CEREBRAL BLOOD FLOW (CBF) Otak menerima suplai darah kira kira 15% dari kardiac output (CO) (volume semenit). Dalam keadaan istirahat dan kondisi sehat CBF orang dewasa kira kira 45-55 cc/100g otak permenit sedangkan pada anak anak sebesar 105 cc/100 gram otak/menit. Total blood flow ke otak yang beratnya lebih kurang 1500 g kira kira 750 cc/menit. Semakin tua semakin rendah CBF umpama pada usia 70 tahun, 58 cc/100g otak permenit sedangkan pada usia 21 tahun CBF 62 cc/100 gram otak/menit. Bila CBF menurun < 20 cc/100g otak permenit akan terjadi ischemic EEG, bila diantara 18-23 maka otak tidak berfungsi namun sewaktu-waktu perfusi meningkat akan aktif lagi disebut Penlucida tetapi bila CBF< 18 akan terjadi infarct apabila perfusi tidak bisa ditingkatkan sampai batas waktunya maka disebut Penumbra,semakin rendah CBF semakin singkat toleransi waktunya. Bila CBF <15 akan terlihat EEG isoelektrik,absent evoke potensial, posfokreatinin menurun, laktat meningkat tetapi ATP masih normal. Bila CBF antara 8-10 terjadi kegagalan metabolisme, Kalium ECF meningkat dan ATP menurun. Bila diantara 6-9 maka Ca masuk intracelluler. Faktor-faktor yang mempengaruhi CBF : A. Perbedaan tekanan pembuluh darah otak. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tekanan pembuluh darah otak: a. Tekanan darah (BP) arteriel: Dalam keadaan tanpa hipotensi tekanan darah arteriel pengaruhnya sedikit saja pada CBF, malahan penurunan tekanan sampai 60-70 mmHg tak mempengaruhi CBF. Hal ini disebabkan adanya autoregulasi cerebral yang mekanismenya hingga saat ini masih belum jelas. Begitupun Bayliss(1902) mengemukakan bahwa adanya pengaruh langsung tekanan pada otot-otot polos cerebrovaskular sedangkan Lassen (1959) berpendapat bahwa Pco2 dalam brain tissue sebagai faktor pengaturnya. Yang dimaksud dengan autoregulasi cerebral ialah kemampuan otak mempertahankan CBF dalam batas-batas normal dalam menghadapi tekanan perfusi cerebral(CPP) yang berubah. Tekanan perfusi cerebral adalah selisih tekanan arteri rata rata(saat masuk) dan tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph/cerebral venous junction,secara praktis. CPP adalah selisih tekanan arteri rata rata (mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intracranial rata rata (Intracranial Pressure) (ICP) yang diukur setinggi foramen monroe. CBF = CPP / CVR CPP = MAP - ICP CBF = MAP - ICP CVR CBF : Cerebral Blood Flow CPP : Cerebral Perfussion Pressure MAP : Mean Arterial Preassure ICP : Intra Cranial Pressure CVR : Cerebro Vaskular Resistance Karena CPP = MAP - ICP maka CPP akan menurun bila MAP turun atau ICP naik. CPP normal antara 80-90 mmHg. Bila CPP turun50 mmHg terlihat EEG melambat, bila CPP < 40 mmHg maka EEG mendatar terjadi iskemia yang reversibel atau irreversibel tetapi bila CPP< 20 mmHg akan timbul iskemia cerebral yang irreversibel. Biasanya autoregulasi akan dapat mempertahankan CBF selama MAP antara 50-150 mmHg. Artinya bila MAP turun oleh kontraksi otot-otot polos dinding serebrovaskular sebagai respons adanya perubahan tekanan intra mural akan terjadi vaso serebral dilatasi sebaliknya bila MAP naik akan terjadi vasocerebral konstriksi selama MAP antara 50-150 mmHg. Bila MAP turun dibawah 50 mmHg walau dilatasi maksimal CBF akan mengikuti CPP secara pasif sehingga terjadi iskemia otak. Dan sebaliknya bila MAP diatas 150 mmHg maka biarpun kontriksi maksimal akan dirusak sehingga CBF akan naik dengan tiba tiba dapat merusak blood brain barrier (BBB) dan terjadi odema otak bahkan perdarahan otak. Beberapa keadaan merubah atau menghilangkan autoregulasi ini misal hipertensi kronis dapat merubah batas atas autoregulasi bergeser kekanan sehingga sudah terjadi iskemia pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang normal. Iskemia serebral, infarct, trauma kepala, hipoksia, hiperkarbia berat,obat anestesia inhalasibisa menghilangkan autoregulasi otak. Bila autoregulasi otak hilang maka CBF tergantung pada tekanan darah sehingga penurunan CPP akan menurunkan CBF. b.Tekanan vena : Pengaruh tekanan dalam vena-vena besar biasanya tidak berarti, bahkan pada gagal jantung kongestif. Mayer(1954) membuktikan bahwa tidak ada perubahan CBF bila tekanan jugularis interna dinaikkan sampai 23 cmH2O pada manusia . B. Tahanan dalam pembuluih darah otak (cerebro vascular resistance (CVR). Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi CVR: a. Kontrol Kimiawi: PaCO2 satu satunya faktor yang sangat penting mengontrol CBF. Ini disebut CO2 reactivity artinya perubahan PaCO2 akan merubah CBF dimana bila PaCO2 naik, CBF naik & sebaliknya. Inhalasi 7% CO2 dapat menaikkan CBF sampai 100%. Sedangkan hyperven tilasi sampai PaCO2 26 mmHg dapat menurunkan CBF sampai 35% (Ketty &Smith 1948). Dalam keadaan dianestesi,anjing yang normotensi, perubahan CBF maksimum dicapai oleh variasi PaCO2 antara 20-90 mmHg,diluar batas ini perubahan PaCO2 tak akan menimbulkan perubahan CBF lebih lanjut. Harper dan Glass(1965) juga menunjukkan bahwa respons terhadap CO2 berkurang dalam keadaan hipotensi dan menghilang bila tekanan darah sistemik turun sampai 50 mmHg. Demikian juga Lennox dan Gibb (1932) membuktikan bahwa respons terhadap CO2 menurun dalam keadaan hipoksemia. Dalam range PaCO2 diantara 20 -80 mmHg kenaikan PaCO2 1 mmHg akan menaikkan CBF 2cc/100gram jaringan otak. Dan laporan lain setiap kenaikan PaCO2 1 mmg diantara PaCO2 25-80 mmHg menaikkan CBF kira kira 4% (0,95- 1,75)cc/100 gram otak menit. Jika dibandingkan dengan keadaan normokapnia maka CBF 2xlipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya pada PaCO2 20 mmHg. Perubahan CBF hanya sedikit dibawah PaCO2 25 mmHg maka hindari excessive hiperventilasi karena akan menyebabkan iskemia cerebri. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kadar CO2 dalam darah merubah pH ECF yang merubah tonus otot-otot polos arteriole cerebral. Konsentrasi CO2 dan ion bikarbonat dalam cerebro spinal fluid (CSF) (LCS) menentukan pH ECF. Konsentrasi CO2 di arteri terutama tergantung pada PACO2(respirasi) sedangkan konsentrasi ion bikarbonat sehubungan proses metabolisme otak. Bila PaCO2 normal maka perubahan pH sedikit sekali pengaruhnya pada CBF. Walaupun perubahan CBF bisa ditimbulkan oleh perubahan pH arteriel dimana alkalosis membuat vasocerebral konstriksi dan asidosis membuat vasodilatasi namun Haper&Bell 1963 membuktikan tidak ada perobahan CBF regional pada anjing-anjing bila PaCO2 dijaga konstant, selama infus dengan bikarbonat dan asam laktat. Dalam area otak yang terganggu oleh trauma,iskemia, bisa terjadi gangguan autoregulasi dan CO2 reactivity sekaligus hingga CBF benar benar tergantung CPP disebut cerebral vasoparalise. Bila tekanan perfusi cukup maka aliran darah akan meningkat kedaerah yang hilang autoregulasi dan CO2 reactivity disebut Luxury perfussion. Tetapi sebaliknya bila terjadi hipotensi akan terjadi iskemia berat dalam waktu yang singkat. Bila terjadi vasodilatasi umum diotak maka terjadi pencurian CBF dari daerah vasoparalise masuk kedaerah otak yang normal disebut intracerebral steal.Umpama dalam kondisi hiperkarbi. Sebaliknya dalam kondisi hipokarbia (hiperventilasi) atau obat yang membuat vasocerebral konstriksi seperti penthortal maka CBF akan memasuki daerah vasoparalise disebut Inverse Intracerebral steal (fenomena Robinhood mencuri harta orang kaya diberikan ke si miskin). Oksigen sendiri mempunyai effek vasokonstrisi cerebrovascular. Bila PaO2 menurun sedangkan PaCO2 tetap, CBF tidak terpengaruh sampai PaO2 turun dibawah 50 mmHg atau ada yang melaporkan dibawah 40 mmHg. Hipoksia menyebabkan penumpukan asam metabolit dalam ECF yang mengelilingi arteriole cerebral dan bisa menyebabkan vasodilatasi namun alkalosis pada ECF oleh karena hiperoksia tidak akan menyebabkan vasokonstriksi cerebral. PaO2 diatas normal akan menurunkan CBF karena pada saat yang sama terjadi penurunan PaCO2. Tetapi PaO2 disarankan tidak melebihi 200 mmhg pada operasi otak. b.Kontrol neurologik: Sokoloff & Ketty 1960 meneliti tak ada pengaruh lansung autonomic nervus system(ANS) pada pembuluh darah otak begitupun peneliti lain mengatakan ada pengaruhnya tetapi tak lebih dari 5-10%. Dimana perangsangan simpatis menyebabkan vasokonstriksi sementara perangsangan parasimpatis menyebabkan vasodilatasi. c. Tekanan intra kranial (ICP) Pada kenaikan ICP mencapai 500 mmH2O tidak akan merubah CBF oleh kenaikan yang sama tekanan arteriel tetapi diatas level ini terjadi penurunan CBF yang drastis. d. Viskositas darah: Polisitemia akan menurunkan CBF sampai 50% sebaliknya anemia gravis malah CBF sangat meninggi.Dehidrasi dengan Ht meningkat CBF akan menurun sementara hemodilusi hipervolemi CBF meningkat. e. Temperatur Menurut penelitian(Rosomoff dan Holaday 1954) dan (Kleinerman & Hopkins 1955) anjing-anjing yang suhu tubuhnya turun maka CBF maupun Cerebral Metabolic Rate (CMR) akan menurun. Menurut Rosomoff 1956 setiap penurunan suhu tubuh satu derajat akan menurunkan 6-7% CBF. Pada suhu 28 derajat celcius penurunan CBF sebesar 50%. Kleinerman dan Hopkins melaporkan bahwa pada suhu antara 22-27 derajat Celcius penurunan CBF melampaui penurunan CMRO2. Akan tetapi Rosomoff dan Holaday anjing anjing yang diturunkan suhunya sampai 26 C terjadi penurunan paralel CBF dan CMRO2. Dalam praktek klinis ini sangat luas dan berhasil dipakai untuk mencegah kerusakan otak selama prosedur operasi tertentu. Karena hipotermi yang berat sampai 29 derajat C saja banyak menimbulkan efek samping maka saat ini disarankan menurunkan sekitar 2-3 derajat saja sudah cukup memberi proteksi otak. Bagaimana hipotermi bisa mengurangi akibat iskemia cerebri masih belum jelas diduga disamping menurunkan CMR adanya perubahan sintese protein, permeabelitas BBB dan ion reaksi radikal bebas dan membran lipid dan lain-lain. Sebaliknya kenaikan suhu tubuh tidak menaikkan CBF. AUTOREGULASI Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (MAP) 60–70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harusdijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg. Ada 2 teori mengenai autoregulasi ADO : 1. Teori metabolik regulation Dalam keadaan normal, aliran darah otak sangat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan otak pada oksigen dan glukosa. Penyesuaian ini disebut sebagai flow metabolism coupling atau metabolic regulation. Aktivitas tingkah laku seperti berbicara atau pergerakan anggota tubuh menyebabkan penyesuaian kenaikan local kebutuhan glukosa dan aliran darah pada daerah otak yang menangani fungsi ini. Pada saat kejang, kebutuhan glukosa dan aliran darah dapat meningkat hingga 200-300%. Sebaliknya bila tingkat metabolisme otak berkurang seperti pada saat koma atau anestesia barbiturat dapat dibuat suatu penurunan yang disesuaikan. Suhu tubuh pun mempunyai efek yang penting, karena kebutuhan glukosa sebagaian besar daerah SSP berubah lebih kurang 5-10% untuk setiap perubahan 1 derajat celcius. Pada tahun 1890, Roy dan Sherington mengajukan bahwa otak mempunyai mekanisme intrinsic yang mengatur suplai vaskuler, sehingga dapat berubah secara lokal terhadap perubahan lokal dari aktivitas-aktivitas fungsional. Sokoloff mengembangkan C dexoyglucose autoradiografic method untuk mengatur kebutuhan glukosa sehingga regulasi metabolik dapat terkonfirmasi. Silver melaporakan bahwa aliran darah lokal meningkat dalam satu detik setelah aktivitas neuronal dimulai. Peningkatan aliran darah pada penelitian ini sangat vocal dan terjadi pada 250 mikron dari daerah eksitasi neuronal, mendukung bahwa perkusi secara tepat diatur pada tingkat mikrovaskuler. Telah pula ditunjukan bahwa pada peningkatan regional dari kebutuhan glukosa, konsumsi oksigen dan aliran darah, dan telah pula dipercaya bahwa hasil kimiawi dari metabolisme memediasi respon ini. a. Perubahan pH ekstra selular mungkin merupakan mekanisme dimana metabolisme mempengaruhi aliran darah pada daerah dengan metabolisme yang meningkat. Penurunan pH menyebabkan vasodilatasi local, kemungkinan dengan berubahnya permeabilitasi membran atau fungsi resptor. b. Perubahan pada kalium ekstra seluler terjadi pada neuroktivasi. Pemberian ion K secara tropical memerlukan arteriola pia otak berdilatasi yang sesuai dengan konsentrasi yang diberikan. c. Adenosine, yang dihasilkan dari degradasi ATP melalui reaksi 5’ nucleotidase, merupakan fasilidator kuat. Peningkatan adenosine yang cepat dan nyata terjadi pada peningkatan aktivitas metabolic otak, hipotensi, hipoksi dan kejang. Agar adenosine berlipat 25 detik setelah iskemi dan meningkat 6 kali setelah hipoksi pada aliran darah otak mulai meningkat secara nyata. Pemberaian preparat ini secara intravena atau intraserebral menyebabkan peningkatan aliran darah selain itu beberapa subtipe dari resptor adenosine dapat ditemukan pada SSP termasuk pada pembuluh darah mikro. d. Prostaglandin merupakan turunan arachidonic acid, merupakan vasokonstriktor yang kuat pada konsentrasi yang rendah. e. Bukti-bukti terbaru menunjukan bahwa Nitric oxyde (NO) merupakan suatu mediator penting dalam pengaturan sirkulasi otak. Persenyawaan ini disintesis dari L- arginine oleh enzim Nitric oxyde Synthase, mempunyai waktu paruh beberapa detik dan didistribusikan secara nyata diseluruh bagian otak. Secara khusus nitrat oksida disintesis oleh endothelial cells perivascular nervefiber dan astrocytic foot processes karena begitu dekatnya lokasi ini dengan pembuluh darah otak, nitrat oksiada dapat menghasilkan efek serebrovaskuler yang cepat. NO menyebabkan vasorelaksasi . NO merupak suatu messenger yang terlibat pada aktivitas SSp dan memenuhi berbagai kriteria yang dibutuhkan untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu neurotransmitter. Walaupun riset mengenai NO relatif baru, tampaknya molekul ini memainkan peranan penting pada regulasi aliran darah, terutama karena efeknya yang cepat dan paruh waktu yang pendek serta keterikatannya yang integral pada aktivitas seluler. 2. Pressure Autoregulation Cerebral autoregulation menunjukan dipertahankannya suatu aliran darah otak yang relatif konstan walaupun terjadi variasi pada cerebral perfusion pressure (CPP). Respon fisiologis ini berfungsi untuk melindungi otak dari efek yang merugikan (yaitu iskemi atau hiperemi) karena perbedaan tekanan perfusi yang besar. Dalam pengertian yang sangat tegas autoregulasi hanya digunakan untuk respon cerebrovasculer terhadap perubahan CPP dan kadang-kadang secara khusus disebut sebagai pressure autoregulation. Otak manusia mampu untuk mempertahankan aliran darah yang konstan walaupun terdapat fluktuasi pada Mean Arterial Pressure (MAP) antara 60-160 mmHg. Letak anatomis yang tepat yang memediasi pressure autoregulation belum diketahui tetapi beberapa bukti menunjukan mikrosirkulasi. Diluar kedua nilai ambang batas, aliran darah otak sesuai dengan perubahan MAP. Dibawah nilai ambang bawah, pembuluh darah otak berdilatasi maksimal dan aliran secara pasif mengikuti MAP. Diatas nialai ambang atas, peningkatan percusion pressure secara langsung direfelsikan oleh peningkatan aliran. Mechanism Of Autoregulation Terdapat 3 mekanisme yang berbeda, yang diajukan sebagai yang bertanggung jawab pada respon crebrovasculer terhadap perubahan tekanan perfusi. 1. Myogenic theory : perubahan tekanan intravaskuler mengubah strecth forces pada vaskuler smooth muscle cell dan sel ini secara intrinsic berkontraksi dan membesar sebagai respons terhadap berbagai tingkatan strecth. 2. Neurogenic theory : menyatakan bahwa pusat otak yang spesifik mempunyai hubungan arteri lansung dan tidak langsung dan respon vaskuler dimediasi melalui hubungan ini 3. Metabolic theory : mengusulkan bahwa hasil metabolisme otak mengatur pressure autoregulation. Myogenic response secara keseluruhan berhubungan dengan perubahan pada tekanan perfusi dan merupakan teori yang didukung dengan baik oleh bukti-bukti terbaru. Yang jelas ketiga teori ini tidaklah berdiri sendiri karena pressure autoregulation merupakan suatu proses dinamis, sehingga dapat menyebabkan serangkaian kombinasi dari berbagai mekanisme. Sebagai contoh : komponen permulaan yang diberikan pengaturan kasar dari aliran, bisa meruopakan Myogenic karena dilatasi atau kontraksi smooth, muscle, terjadi hampir simultan dengan perubahan tekanan perfusi. Respon ini dapat diikuti oleh pengaruh neurogenic, karena suatu masa laten yang khas sekitar 10-15 detik diperlukan oleh neurocirutry untuk menyesuaikan responnya. Terakhir, mungkin metabolic mechanism, yang mempunyai onset yang lebih lambat dan penyelesaiannya lambat, yang mengatur komponen dari respon autoregulation. Effect Of Arterial Blood Gases Carbon Dioxide Perubahan pada P CO2 arteri secara nyata mengubah aliran darah otak. Efek yang cepat dapat dijelaskan karena difusi segera dari CO2 melalui BBB. Hiperkapnia menginduksi dilatasi arteri pia, meningkatkan aliran darah otak,sedangkan hipokapnia mengurangi aliran darah melalui vasokontruksi. Dengan P CO2 25-60 mmHg aliran darah otak berubah + 3% untuk setiap Pa CO2. Nilai P CO2 lebih besar dari 60-80 mmHg tidak dapat menyebabkan penigkatan aliran darah, kemungkinan karena pembuluh darah otak telah berdilatasi maksimal.Berkurangnya Pa CO2 menyebabkan penurunan aliran, tetapi tidak pada tingkatan yang sama seperti peningkatan yang dinduksi oleh hiperkenia karena efek vasokontriksi dari hipokapnia yang hebat sebagian dilawan oleh Vasodilatasi dari penurunan suplai oksigen ke jaringan. Oxigen Tingkat P O2 arteri mempunyai efek yang kurang dibandingkan dengan P CO2. Perubahan moderat diluar batas fisiologis normal tidak mengubah aliran darah otak. Tetapi bila Pa CO2 berkirang dibawah 60 mmHg, aliran darah meningkat sesuai dengan hipoksemia. Tingkat P O2 yang diatas normal dapat menginduksi vasokontriksi dan menurunkan darah aliran otak, bila kadar otak CO2 dipertahankan konstan. Pengaturan PaO2 dan PaCO2 Sistem saraf mengatur kecepatan ventilasi alveolus hampir tepat seperti permintaan tubuh, sehingga tekanan oksigen (PaO2) dan tekanan karbondioksida (PaCO2) darah hampir tidak berubah dalam keadaan normal. Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu “sensor oksigen” yang memberitahu tubuh kapan oksigen diperlukan dan berapa banyak yang diperlukan. Sensor oksigen tersebar di seluruh sel-sel tubuh dalam bentuk mitokondria sehingga keperluan oksigen akan sangat terpantau dengan adanya sensor oksigen tersebut. Selain itu glomus karotikus dan aortikus, suatu komoreseptor perifer yang bekerja akibat perubahan kadar oksigen di dalam arteri juga memberi andil dalam pengaturan PaO2 dan PaCO2 tersebut. Pengaturan PaO2 dan PaCO2 yang utama dilakukan oleh pusat pernafasan yaitu sekelompok neuron yang tersebar luas dan terletak bilateral di dalam substansia retikularis medulla oblongata dan pons. Selain pusat pernafasan, terdapat pula faktor humoral yang mengatur PaO2 dan PaCO2 ini. Konsentrasi ion hidrogen merupakan perangsangan utama untuk merangsang neuron- neuron di pusat pernafasan. Demikian pula dengan karbon dioksida. Peningkatan kadar karbon dioksida akan meningkatkan kadar ion hidrogen karena karbon dioksida akan bergabung dengan air untuk membentuk asam karbonat yang akan berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat; sehingga baik itu karena peningkatan ion hydrogen atau peningkatan kadar karbondioksida yang secara tidak langsung akan meningkatkan kadar ion hidrogen. Keadaan tersebut akan merangsang neuron-neuron di pusat pernafasan dengan cara: difusi langsung karbon dioksida dan ion hidrogen dari darah ke dalam pusat pernafasan dan perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam cairan serebrospinal yang mengelilingi batang otak. Pada keadaan trauma atau cedera, khususnya cedera kranioserebral sekunder, akan diproduksi sitokin atau interleukin, dan glutamat yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang akan merusak mitokondria di dalam sel. Akibat kerusakan tersebut PaO2 dan PaCO2 arteri akan berubah dikarenakan sistem yang mengaturnya (oksigen sensor) mengalami kerusakan. Terlebih lagi proses cedera kepala tersebut juga mengenai pusat pernafasan di pons dan medulla oblongata sehingga tidak saja pengaturan secara selulernya yang rusak namun juga pengaturan pusatnya juga rusak. Dari beberapa kepustakaan yang didapat, dikatakan bahwa puncak perburukan dari perubahan PaO2 dan PaCO2 pada pasienpasien cedera kranioserebral berat adalah 8 - 12 jam setelah onset, dimana tercatat 68 – 82 % pasien cedera kranioserebral berat mengalami perubahan PaO2 dan PaCO2 pada masa 8 – 12 jam setelah onset , teori yang diberikan untuk pernyataan tersebut adalah bahwa pada saat itu tubuh masih mengadakan kompensasi terhadap setiap perubahan yang terjadi termasuk kompensasi dari sistem pernafasan . Hal tersebut terbukti bahwa diluar waktu 12 jam setelah onset , hanya terjadi 10 – 20 % perubahan PaO2 dan PaCO2 . Kemudian Littlejohn mengatakan bahwa semakin rendah skala koma Glasgow yang didapat , maka akan semakin besar perubahan dari PaO2 dan PaCO2 yang terjadi , dimana ia mengasumsikan perubahan tersebut terjadi sesuai dengan tingkat keparahan cedera yang didapat , hal tersebut diperkuat oleh van Sabrinks walaupun tidak ada satu penulispun yang memberikan kepastian dari angka angka yang dicatat. Otak dan Tekanan Intrakranial Otak seorang manusia mempunyai berat antara 1200-1400 gram, dan tersimpan rapat di dalam rongga kepala. Otak dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan zat-zat makanannya; diperdarahi oleh dua pembuluh darah besar beserta cabang-cabangnya yaitu pembuluh darah arteri vertebrobasiler dan arteri carotis internal. Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke otak (cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak yang kira-kira beratnya 1200-1400 gram adalah 700840 ml per menit.Otak yang berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang solid dan tertutup; memiliki konsekuensi bahwa volume otak ditambah dengan volume cairan otak dan ditambah dengan volume darah harus merupakan angka tetap (konstanta). Pernyataan tersebut kita kenal sebagai hukum Monroe-Kellie dan dengan kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan yang terdapat di dalam ruang tengkorak (tekanan intrakranial) dipengaruhi dan dipertahankan oleh ketiga elemen tadi. Hukum tersebut berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu unsur tersebut akan menyebabkan perubahan kompensasi terhadap unsur lainnya agar tekanan intrakranial dapat dipertahankan. Namun apabila perubahan yang terjadi tidak dapat dikompensasi oleh salah satu elemen tersebut diatas maka akan terjadi perubahan tekanan intrakranial. Pada saat terjadinya perubahan PaO2 dan PaCO2, maka laju aliran darah ke otak juga akan berubah. Pada PaCO2 yang tinggi dan PaO2 yang rendah akan terjadi vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah intrakranial, sehingga akan meningkatkan laju aliran darah ke otak, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial karena elemen otak dan cairan serebrospinal dapat dikatakan tidak memegang peran dalam mekanisme kompensasi bila terjadi perubahan pada tekanan intrakranial .Sehingga praktis secara tidak langsung, pengaturan tekanan intrakranial melalui kompensasi terdapat pada pembuluh-pembuluh darah intrakranial. Bila terjadi PaCO2 yang rendah dan PaO2 yang tinggi akan menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang dan pada keadaan yang berlangsung terus menerus dapat menimbulkan vasokonstriksi yang sangat sehingga menimbulkan iskemik di otak. Selain PaO2 dan PaCO2 , perubahan tekanan intrakranial melalui mekanisme perubahan laju aliran darah ke otak juga dapat disebabkan oleh kadar haemoglobin dan hematokrit , dimana haemoglobin dan hematokrit yang meningkat dapat menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang , demikian pula sebaliknya, Hsia dan Menzel menyebutkan angka 23 – 46 % kematian pada cedera kepala berat yang diakibatkan oleh karena perubahan nilai haemoglobin, demikian pula dengan pH darah , juga mempengaruhi laju aliran darah ke otak , karena pada saat terjadi alkalemia maka laju aliran darah ke otak akan berkurang , sedangkan bila terjadi asidemia maka aliran darah ke otak meningkat , angka perubahan pH berkisar pada 38% pada penderita cedera kranioserebral berat.(32,53) Pada glukosa ,peningkatan yang terjadi akan meningkatkan tekanan intrakranial , walaupun tidak ada angka yang menyebutkan secara pasti berapa persen kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral akibat peningkatan glukosa. Patofisiologi Perubahan PaO2, PaCO2 Serta Hubungannya dengan Cedera Kranioserebral Berat Seperti sudah disebut di atas, bahwa pada saat terjadinya trauma; maka akan terjadi cedera primer dan sekunder. Dalam hal ini, seringkali proses akselerasi, deselerasi, dan puntiran yang terjadi pada kasus-kasus cedera kranioserebral; akan mengganggu pusat pernafasan di Medulla Oblongata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila seringkali ditemukan pasien-pasien cedera kepala datang dengan gangguan pernafasan, yang akan mengancam oksigenasi otak. Selain proses primer tersebut, proses sekunder yang terjadi melalui suatu proses inflamasi, yaitu pelepasan pelepasan sitokin, aspartat, radikal bebas, dan glutamate, akibatnya akan terjadi kerusakan di mitokondria sel yang akan mengganggu proses respirasi intrasel. Jadi terganggunya proses respirasi tubuh atau disfungsi pernafasan oleh cedera kranioserebral ini dapat disebabkan oleh gangguan pada pusat pernafasan di Medulla Oblongata dan proses inflamasi yang terjadi seketika setelah cedera kranioserebral. Dari berbagai keputusan, didapatkan bahwa angka kejadian dari perubahan PaO2 dan PaCO2 pada cedera kepala berat sangatlah bervariasi , nilainya berkisar antara 30 hingga 84%, angka kematian yang diakibatkan oleh perubahan tekanan gas gas tersebut adalah berkisar antara 16-30%, dan 10 – 20 % diantaranya melalui mekanisme vasodilatasi dan peningkatan laju aliran darah ke otak. Perubahan PaCO2 pada penderita cedera kranioserebral berat sangatlah bervariasi. Namun semua kepustakaan sepakat, bahwa PaCO2 arteri, harus dijaga dalam ambang batas normal. Apabila PaCO2 meningkat, akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak yang menyebabkan peningkatan laju aliran darah ke otak, dan akhirnya akan terjadi peningkatkan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini dengan berbagai implikasinya merupakan faktor yang harus dicegah dikarenakan akan memperburuk hasil keluaran yang ada. Sementara itu, apabila kadar PaCO2 arteri turun terlalu rendah, melalui mekanisme vasokonstriksi akan menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta mengancam terjadinya iskemik. Weiner mengemukakan bahwa penurunan 1 mmHg PaCO2 akan menurunkan laju aliran darah ke otak sebesar 2%. Beberapa peneliti memberi batasan angka kadar PaCO2 normal antara 35-45 mmHg (beberapa penulis menyebut angka 30 mmHg sebagai batas minimal bagi laju aliran darah ke otak yang adekuad) oleh PaCO2 yang melebihi 45 mmHg sudah dapat meningkatkan tekanan intrakranial, karena terjadi peningkatan aliran darah ke otak sedangkan bila PaCO2 menurun hingga 26 mmHg dan terus menurun hingga di bawah 25 mmHg, maka CBF akan turun di bawah angka kurang dari 17 mmHg/100 gr/menit (Currie memberikan angka suatu penurunan CBF di bawah 20 cc/100 gr/menit). Selain terhadap laju aliran darah ke otak, PaCO2 pun berpengaruh terhadap tekanan perfusi otak, karena tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh mean arterial blood pressure dikurangi dengan tekanan intracranial. Dari kepustakaan, didapatkan keterangan bahwa perubahan PaO2 arteri, tidak memiliki akibat sebesar perubahan PaCO2 namun mereka pun sepakat untuk menjaga PaO2 tetap dalam ambang batas normal bahkan cenderung tinggi. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka akan menimbulkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah otak yang akan diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah. Winer menyebutkan bahwa perubahan kadar PaO2 sebanyak 15% persen, hanya akan mengubah sedikit aliran darah ke otak. Di beberapa kepustakaan disebutkan bahwa sebaiknya kita menjaga PaO2 minimal 100 mmHg, bahkan ada penulis yang memberikan nilai yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara 140-160 mmHg. Namun perlu juga diperhatikan , bahwa tubuh seringkali mengadakan kompensasi tertentu ( pada saat keadaan asidosis / alkalosis baik itu respiratorik maupun metabolic ) bila telah terjadi perubahan pada status analisa gas darah penderita , sehingga kadang menyulitkan kita untuk mengetahui apakah nilai dari PaO2 dan PaCO2 yang timbul merupakan nilai sebenarnya atau nilai yang telah terkompensasi , hal demikian juga timbul bila terjadi gangguan pada fungsi ginjal dan paru kronis yang akan menyebabkan perubahan PaCO2 dan PaO2. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui apakah ada suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaCO2 dengan cedera kranioserebral berat memberikan beragam hasil, ada yang menyebutkannya terdapat suatu hubungan yang bermakna, seperti yang dikemukakan oleh Van Sabrinks et al, namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carmona et al, Fandino et al dan Sneider et al menunjukkan tidak adanya suatu hubungan yang bermakna. Sama halnya terdapat perubahan PaO2 hasil penelitian Carmone et al dan Gupta et al, menyatakan tidak terdapat suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaO2, dengan cedera kranioserebral berat. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Fandino et al, Van Sabrinks et al. Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial adalah dilakukan suatu tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut terjadinya trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar PaCO2 sekitar 20-25 mmHg, yang dikenal sebagai tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan kondisi ini secara langsung akan menyebabkan penurunan laju aliran darah ke otak; dengan akibat (secara tidak langsung) akan memicu proses iskemik cerebral . Hiperventilasi sendiri, memiliki 3 tingkatan, yaitu : Normoventilasi : (PaCO2 36-45 mmHg), Moderathiperventilasi : (PaCO2 26-35 mmHg), dan Deep Hipervetilasi : (PaCO2 20-25 mmHg). Beberapa peneliti, masih ada yang beranggapan, bahwa hiperventilasi merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial, namun lebih banyak yang beranggapan bahwa :dikarenakan pada masa akut trauma; otak sangat memerlukan oksigen; hingga riskan untuk “mengurangi” jalur pengisian oksigen ke otak. Kemudian harus diantisipasi resiko terjadinya iskemik yang menghantui tindakan hiperventilasi. Suatu tindakan hiperventilasi pada masa akut kurang popular diterima,yang sering dilakukan (menurut beberapa penelitian) adalah suatu hiperventilasi intermitten dengan durasi sekitar 20-30 menit (disertai monitor yang ketat) lalu setelah itu diberikan oksigen dalam takaran yang tinggi. Tindakan ini dilakukan beberapa kali dalam sehari, sehingga meskipun terjadi peningkatan tekanan intracranial, tetapi tetap dapat terkendali. Suatu jurnal yang menuliskan tentang adanya suatu kemungkinan pemberian oksigen dosis tinggi yang selain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak yang sedang meningkat,juga akan berguna untuk memenuhi target tekanan parsial oksigen dan karbondioksida. Peningkatan kadar oksigen, ternyata disinyalir dapat menurunkan terlepasnya faktor-faktor inflamasi, sitokin dan mengurangi produksi laktat dari hasil metabolisme otak. Pengukuran Kadar Oksigen dan Karbondioksida di Otak Sebenarnya, untuk mengukur oksigen dan karbondioksida di otak; diperlukan alat-alat yang dapat mengukur oksigen secara langsung. Beberapa peneliti mengatakan, pengukuran ini akan memiliki pengaruh yang besar dalam perhitungan oleh karena adanya perbedaan antara oksigen di otak dengan oksigen di arteri, perbedaan tersebut berkisar antara 2,5-5 mmHg. Hanya satu penulis yang mengatakan bahwa oksigen dan karbondioksida arteri dapat dipakai sebagai acuan terhadap kadar oksigen dan karbondioksida otak. Adapun pengukuran dari gas O2 dan CO2 tersebut dilakukan melalui analisa gas darah; dan hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memperbaiki status gas darah dari penderita cedera kranioserebral tersebut. Beberapa hal yang dipengaruhi PaO2 dan PaCO2 Tanda tanda vital yang dihasilkan oleh kerja dari organ organ vascular dan respiratory pada penderita cedera kranioserebral berat , secara fisiologis pada mulanya akan mengkompensasi kebutuhan akan oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Tekanan darah akan menurun sebagai akibat vasodilatasi pembuluh darah , yang merupakan reaksi dari sensor oksigen terhadap kebutuhan oksigen yang meningkat, demikian pula dengan kecepatan denyut jantung yang turut meningkat untuk memompa darah yang telah ditumpangi oleh oksigen dan karbondioksida , frekuensi nafas yang meningkat untuk memasukkan oksigen dan membuang karbondioksida , serta dapat terjadinya hipertermia akibat dari peningkatan metabolisme yang sangat pada penderita cedera kranioserebral berat .