METODE SSRA UNTUK ANALISIS RISIKO PADA SPIP *)

advertisement
METODE SSRA UNTUK ANALISIS RISIKO PADA SPIP *)
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
pada tanggal 28 Agustus 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP), maka unit/satuan kerja instansi pemerintah
diharapkan dapat mengidentifikasi terjadinya deviasi atau
penyimpanan atas pelaksanaan kegiatan dibandingkan dengan
rencana. Hal ini dimaksudkan sebagai umpan balik untuk melakukan
tindakan koreksi atau perbaikan dalam mencapain tujuan organisasi.
SPIP itu sendiri merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara berkelanjutan oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memastikan bahwa
program/kegiatan dilaksanakan secara efektif dan efisien, pelaporan keuangan handal,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
SPIP terdiri LIMA unsur yaitu: (a) lingkungan pengendalian; (b) penilaian risiko; (c) kegiatan
pengendalian; (d) informasi dan komunikasi; dan (e) pemantauan pengendalian Intern.
Penerapan lima unsur ini dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan
instansi pemerintah.
Berdasarkan pengalaman selama ini, terlihat bahwa penilaian risiko merupakan satu unsur
terlemah dari unsur SPIP. Lemah baik dalam metodologi maupun dalam implementasinya.
Metode analisis risiko belum banyak dikembangkan di dalam SPIP. Demikian pula lemah
dalam implementasi yang mencakup komponen identifikasi risiko, penilaian tingkat risiko,
pengelolaan maupun pemantauan risikonya.
1. Mekanisme Manajemen Risiko
Sebelum mengulas mengenai alur manajemen risiko, diperlukan pengertian dasar dari risiko.
Risiko adalah perkiraan kejadian merugikan yang akan datang (saat ini belum terjadi, tetapi
berpotensi akan terjadi di masa mendatang). Sumber risiko bisa berasal dari dalam (internal)
maupun dari luar (eksternal). Berdasarkan tingkatan risiko dibedakan menjadi: (1) risiko
manajemen yang mengarah kepada yang bersifat strategis/kebijakan dan finansial, yang di
dalam pemerintahan bisa disejajarkan dengan level kebijakan/program dengan indikator
kinerjanya berupa impact/outcome dan (2) risiko operasional yang mengarah kepada
kegiatan teknis maupun operasional, yang di dalam pemerintahan bisa disejajarkan dengan
level kegiatan dengan indikator output). Sumber risiko berasal dari internal pada level
operasional misalnya: pengelolaan man-money, material (3M), sistem dan prosedur,
kelembagaan intern dan lainnya, sedangkan risiko yang berasal dari eksternal misalnya
akibat regulasi, pasar, kondisi sosial-budaya masyarakat, faktor lingkungan dan lainnya.
BAGAN 1. MEKANISME MANAJEMEN RISIKO
IDENTIFIKASI
RISIKO
ANALISIS
RISIKO
PERENCANAAN
RISIKO
PENANGANAN
RISIKO
PEMANTAUAN
RISIKO
Daftar
Risiko
Potensial
Daftar
Prioritas
/ Titik Kritis
Risiko
Rencana
Menghindari
Risiko &
Rencana
Kontingensi
-Antisipasi
- Mitigasi
- Adaptasi
Kondisi
Risiko
Terkini
Penanggung
jawab
kegiatan
Penanggung
jawab
kegiatan
Penanggung
jawab &
Pelaks
kegiatan
Secara umum manajemen risiko
dilakukan melalui lima tahapan,
yaitu: (1) identifikasi, (2) analisis
risiko, (3) perencanaan risiko, (4)
penanganan risiko, dan (5)
pemantauan risiko. Tahapan ini
berlaku
umum
baik
dalam
manajemen risiko di sektor privat
maupun publik yang secara
skematis disajikan pada Bagan 1.
Manajemen risiko sebagai suatu
sistem berarti pada satu tahapan
Checklist
dengan
dengan
tahapan
List Titik
Realisasi
Pemantau
Tahapan
Tabel
kritis Risiko
Penangan
an
Risiko
Kegiatan
dan Tingkat
Analisis
berikutnya saling berkaitan dan
an Risiko
Risiko
merupakan proses yang dimulai
dengan identifikasi yaitu menyusun daftar risiko potensial, yang ditindaklanjuti dengan
tahapan yang kedua yaitu analisis risiko. Pada tahap ini dilakukan analisis titik kritis dari
daftar risiko yang ada. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis risiko dilakukan perencanaan
risiko mencakup rencana menghindari, mengurangi maupun bila mampu menghilangkan
risiko. Berdasarkan perencanaan risiko tersebut dilakukan implementasi atau penanganan
risiko dan dilakukan pemantauan risiko. Hasil pemantauan risiko ini menjadi umpan-balik
untuk analisis risiko berikutnya secara terus menerus. Manajemen risiko sebagai proses
maka mekanisme loop umpan-balik positif ini yang akan terus-menerus memperbaiki
manajemen risiko secara berkelanjutan. Bagaimana penerapan manajemen risiko ini di sektor
publik diperlukan pengayaan metode analisisnya.
Penanggung
jawab
kegiatan
Satlak SPI
2. Metode SSRA
Metode ini diperoleh dengan memodifikasi dan menyederhanakan dari teori-teori manajemen
risiko yang berkembang selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa manajemen risiko yang
berkembang saat ini lebih dominan diterapkan di sektor swasta, sedangkan di sektor publik
(pemerintah) belum berkembang dengan baik, untuk itu saya mencoba mereplikasi metode
analisis risiko yang ada saat ini dan disederhanakan sehingga dengan mudah diterapkan di
sektor pemerintah. Analisis risiko ini dilakukan secara berurutan dengan metode Enam
Langkah yang selanjutnya saya beri nama Enam Langkah Analisis Risiko atau Six Steps of
Risk Analysis disingkat SSRA.
Metode SSRA dapat diaplikasikan untuk analisis risiko di sektor publik. Kelebihan metode
SSRA ini relatif sederhana, mudah dipahami, menggunakan format yang mudah diterapkan.
Metode ini bisa diterapkan pada semua sektor/ subsektor di pemerintahan, karena tidak
membeda-bedakan aspek keuangan, aset, teknis maupun lainya. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menganalisis risiko baik pada level manajemen maupun level operasional.
Berikut disajikan penerapan SSRA untuk analisis risiko pada level operasional yang di dalam
pemerintahan bisa disejajarkan dengan level kegiatan dengan indikator kinerjanya berupa
output. Metode SSRA ini menggunakan Enam Langkah dalam melakukan analisis risiko.
Masing-masing langkah dibantu dengan menggunakan lembar kerja. Metode SSRA ini cukup
sederhana, namun diperlukan kejelian dalam mengisinya. Pada setiap tahapan dilakukan
aktivitas yang sederhana dan mudah dilakukan dengan tanpa mengurangi substansi dari
manajemen risiko.
a. Langkah pertama: Mengidentifikasi Tahapan dan Check-list Kegiatan
Risiko dapat terjadi pada setiap kegiatan dan tahapan kegiatan yang dilakukan baik pada
tahap perencanaan (perencanaan anggaran dan preparasi kegiatan), pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, serta tahap pelaporan dan tindaklanjut.
Risiko yang tidak dapat terdeteksi atau tidak dapat dikelola dengan baik akan mengakibatkan
tujuan dari instansi pemerintah yang telah ditetapkan tidak dapat tercapai atau
pencapaiannya tidak optimal.
Pada langkah pertama ini dibantu dengan
menggunakan lembar kerja dengan contoh
isian format tiga kolom yaitu tahapan
kegiatan, chechk-list dan keterangan.
Pada tahapan pertama yaitu identifikasi risiko
disarankan agar dilakukan sendiri oleh
penanggung-jawab kegiatan karena mereka
yang lebih menguasai mengenai karakteristik
kegiatan dimaksud. Identifikasi risiko dimulai
dengan menyusun check-list detail tahapan
kegiatan.
pada Lembar Kerja-1 ini diminta masingmasing penanggungjawab kegiatan untuk
mengindentifikasi dan mengisi daftar check-list tahapan kegiatan. Mengingat cakupan
kegiatan sangat bervariasi, ada kegiatan yang besar dengan banyak komponennya, juga
terdapat kegiatan yang sederhana, maka daftar check-list ini bisa dibuat baik pada level
kegiatan, keluaran kegiatan/output, komponen ataupun sub-kegiatan sesuai dengan
kebutuhan.
Untuk menyusun check-list ini dimulai dengan mengisi tahapan dari masing-masing kegiatan.
Secara umum tahapan kegiatan mencakup tiga hal yaitu: tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, tahap pelaporan, namun detail dari setiap kegiatan tentunya bervariasi sesuai
karakteristik dari kegiatan dimaksud. Sebagai contoh untuk jenis kegiatan dengan output
buku atau laporan, maka biasanya tahapan kegiatan ini dimulai dari persiapan, menyusun
TOR, kuesioner, pengumpulan data dan diakhiri dengan penyusunan, penggandaan dan
pengiriman laporan.
Identifikasi tahapan kegiatan ini penting dan merupakan langkah awal dalam proses analisis
risiko. Indentifikasi semestinya dilakukan secara cermat, mengingat hasil identifikasi tahapan
kegiatan akan dijadikan dasar untuk: (1) penentuan titik kritis kegiatan, (2) acuan
pelaksanaan sesuai tahapan, serta (3) melakukan check-list pada pemantauan
perkembangan kegiatan. Pada Lembar Kerja-1 ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
memantau terhadap pelaksanaan kegiatan, dengan mengisi check-list
(sudah/belum
dilakukan) atau diisi kuantitatif (bisa dalam bentuk % tau angka absolut) serta pada kolom
keterangan diisi penjelasan-penjelasan.
a. Langkah kedua: Identifikasi Titik Kritis, Sebab, Dampak dan Tingkat Risiko
Pada langkah ke-2 dilakukan identifikasi titik kritis dengan mengisi Lembar Kerja-2 yang
terdiri dari lima kolom yaitu: kolom titik kritis, penyebab, dampak, tingkat risiko dan potensi
kendala. Langkah ke-2 ini merupakan langkah tersulit dalam analisis risiko, mengingat
diperlukan kemampuan untuk menentukan sejumlah titik kritis dari tahapan kegiatan pada
Lembar
Kerja-1,
mengidentifikasi sebab-sebab
Lembar Kerja-3: Rencana
risiko kemungkinan terjadi,
Pengelolaan Risiko
Lembar kerja-2: Identifikasi Titik Kritis Kegiatan
memprediksi dampak (terutma
dampak negatif), menentukan
Rencana Pengelolaan Risiko
Tingkat
No. TitikKritis
Penyebab
Kendala
Dampak
Resiko
tingkat risiko (tinggi/ sedang/
Pengendalian
Pemantauan
rendah) dan mengidentifikasi
1 Pengumpula Belum
Ketersediaan Data
tinggi Penjajakan data Pada tahap
n data di
dibangun
data di daerah menjadi
sekunder dan
persiapan
potensi kendala yang akan
daerah/ lapa database yang dan kendala sulit
konfirmasi uji
lapang dan
ngan (data memadai
aksesibilitas dianalisis
kuesioner
tahap
dihadapi.
lengkap dan
tepat waktu)
/ transportasi
dan
kualitas
laporan
Kualitas
laporan
pengumpulan
data
Titik
kritis
pada
kolom
pertama ini diisi dengan
mencantumkan satu atau
beberapa tahapan yang dinilai
2
Ketersedian
Laporan
tinggi
waktu Tim
terlambat
sebagai tahapan yang 'kritis'
Pembahasan digunaka
draf
n untuk
dari seluruh tahapan kegiatan
kebijakan
yang ada. Jumlah titik kritis
sangat
bervariasi
antar
kegiatan tergantung dari karakteristik kegiatan dimaksud. Pada kolom ini disetiap titik kritis ini
ditelaah lebih lanjut dengan mengisi pada kolom-kolom berikutnya yaitu mengisi faktor
penyebab terjadinya titik kritis, prediksi dampak negatif yang akan terjadi bila tidak dilakukan
pengelolaan risiko, mengisi tingkat risiko dan potensi kendala-kendala. Sampai saat ini
belum dikembangkan secara kuantitatif dalam penentuan tingkat risiko, namun untuk
memudahkan mengisi tingkat risiko dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari lima
kriteria sebagai berikut: (1) disebut risiko tinggi apabila titik kritis akan berdampak/ berakibat
pada: (a) tidak tercapainya tujuan/sasaran kegiatan, (b) kerugian keuangan negara, (c)
kerugian aset pemerintah, (d) gagalnya pelayanan publik, dan (e) terkait ketaatan peraturan
per-undang-undangan, (2) apabila titik kritis tidak berakibat pada satu atau kombinasi dari
2
Penyusunan Pengolahan
laporan
data
memerlukan
waktu dan
kelengkapan
referensi
Penyampaia Keterlambatan
n/ pengirima kirim karena
n laporan
proses
finalisasi
memakan
waktu lama
Kelengkapan
dan
ketajaman
analisis data
tinggi
Memperbanyak
referensi dan
literatur yang
terkait
Pada tahap
persiapan,
pengolahan
data dan
penyusunan
draf
Mematuhi target Pada saat
waktu
finalsiasi dan
penyelesaian
pengiriman
laporan
lima kriteria tersebut berarti akan masuk ke dalam tingkat risiko sedang atau rendah, yang
apabila dampak negatifnya relatif kecil maka dikategorikan sebagai tingkat risiko rendah. Ke
depan perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai aspek kuantitatif (dalam bentuk skor, bobot, dan
lainnya) untuk diterapkan dalam analisis risiko termasuk uji validitasnya.
c. Langkah ketiga: Menyusun Rencana Pengelolaan Risiko
Pada langkah ke-3 diperlukan kemampuan penanggungjawab/ pelaksana kegiatan untuk
merancang rencana pengelolaan risiko. Para rencana pengelolaan risiko ini mencakup dua
hal yaitu: rencana pengendalian risiko dan rencana pemantauan risiko sebagaimana disajikan
pada Lembar kerja-3. Pada dasarnya rencana pengendalian dimaksudkan untuk minimal
mengurangi atau diupayakan menghilangkan risiko yang akan terjadi, sehingga tidak
berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan. Pengendalian dapat dilakukan melalui: (1)
antisipasi yaitu melakukan upaya pencegahan sejak awal /preventif supaya tidak terjadi risiko
maupun melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan bila nantinyaa akan terjadi risiko,
(2) adaptasi yaitu langkah-langkah menyesuaikan diri pada saat terjadi risiko, termasuk
upaya penyelamatan, dan (3) mitigasi ini merupakan upaya pengobatan/kuratif pada saat
terjadi risiko, sehingga dmpak negatif dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Rencana pemantauan risiko disusun dalam rangka memastikan bahwa rencana
pengendalian risiko dapat diterapkan/dilaksanakan, melalui mekaanisme pemantauan dan
evaluasi sebagai umpan-balik untuk perbaikan pelaksanaan maupun masukan perbaikan
rencana lebih lanjut. Pemantauan ini tentunya dilaksanakan secara periodik sesuai
karakterisktik kegiatan n kebutuhannya.
d. Langkah keempat: Rekapitulasi Risiko Menurut Kegiatan/Output
Pada langkah ke-4 sampai dengan ke-6 ini dapat dilakukan oleh penanggungjawab/
pelaksana kegiatan secara sederhana tetapi memerlukan waktu yang cukup untuk melakukan
kompilasi semua risiko pada semua kegiatan dengan alat bantu Lembar kerja-4 sampai
dengan 6. Dikatakan cukup sederhana karena tidak melakukan analisis tetapi cukup
kompilasi data, sedangkan memerlukan waktu karena merekap seluruh risiko di semua
kegiatan. Prinsip kehati-hatian dan ketelitian diperlukan dalam melakukan kompilasi semua
risiko sehingga tidak terjadi duplikasi data atau tidak terrecord pada saat kompilasi. Lembar
kerja ini didesain dengan format yang sejalan dan tindaklanjut dari Lembar kerja-2. Lembar
kerja 4-6 ini nantinya akan digunakan pada saat melakukan pengelolaan risiko
(pengendalian, pemantauan, pelaporan).
Lembar kerja-4 berisi format kompilasi risiko menurut kegiatan pada level manajer (untuk
swasta) atau setingkat Eselon-III (untuk instansi pemerintah). dengan adanya format ini akan
memudahkan manajer/kepala bagian/ kepala bidang/ kasubdit dalam menelaah perencanaan
risiko, melakukan pengelolaan risiko dan pelaporannya. Salah satu kelebihan format ini juga
dapat di-breakdwon tingkat risiko dari bulan ke builan sepanjang tahun, sehingga
pemantauan risiko secara bulanan dapa dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan pengalaman penerapan metode SSRA selama ini ternyata jumlah risiko
berdasarkan tingkat risiko bergerak secara fluktuatif menurut per bulanan sesuai dengan
karakteristik kegiatan dan kemampuan dalam pengelolaan risiko.
Apabila dilakukan
pengelolaan risiko dengan baik maka jumlah risiko tinggi akan bergerak ke bawah (menjadi
risiko sedang/rendah) atau bahkan tidak berisiko lagi. Demikian juga sebaliknya, apabila
tidak dilakukan pengelolaan risiko dengan baik, maka jumlah risiko akan meningkat menjadi
lebih banyak dan tingkat risiko juga bergerak ke atas dari risiko rendah ke tinggi. Pergerakan
risiko dari hulan ke bulan dalam satu tahun menjadi arena menarik untuk diamati, dianalisis
dan dirumuskan upaya lebih lanjut untuk Lembar kerja-4 ini oleh manajer.
e. Langkah kelima: Rekapitulasi Risiko Kegiatan Tingkat Eselon-2
Pada langkah-5 ini berupa tindakan kompilasi risiko pada level Eselon-2 (direktur/kepala
biro/pusat) dari Lembar kerja-4 ke dalam Lembar kerja-5. Dengan demikian lembar kerja-5
ini sebagai alat bantu pimpinan Eselon-2 untuk menelaah rencana, pengelolaan dan
pelaporan risiko. Berdasarkan alat bantu ini pimpinn Eelon-2 dapat melakukan pemantauan
risiko di level di bawahnya serta melakukan tindakan pengambilan keputusan semestinya.
f. Langkah ke enam: Reakpitulasi Risiko Kegiatan Tingkat Eselon-1
Pada langkah-6 melakukan kompilasi risiko pada level Eselon-1 (direktur jenderal/ kepala
badan/sekretaris jenderal/inspektur jenderal) dari Lembar kerja-5 ke dalam Lembar kerja-6.
Lembar kerja-6 ini merupakan alat bantu bagi pimpinan Eselon-1 untuk menelaah rencana,
pengelolaan dan pelaporannya. Selanjutnya berdasarkan hasil pemantauan risiko secara
perioik (bisa bulanan, triwulanan, semesteran, tahunan) dapat dilakukan tindakan
pengambilan keputusan tindaklanjutnya.
3. Pengelolaan dan Pemantauan Risiko
Pengelolaan risiko adalah cara bagaimana menangani semua risiko (baik dari dalam maupun
luar organisasi) yang ada di dalam instansi pemerintah, tetapi pada semua risiko yang
mengancam pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran instansi pemerintah.
Pengelolaan penanganan risiko atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada unit kerja,
menjadi faktor yang sangat penting dalam mendukung pencapaian visi, misi, tujuan dan
sasaran instansi pemerintah.
Pengelolaan risiko tidak dapat dilakukan secara parsial oleh masing-masing unit kerja
pelaksanaan kegiatan, tetapi perlu dilakukan secara komprehensif agar pengelolaan risiko
dapat dilakukan secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu manajemen pengelolaan
risiko.
Pengelolaan risiko pada dasarnya merupakan perwujudan implementasi dari perencanaan
risiko. Mengingat titik kritis berada pada satu atau beberapa tahapan dari seluruh tahapan
pelaksanaan kegiatan, maka kemampuan merealisasikan seluruh tahapan kegiatan dapat
diartikan kemampuan melewati titik kritis yang ada di kegiatan dimaksud. Merealisasikan
pada setiap tahapan tentunya ada yang dapat dilewati dengan mudah, namun ada juga yang
dilewati dengan jalan berliku dan sulit. Biasanya tahapan kegiatan yang sulit dilaksanakan
atau berisiko untuk dilaksanakan disebut sebagai titik kritis. Untuk itu pengelolaan risiko
difokuskan untuk dapat melewati tahapan kegiatan yang kritis tersebut dengan upaya-upaya
khusus sebagaimana dituangkan ke dalam Lembar kerja-3. Pengelolaan risiko dilakukan
pada saat tahapan kritis dilewati (melalui antisipasi) maupun pada saat tahapan kritis sedang
berlangsung (melalui adaptasi dan atau mitigasi). Merealisasikan tahapan kegiatan
seyogyanya dilakuakn secara berurutan mengacu kepada Lembar kerja-1, sedangkan
pengelolaan risiko mengacu kepada Lembar kerja-3.
Pelaksanaan pengelolaan risiko ini tentunya terus dipantau sehingga dapat memberikan
keyakinan bahwa pengelolaan risiko dapat berjalan sesuai rencana sekaligus untuk
memperoleh umpan-balik bagi perbaikan rencana risiko berikutnya. Pemantauan realisasi
kegiatan dengan menggunakan alat bantu check-list sebagaimana Lembar kerja-1,
sedangkan pemantauan risiko menggunakan rencana pemantauan sebagaimana Lembar
kerja-3, dengan substansi yang dipantau bagi level manajer/Eselon-3 menggunakan Lembar
kerja-4, pada level Eselon-2 menggunakan Lembar kerja-5 dan pada level Eselon-1
menggunakan lembar kerja-6.
4. Tindaklanjut
Enam Langkah Analisis Risiko ini merupakan proses yang berurutan dari satu langkah ke
langkah berikutnya. Metode SSRA ini bisa diterapkan baik analisis risiko pada level kegiatan
dengan indikator kinerja output maupun pada level program dengan indikator kinerja
outcome. Metode SSRA ini telah diujicobakan pada level kegiatan dengan hasil yang baik
dan tidak ditemukan kendala- kendala dalam implementasinya.
Untuk selanjutnya perlu diujicobakan untuk diterapkan dalam analisis risiko di level program.
Keterampilan dalam implementasi metode SSRA dapat diwujudkan dengan memulai
mencoba dan mempraktekkan analisis risiko pada kegiatan di masing-masing unit kerja.
Diperlukan peningkatan kesadaran bersama bahwa pengendalian intern bukan hanya
menjadi tugas Tim maupun pimpinan, namun merupakan tugas yang melekat setiap individu
aparatur. Demikian pula penilaian risiko sebagai satu unsur terlemah dari lima unsur pisau
analisis SPI untuk ditingkatkan kinerjanya dan merupakan tanggungjawab bersama untuk
dilaksanakan dalam tugas sehari-hari.
*) Dr Suwandi, Biro Perencanaan, Kementan
Download