PENGARUH TERAPI BERMAIN MEWARNAI TERHADAP STATUS NAUSEA ANAK YANG MENDAPATKAN KEMOTERAPI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG Skripsi Oleh: Isna Hayati NIM: G2A214013 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2016 PENGARUH TERAPI BERMAIN MEWARNAI TERHADAP STATUS NAUSEA ANAK YANG MENDAPATKAN KEMOTERAPI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG Skripsi Oleh: Isna Hayati NIM: G2A214013 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2016 i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian saya yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Status Nausea Anak yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang” bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain. Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari penelitian dan karya ilmiah dari hasil-hasil penelitian tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Muhammadiyah Semarang. Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari siapapun. Semarang, Maret 2016 Yang membuat pernyataan, (Isna Hayati) ii iii iv KATA PENGANTAR Anugerah inspirasi dari Allah SWT yang berlimpah menjadi sumber pengetahuan terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea Anak yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang”. Oleh karena itu, penulis mengucap syukur karena penulis dapat menyusun skripsi ini hingga selesai. Skripsi ini diajukan kepada Program Studi Strata 1 Keperawatan, Fakultas Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah banyak berperan dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Edy Soesanto, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan di Universitas Muhammadiyah Semarang serta sebagai dosen wali, yang telah memberikan nasihat, motivasi, dan doa. 2. Dr. Tri Hartiti, SKM., M.Kes., selaku Ketua Program Studi Strata 1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan di Universitas Muhammadiyah Semarang, yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penyusunan skripsi ini. 3. Ns. Mariyam, M.Kep., Sp.Kep.An., selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi dengan kesabaran selama proses penyelesaian penyusunan skripsi. 4. Ns. Dera Alfiyanti, M.Kep., sebagai dosen pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan memberikan arahan serta motivasi dengan kesabaran sampai proses penyusunan skripsi ini selesai. 5. Amin Samiasih, M.Si., Med., selaku dosen penguji I. 6. Segenap dosen dan staff pengajar di Program Studi Strata 1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan di Universitas Muhammadiyah Semarang, yang telah memberikan bekal pengalaman dan pendidikan yang luar biasa. v 7. Pihak RSUP Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan izin serta menyediakan tempat untuk penelitian ini. 8. Segenap keluarga, ayah, kakak, dan adik tercinta yang selalu memberikan dukungan, doa, dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman sejawat kelas lintas jalur yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap tersusunnya skripsi ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebut satu per satu yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan penelitian ini. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat, baik sebagai sumber informasi maupun sumber inspirasi bagi pembaca serta bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan. Semarang, Maret 2016 Isna Hayati vi PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG Skripsi, Maret 2016 Isna Hayati Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Status Nausea Anak yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang (xiii + 81 halaman; 15 tabel; 3 gambar; 12 lampiran; 45 kepustakaan) ABSTRAK Kemoterapi bermanfaat membunuh sel-sel kanker secara sistemik, akan tetapi obat kemoterapi juga memiliki dampak yang merugikan. Salah satu efek samping yang paling sering ditemukan adalah rasa nausea pada pasien yang dapat menimbulkan stres sehingga diperlukan terapi non farmakologis (intervensi distraksi). Pada anak, bermain merupakan intervensi yang memiliki manfaat distraksi, salah satunya adalah mewarnai. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui status nausea pada anak yang dilakukan terapi bermain mewarnai gambar selama tindakan kemoterapi dengan rancangan penelitian quasi experiment posttest only with control group design dan jumlah sampel sebanyak 32. Rerata skor nausea pada kelompok intervensi adalah 2,00, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 4,00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan status nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value=0,01), sehingga disimpulkan ada pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. Rekomendasi dari penelitian supaya perawat dapat mengaplikasikan terapi bermain mewarnai secara terstruktur untuk mengatasi nausea pada pasien anak yang mendapatkan kemoterapi. Kata Kunci : Terapi bermain mewarnai, nausea, kemoterapi. Pustaka : 45 (2005-2015) vii BACHELOR OF NURSING STUDY PROGRAM FACULTY OF NURSING AND HEALTH SCIENCES UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH SEMARANG Mini Thesis, March 2016 Isna Hayati The Effect of Play Therapy by Coloring Picture on Nausea Status of Children Who Get Chemotherapy in the Dr. Kariadi Central General Hospital Semarang (xiii + 81 pages; 15 tables; 3 pictures; 12 attachments; 45 references) ABSTRACT The advantage of chemotherapy is to kill cancer cells systematically, but it also has detrimental effect. The one of detrimental effect of chemotherapy is nausea. The chemotherapy patients experience nausea can lead to the stress. Non pharmachologycal therapy is needed to relieve nausea. Play therapy by coloring picture has distraction effect to the children. The research objective determined the effect of play therapy by coloring picture toward nausea status to the children during undergoing chemotherapy intervention. A quasy experiment posttest only with control group design was utilized with 32 respondents. The average score of nausea in the intervention group was 2,00 and it was 4,00 in the control group. The result of this research showed a significant difference from nausea status between intervention group and control group (p value=0,01). Therefore, the conclusion of this research showed that there was effication of play therapy by coloring picture toward nausea status to the children during undergoing chemotherapy intervention. Based of that, it gave recommendation for the nurses to apply play therapy by coloring picture which relieved nausea for children undergoing chemotherapy intervention. Keywords References : Play therapy by coloring picture, nausea, chemotherapy. : 45 (2005-2015) viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... v ABSTRAK INDONESIA ................................................................................ vii ABSTRAK ENGLISH...................................................................................viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xiii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian .................................................................... 7 E. Keaslian Penelitian .................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 11 A. Penyakit Kanker ...................................................................... 11 B. Konsep Kemoterapi ................................................................. 11 C. Nausea Akibat Kemoterapi ..................................................... 19 D. Konsep Terapi Bermain .......................................................... 26 E. Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea ................ 30 F. Kerangka Teori........................................................................ 32 G. Kerangka Konsep .................................................................... 33 H. Variabel Penelitian .................................................................. 33 I. BAB III Hipotesis.................................................................................. 34 METODE PENELITIAN ............................................................ 35 A. Desain Penelitian ..................................................................... 35 ix B. Populasi dan Sampel Penelitian .............................................. 35 C. Definisi Operasional................................................................ 38 D. Tempat Penelitian.................................................................... 41 E. Waktu Penelitian ..................................................................... 41 F. Etika Penelitian ....................................................................... 41 G. Alat Pengumpul Data .............................................................. 42 H. Prosedur Pengumpul Data ....................................................... 43 I. BAB IV Analisis Data ........................................................................... 45 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 50 A. Gambaran Umum Penelitian ................................................... 50 B. Hasil Penelitian ....................................................................... 50 C. Pembahasan ............................................................................. 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 75 D. Kesimpulan ............................................................................. 75 E. Saran ........................................................................................ 76 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78 LAMPIRAN x DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Instrumen Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) ............. 23 Gambar 2.2 Kerangka Teori ............................................................................ 32 Gambar 2.3 Kerangka Konsep ......................................................................... 33 xi DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Keaslian penulisan............................................................................ 8 Tabel 2.1 Jenis kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik ......................... 19 Tabel 2.2 Instrumen Keller Index Of Nausea (KIN) ...................................... 22 Tabel 3.1 Variabel penelitian dan definisi operasional .................................. 39 Tabel 3.2 Analisis bivariat skor nausea kelompok intervensi dan kontrol .... 48 Tabel 3.3 Analisis bivariat skor nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea kelompok intervensi ........................................................................................ 49 Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia ........................................... 51 Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan siklus kemoterapi ..................... 51 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea sebelumnya ........................ 52 Tabel 4.4 Rerata skor nausea kelompok intervensi ....................................... 53 Tabel 4.5 Interpretasi skor nausea kelompok intervensi ................................ 54 Tabel 4.6 Rerata skor nausea kelompok kontrol............................................ 54 Tabel 4.7 Interpretasi skor nausea kelompok kontrol .................................... 55 Tabel 4.8 Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ............................................................................................ 55 Tabel 4.9 Perbedaan status nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada kelompok intervensi ....................................................................... 57 xii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Observasi Status Nausea Lampiran 2 Kuesioner Karakteristik Responden Lampiran 3 Jenis Kemoterapi Berdasarkan Tingkat Emetogenik Lampiran 4 Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 6 Standar Operasional Prosedur Terapi Bermain Lampiran 7 Jadwal Penelitian Lampiran 8 Surat Izin Penelitian Lampiran 9 Ethical Clearence Lampiran 10 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 11 Lembar Bimbingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 melalui lembaga penelitian kankernya International Agency for Research on Cancer (IARC), terdapat 7,6 juta (13 %) orang meninggal karena penyakit kanker. Diperkirakan 16 juta kasus baru kanker ditemukan setiap tahunnya. IARC memprediksi pada tahun 2030, 13,1 juta orang meninggal karena kanker dan 70% di antaranya terjadi di negara berkembang (Siagian, 2014). Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi penyakit kanker penduduk Indonesia dari semua kalangan umur adalah sebesar 1,4 ‰ atau sekitar 347.792 orang. Provinsi Jawa Tengah berada pada urutan kedua tertinggi setelah DI Yogyakarta dengan angka kejadian sebanyak 68.638 orang (2,1‰) (Pusdatin Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan tingkatan usia, kasus kanker yang terjadi pada anak usia < 1 tahun sebesar 0,3 ‰, usia 1-4 tahun sebesar 0,1 ‰, dan usia 5-14 tahun sebesar 0,1‰ (Kemenkes RI, 2013). Beberapa pengobatan dan terapi yang dapat dilakukan terhadap kanker adalah pembedahan, kemoterapi, radioterapi, dan terapi individual. Kemoterapi merupakan salah satu terapi yang sering dipilih sebagai metode efektif dalam mengatasi penyakit kanker terutama pada kanker stadium lanjut secara lokal. Saat ini obat anti kanker jenis kemoterapi yang telah dapat digunakan secara klinis mencapai 70 jenis lebih (Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011). Kemoterapi bermanfaat karena memiliki sifat membunuh sel-sel kanker secara sistemik, akan tetapi obat kemoterapi juga memiliki dampak yang merugikan pada sel-sel normal terutama pada sel yang mudah membelah seperti folikel rambut, lapisan usus dan lambung, serta sumsum 1 2 tulang. Salah satu efek samping dari obat kemoterapi adalah dampak negatif yang terjadi pada lapisan mukosa usus dan lambung yang menimbulkan rasa mual pada pasien (CancerHelps, 2010). Kemoterapi pada anak hampir sama dengan dewasa, akan tetapi dosis yang digunakan tentunya lebih minimal dan efek samping salah satunya nausea (mual) dan muntah akan menimbulkan stres tersendiri pada anak karena nausea (mual) merupakan sensasi psikis yang ditimbulkan akibat rangsangan pada organ dalam, labirin, atau emosi (Juffrie, et al., 2011). Iritasi pada mukosa usus dan lambung akibat obat kemoterapi akan memicu saluran gastrointestinal melepaskan serotonin yang menimbulkan impuls yang kemudian dihantarkan oleh nervus vagus. Impuls dari saluran cerna tersebut menstimulasi chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berada di dasar ventrikel IV. Kemudian, chemoreceptor trigger zone (CTZ) akan mengaktifasi pusat mual dan muntah pada sistem saraf pusat dan 2 daerah medula oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral. Selain itu kemoterapi juga dapat menyebabkan gangguan mukosa gastrointestinal secara perifer dengan pengeluaran two neurotransmitter reseptor yang menjadi target dari terapi antiemetik. Kondisi tersebut menimbulkan gerakan peristaltik aktif berhenti dan terjadi relaksasi pilorus, tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah antrum meningkat sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi sehingga dapat menyebabkan refluk duodenogaster dan bahkan dapat menimbulkan regurgitasi isi lambung melalui esofagus dan faring (Juffrie, et al., 2011). Strategi untuk mengurangi nausea (mual) atau muntah pada anak yang mendapat kemoterapi secara farmakologis yaitu dengan pemberian antiemetik. Antiemetik yang sering digunakan untuk pasien anak adalah 5hydroxytryptamin-3 serotonin reseptor antagonis yang meliputi ondansentron, dolasetron, tropisetron, dan granisetron. Meskipun telah diberikan terapi antiemetik, efek mual masih sering dijumpai pada pasien kemoterapi (Dewan, Singhal, & Harit, 2010). Selain itu, terapi non 3 farmakologis juga perlu dilakukan untuk mengatasi mual atau muntah sebagai efek kemoterapi. Menurut Grunberg (2004), efek samping dari kemoterapi dapat menimbulkan stres sehingga diperlukan terapi non farmakologis (intervensi distraksi kognitif) untuk mengatasi mual sebagai efek dari kemoterapi (Zanah, Widodo, & Shobirun, 2013). Menurut Bulechek, Butcher, & Dochterman (2013), salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea adalah distraksi (pengalihan). Menurut Schneider & Hood (2007), intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena individu dapat lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman, sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas, nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi. Menurut Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), salah satu manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak. Salah satu fungsi terapi bermain pada anak adalah dapat membantu mengurangi stres, memberikan instruksi dan perbaikan kemampuan fisiologis (Suriadi & Yuliani, 2006). Menurut Hidayat (2005), bermain dapat berfungsi sebagai nilai terapeutik. Bermain dapat memberikan rasa senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya. Bermain akan memberikan rasa senang dan relaksasi pada anak. Melalui permainannya, anak dapat mengalihkan rasa mualnya pada permainan (distraksi) dan relaksasi pada kesenangan dan kenyamanannya (Agustina & Puspita, 2010). Bermain merupakan cara ilmiah pada anak dalam mengungkapkan konflik yang ada pada dirinya. Salah satu jenis permainan anak adalah mewarnai gambar. Melalui mewarnai gambar, seorang dapat menuangkan simbolisasi tekanan atau kondisi traumatis yang 4 dialaminya ke dalam coretan dan pemilihan warna. Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan muatan amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres, menciptakan gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa bahagia (Aizah & Wati, 2014). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan menjadi antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls rasa mual di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat mual muntah di sistem saraf pusat dan medula oblongata sehingga anak tidak mengalami keluhan mual (Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011). Seperti halnya pada penelitian yang dilakukan Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), menyimpulkan bahwa terapi musik dapat mengatasi mual dan muntah pada pasien post kemoterapi. Namun, dalam penelitian tersebut intervensi diaplikasikan pada pasien dewasa dengan intervensi berupa terapi musik sebagai alat peralihan (distraksi) untuk mengatasi rasa mual dan muntah setelah tindakan kemoterapi. Berdasarkan case report yang dilakukan oleh Nesbitt & TabattHaussmann (2008), memaparkan bahwa kombinasi antara terapi musik dan terapi seni (menggambar) dengan tema yang telah disesuaikan dengan musik yang diperdengarkan (pelangi, underwater, binatang, dan alam sekitar) selama 45 menit dapat menjadi intervensi non farmakologis yang efektif dalam mengatasi efek samping kemoterapi yaitu sebagai pengalihan (distraksi) terhadap nyeri, nausea (mual) akibat kemoterapi, penurunan kecemasan, serta meningkatkan respon relaksasi. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penatalaksanaan efek kemoterapi nausea (mual) dan terapi bermain. Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2009), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan mual-muntah akibat kemoterapi yang signifikan antara kelompok yang diberikan intervensi distraksi (mewarnai dan menggambar bebas) oleh keluarga dan kelompok yang tidak diberikan intervensi. Penelitian Hussein & Sadek (2013), menyimpulkan bahwa akupresur dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengatasi muntah sehubungan 5 dengan efek kemoterapi pada anak usia sekolah. Penelitian lain juga dilakukan oleh Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), menunjukkan bahwa terapi musik klasik dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengatasi mual dan muntah pada pasien post kemoterapi. Sedangkan penelitian yang terkait dengan terapi bermain dilakukan oleh Kapti, Ahsan, & Istiqomah (2013), menyimpulkan bahwa terapi bermain mewarnai dapat memberikan penurunan signifikan pada skor perilaku maladaptif anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit pusat rujukan di Jawa Tengah. Di RSUP Dr. Kariadi terdapat ruang khusus kemoterapi yang diberi nama Cendrawasih. Ruang kemoterapi tersebut memiliki 1 kamar khusus untuk pasien anak dengan kapasitas 4 tempat tidur. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil bahwa untuk meminimalkan efek samping mual dan muntah selama atau setelah tindakan kemoterapi, pasien mendapat terapi pemberian antiemetik sebagai pre medikasi. Sedangkan aplikasi terapi bermain sudah diterapkan di ruang kemoterapi dengan memperbolehkan pasien membawa mainan pribadinya selama kemoterapi sehingga anak dapat melakukan aktivitas bermain selama proses kemoterapi. Akan tetapi, belum terdapat SOP (Standard Operasional Prosedur) mengenai terapi bermain pada anak di ruangan kemoterapi serta fasilitas dan lingkungan fisik dari ruang kemoterapi kurang mendukung. Kondisi tersebut mengakibatkan penerapan terapi bermain pada anak selama kemoterapi masih kurang maksimal. Selain itu, perawat juga melibatkan orang tua pasien selama proses tindakan kemoterapi pada anak dengan memberlakukan rooming in dimana orang tua diperbolehkan masuk dan menunggu pasien di dalam ruangan sehingga meminimalkan dampak perpisahan. Terapi bermain memiliki peranan penting dalam proses perawatan anak. Terapi tersebut juga bisa diterapkan pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Penerapan terapi bermain dapat digunakan sebagai 6 distraksi (peralihan) terhadap proses atau tindakan selama kemoterapi untuk meminimalkan efek atau dampak negatif yang ditimbulkan obat kemoterapi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap status nausea pasien anak yang mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. B. Rumusan Masalah Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan untuk menangani kanker yang menimbulkan berbagai efek samping. Salah satu efek yang sering muncul pada anak adalah efek nausea (mual). Kondisi tersebut membutuhkan penanganan baik secara farmakologis maupun non farmakologis. Salah satu terapi non farmakologis pada anak adalah terapi bermain. Akan tetapi, aplikasi terapi bermain di ruang kemoterapi masih kurang maksimal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditemukan oleh penulis adalah “Belum ada terapi bermain terstruktur sebagai bagian dari penatalaksanaan mual pada pasien kemoterapi”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui status nausea pada anak yang dilakukan terapi bermain : mewarnai gambar selama tindakan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik anak yang mendapatkan kemoterapi berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya. 7 b. Mengidentifikasi status nausea pada anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi bermain mewarnai selama kemoterapi (kelompok intervensi). c. Mengidentifikasi status nausea pada anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron tetapi tidak diberikan intervensi terapi bermain mewarnai selama kemoterapi (kelompok kontrol). d. Menganalisis perbedaan status nausea antara anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi dengan status nausea anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron tetapi tidak diberikan intervensi terapi bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi. e. Menganalisis perbedaan status nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya pada anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi. D. Manfaat 1. Bagi Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi teori penatalaksanaan terapi non farmakologi pada anak yang menjalani kemoterapi. Selain itu juga dapat menjadi bagian dari pengembangan ilmu terkait dengan paliative care pada anak. 2. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan wawasan peneliti terkait konsep serta aplikasi terapi bermain pada pasien di rumah sakit. 8 3. Bagi Instansi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai gagasan bagi rumah sakit dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan serta pemberian asuhan keperawatan terutama pada anak yang menjalani kemoterapi. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam menetapkan kebijakan-kebijakan rumah sakit terkait penerapan terapi bermain terutama dalam mengatasi nausea pada pasien anak yang menjalani kemoterapi. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk mengembangkan penelitian tentang strategi non farmakologis sebagai upaya menurunkan mual pada anak yang menjalani kemoterapi. E. Keaslian Penulisan Penelitian ini membandingkan status nausea pada pasien anak yang menjalani kemoterapi yang diberikan perlakuan terapi bermain mewarnai dan yang tidak diberikan perlakuan. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersaji pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Keaslian penelitian No. 1. Nama Peneliti Happy Hayati Tahun penelitian 2009 Judul Penelitian Pengaruh Terapi Distraksi oleh Keluarga terhadap MualMuntah Akibat Kemoterap i pada Anak Usia Prasekolah di RSUPN Dr. Cipto Mangunku Variabel yang diteliti Variabel bebas : Distraksi Variabel terikat : mualmuntah Design penelitian Quasy experiment Hasil penelitian Dari 36 jumlah sampel keseluruhan diperoleh ratarata skor mual-muntah anak berada pada tingkat yang rendah baik pada kelompok intervensi berupa permainan mewarnai gambar dan menggambar bebas maupun kelompok kontrol, kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan mual-muntah akibat kemoterapi antara kelompok kontrol maupun intervensi. 9 2. Hilman Syarif, Elly Nurachm ah, dan Dewi Gayatri 2011 3. Hewida A. Hussein dan Basma R. Abdel Sadek 2013 4. Laila Mithakh ul Zanah, Sri Widodo dan Shobirun 2013 5. Rinik Eko Kapti, Ahsan, dan Ana Istiqoma h 2013 sumo Jakarta Terapi Akupresur dapat Menurunk an Keluhan Mual Muntah Akut Akibat Kemoterap i pada Pasien Kanker : Randomize d Clinical Trial Acupressur e for Chemother apy Induced Vomiting Among School Age Children Pengaruh Terapi Musik terhadap Keluhan Mual Muntah pada Pasien Post Kemoterap i karena Kanker di Unit Sitostatika Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Penurunan Skor Perilaku Maladaptif Variabel bebas : terapi akupresur Variabel terikat : mual muntah akut Quasi experiment Dari 22 sampel yang diberikan intervensi akupresur menunjukkan penurunan rerata mual muntah akut yang signifikan dibandingkan dengan 22 sampel yang tidak diberikan perlakuan (p=0,000; α=0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa akupresur dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi pada pasien yang mengalami mual muntah akut akibat kemoterapi. Variabel bebas : acupressure Variabel terikat : Chemothera py induced vomiting Quasi experiment Variabel bebas : Terapi musik Variabel terikat : mual muntah post kemoterapi Quasi experiment dengan pendekatan one group pretestposttest Dari 25 sampel yang diberikan intervensi akupresur menunjukkan penurunan frekuensi muntah yang signifikan dibandingkan dengan 25 sampel yang tidak diberikan perlakuan menunjukkan bahwa akupresur dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengatasi muntah sehubungan dengan efek kemoterapi pada anak usia sekolah. 11 responden sebelum diberikan perlakuan 9,1% mual muntah berat, sedang 90,9%. Setelah diberikan perlakuan 54,5% mual muntah ringan, sedang 45,5% yang menunjukkan terapi musik klasik dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengatasi mual dan muntah pada pasien post kemoterapi. Variabel bebas : terapi bermain mewarnai Variabel terikat : perilaku maladaptif Quasi experiment Nilai rata-rata skor perilaku maladaptif pretest 10 responden yang diberikan intervensi 58,10 dan saat posttest 26,70. 10 responden yang tidak diberikan intervensi memiliki nilai ratarata pretest 56,30 sedangkan posttest 55,20 menunjukkan 10 Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisa si di Rumah Sakit Kabupaten Kediri hospitalisasi terapi bermain mewarnai dapat memberikan penurunan signifikan pada skor perilaku maladaptif anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Kanker Kanker merupakan neoplasma yang dicirikan dengan pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel anaplastik yang menginvasi jaringan sekitar dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh dalam tubuh (Wong, 2012). Dalam keadaan normal, sel tubuh hanya akan membelah diri jika ada pergantian sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya, sel kanker akan terus membelah walaupun tubuh tidak membutuhkannya. Akibatnya, akan terjadi penumpukan sel baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel baru tersebut akan mendesak dan merusak jaringan normal sehingga mengganggu organ yang ditempatinya (CancerHelps, 2010). Prinsip utama pengobatan pada kanker adalah membunuh sel-sel kanker sebelum sel-sel tersebut menyebar dan merusak organ atau jaringan lainnya (CancerHelps, 2010). Pengobatan kanker pada umumnya menggunakan empat terapi yaitu, pembedahan, kemoterapi, pengobatan radiasi (radioterapi), dan pengobatan individual (Tanjung, 2011). Kemoterapi merupakan salah satu terapi yang paling sering dipilih untuk menangani kanker pada anak. Kemoterapi kanker pada anak, saat ini mempunyai arti yang sangat penting karena telah berhasil menaikkan angka kesembuhan kanker anak (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2012). B. Konsep Kemoterapi 1. Definisi kemoterapi Kemoterapi merupakan terapi pengobatan kanker yang melibatkan penggunaan zat kimia atau obat-obatan. Kemoterapi konvensional bekerja dengan cara menghancurkan struktur atau metabolisme sel-sel kanker (CancerHelps, 2010). Obat kemoterapi 11 bekerja secara sistemik yang biasanya diberikan melalui suntikan atau infus. Kemoterapi lebih sering diberikan setelah operasi untuk menghilangkan kanker atau menurunkan kemungkinan munculnya kanker kembali (Tanjung, 2011). 2. Manfaat Kemoterapi Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang efektif dalam penanganan kanker. Kemoterapi pada penyembuhan kanker bertujuan menghambat atau menghentikan pertumbuhan sel-sel onkogen (kanker) pada tubuh pasien dengan menyerang fase tertentu atau seluruh fase dalam pembelahan mitosis pada sel-sel onkogen yang bereplikasi atau berkembang dengan cepat sehingga akan mematikan sel kanker dan mencegah penyebarannya (Zanah, Widodo, & Shobirun, 2013). 3. Agen Kemoterapi Menurut Wong (2012), agens kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker anak meliputi : a. Agens peng-alkilasi Mechlorethamine (nitrogen mustard, Mustargen) IV Efek samping : Mual/muntah (1/2-8 jam berat), depresi sumsum tulang (2-3 minggu berikutnya), alopesia, flebitis lokal. b. Siklofosfamid (Cytoxan, CTX, Neosar) PO, IV, IM Efek samping : Mual/muntah (3-4 jam berikutnya berat pada dosis tinggi), depresi sumsum tulang (10-14 hari berikutnya), alopesia, sistitis hemoragis, imunosupresi hebat, stomatitis (jarang), hiperpigmentasi, kuku membumbung transversal, infertilitas. c. Ifosfamid (Ifos, IFF) IV Efek samping : Depresi sumsum tulang (10-14 hari berikutnya), alopesia, sistitis hemoragis, neurotoksisitas-letargi, disorientasi, somnolen, kejang (jarang). d. Melfalan (L-fenilalanin mustard, Alkeran, L-Pam) PO, IV Efek samping : Mual/muntah (hebat), depresi sumsum tulang (2-3 minggu berikutnya), alopesia, diare. e. Prokarbazin (Matulane) PO Efek samping : Mual/muntah (sedang), depresi sumsum tulang (3-4 minggu berikutnya), letargi, dermatitis, mialgia, artralgia, stomatitis, neuropati, alopesia, diare, azoospermia, menstruasi berhenti. f. Dacarbazine (DTIC-Dome) IV Efek samping : Mual/muntah (terutama setelah dosis pertama, parah), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), alopesia, sindrom seperti flu, rasa terbakar pada vena ketika diinfus (bukan ekstravasasi). g. Sisplatin (Platinol) IV Efek samping : Toksisitas renal (berat), mual/muntah (1-4 jam berikutnya, berat), depresi sumsum tulang (ringan, 2-3 minggu berikutnya), ototoksisitas, neurotoksisitas (hampir sama dengan vinkristin), hipomagnesium, gangguan hipokalsemia, elektrolit hipokalemia, terutama dan hipofosfatemia, serta dapat terjadi reaksi anafilatik. h. Karboplatin (CBDCA) IV Efek samping : Mual/muntah (ringan), depresi sumsum tulang (14 hari berikutnya), alopesia, hepatotoksisitas sedang. i. Agens peng-alkilasi Klorambusil (Leukeran) PO Efek samping : Mual/muntah (ringan), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), diare, dermatitis, hepatotoksisitas kurang umum terjadi. j. Antimetabolit Sitosin arabinosid (Ara-C, Cytosar, Cytarabine, arabinosyl cytosine) IV, IM, SC, IT Efek samping : Alopesia, mual/muntah (ringan), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), ulserasi mukosa, imunosupresi, hepatitis (biasanya subklinis). k. 5-Azasitidin (5-AzaC) IV Efek samping : Mual/muntah (sedang), depresi sumsum depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), diare. l. Merkaptopurin (6-MP, Purinethol) PO, IV Efek samping : Mual/muntah (ringan), tulang (4-6 minggu berikutnya), diare, anoreksia, stomatitis, imunosupresi, dermatitis, hepatotoksik kurang umum terjadi. m. Metotreksat (MTX, Amethopterin) PO, IV, IM, IT Efek samping : Mual/muntah (hebat pada dosis tinggi), depresi sumsum tulang (10 hari berikutnya), ulserasi mukosa (25 hari berikutnya), diare, imunosupresi, dermatitis, fotosensitivitas, alopesia (tidak umum), efek toksik meliputi : hepatitis (fibrosis); osteoporosis; nefropati; pneumonitis (fibrosis), toksisitas neurologis dengan penggunaan IT-nyeri pada area injeksi, meningismus (tanda-tanda meningitis tanpa inflamasi aktual), terutama demam dan sakit kepala; potensial sekuele-hemiparesis sementara atau permanen, konvulsi, demensia, kematian. n. Tioguanin (6-TG, Thioguan) PO Efek samping : Mual/muntah tulang (7-14 hari (ringan), berikutnya), depresi stomatitis, sumsum dermatitis, fotosensitivitas, disfungsi hepar. o. Vinkristin (Oncovin) IV Efek samping : Neurotoksisitas-parestesia (kebas); ataksia; kelemahan; footdrop; hiporefleksia; konstipasi (ileus adinamik); serak (paralisis pita suara); nyeri abdomen, dada, dan nyeri rahang; depresi mental, demam, mual/muntah (ringan), depresi sumsum tulang (minimal; 7-14 hari berikutnya), alopesia, SIADH. p. Vinblastin (Velban) IV Efek samping : Neurotoksisitas (sama dengan vinkristin tetapi kurang berat), mual/muntah (ringan), depresi sumsum tulang (terutama neutropenia; 7-14 hari berikutnya), alopesia. q. VP-16 (Etoposide, Ve-Pesid), VM-16 (Tenoposide) IV Efek samping : Mual/muntah (ringan sampai sedang), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), alopesia, hipotensi dengan infus cepat, bradikardia, diare (jarang), stomatitis (jarang), dapat mengaktifkan kembali eritema pada kulit yang teradiasi (jarang), reaksi alergi dengan kemungkinan anafilaksis, neurotoksisitas. r. Aktinomisin-D (Dactinomycin, Cosmogen, ACT-D) IV Efek samping : Mual/muntah (2-5 jam berikutnya, sedang), depresi sumsum tulang (terutama trombosit, 7-14 hari berikutnya), imunosupresi, ulserasi mukosa, kram abdomen, diare, anoreksia (dapat hilang dalam beberapa minggu), alopesia, jerawat, eritema atau hiperpigmentasi pada kulit yang teradiasi sebelumnya, demam, malaise. s. Doksorubisin (Adriamycin, Doxyrubicin), Daunorubisin (Daunomycin, Rubidomycin) IV Efek samping : Mual/muntah (sedang), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), demam menggigil, stomatitis flebitis lokal, alopesia, toksisitas dosis kumulatif meliputi : abnormalitas jantung, perubahan EKG, gagal jantung. t. Bleomisin (Blenoxane) IV, IM, SC Efek samping : reaksi alergi-demam, menggigil, hipotensi, anafilaksis; demam (nonalergi); stomatitis; efek dosis kumulatif yang meliputi : kulit (ruam, hiperpigmentasi, penebalan, ulserasi, pengelupasa, perubahan kuku, alopesia), paru-paru (pneumonitis dengan infiltrat yang dapat berlanjut menjadi fibrosis fatal). u. Karmustin (BCNU) IV, Lomustin (CCNU) PO Efek samping : Mual/muntah (2-6 jam berikutnya, berat), depresi sumsum tulang (3-4 minggu berikutnya), alopesia, rasa nyeri terbakar sepanjang infus IV (biasanya karena pelarut alkohol), kemerahan pada wajah dan rasa terbakar fasial pada area infus (BCNU). 4. Pemberian Kemoterapi Menurut Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam (2012), terdapat beberapa pemberian kemoterapi pada anak, yang meliputi : a. Kemoterapi tunggal dan kombinasi Kemoterapi tunggal digunakan pada masa awal pengobatan kanker yang secara berangsur dosis kemoterapi tunggal berubah menjadi kemoterapi kombinasi. Hal ini dikarenakan kemoterapi kombinasi telah terbukti memiliki keberhasilan yang lebih tinggi. Terapi kombinasi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat dengan titik tangkap yang berbeda. Keberhasilan kemoterapi kombinasi banyak dipengaruhi oleh sensitifitas terhadap obat, efek sinergis dari kombinasi tersebut. b. Kemoterapi ajuvan Kemoterapi ajuvan yang berarti kemoterapi tambahan, di mana kemoterapi diberikan sebagai terapi tambahan terhadap pengobatan utama misalnya pembedahan. Kemoterapi ajuvan diberikan pasca pembedahan dengan angka kesembuhan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kemoterapi ajuvan dapat membunuh sel kanker yang tersebar sewaktu operasi, dan sel-sel mikrometastasis yang tidak tampak secara klinis. c. Kemoterapi pra-bedah Kemoterapi pra-bedah diberikan pada kondisi tertentu, misalnya pada neuroblastoma dan tumor Wilms. Kemoterapi ditujukan untuk mengecilkan volume tumor dan menangkal mikrometastasis secepatnya. Kemoterapi pra-bedah juga berguna sebagai tindakan pencegahan jika ada sel yang tersebar karena ruptur atau pecahan massa tumor saat dilakukan tindakan operasi. d. Kemoterapi dosis tinggi Kemoterapi dosis tinggi merupakan kemoterapi dengan dosis yang tidak lazim. Penggunaan dosis tinggi tersebut dimaksudkan untuk mematikan sel kanker sebanyak mungkin. Dosis biasa obat anti kanker melewati membran sel secara difusi aktif, sedangkan pada penggunaan dosis tinggi menjadi difusi pasif karena tingginya kadar obat diluar sel. Akan tetapi, penggunaan dosis tinggi akan berakibat timbulnya depresi sumsum tulang, kerusakan sel epitel yang ditunjukkan dengan gejala stomatitis yang berat. Oleh karena itu, keberadaan obat tersebut dalam tubuh harus segera dieliminasi. e. Kemoterapi untuk saraf pusat Secara statistik, kanker pada saraf pusat merupakan tumor padat yang paling sering dijumpai pada anak. Dosis obat anti kanker yang biasa digunakan tidak dapat menembus atau sangat sedikit yang dapat melewati sistem sawar otak. Hal ini mengakibatkan terdapat spesifikasi farmakokinetik pada obat anti kanker otak yang berbeda dengan kanker organ lain. Penetrasi obat ke tumor otak dipengaruhi oleh besar molekul, kelarutan dalam lemak, dan muatan elektris. 5. Efek Samping Kemoterapi Kemoterapi dinilai efektif dalam membasmi sel kanker. Akan tetapi, selain menyerang sel kanker, kemoterapi juga menyerang sel- sel yang normal terutama pada sel-sel yang mudah membelah seperti, folikel rambut, mulut, tenggorokan, mukosa usus dan lambung, serta sumsum tulang. Oleh karena itu, kemoterapi menimbulkan dampak yang kurang nyaman bagi pasien seperti, rambut rontok, hemoglobin, trombosit, dan sel darah putih berkurang, tubuh lemah, merasa lelah, sesak napas, mudah mengalami perdarahan, mudah ter infeksi, kulit membiru/menghitam, kering, serta gatal, mulut dan tenggorokan terasa kering dan sulit menelan, sariawan, mual, muntah, nyeri pada perut, menurunkan nafsu seks dan kesuburan karena perubahan hormon (Setiawan, 2015). 6. Mekanisme Kerja Kemoterapi Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan meracuni atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar, atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker (Susanti & Tarigan, 2012). Obat kemoterapi mayoritas bersifat sitotoksik, yaitu bekerja dengan meracuni sel-sel yang paling cepat membelah diri dalam tubuh. Obat ini bekerja melalui aliran darah atau limfe sehingga dengan cepat membunuh sel-sel kanker yang telah menyebar (CancerHelps, 2010). Obat kemoterapi bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis atau fungsi DNA. Titik tangkap obat kemoterapi terhadap sel tumor dapat dibagi menjadi 12 titik tangkap, terutama peran dalam menghambat atau merusak siklus sel kanker (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2012). 7. Jenis Kemoterapi Berdasarkan Tingkat Emetogenik Menurut (Dewan, Singhal, & Harit, 2010), Jenis kemoterapi berdasarkan kejadian mual muntah akibat kemoterapi dibagi menjadi empat level yaitu, level minimal dengan presentase kejadian muntah sebesar 10%, level rendah dengan presentase sebesar 10-30%, level moderate dengan presentase 30-90%, dan level tinggi dengan presentase >90%. Tabel 2.1. Jenis kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik Tingkat emetogenik Obat kemoterapi Bevacizumab, Bleomycin, Busulfan, Fludarabine, Vincristine, Vinorelbine, Vinblastine, 2Chlorodeoxyadenosine, Rituximab Paclitaxel, Docetaxel, Mitoxantrone, Topotecan, Etoposide, Pemetrexed, Methotrexate, Mitomycin, Gemcitabine, Cytarabine (<1000 mg/m2), Fluorouracil, Bortezomib, Cetuximab, Trastuzumab Oxaliplatin, Cytarabine (>1000 mg/m2), Carboplatin, Ifosfamide, Cyclophosphamide < 1500 mg/m2, Doxorubicin, Daunorubicin, Epirubicin, Idarubicin, Irinotecan Cisplatin, Mechlorethamine, Streptozotocin, Dacarbazine, Carmustine, Dactinomycin Cyclophosphamide (>1500 mg/m2) Level 1 (minimal) Level 2 (rendah) Level 3 (moderate) Level 4 (tinggi) Sumber : Dewan, Singhal, & Harit (2010) C. Nausea Akibat Kemoterapi 1. Definisi Nausea Nausea (mual) adalah fase awal dari muntah. Mual merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirin dan emosi. Kondisi tersebut ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, dan seringkali disertai gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takhikardia dan anoreksia (Suraatmaja, 2010). Nausea sebenarnya merupakan suatu protective reflex untuk mencegah masuknya agen toksik. Perasaan tidak enak merupakan perilaku responsif terhadap masuknya makanan yang toksik atau rangsangan lainnya. Peristaltik yang terbalik (reserve peristaltic) dari saluran gastrointestinal bagian atas adalah protective reflex untuk mencegah masuknya bahan toksik ke duodenum. Demikian juga mual dan muntah sebagai efek obat-obatan dianggap sebagai physiologic protective respons untuk mencegah masuknya bahan toksik ke dalam tubuh (Suraatmaja, 2010). 2. Mekanisme Nausea Obat kemoterapi dapat menimbulkan nausea (mual) dan muntah melalui beberapa mekanisme. Kemoterapi menyebabkan iritasi pada mukosa lambung dan usus. Kondisi tersebut memicu saluran gastrointestinal melepaskan serotonin yang menimbulkan impuls yang kemudian dihantarkan oleh nervus vagus (Juffrie, et al., 2011). Pusat mual dan muntah nucleus salitarius dan formatio retikularis yang terletak di medulla oblongata, diaktifkan oleh rangsangan dari saluran gastrointestinal melalui eferen parasimpatis (nervus vagus) dan simpatis. Selain itu juga dapat diaktifkan oleh rangsangan dari pusat ke dua yang disebut chemoreceptive trigger zone (CTZ) yang terletak di area post rema di lantai ventrikel IV. Regio ini sangat sensitif terhadap bermacam-macam bahan kimia yang terdapat di dalam darah. Bahan-bahan yang dapat bereaksi langsung pada regio ini adalah bahan eksogen (agen sitotoksik, opiat, ipecac, dan digoxin) dan bahan endogen. Rangsangan tersebut akan merangsang suatu peptida yang bersifat endogenus emetic agent yang menyebabkan rangsangan humoral pada chemoreceptive trigger zone (CTZ) dan mentransmisikan ke pusat mual dan muntah, sehingga substansi yang berpotensi bahaya dapat dikeluarkan melalui proses mual dan muntah (Suraatmaja, 2010). Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea belum terjadi peristaltik aktif (Juffrie, et al., 2011). 3. Klasifikasi Nausea Klasifikasi nausea (mual) dan muntah menurut Susanti & Tarigan (2012), dibagi menjadi empat : a. Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika tanpa pengobatan antiemetik. b. Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi 26 hari setelah terapi. c. Mual muntah yang berkelanjutan, biasanya untuk obat sitostatika emetogenik sedang, dapat menyebabkan mual muntah selama 2-3 hari. d. Mual muntah antisipatori, terjadi pada pasien yang merasa mual atau rasa tidak enak diperut dan cemas, padahal obat sitostatika belum diberikan. 4. Faktor yang Mempengaruhi Status Nausea Menurut Lohr (2008), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi. Jenis kelamin perempuan lebih berisiko mengalami nausea dibandingkan laki-laki. Usia lebih dari 3 tahun lebih berisiko mengalami mual akibat kemoterapi. Selain itu, riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya juga mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi. Faktor resiko yang berhubungan dengan tindakan kemoterapi meliputi, tingkat emetogenik obat kemoterapi, jadwal atau siklus kemoterapi, dosis, serta rute pemberian kemoterapi. 5. Pengkajian Nausea Ada beberapa instrumen terkait pengkajian status nausea pada anak. Instrumen tersebut meliputi, Keller Index of Nausea (KIN), Pediatric Nausea Assessment Tool (PNAT), Numeric Rating Scales, Index of Nausea Vomiting and Retching, Visual Analogue Scale, Verbal Category Scale, Nausea Profile. Instrumen tersebut telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Setiap instrumen memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Instrumen yang sering digunakan pada anak-anak adalah Keller Index of Nausea (KIN) dan Pediatric Nausea Assessment Tool (PNAT). Menurut Keller & Keck (2006), Keller Index of Nausea (KIN) digunakan untuk pengkajian observasi nausea pada anak usia muda. Terdapat 19 indikator untuk mengobservasi status nausea anak. Jika indikator ditemukan pada anak, maka diberikan skor 1. Jika indikator tidak ditemukan saat pengamatan, maka diberikan skor 0. Skor terendah adalah 0, sedangkan skor tertinggi adalah 19. Total skor yang tertinggi kemungkinan terbesar mengalami mual yang aktual (Keller & Keck, 2006). Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) tersebut tercantum pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) Alterations in affect and Behaviors (Perubahan Sikap dan Perilaku) Decrease in activity (penurunan aktifitas) Puts hand over mouth (meletakkan tangan di mulut) Puts hand over stomach (meletakkan tangan di atas perut) Nausea posture/ positioning (posisi mual) Refuses oral fluids (menolak cairan lewat mulut) Distres (Tekanan) Restlessness (gelisah) Crying (menangis) Nausea facial expression (ekspresi wajah mual) Irritable/ fussy (Sensitif) Physiological Alterations (Perubahan Fisiologis) Increased respiratory rate (peningkatan frekuensi pernafasan) Loss of appetite (hilang nafsu atau selera makan) Vomiting (muntah) Retching/gagging (muntah berat) Cold sweating (keringat dingin) Skin feels cold to touch (kulit terasa dingin saat disentuh) Changes in skin colour (pallor or flushing) (perubahan warna kulit atau kemerahan) Drooling/salivation (air liur meningkat) Frequent swallowing (sering menelan) Tongue movements/compressing or licking lips (ada gerakan lidah atau menekan atau membasahi bibir) Sumber : Keller & Keck (2006), Hayati (2009) Menurut Dupuis, Taddio, Kerr, Kelly, & MacKeigan (2006), Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) digunakan untuk pengkajian intensitas nausea pada anak melalui pengamatan pada 4-24 jam setelah mendapatkan kemoterapi. Anak dipastikan tidak memahami konsep nausea untuk memusatkan perhatian anak pada rasa mualnya serta untuk mendeskripsikan bagaimana penggunaan PeNAT, maka digunakan face validity test (Dupuis, Taddio, Kerr, Kelly, & MacKeigan, 2006). Instrumen Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) tersebut tercantum pada gambar 2.1. Gambar 2.1. Instrumen Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) Sumber : Dupuis, Taddio, Kerr, Kelly, & MacKeigan (2006) 6. Penatalaksanaan Nausea Tujuan utama dari penatalaksanaan nausea (mual) dan muntah adalah menghilangkan kausa spesifiknya. Akan tetapi, penatalaksanaan simptomatik untuk mengurangi atau menghilangkan gejala mual dan muntah perlu dilakukan terlebih dahulu. Pemberian antiemetik dapat dilakukan untuk mengurangi gejala mual dan muntah tersebut (Suraatmaja, 2010). a. Farmakologis Menurut Dewan, Singhal, & Harit (2010), obat antiemetik dapat diberikan satu jenis maupun secara kombinasi. Beberapa obat antiemetik untuk mengurangi mual dan muntah sebagai efek dari kemoterapi (Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting) meliputi : 1) Antagonis Dopamin Obat-obat yang termasuk golongan antagonis dopamin adalah metoklopramid, domperidon, haloperidol, chlorpromazine, dan prochlorperazine. Pada dosis tinggi, metoklopramid bekerja sebagai reseptor antagonis serotonin. Khasiat antiemetik dengan metoklopramid cenderung sedikit lebih rendah jika dilihat dari selektifitas reseptor antagonis serotonin. Efek samping yang ditimbulkan adalah dystonic reaction, akathisia, dan sedasi. Haloperidol biasanya digunakan pada anak untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi. 2) Kortikosteroid Dexametason dan methylprednisolone memiliki indeks terapi yang tinggi jika digunakan untuk mencegah efek muntah akibat kemoterapi. Dexametason seringkali dikombinasikan dengan antagonis serotonin. Dexametason bekerja dengan menurunkan efek inflamasi pada mukosa intestinal, memblokade pelepasan 5-HT3, dan menurunkan permeabilitas dari blood brain barrier. Efek yang ditimbulkan pada penggunaan dosis tunggal dexametason sangat jarang seperti, peningkatan serum glukosa, epigastric burning, serta keluhan gangguan istirahat tidur. 3) Antagonis Serotonin (5-HT3) Obat-obat serotonin yang meliputi, termasuk granisetron, golongan antagonis ondansetron, dan tropisetron. Obat tersebut memiliki selektifitas yang tinggi terhadap serotonin. Akan tetapi, antiemetik tersebut memiliki efek samping sakit kepala, flushing, dan konstipasi. Antiemetik ini banyak digunakan untuk mengatasi mual muntah akut akibat kemoterapi pada level emetogenik moderat dan tinggi. 4) Benzodiazepin Lorazepin dan midazolam termasuk golongan benzodiazepin yang bekerja sebagai tambahan terapi untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi terutama pada mual muntah antisipatori dengan menurunkan kecemasan dan menyebabkan sedasi. b. Non Farmakologis Penatalaksanaan secara non farmakologis juga dibutuhkan dalam mengatasi nausea akibat kemoterapi. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea meliputi, penurunan kecemasan, teknik ketenangan, diet, distraksi (pengalihan), manajemen cairan/elektrolit, monitor cairan, administration medication, manajemen medis, manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen nyeri, teknik relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Menurut Schneider & Hood (2007), teknik distraksi merupakan strategi koping yang terfokus pada emosi karena teknik tersebut mengalihkan fokus perhatian dari stimulus yang tidak menyenangkan melalui manipulasi lingkungan. Intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena individu bisa lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman, sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas, nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi. Salah satu penatalaksanaan non farmakologis pada anak adalah terapi bermain. Menurut Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak. D. Konsep Terapi bermain 1. Definisi Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang efektif untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Agustina & Puspita, 2010). Bermain merupakan aktifitas di mana anak dapat melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersipkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005). 2. Fungsi Bermain Kegiatan bermain memiliki berbagai fungsi bagi anak. Fungsi bermain menurut Wong (2012), meliputi : a. Perkembangan sensorimotor 1) Memperbaiki keterampilan motorik kasar dan halus serta koordinasi. b. 2) Meningkatkan perkembangan semua indera. 3) Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia. 4) Memberikan pelampiasan kelebihan energi. Perkembangan intelektual 1) Memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk pembelajaran. 2) Eksplorasi dan manipulasi bentuk, ukuran, tekstur, warna. 3) Pengalaman dengan angka, hubungan yang renggang, dan konsep abstrak. 4) Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas keterampilan berbahasa. 5) Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan baru. 6) Membantu anak memahami dunia di mana mereka hidup dan membedakan antara fantasi dan realita. c. Perkembangan sosialisasi dan moral 1) Mengajarkan peran orang dewasa, termasuk perilaku peran seks. 2) Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan. 3) Mengembangkan keterampilan sosial. 4) Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain. 5) Menguatkan pola perilaku yang telah disetujui dan standar moral. d. Kreativitas 1) Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minat yang kreatif. e. 2) Memungkinkan fantasi dan imajinasi. 3) Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus. Kesadaran diri 1) Memudahkan perkembangan identitas diri. 2) Mendorong pengaturan perilaku sendiri. 3) Memungkinkan pengujian pada kemampuan sendiri (keahlian sendiri). 4) Memberikan perbandingan antara kemampuan sendiri dan kemampuan orang lain. 5) Memungkinkan kesempatan untuk belajar bagaimana perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain. f. Nilai terapeutik 1) Memberikan pelepasan stres dan ketegangan. 2) Memungkinkan ekspresi emosi dan pelepasan impuls yang tidak dapat diterima dalam bentuk yang secara sosial dapat diterima. 3) Mendorong percobaan dan pengujian situasi yang menakutkan dengan cara yang aman. 4) Memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan non verbal tentang kebutuhan, rasa takut, dan keinginan. 3. Bermain pada Anak di Rumah Sakit Permainan pada anak yang rawat inap di rumah sakit tidak hanya memberikan rasa senang pada anak tetapi juga membantu anak mengekspresikan perasaan, pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan nyeri. Permainan tersebut harus sesuai dengan prinsip bermain anak selama di rumah sakit yaitu, tidak membutuhkan banyak energi, waktunya singkat, mudah dilakukan, aman, sesuai kelompok umur, melibatkan orang tua, dan tidak bertentangan dengan terapi (Agustina & Puspita, 2010). Pemberian stimulasi mainan pada anak yang dirawat sesuai dengan kondisi dan tingkat perkembangannya. Jika pasien sudah dapat duduk atau tidak terlihat lemah sekali, dapat diberikan pensil berwarna dan kertas gambar untuk corat coret atau menggambar (Ngastiyah, 2005). 4. Manfaat Mewarnai Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Salah satu jenis permainan anak adalah mewarnai gambar. Melalui mewarnai gambar, seorang dapat menuangkan simbolisasi tekanan atau kondisi traumatis yang dialaminya ke dalam coretan dan pemilihan warna. Dinamika secara psikologis menggambarkan bahwa individu dapat menyalurkan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam bawah sadarnya dan tidak dapat dimunculkan ke dalam realita melalui gambar. Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan muatan amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres, menciptakan gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa bahagia. Melalui aktifitas mewarnai gambar, emosi dan perasaan yang ada di dalam diri bisa dikeluarkan, sehingga dapat menciptakan koping yang positif. Koping positif ini ditandai dengan perilaku dan emosi yang positif (Aizah & Wati, 2014). Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik (sebagai permainan penyembuh). Anak dapat mengekspresikan perasaannya dengan cara menggambar. Hal ini berarti menggambar bagi anak merupakan suatu cara untuk berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata (Wowiling, et. al., 2014). Warna juga merupakan media terapi untuk membaca emosi seseorang dan dapat meringankan stres pada anak (Agustina & Puspita, 2010). Berdasarkan case report yang dilakukan oleh Nesbitt & TabattHaussmann (2008), memaparkan bahwa kombinasi antara terapi musik dan terapi seni (menggambar) dengan tema yang telah disesuaikan dengan musik yang diperdengarkan (pelangi, underwater, binatang, aktifitas di pantai dan alam sekitar) selama 45 menit dengan pengambilan tempat yang nyaman dan terpantau dapat menjadi intervensi non farmakologis yang efektif dalam mengatasi efek samping kemoterapi yaitu sebagai pengalihan (distraksi) terhadap nyeri, nausea (mual) akibat kemoterapi, penurunan kecemasan, serta meningkatkan respon relaksasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Eka, Widastra, & Widianah (2013), menunjukkan bahwa terapi bermain menggambar dan mewarnai yang dilakukan selama 1x30 menit dapat menurunkan tingkat kecemasan secara signifikan pada anak yang mendapatkan kemoterapi. E. Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea Kemoterapi menimbulkan efek yang tidak nyaman bagi pasien, sehingga membutuhkan intervensi untuk mengatasi kondisi tersebut. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan secara mandiri adalah dengan mengurangi rasa tidak nyaman pasien akibat efek kemoterapi. Menurut Bulechek, Butcher, & Dochterman (2013), intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea meliputi, penurunan kecemasan, teknik ketenangan, diet, distraksi (pengalihan), manajemen cairan/elektrolit, monitor cairan, administration medication, manajemen medis, manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen nyeri, teknik relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur. Menurut Schneider & Hood (2007), intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena individu dapat lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman, sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas, nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi. Menurut Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), salah satu manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak. Bermain dapat memberikan rasa senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya (Hidayat, 2005). Salah satu permainan yang dapat dilakukan adalah mewarnai gambar. Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan muatan amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres, menciptakan gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa bahagia (Aizah & Wati, 2014). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan menjadi antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls rasa mual di chemoreceptive trigger zone (CTZ) dan pusat nausea (mual) muntah di sistem saraf pusat dan medula oblongata sehingga anak tidak mengalami keluhan mual (Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011). F. Kerangka Teori Penyakit kanker Kemoterapi Merangsang pembentukan serotonin di gastrointestinal Teknik distraksi : Merangsang nervus vagus 1. Terapi musik (Zanah, Widodo, & Shobirun, Aktifasi chemoreceptive trigger zone (CTZ) 2013). 2. Distraksi (menggambar dan mewarnai) oleh keluarga Stimulasi pusat mual dan muntah (Hayati, 2009). Rasa senang dan nyaman Nausea (mual) Terapi bermain mewarnai Merangsang sekresi endorfin Menghambat impuls rasa mual ke chemoreceptive trigger zone (CTZ) dan pusat mual muntah Nausea (mual) menurun Gambar 2.2. Kerangka Teori Sumber : Hayati (2009), Juffrie, et al. (2011), Suraatmaja, (2010), Syarif, Nurachmah, & Gayatri (2011), Zanah, Widodo, & Shobirun (2013). G. Kerangka Konsep Variabel bebas Variabel terikat Intervensi terapi bermain mewarnai dan pemberian antiemetik ondansentron Status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi Variabel perancu : - Usia - Jenis kelamin - Jenis kemoterapi - Riwayat nausea sebelumnya - Siklus kemoterapi Gambar 2.3. Kerangka Konsep = diteliti = tidak diteliti H. Variabel Penelitian Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan variabel terikat (Setiadi, 2013). Variabel bebas pada penelitian ini adalah intervensi terapi bermain mewarnai dan pemberian antiemetik ondansentron pada anak yang mendapatkan kemoterapi. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Setiadi, 2013). Variabel terikat pada penelitian ini adalah status nausea pada anak selama kemoterapi. I. Hipotesis Hipotesis penelitian merupakan kesimpulan teoritis yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis bukti-bukti empiris untuk menentukan apakah hipotesis tersebut ditolak atau diterima (Setiadi, 2013). Hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu: Ada pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea pada anak yang mendapatkan kemoterapi. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan desain eksperimen semu (quasy experiment) dan dilakukan secara post test only control group design. Menurut Nursalam (2013), rancangan penelitian eksperimen semu berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental dengan pemilihan kelompok tidak menggunakan teknik acak. Menurut Nasir, Muhith, & Ideputri (2011), dalam post test only control group design, terdapat dua kelompok yang dipilih sebagai objek penelitian. Kelompok pertama mendapat perlakuan sedangkan kelompok kedua berfungsi sebagai kelompok pembanding atau pengontrol. Akan tetapi, kedua kelompok tidak dilakukan secara acak. Penelitian dilakukan selama kemoterapi. Pada kelompok intervensi, diberikan perlakuan berupa terapi bermain mewarnai selama tindakan kemoterapi. Setelah tindakan kemoterapi, dilakukan pengamatan status nausea baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Prosedur dilakukan pada anak usia pra sekolah selama mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian adalah sejumlah besar subjek yang memenuhi karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian yang dilakukan adalah anak usia prasekolah dengan diagnosa kanker yang sedang mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. 2. Sampel Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses 11 menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2013). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dengan consecutive sampling. Menurut Nursalam (2013), teknik consecutive sampling merupakan pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah klien yang diperlukan terpenuhi. Besar sampel pada rerata dua populasi independen dapat diperkirakan menggunakan rumus menurut Sastroasmoro (2011), sebagai berikut : n1 = n2 = 2 (Zα + Zβ)² s² (X1 – X2)² n1 = n2 = Besar sampel s = Simpang baku kedua kelompok Zα = Kesalahan tipe I, dengan derajat kemaknaan 10% (1,96) Zβ = Kesalahan tipe II, dengan kekuatan 80% (0,84) X1 – X2 = Perbedaan klinis yang diinginkan Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarif, Nurachmah, & Gayatri (2011), mengenai terapi akupresur dapat menurunkan keluhan mual muntah akut akibat kemoterapi pada pasien kanker (n1 = n2 = 22), diperoleh simpangan baku sebesar 2,009, rerata mual muntah pada kelompok intervensi sebesar 3,55 dan rerata kelompok kontrol sebesar 5,68. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna rerata mual muntah akut terhadap kelompok yang dilakukan akupresur dengan yang tidak dilakukan (p=0,000; α=0,05). Berdasarkan penelitian tersebut, besar sampel dapat ditentukan sebagai berikut : n1 = n2 = 2 x (Zα + Zβ)² s² (X1 – X2)² = 2 x (1,96+0,84)2 (2,009)2 (5,68-3,55)2 = 2 x 7,84 x 4,036081 4,5369 = 13,9491172 = 14 sampel Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh jumlah sampel sebesar 14 sampel tiap kelompok. Penelitian mengantisipasi adanya drop out sebesar 10%, maka jumlah sampel ditambahkan menjadi 16 sampel untuk masingmasing kelompok. Kriteria sampel dibedakan menjadi dua yaitu, kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Sedangkan kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena beberapa alasan (Nursalam, 2013). Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini meliputi : a. Anak usia pra sekolah yang mendapatkan kemoterapi. b. Anak dan keluarga kooperatif dan bersedia menjadi responden penelitian. c. Anak dan keluarga mampu berkomunikasi secara verbal maupun non verbal. d. Anak dalam kondisi sadar. e. Rute pemberian agen kemoterapi melalui intra vena. f. Anak mendapatkan premedikasi berupa antiemetik ondansentron. Kriteria eksklusi dari sampel penelitian ini meliputi : a. Anak dalam kondisi lemah dan tidak bisa melakukan aktifitas intervensi yang diberikan peneliti. b. C. Anak mengalami mual muntah antisipatori. Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Nursalam, 2013). Penjelasan definisi operasional terhadap kedua variabel dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Variabel penelitian dan definisi operasional No. Variabel penelitian Variabel independen: Terapi bermain mewarnai. Definisi Operasional Aktifitas yang dilakukan anak sebagai ungkapan ekspresi, kreatifitas, dan perasaan anak sebagai bentuk intervensi keperawatan pada anak melalui coretan warna pada media kertas bergambar. 2. Variabel dependen: Status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. Penilaian rasa tidak nyaman pada daerah perut yang dialami anak selama tindakan kemoterapi yang disertai perilaku tidak selera makan serta rasa ingin muntah. 3. Variabel perancu : a. Usia Anak Lama hidup anak sejak lahir sampai dengan saat penelitian dilakukan. 1. Cara Ukur Pada kelompok intervensi diberikan alat untuk mewarnai gambar selama proses kemoterapi sedangkan pada kelompok kontrol tidak. Observasi dengan Keller Index of Nausea (KIN) Peneliti mengisi data demografi berdasarkan data dari rekam medis. Hasil Ukur Skor nausea merupakan penjumlahan skor berdasarkan 19 tanda atau karakteristik yang berkisar antara 019. 0 = Skor nausea terendah 19 = Skor nausea tertinggi Interpretasi : data dikategorikan menjadi dua berdasarkan cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringansedang dan nausea sedangberat) berdasarkan nilai mean (jika data berdistribusi normal) atau median (jika data berdistribusi tidak normal). Usia pada rentang 3-6 tahun Skala ukur Rasio Interval b. Jenis Kelamin Identitas seksual yang ditentukan sejak lahir c. Jenis Kemoterapi Berbagai obat atau agen yang digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. d. Riwayat mual akibat kemoterapi sebelumnya Pengalaman rasa tidak nyaman pada perut akibat pemberian obat pembunuh sel kanker terdahulu sejak pertama dilakukan pengobatan Serangkaian tindakan dengan pemberian obat pembunuh sel kanker yang tidak terputus sampai dosis yang diresepkan habis. e. Siklus kemoterapi Peneliti mengisi data demografi berdasarkan data dari observasi dan rekam medis. Peneliti mengisi data demografi berdasarkan data dari rekam medis. Peneliti mengisi data demografi berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua responden. Peneliti mengisi data demografi berdasarkan data dari rekam medis. 1. Laki-laki 2. Perempuan Nominal Dikategorikan dalam : 1. Tingkat emetogenik minimal. 2. Tingkat emetogenik rendah. 3. Tingkat emetogenik moderate. 4. Tingkat emetogenik tinggi. 1. Ada 2. Tidak Ada Ordinal Nilai frekuensi Interval dalam Nominal D. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Ruang Cendrawasih (ruang kemoterapi) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit pusat rujukan yang memiliki penanganan kanker kemoterapi, sehingga terdapat pasien yang mencukupi sebagai sampel penelitian. E. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2015 sampai dengan Maret 2016 yang terdiri dari tiga tahap yaitu, penyusunan proposal, pengumpulan data, dan pelaporan hasil penelitian. F. Etika Penelitian Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian. Hal ini dikarenakan keperawatan merupakan cabang ilmu yang berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut Hidayat (2009), masalah etika yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti meliputi : 1. Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan reponden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan kepada responden. Tujuan informed consent adalah supaya subjek mengerti maksud, tujuan serta dampak penelitian. Setelah peneliti memberikan informasi terkait maksud dan tujuan dilakukan penelitian, seluruh responden dan orang tua bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian dan orang tua menandatangani lembar persetujuan penelitian. 2. Anonimity merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan. 3. Confidentially merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset. G. Alat Pengumpul Data 1. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan observasi. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi terkait karakteristik responden yang diteliti tercantum pada lampiran 1. Menurut Nasir, Muhith, & Ideputri (2011), observasi merupakan suatu kegiatan pengamatan secara langsung. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Menurut Keller & Keck (2006), alat ukur nausea yang dapat digunakan pada anak muda adalah Keller Index of Nausea (KIN). Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan dalam mengobservasi status nausea pada anak yang mendapatkan kemoterapi adalah Keller Index of Nausea (KIN). Instrumen tersebut telah diuji validitas dan reliabilitas, dan telah dipatenkan oleh Keller & Keck (2006). Menurut Keller & Keck (2006), ada 19 indikator nausea yang diobservasi. Indikator tersebut meliputi tiga area yang dapat diobservasi yaitu, perubahan afek dan perilaku, distres, dan perubahan fisiologis. Jika indikator nausea muncul pada anak, maka diberikan skor 1, sedangkan jika tanda dan karakteristik nausea tidak muncul pada anak, maka diberikan skor 0, sehingga jumlah keseluruhan skor nausea berdasarkan hasil pengamatan berkisar antara 0-19 dengan skor terendah 0 dan skor tertinggi adalah 19. Instrumen tersebut tercantum pada lembar lampiran 1. 2. Uji Validitas dan Reliabilitas Sebuah instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai situasi dan kondisi tertentu. Sedangkan reliabilitas instrumen merupakan adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan oleh orang maupun pada waktu yang berbeda (Setiadi, 2013). Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) telah diuji validitas dan reliabilitas, dan telah dipatenkan oleh Keller & Keck (2006). Peneliti menerjemahkan kembali instrumen tersebut mengingat instrumen berbahasa inggris. Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) telah diuji pada populasi anak usia 1-5 tahun dengan hasil interrater reliability dengan total persentase agreement pada seluruh indikator Keller Index of Nausea (KIN) sebesar 96% (Keller & Keck, 2006). H. Prosedur Pengumpulan Data 1. Jenis Data a. Data Primer Data primer merupakan data yang dikumpulkan dan diolah oleh suatu organisasi atau perorangan langsung dari objeknya (Sunyoto, 2013). Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa data hasil pengamatan peneliti berupa status nausea pada anak setelah mendapatkan kemoterapi. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dalam bentuk jadi atau berasal dari pihak lain (Sunyoto, 2013). Data sekunder dalam penelitian ini berupa data karakteristik pasien yang mendapatkan kemoterapi serta pemberian premedikasi antiemetik sebelum dilakukan kemoterapi yang diperoleh dari rekam medik pasien yang mendapatkan kemoterapi. 2. Cara Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap sebagai berikut : a. Persiapan Pada tahap persiapan, peneliti mengurus surat ijin penelitian di Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang yang kemudian dilanjutkan ke bagian pendidikan dan penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang untuk memperoleh ijin penelitian. Setelah itu, peneliti menyampaikan surat ijin penelitian tersebut kepada kepala ruang Cendrawasih (ruang kemoterapi) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. b. Pelaksanaan 1) Peneliti melakukan pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi. 2) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan penelitian kepada anak dan orang tua. 3) Peneliti memberikan informasi terkait penelitian dan meminta persetujuan kepada anak dan orang tua untuk terlibat sebagai responden. 4) Peneliti mempersilakan orang tua untuk mengisi lembar persetujuan bagi responden yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian. 5) Peneliti melakukan pengambilan data dengan mengisi data karakteristik responden dan memastikan pemberian antiemetik ondansentron sebagai premedikasi melalui data rekam medis pasien. 6) Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tujuan, waktu, dan prosedur penelitian kepada responden dan orang tua. 7) Pada kelompok intervensi, peneliti melakukan terapi bermain mewarnai setelah 1 jam obat kemoterapi dimasukkan (Menurut Susanti & Tarigan (2012), mual dan muntah yang terjadi pada penderita yang mendapat sitostatika umumnya terjadi 1-2 jam setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung selama 24 jam) dengan memberikan kertas bergambar (gambar serupa pada seluruh responden yaitu, gambar binatang) dan alat tulis warna (pensil warna) pada masing-masing responden. Setelah itu, terapi bermain mewarnai dilakukan selama 30 menit dengan frekuensi sesuai dengan keinginan anak. Setelah proses kemoterapi selesai, peneliti melakukan observasi status nausea. Penelitian pada kelompok intervensi dilakukan sampai sampel yang diharapkan terpenuhi. 8) Pada kelompok kontrol, peneliti melakukan observasi status nausea setelah tindakan kemoterapi selesai. Setelah penelitian selesai, peneliti memberikan informasi kepada responden terkait terapi bermain mewarnai yang dapat dilakukan pada siklus kemoterapi berikutnya. Penelitian pada kelompok kontrol dilakukan setelah sampel pada kelompok intervensi terpenuhi. 9) Peneliti menyampaikan terima kasih kepada anak dan orang tua yang berpatisipasi dalam penelitian. I. Analisis Data 1. Pengolahan data Menurut Notoatmodjo (2010), proses pengolahan data melalui beberapa tahap yang meliputi : a. Editing Editing merupakan proses memeriksa kelengkapan data yang meliputi identitas responden, kelengkapan lembar observasi, dan pengisian formulir observasi. Setelah selesai melakukan penelitian, peneliti melakukan pemeriksaan kembali terkait identitas responden, kelengkapan lembar observasi, dan pengisian formulir observasi, sehingga kelengkapan data penelitian terpenuhi. b. Coding Coding merupakan proses mengubah data yang berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan untuk mempermudah pembacaan dan pengolahan data. Pada penelitian ini, peneliti melakukan proses coding terkait jenis kelamin (1=laki-laki, 2=perempuan), jenis kemoterapi (1=tingkat emetogenik minimal, 2=tingkat emetogenik rendah, 3=tingkat emetogenik moderate, 4=tingkat emetogenik tinggi), dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya (1=ada, 2=tidak ada). c. Entry Data Entry data merupakan proses dimana data yang sudah diberi kode kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Proses entry data dapat dilakukan secara manual atau melalui pengolahan komputer dengan software SPSS (Statistical Program for Social Science). Pada penelitian ini, proses pengolahan data dilakukan dengan SPSS 16. d. Cleaning Cleaning merupakan proses memeriksa kembali data yang telah dimasukkan apakah sudah benar atau belum. Kesalahan mungkin terjadi pada saat memasukkan data ke komputer yang kemudian dilakukan perbaikan atau koreksi. Peneliti selalu memeriksa data yang telah dimasukkan untuk memastikan data yang dimasukkan sudah benar sehingga tidak diperoleh kesalahan data. 2. Analisis Data Data yang telah diolah kemudian dianalisis sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. a. Analisis Univariat Analisis univariat ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini menunjukkan presentase atau proporsi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). karakteristik responden Pada penelitian ini, gambaran yang meliputi, usia dan siklus kemoterapi disajikan dalam bentuk tabel tendensi sentral, sedangkan karakteristik berdasarkan jenis kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Skor nausea disajikan dalam bentuk tabel tendensi sentral. b. Analisis Bivariat Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji beda 2 mean independent (independent t test). Menurut Sunyoto (2013), uji tersebut digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata pada dua sampel independent untuk data berdistribusi normal. Pada penelitian ini, untuk menguji perbedaan kelompok data intervensi yaitu rerata skor nausea pada kelompok data yang diberikan perlakuan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi dengan kelompok data kontrol yaitu rata-rata skor nausea pada kelompok data yang tidak diberikan perlakuan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi digunakan uji independent t test jika data berdistribusi normal dan menggunakan uji mann-Whitney jika data tidak berdistribusi normal dengan uji normalitas ShapiroWilk (jumlah sampel kurang dari 50). Jika p value > 0,05, maka Ho diterima yang bermakna tidak ada pengaruh setelah diberikan intervensi, sedangkan jika p value < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada pengaruh setelah diberikan intervensi (Dahlan, 2009). Analisis bivariat tersebut dapat dilihat pada tabel 3.2. Uji beda dua sampel yang tidak saling berhubungan menggunakan uji independent t test jika data berdistribusi normal, dan menggunakan uji Mann-Whitney jika data tidak berdistribusi normal. Uji beda beberapa sampel tidak berhubungan menggunakan uji Anova jika data berdistribusi normal, dan jika data tidak berdistribusi normal menggunakan uji Kruskal Wallis (Sujarweni, 2014). Uji beda status nausea berdasarkan karakteristik jenis kelamin dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya menggunakan uji independent t test (data berdistribusi normal) atau uji Mann-Whitney (data tidak berdistribusi normal), sedangkan uji beda status nausea berdasarkan karakteristik jenis kemoterapi dan siklus kemoterapi menggunakan uji Anova (data berdistribusi normal) dan uji Kruskal Wallis (data tidak berdistribusi normal). Analisis bivariat tersebut disajikan pada tabel 3.3. Tabel 3.2. Analisis data bivariat skor nausea pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol Kelompok Data Rerata nausea kelompok diberikan bermain mewarnai status pada yang terapi Kelompok Data Rerata status nausea pada kelompok yang tidak diberikan terapi bermain mewarnai Uji Normalitas Distribusi Data Distribusi normal data Distribusi data tidak normal Uji Statistik Independent test t Mann-Whitney Tabel 3.3. Analisis data bivariat skor nausea berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada kelompok intervensi Kelompok Data Uji Normalitas Distribusi Data Distribusi normal 1. Jenis kelamin 2. Riwayat kemoterapi 3. Jenis kemoterapi 4. Siklus kemoterapi data Distribusi data tidak normal Distribusi data Uji Statistik Independent t test Mann-Whitney One way Anova normal Distribusi data tidak normal Kruskal Wallis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian RSUP Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit pusat rujukan yang memiliki ruang khusus kemoterapi bernama Cendrawasih. Ruang kemoterapi tersebut memiliki 1 kamar khusus untuk pasien anak dengan kapasitas 4 tempat tidur. Penelitian ini dilakukan di ruang kemoterapi Cendrawasih sejak bulan Januari-Februari 2016 dengan jumlah responden sebanyak 16 responden sebagai kelompok intervensi dan 16 responden sebagai kelompok kontrol. B. Hasil Penelitian Pada hasil penelitian ini, peneliti menguraikan penelitian terkait pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi berdasarkan analisis univariat dan analisis bivariat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Mann-Whitney dan uji Kruskal Wallis. 1. Analisis Univariat a. Karakteristik Responden 1) Usia Hasil penelitian terkait karakteristik responden anak berdasarkan usia di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.1. 11 Tabel 4.1. Distribusi responden berdasarkan usia anak yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=32) Frekuensi (n) 4,00 Standar deviasi 1,238 16 Minimalmaksimal 3-6 3,50 1,211 16 3-6 Usia Median Kelompok intervensi Kelompok kontrol Berdasarkan tabel 4.1 distribusi usia pada kelompok intervensi maupun kontrol menunjukkan usia terendah adalah 3 tahun dan usia tertinggi adalah 6 tahun. Rerata usia responden pada kelompok intervensi adalah 4,00 dengan standar deviasi sebesar 1,238, sedangkan rerata usia pada kelompok kontrol adalah 3,50 dengan standar deviasi sebesar 1,211. 2) Siklus Kemoterapi Distribusi responden anak berdasarkan siklus kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Distribusi responden berdasarkan siklus kemoterapi anak yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=32) Siklus kemoterapi Kelompok intervensi Kelompok kontrol Median Standar deviasi Frekuensi (n) Minimalmaksimal 4,00 3,167 16 1-10 2,00 2,277 16 1-8 Tabel 4.2. menyebutkan bahwa rerata siklus kemoterapi pada kelompok intervensi adalah 4,00 dengan standar deviasi sebesar 3,16. Sedangkan rerata siklus kemoterapi pada kelompok kontrol adalah 2,00 dengan standar deviasi sebesar 2,277. Siklus kemoterapi terendah pada kelompok intervensi maupun kontrol adalah siklus ke-1. Siklus yang tertinggi adalah siklus ke-10 pada kelompok intervensi dan siklus ke-8 pada kelompok kontrol. 3) Jenis Kelamin, Jenis Kanker, Jenis Kemoterapi, dan Riwayat Nausea Sebelumnya Distribusi responden anak berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea sebelumnya di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea sebelumnya anak yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan JanuariFebruari 2016 (n=32) No. 1. 2. 3. 4. Variabel Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan Jenis kanker : Adenocarsinoma ALL Born Cell Tumor Neuroblastoma Retinoblastoma Tumor Wilms Jenis Kemoterapi : Emetogenik minimal Emetogenik ringan Emetogenik moderat Emetogenik tinggi Riwayat nausea : Ada riwayat nausea Tidak ada riwayat nausea Kelompok intervensi Frekuensi Presentase (n) (%) Kelompok kontrol Frekuensi Presentase (n) (%) Total 7 9 43,8 56,2 8 8 50 50 15 (46,9%) 17 (53,1%) 1 7 0 1 4 3 6,2 43,8 0 6,2 25 18,8 0 7 1 3 5 0 0 43,8 6,2 18,8 31,2 0 1 (3,1%) 14 (43,8%) 1 (3,1%) 4 (12,5%) 9 (28,1%) 3 (9,4%) 7 3 5 1 43,8 18,8 31,2 6,2 7 2 5 2 43,8 12,5 31,2 12,5 14 (43,8%) 5 (15,6%) 10 (31,2%) 3 (9,4%) 15 1 93,8 6,2 14 2 87,5 12,5 29 (90,6%) 3 (9,4%) Berdasarkan tabel 4.3. tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (56,2%). Sedangkan pada kelompok kontrol, jumlah responden berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki memiliki presentase yang sama (50%). Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) merupakan jenis kanker terbanyak yang ditemukan pada kelompok intervensi (43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kanker tertinggi kedua adalah retinoblastoma pada kelompok intervensi (25%) maupun kelompok kontrol (31,2%). Sebagian besar responden mendapatkan agen kemoterapi jenis emetogenik minimal baik pada kelompok intervensi (43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Sebagian besar responden memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya baik pada kelompok intervensi (93,8%) maupun kelompok kontrol (87,5%). b. Status Nausea pada Kelompok Intervensi Status nausea pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Rerata skor nausea kelompok intervensi di RSUP Dr. Kariadi Semarang Bulan Januari-Februari 2016 (n=16) Variabel Median Standar deviasi Minimalmaksimal Standar eror mean Skor nausea 2,00 0,629 2-4 0,157 Berdasarkan tabel 4.4. di atas, diperoleh data rerata skor nausea pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai adalah 2,00 dengan standar deviasi sebesar 0,629 dan standar eror mean sebesar 0,157. Skor nausea terendah adalah 2 sedangkan skor tertinggi adalah 4. Tabel 4.5. Interpretasi skor nausea kelompok intervensi di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=16) Kategori nausea Nausea ringan-sedang Nausea sedang-berat Frekuensi (n) 10 6 Presentase (%) 67,5 32,5 Berdasarkan tabel 4.5. di atas, setelah data dikategorikan sesuai cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringansedang dan nausea sedang-berat) berdasarkan nilai median (2,00) dikarenakan data tidak berdistribusi normal, peneliti menyimpulkan bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok intervensi termasuk kategori nausea ringan-sedang (67,5%). c. Status Nausea pada Kelompok Kontrol Status nausea pada kelompok yang tidak diberikan terapi bermain mewarnai (kelompok kontrol) di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6. Rerata skor nausea kelompok kontrol di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=16) Variabel Median Standar deviasi Minimalmaksimal Standar eror mean Skor nausea 4,00 1,928 2-9 0,482 Berdasarkan tabel 4.6. tersebut, diperoleh data rerata skor nausea pada kelompok kontrol adalah 4,00 dengan standar deviasi sebesar 1,928 dan standar eror mean sebesar 0,482. Skor nausea terendah adalah 2 sedangkan skor tertinggi adalah 9. Tabel 4.7. Interpretasi skor nausea kelompok kontrol di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=16) Frekuensi (n) 12 4 Kategori nausea Nausea ringan-sedang Nausea sedang-berat Presentase (%) 75 25 Berdasarkan tabel 4.7. di atas, setelah data dikategorikan sesuai cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringansedang dan nausea sedang-berat) berdasarkan nilai median (4,00) dikarenakan data tidak berdistribusi normal, peneliti menyimpulkan bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok kontrol termasuk kategori nausea ringan-sedang (75%). 2. Analisis Bivariat Sebelum melakukan analisis bivariat, asumsi normalitas data harus dipenuhi untuk menentukan uji statistik sebelumnya. Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Saphiro-Wilk pada variabel berskala numerik yaitu skor nausea. Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk, variabel skor nausea tidak berdistribusi normal dengan hasil p value sebesar 0,00 (p value < 0,05). a. Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=32) Skor nausea Kelompok intervensi Kelompok kontrol Median Standar deviasi 2,00 0,629 4,00 1,928 p value 0,01 Berdasarkan tabel 4.8. tersebut, diperoleh data rerata skor nausea pada kelompok intervensi sebesar 2,00 dengan standar deviasi sebesar 0,629. Sedangkan rerata skor nausea pada kelompok kontrol sebesar 4,00 dengan standar deviasi sebesar 1,928, maka terlihat perbedaan rerata skor nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2,00 (p value = 0,01). Tabel 4.8. menunjukkan analisis data dengan menggunakan uji Mann-Whitney didapatkan hasil bahwa p value = 0,01 dengan taraf signifikansi (α) sebesar 0,05 maka p<α. Hasil tersebut memiliki arti bahwa Ho ditolak, dimana ada perbedaan yang signifikan antara status nausea kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi dan kelompok yang tidak diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. b. Perbedaan Status Nausea Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Kemoterapi, Siklus Kemoterapi, dan Riwayat Nausea Perbedaan rerata skor nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya sebagai faktor perancu tersaji pada tabel 4.9. Tabel 4.9. Perbedaan status nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada kelompok intervensi pada anak yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi bulan Januari-Februari 2016 (n=32) No. 1. 2. 4. 5. Variabel Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan Jenis Kemoterapi : Emetogenik minimal Emetogenik ringan Emetogenik moderat Emetogenik tinggi Siklus Kemoterapi : 1 2 4 6 8 9 10 Riwayat nausea : Ada riwayat nausea Tidak ada riwayat nausea Frekuensi (N) Rerata Standar deviasi 7 9 2,00 2,56 0,488 0,726 0,457 7 3 5 1 2,14 2,00 3,00 3,00 0,378 0,000 0,707 0,629 0,039 6 1 2 4 1 1 1 2,50 2,00 2,50 2,75 2,00 2,00 2,00 0,548 0,809 15 1 2,47 2,00 0,640 p value 0,707 0,957 0,446 Berdasarkan tabel 4.9. di atas, rerata skor nausea pada reponden dengan jenis kelamin laki-laki adalah 2,00 dengan standar deviasi sebesar 0,488. Sedangkan rerata skor nausea pada responden berjenis kelamin perempuan adalah 2,56 dengan standar deviasi 0,726. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rerata skor nausea pada responden berjenis kelamin perempuan lebih tinggi daripada responden berjenis kelamin laki-laki. Namun, berdasarkan hasil analisis selanjutnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara rerata skor nausea pada responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan (p>0,05). Rerata skor nausea pada responden yang mendapatkan jenis kemoterapi emetogenik minimal sebesar 2,17 dengan standar deviasi 0,378, responden yang mendapatkan jenis kemoterapi emetogenik rendah sebesar 2,00 dengan standar deviasi 0,00, responden yang mendapatkan jenis kemoterapi emetogenik moderat sebesar 3,00 dengan standar deviasi 0,707, responden yang mendapatkan kemoterapi jenis emetogenik tinggi sebesar 3,00 dengan standar deviasi 0,629. Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis moderat dan tinggi memiliki skor nausea lebih tinggi daripada jenis emetogenik minimal dan rendah. Analisis lebih lanjut juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara skor nausea pada responden dengan jenis kemoterapi emetogenik minimal, rendah, moderat, maupun tinggi (p<0,05). Karakteristik siklus kemoterapi menunjukkan hasil bahwa pada responden dengan siklus kemoterapi ke-1 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,50 dengan standar deviasi 0,548, responden dengan siklus kemoterapi ke-2 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-4 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,50 dengan standar deviasi 0,707, responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,75 dengan standar deviasi 0,957, responden dengan siklus kemoterapi ke-8 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-9 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-10 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00. Berdasarkan hasil tersebut, responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki skor nausea tertinggi yang kemudian responden dengan siklus ke-1 dan ke-4 dan yang terendah adalah responden dengan siklus ke-2, ke-8, ke-9, dan ke-10. Namun, hasil analisis lebih lanjut menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan skor nausea antara responden dengan siklus kemoterapi ke-1, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-9, dan ke-10 (p>0,05). Data riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya menunjukkan bahwa rerata skor nausea pada responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya adalah 2,47 dengan standar deviasi sebesar 0,640. Sedangkan pada responden yang tidak memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa rerata skor nausea pada responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya lebih tinggi daripada yang tidak. Akan tetapi, hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor nausea antara responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya dengan responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebelumnya (p>0,05). C. Pembahasan Pembahasan mencakup tentang pembahasan hasil penelitian dan membandingkan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya serta teoriteori yang mendukung hasil penelitian. Peneliti membahas mengenai karakteristik responden (usia, jenis kelamin, jenis kemoterapi, riwayat nausea, dan siklus kemoterapi) di ruang kemoterapi anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Bagian berikutnya, peneliti membahas status nausea anak pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi dan status nausea anak pada kelompok yang tidak diberikan terapi bermain selama kemoterapi. Selanjutnya, peneliti membahas hasil analisis uji beda rerata status nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta membahas hasil uji beda status nausea berdasarkan karakteristik anak pada kelompok intervensi serta uji beda status nausea berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada kelompok intervensi. Peneliti juga membahas terkait dengan keterbatasan penelitian, implikasi, serta tindak lanjut hasil penelitian yang dapat diterapkan pada praktek keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas asuhan keperawatan anak terutama dalam mengatasi nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. 1. Analisis Univariat a. Karakteristik Responden 1) Usia Hasil penelitian ini memperoleh data usia responden tertinggi adalah 6 tahun sedangkan usia terendah adalah 3 tahun baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Rerata usia responden pada kelompok intervensi adalah 4,00, sedangkan kelompok kontrol adalah 3,50. Hal tersebut dikarenakan peneliti telah menetapkan kriteria inklusi dalam pengambilan sampel yaitu anak usia prasekolah. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), usia anak prasekolah berkisar antara 3-6 tahun. Kelompok usia prasekolah merupakan bagian dari kelompok usia dengan puncak insiden terjadinya keganasan pada anak. Kasus keganasan yang tinggi pada anak usia prasekolah dapat dikaitkan dengan kelompok anak yang mendapatkan kemoterapi sebagai salah satu metode pengobatan penyakit kanker. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), di Amerika, kasus insiden tertinggi anak yang telah terdiagnosa keganasan terjadi pada usia kurang dari 20 tahun dengan angka kematian yang tinggi pada anak usia di bawah 15 tahun akibat keganasan tersebut. Meadow & Newell (2005), menyebutkan bahwa keganasan paling sering terjadi pada anak adalah Leukemia Limfoblastik Akut. Puncak insiden terjadi pada usia 2-5 tahun. Menurut Behrman, Kliegman, & Arvin (2012), Leukemia Limfoblastik Akut terjadi sekitar 75% dari angka kejadian keseluruhan kasus keganasan pada anak dengan insidensi tertinggi pada usia 4 tahun. 2) Siklus Kemoterapi Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata siklus kemoterapi pada kelompok intervensi adalah 4,00, sedangkan rerata siklus kemoterapi pada kelompok kontrol adalah 2,00. Siklus kemoterapi terendah pada kelompok intervensi maupun kontrol adalah siklus ke-1. Siklus yang tertinggi adalah siklus ke-10 pada kelompok intervensi dan siklus ke-8 pada kelompok kontrol. Hasil tersebut serupa dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian Rukayah (2013), memperoleh data bahwa siklus kemoterapi ke-1 merupakan siklus kemoterapi terendah baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. 3) Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada kelompok intervensi berjenis kelamin perempuan (56,2%). Responden pada kelompok kontrol baik laki-laki maupun perempuan memiliki presentase yang sama (50%). Hasil rerata keseluruhan responden dengan jenis kelamin perempuan lebih tinggi (53,1%). Hal tersebut berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Hayati (2007), menyebutkan bahwa rerata keseluruhan responden berjenis kelamin laki-laki. Hal ini kemungkinan dikarenakan tempat penelitian yang berbeda. Selain itu, kanker dapat menyerang siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Kasus keganasan anak terutama Leukemia Limfoblastik Akut lebih sering muncul pada anak laki-laki (Meadow & Newell, 2005). Insiden kanker pada anak lebih tinggi pada anak berjenis kelamin laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 1,2 : 1 (Hockenberry & Wilson, 2011). Meskipun demikian, belum diketahui alasan terkait angka kejadian kasus kanker yang lebih tinggi pada anak laki-laki sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai insidensi kanker pada anak, khususnya terkait hubungan dengan karakteristik individu. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), informasi terkait meningkatnya angka kejadian kanker pada anak relatif sedikit. Namun, diduga terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker pada anak yaitu, paparan zat kimia dan radiasi, kondisi genetik, obat-obat karsinogenik, perubahan imunitas, dan kelainan kongenital. 4) Jenis Kanker Data hasil penelitian menunjukkan ALL merupakan jenis kanker terbanyak yang ditemukan pada kelompok intervensi (43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kanker tertinggi kedua adalah retinoblastoma pada kelompok intervensi (25%) maupun kelompok kontrol (31,2%). ALL merupakan jenis kanker tertinggi untuk keseluruhan responden, sedangkan retinoblastoma menjadi peringkat kedua tertinggi berikutnya. Menurut Behrman, Kliegman, & Arvin (2012), leukemia merupakan jenis kanker anak dengan angka kejadian tertinggi yang berkisar 33% dari seluruh kasus keganasan. Leukemia Limfoblastik Akut mencakup sekitar 75% dari semua kasus. Menurut Meadow & Newell (2005), Leukemia Limfoblastik Akut terjadi pada 85% kasus. Puncak insiden terjadi pada usia 2-5 tahun. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), kasus Leukemia Limfoblastik Akut terjadi pada anak usia 2-5 tahun, sedangkan retinoblastoma di Amerika terjadi pada usia di bawah 3 tahun. Setelah Leukemia Limfoblastik Akut yang merupakan jenis kanker tertinggi selanjutnya pada hasil penelitian ini adalah retinoblastoma. Hal ini menunjukkan bahwa retinoblastoma juga ditemukan pada kelompok anak usia prasekolah. Perbedaan insiden di Indonesia dengan Amerika tersebut kemungkinan karena adanya perbedaan lingkungan, kemajuan teknologi, serta budaya yang mempengaruhi. 5) Jenis Kemoterapi Sebagian besar responden mendapatkan agen kemoterapi jenis emetogenik minimal baik pada kelompok intervensi (43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kemoterapi emetogenik minimal merupakan jenis kemoterapi terbanyak ditemukan pada keseluruhan responden yang kemudian diikuti oleh jenis kemoterapi emetogenik moderat. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian Hayati (2007), yang menunjukkan bahwa sebagian besar jenis kemoterapi emetogenik sedang (moderat), sedangkan janis kemoterapi minimal tidak ditemukan. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena peneliti tidak melakukan homogenitas terkait jenis kemoterapi dalam pengambilan sampel, sehingga dapat menjadi faktor perancu dalam hasil penelitian. 6) Riwayat Nausea Akibat Kemoterapi Sebagian besar responden memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya baik pada kelompok intervensi (93,8%) maupun kelompok kontrol (87,5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki riwayat nausea sebelumnya memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebelumnya pada keseluruhan responden. Seperti halnya pada penelitian Hayati (2007), mendeskripsikan bahwa mayoritas responden memiliki riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya. b. Status Nausea Kelompok Intervensi Hasil analisis diperoleh data rerata skor nausea pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai adalah 2,00. Setelah data dikategorikan sesuai cut off point, peneliti menyimpulkan bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok intervensi termasuk kategori nausea ringan-sedang (67,5%). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hayati (2007), menunjukkan hasil rerata skor nausea pada kelompok intervensi adalah 1,2. Perbedaan rerata tersebut dimungkinkan karena peneliti tidak mengendalikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi, sehingga pada penelitian ini, rerata skor nausea pada kelompok intervensi cenderung lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya. Menurut Lohr (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi meliputi, jenis kelamin, usia, riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya, tingkat emetogenik obat kemoterapi, serta jadwal atau siklus kemoterapi. c. Status Nausea Kelompok Kontrol Hasil penelitian ini menunjukkan data rerata skor nausea pada kelompok kontrol adalah 4,00. setelah data dikategorikan sesuai cut off point, peneliti menyimpulkan bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok kontrol termasuk kategori nausea ringan-sedang (75%). Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hayati (2007), yang mengemukakan bahwa rerata skor nausea pada kelompok kontrol adalah 1,1. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor perancu yang dapat mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti seperti jenis kelamin, siklus kemoterapi, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa pada kelompok kontrol responden dapat melakukan distraksi lain seperti menonton TV. Sedangkan pada penelitian ini kelompok kontrol tidak melakukan distraksi lain dan responden hanya berbaring di tempat tidur. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), beberapa jenis strategi teknik distraksi meliputi, bermain, menonton TV, permainan komputer, bernyanyi, dan mendengarkan musik dengan menggunakan radio, tape recorder, ataupun CD player. 2. Analisis Bivariat a. Perbedaan Status Nausea Berdasarkan Karakteristik Anak pada Kelompok Intervensi 1) Jenis Kelamin Hasil analisis pengaruh jenis kelamin terhadap skor nausea diperoleh data responden perempuan memiliki rerata skor nausea lebih tinggi daripada laki-laki. Rerata skor nausea responden berjenis kelamin perempuan adalah 2,56, sedangkan rerata skor nausea responden dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 2,00. Akan tetapi, uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan rerata skor nausea antara responden laki-laki dan perempuan. Hasil tersebut serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rukayah (2013), tentang pengaruh akupresur terhadap mual muntah akibat kemoterapi menyebutkan bahwa responden perempuan mengalami mual muntah akibat kemoterapi lebih tinggi (50%) meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna skor mual muntah antara responden laki-laki dan perempuan. Penelitian lain yang dilakukan Syarif, Nurachmah, & Gayatri (2011), yang melakukan penelitian pada dewasa diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan rerata skor mual muntah terkait dengan karakteristik jenis kelamin, meskipun hasil skor mual muntah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Menurut Dewan, Singhal, & Harit (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi adalah jenis kelamin. Anak dengan jenis kelamin perempuan lebih berisiko mengalami nausea akibat kemoterapi lebih tinggi daripada laki-laki. 2) Jenis Kemoterapi Hasil analisis pengaruh jenis kemoterapi terhadap skor nausea menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis moderat dan tinggi memiliki skor nausea lebih tinggi daripada jenis emetogenik minimal dan rendah. Rerata skor nausea responden dengan jenis kemoterapi emetogenik minimal sebesar 2,17, responden yang mendapatkan jenis kemoterapi emetogenik rendah sebesar 2,00, responden emetogenik yang moderat mendapatkan sebesar 3,00, jenis kemoterapi responden yang mendapatkan kemoterapi jenis emetogenik tinggi sebesar 3,00. Analisis lebih lanjut juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara skor nausea pada responden dengan jenis kemoterapi emetogenik minimal, rendah, moderat, maupun tinggi. Hasil penelitian terkait skor nausea berdasarkan karakteristik jenis emetogenik ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rukayah (2013), menyimpulkan bahwa rerata mual muntah pada responden dengan jenis kemoterapi emetogenik tinggi cenderung lebih besar daripada jenis kemoterapi emetogenik yang lebih rendah. Hasil analisis juga menyebutkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan karakteristik jenis kemoterapi terhadap rerata mual muntah akibat kemoterapi. Menurut Lohr (2008), jenis kemoterapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi. Semakin tinggi tingkat emetogenik jenis kemoterapi maka risiko terjadinya mual muntah akibat kemoterapi akan semakin tinggi. 3) Siklus Kemoterapi Responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki skor nausea tertinggi yang kemudian diikuti responden dengan siklus ke-1 dan ke-4 dan yang terendah adalah responden dengan siklus ke-2, ke-8, ke-9, dan ke-10. Rerata skor nausea pada siklus kemoterapi ke-1 adalah 2,50, responden dengan siklus kemoterapi ke-2 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-4 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,50, responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,75, responden dengan siklus kemoterapi ke-8 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-9 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-10 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00. Namun, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna skor nausea antara responden dengan siklus kemoterapi ke-1, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-9, dan ke-10. Hasil penelitian terkait skor nausea berdasarkan karakteristik jenis kemoterapi ini bertentangan dengan hasil penelitian Rukayah (2013), yang mendeskripsikan bahwa rerata skor mual muntah tertinggi pada siklus kemoterapi ke-1 dan terdapat pengaruh rerata skor mual muntah terhadap siklus kemoterapi. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan kriteria kelompok usia penelitian sebelumnya adalah kelompok usia pada sekolah sedangkan penelitian ini adalah anak usia prasekolah. Menurut Hockenberry & Wilson (2011), anak usia prasekolah memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda dengan anak usia sekolah dan remaja. Anak usia sekolah mulai mengalami kematangan pada sistem maupun organ seperti pada sistem pencernaan. Sedangkan pada anak usia prasekolah kematangan sistem maupun organ belum sempurna. 4) Riwayat Nausea Akibat Kemoterapi Sebelumnya Hasil analisis data riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya menunjukkan bahwa rerata skor nausea pada responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya lebih tinggi daripada yang tidak. Rerata skor nausea responden yang memiliki riwayat nausea adalah 2,47, sedangkan pada responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebesar 2,00. Akan tetapi, uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor nausea antara responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya dengan responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebelumnya. Pengalaman nausea sebelumnya dapat menimbulkan stres pada anak, sehingga dapat menjadi suatu pengalaman yang tidak nyaman bagi anak. Menurut Lohr (2008), riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status nausea. Menurut Susanti & Tarigan (2012), kemoterapi dapat menimbulkan beberapa efek samping. Gangguan mual dan muntah adalah efek samping dengan frekuensi terbesar. Lebih dari 60% pasien yang mendapatkan tindakan kemoterapi mengalami keluhan mual dan muntah. Menurut Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), pengobatan kanker berupa kemoterapi menimbulkan efek samping mual dan muntah. Efek samping tersebut akan selalu menimbulkan stres. b. Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Skor Nausea Anak yang Mendapatkan Kemoterapi Hasil analisis rerata skor nausea pada kelompok intervensi sebesar 2,00. Sedangkan rerata skor nausea pada kelompok kontrol sebesar 4,00, maka terlihat perbedaan rerata skor nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2,00. Setelah data dikategorikan menjadi dua berdasarkan cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringan-sedang dan nausea sedang-berat) berdasarkan nilai median (data tidak berdistribusi normal), peneliti menyimpulkan bahwa rerata status nausea pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol termasuk dalam kategori nausea ringan-sedang. Uji statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara status nausea kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi dan kelompok yang tidak diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Kemoterapi merupakan pengobatan kanker yang bersifat sitostatik. Kemoterapi menimbulkan dampak yang kurang nyaman bagi pasien seperti, rambut rontok, mual, muntah, dan nyeri pada perut (Setiawan, 2015). Efek samping nausea (mual) dan muntah akan menimbulkan stres tersendiri pada anak karena nausea (mual) merupakan sensasi psikis yang ditimbulkan akibat rangsangan pada organ dalam, labirin, atau emosi (Juffrie, et al., 2011). Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti mencoba memberikan intervensi untuk mengatasi nausea akibat kemoterapi dengan melibatkan orang tua agar tetap mendampingi anak selama kemoterapi untuk menjaga kenyamanan serta meminimalkan stres pada anak. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea adalah distraksi (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena individu bisa lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman, sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas, nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi (Schneider & Hood, 2007). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan menjadi antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls rasa mual di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat mual muntah di sistem saraf pusat dan medula oblongata sehingga anak tidak mengalami keluhan mual (Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011). Salah satu manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Kapti, Ahsan, & Istiqomah (2013), tentang pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap penurunan skor perilaku maladaptif anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi menyimpulkan bahwa terapi bermain mewarnai dapat memberikan penurunan signifikan pada skor perilaku maladaptif anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Oleh karena itu, peneliti menggunakan terapi bermain sebagai intervensi dalam mengatasi nausea akibat kemoterapi pada anak. Terapi bermain yang digunakan sebagai teknik distraksi dalam penelitian ini adalah mewarnai gambar dengan pertimbangan kesesuaian tingkat usia maupun perkembangan responden yaitu anak usia prasekolah serta sesuai dengan prinsip bermain di rumah sakit. Intervensi dilakukan selama 30 menit dengan rerata frekuensi 1 kali selama kemoterapi. Melalui mewarnai gambar, dapat menstimulasi perkembangan motorik halus dan imajinasi anak. Menurut Suriadi & Yuliani (2006), salah satu karakteristik bermain pada anak usia prasekolah adalah fokus pada perkembangan ketrampilan gerakan halus, salah satu contoh permainan tersebut adalah mewarnai. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2007), tentang pengaruh distraksi oleh keluarga terhadap mual muntah akut akibat kemoterapi pada anak usia prasekolah. Hayati (2007), menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rerata skor mual muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal tersebut dimungkinkan karena perbedaan dalam pemberian intervensi terapi bermain mewarnai. Pada penelitian sebelumnya, intervensi berupa menggambar dan mewarnai dilakukan setelah responden selesai tindakan kemoterapi (post kemoterapi) dan dilakukan oleh keluarga. Sedangkan pada penelitian ini, intervensi terapi bermain mewarnai dilakukan selama responden mendapatkan tindakan kemoterapi dan dilakukan sendiri oleh peneliti serta tetap melibatkan orang tua dengan meminta orang tua untuk selalu mendampingi anak selama intervensi. Efek samping dari kemoterapi dapat menimbulkan stres sehingga diperlukan terapi non farmakologis salah satunya berupa teknik distraksi kognitif untuk mengatasi mual (nausea) sebagai efek dari kemoterapi (Zanah, Widodo, & Shobirun, 2013). Beberapa jenis strategi teknik distraksi meliputi, bermain, menonton TV, permainan komputer, bernyanyi, dan mendengarkan musik dengan menggunakan radio, tape recorder, ataupun CD player (Hockenberry & Wilson, 2011). Selain terapi bermain, terapi musik juga termasuk salah satu jenis teknik distraksi yang dapat mengatasi nausea akibat kemoterapi. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian sebelumnya terkait jenis distraksi lain tersebut yang dilakukan Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), tentang pengaruh terapi musik terhadap keluhan mual muntah pasien post kemoterapi menyebutkan bahwa ada pengaruh terapi musik klasik terhadap keluhan mual muntah pada pasien post kemoterapi. Intervensi mengatasi keperawatan nausea ketenangan, cairan/elektrolit, diet, meliputi, yang penurunan distraksi monitor dapat cairan, dilakukan untuk kecemasan, teknik (pengalihan), manajemen administration medication, manajemen medis, manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen nyeri, teknik relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Teknik distraksi dan akupresur merupakan intervensi yang dapat mengatasi nausea. Oleh karena itu, hasil penelitian ini juga dapat memperkuat penelitian sebelumnya meskipun terdapat perbedaan karakteristik usia maupun jenis intervensi. Penelitian Hussein & Sadek (2013), tentang pengaruh akupresur terhadap muntah akibat kemoterapi pada anak usia sekolah yang dilakukan di Mesir menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan penurunan rerata skor muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Rukayah (2013), tentang pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada anak usia sekolah menyebutkan bahwa ada perbedaan yang bermakna rerata skor mual muntah antara sebelum dan sesudah pemberian terapi akupresur. Penelitian serupa yang lain pada responden dewasa dilakukan Syarif, Nurachmah, & Gayatri (2011), menyebutkan ada perbedaan yang signifikan penurunan rerata mual muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan sebagai teknik mengatasi nausea akibat kemoterapi. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian sebelumnya dengan karakteristik usia maupun jenis teknik manajemen nausea yang berbeda yang dibuktikan dengan kesimpulan hasil penelitian yaitu terdapat pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea pada anak yang mendapatkan kemoterapi. Akan tetapi, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nausea tidak dapat dikendalikan oleh peneliti seperti, jenis kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, serta riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya sehingga data tidak tergeneralisir dan dapat menjadi faktor perancu pada hasil penelitian. Meskipun demikian, terapi bermain mewarnai merupakan suatu intervensi yang bermanfaat dan efektif bagi anak dalam mengatasi nausea akibat kemoterapi. 3. Keterbatasan penelitian a. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel yang sedikit. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar pada tempat yang berbeda. b. Adanya faktor-faktor yang tidak dikendalikan oleh peneliti yaitu terkait dengan jenis kelamin, jenis kemoterapi, dan siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sehingga dapat menjadi perancu dalam penelitian. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor-faktor tersebut sehingga dapat lebih tergeneralisir. 4. Implikasi Hasil Penelitian a. Bagi Pelayanan Keperawatan Bagi pelayanan keperawatan terutama di ruang kemoterapi dalam penerapan palliative care yang selalu menghadapi pasien kemoterapi dengan keluhan akibat efek kemoterapi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi perawat dalam menentukan tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi efek kemoterapi, khususnya pada pasien anak yang mendapatkan kemoterapi sehingga pemberian asuhan keperawatan pada anak yang mendapatkan kemoterapi dapat berjalan optimal. b. Bagi Pendidikan Keperawatan Institusi sebagai pendidikan keperawatan perlu mengikuti perkembangan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu keperawatan melalui hasil penelitian terkini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi atau referensi keperawatan, khususnya terkait tindakan mandiri keperawatan berupa tindakan nonfarmakologis dalam manajemen nausea akibat efek kemoterapi terutama pada anak. Di samping itu, penelitian ini juga dapat menjadi salah satu data dasar untuk penelitian selanjutnya terkait manajemen efek kemoterapi. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi di ruang kemoterapi anak Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik anak yang mendapatkan kemoterapi yaitu, rerata usia pada kelompok intervensi adalah 4,00 dan pada kelompok kontrol adalah 3,50. Rerata siklus kemoterapi pada kelompok intervensi adalah 4,00 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 2,00. Jumlah karakteristik terbesar yang meliputi, jenis kelamin adalah perempuan, jenis kanker adalah Leukemia Limfoblastik Akut, jenis kemoterapi adalah jenis emetogenik minimal, dan ada riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya. 2. Status nausea anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi bermain mewarnai selama kemoterapi (kelompok intervensi) sebagian besar termasuk kategori nausea ringan-sedang dengan rerata skor nausea sebesar 2,44. 3. Status nausea pada anak yang diberikan premedikasi antiemetik ondansentron tetapi tidak diberikan intervensi terapi bermain mewarnai selama kemoterapi (kelompok kontrol) sebagian besar termasuk kategori nausea ringan-sedang dengan rerata skor nausea sebesar 3,88. 4. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi dibuktikan dengan adanya perbedaan yang signifikan rerata skor nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value : 0,01). 11 5. Perbedaan status nausea berdasarkan karakteristik anak dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan karakteristik jenis kemoterapi terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. Sedangkan karakteristik yang lain meliputi, jenis kelamin, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap status nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. B. Saran 1. Bagi Rumah Sakit Pengelola pelayanan kesehatan diharapkan dapat membantu mengurangi efek nausea akibat kemoterapi, khususnya pada anak dengan cara merancang kebijakan rumah sakit terkait pelaksanaan manajemen nausea salah satunya dengan teknik distraksi berupa terapi bermain mewarnai guna meningkatkan fasilitas pelayanan terutama keperawatan anak yang mendapatkan kemoterapi. 2. Bagi Profesi Perawat Peran meningkatkan perawat sebagai kualitas care pelayanan giver asuhan diharapkan mampu keperawatan terkait palliative care, khususnya dalam mengatasi nausea sebagai efek kemoterapi dengan mengaplikasikan intervensi keperawatan mandiri salah diantaranya berupa terapi bermain mewarnai yang dilakukan secara terstruktur. 3. Bagi Pasien dan Keluarga Bagi responden serta keluarga diharapkan dapat menerapkan bermain salah satunya mewarnai selama kemoterapi maupun perawatan serta orang tua tetap mendampingi anak selama dilakukan tindakan kemoterapi di rumah sakit untuk mencegah dampak perpisahan sehingga dapat mengurangi efek nausea yang timbul akibat kemoterapi. 4. Bagi Profesi Lain Bagi profesi lain diharapkan tidak mengesampingkan prinsipprinsip bermain pada anak, khususnya anak yang mendapatkan kemoterapi sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing sehingga dapat mengurangi dampak akibat kemoterapi terutama efek nausea. 5. Bagi Peneliti Lain Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memodifikasi penelitian terutama terkait teknik manajemen nausea lain yang dapat meminimalkan nausea akibat kemoterapi. Di samping itu, peneliti selanjutnya diharapkan melakukan pengendalian terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi seperti, jenis kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya sehingga hasil penelitian tidak rancu. Selain itu, jumlah sampel penelitian diharapkan lebih besar agar data lebih tergeneralisir. DAFTAR PUSTAKA Agustina, E., & Puspita, A. (2010). Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Mewarnai Gambar terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Anak Prasekolah yang Rawat Inap. Jurnal AKP, 35-43. Aizah, S., & Wati, S. E. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stress Hospitalisasi dengan Aktifitas Mewarnai Gambar pada Anak usia 4-6 Tahun di Ruang Anggrek RSUD Gambiran Kediri. Jurnal No. 25 Volume 01, 6-10. Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2012). Ilmu Kesehatan Anak Nelson (15 ed.). Jakarta: EGC. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.). Mosby. CancerHelps, T. (2010). Stop kanker. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Dahlan, M. S. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (4 ed.). Jakarta: Salemba Medika. Dewan, P., Singhal, S., & Harit, D. (2010). Management of ChemotherapyInduced Nausea and Vomiting. Indian Pediatric, 149-155. Dupuis, L., Taddio, A., Kerr, E., Kelly, A., & MacKeigan, L. (2006). Development and Validation of the Pediatric Nausea Assessment Tool for Use in Children Receiving Antineoplastic Agents. Pharmacotherapy, 26, 1221-1231. Grunberg, S. M., & Ireland, A. (2005). Epidemiology of Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting. Advanced Studies in Nursing, 3(1), 9-15. Hayati, H. (2009). Pengaruh Distraksi oleh Keluarga terhadap Mual-Muntah Akut Akibat Kemoterapi pada Anak Usia Prasekolah di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Diakses dari lib.ui.ac.id. Tanggal 25 Desember 2015. Hidayat, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hockenberry, M., & Wilson, D. (2011). Wong's Nursing Care of Infants and Children. United States of America: Elsevier Mosby. Hussein, H. A., & Sadek, B. R. (2013). Acupressure for Chemotherapy Induced Vomiting Among School Age Children. World Journal of Medical Sciences 8 (4), 373-381. doi:10.5829/idosi.wjms.2013.8.4.7581 Juffrie, M., Soenarto, S. S., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I., & Mulyani, N. S. (2011). Buku Ajar Gastroentologi-Hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Kapti, R. E., Ahsan, & Istiqomah, A. (2013). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Penurunan Skor Perilaku Maladaptif Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisasi di Rumah Sakit Kabupaten Kediri. Jurnal Ilmu Keperawatan, 169-175. Keller, V. C., & Keck, J. (2006). An Instrument for Observational Assessment of Nausea in Young Children. Pediatric Nursing, 32, 420-426. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Lohr, L. (2008). Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting. Cancer J, 85-93. Meadow, S. R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes : Pediatrika. Jakarta: Erlangga. Nasir, A., Muhith, A., & Ideputri, M. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan : Konsep Pembuatan Karya Tulis Ilmiah dan Thesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Nesbitt, L. L., & Tabatt-Haussmann, K. (2008). The Role of the Creative Arts Therapies in the Treatment of Pediatric Hematology and Oncology Patients. Primary Psychiatry, 56-58,61-62. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis. Jakarta: Salemba Medika. Permono, H., Sutaryo, Ugrasena, I., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2012). Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Pusdatin Kemenkes RI. (2015). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI : Stop Kanker. Jakarta: Pusdatin Kemenkes RI. Ridha, H. N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rukayah, S. (2013). Pengaruh Terapi Akupresur Terhadap Mual Muntah Lambat Kemoterapi pada Anak Usia Sekolah yang Menderita Kanker di RS Kanker Dharmais Jakarta. Diakses dari lib.ui.ac.id. Tanggal 25 Desember 2015. Sastroasmoro, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto. Schneider, S. M., & Hood, L. E. (2007). Virtual Reality : A Distraction Intervention for Chemotherapy. Oncol Nurs Forum, 39-46. Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiawan, S. D. (2015). The Effect of Chemotherapy in Cancer Patient to Anxiety. Journal Majority, vol. IV, 94-99. Siagian, P. (2014). Kami Berani Melawan Kanker. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sujarweni, V. (2014). Panduan Penelitian Keperawatan dengan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Sunyoto, D. (2013). Statistik untuk Paramedis. Yogyakarta: ALFABETA. Suraatmaja, P. (2010). Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV. Sagung Seto. Suriadi, & Yuliani, R. (2006). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: PT. Percetakan Penebar Swadaya. Susanti, L., & Tarigan, M. (2012). Karakteristik Mual dan Muntah serta Upaya Penanggulangan oleh Penderita Kanker yang Menjalani Kemoterapi. Jurnal Keperawatan, 1-5. Syarif, H., Nurachmah, E., & Gayatri, D. (2011). Terapi Akupresur dapat Menurunkan Keluhan Mual Muntah Akut Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker : Randomized Clinical Trial. Jurnal Keperawatan Indonesia, 133140. Tanjung, Y. (2011). Berdamai dengan Kanker : Kiat Hidup Sehat Survivor Kanker. Bandung: Qanita. Wong, D. (2012). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Wong, D., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M., & Schwartz, P. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC. Wowiling, F. E., Ismanto, A. Y., & Babakal, A. (2014). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Gambar terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Usia Pra Sekolah Akibat Hospitalisasi di Ruang IRINA E BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. J Unsrat. Zanah, L. M., Widodo, S., & Shobirun. (2013). Pengaruh Terapi Musik terhadap Keluhan Mual Muntah pada Pasien Post Kemoterapi karena Kanker di Unit Sitostatika. Jurnal Ilmu Keperawatan. LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN 1 LEMBAR OBSERVASI STATUS NAUSEA Keller Index of Nausea (KIN) Petunjuk : Beri tanda ceklist ( √ ) pada kotak jika kondisi ditemukan pada anak. Inisial anak : ..................... Tanggal : Perubahan Sikap dan Distress Perilaku (Tekanan) Penurunan aktifitas Gelisah .................... Jam : ............. Perubahan Fisiologis Peningkatan frekuensi Pernafasan Meletakkan tangan Menangis di mulut Hilang nafsu atau selera Makan Meletakkan tangan Ekspresi di atas perut wajah mual Posisi mual Sensitif Muntah Muntah berat (Retching) Menolak cairan Keringat lewat mulut Dingin Kulit terasa dingin saat Disentuh Perubahan warna kulit atau Kemerahan Air liur meningkat Sering menelan Ada gerakan lidah atau menekan atau membasahi bibir Total skor Keterangan : Jika indikator ditemukan pada anak, maka diberikan skor 1. Jika indikator tidak ditemukan saat pengamatan, maka diberikan skor 0. Skor terendah adalah 0, sedangkan skor tertinggi adalah 19. Total skor yang tertinggi kemungkinan terbesar mengalami mual yang aktual (Keller & Keck, 2006). Lampiran 2 KUESIONER KARAKTERISTIK RESPONDEN (Diisi oleh peneliti) Kode : ................................ Tanggal pengamatan : ................................ Usia anak : ................................ Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan Jenis kanker : ................................ Jenis kemoterapi : ................................ 1. Potensi emetogenik minimal 2. Potensi emetogenik rendah 3. Potensi emetogenik moderat 4. Potensi emetogenik tinggi (Sesuai tabel jenis kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik pada lampiran 3) Siklus kemoterapi : ................................ (ke berapa) Riwayat mual : ................................ 1. Ada akibat kemoterapi sebelumnya 2. Tidak ada Lampiran 3 JENIS KEMOTERAPI BERDASARKAN TINGKAT EMETOGENIK Tingkat emetogenik Potensi emetogenik level 1 (minimal) Obat kemoterapi Bevacizumab, Bleomycin, Vincristine, Vinorelbine, Busulfan, Fludarabine, Vinblastine, 2- Chlorodeoxyadenosine, Rituximab Paclitaxel, Docetaxel, Mitoxantrone, Topotecan, Potensi emetogenik level Etoposide, Pemetrexed, Methotrexate, Mitomycin, 2 (rendah) Gemcitabine, Cytarabine (<1000 mg/m2), Fluorouracil, Bortezomib, Cetuximab, Trastuzumab Oxaliplatin, Cytarabine (>1000 mg/m2), Carboplatin, Potensi emetogenik level Ifosfamide, Cyclophosphamide < 1500 mg/m2, 3 (moderate) Doxorubicin, Daunorubicin, Epirubicin, Idarubicin, Irinotecan Potensi emetogenik level 4 (tinggi) Cisplatin, Dacarbazine, Mechlorethamine, Carmustine, Cyclophosphamide (>1500 mg/m2) Sumber : Dewan, Singhal, & Harit, 2010) Streptozotocin, Dactinomycin Lampiran 4 SURAT PERMOHONAN CALON RESPONDEN Semarang, Desember 2015 Kepada Yth. Calon Responden Penelitian Di RSUP. Dr. Kariadi Semarang Dengan hormat, Bersama ini saya mohon dengan hormat bantuan dan kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan judul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea Anak yang mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang” dengan mengikuti prosedur yang disampaikan oleh peneliti. Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan kami jaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak telah menjadi responden lalu ada hal-hal yang memungkinkan untuk mengundurkan diri maka Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak diperbolehkan untuk mengundurkan tidak ikut dalam penelitian ini. Apabila Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak menyetujui menjadi responden, maka saya mohon kesediannya untuk menandatangani persetujuan dan mengikuti prosedur tindakan yang disampaikan peneliti. Demikian atas perhatian dan pertisipasinya saya menyampaikan terima kasih. Peneliti Ttd ( Isna Hayati ) Lampiran 5 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (Informed Consent) Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama :............................................................................................................ Alamat :............................................................................................................. Pendidikan :............................................................................................................. Setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban sebagai responden. Dengan ini menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa saya bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Status Nausea Anak Yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang”. Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan penuh kesadaran tanpa ada paksaan pihak lain. Semarang, Desember 2015 Responden, (...........................................) Lampiran 6 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR TERAPI BERMAIN MEWARNAI Pengertian Bermain merupakan aktifitas di mana anak dapat melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersipkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005). Tujuan Mengungkapkan pikiran dan perasaan pasien melalui permainan, memberikan rasa senang dan nyaman, serta mengurangi stres akibat tindakan. Tempat Ruang kemoterapi Petugas Perawat Persiapan pasien Pasien sadar dan tidak dalam kondisi lemah. Melakukan kontrak waktu. Alat dan bahan Pensil warna Buku mewarnai gambar binatang Prosedur Tahap Orientasi pelaksanaan 1. Memberikan salam kepada pasien dan menyapa nama pasien. 2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan. 3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien sebelum kegiatan dilakukan. Tahap Kerja 1. Memberikan buku mewarnai gambar binatang kepada pasien untuk diwarnai (1 buku untuk 1 pasien). 2. Memberikan pensil warna untuk mewarnai gambar kepada masing-masing pasien. 3. Memotivasi keterlibatan pasien dan keluarga. 4. Memberi pujian pada anak bila dapat melakukan. 5. Mengobservasi emosi, hubungan interpersonal, psikomotor anak saat bermain. 6. Meminta anak menceritakan apa yang dilakukan/dibuatnya. 7. Menanyakan perasaan anak setelah bermain. 8. Menanyakan perasaan dan pendapat keluarga tentang permainan. Tahap Terminasi 1. Melakukan evaluasi sesuai dengan tujuan. 2. Berpamitan dengan pasien. 3. Membereskan dan mengembalikan alat ke tempat semula. 4. Mencuci tangan. 5. Mencatat jenis permainan dan respon pasien serta keluarga. Sumber : Hidayat (2005), Ridha (2014) Lampiran 7 JADWAL PENELITIAN No September Oktober November Desember Januari Februari Maret „15 „15 „15 „15 „16 „16 „16 Kegiatan 1 1. Penyusunan Proposal 2. Ujian Proposal 3. Perbaikan proposal 4. Pelaksanaan penelitian dan bimbingan hasil penelitian 5. Sidang hasil penelitian 6. Perbaikan skripsi 7. Pengumpulan skripsi 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Isna Hayati Tempat, Tanggal Lahir : Kendal, 18 Desember 1989 Jenis Kelamin : Perempuan Alamat Rumah : Jl. Pahlawan 2 Gg. Citarum no. 6 RT : 01 RW : I Sijeruk Kendal Nomor telpon/HP : 085640145153 RIWAYAT PENDIDIKAN 1. Pendidikan SD di MIN Kalibuntu Wetan Kendal, lulus tahun 2001 2. Pendidikan SMP di SMP Negeri 2 Kendal, lulus tahun 2004 3. Pendidikan SMA di SMA Negeri 1 Kendal, lulus tahun 2007 4. Pendidikan D3 di D3 Keperawatan POLTEKKES Semarang, lulus tahun 2010 LAMPIRAN 11 1