TINJAUAN PUSTAKA Proses Pembentukan Janin Manusia Secara normal, konsepsi atau pembuahan terjadi setelah sel telur dibuahi oleh sperma yang berenang ke tuba falopii. Setelah dibuahi, sel telur akan menjadi zigot yang kemudian berkembang menjadi morula, lalu blastula dan mencari tempat untuk menempel pada endometrium di hari ke enam atau ke tujuh setelah pembuahan. Kemudian ia akan terus tumbuh menjadi embrio. Embrio yang sudah terlihat wujudnya seperti manusia, dan bukan lagi seperti gumpalan daging, disebut sebagai janin. Selama masih dalam periode embrio, paparan zat beracun akan menyebabkan cacat fisik pada janin. Pada periode janin, paparan zat beracun akan menyebabkan gangguan fungsu fisiologis atau cacat mental. Perubahan dari periode embrio ke periode janin tejadi pada minggu ke 8 dan 9. Di minggu ke-9 sampai 12 wajah janin mulai terlihat sepeai wajah manusia dengan kelopak mata yang tertutup, janin mampu membuat gerakan meninju dengan tangannya, dan telah terjadi pembentukan sel darah merah di hati. Minggu ke-13 sampai 16 jaringan otot dan tulang sudah lebii banyak lagi yang terbentuk, dan tulang menjadi lebih keras. Pergerakan janin menjadi lebii aktif dan sering. Alis dan bulu mata mulai tampak di minggu ke-18. Penampakan alis dan bulu mata semakin jelas di minggu ke-22. Memasuki minggu ke-23 sidii jari tangan dan kaki mulai terbentuk. Miggu ke-23 sampai 26 otak janin tumbuh dengan pesat dan kelopak mata mulai membuka dan menutup. Pada minggu yang sama, janin juga sudah mampu membuka dan mengepalkan jari jemari tangannya. Di minggu ke-29 hingga 32, dalam sehari janin menghabiskan 90-95% wakhmya untuk tidur, karena pada masa ini terjadi peningkatan penumpukan lemak dalam tubuh untuk persiapan kelahirannya (Kliman 1993). Selama di dalam rahim, janin mendapat nutrisi dan oksigen dari ibunya untuk mampu tumbuh dan berkembang dengan normal, melalui perantaraan plasenta. Janin juga membuang sampah hasil metabolismenya ke darah ibu melalui plasenta. Proses Pembentukan Plasenta Manusia Menurut Zamudio (2003) blastula melakukan penempelan pada endometrium pada hari keenam atau ketujuh setelah pembuahan. Blastosis terdiri atas massa sel dalam (Inner CeN MasslICM) dan massa sel luar (Outer CeN MasslOCM). Massa sel luar pada awalnya m e ~ p a k a nsel-sel trofoblas yang menjadi dinding blastosis. Sel trofoblas akan membentuk plasenta. Kemudian sel trofoblas berproliferasi dengan cepat menjadi dua macam sel, yaitu sitotrofoblas yang jumlahnya sangat melimpah pada awal kehamilan, dan sinsitiotmfoblas yang akan membentuk lapisan pembatas antara ibu dengan janin. Sel sinsitiotrofoblas mengadakan percabangan-percabangan pembuluh darah pada plasenta yang disebut sebagai vili atau korion frondosum. Proses pezcabangan ini disebut juga sebagai sinsitialisasi, dan terjadi sepanjang kehamilan. Seiring dengan pertumbuhan janin, rahim dan plasenta turut membesar, Plasenta memiliki fungsi metabolisme dan endokrinologi. Plasenta memproduksi beberapa hormon, di antaranya adalah progesteron yang akan m e m p e n g d fungsi fisiologis pada tubuh ibu hamil sehingga janin dapat terpenuhi semua kebutuhan nutrisi dan oksigennya; human chorionic gonadotropin (hCG) yang akan memicu rahim untuk siap menerima penempelan embrio; somatomammotropin (kenal sebagai hormon laktogen plasenta) yang berfungsi meningkatkan jurnlah glukosa dan lipid pada darah ibu; dan juga estrogen. Pertumbuhan plasenta terjadi dengan pesat pada trimester pertama kehamilan, lalu kecepatan pertumbuhan mulai melambat di bulan kelima kehamilan, bahkan berhenti tumbuh saat sudah sempurna. Tetapi ada kalanya plasenta dapat terus tumbuh dan meningkat ukurannya jika berhadapan dengan lingkungan maternal yang kurang menguntungkan, seperti kehamilan di daerah dataran tinggi atau kehamilan yang diiringi pre-eklampsi (Fox 1997). Pre-eklampsi adalah gangguan fungsi pembuluh darah ibu pada plasenta sehingga peredaran darah dari ibu ke janin dan sebaliknya mengalami hambatan (Alexander et al. 2001). Plasenta yang sudah sempuma pertumbuhannya akan memenuhi 15-30% bagian rahim. Pada plasenta terjadi difusi gas, hormon dan nutrisi dari darah ibu ke janin, dan difusi hasil ekskresi dari janin kembali ke darah ibu (Moore & Persaud 1993). Difusi melalui membran plasenta menggunakan prinsip-prinsip yang sama dengan difusi oksigen melalui mernbran respirasi (Guyton 1991). Plasenta yang sehat dan tidak bermasalah akan dilahirkan secara alamiah 10-15 menit setelah kelahiran bayi, tanpa bantuan apapun. Plasenta mampu keluar akibat adanya kontraksi rahim, dan tidak membutuhkan tambahan tenaga dorongan dari ibu. Adaptasi Manusia pada Daerah Dataran Tinggi Sebagai mahluk hidup, manusia mengalami adaptasi sebagai cara untuk bertahan hidup. Adaptasi yang tejadi bukan hanya sebatas adaptasi fisik ataupun fisiologis, tapi juga adaptasi psikologis dan tingkah laku. Sebagai contoh adalah adaptasi untuk kasus hipoksia. Dalam hal ini manusia yang terpapar pada daerah dataran tinggi akan mengalami beberapa masalah pada sistem ventilasi, sirMasi dan adaptasi hemopoetik (Samaja 1997). Hipoksia adalah suatu keadaan jaringan tubuh mengalami penurunan suplai oksigen. Hipoksia dapat disebabkan oleh kondisi fisiologi, patologi, atau lingkungan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi banyaknya suplai oksigen ke jaringan tubuh. Hipoksia dapat juga terjadi karena kondisi atmosfir yang merniliki oksigen terlarut yang rendah, seperti pada daerah dataran tinggi. Hipoksia dapat menyebabkan beberapa gangguan seperti nafas yang memendek, sulit tidur, kelelahan mental dan fisik, peningkatan denyut jantung, sakit kepala yang meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas, dan bahkan penurunan berat badan (Frisancho 1975). Efek hipoksia pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor fisik dan biologis. Pada masyarakat yang turun temurun tinggal di daerah dataran tinggi maka tubuhnya mengalami proses adaptasi yang disebut sebagai aklimatisasi, sehingga tingkat oksigen terlarut yang rendah di udara tidak menyebabkan gangguan. Menurut Baker (1996) dan Giussani (2001) bayi yang lahir di daerah dengan ketinggian 1500 m dpl akan mengalami penyusutan berat lahir. Fenomena penyusutan berat lahir bayi di dataran tinggi ini tidak mempengaruhi ketahanan hidupnya setelah lahir, dan tingkat kesehatan bayi tersebut di masa depannya. Penurunan berat lahir bayi diduga sebagai salah satu bentuk adaptasi yang menguntungkan. Sebab dengan berkurangnya berat janin, maka kebutuhan oksigen semasajanin juga akan berkurang. Di samping penurunan berat bayi, pada dataran tinggi juga terjadi penambahan berat plasenta. Sehingga bayi lahir dengan berat rendah, tetapi memiliki berat plasenta yang tinggi. Sedangkan pada urnumnya pertambahan berat plasenta selalu sejalan dengan pertambahan berat bayi. Seperti dikemukakan oleh Fox (1997), di dataran tinggi plasenta cenderung untuk terns tumbuh sepanjang usia kehamilan hingga saat plasenta dilahirkan. Pada penelitian Ali (1997) dan Zamudio (2003) diketahui bahwa plasenta dataran tinggi mengalami penambahan jumlah sel dan peningkatan percabangan mri, sebagai bentuk adapatasi terhadap suplai oksigen yang berkurang. Selain itu, pada arteri endometrial ibu teqadi penambahan diameter dan peningkatan aliran darah (Rockwell et al. 2003). Dengan mekanisme tersebut, janin dapat tetap terpenuhi kebutuhan oksigennya dan dapat tumbuh dengan normal.