Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI TPT DI KOTA SURAKARTA DAN KARANGANYAR Bambang Suhardi Staff Pengajar Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] ABSTRAK Berdasarkan indeks LQ, industri TPT di Surakarta dan Karanganyar periode 1998 – 2006 terspesialisasi di kecamatan: Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jaten, Kebakkramat. Spesialisasi industri TPT di Laweyan dan Pasar Kliwon karena faktor sejarah, dan adanya tenaga kerja yang mempunyai keahlian turun menurun dalam membatik. Khusus Pasar Kliwon ditambah adanya kemudahan akses untuk memasarkan produk TPT. Spesialisasi industri TPT di Serengan karena faktor geografis yang berdekatan dengan Laweyan dan Pasar Kliwon. Kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan kawasan industri, sehingga mempunyai infrastruktur yang baik. Daerah kawasan industri menimbulkan tenaga kerja terlatih. Kondisi ini menjadi daya tarik bagi industri TPT untuk didirikan di daerah tersebut. Konsentrasi spasial industri TPT diketahui dengan cara: pertama, memberikan peringkat untuk seluruh kecamatan di Surakarta dan Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja/jumlah industri TPT. Kedua, memakai kriteria jumlah tenaga kerja/jumlah industri untuk mengelompokkan lokasi industri secara spasial. Industri TPT dikelompokkan berdasarkan kriteria tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan menggunakan metode K-Mean Cluster. Ketiga, membuat peta aglomerasi industri TPT dengan menggunakan SIG. Hasilnya sebagai berikut: konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan tinggi mengelompok di Jaten, kepadatan sedang mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan. Khusus tahun 2004 tingkat kepadatan sedang hanya di Kebakkramat. Kecamatan yang lain masuk kelompok dengan tingkat kepadatan rendah. Kata kunci: Spesialisasi, Konsentrasi Spasial, LQ PENDAHULUAN Kebijakan yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan dalam sektor industri manufaktur (Kuncoro,2002). Pemerintah Indonesia pada tahun 2000, telah memberikan perhatian pada perspektif dan pendekatan cluster atau pendekatan konsentrasi spasial dalam kebijakan nasional dan regional sektor industri manufaktur untuk mendorong spesialisasi produk serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Kompas, 19/8/2000). Kuncoro (2002) menyatakan bahwa fenomena konsentrasi spasial dapat ditemukan pada kebanyakan negara berkembang dimana distribusi penduduk dan konsentrasi industri terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Bangkok, New Delhi, Sao Paulo, dan Jakarta. Sistem spasial di kota-kota tersebut ditandai berdasarkan akumulasi modal dan tenaga kerja dalam agglomerasi perkotaan. Konsentrasi aktifitas ekonomi secara spasial menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses yang selektif dan hanya terjadi pada kasus tertentu bila Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 dipandang dari segi geografis. Contoh, sebagian besar industri manufaktur di Amerika Serikat terkonsentrasi pada suatu lokasi yang disebut ”sabuk manufaktur” (Krugman, 1991). Konsentrasi spasil industri yang serupa juga ditemukan di kawasan industri Axial belt di Inggris (Kuncoro, 2000). Fenomena serupa juga dapat ditemukan di Jawa Tengah, dimana konsentrasi spasial industri TPT tahun 2004 dan 2006 terjadi di Sukoharjo, kabupaten dan kota Semarang, Karanganyar, kabupaten dan kota Pekalongan, Boyolali, dan kota Surakarta. Perkembangan industri TPT di Jawa Tengah tidak bisa dilepaskan dari kota Surakarta yang lebih dikenal dengan nama kota Solo. Kota Solo merupakan cikal bakal industri TPT di Jawa Tengah. Perkembangan industri TPT di kota Solo mempengaruhi perkembangan industri TPT di daerah eks karesidenan Surakarta, salah satunya Karanganyar. Diskusi dalam makalah ini akan dibatasi dalam konteks spesialisasi dan konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan Karanganyar. Permasalahan yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah: mengapa dan dimanakah spesialisasi dan konsentrasi spasial industri TPT terjadi di kota Surakarta dan Karanganyar? METODA Penelitian ini menggunakan metoda eksploratif dalam menjawab permasalahan. Metode ini sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang diperkuat dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam analisis. Data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS Jawa Tengah. Data yang dianalisis secara kuantitatif adalah data tenaga kerja industri pengolahan skala besar dan sedang setiap kecamatan di kota Solo dan Karanganyar tahun 2004 dan 2006. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis spesialisasi industri TPT di kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar dengan menggunakan indeks location quotient (indeks LQ). Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi dalam industri terjadi apabila pangsa industri pada suatu wilayah lebih besar daripada pangsa industri pada wilayah agregat. Untuk mengetahui konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara: Pertama, membuat peringkat kecamatan yang ada di kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja industri TPT untuk tahun 2004 dan 2006. Kedua, menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja industri TPT untuk mengelompokkan lokasi industri TPT secara spasial. Penelitian ini menggunakan tiga kriteria pengelompokkan, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan konsentrasi spasial industri TPT memakai metode K-Mean Cluster (algoritma cluster non hierarchy). Ketiga, menyajikan dalam bentuk peta menggunakan metode Sistem Informasi geografis (SIG). HASIL DAN DISKUSI Berdasarkan analisis indeks LQ, industri TPT di kota Surakarta tahun 2004 dan 2006 terspesialisasi di kecamatan: Serengan, Pasar Kliwon, dan Laweyan. Karena LQ industri TPT di ketiga kecamatan > 1. Dengan nilai LQ lebih dari 1, berarti industri TPT di ketiga kecamatan tersebut mempunyai pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan kerja daripada pangsa industri TPT di kota Surakarta. Kesimpulan ini ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-2 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 1,72 1,71 1,27 1,17 1,12 1,22 1,24 1,2 1,1 1,2 2004 0,86 n an ng ra n Ka da on G da o re j u ad om Co l kk ra m at te n Ke ba ga ra n Ja ny ar br es Je ri rs a ja 0,22 0,21 0,07 Ka Pa Ba n ga re n Kl iw on 0,27 Se 2006 0,63 0,53 0,48 0,46 gp 0,51 we y La 1,66 sa r 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 an Indeks LQ TPT dibuat sesuai dengan pendapat Kuncoro (2002), apabila indeks spesialisasi melebihi 1, artinya industri tersebut memiliki pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan kerja di daerah tersebut daripada pangsa industri tersebut di wilayah regional atau nasional. LQ > 1 juga menunjukkan bahwa industri TPT di ketiga kecamatan merupakan industri unggulan dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian di kecamatan tersebut. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat Bendavid-Val (1991), yang menyatakan jika LQ suatu industri lebih dari 1, berarti industri tersebut merupakan industri unggulan, sedangkan LQ kurang dari 1, berarti industri tersebut bukan merupakan industri unggulan, dalam (Kuncoro, 2004). Industri TPT tahun 2004 dan 2006 tidak terspesialisasi di kecamatan Banjarsari dan Jebres. Karena LQ industri TPT di kedua kecamatan < 1. Selain itu industri TPT di kedua kecamatan bukan merupakan industri unggulan. Gambar 1 menunjukkan indeks LQ industri TPT kota Surakarta tahun 2004 dan 2006. Gambar 1 Indeks LQ industri TPT kota Surakarta dan Karanganyar tahun 2004 dan 2006 Sumber: Data diolah Industri TPT di Karanganyar tahun 2004 terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 terspesialisasi di kecamatan: Jaten, Kebakkramat, dan Karanganyar. Industri TPT di kecamatan tersebut merupakan industri unggulan. Spesialisasi industri TPT di kecamatan Laweyan disebabkan dua hal. Pertama, faktor sejarah, dimana sejak jaman Kerajaan Pajang, Laweyan merupakan kota pusat perekonomian. Daerah Laweyan tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama perdagangan lawe atau benang, untuk bahan tenun. Lawe berasal dari pilinan kapas yang saat itu dihasilkan oleh para petani di Pedan, Juwiring, dan Gawok, di selatan pusat Kerajaan Pajang (Majalah Saudagar, 05/2008). Karena faktor sejarah ini yang menyebabkan banyak industri TPT khususnya yang memproduksi batik didirikan di kecamatan Laweyan. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat Daldjoeni (1997), yang menyatakan munculnya daerah industri disebabkan oleh faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis. Kedua, industri batik berasal dari daerah Laweyan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di kecamatan Laweyan memiliki ketrampilan membatik yang bersifat turun temurun. Dengan adanya tenaga kerja yang terspesialisasi pada industri TPT ini, menarik industri-industri TPT baru untuk didirikan di kecamatan Laweyan. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat peneliti-peneliti sebelumnya. Marshal (1920) menyatakan bahwa ketersediaan tenaga ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-3 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 kerja spesialis akan menguntungkan bagi industri yang terspesialisasi di daerah tersebut. Jayadinata (1986) menyatakan bahwa industri yang memerlukan keahlian khusus dari para pekerjanya, akan berlokasi di tempat pekerja. Contohnya industri yang menghasilkan kain batik, kain bordir, dan sebagainya. Porter (1990) menambahkan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi merupakan bagian dari faktor yang merupakan determinan dari keunggulan suatu wilayah. Tirasondjaja (1997) menyatakan adanya industri di suatu daerah sekurang-kurangnya menimbulkan tenaga kerja terlatih di daerah itu. Hal ini bisa menarik industri-industri baru terutama yang sejenis untuk didirikan. Spesialisasi industri TPT di kecamatan Pasar Kliwon disebabkan tiga hal. Pertama, faktor sejarah, dimana kampung Kauman merupakan cikal bakal industri batik di kota Surakarta setelah kampung Laweyan. Kondisi ini menarik industri TPT, khususnya yang memproduksi batik didirikan di daerah ini. Kedua, penduduk yang tinggal di daerah ini mempunyai keahlian membatik yang diperoleh secara turun temurun. Dengan adanya tenaga kerja yang terspesialisasi ini menarik industri TPT didirikan di kecamatan Pasar Kliwon. Ketiga, faktor kemudahan akses menjual produk TPT ke Pasar Klewer, sebuah pasar yang menjadi legenda di kota Surakarta. Keberadaan pasar produk TPT yang lain seperti, Pusat Grosir Solo dan Benteng Trade Center juga menjadi daya tarik industri TPT di kecamatan Pasar Kliwon. Kemudahan akses terhadap pasar produk TPT ini yang menarik industri TPT untuk didirikan di kecamatan Pasar Kliwon. Industri TPT dalam hal ini yang memproduksi pakaian jadi akan mendekati pasar, karena mode dapat cepat berubah. Kesimpulan ini sesuai dengan pendapat dari Jayadinata (1986) yang menyatakan industri berhaluan pasar, berlokasi di tempat pemasaran. Hooever (1948) menyatakan lokasi pabrik atau perusahaan dapat saja mendekati pasar ataupun mendekati sumber bahan baku (Daldjoeni, 1997). Spesialisasi industri TPT di kecamatan Serengan terjadi, karena faktor kedekatan geografis dengan kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat Daldjoeni (1997), yang menyatakan munculnya daerah industri disebabkan oleh faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis. Lokasi kecamatan Serengan berada di antara kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon. Perkembangan industri TPT di kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon akan berpengaruh terhadap perkembangan industri TPT di kecamatan Serengan. Karena ada keterbatasan lahan di kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon, maka pada perkembangannya banyak industri TPT yang memindahkan industrinya ke kecamatan Serengan. Industri TPT di kabupaten Karanganyar cenderung terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat karena beberapa hal. Pertama, kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan daerah kawasan industri di kabupaten Karanganyar, sehingga sarana dan prasarana yang ada kondisinya lebih baik dibandingkan kecamatan yang lain. Apalagi kecamatan Jaten dan Kebakkramat ini berada di jalur jalan yang menghubungkan kota Surakarta dengan kota-kota yang ada di propinsi Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan banyak industri (termasuk industri TPT) didirikan di daerah ini. Kedua, kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan daerah kawasan industri, sehingga menimbulkan tenaga kerja yang terlatih (khususnya untuk industri TPT) di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Hal ini bisa menarik industri-industri TPT yang lain untuk didirikan di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Kesimpulan ini sesuai dengan pandangan Tirasondjaja (1997) menyatakan adanya industri di suatu daerah sekurangkurangnya menimbulkan tenaga kerja terlatih di daerah itu. Hal ini bisa menarik industri-industri baru terutama yang sejenis untuk didirikan. Pendapat lain dikemukakan ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-4 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 Djojodipuro (1992), yang menyatakan daerah yang memiliki infrastruktur (jalan, sumber energi, sarana telekomunikasi) yang baik, akan menjadi daya tarik bagi industri untuk didirikan di daerah tersebut. Daerah konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan Karanganyar dapat diidentifikasi dengan SIG. Pertama, dengan membuat peringkat kecamatan di kota Surakarta dan Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja industri TPT tahun 2004 dan 2006 seperti Tabel 1. Tabel 1. Peringkat Kecamatan Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Industri TPT Tahun No Kecamatan 2004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jaten Kebakkramat Laweyan Serengan Gondangrejo Banjarsari Jebres Pasar Kliwon Colomadu Karanganyar Jumlah Tenaga Kerja 16.450 7.514 2.995 2.057 1.093 628 596 256 209 104 Tahun No 2006 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kecamatan Jumlah Tenaga Kerja 16.210 6.597 3.488 2.202 1.424 869 760 332 147 56 20 Jaten Kebakkramat Laweyan Serengan Gondangrejo Pasar Kliwon Banjarsari Jebres Karanganyar Colomadu Karangpandan Sumber: Data diolah dari BPS Propinsi Jawa Tengah (2004 – 2006) Hasil pemeringkatan selama dua tahun pengamatan, menunjukkan aktifitas industri TPT skala besar dan sedang tidak merata secara geografis atau dengan kata lain kepadatan industri TPT hanya terjadi pada kecamatan-kecamatan tertentu saja. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis grafis (Gambar 2.a dan 2.b) yang memperlihatkan histogram yang mempunyai nilai skewness positif. Skewness positif menunjukkan bahwa industri TPT dengan jumlah tenaga kerja yang besar, hanya terdapat pada sebagian kecil kecamatan. Tahun 2006 Tahun 2004 8 7 6 Jumlah Kecamatan Jumlah Kecamatan 6 5 4 3 2 4 2 1 0 0.00 5000.00 10000.00 15000.00 Mean = 3190.20 Std. Dev. = 5169.93973 N = 10 20000.00 Mean = 2915.3636 Std. Dev. = 4829.9064 N = 11 0 0.00 5000.00 10000.00 15000.00 20000.00 Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Tenaga Kerja a b Gambar 2.a dan 2.b Distribusi jumlah tenaga kerja industri TPT di kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar tahun 2004 dan 2006 ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-5 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 Kedua, menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja (tahun pengamatan 2004 dan 2006) untuk mengelompokkan lokasi industri TPT secara spasial. Langkah selanjutnya menampilkan dalam bentuk peta. Industri TPT akan dikelompokkan dengan menggunakan tiga kriteria yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan konsentrasi spasial industri TPT memakai metode K-Mean Cluster (algoritma cluster non hierarchy). Hasil pengelompokkan industri TPT dengan tingkat kepadatan tenaga kerja tinggi pada tahun 2004 dan 2006 terkonsentrasi di kecamatan Jaten. Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan sedang tahun 2004 mengelompok di kecamatan Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan. Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan rendah mengelompok di kecamatan: Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, Banjarsari, Karanganyar, Colomadu, dan Gondangrejo. Untuk tahun 2006 ditambah kecamatan Karangpandan. Gambar 3.a dan 3.b menunjukkan peta aglomerasi industri TPT di kedua daerah. a b Gambar 3. Peta Aglomerasi Industri TPT Kota Surakarta dan Karanganyar Tahun 2004 dan 2006 Faktor yang menyebabkan konsentrasi spasial industri TPT mengelompok di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Pertama, industri TPT di kabupaten Karanganyar terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Dengan adanya spesialisasi ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-6 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 industri TPT akan mendorong berkumpulnya tenaga kerja yang terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Kondisi ini menjadi daya tarik bagi industri-industri yang lain terutama industri TPT untuk didirikan di kedua kecamatan ini. Kedua, konsentrasi spasial industri TPT di kecamatan Jaten dan Kebakkramat terjadi, karena adanya pertukaran input antar industri TPT di kedua kecamatan ini. Produk industri TPT di kecamatan Jaten dan Kebakkramat meliputi: benang, kain tekstil, dan pakaian jadi. Industri TPT yang menghasilkan kain tekstil membutuhkan input dari industri TPT yang memproduksi benang, sedangkan industri TPT yang menghasilkan pakaian jadi membutuhkan input dari industri TPT yang memproduksi kain tekstil. Ketiga, kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan daerah industri di kabupaten Karanganyar. Kondisi ini menyebabkan infrastruktur yang mendukung perkembangan industri di kedua kecamatan kondisinya lebih baik dibandingkan kecamatan yang lain. Apalagi letak daerah industri di kecamatan Jaten dan Kebakkramat ini berada di jalur utama yang menghubungkan kota Surakarta dengan kota-kota yang ada di propinsi Jawa Timur. Dengan adanya infrastruktur yang baik inilah yang menyebabkan banyak industri (termasuk industri TPT) didirikan di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Konsentrasi spasial industri TPT di kecamatan Laweyan disebabkan adanya faktor sejarah asal mula industri batik di kota Surakarta. Industri batik berasal dari daerah Laweyan, sehingga di daerah ini banyak dijumpai tenaga kerja yang mempunyai kemampuan membatik yang dipelajari secara turun temurun. Dengan adanya tenaga kerja yang terampil dalam membatik ini mendorong industri-industri TPT baru untuk didirikan dan terkonsentrasi di kecamatan ini. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Industri TPT di kota Surakarta tahun 2004 dan 2005 terspesialisasi di kecamatan Serengan, Pasar Kliwon, dan Laweyan. Industri TPT di kecamatan ini merupakan industri unggulan dan layak untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian di kecamatan tersebut. 2. Industri TPT di Karanganyar tahun 2004 terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 selain terspesialisasi di kedua kecamatan tersebut juga terspesialisasi di kecamatan Karanganyar. 3. Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan tenaga kerja tinggi tahun 2004 dan 2006 mengelompok di Jaten. Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan tenaga sedang tahun 2004 mengelompok di Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan. 4. Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan industri TPT terspesialisasi di suatu daerah. Antara lain faktor: sejarah, tenaga kerja yang terspesialisasi, geografis, kemudahan akses menjual produk TPT, dan adanya daerah industri. 5. Konsentrasi spasial industri TPT di Jaten dan Kebakkramat disebabkan adanya: spesialisasi industri TPT, pertukaran input antar industri TPT, dan adanya infrastruktur yang mendukung perkembangan industri TPT. Sedangkan konsentrasi spasial industri TPT di Laweyan lebih disebabkan karena faktor sejarah. DAFTAR PUSTAKA Kompas. (2000). Kebijakan Nasional Sektor Industri: Aglomerasi dengan Kemitraan [2000, 19 Agustus] ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-7 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010 Krugman, P. (1991). ”Geography and trade”. Cambridge : MIT Press Kuncoro, M. (2000). “Beyond Agglomeration and Urbanization”. Gadjah Mada International Journal of Business. September 2000. Vol.2.No.3, pp. 307-325 Kuncoro, M. (2002). “Analisis Spasial dan Regional”. Yogyakarta: AMP YKPN Kuncoro, M. (2004). “Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang”. Jakarta: Penerbit Erlangga Lafourcade, M. and Mion, G. “Concentration, Spatial Clustering and Size of Plants: Disentanging the Sources of Co-location Externalities”. CORE Working Paper. Marshal, A. (1920). “Principles of Economics”. London: Mcmillan Porter, M.E. (1990). “The Competitive Advantage of Nations”. New York: The Free Press. ISBN : 978-602-97491-1-3 A-14-8