Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada

advertisement
FLUKS CO2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH
PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH
ETIKA AGRIANITA
A14070036
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
ETIKA AGRIANITA. Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan
Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah. Di bawah
bimbingan SUPIANDI SABIHAM dan SURIA D. TARIGAN.
Pembuatan saluran drainase pada lahan gambut di perkebunan kelapa
sawit bertujuan untuk memperbaiki kondisi lahan tersebut sebagai media
pertumbuhan tanaman. Namun akibat lain yang ditimbulkannya adalah lahan
dapat menjadi bersifat oksidatif sebagai akibat dari penurunan kedalaman muka
air tanah yang dihasilkan. Kondisi lahan yang bersifat oksidatif tersebut dapat
mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan juga meningkatkan emisi gas
CO2. Mekanisme proses keluarnya gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangat
kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kedalaman muka air
tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa
sawit.
Fluks CO2 adalah besarnya aliran konsentrasi CO 2 yang keluar dari suatu
luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam
mg/m2/jam. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menguji
nilai korelasi antara kedalaman muka air tanah dan fluks CO2, serta melihat
pengaruh lokasi pengukuran, ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi gambut
terhadap nilai fluks CO2.
Fluks CO2 yang dihasilkan pada lahan gambut dari beberapa kebun
menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan lokasi pengukuran, nilai fluks
CO2 pada piringan di Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring lebih tinggi
dibandingkan di luar piringan yaitu masing-masing 626,49 mg/m2/jam dan
1046,34 mg/m2/jam. Berdasarkan kedalaman muka air tanah, nilai fluks CO2
tertinggi berada di Kebun Tanjung Paring pada kedalaman 30 cm sebesar 1334,00
mg/m2/jam, sedangkan yang terendah berada di Kebun Nahiyang-2 pada
kedalaman 45 cm sebesar 280,08 mg/m2/jam. Berdasarkan tingkat dekomposisi
dan ketebalan gambut, rata-rata fluks CO2 tertinggi terdapat di Kebun Tanjung
Paring dengan tingkat dekomposisi saprik dan ketebalan >330 cm. Secara umum,
kedalaman muka air tanah saat musim hujan pada lahan gambut di lokasi
penelitian tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap nilai fluks CO2.
Kata Kunci
: Fluks CO2, Gambut, Kedalaman muka air tanah
SUMMARY
ETIKA AGRIANITA. CO2 Flux and Depth of Ground Water on Peatlands in
Seruyan Oil Palm Plantations, Central Kalimantan. Under Supervision of
SUPIANDI SABIHAM and SURIA D. TARIGAN.
The aim to construct the drainage channels on peatlands was to improve
the lands for providing the condition of soil water content that can support plant
growth. However, this effort promotes the change of the land into an oxidative
condition due to decreasing ground water level that is generated. Oxidative
condition accelerates the decomposition of organic materials and increases
CO2 emissions from peatlands. The mechanism of CO2 release from peatlands
into the atmosphere is very complex. The objective of this study was to observe
the influence of ground water level on the flux of CO2 emitted from peatlands in
oil palm plantations.
Flux of CO2 can be expressed as the amount of CO2 concentration that is
release from a certain area in a specific period and usually expressed in
mg/m2/hour. The analysis was conducted to examine the correlation between the
depth of the groundwater and CO2 flux, as well as study the influence of location
in which the flux was measured, peat thickness and peat decomposition degree on
CO2 flux.
Flux of CO2 produced from peatlands showed varying results. Based on
the location, the CO2 flux from peat under canopy in Sulin-1 and Tanjung Paring
was higher than that outside canopy that were 626.49 mg/m2/hour and 1046.34
mg/m2/hour, respectively. However, based on the ground water level, the highest
CO2 flux was 1334.00 mg/m2/hour in Tanjung Paring at 30 cm depth, meanwhile
the lowest value was 280.08 mg/m2/hour in Nahiyang-2 at 45 cm depth. Based on
the decomposition rate and the thickness of peat, the average CO2 flux was the
highest in the peatland of Tanjung Paring having sapric decomposition degree
with the peat thickness higher than 330 cm. In general, the effect of ground water
level in peatlands at the study area was not significant on the CO2 flux during
rainy season.
Keywords: CO2 flux, Peatlands, Depth of Ground Water
FLUKS CO2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH
PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH
ETIKA AGRIANITA
A14070036
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada
Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit
Seruyan, Kalimantan Tengah
Nama Mahasiswa
: Etika Agrianita
NRP
: A14070036
Departemen
: Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr
NIP. 19490105 197403 1 001
Dr. Ir. Suria D. Tarigan, M.Sc
NIP. 19620305 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc
NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 16 Agustus 1989
sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Sumarto (Ayah) dan
Aryani S.Pd (Ibu). Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK)
Kartika II-27 Bandar Lampung tahun 1995. Kemudian melanjutkan sekolah dasar
di SD Kartika II-5 Bandar Lampung sampai tahun 2001. Tahun 2004 penulis
menyelesaikan pendidikan dari SMP Negeri 2 Bandar Lampung. Selanjutnya pada
tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 9 Bandar Lampung kemudian
berkesempatan masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB.
Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah sebagai anggota Divisi Infokom (2008-2009) dan Rumah Kompos
sebagai sekretaris (2008-2009). Selain itu penulis juga pernah aktif dalam
berbagai kepanitian yang diselenggarakan BEM Fakultas Pertanian IPB seperti
Gebyar Pertanian 2008, Seminar Pertanian Nasional 2008 dan Seri-A 2009.
Selain itu juga sebagai Panitia Wisuda Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Masa Perkenalan Departemen (MPD) 2008, Open House Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan 2008, Seminar Nasional Soil & Palm Oil 2009,
Portan 2009 dan Poelang Kandang Soiler 2009 yang diselenggarakan oleh
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB .
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan Gambut di
Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr selaku Dosen Pembimbing Skripsi I
sekaligus Pembimbing Akademik penulis sejak masuk ke Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang senantiasa memberikan
bimbingan, saran, arahan, nasehat serta motivasi selama kuliah dan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Suria D. Tarigan, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang
telah memberikan bimbingan, arahan, masukan serta saran dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan kritik,
saran,
dan
masukan
kepada
penulis
dalam
memperbaiki penulisan skrpisi ini.
4. Seluruh anggota Tim IPB serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (2011) yang telah membantu penulis dalam
penelitian.
5. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah
mendidik penulis selama kuliah.
6. Pegawai Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah serta seluruh staff dan
karyawan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
7. Ibu, Ayah, Mbak Ema, Kak Eryk, Cicik, dan Ariyan Dwiyantara serta
seluruh keluarga yang selalu memberikan doa, dukungan moril dan materil
serta semangat kepada penulis.
8. Teman-teman semasa kuliah (Evi, Eni, Heni, Nindi) dan seluruh anggota
keluarga besar Soilscaper 44.
Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dalam skripsi ini
sehingga bisa menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian.................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
3
2.1 Gambut.................................................................................................
3
2.1.1 Pengertian Tanah Gambut .............................................................
3
2.1.2 Gambut di Indonesia .....................................................................
4
2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut .............................................................
4
2.2 Emisi Gas Rumah Kaca .......................................................................
7
2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut .........................................
8
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 11
3.1 Waktu Pengumpulan Data Penelitian ................................................... 11
3.2 Metode ................................................................................................ 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 14
4.1 Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kabupaten Seruyan ......... 14
4.2 Fluks CO2 di Dalam dan Luar Piringan pada Lahan Gambut ................ 15
4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut ........ 17
4.4 Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut .. 22
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 26
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 26
5.2 Saran ................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 27
LAMPIRAN .................................................................................................. 29
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks
1. Jenis dan Metode Analisis Tanah ................................................................ 12
2. Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Kabupaten Seruyan ........ 14
3. Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Jarak
dari Saluran Drainase dan Lokasi Pengukuran ............................................ 15
4. Fluks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air Tanah
pada Lokasi Penelitian ................................................................................ 18
5. Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut di
Lokasi Penelitian ........................................................................................ 22
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Teks
1. Rata-Rata Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun berdasarkan
Lokasi Pengukuran ..................................................................................... 17
2. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi
Penelitian ................................................................................................... 19
3. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Dalam
Piringan pada Lokasi Penelitian .................................................................. 20
4. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Luar
Piringan pada Lokasi Penelitian .................................................................. 22
5. Fluks CO2 dan Tingkat Dekomposisi Gambut pada Lokasi Penelitian......... 23
6. Fluks CO2 dan Tingkat Ketebalan Gambut pada Lokasi Penelitian ............. 24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Teks
1. Data Sifat Kimia dari Contoh Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian
di Perkebunan Kelapa Sawit ....................................................................... 30
2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di Perkebunan
Kelapa Sawit .............................................................................................. 31
3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa
Sawit .......................................................................................................... 32
4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada
Lahan Gambut di Setiap Lokasi Penelitian ................................................. 34
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa
kandungan bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan
tanaman. Menurut Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk
dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan
bahan organik lebih cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian
terjadi pada tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen
sangat lambat. Hal tersebut akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik,
sehingga bahan organik menjadi terakumulasi. Biomassa tanaman menyimpan
CO2 dari udara melalui proses fotosintesis mengakibatkan tanah gambut menjadi
salah satu carbon sink yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi status
karbon di bumi dan atmosfer. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan
di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30%
karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon
yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan
dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam
Agus dan Subiksa, 2008)
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB
Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Peningkatan jumlah
penduduk setiap tahunnya mengakibatkan meningkatnya luas lahan yang
digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk lahan gambut. Saat ini lahan gambut
banyak digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah luas lahan
gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berkembang seiring
dengan keinginan perusahaan baik swasta maupun milik pemerintah untuk
meningkatkan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu adanya fakta keberhasilan
dalam penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit juga
mempengaruhi pengembangan sektor agribisnis kelapa sawit di lahan gambut.
Pengelolaan kebun kelapa sawit memerlukan lahan yang cukup air namun
tidak tergenang, sedangkan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kadar
2
air yang sangat tinggi. Gambut yang masih mentah (gambut fibrik) dapat
menyimpan air sangat besar antara 500%-1000% bobot (Noor, 2001). Faktor
utama yang menyebabkan kadar air gambut tersebut tinggi dikarenakan adanya
pengaruh bentuk cekungan dari tanah mineral di bawahnya yang menyebabkan air
di dalam lahan tersebut tidak bisa keluar. Hal tersebut menyebabkan drainase
lahan gambut menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam pengelolaannya
untuk perkebunan kelapa sawit. Drainase yang dilakukan pada lahan gambut akan
mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada lahan tersebut, yang
akhirnya akan melepaskan gas CO2 ke atmosfer.
Emisi gas CO2 beberapa tahun terakhir menjadi topik utama beberapa
peneliti, termasuk emisi yang dihasilkan oleh lahan gambut. Dalam keadaan hutan
alami lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2. Dengan demikian, hutan
gambut alami tumbuh secara perlahan dan kandungan karbonnya bertambah
tinggi. Namun apabila hutan gambut diganggu, maka lahan gambut berubah
fungsi dari penyerap menjadi sumber emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca
terpenting. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan
mempengaruhi fluks CO2, yakni besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari
suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam
mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi
emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Besarnya peningkatan emisi CO2 dari lahan
gambut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya proses perubahan fungsi
lahan gambut menjadi perkebunan. Mengingat pentingnya proses drainase dalam
pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, dan juga CO 2 yang
perlu diperhatikan pengaruhnya pada lingkungan, maka diperlukan penelitian
mengenai fluks CO2 yang dihasilkan serta pengaruh kedalaman muka air dalam
sistem drainase pada kebun kelapa sawit di atas lahan gambut.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kedalaman
muka air tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di
perkebunan kelapa sawit.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambut
2.1.1 Pengertian Tanah Gambut
Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara
lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan
organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat
tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam
pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah
adalah gambut. Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah
tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah
tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah
hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah
gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian
tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut
tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky).
Menurut Hardjowigeno (1986) gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus
bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau
kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan
biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi,
berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya
merupakan proses pedogenik.
Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan
dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati
yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat
berikut :
1. Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal
dan mengandung 20% karbon organik, atau
2. Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun
normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik
4
sebesar :
a. 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau
lebih, atau
b. 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c. 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya
mengandung < 60% liat.
2.1.2 Gambut di Indonesia
Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses
pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh
penggenangan yang cukup lama (Sabiham, 2006). Barchia (2006), menyebutkan
bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah
depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang
melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti
rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB
Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan
lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut
luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun karena
variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan
maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal
pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara
yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di
pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian
(Agus dan Subiksa, 2008).
2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut
Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis
yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut
yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahanbahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan
5
aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm.
Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan
bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah
mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Noor,
2001). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/32/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume.
Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah
gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk
menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan
(Andriesse, 2003). Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat
rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang
beragam antara 0,01 g/cm3- 0,20 g/cm3. Makin rendah kematangan gambut, maka
makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan
lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu
tanah gambut (Noor, 2001).
Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama
sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi
oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap
dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun
demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 %, gambut
hemik 450-850 %, dan gambut saprik < 450 % (Andriesse, 2003). Di lapangan
kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat
kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak
disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah
gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan
dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006).
Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik
(irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut
dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami
kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang
kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak
balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.
6
Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar
50% (Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001). Menurut Noor (2001) kering tak
balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar
berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan
dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut (coating) penahan air.
Coulter (1975) dalam Andriesse (2003) menyatakan bahwa sifat hidrofobik
gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang
terbentuk pada waktu pengeringan.
Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan
ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar
kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman (pH) tanah-tanah organik berkaitan
dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat
dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat
dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang
mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat
masam dengan kisaran pH sebesar 3-4,5 (Andriesse, 2003). Kemasaman tanah
gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut
dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH
antara 3,1-3,9.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut memegang peranan penting
dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut
berkisar dari < 50 sampai lebih dari 100 cmol (+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar
bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 1997).
Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada pH. Andriesse (2003)
menyatakan KTK tanah gambut pada pH 7, tanah organik yang mengalami sedikit
perombakan mempunyai KTK 100 cmol (+) kg-1, tetapi yang mempunyai tingkat
perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol
(+) kg-1.
Kandungan
C-organik
dalam
tanah
gambut
tergantung
tingkat
dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon
dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik
dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan
7
fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran
besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan
kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse, 2003).
Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah.
Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin.
Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya.
Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut
Indonesia berkisar 2,4%-16,9%. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah
kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan
tengahan (1-3m) berkisar 11%-12% dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor,
2001).
2.2 Emisi Gas Rumah Kaca
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi
perhatian serius dari masyarakat global karena pengaruhnya terhadap lingkungan.
Pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan
utama penyebab pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Gas-gas
tersebut merupakan gas rumah kaca yang utama dari lahan gambut. Emisi CO 2
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 (walaupun dikalikan dengan
global warming potensialnya setinggi 21 kali CO2). Dalam mempresentasikan
emisi dari lahan gambut, data emisi CO2 sudah cukup bisa digunakan jika
pengukuran gas lainnya sulit dilakukan (Hooijer et al., 2006). Barchia (2006)
menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia
menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 % dari total emisi
karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui di mana
tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepas selama terjadinya
kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton.
Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon
reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak
bijaksana, laju pelepasan CO2 dan CH4 dapat meningkat.
Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar kontribusinya
terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya hanya 0,03 % persen di
8
atmosfer, namun dapat dimanfaatkan tanaman untuk proses fotosintesis. Bila
tanaman dan hewan mati, kandungan karbon akan terlepas dalam bentuk karbon
dioksida, demikian pula dengan kegiatan membakar kayu dan bahan bakar fosil.
Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya
bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Bahan organik jika
terdekomposisi dapat menghasilkan karbon dioksida.
Gas CO2 memiliki waktu urai hingga 50-200 tahun dan memiliki daya
tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pra industri (tahun
1750-1800), konsentrasi CO2 telah bertambah dari 280 ppmv (part per million
volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini laju penambahan CO2 di
atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv. Kehadiran gas CO2 memberikan
kontribusi besar terhadap kenaikan suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan
agar emisi gas CO2 sekurang-kurangnya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat
ini (Bapppenas, 2004).
2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut
Pengelolaan
gambut
mempunyai
pengaruh
yang
besar
terhadap
keseimbangan karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai
penambat karbon, sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di
atmosfer. Lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total
karbon terestris. Sekitar 86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut
tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14
% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata
gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan
luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia sebesar 46
Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu, pertukaran CO2 dari lahan gambut
ke atmosfer sangat mempengaruhi siklus karbon dan terhadap pemanasan global.
Fluks CO2 dari tanah merupakan komponen utama dari siklus karbon
global (Raich and Schlesinger, 1992; Houghton, 1995 dalam Melling et al., 2005).
Produksi CO2 oleh tanah adalah suatu proses yang dapat dipertukarkan yang
disebut sebagai fluks CO2 tanah atau respirasi tanah. Fluks CO2 tanah bervariasi
menurut ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, faktor lingkungan
9
terutama suhu dan kelembaban. Analisis kadar air, kadar abu, kandungan bahan
organik berkaitan dengan besarnya fluks CO2 dari lahan gambut, karena intensitas
proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO2 dalam tanah sama
halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer
(Handayani, 2009).
Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer
melalui dua cara yaitu :
1. Pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO 2.
2. Drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut di samping
oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya
mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2
(Hooijer et al., 2006).
Kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah
pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994; Sumangat dan Rusdi
1979). Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan
keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asamasam organik. Tindakan utama yang perlu dilakukan yaitu mempertahankan tinggi
muka air. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi kebanyakan lahan gambut adalah
terjadinya over drainage (pengurasan air). Salah satu komponen penting dalam
pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di
setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak
terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Agus dan Subiksa, 2008).
Drainase pada perkebunan kelapa sawit berfungsi untuk pertumbuhan akar
tanaman dan sebagai akses jalan. Tingginya muka air akibat proses drainase
berpengaruh terhadap keadaan oksidasi dan reduksi pada lahan gambut dan
berakibat pada laju dekomposisi serta emisi gas CO2. Drainase pada lahan gambut
menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga mempercepat proses
dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Dekomposisi bahan gambut
dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase,
proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Selain adanya proses
dekomposisi bahan gambut, respirasi akar tanaman juga mempengaruhi produksi
CO2 dari dalam tanah. Sejumlah penelitian tentang tingkat emisi CO2
10
hubungannya dengan kedalaman drainase yang dibutuhkan dalam pengelolaan
untuk budidaya telah dilakukan, dari sejumlah penelitian yang menggunakan
metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber) Hooijer et al.
(2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi
tahunan. Dari review sejumlah literatur dikemukakan bahwa untuk kedalaman
drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 ton CO2
ha-1 tahun-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1 cm.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Pengumpulan Data Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan
Maret 2011. Data yang dikumpulkan berasal dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tim IPB serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (2011) di perkebunan kelapa sawit, Seruyan, Kalimantan Tengah.
3.2 Metode
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data hasil dari
pengukuran analisis sifat kimia tanah gambut, pengukuran kedalaman muka air
tanah dan pengukuran fluks CO2, dengan metode pengukuran sebagai berikut.
a. Analisis Sifat Tanah Gambut
Analisis sifat tanah yang dilakukan di lapang berupa penetapan tingkat
kematangan bahan organik pada tanah gambut dengan mengambil segenggam
bahan organik kemudian diremas dengan telapak tangan. Selanjutnya dilihat sisa
remasan yang tertinggal pada telapak tangan dan dikelompokkan berdasarkan
kriteria berikut (Sabiham, 2006):
1) Fibrik, yaitu apabila segenggam bahan organik diremas sehingga
menghasilkan kurang dari 1/3 bagian bahan teremas keluar, atau sisa
remasan lebih dari 2/3 bagian.
2) Hemik, yaitu apabila antara 1/3-2/3 bagian dari bahan yang teremas
keluar.
3) Saprik, yaitu apabila yang teremas lebih dari 2/3 bagian bahan keluar,
atau sisa remasan kurang dari 1/3 bagian.
Bahan tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit yang diamati, diambil
contoh tanahnya pada kedalaman 10-20 cm, kemudian dibersihkan dari akar
tanaman dan bahan kasar. Bahan tanah tersebut digunakan untuk analisis sifat
kimia tanah meliputi pH, C-organik, N-total, P-total, K-total, dan kadar abu.
Metode yang akan digunakan untuk penetapan analisis tanah tersebut tertera pada
Tabel 1.
12
Tabel 1. Jenis dan Metode Analisis Tanah
Sifat Tanah
Metode
pH (1:5) (H2O dan KCl)
pH- meter
C-organik
Walkley & Black
N-total
Kjeldahl
P-total
Ekstraksi HCl 25 %
K-total
Ekstraksi HCl 25 %
Kadar Abu
Pengabuan Kering
b. Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah
Pada titik-titik lokasi pengukuran yang telah ditetapkan di lahan gambut,
masing-masing diukur kedalaman muka air tanahnya menggunakan Piezometer.
Piezometer adalah alat untuk mengukur kedalaman muka air tanah yang dibuat
dari pipa paralon dengan diameter berukuran 5 inchi yang dibenamkan ke tanah
dengan kedalaman ± 2 meter. Sebuah alat ukur (meteran) yang telah dirangkai
dengan pelampung (gabus) dimasukkan ke dalam pipa paralon tersebut.
Pengukuran kedalaman muka air diukur setiap akan dilakukan pengukuran contoh
gas di lokasi tersebut.
c. Pengukuran Fluks CO2
Kegiatan pengukuran fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi
pada kebun kelapa sawit, pembuatan transek dan titik-titik pengukuran. Pada
setiap lokasi pengukuran (di dalam dan di luar kanopi) pada transek yang dibuat
ditentukan 3 titik pengamatan berdasarkan jarak dari saluran drainase yaitu pada
pada jarak antara 5-10 m, 25-30 m dan 100-150 m. Pada titik-titik pengamatan
dipasang sungkup tertutup yang terbuat dari mika dengan ukuran 50 cm x 50 cm x
30 cm, sungkup ini untuk menangkap emisi gas yang dikeluarkan oleh gambut.
Contoh gas dari titik pengukuran diambil dengan jarum suntik 10 ml dengan
interval tiga menit selama 24 menit. Konsentrasi CO2 bagian dari contoh gas
tersebut dianalisis menggunakan portable gas chromatography (GC) yang dapat
secara langsung dioperasikan di lapang. Perhitungan konsentrasi gas CO2
menggunakan persamaan USEPA (1990) yang banyak digunakan oleh Balai
13
Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), yaitu :
E = dc / dt x mW / mV x t x [273,2 / (273,2 + T)]
Keterangan :
= fluks CO2 (mg m-2 jam-1)
E
dc / dt = perubahan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit -1)
t
= tinggi sungkup (cm)
mW
= berat molekul CO2 (g)
mV
= volume molekul CO2 (22,41 liter) *
T
= suhu dalam sungkup (oC).
Catatan: * 22,41 liter adalah volume 1 mol gas pada suhu dan tekanan standar.
d. Analisis Data Pengukuran
Hasil pengukuran dari penelitian seperti yang telah diuraikan di atas
selanjutnya diuji nilai korelasinya menggunakan Software Microsoft Office Excel.
Pengujian korelasi yang dihitung yaitu antara kedalaman muka air tanah dan fluks
CO2, serta melihat pengaruh lokasi pengukuran, ketebalan gambut dan tingkat
dekomposisi gambut terhadap nilai fluks CO2.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kabupaten Seruyan
Kabupaten Seruyan adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Kalimantan Tengah. Keadaan geografi Kabupaten Seruyan terletak di daerah
khatulistiwa yaitu antara 111'15o 00 Bujur Timur dan 045o00 Lintang Utara,
330o Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Seruyan termasuk daerah yang beriklim
tropis dengan suhu udara rata-rata 29o C dan temperatur tertinggi 34 o C. Tipe
iklim adalah tropis lembab dan panas, curah hujan rata-rata per tahun 3.479,8 mm
dengan rata-rata hujan per tahun 13,8 hari. Musim penghujan akan terjadi antara
bulan Desember-Maret, sedangkan musim kemarau antara bulan Juli-September
(Kabupaten Seryuan, 2011).
Kelapa sawit merupakan aset perkebunan utama Kabupaten Seruyan
selama ini. Dengan luas lahan lebih kurang 78.871 hektar, potensi itu hendak
dikembangkan dengan membuka lahan-lahan baru. Sentra tanaman kelapa sawit
berada di tiga dari lima kecamatan, yaitu Danau Sembuluh, Hanau, dan Seruyan
Tengah. Banyak kebun yang terletak di atas lahan gambut, di antaranya Kebun
Sulin, Nahiyang dan Tanjung Paring dengan luas seperti yang tertera pada Tabel
2. Usaha pertanian yang dilakukan di atas lahan gambut mendapat banyak
perhatian terutama mengenai masalah lingkungan yang dihasilkannya yaitu emisi
gas rumah kaca terutama CO2. Area terluas dimiliki oleh Kebun Nahiyang yaitu
1420 ha, selanjutnya Kebun Sulin yang memiliki luas 1042 ha, namun tidak
seluruh area kebun tersebut ditanami. Kebun Tanjung Paring memiliki luas area
yang terendah dibandingkan kedua kebun lain yaitu 856 ha dan seluruhnya
ditanami kelapa sawit.
Tabel 2. Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Kabupaten
Seruyan
Luas Area Gambut (ha)
Nama
Ditanami Ditanami
Total
Tidak
Perkebunan
Total
<3 M
>3 M
Ditanami Ditanami
Sulin
461
248
709
333
1042
Nahiyang
434
163
597
823
1420
Tanjung
405
451
856
856
Paring
Sumber : Peta Distribusi Gambut, PT SMART 2010
15
4.2 Fluks CO2 di Dalam dan Luar Piringan pada Lahan Gambut
Pengukuran Fluks CO2 merupakan pengukuran dasar dan sering digunakan
dalam penentuan emisi gas. Fluks CO2 dapat dinyatakan sebagai besarnya aliran
konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan tertentu dan periode tertentu,
biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Pengukuran fluks CO2 ini berdasarkan
pada pengukuran contoh gas dari sungkup tertutup. Pengambilan contoh gas
dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada setiap kebun kecuali Tanjung
Paring, dengan selang waktu satu jam. Dalam satu ulangan terdiri dari 3 contoh.
Pada setiap contoh dilakukan pengukuran gas dengan selang waktu 30 menit.
Nilai fluks CO2 tanah bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor di
ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, dan faktor lingkungan.
Kedalaman muka air tanah yang dipengaruhi oleh jarak dari saluran drainase
merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses dekomposisi
bahan organik pada gambut. Faktor lain yaitu daerah piringan yang merupakan
tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar yang memberikan pengaruh dalam
pengukuran fluks CO2 di lahan gambut. Hasil pengukuran fluks CO2 masingmasing transek pada lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 3 dan diilustrasikan
pada Gambar 1.
Tabel 3. Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Lokasi Penelitian
Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Lokasi Pengukuran
Kebun
Sulin 1
Sulin 2
Nahiyang
1
Nahiyang
2
Tanjung
Paring
10
75
150
Rata-Rata
Fluks
(mg/m2/jam)
Piringan
564,85
583,50
731,11
626,49
54,88
Luar Piringan
690,78
481,47
523,21
565,15
49,51
Piringan
629,69
810,50
706,89
715,69
62,69
Luar Piringan
436,42
815,27
1046
765,90
67,09
Piringan
452,01
395,49
717,15
521,55
45,69
Luar Piringan
768,14
714,43
863,90
782,16
68,52
Piringan
708,27
454,41
404.3
522,33
45,76
Luar Piringan
571,21
280,08
790,10
547,13
47,93
Piringan
1258,89
546,14
1334
1046,34
91,66
Luar Piringan
516,40
997,68
510,88
674,99
59,13
Lokasi
Pengukuran
Jarak dari Saluran (m)
Rata-Rata
Emisi
(ton/ha/tahun)
16
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata nilai fluks CO2 berkisar antara 521-1047
mg/m2/jam di dalam piringan dan 547-766 mg/m2/jam di luar piringan. Pada
Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan
di dalam piringan lebih besar dari pada di luar piringan, yaitu 626,46 mg/m2/jam
dan 1046,34 mg/m2/jam di dalam piringan, sedangkan di luar piringan 565,15
mg/m2/jam dan 674,99 mg/m2/jam. Tingginya fluks CO2 di rhizosfer ini sangat
berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat
fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan
Hinsinger, 1999 dalam Handayani, 2009). Tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas
akar merupakan tanah yang memiliki populasi mikrob lebih banyak dibandingkan
dengan yang tidak. Selain merupakan daerah terkonsentrasinya akar tanaman,
piringan di sekitar tanaman kelapa sawit juga merupakan daerah pemupukan. Oleh
karena itu, disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar
daerah perakaran juga meningkat akibat tingginya konsentrasi nutrisi dari hasil
pemupukan yang diberikan dan juga pengaruh eksudat akar. Meningkatnya
populasi dan aktivitas mikrob menyebabkan respirasi mikrob juga semakin
meningkat. Dengan demikian, produksi CO2 yang merupakan resultan dari
respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non
rhizosfer (Handayani, 2009).
Namun mekanisme proses keluarnya gas CO2 dari dalam tanah ke
atmosfer sangatlah kompleks dan juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Satu faktor
tidak dapat langsung menghasilkan dampak yang nyata terhadap nilai fluks CO 2,
beberapa faktor dapat saling mempengaruhi. Dari banyak hasil penelitian
menunjukkan bahwa banyak faktor mempunyai pengaruh yang beragam terhadap
nilai fluks CO2. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern
tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan
pengelolaan kebun yang sangat berbeda (Handayani, 2009).
Pada Gambar 1 dapat dilihat bawa Kebun Sulin-2, Nahiyang-1 dan
Nahiyang-2 diperoleh hasil pengukuran fluks CO2 yang lebih tinggi di luar
piringan dibandingkan dengan yang berada di piringan. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh faktor suhu yang lebih tinggi di luar piringan, sehingga proses
dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Barchia (2006) menyebutkan,
17
degradasi bahan gambut semakin cepat dengan semakin meningkatnya suhu tanah
dan akan mencapai maksimum pada sekitar suhu 35 oC dan 37 oC. Selain itu
Chimner (2004) di dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan nilai respirasi
tanah tahunan pada lahan gambut berkorelasi dengan rata-rata suhu tahunan.
Berdasarkan data pengukuran seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 3, rata-rata
suhu di luar piringan dari ketiga kebun tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata
suhu di dalam piringan.
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1200
1000
800
600
400
200
0
Piringan
Luar
Piringan
Gambar 1. Rata-Rata Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun
berdasarkan Lokasi Pengukuran
4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut
Kedalaman muka air tanah dipengaruhi oleh adanya proses drainase lahan
gambut yang diperlukan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit, baik untuk
pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit juga untuk digunakan sebagai akses
jalan. Perubahan kedalaman muka air tanah pada lahan gambut ini mempengaruhi
proses keluarnya CO2 ke atmosfer melalui suasana oksidasi dan reduksi yang
terbentuk. Handayani (2009) menyebutkan bahwa dari hasil pengukuran
kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang
sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air
tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka
kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal).
Pengukuran kedalaman muka air ini dilakukan pada musim hujan,
sehingga perubahan kedalaman muka airnya kurang terlihat jelas. Data hasil
18
pengukuran dari setiap kebun seperti yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan
kedalaman muka air tanah cenderung menurun mulai dari jarak 5-10 m, 75 m
sampai 150 m.
Kedalaman muka air tanah dapat mempengaruhi terciptanya
suasana oksidasi, di mana pada kondisi tersebut proses dekomposisi menjadi lebih
cepat. Hal berbeda terjadi pada Kebun Sulin-1 di mana kedalaman muka air tanah
pada setiap jarak sama yakni 35 cm. Hal ini diduga karena pengukuran yang
dilakukan pada musim hujan sehingga menyebabkan muka air pada saluran
drainase yang dangkal mempengaruhi kedalaman muka air tanah pada transek
tersebut. Kedalaman muka air tanah pada musim hujan kurang dapat
menunjukkan dengan jelas perubahan kedalaman muka air tanah yang terjadi.
Kedalaman muka air tanah pada setiap kebun berbeda-beda, berkisar antara 30-59
cm.
Tabel 4. Fluks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air
Tanah pada Lokasi Penelitian
Kebun
Sulin 1
Sulin 2
Nahiyang 1
Nahiyang 2
Tanjung
Paring
Jarak
(m)
5-10
75
150
5-10
75
150
5-10
75
150
5-10
75
150
5-10
75
150
Kedalaman
Muka Air
(cm)
35
35
35
38
35
36
50
50
40
50
45
45
59
36
30
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Piringan
Luar piringan
564,85
583,50
731,11
629,69
810,50
706,89
452,01
395,49
717,15
708,27
454,41
404,30
1258,89
546,14
1334,00
690,78
481,47
523,21
436,42
815,27
1046,00
768,14
714,43
863,90
571,21
280,08
790,10
516,40
997,68
510,88
Fluks CO2 yang dihasilkan dari setiap kebun beragam. Apabila seluruh
nilai fluks yang diamati dikelompokan akan diperoleh diagram pencar seperti
Gambar 2. Fluks yang terukur pada kedalaman muka air tanah yang berbeda-beda,
19
serta lokasi yang berada baik di piringan maupun di luar pringan tidak membentuk
pola yang dapat menunjukkan adanya hubungan diantara fluks CO2, kedalaman
muka air, maupun lokasi pengukuran. Rata-rata kedalaman muka air tanah dari
semua kebun berkisar antara 35-60 cm, sedangkan fluks yang dihasilkan berkisar
antara 200-1300 mg/m2/jam.
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Fluks CO2 di Dalam dan di Luar Piringan
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
Piringan
Luar piringan
Gambar 2. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah
pada Lokasi Penelitian
Analisis sulit dilakukan jika nilai fluks CO2 digabung secara keseluruhan.
Oleh karena itu, fluks CO2 yang dihasilkan dari pengukuran dibedakan
berdasarkan lokasinya dari tanaman, yaitu di piringan dan di luar piringan
(Gambar 3 dan Gambar 4). Gambar 3 menunjukkan nilai fluks CO2 yang
dihasilkan di luar piringan. Fluks CO2 yang terukur paling tinggi terdapat pada
Kebun Tanjung Paring yaitu mencapai 1334 mg/m2/jam, meskipun kedalaman
muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Sedangkan pada kedalaman muka air 59
cm di titik yang lebih dekat dengan saluran drainase fluks yang dihasilkan sebesar
1258,89 mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan menurun pada kedalaman muka air
setinggi 36 cm, yaitu menjadi 546,14 mg/m2/jam. Kedalaman muka air yang
tinggi menyebakan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut,
sehingga fluks yang dihasilkan pada titik yang lebih dekat dengan saluran lebih
tinggi. Namun fluks yang lebih tinggi (1334 mg/m2/jam) justru terdapat pada titik
yang lebih jauh dari saluran drainase, meskipun kedalaman muka airnya lebih
dangkal yaitu 30 cm. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh faktor biologi
20
yaitu dari akar tanaman serta aktifitas organisme di daerah rizhosfer. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 4 dimana fluks tertinggi terdapat pada piringan.
Fluks CO2 terendah yang didapatkan dari hasil pengukuran berada di
Kebun Nahiyang-1 yaitu 395,49 mg/m2/jam dengan kedalaman muka airnya
sebesar 50 cm, sedangkan pada kedalaman muka air yang lebih dangkal (40 cm)
fluks CO2 justru meningkat menjadi 717,15 mg/m2/jam. Pola yang sama dengan
hasil pengukuran di Kebun Tanjung Paring dimana fluks CO 2 yang dihasilkan
pada kedalaman muka air tanah 30 cm lebih besar dibandingkan pada kedalaman
36 cm dan juga 59 cm. Peningkatan fluks CO2 dengan meningkatnya kedalaman
muka air tanah ternyata kurang konsisten pada hasil penelitian ini (Lampiran 4).
Pada Kebun Sulin-1 terjadi peningkatan fluks CO 2 meskipun kedalaman muka air
tanahnya konstan. Kebun Sulin-2 justru menunjukkan fluks CO2 pada kedalaman
muka air tanah yang lebih dangkal menghasilkan fluks CO2 yang lebih tinggi.
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Fluks CO2 di Dalam Piringan
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
Gambar 3. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di
Dalam Piringan pada Lokasi Penelitian
Hal berbeda terjadi pada kebun Nahiyang-2. Di kedalaman muka air tanah
50 cm, fluks CO2 yang dihasilkan 708,27 mg/m2/jam, selanjutnya fluks CO2 turun
menjadi 454,41 mg/m2/jam pada kedalaman muka air tanah setinggi 45 cm.
Penurunan nilai fluks CO2 tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah yang
semakin dangkal dengan semakin jauh jaraknya dari saluran drainase
menghasilkan nilai fluks CO2 yang juga semakin menurun. Selanjutnya fluks CO2
semakin menurun menjadi 404,30 mg/m2/jam meskipun kedalaman muka airnya
21
tetap sama. Penurunan nilai fluks CO2 pada kedalaman yang sama namun jarak
yang berbeda dari saluran drainase tidak sebesar dengan penurunan fluks CO 2 saat
kedalaman muka air tanahnya berubah dari 50 cm menjadi 45 cm. Hal tersebut
menunjukkan adanya pengaruh kedalaman muka air tanah dengan fluks CO 2 yang
dihasilkan, di mana muka air tanah yang lebih dalam akan menciptakan kondisi
aerob yang mempercepat proses dekomposisi.
Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan.
Fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan dominan lebih tinggi dibandingkan
fluks CO2 yang dihasilkan di dalam piringan. Fluks CO2 di piringan yang
dihasilkan lebih menyebar dibandingkan fluks CO2 di luar piringan. Fluks
tertinggi terdapat di Kebun Sulin-2 yaitu 1046 mg/m2/jam, sedangkan fluks
terendah terdapat di Kebun Nahiyang-2 yaitu 280,08 mg/m2/jam.
Pola pada Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 dari seluruh kebun
cenderung menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman muka air tanah,
begitu pula jika dilihat pada masing-masing kebun. Hal tersebut menunjukkan
kedalaman muka air tanah kurang memberikan pengaruh yang nyata. Hasil yang
sama dari penelitian Watannabe et al. (2009), di mana disebutkan kedalaman
muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada fluks CO 2.
Jauhiainen et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009) juga menyebutkan adanya
kepekaan yang rendah dari fluks CO2 dengan kedalaman muka air tanah yang
ditemukan di hutan rawa gambut di Kalimantan.
Selain faktor suhu, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya pola
seperti Gambar 4. Handayani (2009) di dalam penelitiannya juga mengalami
dinamika seperti yang terjadi pada hasil penelitian ini, namun dalam skala emisi
(ton/ha/tahun). Tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta sistem
pengelolaan pada kebun diduga menjadi faktor yang mempengaruhi fluks CO 2
yang dihasilkan. Purwanto et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009)
menyebutkan bahwa akumulasi bahan gambut yang lebih bersifat aromatik pada
gambut tropis lebih banyak dibandingkan gambut sub tropis, yang kemungkinan
diperoleh dari vegetasi yang berbeda-beda dan tingkat dekomposisi dari campuran
bahan organik yang masih labil, menjadi penyebab dari variasi yang rendah dari
nilai fluks CO2.
22
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Fluks CO2 di Luar Piringan
1200
1000
800
600
400
200
0
0
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
Gambar 4. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di
Luar Piringan pada Lokasi Penelitian
4.4 Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut
Tingkat dekomposisi dan ketebalan dari gambut diperkirakan dapat
menjadi faktor yang mempengaruhi nilai fluks CO2. Ketersediaan bahan gambut
baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas
(Sylvia et al., 1998 dalam Handayani, 2009), ketersediaan bahan tersebut
dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut. Hasil pengukuran
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan
Gambut di Lokasi Penelitian
No
Kebun
(Estate)
Contoh
Blok
Tingkat
Dekomposisi
(0-50 cm)
1
Sulin 1
UG-09
J-60
Saprik S.1
2
Sulin 2
SK-1
N-81
Hemik S.2
Hi-3
A-79
Saprik N.1
Hi-2
D-85
UG-14
R-36
3
4
5
Nahiyang
1
Nahiyang
2
Tanjung
Paring
Saprik/Hemik
N.2
Saprik/Hemik
TP
Ketebalan
(cm)
150-300
cm S.1
< 150 cm
S.2
> 300 cm
N.1
150-300
N.2
> 330 cm
TP
Rata-Rata
(mg/m2/jam)
Luar
Piringan
Piringan
626,49
565,15
715,69
765,90
521,55
782,16
522,33
547,13
1046,34
674,99
23
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dapat dibedakan menjadi 5
kelompok (Najiyati et al., 2005), yaitu lahan bergambut (0-50 cm), dangkal (50100 cm), sedang (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (> 300
cm). Tingkat kematangan gambut pada kelima kebun bervariasi seperti yang
tertera pada Tabel 5. Tingkat kedalaman mulai dari sedang sampai sangat dalam,
sedangkan untuk tingkat dekomposisi pada kedalaman 0-50 cm, rata-rata berada
pada tingkat kematangan saprik. Tingkat dekomposisi gambut berpengaruh
terhadap kandungan C-organik di dalamnya. Kehilangan C-organik melalui proses
dekomposisi bahan gambut akan menghasilkan CO2. Umumnya pada tingkat
dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan memperlihatkan kadar Corganik lebih rendah dibanding dengan fibrik.
Pada Gambar 5 ditunjukkan gambut pada tingkat kematangan hemik di
Kebun Sulin-2 rata-rata fluks CO2 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan
kebun-kebun yang lain. Gambut pada tingkat dekomposisi hemik memiliki
stabilitas rendah dan kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan
saprik. Oleh karena itu, pada saat terdrainase bahan organik akan teroksidasi
menghasilkan gas CO2. Kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada
gambut lebih matang (saprik).
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Fluks CO2 Pada Tingkat Kematangan Gambut
1200
1000
800
600
400
Piringan
200
Luar Piringan
0
Tingkat Dekomposisi (0-50 cm)
Gambar 5. Fluks CO2 dan Tingkat Dekomposisi Gambut pada Lokasi
Penelitian
24
Pada Kebun Tanjung Paring didapatkan nilai fluks CO2 yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Kebun Sulin-2, sedangkan gambut pada Kebun Tanjung
Paring sebagian besar termasuk dalam gambut saprik. Hal tersebut diduga karena
masih adanya pengaruh kedalaman muka air tanah, di mana Kebun Tanjung
Paring memiliki kedalaman muka air tanah tertinggi yaitu 59 cm. Selain itu
faktor-faktor lain seperti suhu dan respirasi akar yang juga dapat mempengaruhi
fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut.
Sylvia et al. (1998) dalam Handayani (2009) menyatakan bahwa
ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan
pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut mempengaruhi nilai fluks CO 2 yang
dihasilkan, baik pada proses keluarnya gas CO2 maupun proses dekomposisi yang
menghasikan gas CO2. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa Kebun Sulin-2
memiliki tingkat ketebalan yang paling rendah dibanding keempat kebun lain.
Handayani (2009) menyebutkan gambut dalam memiliki tingkat kesuburan lebih
rendah dibandingkan gambut
dangkal, sehingga pada gambut
dangkal
dekomposisi akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi gambut
dalam. Selain itu seperti yang tertera pada Tabel 5, bahwa Kebun Sulin-2
merupakan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik di mana bahan organik
yang dimiliki masih cukup banyak, sehingga memungkinkan dekomposisi lebih
besar dan nilai rata-rata fluks CO2 yang dihasilkan lebih tinggi.
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Fluks CO2 Pada Tingkat Ketebalan Gambut
1200
1000
800
600
400
Piringan
200
Luar Piringan
0
150-300 cm < 150 cm
S.1
S.2
> 300 cm
N.1
150-300
N.2
> 330 cm
TP
Tingkat Ketebalan (cm)
Gambar 6. Fluks CO2 dan Tingkat Ketebalan Gambut pada Lokasi
Penelitian
25
Pada Kebun Tanjung Paring rata-rata fluks CO2 lebih tinggi dibandingkan
Kebun Sulin-2, sedangkan ketebalan gambut sangat dalam yaitu > 330 cm. Hal ini
diduga karena Kebun Tanjung Paring memiliki kedalaman muka air yang paling
tinggi di dekat saluran drainase dibandingkan keempat kebun yang lain, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai fluks CO2 yang tertinggi juga diperoleh pada
lokasi piringan, sehingga dimungkinkan peran aktivitas dari perakaran dan
mikroorganisme yang mempengaruhi nilai fluks CO2 pada kebun ini menjadi
lebih tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Fluks CO2 yang dihasilkan pada lahan gambut dari beberapa kebun
menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan lokasinya pada tanaman nilai
fluks CO2 di Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring, fluks CO2 di dalam piringan
lebih tinggi dibandingkan di luar piringan yaitu masing-masing 626,49 mg/m2/jam
dan 1046,34 mg/m2/jam. Namun di Kebun Sulin-2, Nahiyang-1 dan Nahiyang-2,
fluks CO2 di luar piringan lebih besar dibandingkan di dalam piringan yaitu
masing-masing 765,90 mg/m2/jam, 782,16 mg/m2/jam, dan 547,13 mg/m2/jam.
Berdasarkan kedalaman muka air tanah, nilai fluks CO2 terbesar yaitu 1334,00
mg/m2/jam berada di Kebun Tanjung Paring pada kedalaman 30 cm, sedangkan
yang terendah yaitu 280,08 mg/m2/jam, berada di Kebun Nahiyang-2 pada
kedalaman 45 cm. Berdasarkan tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut, ratarata fluks CO2 tertinggi terdapat di Kebun Tanjung Paring dengan tingkat
dekomposisi saprik dan ketebalan > 330 cm.
Berdasarkan uji korelasi, kedalaman muka air tanah pada lahan gambut di
perkebunan kelapa sawit yang diukur pada musim hujan tidak memberikan
pengaruh yang jelas terhadap nilai fluks CO2 yang dihasilkan. Fluks CO2 pada
lahan gambut dapat dipengaruhi oleh karakteristik inhern tanah gambut serta
faktor biotik maupun abiotik yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengukuran fluks CO2 dalam jangka waktu yang panjang
(termasuk musim kemarau) dan pada area yang lebih luas agar data yang
diperoleh lebih dapat mewakili nilai fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut
di perkebunan kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia.
Andriesse J. P. 2003. Ekologi dan Pengelolaaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo
Wibowo dan Istomo [penerjemah]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Bappenas. 2004. Sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia. Antara Krisis
dan Peluang. Jakarta.
Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi
Karbon. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Chimner, R. A. 2004. Soil respiration rate of tropical peatlands in Micronesia and
Hawaii. WETLANDS, Vol. 24, No. 1, March 2004, pp. 51–56.
Handayani, E. P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada
Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman
dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. [Disertasi]. Bogor;
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kabupaten Seruyan. 2011. http://www.seruyankab.go.id/main/index.php?option
=com_content&task=view&id=22. [3 Agustus 2011]
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment
of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics
report Q3943.
Melling, L., R. Hatano, and K. J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems
in tropic peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57 B, 1-11.
Murdiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra, dan
A. Jaya. 2004. Petunjuk Lapang. Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan
Gambut. Wetland International-Indonesia Programme.
Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands InternationalIndonesia Programme.
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Penerbit
Kanisius : Yogyakarta.
28
Radjagukguk, B. 1997. Pertanian berkelanjutan di lahan gambut berwawasan
lingkungan. Dalam Alami vol. 2. No. 1, pp, 17-20. Pengelolaan Gambut
Berwawasan Lingkungan. BPP Teknologi. Jakarta.
Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ. 2003. Carbon dioxide and methane fluxes in
boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of
ozone or ultraviolet-B exposure. Occologia. 137:475-483.
Sabiham, S. 2006. Pengelolaan lahan gambut Indonesia berbasis keunikan
ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Sarwani, M dan Adhi WIPG. 1994. Penyusutan lahan gambut dan dampaknya
terhadap produktivitas lahan pertanian di sekitar Kasus Delta Pulau Petak,
Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional 25 Tahun Pemanfaatan
Lahan Gambut dan Pengawasan Kawasan Pasang Surut. Jakarta, 14-15
Desember 1994.
Sumangat, Rusdi M. 1979. Pengaturan tata air mikro dan masalah penyediaan
tenaga kerja dalam hubungannya dengan usaha intensifikasi tanah dua kali
setahun di persawahan pasang surut. Proceeding Simposium Nasional III
Pengembangan Pasang Surut di Indonesia. Buku III. IPB.
Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penenlitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.
Watanabe, A. Benito H. Purwanto, Ho Ando, Ken-ichi Kakuda, Foh-Shoon Jong.
2009. Methane and CO2 fluxes from an Indonesian peatland used for sago
palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation: Effects of fertilizer and
groundwater level management. Agriculture, Ecosystems and
Environment 134 (2009)14-18.
LA M P I R A N
30
Lampiran 1. Data Sifat Kimia dari Contoh Tanah Gambut pada Setiap
Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit
Batas
Nilai pH (1:5)
Horison
Bahan Organik
HCl 25 %
KCl
Walkley &
Black
C
3,5
2,8
50,71
1,09
47
17
10
40-70
70-160
160-200
0-28
28-75
SK-1
75-135
3,6
3,3
4,1
4,0
4,2
4,1
2,7
2,8
3,6
3,7
3,8
3,7
50,50
47,84
4,10
55,89
43,60
40,67
0,89
0,83
0,31
1,14
0,78
1,15
57
58
13
49
56
35
4
4
2
6
7
16
9
16
2
29
6
6
>135
0-70
70-100
0-18
18-33
33-74
4,1
3,6
3,8
3,1
3,9
3,8
3,7
3,4
3,4
3,4
38,05
50,62
43,33
60,27
56,16
49,98
0,88
1,42
0,89
1,59
1,06
1,36
43
36
49
38
53
37
7
8
4
44
10
18
6
9
25
15
7
14
74-263
263-294
>294
0-30
4,1
4,0
3,8
3,7
3,7
3,7
3,4
2,8
46,02
37,34
3,38
56,55
1,46
0,76
0,30
1,04
32
49
11
54
4
1
1
15
13
6
6
6
30-90
3,6
3,0
53,79
1,00
54
2
4
90-330
3,4
3,1
41,40
0,77
54
7
28
>330
4,1
3,6
4,23
0,09
47
35
33
Lokasi Sender
Top-sub
H2O
soil (cm)
Kjeldahl C/
P2O5 K2O
N
N
%
0-40
Sulin
Sulin
UG-9
Nahiyang Hi-3
Nahiyang Hi-2
Tanjung
Paring
UG14
mg/100g
Kadar
Abu
%
0,5
3,51
0,62
1,26
1,67
1,44
31
Lampiran 2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di
Perkebunan Kelapa Sawit
No Kebun
1
Sulin
Blok
Taksonomi Tanah
UG 01
H-59
Typic Haplosaprists
Sapric
Sapric
-
255
35
UG 02
H-59
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
-
210
45
UG 03
H-59
Typic Haplohemist
Sapric
Hemic
-
140
43
UG 04
H-59
Hydric Haplohemist
Sapric
Hemic
-
390
30
UG 05
H-59
Hydric Haplohemist
Sapric
Hemic
-
400
35
UG 05
G-59
Hydric Haplohemist
Sapric
Hemic
-
400
35
Hydric Haplohemist
Sapric
Hemic
140-400
30-45
Kesimpulan
2
Soil Ketebalan Kedalaman
Minerals Gambut Muka Air
Lapisan Atas Lapisan Bawah Content
(cm)
Tanah
Tingkat Dekomposisi
No
Observasi
UG 07
J-60
Typic Haplohemist
Sapric
Hemic
-
480
10
UG 08
J-60
Fluvaquentic Haplosaprists
Sapric
Sapric
Minor
470
20
UG 07
J-60
Sapric Haplohemists
Sapric/Pc
Hemic
Medium
205
70
UG 07
J-60
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
195
40
UG 07
J-60
Fluvaquentic Haplosaprists
Sapric/Pc
Sapric
Medium
170
30
Haplohemists
Sapric
Sapric
Medium 100-200
Sulin
Kesimpulan
3 Tanjung
Paring
30-70
HH-1
S-37
Typic Haplosaprists
Sapric
Sapric
-
>500
45
HH-2
S-37
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
-
600
30
HH-2
S-37
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
-
400
20
HH-3
S-37
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
-
>600
38
HH-4
S-37
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
-
300
64
Sapric Haplohemists
Sapric
Hemic
>300
20-64
Kesimpulan
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit
Kebun
Sulin
Ulangan
I
II
III
Sulin
I
II
Nahiyang
I
Tanggal
pengambilan
sampel gas
Waktu
pengambilan
sampel gas
Tanggal
pengukuran
sampel gas
Waktu
pengukuran
sampel gas
Ketebalan
gambut
(cm)
30-Jan-11
30-Jan-11
14.43
14.43
30-Jan-11
30-Jan-11
21.30
22.00
230
30-Jan-11
14.43
30-Jan-11
30-Jan-11
30-Jan-11
15.33
15.33
30-Jan-11
Jarak
(m)
Rata-rata suhu (oC)
10
75
26,5
24,8
Luar
piringan
26,6
26,2
22.30
150
24,7
30-Jan-11
30-Jan-11
23.00
23.30
10
75
15.33
30-Jan-11
24.00
30-Jan-11
16.21
30-Jan-11
30-Jan-11
16.21
30-Jan-11
31-Jan-11
31-Jan-11
Fluks CO2
(mg/m2/jam)
638,15
431,44
Luar
Piringan
513,95
608,39
27,1
319,49
862,79
24,5
23,8
25,6
23,8
637,02
501,15
957,94
304,62
150
24,8
26,1
1071,17
307,35
00.30
10
24,0
26,0
419,37
600,45
30-Jan-11
01.00
75
23,2
23,3
817,91
531,39
16.21
30-Jan-11
01.30
150
23,1
24,0
802,67
399,49
8.36
8.36
31-Jan-11
31-Jan-11
11.00
11.30
10
75
29,6
29,4
29,6
32,8
947,17
697,84
337,40
543,10
31-Jan-11
8.36
31-Jan-11
12.00
150
28,2
33,3
544,05
923,68
31-Jan-11
31-Jan-11
9.23
9.23
31-Jan-11
31-Jan-11
12.30
13.30
10
75
31,9
28,2
29,6
35,3
312,21
923,16
535,45
1087,45
31-Jan-11
9.23
31-Jan-11
14.00
150
28,5
37,4
869,74
1168,32
1-Feb-11
9.13
1-Feb-11
14.00
10
30,8
31,4
538,80
783,42
1-Feb-11
9.13
1-Feb-11
14.30
75
29,0
31,0
241,81
843,44
1-Feb-11
9.13
1-Feb-11
15.00
150
32,0
31,3
646,46
730,21
70
330
Piringan
Piringan
32
Lampiran 3. (Lanjutan)
Kebun
Nahiyang
Ulangan
II
III
Nahiyang
I
II
III
Tanjung
Paring
I
Ketebalan
gambut
(cm)
Rata-rata suhu (oC)
Tanggal
pengambilan
sampel gas
Waktu
pengambilan
sampel gas
Tanggal
pengukuran
sampel gas
Waktu
pengukuran
sampel gas
1-Feb-11
1-Feb-11
10.00
10.00
1-Feb-11
1-Feb-11
15.30
16.00
10
75
33,4
31,4
Luar
piringan
31,4
31,9
1-Feb-11
10.00
1-Feb-11
16.30
150
34,3
1-Feb-11
1-Feb-11
10.44
10.44
1-Feb-11
1-Feb-11
17.00
17.30
10
75
1-Feb-11
10.44
1-Feb-11
18.00
31-Jan-11
31-Jan-11
11.20
11.20
31-Jan-11
31-Jan-11
15.30
16.00
31-Jan-11
11.20
31-Jan-11
31-Jan-11
31-Jan-11
12.18
12.18
31-Jan-11
Jarak
(m)
Fluks CO2
(mg/m2/jam)
422,68
212,09
Luar
Piringan
695,90
682,97
36,3
941,32
868,74
36,6
36,1
36,8
32,8
394,55
732,58
825,10
616,88
150
38,1
37,1
563,69
992,74
10
75
28,0
31,3
32,3
33,1
676,32
347,68
642,49
239,46
16.30
150
29,3
33,7
468,59
1275,72
31-Jan-11
31-Jan-11
17.00
17.30
10
75
29,6
31,4
32,4
31,1
949,38
756,36
267,68
204,35
12.18
31-Jan-11
18.00
150
31,6
32,1
376,12
385,01
31-Jan-11
31-Jan-11
13.26
13.26
31-Jan-11
31-Jan-11
18.30
19.00
10
75
29,1
30,6
31,4
32,8
499,11
259,20
803,46
396,44
31-Jan-11
13.26
31-Jan-11
19.30
150
31,1
33,8
368,19
709,58
1-Feb-11
15.52
1-Feb-11
19.30
10
28,0
28,0
1258,89
516,40
1-Feb-11
1-Feb-11
15.52
15.52
1-Feb-11
1-Feb-11
20.00
20.30
75
150
27,0
25,0
28,9
27,0
546,14
1334,00
997,68
510,88
270
350
Piringan
Piringan
33
34
Lampiran 4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks
CO2 pada Lahan Gambut di Setiap Lokasi Penelitian
a. Kebun Sulin 1
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Sulin 1
800
700
600
500
400
300
200
100
0
Piringan
Luar
piringan
0
10
20
30
40
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
b. Kebun Sulin 2
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Sulin 2
1200
1000
800
600
Piringan
400
Luar
piringan
200
0
34
35
36
37
38
39
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
c. Kebun Nahiyang 1
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Nahiyang 1
1000
800
600
Piringan
400
Luar
piringan
200
0
0
20
40
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
60
35
d. Kebun Nahiyang 2
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Nahiyang 2
1000
800
600
Piringan
400
Luar
piringan
200
0
44
46
48
50
52
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
e. Kebun Tanjung Paring
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Tanjung Paring
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Piringan
Luar
piringan
0
20
40
60
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
80
Download