APLIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI LAHAN GUNUNG DAN TEGAL DI PAMEKASAN PADA TANAMAN TEMBAKAU MADURA (Nicotiana tabacum) RINI HAPSARI* , TUTIK NURHIDAYATI1, KRISTANTI INDAH P.1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak Mikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara jamur di tanah dan akar tanaman. Mikoriza dapat bersimbiosis dengan 97% familia tanaman tingkat tinggi, salah satunya adalah tanaman tembakau (N. tabacum). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif tembakau Madura (Nicotiana tabacum) varietas Prancak-95 setelah diaplikasikan dengan mikoriza indigenous yang berasal dari lahan Gunung dan Tegal. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuan tersebut antara lain kontrol (V0), mikofer (V1) dan mikoriza indigenous (V2) dengan 2 unit penelitian yang dibedakan dari asal mikoriza indigenous, yaitu lahan Gunung dan lahan Tegal. Parameter yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun dan berat kering tanaman serta persentase infeksi mikoriza. Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh parameter tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan mikoriza indigenous tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tembakau Madura. Namun rata-rata pertumbuhan pada perlakuan dengan inokulasi mikoriza indigenous memiliki nilai lebih tinggi daripada kontrol. Kata Kunci ; Tembakau, Mikoriza Indigenous, Pertumbuhan Vegetatif Abstract Mycorrhiza is a mutualistic symbiosis between fungi in soil and plant roots. Mycorrhiza symbiosis to 97% with familia higher plants, one of which is tobacco plants (N. tabacum). The purpose of this study was to determine the vegetative growth of Madura tobacco (Nicotiana tabacum) varieties Prancak-95 after applied with indigenous mycorrhiza originating from Mount and Tegal lands. This research used Completely Randomized Design (CRD) with 3 treatments and 4 replications. The three treatments include control (V0), mycofer (V1) and indigenous mycorrhiza (V2) with 2 units of study as distinguished from the indigenous mycorrhiza origin, namely Mount and Tegal lands. Parameters measured included plant height, leaf number, leaf area and plant dry weight and percent of mycorrhiza infection. Based on the observations on all these parameters showed that treatment with indigenous mycorrhiza didn’t have significant effect to increasing the vegetative growth of Madura’s tobacco. However, the average growth of the indigenous mycorrhizal inoculation treatments had higher scores than controls. Key Words ; Tobacco, Indigenous Mycorrhiza, Vegetative Growth *Coresponding Author Phone: 85730431425 1 Alamat Sekarang : Jurusan Biologi FMIPA ITS 1. Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditi tanaman yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia. Peran tembakau bagi masyarakat cukup besar, hal ini disebabkan aktivitas produksi dan pemasarannya yang melibatkan peran sejumlah masyarakat. Tanaman tembakau tersebar di seluruh Nusantara dan mempunyai kegunaan yang beragam antara lain sebagai biopestisida dan insektisida, pengawet bambu petung, pembersih luka dan terutama sebagai bahan baku pembuatan rokok (Primasari, 2010). Salah satu tanaman tembakau lokal yang berkembang di Indonesia adalah tembakau Madura. Tembakau Madura mempunyai mutu spesifik yaitu berupa aroma yang khas, sehingga tembakau ini sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama rokok maupun sebagai racikan atau campuran rokok kretek untuk meningkatkan mutu (Istiana, 2007). Salah satu Kabupaten di pulau Madura yang memiliki areal perkebunan tembakau paling luas di Jawa Timur adalah kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pemekasan memiliki luas daratan 792,30 km2, namun hanya 15% yang dapat dikelola sebagai lahan pertanian. Selebihnya berupa lahan kering. Untuk memenuhi kebutuhan tembakau Madura, dewasa ini banyak masyarakat Madura yang memanfaatkan lahan kering sebagai lahan pertanian. Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering di Madura bertipe iklim kering karena memiliki curah hujan yang relatif rendah (≤1500 mm/tahun) (Nursyamsi, 2004). Kondisi ini sesuai dengan pertumbuhan tembakau yang membutuhkan ±500 mm air dalam fase hidupnya (Kurnia, 2004). Namun, pengembangan pertanian di lahan kering seringkali menghadapi berbagai kendala antara lain miskin unsur hara esensial seperti N, P, K, Ca dan nilai tukar kation (KTK) rendah sehingga unsur hara mudah lepas dan tercuci dimana bersamaan dengan itu terjadi peningkatan hara toksik seperti Al, Fe dan Mn (Suterisno, 2010). Salah satu upaya yang dilakukan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas lahan kering dan produksi tembakau adalah dengan pemupukan. Pemupukan merupakan kegiatan pemeliharaan tanaman yang bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah melalui penyediaan hara dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk yang biasa digunakan untuk tembakau Madura yaitu pupuk anorganik atau pupuk kimia (ZA, ZK, NPK, SP-36) dan pupuk organik (pupuk kandang). Namun, penggunaan pupuk kimia pada lahan dapat merusak struktur tanah (tanah menjadi keras) (Santoso dkk., 2004) serta kurang dapat menstimulasi peningkatan aktivitas mikrobia tanah yang dapat melepaskan musilas-musilas polisakarida sebagai pembentuk agregat mikro dan hifa atau miselia fungi yang dapat membentuk agregat makro yang mana hal ini dapat memperbaiki struktur tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh pemakaian pupuk kimia secara terusmenerus dapat menyebabkan lahan menjadi lahan kritis, sehingga mengakibatkan penurunan produksi tembakau Madura. Berdasarkan penelitian, produksi tembakau Madura mengalami penurunan dari 33.325 ton/ha menjadi 25.052 ton/ha pada tahun 1997 hingga 2008 (Murdiyati dkk., 2009). Berkaitan dengan perbaikan struktur tanah dan peningkatan produksi tembakau tersebut, salah satu alternatif pupuk yang dapat digunakan adalah pupuk hayati. Pupuk hayati merupakan mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman dalam menyediakan unsur hara tertentu (Simanungkalit, 2001). Mikoriza merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai pupuk hayati. Mikoriza adalah asosiasi mutualisme antara cendawan di tanah dengan akar tanaman. (Zarate, J.T. dan R.E. Dela Cruz, 1995). Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan dari beberapa tanaman, seperti pada tanaman cabai (Purnomo dkk., 2008), bibit panili (Tirta, 2006), tembakau transgenik (Janouskova dkk., 2005) dan sebagainya. Selain itu senyawa glomalin yang dikeluarkan mikoriza serta hifa pada cendawan mikoriza terbukti mampu memperbaiki agregat tanah (Buscot dan Varma, 2005). Mikoriza indigenous yang diperoleh dari perakaran tembakau Madura diambil pada lokasi yang berbeda. Lokasi yang berbeda akan mempengaruhi perkembangan mikoriza indigenous yang disebabkan adanya perbedaan faktor biotik dan abiotik, seperti suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik, intensitas cahaya, ketersediaan hara, logam berat dan fungisida. (Zarate, J.T. dan R.E. Dela Cruz, 1995). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yang dkk. (2010) yang membuktikan bahwa ketinggian berbeda dapat mempengaruhi tingkat kolonisasi dan persentase infeksi mikoriza. Oleh karenany penelitian ini membahas mengnai pertumbuhan vegetatif tembakau Madura (Nicotiana tabacum) setelah diaplikasikan dengan mikoriza indigenous yang berasal dari lahan gunung dan tegal. 2. Metodologi Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 hingga Oktober 2011 di Greenhouse dan Laboratorium Botani, Jurusan Biologi ITS Surabaya dan Biologi ITS Surabaya. Sedangkan pengambilan sampel dilakukan di desa Orai, Pamekasan Madura (Lahan Gunung) untuk titik pertama dan desa Bajur, Pamekasan Madura (Lahan Tegal) sebagai titik kedua. Untuk perbanyakan mikoriza, sampel tanah yang telah diambil, dimasukkan ke dalam polybag. Benih jagung yang akan ditanam direndam terlebih dahulu selama ±1-2 jam. Pengkulturan mikoriza pada benih jagung dilakukan selama ±3 bulan. Bulan pertama dan kedua dilakukan pemeliharaan, sedangkan bulan ketiga dilakukan stressing terhadap tanaman jagung yang telah tumbuh. Tahap selanjutnya adalah stressing. Pada tahap ini, dilakukan penghentian penyiraman selama 1 bulan (pada bulan ketiga pengkulturan) dan topping. Topping atau pemotongan bagian atas tanaman inang dilakukan dengan hanya menyisakan batang bawah ± 1/4nya (BPTH Jawa dan Madura, 2006). Uji viabilitas inokulum dilakukan dengan seri pengenceran kelipatan 10. Inokulum mikoriza diambil sebanyak 100 gr dan diletakkan dalam polibag. Lalu di atasnya ditumbuhkan biji jagung sebagai inang. Hal ini merupakan inokulum murni (100). Seri pengenceran 10-1, diambil10 gr inokulum dan dicampurkan dengan 90 gr tanah steril, lalu di atasnya ditumbuhkan tanaman inang jagung. Seri pengenceran 102, diambil 10 gr dari inokulum pengenceran 10-1 dan dicampurkan dengan 90 gr tanah steril, di atasnya ditumbuhkan tanaman jagung. Seri pengenceran dilakukan hingga 10-10. Setelah ±1 bulan, tanaman diambil dari media tanam dan dibersihkan perakarannya dari tanah. Selanjutnya dilakukan pengamatan persentase infeksi akar dengan menggunakan mikroskop pada tiap pengenceran (Budi, 1999 dalam Fauzi, 2009). Setelah uji viabilitas, maka langkah selanjutnya adalah menghitung persentase infeksi pada akar jagung. Akar diambil, dicuci bersih, lalu dipotong-potong ±1 cm. Potongan akar tersebut lalu disimpan dalam FAA sebelum pengecatan. Lalu direndam dalam KOH dan dipanaskan dengan autoklaf model YX-280D selama ±15-20 menit dengan suhu 1210C dan tekanan 1 atm. Setelah itu dicuci dengan air. Setelah pencucian, akar diputihkan dengan hydrogen peroksida alkali hingga berwarna keputihan dan kembali dicuci dengan air. Langkah selanjutnya yaitu akar diasamkan dengan HCl 1% dan direndam selama ±1 menit dalam tryphan blue untuk pewarnaan. Kemudian potongan akar tersebut dimasukkan dalam botol fial yang berisi laktogliserol dan dipanaskan selama ±15 menit dengan suhu 1210C. Setelah itu, diletakkan pada gelas objek sebanyak 10 potong dan diamati dibawah mikroskop binokuler. Media tanam berupa tanah yang disterilkan dengan autoklaf model YX-280D (suhu 1210C) selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah diautoklaf, tanah dimasukkan dalam polybag masing-masing sebanyak 5 kg. Kemudian ditambah pupuk NPK (Nitrophonska) sebagai pupuk dasar dengan cara ditempatkan di sisi kanan dan kiri lubang tanam kemudian ditutup tanah. Dosis yang digunakan adalah 5 gram per polybag yang disesuaikan dengan pemupukan dasar tanaman tembakau di Madura. Pemupukan dasar dilakukan 3-5 hari sebelum tanam. Bibit tembakau diperoleh dari Pamekasan, Madura. Bibit tersebut berumur ±40 hari dan varietas yang digunakan adalah Prancak-95. Inokulasi mikoriza (mikofer maupun mikoriza indigenous) dilakukan setelah pembibitan (setelah ± 40 hari atau tinggi sudah mencapai 10-15 cm) (Kaminska, 2010). Mikofer yang digunakan adalah Glomus aggregatum yang diperoleh dari BIOTROP, Bogor. Metode inokulasi yang digunakan adalah metode lubang. Caranya yaitu dengan membuat lubang tanam, kemudian mengambil tanahnya dan dicampur dengan mikoriza indigenous. Dosis yang digunakan untuk mikofer adalah 2 gr/polybag dengan 50 spora/gr, sedangkan untuk mikoriza indigenous adalah : 28 gr/polybag dengan 3 spora/gr (Zulaikha dan Gunawan, 2006). Setelah itu, dilakukan penanaman bibit tembakau pada lubang tanam tersebut. Pemeliharaan dilakukan selama ± 42 hari dengan cara penyiraman 2 hari sekali dan pemeliharaan terhadap gulma. 3. Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Tanaman Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman tembakau dalam penelitian ini adalah adalah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun dan berat kering tanaman. Pertambahan tinggi tanaman disebabkan oleh adanya meristem ujung (meristem apikal) yang dapat menghasilkan sel-sel baru pada ujung akar ataupun batang. Sedangkan peningkatan jumlah daun dan luas daun dipengaruhi oleh adanya meristem interkalar dan meristem lateral. Meristem interkalar merupakan meristem yang terdapat diantara jaringan yang berdiferensiasi. Meristem lateral menghasilkan sel-sel baru yang dapat memperluas lebar ataupun diameter suatu organ (Gardner dkk., 1991). Mengenai data pertumbuhan vegetatif tanaman tembakau (N.tabacum) pada umur ±42 hari disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Tinggi (cm) rata-rata N.tabacum Lokasi Perlakuan Awal Umur Selisih 42 hr 28.5 31.9 31.75 26 27.3 29.18 V0 9.7 18.8 V1 13.7 18.2 V2 9.7 22.05 V0 9.8 16.2 Lahan V1 9.5 17.8 Tegal V2 10.7 18.48 Keterangan : Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak berpengaruh nyata Lahan Gunung Tabel 5. Rata-rata Jumlah Daun (helai) N.tabacum Umur Lokasi Perlakuan Awal Selisih 42 hr V0 2 4 2 Lahan V1 2 4.3 2.3 Gunung V2 2 4.5 2.5 V0 2 3 1 Lahan V1 1.75 4.75 3 Tegal V2 1.75 3.75 2 Keterangan : Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak berpengaruh nyata Tabel 6. Rata-rata Luas Daun (cm2) N.tabacum Lahan Lahan Perlakuan Gunung Tegal V0 38.1 25.45 V1 49.31 31.96 V2 57.72 36.07 Keterangan : Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak berpengaruh nyata Tabel 7. Rata-rata Berat Kering (gram) N.tabacum Lahan Lahan Perlakuan Gunung Tegal V0 0.835 0.56 V1 1.157 0.845 V2 1.2 0.79 Keterangan : Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak berpengaruh nyata a b Gambar 9. Grafik Perbandingan Antar Perlakuan pada Parameter Pertumbuhan N.tabacum (a) Lahan Gunung, (b) Lahan Tegal Berdasarkan uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tembakau secara umum. Namun, bila melihat data dan grafik di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman dengan penambahan mikofer dan mikoriza indigenous cenderung lebih tinggi bila dibandingkan tanpa penambahan mikofer dan mikoriza indigenous (kontrol). Selain itu, bila dikaitkan dengan hasil infeksi akar juga menunjukkan nilai ≥70% untuk perlakuan V1 dan V2 (dengan penambahan mikoriza) pada lahan gunung (data pada sub bab 4.3). Hal tersebut bisa diartikan bahwa terjadi kolonisasi perakaran tembakau oleh mikoriza. Berdasarkan teori, seharusnya mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui peningkatan penyerapan hara dan air, sedangkan secara tidak langsung melalui perbaikan sifat fisika tanah. Namun, ada beberapa hal lain yang menyebabkan tidak berpengaruhnya mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman tembakau, meskipun kolonisasi akar ≥70%, diantaranya adalah asal dari bibit tembakau yang akan digunakan. Bibit tembakau yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lahan alami yang ditanam pada bedengan. Pembibitan pada lahan alami menyebabkan adanya kemungkinan mikoriza endogen yang menginfeksi bibit tembakau. Hal ini menyebabkan penambahan mikoriza eksogen menjadi kurang efektif. Ketidakefektifan mikoriza eksogen disebabkan karena mikoriza endogen telah menginfeksi sel-sel pada perakaran tanaman inang terlebih dahulu, sehingga lebih adaptif terhadap tanaman inang daripada mikoriza eksogen. Selain itu, jika dikaitkan dengan mekanisme infeksi mikoriza, mikoriza endogen diduga telah mengalami fase perluasan infeksi mikoriza pada saat penanaman. Sedangkan mikoriza eksogen masih dalam tahap pra infeksi (secara lengkap akan dibahas pada sub bab 4.3). Hal ini menyebabkan kemungkinan mikoriza eksogen untuk menginfeksi perakaran tanaman inang menjadi lebih kecil. Selain adanya mikoriza endogen, bibit yang berasal dari lahan alami kemungkinan juga membawa mikroorganisme lain,c baik yang bersifat b menguntungkan maupun yang merugikan bagi tanaman. Mikroorganisme yang merugikan bagi tanaman (pathogen) pada umumnya siklus pertumbuhannya lebih cepat dan memiliki kemampuan menyerap lebih banyak bahan organik serta nutrisi dari tanaman inang, sehingga menyebabkan peran mikoriza tidak optimal. Selain itu, pathogen tersebut juga menyebabkan timbulnya gejala penyakit pada tanaman inang. Berdasarkan pengamatan, diduga terdapat 2 pathogen yang menyerang tanaman tembakau saat penelitian. Berdasarkan literatur dengan melihat gejalagejala yang ada, penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan Phytoptora nicotianae dan Alternaria sp. Gejala-gejala yang disebabkan oleh Phytoptora nicotianae antara lain terjadinya pembusukan di leher akar. Bagian yang busuk tersebut berwarna cokelat kehitaman dan semua daun tanaman yang terserang menjadi layu secara mendadak. Jika pangkal batang dibelah, empulurnya tampak mengering. Jamur ini mempunyai benang-benang yang tidak berwarna dan tidak bersekat sehingga mudah menjalar di dalam jaringan tanaman yang sakit. Apalagi bila jaringan tersebut dalam kondisi yang lembab (Tim penulis PS., 1993). Berdasarkan Buscot dan Varma, 2005 Phytoptora nicotianae bersifat antagonis terhadap Glomus mosseae, sehingga dapat terjadi kompetisi antara kedua mikroorganisme tersebut bila terdapat pada area yang sama. Berikut adalah gambar Nicotiana tabacum yang terserang Phytoptora nicotianae. a b c d Gambar 10. (a.b.c) Gejala Penyakit N.tabacum oleh Phytoptora nicotianae (Lahan Gunung dan Lahan Tegal), (d) Penyakit N.tabacum oleh P.nicotianae dari Literatur Gejala yang tampak karena Alternaria sp. antara lain daun terdapat bercak-bercak berwarna cokelat muda atau tua. Tepi bercak berwarna kuning dengan cincin-cincin yang halus. Di dalamnya terdiri atas lingkaran bergelang-gelang yang berasal dari tenunan-tenunan yang telah mati (Sudarmo,1987). Jamur tersebut memiliki konidia yang memencar dan pada sekatsekatnya (Tim penulis PS.,1993). Berikut gambar Nicotiana tabacum yang terserang Alternaria sp. a b c Gambar 12. (a) Penyakit N.tabacum oleh Alternaria sp. (b) Penyakit N.tabacum oleh Alternaria sp. dari literatur, (c) N.tabacum yang tidak Terkena Penyakit Selain faktor di atas, faktor lain yang menyebabkan penambahan mikoriza tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tembakau adalah mikoriza lebih berperan dalam pemecahan fosfat dibandingkan dengan perluasan penyerapan hara pada tanaman inang. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji tanah sebelum dan sesudah perlakuan dimana hara P meningkat sangat signifikan. Kondisi ini berbeda dengan hara N dan K yang mana perubahan sebelum dan sesudah perlakuan tidak terlalu signifikan. Bila dikaitkan dengan pH tanah, lahan gunung memiliki pH 6.4 dan lahan tegal memiliki pH 6.3 dimana ini menunjukkan bahwa tanah bersifat sedikit asam. Oleh karenanya, diduga pada lahan tersebut P terdapat dalam ikatan dengan Fe dan Al membentuk ferofosfat atau aluminofosfat, sehingga berada dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman (Djajadi dkk., 2002). Mikoriza mampu mengeluarkan enzim fosfatase yang dapat memecah ikatan fosfat tersebut sehingga menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, dalam hal ini mikoriza lebih berperan dalam pemecahan fosfat dan kurang optimal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Terkait dengan hara P di tanah, kebutuhan tembakau untuk hara P adalah 1220 kg/ha atau 8.4-14 gr/tanaman pada jarak tanam 100x70 cm. Kebutuhan P ini lebih rendah daripada kebutuhan akan hara N dan K yaitu 110-140 kg/ha atau 77-98 gr/tanaman untuk K dan 60-100 kg/ha atau 42-70 gr/tanaman untuk hara N (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Kondisi tersebut menyebabkan adanya P tersedia yang cukup banyak pada tanah setelah perlakuan dibandingkan dengan hara N dan K seperti yang tercantum pada table 4.5. 4.2 Sifat Fisika Tanah Sifat tanah yang diuji pada penelitian ini adalah agregat. Agregat merupakan partikel tanah yang terikat kuat satu sama lain sehingga menjadi suatu bongkahan. Susunan agregat tanah memiliki pengaruh utama terhadap aerasi, ketersediaan air dan kekuatan tanah, sehingga berpengaruh juga terhadap perkembangan mikroorganisme tanah serta pertumbuhan tanaman. Terkait dengan hal tersebut, pada penelitian ini agregat pada lahan Gunung mengalami peningkatan sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh peran dari mikoriza yang mampu memperbaiki agregat tanah dengan cara mengeluarkan senyawa glomalin yang dapat mengikat partikel-partikel tanah sehingga dapat membentuk agregat mikro (ukuran < 250 iM). Selain itu, hifa mikoriza terbukti mampu memperbaiki agregat tanah dengan cara membentuk agregat makro (ukuran > 250 iM) (Buscot dan Varma, 2005). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mikoriza ikut berperan dalam perbaikan tanah dan secara tidak langsung juga ikut membantu pertumbuhan tembakau. Namun peningkatan agregat ini belum mampu meningkatkan pertumbuhan tembakau karena perubahannya yang sangat kecil, sehingga pengaruh terhadap pertumbuhan tembakau juga belum terlihat. Berikut hasil uji tanah sebelum dan setelah perlakuan pada lahan Gunung dan lahan Tegal. Berbeda dengan lahan gunung, agregat tanah lahan tegal mengalami penurunan sebelum dan sesudah perlakuan. Terjadinya penurunan agregat pada lahan tegal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketersediaan bahan organik. Bahan organik disamping berperan penting sebagai sumber hara tanaman , namun juga merupakan bahan penstabil tanah. Terkait dengan hal tersebut, bahan organik dapat menjadi senyawa perekat partikel-partikel tanah sehingga dapat membentuk agregat. Organisme ataupun mikroorganisme tanah dapat menyebabkan penurunan stabilitas agregat melalui dekomposisi bahan perekatnya, yaitu bahan organik (Handayanto dan Hairiah, 2007). Bahan organik yang terkandung pada tanah di lahan tegal sangat rendah yaitu 0.83%. Terkait dengan hal tersebut, adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik dalam tanah menyebabkan bahan organik yang juga merupakan bahan perekat partikel tanah akan menurun (Syukur dan Harsono, 2008). Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan agregat. Selain faktor di atas, faktor lainnya yang mempengaruhi agregat tanah adalah tekstur tanah. Tanah lahan gunung didominasi oleh debu dan liat, sedangkan tanah pada lahan tegal didominasi oleh komponen pasir. Terkait dengan hal tersebut, Sutedjo dan Kartasapoetra (2005) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik akan terhambat pada tanah bertekstur halus (tanah liat). Hal ini disebabkan karena tanah yang bertekstur demikian memiliki kemampuan menimbun dan menjerap bahan organik lebih tinggi. Sebaliknya, tanah pada lahan tegal yang didominasi oleh pasir, proses dekomposisi bahan organik akan lebih mudah terjadi dan hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan penurunan agregat. 4.3 Persentase (%)Infeksi Mikoriza Tingkat kolonisasi akar merupakan prasyarat mikoriza arbuskula pada tanaman inang. Tingkat kolonisasi di lapangan tergantung pada tanaman inang, kondisi tanah serta spesies Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA). Persentase kolonisasi juga tergantung kepada kepadatan akar tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa tingkat kolonisasi memberikan gambaran seberapa besar pengaruh luar terhadap hubungan akar dan MVA (Zarate J.T. and R.E. Dela Cruz, 1995). Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung banyaknya bagian akar yang bermikoriza dan yang tidak. Proporsi mikoriza adalah jumlah total bagian mikoriza dibagi jumlah total akar yang diamati, dikalikan 100%. Mengenai data persentase infeksi mikoriza (lahan gunung dan lahan tegal) pada N.tabacum umur ±42 hari disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 10. Persentase (%) Infeksi Mikoriza Perlakuan Lahan Gunung Lahan Tegal V0 55 40 V1 76.67 67.5 V2 80 70 Keterangan : Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak berpengaruh nyata a b Gambar 13. Grafik Persentase (%) Infeksi Mikoriza (a) Lahan Gunung, (b) Lahan Tegal Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase infeksi mikoriza baik pada lahan gunung maupun lahan tegal. Hal ini terjadi karena pada kontrol juga menunjukkan adanya infeksi mikoriza meskipun tidak ada penambahan mikoriza saat perlakuan, sehingga tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara kontrol dengan perlakuan mikoriza. Adanya infeksi mikoriza pada kontrol disebabkan karena pembibitan tembakau dilakukan pada lahan alami di Pamekasan. Pembibitan pada lahan alami menyebabkan adanya kemungkinan mikoriza endogen yang menginfeksi bibit tembakau. Mikoriza endogen tersebut menginfeksi perakaran tanaman tembakau terlebih dahulu sehingga diduga telah mengalami fase perluasan infeksi pada saat penanaman. Sedangkan mikoriza eksogen masih dalam tahap pra infeksi. Hal ini menyebabkan mikoriza endogen menjadi lebih adaptif terhadap tanaman, sehingga akan mempengaruhi proses infeksi mikoriza eksogen. Terkait dengan infeksi mikoriza endogen dan eksogen di atas, Talanca dan Adnan (2005) menyatakan infeksi mikoriza pada akar tanaman terjadi melalui beberapa tahap, antara lain : tahap pra infeksi, dimana spora dari mikoriza berkecambah membentuk appressoria yang akan digunakan sebagai alat pada tahap infeksi. Selanjutnya adalah tahap pasca infeksi dan perluasan infeksi. Pada tahap ini, hifa tumbuh secara interselluler, arbuskula terbentuk didalam sel saat setelah penetrasi. Arbuskula hidup hanya 4-15 hari, kemudian mengalami degenerasi dan pemendekan pada sel inang. Pada saat pembentukan arbuskula, beberapa mikoriza membentuk vesikula pada bagian interselluler, dimana vesikula merupakan pembengkakan pada bagian apikal atau interkalar pada hifa. Selanjutnya tahap yang terakhir adalah pertumbuhan hifa keluar dari akar. Pada fase ini, mikoriza membentuk hifa eksternal yang berfungsi dalam penyerapan larutan nutrisi dalam tanah dan alat transportasi nutrisi ke akar. Hifa eksternal tidak bersepta dan membentuk percabangan dikotom. Selain faktor mikoriza endogen di atas, perbedaan persentase infeksi yang tidak signifikan dengan kontrol juga disebabkan karena waktu inokulasi yang kurang tepat. Waktu inokulasi yang kurang tepat ini bisa berarti kondisi tanaman yang tidak sehat. Kemungkinan bibit tanaman sudah membawa penyakit pada perakarannya. Berdasarkan literatur, seharusnya mikoriza mampu berperan sebagai pengendali hayati berbagai macam penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa mekanisme antara lain perbaikan gizi yakni terjadinya peningkatan serapan hara sehingga dapat menghasilkan tanaman yang lebih baik dan mampu melawan serta toleran terhadap penyakit. Selain itu, mikoriza dapat menyebabkan perubahan morfologi serta fisiologi tanaman yang dapat menekan perkembangan pathogen. Namun, berdasarkan Liderman (1996) dalam Talanca dan Adnan (2005) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mikoriza sebagi pengendali hayati adalah waktu dan luasnya pembentukan mikoriza. Hal ini berarti bahwa mikoriza mampu menekan penyakit akar bila mikoriza sudah terbentuk sebelum invasi pathogen. Pada penelitian ini, diduga bibit tembakau sudah membawa penyakit dari lahan sebelum dilakukan penambahan mikoriza yang dilakukan saat penanaman. Hal ini menyebabkan mikoriza tidak optimum dalam perannya sebagai pengendali hayati. Selain itu, tidak optimalnya infeksi mikoriza dapat juga disebabkan karena kondisi perakaran yang tidak baik. Bibit tembakau mengalami pemindahan dari lahan alami ke polybag dengan cara dicabut. Hal ini tentunya akan mempengaruhi morfologi dari akar tembakau karena ada sebagian akar maupun bulu-bulu akar yang masih tertinggal dalam tanah. Hal ini dapat menghambat terjadinya infeksi akar oleh mikoriza eksogen saat inokulasi. Berdasarkan Talanca dan Adnan (2005), mikoriza merupakan cendawan obligat dimana kelangsungan hidupnya bergantung pada asosiasi dengan akar tanaman. Spora berkecambah dengan membentuk apressoria sebagai alat infeksi yang mana infeksi tersebut biasanya terjadi pada zone elongation. Proses ini dipengaruhi oleh anatomi akar dan umur tanaman yang terinfeksi. Faktor selain bibit yang dapat mempengaruhi persentase infeksi mikoriza adalah faktor lingkungan antara lain kesuburan tanah dan pH. Aktifitas dan perkembangan mikoriza sangat dipengaruhi oleh tingkat pemupukan, terutama pemupukan fosfat. Penambahan pupuk fosfat dapat menurunkan aktifitas mikoriza dan pengaruh positifnya terhadap pertumbuhan tanaman, karena pupuk mempunyai pengaruh yang lebih cepat terhadap pertumbuhan daripada infeksi mikoriza. Media yang subur dan meningkatnya unsur P dalam tanah juga dapat menurunkan aktivitas dan infeksi mikoriza, bahkan populasinya akan berkurang karena sebagian mati (White, 1989 dalam Zulaikha dan Gunawan, 2006). Faktor lingkungan lainnya yang diduga menyebabkan mikoriza tidak berpengaruh terhadap persentase infeksi mikoriza adalah pH, dimana beberapa spesies mikoriza kolonisasinya berkurang pada pH < 7. Pada penelitian ini pH tanah mencapai 6.4 dan 6.3 yang berarti sedikit asam. Berdasarkan Buscot dan Varma, 2005 menunjukkan bahwa spesies mikoriza Glomus sp. mencapai perkembangan dan kolonisasi maksimum pada pH 7-10.5. Namun, meskipun penambahan mikoriza tidak berpengaruh terhadap persentase infeksi, bila dibandingkan antara ketiga perlakuan, persentase infeksi mikoriza yang tertinggi terdapat pada pemberian mikoriza indigenous, selanjutnya mikofer dan yang terendah adalah pada kontrol. Mikoriza indigenous merupakan mikoriza alami yang didapat atau diisolasi dari alam. Penggunaan mikoriza indigenous memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mikofer sehingga mikoriza indigenous tersebut dapat menginfeksi akar tanaman tembakau dengan lebih mudah dan kompatibel. Hal ini sesuai dengan jurnal oleh Enkhtuya et al. (2000) yang menyatakan bahwa isolat mikoriza indigenous terbukti lebih mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan mikoriza non-indigenous yang disebabkan karena tingkat infeksinya yang lebih tinggi. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa : 1. Inokulasi mikoriza indigenous baik yang berasal dari lahan Gunung maupun lahan Tegal tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tembakau Madura. Namun rata-rata pertumbuhan pada perlakuan dengan inokulasi mikoriza indigenous memiliki nilai lebih tinggi daripada kontrol. 2. Agregat tanah pada lahan gunung mengalami peningkatan sebelum dan setelah perlakuan yang disebabkan adanya pengaruh mikoriza. DAFTAR PUSTAKA Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB : Bogor Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. 2006. Booklet Teknik Produksi Bibit Bermikoriza. BPTH Jawa dan Madura : Jawa Timur Basuki, S., Suwarso, A.Herwati, S.Yulaikah. 1999. Biologi dan Morfologi Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Brundrett, M. 2004. Diversity and Classification of Mycorrhizal Associations. Biol.Rev. 79:473–495 Budi, S. 1999. Pengujian Kualitas Inokulum CMA. Disampaikan pada Workshop Mikoriza pada Tanaman Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Bogor 27 September-2 Oktober 1999 Buscot, F. dan A.Varma. 2005. Microorganisms in Soils : Roles in Genesis and Functions. Springer Berlin Heidelberg : New York Djajadi, M.Sholeh, N.Sudibyo. 2002. Pengaruh Pupuk Organik dan Anorganik ZA dan SP 36 terhadap Hasil dan Mutu Tembakau Temanggung pada Tanah Andisol. Jurnal Littri Vol.8 No.1 Dewi, A.R.I. 2007. Peran, Prospek dan Kendala Dalam Pemanfaatan Endomikoriza. Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi, UNPAD : Jatinangor Enkhtuya, B., J.Rydlova, dan M.Vosatka. 2000. Effectiveness of Indigenous and NonIndigenous Isolates of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Soils from Degraded Ecosystems and Man-Made Habitats. Applied Soil Ecology 14: 201– 211 Fauzi, E. 2009. Studi Ketahanan Hidup Tanaman Jagung Varietas Jaya 2 pada Media Lumpur Sidoarjo, Pasir, Pupuk Organik, Mikoriza dan Aktivitas Reduktase Daun. Skripsi. Program Studi Biologi, FMIPA, ITS : Surabaya Gardner, F.P, R.B.Pearce, R.L.Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press : Jakarta Goldsworthy dan N.M.Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. : Yogyakarta Handayanto, A. dan Hairiah. 2007. Biologi Tanah, landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura : Yogyakarta Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan, Yayasan Sarana Wana Jaya : Jakarta Hidayat, A. 2004. Memilih Lokasi Budidaya Tanaman. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK. Dirktorat Pendidikan menengah Kejuran : Jakarta Istiana, H. 2007. Cara Aplikasi Pupuk Nitrogen dan Pengaruhnya pada Tanaman Tembakau Madura. Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 2 Janouskova, M, D.Pavlikova, T.Macek, dan M.Vosatka. 2005. Influence of Arbuscular Mycorrhiza on the Growth and Cadmium Uptake of Tobacco with Inserted Metallothionein geneM. Applied Soil Ecology 29 : 209–214 Kaminska, M. 2010. Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi Inoculation on Aster Yellows Phytoplasma-Infected Tobacco Plants. Scientia Horticulturae 125 : 500 – 503 Killham, K, 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Kurnia, U. 2004. Prospek Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang pertanian 23 (4) Laiho, O. 1976. Further studies on The Ectendotrophic Mycorrhizae. Acta Forest. Fenn. 79:1-35 Liderman, R.G. 1988. Mychorrizal Interaction with the Rhizosphere Microflora the Mychorrizosphere Effect. Phytopathology. 78(3):366-371 Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of Funicides on Mycorrhizal Colonization and Growht of Anion. Plant and Soil 78: 147-150 Martodireso, S. dan W.A.Suryanto. 2001. Terobosan Teknologi Pemupukan dalam Era Pertanian Organik. Kanisius : Yogyakarta Mikola, P . 1965. Studies on the Ectendotrophic Mycorrhizae of Pine. Acta Forest. Fenn. 79:1-56 Mosse, S. 1981. Vesicular Mycorizarescarh for Agriculture. Ress. Bull Arbuscular Tropical Santosa, K.E. 2007. Pemanfaatan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) Untuk Pewarnaan Kain Sutera dengan Mordan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia Swingle) Diterapkan pada Lenan Rumah Tangga. Skripsi. Jurusan Teknologi Jasa Dan Produksi, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang : Semarang Murdiyati, A.S, A.Herwati dan Suwarso. 2009. Pengujian Efektivitas Penggunaan Pupuk ZK terhadap Hasil dan Mutu Tembakau Madura. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(1) Santoso, B, F.Haryanti, S.A.Kadarsih. 2004. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Serat Tiga Klon Rami di Lahan Aluvial Malang. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat : Malang Nuhamara, S.T., 1994. Peranan Mikoriza untuk Reklamasi Lahan Kritis. Program Pelatihan Biologi dan Bioteknologi Mikoriza Simanungkalit, R.D.M., D.A.Suriadikarta, R.Saraswati, D.Setyorini, dan W.Hartatik. 2001. Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia : Suatu Pendekatan Terpadu. Buletin AgroBio 4(2):56-61 Nursyamsi, D. 2004. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah di Lahan Kering. Makalah Pribadi Falsafah Sain. Institut Pertanian Bogor : Bogor Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang Sesuai Kaidah Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana, IPB : Bogor Primasari, N.L. 2010. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Indol Acetic Acid (IAA) dan Kinetin pada Kultur jaringan Tembakau (N. tabacum var. Prancak N-2). Skripsi. Program Studi Biologi ITS : Surabaya Purnomo, W.D, B.S Purwoko, S.Yahya, S.Sujiprihati, I.Mansur, dan Amisnaipa. 2008. Tanggap Pertumbuhan dan Hasil Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Tanah Ultisol. Bul. Agron. (36) (3) 229 – 235 Rachman, A., Machfudz, H.Istiana. 1999. Teknik Budidaya Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Simangunsong, A.S. 2006. Pengaruh Pemberian Berbagai MVA dan Pupuk Kandang Ayam pada Tanaman Tembakau Deli terhadap Serapan P dan Pertumbuhan di Tanah Inceptisol Sampali. Skripsi. Departemen Ilmu tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara : Sumatra Utara Simbolon, M.N. 2007. Respon Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum) pada Beberapa Tingkat Pemberian Air dengan pH yang Berbeda. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara : Sumatra Utara Sitompul, S.M. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press : Yogyakarta Smith, S.E. dan D.J.Read. 1997. VesicularArbuscular Mycorrhizas: Growth and Carbon Economy of VA Mycorrhizal Plants in Mycorrhizal Symbiosis. 2 nd ed. New York, Acad. Press. p.105-125 Steenis, V. 2005. Flora untuk Sekolah di Indonesia. PT. Pradnya Paramita : Jakarta Sudarmo, S. 1987. Tembakau, Pengendalian Hama dan Penyakit. Kanisius : Yogyakarta Susilowati, Y.E. 2006. Identifikasi Nikotin Dari Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) Kering dan Uji Efektivitas Ekstrak Daun Tembakau sebagai Insektisida Penggerek Batang Padi (Scirpophaga innonata). Skripsi. FMIPA, Universitas Negeri Semarang : Semarang Biodiversitas, Volume 7, Nomor 2 Halaman: 171-174 White, R.E. 1989. Introduction to the Principles and practice of soil sciences. Blackwell Scientific Publication Oxford Yang, F.Y., G.Z.Li, D.E.Zhang, P.Christie, X.l.li, J.P.Gai. 2010. Geographical and Plant Genotype Effects on the Formation of Arbuscular Mycorrhiza in Avena sativa and Avena nuda at Different Soil Depths. Biol Fertil Soils 46 :435-443 Sutedjo, M.M. dan A.G.Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. PT.Rineka Cipta : Jakarta Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz. 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop Spec. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae Publ. No56 : 131-137 Suterisno. 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Berbagai Galur terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L) pada Lahan Kering Masam. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Palembang : Palembang Zulaikha, S. dan Gunawan, 2006. Serapan Fosfat dan Respon Fisiologis Tanaman Cabai Merah Cultivar Hot Beauty terhadap Mikoriza dan Pupuk Fosfat PadaTanah Ultisol. Bioscientiae Volume 3, Nomor 2 : Halaman 83-92 Syukur A. dan Harsono. 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan NPK terhadap Beberapa Sifat Kimia dan Fisika Tanah Pasir Pantai Samas Bantul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No 2. p: 138-145 Talanca, A.H dan A.M.Adnan. 2005. Mikoriza dan Manfaatnya pada Tanaman.. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI, ISBN : 979-95025-6-7 : Sulawesi Selatan Tim Penulis PS. 1993. Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran tembakau. Penebar Swadaya : Jakarta Tirta, I Gede. 2006. Pengaruh Kalium dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Panili (Vanilla planifolia Andrew).