Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 GAMBARAN TUNA DAKSA YANG BEKERJA Danella Merdiasi1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Abstract. This study described the point of view of the disabled person that have been experienced in the field of employment. There were difficulties that have been experienced of disabled person when they were looking for a job as in terms of accessibility, limited opportunity to work in the field of formal and informal sectors, and low public awareness and acceptance of work on disabled world. The purpose of this research was to find a picture of optimism disabled in the line of work. Optimism is an individual's belief that a bad event or failure does not preclude individuals to keep working reach the goal. This study used a qualitative approach with a case study using data collection methods such as interview. The participants in this study were two disabled people who used wheelchairs and had experience difficulty in finding employment. The results of this study showed both participants had an optimistic attitude, even if they had different views. Keywords: disabled people, job, optimism Pendahuluan Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang mobile dan kehilangan mobilitas fisik menjadi sebuah tantangan yang berat karena terdapatnya bagian tubuh yang sudah tidak dapat berfungsi lagi (Komardjaja, 2010). Setiap manusia pasti mengharapkan memiliki tubuh yang sehat dan utuh tanpa kekurangan satu pun dari bagian tubuh. Situasi akan berbeda jika seseorang kehilangan salah satu anggota tubuhnya (Masduqi, 2010). Lusli (2010) menyatakan bahwa keterbatasan fisik dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja. Kehilangan fungsi salah satu anggota tubuh dapat di sebabkan karena penyakit, kecelakaan ataupun oleh faktor genetik. Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 pasal 1 mengatakan bahwa individu dengan keterbatasan fisik adalah setiap individu yang memiliki kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan menjadi hambatan dalam melakukan aktivitas secara layak yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan juga penyandang cacat fisik dan mental. Berdasarkan data Kementerian Sosial Republik Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa jumlah individu Idengan keterbatasan fisik yaitu 2.126.785. 1 Korespondensi artikel ini dapat menghubungi: [email protected] 163 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 World Health Organization (WHO) mendefinisikan kecacatan dalam tiga terminologi yaitu yang pertama adalah impairment yang diartikan sebagai suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik secara psikologis, fisiologis, maupun fungsi anatomis. Kedua adalah disability yang diartikan suatu ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas atau kegiatan tertentu yang di sebabkan oleh kondisi impairment tersebut. Ketiga adalah handicap didefinisikan sebagai kesulitan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh ketidaknormalan tersebut. Thohari (2010) menjelaskan bahwa orang-orang dengan keterbatasan fisik diistilahkan sebagai tunarungu (tuli), tunadaksa (tubuh), tunagrahita (mental), tunanetra (penglihatan), dan sebagainya. Mangunsong (2011) mendefinisikan tuna daksa sebagai individu yang memiliki hambatan fisik akibat polio, kecelakaan, keturunan, kondisi sejak lahir, kelayuan otot-otot, peradangan otak, dan kelainan motorik. Permasalahan yang saat ini masih dialami tuna daksa dalam kehidupan bermasyarakat yaitu anggapan bahwa tuna daksa merupakan aib, memalukan, dianggap sama seperti orang sakit, dianggap tidak berdaya, dikasihani, mereka hanya tinggal dirumah dan diawasi sehingga sangat sulit memberikan hak dan kesempatan yang sama (Adinda, 2010). Dalam hal ini, pemerintah, masyarakat maupun pihak keluarga masih memiliki persepsi dengan menganggap bahwa tuna daksa sebagai orang yang memiliki kerusakan dan perlu diperbaiki (Lusli, 2010). Masduqi (2010) mengungkapkan bahwa sikap dan perilaku masyarakat terhadap tuna daksa, secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kondisi psikologis para tuna daksa yaitu sikap masyarakat yang memperlakukan mereka secara tidak adil dan dipandang sebagai kelompok yang tidak produktif, lemah, dan hanya perlu untuk disantuni dan dikasihani. Istilah-istilah yang mengandung makna negatif juga membuat para tuna daksa menjadi inferior (rendah diri), malu, merasa tidak berguna dan pesimis. Lusli (2010) menyatakan pandangan masyarakat terhadap tuna daksa umumnya negatif, keliru, dan juga diikuti dengan pemberian stigma dan stereotipe. Di sisi lain, setiap tuna daksa menginginkan dirinya di terima secara terbuka dan wajar dalam 164 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 kehidupan masyarakat tanpa adanya prasangka-prasangka negatif dari masyarakat (Masduqi, 2010). Sport for development and peace international working group (2008) menjelaskan dengan adanya pandangan masyarakat yang negatif terhadap tuna daksa membuat banyak negara, mengubah keyakinan dan sikap untuk menyadari pentingnya hak bagi tuna daksa. Akibatnya, Undang-Undang telah ditetapkan untuk menjamin hak yang sama dan upaya tersebut sedang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusif dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga halnya di Indonesia telah terdapatnya Undang-Undang mengenai pengakuan dan penegakkan hak-hak individu dengan keterbatasan fisik, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 yang menegaskan bahwa individu dengan keterbatasan fisik merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dalam segala aspek kehidupan yaitu dalam hal pendidikan, pekerjaan, perlakuan, aksesibilitas, rehabilitas, hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial. Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa perlakuan yang negatif berdasarkan keterbatasan fisik telah berlangsung sejak lama dan adanya kebenaran pandangan yang negatif mengenai keterbatasan fisik. Lusli (2010) mengungkapkan pada dasarnya terdapat dua jenis perlakuan negatif yang dirasakan oleh tuna daksa yaitu pelabelan masyarakat berdasarkan penampilan fisik dan tidak adanya aksesibilitas. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi tuna daksa guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan seperti akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas diluar ruangan termasuk sarana rekreasi. Minimnya aksesibilitas yang ada saat ini, menimbulkan frustasi bagi tuna daksa dalam menghadapi kenyataan bahwa berbagai hambatan arsitektural dan fasilitas-fasilitas yang disediakan ternyata sering tidak memungkinkan bagi para tuna daksa untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, maupun rekreasi (Adinda, 2010). Arifin (2007) juga mengungkapkan kesulitan yang dialami tuna daksa tidak hanya dalam hal akses pada fasilitas umum saja, namun juga dalam kesempatan memperoleh 165 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 pekerjaan. Terdapatnya keterbatasan akses untuk fasilitas umum dan kesempatan kerja bagi tuna daksa masih langka, meski terdapatnya jaminan pekerjaan (dalam Pelita, 2007). Kesulitan dalam hal mendapatkan kerja pada tuna daksa juga terjadi di lapangan kerja sektor formal yang meliputi perusahaan dan instansi pemerintahan dikarenakan hanya sedikit dari jumlah 2% individu dengan keterbatasan fisik yang dapat diterima bekerja di sektor formal (Setiawan, 2007). Langkanya perusahaan yang mau mempekerjakan tuna daksa membuat mereka tidak dapat berkarya dan banyak perusahaan yang menggunakan berbagai alasan untuk menolak karyawan yang memiliki keterbatasan fisik (dalam Pelita, 2012). Disisi lain, kesempatan kerja bagi individu dengan keterbatasan fisik diakui dalam Undang-Undang penyandang cacat No. 4 Tahun 1997, pasal 14 yang menyatakan bahwa perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada individu dengan keterbatasan fisik dalam memberikan pekerjaan di perusahaannya dan perusahaan harus mempekerjakan paling tidak satu persen setiap 100 pekerja. Dari jumlah 20 juta individu dengan keterbatasan fisik di Indonesia, sebanyak 80 persen atau 16 juta orang tercatat tidak memiliki pekerjaan akibat kurang adanya kesempatan dari perusahaan atau penyedia lapangan kerja (Kompas, 2010). Menurut Komardjaja (2010), kemampuan untuk bekerja dan berpenghasilan merupakan ciri kedewasaan seseorang yang ditandai dengan adanya tanggung jawab dan kemandirian. Masa dewasa muda merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi sehingga semakin diakui sebagai tanda bahwa seseorang memasuki masa dewasa adalah kalau mempunyai pekerjaan yang tetap (Santrock, 2003). Dariyo (2004) menyatakan bahwa pada masa perkembangan dewasa muda ditandai dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasi diri dan bersemangat untuk meraih tingkat kehidupan ekonomi yang tinggi sehingga dapat bersaing dengan orang lain untuk dapat membuktikan kemampuannya sebagai modal untuk memasuki dunia pekerjaan. Kedewasaan yang seperti ini juga diinginkan oleh tuna daksa dewasa muda namun akses pekerjaan acapkali tertutup bagi mereka. Hal ini dikarenakan didunia kerja jumlah pengangguran juga banyak sehingga tuna daksa yang berusia dewasa muda juga 166 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 harus memperebutkan peluang kerja dengan mereka yang secara fisik normal (dalam Kompas, 2009). Terdapat beberapa kasus mengenai kesulitan yang dialami oleh tuna daksa dalam mendapatkan pekerjaan yaitu tidak banyak tuna daksa yang bisa menjadi pegawai negeri sipil karena adanya salah satu syarat untuk menjadi PNS yaitu harus sehat badan dan rohani (Komardjaja, 2010). Kasus lainnya juga yang menyangkut dengan aksebilitas yaitu tuna daksa mempunyai kesulitan mobilitas dalam hal transportasi ke tempat kerja karena belum ada bus yang bisa membawa mereka dari rumah menuju tempat kerja (Lusli, 2010). Seorang perempuan tuna daksa bernama DA. Ia tidak cacat sejak lahir namun karena adanya peradangan selaput otak sehingga mengakibatkan dirinya lumpuh. Saat dirinya masih belum mengalami kelumpuhan, ia bekerja di salah satu perusahaan. Namun setelah dirinya sakit, ia di PHK tanpa prosedur semestinya (Adinda, 2008). Kasus lainnya yaitu dialami oleh perempuan tuna daksa berinisial EM. Ia mengaku bahwa karena kondisi fisiknya, ia seringkali mendapatkan penolakan dan menerima kalimatkalimat yang negatif saat melamar pekerjaan padahal menurutnya, bidang pekerjaan tersebut tidaklah bertentangan dengan kemampuannya (Masta, 2010). Terbatasnya kesempatan kerja tersebut dapat membuat tuna daksa menjadi putus asa dan menghambat keinginan kebanyakan tuna daksa yang ingin bekerja supaya dapat hidup mandiri karena ketergantungan pada orang lain dapat mengurangi kebebasan psikologis bagi mereka (Komardjaja, 2010). Akibat dari seringnya individu tuna daksa diperlakukan berbeda dengan individu normal maka dapat mempengaruhi pandangan individu tuna daksa tentang keberadaan dirinya sehingga mempengaruhi penerimaan diri individu terhadap kekurangan yang dimilikinya (Machdan & Hartini, 2012). Berdasarkan kondisi riil yang ditemukan peneliti saat melakukan kegiatan magang selama kurang lebih satu bulan sejak tanggal 7 April 2012- 5 Mei 2012 di Fatmawaty Wheelchair Tennis Club. Peneliti menemukan bahwa terdapat beberapa tuna daksa yang optimis dalam mendapat pekerjaan meskipun memiliki keterbatasan fisik dan adanya kesulitan yang dialami, namun mereka tetap berusaha sehingga pada akhirnya memiliki pekerjaan yang tetap. Disisi lain, terdapat pula tuna daksa yang tidak memiliki pekerjaan 167 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 yang tetap karena kurang adanya usaha untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi untuk memperoleh pekerjaan. Satyaningtyas dan Abdullah (2009) menyatakan bahwa tuna daksa harus tetap optimis dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya serta masih memiliki kesempatan untuk mewujudkan keinginan melalui kegiatan yang memberikan kepuasan hidup yang sesuai dengan minat dan kemampuan individual. Penelitian yang di lakukan oleh Primardi dan Hadjam (2010) menjelaskan bahwa optimisme bukan ditentukan oleh perbedaan gender tetapi ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk menyikapi segala permasalahan yang di hadapi secara positif. Individu yang menginginkan masa depan yang baik akan mengerahkan kemampuan, kekuatan, serta usaha yang dimiliki untuk mencapai situasi yang lebih baik, sehingga individu dalam menghadapi masa depannya harus memiliki rasa optimisme (Goleman, 2002). Seligman (2006) menyatakan optimisme adalah keyakinan individu bahwa peristiwa yang buruk atau kegagalan hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi aktivitas dan tidak mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa dikarenakan situasi. Scheier dan Carver (2002) menjelaskan bahwa individu yang optimis yaitu individu yang mengharapkan halhal yang baik terjadi padanya. Sedangkan individu yang pesimis yaitu individu yang cenderung mengharapkan hal-hal yang buruk terjadi padanya. Individu yang pesimis cenderung mengalami depresi, kesehatan fisik yang lebih buruk, dan kurang mencapai prestasi disekolah maupun ditempat kerja (Seligman, Reivich, Jaycox, & Gillham, 1996). Seligman (2006) menyatakan orang-orang yang sukses dalam menantang pekerjaan harus memiliki tiga karakteristik yaitu bakat, motivasi, dan optimisme. Keberhasilan dimasa depan akan diperoleh bila seseorang memiliki optimisme dan semangat tinggi dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik dan orang yang memiliki pola pikir yang optimis dalam hidupnya akan memiliki kepercayaan diri untuk melakukan hal-hal yang diinginkan (Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011). Misalnya menanggapi kekecewaan seperti lamaran pekerjaan ditolak, orang yang optimis cenderung menyikapinya dengan respon yang aktif dan tak putus harapan, merencanakan suatu tindakan atau berusaha mencari pertolongan dan nasihat; mereka melihat suatu kegagalan dapat diperbaiki. Sebaliknya orang yang pesimis menyikapi kegagalan 168 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 semacam itu dengan menganggap bahwa tak ada yang dapat dilakukan untuk membuat segalanya lebih baik dimasa-masa mendatang, dan dengan demikian mereka tak melakukan apa-apa untuk memecahkan masalah itu. mereka memandang kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang merupakan cacat pribadi yang akan selalu menimpa hidup mereka (Goleman, 2002). Dengan demikian, rumusan masalah yang terdapat pada penelitan ini adalah mengenai bagaimana gambaran optimisme pada tuna daksa yang bekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran optimisme pada tuna daksa yang bekerja ditinjau berdasarkan dimensi optimisme. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya dan mengembangkan ilmu psikologi perkembangan dan psikologi positif. Manfaat praktis yang didapatkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi contoh bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik khususnya tuna daksa untuk tetap optimis walaupun mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi bagi pihak Fakultas Psikologi UKRIDA dengan diadakannya seminar atau pelatihan pengembangan optimisme. Optimisme Menurut Ciccarelli dan Meyer (2006), optimisme maupun pesimisme merupakan sikap yang dimiliki oleh seseorang terhadap kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupnya dan juga merupakan salah satu faktor personal yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam menghadapi tekanan yang dialami. Scheier dan Carver (2002) menjelaskan bahwa individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan hal-hal yang baik terjadi pada mereka, sedangkan individu yang pesimis cenderung mengharapkan hal-hal buruk terjadi kepada mereka. McGinnis (1995) mengungkapkan bahwa individu yang optimis adalah individu yang merasa yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan dunia mereka. Perasaan yang optimis merupakan paduan antara dorongan-dorongan baik secara fisik dan psikis dalam mempertahankan diri dan mengembangkan diri pada setiap proses perkembangan manusia (Danistya, 2002). 169 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Seligman (2006) menyatakan optimisme yaitu keyakinan individu bahwa peristiwa yang buruk atau kegagalan hanya bersifat sementara, tidak memengaruhi aktivitas dan tidak mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa situasi, nasib atau orang lain. Optimisme mengajarkan individu untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik untuk diri sendiri (harapan). Synder (dalam Goleman, 2002) menjelaskan harapan tersebut merupakan perubahan yang lebih baik pada dirinya dari keadaan yang sekarang. Adanya perasaan optimis akan memunculkan rasa percaya diri untuk melakukan hal-hal yang diinginkan. Optimisme masa depan yaitu harapan yang kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan dan dapat menopang individu agar jangan sampai terjatuh ke dalam masa kebodohan, keputusasaan, ataupun mengalami depresi ketika individu di hadapkan pada kesulitan (Goleman, 2002). Optimisme juga didefinisikan sebagai pengharapan bahwa hal-hal baik lebih mungkin terjadi dan hal-hal buruk kecil kemungkinannya terjadi di masa depan. Pandangan ini memusatkan pada cara orangorang mengejar tujuan dan nilai mereka dalam menghadapi kegagalan, orang-orang yang optimis tetap memiliki keyakinan bahwa tujuan dan nilai masih dapat diraih. Optimisme yang mereka miliki dapat membuat mereka untuk tetap bekerja meraih tujuan mereka, sementara pesimisme membuat orang-orang menyerah (King, 2010). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa optimisme adalah keyakinan individu bahwa peristiwa yang buruk atau kegagalan tidak menghalangi mereka untuk tetap bekerja meraih tujuan sehingga adanya harapan yang kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa masalah. Elemen optimisme dapat dilihat dari cara kita untuk menjelaskan kejadian, baik kejadian buruk atau baik yang menimpa diri kita (Seligman, 2002). Menurut Seligman (2002) dalam menghadapi peristiwa, individu mengekspresikan optimisme dapat dijelaskan melalui gaya penjelas optimisme yaitu: (a) permanence, (b) pervasiveness, (c) personalization. Permanence, merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Orang yang pesimis selalu menjelaskan bahwa peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan tidak 170 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 dapat diubah. Sebaliknya, orang yang optimis akan memandang kejadian buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang bersifat temporer atau sementara dan dapat dihindari di masa mendatang. Dalam hal memandang sebuah keberhasilan, individu yang optimis akan memberikan penjelasan bahwa peristiwa baik yang menimpa merka sebagai sesuatu yang cenderung permanen, sedangkan individu yang pesimis akan memberika penjelasan bahwa peristiwa baik sebagai sesuatu yang sementara. Pervasiveness merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan general. Orang yang pesimis cenderung memberikan penjelasan yang menggeneralisir atas kejadian buruk yang ada di sekeliling mereka. Sebaliknya, individu yang optimis akan memberikan penjelasan yang bernada spesifik, dan bukan sebuah generalisasi. Dalam hal memandang sebuah keberhasilan atau peristiwa baik yang menimpa diri mereka, individu yang optimis cenderung memberikan penjelasan yang general atas keberhasilan yang diterimanya, sedangkan individu yang pesimis cenderung memberikan penjelasan yang spesifik atas keberhasilan yang dimilikinya. Personalization merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan sumber penyebab internal dan eksternal. Orang yang pesimis akan melihat kegagalan dari sisi dirinya (internal) dan menganggap keberhasilan sebagai akibat dari situasi diluar dirinya (eksternal). Sedangkan orang yang optimis memandang penyebab masalahmasalah yang menekan dari sisi lingkungan (eksternal) dan menganggap keberhasilan yang diraihnya berasal dari kemampuan dirinya (internal). Seligman, Reivich, Jaycox dan Gilham (2007) menjelaskan bahwa individu yang menyalahkan diri sendiri (internal) memiliki harga diri yang rendah, merasa bersalah dan pemalu. Sedangkan individu yang menyalahkan orang lain atau keadaan merasa lebih baik tentang harga diri, menyukai diri sendiri, dan sedikit malu. Menurut Kelley (dalam Baron & Byrne, 2003) mengetahui alasan dalam perilaku orang lain, dapat memusatkan perhatian pada hal yang berhubungan dengan tiga sumber informasi penting yaitu konsensus (derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu), konsistensi (derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang sama pada waktu yang berbeda), distingsi (derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus yang 171 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 berbeda-beda). Berdasarkan ketiga sumber tersebut dapat mengatribusi perilaku orang lain pada penyebab internal dan eksternal. Ginnis (1995) menyatakan orang yang optimis memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (a) jarang terkejut oleh kesulitan, (b) mencari pemecahan sebagian permasalahan,(c) merasa yakin bahwa mampu mengendalikan masa depan, (d) memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur, (e) menghentikan pemikiran yang negatif, (f) meningkatkan kekuatan apresiasi, (g) menggunakan imajinasi untuk melatih sukses, (h) merasa yakin memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur, (i) suka bertukar berita baik, (j) membina cinta dalam kehidupan, (k) menerima apa yang tidak bisa diubah. Tuna Daksa Mangunsong (2011) menyatakan gangguan fisik atau cacat tubuh memiliki pengertian yang luas dimana secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan yang normal. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI (2010) mendefinisikan tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskuler dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk polio dan lumpuh. Somantri (2006) juga mengungkapkan bahwa tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, penyakit, atau kecelakaan. Akibat dari kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, dapat membuat kegiatan individu menjadi terhambat. Berdasarkan uraian yang telah dijelasakan dapat disimpulkan bahwa tuna daksa adalah individu yang memiliki ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan yang normal karena terdapatnya gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi yang dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, penyakit, dan kecelakaan. Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2006) tuna daksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, 172 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 (b) Kerusakan pada waktu lahir, (c) Infeksi, (d) Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, (e) tumor, (f) Kondisi-kondisi lainnya. Klasifikasi yang pertama yaitu kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan meliputi: kelumpuhan pada bagian paha, kaki seperti tongkat, tangan seperti tongkat, spina-bifidal (sebagian dari sumsum tulang tidak tertutup), gangguan pada sumsum tulang belakang, kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis, dan bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh yang lengkap, herelip (gangguan pada bagian bibir dan mulut). Klasifikasi yang kedua yaitu kerusakan pada waktu lahir yang meliputi erb’s plsy dan fragilitas osium. erb’s plsy merupakan kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran. Sedangkan fragilitas osium merupakan tulang yang rapuh dan mudah patah. Klasifikasi yang ketiga yaitu infeksi yang meliputi tuberkolosis tulang, osteomyelitis, poliomyelitis, pott’s disease dan tuberkolosis pada lutut atau pada sendi lainnya. tuberkulosis tulang yaitu menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku. osteomyelitis merupakan radang didalam dan di sekelilingi sumsum tulang akibat bakteri. Poliomyelitis yaitu infeksi virus yang dapat menyebabkan kelumpuhan. pott’s disease yaitu tuberkolosis sumsum tulang belakang. Klasifikasi yang keempat yaitu kondisi traumatik atau kerusakan traumatik yang meliputi amputasi (kehilangan anggota tubuh akibat kecelakaan atau penyakit), kecelakaan akibat luka bakar, dan patah tulang sehingga menyebabkan terganggunya fungsi gerak. Kondisi-kondisi lainnya, meliputi yang tumor tulang, osteosis fibrosa cystica (kista yang berisi cairan di dalam tulang), flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk), kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung), scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha yang miring) dan lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung). King (2010) menyatakan beberapa hal yang termasuk dalam kesulitan yang dialami oleh tuna daksa pada bidang pekerjaan adalah membatasi, memisahkan, atau mengklasifikasi pelamar pekerjaan atau pegawai dengan cara yang akan memengaruhi kesempatan atau status dari pelamar atau pekerja karena keterbatasan yang dimilikinya; menggunakan standar, kriteria, atau metode administrasi yang dapat menimbulkan efek diskriminasi berdasarkan keterbatasan atau menimbulkan diskriminasi terhadap orang 173 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 lain; mengabaikan atau tidak memberikan keuntungan atau pekerjaan yang sama terhadap individu karena keterbatasan fisik; tidak memberikan akomodasi dan aksebilitas yang layak terhadap keterbatasan fisik dari individu yang seharusnya memiliki kualifikasi yang menjadi pelamar atau pekerja; dan tidak memilih dan mengadministrasikan tes yang berhubungan dengan perekrutan dengan cara yang paling efektif. Hambatan dalam penempatan tenaga kerja tuna daksa meliputi keterbatasan kesempatan kerja, ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dengan persyaratan jabatan dan kondisi kerja yang ada, rendahnya kesadaran dan sikap penerimaan masyarakat dunia kerja terhadap tuna daksa, lemahnya pengelolaan tenaga kerja tuna daksa oleh berbagai instansi terkait (pemerintah), dan faktor internal pribadi tenaga kerja tuna daksa itu sendiri dan keluarganya. Papalia, Olds, dan Feldman (2001) menyatakan bahwa masa dewasa muda adalah massa transisi dari tahap remaja menuju tahap dewasa. Dewasa awal berada pada usia 20 hingga 40 tahun. Seseorang dapat dikatakan dewasa bila mereka sudah mandiri atau telah memilih karir, telah menikah atau membangun hubungan, dan telah membentuk sebuah. Santrock (2003) juga menyatakan bahwa dewasa muda merupakan masa dimana individu membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Dalam masa ini juga dimana dewasa muda belajar hidup dengan seseorang secara intim, memilih pasangan, dan mementingkan perkembangan karir. Masa dewasa muda menurut Dariyo (2004) adalah individu yang tidak lagi tergantung secara ekonomis, sosiologis ataupun psikologis pada orangtuanya. Berbagai pengalaman baik yang berhasil dan gagal dalam menghadapi suatu masalah akan dapat dijadikan pelajaran berharga guna membentuk seorang pribadi yang matang dan tangguh dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian dewasa muda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengertian yang dikemukakan oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2001) yang menyatakan bahwa dewasa muda merupakan masa transisi dari tahap remaja menuju tahap dewasa dimana telah adanya kemandirian, telah membangun hubungan atau telah membentuk sebuah keluarga. 174 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Papalia, Olds, dan Feldman (2001) menyatakan pada masa dewasa muda Individu tidak lagi disebut masa akil balik, tetapi sudah tergolong menjadi seorang yang benarbenar dewasa. Secara fisik sudah matang sehingga siaap melakukan tugas-tugas seperti bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Masa dewasa awal berada dipuncak kesehatan, kekuatan, energi, daya tahan, dan fungsi motorik. Ketajaman visual merupakan yang paling menonjol pada masa dewasa muda yaitu pengecapan, pembauan, serta sensitivitas terhadap rasa sakit dan suhu umumnya tetap bertahan hingga usia 45 tahun. Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2001) menyatakan bahwa kognitif dewasa muda tergolong masa operasional formal. Pada masa ini menyebabkan ewasa muda mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis dan rasional. Dari segi intelektual juga sudah dapat masuk keperguruan tinggi dan pekerjaan. Pendidikan yang tinggi memperluas kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan kualitas hidup jangka panjang bagi orang dewasa di dunia kerja. Erikson (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2001) memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas penting masa dewasa awal. Unsur penting dari keintiman adalah pengungkapan diri yaitu membuka informasi penting tentang diri sendiri kepada orang lain. Keintiman dapat tercipta melalui sikap saling terbuka, responsif terhadap kebutuhan orang lain, serta adanya rasa menerima dan hormat yang timbal balik. Hubungan yang intim menuntut keterampilan tertentu seperti kepekaan, empati, dan kemampuan mengomunikasikan emsi, menyelesaikan konflik, mempertahankan komitmen, dan bila hubungan secara seksual, mengambil keputusan seksual dan memiliki anak. Terdapat tiga ekspresi keintiman pada dewasa awal yaitu persahabatan, cinta, dan seksualitas. 175 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Metode Penelitian Partisipan Metode penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Partisipan penelitian berjumlah dua orang tuna daksa yang sudah bekerja dan memiliki pengalaman mendapatkan kesulitan ketika mendapatkan pekerjaan. Karakteristik partisipan penelitian yang ada pada penelitian ini adalah tuna daksa, dan saat ini telah memiliki pekerjaan atau usaha. Dalam penelitian ini, kriteria partisipan yang digunakan telah disesuaikan dengan tujuan dan isi dari penelitian. Jenis kelamin yang diperlukan bebas pada penelitian ini jenis kelamin yang didapatkan adalah pria dan wanita dewasa muda. Pengukuran Penelitian ini menggunakan tipe penelitian studi kasus sehingga diharapkan akan didapatkannya pengalaman subjektif individu yang mendalam. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara kepada subjek dan informan. Pengambilan data dilakukan selama 3 bulan. Analisis Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data yang diperopleh melalui wawancara ke dalam bentuk verbatim. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menemukan kategori-kategori seperti tema atau konsep dari jawaban subjek. Hasil Penelitian Dalam hal dimensi permanence, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara pandangan Na dan Ni mengenai kegagalan dan keberhasilan yang mereka alami. Permanence merupakan gaya penjelasan masalah (kegagalan dan keberhasilan) yang berkaitan dengan waktu. Persamaan antara keduanya yaitu dalam hal menjelaskan mengenai gaya penjelasan kegagalan. Na dan Ni menjelaskan penyebab kegagalan yang mereka alami sama-sama bersifat sementara. Na menjelaskan kegagalan yang dialami oleh dirinya merupakan sesuatu yang sementara yaitu Na meyakini bahwa Universitas tersebut mungkin saat ini belum dapat menyediakan fasilitas baginya tetapi 176 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 suatu saat nanti pihak Universitas pasti akan sadar bahwa pentingnya untuk menyediakan fasilitas khususnya bagi pengguna kursi roda untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Na menganggap bahwa pekerjaan itu harus dicari tidak datang dengan sendirinya justru dengan adanya kegagalan menjadi pengalaman yang berharga agar dapat membuatnya untuk lebih intropeksi diri. Sedangkan Ni juga menjelaskan kegagalan yang dialaminya merupakan sesuatu yang sementara yaitu Ni berpendapat bahwa kegagalan yang dialami olehnya disebabkan karena dirinya kurang beruntung saja sehingga membuatnya untuk lebih berusaha lagi dalam mencari pekerjaan ditempat lain. Ni percaya bahwa ada tempat kerja lain yang mungkin lebih baik yang mau menerima kekurangan yang dimilikinya. Berdasarkan dari pandangan keduanya mengenai kegagalan yang hanyalah bersifat sementara, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan seseorang yang optimis dalam memandang suatu peristiwa kegagalan. Perbedaan antara keduanya yaitu dalam hal menjelaskan mengenai gaya penjelasan keberhasilan. Na menjelaskan keberhasilan yang berkaitan dengan waktu yaitu sementara sedangkan Ni menjelakan keberhasilan yang berkaitan dengan waktu yaitu permanen. Na mengatakan bahwa keberhasilannya dalam mendapat pekerjaan disebabkan karena Na memiliki kemampuan untuk mengajar dan memiliki pendidikan yang sesuai untuk menjadi seorang dosen yaitu dengan pendidikan terakhir S2 manajemen yang dirinya miliki itu lah yang menjadi pertimbangan pihak tempatnya melamar pekerjaan untuk menerimanya dan bukan karena faktor kasihan dengan kondisi fisiknya. Hal tersebut membuktikan bahwa penyebab keberhasilannya bersifat permanen bukanlah sementara karena kemampuan dan pendidikan yang Na miliki berdasarkan dari segi waktu tidak akan pernah berubah itu lah yang menjadi modalnya untuk melamar pekerjaan diberbagai tempat. Sedangkan Ni mengatakan bahwa keberhasilannya hanya dikarenakan faktor keberuntungan saja sehingga Ni memandang bahwa keberhasilannya bersifat sementara karena belum tentu dirinya beruntung ketika melamar pekerjaan ditempat lain. Berdasarkan dari penjelasan yang berbeda tersebut mengenai keberhasilan yang berkaitan dengan segi waktu dapat disimpulkan bahwa Na merupakan orang yang lebih optimis dibandingkan dengan Ni karena Na memandang bahwa kegagalan dalam 177 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 mendapatkan pekerjaan yang diakibatkan karena adanya diskriminasi sebagai sesuatu yang bersifat permanen. Dimensi pervasiveness ini merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup. Peneliti melakukan analisa berdasarkan ruang lingkup yang memberikan penjelasan mengenai hal kesulitan dalam mencari pekerjaan, pengaruh kegagalan dan keberhasilan bagi individu tersebut, dampak dari kegagalan dan keberhasilan, penilaian diri ketika gagal dan berhasil. Terdapat perbedaan dalam penjelasan ruang lingkup mengenai kesulitan yang dihadapi oleh Na dan Ni dalam melamar pekerjaan. Na memberikan penjelasan yang general atas kegagalan yang dialami yaitu Na menjelaskan bahwa setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik pasti akan mengalami kesulitan dalam melamar pekerjaan dan hal tersebut biasa terjadi. Sedangkan Ni memberikan penjelasan yang spesifik yaitu Ni menjelaskan bahwa setiap individu tuna daksa belum tentu memiliki kesulitan ketika melamar pekerjaan jika ada pun pasti kesulitan yang dimiliki berbeda-beda seperti dalam hal akses, dalam hal gaji yang kurang, dalam hal sosialisasi, pendidikan yang tidak terlalu tinggi atau juga kemampuan yang dimiliki. Terdapat persamaan dalam penjelasan ruang lingkup mengenai pengaruh kegagalan yang dihadapi oleh Na dan Ni dalam melamar pekerjaan yaitu keduanya sama-sama memberikan penjelasan yang spesifik. Na memberikan penjelasan bahwa meskipun Na sempat mengalami kekecewaan dan keputusasaan namun dirinya tetap melanjutkan kehidupannya bahkan ketika mengalami kegagalan pada salah satu aspek penting kehidupannya yaitu ditolak bekerja. Na mungkin memang tidak berdaya pada salah satu aspek kehidupan tersebut, tetapi ia tetap melangkah dengan mantap untuk terus berusaha. Ni memberikan penjelasan bahwa kegagalan yang dialaminya tidak mempengaruhi segala segi kehidupannya. Hal itu dibuktikan dengan Ni masih dapat beraktivitas sebagai atlet dan juga masih memiliki hubungan yang baik dengan temantemannya. Terdapat perbedaan dalam penjelasan ruang lingkup mengenai dampak kegagalan yang dialami oleh Na dan Ni. Na memberikan penjelasan yang general yaitu dampak kegagalan yang dialami olehnya juga mempengaruhi disekitarnya seperti dirinya tidak 178 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 memiliki penghasilan untuk dapat membantu orang tuanya membiayai karyawankaryawan yang bekerja di tempat usahanya dan anak angkatnya, tidak dapat membiayai kedua orang tuanya untuk naik haji dengan penghasilannya sendiri, dan juga yang penting baginya yaitu tidak dapat membuktikan kepada saudara-saudaranya bahwa ia mampu mandiri dan memiliki pekerjaan tanpa tergantung lagi dengan kedua orang tuanya. Sedangkan Ni memberikan penjelasan yang spesifik yaitu dampak kegagalan hanya terjadi pada dirinya dan tidak mempengaruhi orang-orang yang berada disekitarnya. Terdapat perbedaan pula dalam penjelasan ruang lingkup mengenai dampak keberhasilan yang dialami Na dan Ni. Na memberikan penjelasan yang general yaitu Na menganggap bahwa peristiwa yang baik tersebut juga berdampak tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain yang berada didalam kehidupannya. Sedangkan Ni memberikan penjelasan yang spesifik yaitu Ni menganggap bahwa peristiwa yang baik tersebut hanya berdampak bagi dirinya yaitu dirinya sudah memiliki penghasilan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dalam penjelasan ruang lingkup mengenai penilaian diri ketika mengalami kegagalan, Na dan Ni memiliki pandangan yang berbeda. Na menilai dirinya secara spesifik yaitu Na menjelaskan bahwa meskipun dirinya mengalami kegagalan namun ia tetap menilai dirinya memiliki kemampuan dalam hal mengajar. Sedangkan Ni menilai dirinya secara general yaitu jika ia tidak dapat diterima dalam sebuah perusahaan tempat ia melamar, berarti memang dirinya masih belum memiliki kemampuan dalam bidang tersebut sehingga dirinya masih dapat mencoba dalam bidang yang lain. dalam penjelasan ruang lingkup mengenai pnilaian diri ketika mengalami keberhasilan juga diungkapkan Na dan Ni secara berbeda. Na menilai dirinya secara spesifik yaitu dirinya ketika bekerja semakin memiliki ketertarikan dan kemampuan hanya dalam satu bidang yaitu bidang pendidikan. Sedangkan Ni menilai dirinya secara general yaitu diterimanya dirinya bekerja di tempat kerjanya yang sekarang disebabkan karena dirinya memang memiliki kemampuan yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh perusahaannya yaitu pekerjaan tersebut tidak terlalu menyulitkan bagi dirinya yang hanya duduk untuk input data costumer. 179 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Pada dimensi personalization suatu kegagalan atau keberhasilan dijelaskan berkaitan dengan sumber penyebab. Na dan Ni memiliki penjelasan yang berbeda mengenai sumber penyebab suatu kegagalan. Na menjelaskan bahwa yang menjadi sumber penyebab peristiwa buruk yang menimpa dirinya yaitu berasal dari pihak perusahaan. Hal ini berarti menunjukan bahwa kegagalan yang dialami berasal dari faktor luar. Sedangkan Ni menjelaskan bahwa yang menjadi sumber penyebab peristiwa buruk yang menimpa dirinya yaitu berasal dari dirinya sendiri. Hal tersebut terkait dengan penjelasan Ni yaitu bahwa pihak perusahaan tidak ingin menerima dirinya mungkin saja karena kemampuan dan pendidikan yang Ni miliki tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Terdapat pula perbedaan pandangan antara Na dan Ni dalam menjelaskan sumber penyebab keberhasilan mereka. Na memandang bahwa yang menjadi sumber penyebab peristiwa baik yang dialaminya dikarenakan berasal dari dirinya sendiri yang tidak mau menyerah dan ingin bersungguh-sungguh berprofesi sebagai pengajar. Sedangkan Ni memandang bahwa sumber penyebab peristiwa baik yang dialaminya dikarenakan bersumber dari pihak perusahaan yang telah memberikannya kesempatan untuk bekerja dtempat tersebut. Hal tersebut dikarenakan pihak perusahaan memang menilai bahwa dirinya telah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pembahasan Keterbatasan fisik yang dialami oleh Na dan Ni, tidak dipungkiri juga berdampak saat keduanya mencari pekerjaan. Na yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya jumlah karyawan tuna daksa yang diterima dan masih minimnya aksesibiltas bagi tuna daksa khususnya pengguna kursi roda ditempat Na melamar pekerjaan. Sedangkan Ni ketika melamar pekerjaan memiliki kesulitan dalam hal gaji, syarat yang diajukan perusahaan dan juga terbatasnya jumlah karyawan pengguna kursi roda yang diterima. Seperti yang diungkapkan Vaughan dan Hogg (dalam Sarwono & Mainarno) bahwa kesulitan yang dialami individu dengan keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak lama dan bahkan orang-orang dengan keterbatasan seperti ini dipandang negatif oleh masyarakat. 180 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Dalam hal mencari pekerjaan Na dan Ni merupakan individu yang tidak mudah menyerah untuk terus mencoba meskipun keduanya berulang kali mendapatkan penolakan saat melamar pekerjaan karena kesempatan kerja yang terbatas bagi tuna daksa. Hal tersebut membuktikan bahwa Na dan Ni memiliki keyakinan yang optimis untuk dapat bekerja supaya memiiki masa depan yang lebih baik. Hal yang dialami Na dan Ni sesuai dengan penjelasan Goleman (2002) bahwa individu yang optimis memiliki harapan yang kuat terhadap segala sesuatu dan menopang individu agar jangan sampai putus asa dan mengalami depresi ketika individu dihadapkan pada kesulitan. Seligman (2002) mengungkapkan bahwa permanence merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer atau permanen. Dalam meyakini suatu kegagalan atau peristiwa buruk yang menimpa Na dan Ni, keduanya memiliki keyakinan yang sementara dari segi waktu. Seligman (2002) juga menjelaskan bahwa pervasiveness merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan general. Dalam dimensi ini Na dan Ni ternyata memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang peristiwa buruk dalam pekerjaan mereka yaitu Na memiliki pandangan yang general sedangkan Ni memiliki pandangan yang lebih spesifik. Salah satu temuan yang ada pada penelitian ini adalah terdapatnya perbedaan yang melatarbelakangi penyebab adanya keyakinan optimis yang dimiliki oleh Na dan Ni. Na memiliki keyakinan yang optimis lebih di dasari sebagai sebuah pembuktian diri, sedangkan Ni didasari oleh keyakinannya bahwa sebagai seorang laki-laki dirinya harus memiliki pekerjaan sebagai bentuk sebuah kemandirian dan tanggung jawab. Berikut ini merupakan diagram penyebab optimisme yang dimiliki oleh Na: mendapatkan cibiran-cibiran dari keluarga dan tetangganya. berjuang untuk membuktikan diri memiliki kemampuan 181 mencapai apa yang diinginkan Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Berikut ini merupakan diagram penyebab optimisme yang dimiliki oleh Ni: tidak percaya diri karena belum mendapat pekerjaan memiliki keyakinan bahwa sebagai laki-laki harus mandiri dengan bekerja berjuang untuk mencapai apa yang diinginkan merasa lebih percaya diri Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menemukan adanya dinamika optimisme yang dimiliki oleh kedua subyek penelitian, namun dalam penelitian ini peneliti tidak membahasnya lebih lanjut sehingga peneliti menyarankan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini di masa depan sebaiknya meneliti dinamika optimisme para subyek lebih detail. Daftar Pustaka Adinda, T. (2010). Menggugat kebijakan dan pengadaan fasilitas umum untuk difable. Dalam Riyadi, E. Jurnal Perempuan: mencari ruang untuk difable, 65, 77-88. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Arifin, S. (2007). Analisis perlindungan hukum terhadap hak penyandang cacat dalam meraih pekerjaan (studi kasus di kota Yogyakarta). Jurnal Fenomena, 5(2), 157175. Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial (10th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga Ciccarelli, S. K., & Meyer, G. E. (2006). Psychology. NJ: Pearson Prentice Hall. Danistya, F. (2012). Optimisme hidup penderita HIV/AIDS. Jurnal Universitas Negeri Semarang, 1(1). Diunduh dari: http://jurnal.unnes.ac.id/sju/indexphp/dcp/article/ view/305 Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Dewi, S.S. (2011). Mengupas implementasi ketentuan pasal 14 dan pasal 28 UU nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Diunduh dari: http://www.kumhamjogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/391-mengupas-implementasiketentuan-pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor-4-tahun-1997-tentangpenyandang-cacat Direktorat jendral bina kesehatan masyarakat & direktorat bina kesehatan anak kementerian kesehatan RI. (2010). Pedoman pelayanan kesehatan anak di sekolah luar biasa (SLB) bagi petugas kesehatan. Diunduh dari: http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-YANKES-ANAK-DI-SLB-BAGIPETUGAS-KESEHATAN.pdf. 182 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Dwidjo. (2007). Penyandang cacat tak ingin dikasihani. Pelita online. Diunduh dari: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=27047 Goleman, D. (2002). Emotional intelligence (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hak kerja 16 juta orang cacat diabaikan. (2010, Januari 10). Kompas online. Diunduh dari: http://nasional.kompas.com/read/2010/01/10/04462785/hak.kerja.16.juta.orang.ca cat.diabaikan Irianto, S. (2006) Perempuan dan hukum menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jurnal Perempuan. (2010). Kata dan makna. Jakarta: Yayasan jurnal perempuan. Kartasasmita, S. (2011). Intensive course on disability and development. Diunduh dari: http://adgi.or.id/artikel-olahraga-bagi-penyandang-cacat pada tanggal 15 Juni 2011. Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2011). Pusat data dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Diunduh dari: http://database.depsos.go.id King, L. A. (2010). Psikologi umum sebuah pandangan apresiatif. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Komardjaja, I. (2010). Perempuan penyandang cacat dan lingkungan binaan yang penuh hambatan. Dalam Riyadi, E., Jurnal Perempuan: mencari ruang untuk difable, 65, 31-42. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Lusli, V.L.M.M. (2010). Ruang demokrasi bagi warga dengan kecacatan. Dalam Riyadi, E. Jurnal Perempuan: mencari ruang untuk difable, 65, 67-75. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Machdan, D. M., & Hartini, N. (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tuna daksa di UPT rahabilitasi sosial cacat tubuh Pasuruan. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(2), 79-85. Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus (2th ed.). Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Masduqi, B.F. (2010). Kecacatan dari tragedi personal menuju gerakan sosial. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Masta, E. (2010). We are the same. Dalam Riyadi, E., Jurnal Perempuan: mencari ruang untuk difable, 65, 31-42. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. McGinnis, A. L. (1995). Kekuatan optimisme. Jakarta: Penerbit Mitra Utama. Nurrachman, N., & Bachtiar, I. (2011). Psikologi perempuan pendekatan kontekstual Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya. Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. K. (2011). Hubungan kepribadian hardines dengan optimisme pada calon tenaga kerja Indonesia wanita di BLKLN Disnakertrans Jawa Barat. Jurnal psikologi Universitas Dipenogoro, 10(2). Diunduh dari: http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/2881/2564 Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human development (8th ed.). New York: McGraw-Hill. Poerwandari, E.K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. 183 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Primardi, A., & Hadjam, M. N. R. (2010). Optimisme, harapan, dukungan sosial, keluarga, dan kualitas hidup orang dengan epilepsy. Tesis tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Prithtiyani, E. (2009). Kesempatan kerja bagi penyandang cacat harus dibuka. Kompas online. Diunduh dari: http://nasional.kompas.com/read/2009/12/03/1338506 /Kesempatan.Kerja.bagi.Penyandang.Cacat.Harus.Dibuka Santrock, J.W (2003). Adolescence (13th ed.). New York: McGraw-hill. Sarwono, W.S & Meinarno. E.A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Satyaningsih, R., & Abdulah, S. R. (2009). Penerimaan diri dan kebermaknaan hidup penyandang cacat fisik. Tesis tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Scheier, M. F., & Carver, C. S. (2002). Optimism. Dalam Synder C.R. & Lopez, S. J. Handbook of positive psychology. NY: Oxford University Press. Seligman, M. (2006). Learned optimism. United States of America. Seligman, M.E.P. (2002). Authentic happiness: using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulillment, New York: Free Press. Seligman, M.E.P., Reivich, K., Jaycox, L., & Gilham, J. (2007). The optimistic child. Boston, NY: Houghton Mifflin Company. Setiawan (2007). Realita dibalik aturan. Diunduh dari: pertuni.idp-europe.org/DuniaKerja/index.php Somantri, T. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT Refika Aditama. Sport for Development and Peace International Working Group (SDP IWG). (2008). Harnessing the power of sport for development and peace: recommendation to government. Toronto: Author. Thohari, S. (2010). Menormalkan yang dianggap tidak normal, difable dalam lintas sejarah. Jurnal Perempuan. Dalam Riyadi, E. (ed 65), Jurnal Perempuan: mencari ruang untuk difable (h. 47-65). Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997. Diunduh dari: http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UU_4_1997.pdf Wirawan, I. B. (2008). Aksebilitas penyandang cacat di Jawa Timur. Jurnal masyarakat, kebudayaan dan politik Universitas Airlangga, 20(1). Diunduh dari: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Aksesibilitas%20Penyandang%20Cacat.pdf 184