Pendidikan Seni untuk Toleransi

advertisement
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
Pendidikan Seni untuk Toleransi
G. R. Lono Lastoro Simatupang
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
[email protected]
“By learning how the people in another culture express themselves musically,
students are not only given insights into others but also learn about themselves.”
“Studying the music of other cultures can broaden students’ sound base,
enabling them to be more open and tolerant of new musical sounds.”
Therese M. Volk (1998)
Pengantar
Empat belas tahun silam harian Kompas memberitakan uji coba Pendidikan Apresiasi
Seni (PAS) yang dilakukan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS)
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), bersama STSI Surakarta (sekarang ISI
Surakarta) dan Universitas Pendidikan Bandung. Proyek dukungan Ford Foundation
Jakarta, Persyarikatan Muhammadiyah, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
ini diharapkan membantu perumusan model PAS yang bisa diterapkan di lingkup
nasional. PAS bertujuan untuk memperkenalkan dan meningkatkan apresiasi siswa
terhadap berbagai bentuk ekspresi budaya, serta untuk menanamkan kesadaran
pluralitas. Uji coba dilakukan lewat pengenalan kesenian Topeng Cirebon dari desa
Lelea, Indramayu kepada siswa SD Muhammadiyah Karanganyar, Jawa Tengah.
Melukiskan jalannya proyek, Kompas menyajikan penggalan percakapan dalam kelas
sebagai berikut:
“Dan, masih dalam kaitan dengan budaya Sunda, kemudian menyinggung
upacara tradisi setempat yang disebut Ngarot di desa Lelea, Indramayu
(Jabar). Setelah itu, ia menanyakan kepada siswa, kegiatan tersebut berkaitan
dengan kepercayaan apa? Siswa pun menjawab, ‘Animisme.’ “Bagaimana
sikap Muslim memandang kegiatan tersebut? Apakah kita melecehkan atau
melarangnya? Para siswa SD Muhammadiyah itu menjawab spontan, ‘Tidak,
karena itu memang berkaitan dengan adat setempat.’”1
Walaupun potongan kutipan itu mungkin tidak menggambarkan setepat-tepatnya
interaksi guru-murid yang senyatanya terjadi di ruang kelas, pengaitan antara kesenian,
upacara adat dan praktek ritual semacam itu sungguh merisaukan, apalagi mengingat
bahwa hal itu terjadi dalam upaya penanaman kesadaran akan pluralitas. Muncul
pertanyaan: apakah melabeli Ngarot, atau Topeng Cirebon dengan ‘animisme’
merupakan langkah penumbuhan apresiasi pluralitas budaya yang bijak? Apakah orang
desa Lelea, Indramayu, atau pelaku Ngarot dan Topeng Cirebon, menganggap diri
animis?
Refleksi di atas menunjukkan betapa upaya penanaman kesadaran pluralitas budaya
melalui seni, yang telah dilakukan sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, memerlukan
kematangan pemikiran dan persiapan tidak sederhana, serta menuntut kebijaksanaan
pelaksanaan. Sayangnya wacana akademis tentang pendidikan seni dalam konteks
1
Kompas, 31 Agustus 2002. Garisbawah penulis.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
1
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
pluralitas budaya masih terbatas di Indonesia. Melalui tulisan ini penulis bermaksud
berbagi gagasan tentang pendidikan seni untuk toleransi yang disusun berdasarkan
pengalaman penyelenggaraan matakuliah Apresiasi Musik Etnik bagi mahasiswa
program studi S1 Antropologi di UGM.
Mengenalkan Perbedaan, Menemukan Kesamaan
Matakuliah Apresiasi Musik Etnik, dan tiga matakuliah apresiatif lainnya,2 diberikan
sebagai bagian integral pengenalan mahasiswa tahun pertama tentang konsep,
perspektif dan cara kerja antropologi – sebuah disiplin ilmu yang secara spesifik
berfokus pada pemahaman mengenai keanekaragaman budaya umat manusia.
Penyelenggaraan matakuliah tersebut bersandar pada ‘filosofi’ sederhana “tak kenal
maka tak sayang.” Dalam konteks pendidikan antropologi, ‘filosofi’ itu menganjurkan
perlunya mahasiswa mengenal budaya-budaya selain budaya diri sendiri. Meskipun
tampaknya kuliah apresiatif tersebut sepele, namun pelaksanaannya memerlukan
pengumpulan dan penyusunan materi yang cukup kompleks.
Proses perkuliahan Apresiasi Musik Etnik disusun berdasarkan sebuah nalar andragogi
(pendidikan untuk orang dewasa) yang dijuluki ‘Johari’s window’ berserta
semboyannya ‘masuk dari jendela mereka, keluar dari pintu kita.’ Mengikuti semboyan
tersebut, proses pembelajaran dimulai dengan memasuki dunia musik melalui ‘jendela’
musik yang diakrabi mahasiswa, namun proses selanjutnya mengarah pada ‘pintu’
luaran berupa kesadaran akan pluralitas jagad musik.
THE ANTHROPOLOGY OF MUSIC
Sesi-sesi awal pertemuan berupa pengarahan mahasiswa pada pengertian musik dan
budaya sebagaimana dikemukakan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music.
Secara ringkas mahasiswa diperkenalkan pada tiga dimensi musik: konsep musikal,
2
Tiga mata kuliah apresiatif yang lain adalah Apresiasi Film Etnografi, Apresiasi Kuliner Etnik, dan
Apresiasi Kriya Etnik.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
2
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
perilaku musikal, dan materi musik, serta interrelasi ketiganya.3 Penjelasan tentang
ketiga dimensi musik tersebut dilakukan dengan merujuk pada pengetahuan dan
pengalaman musikal mahasiswa (‘jendela’ mereka). Diasumsikan bahwa pengetahuan
musikal mayoritas mahasiswa terutama merujuk pada musik ‘barat.’ Asumsi ini
dibangun berdasarkan kenyataan sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas
mereka lebih sering diperkenalkan pada khasanah musik ‘barat.’ Begitu pula, dalam
kehidupan sehari-hari kita lebih sering mendengar dan berkegiatan musik ‘barat.’
Konsep-konsep tentang ‘musik,’ ‘nada,’ ‘melodi,’ ‘irama,’ ‘harmoni,’ kategorisasi
‘instrumen musik,’ yang telah mereka ketahui digunakan sebagai titik-berangkat
penjelajahan keanekaragaman jagat musik.
Secara garis besar, penjelajahan pluralitas musik dilakukan dengan cara
mendekonstruksi konsep musik (‘barat’ dan pop) yang selama ini ‘ditelan’ begitu saja.
Dekonstruksi ini berupa pembenturan konsep musikal ‘barat’ dengan kenyataan
pluralitas fenomena maupun praktik musikal. Contohnya, kepada mahasiswa diminta
membandingkan cara bernyanyi dalam lagu pop dengan salah satu cara bernyanyi
orang Maasai di sepanjang sungai Nil, Kenya bagian Selatan dan Tanzania bagian
Utara. Dapat pula dilanjutkan dengan mendengarkan vokalisasi pemain teater Noh
Jepang. Contoh-contoh tersebut disajikan untuk mempertanyakan kembali pengertian
dan batasan, misalnya, apa itu menyanyi? Apa bedanya dengan berbicara, mengeluh,
menggeram, dan seterusnya. Diskusi tentang perbedaan demi perbedaan tersebut
diarahkan pada pelonggaran batasan menyanyi yang selama ini dipahami, menuju pada
pengertian ‘menyanyi’ atau ‘musik’ yang lebih inklusif sebagai gejala pengaturan bunyi
– tanpa harus membatasi pada teknik maupun jenis atau kualitas bunyi (manusia
maupun benda) tertentu.
Strategi serupa juga diterapkan untuk mendekonstruksi pengertian nada. Dalam sesi ini
diperkenalkan prinsip pokok pengaturan bunyi berdasarkan tinggi rendahnya.
Pembedaan tinggi-rendah bunyi yang paling sederhana berupa dua buah bunyi: rendah
dan tinggi tanpa menentukan interval kedua bunyi tersebut. Pembedaan tinggi-rendah
bunyi tanpa penetapan interval, baik pembedaan dalam dua, tiga, atau lebih banyak
kategori, sejatinya merupakan prinsip dasar yang diterapkan pada alat-alat musik
perkusi bermembran seperti tabla.
Teknik Pukulan Tabla (Sumber: Youtube)
3
Tiga dimensi musikal Merriam dapat dengan mudah disejajarkan dengan pendapat Koentjaraningrat
tentang tiga wujud kebudayaan: gagasan/nilai, perilaku, dan materi.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
3
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
Permainan tabla di India mengenal pembedaan 6 jenis bunyi gendang yang disimbolkan
dalam suku kata: na, ti, ting untuk bunyi gendang kecil, dan tha, thi, thing bila masingmasing bunyi gendang kecil tersebut dibunyikan bersama dengan pemukulan gendang
besar. Sementara itu, angklung dan kenong pengiring reyog Ponorogo juga hanya
dibedakan berdasarkan tinggi dan rendah bunyi, yang disebut ‘krik’ dan ‘krok’ untuk
angklung serta ‘ning’ dan ‘nong’ untuk kenong. Melalui contoh-contoh serupa ini,
mahasiswa diajak untuk melonggarkan pengertian nada yang sejatinya sangat
berorientasi musik ‘barat’ untuk mencapai pengertian yang lebih universal dan inklusif
tentang tinggi-rendah bunyi.
Peninjauan ulang kemudian berlanjut pada pengertian sistem tangganada (scale
system). Untuk membahas topik ini disajikan contoh sistem tangganada gamelan (Jawa,
Bali, Sunda) dan dapat juga diperkenalkan dengan variasi 7 Maqom Tilawah Seni Baca
al-Quran. Pembahasan sistem tangganada slendro dan pelog dalam gamelan juga
membuka peluang untuk memperkenalkan konsep pathet yang kurang lebih setara
dengan modus dalam tradisi musik ‘barat.’
Saron Slendro Gamelan Jawa (Sumber: Youtube)
Salah satu materi bahasan yang menarik adalah perihal warna suara (tone color,
tembre). Topik ini jarang dibicarakan dalam jenjang pendidikan sebelumnya. Padahal,
warna suara merupakan salah satu unsur musik yang mendasar: musik bukan melulu
pengaturan tinggi-rendah dan panjang-pendek bunyi, melainkan juga pengaturan warna
suara – baik yang dihasilkan oleh tubuh manusia maupun oleh alat bunyi lainnya. Di
sini mahasiswa diajak untuk mengenali kekayaan warna suara dan bagaimana
masyarakat yang berlainan mengolah variasi warna suara yang mereka kenal (tentu saja
bersama dengan tinggi-rendah dan panjang-pendek bunyi) untuk memproduksi musik.
Materi contoh warna suara yang paling saya sukai adalah throat singing orang-orang
Tuva yang hidup di perbatasan RRC dan Rusia. Throat singing sangat mengejutkan
kebanyakan peserta kelas karena tidak terbiasa mendengar teknik vokal yang
memproduksi lebih dari satu bunyi – suara rendah menggeram yang panjang disertai
suara suara tinggi yang meliuk-liuk seperti bunyi seruling.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
4
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
Tuvan Throat Singing (Sumber: Youtube)
Untuk menjembatani antara pengalaman mendengar warna suara vokal orang Tuva
dengan pengalaman yang pernah atau dapat didengar mahasiswa dalam khasanah musik
pop, teknik throat singing tersebut dapat disandingkan dengan teknik vokal penyanyi
dari kelompok Linkin Park; atau dengan teknik vokal pemeran drama tradisional
Gambuh di Bali. Hanya saja, teknik-teknik vokal yang disebut belakangan tidak
menghasilkan ganda-suara.
Video-clip berjudul Foli suntingan Thomas Reubers dan Floris Leuwenberg menyajikan
contoh sangat baik tentang pengaturan variasi warna suara bebunyian secara ritmis
menjadi sebuah komposisi musik yang menawan.
Foli (Sumber: Youtube)
Topik warna-suara merupakan pengantar bagi pembahasan tentang teknik produksi
bunyi. Di sini pendapat Alfred Gell bahwa seni merupakan teknologi pesona
(technology of enchantment) memperoleh ruang pembahasan yang tepat. Ringkasnya,
Gell menyatakan bahwa daya pesona seni (termasuk musik) terletak pada teknik
produksi karya seni.4 Contoh sederhana tentang pesona teknik tersebut dijumpai pada
4
Alfred Gell. 2005. ‘The Technology of Enchantment and the Enchantment of Technology,’ dalam
Anthropology, Art and Aesthetics, Jeremy Coote dan Anthony Shelton (Eds.), Oxford: Oxford University
Press
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
5
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
komentar pemirsa/apresiator seni yang sering dijumpai: “Kok bisa ya.” Komentar
semacam itu jelas diberikan pada aspek ketrampilan teknis pencipta/penyaji karya seni.
Materi pembelajaran yang tepat digunakan untuk membangkitkan apresiasi pada
ketrampuilan teknis adalah teknik pernapasan berputar (circular breathing) yang
dimi8liki para pemain alat tiup etnik, seperti didgeridoo (Aborigin Australia), saluang
(Minangkabau), slompret (reog Ponorogo), dan lain sebagainya. Teknik pernapasan
yang memungkinkan pemain alat tiup mengalirkan udara tanpa henti seperti ini
bukanlah hal yang mudah dikuasai. Melalui contoh-contoh tersebut dibangun apresiasi
(penghargaan) terhadap aspek teknik musik etnik.
Circular Breathing peniup Slompret Ponorogo (Sumber: Youtube)
Pembahasan teknik produksi bunyi di atas dapat dilanjutkan dengan penyandingan
dengan kemudahan teknis yang disediakan oleh teknologi alat musik elektronik,
terutama sesudah ditemukannya Musical Instrument Digital Interface (MIDI). Pada
topik bahasan ini mahasiswa diajak mengenali dilema perkembangan dan pertumbuhan
teknologi rekam dan rekayasa bunyi (mulai dari amplifier, radio, hingga editing)
melalui tulisan Steve Feld, seorang etnomosikolog.5 Feld menggunakan istilah
schizophonia yang diperkenalkan oleh Murray Schafer untuk menyebut keterpisahan
(schizm) bunyi dari sumber bunyi asali, serta menyebut pelipatgandaan lahirnya
produk-produk musikal akibat pemisahan tersebut dengan istilah schizmogenesis.
Contoh paling menyolok dari schizophonia dan schizmogenesis adalah kehadiran
“organ tunggal” dengan keyboard canggihnya. Keyboard canggih semacam itu
merupakan buah perkawinan antara teknologi dan industri-kapitalistik yang berslogan
“user friendly” (ramah pengguna), memudahkan pengguna. Pada sisi kemudahan
pengguna kehadiran keyboard pantas disyukuri, namun di sisi lain kehadirannya
menekan peran penting relasi sosial dalam proses penguasaan teknik permainan serta
menyempitkan ruang kolektivitas permainan musik. Dengan demikian, diskusi dapat
diarahkan pada pemahaman tentang apresiasi musik yang berfokus pada proses dengan
yang merujuk pada hasil; individual versus kolektif.
5
Steve Feld. 1995. ‘From Schizophonia to Schizmogenesis. The Discourse and Practice of World Music
and World Dance,’ dalam The Traffic in Culture. Refiguring Art and Anthropology. George E. Marcus
dan Fred R Myers (eds). Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
6
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
Kolektivitas Kuntulan Banyuwangi (Sumber: Youtube)
Menghidupi Tradisi: Dari Dekonstruksi Menuju Rekonstruksi
Salah satu ciri khas pembelajaran untuk orang dewasa adalah perlunya partisipan
belajar memperoleh gambaran kegunaan pengetahuan yang dipelajari. Bagi orang
dewasa, materi pembelajaran akan lebih kuat diterima dan terhayati bila pengetahuan
tersebut memiliki kegunaan praktikal. Matakuliah Apresiasi Musik Etnik menjawab
tantangan tersebut dengan membahas dan memberi contoh pemanfaatan elemen-elemen
bunyi etnik bagi musik masa kini. Pengenalan bagaimana elemen-elemen bunyi etnik
digunakan dalam kehidupan musik masa kini diharapkan mampu meningkatkan
penghargaan terhadap musik etnik.
Contoh pemanfaatan musik etnik dalam musik populer yang paling sederhana dijumpai
pada penggunaan alat bunyi etnik oleh kelompok musik populer. Jenis alat bunyi etnik
yang paling sering digunakan dalam format musik populer adalah perkusi bermembran,
seperti tabla, jembe, kendang, dan alat bunyi ritmis lainnya. Alat bunyi tradisional
bernada, misalnya alat bunyi tiup, petik, dan pukul (logam maupun kayu) lebih jarang
dan sulit dicampurkan dengan alat musik ‘Barat’ modern karena adanya perbedaan
sistem tangga nada (tone system). Meskipun demikian, ada pula alat bunyi etnik
berdawai (yang digesek maupun dipetik) yang ketegangan dawainya diatur
menyesuaikan tangga nada musik ‘barat’ modern. Begitu pula, pengubahan tinggi
rendah bunyi dan interval dapat dilakukan pada alat bunyi tradisional logam maupun
kayu yang dimainkan dengan cara dipukul (angklung, gamelan, marimba, dan lainnya).
Kehadiran berbagai warna suara alat bunyi tradisional di antara bebunyian alat
elektronik menghadirkan nuansa bunyi yang alami dan variatif. Kelompok 12 Girls
Band dari Cina merupakan salah satu contoh penggunaan alat musik etnik tradisional
dalam format musik populer. Komposisi musik karya selusin perempuan ini
menyajikan bunyi-bunyian khas alat musik etnik tradisional Cina, namun sekaligus
cukup akrab di telinga karena dikemas dalam citarasa musik pop modern. Di tanah air
gejala serupa antara lain dapat dijumpai pada Saung Angklung Mang Ujo, Bandung,
Jawa Barat. Mereka menggunakan ensambel angklung yang telah ditala secara kromatis
musik ‘barat’ untuk memainkan lagu-lagu populer, misalnya We Are the Champion
yang dipopulerkan oleh grup rock Inggris The Queen.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
7
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
12 Girls Band (Sumber: Youtube)
November 23, 2016
Angklung Mang Ujo (Sumber:Youtube)
Pemanfaatan ke dalam musik populer juga dilakukan berupa pencangkokan idiom
musikal etnik ke dalam karya musik populer. Salah satu contoh yang baik untuk praktik
ini adalah kelompok Ladysmith Black Mambazo dari Zulu, Afrika. Kelompok accapela
laki-laki ini menyajikan lagu-lagu dengan teknik dan gaya bernyanyi etnik mereka yang
khas. Keunikan nyanyian mereka telah menarik perhatian Paul Simon untuk
berkolaborasi dalam album Graceland, dan suara mereka juga dapat dinikmati dalam
lagu tema film The Lion King.
Ladysmith Black Mambazo (Sumber: Youtube)
Masih dalam topik bahasan persenyawaan alat bunyi dan idiom musik etnik dengan
musik populer, mahasiswa juga diajak untuk mengapresiasi musik dangdut dan
keroncong. Ditunjukkan bagaimana dangdut menyerap berbagai unsur musikal etnik,
mulai dari alat bunyi, melodi hingga teknik vokal penyanyinya. Sementara itu,
permainan cello pada musik keroncong dapat digunakan sebagai contoh bagaimana alat
musik ‘Barat’ dimainkan dengan teknik dan pola permainan yang mengacu pola
permainan kendang ciblonan dalam tradisi gamelan Jawa. Keroncong dan dangdut, dua
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
8
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
jenis musik hibrida produk kreativitas anak bangsa tersebut, saat ini diakui dunia
sebagai dua jenis musik populer Indonesia.
Penutup
Paparan di atas telah menggambarkan bagaimana matakuliah Apresiasi Musik Etnik
telah diarahkan pada penumbuhan kesadaran akan perbedaan dan kemajemukan
(pluralitas) jagat musik. Darinya dapat dirangkum butir-butir gagasan umum sebagai
berikut:
1. Mengalami materi dan perilaku seni yang berbeda dari yang biasanya dialami
merupakan syarat utama bagi apresiasi pluralitas seni. Pengenalan materi dan
perilaku seni yang berbeda-beda diarahkan pada ditemukannya kesamaan atau
padanan di ranah konseptual.
2. Penilaian estetik (misalnya indah/buruk, merdu/sumbang) diakui keniscayaannya
bukan sebagai norma untuk diikuti begitu saja, namun untuk dikritisi kemampuan
norma tersebut bagi pemahaman gejala seni yang lebih luas dan inklusif.
3. Salah satu alternatif menuju pemahaman seni yang lebih inklusif adalah dengan
memandang seni secara akademis sebagai teknik pengaturan gejala inderawi
untuk menghasilkan pesona.
4. Pendekatan teknis terhadap seni membuka peluang bagi pemanfaatan dan
pengkombinasian berbagai unsur material dan perilaku seni untuk kerja kreatif
seni atau untuk mengapresiasi karya-karya serupa.
Sementara itu, paparan di atas juga menunjukkan bahwa:
1. Pendidik seni untuk toleransi terutama perlu memiliki pengetahuan, pengalaman
dan menguasai perbendaharaan seni yang kaya serta beranekaragam.
2. Keterbatasan penguasaan teknis pendidik seni dapat dilengkapi lewat penggunaan
sumber-sumber informasi internet untuk menghadirkan contoh-contoh materi
pembelajaran.
Akhirnya, mengutip ulang kolofon di awal tulisan, penulis percaya bahwa “By learning
how the people in another culture express themselves musically, students are not only
given insights into others but also learn about themselves.”
******
Daftar Pustaka
Feld, Steve. 1995. ‘From Schizophonia to Schizmogenesis. The Discourse and Practice
of World Music and World Dance,’ dalam The Traffic in Culture. Refiguring Art
and Anthropology. George E. Marcus dan Fred R Myers (eds). Berkeley, Los
Angeles, London: University of California Press.
Gell, Alfred. 2005. ‘The Technology of Enchantment and the Enchantment of
Technology,’ dalam Anthropology, Art and Aesthetics, Jeremy Coote dan
Anthony Shelton (Eds.), Oxford: Oxford University Press.
Volk, Terese M.. 1998. Music Education and Multiculturalism. Foundations and
Principles. New York & Oxford: Oxford University Press.
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
9
International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture”
November 23, 2016
BIODATA SINGKAT
Nama lengkap
: Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang
Tempat/Tgl Lahir
: Yogyakarta, 22 Maret 1960
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan Terakhir : Doktor Antropologi, University of Sydney (2004), disertasi
“Play and Display. An Ethnographic Study of Reyog Ponorogo
in East Java, Indonesia.”
Instansi Kerja
: Departemen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, UGM
Pekerjaan
: Dosen di Departemen Antropologi Budaya, FIB, UGM; di
Program Studi S2/S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Sekolah Pasca Sarjana, UGM, dan di Program Studi
S2/S3 Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pasca Sarjana, UGM.
Jabatan
: Ketua Program Studi S2/S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa, Sekolah Pasca Sarjana, UGM (2012 – sekarang)
Publikasi
: Pergelaran. Mozaik Kajian Seni dan Budaya. Yogyakarta:
Jalasutra (2013)
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
10
Download