Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 KEARIFAN LOKAL CERITA RAKYAT BULUS JIMBUNG DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER Syawaludin Nur Rifa’i Universitas Sebelas Maret Surakarta [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat Bulus Jimbung dan relevansinya dengan pendidikan karakter. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah kalimat atau tuturan tokoh yang mengandung unsur kearifan lokal, sedangkan objek penelitiannya adalah kearifan lokal. Adapun Instrumen yang digunakan adalah human instrumen. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah baca catat dan deskripsi. Analisis data menggunakan tehnik deskriptif interpretatif dan kategorisasi. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, kearifan lokal pada cerita rakyat Bulus Jimbung, yaitu bertaqwa kepada Tuhan, adil, menyayangi, menghormati tamu, lemah lembut dan sopan, meminta maaf, tidak mencuri, bertanggung jawab, sabar, dan berpikir sebelum bertindak. Kedua, relevansinya dengan penanaman pendidikan karakter, yaitu adanya kearifan lokal dan kesesuaian nilai-nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat Bulus Jimbung menunjukkan bahwa menggunakan cerita rakyat tersebut sebagai bahan pembelajaran dapat membantu menanamkan pendidikan karakter bagi para siswa. Kata Kunci: kearifan lokal, Bulus Jimbung, pendidikan karakter PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekadensi moral yang melanda generasi muda Indonesia kini sudah berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Tawuran pelajar, narkoba, pudarnya sopan santun kepada orang tua, kurangnya rasa hormat terhadap orang lain, dan tingginya tindak asusila seolah-olah menjadi pemandangan yang umum di negeri ini. Hal ini dikuatirkan akan mempengaruhi peradaban negeri ini di masa mendatang. Jika permalahan ini tidak segera diatasi, maka kelak bisa muncul para pejabat di negeri ini yang memiliki moral kurang baik. Agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, perlu pendidikan yang berkualitas. Untuk mendapatkan pendidikan semacam ini, dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan tentang aspek-aspek kependidikan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Dalam hal peningkatan pengetahuan tentang aspekaspek kependidikan dapat dilakukan dengan membaca buku-buku bacaan yang berkaitan dengan pendidikan ataupun karya sastra yang mengandung nilai pendidikan. Salah satu contoh karya sastra yang banyak mengandung nilai pendidikan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis cerita tradisional yang mencoba untuk menjelaskan atau memahami dunia dan warisan lokal suatu daerah. Cerita seperti itu secara lisan diwariskan dari generasi ke generasi yang mengandung pesan moral atau pelajaran. Cerita-cerita tersebut biasanya berlangsung lama di tempat yang jauh dan biasanya Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 memiliki ciri atau bercerita tentang hewan yang dapat berbicara, petani, atau makhluk mitos. Dalam cerita rakyat, kebaikan selalu dihargai. Pahlawan hidup bahagia selamanya, sementara penjahat dihukum dengan ganjaran yang sesuai. Sepanjang generasi, cerita rakyat bisa berubah-ubah, tapi intinya tetap sama. Cerita rakyat biasanya tidak memiliki penulis yang jelas atau anonim pengarangnya, tetapi dapat mencerminkan nilai-nilai dan budaya masyarakat dari mana mereka berasal. Banyak cerita rakyat yang hidup subur di kalangan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Cerita rakyat Jawa Tengah merupakan manifestasi kehidupan jiwa masyarakat Jawa Tengah yang sangat tinggi nilainya. Cerita rakyat Jawa Tengah sebagai salah satu cerita rakyat yang hidup di Indonesia merupakan karya imajinatif pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masanya. Di dalam masyarakat tradisional, sastra dipandang sebagai alat yang penting untuk mempertahankan model dunia konvensional serta untuk menanamkan kode etik dan nilai etik bagi generasi selanjutnya sehingga sastra diciptakan untuk dibaca, dinikmati, dan dialami bersama-sama (Teeuw, 1983: 708). Cerita rakyat Jawa Tengah merupakan manifestasi kehidupan jiwa masyarakat tradisional Jawa Tengah. Hal ini menyebabkan cerita rakyat Jawa Tengah perlu digali dan diteliti untuk diresapi dan dipahami nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai moral, etika, estetika, sosial, budaya, dan religi yang bertolak dari pengungkapan kembali ataupun penyodoran konsep baru, semuanya diungkapkan secara tersurat dan tersirat sehingga sastra bersifat majemuk. Cerita rakyat sebagai suatu karya sastra banyak menyimpan kebudayaan masyarakat Jawa Tengah, khususnya pada waktu karya tersebut dibuat. Cerita rakyat hidup di tengah masyarakat yang masih dalam budaya tradisionalnya. Haryadi (1994: 73) menyatakan bahwa salah satu manfaat sastra lisan nusantara dalam pembangunan di bidang pendidikan adalah dapat menambah wawasan dan informasi tentang kepercayaan, pandangan hidup, adat istiadat, dan peradaban bangsa. Dengan demikian, cerita rakyat sebagai salah satu bentuk sastra lisan nusantara dapat digunakan sebagai petunjuk pembentuk watak dan kemampuan intelektual. Petunjuk tersebut dapat diperoleh dari fenomena-fenomena yang ada dalam cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai salah satu unsur kebudayaan daerah banyak mencerminkan dan mengungkap tentang kebudayaan masyarakat. Cerita rakyat sebagai salah satu hasil kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan nasional yang perlu dipelihara dan dibina karena selain banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang berharga juga dapat dilestarikan dan dinikmati oleh generasi penerus bangsa. Cerita rakyat Bulus Jimbung merupakan salah satu cerita rakyat yang berasal dari Jawa Tengah. Makalah ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal yang tercermin melalui nilai-nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat Bulus Jimbung dan relevansinya dengan pendidikan karakter. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat Bulus Jimbung? 2. Bagaimana relevansinya cerita rakyat Bulus Jimbung dengan pendidikan karakter? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam makalah ini antara lain. 1. Mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat Bulus Jimbung. 2. Mendeskripsikan relevansi cerita rakyat Bulus Jimbung dengan pendidikan karakter. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini bermanfaat untuk pembinaan sastra Indonesia sebagai salah satu warisan budaya bangsa dan diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijaksanaan peningkatan pengajaran sastra di sekolah. Mengingat pentingnya penanaman pendidikan karakter, maka diharapkan cerita rakyat dapat dijadikan sebagai bahan tambahan dalam pengajaran sastra di sekolah. 2.Manfaat Praktis Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam cerita rakyat diharapkan dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. KAJIAN TEORI A. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat telah dikenal oleh berbagai bangsa di dunia, baik melalui tradisi lisan atau sejak manusia sudah mengenal tulisan. Setiap bangsa memiliki cerita rakyatnya masing-masing. Umumnya, cerita rakyat tersebut bertema kepahlawanan, kebijaksanaan, keadilan, moral, kejujuran dan sebagainya. Cerita rakyat berkembang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tujuannya adalah sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak. Indonesia pun juga memiliki cerita rakyat. Bahkan Nusantara ini memiliki kekayaan cerita rakyat yang adiluhung. Setiap daerah di Indonesia hampir bisa dipastikan memiliki cerita rakyat masing-masing. Cerita rakyat di daerah tersebut telah ada dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia. Dipodjojo (1974: 1) mengemukakan bahwa kasusastraan lama, kuno, daerah, nusantara sebagai cabang kebudayaan, pada mulanya diartikan sebagai kegiatan apa saja yang dinyatakan dengan bahasa, baik dalam bentuk lisan maupun bentuk tulisan. Manusia merupakan makhluk sosial, dalam keadaan bagaimanapun mereka selalu ingin berkumpul dengan manusia yang lain, baik sebagai pengisi waktu maupun untuk tujuan tertentu. Dari situlah kemudian muncul cerita-cerita yang beraneka ragam, misalnya cerita kepercayaan, cerita binatang, maupun cerita kepahlawanan. Pada mulanya manusia beranggapan bahwa cerita tersebut hanya merupakan pengisi waktu atau sebagai pengantar tidur saja. Selain itu, manusia dahulu sering bercerita kepada anaknya pada saat mereka berkumpul, misalnya sewaktu berkunjung ke rumah keluarga yang lain. Menurut Wibisono (dalam Sularto, 1979: 61) cerita rakyat adalah bentuk penuturan yang pada dasarnya tersebar secara lisan, diwariskan secara turun-temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara tradisional. Dalam lingkup sastra, cerita rakyat digolongkan ke dalam sastra lisan (Rusyana, 1975: 8). Cerita rakyat atau sastra lisan berhubungan erat dengan lingkungannya, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan alam. Danandjaja (1986: 3) mengemukakan bahwa cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor Indonesia yang berbentuk lisan. Penyebaran dan pewarisannya secara lisan, yakni disebarkan dan diwariskan melalui kata-kata dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara itu, menurut Gaffar (1990 : 3) cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam, mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 asal muasal suatu tempat. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang, manusia, maupun dewa. B. Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Cerita rakyat sebagai salah satu karya sastra, dibuat oleh pengarang pada dasarnya untuk dinikmati oleh pembaca atau pendengar cerita. Melalui cerita rakyat ini banyak yang akan disampaikan pengarang kepada pembaca atau penikmat sastra, salah satunya adalah berbentuk nilai-nilai. Menurut Dipodjojo (1981: 1) pada dasarnya kesusastraan itu bersifat perorangan, artinya timbul dan dikarang oleh seseorang dengan maksud untuk menyampaikan pengetahuan, kebijaksanaan, perasaan dan cita-cita pengarang agar dan turut dirasakan oleh orang lain. Shipley (dalam Tarigan, 1994: 194) menyatakan bahwa suatu karya sastra termasuk cerita rakyat pada umumnya memiliki lima nilai, yaitu (1) nilai hedonik, (2) nilai kultural, (3) nilai estetis, (4) nilai praktis, (5) nilai moral dan keagamaan. Nilai hedonik adalah nilai-nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung. Nilai kultural adalah nilai yang mengandung hubungan dengan kebudayaan. Nilai estetis adalah nilai yang memanifestasikan suatu seni sehingga menimbulkan rasa indah. Nilai moral atau keagamaan adalah suatu nilai yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran yang ada hubungannya dengan moral atau keagamaan. Nilai praktis adalah nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sarwadi (1974: 1) mengemukakan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra termasuk di dalamnya cerita rakyat, memungkinkan karya sastra dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan psikologis apabila karya sastra tersebut diajarkan di sekolah. Dengan demikian, para siswa dapat menikmati dan menerapkan nilai-nilai karya sastra itu dalam kehidupan sehari-hari. Suharto (1994: 4) mengemukakan bahwa sastra lisan pada umumnya mengandung ajaran-ajaran luhur yang patut diwariskan. Dengan demikian, sastra lisan meyimpan nilai-nilai luhur dari nenek moyang yang ingin diwariskan kepada generasi penerus melalui cerita. Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 198) moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral yang praktis, yang dapat ditafsirkan melalui cerita yang bersangkutan. Dengan demikian, moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti tingkah laku dan sopan santun dalam pergaulan. Petunjuk tersebut ditampilkan dalam cerita melalui perilaku tokohtokohnya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, yakni pandangan tentang nilai-nilai dan kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro (2005: 199) sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya sastra dapat dikatakan mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan pengarang tentang moral itu sendiri. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Dengan demikian, karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan serta memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan itu tidak bersifat kebangsaan atau individual, tetapi bersifat universal. Maksudnya bahwa nilainilai kebenaran tidak hanya diakui oleh individu dari suatu kelompok, tetapi oleh manusia sedunia. Berpegang pada pengertian moral yang merupakan baik buruknya sikap, perilaku, budi pekerti, moral dalam karya sastra yang diperoleh pembaca diharapkan selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya sastra ditampilkan sikap Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, tidak berarti bahwa pengarang menawarkan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak seperti demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanya model, yaitu model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan agar tidak diikuti. Pengarang mengharapkan pembaca dapat mengambil hikmah sendiri tentang tokoh yang berperilaku kurang terpuji METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini mampu mendeskripsikan secara teliti dan mendalam fakta-fakta yang diteliti. Dengan kata lain, penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan, dan mendeskripsikan secara nyata fakta-fakta yang diteliti. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutopo (2002: 111) bahwa penelitian deskriptif kualitatif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. B. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah kalimat atau tuturan tokoh yang mengandung unsur kearifan lokal. Objek penelitian ini adalah kearifan lokal. C. Data dan Sumber Data Data yang diambil dalam penelitian ini adalah kalimat atau tuturan tokoh dalam cerita rakyat Bulus Jimbung. Sumber data penelitian ini adalah buku kumpulan Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah. Buku ini merupakan kumpulan cerita rakyat daerah Jawa Tengah yang terdiri atas 20 cerita rakyat. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1982. D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah human instrumen. Peneliti sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia akademik dan memiliki pengetahuan pada bidang sastra, khususnya cerita rakyat, secara sungguh-sungguh melakukan penelitian ini. Dalam hal ini, peneliti didukung dengan seperangkat pengetahuan tentang teori sastra, khususnya cerita rakyat dan pendidikan karakter, sehingga memudahkan dalam menemukan kriteria pendidikan karakter. Kriteria tersebut adalah ungkapan yang mengandung nilai keadilan, kejujuran, tanggung jawab, saling menyayangi, lemah lembut, sopan, menghormati tamu, sabar, dan bertaqwa kepada Tuhan . E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca catat dan teknik deskripsi. Teknik baca catat dilakukan dengan cara membaca semua sumber yang mendukung penelitian, kemudian data-data yang diperoleh dicatat dan diamati secara cermat kalimat atau tuturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan karakter. Teknik deskripsi dilakukan dengan mendeskripsikan semua data yang telah diperoleh dari tehnik baca catat. Dari hasil pembacaan dan pengamatan, maka diperoleh data-data yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. F. Teknik Analisis Data Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat berjudul Bulus Jimbung. Untuk itu, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif interpretatif dan kategorisasi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah pembacaan, pengkategorian, penginterpretasian, dan pendeskripsian. Pembacaan terhadap subjek Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 penelitian bertujuan untuk menemukan data-data yang berupa nilai-nilai pendidikan karakter. Hasil temuan tersebut dikategorikan menjadi 10, yaitu bertaqwa kepada Tuhan, adil, menyayangi, menghormati tamu, lemah lembut dan sopan, meminta maaf, tidak mencuri, bertanggung jawab, sabar, dan berpikir sebelum bertindak. Selanjutnya, hasil penemuan itu diinterpretasikan dan dideskripsikan sesuai dengan data-data yang diperoleh. HASIL PENELITIAN A. Nilai Pendidikan Karakter Karakter menurut KBBI (2008: 682) merupakan tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai-nilai yang unik, baik, yang melekat dalam diri dan terwujud dalam perilaku. Karakter secara umum terbentuk dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau masyarakat. Menurut Gazalba (1978: 118) nilai-nilai pendidikan moral adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan, tingkah laku dan sikap baik, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat. Nilai moral dapat berupa hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam. Nilai pendidikan moral atau kesusilaan dimaksudkan agar anak didik dapat membedakan antara yang baik dan buruk, sopan dan tidak, terpuji dan terkutuk. Selanjutnya, mendorong anak didik agar mau berbuat sesuai dengan yang baik dan meninggalkan semua hal yang tidak baik (Kusuma, 1973: 32). Uraian-uraian tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abidin (2012: 36) bahwa pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkam bahwa nilai pendidikan karakter adalah nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Indonesia, diajarkan melalui pendidikan formal di lingkungan sekolah sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran, serta bertujuan membentuk manusia Indonesia agar memiliki sikap dan kepribadian mulia. Kearifan lokal yang terwujud dalam nilai-nilai pendidikan moral pada cerita rakyat Bulus Jimbung yang telah dikaji antara lain. 1. Bertaqwa kepada Tuhan Di dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, Pangeran Patohwan meskipun tanpa sengaja kakinya menyentuh peti kencana, ia tetap dihukum oleh Ratu Worosingo, ibu kandung pangeran sendiri. Ia dicurigai ingin memiliki peti kencana itu. Oleh sebab itulah, maka kaki Pangeran Patohwan kemudian dipotong. Dalam hati duka dan jasmani yang sakit itu ia selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar penderitaan yang ia alami segera berakhir. Berkat kepercayaan yang mantap serta dilakukan dengan sepenuh hati maka doa Pangeran Patohwan terkabul. 2. Adil Al Hufy (1983: 133) mengatakan bahwa adil adalah memberikan hak kepada yang berhak dengan tidak membeda-bedakan antara yang berhak itu dengan orang yang salah sesuai dengan kejahatan dan kelalaiannya tanpa mempersulit atau pilih kasih. Berikut kutipan dalam cerita rakyat Bulus Jimbung. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 “Sri Ratu menjalankan roda pemerintahan didasarkan atas norma-norma hukum yang tinggi nilainya. Hukum pidana berlaku bagi siapapun juga tidak memandang derajat atau pun pangkat”. ”Oleh karena kakinya yang bersalah, maka Sri Ratu memberikan hukuman kepada puteranya itu berupa pemotongan kaki”. Tokoh Sri Ratu Worosingo menjalankan roda pemerintahan didasarkan atas norma-norma hukum yang tinggi nilainya. Hukum tidak memandang derajat ataupun pangkat, bahkan terhadap puteranya sendiri Sri Ratu tetap menjatuhkan hukuman karena puteranya dianggap bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa Sri Ratu benar-benar menegakkan keadilan. 3. Lemah Lembut dan Sopan Dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, tokoh yang memiliki sikap lemah lembut dan sopan adalah Pangeran Patohwan. Berkat sikapnya yang senantiasa lemah lembut dan sopan membuat Dewi Wahdi terpikat kepada Prabu Patohwan yang telah menjadi raja dari kerajaan Jimbung. 4. Meminta Maaf Di dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, Ki Remeng dan Ki Poleng merengekrengek memohon ampun atas kesalahan yang diperbuat terhadap Prabu Patohwan. Kemarahan Ki Remeng dan Ki Poleng yang sudah melampaui batas-batas kesopanan, lebih-lebih kepada seorang raja, maka sudah sewajarnya apabila mereka mendapat hukuman dari Yang Maha Kuasa. Akibat Ki Remeng dan Ki Poleng tersebut, Prabu Patohwan menjadi marah dan mengutuk mereka menjadi kura-kura. Oleh karena itu, mereka kemudian meminta maaf kepada sang Prabu agar mereka dapat kembali menjadi manusia. 5. Menyayangi Manusia adalah makhluk Tuhan yang dikaruniai sifat saling menyayangi. Perasaan sayang ini dapat terjadi antara seorang wanita dengan seorang pria, antara anak dan orang tua, antara adik dan kakak, hingga antar sesama. Dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, banyak orang menyayangi Pangeran Patohwan karena begitu besarnya pengaruh dirinya terhadap masyarakat di lingkungannya. 6. Sabar Sabar adalah tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, dan tidak lekas patah hati); tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu (Depdikbud, 2008: 1334). Menurut Alkhauliy (1989: 247) sabar dibedakan menjadi dua, yakni sabar jasmani dan sabar rohani. Sabar jasmani adalah tahan menderita kesukaran dalam beribadah dan beramal yang sesuai dengan tuntunan. Sabar rohani adalah sabar menahan nafsu dari keinginan tabiat manusiawi dan ajakan hawa nafsu. Tokoh Dewi Wahdi dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, adalah seorang wanita yang memiliki sifat tidak sabar. Hal ini terlihat dari sikapnya yang tidak kuasa menahan perasaan cintanya kepada Pangeran Patohwan. Ia adalah seorang wanita yang tak layak mengutarakan perasaan asmara kepada Pangeran Patohwan. Akibat ketidaksabaran Dewi Wahdi dalam mengendalikan perasaannya, ia menjadi kecewa karena Pangeran Patohwan ternyata tidak menanggapi sikap Dewi Wahdi. Oleh karena menanggung rasa malu yang teramat dalam, ia tidak dapat menguasai perasaannya kemudian bunuh diri. Berdasarkan cerita ini dapat diambil pelajaran bagi kaum wanita hendaklah pandai-pandai Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 mengendalikan perasaan. Artinya, kalau tidak siap menanggung resiko lebih baik bersikap sabar dan tidak terburu nafsu. 7. Tidak Mencuri Mencuri adalah mengambil millik orang lain tanpa izin atau dengan sembunyisembunyi (Depdikbud, 2008: 297). Anjuran untuk tidak mencuri terdapat dalam cerita rakyat Bulus Jimbung. Seperti kutipan di bawah ini. ”Mereka insyaf bahwa mengambil yang bukan miliknya adalah suatu perbuatan terkutuk”. ”Ada undang-undang dari kerajaan itu yang menyatakan barang siapa menyentuh dan ingin memiliki benda yang bukan haknya akan mendapat hukuman dari raja”. Kutipan di atas menggambarkan bahwa mengambil sesuatu yang bukan miliknya adalah perbuatan terkutuk. Di dalam cerita rakyat ini dikisahkan bahwa putera sang Ratu Worosingo tanpa sengaja menyentuh peti yang berisi perhiasan yang tergeletak di pinggir jalan. Meskipun tidak sengaja, akan tetapi putera ratu tetap dicurigai ingin memiliki peti tersebut. Berhubung di kerajaan Wirosingo telah ada undang-undang, maka sang ratu pun juga menghukum puteranya sendiri yang berupa pemotongan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa di kerajaan itu benar-benar ditegakkan suatu sikap kejujuran. Selain itu, sengaja ditanamkan bahwa mengambil sesuatu yang bukan miliknya adalah suatu perbuatan yang terkutuk dan harus mendapat hukuman. Mencuri merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Tuhan melarang umatnya berbuat curang atau mencuri. Sikap ini selain merugikan orang lain juga tidak mendidik seseorang untuk berusaha atau bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Di negara kita ada undang-undang bagi siapa yang mencuri atau mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan yang memiliki akan mendapat hukuman setingkat dengan perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak terpuji dan harus dihindari. 8. Bertanggung Jawab Pangeran Patohwan dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, memiliki sikap tanggung jawab atau berani menanggung segala resiko dari segala sikapnya. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut’ ”Oleh karena itu, Pangeran Patohwan tidak berdaya mengelak tuduhan Sri Ratu dan menyerahkan dirinya dijatuhi hukuman”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang bertanggung jawab. Meskipun tanpa sengaja ia menyentuh peti yang berisi emas itu, ia bersedia menerima hukuman pemotongan kaki. Ia menyadari bahwa kakinya yang bersalah maka sudah sepantasnyalah kakinya yang dihukum. 9. Menghormati Tamu Tamu adalah orang yang datang berkunjung ke tempat orang lain atau ke perjamuan (Depdikbud, 2008: 1611). Dalam cerita rakyat Bulus Jimbung, sikap menghormati tamu dimiliki oleh Jaka Patohwan. Ia menerima kedatangan Dewi Wahdi yang berkunjung di kerajaannya dengan tangan terbuka dan sikap lemah lembut, serta sopan. 10. Berpikir Sebelum Bertindak Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Sikap berpikir sebelum bertindak merupakan salah satu wujud sikap yang berhati-hati. Berikut adalah salah satu kutipan data yang menunjukkan adanya sikap berhati-hati atau berpikir sebelum bertindak. ”Mereka merengek-rengek di hadapan sang raja muda meminta diampuni dosadosanya dan berjanji akan berhati-hati dalam berbuat sesuatu”. Kitipan di atas terdapat dalam cerita rakyat Bulus Jimbung. Ki Poleng dan Ki Remeng adalah abdi setia Dewi Wahdi. Mereka marah-marah kepada Prabu Patohwan karena prabu tidak mau menanggapi perasaan cinta Dewi Wahdi. Sikap Ki Poleng dan Ki Remeng ini ternyata membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Hal ini disebabkan sang Prabu mengutuk mereka menjadi kura-kura. Setelah menyadari kekeliruannya, mereka kemudian meminta maaf kepada sang Prabu dan berjanji akan hati-hati. Dengan demikian, mereka berdua telah menyadari kekeliruannya dan akan berusaha bersikap hatihati untuk yang akan datang. B. Relevansinya dengan Pendidikan Karakter Ditinjau dari aspek pendidikan, cerita rakyat Bulus Jimbung dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan dalam cerita tersebut banyak terdapat kearifan lokal yang tercermin dalam nilai-nilai moral pendidikan dan sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu penanaman pendidikan karakter bagi peserta didik. Berdasarkan hasil analisis, kearifan lokal yang tercermin dalam nilai-nilai pendidikan moral pada cerita rakyat tersebut ada relevansinya dengan pendidikan karakter. Adanya kesesuaian nilai-nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat Bulus Jimbung menunjukkan bahwa menggunakan cerita rakyat tersebut sebagai bahan pembelajaran dapat membantu menanamkan pendidikan karakter bagi para siswa. Nilai-nilai pendidikan moral yang terdapat dalam cerita rakyat Bulus Jimbung antara lain bertaqwa kepada Tuhan, adil, menyayangi, menghormati tamu, lembut dan sopan, meminta maaf, tidak mencuri, bertanggung jawab, sabar, dan berpikir sebelum bertindak. Nilai-nilai moral tersebut dapat memberi teladan kepada para siswa agar senantiasa berbudi pekerti yang luhur. PEMBAHASAN Cerita rakyat merupakan satu bentuk cerita yang populer di kalangan rakyat dan menjadi hiburan penting di kalangan masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, terdapat berbagai jenis cerita rakyat seperti cerita binatang, cerita jenaka, cerita pelipur lara dan cerita pengalaman. Cerita rakyat juga sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, hukum, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat. Hal ini menambahkan pendapat Thu'aimah (1998: 202) bahwa cerita rakyat bersumber dari hikayat-hikayat warisan bangsa yang diungkapkan dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa disandarkan kepada pendirinya. Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat memiliki fungsi kultural. Lahirnya suatu cerita rakyat bukan semata-mata di dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya, melainkan dengan penuh kesabaran ingin menyampaikan nilai-nilai luhur kepada generasi penerusnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris (1993 : 15) yang mengatakan bahwa cerita rakyat adalah golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Cerita rakyat adalah bagian dari karya sastra berupa dongeng-dongeng atau bentuk cerita lain yang berkembang di kalangan masyarakat tertentu dan disebarluaskan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Karena cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra, maka dalam kebudayaan cerita itu termasuk dalam salah satu unsur kebudayaan. Cerita rakyat merupakan salah satu perwujudan atau pikiran kelompok masyarakat pendukungnya. Menggunakan cerita rakyat Bulus Jimbung sebagai bahan pembelajaran dapat membantu menanamkan pendidikan karakter kepada siswa karena adanya kesesuaian nilai moral cerita rakyat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Asmani (2011: 42) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter mempunyai tujuan penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Selain itu, juga meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik. Hal ini diharapkan agar mereka mampu menerapkannya dalam kehidupan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap lingkungannya. Pernyataan ini sekaligus juga menguatkan pendapat Wibowo (2012: 36) bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur dan mampu menerapkannya dalam kehidupan, baik di keluarga, masyarakat, dan negara. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Setelah melakukan analisis pada cerita rakyat Bulus Jimbung, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat Bulus Jimbung, yaitu bertaqwa kepada Tuhan, adil, menyayangi, menghormati tamu, lemah lembut dan sopan, meminta maaf, tidak mencuri, bertanggung jawab, sabar, dan berpikir sebelum bertindak. 2. Relevansinya dengan penanaman pendidikan karakter, yaitu adanya kearifan lokal dan kesesuaian nilai-nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat Bulus Jimbung menunjukkan bahwa menggunakan cerita rakyat tersebut sebagai bahan pembelajaran dapat membantu menanamkan pendidikan karakter bagi para siswa. B. Saran 1. Guru Bahasa Indonesia hendaknya memanfaatkan cerita rakyat sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Hal ini berkaitan erat dengan penyampaian nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. 2. Kegiatan membaca dan mengapresiasi cerita rakyat oleh para siswa perlu ditingkatkan agar nilai-nilai pendidikan karakter dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus. 2012. Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Al Hufy. 1983. Akhlak Nabi Muhammda SAW. Jakarta: Bulan Bintang. Al Khauly, MA. Aziz. 1989. Akhlak Rasulullah SAW. Semarang: Wicaksana. Ma’mur, Asmani Jamal. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip. Dongeng. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers. Depdikbud. 1982. Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud. Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Dipodjojo, Asdi S. 1974. Sang Kancil Tokoh Cerita Binatang Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Djamaris, Edwar. 1993. Nilai Budaya dalam beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Sumatra. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: Depdikbud. Gazalba, Sidi. 1978. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Gaffar, Zainal Abidin, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Haryadi. 1994. ”Manfaat Sastra Lisan Nusantara dalam Pembangunan Bidang Pendidikan” dalam Cakrawala Pendidikan No 1 Tahun XIII. Yogyakarta: LPM IKIP Yogyakarta. Kusuma, Amir Daien Indra. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Dasar-Dasar Kajian Fiksi. Yogyakarta: Usaha Mahasiswa. Purwanto, M. Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rusyana, Yus. 1975. “Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan Pengembangan Sastra Indonesia” dalam Seminar Pengembangan Sastra Indonesia. Lukman Ali. Jakarta PPPB Depdikbud. Sarwadi. 1974. Pengantar Pengajaran Sastra. Yogyakarta: FK3S IKIP Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Suharto. 1994. Beberapa Cerita Bermotif Penjelmaan dalam Sastra Nusantara. Jakarta: Depdikbud. Sularto, B. 1979. Risalah Sejarah dan Budaya Seri Folklor. Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya DIY. Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Tu’aimah, Rusydi Ahmad. 1998. Adab al-Atfal fi al-Marhalah al Ibtidaiyyah. Kaherah: Dar al-Fikr al-Arabiy. Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berkepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.