifat yang dimiliki brand Jokowi menunjukkan adanya relasi sosial dan
bukan sekadar sifat-sifat yang dimiliki oleh sosok seorang pemimpin an
si
h. Brand yang merakyat, membumi, turun ke lapangan, ramah dan
jujur akan lebih mampu membangun relasi yang sejajar dengan pemilih
ketimbang brand kualitas "super" yang kaya, mapan, cerdas, sukses dan
166
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
166
sehat. Di antara brand pemimpin politik yang cenderung berjarak, brand
Jokowi justru menawarkan keakraban dan ketulusan (sin
erity), sesuatu
yang didambakan pemilih dalam relasi antara pemimpin dan pengikut
di Indonesia. Tak heran, brand Jokowi disinyalir mampu membangun
kampanye yang bersifat aktif partisipatif, berbeda dengan kecenderungan
kampanye selama ini yang cenderung menggerakkan massa dan
berbentuk mobilisasi.
Persaingan yang ketat dan tajam antara brand Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta menjadikan selisih suara antara kedua pasangan calon ini
relatif dekat, meski akhirnya pasangan Jokowi 
JK mampu mengungguli
pasangan Prabowo 
Hatta. Jokowi 
JK mendapatkan 70.997.833
suara (53,15%) sementara Prabowo 
Hatta mendapatkan 62.576.444
suara (46,85%). Selisih suara antara kedua pasangan capres ─ cawapres
tersebut mencapai 8.421.389 suara (6,3% dari total suara pemilih) (Komisi
Pemilihan Umum, 2014). Pasangan Jokowi 
JK memenangkan perolehan
suara di 23 Provinsi dan Luar Negeri. Sementara pasangan Prabowo 
Hatta unggul di 10 Provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo
dan Maluku Utara). Hanya di 2 (dua) provinsi, yaitu Sumatera Barat dan
Nusa Tenggara Barat, pasangan Prabowo 
Hatta mencatat kemenangan
besar di atas 70% dari total suara di masing-masing provinsi tersebut.
Kemenangan Jokowi adalah sebuah era baru kepemimpinan politik
Indonesia. Jokowi yang notabene bukan merupakan bagian dari elite
politik nasional berhasil memenangkan Pilpres 2014 dan dilantik sebagai
Presiden RI yang ke-7. Kepemimpinan Jokowi ini menandai munculnya
ciri-ciri kepemimpinan baru, produk langsung dari liberalisasi politik yang
diluncurkan bersama dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Kepemimpinan Jokowi adalah contoh dari kepemimpinan yang muncul
dari manajer-manajer kota yang bersentuhan langsung dengan persoalan
warga. Pemimpin daerah, khususnya Kabupaten atau Kota, bekerja
secara otonom dan dituntut untuk memiliki kemampuan memecahkan
masalah secara konkret. Siklus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
167
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
167
yang berlangsung setiap 5 (lima) tahun serta layanan publik yang harus
disediakan Bupati atau Walikota menjadikan mereka harus menunjukkan
kinerja dan hasil kerja yang nyata bagi warganya. Liberalisasi politik yang
menghasilkan sosok seperti Jokowi turut menggeser fungsi pemimpin
politik yang dahulu abstrak (baca: terkait parpol dan/atau ideologi tertentu)
menjadi konkret (terkait dengan pelayanan publik). Pemimpin lebih
dipandang sebagai sosok yang mampu menyediakan jasa pelayanan
publik dari pemerintah atau institusi publik lainnya.
Oleh karena itu, sosok Jokowi adalah cerminan terbongkarnya
stereotip kepemimpinan politik Indonesia. Bukan hanya dari ciri-ciri
pemimpin itu sendiri, namun juga dalam hubungannya dengan pemilih.
Pemimpin politik yang awalnya berorientasi pada produk (program,
kebijakan atau ideologi) atau proses (kampanye, koalisi, negosiasi)
harus lebih berorientasi pada kebutuhan konsumen (baca: pemilihnya).
Ia juga harus mampu menjawab persoalan secara konkret, kasat mata
sekaligus memiliki sifat yang unik dan berbeda dengan pemimpin lainnya.
Pendeknya, alih-alih sebagai produk politik, seorang pemimpin harus
menjadi brand pemimpin politik.
Tantangan ke depan dari brand Jokowi yang kini menjabat sebagai
Presiden RI ke-7 adalah menjawab harapan pemilih dengan ekuitas
brand yang dimilikinya. Brand yang kuat akan mampu bertahan saat
menghadapi masalah dan bahkan krisis. Namun brand pemimpin politik
merupakan teks yang bersifat cair dan sangat tergantung pada konteks.
Brand dalam konteks persaingan politik menjelang atau selama Pilpres
2014 tentu berbeda dengan brand dalam konteks pemerintahan yang
berlangsung selama 5 (lima) tahun.
Kemenangan brand Jokowi dibandingkan dengan pemimpin politik
lainnya telah tercatat dalam sejarah melalui hasil Pilpres 2014. Namun
brand Jokowi menghadapi tantangan yang berbeda saat menjadi Presiden
RI periode 2014 
2019. Tantangan utama brand Jokowi adalah bertahan
sebagai pemimpin yang dianggap sebagai prototip pemimpin bagi seluruh
warga negara RI. Brand Jokowi sebagai Presiden RI adalah representasi
dari
identitas
sosial
Indonesia
sebagai
bangsa.
168
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
168
Ciri-ciri atau kepribadian brand pada dasarnya terbagi menjadi 5
(lima) dimensi, yaitu: ketulusan (sin
erity), antusiasme (ex
itement),
kompetensi (
ompeten
e), sofistikasi (sophisti
ation) dan kekuatan fisik
(ruggedness). Kelima dimensi ini merupakan turunan dari teori faktor
kepribadian 5S yang berkembang dalam penelitian psikologi kepribadian.
The Big Five meliputi extroversion, agreeableness, 
ons
ientiousness,
emotional stability dan openness.
Bila ditelaah, ciri yang dimiliki oleh brand Jokowi lebih dominan
berada dalam dimensi ketulusan (sin
erity). Ciri-ciri ini sangat
menguntungkan saat menjalin hubungan dengan pemilih semasa
kampanye karena sangat kuat mencerminkan kemampuan membangun
dan memelihara relasi sosial. Merakyat, membumi, ramah dan jujur
juga merupakan ciri-ciri yang membuat kampanye brand Jokowi
mampu membangun partisipasi karena mampu menawarkan keakraban
kepada pemilih. Ciri brand Jokowi yang ada di luar dimensi ketulusan
adalah turun ke lapangan. Ciri ini berasal dari dimensi kekuatan fisik
(ruggedness). Dalam konteks brand Jokowi, ciri ini dikenal dengan
istilah bahasa Jawa blusukan.
Namun sebagai Presiden RI, kompleksitas masalah yang dihadapi
akan meningkat dan membutuhkan ciri-ciri lain yang sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi. Ciri-ciri brand yang menekankan pada relasi
sosial ataupun kekuatan fisik dapat membantu namun tidak akan cukup
untuk tetap membuat warga negara (tidak hanya pemilih) memandang
brand Jokowi sebagai cerminan pemimpin prototip. Dimensi lainnya
dalam kepribadian brand seperti kompetensi, sofistikasi dan antusiasme
dibutuhkan untuk tetap menjaga kekuatan brand.
Kompleksitas masalah yang meningkat akan menuntut perubahan
pada brand. Brand harus beradaptasi dengan konteks dan permasalahan
yang secara inheren berada di dalamnya. Menarik untuk mengetahui
apakah ke depan ciri-ciri kepemimpinan dari dimensi lain akan muncul,
tumbuh, berkembang dan melekat erat pada brand Jokowi. Patut pula
dicermati apakah brand Jokowi mampu melakukan perpanjangan
(ekstensi) dengan menggunakan sub brand berupa orang (menteri,
169
Brand Pemimpin Politik
Ummi Salamah
169
staf khusus, juru bicara, keluarga), program (program unggulan, isu-isu
khusus) dan organisasi (parpol, organisasi kemasyarakatan, relawan).
Titik kritis sekaligus sumber kekuatan brand Jokowi adalah pada
prototipikalitas yang telah dijelasnya secara komprehensif dalam buku ini.
Selama masa pemerintahannya brand ini harus selalu menjawab sejauh
apa ia mampu menjadi pemimpin prototip bagi bangsa Indonesia. Jokowi
juga harus mengembangkan dimensi kepribadian yang akan mampu
membuat brand yang dimilikinya bertahan hingga akhir masa jabatan di
2019. Jika mampu mengatasi dan melampaui masalah-masalah tersebut,
brand Jokowi akan semakin kuat dan memperpanjang siklus hidupnya. Ini
tentu membuka kesempatan untuk seorang Jokowi berkarir dalam dunia
politik lebih lama dan dengan cakupan lebih luas.
Download