APLIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI LAHAN

advertisement
APLIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI LAHAN GUNUNG DAN TEGAL DI
PAMEKASAN PADA TANAMAN TEMBAKAU MADURA (Nicotiana tabacum)
RINI HAPSARI* , TUTIK NURHIDAYATI1, KRISTANTI INDAH P.1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia
Abstrak
Mikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara jamur di tanah dan akar tanaman. Mikoriza
dapat bersimbiosis dengan 97% familia tanaman tingkat tinggi, salah satunya adalah tanaman
tembakau (N. tabacum). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif
tembakau Madura (Nicotiana tabacum) varietas Prancak-95 setelah diaplikasikan dengan
mikoriza indigenous yang berasal dari lahan Gunung dan Tegal. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuan tersebut
antara lain kontrol (V0), mikofer (V1) dan mikoriza indigenous (V2) dengan 2 unit penelitian
yang dibedakan dari asal mikoriza indigenous, yaitu lahan Gunung dan lahan Tegal. Parameter
yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun dan berat kering tanaman serta
persentase infeksi mikoriza. Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh parameter tersebut
menunjukkan bahwa perlakuan dengan mikoriza indigenous tidak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan pertumbuhan vegetatif tembakau Madura. Namun rata-rata pertumbuhan pada
perlakuan dengan inokulasi mikoriza indigenous memiliki nilai lebih tinggi daripada kontrol.
Kata Kunci ; Tembakau, Mikoriza Indigenous, Pertumbuhan Vegetatif
Abstract
Mycorrhiza is a mutualistic symbiosis between fungi in soil and plant roots. Mycorrhiza
symbiosis to 97% with familia higher plants, one of which is tobacco plants (N. tabacum). The
purpose of this study was to determine the vegetative growth of Madura tobacco (Nicotiana
tabacum) varieties Prancak-95 after applied with indigenous mycorrhiza originating from
Mount and Tegal lands. This research used Completely Randomized Design (CRD) with 3
treatments and 4 replications. The three treatments include control (V0), mycofer (V1) and
indigenous mycorrhiza (V2) with 2 units of study as distinguished from the indigenous
mycorrhiza origin, namely Mount and Tegal lands. Parameters measured included plant height,
leaf number, leaf area and plant dry weight and percent of mycorrhiza infection. Based on the
observations on all these parameters showed that treatment with indigenous mycorrhiza didn’t
have significant effect to increasing the vegetative growth of Madura’s tobacco. However, the
average growth of the indigenous mycorrhizal inoculation treatments had higher scores than
controls.
Key Words ; Tobacco, Indigenous Mycorrhiza, Vegetative Growth
*Coresponding Author Phone: 85730431425
1
Alamat Sekarang : Jurusan Biologi FMIPA ITS
1. Pendahuluan
Tembakau merupakan salah satu
komoditi tanaman yang banyak ditanam
oleh petani di Indonesia. Peran tembakau
bagi masyarakat cukup besar, hal ini
disebabkan
aktivitas
produksi
dan
pemasarannya yang melibatkan peran
sejumlah masyarakat. Tanaman tembakau
tersebar di seluruh Nusantara dan
mempunyai kegunaan yang beragam antara
lain sebagai biopestisida dan insektisida,
pengawet bambu petung, pembersih luka
dan terutama sebagai bahan baku pembuatan
rokok (Primasari, 2010). Salah satu tanaman
tembakau lokal yang berkembang di
Indonesia adalah tembakau Madura.
Tembakau Madura mempunyai mutu
spesifik yaitu berupa aroma yang khas,
sehingga tembakau ini sangat dibutuhkan
oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama
rokok maupun sebagai racikan atau
campuran rokok kretek untuk meningkatkan
mutu (Istiana, 2007).
Salah satu Kabupaten di pulau
Madura yang memiliki areal perkebunan
tembakau paling luas di Jawa Timur adalah
kabupaten
Pamekasan.
Kabupaten
Pemekasan memiliki luas daratan 792,30
km2, namun hanya 15% yang dapat dikelola
sebagai lahan pertanian. Selebihnya berupa
lahan kering. Untuk memenuhi kebutuhan
tembakau Madura, dewasa ini banyak
masyarakat Madura yang memanfaatkan
lahan kering sebagai lahan pertanian.
Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering di
Madura bertipe iklim kering karena
memiliki curah hujan yang relatif rendah
(≤1500 mm/tahun) (Nursyamsi, 2004).
Kondisi ini sesuai dengan pertumbuhan
tembakau yang membutuhkan ±500 mm air
dalam fase hidupnya (Kurnia, 2004).
Namun, pengembangan pertanian di lahan
kering seringkali menghadapi berbagai
kendala antara lain miskin unsur hara
esensial seperti N, P, K, Ca dan nilai tukar
kation (KTK) rendah sehingga unsur hara
mudah lepas dan tercuci dimana bersamaan
dengan itu terjadi peningkatan hara toksik
seperti Al, Fe dan Mn (Suterisno, 2010).
Salah satu upaya yang dilakukan
oleh
petani
untuk
meningkatkan
produktivitas lahan kering dan produksi
tembakau adalah dengan pemupukan.
Pemupukan
merupakan
kegiatan
pemeliharaan tanaman yang bertujuan untuk
memperbaiki kesuburan tanah melalui
penyediaan hara dalam tanah yang
dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk yang biasa
digunakan untuk tembakau Madura yaitu
pupuk anorganik atau pupuk kimia (ZA, ZK,
NPK, SP-36) dan pupuk organik (pupuk
kandang). Namun, penggunaan pupuk kimia
pada lahan dapat merusak struktur tanah
(tanah menjadi keras) (Santoso dkk., 2004)
serta
kurang
dapat
menstimulasi
peningkatan aktivitas mikrobia tanah yang
dapat
melepaskan
musilas-musilas
polisakarida sebagai pembentuk agregat
mikro dan hifa atau miselia fungi yang dapat
membentuk agregat makro yang mana hal
ini dapat memperbaiki struktur tanah
(Syukur dan Harsono, 2008). Berbagai
dampak negatif yang diakibatkan oleh
pemakaian pupuk kimia secara terusmenerus dapat menyebabkan lahan menjadi
lahan kritis, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi tembakau Madura.
Berdasarkan penelitian, produksi tembakau
Madura mengalami penurunan dari 33.325
ton/ha menjadi 25.052 ton/ha pada tahun
1997 hingga 2008 (Murdiyati dkk., 2009).
Berkaitan dengan perbaikan struktur
tanah dan peningkatan produksi tembakau
tersebut, salah satu alternatif pupuk yang
dapat digunakan adalah pupuk hayati. Pupuk
hayati merupakan mikroorganisme hidup
yang diberikan ke dalam tanah sebagai
inokulan untuk membantu tanaman dalam
menyediakan
unsur
hara
tertentu
(Simanungkalit, 2001). Mikoriza merupakan
salah satu mikroorganisme yang dapat
digunakan sebagai pupuk hayati. Mikoriza
adalah asosiasi mutualisme antara cendawan
di tanah dengan akar tanaman. (Zarate, J.T.
dan R.E. Dela Cruz, 1995). Berdasarkan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
mikoriza
mampu
meningkatkan
pertumbuhan dari beberapa tanaman, seperti
pada tanaman cabai (Purnomo dkk., 2008),
bibit panili (Tirta, 2006), tembakau
transgenik (Janouskova dkk., 2005) dan
sebagainya. Selain itu senyawa glomalin
yang dikeluarkan mikoriza serta hifa pada
cendawan mikoriza terbukti mampu
memperbaiki agregat tanah (Buscot dan
Varma, 2005).
Mikoriza indigenous yang diperoleh dari
perakaran tembakau Madura diambil pada
lokasi yang berbeda. Lokasi yang berbeda
akan
mempengaruhi
perkembangan
mikoriza indigenous yang disebabkan
adanya perbedaan faktor biotik dan abiotik,
seperti suhu, tanah, kadar air tanah, pH,
bahan
organik,
intensitas
cahaya,
ketersediaan hara, logam berat dan
fungisida. (Zarate, J.T. dan R.E. Dela Cruz,
1995). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yang dkk. (2010) yang
membuktikan bahwa ketinggian berbeda
dapat mempengaruhi tingkat kolonisasi dan
persentase infeksi mikoriza. Oleh karenany
penelitian ini membahas mengnai pertumbuhan
vegetatif
tembakau
Madura
(Nicotiana
tabacum) setelah diaplikasikan dengan mikoriza
indigenous yang berasal dari lahan gunung dan
tegal.
2. Metodologi
Penelitian dilakukan pada bulan Mei
2011 hingga Oktober 2011 di Greenhouse
dan Laboratorium Botani, Jurusan Biologi
ITS Surabaya dan Biologi ITS Surabaya.
Sedangkan pengambilan sampel dilakukan
di desa Orai, Pamekasan Madura (Lahan
Gunung) untuk titik pertama dan desa Bajur,
Pamekasan Madura (Lahan Tegal) sebagai
titik kedua.
Untuk perbanyakan mikoriza, sampel
tanah yang telah diambil, dimasukkan ke
dalam polybag. Benih jagung yang akan
ditanam direndam terlebih dahulu selama
±1-2 jam. Pengkulturan mikoriza pada benih
jagung dilakukan selama ±3 bulan. Bulan
pertama dan kedua dilakukan pemeliharaan,
sedangkan bulan ketiga dilakukan stressing
terhadap tanaman jagung yang telah tumbuh.
Tahap selanjutnya adalah stressing. Pada
tahap
ini,
dilakukan
penghentian
penyiraman selama 1 bulan (pada bulan
ketiga pengkulturan) dan topping. Topping
atau pemotongan bagian atas tanaman inang
dilakukan dengan hanya menyisakan batang
bawah ± 1/4nya (BPTH Jawa dan Madura,
2006).
Uji viabilitas inokulum dilakukan
dengan seri pengenceran kelipatan 10.
Inokulum mikoriza diambil sebanyak 100 gr
dan diletakkan dalam polibag. Lalu di
atasnya ditumbuhkan biji jagung sebagai
inang. Hal ini merupakan inokulum murni
(100). Seri pengenceran 10-1, diambil10 gr
inokulum dan dicampurkan dengan 90 gr
tanah steril, lalu di atasnya ditumbuhkan
tanaman inang jagung. Seri pengenceran 102,
diambil 10 gr dari inokulum pengenceran
10-1 dan dicampurkan dengan 90 gr tanah
steril, di atasnya ditumbuhkan tanaman
jagung. Seri pengenceran dilakukan hingga
10-10. Setelah ±1 bulan, tanaman diambil
dari media tanam dan dibersihkan
perakarannya dari tanah. Selanjutnya
dilakukan pengamatan persentase infeksi
akar dengan menggunakan mikroskop pada
tiap pengenceran (Budi, 1999 dalam Fauzi,
2009).
Setelah uji viabilitas, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung persentase
infeksi pada akar jagung. Akar diambil,
dicuci bersih, lalu dipotong-potong ±1 cm.
Potongan akar tersebut lalu disimpan dalam
FAA sebelum pengecatan. Lalu direndam
dalam KOH dan dipanaskan dengan autoklaf
model YX-280D selama ±15-20 menit
dengan suhu 1210C dan tekanan 1 atm.
Setelah itu dicuci dengan air. Setelah
pencucian, akar diputihkan dengan hydrogen
peroksida alkali hingga berwarna keputihan
dan kembali dicuci dengan air. Langkah
selanjutnya yaitu akar diasamkan dengan
HCl 1% dan direndam selama ±1 menit
dalam tryphan blue untuk pewarnaan.
Kemudian
potongan
akar
tersebut
dimasukkan dalam botol fial yang berisi
laktogliserol dan dipanaskan selama ±15
menit dengan suhu 1210C. Setelah itu,
diletakkan pada gelas objek sebanyak 10
potong dan diamati dibawah mikroskop
binokuler.
Media tanam berupa tanah yang
disterilkan dengan autoklaf model YX-280D
(suhu 1210C) selama 15 menit dengan
tekanan 1 atm. Setelah diautoklaf, tanah
dimasukkan dalam polybag masing-masing
sebanyak 5 kg. Kemudian ditambah pupuk
NPK (Nitrophonska) sebagai pupuk dasar
dengan cara ditempatkan di sisi kanan dan
kiri lubang tanam kemudian ditutup tanah.
Dosis yang digunakan adalah 5 gram per
polybag
yang
disesuaikan
dengan
pemupukan dasar tanaman tembakau di
Madura. Pemupukan dasar dilakukan 3-5
hari sebelum tanam. Bibit tembakau
diperoleh dari Pamekasan, Madura. Bibit
tersebut berumur ±40 hari dan varietas yang
digunakan adalah Prancak-95.
Inokulasi mikoriza (mikofer maupun
mikoriza indigenous) dilakukan setelah
pembibitan (setelah ± 40 hari atau tinggi
sudah mencapai 10-15 cm) (Kaminska,
2010). Mikofer yang digunakan adalah
Glomus aggregatum yang diperoleh dari
BIOTROP, Bogor. Metode inokulasi yang
digunakan adalah metode lubang. Caranya
yaitu dengan membuat lubang tanam,
kemudian
mengambil
tanahnya
dan
dicampur dengan mikoriza indigenous.
Dosis yang digunakan untuk mikofer adalah
2 gr/polybag dengan 50 spora/gr, sedangkan
untuk mikoriza indigenous adalah : 28
gr/polybag dengan 3 spora/gr (Zulaikha dan
Gunawan, 2006). Setelah itu, dilakukan
penanaman bibit tembakau pada lubang
tanam tersebut. Pemeliharaan dilakukan
selama ± 42 hari dengan cara penyiraman 2
hari sekali dan pemeliharaan terhadap
gulma.
3. Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan Tanaman
Beberapa parameter yang digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan tanaman
tembakau dalam penelitian ini adalah adalah
tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun dan
berat kering tanaman. Pertambahan tinggi
tanaman disebabkan oleh adanya meristem
ujung (meristem apikal) yang dapat
menghasilkan sel-sel baru pada ujung akar
ataupun batang. Sedangkan peningkatan
jumlah daun dan luas daun dipengaruhi oleh
adanya meristem interkalar dan meristem
lateral. Meristem interkalar merupakan
meristem yang terdapat diantara jaringan
yang berdiferensiasi. Meristem lateral
menghasilkan sel-sel baru yang dapat
memperluas lebar ataupun diameter suatu
organ (Gardner dkk., 1991). Mengenai data
pertumbuhan vegetatif tanaman tembakau
(N.tabacum) pada umur ±42 hari disajikan
pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Tinggi (cm) rata-rata N.tabacum
Lokasi Perlakuan Awal Umur Selisih
42 hr
28.5
31.9
31.75
26
27.3
29.18
V0
9.7
18.8
V1
13.7
18.2
V2
9.7
22.05
V0
9.8
16.2
Lahan
V1
9.5
17.8
Tegal
V2
10.7
18.48
Keterangan :
Dalam perhitungan statistika, perlakuan
tidak berpengaruh nyata
Lahan
Gunung
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Daun (helai)
N.tabacum
Umur
Lokasi Perlakuan Awal
Selisih
42 hr
V0
2
4
2
Lahan
V1
2
4.3
2.3
Gunung
V2
2
4.5
2.5
V0
2
3
1
Lahan
V1
1.75
4.75
3
Tegal
V2
1.75
3.75
2
Keterangan :
Dalam perhitungan statistika, perlakuan
tidak berpengaruh nyata
Tabel 6. Rata-rata Luas Daun (cm2)
N.tabacum
Lahan
Lahan
Perlakuan
Gunung
Tegal
V0
38.1
25.45
V1
49.31
31.96
V2
57.72
36.07
Keterangan :
Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak
berpengaruh nyata
Tabel 7. Rata-rata Berat Kering (gram)
N.tabacum
Lahan
Lahan
Perlakuan
Gunung
Tegal
V0
0.835
0.56
V1
1.157
0.845
V2
1.2
0.79
Keterangan :
Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak
berpengaruh nyata
a
b
Gambar 9. Grafik Perbandingan Antar
Perlakuan pada Parameter Pertumbuhan
N.tabacum (a) Lahan Gunung, (b) Lahan
Tegal
Berdasarkan
uji
ANOVA
menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
tembakau secara umum. Namun, bila
melihat data dan grafik di atas menunjukkan
bahwa pertumbuhan tanaman dengan
penambahan
mikofer
dan
mikoriza
indigenous cenderung lebih tinggi bila
dibandingkan tanpa penambahan mikofer
dan mikoriza indigenous (kontrol). Selain
itu, bila dikaitkan dengan hasil infeksi akar
juga menunjukkan nilai ≥70% untuk
perlakuan V1 dan V2 (dengan penambahan
mikoriza) pada lahan gunung (data pada sub
bab 4.3). Hal tersebut bisa diartikan bahwa
terjadi kolonisasi perakaran tembakau oleh
mikoriza. Berdasarkan teori, seharusnya
mikoriza
mampu
meningkatkan
pertumbuhan tanaman baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung
melalui peningkatan penyerapan hara dan
air, sedangkan secara tidak langsung melalui
perbaikan sifat fisika tanah.
Namun, ada beberapa hal lain yang
menyebabkan
tidak
berpengaruhnya
mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman
tembakau, meskipun kolonisasi akar ≥70%,
diantaranya adalah asal dari bibit tembakau
yang akan digunakan. Bibit tembakau yang
digunakan dalam penelitian ini berasal dari
lahan alami yang ditanam pada bedengan.
Pembibitan pada lahan alami menyebabkan
adanya kemungkinan mikoriza endogen
yang menginfeksi bibit tembakau. Hal ini
menyebabkan
penambahan
mikoriza
eksogen
menjadi
kurang
efektif.
Ketidakefektifan
mikoriza
eksogen
disebabkan karena mikoriza endogen telah
menginfeksi sel-sel pada perakaran tanaman
inang terlebih dahulu, sehingga lebih adaptif
terhadap tanaman inang daripada mikoriza
eksogen. Selain itu, jika dikaitkan dengan
mekanisme infeksi mikoriza, mikoriza
endogen diduga telah mengalami fase
perluasan infeksi mikoriza pada saat
penanaman. Sedangkan mikoriza eksogen
masih dalam tahap pra infeksi (secara
lengkap akan dibahas pada sub bab 4.3). Hal
ini menyebabkan kemungkinan mikoriza
eksogen untuk menginfeksi perakaran
tanaman inang menjadi lebih kecil.
Selain adanya mikoriza endogen,
bibit yang berasal dari lahan alami
kemungkinan
juga
membawa
mikroorganisme
lain,c baik yang bersifat
b
menguntungkan maupun yang merugikan
bagi tanaman. Mikroorganisme yang
merugikan bagi tanaman (pathogen) pada
umumnya siklus pertumbuhannya lebih
cepat dan memiliki kemampuan menyerap
lebih banyak bahan organik serta nutrisi dari
tanaman inang, sehingga menyebabkan
peran mikoriza tidak optimal. Selain itu,
pathogen tersebut juga menyebabkan
timbulnya gejala penyakit pada tanaman
inang.
Berdasarkan pengamatan, diduga
terdapat 2 pathogen yang menyerang
tanaman
tembakau
saat
penelitian.
Berdasarkan literatur dengan melihat gejalagejala yang ada, penyakit tersebut
disebabkan oleh cendawan Phytoptora
nicotianae dan Alternaria sp. Gejala-gejala
yang disebabkan oleh Phytoptora nicotianae
antara lain terjadinya pembusukan di leher
akar. Bagian yang busuk tersebut berwarna
cokelat kehitaman dan semua daun tanaman
yang terserang menjadi layu secara
mendadak. Jika pangkal batang dibelah,
empulurnya tampak mengering. Jamur ini
mempunyai benang-benang yang tidak
berwarna dan tidak bersekat sehingga
mudah menjalar di dalam jaringan tanaman
yang sakit. Apalagi bila jaringan tersebut
dalam kondisi yang lembab (Tim penulis
PS., 1993). Berdasarkan Buscot dan Varma,
2005 Phytoptora nicotianae bersifat
antagonis terhadap Glomus mosseae,
sehingga dapat terjadi kompetisi antara
kedua mikroorganisme tersebut bila terdapat
pada area yang sama. Berikut adalah gambar
Nicotiana
tabacum
yang
terserang
Phytoptora nicotianae.
a
b
c
d
Gambar 10. (a.b.c) Gejala Penyakit
N.tabacum oleh Phytoptora nicotianae
(Lahan Gunung dan Lahan Tegal), (d)
Penyakit N.tabacum oleh P.nicotianae dari
Literatur
Gejala
yang
tampak
karena
Alternaria sp. antara lain daun terdapat
bercak-bercak berwarna cokelat muda atau
tua. Tepi bercak berwarna kuning dengan
cincin-cincin yang halus. Di dalamnya
terdiri atas lingkaran bergelang-gelang yang
berasal dari tenunan-tenunan yang telah mati
(Sudarmo,1987). Jamur tersebut memiliki
konidia yang memencar dan pada sekatsekatnya (Tim penulis PS.,1993). Berikut
gambar Nicotiana tabacum yang terserang
Alternaria sp.
a
b
c
Gambar 12. (a) Penyakit N.tabacum oleh
Alternaria sp. (b) Penyakit N.tabacum oleh
Alternaria sp. dari literatur, (c) N.tabacum
yang tidak Terkena Penyakit
Selain faktor di atas, faktor lain
yang menyebabkan penambahan mikoriza
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
tembakau adalah mikoriza lebih berperan
dalam pemecahan fosfat dibandingkan
dengan perluasan penyerapan hara pada
tanaman inang. Hal ini dibuktikan dengan
hasil uji tanah sebelum dan sesudah
perlakuan dimana hara P meningkat sangat
signifikan. Kondisi ini berbeda dengan hara
N dan K yang mana perubahan sebelum dan
sesudah perlakuan tidak terlalu signifikan.
Bila dikaitkan dengan pH tanah, lahan
gunung memiliki pH 6.4 dan lahan tegal
memiliki pH 6.3 dimana ini menunjukkan
bahwa tanah bersifat sedikit asam. Oleh
karenanya, diduga pada lahan tersebut P
terdapat dalam ikatan dengan Fe dan Al
membentuk ferofosfat atau aluminofosfat,
sehingga berada dalam bentuk yang tidak
tersedia bagi tanaman (Djajadi dkk., 2002).
Mikoriza mampu mengeluarkan enzim
fosfatase yang dapat memecah ikatan fosfat
tersebut sehingga menjadi bentuk yang
tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu,
dalam hal ini mikoriza lebih berperan dalam
pemecahan fosfat dan kurang optimal dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Terkait dengan hara P di tanah,
kebutuhan tembakau untuk hara P adalah 1220 kg/ha atau 8.4-14 gr/tanaman pada jarak
tanam 100x70 cm. Kebutuhan P ini lebih
rendah daripada kebutuhan akan hara N dan
K yaitu 110-140 kg/ha atau 77-98
gr/tanaman untuk K dan 60-100 kg/ha atau
42-70
gr/tanaman
untuk
hara
N
(Goldsworthy dan Fisher, 1992). Kondisi
tersebut menyebabkan adanya P tersedia
yang cukup banyak pada tanah setelah
perlakuan dibandingkan dengan hara N dan
K seperti yang tercantum pada table 4.5.
4.2 Sifat Fisika Tanah
Sifat tanah yang diuji pada penelitian
ini adalah agregat. Agregat merupakan
partikel tanah yang terikat kuat satu sama
lain sehingga menjadi suatu bongkahan.
Susunan agregat tanah memiliki pengaruh
utama terhadap aerasi, ketersediaan air dan
kekuatan tanah, sehingga berpengaruh juga
terhadap perkembangan mikroorganisme
tanah serta pertumbuhan tanaman. Terkait
dengan hal tersebut, pada penelitian ini
agregat pada lahan Gunung mengalami
peningkatan
sebelum
dan
sesudah
perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh
peran dari mikoriza yang mampu
memperbaiki agregat tanah dengan cara
mengeluarkan senyawa glomalin yang dapat
mengikat partikel-partikel tanah sehingga
dapat membentuk agregat mikro (ukuran <
250 iM). Selain itu, hifa mikoriza terbukti
mampu memperbaiki agregat tanah dengan
cara membentuk agregat makro (ukuran >
250 iM) (Buscot dan Varma, 2005).
Kondisi
tersebut
menunjukkan
bahwa mikoriza ikut berperan dalam
perbaikan tanah dan secara tidak langsung
juga ikut membantu pertumbuhan tembakau.
Namun peningkatan agregat ini belum
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
tembakau karena perubahannya yang sangat
kecil,
sehingga
pengaruh
terhadap
pertumbuhan tembakau juga belum terlihat.
Berikut hasil uji tanah sebelum dan setelah
perlakuan pada lahan Gunung dan lahan
Tegal.
Berbeda dengan lahan gunung,
agregat tanah lahan tegal mengalami
penurunan sebelum dan sesudah perlakuan.
Terjadinya penurunan agregat pada lahan
tegal dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah ketersediaan bahan
organik. Bahan organik disamping berperan
penting sebagai sumber hara tanaman ,
namun juga merupakan bahan penstabil
tanah. Terkait dengan hal tersebut, bahan
organik dapat menjadi senyawa perekat
partikel-partikel tanah sehingga dapat
membentuk agregat. Organisme ataupun
mikroorganisme tanah dapat menyebabkan
penurunan stabilitas agregat melalui
dekomposisi bahan perekatnya, yaitu bahan
organik (Handayanto dan Hairiah, 2007).
Bahan organik yang terkandung pada tanah
di lahan tegal sangat rendah yaitu 0.83%.
Terkait dengan hal tersebut, adanya aktivitas
mikroorganisme dalam mendekomposisi
bahan organik dalam tanah menyebabkan
bahan organik yang juga merupakan bahan
perekat partikel tanah akan menurun
(Syukur dan Harsono, 2008). Hal inilah
yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan agregat.
Selain faktor di atas, faktor lainnya
yang mempengaruhi agregat tanah adalah
tekstur tanah. Tanah lahan gunung
didominasi oleh debu dan liat, sedangkan
tanah pada lahan tegal didominasi oleh
komponen pasir. Terkait dengan hal
tersebut, Sutedjo dan Kartasapoetra (2005)
menyatakan
bahwa
aktivitas
mikroorganisme dalam mendekomposisi
bahan organik akan terhambat pada tanah
bertekstur halus (tanah liat). Hal ini
disebabkan karena tanah yang bertekstur
demikian memiliki kemampuan menimbun
dan menjerap bahan organik lebih tinggi.
Sebaliknya, tanah pada lahan tegal yang
didominasi oleh pasir, proses dekomposisi
bahan organik akan lebih mudah terjadi dan
hal ini secara tidak langsung dapat
menyebabkan penurunan agregat.
4.3 Persentase (%)Infeksi Mikoriza
Tingkat kolonisasi akar merupakan
prasyarat mikoriza arbuskula pada tanaman
inang. Tingkat kolonisasi di lapangan
tergantung pada tanaman inang, kondisi
tanah serta spesies Mikoriza Vesikula
Arbuskula (MVA). Persentase kolonisasi
juga tergantung kepada kepadatan akar
tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa
tingkat kolonisasi memberikan gambaran
seberapa besar pengaruh luar terhadap
hubungan akar dan MVA (Zarate J.T. and
R.E. Dela Cruz, 1995).
Penghitungan dilakukan dengan cara
menghitung banyaknya bagian akar yang
bermikoriza dan yang tidak. Proporsi
mikoriza adalah jumlah total bagian
mikoriza dibagi jumlah total akar yang
diamati, dikalikan 100%. Mengenai data
persentase infeksi mikoriza (lahan gunung
dan lahan tegal) pada N.tabacum umur ±42
hari disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 10. Persentase (%) Infeksi Mikoriza
Perlakuan Lahan Gunung Lahan Tegal
V0
55
40
V1
76.67
67.5
V2
80
70
Keterangan :
Dalam perhitungan statistika, perlakuan tidak
berpengaruh nyata
a
b
Gambar 13. Grafik Persentase (%) Infeksi
Mikoriza (a) Lahan Gunung, (b) Lahan
Tegal
Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa penambahan mikoriza
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
persentase infeksi mikoriza baik pada lahan
gunung maupun lahan tegal. Hal ini terjadi
karena pada kontrol juga menunjukkan
adanya infeksi mikoriza meskipun tidak ada
penambahan mikoriza saat perlakuan,
sehingga tidak terjadi perbedaan yang
signifikan antara kontrol dengan perlakuan
mikoriza. Adanya infeksi mikoriza pada
kontrol disebabkan karena pembibitan
tembakau dilakukan pada lahan alami di
Pamekasan. Pembibitan pada lahan alami
menyebabkan
adanya
kemungkinan
mikoriza endogen yang menginfeksi bibit
tembakau. Mikoriza endogen tersebut
menginfeksi perakaran tanaman tembakau
terlebih dahulu sehingga diduga telah
mengalami fase perluasan infeksi pada saat
penanaman. Sedangkan mikoriza eksogen
masih dalam tahap pra infeksi. Hal ini
menyebabkan mikoriza endogen menjadi
lebih adaptif terhadap tanaman, sehingga
akan mempengaruhi proses infeksi mikoriza
eksogen.
Terkait dengan infeksi mikoriza
endogen dan eksogen di atas, Talanca dan
Adnan (2005) menyatakan infeksi mikoriza
pada akar tanaman terjadi melalui beberapa
tahap, antara lain : tahap pra infeksi, dimana
spora
dari
mikoriza
berkecambah
membentuk
appressoria
yang
akan
digunakan sebagai alat pada tahap infeksi.
Selanjutnya adalah tahap pasca infeksi dan
perluasan infeksi. Pada tahap ini, hifa
tumbuh secara interselluler, arbuskula
terbentuk didalam sel saat setelah penetrasi.
Arbuskula hidup hanya 4-15 hari, kemudian
mengalami degenerasi dan pemendekan
pada sel inang. Pada saat pembentukan
arbuskula, beberapa mikoriza membentuk
vesikula pada bagian interselluler, dimana
vesikula merupakan pembengkakan pada
bagian apikal atau interkalar pada hifa.
Selanjutnya tahap yang terakhir adalah
pertumbuhan hifa keluar dari akar. Pada fase
ini, mikoriza membentuk hifa eksternal yang
berfungsi dalam penyerapan larutan nutrisi
dalam tanah dan alat transportasi nutrisi ke
akar. Hifa eksternal tidak bersepta dan
membentuk percabangan dikotom.
Selain faktor mikoriza endogen di
atas, perbedaan persentase infeksi yang tidak
signifikan dengan kontrol juga disebabkan
karena waktu inokulasi yang kurang tepat.
Waktu inokulasi yang kurang tepat ini bisa
berarti kondisi tanaman yang tidak sehat.
Kemungkinan
bibit
tanaman
sudah
membawa penyakit pada perakarannya.
Berdasarkan literatur, seharusnya mikoriza
mampu berperan sebagai pengendali hayati
berbagai macam penyakit yang dipengaruhi
oleh beberapa mekanisme antara lain
perbaikan gizi yakni terjadinya peningkatan
serapan hara sehingga dapat menghasilkan
tanaman yang lebih baik dan mampu
melawan serta toleran terhadap penyakit.
Selain itu, mikoriza dapat menyebabkan
perubahan morfologi serta fisiologi tanaman
yang dapat menekan perkembangan
pathogen. Namun, berdasarkan Liderman
(1996) dalam Talanca dan Adnan (2005)
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi mikoriza sebagi
pengendali hayati adalah waktu dan luasnya
pembentukan mikoriza. Hal ini berarti
bahwa mikoriza mampu menekan penyakit
akar bila mikoriza sudah terbentuk sebelum
invasi pathogen. Pada penelitian ini, diduga
bibit tembakau sudah membawa penyakit
dari lahan sebelum dilakukan penambahan
mikoriza yang dilakukan saat penanaman.
Hal ini menyebabkan mikoriza tidak
optimum
dalam
perannya
sebagai
pengendali hayati.
Selain itu, tidak optimalnya infeksi
mikoriza dapat juga disebabkan karena
kondisi perakaran yang tidak baik. Bibit
tembakau mengalami pemindahan dari lahan
alami ke polybag dengan cara dicabut. Hal
ini tentunya akan mempengaruhi morfologi
dari akar tembakau karena ada sebagian
akar maupun bulu-bulu akar yang masih
tertinggal dalam tanah. Hal ini dapat
menghambat terjadinya infeksi akar oleh
mikoriza
eksogen
saat
inokulasi.
Berdasarkan Talanca dan Adnan (2005),
mikoriza merupakan cendawan obligat
dimana kelangsungan hidupnya bergantung
pada asosiasi dengan akar tanaman. Spora
berkecambah dengan membentuk apressoria
sebagai alat infeksi yang mana infeksi
tersebut biasanya terjadi pada zone
elongation. Proses ini dipengaruhi oleh
anatomi akar dan umur tanaman yang
terinfeksi.
Faktor selain bibit yang dapat
mempengaruhi persentase infeksi mikoriza
adalah faktor lingkungan antara lain
kesuburan tanah dan pH. Aktifitas dan
perkembangan mikoriza sangat dipengaruhi
oleh
tingkat
pemupukan,
terutama
pemupukan fosfat. Penambahan pupuk
fosfat dapat menurunkan aktifitas mikoriza
dan
pengaruh
positifnya
terhadap
pertumbuhan tanaman, karena pupuk
mempunyai pengaruh yang lebih cepat
terhadap pertumbuhan daripada infeksi
mikoriza.
Media
yang
subur
dan
meningkatnya unsur P dalam tanah juga
dapat menurunkan aktivitas dan infeksi
mikoriza,
bahkan
populasinya
akan
berkurang karena sebagian mati (White,
1989 dalam Zulaikha dan Gunawan, 2006).
Faktor lingkungan lainnya yang diduga
menyebabkan mikoriza tidak berpengaruh
terhadap persentase infeksi mikoriza adalah
pH, dimana beberapa spesies mikoriza
kolonisasinya berkurang pada pH < 7. Pada
penelitian ini pH tanah mencapai 6.4 dan 6.3
yang berarti sedikit asam. Berdasarkan
Buscot dan Varma, 2005 menunjukkan
bahwa spesies mikoriza Glomus sp.
mencapai perkembangan dan kolonisasi
maksimum pada pH 7-10.5.
Namun, meskipun penambahan
mikoriza tidak berpengaruh terhadap
persentase infeksi, bila dibandingkan antara
ketiga perlakuan, persentase infeksi
mikoriza yang tertinggi terdapat pada
pemberian mikoriza indigenous, selanjutnya
mikofer dan yang terendah adalah pada
kontrol. Mikoriza indigenous merupakan
mikoriza alami yang didapat atau diisolasi
dari alam. Penggunaan mikoriza indigenous
memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mikofer sehingga
mikoriza
indigenous
tersebut
dapat
menginfeksi akar tanaman tembakau dengan
lebih mudah dan kompatibel. Hal ini sesuai
dengan jurnal oleh Enkhtuya et al. (2000)
yang menyatakan bahwa isolat mikoriza
indigenous
terbukti
lebih
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
tanaman
dibandingkan mikoriza non-indigenous yang
disebabkan karena tingkat infeksinya yang
lebih tinggi.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa :
1. Inokulasi mikoriza indigenous baik yang
berasal dari lahan Gunung maupun lahan
Tegal tidak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan
pertumbuhan
vegetatif
tembakau
Madura.
Namun
rata-rata
pertumbuhan pada perlakuan dengan
inokulasi mikoriza indigenous memiliki nilai
lebih tinggi daripada kontrol.
2. Agregat tanah pada lahan gunung mengalami
peningkatan sebelum dan setelah perlakuan
yang disebabkan adanya pengaruh mikoriza.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian, IPB : Bogor
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan
Madura. 2006. Booklet Teknik Produksi
Bibit Bermikoriza. BPTH Jawa dan
Madura : Jawa Timur
Basuki, S., Suwarso, A.Herwati, S.Yulaikah.
1999. Biologi dan Morfologi Tembakau
Madura. Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat : Malang
Brundrett, M. 2004. Diversity and Classification
of Mycorrhizal Associations. Biol.Rev.
79:473–495
Budi, S. 1999. Pengujian Kualitas Inokulum
CMA. Disampaikan pada Workshop
Mikoriza pada Tanaman Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan. Bogor 27
September-2 Oktober 1999
Buscot, F. dan A.Varma. 2005. Microorganisms
in Soils : Roles in Genesis and
Functions. Springer Berlin Heidelberg :
New York
Djajadi, M.Sholeh, N.Sudibyo. 2002. Pengaruh
Pupuk Organik dan Anorganik ZA dan
SP 36 terhadap Hasil dan Mutu
Tembakau Temanggung pada Tanah
Andisol. Jurnal Littri Vol.8 No.1
Dewi, A.R.I. 2007. Peran, Prospek dan Kendala
Dalam Pemanfaatan Endomikoriza.
Jurusan Budidaya Pertanian, Program
Studi Agronomi, UNPAD : Jatinangor
Enkhtuya, B., J.Rydlova, dan M.Vosatka. 2000.
Effectiveness of Indigenous and NonIndigenous Isolates of Arbuscular
Mycorrhizal Fungi in Soils from
Degraded Ecosystems and Man-Made
Habitats. Applied Soil Ecology 14: 201–
211
Fauzi,
E. 2009. Studi Ketahanan Hidup
Tanaman Jagung Varietas Jaya 2 pada
Media Lumpur Sidoarjo, Pasir, Pupuk
Organik, Mikoriza dan Aktivitas
Reduktase Daun. Skripsi. Program Studi
Biologi, FMIPA, ITS : Surabaya
Gardner, F.P, R.B.Pearce, R.L.Mitchell, 1991.
Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press :
Jakarta
Goldsworthy dan N.M.Fisher. 1992. Fisiologi
Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah
Mada University Press. : Yogyakarta
Handayanto, A. dan Hairiah. 2007. Biologi
Tanah, landasan Pengelolaan Tanah
Sehat. Pustaka Adipura : Yogyakarta
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia
III. Badan Litbang Kehutanan, Yayasan
Sarana Wana Jaya : Jakarta
Hidayat, A. 2004. Memilih Lokasi Budidaya
Tanaman. Departemen Pendidikan
Nasional Proyek Pengembangan Sistem
dan
Standar
Pengelolaan
SMK.
Dirktorat Pendidikan menengah Kejuran
: Jakarta
Istiana, H. 2007. Cara Aplikasi Pupuk Nitrogen
dan Pengaruhnya pada Tanaman
Tembakau Madura. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 12 No. 2
Janouskova, M, D.Pavlikova, T.Macek, dan
M.Vosatka.
2005.
Influence
of
Arbuscular Mycorrhiza on the Growth
and Cadmium Uptake of Tobacco with
Inserted
Metallothionein
geneM.
Applied Soil Ecology 29 : 209–214
Kaminska, M. 2010. Effect of Arbuscular
Mycorrhizal Fungi Inoculation on Aster
Yellows Phytoplasma-Infected Tobacco
Plants. Scientia Horticulturae 125 : 500
– 503
Killham, K, 1994. Soil Ecology. Cambridge
University Press.
Kurnia, U. 2004. Prospek Pertanian Tanaman
Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang
pertanian 23 (4)
Laiho, O. 1976. Further studies on The
Ectendotrophic
Mycorrhizae.
Acta
Forest. Fenn. 79:1-35
Liderman, R.G. 1988. Mychorrizal Interaction
with the Rhizosphere Microflora the
Mychorrizosphere
Effect.
Phytopathology. 78(3):366-371
Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of
Funicides on Mycorrhizal Colonization
and Growht of Anion. Plant and Soil
78: 147-150
Martodireso, S. dan W.A.Suryanto. 2001.
Terobosan Teknologi Pemupukan dalam
Era Pertanian Organik. Kanisius :
Yogyakarta
Mikola, P . 1965. Studies on the Ectendotrophic
Mycorrhizae of Pine. Acta Forest. Fenn.
79:1-56
Mosse,
S. 1981. Vesicular
Mycorizarescarh
for
Agriculture. Ress. Bull
Arbuscular
Tropical
Santosa, K.E. 2007. Pemanfaatan Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum) Untuk
Pewarnaan Kain Sutera dengan Mordan
Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia
Swingle) Diterapkan pada Lenan
Rumah Tangga. Skripsi. Jurusan
Teknologi Jasa Dan Produksi, Fakultas
Teknik, Universitas Negeri Semarang :
Semarang
Murdiyati, A.S, A.Herwati dan Suwarso. 2009.
Pengujian
Efektivitas
Penggunaan
Pupuk ZK terhadap Hasil dan Mutu
Tembakau Madura. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri
1(1)
Santoso, B, F.Haryanti, S.A.Kadarsih. 2004.
Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang
Ayam Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Serat Tiga Klon Rami di
Lahan Aluvial Malang. Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat : Malang
Nuhamara, S.T., 1994. Peranan Mikoriza untuk
Reklamasi Lahan Kritis. Program
Pelatihan Biologi dan Bioteknologi
Mikoriza
Simanungkalit,
R.D.M.,
D.A.Suriadikarta,
R.Saraswati,
D.Setyorini,
dan
W.Hartatik. 2001. Aplikasi Pupuk
Hayati dan Pupuk Kimia : Suatu
Pendekatan Terpadu. Buletin AgroBio
4(2):56-61
Nursyamsi, D. 2004. Beberapa Upaya untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanah di
Lahan Kering. Makalah Pribadi
Falsafah Sain. Institut Pertanian Bogor :
Bogor
Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis
Pasca Tambang Sesuai Kaidah Ekologi.
Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains.
Sekolah Pasca Sarjana, IPB : Bogor
Primasari, N.L. 2010. Pengaruh Zat Pengatur
Tumbuh Indol Acetic Acid (IAA) dan
Kinetin pada Kultur jaringan Tembakau
(N. tabacum var. Prancak N-2). Skripsi.
Program Studi Biologi ITS : Surabaya
Purnomo, W.D, B.S Purwoko, S.Yahya,
S.Sujiprihati, I.Mansur, dan Amisnaipa.
2008. Tanggap Pertumbuhan dan Hasil
Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap
Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula
pada Tanah Ultisol. Bul. Agron. (36) (3)
229 – 235
Rachman, A., Machfudz, H.Istiana. 1999.
Teknik Budidaya Tembakau Madura.
Balai
Penelitian
Tembakau
dan
Tanaman Serat : Malang
Simangunsong, A.S. 2006. Pengaruh Pemberian
Berbagai MVA dan Pupuk Kandang
Ayam pada Tanaman Tembakau Deli
terhadap Serapan P dan Pertumbuhan di
Tanah Inceptisol Sampali.
Skripsi.
Departemen Ilmu tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatra Utara :
Sumatra Utara
Simbolon, M.N. 2007. Respon Tanaman
Tembakau Deli (Nicotiana tabacum)
pada Beberapa Tingkat Pemberian Air
dengan pH yang Berbeda. Departemen
Ilmu
Tanah,
Fakultas
Pertanian
Universitas Sumatra Utara : Sumatra
Utara
Sitompul, S.M. 1995. Analisis Pertumbuhan
Tanaman. UGM Press : Yogyakarta
Smith, S.E. dan D.J.Read. 1997. VesicularArbuscular Mycorrhizas: Growth and
Carbon Economy of VA Mycorrhizal
Plants in Mycorrhizal Symbiosis. 2 nd
ed. New York, Acad. Press. p.105-125
Steenis, V. 2005. Flora untuk Sekolah di
Indonesia. PT. Pradnya Paramita :
Jakarta
Sudarmo, S. 1987. Tembakau, Pengendalian
Hama dan Penyakit. Kanisius :
Yogyakarta
Susilowati, Y.E. 2006. Identifikasi Nikotin Dari
Daun Tembakau (Nicotiana tabacum)
Kering dan Uji Efektivitas Ekstrak
Daun Tembakau sebagai Insektisida
Penggerek Batang Padi (Scirpophaga
innonata). Skripsi. FMIPA, Universitas
Negeri Semarang : Semarang
Biodiversitas, Volume 7, Nomor 2
Halaman: 171-174
White, R.E. 1989. Introduction to the Principles
and practice of soil sciences. Blackwell
Scientific Publication Oxford
Yang, F.Y., G.Z.Li, D.E.Zhang, P.Christie,
X.l.li, J.P.Gai. 2010. Geographical and
Plant Genotype Effects on the
Formation of Arbuscular Mycorrhiza in
Avena sativa and Avena nuda at
Different Soil Depths. Biol Fertil Soils
46 :435-443
Sutedjo, M.M. dan A.G.Kartasapoetra. 2005.
Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya
Tanah dan Tanah Pertanian. PT.Rineka
Cipta : Jakarta
Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz. 1995. Pilot
testing the effectiveness of arbuscular
mycorrhizal fungi in the reforestation of
marginal grassland. Biotrop Spec.
Biology
and
Biotechnology
of
Mycorrhizae Publ. No56 : 131-137
Suterisno. 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik dan Berbagai Galur terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Jagung (Zea mays L) pada Lahan
Kering Masam. Jurusan Agroteknologi,
Fakultas
Pertanian,
Universitas
Muhammadiyah
Palembang
:
Palembang
Zulaikha, S. dan Gunawan, 2006. Serapan
Fosfat dan Respon Fisiologis Tanaman
Cabai Merah Cultivar Hot Beauty
terhadap Mikoriza dan Pupuk Fosfat
PadaTanah
Ultisol.
Bioscientiae
Volume 3, Nomor 2 : Halaman 83-92
Syukur A. dan Harsono. 2008. Pengaruh
Pemberian Pupuk Kandang dan NPK
terhadap Beberapa Sifat Kimia dan
Fisika Tanah Pasir Pantai Samas Bantul.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol.
8, No 2. p: 138-145
Talanca, A.H dan A.M.Adnan. 2005. Mikoriza
dan Manfaatnya pada Tanaman..
Prosiding
Seminar
Ilmiah
dan
Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI,
ISBN :
979-95025-6-7 : Sulawesi
Selatan
Tim
Penulis PS. 1993. Pembudidayaan,
Pengolahan dan Pemasaran tembakau.
Penebar Swadaya : Jakarta
Tirta, I Gede. 2006. Pengaruh Kalium dan
Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Panili
(Vanilla
planifolia
Andrew).
Download