I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi. Keanekaragaman hayati yang ada meliputi semua organisme tingkat tinggi
maupun rendah, yang berada di daratan dan lautan. Di daratan, hutan merupakan
ekosistem yang mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia. Dari 250.000
jenis tumbuhan tingkat tinggi yang ada di dunia, sekitar 54% dijumpai di hutan
tropis, diperkirakan lebih dari 30.000 jenisnya terdapat di hutan tropis Indonesia.
Keanekaragaman sumber daya alam hayati Indonesia tersebut merupakan sumber
senyawa kimia, baik berupa senyawa metabolit primer maupun senyawa metabolit
sekunder ( Pasaribu, 2009).
Dalam suatu sistem kehidupan bersama akan terbentuk kelompok
kehidupan dengan hierarki tertentu. Ekosistem dan komunitas adalah tingkatan
sistem kehidupan bersama yang lebih kompleks dibanding dengan populasi. Di
dalam ekosistem dan komunitas, tumbuhan berinteraksi dengan organisme lain
baik dengan hewan, mikroorganisme maupun dengan sesama tumbuhan.
Diperlukan sebuah harmoni dalam rangka mendapatkan kondisi optimal untuk
tumbuhan agar mampu bertahan dalam lingkungan tersebut. Tumbuhan harus
mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang melingkupinya dan
memanfaatkan semua sumber daya yang mendukung kehidupannya. Salah satu
bentuk
penyesuaian
yang
dilakukan
oleh
tumbuhan
lingkungannya adalah dengan membentuk metabolit sekunder.
1
dengan
keadaan
2
Metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang diproduksi tumbuhan
tingkat rendah maupun tinggi serta dijumpai pada beberapa mikroorganisme. Jalur
biosintesisnya beragam, antara lain berasal dari senyawa antara atau intermediate
pada metabolisme primer sebagai prekusornya. Secara umum metabolit sekunder
dijumpai terbatas pada kelompok tumbuhan tertentu dan jumlahnya bervariasi.
Setiap suku, marga dan jenis yang berbeda akan menghasilkan senyawa metabolit
sekunder yang berbeda, sehingga dalam bidang taksonomi, senyawa ini dapat
digunakan sebagai salah satu ciri (traits) yang menandakan suatu suku, marga dan
jenis
tertentu.
Metabolit
sekunder
banyak
digunakan
dalam
farmasi
(pharmaceutical), kosmetik, zat tambahan dalam makanan (food additives) serta
sebagai sumber aroma (flavouring) (Kovalenko, 2004).
Pada tumbuhan senyawa metabolit sekunder memiliki peran tertentu
berkaitan dengan interaksi antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya.
Tumbuhan adalah salah satu organisme dengan lifeform sedentary (sedentarylife)
atau tetap tempat, artinya tumbuhan harus mampu berinteraksi dengan lingkungan
dalam kondisi apa pun, yang menguntungkan ataupun merugikan hidupnya karena
ketidakmampuan tumbuhan untuk berpindah tempat. Dalam rangka bertahan
terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, maka tumbuhan
memerlukan suatu mekanisme pertahanan baik internal ataupun eksternal untuk
menjaga keberlangsungan hidupnya. Berkaitan dengan ini, sintesis metabolit
sekunder yang dilakukan oleh tumbuhan, sebagian besar distimulasi oleh kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan (unfavorable condition). Keberadaan
parasit yang menggunakan tumbuhan sebagai tanaman inang, tentu sangat
3
merugikan bagi jenis tersebut karena hampir sebagian besar produk metabolisme
primer yang dihasilkan oleh tumbuhan, akan diserap oleh parasit sehingga
pertumbuhan dan perkembangan menjadi terhambat. Selain itu adanya pathogen
yang berupa insecta, jamur dan mikrobia juga merupakan sebab disintesisnya
metabolit sekunder. Kompetisi tumbuhan dengan spesies lain dalam rangka
memenangkan sumber daya yang jumlahnya terbatas (limited resources) seperti
air, sinar matahari dan hara (nutrient) memerlukan tumbuhan yang berada dalam
keadaan fit untuk mampu memenangkan kompetisi tersebut. Tumbuhan akan
mensintesis metabolit sekunder untuk menghambat pertumbuhan kompetitornya,
sehingga spesies tersebut mampu mendapatkan sumber daya yang lebih banyak
bagi pertumbuhannya ( Rachmawati, 2009; Romagni 2012).
Budidaya jati (Tectona grandis (L.) Finn.) di Indonesia dikembangkan
sedemikan pesat sehingga tanaman ini telah dibudidayakan secara masal baik oleh
pemerintah yang berwenang ataupun oleh perorangan. Luas hutan jati di pulau
Jawa pada akhir abad ke 19 adalah 650.000ha, luas hutan jati terus bertambah
sampai dengan 785.000ha pada tahun 1929 dan pada tahun 1985 luasnya
diperkiraan mencapai 1.069.712 ha (Simor, 2001). Jati merupakan tanaman yang
mendominasi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia karena kualitas kayu
yang dihasilkannya mampu bertahan dari serangan jamur dan rayap sampai
dengan 500 tahun (Siregar, 2005 ; Suryana, 2001).
Selain jati, tumbuhan tingkat tinggi lainnya yang banyak dibudidayakan
adalah akasia (Acacia mangium Willd.). Kayu akasia banyak digunakan untuk
industri kertas pada awal perkembangannya di Indonesia. Banyak akasia ditanam
4
untuk memenuhi kebutuhan pabrik dengan jumlah bahan baku yang besar,
sehingga budidaya akasia dilakukan dengan sangat cepat. Dalam waktu kurang
dari 5 tahun, pohon akasia dengan diameter 15-30 cm sudah dapat ditebang untuk
dijadikan bahan baku. Pada saat ini diketahui bahwa dengan perawatan yang tepat
kayu akasia juga memiliki keawetan yang cukup tinggi. Karena warna dan
kualitas yang baik, penggunaan akasia tidak lagi terbatas pada industri kertas,
melainkan sudah merambah pada industri lain yakni perabot rumah tangga dan
bahan bakar (Anonim, 2012 ).
Penelitian Maharani (2011) menunjukkan bahwa jati dan akasia
menghasilkan alelokemi yang mampu menghambat perkecambahan dan
pertumbuhan kecambah biji tanaman budidaya yaitu bayam (Amaranthus tricolor
L.), sawi (Brassica juncea L.) dan kangkung (Ipomoea aquatica L.). Pengaruh
yang ditumbulkan untuk masing-masing jenis (ekstrak daun dan seresah) berbeda
pada tanaman budidaya yang berbeda. Pada jati pengaruh hambatan paling besar
ditunjukkan oleh ekstrak seresah, sebaliknya pada akasia ditunjukkan oleh daun
muda.
Diduga
jenis
senyawa
yang
menghambat
perkecambahan
dan
pertumbuhan kecambah tanaman budidaya tersebut, adalah metabolit sekunder
dari kelompok fenolik dan terpenoid. Belum diketahui bagaimana dinamika
sintesis dan degradasi senyawa tersebut berdasarkan waktu dan umur jaringan
tumbuhan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui jenis senyawa fenolik dan terpenoid yang dihasilkan oleh jati dan
akasia serta dinamika keberadaan senyawa tersebut pada jaringan tumbuhan.
5
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian di depan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Senyawa fenolik dan terpenoid apakah yang terkandung pada daun jati
(Tectona grandis (L.) Finn.) dan akasia (Acacia mangium Willd.) ?
2. Adakah dinamika perubahan kadar senyawa fenolik dan terpenoid pada
daun jati dan akasia?
3. Apakah umur daun berpengaruh pada komposisi senyawa fenolik dan
terpenoid pada daun jati dan akasia?
1.3 TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mempelajari kandungan senyawa fenolik dan
terpenoid yang terdapat pada daun jati dan akasia
2. Untuk mengetahui dan mempelajari perubahan kadar senyawa fenolik dan
terpenoid pada daun jati dan akasia
3. Untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh umur daun terhadap
komposisi senyawa fenolik dan terpenoid pada daun jati dan akasia
1.4 MANFAAT
Dari penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memanfaatkan golongan senyawa fenolik dan terpenoid yang diperoleh
dari daun jati dan akasia sebagai bahan pengawet kayu.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan serta mengembangkan ilmu
pengetahuan tersebut dengan cara melengkapi daftar golongan senyawa
6
metabolit sekunder khususnya kelompok fenolik dan terpenoid yang
berhasil diidentifikasi dan dikarakterisasi.
3. Menambah pengetahuan bagi petani agar mampu memilih secara selektif
tanaman yang digunakan sebagai peneduh dalam sistem tumpang sari
ataupun pada lahan terbuka.
Download