pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak

advertisement
PENGARUH TERAPI BERMAIN MEWARNAI TERHADAP
STATUS NAUSEA ANAK YANG MENDAPATKAN
KEMOTERAPI DI RSUP DR. KARIADI
SEMARANG
Skripsi
Oleh:
Isna Hayati
NIM: G2A214013
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016
PENGARUH TERAPI BERMAIN MEWARNAI TERHADAP
STATUS NAUSEA ANAK YANG MENDAPATKAN
KEMOTERAPI DI RSUP DR. KARIADI
SEMARANG
Skripsi
Oleh:
Isna Hayati
NIM: G2A214013
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
penelitian saya yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap
Status Nausea Anak yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang” bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain. Apabila di
kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari penelitian dan karya ilmiah
dari hasil-hasil penelitian tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi yang dijatuhkan
oleh Universitas Muhammadiyah Semarang.
Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari
siapapun.
Semarang, Maret 2016
Yang membuat pernyataan,
(Isna Hayati)
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Anugerah inspirasi dari Allah SWT yang berlimpah menjadi sumber
pengetahuan terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea Anak
yang Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang”. Oleh
karena itu, penulis mengucap syukur karena penulis dapat menyusun skripsi ini
hingga selesai. Skripsi ini diajukan kepada Program Studi Strata 1 Keperawatan,
Fakultas Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah
banyak berperan dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Edy Soesanto, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan di Universitas Muhammadiyah Semarang serta sebagai dosen wali,
yang telah memberikan nasihat, motivasi, dan doa.
2.
Dr. Tri Hartiti, SKM., M.Kes., selaku Ketua Program Studi Strata 1
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan di Universitas
Muhammadiyah Semarang, yang telah memberikan izin dan memfasilitasi
penyusunan skripsi ini.
3.
Ns. Mariyam, M.Kep., Sp.Kep.An., selaku dosen pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi dengan
kesabaran selama proses penyelesaian penyusunan skripsi.
4.
Ns. Dera Alfiyanti, M.Kep., sebagai dosen pembimbing II, yang telah
menyediakan waktu dan memberikan arahan serta motivasi dengan kesabaran
sampai proses penyusunan skripsi ini selesai.
5.
Amin Samiasih, M.Si., Med., selaku dosen penguji I.
6.
Segenap dosen dan staff pengajar di Program Studi Strata 1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan di Universitas Muhammadiyah
Semarang, yang telah memberikan bekal pengalaman dan pendidikan yang
luar biasa.
v
7.
Pihak RSUP Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan izin serta
menyediakan tempat untuk penelitian ini.
8.
Segenap keluarga, ayah, kakak, dan adik tercinta yang selalu memberikan
dukungan, doa, dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Teman-teman sejawat kelas lintas jalur yang telah banyak memberikan
kontribusi terhadap tersusunnya skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebut satu per satu yang telah
memberikan dukungan dalam penyusunan penelitian ini.
Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat, baik sebagai sumber
informasi maupun sumber inspirasi bagi pembaca serta bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.
Semarang, Maret 2016
Isna Hayati
vi
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Skripsi, Maret 2016
Isna Hayati
Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Status Nausea Anak yang
Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang
(xiii + 81 halaman; 15 tabel; 3 gambar; 12 lampiran; 45 kepustakaan)
ABSTRAK
Kemoterapi bermanfaat membunuh sel-sel kanker secara sistemik, akan tetapi
obat kemoterapi juga memiliki dampak yang merugikan. Salah satu efek samping
yang paling sering ditemukan adalah rasa nausea pada pasien yang dapat
menimbulkan stres sehingga diperlukan terapi non farmakologis (intervensi
distraksi). Pada anak, bermain merupakan intervensi yang memiliki manfaat
distraksi, salah satunya adalah mewarnai. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
status nausea pada anak yang dilakukan terapi bermain mewarnai gambar selama
tindakan kemoterapi dengan rancangan penelitian quasi experiment posttest only
with control group design dan jumlah sampel sebanyak 32. Rerata skor nausea
pada kelompok intervensi adalah 2,00, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar
4,00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan status
nausea antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value=0,01),
sehingga disimpulkan ada pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status
nausea anak yang mendapatkan kemoterapi. Rekomendasi dari penelitian supaya
perawat dapat mengaplikasikan terapi bermain mewarnai secara terstruktur untuk
mengatasi nausea pada pasien anak yang mendapatkan kemoterapi.
Kata Kunci : Terapi bermain mewarnai, nausea, kemoterapi.
Pustaka
: 45 (2005-2015)
vii
BACHELOR OF NURSING STUDY PROGRAM
FACULTY OF NURSING AND HEALTH SCIENCES
UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH SEMARANG
Mini Thesis, March 2016
Isna Hayati
The Effect of Play Therapy by Coloring Picture on Nausea Status of Children
Who Get Chemotherapy in the Dr. Kariadi Central General Hospital Semarang
(xiii + 81 pages; 15 tables; 3 pictures; 12 attachments; 45 references)
ABSTRACT
The advantage of chemotherapy is to kill cancer cells systematically, but it also
has detrimental effect. The one of detrimental effect of chemotherapy is nausea.
The chemotherapy patients experience nausea can lead to the stress. Non
pharmachologycal therapy is needed to relieve nausea. Play therapy by coloring
picture has distraction effect to the children. The research objective determined
the effect of play therapy by coloring picture toward nausea status to the children
during undergoing chemotherapy intervention. A quasy experiment posttest only
with control group design was utilized with 32 respondents. The average score of
nausea in the intervention group was 2,00 and it was 4,00 in the control group.
The result of this research showed a significant difference from nausea status
between intervention group and control group (p value=0,01). Therefore, the
conclusion of this research showed that there was effication of play therapy by
coloring picture toward nausea status to the children during undergoing
chemotherapy intervention. Based of that, it gave recommendation for the nurses
to apply play therapy by coloring picture which relieved nausea for children
undergoing chemotherapy intervention.
Keywords
References
: Play therapy by coloring picture, nausea, chemotherapy.
: 45 (2005-2015)
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
ABSTRAK INDONESIA ................................................................................ vii
ABSTRAK ENGLISH...................................................................................viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xiii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
E. Keaslian Penelitian .................................................................... 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 11
A. Penyakit Kanker ...................................................................... 11
B. Konsep Kemoterapi ................................................................. 11
C. Nausea Akibat Kemoterapi ..................................................... 19
D. Konsep Terapi Bermain .......................................................... 26
E. Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea ................ 30
F. Kerangka Teori........................................................................ 32
G. Kerangka Konsep .................................................................... 33
H. Variabel Penelitian .................................................................. 33
I.
BAB III
Hipotesis.................................................................................. 34
METODE PENELITIAN ............................................................ 35
A. Desain Penelitian ..................................................................... 35
ix
B. Populasi dan Sampel Penelitian .............................................. 35
C. Definisi Operasional................................................................ 38
D. Tempat Penelitian.................................................................... 41
E. Waktu Penelitian ..................................................................... 41
F. Etika Penelitian ....................................................................... 41
G. Alat Pengumpul Data .............................................................. 42
H. Prosedur Pengumpul Data ....................................................... 43
I.
BAB IV
Analisis Data ........................................................................... 45
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 50
A. Gambaran Umum Penelitian ................................................... 50
B. Hasil Penelitian ....................................................................... 50
C. Pembahasan ............................................................................. 59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 75
D. Kesimpulan ............................................................................. 75
E. Saran ........................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Instrumen Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) ............. 23
Gambar 2.2 Kerangka Teori ............................................................................ 32
Gambar 2.3 Kerangka Konsep ......................................................................... 33
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian penulisan............................................................................ 8
Tabel 2.1 Jenis kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik ......................... 19
Tabel 2.2 Instrumen Keller Index Of Nausea (KIN) ...................................... 22
Tabel 3.1 Variabel penelitian dan definisi operasional .................................. 39
Tabel 3.2 Analisis bivariat skor nausea kelompok intervensi dan kontrol .... 48
Tabel 3.3 Analisis bivariat skor nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis
kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea kelompok
intervensi ........................................................................................ 49
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia ........................................... 51
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan siklus kemoterapi ..................... 51
Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, jenis kanker,
jenis kemoterapi, dan riwayat nausea sebelumnya ........................ 52
Tabel 4.4 Rerata skor nausea kelompok intervensi ....................................... 53
Tabel 4.5 Interpretasi skor nausea kelompok intervensi ................................ 54
Tabel 4.6 Rerata skor nausea kelompok kontrol............................................ 54
Tabel 4.7 Interpretasi skor nausea kelompok kontrol .................................... 55
Tabel 4.8 Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol ............................................................................................ 55
Tabel 4.9 Perbedaan status nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis
kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada
kelompok intervensi ....................................................................... 57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Observasi Status Nausea
Lampiran 2
Kuesioner Karakteristik Responden
Lampiran 3
Jenis Kemoterapi Berdasarkan Tingkat Emetogenik
Lampiran 4
Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 5
Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 6
Standar Operasional Prosedur Terapi Bermain
Lampiran 7
Jadwal Penelitian
Lampiran 8
Surat Izin Penelitian
Lampiran 9
Ethical Clearence
Lampiran 10 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 11 Lembar Bimbingan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2008 melalui lembaga penelitian kankernya International Agency for
Research on Cancer (IARC), terdapat 7,6 juta (13 %) orang meninggal
karena penyakit kanker. Diperkirakan 16 juta kasus baru kanker ditemukan
setiap tahunnya. IARC memprediksi pada tahun 2030, 13,1 juta orang
meninggal karena kanker dan 70% di antaranya terjadi di negara
berkembang (Siagian, 2014).
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi
penyakit kanker penduduk Indonesia dari semua kalangan umur adalah
sebesar 1,4 ‰ atau sekitar 347.792 orang. Provinsi Jawa Tengah berada
pada urutan kedua tertinggi setelah DI Yogyakarta dengan angka kejadian
sebanyak 68.638 orang (2,1‰) (Pusdatin Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan
tingkatan usia, kasus kanker yang terjadi pada anak usia < 1 tahun sebesar
0,3 ‰, usia 1-4 tahun sebesar 0,1 ‰, dan usia 5-14 tahun sebesar 0,1‰
(Kemenkes RI, 2013).
Beberapa pengobatan dan terapi yang dapat dilakukan terhadap kanker
adalah pembedahan, kemoterapi, radioterapi, dan terapi individual.
Kemoterapi merupakan salah satu terapi yang sering dipilih sebagai metode
efektif dalam mengatasi penyakit kanker terutama pada kanker stadium
lanjut secara lokal. Saat ini obat anti kanker jenis kemoterapi yang telah
dapat digunakan secara klinis mencapai 70 jenis lebih (Syarif, Nurachmah,
& Gayatri, 2011).
Kemoterapi bermanfaat karena memiliki sifat membunuh sel-sel
kanker secara sistemik, akan tetapi obat kemoterapi juga memiliki dampak
yang merugikan pada sel-sel normal terutama pada sel yang mudah
membelah seperti folikel rambut, lapisan usus dan lambung, serta sumsum
1
2
tulang. Salah satu efek samping dari obat kemoterapi adalah dampak negatif
yang terjadi pada lapisan mukosa usus dan lambung yang menimbulkan rasa
mual pada pasien (CancerHelps, 2010). Kemoterapi pada anak hampir sama
dengan dewasa, akan tetapi dosis yang digunakan tentunya lebih minimal
dan efek samping salah satunya nausea (mual) dan muntah akan
menimbulkan stres tersendiri pada anak karena nausea (mual) merupakan
sensasi psikis yang ditimbulkan akibat rangsangan pada organ dalam,
labirin, atau emosi (Juffrie, et al., 2011).
Iritasi pada mukosa usus dan lambung akibat obat kemoterapi akan
memicu saluran gastrointestinal melepaskan serotonin yang menimbulkan
impuls yang kemudian dihantarkan oleh nervus vagus. Impuls dari saluran
cerna tersebut menstimulasi chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berada
di dasar ventrikel IV. Kemudian, chemoreceptor trigger zone (CTZ) akan
mengaktifasi pusat mual dan muntah pada sistem saraf pusat dan 2 daerah
medula oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral. Selain
itu kemoterapi juga dapat menyebabkan gangguan mukosa gastrointestinal
secara perifer dengan pengeluaran two neurotransmitter reseptor yang
menjadi target dari terapi antiemetik. Kondisi tersebut menimbulkan
gerakan peristaltik aktif berhenti dan terjadi relaksasi pilorus, tekanan pada
fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah antrum
meningkat sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum
menjadi distensi sehingga dapat menyebabkan refluk duodenogaster dan
bahkan dapat menimbulkan regurgitasi isi lambung melalui esofagus dan
faring (Juffrie, et al., 2011).
Strategi untuk mengurangi nausea (mual) atau muntah pada anak yang
mendapat kemoterapi secara farmakologis yaitu dengan pemberian
antiemetik. Antiemetik yang sering digunakan untuk pasien anak adalah 5hydroxytryptamin-3
serotonin
reseptor
antagonis
yang
meliputi
ondansentron, dolasetron, tropisetron, dan granisetron. Meskipun telah
diberikan terapi antiemetik, efek mual masih sering dijumpai pada pasien
kemoterapi (Dewan, Singhal, & Harit, 2010). Selain itu, terapi non
3
farmakologis juga perlu dilakukan untuk mengatasi mual atau muntah
sebagai efek kemoterapi. Menurut Grunberg (2004), efek samping dari
kemoterapi dapat menimbulkan stres sehingga diperlukan terapi non
farmakologis (intervensi distraksi kognitif) untuk mengatasi mual sebagai
efek dari kemoterapi (Zanah, Widodo, & Shobirun, 2013). Menurut
Bulechek, Butcher,
&
Dochterman (2013),
salah satu
intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea adalah distraksi
(pengalihan). Menurut Schneider & Hood (2007), intervensi teknik distraksi
dinilai efektif karena individu dapat lebih berkonsentrasi pada stimulasi
yang menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman,
sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas, nausea
(mual), dan stres akibat kemoterapi. Menurut Wong, Hockenberry-Eaton,
Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), salah satu manfaat bermain di
rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi.
Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan
(distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus sesuai dengan usia,
minat, dan keterbatasan anak.
Salah satu fungsi terapi bermain pada anak adalah dapat membantu
mengurangi stres, memberikan instruksi dan perbaikan kemampuan
fisiologis (Suriadi & Yuliani, 2006). Menurut Hidayat (2005), bermain
dapat berfungsi sebagai nilai terapeutik. Bermain dapat memberikan rasa
senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat
dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap
dunianya.
Bermain akan memberikan rasa senang dan relaksasi pada anak.
Melalui permainannya, anak dapat mengalihkan rasa mualnya pada
permainan (distraksi) dan relaksasi pada kesenangan dan kenyamanannya
(Agustina & Puspita, 2010). Bermain merupakan cara ilmiah pada anak
dalam mengungkapkan konflik yang ada pada dirinya. Salah satu jenis
permainan anak adalah mewarnai gambar. Melalui mewarnai gambar,
seorang dapat menuangkan simbolisasi tekanan atau kondisi traumatis yang
4
dialaminya ke dalam coretan dan pemilihan warna. Melalui mewarnai
gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan muatan
amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres, menciptakan
gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa bahagia (Aizah &
Wati, 2014). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang
merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan menjadi
antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls rasa mual di
chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat mual muntah di sistem saraf
pusat dan medula oblongata sehingga anak tidak mengalami keluhan mual
(Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011). Seperti halnya pada penelitian yang
dilakukan Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), menyimpulkan bahwa terapi
musik dapat mengatasi mual dan muntah pada pasien post kemoterapi.
Namun, dalam penelitian tersebut intervensi diaplikasikan pada pasien
dewasa dengan intervensi berupa terapi musik sebagai alat peralihan
(distraksi) untuk mengatasi rasa mual dan muntah setelah tindakan
kemoterapi. Berdasarkan case report yang dilakukan oleh Nesbitt & TabattHaussmann (2008), memaparkan bahwa kombinasi antara terapi musik dan
terapi seni (menggambar) dengan tema yang telah disesuaikan dengan
musik yang diperdengarkan (pelangi, underwater, binatang, dan alam
sekitar) selama 45 menit dapat menjadi intervensi non farmakologis yang
efektif dalam mengatasi efek samping kemoterapi yaitu sebagai pengalihan
(distraksi) terhadap nyeri, nausea (mual) akibat kemoterapi, penurunan
kecemasan, serta meningkatkan respon relaksasi.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
penatalaksanaan efek kemoterapi nausea (mual) dan terapi bermain.
Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2009), menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan mual-muntah akibat kemoterapi yang signifikan antara
kelompok yang diberikan intervensi distraksi (mewarnai dan menggambar
bebas) oleh keluarga dan kelompok yang tidak diberikan intervensi.
Penelitian Hussein & Sadek (2013), menyimpulkan bahwa akupresur dapat
dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengatasi muntah sehubungan
5
dengan
efek kemoterapi pada anak usia sekolah. Penelitian lain juga
dilakukan oleh Zanah, Widodo, & Shobirun (2013), menunjukkan bahwa
terapi musik klasik dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam
mengatasi mual dan muntah pada pasien post kemoterapi. Sedangkan
penelitian yang terkait dengan terapi bermain dilakukan oleh Kapti, Ahsan,
& Istiqomah (2013), menyimpulkan bahwa terapi bermain mewarnai dapat
memberikan penurunan signifikan pada skor perilaku maladaptif anak usia
prasekolah yang mengalami hospitalisasi.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah
sakit pusat rujukan di Jawa Tengah. Di RSUP Dr. Kariadi terdapat ruang
khusus kemoterapi yang diberi nama Cendrawasih. Ruang kemoterapi
tersebut memiliki 1 kamar khusus untuk pasien anak dengan kapasitas 4
tempat tidur. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang dilakukan
oleh peneliti didapatkan hasil bahwa untuk meminimalkan efek samping
mual dan muntah selama atau setelah tindakan kemoterapi, pasien mendapat
terapi pemberian antiemetik sebagai pre medikasi. Sedangkan aplikasi terapi
bermain sudah diterapkan di ruang kemoterapi dengan memperbolehkan
pasien membawa mainan pribadinya selama kemoterapi sehingga anak
dapat melakukan aktivitas bermain selama proses kemoterapi. Akan tetapi,
belum terdapat SOP (Standard Operasional Prosedur) mengenai terapi
bermain pada anak di ruangan kemoterapi serta fasilitas dan lingkungan
fisik dari ruang kemoterapi kurang mendukung. Kondisi tersebut
mengakibatkan penerapan terapi bermain pada anak selama kemoterapi
masih kurang maksimal. Selain itu, perawat juga melibatkan orang tua
pasien
selama
proses
tindakan
kemoterapi
pada
anak
dengan
memberlakukan rooming in dimana orang tua diperbolehkan masuk dan
menunggu pasien di dalam ruangan sehingga meminimalkan dampak
perpisahan.
Terapi bermain memiliki peranan penting dalam proses perawatan
anak. Terapi tersebut juga bisa diterapkan pada pasien yang sedang
menjalani kemoterapi. Penerapan terapi bermain dapat digunakan sebagai
6
distraksi (peralihan) terhadap proses atau tindakan selama kemoterapi untuk
meminimalkan efek atau dampak negatif yang ditimbulkan obat kemoterapi.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan
pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap status nausea pasien
anak yang mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
B.
Rumusan Masalah
Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan untuk menangani
kanker yang menimbulkan berbagai efek samping. Salah satu efek yang
sering muncul pada anak adalah efek nausea (mual). Kondisi tersebut
membutuhkan penanganan baik
secara farmakologis
maupun non
farmakologis. Salah satu terapi non farmakologis pada anak adalah terapi
bermain. Akan tetapi, aplikasi terapi bermain di ruang kemoterapi masih
kurang maksimal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah yang ditemukan oleh penulis adalah “Belum ada terapi bermain
terstruktur sebagai bagian dari penatalaksanaan mual pada pasien
kemoterapi”.
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui status nausea pada anak yang dilakukan terapi bermain :
mewarnai gambar selama tindakan kemoterapi di ruang Cendrawasih
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengidentifikasi
karakteristik
anak
yang
mendapatkan
kemoterapi berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis kanker, jenis
kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat
kemoterapi sebelumnya.
7
b.
Mengidentifikasi status nausea pada anak yang diberikan
premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi
bermain mewarnai selama kemoterapi (kelompok intervensi).
c.
Mengidentifikasi status nausea pada anak yang diberikan
premedikasi antiemetik ondansentron tetapi tidak diberikan
intervensi
terapi
bermain
mewarnai
selama
kemoterapi
(kelompok kontrol).
d.
Menganalisis perbedaan status nausea antara anak yang
diberikan premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi
terapi bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi
dengan status nausea anak yang diberikan premedikasi
antiemetik ondansentron tetapi tidak diberikan intervensi terapi
bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi.
e.
Menganalisis perbedaan status nausea berdasarkan jenis
kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat
nausea akibat kemoterapi sebelumnya pada anak yang diberikan
premedikasi antiemetik ondansentron dan intervensi terapi
bermain mewarnai selama mendapatkan kemoterapi.
D.
Manfaat
1.
Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi teori
penatalaksanaan terapi non farmakologi pada anak yang menjalani
kemoterapi. Selain itu juga dapat menjadi bagian dari pengembangan
ilmu terkait dengan paliative care pada anak.
2.
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan
dan wawasan peneliti terkait konsep serta aplikasi terapi bermain pada
pasien di rumah sakit.
8
3.
Bagi Instansi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai gagasan bagi
rumah
sakit
dalam
upaya
meningkatkan
kualitas
pelayanan
keperawatan serta pemberian asuhan keperawatan terutama pada anak
yang menjalani kemoterapi. Disamping itu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan rumah sakit terkait penerapan terapi bermain
terutama dalam mengatasi nausea pada pasien anak yang menjalani
kemoterapi.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk
mengembangkan penelitian tentang strategi non farmakologis sebagai
upaya menurunkan mual pada anak yang menjalani kemoterapi.
E.
Keaslian Penulisan
Penelitian ini membandingkan status nausea pada pasien anak yang
menjalani kemoterapi yang diberikan perlakuan terapi bermain mewarnai
dan yang tidak diberikan perlakuan. Perbedaan penelitian ini dengan
beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersaji pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Keaslian penelitian
No.
1.
Nama
Peneliti
Happy
Hayati
Tahun
penelitian
2009
Judul
Penelitian
Pengaruh
Terapi
Distraksi
oleh
Keluarga
terhadap
MualMuntah
Akibat
Kemoterap
i
pada
Anak Usia
Prasekolah
di RSUPN
Dr. Cipto
Mangunku
Variabel
yang diteliti
Variabel
bebas :
Distraksi
Variabel
terikat :
mualmuntah
Design
penelitian
Quasy
experiment
Hasil penelitian
Dari 36 jumlah sampel
keseluruhan diperoleh ratarata skor mual-muntah anak
berada pada tingkat yang
rendah baik pada kelompok
intervensi berupa permainan
mewarnai
gambar
dan
menggambar bebas maupun
kelompok kontrol, kondisi
tersebut menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang
signifikan mual-muntah akibat
kemoterapi antara kelompok
kontrol maupun intervensi.
9
2.
Hilman
Syarif,
Elly
Nurachm
ah, dan
Dewi
Gayatri
2011
3.
Hewida
A.
Hussein
dan
Basma
R. Abdel
Sadek
2013
4.
Laila
Mithakh
ul Zanah,
Sri
Widodo
dan
Shobirun
2013
5.
Rinik
Eko
Kapti,
Ahsan,
dan Ana
Istiqoma
h
2013
sumo
Jakarta
Terapi
Akupresur
dapat
Menurunk
an Keluhan
Mual
Muntah
Akut
Akibat
Kemoterap
i
pada
Pasien
Kanker :
Randomize
d Clinical
Trial
Acupressur
e
for
Chemother
apy
Induced
Vomiting
Among
School Age
Children
Pengaruh
Terapi
Musik
terhadap
Keluhan
Mual
Muntah
pada
Pasien Post
Kemoterap
i
karena
Kanker di
Unit
Sitostatika
Pengaruh
Terapi
Bermain
Mewarnai
terhadap
Penurunan
Skor
Perilaku
Maladaptif
Variabel
bebas
:
terapi
akupresur
Variabel
terikat
:
mual muntah
akut
Quasi
experiment
Dari 22 sampel yang diberikan
intervensi
akupresur
menunjukkan
penurunan
rerata mual muntah akut yang
signifikan
dibandingkan
dengan 22 sampel yang tidak
diberikan perlakuan (p=0,000;
α=0,05).
Hasil
tersebut
menunjukkan
bahwa
akupresur dapat dijadikan
sebagai salah satu intervensi
pada pasien yang mengalami
mual muntah akut akibat
kemoterapi.
Variabel
bebas
:
acupressure
Variabel
terikat
:
Chemothera
py induced
vomiting
Quasi
experiment
Variabel
bebas
:
Terapi
musik
Variabel
terikat
:
mual muntah
post
kemoterapi
Quasi
experiment
dengan
pendekatan
one group
pretestposttest
Dari 25 sampel yang diberikan
intervensi
akupresur
menunjukkan
penurunan
frekuensi
muntah
yang
signifikan
dibandingkan
dengan 25 sampel yang tidak
diberikan
perlakuan
menunjukkan
bahwa
akupresur dapat dijadikan
sebagai salah satu metode
untuk
mengatasi
muntah
sehubungan dengan
efek
kemoterapi pada anak usia
sekolah.
11
responden
sebelum
diberikan perlakuan 9,1%
mual muntah berat, sedang
90,9%. Setelah diberikan
perlakuan 54,5% mual muntah
ringan, sedang 45,5% yang
menunjukkan terapi musik
klasik dapat memberikan
pengaruh yang signifikan
dalam mengatasi mual dan
muntah pada pasien post
kemoterapi.
Variabel
bebas
:
terapi
bermain
mewarnai
Variabel
terikat
:
perilaku
maladaptif
Quasi
experiment
Nilai rata-rata skor perilaku
maladaptif
pretest
10
responden yang diberikan
intervensi 58,10 dan saat
posttest 26,70. 10 responden
yang
tidak
diberikan
intervensi memiliki nilai ratarata pretest 56,30 sedangkan
posttest 55,20 menunjukkan
10
Anak Usia
Prasekolah
yang
Mengalami
Hospitalisa
si
di
Rumah
Sakit
Kabupaten
Kediri
hospitalisasi
terapi bermain mewarnai
dapat memberikan penurunan
signifikan pada skor perilaku
maladaptif
anak
usia
prasekolah yang mengalami
hospitalisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Penyakit Kanker
Kanker merupakan neoplasma yang dicirikan dengan pertumbuhan
yang tidak terkontrol dari sel anaplastik yang menginvasi jaringan sekitar
dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh dalam tubuh (Wong,
2012). Dalam keadaan normal, sel tubuh hanya akan membelah diri jika ada
pergantian sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya, sel kanker akan
terus membelah walaupun tubuh tidak membutuhkannya. Akibatnya, akan
terjadi penumpukan sel baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel
baru tersebut akan mendesak dan merusak jaringan normal sehingga
mengganggu organ yang ditempatinya (CancerHelps, 2010).
Prinsip utama pengobatan pada kanker adalah membunuh sel-sel
kanker sebelum sel-sel tersebut menyebar dan merusak organ atau jaringan
lainnya
(CancerHelps,
2010).
Pengobatan
kanker
pada
umumnya
menggunakan empat terapi yaitu, pembedahan, kemoterapi, pengobatan
radiasi
(radioterapi),
dan
pengobatan
individual
(Tanjung,
2011).
Kemoterapi merupakan salah satu terapi yang paling sering dipilih untuk
menangani kanker pada anak. Kemoterapi kanker pada anak, saat ini
mempunyai arti yang sangat penting karena telah berhasil menaikkan angka
kesembuhan kanker anak (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2012).
B.
Konsep Kemoterapi
1.
Definisi kemoterapi
Kemoterapi
merupakan
terapi
pengobatan
kanker
yang
melibatkan penggunaan zat kimia atau obat-obatan. Kemoterapi
konvensional bekerja dengan cara menghancurkan struktur atau
metabolisme sel-sel kanker (CancerHelps, 2010). Obat kemoterapi
11
bekerja secara sistemik yang biasanya diberikan melalui suntikan atau
infus. Kemoterapi lebih sering diberikan setelah operasi untuk
menghilangkan kanker atau menurunkan kemungkinan munculnya
kanker kembali (Tanjung, 2011).
2.
Manfaat Kemoterapi
Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang efektif
dalam penanganan kanker. Kemoterapi pada penyembuhan kanker
bertujuan menghambat atau menghentikan pertumbuhan sel-sel
onkogen (kanker) pada tubuh pasien dengan menyerang fase tertentu
atau seluruh fase dalam pembelahan mitosis pada sel-sel onkogen
yang bereplikasi atau berkembang dengan cepat sehingga akan
mematikan sel kanker dan mencegah penyebarannya (Zanah, Widodo,
& Shobirun, 2013).
3.
Agen Kemoterapi
Menurut Wong (2012), agens kemoterapi yang digunakan dalam
pengobatan kanker anak meliputi :
a.
Agens peng-alkilasi Mechlorethamine (nitrogen mustard,
Mustargen) IV
Efek samping : Mual/muntah (1/2-8 jam berat), depresi
sumsum tulang (2-3 minggu berikutnya), alopesia, flebitis lokal.
b.
Siklofosfamid (Cytoxan, CTX, Neosar) PO, IV, IM
Efek samping : Mual/muntah (3-4 jam berikutnya berat pada
dosis tinggi), depresi sumsum tulang (10-14 hari berikutnya),
alopesia, sistitis hemoragis, imunosupresi hebat, stomatitis
(jarang), hiperpigmentasi, kuku membumbung transversal,
infertilitas.
c.
Ifosfamid (Ifos, IFF) IV
Efek samping : Depresi
sumsum
tulang
(10-14
hari
berikutnya), alopesia, sistitis hemoragis, neurotoksisitas-letargi,
disorientasi, somnolen, kejang (jarang).
d.
Melfalan (L-fenilalanin mustard, Alkeran, L-Pam) PO, IV
Efek samping : Mual/muntah (hebat), depresi sumsum tulang
(2-3 minggu berikutnya), alopesia, diare.
e.
Prokarbazin (Matulane) PO
Efek samping : Mual/muntah (sedang),
depresi
sumsum
tulang (3-4 minggu berikutnya), letargi, dermatitis, mialgia,
artralgia, stomatitis, neuropati, alopesia, diare, azoospermia,
menstruasi berhenti.
f.
Dacarbazine (DTIC-Dome) IV
Efek samping : Mual/muntah
(terutama
setelah
dosis
pertama, parah), depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya),
alopesia, sindrom seperti flu, rasa terbakar pada vena ketika
diinfus (bukan ekstravasasi).
g.
Sisplatin (Platinol) IV
Efek samping : Toksisitas renal (berat), mual/muntah (1-4
jam berikutnya, berat), depresi sumsum tulang (ringan, 2-3
minggu berikutnya), ototoksisitas, neurotoksisitas (hampir sama
dengan
vinkristin),
hipomagnesium,
gangguan
hipokalsemia,
elektrolit
hipokalemia,
terutama
dan
hipofosfatemia, serta dapat terjadi reaksi anafilatik.
h.
Karboplatin (CBDCA) IV
Efek samping : Mual/muntah
(ringan),
depresi
sumsum
tulang (14 hari berikutnya), alopesia, hepatotoksisitas sedang.
i.
Agens peng-alkilasi Klorambusil (Leukeran) PO
Efek samping : Mual/muntah
(ringan),
depresi
sumsum
tulang (7-14 hari berikutnya), diare, dermatitis, hepatotoksisitas
kurang umum terjadi.
j.
Antimetabolit Sitosin arabinosid (Ara-C, Cytosar, Cytarabine,
arabinosyl cytosine) IV, IM, SC, IT
Efek samping : Alopesia, mual/muntah (ringan), depresi
sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), ulserasi mukosa,
imunosupresi, hepatitis (biasanya subklinis).
k.
5-Azasitidin (5-AzaC) IV
Efek samping : Mual/muntah (sedang),
depresi
sumsum
depresi
sumsum
tulang (7-14 hari berikutnya), diare.
l.
Merkaptopurin (6-MP, Purinethol) PO, IV
Efek samping : Mual/muntah
(ringan),
tulang (4-6 minggu berikutnya), diare, anoreksia, stomatitis,
imunosupresi, dermatitis, hepatotoksik kurang umum terjadi.
m.
Metotreksat (MTX, Amethopterin) PO, IV, IM, IT
Efek samping : Mual/muntah (hebat pada dosis tinggi),
depresi sumsum tulang (10 hari berikutnya), ulserasi mukosa (25
hari
berikutnya),
diare,
imunosupresi,
dermatitis,
fotosensitivitas, alopesia (tidak umum), efek toksik meliputi :
hepatitis
(fibrosis);
osteoporosis;
nefropati;
pneumonitis
(fibrosis), toksisitas neurologis dengan penggunaan IT-nyeri
pada area injeksi, meningismus (tanda-tanda meningitis tanpa
inflamasi aktual), terutama demam dan sakit kepala; potensial
sekuele-hemiparesis
sementara
atau
permanen,
konvulsi,
demensia, kematian.
n.
Tioguanin (6-TG, Thioguan) PO
Efek samping : Mual/muntah
tulang
(7-14
hari
(ringan),
berikutnya),
depresi
stomatitis,
sumsum
dermatitis,
fotosensitivitas, disfungsi hepar.
o.
Vinkristin (Oncovin) IV
Efek samping : Neurotoksisitas-parestesia (kebas); ataksia;
kelemahan; footdrop; hiporefleksia; konstipasi (ileus adinamik);
serak (paralisis pita suara); nyeri abdomen, dada, dan nyeri
rahang; depresi mental, demam, mual/muntah (ringan), depresi
sumsum tulang (minimal; 7-14 hari berikutnya), alopesia,
SIADH.
p.
Vinblastin (Velban) IV
Efek samping : Neurotoksisitas (sama dengan vinkristin
tetapi kurang berat), mual/muntah (ringan), depresi sumsum
tulang (terutama neutropenia; 7-14 hari berikutnya), alopesia.
q.
VP-16 (Etoposide, Ve-Pesid), VM-16 (Tenoposide) IV
Efek samping : Mual/muntah
(ringan
sampai
sedang),
depresi sumsum tulang (7-14 hari berikutnya), alopesia,
hipotensi dengan infus cepat, bradikardia, diare (jarang),
stomatitis (jarang), dapat mengaktifkan kembali eritema pada
kulit yang teradiasi (jarang), reaksi alergi dengan kemungkinan
anafilaksis, neurotoksisitas.
r.
Aktinomisin-D (Dactinomycin, Cosmogen, ACT-D) IV
Efek samping : Mual/muntah (2-5 jam berikutnya, sedang),
depresi sumsum tulang (terutama trombosit, 7-14 hari
berikutnya), imunosupresi, ulserasi mukosa, kram abdomen,
diare, anoreksia (dapat hilang dalam beberapa minggu),
alopesia, jerawat, eritema atau hiperpigmentasi pada kulit yang
teradiasi sebelumnya, demam, malaise.
s.
Doksorubisin
(Adriamycin,
Doxyrubicin),
Daunorubisin
(Daunomycin, Rubidomycin) IV
Efek samping : Mual/muntah (sedang),
depresi
sumsum
tulang (7-14 hari berikutnya), demam menggigil, stomatitis
flebitis lokal, alopesia, toksisitas dosis kumulatif meliputi :
abnormalitas jantung, perubahan EKG, gagal jantung.
t.
Bleomisin (Blenoxane) IV, IM, SC
Efek samping : reaksi alergi-demam, menggigil, hipotensi,
anafilaksis; demam (nonalergi); stomatitis; efek dosis kumulatif
yang meliputi : kulit (ruam, hiperpigmentasi, penebalan,
ulserasi, pengelupasa, perubahan kuku, alopesia), paru-paru
(pneumonitis dengan infiltrat yang dapat berlanjut menjadi
fibrosis fatal).
u.
Karmustin (BCNU) IV, Lomustin (CCNU) PO
Efek samping : Mual/muntah (2-6 jam berikutnya, berat),
depresi sumsum tulang (3-4 minggu berikutnya), alopesia, rasa
nyeri terbakar sepanjang infus IV (biasanya karena pelarut
alkohol), kemerahan pada wajah dan rasa terbakar fasial pada
area infus (BCNU).
4.
Pemberian Kemoterapi
Menurut
Permono,
Sutaryo,
Ugrasena,
Windiastuti,
&
Abdulsalam (2012), terdapat beberapa pemberian kemoterapi pada
anak, yang meliputi :
a.
Kemoterapi tunggal dan kombinasi
Kemoterapi
tunggal
digunakan
pada
masa
awal
pengobatan kanker yang secara berangsur dosis kemoterapi
tunggal berubah menjadi kemoterapi kombinasi. Hal ini
dikarenakan kemoterapi kombinasi telah terbukti memiliki
keberhasilan yang lebih tinggi. Terapi kombinasi dilakukan
dengan menggunakan beberapa obat dengan titik tangkap yang
berbeda.
Keberhasilan
kemoterapi
kombinasi
banyak
dipengaruhi oleh sensitifitas terhadap obat, efek sinergis dari
kombinasi tersebut.
b.
Kemoterapi ajuvan
Kemoterapi ajuvan yang berarti kemoterapi tambahan, di
mana kemoterapi diberikan sebagai terapi tambahan terhadap
pengobatan utama misalnya pembedahan. Kemoterapi ajuvan
diberikan pasca pembedahan dengan angka kesembuhan yang
lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kemoterapi ajuvan dapat
membunuh sel kanker yang tersebar sewaktu operasi, dan sel-sel
mikrometastasis yang tidak tampak secara klinis.
c.
Kemoterapi pra-bedah
Kemoterapi pra-bedah diberikan pada kondisi tertentu,
misalnya pada neuroblastoma dan tumor Wilms. Kemoterapi
ditujukan untuk mengecilkan volume tumor dan menangkal
mikrometastasis
secepatnya.
Kemoterapi
pra-bedah
juga
berguna sebagai tindakan pencegahan jika ada sel yang tersebar
karena ruptur atau pecahan massa tumor saat dilakukan tindakan
operasi.
d.
Kemoterapi dosis tinggi
Kemoterapi dosis tinggi merupakan kemoterapi dengan
dosis yang tidak lazim. Penggunaan dosis tinggi tersebut
dimaksudkan untuk mematikan sel kanker sebanyak mungkin.
Dosis biasa obat anti kanker melewati membran sel secara difusi
aktif, sedangkan pada penggunaan dosis tinggi menjadi difusi
pasif karena tingginya kadar obat diluar sel. Akan tetapi,
penggunaan dosis tinggi akan berakibat timbulnya depresi
sumsum tulang, kerusakan sel epitel yang ditunjukkan dengan
gejala stomatitis yang berat. Oleh karena itu, keberadaan obat
tersebut dalam tubuh harus segera dieliminasi.
e.
Kemoterapi untuk saraf pusat
Secara statistik, kanker pada saraf pusat merupakan tumor
padat yang paling sering dijumpai pada anak. Dosis obat anti
kanker yang biasa digunakan tidak dapat menembus atau sangat
sedikit yang dapat melewati sistem sawar otak. Hal ini
mengakibatkan terdapat spesifikasi farmakokinetik pada obat
anti kanker otak yang berbeda dengan kanker organ lain.
Penetrasi obat ke tumor otak dipengaruhi oleh besar molekul,
kelarutan dalam lemak, dan muatan elektris.
5.
Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi dinilai efektif dalam membasmi sel kanker. Akan
tetapi, selain menyerang sel kanker, kemoterapi juga menyerang sel-
sel yang normal terutama pada sel-sel yang mudah membelah seperti,
folikel rambut, mulut, tenggorokan, mukosa usus dan lambung, serta
sumsum tulang. Oleh karena itu, kemoterapi menimbulkan dampak
yang kurang nyaman bagi pasien seperti, rambut rontok, hemoglobin,
trombosit, dan sel darah putih berkurang, tubuh lemah, merasa lelah,
sesak napas, mudah mengalami perdarahan, mudah ter infeksi, kulit
membiru/menghitam, kering, serta gatal, mulut dan tenggorokan
terasa kering dan sulit menelan, sariawan, mual, muntah, nyeri pada
perut, menurunkan nafsu seks dan kesuburan karena perubahan
hormon (Setiawan, 2015).
6.
Mekanisme Kerja Kemoterapi
Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan
meracuni atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel
kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar, atau
untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker (Susanti
& Tarigan, 2012). Obat kemoterapi mayoritas bersifat sitotoksik, yaitu
bekerja dengan meracuni sel-sel yang paling cepat membelah diri
dalam tubuh. Obat ini bekerja melalui aliran darah atau limfe sehingga
dengan cepat membunuh sel-sel kanker yang telah menyebar
(CancerHelps,
2010).
Obat
kemoterapi
bekerja
dengan
cara
mempengaruhi sintesis atau fungsi DNA. Titik tangkap obat
kemoterapi terhadap sel tumor dapat dibagi menjadi 12 titik tangkap,
terutama peran dalam menghambat atau merusak siklus sel kanker
(Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2012).
7.
Jenis Kemoterapi Berdasarkan Tingkat Emetogenik
Menurut (Dewan, Singhal, & Harit, 2010), Jenis kemoterapi
berdasarkan kejadian mual muntah akibat kemoterapi dibagi menjadi
empat level yaitu, level minimal dengan presentase kejadian muntah
sebesar 10%, level rendah dengan presentase sebesar 10-30%, level
moderate dengan presentase 30-90%, dan level tinggi dengan
presentase >90%.
Tabel 2.1.
Jenis kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik
Tingkat emetogenik
Obat kemoterapi
Bevacizumab, Bleomycin, Busulfan, Fludarabine,
Vincristine,
Vinorelbine,
Vinblastine,
2Chlorodeoxyadenosine, Rituximab
Paclitaxel, Docetaxel, Mitoxantrone, Topotecan,
Etoposide, Pemetrexed, Methotrexate, Mitomycin,
Gemcitabine,
Cytarabine
(<1000
mg/m2),
Fluorouracil, Bortezomib, Cetuximab, Trastuzumab
Oxaliplatin,
Cytarabine
(>1000
mg/m2),
Carboplatin, Ifosfamide, Cyclophosphamide < 1500
mg/m2, Doxorubicin, Daunorubicin, Epirubicin,
Idarubicin, Irinotecan
Cisplatin,
Mechlorethamine,
Streptozotocin,
Dacarbazine,
Carmustine,
Dactinomycin
Cyclophosphamide (>1500 mg/m2)
Level 1 (minimal)
Level 2 (rendah)
Level 3 (moderate)
Level 4 (tinggi)
Sumber : Dewan, Singhal, & Harit (2010)
C.
Nausea Akibat Kemoterapi
1.
Definisi Nausea
Nausea (mual) adalah fase awal dari muntah. Mual merupakan
sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirin dan emosi.
Kondisi tersebut ditandai dengan keinginan untuk muntah yang
dirasakan di tenggorokan atau perut, dan seringkali disertai gejala
hipersalivasi,
pucat,
berkeringat,
takhikardia
dan
anoreksia
(Suraatmaja, 2010).
Nausea sebenarnya merupakan suatu protective reflex untuk
mencegah masuknya agen toksik. Perasaan tidak enak merupakan
perilaku responsif terhadap masuknya makanan yang toksik atau
rangsangan lainnya. Peristaltik yang terbalik (reserve peristaltic) dari
saluran gastrointestinal bagian atas adalah protective reflex untuk
mencegah masuknya bahan toksik ke duodenum. Demikian juga mual
dan muntah sebagai efek obat-obatan dianggap sebagai physiologic
protective respons untuk mencegah masuknya bahan toksik ke dalam
tubuh (Suraatmaja, 2010).
2.
Mekanisme Nausea
Obat kemoterapi dapat menimbulkan nausea (mual) dan muntah
melalui beberapa mekanisme. Kemoterapi menyebabkan iritasi pada
mukosa lambung dan usus. Kondisi tersebut memicu saluran
gastrointestinal melepaskan serotonin yang menimbulkan impuls yang
kemudian dihantarkan oleh nervus vagus (Juffrie, et al., 2011). Pusat
mual dan muntah nucleus salitarius dan formatio retikularis yang
terletak di medulla oblongata, diaktifkan oleh rangsangan dari saluran
gastrointestinal melalui eferen parasimpatis (nervus vagus) dan
simpatis. Selain itu juga dapat diaktifkan oleh rangsangan dari pusat
ke dua yang disebut chemoreceptive trigger zone (CTZ) yang terletak
di area post rema di lantai ventrikel IV. Regio ini sangat sensitif
terhadap bermacam-macam bahan kimia yang terdapat di dalam
darah. Bahan-bahan yang dapat bereaksi langsung pada regio ini
adalah bahan eksogen (agen sitotoksik, opiat, ipecac, dan digoxin) dan
bahan endogen. Rangsangan tersebut akan merangsang suatu peptida
yang bersifat endogenus emetic agent yang menyebabkan rangsangan
humoral
pada
chemoreceptive
trigger
zone
(CTZ)
dan
mentransmisikan ke pusat mual dan muntah, sehingga substansi yang
berpotensi bahaya dapat dikeluarkan melalui proses mual dan muntah
(Suraatmaja, 2010).
Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura
mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi
berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi
refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea belum
terjadi peristaltik aktif (Juffrie, et al., 2011).
3.
Klasifikasi Nausea
Klasifikasi nausea (mual) dan muntah menurut Susanti &
Tarigan (2012), dibagi menjadi empat :
a.
Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika
tanpa pengobatan antiemetik.
b.
Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual
muntah akibat penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi 26 hari setelah terapi.
c.
Mual muntah yang berkelanjutan, biasanya untuk obat
sitostatika emetogenik sedang, dapat menyebabkan mual muntah
selama 2-3 hari.
d.
Mual muntah antisipatori, terjadi pada pasien yang merasa mual
atau rasa tidak enak diperut dan cemas, padahal obat sitostatika
belum diberikan.
4.
Faktor yang Mempengaruhi Status Nausea
Menurut
Lohr (2008), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi nausea akibat kemoterapi. Jenis kelamin perempuan
lebih berisiko mengalami nausea dibandingkan laki-laki. Usia lebih
dari 3 tahun lebih berisiko mengalami mual akibat kemoterapi. Selain
itu, riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya juga
mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi. Faktor resiko yang
berhubungan
dengan
tindakan
kemoterapi
meliputi,
tingkat
emetogenik obat kemoterapi, jadwal atau siklus kemoterapi, dosis,
serta rute pemberian kemoterapi.
5.
Pengkajian Nausea
Ada beberapa instrumen terkait pengkajian status nausea pada
anak. Instrumen tersebut meliputi, Keller Index of Nausea (KIN),
Pediatric Nausea Assessment Tool (PNAT), Numeric Rating Scales,
Index of Nausea Vomiting and Retching, Visual Analogue Scale,
Verbal Category Scale, Nausea Profile. Instrumen tersebut telah teruji
validitas dan reliabilitasnya. Setiap instrumen memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Instrumen yang sering digunakan pada
anak-anak adalah Keller Index of Nausea (KIN) dan Pediatric Nausea
Assessment Tool (PNAT). Menurut Keller & Keck (2006), Keller
Index of Nausea (KIN) digunakan untuk pengkajian observasi nausea
pada anak usia muda. Terdapat 19 indikator untuk mengobservasi
status nausea anak. Jika indikator ditemukan pada anak, maka
diberikan skor 1. Jika indikator tidak ditemukan saat pengamatan,
maka diberikan skor 0. Skor terendah adalah 0, sedangkan skor
tertinggi adalah 19. Total skor yang tertinggi kemungkinan terbesar
mengalami mual yang aktual (Keller & Keck, 2006). Instrumen Keller
Index of Nausea (KIN) tersebut tercantum pada tabel 2.2.
Tabel 2.2.
Instrumen Keller Index of Nausea (KIN)
Alterations in affect and
Behaviors (Perubahan
Sikap dan Perilaku)
Decrease in activity
(penurunan aktifitas)
Puts hand over mouth
(meletakkan tangan di
mulut)
Puts hand over stomach
(meletakkan tangan di
atas perut)
Nausea
posture/
positioning (posisi mual)
Refuses
oral
fluids
(menolak cairan lewat
mulut)
Distres
(Tekanan)
Restlessness
(gelisah)
Crying
(menangis)
Nausea facial
expression
(ekspresi wajah
mual)
Irritable/ fussy
(Sensitif)
Physiological Alterations
(Perubahan Fisiologis)
Increased
respiratory
rate
(peningkatan
frekuensi
pernafasan)
Loss of appetite (hilang nafsu atau
selera makan)
Vomiting (muntah)
Retching/gagging (muntah berat)
Cold sweating (keringat dingin)
Skin feels cold to touch (kulit
terasa dingin saat disentuh)
Changes in skin colour (pallor or
flushing) (perubahan warna kulit
atau kemerahan)
Drooling/salivation
(air
liur
meningkat)
Frequent swallowing (sering
menelan)
Tongue movements/compressing
or licking lips (ada gerakan lidah
atau menekan atau membasahi
bibir)
Sumber : Keller & Keck (2006), Hayati (2009)
Menurut Dupuis, Taddio, Kerr, Kelly, & MacKeigan (2006),
Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT) digunakan untuk
pengkajian intensitas nausea pada anak melalui pengamatan pada 4-24
jam setelah mendapatkan kemoterapi. Anak dipastikan tidak
memahami konsep nausea untuk memusatkan perhatian anak pada
rasa mualnya serta untuk mendeskripsikan bagaimana penggunaan
PeNAT, maka digunakan face validity test (Dupuis, Taddio, Kerr,
Kelly, & MacKeigan, 2006). Instrumen Pediatric Nausea Assessment
Tool (PeNAT) tersebut tercantum pada gambar 2.1.
Gambar 2.1.
Instrumen Pediatric Nausea Assessment Tool (PeNAT)
Sumber : Dupuis, Taddio, Kerr, Kelly, & MacKeigan (2006)
6.
Penatalaksanaan Nausea
Tujuan utama dari penatalaksanaan nausea (mual) dan muntah
adalah
menghilangkan
kausa
spesifiknya.
Akan
tetapi,
penatalaksanaan simptomatik untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala mual dan muntah perlu dilakukan terlebih dahulu. Pemberian
antiemetik dapat dilakukan untuk mengurangi gejala mual dan muntah
tersebut (Suraatmaja, 2010).
a.
Farmakologis
Menurut Dewan, Singhal, & Harit (2010), obat antiemetik
dapat diberikan satu jenis maupun secara kombinasi. Beberapa
obat antiemetik untuk mengurangi mual dan muntah sebagai
efek dari kemoterapi (Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting) meliputi :
1)
Antagonis Dopamin
Obat-obat
yang
termasuk
golongan
antagonis
dopamin adalah metoklopramid, domperidon, haloperidol,
chlorpromazine, dan prochlorperazine. Pada dosis tinggi,
metoklopramid
bekerja
sebagai
reseptor
antagonis
serotonin. Khasiat antiemetik dengan metoklopramid
cenderung sedikit lebih rendah jika dilihat dari selektifitas
reseptor
antagonis
serotonin.
Efek
samping
yang
ditimbulkan adalah dystonic reaction, akathisia, dan
sedasi. Haloperidol biasanya digunakan pada anak untuk
mengurangi mual muntah akibat kemoterapi.
2)
Kortikosteroid
Dexametason dan methylprednisolone memiliki
indeks terapi yang tinggi jika digunakan untuk mencegah
efek muntah akibat kemoterapi. Dexametason seringkali
dikombinasikan dengan antagonis serotonin. Dexametason
bekerja dengan menurunkan efek inflamasi pada mukosa
intestinal,
memblokade
pelepasan
5-HT3,
dan
menurunkan permeabilitas dari blood brain barrier. Efek
yang
ditimbulkan
pada
penggunaan
dosis
tunggal
dexametason sangat jarang seperti, peningkatan serum
glukosa, epigastric burning, serta keluhan gangguan
istirahat tidur.
3)
Antagonis Serotonin (5-HT3)
Obat-obat
serotonin
yang
meliputi,
termasuk
granisetron,
golongan
antagonis
ondansetron,
dan
tropisetron. Obat tersebut memiliki selektifitas yang tinggi
terhadap serotonin. Akan tetapi, antiemetik tersebut
memiliki efek samping sakit kepala, flushing, dan
konstipasi. Antiemetik ini banyak digunakan untuk
mengatasi mual muntah akut akibat kemoterapi pada level
emetogenik moderat dan tinggi.
4)
Benzodiazepin
Lorazepin dan midazolam termasuk golongan
benzodiazepin yang bekerja sebagai tambahan terapi untuk
mengurangi mual muntah akibat kemoterapi terutama pada
mual muntah antisipatori dengan menurunkan kecemasan
dan menyebabkan sedasi.
b.
Non Farmakologis
Penatalaksanaan secara non farmakologis juga dibutuhkan
dalam
mengatasi
nausea
akibat
kemoterapi.
Intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea
meliputi, penurunan kecemasan, teknik ketenangan, diet,
distraksi (pengalihan), manajemen cairan/elektrolit, monitor
cairan,
administration
medication,
manajemen
medis,
manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen nyeri, teknik
relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur (Bulechek, Butcher,
& Dochterman, 2013).
Menurut Schneider & Hood (2007),
teknik distraksi merupakan strategi koping yang terfokus pada
emosi karena teknik tersebut mengalihkan fokus perhatian dari
stimulus
yang
tidak
menyenangkan
melalui
manipulasi
lingkungan. Intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena
individu bisa lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik
atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman,
sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas,
nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi.
Salah satu penatalaksanaan non farmakologis pada anak
adalah terapi bermain. Menurut
Wong, Hockenberry-Eaton,
Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), manfaat bermain di
rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan
relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan
sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas
tersebut harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak.
D.
Konsep Terapi bermain
1.
Definisi
Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak serta
merupakan satu cara yang efektif untuk menurunkan stres pada anak
dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Agustina
& Puspita, 2010). Bermain merupakan aktifitas di mana anak dapat
melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi
terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersipkan diri untuk
berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005).
2.
Fungsi Bermain
Kegiatan bermain memiliki berbagai fungsi bagi anak. Fungsi
bermain menurut Wong (2012), meliputi :
a.
Perkembangan sensorimotor
1)
Memperbaiki keterampilan motorik kasar dan halus serta
koordinasi.
b.
2)
Meningkatkan perkembangan semua indera.
3)
Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia.
4)
Memberikan pelampiasan kelebihan energi.
Perkembangan intelektual
1)
Memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk
pembelajaran.
2)
Eksplorasi dan manipulasi bentuk, ukuran, tekstur, warna.
3)
Pengalaman dengan angka, hubungan yang renggang, dan
konsep abstrak.
4)
Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas
keterampilan berbahasa.
5)
Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa
lalu dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan
hubungan baru.
6)
Membantu anak memahami dunia di mana mereka hidup
dan membedakan antara fantasi dan realita.
c.
Perkembangan sosialisasi dan moral
1)
Mengajarkan peran orang dewasa, termasuk perilaku
peran seks.
2)
Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan.
3)
Mengembangkan keterampilan sosial.
4)
Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang positif
terhadap orang lain.
5)
Menguatkan pola perilaku yang telah disetujui dan standar
moral.
d.
Kreativitas
1)
Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minat yang
kreatif.
e.
2)
Memungkinkan fantasi dan imajinasi.
3)
Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus.
Kesadaran diri
1)
Memudahkan perkembangan identitas diri.
2)
Mendorong pengaturan perilaku sendiri.
3)
Memungkinkan pengujian pada kemampuan sendiri
(keahlian sendiri).
4)
Memberikan perbandingan antara kemampuan sendiri dan
kemampuan orang lain.
5)
Memungkinkan kesempatan untuk belajar bagaimana
perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain.
f.
Nilai terapeutik
1)
Memberikan pelepasan stres dan ketegangan.
2)
Memungkinkan ekspresi emosi dan pelepasan impuls yang
tidak dapat diterima dalam bentuk yang secara sosial dapat
diterima.
3)
Mendorong percobaan dan pengujian situasi
yang
menakutkan dengan cara yang aman.
4)
Memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan non
verbal tentang kebutuhan, rasa takut, dan keinginan.
3.
Bermain pada Anak di Rumah Sakit
Permainan pada anak yang rawat inap di rumah sakit tidak
hanya memberikan rasa senang pada anak tetapi juga membantu anak
mengekspresikan perasaan, pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan
nyeri. Permainan tersebut harus sesuai dengan prinsip bermain anak
selama di rumah sakit yaitu, tidak membutuhkan banyak energi,
waktunya singkat, mudah dilakukan, aman, sesuai kelompok umur,
melibatkan orang tua, dan tidak bertentangan dengan terapi (Agustina
& Puspita, 2010).
Pemberian stimulasi mainan pada anak yang dirawat sesuai
dengan kondisi dan tingkat perkembangannya. Jika pasien sudah dapat
duduk atau tidak terlihat lemah sekali, dapat diberikan pensil berwarna
dan kertas gambar untuk corat coret atau menggambar (Ngastiyah,
2005).
4.
Manfaat Mewarnai
Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai
pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus
sesuai
dengan
usia,
minat,
dan
keterbatasan
anak
(Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Salah
satu jenis permainan anak adalah mewarnai gambar. Melalui
mewarnai gambar, seorang dapat menuangkan simbolisasi tekanan
atau kondisi traumatis yang dialaminya ke dalam coretan dan
pemilihan warna. Dinamika secara psikologis menggambarkan bahwa
individu dapat menyalurkan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam
bawah sadarnya dan tidak dapat dimunculkan ke dalam realita melalui
gambar. Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah
mengeluarkan muatan amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa
sedih,
tertekan,
stres,
menciptakan
gambaran-gambaran
yang
membuat kita kembali merasa bahagia. Melalui aktifitas mewarnai
gambar, emosi dan perasaan yang ada di dalam diri bisa dikeluarkan,
sehingga dapat menciptakan koping yang positif. Koping positif ini
ditandai dengan perilaku dan emosi yang positif (Aizah & Wati,
2014).
Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan
yang memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan
sangat terapeutik (sebagai permainan penyembuh). Anak dapat
mengekspresikan perasaannya dengan cara menggambar. Hal ini
berarti menggambar bagi anak merupakan suatu cara untuk
berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata (Wowiling, et. al.,
2014). Warna juga merupakan media terapi untuk membaca emosi
seseorang dan dapat meringankan stres pada anak (Agustina &
Puspita, 2010).
Berdasarkan case report yang dilakukan oleh Nesbitt & TabattHaussmann (2008), memaparkan bahwa kombinasi antara terapi
musik dan terapi seni (menggambar) dengan tema yang telah
disesuaikan dengan musik yang diperdengarkan (pelangi, underwater,
binatang, aktifitas di pantai dan alam sekitar) selama 45 menit dengan
pengambilan tempat yang nyaman dan terpantau dapat menjadi
intervensi non farmakologis yang efektif dalam mengatasi efek
samping kemoterapi yaitu sebagai pengalihan (distraksi) terhadap
nyeri, nausea (mual) akibat kemoterapi, penurunan kecemasan, serta
meningkatkan respon relaksasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Eka, Widastra, & Widianah (2013), menunjukkan bahwa terapi
bermain menggambar dan mewarnai yang dilakukan selama 1x30
menit dapat menurunkan tingkat kecemasan secara signifikan pada
anak yang mendapatkan kemoterapi.
E.
Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea
Kemoterapi menimbulkan efek yang tidak nyaman bagi pasien,
sehingga membutuhkan intervensi untuk mengatasi kondisi tersebut. Salah
satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan secara mandiri adalah
dengan mengurangi rasa tidak nyaman pasien akibat efek kemoterapi.
Menurut Bulechek, Butcher, & Dochterman (2013), intervensi keperawatan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi nausea meliputi, penurunan
kecemasan, teknik ketenangan, diet, distraksi (pengalihan), manajemen
cairan/elektrolit, monitor cairan, administration medication, manajemen
medis, manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen nyeri, teknik
relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur. Menurut Schneider & Hood
(2007), intervensi teknik distraksi dinilai efektif karena individu dapat lebih
berkonsentrasi pada stimulasi yang menarik atau menyenangkan daripada
gejala yang tidak nyaman, sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti,
nyeri, cemas, nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi. Menurut Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz (2009), salah satu
manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan
menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk permainan dapat digunakan
sebagai pengalihan (distraksi) dan rekreasi, tetapi aktifitas tersebut harus
sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasan anak.
Bermain dapat memberikan rasa senang dan nyaman sehingga adanya
stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat
menghibur diri anak terhadap dunianya (Hidayat, 2005). Salah satu
permainan yang dapat dilakukan adalah mewarnai gambar. Melalui
mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan muatan
amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres, menciptakan
gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa bahagia (Aizah &
Wati, 2014). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang
merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan menjadi
antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls rasa mual di
chemoreceptive trigger zone (CTZ) dan pusat nausea (mual) muntah di
sistem saraf pusat dan medula oblongata sehingga anak tidak mengalami
keluhan mual (Syarif, Nurachmah, & Gayatri, 2011).
F.
Kerangka Teori
Penyakit kanker
Kemoterapi
Merangsang pembentukan
serotonin di gastrointestinal
Teknik distraksi :
Merangsang nervus vagus
1. Terapi musik (Zanah,
Widodo, & Shobirun,
Aktifasi chemoreceptive trigger zone (CTZ)
2013).
2. Distraksi (menggambar dan
mewarnai) oleh keluarga
Stimulasi pusat mual dan
muntah
(Hayati, 2009).
Rasa senang dan nyaman
Nausea (mual)
Terapi
bermain
mewarnai
Merangsang sekresi endorfin
Menghambat impuls rasa mual ke
chemoreceptive trigger zone (CTZ) dan pusat
mual muntah
Nausea (mual) menurun
Gambar 2.2.
Kerangka Teori
Sumber
: Hayati (2009), Juffrie, et al. (2011), Suraatmaja, (2010), Syarif,
Nurachmah, & Gayatri (2011), Zanah, Widodo, & Shobirun (2013).
G.
Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel terikat
Intervensi terapi bermain
mewarnai dan pemberian
antiemetik ondansentron
Status nausea anak yang
mendapatkan kemoterapi
Variabel perancu :
- Usia
- Jenis kelamin
- Jenis kemoterapi
- Riwayat nausea sebelumnya
- Siklus kemoterapi
Gambar 2.3.
Kerangka Konsep
= diteliti
= tidak diteliti
H.
Variabel Penelitian
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan variabel terikat (Setiadi, 2013). Variabel bebas
pada penelitian ini adalah intervensi terapi bermain mewarnai dan
pemberian antiemetik ondansentron pada anak yang mendapatkan
kemoterapi.
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas
(Setiadi, 2013). Variabel terikat pada penelitian ini adalah status nausea
pada anak selama kemoterapi.
I.
Hipotesis
Hipotesis penelitian merupakan kesimpulan teoritis yang masih harus
dibuktikan kebenarannya melalui analisis bukti-bukti empiris untuk
menentukan apakah hipotesis tersebut ditolak atau diterima (Setiadi, 2013).
Hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu: Ada pengaruh
terapi bermain mewarnai terhadap status nausea pada anak yang
mendapatkan kemoterapi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Penelitian
yang
dilakukan
merupakan
penelitian
kuantitatif
yang
menggunakan desain eksperimen semu (quasy experiment) dan dilakukan secara
post test only control group design. Menurut Nursalam (2013), rancangan
penelitian eksperimen semu berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab
akibat dengan melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental
dengan pemilihan kelompok tidak menggunakan teknik acak. Menurut Nasir,
Muhith, & Ideputri (2011), dalam post test only control group design, terdapat dua
kelompok yang dipilih sebagai objek penelitian. Kelompok pertama mendapat
perlakuan sedangkan kelompok kedua berfungsi sebagai kelompok pembanding
atau pengontrol. Akan tetapi, kedua kelompok tidak dilakukan secara acak.
Penelitian dilakukan selama kemoterapi. Pada kelompok intervensi,
diberikan perlakuan berupa terapi bermain mewarnai selama tindakan kemoterapi.
Setelah tindakan kemoterapi, dilakukan pengamatan status nausea baik pada
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Prosedur dilakukan pada anak usia
pra sekolah selama mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
B.
Populasi dan Sampel Penelitian
1.
Populasi
Populasi dalam penelitian adalah sejumlah besar subjek yang
memenuhi karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam
penelitian yang dilakukan adalah anak usia prasekolah dengan diagnosa
kanker yang sedang mendapatkan kemoterapi di ruang Cendrawasih Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
2.
Sampel
Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses
11
menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam,
2013). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nonprobability sampling dengan consecutive sampling. Menurut Nursalam
(2013), teknik consecutive sampling merupakan pemilihan sampel dengan
menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam
penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah klien yang
diperlukan terpenuhi.
Besar sampel pada rerata dua populasi independen dapat diperkirakan
menggunakan rumus menurut Sastroasmoro (2011), sebagai berikut :
n1 = n2 = 2 (Zα + Zβ)² s²
(X1 – X2)²
n1 = n2 = Besar sampel
s
= Simpang baku kedua kelompok
Zα
= Kesalahan tipe I, dengan derajat kemaknaan 10% (1,96)
Zβ
= Kesalahan tipe II, dengan kekuatan 80% (0,84)
X1 – X2 = Perbedaan klinis yang diinginkan
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarif, Nurachmah,
& Gayatri (2011), mengenai terapi akupresur dapat menurunkan keluhan
mual muntah akut akibat kemoterapi pada pasien kanker (n1 = n2 = 22),
diperoleh simpangan baku sebesar 2,009, rerata mual muntah pada kelompok
intervensi sebesar 3,55 dan rerata kelompok kontrol sebesar 5,68. Hasil
analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna rerata mual muntah
akut terhadap kelompok yang dilakukan akupresur dengan yang tidak
dilakukan (p=0,000; α=0,05). Berdasarkan penelitian tersebut, besar sampel
dapat ditentukan sebagai berikut :
n1 = n2 = 2 x (Zα + Zβ)² s²
(X1 – X2)²
= 2 x (1,96+0,84)2 (2,009)2
(5,68-3,55)2
= 2 x 7,84 x 4,036081
4,5369
= 13,9491172 = 14 sampel
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh jumlah sampel sebesar 14
sampel tiap kelompok. Penelitian mengantisipasi adanya drop out sebesar
10%, maka jumlah sampel ditambahkan menjadi 16 sampel untuk masingmasing kelompok.
Kriteria sampel dibedakan menjadi dua yaitu, kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi. Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti.
Sedangkan kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan
subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena beberapa alasan
(Nursalam, 2013).
Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini meliputi :
a.
Anak usia pra sekolah yang mendapatkan kemoterapi.
b.
Anak dan keluarga kooperatif dan bersedia menjadi responden
penelitian.
c.
Anak dan keluarga mampu berkomunikasi secara verbal maupun non
verbal.
d.
Anak dalam kondisi sadar.
e.
Rute pemberian agen kemoterapi melalui intra vena.
f.
Anak mendapatkan premedikasi berupa antiemetik ondansentron.
Kriteria eksklusi dari sampel penelitian ini meliputi :
a.
Anak dalam kondisi lemah dan tidak bisa melakukan aktifitas
intervensi yang diberikan peneliti.
b.
C.
Anak mengalami mual muntah antisipatori.
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada
karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek
atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang
dijadikan ukuran dalam penelitian (Nursalam, 2013). Penjelasan definisi
operasional terhadap kedua variabel dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Variabel penelitian dan definisi operasional
No.
Variabel
penelitian
Variabel
independen:
Terapi bermain
mewarnai.
Definisi
Operasional
Aktifitas
yang
dilakukan
anak
sebagai ungkapan
ekspresi, kreatifitas,
dan perasaan anak
sebagai
bentuk
intervensi
keperawatan pada
anak
melalui
coretan warna pada
media
kertas
bergambar.
2.
Variabel
dependen:
Status nausea
anak yang
mendapatkan
kemoterapi.
Penilaian rasa tidak
nyaman
pada
daerah perut yang
dialami
anak
selama
tindakan
kemoterapi
yang
disertai
perilaku
tidak selera makan
serta rasa ingin
muntah.
3.
Variabel
perancu :
a. Usia Anak
Lama hidup anak
sejak lahir sampai
dengan
saat
penelitian
dilakukan.
1.
Cara Ukur
Pada
kelompok
intervensi
diberikan alat
untuk
mewarnai
gambar
selama proses
kemoterapi
sedangkan
pada
kelompok
kontrol tidak.
Observasi
dengan Keller
Index of
Nausea (KIN)
Peneliti
mengisi data
demografi
berdasarkan
data dari
rekam medis.
Hasil Ukur
Skor
nausea
merupakan
penjumlahan skor
berdasarkan
19
tanda
atau
karakteristik yang
berkisar antara 019.
0 = Skor nausea
terendah
19 = Skor nausea
tertinggi
Interpretasi : data
dikategorikan
menjadi
dua
berdasarkan cut
off point, total
skor
dibagi
menjadi
dua
(nausea ringansedang
dan
nausea
sedangberat) berdasarkan
nilai mean (jika
data berdistribusi
normal)
atau
median (jika data
berdistribusi tidak
normal).
Usia pada rentang
3-6 tahun
Skala
ukur
Rasio
Interval
b. Jenis
Kelamin
Identitas
seksual
yang
ditentukan
sejak lahir
c. Jenis
Kemoterapi
Berbagai obat atau
agen
yang
digunakan
untuk
membunuh sel-sel
kanker.
d. Riwayat
mual akibat
kemoterapi
sebelumnya
Pengalaman
rasa
tidak nyaman pada
perut
akibat
pemberian
obat
pembunuh
sel
kanker
terdahulu
sejak
pertama
dilakukan
pengobatan
Serangkaian
tindakan
dengan
pemberian
obat
pembunuh
sel
kanker yang tidak
terputus
sampai
dosis
yang
diresepkan habis.
e. Siklus
kemoterapi
Peneliti
mengisi data
demografi
berdasarkan
data dari
observasi dan
rekam medis.
Peneliti
mengisi data
demografi
berdasarkan
data dari
rekam medis.
Peneliti
mengisi data
demografi
berdasarkan
hasil
wawancara
dengan orang
tua responden.
Peneliti
mengisi data
demografi
berdasarkan
data dari
rekam medis.
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
Dikategorikan
dalam :
1. Tingkat
emetogenik
minimal.
2. Tingkat
emetogenik
rendah.
3. Tingkat
emetogenik
moderate.
4. Tingkat
emetogenik
tinggi.
1. Ada
2. Tidak Ada
Ordinal
Nilai
frekuensi
Interval
dalam
Nominal
D.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Ruang Cendrawasih (ruang kemoterapi) Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit pusat rujukan
yang memiliki penanganan kanker kemoterapi, sehingga terdapat pasien yang
mencukupi sebagai sampel penelitian.
E.
Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2015 sampai dengan
Maret 2016 yang terdiri dari tiga tahap yaitu, penyusunan proposal, pengumpulan
data, dan pelaporan hasil penelitian.
F.
Etika Penelitian
Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam
penelitian. Hal ini dikarenakan keperawatan merupakan cabang ilmu yang
berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi etika penelitian harus
diperhatikan. Menurut Hidayat (2009), masalah etika yang harus diperhatikan oleh
seorang peneliti meliputi :
1.
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
reponden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
consent diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar
persetujuan kepada responden. Tujuan informed consent adalah supaya
subjek mengerti maksud, tujuan serta dampak penelitian. Setelah peneliti
memberikan informasi terkait maksud dan tujuan dilakukan penelitian,
seluruh responden dan orang tua bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian
dan orang tua menandatangani lembar persetujuan penelitian.
2.
Anonimity
merupakan
masalah
yang
memberikan
jaminan
dalam
penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
disajikan.
3.
Confidentially merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset.
G.
Alat Pengumpul Data
1.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan
observasi. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi terkait
karakteristik responden yang diteliti tercantum pada lampiran 1.
Menurut Nasir, Muhith, & Ideputri (2011), observasi merupakan suatu
kegiatan pengamatan secara langsung. Pedoman observasi berisi sebuah
daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Menurut Keller
& Keck (2006), alat ukur nausea yang dapat digunakan pada anak muda
adalah Keller Index of Nausea (KIN).
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan dalam mengobservasi
status nausea pada anak yang mendapatkan kemoterapi adalah Keller Index
of Nausea (KIN). Instrumen tersebut telah diuji validitas dan reliabilitas, dan
telah dipatenkan oleh Keller & Keck (2006). Menurut Keller & Keck (2006),
ada 19 indikator nausea yang diobservasi. Indikator tersebut meliputi tiga
area yang dapat diobservasi yaitu, perubahan afek dan perilaku, distres, dan
perubahan fisiologis. Jika indikator nausea muncul pada anak, maka
diberikan skor 1, sedangkan jika tanda dan karakteristik nausea tidak muncul
pada anak, maka diberikan skor 0, sehingga jumlah keseluruhan skor nausea
berdasarkan hasil pengamatan berkisar antara 0-19 dengan skor terendah 0
dan skor tertinggi adalah 19. Instrumen tersebut tercantum pada lembar
lampiran 1.
2.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Sebuah instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut mampu
mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai situasi dan kondisi tertentu.
Sedangkan reliabilitas instrumen merupakan adanya suatu kesamaan hasil
apabila pengukuran dilakukan oleh orang maupun pada waktu yang berbeda
(Setiadi, 2013).
Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) telah diuji validitas dan
reliabilitas, dan telah dipatenkan oleh Keller & Keck (2006). Peneliti
menerjemahkan kembali instrumen tersebut mengingat instrumen berbahasa
inggris. Instrumen Keller Index of Nausea (KIN) telah diuji pada populasi
anak usia 1-5 tahun dengan hasil interrater reliability dengan total
persentase agreement pada seluruh indikator Keller Index of Nausea (KIN)
sebesar 96% (Keller & Keck, 2006).
H.
Prosedur Pengumpulan Data
1.
Jenis Data
a.
Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan dan diolah
oleh suatu organisasi atau perorangan langsung dari objeknya
(Sunyoto, 2013). Data primer yang digunakan dalam penelitian
ini berupa data hasil pengamatan peneliti berupa status nausea
pada anak setelah mendapatkan kemoterapi.
b.
Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dalam
bentuk jadi atau berasal dari pihak lain (Sunyoto, 2013). Data
sekunder dalam penelitian ini berupa data karakteristik pasien
yang mendapatkan kemoterapi serta pemberian premedikasi
antiemetik sebelum dilakukan kemoterapi yang diperoleh dari
rekam medik pasien yang mendapatkan kemoterapi.
2.
Cara Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap sebagai berikut
:
a.
Persiapan
Pada tahap persiapan, peneliti mengurus surat ijin penelitian di
Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang yang kemudian
dilanjutkan ke bagian pendidikan dan penelitian Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Kariadi Semarang untuk memperoleh ijin penelitian. Setelah
itu, peneliti menyampaikan surat ijin penelitian tersebut kepada kepala
ruang Cendrawasih (ruang kemoterapi) Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Kariadi Semarang.
b.
Pelaksanaan
1)
Peneliti melakukan pengambilan sampel sesuai dengan kriteria
inklusi.
2)
Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan penelitian
kepada anak dan orang tua.
3)
Peneliti memberikan informasi terkait penelitian dan meminta
persetujuan kepada anak dan orang tua untuk terlibat sebagai
responden.
4)
Peneliti mempersilakan orang tua untuk mengisi lembar
persetujuan bagi responden yang bersedia berpartisipasi dalam
penelitian.
5)
Peneliti melakukan pengambilan data dengan mengisi data
karakteristik responden dan memastikan pemberian antiemetik
ondansentron sebagai premedikasi melalui data rekam medis
pasien.
6)
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tujuan,
waktu, dan prosedur penelitian kepada responden dan orang tua.
7)
Pada kelompok intervensi, peneliti melakukan terapi bermain
mewarnai setelah 1 jam obat kemoterapi dimasukkan (Menurut
Susanti & Tarigan (2012), mual dan muntah yang terjadi pada
penderita yang mendapat sitostatika umumnya terjadi 1-2 jam
setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung selama 24
jam) dengan memberikan kertas bergambar (gambar serupa
pada seluruh responden yaitu, gambar binatang) dan alat tulis
warna (pensil warna) pada masing-masing responden. Setelah
itu, terapi bermain mewarnai dilakukan selama 30 menit dengan
frekuensi sesuai dengan keinginan anak. Setelah proses
kemoterapi selesai, peneliti melakukan observasi status nausea.
Penelitian pada kelompok intervensi dilakukan sampai sampel
yang diharapkan terpenuhi.
8)
Pada kelompok kontrol, peneliti melakukan observasi status
nausea setelah tindakan kemoterapi selesai. Setelah penelitian
selesai, peneliti memberikan informasi kepada responden terkait
terapi bermain mewarnai yang dapat dilakukan pada siklus
kemoterapi berikutnya. Penelitian pada kelompok kontrol
dilakukan setelah sampel pada kelompok intervensi terpenuhi.
9)
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada anak dan orang tua
yang berpatisipasi dalam penelitian.
I.
Analisis Data
1.
Pengolahan data
Menurut Notoatmodjo (2010), proses pengolahan data melalui
beberapa tahap yang meliputi :
a.
Editing
Editing merupakan proses memeriksa kelengkapan data
yang
meliputi
identitas
responden,
kelengkapan
lembar
observasi, dan pengisian formulir observasi. Setelah selesai
melakukan penelitian, peneliti melakukan pemeriksaan kembali
terkait identitas responden, kelengkapan lembar observasi, dan
pengisian formulir observasi, sehingga kelengkapan data
penelitian terpenuhi.
b.
Coding
Coding merupakan proses mengubah data yang berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan untuk
mempermudah pembacaan dan pengolahan data. Pada penelitian
ini, peneliti melakukan proses coding terkait jenis kelamin
(1=laki-laki,
2=perempuan),
jenis
kemoterapi
(1=tingkat
emetogenik minimal, 2=tingkat emetogenik rendah, 3=tingkat
emetogenik moderate, 4=tingkat emetogenik tinggi), dan
riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya (1=ada, 2=tidak
ada).
c.
Entry Data
Entry data merupakan proses dimana data yang sudah
diberi kode kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara
menghitung frekuensi data. Proses entry data dapat dilakukan
secara manual atau melalui pengolahan komputer dengan
software SPSS (Statistical Program for Social Science). Pada
penelitian ini, proses pengolahan data dilakukan dengan SPSS
16.
d.
Cleaning
Cleaning merupakan proses memeriksa kembali data yang
telah dimasukkan apakah sudah benar atau belum. Kesalahan
mungkin terjadi pada saat memasukkan data ke komputer yang
kemudian dilakukan perbaikan atau koreksi. Peneliti selalu
memeriksa data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
yang dimasukkan sudah benar sehingga tidak diperoleh
kesalahan data.
2.
Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis sebagai bahan
pertimbangan
pengambilan
keputusan.
Adapun
analisis
yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis univariat dan analisis
bivariat.
a.
Analisis Univariat
Analisis univariat ini digunakan untuk menjelaskan
karakteristik
setiap
variabel
penelitian.
Analisis
ini
menunjukkan presentase atau proporsi dari tiap variabel
(Notoatmodjo,
2010).
karakteristik responden
Pada
penelitian
ini,
gambaran
yang meliputi, usia dan siklus
kemoterapi disajikan dalam bentuk tabel tendensi sentral,
sedangkan karakteristik berdasarkan jenis kelamin, jenis kanker,
jenis kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi
sebelumnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Skor nausea disajikan dalam bentuk tabel tendensi sentral.
b.
Analisis Bivariat
Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan uji beda 2 mean independent (independent t test).
Menurut Sunyoto (2013), uji tersebut digunakan untuk menguji
perbedaan rata-rata pada dua sampel independent untuk data
berdistribusi normal. Pada penelitian ini, untuk menguji
perbedaan kelompok data intervensi yaitu rerata skor nausea
pada kelompok data yang diberikan perlakuan terapi bermain
mewarnai selama kemoterapi dengan kelompok data kontrol
yaitu rata-rata skor nausea pada kelompok data yang tidak
diberikan
perlakuan
terapi
bermain
mewarnai
selama
kemoterapi digunakan uji independent t test jika data
berdistribusi normal dan menggunakan uji mann-Whitney jika
data tidak berdistribusi normal dengan uji normalitas ShapiroWilk (jumlah sampel kurang dari 50). Jika p value > 0,05, maka
Ho diterima yang bermakna tidak ada pengaruh setelah
diberikan intervensi, sedangkan jika p value < 0,05, maka Ho
ditolak yang berarti ada pengaruh setelah diberikan intervensi
(Dahlan, 2009). Analisis bivariat tersebut dapat dilihat pada
tabel 3.2.
Uji beda dua sampel yang tidak saling berhubungan
menggunakan uji independent t test jika data berdistribusi
normal, dan menggunakan uji Mann-Whitney jika data tidak
berdistribusi
normal.
Uji
beda
beberapa
sampel
tidak
berhubungan menggunakan uji Anova jika data berdistribusi
normal, dan jika data tidak berdistribusi normal menggunakan
uji Kruskal Wallis (Sujarweni, 2014). Uji beda status nausea
berdasarkan karakteristik jenis kelamin dan riwayat nausea
akibat kemoterapi sebelumnya menggunakan uji independent t
test (data berdistribusi normal) atau uji Mann-Whitney (data
tidak berdistribusi normal), sedangkan uji beda status nausea
berdasarkan
karakteristik
jenis
kemoterapi
dan
siklus
kemoterapi menggunakan uji Anova (data berdistribusi normal)
dan uji Kruskal Wallis (data tidak berdistribusi normal). Analisis
bivariat tersebut disajikan pada tabel 3.3.
Tabel 3.2.
Analisis data bivariat skor nausea
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Kelompok
Data
Rerata
nausea
kelompok
diberikan
bermain
mewarnai
status
pada
yang
terapi
Kelompok
Data
Rerata status
nausea pada
kelompok yang
tidak diberikan
terapi bermain
mewarnai
Uji Normalitas
Distribusi Data
Distribusi
normal
data
Distribusi
data
tidak normal
Uji Statistik
Independent
test
t
Mann-Whitney
Tabel 3.3.
Analisis data bivariat skor nausea berdasarkan karakteristik jenis
kelamin, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea
pada kelompok intervensi
Kelompok Data
Uji Normalitas
Distribusi Data
Distribusi
normal
1. Jenis kelamin
2. Riwayat kemoterapi
3. Jenis kemoterapi
4. Siklus kemoterapi
data
Distribusi data
tidak normal
Distribusi
data
Uji Statistik
Independent t test
Mann-Whitney
One way Anova
normal
Distribusi data
tidak normal
Kruskal Wallis
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum Penelitian
RSUP Dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit pusat rujukan
yang memiliki ruang khusus kemoterapi bernama Cendrawasih. Ruang
kemoterapi tersebut memiliki 1 kamar khusus untuk pasien anak dengan
kapasitas 4 tempat tidur. Penelitian ini dilakukan di ruang kemoterapi
Cendrawasih sejak bulan Januari-Februari 2016 dengan jumlah responden
sebanyak 16 responden sebagai kelompok intervensi dan 16 responden
sebagai kelompok kontrol.
B.
Hasil Penelitian
Pada hasil penelitian ini, peneliti menguraikan penelitian terkait
pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang
mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi berdasarkan analisis univariat dan
analisis bivariat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
Mann-Whitney dan uji Kruskal Wallis.
1.
Analisis Univariat
a.
Karakteristik Responden
1) Usia
Hasil penelitian terkait karakteristik responden anak
berdasarkan usia di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
Semarang dapat dilihat pada tabel 4.1.
11
Tabel 4.1.
Distribusi responden berdasarkan usia anak yang
mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang
bulan Januari-Februari 2016 (n=32)
Frekuensi (n)
4,00
Standar
deviasi
1,238
16
Minimalmaksimal
3-6
3,50
1,211
16
3-6
Usia
Median
Kelompok
intervensi
Kelompok
kontrol
Berdasarkan tabel 4.1 distribusi usia pada kelompok
intervensi maupun kontrol menunjukkan usia terendah adalah
3 tahun dan usia tertinggi adalah 6 tahun. Rerata usia
responden pada kelompok intervensi adalah 4,00 dengan
standar deviasi sebesar 1,238, sedangkan rerata usia pada
kelompok kontrol adalah 3,50 dengan standar deviasi sebesar
1,211.
2) Siklus Kemoterapi
Distribusi responden anak berdasarkan siklus kemoterapi
di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat
dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Distribusi responden berdasarkan siklus kemoterapi anak
yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang bulan Januari-Februari 2016 (n=32)
Siklus
kemoterapi
Kelompok
intervensi
Kelompok
kontrol
Median
Standar
deviasi
Frekuensi
(n)
Minimalmaksimal
4,00
3,167
16
1-10
2,00
2,277
16
1-8
Tabel 4.2. menyebutkan bahwa rerata siklus kemoterapi
pada kelompok intervensi adalah 4,00 dengan standar deviasi
sebesar 3,16. Sedangkan rerata siklus kemoterapi pada
kelompok kontrol adalah 2,00 dengan standar deviasi sebesar
2,277. Siklus kemoterapi terendah pada kelompok intervensi
maupun kontrol adalah siklus ke-1. Siklus yang tertinggi
adalah siklus ke-10 pada kelompok intervensi dan siklus ke-8
pada kelompok kontrol.
3) Jenis Kelamin, Jenis Kanker, Jenis Kemoterapi, dan
Riwayat Nausea Sebelumnya
Distribusi responden anak berdasarkan jenis kelamin,
jenis kemoterapi, dan riwayat nausea sebelumnya di Ruang
Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang
dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3.
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, jenis
kanker, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea
sebelumnya anak yang mendapatkan
kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang bulan JanuariFebruari 2016 (n=32)
No.
1.
2.
3.
4.
Variabel
Jenis Kelamin :
Laki-Laki
Perempuan
Jenis kanker :
Adenocarsinoma
ALL
Born Cell Tumor
Neuroblastoma
Retinoblastoma
Tumor Wilms
Jenis Kemoterapi :
Emetogenik minimal
Emetogenik ringan
Emetogenik moderat
Emetogenik tinggi
Riwayat nausea :
Ada riwayat nausea
Tidak ada riwayat
nausea
Kelompok intervensi
Frekuensi Presentase
(n)
(%)
Kelompok kontrol
Frekuensi Presentase
(n)
(%)
Total
7
9
43,8
56,2
8
8
50
50
15 (46,9%)
17 (53,1%)
1
7
0
1
4
3
6,2
43,8
0
6,2
25
18,8
0
7
1
3
5
0
0
43,8
6,2
18,8
31,2
0
1 (3,1%)
14 (43,8%)
1 (3,1%)
4 (12,5%)
9 (28,1%)
3 (9,4%)
7
3
5
1
43,8
18,8
31,2
6,2
7
2
5
2
43,8
12,5
31,2
12,5
14 (43,8%)
5 (15,6%)
10 (31,2%)
3 (9,4%)
15
1
93,8
6,2
14
2
87,5
12,5
29 (90,6%)
3 (9,4%)
Berdasarkan tabel 4.3. tersebut menunjukkan bahwa
pada kelompok intervensi, sebagian besar responden berjenis
kelamin perempuan (56,2%). Sedangkan pada kelompok
kontrol, jumlah responden berjenis kelamin perempuan
maupun laki-laki memiliki presentase yang sama (50%).
Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) merupakan jenis kanker
terbanyak yang ditemukan pada kelompok intervensi (43,8%)
maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kanker tertinggi
kedua adalah retinoblastoma pada kelompok intervensi (25%)
maupun kelompok kontrol (31,2%). Sebagian besar responden
mendapatkan agen kemoterapi jenis emetogenik minimal baik
pada kelompok intervensi (43,8%) maupun kelompok kontrol
(43,8%). Sebagian besar responden memiliki riwayat nausea
akibat kemoterapi sebelumnya baik pada kelompok intervensi
(93,8%) maupun kelompok kontrol (87,5%).
b. Status Nausea pada Kelompok Intervensi
Status nausea pada kelompok yang diberikan terapi bermain
mewarnai di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Rerata skor nausea kelompok intervensi
di RSUP Dr. Kariadi Semarang Bulan
Januari-Februari 2016 (n=16)
Variabel
Median
Standar
deviasi
Minimalmaksimal
Standar eror
mean
Skor
nausea
2,00
0,629
2-4
0,157
Berdasarkan tabel 4.4. di atas, diperoleh data rerata skor
nausea pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai
adalah 2,00 dengan standar deviasi sebesar 0,629 dan standar eror
mean sebesar 0,157. Skor nausea terendah adalah 2 sedangkan skor
tertinggi adalah 4.
Tabel 4.5.
Interpretasi skor nausea kelompok intervensi
di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan
Januari-Februari 2016 (n=16)
Kategori nausea
Nausea ringan-sedang
Nausea sedang-berat
Frekuensi
(n)
10
6
Presentase
(%)
67,5
32,5
Berdasarkan tabel 4.5. di atas, setelah data dikategorikan
sesuai cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringansedang dan nausea sedang-berat) berdasarkan nilai median (2,00)
dikarenakan data tidak berdistribusi normal, peneliti menyimpulkan
bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok
intervensi termasuk kategori nausea ringan-sedang (67,5%).
c.
Status Nausea pada Kelompok Kontrol
Status nausea pada kelompok yang tidak diberikan terapi
bermain mewarnai (kelompok kontrol) di Ruang Kemoterapi
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada
tabel 4.6.
Tabel 4.6.
Rerata skor nausea kelompok kontrol di RSUP Dr. Kariadi
Semarang bulan Januari-Februari
2016 (n=16)
Variabel
Median
Standar
deviasi
Minimalmaksimal
Standar eror
mean
Skor
nausea
4,00
1,928
2-9
0,482
Berdasarkan tabel 4.6. tersebut, diperoleh data rerata skor
nausea pada kelompok kontrol adalah 4,00 dengan standar deviasi
sebesar 1,928 dan standar eror mean sebesar 0,482. Skor nausea
terendah adalah 2 sedangkan skor tertinggi adalah 9.
Tabel 4.7.
Interpretasi skor nausea kelompok kontrol
di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan
Januari-Februari 2016 (n=16)
Frekuensi
(n)
12
4
Kategori nausea
Nausea ringan-sedang
Nausea sedang-berat
Presentase
(%)
75
25
Berdasarkan tabel 4.7. di atas, setelah data dikategorikan
sesuai cut off point, total skor dibagi menjadi dua (nausea ringansedang dan nausea sedang-berat) berdasarkan nilai median (4,00)
dikarenakan data tidak berdistribusi normal, peneliti menyimpulkan
bahwa skor nausea sebagian besar responden pada kelompok
kontrol termasuk kategori nausea ringan-sedang (75%).
2.
Analisis Bivariat
Sebelum melakukan analisis bivariat, asumsi normalitas data
harus dipenuhi untuk menentukan uji statistik sebelumnya. Uji
normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Saphiro-Wilk
pada variabel berskala numerik yaitu skor nausea. Berdasarkan uji
normalitas Shapiro-Wilk, variabel skor nausea tidak berdistribusi
normal dengan hasil p value sebesar 0,00 (p value < 0,05).
a.
Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol
Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Ruang Kemoterapi Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Kariadi Semarang dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8.
Perbedaan status nausea pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di RSUP Dr. Kariadi Semarang
bulan Januari-Februari 2016 (n=32)
Skor nausea
Kelompok
intervensi
Kelompok kontrol
Median
Standar deviasi
2,00
0,629
4,00
1,928
p value
0,01
Berdasarkan tabel 4.8. tersebut, diperoleh data rerata skor
nausea pada kelompok intervensi sebesar 2,00 dengan standar
deviasi sebesar 0,629. Sedangkan rerata skor nausea pada
kelompok kontrol sebesar 4,00 dengan standar deviasi sebesar
1,928, maka terlihat perbedaan rerata skor nausea antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2,00 (p value =
0,01).
Tabel 4.8. menunjukkan analisis data dengan menggunakan
uji Mann-Whitney didapatkan hasil bahwa p value = 0,01 dengan
taraf signifikansi (α) sebesar 0,05 maka p<α. Hasil tersebut
memiliki arti bahwa Ho ditolak, dimana ada perbedaan yang
signifikan antara status nausea kelompok yang diberikan terapi
bermain mewarnai selama kemoterapi dan kelompok yang tidak
diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
b. Perbedaan Status Nausea Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis
Kemoterapi, Siklus Kemoterapi, dan Riwayat Nausea
Perbedaan rerata skor nausea berdasarkan jenis kelamin,
jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat
kemoterapi sebelumnya sebagai faktor perancu tersaji pada tabel
4.9.
Tabel 4.9.
Perbedaan status nausea berdasarkan jenis kelamin, jenis
kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada
kelompok intervensi pada anak yang mendapatkan
kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi
bulan Januari-Februari 2016
(n=32)
No.
1.
2.
4.
5.
Variabel
Jenis Kelamin :
Laki-Laki
Perempuan
Jenis Kemoterapi :
Emetogenik minimal
Emetogenik ringan
Emetogenik moderat
Emetogenik tinggi
Siklus Kemoterapi :
1
2
4
6
8
9
10
Riwayat nausea :
Ada riwayat nausea
Tidak ada riwayat
nausea
Frekuensi
(N)
Rerata
Standar
deviasi
7
9
2,00
2,56
0,488
0,726
0,457
7
3
5
1
2,14
2,00
3,00
3,00
0,378
0,000
0,707
0,629
0,039
6
1
2
4
1
1
1
2,50
2,00
2,50
2,75
2,00
2,00
2,00
0,548
0,809
15
1
2,47
2,00
0,640
p value
0,707
0,957
0,446
Berdasarkan tabel 4.9. di atas, rerata skor nausea pada
reponden dengan jenis kelamin laki-laki adalah 2,00 dengan
standar deviasi sebesar 0,488. Sedangkan rerata skor nausea
pada responden berjenis kelamin perempuan adalah 2,56 dengan
standar deviasi 0,726. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rerata
skor nausea pada responden berjenis kelamin perempuan lebih
tinggi daripada responden berjenis kelamin laki-laki. Namun,
berdasarkan hasil analisis selanjutnya menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna antara rerata skor nausea pada
responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan
(p>0,05).
Rerata skor nausea pada responden yang mendapatkan
jenis kemoterapi emetogenik minimal sebesar 2,17 dengan
standar deviasi 0,378, responden yang mendapatkan jenis
kemoterapi emetogenik rendah sebesar 2,00 dengan standar
deviasi 0,00, responden yang mendapatkan jenis kemoterapi
emetogenik moderat sebesar 3,00 dengan standar deviasi 0,707,
responden yang mendapatkan kemoterapi jenis emetogenik
tinggi sebesar 3,00 dengan standar deviasi 0,629. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan kemoterapi
dengan jenis moderat dan tinggi memiliki skor nausea lebih
tinggi daripada jenis emetogenik minimal dan rendah. Analisis
lebih lanjut juga menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara skor nausea pada responden dengan jenis
kemoterapi emetogenik minimal, rendah, moderat, maupun
tinggi (p<0,05).
Karakteristik siklus kemoterapi menunjukkan hasil bahwa
pada responden dengan siklus kemoterapi ke-1 memiliki rerata
skor nausea sebesar 2,50 dengan standar deviasi 0,548,
responden dengan siklus kemoterapi ke-2 memiliki rerata skor
nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-4
memiliki rerata skor nausea sebesar 2,50 dengan standar deviasi
0,707, responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki rerata
skor nausea sebesar 2,75 dengan standar deviasi 0,957,
responden dengan siklus kemoterapi ke-8 memiliki rerata skor
nausea sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-9
memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan
siklus kemoterapi ke-10 memiliki rerata skor nausea sebesar
2,00. Berdasarkan hasil tersebut, responden dengan siklus
kemoterapi ke-6 memiliki skor nausea tertinggi yang kemudian
responden dengan siklus ke-1 dan ke-4 dan yang terendah
adalah responden dengan siklus ke-2, ke-8, ke-9, dan ke-10.
Namun, hasil analisis lebih lanjut menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan skor nausea antara responden dengan
siklus kemoterapi ke-1, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-9, dan ke-10
(p>0,05).
Data riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya
menunjukkan bahwa rerata skor nausea pada responden yang
memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya adalah
2,47 dengan standar deviasi sebesar 0,640. Sedangkan pada
responden
yang
tidak
memiliki
riwayat
nausea
akibat
kemoterapi sebelumnya memiliki rerata skor nausea sebesar
2,00. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa rerata skor
nausea pada responden yang memiliki riwayat nausea akibat
kemoterapi sebelumnya lebih tinggi daripada yang tidak. Akan
tetapi, hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna skor nausea antara responden yang
memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya dengan
responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebelumnya
(p>0,05).
C.
Pembahasan
Pembahasan mencakup tentang pembahasan hasil penelitian dan
membandingkan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya serta teoriteori yang mendukung hasil penelitian. Peneliti membahas mengenai
karakteristik responden (usia, jenis kelamin, jenis kemoterapi, riwayat
nausea, dan siklus kemoterapi) di ruang kemoterapi anak Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Bagian berikutnya, peneliti membahas
status nausea anak pada kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai
selama kemoterapi dan status nausea anak pada kelompok yang tidak
diberikan terapi bermain selama kemoterapi. Selanjutnya, peneliti
membahas hasil analisis uji beda rerata status nausea antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol serta membahas hasil uji beda status
nausea berdasarkan karakteristik anak pada kelompok intervensi serta uji
beda status nausea berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jenis
kemoterapi, siklus kemoterapi, dan riwayat nausea pada kelompok
intervensi. Peneliti juga membahas terkait dengan keterbatasan penelitian,
implikasi, serta tindak lanjut hasil penelitian yang dapat diterapkan pada
praktek keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan
anak
terutama
dalam
mengatasi
nausea
anak
yang
mendapatkan kemoterapi.
1.
Analisis Univariat
a.
Karakteristik Responden
1) Usia
Hasil penelitian ini memperoleh data usia responden
tertinggi adalah 6 tahun sedangkan usia terendah adalah 3
tahun baik pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol. Rerata usia responden pada kelompok intervensi
adalah 4,00, sedangkan kelompok kontrol adalah 3,50. Hal
tersebut dikarenakan peneliti telah menetapkan kriteria inklusi
dalam pengambilan sampel yaitu anak usia prasekolah.
Menurut Hockenberry & Wilson (2011), usia anak prasekolah
berkisar antara 3-6 tahun.
Kelompok usia prasekolah merupakan bagian dari
kelompok usia dengan puncak insiden terjadinya keganasan
pada anak. Kasus keganasan yang tinggi pada anak usia
prasekolah dapat dikaitkan dengan kelompok anak yang
mendapatkan
kemoterapi
sebagai
salah
satu
metode
pengobatan penyakit kanker. Menurut Hockenberry & Wilson
(2011), di Amerika, kasus insiden tertinggi anak yang telah
terdiagnosa keganasan terjadi pada usia kurang dari 20 tahun
dengan angka kematian yang tinggi pada anak usia di bawah
15 tahun akibat keganasan tersebut. Meadow & Newell (2005),
menyebutkan bahwa keganasan paling sering terjadi pada anak
adalah Leukemia Limfoblastik Akut. Puncak insiden terjadi
pada usia 2-5 tahun. Menurut Behrman, Kliegman, & Arvin
(2012), Leukemia Limfoblastik Akut terjadi sekitar 75% dari
angka kejadian keseluruhan kasus keganasan pada anak
dengan insidensi tertinggi pada usia 4 tahun.
2) Siklus Kemoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata siklus
kemoterapi pada kelompok intervensi adalah 4,00, sedangkan
rerata siklus kemoterapi pada kelompok kontrol adalah 2,00.
Siklus kemoterapi terendah pada kelompok intervensi maupun
kontrol adalah siklus ke-1. Siklus yang tertinggi adalah siklus
ke-10 pada kelompok intervensi dan siklus ke-8 pada
kelompok kontrol. Hasil tersebut serupa dengan penelitian
sebelumnya yaitu penelitian Rukayah (2013), memperoleh data
bahwa siklus kemoterapi ke-1 merupakan siklus kemoterapi
terendah baik pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol.
3) Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden
pada
kelompok
intervensi
berjenis
kelamin
perempuan (56,2%). Responden pada kelompok kontrol baik
laki-laki maupun perempuan memiliki presentase yang sama
(50%). Hasil rerata keseluruhan responden dengan jenis
kelamin perempuan lebih tinggi (53,1%). Hal tersebut
berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Hayati
(2007), menyebutkan bahwa rerata keseluruhan responden
berjenis kelamin laki-laki. Hal ini kemungkinan dikarenakan
tempat penelitian yang berbeda. Selain itu, kanker dapat
menyerang siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.
Kasus keganasan anak terutama Leukemia Limfoblastik
Akut lebih sering muncul pada anak laki-laki (Meadow &
Newell, 2005). Insiden kanker pada anak lebih tinggi pada
anak berjenis kelamin laki-laki daripada anak perempuan
dengan perbandingan 1,2 : 1 (Hockenberry & Wilson, 2011).
Meskipun demikian, belum diketahui alasan terkait angka
kejadian kasus kanker yang lebih tinggi pada anak laki-laki
sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai insidensi
kanker pada anak, khususnya terkait hubungan dengan
karakteristik individu. Menurut
Hockenberry & Wilson
(2011), informasi terkait meningkatnya angka kejadian kanker
pada anak relatif sedikit. Namun, diduga terdapat beberapa
faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker pada anak
yaitu, paparan zat kimia dan radiasi, kondisi genetik, obat-obat
karsinogenik, perubahan imunitas, dan kelainan kongenital.
4) Jenis Kanker
Data hasil penelitian menunjukkan ALL merupakan jenis
kanker terbanyak yang ditemukan pada kelompok intervensi
(43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kanker
tertinggi
kedua
adalah
retinoblastoma
pada
kelompok
intervensi (25%) maupun kelompok kontrol (31,2%). ALL
merupakan
jenis
kanker
tertinggi
untuk
keseluruhan
responden, sedangkan retinoblastoma menjadi peringkat kedua
tertinggi berikutnya. Menurut Behrman, Kliegman, & Arvin
(2012), leukemia merupakan jenis kanker anak dengan angka
kejadian tertinggi yang berkisar 33% dari seluruh kasus
keganasan. Leukemia Limfoblastik Akut mencakup sekitar
75% dari semua kasus. Menurut Meadow & Newell (2005),
Leukemia Limfoblastik Akut terjadi pada 85% kasus. Puncak
insiden terjadi pada usia 2-5 tahun.
Menurut
Hockenberry & Wilson (2011), kasus
Leukemia Limfoblastik Akut terjadi pada anak usia 2-5 tahun,
sedangkan retinoblastoma di Amerika terjadi pada usia di
bawah 3 tahun. Setelah Leukemia Limfoblastik Akut yang
merupakan jenis kanker tertinggi selanjutnya pada hasil
penelitian ini adalah retinoblastoma. Hal ini menunjukkan
bahwa retinoblastoma juga ditemukan pada kelompok anak
usia prasekolah. Perbedaan insiden di Indonesia dengan
Amerika tersebut kemungkinan karena adanya perbedaan
lingkungan,
kemajuan
teknologi,
serta
budaya
yang
mempengaruhi.
5) Jenis Kemoterapi
Sebagian besar responden mendapatkan agen kemoterapi
jenis emetogenik minimal baik pada kelompok intervensi
(43,8%) maupun kelompok kontrol (43,8%). Jenis kemoterapi
emetogenik minimal merupakan jenis kemoterapi terbanyak
ditemukan pada keseluruhan responden yang kemudian diikuti
oleh jenis kemoterapi emetogenik moderat. Hasil tersebut
berbanding terbalik dengan penelitian Hayati (2007), yang
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
jenis
kemoterapi
emetogenik sedang (moderat), sedangkan janis kemoterapi
minimal tidak ditemukan. Perbedaan tersebut dimungkinkan
karena peneliti tidak melakukan homogenitas terkait jenis
kemoterapi dalam pengambilan sampel, sehingga dapat
menjadi faktor perancu dalam hasil penelitian.
6) Riwayat Nausea Akibat Kemoterapi
Sebagian besar responden memiliki riwayat nausea
akibat kemoterapi sebelumnya baik pada kelompok intervensi
(93,8%) maupun kelompok kontrol (87,5%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden yang memiliki riwayat nausea
sebelumnya memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada
responden yang tidak memiliki riwayat nausea sebelumnya
pada keseluruhan responden. Seperti halnya pada penelitian
Hayati (2007), mendeskripsikan bahwa mayoritas responden
memiliki riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya.
b. Status Nausea Kelompok Intervensi
Hasil analisis diperoleh data rerata
skor nausea pada
kelompok yang diberikan terapi bermain mewarnai adalah 2,00.
Setelah data
dikategorikan sesuai
cut
off
point,
peneliti
menyimpulkan bahwa skor nausea sebagian besar responden pada
kelompok intervensi termasuk kategori nausea ringan-sedang
(67,5%). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hayati
(2007), menunjukkan hasil rerata skor nausea pada kelompok
intervensi adalah 1,2. Perbedaan rerata tersebut dimungkinkan
karena peneliti tidak mengendalikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi, sehingga pada
penelitian ini, rerata skor nausea pada kelompok intervensi
cenderung lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya.
Menurut Lohr (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi nausea
akibat kemoterapi meliputi, jenis kelamin, usia, riwayat nausea
akibat
kemoterapi
sebelumnya,
tingkat
emetogenik
obat
kemoterapi, serta jadwal atau siklus kemoterapi.
c.
Status Nausea Kelompok Kontrol
Hasil penelitian ini menunjukkan data rerata skor nausea
pada kelompok kontrol adalah 4,00. setelah data dikategorikan
sesuai cut off point, peneliti menyimpulkan bahwa skor nausea
sebagian besar responden pada kelompok kontrol termasuk
kategori nausea ringan-sedang (75%). Hasil tersebut berbeda
dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hayati (2007),
yang mengemukakan bahwa rerata skor nausea pada kelompok
kontrol adalah 1,1. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor
perancu yang dapat mempengaruhi status nausea akibat kemoterapi
yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti seperti jenis kelamin,
siklus kemoterapi, jenis kemoterapi, dan riwayat nausea akibat
kemoterapi sebelumnya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya
dijelaskan bahwa pada kelompok kontrol responden dapat
melakukan distraksi lain seperti menonton TV. Sedangkan pada
penelitian ini kelompok kontrol tidak melakukan distraksi lain dan
responden hanya berbaring di tempat tidur. Menurut Hockenberry
& Wilson (2011), beberapa jenis strategi teknik distraksi meliputi,
bermain, menonton TV, permainan komputer, bernyanyi, dan
mendengarkan musik dengan menggunakan radio, tape recorder,
ataupun CD player.
2.
Analisis Bivariat
a.
Perbedaan Status Nausea Berdasarkan Karakteristik Anak
pada Kelompok Intervensi
1) Jenis Kelamin
Hasil analisis pengaruh jenis kelamin terhadap skor
nausea diperoleh data responden perempuan memiliki rerata
skor nausea lebih tinggi daripada laki-laki. Rerata skor nausea
responden berjenis kelamin perempuan adalah 2,56, sedangkan
rerata skor nausea responden dengan jenis kelamin laki-laki
sebesar 2,00. Akan tetapi, uji statistik menunjukkan bahwa
tidak ada pengaruh yang signifikan rerata skor nausea antara
responden laki-laki dan perempuan. Hasil tersebut serupa
dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rukayah (2013), tentang pengaruh akupresur terhadap mual
muntah akibat kemoterapi menyebutkan bahwa responden
perempuan mengalami mual muntah akibat kemoterapi lebih
tinggi (50%) meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna skor mual muntah antara
responden laki-laki dan perempuan.
Penelitian lain yang dilakukan Syarif, Nurachmah, &
Gayatri (2011), yang melakukan penelitian pada dewasa
diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan
rerata skor mual muntah terkait dengan karakteristik jenis
kelamin, meskipun hasil skor mual muntah pada perempuan
lebih tinggi daripada laki-laki. Menurut Dewan, Singhal, &
Harit (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi nausea
akibat kemoterapi adalah jenis kelamin. Anak dengan jenis
kelamin perempuan lebih berisiko mengalami nausea akibat
kemoterapi lebih tinggi daripada laki-laki.
2) Jenis Kemoterapi
Hasil analisis pengaruh jenis kemoterapi terhadap skor
nausea menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan
kemoterapi dengan jenis moderat dan tinggi memiliki skor
nausea lebih tinggi daripada jenis emetogenik minimal dan
rendah. Rerata skor nausea responden dengan jenis kemoterapi
emetogenik
minimal
sebesar
2,17,
responden
yang
mendapatkan jenis kemoterapi emetogenik rendah sebesar
2,00,
responden
emetogenik
yang
moderat
mendapatkan
sebesar
3,00,
jenis
kemoterapi
responden
yang
mendapatkan kemoterapi jenis emetogenik tinggi sebesar 3,00.
Analisis lebih lanjut juga menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara skor nausea pada responden dengan jenis
kemoterapi emetogenik minimal, rendah, moderat, maupun
tinggi.
Hasil
penelitian
terkait
skor
nausea
berdasarkan
karakteristik jenis emetogenik ini memperkuat hasil penelitian
sebelumnya
yang
dilakukan
oleh
Rukayah
(2013),
menyimpulkan bahwa rerata mual muntah pada responden
dengan jenis kemoterapi emetogenik tinggi cenderung lebih
besar daripada jenis kemoterapi emetogenik yang lebih rendah.
Hasil analisis juga menyebutkan bahwa adanya pengaruh yang
signifikan karakteristik jenis kemoterapi terhadap rerata mual
muntah akibat kemoterapi. Menurut Lohr (2008), jenis
kemoterapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
nausea akibat kemoterapi. Semakin tinggi tingkat emetogenik
jenis kemoterapi maka risiko terjadinya mual muntah akibat
kemoterapi akan semakin tinggi.
3) Siklus Kemoterapi
Responden dengan siklus kemoterapi ke-6 memiliki skor
nausea tertinggi yang kemudian diikuti responden dengan
siklus ke-1 dan ke-4 dan yang terendah adalah responden
dengan siklus ke-2, ke-8, ke-9, dan ke-10. Rerata skor nausea
pada siklus kemoterapi ke-1 adalah 2,50, responden dengan
siklus kemoterapi ke-2 memiliki rerata skor nausea sebesar
2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-4 memiliki rerata
skor nausea sebesar 2,50, responden dengan siklus kemoterapi
ke-6 memiliki rerata skor nausea sebesar 2,75, responden
dengan siklus kemoterapi ke-8 memiliki rerata skor nausea
sebesar 2,00, responden dengan siklus kemoterapi ke-9
memiliki rerata skor nausea sebesar 2,00, responden dengan
siklus kemoterapi ke-10 memiliki rerata skor nausea sebesar
2,00. Namun, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna skor nausea antara responden
dengan siklus kemoterapi ke-1, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-9,
dan ke-10.
Hasil
penelitian
terkait
skor
nausea
berdasarkan
karakteristik jenis kemoterapi ini bertentangan dengan hasil
penelitian Rukayah (2013), yang mendeskripsikan bahwa
rerata skor mual muntah tertinggi pada siklus kemoterapi ke-1
dan terdapat pengaruh rerata skor mual muntah terhadap siklus
kemoterapi. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan tersebut
terjadi karena perbedaan kriteria kelompok usia
penelitian
sebelumnya
adalah
kelompok
usia
pada
sekolah
sedangkan penelitian ini adalah anak usia prasekolah. Menurut
Hockenberry & Wilson (2011), anak usia prasekolah memiliki
kecepatan pertumbuhan yang berbeda dengan anak usia
sekolah dan remaja. Anak usia sekolah mulai mengalami
kematangan pada sistem maupun organ seperti pada sistem
pencernaan. Sedangkan pada anak usia prasekolah kematangan
sistem maupun organ belum sempurna.
4) Riwayat Nausea Akibat Kemoterapi Sebelumnya
Hasil analisis data riwayat nausea akibat kemoterapi
sebelumnya menunjukkan bahwa rerata skor nausea pada
responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi
sebelumnya lebih tinggi daripada yang tidak. Rerata skor
nausea responden yang memiliki riwayat nausea adalah 2,47,
sedangkan pada responden yang tidak memiliki riwayat nausea
sebesar 2,00. Akan tetapi, uji statistik menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang bermakna skor nausea antara
responden yang memiliki riwayat nausea akibat kemoterapi
sebelumnya dengan responden yang tidak memiliki riwayat
nausea sebelumnya.
Pengalaman nausea sebelumnya dapat menimbulkan
stres pada anak, sehingga dapat menjadi suatu pengalaman
yang tidak nyaman bagi anak. Menurut Lohr (2008), riwayat
nausea akibat kemoterapi sebelumnya merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi status nausea. Menurut Susanti &
Tarigan (2012), kemoterapi dapat menimbulkan beberapa efek
samping. Gangguan mual dan muntah adalah efek samping
dengan frekuensi terbesar. Lebih dari 60% pasien yang
mendapatkan tindakan kemoterapi mengalami keluhan mual
dan muntah. Menurut Zanah, Widodo, & Shobirun (2013),
pengobatan kanker berupa kemoterapi menimbulkan efek
samping mual dan muntah. Efek samping tersebut akan selalu
menimbulkan stres.
b. Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Skor Nausea
Anak yang Mendapatkan Kemoterapi
Hasil analisis rerata skor nausea pada kelompok intervensi
sebesar 2,00. Sedangkan rerata skor nausea pada kelompok kontrol
sebesar 4,00, maka terlihat perbedaan rerata skor nausea antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2,00.
Setelah data dikategorikan menjadi dua berdasarkan cut off point,
total skor dibagi menjadi dua (nausea ringan-sedang dan nausea
sedang-berat) berdasarkan nilai median (data tidak berdistribusi
normal), peneliti menyimpulkan bahwa rerata status nausea pada
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol termasuk dalam
kategori nausea ringan-sedang. Uji statistik menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan antara status nausea kelompok yang
diberikan terapi bermain mewarnai selama kemoterapi dan
kelompok yang tidak diberikan terapi bermain mewarnai selama
kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker yang bersifat
sitostatik. Kemoterapi menimbulkan dampak yang kurang nyaman
bagi pasien seperti, rambut rontok, mual, muntah, dan nyeri pada
perut (Setiawan, 2015). Efek samping nausea (mual) dan muntah
akan menimbulkan stres tersendiri pada anak karena nausea (mual)
merupakan sensasi psikis yang ditimbulkan akibat rangsangan pada
organ dalam, labirin, atau emosi (Juffrie, et al., 2011). Berdasarkan
pertimbangan tersebut, peneliti mencoba memberikan intervensi
untuk mengatasi nausea akibat kemoterapi dengan melibatkan
orang tua agar tetap mendampingi anak selama kemoterapi untuk
menjaga kenyamanan serta meminimalkan stres pada anak.
Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi nausea adalah distraksi (Bulechek, Butcher, &
Dochterman, 2013). Intervensi teknik distraksi dinilai efektif
karena individu bisa lebih berkonsentrasi pada stimulasi yang
menarik atau menyenangkan daripada gejala yang tidak nyaman,
sehingga mampu mengatasi gejala fisik seperti, nyeri, cemas,
nausea (mual), dan stres akibat kemoterapi (Schneider & Hood,
2007). Rasa senang dapat menjadi suatu stimulus sensori yang
merangsang sekresi endorfin di hipofisis. Sekresi endorfin ini akan
menjadi antiemetik alami melalui kerjanya menurunkan impuls
rasa mual di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat mual
muntah di sistem saraf pusat dan medula oblongata sehingga anak
tidak mengalami keluhan mual (Syarif, Nurachmah, & Gayatri,
2011).
Salah satu manfaat bermain di rumah sakit adalah
memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir
semua bentuk permainan dapat digunakan sebagai pengalihan
(distraksi) dan rekreasi (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson,
Winkelstein, & Schwartz, 2009). Penelitian sebelumnya yang
dilakukan Kapti, Ahsan, & Istiqomah (2013), tentang pengaruh
terapi bermain mewarnai terhadap penurunan skor perilaku
maladaptif anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi
menyimpulkan bahwa terapi bermain mewarnai dapat memberikan
penurunan signifikan pada skor perilaku maladaptif anak usia
prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan terapi bermain sebagai intervensi dalam mengatasi
nausea akibat kemoterapi pada anak.
Terapi bermain yang digunakan sebagai teknik distraksi
dalam penelitian ini adalah mewarnai gambar dengan pertimbangan
kesesuaian tingkat usia maupun perkembangan responden yaitu
anak usia prasekolah serta sesuai dengan prinsip bermain di rumah
sakit. Intervensi dilakukan selama 30 menit dengan rerata frekuensi
1 kali selama kemoterapi. Melalui mewarnai gambar, dapat
menstimulasi perkembangan motorik halus dan imajinasi anak.
Menurut Suriadi & Yuliani (2006), salah satu karakteristik bermain
pada anak usia prasekolah adalah fokus pada perkembangan
ketrampilan gerakan halus, salah satu contoh permainan tersebut
adalah mewarnai.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hayati (2007), tentang pengaruh distraksi oleh
keluarga terhadap mual muntah akut akibat kemoterapi pada anak
usia prasekolah. Hayati (2007), menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan rerata skor mual muntah antara
kelompok intervensi
dan kelompok kontrol.
Hal
tersebut
dimungkinkan karena perbedaan dalam pemberian intervensi terapi
bermain mewarnai. Pada penelitian sebelumnya, intervensi berupa
menggambar dan mewarnai dilakukan setelah responden selesai
tindakan kemoterapi (post kemoterapi) dan dilakukan oleh
keluarga. Sedangkan pada penelitian ini, intervensi terapi bermain
mewarnai dilakukan selama responden mendapatkan tindakan
kemoterapi dan dilakukan sendiri oleh peneliti serta tetap
melibatkan orang tua dengan meminta orang tua untuk selalu
mendampingi anak selama intervensi.
Efek samping dari kemoterapi dapat menimbulkan stres
sehingga diperlukan terapi non farmakologis salah satunya berupa
teknik distraksi kognitif untuk mengatasi mual (nausea) sebagai
efek dari kemoterapi (Zanah, Widodo, & Shobirun, 2013).
Beberapa jenis strategi teknik distraksi meliputi, bermain,
menonton TV, permainan komputer, bernyanyi, dan mendengarkan
musik dengan menggunakan radio, tape recorder, ataupun CD
player
(Hockenberry & Wilson, 2011). Selain terapi bermain,
terapi musik juga termasuk salah satu jenis teknik distraksi yang
dapat mengatasi nausea akibat kemoterapi. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian sebelumnya terkait
jenis distraksi lain tersebut yang dilakukan Zanah, Widodo, &
Shobirun (2013), tentang pengaruh terapi musik terhadap keluhan
mual muntah pasien post kemoterapi menyebutkan bahwa ada
pengaruh terapi musik klasik terhadap keluhan mual muntah pada
pasien post kemoterapi.
Intervensi
mengatasi
keperawatan
nausea
ketenangan,
cairan/elektrolit,
diet,
meliputi,
yang
penurunan
distraksi
monitor
dapat
cairan,
dilakukan
untuk
kecemasan,
teknik
(pengalihan),
manajemen
administration
medication,
manajemen medis, manajemen nausea, monitor nutrisi, manajemen
nyeri, teknik relaksasi, dan intervensi alternatif akupresur
(Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Teknik distraksi dan
akupresur merupakan intervensi yang dapat mengatasi nausea.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini juga dapat memperkuat
penelitian sebelumnya meskipun terdapat perbedaan karakteristik
usia maupun jenis intervensi. Penelitian Hussein & Sadek (2013),
tentang pengaruh akupresur terhadap muntah akibat kemoterapi
pada anak usia sekolah yang dilakukan di Mesir menyimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan penurunan rerata skor
muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Rukayah (2013), tentang pengaruh terapi akupresur terhadap mual
muntah akibat kemoterapi pada anak usia sekolah menyebutkan
bahwa ada perbedaan yang bermakna rerata skor mual muntah
antara sebelum dan sesudah pemberian terapi akupresur. Penelitian
serupa yang lain pada responden dewasa dilakukan Syarif,
Nurachmah, & Gayatri (2011), menyebutkan ada perbedaan yang
signifikan penurunan rerata mual muntah antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Hal tersebut dapat menjadi
pertimbangan sebagai teknik mengatasi nausea akibat kemoterapi.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa
penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian sebelumnya
dengan karakteristik usia maupun jenis teknik manajemen nausea
yang berbeda yang dibuktikan dengan kesimpulan hasil penelitian
yaitu terdapat pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap status
nausea pada anak yang mendapatkan kemoterapi. Akan tetapi,
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nausea tidak dapat
dikendalikan oleh peneliti seperti, jenis kelamin, jenis kemoterapi,
siklus kemoterapi, serta riwayat nausea akibat kemoterapi
sebelumnya sehingga data tidak tergeneralisir dan dapat menjadi
faktor perancu pada hasil penelitian. Meskipun demikian, terapi
bermain mewarnai merupakan suatu intervensi yang bermanfaat
dan efektif bagi anak dalam mengatasi nausea akibat kemoterapi.
3.
Keterbatasan penelitian
a.
Penelitian ini menggunakan jumlah sampel yang sedikit. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan jumlah
sampel yang lebih besar pada tempat yang berbeda.
b.
Adanya faktor-faktor yang tidak dikendalikan oleh peneliti yaitu
terkait dengan jenis kelamin, jenis kemoterapi, dan siklus
kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sehingga dapat
menjadi
perancu
dalam
penelitian.
Penelitian
selanjutnya
diharapkan dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor-faktor
tersebut sehingga dapat lebih tergeneralisir.
4.
Implikasi Hasil Penelitian
a.
Bagi Pelayanan Keperawatan
Bagi pelayanan keperawatan terutama di ruang kemoterapi
dalam penerapan palliative care yang selalu menghadapi pasien
kemoterapi dengan keluhan akibat efek kemoterapi, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi perawat dalam
menentukan tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi
efek kemoterapi, khususnya pada pasien anak yang mendapatkan
kemoterapi sehingga pemberian asuhan keperawatan pada anak
yang mendapatkan kemoterapi dapat berjalan optimal.
b.
Bagi Pendidikan Keperawatan
Institusi sebagai pendidikan keperawatan perlu mengikuti
perkembangan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu keperawatan
melalui hasil penelitian terkini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat
menjadi salah satu sumber informasi atau referensi keperawatan,
khususnya terkait tindakan mandiri keperawatan berupa tindakan
nonfarmakologis dalam manajemen nausea akibat efek kemoterapi
terutama pada anak. Di samping itu, penelitian ini juga dapat
menjadi salah satu data dasar untuk penelitian selanjutnya terkait
manajemen efek kemoterapi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh terapi
bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang mendapatkan
kemoterapi di ruang kemoterapi anak Cendrawasih Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Kariadi Semarang, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Karakteristik anak yang mendapatkan kemoterapi yaitu, rerata usia
pada kelompok intervensi adalah 4,00 dan pada kelompok kontrol
adalah 3,50. Rerata siklus kemoterapi pada kelompok intervensi
adalah 4,00 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 2,00. Jumlah
karakteristik terbesar yang meliputi, jenis kelamin adalah perempuan,
jenis kanker adalah Leukemia Limfoblastik Akut, jenis kemoterapi
adalah jenis emetogenik minimal, dan ada riwayat nausea akibat
kemoterapi sebelumnya.
2.
Status
nausea
anak
yang
diberikan
premedikasi
antiemetik
ondansentron dan intervensi terapi bermain mewarnai selama
kemoterapi (kelompok intervensi) sebagian besar termasuk kategori
nausea ringan-sedang dengan rerata skor nausea sebesar 2,44.
3.
Status nausea pada anak yang diberikan premedikasi antiemetik
ondansentron tetapi tidak diberikan intervensi terapi bermain
mewarnai selama kemoterapi (kelompok kontrol) sebagian besar
termasuk kategori nausea ringan-sedang dengan rerata skor nausea
sebesar 3,88.
4.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan terapi bermain mewarnai terhadap status nausea anak yang
mendapatkan kemoterapi dibuktikan dengan adanya perbedaan yang
signifikan rerata skor nausea antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol (p value : 0,01).
11
5.
Perbedaan status nausea berdasarkan karakteristik anak dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan karakteristik
jenis kemoterapi terhadap status nausea anak yang mendapatkan
kemoterapi. Sedangkan karakteristik yang lain meliputi, jenis kelamin,
siklus kemoterapi, dan riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya
tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap status nausea
anak yang mendapatkan kemoterapi.
B.
Saran
1.
Bagi Rumah Sakit
Pengelola pelayanan kesehatan diharapkan dapat membantu
mengurangi efek nausea akibat kemoterapi, khususnya pada anak
dengan cara merancang kebijakan rumah sakit terkait pelaksanaan
manajemen nausea salah satunya dengan teknik distraksi berupa terapi
bermain mewarnai guna meningkatkan fasilitas pelayanan terutama
keperawatan anak yang mendapatkan kemoterapi.
2.
Bagi Profesi Perawat
Peran
meningkatkan
perawat
sebagai
kualitas
care
pelayanan
giver
asuhan
diharapkan
mampu
keperawatan
terkait
palliative care, khususnya dalam mengatasi nausea sebagai efek
kemoterapi dengan mengaplikasikan intervensi keperawatan mandiri
salah diantaranya berupa terapi bermain mewarnai yang dilakukan
secara terstruktur.
3.
Bagi Pasien dan Keluarga
Bagi responden serta keluarga diharapkan dapat menerapkan
bermain salah satunya mewarnai selama kemoterapi maupun
perawatan serta orang tua tetap mendampingi anak selama dilakukan
tindakan kemoterapi di rumah sakit untuk mencegah dampak
perpisahan sehingga dapat mengurangi efek nausea yang timbul
akibat kemoterapi.
4.
Bagi Profesi Lain
Bagi profesi lain diharapkan tidak mengesampingkan prinsipprinsip bermain pada anak, khususnya anak yang mendapatkan
kemoterapi sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing sehingga dapat
mengurangi dampak akibat kemoterapi terutama efek nausea.
5.
Bagi Peneliti Lain
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memodifikasi
penelitian terutama terkait teknik manajemen nausea lain yang dapat
meminimalkan nausea akibat kemoterapi. Di samping itu, peneliti
selanjutnya diharapkan melakukan pengendalian terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi nausea akibat kemoterapi seperti, jenis
kelamin, jenis kanker, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, dan
riwayat nausea akibat kemoterapi sebelumnya sehingga hasil
penelitian tidak rancu. Selain itu, jumlah sampel penelitian diharapkan
lebih besar agar data lebih tergeneralisir.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, E., & Puspita, A. (2010). Pengaruh Pemberian Terapi Bermain
Mewarnai Gambar terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Anak
Prasekolah yang Rawat Inap. Jurnal AKP, 35-43.
Aizah, S., & Wati, S. E. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stress Hospitalisasi
dengan Aktifitas Mewarnai Gambar pada Anak usia 4-6 Tahun di Ruang
Anggrek RSUD Gambiran Kediri. Jurnal No. 25 Volume 01, 6-10.
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2012). Ilmu Kesehatan Anak
Nelson (15 ed.). Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC) (6th ed.). Mosby.
CancerHelps, T. (2010). Stop kanker. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Dahlan, M. S. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (4 ed.). Jakarta:
Salemba Medika.
Dewan, P., Singhal, S., & Harit, D. (2010). Management of ChemotherapyInduced Nausea and Vomiting. Indian Pediatric, 149-155.
Dupuis, L., Taddio, A., Kerr, E., Kelly, A., & MacKeigan, L. (2006).
Development and Validation of the Pediatric Nausea Assessment Tool for
Use in Children Receiving Antineoplastic Agents. Pharmacotherapy, 26,
1221-1231.
Grunberg, S. M., & Ireland, A. (2005). Epidemiology of Chemotherapy Induced
Nausea and Vomiting. Advanced Studies in Nursing, 3(1), 9-15.
Hayati, H. (2009). Pengaruh Distraksi oleh Keluarga terhadap Mual-Muntah
Akut Akibat Kemoterapi pada Anak Usia Prasekolah di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Diakses dari lib.ui.ac.id. Tanggal 25 Desember
2015.
Hidayat, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Hockenberry, M., & Wilson, D. (2011). Wong's Nursing Care of Infants and
Children. United States of America: Elsevier Mosby.
Hussein, H. A., & Sadek, B. R. (2013). Acupressure for Chemotherapy Induced
Vomiting Among School Age Children. World Journal of Medical
Sciences 8 (4), 373-381. doi:10.5829/idosi.wjms.2013.8.4.7581
Juffrie, M., Soenarto, S. S., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I., & Mulyani, N. S.
(2011). Buku Ajar Gastroentologi-Hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
Kapti, R. E., Ahsan, & Istiqomah, A. (2013). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai
terhadap Penurunan Skor Perilaku Maladaptif Anak Usia Prasekolah yang
Mengalami Hospitalisasi di Rumah Sakit Kabupaten Kediri. Jurnal Ilmu
Keperawatan, 169-175.
Keller, V. C., & Keck, J. (2006). An Instrument for Observational Assessment of
Nausea in Young Children. Pediatric Nursing, 32, 420-426.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Lohr, L. (2008). Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting. Cancer J, 85-93.
Meadow, S. R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes : Pediatrika. Jakarta:
Erlangga.
Nasir, A., Muhith, A., & Ideputri, M. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian
Kesehatan : Konsep Pembuatan Karya Tulis Ilmiah dan Thesis untuk
Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nesbitt, L. L., & Tabatt-Haussmann, K. (2008). The Role of the Creative Arts
Therapies in the Treatment of Pediatric Hematology and Oncology
Patients. Primary Psychiatry, 56-58,61-62.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan
Praktis. Jakarta: Salemba Medika.
Permono, H., Sutaryo, Ugrasena, I., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2012).
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Pusdatin Kemenkes RI. (2015). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI : Stop Kanker. Jakarta: Pusdatin Kemenkes RI.
Ridha, H. N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rukayah, S. (2013). Pengaruh Terapi Akupresur Terhadap Mual Muntah Lambat
Kemoterapi pada Anak Usia Sekolah yang Menderita Kanker di RS
Kanker Dharmais Jakarta. Diakses dari lib.ui.ac.id. Tanggal 25 Desember
2015.
Sastroasmoro, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Schneider, S. M., & Hood, L. E. (2007). Virtual Reality : A Distraction
Intervention for Chemotherapy. Oncol Nurs Forum, 39-46.
Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Setiawan, S. D. (2015). The Effect of Chemotherapy in Cancer Patient to Anxiety.
Journal Majority, vol. IV, 94-99.
Siagian, P. (2014). Kami Berani Melawan Kanker. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sujarweni, V. (2014). Panduan Penelitian Keperawatan dengan SPSS.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sunyoto, D. (2013). Statistik untuk Paramedis. Yogyakarta: ALFABETA.
Suraatmaja, P. (2010). Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Suriadi, & Yuliani, R. (2006). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: PT.
Percetakan Penebar Swadaya.
Susanti, L., & Tarigan, M. (2012). Karakteristik Mual dan Muntah serta Upaya
Penanggulangan oleh Penderita Kanker yang Menjalani Kemoterapi.
Jurnal Keperawatan, 1-5.
Syarif, H., Nurachmah, E., & Gayatri, D. (2011). Terapi Akupresur dapat
Menurunkan Keluhan Mual Muntah Akut Akibat Kemoterapi pada Pasien
Kanker : Randomized Clinical Trial. Jurnal Keperawatan Indonesia, 133140.
Tanjung, Y. (2011). Berdamai dengan Kanker : Kiat Hidup Sehat Survivor
Kanker. Bandung: Qanita.
Wong, D. (2012). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Wong, D., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M., & Schwartz, P.
(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Wowiling, F. E., Ismanto, A. Y., & Babakal, A. (2014). Pengaruh Terapi Bermain
Mewarnai Gambar terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Usia Pra
Sekolah Akibat Hospitalisasi di Ruang IRINA E BLU RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado. J Unsrat.
Zanah, L. M., Widodo, S., & Shobirun. (2013). Pengaruh Terapi Musik terhadap
Keluhan Mual Muntah pada Pasien Post Kemoterapi karena Kanker di
Unit Sitostatika. Jurnal Ilmu Keperawatan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN
1
LEMBAR OBSERVASI STATUS NAUSEA
Keller Index of Nausea (KIN)
Petunjuk :
Beri tanda ceklist ( √ ) pada kotak jika kondisi ditemukan pada anak.
Inisial anak : .....................
Tanggal :
Perubahan Sikap dan
Distress
Perilaku
(Tekanan)
Penurunan aktifitas
Gelisah
....................
Jam :
.............
Perubahan Fisiologis
Peningkatan frekuensi
Pernafasan
Meletakkan tangan
Menangis
di mulut
Hilang nafsu atau selera
Makan
Meletakkan tangan
Ekspresi
di atas perut
wajah mual
Posisi mual
Sensitif
Muntah
Muntah berat (Retching)
Menolak cairan
Keringat
lewat mulut
Dingin
Kulit terasa dingin saat
Disentuh
Perubahan warna kulit atau
Kemerahan
Air liur meningkat
Sering menelan
Ada gerakan lidah atau
menekan atau
membasahi bibir
Total skor
Keterangan : Jika indikator ditemukan pada anak, maka diberikan skor 1. Jika
indikator tidak ditemukan saat pengamatan, maka diberikan skor 0. Skor terendah
adalah 0, sedangkan skor tertinggi adalah 19. Total skor yang tertinggi
kemungkinan terbesar mengalami mual yang aktual (Keller & Keck, 2006).
Lampiran 2
KUESIONER KARAKTERISTIK RESPONDEN
(Diisi oleh peneliti)
Kode
:
................................
Tanggal pengamatan :
................................
Usia anak
:
................................
Jenis kelamin
:
1.
Laki-laki
2.
Perempuan
Jenis kanker
:
................................
Jenis kemoterapi
:
................................
1.
Potensi emetogenik minimal
2.
Potensi emetogenik rendah
3.
Potensi emetogenik moderat
4.
Potensi emetogenik tinggi
(Sesuai tabel jenis kemoterapi berdasarkan tingkat
emetogenik pada lampiran 3)
Siklus kemoterapi
:
................................
(ke berapa)
Riwayat mual
:
................................
1. Ada
akibat kemoterapi
sebelumnya
2. Tidak ada
Lampiran
3
JENIS KEMOTERAPI BERDASARKAN TINGKAT
EMETOGENIK
Tingkat emetogenik
Potensi emetogenik level
1 (minimal)
Obat kemoterapi
Bevacizumab,
Bleomycin,
Vincristine,
Vinorelbine,
Busulfan,
Fludarabine,
Vinblastine,
2-
Chlorodeoxyadenosine, Rituximab
Paclitaxel,
Docetaxel,
Mitoxantrone,
Topotecan,
Potensi emetogenik level
Etoposide,
Pemetrexed,
Methotrexate,
Mitomycin,
2 (rendah)
Gemcitabine, Cytarabine (<1000 mg/m2), Fluorouracil,
Bortezomib, Cetuximab, Trastuzumab
Oxaliplatin, Cytarabine (>1000 mg/m2), Carboplatin,
Potensi emetogenik level
Ifosfamide,
Cyclophosphamide
<
1500
mg/m2,
3 (moderate)
Doxorubicin, Daunorubicin, Epirubicin, Idarubicin,
Irinotecan
Potensi emetogenik level
4 (tinggi)
Cisplatin,
Dacarbazine,
Mechlorethamine,
Carmustine,
Cyclophosphamide (>1500 mg/m2)
Sumber
: Dewan, Singhal, & Harit, 2010)
Streptozotocin,
Dactinomycin
Lampiran
4
SURAT PERMOHONAN CALON RESPONDEN
Semarang, Desember 2015
Kepada Yth.
Calon Responden Penelitian
Di RSUP. Dr. Kariadi Semarang
Dengan hormat,
Bersama ini saya mohon dengan hormat bantuan dan kesediaan Bapak/
Ibu/ Saudara dan anak untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan judul
“Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai terhadap Status Nausea Anak yang
mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang” dengan mengikuti
prosedur yang disampaikan oleh peneliti.
Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi Bapak/ Ibu/
Saudara dan anak sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi yang
diberikan akan kami jaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika
Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak telah menjadi responden lalu ada hal-hal yang
memungkinkan untuk mengundurkan diri maka Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak
diperbolehkan untuk mengundurkan tidak ikut dalam penelitian ini. Apabila
Bapak/ Ibu/ Saudara dan anak menyetujui menjadi responden, maka saya mohon
kesediannya untuk menandatangani persetujuan dan mengikuti prosedur tindakan
yang disampaikan peneliti.
Demikian atas perhatian dan pertisipasinya saya menyampaikan terima
kasih.
Peneliti
Ttd
( Isna Hayati )
Lampiran
5
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
(Informed Consent)
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama
:............................................................................................................
Alamat
:.............................................................................................................
Pendidikan :.............................................................................................................
Setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud dan tujuan serta hak dan
kewajiban sebagai responden. Dengan ini menyatakan dengan sungguh-sungguh
bahwa saya bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Status Nausea Anak Yang
Mendapatkan Kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang”. Pernyataan ini
saya buat dengan sebenarnya dan penuh kesadaran tanpa ada paksaan pihak lain.
Semarang,
Desember 2015
Responden,
(...........................................)
Lampiran 6
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
TERAPI BERMAIN MEWARNAI
Pengertian
Bermain merupakan aktifitas di mana anak dapat
melakukan
atau
mempraktikkan
ketrampilan,
memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif, mempersipkan diri untuk berperan
dan
berperilaku dewasa (Hidayat, 2005).
Tujuan
Mengungkapkan pikiran dan perasaan pasien melalui
permainan, memberikan rasa senang dan nyaman, serta
mengurangi stres akibat tindakan.
Tempat
Ruang kemoterapi
Petugas
Perawat
Persiapan pasien
Pasien sadar dan tidak dalam kondisi lemah.
Melakukan kontrak waktu.
Alat dan bahan
Pensil warna
Buku mewarnai gambar binatang
Prosedur
Tahap Orientasi
pelaksanaan
1. Memberikan salam kepada pasien dan menyapa
nama pasien.
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan.
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
sebelum kegiatan dilakukan.
Tahap Kerja
1. Memberikan buku mewarnai gambar binatang
kepada pasien untuk diwarnai (1 buku untuk 1
pasien).
2. Memberikan pensil warna untuk mewarnai gambar
kepada masing-masing pasien.
3. Memotivasi keterlibatan pasien dan keluarga.
4. Memberi pujian pada anak bila dapat melakukan.
5. Mengobservasi emosi, hubungan interpersonal,
psikomotor anak saat bermain.
6. Meminta
anak
menceritakan
apa
yang
dilakukan/dibuatnya.
7. Menanyakan perasaan anak setelah bermain.
8. Menanyakan perasaan dan pendapat keluarga
tentang permainan.
Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi sesuai dengan tujuan.
2. Berpamitan dengan pasien.
3. Membereskan dan mengembalikan alat ke tempat
semula.
4. Mencuci tangan.
5. Mencatat jenis permainan dan respon pasien serta
keluarga.
Sumber
: Hidayat (2005), Ridha (2014)
Lampiran 7
JADWAL PENELITIAN
No
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
„15
„15
„15
„15
„16
„16
„16
Kegiatan
1
1.
Penyusunan Proposal
2.
Ujian Proposal
3.
Perbaikan proposal
4.
Pelaksanaan penelitian
dan bimbingan hasil
penelitian
5.
Sidang hasil penelitian
6.
Perbaikan skripsi
7.
Pengumpulan skripsi
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Isna Hayati
Tempat, Tanggal Lahir : Kendal, 18 Desember 1989
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat Rumah
: Jl. Pahlawan 2 Gg. Citarum no. 6 RT : 01 RW : I
Sijeruk Kendal
Nomor telpon/HP
: 085640145153
RIWAYAT PENDIDIKAN
1.
Pendidikan SD di MIN Kalibuntu Wetan Kendal, lulus tahun 2001
2.
Pendidikan SMP di SMP Negeri 2 Kendal, lulus tahun 2004
3.
Pendidikan SMA di SMA Negeri 1 Kendal, lulus tahun 2007
4.
Pendidikan D3 di D3 Keperawatan POLTEKKES Semarang, lulus tahun
2010
LAMPIRAN 11
1
Download