1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia ingin

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,
tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat
indera yang lengkap untuk dapat melakukan berbagai kegiatan, melihat,
mendengar,
dan
juga
merasakan
indahnya
dunia.
Namun,
dalam
kenyataannya ada sebagian orang yang terlahir dengan keadaan cacat
ditubuhnya seperti tidak memiliki tangan atau kaki, cacat tersebut dinamakan
tuna daksa.
Kecacatan yang dialami, membuat individu tersebut memiliki
keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hal tersebut bagi
individu
yang
normal
dilihat
sebagai
suatu
keadaan
yang
tidak
menguntungkan, merepotkan dan kemudian timbul rasa belas kasihan.
Sehingga masyarakat menganggap penyandang cacat sebagai suatu obyek
yang patut diberikan belas kasihan.
Sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang cacat yang
negatif, menyebabkan para penyandang cacat fisik terutama penyandang
tuna daksa merasa kurang percaya diri, menjadi rendah diri, minder dan
merasa tidak berguna. Bagi penyandang cacat tuna daksa memiliki
hubungan dengan orang lain yang sering tidak baik, dikarenakan
penyandang tuna daksa merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak
puas dengan keadaannya. Penyandang tuna daksa juga menjadi orang yang
sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu
membuat keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang
1
2
lain/grup karena adanya tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak
percaya diri (Ryff & Singer, 2008).
Pengembangan potensi kepribadian penyandang tuna daksa yang
terhambat, mengakibatkan penyandang cacat tuna daksa menjadi pesimis
dalam menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan
gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan memiliki sedikit
keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Lauster, 2002)
Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1997 Tentang Penyadang Cacat Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1
tentang penyandang cacat, yang dimaksud dengan penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.
Berdasarkan uraian Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1997 diatas, maka penyandang tuna daksa masuk dalam
kategori penyandang cacat fisik, penyandang tuna daksa merupakan
individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan
neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut, membuat tuna daksa
mengalami kesulitan dalam menyelesikan tugas-tugas yang membutuhkan
ketrampilan motorik. Bagi individu yang mengalami cacat fisik sering
mendapat perlakuan yang berlebihan dari lingkungan sekitar, seperti rasa
belas kasihan, yang membuat individu yang mengalami cacat tubuh menjadi
sulit untuk mengembangkan kemandiriannya (Ashriati, Alsa & Suprihatin,
2006).
3
Pada dasarnya penyandang tuna daksa mempunyai kebutuhan yang
sama dengan individu normal, akan tetapi karena kekurangan yang ada
pada fisiknya membuat mereka menemukan banyak kesulitan. Mereka
dituntut untuk mampu menghadapi tantangan atau persaingan hidup sama
seperti manusia normal lainnya.
Karena kondisi fisik merupakan standar individu untuk berinteraksi
dengan orang lain, pada individu yang menderita tuna daksa akan lebih sulit
menerima keadaan pada dirinya dan seringkali menjadi tidak yakin dengan
dirinya sendiri. Kondisi fisik dan bentuk tubuh memiliki arti yang sangat
penting, lebih-lebih bila kecacatan yang dialaminya menghambat proses
perkembangan dan proses kedewasaannya, menimbulkan keraguan akan
daya tarik fisik dan mendukung munculnya masalah dalam seksualitas
(Fuhrmann, 1990).
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (2004) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang menghalangi penguasaan tugas
perkembangan seseorang adalah cacat tubuh. Kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh individu penyandang tuna daksa yang mengalami cacat tubuh
berbeda-beda tergantung dari ketidaksempurnaan tubuh yang dialami.
Dalam
perkembangannya,
Penyandang
tuna
daksa
besar
kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri di
lingkungan sosialnya. Hal ini berkaitan erat dengan perlakuan masyarakat
terhadap tuna daksa. Seperti ejekan dan gangguan dari anak-anak normal
yang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap
lingkungan sosialnya, keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial
penyandang tuna daksa (Somantri, 2007).
Dengan melihat keadaan tubuhnya yang cacat, penyandang tuna
daksa dapat mengakibatkan menarik diri dari lingkungannya, merasa diri
4
tidak berguna, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pencapaian
kebahagiaan
dalam
hidupnya.
Untuk
itu
dapat
berakibat
pada
pengembangan potensi kepribadian menjadi terhambat, penyandang tuna
daksa menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan khawatir
dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan
memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Khusnia &
Rahayu, 2010).
Greenspan (dalam Hallahan & Kauffman, 2006) mengatakan bahwa
penyandang tuna daksa sangat peduli pada body image, penerimaan dari
teman-temannya, kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan
pencapaian prestasi. Karena body image menggambarkan keseluruhan
mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri yang dimiliki
individu penyandang tuna daksa. Salah satu penyandang tuna daksa
mengatakan bahwa:
“gambaran tersebut sangat beralasan dapat muncul pada
penyandang tuna daksa karena pada dasarnya, saat kita berinteraksi
dengan orang lain, hal-hal yang nampaklah yang menjadi perhatian utama
orang seperti fisik. Kesadaran bahwa kondisi fisiknya berbeda dengan fisik
orang normal, menjadi salah satu pemicu timbulnya kecenderungan individu
penyandang tuna daksa menjadi kurang percaya diri.” (Canisius, 2012).
Kepercayaan diri pada setiap individu bersifat individual, artinya
setiap individu mempunyai ukuran percaya diri yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut ditentukan oleh pengalaman masa lampau yang terdiri
dari keberhasilan atau kegagalan individu dalam menjalani kehidupannya,
hal ini juga dipengaruhi oleh sejauhmana penerimaan masyarakat pada
individu. Jika mereka merasa dirinya diterima maka akan muncul perasaan
aman dan nyaman untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan
(Santrock, 2003).
5
Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan
orang tua dan dukungan orang sekitarnya. Keadaan keluarga merupakan
lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap orang
(Lie, 2003).
Menurut Santrock (2003) rasa percaya diri adalah dimensi evaluatif
yang menyeluruh dari diri. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri
atau gambaran diri.
Sedangkan Fatimah (2006) mengartikan kepercayaan diri adalah
sikap
positif
seorang
individu
yang
memampukan
dirinya
untuk
mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun
lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa
individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang
diri, tetapi rasa percaya diri hanya merujuk pada adanya perasaan yakin
mampu, memiliki kompetensi dan percaya bahwa dia bisa karena didukung
oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik
terhadap diri sendiri. Komponen dari kepercayaan diri adalah percaya akan
kemampuan diri sendiri, berani menjadi diri sendiri, mempunyai cara
pandang yang positif dan memiliki harapan yang realistis. Salah satu
penyandang tuna daksa mengatakan bahwa:
“dalam hubungan sosialnya seperti ada semacam tembok pembatas
yang sangat tinggi dan sulit untuk dilewati. Setiap kali bergaul dengan
teman-teman seusianya dalam keseharian, selalu saja saya merasa minder,
diri saya adalah yang terburuk, sangat berbeda dan tidak dapat berbuat
seperti mereka” dan pada akhirnya merasa terasingkan dari kelompoknya.
(Canisius, 2012)
Oleh karena itu dukungan keluarga khususnya orang tua sangat
dibutuhkan, orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan
kepercayaan diri seorang individu, dimana dengan peran orang tua individu
akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan
6
mempunyai harapan yang realistik terhadap diri–seperti orangtuanya
meletakkan harapan realistik terhadap dirinya, dengan adanya komunikasi
dan hubungan yang hangat antara orang tua dengan anak akan membantu
anak dalam memupuk kepercayaan dirinya (Rini, 2002).
Dukungan orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada
umumnya sangat berperan penting terhadap pembentukkan kepercayaan
diri pada penyandang tuna daksa. Seseorang akan menghargai diri sendiri
apabila lingkungannya pun menghargainya, misalnya: orangtua atau
masyarakat yang menunjukkan sikap menolak pada seorang anak yang
dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa dirinya bahwa tidak
berguna dan dapat mengakibatkan penyandang tuna daksa merasa rendah
diri, merasa tidak berdaya, merasa tidak pantas, merasa frustasi, merasa
bersalah, merasa benci (Somantri, 2007).
Dengan demikian dukungan sosial yang dapat diberikan pada
penyandang tuna daksa berupa semangat, kepercayaan, keyakinan,
kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan, nasehat maupun
bantuan. Dukungan sosial ini nantinya digunakan untuk memotivasi
penyandang tuna daksa, Hanifah (dalam Khusnia & Rahayu, 2010).
Sehingga dukungan sosial dari orang tua dan teman-teman merupakan
peran penting dalam pengembangan kesejahteraan psikologis pada
penyandang tuna daksa Greenberg, Faust, Walker dan Greene, Hoffman,
Harter, Papini dan Roggman et al. (dalam Huurre, 2000).
Dukungan sosial tersebut dapat melindungi dan meningkatkan
kesejahteraan melalui efek psikologis dari kehadiran orang lain, mencegah
isolasi, dapat menjalin hubungan cinta, menjadi individu lebih optimis dalam
menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih
terampil dalam memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan
7
dan lebih dapat berdaptasi. Hal ini dapat memupuk harga diri dan keyakinan
diri, dan perasaan layak, tetapi juga keamanan dan kontrol atas diri sendiri
dan lingkungan Nestmann dan Hurrelmann (dalam Huurre, 2000).
Dukungan sosial didefinisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi
verbal atau non verbal, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan
oleh orang-orang yang akrab dengan subyek didalam lingkungan sosialnya
atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya.
Dalam hal ini orang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional
merasa lega karena diperhatikan, mendapat kesan atau saran yang
menyenangkan pada dirinya.
Dapat dikatakan bahwa dukungan sosial sangat diperlukan oleh
penyandang tuna daksa agar merasa dihargai dan dapat diterima. Karena
dukungan sosial dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi
individu dengan kesejahteraan, dan memiliki peran penting dalam kehidupan
semua orang, terutama bagi mereka yang cacat fisik (Demarest, 2004).
Penyandang cacat tuna daksa yang mendapat dukungan sosial
merasa tidak sendiri dalam penderitaannya, karena lingkungan sosial akan
menjadi stimulant untuk mengurangi rasa takut dan menolong penyandang
cacat dalam membangun kepercayaan dirinya. (Pramudiani, 2001).
Dukungan sosial ini dapat terlihat sebagi fakta sosial atas dukungan
yang sebenarnya terjadi atau diberikan oleh orang lain kepada individu
(perceived support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada
persepsi terhadap dukungan yang diterima (received support). Schwarzer
dan Leppin (dalam Smet, 1994).
Dengan demikian dukungan sosial yang diterima dapat membuat
individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri, dan
8
kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa
dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari kelompok. Rook (dalam Huurre,
2000).
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang “hubungan
antara dukungan sosial dengan kepercayaan diri pada penyandang tuna
daksa di panti sosial bina daksa budi bhakti”.
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah ada
hubungan antara dukungan sosial dan kepercayaan diri penyandang tuna
daksa?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
dukungan sosial dan kepercayaan diri penyandang tuna daksa.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang
terbagi menjadi dua yaitu:
Manfaat Teoritis
Dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan pada psikologi
yang dapat dijadikan referensi penelitian selanjutnya.
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penyandang tuna
daksa mengenai dukungan sosial dengan kepercayaan diri pada
penyandang tuna daksa.
Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan kepada pembaca untuk membantu
membangun rasa kepercayaan diri pada penyandang tuna daksa
sehingga dapat berinteraksi dengan individu lainnya.
9
Hasil penelitian ini sebagai acuan bagi yayasan penyandang cacat
dalam meningkatkan dukungan sosial dan kepercayaan diri pada
penyandang tuna daksa.
Download