M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… METODE PENDIDIKAN ROHANI MENURUT AGAMA ISLAM Oleh : M.Amir Langko Abstak The spiritual education according to Islamic Religion, needs a pasities and metode. It’s pasilities are al-Aqlu (Brain), al-Nafsu ( Spiritual ), al-Ruh and al-Qalb ( The Heart ). It’s metodes are; Tahalli, Tajalli, Takhalli, Takhaluq, Tahaqquq, and Ritual . The Key Word: Metode Pendikan Rohani Agama Islam PENDAHULUAN Manusia adalah Ruh dan Jasad. Ruh sehat, dan jasad sehat itulah manusia yang sehat. Sedangkan bila salah satunya sakit, maka dia pun tampil menjadi manusia sakit. Misalnya, tidak jarang ditemukan seseorang yang berparas cantik atau ganteng dan badannya sehat, ternyata gila. Agar tidak terjadi seperti itu, maka memerlukan proses pendidikan dengan titik pocus pada rahani manusia. Juga sebaliknya, tidak jarang generasi muslim yang kuat rohaninya, namun jasmaninya lemah seperti sakit-sakitan atau pertumbuhannya sangat tidak ideal atau sempurna. Baik demensi rohani maupun jasmani menjadi bahan kajian atau perhatian para pakar. Bagaimana potret konsepnya menurut para pakar? Melalui tulisan ini penulis hendek mendeskripsikannya. Dalam proeses deskripsinya penulis tidak banyak melakukan analisis, melainkan hanyalah pemaparan belaka. Dengan itu diharapkan para pembaca bertembah pengetahuan atau informasi secara konsepsional mengenai konsep pendidikan Rahani dalam Islam sebagaimana yang akan dikemukakan dalam paper ini. Menurut Zakiah Daradjat, manusia disamping memenuhi kebutuhan fisik jasmaninya, ia juga harus berusaha memenuhi kebutuhan mental rohani-nya.1 Namun peta kehidupan umat manusia modern lebih mengutamakan pendidikan intelektualitas dan logika dari pada mental spiritual sehingga produk pendidikannya hanya akan melahirkan manusia berkepribadian mete-rialistik dan hampa spiritualistik. 1 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara,1997),Cet. ke-2, h. 35 46 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 Harun Nasution mengomentari fenomena ini berdasarkan fakta sejarah. Menurutnya, pada masa lalu, ketika pendidikan masih utuh dalam satu tangan, pengembangan daya akal dan daya hati nurani itu masih berjalan selaras dan seimbang.Ketinggian ilmu manusia masih diimbangi oleh budi pekerti luhur. Tetapi, terjadi pada suatu masa dalam sejarah, daya akal manusia mengalami perkembangan pesat dan menimbulkan ilmu pengetahuan yang menakjubkan sehingga perhatian kepada pengembangan daya hati nurani berkurang. Selan-jutnya, keselarasan dan keseimbangan itu menjadi retak.2 Untuk itu maka, agama mengarahkan atau menunjukkan makanan, minuman atau kebutuhan material apa saja yang baik dan boleh digunakan dan bagaimana cara mendapatkan dan menggunakannya agar membawa kemas-lahatan bagi yang bersangkutan. Dengan bimbingan agama, keadaan manusia akan bermartabat, terhormat dan tidak jatuh ke dalam kehidupan hewani.3 Dalam konteks ini, Islam sebagai agama tidak mengabaikan akan hal itu dalam ajaran-ajarannya. Ajaran Islam telah merespon kebutuhan manusia yang beragam tersebut lewat prinsip-prinsip pendidikan yang memandang perlunya aspek keseimbang-an dalam pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Islam menegaskan beberapa prinsip antara lain; pertama, mencakup semua dimensi manusia seba-gaimana ditentukan oleh Islam. Kedua, menjangkau kehidupan di dunia dan akhirat secara seimbang. Ketiga, memperhatikan manusia dalam semua gerak kegiatannya, serta mengembangkan padanya daya hubungan dengan orang lain. Keempat, berlanjut sepanjang hayat, mulai dari manusia sebagai janin dalam kandungan ibunya, sampai berakhirnya hidup di dunia. Dengan melihat ung-kapan tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang memperoleh hak di dunia dan di akhirat.4 Adapun tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia agar menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran, dan perasaannya.5 Berdasarkan prinsip keseimbangan tersebut, pendidikan menuntut adanya pembinaan dan pengembangan pribadi manusia dari aspek jasmani dan rohani. Adapun pendidikan rohani yang hanyalah satu aspek dari bidang pendidikan dalam Islam. Secara defenisi, menurut ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud dalam bukunya al-Tarbiyah al-Rûhiyyah “Pendidikan rohani 2 Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama, (Jakarta: DIKTI DEPDIKBUD, 1995), Cetakan ke-1, h. 10 3 Abuddin Nata, Al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta: PT.Raja Grafiondo Persada, 1996), Cetakan ke-5, h. 10 4 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta, YPI Ruhama, 1996), Cetakan ke-1, h. 35 5 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), Cetakan ke-2, h. 35 47 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… merupakan sebuah sistem yang lebih memfokuskan pada pembinaan aspek rohaniah manusia. Artinya, dalam pendidikan ro-hani terdapat interelasi antara aspek wilayah rohaniah manusia yaitu: Qalb, Nafs, rûh dan ‘‘aql. Dengan demikian pendidikan rohani adalah sebu-ah pembinaan bagi seseorang untuk mengembangkan segala potensi roha-niahnya yang dapat melahirkan perilaku atau sikap terpuji menuju terwu-judnya suatu kepribadian mulia, sehingga bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.”6 Jika dilihat dari sisi pengamalannya, pendidikan rohani dalam Islam a-dalah bimbingan yang bersifat kerohanian yang berdasarkan ajaran Islam, sis-tem dan metode sedemikian rupa sehingga terbentuk pribadi muslim sesuai standar yang ditetapkan ajaran Islam.7 Sebagaimana aspek pendidikan Islam lainnya, pendidikan rohani mem-punyai tujuan yang spesifik. Pendidikan rohani adalah usaha merobah, menga-rahkan serta mempengaruhi unsur-unsur rohani manusia tersebut menuju ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dengan demikian, tujuan pendi-dikan rohani dalam Islam adalah merubah, mengarahkan, melatih dan membim-bing serta mempengaruhi unsur-unsur kerohanian yang bersifat dinamis itu me-nuju ke arah terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Abd al-Rahman al-Nahlawi yang me-nyimpulkan bahwa pendidikan memiliki empat unsur, yaitu: a. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa, b. Mengembangkan seluruh potensi, c. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan, d. Melaksanakannya secara bertahap.8 Dalam konteks kekinian, pendidikan rohani sering diidentifikasi dengan pembinaan kecerdasan spiritual manusia. Ary Ginanjar, seorang pebisnis muda berusaha membuat defenisi tentang kecerdasan spiritual bagi mereka yang ingin mengembangkannya berdasarkan konsepsi Islam yaitu:“Sebuah kecerdasan atau kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (kamil) dan 6 ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud, al-Tarbiyah al-Rûhiyyah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dengan judul: Pendidikan Rohani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cetakan ke-1, h. 61-62 7 Andri Adriansyah, Pendidikan Rohani dalam Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Suryalaya Tasikmalaya, Tesis tidak diterbitkan (Jakarta: PPs UIN Syarifhidayatullah, 1997), h. 37 8 Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah wa Asâlibuha f î al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1979) tc, h.13-14 48 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya kepada Allah”.9 Reza M. Syarief memaparkan bahwa ketika bicara masalah pendidikan atau pembelajaran yang dalam bahasa Inggris disebut learning atau dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-Tarbiyah, disana mengandung 3 unsur yang sangat penting. Ketiga unsur tersebut adalah; pertama, improvement, per-tumbuhan atau Tanmiyah, kedua, development, perkembangan atau Tarqiyah, dan ketiga, empowerment, pemberdayaan.10 Ini berarti pendidikan rohani ada-lah proses pertumbuhan, perkembangan dan pemberdayaan aspek rohaniah me-nuju terciptanya kepribadian muslim. Secara prinsipil pendapat ini sejalan dDr. Yusuf al-Qardhawi yang memberi pengertian pendidikan Islam adalah “Pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlaknya dan keterampilan. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam dan peran serta menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya.”11 Pandangan Yusuf Qardawi ini, sejalan pula dengan Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa:”Tujuan pendidikan yang ingin dicapai mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual). Dengan kata lain, terciptanya kepribadian yang seimbang, yang tidak hanya me-nekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spritual.”12 Dari berbagai definisi para pakar di atas, dapat ditarik bahwa: (1). Pendidikan rohani adalah bagian yang terpadu (integrated) dari proses pendidikanIslam.(2).Keseimbangan pemenuhan kebutuhan manusia. Pendidi-kan ro-hani akan mengisi satu dimensi kebutuhan manusia yaitu dimensi rohani, afek-tif atau dalam istilah lain dimensi spiritual, dan (3). Arah dari pendidikan rohani adalah upaya membimbing manusia ke arah pencapaian kesempurnaan kehi-dupan jasmaniah, rohaniah, dan spiritual yang dimilikinya. Sebelum membahas posisi dimensi rohani manusia relevansinya dengan pendidikan, terlebih dahulu akan diuraikan arti rohani dalam bahasa dan istilah. Kata rohaniah dalam bahasa Indonesia dan rûhaniyyah (Arab) berasal dari kata “Rûh” yang berarti “spirit” atau “roh” yang berkaitan 9 Lihat, Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001), h. 57 10 Reza M Syarief, Spiritual Coaching: Kiat Praktis Menumbuhkan Ruhani dengan Sehat dan Akurat, (Jakarta: Kreasi Cerdas Utama, 2003), Cetakan ke-1, h. 5 11 Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. (Jakarta, Bulan Bintang, 1980),Cetakan ke-1, h. 39 12 Abdul Kholid dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cetakan ke-1, h. 48. 49 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… dengan ungkapan al-Qur'an, “Rûh adalah bagian dari titah Tuhanku”, (QS. [17]: 85). Istilah ru-haniyyah/ spiritualitas merujuk pada apa yang berkaitan dengan dunia rohani, dekat dengan Tuhan, yang batini dan sering diidentifikasikan dengan kenyataan yang kekal dan abadi.13 Secara bahasa, kata spiritual atau rohani menurut Loran Bagus dalam kamus filsafatnya memiliki beberapa makna: 1. Immaterial, tidak jasmani, terdiri dari roh. 2. Mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikir. 3. Mengacu ke nilai-nilai keislaman yang non materi seperti keindahan, kebaikan, cinta kebenaran, belas kasihan, kejujuran dan kesucian. 4. Mengacu ke perasaan dan emosi religius dan estetik.14 Secara istilah, rohani adalah nama bagi keseluruhan yang ada pada ba-gian yang batin dari manusia, sebagaimana jasmani adalah nama bagi keselu-ruhan yang ada pada bagian yang lahir dari manusia.15 Dengan demikian penya-kit rohani ialah “adanya sifat dan sikap (budi pekerti) yang baik dalam rohani seorang manusia, yang mendorongnya untuk berbuat buruk dan merusak, yang menyebabkan terganggunya dan terhalangnya seseorang dari memperoleh ke-ridhaan Allah.16 Dalam pandangan psikologi Islam,17 manusia memiliki enam ciri uta-ma.Pertama, manusia mempunyai raga dengan bentuk sebaik-baiknya. Dengan rupa dan bentuk yang sebaik-baiknya itu, diharapkan manusia bersyukur kepada Allah. Kedua, manusia itu baik dari segi fitrah sejak semula. Dia tidak mewarisi dosa asal karena Adam dan Hawa keluar dari Surga. Karena itu, fitrah manusia menerima Allah sebagai Tuhan. Ketiga, manusia secara inheren memiliki ruh. Islam secara tegas menyatakan kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Kempat, 13 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality, (New York: Crossroadf, 1991), h. xviii 14 Hasan Shadili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Vanhoeve, 1998), Jilid VI, Cetakan ke-1, h. 3279 15 Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Pengobatannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Cetakan ke-2, h. 6 16 Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Pengobatannya, h. 18 17 Psikologi menurut Islam merupakan pemikiran psikologi alternatif baru yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman, berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Artinya psikologi Islam selalu berhubungan dengan ekstensi Tuhan. Di Indonesia, wacana psikologi Islam dikembangkan oleh Hanna Djumhana Bastaman, Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori. Lihat, Hanna Djumhana Bastaman, Intgeritas Psikologi dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995), Cetakan Ke-1, h. 10-13 50 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 manusia memiliki kebebasan, berkemauan dan kebe-basan berkehendak, yaitu kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri. Kebaikan atau keburukan. Kelima, manusia memiliki akal. Akal dalam penger-tian Islam bukan otak, melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manu-sia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari tiga unsur yakni pikiran, perasaan, dan kemauan. Keenam, manusia memiliki Nafsu. Nafsu sering dikaitkan dengan gejolak atau dorongan yang terdapat dalam diri manusia. Apabila dorongan itu yang berkuasa dan manusia tidak mengedalikannya, maka manusia akan tersesat.18 Al-Ghazali, ulama filsuf-sufi, menyebutkan empat wilayah spiritual sebagai al-Lathaif al-Rabbaniyyah (unsur-unsur ketuhanan yang sangat subtil): akal (intelek bukan brain), hati (qalb), jiwa (Nafs) dan rûh. Masingmasing wilayah spiritual itu memiliki kecerdasannya tersendiri. Seseorang bisa sangat cerdasa secara spiritual, bila ia mengaktualisasikan secara penuh salah satunya atau keempatnya.19 Berikut ini akan diuraikan beberapa istilah yang sering digunakan para ahli untuk merefresentasikan aspek rohani manusia. Keempat istilah tersebut adalah; Nafs, qalb, rûh dan akal. Nafs Nafs, adalah sisi dalam (jiwa) manusia dan sebagai penggerak tingkah laku (QS [13]: 11). Nafs diciptakan Tuhan secara sempurna (QS al-Syams: 9-10), tetapi ia mesti dijaga kesuciannya, sebab ia akan rusak jika dikotori perbuatan maksiat. Maka, proses penyucian jiwa (Tazkiyah al-Nafs) ini harus berkesinam-bungan (QS al-Naziat: 18, al-Fath: 18, al-A’la: 14).20 Dalam pandangan al-Qur’an, Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat ke-baikan dan keburukkan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian besar. وﻧﻔﺲ وﻣﺎﺳﻮاھﺎ ﻓﺄﻟﮭﻤﮭﺎ ﻓﺠﻮرھﺎ وﺗﻘﻮاھﺎ “Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan” (QS As-Syams [91] : 7-8) Walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa Nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh dua isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif lebih kuat dari potensi negatif, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat 18 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami, Solusi atas Problema-Problema Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), Cetakan ke-1, h. 157-159 19 Husein Shahab, Mengembangkan Segi-Segi Kecerdasan Spiritual di Bulan Ramadhan, (Jakarta, Paramadina, 2000), Cetakan ke-1, h. 3 20 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001),Cetakan ke-1, h. 9-10 51 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut untuk memelihara kesucian Nafs, dan tidak mengotorinya, ﻗﺪ اﻓﻠﺢ ﻣﻦ زﻛﺎھﺎز وﻗﺪ ﺧﺎﻣﻦ دﺳﺎھﺎ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merug-ilah orang-orang yang mengotorinya” (QS As-Syams [91] : 9-10) Bahwa kecendrungannya kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya : ﻻ ﯾﻜﻠﻒ ﷲ ﻧﻔﺴﺎ اﻻ وﺳﻌﮭﺎ ﻟﮭﺎ ﻣﺎﻛﺴﺒﺖ وﻋﻠﯿﮭﺎ ﻣﺎﻛﺘﺴﺒﺖ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya. Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakanya, dan memper-oleh siksa dari apa yang diusahakannya” (QS Al-Baqarah [2] : 286) Al-Qur’an juga mengisyaratkan keanekaragaman Nafs serta peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang an-Nafs alLawwamah, al-Ammarah dan al-Muthmainnah.21 Adnan Syarif, memberikan perspektif lain dengan menjelaskan bahwa, kata Nafs dalam al-Qur'an terdapat pada 295 ayat. Kata Nafs tersebut memiliki banyak pengertian antara lain: Pertama, kata Nafs yang berarti Zat Allah atau sifat-Nya. Hal ini bisa dilihat pada (QS [5]: 116), (QS [20]: 4041), (QS [6]: 12), dan (QS [6]: 54). Kedua, di antara pengertian Nafs menurut al-Qur'an adalah rûh, yakni jika kata Nafs itu dikaitkan atau disandingkan dengan sifat tenang (al-muthma’innah) seperti dalam (QS [89]: 27-30) dan (QS [17] :85).Ketiga, kata Nafs mengadung pengertian makhluk yang memiliki eksistensi, sifat dan karakteristik khusus. Oleh karena itu, Nafs dalam pengertian ini dapat mengalami kematian dan kebinasaan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Hal ini bisa dicermati dalam (QS [3]: 185), (QS [7]: 33), (QS [12]: 53).22 Berdasarkan penjelasan di atas, ia mengartikan Nafs makna ketiga selain Zat Allah, sifat-sifat-Nya dan ruh-dengan darah. Dengan demikian, darah adalah ciptaan satu-satunya di dalam tubuh yang dapat kita katakan sebagai sumber gejala yang dimunculkan oleh anggota tubuh dan jiwa yang kita nisbahkan pada Nafs. Dengan mengartikanm Nafs sebagai darah, ini sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh ilmu kimia berkenaan dengan berbagai gejala kejiwaan atau fenomen psikologis. Ini merupakan ilmu pengetahuan yang baru: usianya tidak lebih dari 20 tahun. Oleh karena itu, seluruh gejala kejiwaan atau fenomena psikologis seperti perasaan gembira, 21 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), Cetakan ke-3, h. 285-286 22 ‘Adnan Syarîf, Min ‘Ilm an-Nafs al-Qur’ani, diterjemahkan oleh: Muhammad al-Migwar dan diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan Judul, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), Cetakan Ke-2, h 59 52 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 marah, halusinasi, dan tenang yang terjadi pada manusia sebenarnya merupakan perwujudan dari berbagai materi kimiawi yang dialirkan oleh darah ke seluruh anggota tubuh yang kemudian mengekspresikan segala macam emosi. Qalb Hati (Qalb) disebut Al-Qur’an sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai (QS [22]: 46, [7]: 179. Sesuai dengan potensinya, hati merupakan kekuatan yang dinamis, tapi ia tempramental, fluktuatif, emosional dan pasang surut. Disamping hati mengandung kebaikan universal (QS [8]: 17), kedamaian (QS [48]: 4), keberanian (QS [3]: 126), iman (QS [49]: 7, 14 dan cinta serta kasih sayang (QS [57]: 27); ia juga mengandung penyakit (QS [2]: 10) seperti perasaan takut (QS [3]: 151), dengki (QS [59]: 10), kufur (QS [2]: 93), sesat (QS [3]: 7), panas hati (QS [9]: 10), keraguan (QS [9]: 45), munafik (QS [9]: 77), dan sombong (QS [48]: 26). Dan hati orang beriman disebut sebagai rumah Allah (Bait Allah).23 Kata al-Qalb dan al-Qulub disebutkan oleh al-Qur’an di dalam 132 tempat, di samping kata al-fu’ad yang secara bahasa berarti al-qalb pula, serta kata shadr dan shudur yang juga menunjuk kepada kata al-qalb. Perhatian yang besar ini menerangkan bahwa al-Qalb adalah salah satu gejala dari perangkat hakikat manusia yang asasi, karena iman bersemayam di qalbu manusia : 24 (32 : ذﻟﻚ وﻣﻦ ﯾﻌﻈﻢ ﺷﻌﺂﺋﺮ ﷲ ﻓﺈﻧﮭﮭﺎ ﻣﻦ ﺗﻘﻮى اﻟﻘﻠﻮب )اﻟﺤﺞ “Demikianlah (Perintah Allah). Dan barangsiapa menagungkan syi’arsyi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (qalbu)”. (QS. Al-Hajj [22] : 32). Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-quran pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Dapat dilihat dari ayat-ayat di bawah ini : ان ﻓﻲ ذﻟﻚ ﻟﺬﻛﺮي ﻟﻤﻦ ﻛﺎن ﻟﮫ ﻗﻠﺐ اواﻟﻘﻲ اﻟﺴﻤﻊ وھﻮﺷﮭﯿﺪ “Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki qalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi”. (QS Qaf [50]: 37). Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat Q.S. Al-Hadid [57]: 27, QS Ali ‘Imran [3]: 15, Q.S AlHujurat [49]: 7. 23 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, h. 9-10 Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung : CV. Dipenogoro, 1988, Cet ke :1, h.62 24 53 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa qalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi qalbu yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga ayat-ayat lainnya), dapat ditarik kesimpulan bahwa qalbu memang menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara qalbu dan Nafs. Nafs menampung apa yang berada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak diingat lagi. Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertang-gungjawabkan hanya isi qalbu bukan isi Nafs, ﯾﺆاﺧﺬﻛﻢ ﺑﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ ﻗﻠﻮﺑﻜﻢ “Allah menuntut tanggung jawab kau menyangkut apa yang dilakukan oleh qalbu kamu “.(Q.S Al-Baqarah [2]: 225) Rûh Rûh manusia bersifat ilahiah, karena langsung ditiupkan oleh rûhNya (QS al-Hijr [15]: 29). Dalam al-Qur’an rûh digunakan bukan hanya satu arti. Rûh disebut sebagai nyawa yang menyebabkan seseorang masih tetap hidup (Qs [17]: 85), malaikat (QS [26]: 193, Rahmat Allah (QS [58]: 22), dan al-Qur’an atau wahyu (QS [42]: 52). 25 Kata Rûh dalam al-Qur’an dikaitkan dengan manusia dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu’min [40]:15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan disini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, ( و ﻧﻔﺨﺖ ﻓﯿﮫ ﻣﻦ روﺣﻲKemudian Kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku) Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang sustansinya. Jika ditanyakan, “Apa Rûh itu dan bagaimana ia?” maka jawabannya yang tepat adalah : ﻗﻞ اﻟﺮوح ﻣﻦ أﻣﺮرﺑﻲ وﻣﺎاوﺗﯿﺘﻢ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻢ إﻻ ﻗﻠﯿﻼ Katakanlah,“Ruh adalah urusan Tuhan-Ku.” Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit. Rûh, menurut al-Ragib al-Asfahany, adalah penyebab kehidupan dan gerakan. Nabi Isa AS disebut rûh, karena ia dapat menghidupkan yang mati. Al-Qur'an juga disebut rûh karena dengan memahami dan mengamalkan isinya manusia memperoleh kehidupan ukhrawi yang kekal.26 25 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, h. 9-10 al-Ragib al-Asfahany, al-Mufradât f î Gharîb al-Qur'an, (Beirut: Dâr alFikr, t.th), Jilid I,tc, h. 231 26 54 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 Roh yang bersifat immateri, mempunyai tiga daya; yaitu daya pikir yang disebut akal, berpusat di otak (kepala), serta daya rasa yang disebut qalbu (hati) yang berpusat di dada, dan daya kemauan atau Nafsu yang berpusat di perut. Ini merupakan subtansi dari roh manusia, yang berfungsi setelah ia bernyawa.27 Menurut Mujib, Rûh esensi dari sifat dasar manusia dan disini pula dorongan-dorongan spiritual pada manusia tertanam. Keberadaan rûh merupa-kan intervensi langsung Allah Swt. dalam diri manusia (QS. AlHijr: 29). Melalui pemahaman tentang ruh ini, Islam menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya dilihat sebagai sebuah potensi dalam salah satu titik saraf di otak, tetapi lebih dari itu kecerdasan spiritual adalah fitrah yang sudah dimiliki manusia ketika ia masih berada dalam alam imateri (alam ruh), alam ketika manusia dibekali kemampuan mengenal dan mengakui Allah Swt.. Fitrah menurut al-Qur'an sebagian berarti sebagai penciptaan manusia yang memiliki potensi, sifat dasar; watak alami dan bawaan tertentu.28 ‘Aql ‘Aql (Akal) ditandai dengan kecerdasan akal, antara lain; mampu memahami kausalitas (QS [23]: 8), memahami sistem jagad raya (QS [26]: 18-68), mampu berpikir distinktif (QS [13]: 4), menyusun argumen yang logis (QS [3]: 65), mampu berpikir kritis (QS [5]: 103), mampu mengatur taktik strategi (QS [3]: 118-120), dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman (QS [5]: 164-169).29 Kata ‘aql (akal) dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakannya bagi “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit apa sesuatu itu, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘‘aql dapat dipahami bahwa ia adalah:30 a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti dalam ayat; وﺗﻠﻚ اﻷﻣﺜﺎل ﻧﻀﺮﺑﮭﺎ ﻟﻠﻨﺎس وﻣﺎ ﯾﻌﻘﻠﮭﺎ اﻻ اﻟﻌﺎﻟﻤﻮن "Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orangorang alim (berpengetahuan)”. QS Al-‘Ankabut (29) : 43. 27 Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), Cetakan Ke- 1, h. 4 28 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cetakan Ke-1, h.12 29 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, h. 8-9 30 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, h. 294-295 55 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… b. Dorongan moral, seperti dalam ayat; وﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮا اﻟﻔﻮاﺣﺶ ﻣﺎظﮭﺮﻣﻨﮭﺎ وﻣﺎﺑﻄﻦ وﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮا اﻟﻨﻔﺲ اﻟﺘﻰ ﺣﺮم ﷲ اﻻ ﺑﺎﻟﺤﻖ ذاﻟﻚ وﺻﺎﻛﻢ ﺑﮫ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻌﻘﻠﻮن “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya” (QS. Al-An’am (6) : 151) c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “hikmah” Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Korelasi antar empat komponen tersebut membutuhkan pemahaman yang mendalam karena kompleksitas fungsi tiap-tiap komponen rohani tersebut. Sebagian orang mempersamakan jiwa dengan ruh sebagai satu kesatuan. Seba-gian lainnya mempersamakan jiwa, tubuh dan akal sebagai satu kesatuan. Di sisi lain ada yang memandang , jiwa, tubuh dan ruh adalah tiga hal yang ber-beda. Jiwa bukanlah jasad. Jasad, tubuh, atau badan adalah tempat jiwa yang telah dimaknai dengan darah. Darah inilah yang mengekspresikan segala pengaruh, gejala dan perilaku manusia. Otak yang mampu berpikir dan berakar merupakan alat untuk berpikir. Otak yang mampu berpikir atau berakal meru-pakan alat untuk berpikir. Akallah yang harus menjadi panutan dan penguasa atas jiwa dan gerak-geriknya. Jika tidak, akan akan dikendalikan oleh jiwa (hawa Nafsu). Sementara itu, rûh (nyawa), yang telah kita makna sebagai sesuatu yang merupakan urusan Allah, dan makhluk ciptaan-Nya yang hanya memiliki eksistensi ruhaniah semata serta merupakan salah satu rahasia Allah, adalah “alat kehidupan” bagi setiap makhluq. Jika akal dapat mengendalikan jiwa (Nafsu) sesuai dengan ajaran-ajaran sang Pencipta, akan tenanglah jasad dan ruh sehingga manusia akan meraskan kebahgiaan yang hakiki atau ketentraman dan ketenangan. Dengan demikian, jiwa, badan, dan ruh merupakan tiga makhluk yang utama terdapat pada diri manusia. Satu sama lain saling berinteraksi dengan kuat. Agar manusia dapat merasakan kebahagiaan yang hakiki, akal yang mampu berpikir, sesuai dengan ajaran-ajaran sang Pencipta, harus menguasai Nafsu serta keinginan dan dorongannya. Akan tetapi, jika sebaliknya (yakni Nafsu yang menguasai akal), maka akal akan menjadi pengikut Nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (an-Nafs al-‘alAmmarah bi-assû). Hal ini sangat menyulitkan ruh yang merupakan inti, 56 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 semntara ruh itu tidak akan merasakan kebahagiaan kcuali jika mengikuti ajaran-ajaran sang Pencipta.31 Berkaitan dengan manusia sebagai makhluk pendidikan, maka ia harus mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya, dan untuk itu ia perlu mengetahui asal kejadiannya, dari apa ia diciptakan. Dalam hal ini al-Qur’an menyimpulkan dua asal kejadian manusia. Pertama manusia dijadikan dari tanah yakni ketika Allah menciptakan Adm As.. Kedua, manusia dijadikan dari nuthfah yakni ketika Allah menciptakan bani Adam.32 Hal ini dapat dilihat dalam firman-Nya : ﺛﻢ. ﺛﻢ ﺟﻌﻞ ﻧﺴﻠﮫ ﻣﻦ ﺳﻼﻟﺔ ﻣﻦ ﻣﺎء ﻣﮭﯿﻦ. اﻟﺬى اﺣﺴﻦ ﻛﻞ ﺷﯿﺊ ﺧﻠﻘﮫ وﺑﺪأ ﺧﻠﻖ اﻹﻧﺴﺎن ﻣﻦ طﯿﻦ ﺳﻮاه وﻧﻔﺦ ﻓﯿﮫ ﻣﻦ روﺣﮫ وﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ واﻷﺑﺼﺎر واﻷﻓﺌﺪة ﻗﻠﯿﻼ ﻣﺎﺗﺸﻜﺮون “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh ciptaan-Nya dan Dia menjadikannya bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.S. AlSajadah : 7-9) Ayat di atas menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat dua unsur yang membentuk kejadiannya, yakni jasmani dan rohani. Tubuh berasal dari material (tanah) maka ia akan kembali kepada tanah setelah mati, sedang roh berasal dari immaterial (Allah) maka ia juga akan kembali kepada Allah setelah manusia mati.33 Menurut Hanna, adanya dimensi rohani (cq. Roh-Ku/roh Ilahi), secara potensial memungkinkan manusia mengadakan hubungan dan mengenal Tuhannya melalui cara-cara yang diajarkan-Nya.34 Dua unsur yang membentuk manusia tersebut, mempunyai kecendrungan untuk berkembang. Pada unsur jasmani, manusia cenderung berkem-bang dari kecil menjadi besar dan dari lemah menjadi kuat kemudian lemah lagi. Pada unsur rohani dari apek berfikirnya , manusia ada yang berkembang dari tidak tahu apa-apa menjadi tahu banyak hal, lalu 31 ‘Adnan Syarîf, Min ‘Ilm an-Nafs al-Qur’ani, diterjemahkan oleh: Muhammad al-Migwar dan diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan Judul, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), Cetakan Ke-2, h. 59 32 Hery Noer Aly, h. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cetakan ke-2, 67 33 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, h. 67 34 Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi Sebagai Ilustrasi, Analisis dalam: Jurnal ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: LSAF, 1991), Vol. II, h. 15 57 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… kemudian mati. Adapula yang berkembang dari tidak tahu kemudian menjadi tahu, lalu tidak tahu lagi karena ketuaan atau pikun lalu mati, firman Allah : .…وﷲ اﺧﺮﺟﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻄﻮن اﻣﮭﺎﺗﻜﻢ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ﺷﯿﺌﺎ وﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ واﻷﺑﺼﺎر واﻷﻓﺌﺪة “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak menge-tahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ….” (Q.S. Nahl : 78) Manusia dalam ajaran agama, disamping terdiri atas unsur jasmani, juga terdiri atas unsur rohani yang mempunyai dua daya. Daya merasa yang berpusat di dada dan daya pikir yang berpusat di kepala. Kalau daya merasa disebut qalbu atau nurani, maka daya berpikir disebut akal.35 Kalau akal tugas utamanya meneliti alam materi, qalbu atau nurani ditugaskan untuk memusatkan perhatian kepada Tuhan, Pencipta alam semesta, serta kepada alam Immateri. Dengan qalbu atau nuraninya, manusia didorong untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Yang Maha suci tidak bisa didekati kecuali yang suci, maka pendekatan diri kepada Tuhan yang Maha suci itu, mempunyai implikasi penyucian diri manusia. Melalui pen-dekatan diri itu, jiwa yang kotor menjadi bersih, dan dari jiwa yang bersih itu timbullah perbuatan baik. Dengan kata lain dari jiwa timbullah budi pekerti luhur.36 Selanjutnya agar kedua unsur, baik jasmani maupun rohani dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Pendidikan jasmani manusia harus disempurnakan dengan pendidikan rohani. Pengembangan daya-daya jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan pengembangan daya rohani akan membuat hidupnya berat sebelah dan kehi-langan keseimbangan. Orang yang demikian akan menghadapi kesulitan-kesu-litan dalam hidup di dunia, apalagi kalau perbuatan tersebut membawa kepada perbuatan-perbuatan tidak baik dan kejahatan. Ia akan merupakan manusia yang merugikan, bahkan manusia yang membawa kerusakan bagi masyarakat. Se-lanjutnya ia akan kehilangan hidup bahagia di akhirat dan akan menghadapi hidup kesengsaraan di sana. Oleh karena itu amatlah penting supaya ruh yang ada dalam diri manusia mendapat latihan, sebagaimana badan manusia juga mendapat latihan.37 Ruh adalah bagian manusia yang paling mulia karena ia adalah tiupan dari Allah Swt.. Ia harus dididik dengan tujuan untuk memprmudah 35 Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama, (Jakarta: DIKTI DEPDIKBUD, 1995), h. 9 36 Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama, h. 10 37 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UIPress, 1985), Cetakan ke-5, h. 36 58 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 jalan di hadapannya untuk bermakrifat kepada Allah Swt. dan membiasakannya serta melatihnya untuk melaksanakan benar-banar ibadah kepada Allah. Akal juga harus mendapatkan pendidikan islami yang bertujuan untuk mengajarkannya bagaiman berpikir, melihat dan merenung sehingga dengan itu ia sampai kepada keimanan kepada Allah Swt., malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qadha dan qadar, serta dapat menangkap sunnah-sunnah Allah di alam semesta ini. Jika akal telah mendapatkan petun-juk, ia akan terjaga dari sikap pembangkangan, penyimpangan, kesesatan dan tenggelam dalam kesesatan di dunia yang membuat ia tersesat dari kebenaran. Tubuh juga harus dididik dengan pendidikan islami yang membuat tubuh berjalan seiring dengan hukum-hukum syariat sehingga ia menjalankan apa yang dihalalkan oleh Allah Swt. dan menjauhi apa yang diharamkan oleh-Nya. Pendidikan Islam harus mencakup seluruh dimensi manusia artinya pendidikan yang dilaksanakan harus mampu mengembankan seluruh dimensi yang ada dalam diri manusia, yaitu fisik, akal, akhlak, iman, kejiwaan, estetika, dan sosial kemasyarakatan. Kesemua dimensi manusia tersebut pada intinya adalah potensi dasar yang dimiliki oleh setiap individu. Secara konsepsional memerlukan metode dan sarana pendidikannya. Adapun metode dan sarana pendidikan Ruhani nya meliputi Takhalli, Tahalli dan Tajalli, Ta’alluq, Takhalluq dan Tahaqquq, ta’abud (ibadah), do’a dan dzikir. 1.Metode Takhalli, Tahalli dan Tajalli Dalam pandangan taSaw.uf, jika manusia ingin meraih derajat kesem-purnaan (al-Insan al-Kamil) atau dalam ungkapan lain disebut ma’rifat (penge-tahuan ketuhanan) dimana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan se-cara penuh, manusiaa harus melalui proses latihan spiritual yang disebut takhal-li/zero mind process (mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahalli/character building (menghiasi diri dengan perilaku baik) dan tajalli/God spot (kondisi dimana kualitas ilahiyyah teraktualisasikan dan termanifes-tasikan). Hal ini sejalan dengan QS. Al-Syams: 81-10.38 2. Metode Ta’alluq, Takhalluq dan Tahaqquq Menurut Komaruddin Hidayat, karena tujuan pendidikan rohani untuk mendapatkan kebahagiaan secara spiritual maka ada tiga cara untuk menda-patkan hal tersebut bila ditinjau dari sudut pandang taSaw.uf, yaitu 38 h. viii 59 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq.39 Dengan Ta’alluq manusia berusaha mengingat dan meningkatkan kesadaran hati dan pikiran manusia kepada Allah Swt.. Konsekuensinya manusia tidak boleh terlepas dari berpikir dan berzikir kepada Tuhannya di manapun ia berada. Kemudian takhalluq adalah usaha secara meniru sifat-sifat Tuhannya. Proses ini juga bisa disebut internalisasi sifat Tu-han ke dalam diri manusia dalam batas kemanusiaan. Sedangkan tahaqquq, yai-tu suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang didominasi sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya hal-hal yang suci dan mulia. Dalam operasionalnya, metode-metode tersebut mengharuskan para penempuh jalan rohani melakukan berbagai latihan rohani dengan penuh kesungguhan (mujahadât), praktek-praktek tertentu (riyadlât), dan kesiapan mental spiritual yang handal dan teruji oleh perjalanan waktu dan ruang (khal-wât). Tetapi mujahadât, riyadlât, dan khalwât pada dasarnya hanya jalan. Ada yang lebih penting dari itu yaitu; syafa’ al-Qalb, al-Kasyf, alSyuhûd dan al-Mawâhib al-Rabbâniyah.40 Maqâm berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri dihadapan-Nya. Ia merupakan proses melatih diri dalam hidup keseharian (riyâdhah), memerangi hawa Nafsu dan menjauhkan diri dari ketergantungan duniawi. Sedangkan hâl lebih merupakan anugerah Allah yang datang secara tiba-tiba. Antara maqamat dan ahwal tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya samasama mengandung unsur given (mawâ-hib) dan ikhtiyah (makâsib).41 Ada konsekuensi psikologis yang akan diraih oleh seseorang ketika me-napaki Maqâm atau mengalami hâl, adalah terbebasnya dari perasaan risau dan cemas. Sehingga selanjutnya yang ada adalah perasaan kegembiraan, hati yang merasa dekat (qurb), penuh rasa cinta dan mencintai (hubb), penuh peng-harapan dan optimistis (raja’), penuh ketenangan (tuma’ninah) dan berserah diri (tawakkal).42 3.Metode Ibadah Menurut Jalaluddin Rahmat, ibadah merupakan metode atau cara bagi perkembangan kesadaran dan penghayatan akan wujud Ilahi, karena ibadah itu mengandung latihan (riyadhah) bagi kemampuan penguasaan diri, dan 39 Komaruddin Hidayat, Manusia dan Penyempurnaan Dirinya: Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cetakan ke- I, h.18 40 Qasim Ghina, Tarikh al-TaSaw.wuf al-Islamî, (Kairo: Maktabah alNahdlah al-Misriyah, 1970), tc, h. 16 41 Hasyim Muhammad, Dialog antara TaSaw.uf dan Psikologi, (Yogyakarta: Kerja sama Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, 2002), Cetakan keI, h. 10 42 Hasyim Muhammad, Dialog antara TaSaw.uf dan Psikologi, h. 10 60 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 dengan sendirinya akan mengembangkan kecerdasan spiritual manusia (QS. [2]:21). Dalam pernyataannya ia mengemukakan: “Seluruh ibadah dalam Islam adalah mi’raj- menemui Tuhan untuk kembali lagi menemui manusia. Haji adalah gladi resik keberangkatan manusia dari tanah airnya menuju rumah tuhan dan kembali lagi ke rumahnya. Puasa juga perjalanan mendekati Tuhan yang berakhir dengan mendekat kepada sesama manusia. Takbir dalam shalat menaikkan ke langit dan salam mengembalikan lagi ke bumi. Jadi ibadah ritual hanya bermakan bial berbekas dalam kehidupan sosial dan dalam akhlak di tengah-tengah manusia”.43 Dalam Islam ibadahlah yang memberikan latihan rohani yang diperlukan bagi manusia itu. Semua ibadat yang ada dalam Islam; shalat, puasa, haji dan zakat, bertujuan membuat ruh manusia supaya senantiasa tidak lupa kepada Tuhan, bahkan senantiasa dekat kepada-Nya.44 Keadaan yang senantiasa dekat kepada Tuhan sebagai zat yang mahasuci dapat mempertajam rasa kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat menjadi rem bagi hawa Nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya. Tujuan Ibadah dalam Islam bukanlah menyembah, tetapi mendekatkan diri kepada Tuhan, agar dengan demikian roh manusia senantiasa diingatkan kepada hal-hal yang bersih lagi suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam. Roh yang suci membawa kepada budi pekerti yang baik dan luhur.45 Menurut Abuddin Nata, ketenangan jiwa, rendah hati, menyandarkan diri kepada amal saleh dan Ibadah. Semuanya itu adalah gejala kedamaian dan keamanan sebagai pengalaman dari Ibadah.46 Abdurahman an-Nahlawiy juga berpendapat bahwa ibadah adalah metode pendidikan rohani. Ia menggambarkan “Jika unsur eksistensi manusia itu adalah perpaduan antara ruh, akal dan badan, maka betapa butuhnya ia kepada sebuah tarbiyah yang selalu memperhatikan dan mau memenuhi kebutuhan setiap unsur yang ada dalam dirinya demi terciptanya sebuah tawazun (keseimbangan) dalam kehidupannya, sehingga ia mampu bertahan hidup dengan kepribadian yang sempurna. Dan ibadah kepada Allah akan merealisasikan tujuan tersebut, ia 43 Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cetakan ke-1, h. 142 44 Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, h. 37 45 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta, UI Press,1985),Cetakan ke-1, h. 39 46 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000), Cetakan ke-4, h, 83-84 61 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… akan mentarbiyah, membina dan menyempurnakan setiap unsur yang ada dalam diri manusia, yang semuanya itu merupakan kebutuhannya yang harus dipenuhi. Shalat, misalnya, akan menumbuhkan sisi ruhiyah manusia, karena hakekatnya ia sedang ber-munajat dengan Rabbnya. Berdoa kepada-Nya, merendahkan diri kepada-Nya dan merasa bahwa dirinya lemah di hadapanNya. Sedangkan gerakan-gerakan ritualnya seperti berdiri, rukuk, dan sujud akan melatih badan dengan gerakan-gerakan olahraga yang menyehatkan. Demikian juga dengan pemaknaaan dan penghayatan (tafakkur) terhadap bacaan shalat akan memberikan gizi tersendiri kepada akal dan akan lebih menajamkan daya pikir manusia. Demikian be-sarnya manfaat shalat dan peranannya dalam pembinaan jiwa manusia. Man-faat dan peranan seperti ini pun akan dikandung dan diberikan oleh bentuk-bentuk ibadah yang lain seperti: zakat, haji dan sebagainya. Jika bisa dikatakan ritme kehidupan manusia akan diatur oleh peribadatan kepada Allah Swt.; kehidupan perharinya akan diatur oleh shalat, keseimbangan gizi badannya akan diatur oleh puasa, keseimbangan sosial ekonominya akan diatur oleh zakat dan tatanan batin serta perasaan sosial mereka akan dibangun oleh ibadah haji.47 Menurut Hasan Langgulung, ibadah dalam arti luas bermakna sebagai pengembangan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat dua puluh yang dijabarkan menjadi 99 nama yang disebut Asma’ al-Husna.48 Misalnya mengembangkan sifat-sifat al-Qudus, di mana sifat ini dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan shalat (ibadah formal), sehingga kegiatan ini menghasilkan peringkat kesalehan for-malistik. Dampak dari kesalehan tersebut adalah manusia menjadi suci fikiran, spritual dan tindakan.49 Penyucian jiwa berdasarkan Islam dapat dilakukan dengan cara-cara, pertama mengeluarkan zakat (QS. 9:103), kedua, menjalankan pergaulan hidup secara terhormat (QS. 24:28), ketiga, dengan proses pendidikan (QS. 2:129, 151 dan 62:2). Keempat, karena karunia dan rahmat Allah (QS. 24:21 dan 4:49). Proses tazkiyah bisa datang karena dorongan sendiri atau didorong oleh orang lain atau bahkan dengan proses pemaksaan. 4. Metode Do’a dan Dzikir Dadang Hawari menyimpulkan bahwa do’a dan zikir merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi dari psiko-terapi biasa. Sebab, ia mengandung unsur spiritual yang dapat mengakibatkan harapan (hope) dan 47 al-Bait, 50 48 49 Abdul Rahman al-Nahlawiy, Ushûl Tarbiyah Islamiyah wa Wasâiluha fi al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), tc h. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 5. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 39. 62 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 rasa percaya diri (self confident) pada diri pasien. Dengan terapi itu, kekebalan (imunitas) tubuh meningkat, sehingga mempercepat proses penyembuhan. Ini tidak berarti terapi dengan obat dan tindakan medis diabaikan. Terapi medis disertai do’a dan zikir merupakan pendekatan holistik baru di dunia kedokteran modern.50 Al-Azkar jamak dari zikir yang artinya shalat kepada Allah dan berdoa kepada-Nya. Zikir yang dimaksudkan di sini yaitu zikir kepada Allah Swt. dengan bertasbih, bertahmid, dan memuji-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna dan sifat-sifat-Nya Yang Mahatinggi dengan syarat menghadirkan hati.51 Zikir ada dua macam, zikir dengan hati dan zikir dengan lisan. Kedua-nya harus dilakukan untuk menguatkan jiwa dan memebersihkannya dari berba-gai kotoran. Sedangkan al-awrad jamak dari wirid yang artinya adalah adz-zikir, sinonim wirid. Atau, wirid adalah bagian dari amalan yang manusia harus menyambungnya atau menghidupkannya dengan ibadah atau membaca al-Qur'an. Wirid memiliki urgensitas untuk membersihkan jiwa atau hati dari berbagai kotoran yang mengidap pada diri. Adapun al-Ad’iyah, jamak dari ad-Du’a, dalam konteks ini artinya adalah “memohon kepada Allah” atau “me-minta prtolongan kepada-Nya”. Tiga perkara ini, yaitu, zikir, wirid, dan doa adalah tuntutan agama.52 Oleh karenanya, melakukan ketiga perkara tersebut dapat memberikan pengaruh berupa mendekatkan manusia kepada Tuhannya dan menyucikan jiwa serta hatinya dari bisikan setan yang melekat dalam jiwa-nya. III Secara konsepsional pendidikan Ruhaniyah manusia menurut para ahli meliputi berbagai metode khusus. Metode-metode itu adalah sebagaimana yang dikemukakan para ahli tausauf dalam pandangannya tentang manusia. Mereka menggunakan metode Takhalli, Tahalli dan Tajalli, Ta’alluq, Takhalluq dan Tahaqquq, ta’abud (ibadah), do’a dan dzikir. Dengan metode-metode itu diharapkan jiwa atau rohaniyah manusia tetap sehat. Ia kemudian akan berpengaruh kepada kesehatan pemikiran atau akalnya yang berupa pisik sehingga tidak sakit atau tidak otm ( otak miring ) atau katakanlah gila. Oleh karenanya, maka penulis menyarankan agar setiap individu keluarga muslim di masing-masing rumah untuk melakukan 50 Dadang Hawari, Agama, Psikiatri, dan Kesehatan Jiwa dalam; Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia, 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cetakan ke-1, h. 133 51 52 ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud, al-Tarbiyah al-Rûhiyyah, h. 50 ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud, al-Tarbiyah al-Rûhiyyah, h. 52 63 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… pendidikan Rahaniyah putera-puterinya melalui metode-metode tersebut di atas. DAFTAR PUSTAKA ‘Adnan Syarîf, Min ‘Ilm an-Nafs al-Qur’ani, diterjemahkan oleh: Muhammad al-Migwar dan diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan Judul, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), Cetakan Ke-2, ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud, al-Tarbiyah al-Rûhiyyah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dengan judul: Pendidikan Rohani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cetakan ke-1, Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah wa Asâlibuha f î alBait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1979) tc, Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung : CV. Dipenogoro, 1988, Cet ke :1, Abdul Kholid dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cetakan ke-1, Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cetakan Ke-1 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta, SiPress, 1993), Cetakan ke-1, Abdul Rahman al-Nahlawiy, Ushûl Tarbiyah Islamiyah wa Wasâiluha fi al-Bait, al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), tc Abdurahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, [terj. H. M. Arifin dan Zaenudin], (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Cetakan ke-2, Abuddin Nata, Al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta: PT.Raja Grafiondo Persada, 1996), Cetakan ke-5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000), Cetakan ke-4 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001),Cetakan ke-1, Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986), Cetakan ke-4, Ali Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Dirasatun Muqaraanatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah, terj.( Jakarta, Rineka Cipta, 2002), Cetakan ke-2 al-Ragib al-Asfahany, al-Mufradât f î Gharîb al-Qur'an, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I,tc 64 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: UHAMKA Press, 2003), Cetakan ke-3, Andri Adriansyah, Pendidikan Rohani dalam Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Suryalaya Tasikmalaya, Tesis tidak diterbitkan (Jakarta: PPs UIN Syarifhidayatullah, 1997), Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta, Ciputat Press, 2002), Cetakan ke-1 Dadang Hawari, Agama, Psikiatri, dan Kesehatan Jiwa dalam; Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia, 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cetakan ke-1 Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, terj: Mari Juniati, (Jakarta: Erlangga, 1991), Jilid I, Cetakan ke-1 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami, Solusi atas Problema-Problema Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), Cetakan ke-1 Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi Sebagai Ilustrasi, Analisis dalam: Jurnal ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: LSAF, 1991), Vol. II Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta, UI Press,1985),Cetakan ke-1 Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif AgamaAgama, (Jakarta: DIKTI DEPDIKBUD, 1995), Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama, (Jakarta: DIKTI DEPDIKBUD, 1995), Cetakan ke-1 Hasan Shadili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Vanhoeve, 1998), Jilid VI, Cetakan ke-1 Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Kerja sama Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, 2002), Cetakan ke-I, Hery Noer Aly, h. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cetakan ke-2 Husein Shahab, Mengembangkan Segi-Segi Kecerdasan Spiritual di Bulan Ramadhan, (Jakarta, Paramadina, 2000), Cetakan ke-1 Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, shahih Muslim Syarah al-Nawawi, juz 3, (Indonesia, Maktabah Dahlan, tt), tc, Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cetakan ke-1, 65 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani… Komaruddin Hidayat, Manusia dan Penyempurnaan Dirinya: Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cetakan ke- I M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), Cetakan Ke-2 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cetakan ke-1 M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Bina Aksara, 1987), Cetakan ke-1 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), Cetakan ke-3 Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), Cetakan Ke-1 Mahmud Sayyid Sulthan, Muqaddimahh fi al-Tarbiyah, (Mesir: Dār alMa’ārif, 1979), Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta: PT Hidayakarya Agung, 1989), Cetakan ke-1, Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pepara, 1986,) Cetakan ke-1, Muhammad Usman Najati, al-Qur'an wa ‘Ilm al-Nafs, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh: Syihabuddin dan Tb. Ade Asnawi, dengan Judul: al-Qur'an dan Psikologi, (Jakarta: Aras Pustaka, 2003), Cetakan Ke3, Qasim Ghina, Tarikh al-TaSaw.wuf al-Islamî, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1970), Reza M Syarief, Spiritual Coaching: Kiat Praktis Menumbuhkan Ruhani dengan Sehat dan Akurat, (Jakarta: Kreasi Cerdas Utama, 2003), Cetakan ke-1 S. Ziyad Abbas (Ed), Pilihan Hadits Politik, Ekonomi, dan Sosial, (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1991), Cetakan ke-1, Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality, (New York: Crossroadf, 1991), Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Pengobatannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Cetakan ke-2, Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan alBanna, terj. (Jakarta, Bulan Bintang, 1980),Cetakan ke-1, Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), Cetakan ke-2 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta, YPI Ruhama, 1996), Cetakan ke-1 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cetakan ke-2 66 Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:46-66 67