MANAJEMEN BENCANA SOSIAL DAN AKAR KONFLIK SOSIAL

advertisement
RUANG UTAMA
MANAJEMEN BENCANA SOSIAL DAN AKAR KONFLIK
SOSIAL
M. Harun Alrasyid
Abstract
As plural society Indonesia has potentially to be chaos. After economic crisis
there are many social conflicts appear into surface. In this paper are talk about
how to manage social disaster and social conflict.
Kata Kunci: Manajemen, Bencana, Konflik, Sosial
"What a piece of work is man.
How noble in reason, how infinite in
faculties,
in form and moving how express and
admirable, in action how like an
angel..."
(HAMLET)
Pada
awal
tahun
2005,
beberapa jaringan LSM di Jakarta
mengadakan semiloka yang bertajuk
“Pluralisme, Konflik Sosial dan
Perdamaian” dengan mengundang
beberapa elemen masyarakat yang
terlibat konflik, seperti dari Pontianak,
Sampit, Poso, Maluku, Irian, Aceh
dan beberapa pakar. Para peserta
diminta untuk menyampaikan secara
spontan, pemahaman mereka tentang
“Pluralisme dan Konflik” menurut
mereka sendiri (bukan menurut
kamus, pendapat orang atau buku).
Beberapa peserta kemudian mendeskripsikan sendiri berdasarkan
pengalaman masing-masing. Jawaban dari para peserta sangat
menakjubkan. Mereka yang notabene
bukan kelompok masyarakat yang
berpendidikan tinggi mampu men-
deskripsikannya secara nyata. Misalnya, pluralisme adalah kenyataan
tentang perbedaan yang merupakan
fakta ciptaan Tuhan. Konflik dideskripsikan sebagai ketidakmampuan menerima perbedaan.
Diskusi kemudian dilanjutkan
dengan sebuah pertanyaan, “apa
akibat dari konflik yang berujung
pada`kekerasan?”
Sebuah
pertanyaan yang bukan saja menantang
kita saat ini, tetapi juga memberi
prospek ke depan, bagaimana kita
mampu mengantisipasi dan mengelola dinamika masyarakat. Pertanyaan seperti ini sangat penting
diajukan bukan saja kepada para
peserta, tapi kita semua sebagai anak
bangsa, mengingat Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat
plural dan sangat potensial memunculkan konflik yang mengarah
pada kekerasan.
Fakta
menunjukkan
bahwa
sejak awal tahun 1999 (Ichsan Malik.
2003), satu tahun, setelah krisis
ekonomi, yang kemudian berlanjut
dengan
krisis
politik
yang
mengakibatkan runtuhnya peme-
rintahan Orde Baru, meledaklah
konflik sosial atau konflik antar
kelompok
masyarakat
dengan
menggunakan identitas agama dan
etnis di berbagai propinsi di Indonesia
seperti Maluku, Poso dan Sampit.
Yang paling ekstrim konfliknya adalah
di Maluku, dengan korban nyawa
ribuan jiwa, 300 ribu orang menjadi
pengungsi di negerinya sendiri,
masyarakat terbelah menjadi dua
berdasarkan identitas agama, kedua
kelompok dilanda rasa putus asa,
rasa dendam yang masih terus
membara, serta ”luka psikologis” yang
masih menganga pada sebahagian
korban hingga saat ini.
Rentetan konflik yang telah
memakan korban tak terhingga
sepatutnya menjadi bahan renungan
bagi kita semua, bahwa konflik
kekerasan hanyalah meninggalkan
luka yang tak berkesudahan. Konflik
yang semakin meluas ini seyogyanya
menjadi bahan pelajaran tentang
perlunya rekonstruksi wacana dan
praktik kebangsaan yang baru, di
mana selama tiga dasawarsa terakhir
mengalami
disorientasi
lewat
konstruksi yang dipaksakan dan
hanya
memenuhi
absolutisme
negara. Sistem poitik Orde Baru
adalah contoh bagaimana wawasan
kebangsaan
digunakan
sebagai
instrumen untuk memaksa warganya
tunduk dan patuh atas nama
nasionalisme dan kepentingan nasional.
sempit lainnya semakin mengkristal
dalam
kehidupan
masyarakat.
Kenyataan ini mendorong mencuatnya
kembali
pembahasan
mengenai pentingnya reaktualisasi
wawasan kebangsaan. Nilai-nilai
moral banyak dilanggar, kerukunan
dirusak, dan kedamaian dicabikcabik. Perkelahian antar etnis makin
besar, pertarungan antar golongan
makin keras, permusuhan antar
agama makin meletup, pertikaian
antar elite makin mengembang.
Bahkan tawuran antar siswa makin
menjadi-jadi. Itu semua melambangkan makin lemahnya manusia
Indonesia sekarang dalam mengaplikasi nilai-nilai kebangsaan.
Samuel Huntington pernah
berkomentar pada akhir abad ke-20,
bahwa Indonesia adalah negara yang
mempunyai potensi paling besar
untuk hancur, setelah Yugoslavia dan
Uni Soviet akhir abad ke-20 ini.
Demikian juga Clifford Geertz,
antropolog yang Indonesianis ini
pernah mengatakan; kalau bangsa
Indonesia
tidak
pandai-pandai
memanajemen
keanekaragaman
etnik, budaya, dan solidaritas etnik,
maka Indonesia akan pecah menjadi
negara-negara kecil.
Masalah wawasan kebangsaan
dalam
negara
kesatuan
yang
multietnik dan struktur masyarakatnya
majemuk, seperti “srigala berbulu
domba” atau penuh ambivalensi
(ambigu). Perfomancenya menam pakan
sebuah
keseimbangan
(equillibrium) diantara struktur sosial,
politik, dan kebudayaan, tetapi isinya
penuh dengan intrik, ketidakpuasan,
paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak
kunjung selesai.
Wawasan Kebangsaan: Mitos yang
mulai pudar
Banyak kalangan mulai mempersoalkan mengapa sekarang ini
paham kelompok atau golongan,
sikap individualistik dan wawasan
2
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Wawasan kebangsaan atau
nasionalisme adalah ideologi yang
memandang seluruh rakyat yang
menginginkan membangun masa
depannya secara bersama sebagai
suatu nation atau bangsa. Ir
Soekarno sebagai tokoh pergerakan
nasional Indonesia amat gemar
mengutip penjelasan Ernest Renan
dan Otto Bauer. (Heriyadi, 2004).
Ernest Renan menerangkan, nation
adalah mereka yang mempunyai
hasrat kuat untuk hidup bersama.
bangsa menjaga kemampuan survivalnya.
Otto
Bauer menambahkan
suatu faktor lagi untuk terbentuknya
bangsa, yaitu persamaan watak yang
terbentuk dari persamaan nasib. Ciri
khas suatu nation adalah adanya
persamaan status dari seluruh rakyat
walaupun beraneka ragam latar
belakang agama, ras, etnik atau
golongannya.
Dalam
lingkup
Indonesia,
berkembang pula berbagai pemikiran
yang membatasi pengertian wawasan
kebangsaan. Salah satunya adalah
pandangan Siswono Yudohusodo
(1996) yang mengatakan, substansi
dari
rasa
kebangsaan
adalah
kesadaran untuk bersatu sebagai
suatu bangsa akibat kesamaan
sejarah dan kepentingan masa
depannya dan merupakan perekat
yang
mempersatukan
sekaligus
memberi dasar kepada jati diri
bangsa. Operasionalisasi dari rasa
kebangsaan itu kemudian disebut
sebagai wawasan kebangsaan.
Ada beberapa kriteria yang
dapat digunakan untuk memaknai
pemahaman
itu.
(1)
Adanya
keputusan rakyat untuk bersatu
sebagai bangsa. (2) Perasaan
senasib dan sepenanggungan. (3)
Adanya kepentingan bersama dan
kepentingan dari unsur-unsur pembentuk bangsa. (4) Kesadaran mendahulukan kepentingan yang lebih
besar ketimbang kepentingan pribadi
atau golongan. (5) Semangat untuk
mempertahankan rasa dan semangat
kebangsaan itu. (6) Adanya kemampuan bangsa untuk secara terusmenerus memenuhi kepentingan
unsur-unsur pembentuknya. (Heriyadi, 2004)
"Bangsa ialah jiwa, suatu asas
rohani. Dua hal yang sesungguhnya hanya berwujud satu
yang membentuk jiwa atau asas
rohani itu. Yang satu terdapat
dalam waktu yang silam, yang
lain dalam waktu sekarang. Yang
satu yakni me-miliki bersama
kenang-kenang-an yang kaya
raya, yang lain mempergunakan
warisan yang diterima secara
tidak terbagi. Bangsa tidak timbul
se-konyong-konyong, melainkan
hasil masa silam yang penuh
dengan usaha, pengorbanan dan
pengabdian." (Dalam S Bahar:
2000).
Hal yang menjadi penekanan
Renan, asumsi hidup sebagai suatu
bangsa adalah suatu plebisit atau
keputusan rakyat dan keputusan
tersebut
didasari
oleh
adanya
keinginan dari segenap komponennya. Keinginan sendiri itulah yang
akhirnya menjadi satu-satunya kriterium atau tanda pengenal dan
pegangan yang sah dan harus selalu
diperhatikan. Ketidakmampuan bangsa memelihara dan memenuhi
keinginan komponen bangsa itu, akan
menjadi pemicu awal gagalnya suatu
3
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Dalam wawasan kebangsaan
kita dewasa ini, unsur tadi dirasakan
semakin mengalami kemunduran
yang drastis. Bahkan ada yang
mengatakan
telah
kehilangan
"greget".
Misalnya,
mencuatnya
paham kelompok/golongan, miskin
nasionalisme, warga bangsa seperti
kehilangan
daya
rekat,
konflik
horizontal, konflik vertikal. (Ryacudu,
2004)
Karena
itu,
dalam
upaya
merekonstruksi konsepsi kebangsaan
kita di era reformasi ini, setidaknya
ada tiga tantangan yang terlebih
dahulu harus mendapat perhatian
serius. Pertama, jika kita mengartikan
Indonesia sebagai nation state sebagaimana pembentukan nation state
di Eropa, maka konsepsi kebangsaan
kita memang telah “membingungkan”
sejak awal (complecatted). Jika
rasionalitas
pembentukan nation
state di Eropa adalah pengelompokkan sosiokultural yang dibangun
bersama dalam dan melalui state,
maka pembentukan nation state di
Indonesia lebih karena “beban” politik
yang mesti ditanggung sepeninggal
hengkangnya pemerintah kolonial.
Kedua, nation dan state adalah
dua domain yang berbeda namun
berimpit posisinya dalam konteks
pembentukan negara modern. Namun
yang terjadi selama dekade rezim
Orde Baru lebih sebagai perebutan
dan penaklukan domain nation oleh
state. Pluralitas diakui namun lebih
bersifat artifisial dan berikutnya
beranjak menjadi haram dalam
pengelolaan wacana kebangsaan dan
kenegaraan. Kebutuhan strategis
yang hendak dielaborasi adalah
bagaimana ada perimbangan baru
antara wilayah nation dan state ini
dalam
lingkup Indonesia yang
multikultural. Yang diharapkan kemudian adalah munculnya kebijakankebijakan politik yang lebih adil dan
sensitif terhadap pluralitas keindonesiaan. Jika selama ini negara
tampil sebagai aktor yang dominan di
atas masyarakat, maka kerangka
pengelolaan ke depan membutuhkan
pelibatan
yang lebih besar dari
masyarakat.
Ketiga,
kegagalan
untuk
menemukan satu faktor yang secara
kuat
dapat menumbuhkan
kebanggaan kolektif atau membuat
berbagai
komponen
masyarakat
merasa satu. Identitas kolektif seperti
Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai sumber perekat
bangsa, seperti kehilangan makna,
tenggelam oleh bangkitnya sentimen
primordial yang cenderung eksklusif.
Karena itu, pencarian kebanggaan
kolektif merupakan kebutuhan yang
mendesak sebagai upaya untuk
merevitalisasi wawasan kebangsaan
yang mulai menurun.
Namun, terlepas dari tiga
tantangan tersebut, hal pokok yang
harus dipetik dan disepakati bahwa
persatuan bangsa yang kita bangun
tidak tersaji atas landasan dan
kepentingan etnik, maupun primordialisme. Tidak juga bersifat
temporer dan untuk waktu sementara.
Persatuan nasional itu dibangun dan
ditegakkan justru lebih didasari oleh
landasan
etik
dan
kesadaran
bersama sebagai satu bangsa
sehingga nilai-nilai etika kebangsaan
yang menyangkut persatuan dan
kesatuan terbangun cukup kuat untuk
mengakomodasikan berbagai perbedaan
dan
bahkan
konflik
kepentingan.
4
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Konflik
Sosial:
Bangsa Multietnik
Keniscayaan
Hal ini sesuai dengan konsep
konflik yang definisikan oleh Lewis
Coser, bahwa konflik sesungguhnya
adalah usaha untuk memperebutkan
status, kekuasaan, dan sumbersumber ekonomi yang sifatnya
terbatas, di mana pihak-pihak yang
berkonflik bukan hanya berniat untuk
memperoleh barang yang dimaksud
tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya. Dalam kondisi
konflik, maka sadar ataupun tidak
sadar setiap yang berselisih akan
berusaha untuk meningkatkan dan
mengabdikan diri dengan cara
memperkokoh solidaritas di antara
sesama anggotanya. Misalnya, membentuk
organisasi-organisasi
kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama; mendirikan sekolah untuk
memperkuat
identitas
kultural,
meningkatkan sentimenitas etnosentrisme, stereotipisme, keagamaan
dan usaha-usaha lain yang meningkatkan primordialisme.
Dengan struktur sosial yang
sedemikian kompleks, sangat rasional
sekali bila Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar
etnik, kesenjangan sosial, dan sukar
sekali terjadinya integrasi secara
permanen.
Hambatan
demikian
semakin nampak dengan jelas, jika
diferensiasi sosial berdasarkan parameter suku bangsa jatuh berhimpitan
(Coincided) dengan parameter lain
(agama,
kelas,
ekonomi,
dan
bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari parameter
sosial yang satu cenderung berkembang
saling
mengukuhkan
dengan sentimen-sentimen yang
bersumber dari diferensiasi sosial
berdasarkan parameter yang lain.
Konsolidasi parameter struktur sosial
Kata konflik menurut Kamus
Bahasa
Indonesia
berarti
percekcokan, perselisihan, pertikaian,
pertentangan, benturan, atau clash
antar manusia. Konflik seperti itu bisa
timbul bila ada perbedaan pendapat,
pandangan, nilai, cita- cita, keinginan,
kebutuhan, perasaan, kepentingan,
kelakuan, atau kebiasaan. Sedangkan dalam pengertian yang umum
(longgar),
didefinisikan
sebagai
perbedaan sosio-kultural, ekonomi,
politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada
dasarnya tak bisa dipisahkan dari
hakikat keberadaan manusia dalam
kehidupan kolektif. Apalagi bangsa
kita dianugerahi keanekaragaman
sosio-kultural yang bahkan sering
saling tumpang tindih. Karena itu
wajar jika bangsa yang heterogen ini
menyimpan potensi konflik tinggi.
Sementara
itu
segmentasi
dalam bentuk terjadinya kesatuankesatuan sosial yang terikat ke dalam
ikatan-ikatan primordial dengan subkebudayaan yang berbeda sangat
mudah sekali melahirkan konflikkonflik sosial. Dalam kondisi seperti
ini, konflik akan terjadi dalam dua
dimensi; dimensi pertama adalah
konflik di tingkatan ideologis, konflik
ini terwujud di dalam bentuk konflik
antara sistem nilai yang dianut oleh
etnik pendukungnya serta menjadi
ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi
kedua adalah konflik yang terjadi
dalam tingkatan politis, pada konflik
ini terjadi dalam bentuk pertentangan
dalam pembagian status kekuasaan
dan sumber ekonomi yang terbatas
dalam masyarakat. (Nasikun, 1989).
5
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
(Concolidated Social Structure) yang
demikian
menurut
Peter
Blau
merupakan kendala yang paling
besar bagi terciptanya integrasi
sosial.
Sementara itu ,secara antropologis diferensiasi sosial yang
melingkupi
struktur
sosial
kemajemukan masyarakat Indonesia
adalah; pertama, diferensiasi yang
disebabkan oleh perbedaan adat
istiadat (custome diferentiation). Hal
ini karena perbedaan etnik, budaya,
agama, dan bahasa. Kedua adalah
diferensiasi yang disebabkan oleh
struktural (strucural diferentiation).
Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengakses ekonomi
dan politik secara adil, sehingga
menyebabkan kesenjangan sosial di
antara etnik yang berbeda. Pada
zaman Hindia-Belanda masyarakat
Indonesia digolongkan menjadi tiga
golongan oleh antropolog Belanda
Furnivall; yaitu golongan penjajah
Belanda yang menempati tingkat
pertama, kedua adalah golongan
minoritas Cina, sedangkan golongan
pribumi menempati tingkat yang
ketiga.
Terlepas
dari
pendekatan
konsep mana yang akan digunakan,
tapi secara substansi semua konsep
yang menjelaskan tentang heteregonitas (kemajemukan) ataupun
masyarakat
yang
plural,
pada
hakekatnya tidak jauh berbeda
(congruent). Pada satu sisi kemajemukan menyimpan kekayaan
budaya dan khasanah tentang
kehidupan bersama yang harmonis,
jika integrasi berjalan dengan baik
(menurut
aksioma;
structural
functionalism approach). Tetapi pada
sisi
lain,
kemajemukan
selalu
menyimpan dan menyebabkan ter-
jadinya konflik antar etnik, baik yang
bersifat
latency maupun
yang
manifest (dalam aksioma, conflict
approach) yang disebabkan oleh
etnosentrisme, primordialisme dan
kesenjangan sosial.
Wawasan
Kebangsaan
Dinamika Konflik
Perbedaan
antar
golongan
dalam sebuah negara yang majemuk
seperti Indonesia merupakan sesuatu
yang wajar dan lazim adanya, tetapi
menjadi tidak wajar apabila perbedaan dijadikan alasan untuk saling
menyerang atau mengucilkan satu
golongan sehingga kemudian konflik
terus dipelihara dan dibiarkan terus
berkembang menjadi sebuah tindak
kekerasan.
Eskalasi
konflik
sosial
di
Indonesia terjadi setelah adanya
perubahan rezim dari era Orde Baru
ke Orde Reformasi. Perubahan ini
ditandai dengan melemahnya Pemerintah Pusat dan berbagai institusi
pemerintahan, seperti kepolisian dan
militer. Selama kurun waktu 1998 –
1999 saja berbagai konflik terjadi di
berbagai tingkatan, yang dapat
diklasifikasikan
menjadi lima kategori, yaitu: Pertama, konflik sosial
antar ras berupa penjarahan pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan
non pribumi bulan Mei 1998 di
Jakarta.
Kedua, konflik sosial antar
kelompok
beragama
berupa
pembakaran dan pemboman gereja
(peristiwa Ketapang, Jakarta), pembakaran mesjid (Kupang, NTT) dan
kemudian menyebar ke Ambon,
Januari 1999 dan Ujung Pandang,
April 1999. Ketiga, konflik sosial antar
suku berupa perkelahian dengan
6
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Dan
pembunuhan antar suku di Sambas
Kalimantan Barat. Keempat, konflik
antar pusat dan daerah seperti Aceh,
Irian dan Riau berhadapan dengan
Pemerintah Pusat, termasuk TNI.
Kelima, konflik sosial antar kelompok
politik seperti terdapat dalam kasus
santet di Jawa Timur, 1998, perbenturan antar partai di Purbalingga
Jawa Tengah, 1999, bentrok bersenjata antar kelompok pro-integrasi
dengan pro-kemerdekaan di Timor
Timur (Abas, 2002).
Adapun dampak sosial yang
ditimbulkan oleh konflik kekerasan
tersebut, baik itu bernuansa etnik
maupun politik, dampaknya tidak
dapat terkirakan. Pertama, hancurnya
sumber-sumber kehidupan dan mata
pencaharian penduduk, hilangnya
kepercayaan investor yang pada
akhirnya
mengakibatkan
tingkat
pendapatan masyarakat menurun
drastis. Kedua, kebebasan berdemokrasi menjadi tertekan akibat
adanya dominasi etnik tertentu dalam
politik dan kekuasaan, sistem pelayanan dalam birokrasi menjadi
terganggu,
rusaknya
struktur
pemerintahan dan tatanan birokrasi
pada tingkat lokal dan adanya
gangguan stabilitas keamanan.
Ketiga, hancur dan retaknya
nilai-nilai sosial budaya masyarakat
yang
mengakibatkan
nilai-nilai
kearifan lokal pun semakin memudar.
Konflik menyebabkan masyarakat
yang bertikai menjadi terbatas dalam
berinteraksi. Keempat, timbulnya
rasa takut, bahkan mungkin saja
menjadi
paranoid
yang
berkepanjangan karena menyaksikan
secara langsung pembunuhan dan
kekerasan yang dilakukan oleh
masing-masing etnik yang bertikai.
Era reformasi yang diharapkan
menjadi gerbang ke arah terbentuknya negara modern, menghadapi tantangan besar dalam upaya
tetap dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan. Kedewasaan
dan kearifan kita tampaknya belum
cukup matang untuk menyikapi
berbagai
konflik
dan
benturan
kepentingan. Demikian halnya jika
agenda reformasi politik, ekonomi,
sosial budaya dan hankam tidak lagi
diletakkan dalam kerangka kebangsaan, maka mimpi buruk akan
terjadinya disintegrasi bisa jadi akan
menjadi kenyataan.
Dalam tatanan masyarakat maju
dan mandiri, di mana lintas batas
tidak lagi jelas, justru wawasan
kebangsaan amat memegang peranan sentral. Wawasan kebangsaan
bukan hanya menjadi push power
untuk berpacu dan mampu bersaing
dengan negara lain, tetapi secara
simultan paham kebangsaan sekaligus juga menjadi daya tangkal
terhadap berbagai upaya yang dapat
mengancam eksistensi bangsa.
Di tengah makin terbukanya
koridor dan bahkan otoritas suatu
bangsa atas wilayahnya, wawasan
kebangsaan
atau
nasionalisme
menjadi perekat utama yang dapat
memberikan solusi terhadap berbagai
masalah internal kebangsaan. Paling
tidak ada penyikapan yang sama
dalam merespon tantangan global
yang makin signifikan jika seluruh
komponen bangsa mendasarkan diri
pada dasar kebangsaan (nasionalisme). Dalam konteks inilah siapa pun
dan apapun peran kebangsaannya,
harus
secara
konsisten
dapat
mengembangkan sikap nasionalismenya.
7
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Hal pokok yang harus dipetik
dan disepakati bahwa persatuan
bangsa yang kita bangun tidak tersaji
atas landasan dan kepentingan etnik,
maupun primordialisme. Tidak juga
bersifat temporer dan untuk waktu
sementara. Persatuan nasional itu
dibangun dan ditegakkan justru lebih
didasari oleh landasan etik, dan
kesadaran bersama sebagai satu
bangsa sehingga nilai-nilai etika
kebangsaan yang menyangkut persatuan dan kesatuan terbangun
cukup kuat untuk mengakomodasikan
berbagai perbedaan dan bahkan
konflik kepentingan.
Manajemen
Keharusan
Konflik:
perbedaan, dan pluralitas yang ada di
dalam dirinya sendiri.
Itu sebabnya mengapa ketika
konflik antar etnis, suku, golongan,
kelompok politik dan agama itu
muncul dan merebak ke mana-mana,
lantas kita kebingungan sendiri, tidak
tahu dan tidak mampu mengatasinya.
Lemahnya kita menguasai manajemen konflik, disebabkan kurangnya
pengalaman kita mengelola perbedaan dan pluralitas secara demokratik, dan aparat keamanan hanya
mengenal cara-cara kekerasan saja,
dan elite politik miskin wawasan
pluralitasnya, kurang pengalaman
dalam praktik demokrasi politik,
sehingga kurang mampu mengendalikan kepentingan politik dan
egoisme pribadinya yang berbenturan
dengan kepentingan berbangsa dan
bernegara. (Asyhari, 2005).
Oleh karena itu, ada dua hal
yang harus mendapatkan perhatian
serius, yaitu, pertama, terus menerus
menumbuhkan “solidaritas emosional”
dalam bingkai kebangsaan, sehingga
interaksi antar etnis dapat
menumbuhkan rasa kebersamaan. Pengelolaan negara pun harus diarahkan sedemikian rupa sehingga
berbagai kebijakan yang dijalankan
tidak menimbulkan perasaan termarginalisasi bagi suatu kelompok
etnis tertentu. Kedua, nation building
harus terus menerus ditumbuhkembangkan
sedemikian
rupa
sehingga
mampu
mewujudkan
“solidaritas fungsional”, yaitu solidaritas yang didasarkan pada ikatan
saling ketergantungan satu sama lain
dalam bidang ekonomi, politik dan
sosial
budaya.
(KOMPAS,
20
Desember 2002).
Jadi, kata kuncinya adalah
membangun
kerja
sama
dan
Sebuah
Konflik
dalam
kehidupan
masyarakat, didorong oleh perubahan, perbedaan dan pluralitas
yang bergerak dialektik. Manajemen
konflik diperlukan agar proses
dialektika perubahan, perbedaan, dan
pluralitas berjalan wajar, terbuka,
cerdas dan mencerahkan guna
menemukan sintesa baru yang adil
dan dapat diterima sebagai keniscayaan sementara, dan bentukbentuk sintesa baru selalu lahir dan
memperkaya kehidupan masyarakat.
Dalam manajemen konflik tidak
ada penolakan terhadap perubahan,
perbedaan dan pluralitas kehidupan
masyarakat, baik dalam kegiatan
sosial, ekonomi, politik, budaya
maupun keagamaan, tetapi menjaga,
mengelola dan mengarahkannya
membentuk sintesa-sintesa baru.
Karena itu masyarakat harus punya
waktu dan kesempatan mendidik
dirinya menjadi makin dewasa dalam
menghadapi dinamika perubahan,
8
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
kemitraan antar pihak berkepentingan
tanpa harus membeda-bedakan.
Untuk mencegah terjadinya eskalasi
konflik di masa mendatang, kiranya
langkah
berikut
perlu
untuk
dipertimbangkan:
1. Memantapkan kembali nilai-nilai
wawasan kebangsaan, terutama
melalui jalur pendidikan. Karena
pada dasarnya pendidikan bisa
memainkan tiga fungsi sekaligus.
Dalam jangka pendek memainkan
fungsi instruksionalisasi, jangka
menengah memainkan fungsi
ekonomasi, dan jangka panjang
memainkan fungsi kulturalisasi.
2. Segenap pihak perlu membangun
kesepakatan atau konsensus lokal
dalam rangka mengantisipasi
munculnya konflik dan gejolak,
terutama bagi daerah yang
potensial konflik. Konsensus lokal
itu tidak hanya melibatkan elemen
pemerintahan, tetapi juga tokohtokoh LSM, ormas, pers dan
akademisi
setempat.
Melalui
kesepakatan lokal itu diharapkan
dapat dihasilkan, misalnya kode
etik kehidupan bermasyarakat,
kode etik kampanye, komitmen
rule of law dan seterusnya.
3. Mengevaluasi kembali berbagai
kebijakan
yang
cenderung
mempertajam
konflik
dalam
masyarakat. Konflik tidak saja
disebabkan semata-mata faktor
masyarakat yang multi etnis,
namun juga berbagai kebijakan
nasional justru telah mendorong
munculnya konflik, seperti kebijakan pemanfaatan sumber
daya air, eksplorasi hutan lindung
dan tentang pemerintahan daerah, terutama yang berkaitan
dengan Pilkada Langsung sangat
berpeluang munculnya konflik
dalam kehidupan masyarakat.
4. Perlu kembali digalakkan komunitas atau forum-forum warga
dengan perspektif baru melalui
pendekatan
partisipasi
dan
kebutuhan lokalitas, di mana sejak
reformasi dan era otonomi daerah
forum -forum
warga
semakin
menghilang, seperti kelompencapir, posyandu, UDKP, dan
sebagainya. Forum ini sebaiknya
didesain bukan hanya sekedar
diskusi me lainkan juga menjadi
wadah untuk mencairkan perbedaan dalam masyarakat, sebagai early warning bila ada
kejadian yang extra-ordinary.
Kepustakaan
Adisubrata, W.S. 1999. Otonomi
Daerah
di
Era
Reformasi.
Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) AMPYKPN.
Burton, J. 1990 . Conflict: Resolution
and Prevention. New York: St.
Martin’s Press.
Hidayat, S.N. 2000. Refleksi Realitas
Otonomi Daerah dan Tantangan
ke Depan. PT Pustaka Quantum
Indonesia.
Malik, Ichsan. 2003. BAKUBAE,
Gerakan Dari Akar Rumput Untuk
Penghentikan
Kekerasan
di
Maluku , Jakarta: LSPP
Malik,
Ichsan.
Pidato
Ilmiah.
Kontribusi Psikososial Dalam
Penanganan Konflik. 2004.
9
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Markum, Enoch. 2004. Paper, Konflik
Antar kelompok Dalam Perspektif
Psikologi, Jakarta.
Nasikun.
1989.
Indonesia.
Sistem
University of New South Wales
Taylor, P.M. (peny.) 1994. The
Nusantara Concept of Culture:
Local Traditions and National
Identity
as
Expressed
in
Indonesia’s Museums’, in P.M.
Taylor (peny.) Fragile Tradition:
Indonesian Art in Jeopardy.
Honolulu: The University of Hawaii
Press.
Sosial
Sakai, Minako. (peny.) In-Press
Beyond
Jakarta:
Regional
Autonomy and Local Societies in
Indonesia. Adelaide: Crawford
House Publishing.
Usman, Dahrun. Etnopolitic Conflict,
Sparatisme,
Dan
Masalah
Integrasi
Nasional.
Jurnal
Antropologi Indonesia, 2004
Sakai,
Minako.
Konflik
sekitar
Devolusi
Kekuasaan Ekonomi
dan Politik: Suatu Pengantar, The
10
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Download