BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Anak Berkebutuhan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak yang tergolong “luar biasa atau berkebutuhan khusus” adalah anak
yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal ciri-ciri mental,
kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan
emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari
hal-hal di atas, sejauh ia memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode
belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang diajukan untuk mengembangkan
potensi atau kapasitasnya secara maksimal (Mangunsong, 2009).
Anak berkebutuhan khusus menurut Santrock (2009) mengacu pada
terbatasnya fungsi seseorang sehingga menghalangi kemampuan individu
tersebut. Efendi (2006) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal
pada umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya.
Kategori anak berkebutuhan khusus menurut Efendi (2006) meliputi
kelainan indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran (tunarungu),
kelainan kemampuan bicara, dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa).
2.1.1. Tuna Daksa
Menurut Somantri (2007), tuna daksa itu adalah suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan
sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit,
11
kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa
juga diartikan suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas
normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Mangungsong (2009) menyatakan anak-anak yang cacat fisik seperti tuna
daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian besar
kemampuannya untuk berfungsi dalam bermasyarakat terhambat. Tuna daksa
yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagian akibat dari luka,
penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya
kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya
kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian
dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf.
Tuna daksa menurut Efendi (2006) adalah gangguan yang terjadi pada satu
atau beberapa atribut tubuh yang menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan
untuk mengoptimalkan fungsi tubuhnya secara normal. Kelainan fisik dapat
terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal) atau setelah
anak lahir (posnatal).
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 pasal 1(dalam
Roebyantho, 2006) yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat menganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental,
penyandang cacat fisik dan mental.
12
2.1.2. Klasifikasi Tunadaksa
Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tunadaksa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi :
 Club-foot (kaki seperti tongkat).
 Club-hand (tangan seperti tongkat).
 Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki).
 Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan
lainnya).
 Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
 Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
 Cretinism (kerdil/katai).
 Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
 Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan).
 Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
 Herelip (gangguan pada bibir dan mulut).
 Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).
 Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh
tertentu).
 Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).
13
 Coxa valga (gangguan pada sendi paha, telalu besar).
 Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
b. Kerusakan pada waktu kelahiran :
 Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik
waktu kelahiran).
 Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
c. Infeksi :
 Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).
 Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang
karena bakteri).
 Poliomyliis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).
 Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang).
 Still’s disease (radang pada tulang yang menyebakan kerusakan
permanen pada tulang).
 Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain.
d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik :
 Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan).
 Kecelakaan akibat luka bakar.
 Patah tulang.
e. Tumor :
 Oxostosis (tumor tulang).
 Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di
dalam tulang).
14
f. Kondisi-kondisi lainnya :
 Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk).
 Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).
 Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).
 Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan).
 Rickets (tulang yang lunak kerena nutrisi, menyebabkan kerusakan
tulang dan sendi).
 Scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang miring).
2.1.3. Penyebab Ketunadaksaan
Somantri (2007), menyebutkan penyebab terjadinya ketunadaksaan timbul
karena adanya beberapa faktor, yaitu :
1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :
 Faktor keturunan
Kelainan kromosom kerap diungkap dokter sebagai penyebab
keguguran, bayi meninggal sesaat setelah dilahirkan, maupun bayi
yang dilahirkan sindrom down. Kelainan kromosom ini umumnya
terjadi saat pembuahan, yaitu saat sperma ayah bertemu sel telur ibu.
Hal ini hanya dapat diketahui oleh ahlinya saja, tidak kasat mata
sehingga para ibu hamil tidak dapat memprediksikannya.
 Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan.
Penyakit yang diderita ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan
masa prenatal. Apalagi penyakit tersebut bersifat kronis seperti
kencing manis, TBC, radang saluran kencing, penyakit kelamin dan
15
sebagainya yang dapat mengakibatkan lahirnya bayi-bayi cacat.
Apabila ibu hamil terserang campak dan rubela, maka dapat
dipastikan 60% kemungkinan bayi lahir dalam keadaan cacat.
 Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak.
Ada beberapa hal yang menyebabkan ibu beresiko hamil, antara lain :
riwayat kehamilan dan persalinan yang sebelumnya kurang baik
(misalnya, riwayat keguguran, perdarahan pasca kelahiran, lahir mati),
tinggi badan ibu hamil kurang dari 145 cm, ibu hamil yang kurus/berat
badan kurang, usia ibu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, sudah memiliki 4 anak atau lebih, jarak antara dua kehamilan
kurang dari 2 tahun, ibu menderita anemia atau kurang darah, tekanan
darah yang meninggi dan sakit kepala hebat dan adanya bengkak pada
tungkai, kelainan letak janin atau bentuk panggul ibu tidak normal,
riwayat penyakit kronik seperti diabetes, darah tinggi dan asma.
 Keguguran yang dialami ibu.
Mansur (2009) menyatakan bahwa Abortus spontan adalah suatu
keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup
hidup sendiri diluar uterus (berat 400-1000 gram atau usia kehamilan
kurang dari 28 minggu). Lebih lanjut Rustam (dalam Mansur,2009)
mengatakan abortus kriminalitas adalah abortus yang terjadi karena
tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi
medis.
16
Penyebab pengguguran kandungan antara lain : kelainan ovum
(kelainan kromosom), penyakit ibu (Infeksi akut, kelainan endokrin,
trauma, kelainan kandungan), kelainan Plasenta, gangguan hormonal,
dan Abortus buatan/ provokatus (sengaja di gugurkan).
Pengguguran kandungan dikarenakan hal-hal seperti : kerja fisik yang
berlebihan, mandi air panas, melakukan kekerasan di daerah perut,
obat pencahar, obat-obatan dan bahan-bahan kimia, electric shock
untuk merangsang rahim, dan menyemprotkan cairan ke dalam liang
vagina.
2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :
 Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung,
vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar.
Menggunakan alat-alat pembantu dalam proses kelahiran bertujuan
agar bayi keluar lebih cepat. Pengunaan alat bantu kelahiran
dikhawatirkan membuat kepala bayi terjepit sehingga akan terjadi
kecelakaan otak, gangguan pada otak dan dapat kehilangan anggota
tubuh bayi.
 Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran.
Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan obat bius yang
melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi,
sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
17
3. Sebab-sebab sesudah kelahiran :
 Infeksi.
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang menyerang paru-paru.
Setelah proses kelahiran, bayi dikhawatirkan terserang bakteri atau
virus yang dapat menyebabkan penyakit tertentu dan menyebabkan
kelainan pada anak secara fisik maupun mental.
 Trauma.
Pada bayi, umumnya kecelakaan terjadi karena jatuh, tergores benda
tajam, tersedak, tercekik atau tanpa sengaja menelan obat-obatan
(keracunan) dan bahan kimia yang diletakkan di sembarang tempat.
Kecelakaan seperti ini disebabkan kelalaian orang dewasa di
sekitarnya.
2.1.4. Waktu Terjadinya Kecacatan
Menurut Efendi (2006) kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau
tuna daksa dapat terjadi pada saat :
a. Masa sebelum anak dilahirkan (prenatal), hal ini dikarenakan faktor
genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat. Faktor lain yang
menyebabkan kelainan pada bayi selama dalam kandungan ialah anoxia,
penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan
pengguguran kandungan, gangguan metobolisme pada ibu dan faktor
rhesus.
18
b. Masa kelahiran bayi (neonatal), diantaranya kesulitan saat persalinan
karena letak bayi sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil, pendarahan otak
pada saat kelahiran, kelahiran prematur, dan gangguan pada placenta yang
dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia.
c. Masa setelah anak dilahirkan (posnatal), dianataranya adalah faktor
penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang
otak), influensa, diphteria, partusis. Faktor lainnya adalah kecelakaan atau
pertumbuhan tubuh / tulang yang tidak sempurna.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis terdorong untuk menjadikan
tuna daksa bawaan sebagai permasalahan yang akan diteliti. Sementara subjek
penelitian adalah orangtua yang memiliki anak tuna daksa bawaan. Kehadiran
seorang anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat mengembirakan
bagi pasangan suami istri. Setiap orangtua menginginkan anaknya terlahir dan
berkembang secara sempurna. Namun, manusia tidak selamanya terlahir didunia
dengan kesempurnaan fisik. Banyak anak yang terlahir dengan keterbatasanketerbatasan fisik. Bila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan maka
orangtua akan merasa kecewa.
2.2.
Pengertian Penerimaan
Khotimah & Taganing (2009) menyatakan bahwa penerimaan merupakan
proses dalam menerima kenyataan yang ada. Dengan menerima orang lain apa
adanya secara keseluruhan, memiliki sikap yang positif terhadap orang lain,
mengakui dan menerima berbagai aspek dari orang lain termasuk kualitas baik
dan buruknya.
19
2.2.1. Reaksi dan tahapan penerimaan
Menurut Safaria (2005) orangtua memunculkan beragam reaksi emosional
ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya memiliki fisik yang tidak
sempurna (tunadaksa). Bagaimana pun reaksi emosional yang dimuncukan
orangtua adalah hal yang wajar dan alamiah. Memang hal ini adalah persoalan
yang sangat sulit dihadapi para orangtua, dan mereka dipaksa untuk berhadapan
dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk menerima kenyataan yang menekan
ini.
Gargiulo (dalam Khotimah & Taganing, 2009) menyatakan bahwa
seseorang akan mengalami beberapa proses dalam menerima suatu keadaan yang
tidak sesuai dengan harapannya, sampai pada tahap dimana seseorang tersebut
benar-benar menerima keadaan yang terjadi, yaitu:
a. Primary phase
1. Shock (kaget)
Orang tua merasa terguncang, tidak percaya atas apa yang telah
terjadi. Biasanya ditandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan
tidak berdaya.
2. Denial (menyangkal)
Orang tua menolak untuk mengenali kecacatan anak dengan
merasionalisasikan kekurangan yang ada, atau dengan mencari penegasan
dari ahli bahwa tidak ada kecacatan pada anak.
20
3. Grief and depression (perasaan duka dan depresi)
Merupakan reaksi yang alami dan tidak perlu dihindari, karena dengan
adanya perasaan ini orangtua mengalami transisi dimana harapan masa lalu
mengenai “anak sempurna” disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi saat
ini. Dalam fase ini rasa duka disebabkan oleh perasaan kecewa karena
memiliki anak yang menderita tuna daksa. Sedangkan depresi merupakan
perasaan marah pada diri sendiri karena telah gagal melahirkan anak yang
normal. Salah satu perilaku yang mungkin muncul pada fase ini adalah
penarikan diri dari lingkungan.
b. Secondary phase
1. Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan)
Kecacatan anak dapat meningkatkan intensitas perasaan kasih
sekaligus perasaan benci pada orangtua. Perasaan negatif umumnya diiringi
dengan perasaan bersalah, sehingga beberapa orangtua mendedikasikan
sebagaian besar waktunya untuk anak, sedangkan sebagian lagi menolak
untuk memberikan kasih sayang pada anak dan menganggap anak tidak
berguna.
2. Guilt (perasaan bersalah)
Pada fase ini orangtua mungkin saja merasa bersalah dengan
kecacatan anaknya, karena menganggap bahwa dialah yang menyebabkan
kecacatan tersebut atau dihukum karena dosanya dimasa lalu. Pada fase ini
biasanya orangtua memiliki pemikiran “kalau saja”. Pada saat bersalah
21
orangtua juga menjadi obsesif dan emosional serta secara berkala bertanya
mengapa hal ini dapat terjadi.
3. Anger (perasaan marah)
Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama timbulnya
pertanyaan “mengapa saya”, lalu yang kedua yaitu “displacement”, dimana
rasa bersalah ditunjukkan pada orang lain.
4. Shame and embrassment (perasaan malu dan memalukan)
Perasaan ini timbul saat orangtua menghadapi lingkungan sosial yang
menolak, mengasihani, atau mengejek kecacatan anak. Sikap lingkungan
yang terus-menerus seperti ini dapat menurunkan harga diri beberapa
orangtua karena beberapa orangtua menganggap anak merupakan penerus
dirinya. Kehadiran anak yang cacat dapat mengancam harga dirinya.
c. Tertiary phase
1. Bargaining (tawar-menawar)
Suatu strategi dimana orangtua mulai membuat “perjanjian” dengan
Tuhan, ilmu pengetahuan, atau pihak manapun yang mampu membuat
anaknya kembali normal. Misalnya: ayah atau ibu yang membuat
pernyataan seperti “jika engkau dapat menyembuhkan anakku, maka aku
akan mengabdikan diriku padaMu.
2. Adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi)
Adaptasi merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan
berkurangnya
rasa cemas serta reaksi emosional lainnya. Reorganisasi
merupakan suatu kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi
22
yang ada dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka
untuk merawat dan mengasuh anak, sehingga untuk bertanggung jawab atas
masalah anak.
3. Acceptance & adjustment (menerima dan memahami)
Merupakan proses yang aktif dimana orang secara sadar berusaha
untuk mengenali, memahami, dan memecahkan masalah, namun tetap saja
perasaan negatif yang sebelumnya terbentuk tidak pernah hilang. Pada fase
ini ibu menyadari kondisi anak dan menerimanya.
23
2.3.
Kerangka Pemikiran
Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK)
Anak Dengan Tuna Daksa
Pengertian Tuna Daksa
Klasifikasi Tuna Daksa
Etiologi Tuna Daksa
Proses Penerimaan Orang Tua
Yang Memiliki Anak Tuna Daksa
Pengertian Penerimaan
Reaksi & Tahapan-tahapan Penerimaan :
 Primary Phase :
 Shock
 Denial
 Grief and depression
 Secondary Phase :
 Ambivalence
 Guilt
 Anger
 Shame and embrassment
 Tertiary Phase :
 Bargaining
 Adaptation & reorganization
 Acceptance & adjustment
24
Setiap pasangan yang menikah sangat mendambakan untuk segera memiliki
keturunan. Dengan kehadiran buah hatinya mereka mengharapkan kehidupan
rumah tangganya akan lebih sempurna, utuh, dan bahagia. Kehadiran buah hati
juga dapat dikatakan sebagai hadiah bagi pasangan yang telah menikah.
Ketika seorang ibu mengandung, ia dan suaminya mengharapkan anak
dalam kandungan tersebut akan lahir sebagai anak yang sempurna sesuai dengan
harapan mereka. Nurcolis (dalam Pratiwi,2002) mengatakan jika kenyataannya
berbeda dengan yang mereka harapkan maka akan timbul perasaan kecewa. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan Hurlock (1980), bila anak yang dinanti-nanti
gagal memenuhi harapan orangtua, maka orang tua akan merasa kecewa dan
mulai bersikap menolak.
Manusia tidak selamanya terlahir di dunia dengan kesempurnaan fisik.
Banyak anak yang terlahir dengan keterbatasan-keterbatasan fisik. Somantri
(2007) menyatakan, tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai
akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau
dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Orangtua yang memiliki anak tuna daksa akan mengalami beberapa reaksi
emosional hingga akhirnya mencapai tahap penerimaan. Gargiulo (dalam
Khotimah & Taganing, 2009) menyatakan bahwa seseorang akan mengalami
beberapa proses dalam menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan
harapannya, sampai-sampai pada tahap dimana seseorang tersebut benar-benar
menerima keadaan yang terjadi, yaitu: Shock (kaget), denial (menyangkal) dan
25
grief and depression (perasaan duka dan depresi), ambivalence (dua perasaan
yang bertentangan), guilt (perasaan bersalah) , anger (perasaan marah), shame and
embrassment (perasaan malu dan memalukan), bargaining (tawar-menawar),
adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi) dan acceptance &
adjustment (menerima dan memahami).
Dalam proses penerimaan,seseorang memerlukan faktor-faktor pendukung
dalam pencapaian proses tersebut. Faktor-faktor tersebut berasal dari keluarga dan
lingkungan sekitar. Orangtua yang mampu menerima kondisi anaknya yang
mengalami ketuna daksaan, akan maksimal dalam membantu tumbuh kembang
anak. Namun, jika orang tua tidak menerima kehadiran sang anak, maka akan
timbul permasalahan baik dalam diri sendiri, keluarga ataupun tumbuh kembang
anak (Safaria, 2005).
.
26
Download