1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan sehat tersebut, masyarakat berusaha melakukan upaya kesehatan yang
meliputi pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara
dilakukan dalam rangka memperoleh derajat kesehatan yang optimal, salah
satunya dengan memanfaatkan tanaman obat yang dikemas dalam bentuk jamu
atau obat tradisional (Katno & Pramono, 2004).
Obat tradisional adalah obat bahan alam yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral atau campuran bahan-bahan tersebut yang telah digunakan secara
tradisional untuk pengobatan berdasarkan pengalaman turun temurun. Pada
umumnya, obat tradisional digunakan oleh masyarakat golongan menengah ke
bawah, namun saat ini penggunaannya sudah semakin berkembang dan semakin
luas. Dengan adanya slogan back to nature, masyarakat sudah banyak yang
menjadikan obat tradisional sebagai alternatif obat-obat modern. Kelebihan obat
tradisional jika dibandingkan dengan obat-obat modern yaitu obat tradisional
mempunyai efek samping yang relatif rendah jika digunakan dalam dosis yang
benar dan tepat, obat tradisional dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda
memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek
1
2
farmakologi, dan obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik
dan degeneratif (Katno & Pramono, 2004).
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman jenis
tumbuhan yang menyimpan potensi sebagai tanaman obat. Masyarakat Indonesia
banyak memanfaatkan tumbuhan di sekitar mereka untuk pengobatan secara
tradisional. Obat tradisional yang berasal dari tanaman disebut dengan obat
herbal. Menurut World Health Organization (WHO), saat ini, banyak negara maju
yang menggunakan pengobatan herbal sebagai pelengkap pengobatan primer.
Alasan penggunaan obat herbal karena dapat meningkatkan usia harapan hidup
pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, karena kegagalan penggunaan
obat modern untuk penyakit tertentu seperti kanker, serta semakin meluasnya
informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Dalam hal ini WHO
merekomendasikan penggunaan obat herbal untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan, dan pengobatan penyakit kronis seperti kanker (Sari, 2006).
Pimpinella pruatjan Molkenb. atau yang dikenal dengan purwoceng
merupakan tanaman obat herbal yang mempunyai khasiat di antaranya sebagai
afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik
(melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh).
Purwoceng merupakan tanaman endemik Indonesia yang hidup di habitat
pegunungan seperti dataran
tinggi Dieng (Jawa Tengah), gunung Pangrango
(Jawa Barat), dan area pegunungan di Jawa Timur. Saat ini Purwoceng sudah
semakin langka ditemukan di habitat aslinya, dikarenakan eksploitasi dari alam
3
yang berlebihan dan rusaknya hutan konservasi. Sehingga tanaman purwoceng
ditumbuhkan di kebun budidaya (Darwati & Roostika, 2006).
Saat ini penelitian tentang kandungan senyawa metabolit tanaman
purwoceng sudah mulai banyak dilakukan. Diantaranya dilaporkan beberapa
kandungan fitokimia yang terdapat pada tanaman purwoceng, yaitu akar
purwoceng mengandung bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semuanya
termasuk ke dalam kelompok furanokumarin (Darwati & Roostika, 2006).
Penelitian lain melaporkan bahwa akar purwoceng mengandung senyawa
kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula
(oligosakarida). Ada juga penelitian yang melaporkan bahwa terdapat senyawa
stigmasterol dalam akar purwoceng berdasarkan data spektroskopi dengan UVVis, FTIR, dan GC-MS (Suzery et al., 2004).
Suzery et al. (2004) mengatakan bahwa selain mengandung stigmasterol,
purwoceng juga mengandung minyak atsiri dan turunannya antara lain
germacrene,
β-cayophylline,
β-besabolene,
α-humulene
dan
carvacrol.
Xanthotoxin hanya ditemukan pada bagian tajuk tanaman yang tumbuh di Dieng.
Vitamin E ditemukan di tajuk tanaman tetapi tidak ditemukan di akar tanaman.
Bergapten, sitosterol, dan vitamin E mencapai kadar tertinggi pada saat tanaman
memasuki fase generatif (Anonim, 2013).
Tumbuhan pada dasarnya menghasilkan dua golongan senyawa metabolit,
yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolisme primer menghasilkan
senyawa metabolit yang hampir ditemukan di semua organisme, yaitu
karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan asam karboksilat. Metabolit
4
sekunder adalah produk metabolisme yang tidak diperlukan oleh organisme atau
dibutuhkan dalam waktu tertentu dan berbeda jenisnya antara satu spesies dengan
spesies yang lain. Metabolisme sekunder erat hubungannya dengan metabolisme
primer, karena produk dari metabolisme primer akan menjadi senyawa prekusor
bagi metabolisme sekunder (Luckner, 1972). Oleh karena itu biasanya senyawa
metabolit sekunder diproduksi pada jaringan dewasa, karena senyawa ini tidak
berperan secara langsung bagi pertumbuhan.
Senyawa metabolit sekunder berperan secara tidak langsung bagi
pertumbuhan tanaman. Produksi metabolit sekunder berkaitan dengan beberapa
faktor luar seperti replikasi pertumbuhan, pembungaan, musim, suhu, habitat,
pertahanan diri terhadap cekaman biotik serta abiotik, dan sebagainya. Sebagai
contoh konsentrasi salonin pada daun kentang akan turun selama pertumbuhan.
Contoh yang lainnya, tanin pada daun tumbuhan oak muda naik konsentrasinya
selama musim panas dan mencapai maksimum pada musim gugur. Dengan
demikian dapat didefinisikan bahwa senyawa metabolit sekunder merupakan
bahan kimia non-nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam lingkungan
(Torssell, 1983).
Senyawa metabolit sekunder yang dibentuk tumbuhan dapat berfungsi
sebagai material toksik untuk melawan predator atau menghambat pertumbuhan
spesies yang lain, sebagai atraktan, dan dapat pula digunakan sebagai produk
farmasi. Dewick (2002) mengklasifikasikan senyawa metabolit sekunder
berdasarkan jalur sintesisnya. Terdapat empat golongan besar senyawa metabolit
5
sekunder yaitu golongan alkaloid, golongan asam amino aromatik dan
fenilpropanoid serta golongan terpenoid.
Terpenoid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang
menghasilkan aroma dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan metode
penyulingan yang disebut dengan minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan
senyawa yang mudah menguap. Senyawa terpenoid dapat dimanfaatkan untuk
pengobatan herbal, yaitu dipakai sebagai senyawa antibakteri (Herrera, 2005).
Menurut Sastrohamidjojo (1995), senyawa terpen melimpah di alam dan
mudah diisolasi. Cara memperoleh senyawa ini tergantung pada banyaknya gugus
C yang menyusunnya. Pada golongan yang mempunyai atom C sedikit (C10 dan
C15) senyawa dapat diisolasi dengan cara destilasi uap dari tanaman yang segar
atau kering, sedangkan anggota yang lebih tinggi (C20 atau lebih) dapat diisolasi
dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut kemudian dipisahkan dan dimurnikan
dengan kristalisasi, distilasi dan kromatografi. Kebanyakan senyawa terpenoid
terdapat bebas dalam jaringan tanaman, tidak terikat dengan senyawa-senyawa
lain, meskipun ada juga yang ditemui dalam bentuk glikosida, ester dan beberapa
terikat dengan protein.
Senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai penanda suatu takson
tertentu. Seperti golongan Apiaceae dan Asterceae yang kaya dengan terpenoid
(Manczak et al., 2011). Berdasarkan penelitian Suzery et al. (2006), senyawa
metabolit yang melimpah pada purwoceng adalah terpenoid dalam bentuk
triterpen/ sterol dengan menggunakan pelarut n-heksan. Selain itu, lingkungan
yang berbeda juga akan mempengaruhi jenis metabolit sekunder yang dihasilkan
6
dalam satu spesies yang sama. Malikun (2011) melakukan penelitian terhadap
profil terpenoid pada organ vegetatif Brucea javanica (L.) yang terdapat di
Kalimantan Barat dan Yogyakarta. Dengan menggunakan GC-MS, didapatkan
peak yang berbeda antara sampel yang berasal dari Kalimantan Barat dan
Yogyakarta. Ini menunjukkan adanya profil terpenoid yang berbeda dalam satu
spesies karena perbedaan habitat.
Secara anatomi, metabolit sekunder yang diproduksi oleh suatu organ akan
ditampung dalam sel, kelenjar, ruang atau saluran sekretrori (Dickison, 2000).
Penelitian mengenai anatomi purwoceng masih terbatas publikasinya, sehingga
diperlukan studi mengenai anatomi tersebut dikaitkan dengan akumulasi terpenoid
yang terdapat pada organ vegetatif tanaman.
Penelitian ini akan mengkaji mengenai profil terpenoid pada P. pruatjan
yang tumbuh di dataran tinggi Dieng dan gunung Putri Jawa Barat, perbandingan
kandungan terpenoid pada organ vegetatifnya (daun dan akar), serta melihat
bagaimana struktur anatomi daun dan akar kedua aksesi purwoceng tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah profil terpenoid yang terdapat pada daun dan akar tanaman
purwoceng?
2. Bagaimanakah perbandingan profil terpenoid yang terdapat pada daun
dan akar tanaman purwoceng yang hidup pada dua habitat berbeda?
3. Bagaimanakah distribusi sel sekretori pada daun dan akar purwoceng?
7
4. Adakah korelasi antara distribusi sel sekretori dengan profil terpenoid
pada tanaman purwoceng?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kandungan terpenoid yang terdapat pada daun dan akar
tanaman purwoceng.
2. Mengetahui perbandingan profil terpenoid yang terdapat pada daun dan
akar dua aksesi purwoceng.
3. Mengetahui distribusi sel sekretori pada daun dan akar tanaman
purwoceng.
4. Mengetahui korelasi antara distribusi sel sekretori dan profil terpenoid
pada tanaman purwoceng.
D. Ruang Lingkup Penelitian
1.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun dan akar
tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb.) yang diambil dari
dataran tinggi Dieng dan gunung Putri Jawa Barat.
2.
Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut heksan
3.
Preparat anatomi dibuat secara awetan, organ yang diamati adalah daun
dan akar tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb.)
Download