Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan

advertisement
Volume 4, Nomor 1
April 2015
ISSN: 2089-7790
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc - Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)
Ketua Dewan Editor
: Prof. Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc - Universitas Syiah Kuala
(Manajemen SDP & Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana
Asisten Editor Pelaksana 1
Asisten Editor Pelaksana 2
Anggota Dewan Editor
: Ichsan Setiawan, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi)
: Drs. Muhammad, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Hidrodinamika)
: Yopi Ilhamsyah, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Meteorologi)
: Prof. Dr. Syamsul Rizal - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi Fisik)
Dr. Musri Musman, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Ekologi Perairan)
Dr. Indra, MP - Universitas Syiah Kuala (Manajemen Sumberdaya Pesisir)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng - Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)
Dr. Muhammadar, ST, MP - Universitas Syiah Kuala (Akuakultur)
Farok Afero, Ph.D - DKP Aceh (Biometrik & Sosek Perikanan)
Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc - Universitas Riau (Pakan & Nutrisi Ikan)
Teknisi IT/Web Master
: Achmad Muhadjier, S.Kel
Sirkulasi dan Dokumentasi : Muhammad Saumi, A.Md
Jurnal Depik Diindek Oleh:
Alamat Redaksi:
Fakultas Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam - Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : [email protected] Website : http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/depik
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DAFTAR ISI
Volume 4, Nomor 1 April 2015
Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu, Kecamatan
Peukan Bada, Aceh Besar
Samsul Bahri, Edi Rudi, Irma Dewiyanti
Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (tubificidae) dengan memanfaatkan
limbah budidaya ikan lele (clarias sp) sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan
produksi cacing sutra.
Eddy Supriyono, Dedi Pardiansyah, Diana Sriwisuda Putri, Daniel Djokosetianto.
Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan
kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dalam tambak di Kabupaten Bireuen Provinsi
Aceh.
Farok Afero, Safrita AM.
Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus time series.
Rizal Fadlan Abida, Widodo Setiyo Pranowo, Yogo Pratomo, Engki Andri
Kisnarti.
Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberi pakan berbahan baku
lokal.
Zaenal Abidin, Muhammad Junaidi, Paryono, Nunik Cokrowati, Salnida Yuniarti.
Studi penentuan lokasi budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung di perairan
Timur Simeulue.
Syahrul Purnawan, Muhammad Zaki, T.M. Asnawi,
Ichsan Setiawan.
Pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi asam
amino, asam lemak, kolesterol dan mineral.
Ika Astiana, Nurjanah, Ruddy Suwandi, Anggraeni Ashory Suryani, Taufik
Hidayat.
01 - 07
08 - 14
15 - 23
24 - 32
33 - 39
40 - 48
49 - 57
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu,
Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar
Coral reefs and macro invertebrates condition in Ujong Pancu, Peukan
Bada District, Aceh Besar
Samsul Bahri1*, Edi Rudi2, Irma Dewiyanti3
1Jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1
Darussalam, Banda Aceh 23111, *Email korespodensi: [email protected]
2Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syech Abdurrauf No.3 Darussalam, Banda Aceh 23111.
3Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1
Darussalam Banda Aceh 23111.
Abstract. The aimof this study was to evaluate the condition of coral reefs and macro invertebrates at Ujong Pancu, Aceh
Besar District The study was carried out from April to May 15 2012. Coral coverage was observed by using Point Intercept
Trancect method and Visual census technique for macro invertebrates. There was 50% of hard coral coverage recorded in
three observation locations. The predominant genus was Acropora with a percentage of more than 50% at all locations. The
abundance of macro invertebrateswas ranged from 3.75 to 7.75 ind/transect. The most abundant macro invertebrates was
Diadema setosum with percentage of more than 40% at each location. The diversity index (H’) of coral reefs and macro
invertebrates were ranged from 0.74 - 1.36 and 0.98 – 1.5, respectively. In general, the condition of coral reefs and macro
invertebrates in Ujong Pancu was in good condition.
Keywords: Coral reefs; Macro invertebrates; Ujong Pancu.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di
Ujong Pancu. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2012. Tutupan karang diamati dengan
menggunakan Metode Point Intercept Transect (PIT) dan makro invertebrata diamati dengan menggunakan
metode TeknikVisual Sensus. Hasil penelitian ditemukan bahwa lebih dari 50% tutupan karang keras pada
ketiga stasiun pengamatan. Genus yang paling mendominasi pada ketiga stasiun adalah Acropora dengan
persentase lebih dari 20% pada setiap stasiun pengamatan. Kelimpahan makro avertebrata berkisar antara
3,75 hingga 7,75 ind/transek. Kelimpahan makro invertebrata terbesar adalah Diadema setosum dengan
persentase lebih dari 40% pada setiap stasiun pengamatan. Indeks keanekaragaman (H’) karang dan
makro investebrata berkisar antara 0,74 - 1.36 dan 0,98 – 1,5 secara berurutan. Secara umum berdasarkan
indeks yang digunakan, kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Ujong Pancu tergolong baik.
Kata kunci : Terumbu Karang; Makro avertebrata; Ujong Pancu.
Pendahuluan
Ekosistim terumbu terumbu karang dewasa ini mengalami kemunduran dan ancaman serius yang
terjadi secara alami maupun akibat aktifitas manusia (Wilkinson, 2004; Uneputty dan Evans, 1997).
Aktifitas manusia yang sering merusak terumbu karang antara lain; pengeboman, penurunan jangkar
kapal di sembarang tempat, siltasi dan sedimentasi, serta faktor alami seperti kenaikan suhu secara drastis
dan predasi oleh biota-biota laut lainnya (Dahuri, 2000).Terumbu karang berasosiasi dengan invertebrata
dari filum protozoa, molluska, ekhinodermata, porifera, dan arthropoda (Cox dan Moore, 2005). Jenis
biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang (Mawardi,
2002). Keanekaragaman makro invertebrata laut Indonesia diperkirakan mencapai 1.800 spesies (Hutomo
dan Moosa, 2005). Jumlah filum ekhinodermata yang ada di Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 745
spesies, krustasea 1.512 spesies, sponge 830 spesies, bivalvia 1.000 spesies, dan gastropoda 1.500 spesies
(Hutomo and Moosa 2005).
1
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Ujong Pancu terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.Wilayah ini mengalami
kerusakan parah akibat gelombang Tsunami pada tahun 2004 silam. Penduduk di wilayah Ujong Pancu
sangat menggantungkan pada sumberdaya alam laut yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
(AIPRD-LOGICA, 2006). Keberadaan makro invertebrata sangat berkaitan dengan kondisi terumbu
karang sekitarnya, pada wilayah dengan kondisi terumbu karang yang sehat akan mengindikasi keberadaan
dan makro invertebrata di ekosistem tersebut (Marsuki et al., 2013). Ujong Pancu telah direkomendasikan
sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat oleh DKP Aceh Besar. Namun realisasinya belum
dapat dilaksanakan dengan baik, salah satu sebabnya adalah terbatasnya informasi ekologi dan biodiveritas
kawasan laut ini. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk menginventarisasi potensi ekosistem
khususnya kondisi terumbu karang dan makro invertebrata yang ada di wilayah Ujung Pancu, Kabupaten
Aceh Besar, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar bagi penetapan kebijakan pengelolaan ekosistim pesisir
khususnya terumbu karang yang ada di wilayah ini.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitianini dilakukan di Desa Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar,
mulai tanggal 1 sampai 30 Juni 2012.Pengambilan data dilakukan pada tiga lokasi, yaitu Pulau Tuan (05°
34' 17.7 N, 95° 13'31.6" E), Lhok Mata Ie (05° 34' 17.9" N, 95° 13' 31.1" E), dan Lhok Keutapang (05° 33'
11.6" N, 95° 12' 43.4" E) (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Bulatan merah adalah lokasi sampling
Pengambilan data karang menggunakan metode transek poin (point intercept transect) sepanjang 100
meter. Setiap segmen sepanjang 20 meter sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter.
Pencatatan tipe substrat dasar terumbu karang pada setiap interval 0,5 meter. Sedangkan pengambilan
data invertebrate menggunakan metode teknik visual sensus dengan menggunakan transek yang sama
dengan transek pengamatan karang. Luas area 100 m2 pada setiap segmen sepanjang 20 meter dengan
lebar 2,5 meter pada sisi kanan dan kiri transek sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter,
berdasarkan English et al.(1997).
2
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Persentase tutupan bentik
Perhitungan persentase penutupan (percent of cover) bagi masing-masing kategori pertumbuhan
karang dihitung dengan cara membandingkan panjang total setiap kategori dengan panjang transek total
dengan menggunakan persamaan English et al. (1997):
Indeks
keragaman
Untuk mengetahui indeks keragaman (H’) karang dan makro invertebratamenggunaan
persamaan:
Kelimpahan dan komposisi jenis
Untuk mengetahui kelimpahan dari biota makro invertebrata yang terdapat pada masing-masing
stasiun dengan persamaan sebagai berikut:
Sedangkan untuk menghitung komposisi karang dan makro invertebrata digunakan persamaan sebagai
berikut:
Hasil dan Pembahasan
Persentase tutupan bentik
Persentase tutupan bentik bervariasi, namun pada ketiga lokasi tutupan, jenis karang keras atau
Hard Coral(HC) adalah yang paling dominan dan sering ditemukan dibandingkan dengan jenis-jenis karang
yang lain. Tutupan karang keras (HC) di Pulau Tuan sebesar 53,75%, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang
berturut-turut adalah 58,13% dan 51, 25% (Gambar 2).
Gambar 2.Persentase tutupan bentik di perairan Ujong Pancu, Aceh Besar
Penelitian ini senada dengan hasil penelitian Fadli (2012) yang menemukan bahwa karang keras
sangat dominan keberadaannya di perairan Pulau Rubiah, Kota Sabang. Jenis karang keras yang umumnya
3
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
terdapat di Aceh adalah karang massive dan bercabang (Rudi, 2010). Pada setiap lokasi pengamatan, jumlah
persentase karang keras yang ditemukan masing-masing melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa
tutupan karang keras yang tumbuh di lokasi ini tergolong tinggi dibandingkan dengan kategori bentik yang
lain. Johan (2003) berpendapat bahwa ada dua hal penting yang paling berperan dalam jumlah persentase
karang, yakni aktifitas sekitar ekosistem dan pengelolaan wilayah. Diduga aktifitas masyarakat di Ujong
Pancu khususnya para nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan serta
tidak menggunakan bom dan racun dalam menangkap ikan, sehingga tidak merusak ekologi yang ada
diperairan tersebut. Pengelolaan pesisir diwilayah ini juga mulai terbenahi pasca musibah gelombang
Tsunami, hal ini ditandai dengan adanya pembagian zonasi penagkapan bagi nelayan jaring pantai, nelayan
pancing, dan nelayan jaring yang ditempelkan pada papan-papan pengumuman desa untuk mengatur
wilayah tangkap untuk masing-masing para nelayan. Jika mengacu pada kriteria kondisi tutupan terumbu
karang hidup berdasarkan Gomez et al. (1998) maka kondisi tutupan karang di Ujong pancu tergolong
baik karena persentase tutupannya melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa suatu wilayah dengan
aktifitas lingkungan yang baik serta didukung dengan pengelolaan yang baik akan meningkatkan
kesehatan dan produktifitas ekosistem terumbu karang dilingkungan tersebut, karena secara tidak
langsung terumbu karang akan terjaga dari ancaman lingkungan sekitar seperti limbah keluarga,
pengeboman, serta racun ikan yang mempengaruhi terumbu karang.
Komposisi genus karang
Secara umum dapat dilihat bahwa persentase keberadaan karang berdasarkan genus yang paling
banyak ditemukan adalah Acropora. Genus ini ditemukan pada ketiga lokasi penelitian dengan jumlah yang
lebih dominan dibandingkan dengan genus-genus yang lain (Gambar 3).
Gambar 3.Persentase komposisigenus karang di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang
Tingginya tutupan karang Acropora pada ketiga lokasi pengamatan diperkirakan karena kondisi
perairan yang berarus, kondisi arus di Ujong Pancu cenderung cepat karena dipengaruhi oleh kedua
musim, yakni musim timur dan barat. Hal ini juga dinyatakan oleh nelayan lokal bahwa pada musim timur
dan barat, Ujong Pancu selalu selalu berangin yang menyebabkan gelombang tinggi, dengan kondisi fisik
perairan yang berarus dan dipegaruhi oleh kedua musim timur dan barat, menyebabkan wilayah ini lebih
didominasi oleh jenis karang keras. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudi (2013) bahwa jenis karang yang
hidup pada kondisi perairan berarus biasanya adalah jenis karang bercabang Acropora dan Pocilopora.
Sifatnya yang bercabang di perairan dangkal dan tidak mudah mati ini menyebabkan penyebaran jenis ini
4
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
sering ditemukan pada perairan pantai dengan perairan yang berombak.Karang bercabang biasanya
tumbuh dan berkembang pada kedalaman 5 – 15 meter di bawah permukaan laut (Richmond, 1997).
Komposisi dan kelimpahan makro invertebrata
Lokasi dengan kelimpahan makro invertebrate terbesar terdapat di Lhok Mata Ie dengan
kelimpahan 7,75 individu/transek. Sedangkan di Lhok Keutapang sebanyak 5 individu/transek. Lokasi
yang paling rendah jumlah kelimpahan makro invertebratadibandingkan kedua lokasi lainnya adalah Pulau
Tuan, dengan total kelimpahan adalah 3,75 individu/transek. Perbedaan kelimpahan makro
invertebratapada suatu wilayah pada umumnya sangat dipengaruhi oleh aktifitas penangkapan dan
kecepatan arus(Hawkes, 1978). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan bahwa arus di Lhok
Mata Ie dan Lhok Keutapang relatif cepat. Arus merupakan sarana transportasi makanan dan oksigen
terlarut bagi suatu organisme (Sumich, 1992). Hasil pengamatan yang telah dilakukan, makro invertebrate
yang paling dominan ditemukan adalah Ekhinoderata (Holothuroid, Echinoid, Asteroid dan Ophiuroid). Hasil
perhitungan pada setiap stasiun penelitian jumlah jenis antara 10 - 17 jenis dan jumlah individu antara 23 –
48, jika dibandingkan dengan Tapak Tuan, potensi makro invertebrate yang terdapat di Ujong Pancu lebih
sedikit, hal ini dikarenakan aktifitas penangkapan jenis makro invertebrate ini yang telah lama dilakukan
di Ujong Pancu untuk dikonsumsi. Komposisi makro avertebrata pada masing-masing wilayah dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Komposisi makro invertebrate di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang
Indeks keragaman karang serta makro invertebrata
Tingkat kisaran keragaman(H') karang dan makro invertebrata pada tiga lokasi pengamatan berturutturut adalah 0,74 hingga 1,36 dan 0,98 hingga 1,5. Lhok Mata Ie adalah lokasi dengan tingkat keragaman
tertinggi, hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya jumlah genus karang yang ditemukan dilokasi ini
juga tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marsuki (2013) bahwa keberadaan suatu biota asosiasi sangat
dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang itu sendiri.
5
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Tabel 1. Indeks keanekaragaman dan keseragaman
Indek Keragaman
Nama Lokasi
Pulau Tuan
Lhok Mata Ie
Lhok Keutapang
Rerata
Karang
Makro Invertebrata
0,74
1,36
1,01
1,04
1,39
1,5
0,98
1,29
Banyaknya genus yang ditemukan diperkirakan karena kondisi fisik perairan yang bagus, hal ini
dirasakan saat pengambilan data dengan kondisi arus yang cepat sehingga selalu membawa nutrien-nutrien
baru dikolom perairan serta kecerahan jarak pandang yang mencapai hingga 15 meter. Wallace (1998)
berpendapat bahwa terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, kondisi fisik yang
stabil seperti transportasi nutrient dan sedimentasi yang rendah dapat mengurangi tingkat kematian
karang.
Kesimpulan
Kondisi tutupan karang hidup pada tiga lokasi pengamatan tergolong baik karena tingkat tutupan
rata-rata adalah 54,38%. Bentik (tutupan karang) yang paling dominan ditemukan pada ketiga lokasi
adalah karang keras (HC) dengan persentase lebih dari 50% pada setiap lokasi dengan genus yang paling
dominan ditemukan adalah Acropora dengan persentase lebih dari 20%. Keanekaragaman karang dan
makro avertebrata pada ketiga lokasi pengamatan tergolong sedang.
Daftar Pustaka
AIPRD-LOGICA. 2006. Profil desa lam pageu kecamatan peukan bada. Yayasan Pembinaan Masyarakat
Desa, Banda Aceh.
Cox, C.B., P.D. Moore. 2005. An ecological and evolutionary approach. Blackwell Publishing Ltd,
Australia.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat. LIPI, Jakarta.
Rudi, E. 2010. Tutupan karang keras dan distribusi karang indikator di perairan Aceh bagian Utara,
Biospecies Research, 2(2): 1 – 7.
Rudi, E. 2013. Penilaian sumberdaya terumbu karang dan persepsi masyarakat tentang daerah
perlindungan laut di Ujong Pancu Aceh Besar. Biospecies Research, 6(2): 30-45.
English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survei manual for tropical marine resource. Australian Institute
of Marine Science, Townsville.
Hawkes, H.A. 1978. Invertebrate as indicator of river water quality. University of Newcastle. Upon Tyae,
Newcastle.
Hutomo, M., M.K. Moosa. 2005. Indonesian marine and coastal biodiversity: Present status. Indian
Journal of Marine Science, (34):88-97.
Johan, O. 2003. Metode survei terumbu karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta.
Marsuki, I.D., B. Sadarun, R.D. Palupi. 2013. Kondisi terumbu karang dan kelimpahan kima di perairan
Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia, (1): 61-72.
Fadli, N. 2012. Komposisi ikan karang di lokasi transplantasi karang di Pulau Rubiah, Kota Sabang, Aceh.
Depik, 1(3): 196-199.
Richmond. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence of reefs in life
and death of coral reefs. Chapman and Hall 115 Fifth Avenue, New York.
6
Depik, 1 (1): 1-7
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Sumich, J.L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Edisi ke-5. Dubuque, WmC Brown,
California.
Uneputty, P.A., S.M. Evans. 1997. Accumulation of beach litter on islands of the Pulau Seribu
archipelago, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, (34): 652-655.
Wallace, D. 1998. Coral reef and their management. www.cep.unep.org. Akses tanggal 18 Maret 2013.
Wilkinson, C.R. 2004. Status of coral reefs of the world: 2004. Global Coral Reef Monitoring Network
GCRMN, Australian Institute of Marine Science, Townsville. Queensland, Australia.
7
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (tubificidae) dengan
memanfaatkan limbah budidaya ikan lele (clarias sp) sistem intensif terhadap
kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra
The comparison of cultivation of tubs silk worms (tubificidae) by utilizing waste
cultivation of catfish (clarias sp) intensive systems on the quality of water catfish
and production of silk worms
Eddy Supriyono1, Dedi Pardiansyah1,2*, Diana Sriwisuda Putri1, Daniel Djokosetianto1
1Laboratorium
lingkungan, Akuakultur Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor
Jl. Agatis, Kampus IPB Dramaga Bogor, Telp. 0251-8628755,
2Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu, .Jl. Jendral Sudirman Np. 185
Kota Bengkulu.Telp. 0736-344918, *Email korespondensi :[email protected]
Abstract. This objective of the research was to compare the number of blood worm production using catfish cultivation waste, while the
water from catfish cultivation flowed to blood worm cultivation with recirculate system. This research were used 3 treatments and 2
replications, the treatment was 2, 4 and 6 containers of blood worm. The results showed that the highest water quality and biomass was
6 containers treatment with 1.4 kg m-2 weight gain.
Keywords: Catfish; silk worm; waste intensive farming.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan
memanfaatkan limbah budidaya lele sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra, dimana
air dari media budidaya ikan dialirkan ke media pemeliharaan cacing sutra dengan sistem resirkulasi. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 2 ulangan, perlakuan yaitu Pemanfaatan 2 bak, 4 bak
dan 6 bak cacing sutra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kualitas air budidaya lele dan produksi
bobot biomassa tertinggi pada perlakuan 6 bak dengan pertumbuhan berat sebesar 1,4 Kg m-2.
Kata kunci: ikan lele; cacing sutra; limbah lele.
Pendahuluan
Budidaya sistem intensif menerapkan kepadatan yang tinggi, penambahan aerasi dan penggunaan pakan
buatan dalam jumlah yang besar, tingginya penggunaan pakan buatan pada budidaya secara intensif akan
mengakibatkan semakin tinggi pula akumulasi limbah N dalam media budidaya yang dapat mengganggu
pertumbuhan ikan (Avnimelech, 1999). Limbah budidaya secara intensif berasal dari akumulasi residu organik yang
berasal dari pakan yang tidak dimanfaatkan, ekskresi amoniak, feses, dan partikel-partikel pakan (Avnimelechet et al.,
1995).
Produksi ikan lele secara nasional menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, sebagai gambaran
antara tahun 2007 sampai 2011 kenaikan produksi berkisar 39,03% sampai 39,50% (KKP, 2012) dan ditargetkan
produksi ikan lele secara nasional pada tahun 2014 akan terus meningkat. Untuk memenuhi target tersebut maka
teknologi pembenihan khususnya pakan alami bagi larva perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Salah satu pakan alami
yang sangat popular bagi larva atau benih ikan lele adalah cacing sutra, sebagai ilustrasi untuk menghasilkan
200.000-250.000 ekor benih ikan lele memerlukan 2 liter cacing sutra setiap hari. Oleh karena itu kebutuhan cacing
sutera pada pembenihan lele juga meningkat seiring bertambahnya umur benih lele (Adlan, 2014).
Cacing sutra memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi yaitu protein (57%), lemak (13,3%), serat kasar
(2,04%), kadar abu(3,6%) (Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013), oleh karena itu cacing sutra sangat baik untuk
benih ikan (Priyadi et al., 2010). Marian dan Pandian (1989) menyatakan bahwa cacing sutra dapat tumbuh dengan
baik pada perairan yang memiliki kandungan bahan-bahan organik tinggi dan dapat beradaptasi pada perairan
dengan oksigen terlarut rendah.
8
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Pasokan cacing sutra saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat dipastikan
kualitas dan kuatitasnya karena sangat tergantung pada musim serta dikhawatirkan dapat menjadi agen pembawa
penyakit dan bahan pencemar lainnya. Santoso dan Hernayanti (2004) melaporkan bahwa ada hubungan yang kuat
antara kandungan logam berat di perairan dengan kadar logam berat dalam tubuh cacing sutra. Hal ini menunjukkan
bahwa caing sutra yang diperoleh dari alam berpotensi membawa zat pencemar berbahaya dan selanjutnya akan
terakumulasi pada ikan. Penelitian tentang budidaya cacing sutra di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti
namun sampai saat ini belum diperoleh hasil yang maksimal untuk sampai taraf komersial karena produktivitasnya
masih rendah atau dibawah 2,5 kg/m2(Findy, 2011) (Febriyani, 2012; Pardiansyah, 2014), sedangkan produksi
secara alami dapat mencapai 2,5 kg/m2. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk mengetahui efisiensi
perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya ikan lele sistem intensif
terhadap kualitas lingkungan budidaya lele dan pertumbuhan cacing sutra.
Bahan dan Metode
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal.
Variabel bebas adalah perbedaan jumlah bak budidaya cacing, sedangkan variabel terikat adalah nilai kualitas air
media pemeliharaan dan produksi cacing sutra. Pengamatan kualitas air di wadah budidaya lele dilakukan setiap 10
hari sekali, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005). Parameter kualitas air yang diukur adalah;
Suhu diukur dengan thermometer air raksa, Dissolved Oxigen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter, pH
diukur dengan menggunakan pH-meter, Total Solid Suspended (TSS), Volatile Suspended Solid (VSS), Amoniak,
Total Ammonia Nitrogen (TAN), Nitrit dan Nitrat.
Unit percobaannya adalah bak plastik berukuran 0,5 m x 1 m sebanyak 9 unit dan masing-masing perlakuan
dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diuji adalah:
Perlakuan A = Penggunaan 2 bak budidaya cacing sutra
Perlakuan B = Penggunaan 4 bak budidaya cacing sutra
Perlakuan C = Penggunaan 6 bak budidaya cacing sutra
Budidaya ikan lele
Budidaya ikan dilakukan pada bak plastik berukuran 2 m x 1m x 0,6 m dengan volume 800 L. Padat
tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomass ± 5 g/ekor. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali berdasarkan
pada biomassa dengan jumlah ransum harian 3 % dari bobot ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersil
dengan kandungan protein 30-32%.
Budidaya cacing sutra
Budidaya cacing sutra dilakukan dengan menggunakan wadah berupa bak plastik dengan ukuran panjang
100 cm dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Lapisan dasar wadah diberi lumpur kolam sedalam 3 cm dengan
ketinggian air 2 cm. Cacing sutra diperoleh dari para pengumpul, kemudian bibit dibersihkan dan ditimbang sesuai
dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media budidaya. Padat tebar yang digunakan adalah 2 mg/cm2.
Alian air yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem resirkulasi dengan debit air 0,05 l/detik. Air
yang berasal dari wadah budidaya lele dialirkan ke wadah budidaya cacing dan kemudian kembali lagi kedalam
wadah budidaya lele. Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara memasukkan pipa paralon berdiameter 3
cm ke dalam substrat sampai ke dasar wadah pada bagian inlet, tengah, dan outlet wadah. Cacing dipisahkan dari
subtrat dengan cara mengambil sedikit demi sedikit substrat kemudian ditaruh pada kaca arlogi untuk
mempermudah mengambil cacing yang berada di substrat tersebut.Cacing yang diperoleh dihitung, kemudian
dibilas dengan air yang telah disiapkan, setelah semua cacing diambil kemudian di keringkan dengan tisu dan
ditimbang.
Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra
Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dilihat dari nilai VSS (Volatile Suspended Solid) pada bagian
inlet dan outlet pada bak budidaya cacing sutra, persentase pemanfaatan diukur beradasrkan selisih nilai inlet dan outlet
terhadap nilai inlet pada bak budidaya cacing sutra. Bobot biomasa dihitung dengan cara mencari selisih antar berat
biomasa akhir dikurangi dengan berat biomassa awal.
9
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Analisa data
Penambahan bobot biomasa dan pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra yang diperoleh dianalisa
dengan menggunakan One way analysis of variance (uji sidik ragam satu arah) dengan selang kepercayaan 95%. Untuk
melihat perbedaan perlakuan maka dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Sedangkan Kualitas air
dianalisa secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Kualitas air media budidaya lele
Hasil pengukuran TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia pada setiap perlakuan yang diukur selama penelitian
masih dalam kisaran yang optimal untuk budidaya ikan lele sistem intensif. Pengukuran kualitasair dilakukan pada
pagi hari dan sore hari untuk parameter DO, pH dan suhu, sedangkan TAN, Nitrit, Nitrat dan ammonia diukur
setiap 10 hari sekali. Adapun hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai kualitas air ikan lele berupa TAN, Nitrit, Nitran, Amonia, suhu, DO dan pH juga masih dalam kisaran
yang optimal untuk pertumbuhan. Ikan lele masih dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan nilai pH air
berkisar 6,5-7,11; suhu air berkisar 27,73-29,63 °C; amonia 0,0001-0,0256 mg/l; Nitrit 0,01-0,46 mg/l; Nitrat 0,161,65 mg/l; TAN 0,02-3,65 mg/l dan DO 2,61-6,92 mg/l (Gunadi, 2012). Kualitas air dengan nilai pH air berkisar 6,17,7; suhu air berkisar 27-30 °C; amonia 0-0,023mg/l; Nitrit 0,003-0,726 mg/l; Nitrat 0,128-0,860 mg/l; TAN 0-0,81
mg/l dan DO 2,24-8,14 mg/l baik untuk pertumbuhan ikan lele (Rohmana, 2009). Sedangkan nilai nitrat dan nitrit
yang baik untuk lingkungan budidaya adalah nitrat 0-400 mg L-1 dan nitrit < 1 mg L-1 (Ebeling et al., 2006).
Hasil dari pengukuran TSS diperoleh bahwa nilai TSS pada perlakuan 2 bak dab 4 bak semakin meningkat
pada hari ke-30 hingga akhir pemeliharaan.pada perlakuan 6 bak nilai TSS cendrung stabil dari awal hingga akhir
penelitian. Hasil pengukuran TSS (Total Suspended Solid) pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh
hari dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil dari pengukuran VSS pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap
sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai VSS yang diperoleh selama masa pemeliharaan menunjukkan nilai
konsentrasi fluktuatif dan cendrung stabil hingga akhir pemeliharaan. Pada Gambar 2 terllihat dari nilai VSS pada
perlakuan 4 bak dan 6 bak dimana kenaikan terus stabil hingga akhir penelitian. Hal ini karena cacing sutra mampu
memanfaatkan bahan organik dengan baik. VSS (bakteri) dan fitoplankton merupakan sumberpakan bagi organisme
lain, terutama golongan filter feeder (Gunadi, 2012). Pada budidaya systemintensif yang tidak memanfaatkan
organisme filter feeder biomassa mikroba (bakteri dan alga) akan terus meningkat (Azhar, 2013; Gunadi, 2012). Nilai
TSS dan VSS pada sistem intensif akan terus meningkat hingga akhir penelitian (Azhar, 2013).
Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air ikan lele berupa DO, pH, Suhu TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia
Kualitas air
DO
Suhu
TAN
Amonia
pH
Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l)
Perlakuan (mg/l)
(0C)
(mg/l)
(mg/l)
2 Bak
4,7-7,1 7,2-7,8
27-28,3
1,4-2,0
0,71-0,82
0,2-0,73
0,02-0,11
4 Bak
4,8-6,7 7,3-7,8 27,1-28,3 1,7-2,6
0,37-0,52
0,2-0,42
0,02-0,07
6 Bak
4,8-7,0 7,3-7,8
27-28,3
0,9-1,4
0,31-0,52
0,2-0,32
0,02-0,06
10
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Gambar 1. Total Suspended Solid (TSS) pada air media pemeliharaan ikan lele
Gambar 2. Volatile Suspended Solid (VSS) pada media pemeliharaan ikan lele
Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dan hasil produksi
Hasil dari pengukuran bobot biomasa pada media pemeliharaan cacing sutra yang dilakukan setiap sepuluh
hari dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat selisih nilai VSS pada air masuk dan keluar di setiap perlakuan dan
ulangan (Tabel 2), ini menandakan adanya pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra. Selisih nilai VSS ini adalah
bahan organik yang dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen sehingga nilai VSS
sedimen pada perlakuan meningkat. Jika dipersentasekan maka nilai pemanfaatn VSS dapat dilihat pada Tabel 3
yang memperlihatkan adanya pemanfaatan bahan organik olah cacing sutra terbaik pada perlakuan 6 bak, diikuti
oleh perlakuan 4 bakdan terendah pada perlakuan 2 bak. Ketersediaan bahan organik dalam air media pemeliharaan
ikan lele sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti, 2004; Findy, 2011; Bintaryanto dan
Taufikurohmah, 2013).), bahan organik ini berasal dari limbah pakan yang diberikan untuk ikan lele.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa tiadak ada perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan bobot
biomassa cacing sutra antar perlakuan (Gambar 3). Bobot biomassa cacing sutra turun pada hari ke-10 dan mulai
naik sejak hari ke-20 hingga hari ke-50. Gambar 3 memperlihatkan adanya peningkatan biomassa cacing sutra pada
setiap perlakuan, dikarenakan adanya penambahan jumlah individu baru. Adanya kelahiran individu baru pada saat
puncak populasi mengakibatkan peningkatan jumlah individu dan bobot biomassa (Shafrudin et al., 2005).
Pertumbuhan terjadi karena media manpu mencukupi kebutuhan makan cacing sutra (Pursetyo, 2011).
Perlakuan
2 bak
4 bak
Tabel 2. Pengukuran nilai VSS pada bagian Inlet dan Outlet
Nilai VSS hari ke Saluran air
0
10
20
30
In
164,706
108,571
138,444
115,000
Out
167,143
125,954
101,200
122,989
In
121,886
119,430
109,091
115,521
11
40
223,529
233,491
147,475
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
6 bak
Perlakuan
2 bak
4 bak
6 bak
Out
In
Out
132,432
121,189
111,686
120,077
68,2930
69,1290
87,5560
58,2350
87,5000
104,839
69,6200
77,8710
140,485
71,3410
69,1290
Tabel 3. Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra
Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra (%) hari ke0
10
20
30
40
17.970 a
17.338 a
15.179 a
16.710 a
13.738 a
20.216 ab
21.843 ab
21.817ab
20.840 ab
21.874 ab
b
b
b
b
35.919
33.224
35.155
36.418
35.929 b
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji beda nyata terkecil).
Gambar 3. Pertumbuhan Berat cacing sutra
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa penggunaan limbah lele sistem
intensif oleh cacing sutra akan lebih baik untuk perbaikan kualitas air ikan lele dan pertumbuhan cacing sutra
dengan memanfaatkan 6 bak pemeliharaan cacing sutra.
Daftar Pustaka
Adlan, M.A. 2014. Pertumbuhan biomassa cacing sutra (tubifex sp.) pada media kombinasi pupuk kotoran ayam dan
ampas tahu [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
APHA (American Public Health Association). 2005. Standard methods for examination of water and
wastewater. 14thed. APHA. Washington DC: APHA. AWWA (American Water Works
Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation).
Avnimelech, Y., N. Mozes, S. Diab. 1995. Rates of organic carbon and nitrogen degradation in intensive fish ponds.
Aquaculture, 134:211-216.
Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratioasacontrolelementin aquaculture system. Aquaculture, 176:227-235.
Azhar, M.H. 2013. Peranan sumber karbon eksternal yang berbeda dalam pembentukan biflok dan pengaruhnya
terhadap kualitas air serta produksi pada sistem budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) [Tesis].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bintaryanto, B.W., T. Taufikurohmah. 2013. Pemanfaatan campuran limbah padat (Sludge) pabrik kertas dan kompos
sebagai media budidaya cacing sutra (Tubifex sp). UNESA Journal of Chemistry 2(1). 1-8.
Ebeling, J.M., M.B. Timmons, J.J. Bisogni. 2006. Engineering analysis of stoichiometry of photoautotrophic.
Autotrophic and heterotrophic removal of amoniak-nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture,
12
Depik, 4(1): 8-14
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
257:346-358.
Febrianti, D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan
biomassa cacing sutera (Limnodrilus) [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Febriyani, M. 2012. Budidaya cacing oligochaeta pada sistem terbuka [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Findy, S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae).
IPB. Bogor.
Gunadi, B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (clarias gariepinus) dengan system akuakultur
berbasis jenjang rantai makanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Statistik kelautan dan perikanan. Jakarta
(ID). 302 hal.
Marian, M.P., T.J. Pandian. 1989. Culture and harvesting technique for Tubifex tubifex. Aquaculture, 42:303-315.
Pardiansyah, D. 2014. Pemanfaatan limbah budidaya lele (Clarias sp) sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra
(Tubificidae). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Priyadi, A., E. Kusrini, T. Megawati. 2010. Perlakuan berbagai jenis pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan
dan sintasan larva ikan upside down catfish (Synodontis nigiventris). Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Depok
Jakarta.
Pursetyo. 2011. Pengaruh pemupukan ulang kotoran ayam kering terhadap populasi cacing sutra (Tubifex sp). Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan Surabaya, 3(2):117-182.
Rohmana, D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele (clarias sp) menjadi biomassa bakteri heterotrof untuk
perbaikan kualitas air dan makanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso, S., Hernayanti. 2004. Cacing sutra sebagai bio monitor pencemaran logam berat kadmium dan seng dalam
leachate TPA sampah Gunung Tugel Purwokerto. Program Studi Biologi. ITS. Surabaya.
Shafrudin, D., W. Efianti, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik dari substrak tubifex sp di alam.
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2):97-102.
13
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dalam tambak di Kabupaten
Bireuen Provinsi Aceh
Economic analysis of pond nursery for tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus
and green grouper Epinephelus coioides in Bireuen District of Aceh Province
Farok Afero1*, Safrita AM2
1Dinas
Kelautan dan Perikanan Aceh; 2Jurusan Budidaya Perairan Universitas Al Muslim Bireuen. Email
korespondensi: [email protected]
Abstract. This study presented an economic analysis of nursery operation for tiger and green grouper with
different production scales. The result highlighted small scale nursery of tiger grouper with a 3 year projected
both positive cumulative cash flows and NPV. Small scale of green grouper highlighted both positive
cumulative cash flow and NPV, also IRR and B/C higher than the medium and large scale. Medium scale of
tiger grouper generated both positive cumulative cash flow and NPV. In addition, medium scale of tiger
grouper generated IRR and B/C higher than small and large scale. Medium scale of green grouper generated
IRR and B/C higher than large scale. The results of the financial analysis indicated the income of large scale of
tiger grouper higher than medium scale, but the ratio benefit of medium scale higher than large scale. Small
scale of green grouper indicated ratio benefit higher than medium and large scale. The sensitivity analysis
showed decreased survival rate to 60% affects a negative contribution to the NPV, IRR and B/C on a large
scale of green grouper. On the other side, small scale of green grouper obtained higher profit ratio despite a
decline in survival rate, an increase in seed costs and falling seed prices. This suggests that small scale of green
grouper not affected to volatility of the main variable costs.
Keywords: Nursery; tiger grouper; green grouper; production scale
Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi pendederan kerapu macan dan lumpur dengan skala
produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya kerapu macan dalam skala kecil, dengan
proyeksi 3 tahun menghasilkan arus kas kumulatif dan NPV positif. Sedangkan pendederan kerapu lumpur
skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif, IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pendederan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan aliran
kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan IRR dan B/C yang
lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR
dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil analisis keuangan menunjukkan bahwa pendapatan pendederan
kerapu macan pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah
lebih tinggi dibandingkan skala besar, sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa rasio
keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV,
IRR dan B/C pada pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil
memperoleh rasio keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan
biaya benih dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak
berpengaruh dengan volatilitas biaya variable utama.
Kata kunci: Pendederan; kerapu macan; kerapu lumpur; skala produksi
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu produsen ikankerapu, dimana produksi ikan kerapu budidaya pada tahun
2011 sebesar 8.112 ton, meningkat menjadi 8.787 ton pada tahun 2012 dengan nilai total sekitar Rp 1.354
milyar. Budidaya kerapu di Indonesia tersebar dari Sumatera ke Papua dan terkonsentrasi di beberapa provinsi
seperti Sumatera Utara (2.686 ton), Kepulauan Riau (1.202 ton), Lampung (1.776 ton), Sulawesi Tenggara (656
ton), Maluku (255 ton), Papua Barat (393 ton) (KKP, 2014).
Ketersediaan benih merupakan komponen penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah
balai benih ikan telah dibangun, baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu.
Jumlah benih yang ditebar selama tahun 2012 adalah 12,9 juta benih dan 67% atau 8,7 juta benih kerapu di
tebar di Sumatera (KKP, 2014). Salah satu sentra produksi benih kerapu adalah di Bali Utara yang telah
15
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
memproduksi 200.000-1.000.000 ekor/bulan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) juga memproduksi kerapu
tikus (Cromileptes altivelis) serta kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (Ismi et al., 2012). Namun terdapat kendala
dalam keberhasilan pemeliharaan benih kerapu, yaitu kelangsungan hidup atau kematian benih (Rimmer, 2003).
Keberhasilan pembenihan juga ditunjang ukuran benih, kepadatan, dan volume media (Minjoyo et al., 2004).
Kerapu macan merupakan ikan karnivora, sehingga membutuhkan volume media dan kepadatan yang sesuai
dengan ukuran tubuhnya agar tidak menimbulkan kematian (Resmiyati et al., 1993). Balai benih umumnya
memelihara benih sampai ukuran berkisar 2-3 cm, sedangkan budidaya dalam keramba jaring apung
membutuhkan benih kerapu dengan ukuran kisaran 5-10 cm. Untuk memenuhi kebutuhan kerapu ukuran layak
tebar, pendeder kerapu memelihara kerapu dari ukuran 2-3 cm menjadi 5-10 cm atau lebih besar, kemudian
menjual ke pembudidaya keramba jaring apung.
Pendederan kerapu di Provinsi Aceh dilakukan dalam tambak yaitu benih ikan dipelihara dalam
keramba jaring tancap kecil yang terpancang pada substrat dengan tiang kayu. Pendederan dibagi menjadi dua
tahap: tahap awal menggunakan kelambu‘hijau’ dan membutuhkan waktu 10–15 hari. Kerapu ditebar sekitar
500–2.000 ekor per keramba (tergantung pada ukuran keramba), dan diberi pakan utama udang dan ikan liar
kecil yang ditangkap dari tambak. Setelah 10–15 hari, ikan dipindahkan ke kelambu ‘hitam’ yang lebih besar dan
kepadatan tebar dikurangi menjadi 300–1.000 ikan per keramba. Ikan dipanen ketika sudah mencapai panjang
total (TL) 7–10 cm yang umumnya diperoleh setelah dipelihara 30–50 hari dari saat penebaran awal.
Pendederan biasanya dilakukan 7–8 siklus produksi per tahun (Komarudin et al., 2010).
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan usaha pendederan kerapu
macan dan lumpur sehingga dapat memberikan informasi untuk pelaku usaha tentang skala ekonomi usaha
pendederan kerapu. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi
pendeder kerapu serta pemerintah daerah dalam mengembangkan sub-sektor pendederan ikan di Provinsi
Aceh.
Bahan dan Metode
Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada bulan November 2014. Semua data untuk penelitian ini
dikumpulkan dari sentra pendederan kerapu di Kabupaten Bireuen (Kecamatan Samalanga dan Jangka). Untuk
menilai dan membandingkan dampak dari skala ekonomi pendederan kerapu, usaha pendederan kerapu
dikategorikan berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 200 juta, antara 200 dan 400 juta dan lebih dari
400 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masing-masing skala kecil, menengah dan besar.
Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari pendeder kerapu dari tiga skala
produksi yang berbeda. Kuesioner terdiri dari tiga variable yaitu variable biologi (jumlah keramba, padat tebar,
ukuran tebar, ukuran panen, sintasan kehidupan, konversi pakan, periode produksi, siklus produksi dan
produksi), variable biaya (sewa lahan, biaya keramba, peralatan, benih, pakan, pupuk, bahan bakar dan gaji
pekerja, pemeliharaan) dan variable pendapatan (pendapatan kotor dan bersih, rasio keuntungan). Sebanyak 36
pendeder ikan diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan, 34 sampel
digunakan untuk analisa lebih lanjut sedangkan 2 sampel lagi tidak bisa dianalisa lanjut karena kurangnya data
dari tiga variabel diatas. Sampel pendeder kerapu macan yang dianalisis dibagi menjadi berdasarkan skala, yaitu:
skala kecil (7 pendeder), menengah (7 pendeder) dan besar (3 pendeder ). Sementara sampel untuk usaha kerapu
lumpur adalah skala kecil (9 pendeder) menengah (5 pendeder) dan besar (3 pendeder). Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel selanjutnya dianalisis secara deskriptif, sedangkan analisa sensitifitas berdasarkan
asumsi penurunan sintasan kehidupan benih, kenaikan biaya benih dan penurunan harga jual.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi pendederan ikan kerapu macan dan kerapu lumpur dengan
skala produksi berbeda. Padat tebar pendederan kerapu macan skala kecil (99 ekor/m3), skala menengah (152,7
ekor/m3) dan skala besar (114 ekor/m3). Ukuran panen benih berkisar 6,7-7,6 cm. Rasio konversi pakan adalah
14,3 untuk skala kecil dan 14,5 untuk skala besar (Tabel 1). Pada pendederan kerapu lumpur kepadatan tebar
untuk skala kecil (189,1 ekor/m3) skala menengah (208,4 ekor/m3) dan skala besar (171 ekor/m3). Konversi
pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 28,5, 24,1 dan 29,4. Periode produksi 1,5-1,9 bulan per
siklus dan siklus produksi per tahun berkisar 4,3-6,8 siklus. Produksi benih kerapu lumpur pada skala kecil,
menengah dan besar adalah 56.656 ekor, 109.376 ekor dan 203.000 ekor (Table 2).
16
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Tabel 1.Ringkasan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Kecil
Menengah
Besar
Jumlah keramba
7,0
16,7
51,7
Padat tebar (m3)
99,0
152,7
114,0
Ukuran benih awal (cm)
2,9
2,3
2,3
Ukuran benih panen (cm)
7,1
7,6
6,7
Sintasan kehidupan (%)
80,0
80,0
80,0
Konversi pakan
14,3
11,3
14,5
Periode produksi (bulan)
1,5
1,7
1,9
Siklus produksi per tahun
6,7
6,6
4,3
34.766
76.571
159.200
Produksi (ekor)
Tabel 2. Ringkasan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda
Kecil
Menengah
Besar
Jumlah keramba
6,9
18,4
75,0
Padat tebar (m3)
189,1
208,4
171,0
Ukuran benih awal (cm)
1,3
1,4
1,2
Ukuran benih panen (cm)
3,5
3,3
3,3
Sintasan kehidupan (%)
78,9
78,0
76,7
Konversi pakan
28,5
24,1
29,4
Periode produksi (bulan)
1,5
1,6
1,9
Siklus produksi per tahun
6,6
6,8
4,3
56.656
109.376
203.000
Produksi (ekor)
Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dan lumpur. Biaya tetap
pada budidaya kerapu macan berkisar antara 2% sampai 3%. Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih
adalah komponen pengeluaran terbesar yaitu skala kecil (83%) menengah (82%) dan besar (77%). Pakan adalah
biaya terbesar berkisar 8-10% dan komponen biaya tenaga kerja kisaran 7-9%. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa pendederan skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala menengah dan kecil
(Tabel 3). Dalam budidaya kerapu lumpur, biaya tetap berkisar antara 2-3%. Biaya benih adalah pengeluaran
terbesar diikuti oleh biaya pakan dan biaya tenaga kerja (Tabel 4).
Tabel 3. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
Menengah
Besar
1. Biaya modal
Keramba
Peralatan
Sub Total
1.400.000
162.286
1.562.286
3.342.857
324.857
3.667.714
10.333.333
5.602.667
15.936.000
1.750.000
520.762
2.285.714
1.222.571
6.833.333
5.312.000
500.000
750.000
2.000.000
2. Biaya Operasional
Biaya tetap
Sewa lahan
Depresiasi
Pemeliharaan
Sub Total
2.770.762
2%
4.258.286
2%
14.145.333
3%
103.842.857
83%
207.914.286
82%
359.050.000
77%
Biaya Produksi
Benih
17
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Pakan rucah
9.505.714
Pupuk
11.429
Buruh
8.554.286
8%
0,01%
7%
23.691.429
49.143
19.142.857
9%
0,02%
8%
Biaya lain-lain
98%
250.797.714
98%
47.200.000
340.000
10%
0,01%
43.190.000
9%
2.953.333
1%
452.733.333
97%
Sub Total
121.914.286
Total Biaya Produksi
124.685.048
255.056.000
466.878.667
5.000
5.143
4.833
173.828.571
393.142.857
673.000.000
3. Keuntungan
Harga
Pendapatan
Tabel 4. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
Menengah
Besar
1. Biaya modal
Keramba
1.377.778
3.680.000
15.000.000
Peralatan
258.000
251.200
302.667
1.635.778
3.931.200
15.302.667
Sewa lahan
1.583.333
2.900.000
6.833.333
Depresiasi
258.000
251.200
302.667
Pemeliharaan
500.000
750.000
2.000.000
Sub Total
2. Biaya Operasional
Biaya tetap
Sub Total
2.341.333
3%
3.901.200
2%
9.136.000
2%
Benih
62.966.667
72%
138.720.000
72%
255.000.000
69%
Pakan rucah
15.254.444
18%
33.300.000
17%
64.400.000
18%
Biaya Produksi
Pupuk
19.556
Buruh
6.275.556
0,02%
7%
44.000
16.256.000
0,02%
8%
Biaya lain-lain
97%
188.320.000
98%
326.667
0,01%
36.080.000
10%
2.303.333
1%
358.110.000
98%
Sub Total
84.516.222
Total Biaya Produksi
86.857.556
192.221.200
367.246.000
2.778
3.000
2.833
163.594.444
328.128.000
566.000.000
3. Keuntungan
Harga
Pendapatan
Analisis indikator keuangan pendederan kerapu macan dan lumpur pada skala produksi berbeda
dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan usaha skala kecil pendederan kerapu
macan memiliki arus kas positif baik untuk proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang. Pendederan kerapu
macan skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar Rp 410.592.857 dan NPV sebesar Rp 239.341.411.
Nilai IRR sebesar 37,65 % dan rasio manfaat-biaya (B/C) sebesar 1,54 menunjukkan kelayakan usaha
pendederan kerapu macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif positif dengan nilai IRR 12,93%,
rasio manfaat-biaya sebesar 1,44 menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi menghasilkan kinerja
ekonomi yang positif (Tabel 5).
Analisis keuangan pendederan kerapu lumpur pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi
dianggap layak dengan proyeksi arus kas kumulatif selama 3 tahun. Penerapan discount rate 15% menghasilkan
NPV untuk skala kecil (Rp 133.340.881) menengah (Rp 235.294.965) dan skala besar (Rp 336.140.795). Analisis
18
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 1,5 untuk semua skala produksi dan
jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu bulan.
Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Perhitungan Profitabilitas
Cash Flows
Kecil
Menengah
Besar
49.143.523
138.086.857
206.121.333
145.868.284
410.592.857
602.428.000
84.964.697
239.341.411
348.545.643
31,46
37,65
12,93
B/C Ratio
1,39
1,54
1,44
Payback Period
0,03
0,03
0,08
Cumulative cash flow
NPV
IRR
Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda
Perhitungan Profitabilitas
Kecil
Cash Flows
76.736.889
135.906.800
198.754.000
Cumulative cash flow
228.574.889
403.789.200
580.959.333
NPV
133.340.881
235.294.965
336.140.795
46.91
34.57
12.98
B/C Ratio
1,88
1,71
1,54
Payback Period
0,02
0,03
0,08
IRR
Menengah
Besar
Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu macan menunjukkan bahwa sintasan hidup 60% tidak
mengakibatkan efek negatif terhadap arus kas kumulatif untuk semua skala produksi. Peningkatan biaya benih
sampai 20% masih menghasilkan rasio keuntungan diatas 20% untuk semua skala produksi. Sedangkan
penurunan harga benih menghasilkan keuntungan yang minim untuk pendederan skala kecil (Tabel 7).
Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur menunjukkan sintasan kehidupan 60%
mengakibatkan arus kas kumulatif negatif untuk pendederan skala besar. Kenaikan harga benih dan penurunan
harga jual tidak memiliki berpengaruh pada penurunan NPV dan rasio keuntungan pada pendederan kerapu
lumpur skala kecil (Tabel 8).
19
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Net Present Value
Kecil
Menengah
Internal Rate of Return (%)
Besar
B/C Ratio
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
SR 60%
23.936.919
101.316.720
200.740.859
9,19
16,21
7,64
1,12
1,23
1,26
Biaya benih + 20%
48.507.521
166.346.812
222.490.280
18,16
26,31
8,42
1,20
1,33
1,25
Harga - 20%
23.936.919
101.316.720
200.740.859
9,19
16,21
7,64
1,12
1,23
1,26
Table 8. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda
Net Present Value
Internal Rate of Return (%)
Kecil
SR 60%
Biaya benih + 20%
Harga - 20%
Menengah
B/C Ratio
Besar
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
29.958,281
27.936.298
-21.539.761
10,90
4,50
-
1,21
1,09
-
111.234.528
186.593.113
246.615.332
39,21
27,51
9,65
1,64
1,49
1,35
75.906.103
120.095.705
137.429.375
26,91
17,88
5,57
1,51
1,37
1,23
20
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Pembahasan
Sintasan kehidupan pada usaha pendederan kerapu macan sebesar 80% sedangkan kerapu lumpur
sebesar 78%. Padat tebar pendederan kerapu macan dan lumpur pada kisaran yang optimum untuk
pertumbuhan. Ditjen Perikanan Budidaya (2002) merekomendasikan kepadatan optimum untuk pendederan
ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) di keramba jaring apung adalah 150-200 ekor/m3 dan setelah
dibesarkan selama 1-1,5 bulan kepadatannya dikurangi menjadi 100 ekor/m3. Kepadatan benih ditingkatkan
diatas 1,000 ekor/m3 pada pendederan dengan sistem sirkulasi air (APEC/SEAFDAC, 2001). Salinitas air
tambak yang tinggi (25-30 ppt) salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup benih kerapu di
tambak. Kisaran salinitas 20-32 ppt adalah kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu (Yoshimitsu et
al.,1986; DKP, 2001; Anonymous, 2001) Selain itu benih kerapu yang dideder ditambak memiliki toleransi
lingkungan yang lebih baik sehingga mudah beradaptasi untuk hidup di keramba jaring apung.
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya pendederan kedua kerapu sangat tinggi, konversi pakan
kerapu lumpur berkisar 24,1-29,4, lebih tinggi dibandingkan kerapu macan berkisar 11,3-14,5. Hal ini
menunjukkan pemakaian ikan rucah untuk pendederan ikan kerapu sangat tinggi sehingga rasio konversi
pakan sangat buruk. Hampir semua pendeder kerapu di Kabupaten Bireuen menggunakan ikan rucah sebagai
sumber makanan dalam pendederan kerapu karena harganya lebih murah daripada pakan buatan. Ikan rucah
dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan diberikan ke ikan sampai kenyang (ad libitum) dan
diberikan 4 kali sehari. Liao et al. (1995) melaporkan konversi pakan pendederan Epinephelus marabaricus
berkisar 2,2:1 sampai 3,6:1 dengan menggunakan pakan basah, sedangkan dengan penggunaan pakan kering
konversi pakannya 0,8:1 dan membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk mencapai ukuran benih 6 cm. Sim et al.
(2005) mengungkapkan pemberikan pakan rucah mengakibatkan pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali lebih
banyak dibandingkan pemberian pellet. Manajemen pemberian pakan pada pendederan kerapu macan dan
lumpur harus ditingkatkan sehingga bisa meningkatkan efisiensi pemberian pakan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan lumpur
adalah benih yaitu berkisar 77-83% pada pendederan kerapu macan dan 69-72% pada pendederan kerapu
lumpur. Sedangkan pakan rucah menyumbang 8-10% pada kerapu macan dan 17-18% pada kerapu lumpur.
Variabel tenaga kerja menyumbang kisaran 7-10% pada pendederan dua kerapu tersebut. Biaya benih masih
merupakan komponen pengeluaran dominan pada pendederan kerapu, khususnya kerapu macan. Pendeder
kerapu macan masih mengimpor benih dari Bali, Situbondo dan Lampung karena belum ada balai benih di
Aceh yang berhasil memproduksi benih kerapu macan secara komersil. Sedangkan kerapu lumpur di beli dari
pengumpul lokal yang menangkap dari wilayah pantai utara dan timur Provinsi Aceh. Penelitian ini juga
menunjukkan peningkatan skala produksi berpengaruh terhadap peningkatan persentase biaya buruh pada
pendederan skala besar. Pendederan kerapu memerlukan tenaga kerja intensif untuk pemberian makan dan
pemilahan ikan dan peningkatan skala pendederan mengakibatkan tingginya input tenaga kerja
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan pendederan kerapu macan dan
lumpur. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha pendederan kerapu macan skala kecil masih layak
secara ekonomi. Proyeksi ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu macan skala kecil masih
menguntungkan, meskipun demikian harus ada peningkatan pengelolaan pakan agar skala ini lebih
menguntungkan. Pemberian pakan dengan menggunakan pellet kering atau pellet basah bisa meningkatkan
effisiensi pemanfaatan pakan dan menurunkan komponen biaya pakan. Sedangkan analisis keuangan
budidaya kerapu lumpur skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif dan IRR dan B/C yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pendederan skala menengah dan besar (Tabel 7). Pendederan kerapu
macan skala menengah menghasilkan aliran kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala
menengah menghasilkan IRR dan B/C serta yang lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada
pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil
analisis keuangan berdasarkan skala menunjukkan bahwa meskipun pendapatan pendederan kerapu macan
pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah lebih tinggi
baik dibandingkan skala kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa
rasio keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu
skala kecil lebih fleksibel dalam usaha pendederan karena suplai benih didapatkan dari lokal dibandingkan
benih kerapu macan yang harus diimpor dari luar daerah. Pendederan kerapu macan sangat tergantung pada
pemasok benih atau pemodal karena kurangnya modal yang dimiliki pendeder skala kecil untuk mengimpor
benih langsung dari luar daerah. Sedangkan benih kerapu lumpur bisa langsung dibeli pada pengumpul setiap
saat dengan harga murah.
21
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan, biaya benih dan harga
adalah variabel utama yang berpengaruh pada profitabilitas pendederan kerapu macan dan kerapu lumpur.
Penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga berpengaruh terhadap
keuntungan yang diperoleh oleh pendeder kerapu macan skala kecil. Pendeder kerapu macan skala besar
tetap memperoleh keuntungan yang layak meskipun penurunan sintasan kehidupan dan harga benih.
Penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV, IRR dan B/C pada
pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil memperoleh rasio
keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan
penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak terpengaruh
dengan volatilitas biaya variable utama (benih, pakan dan buruh). Temuan ini sama dengan analisis ekonomi
oleh Ismi et al. (2012) bahwa pada sintasan kehidupan 60% usaha pendederan masih menguntungkan dengan
rasio keuntungan 16% dari total biaya produksi.
Menurut Komarudin et al. (2010) ada tiga model sistem bisnis yang diterapkan dalam pendederan
kerapu di provinsi Aceh yaitu: investasi pemodal, investasi individu dan investasi kelompok. Pada model
investasi pemodal, pemiliki modal menyediakan biaya operasional (benih, rucah dan jaring), laba hasil
penjualan dibagi dua (50:50) antara pemodal dan pendeder. Investasi individu yaitu pendeder melakukan
pendederan benih kerapu dengan menggunakan 1 sampai 3 tambak dan mempekerjakan orang untuk
membantu kegiatan operasional harian. Sedangkan investasi kelompok melakukan pendederan lebih 200
keramba dan pembagian keuntungan adalah 70% untuk anggota kelompok dan 30% untuk investasi masa
depan. Berdasarkan analisa ekonomi diatas, model kelompok dengan skala usaha kecil bisa menjadi model
yang cocok di terapkan, selain tidak rentan terhadap perubahan input produksi, adanya pembagian resiko
(risk share), juga meningkatkan daya tawar kelompok sehingga harga benih bisa dijual pada harga optimal.
Kesimpulan
Suplai benih berperan besar pada kerentanan input produksi, ketergantungan benih dari luar daerah
mengakibatkan usaha pendederan rentan terhadap kenaikan harga benih. Usaha kerapu macan skala kecil
layak secara ekonomi sedangkan usaha pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak berpengaruh terhadap
fluktuasi input produksi. Pendederan kerapu macan dan lumpur skala menengah dan besar menghasilkan
keuntungan yang memadai tetapi pendederan kerapu lumpur skala besar sangat rentan terhadap fluktuasi
input produksi, penurunan sintasan kehidupan mengakibatkan usaha pendederan menjadi tidak ekonomis.
Daftar Pustaka
Anonymous. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. SEAFDEC Aquaculture
Department. Kelompok Kerja Perikanan APEC, Aquaculture Department. Southeast Asian
Fisheries Development Center.
APEC/SEAFDEC. 2001. Husbandry and health management of grouper. APEC: Singapore and SEAFDEC:
Iloilo, Philippines.
Ditjen Perikanan Budidaya. 2002. Buku petunjuk teknis budidaya laut ikan. Kumpulan SNI Bidang
Pembudidayaan. Jakarta.
DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.
Ismi, S., T. Sutarmat, N.A. Giri, M.A. Rimmer, R.M.J. Knuckey, A.C. Berding, K. Sugama. 2012. Nursery
management of grouper: a best-practice manual. ACIAR Monograph No. 150. Australian Centre for
International Agricultural Research: Canberra. 44 pp.
KKP. 2014. Statistik perikanan budidaya 2013. Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan
Perikanan Indonesia, Jakarta.
Komarudin, U., M.A. Rimmer, I. Zaifuddin, S. Bahrawi. 2010. Grouper nursing in Aceh, Indonesia.
Aquaculture Asia–Pacific Magazine 6(2), 21–25.
Liao, I.C., M.S. Su, S.L. Chang. 1995. A review of the nursery and grow-out techniques of high value marine
finfishes in Taiwan. In: Main, K.L.and Rosenfeld, C. Culture of High-Value Marine Fishes in Asia
and the United States. The Oceanic Institute, Honolulu, Hawaii, USA. 121-137.
Minjoyo, H., Evalawati, Sudjiharno. 2004. Budidaya ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) di bak terkendali
(Land-Based Mari-culture) merupakan suatu alternatif. Buletin Budidaya Laut, 17:17-21.
22
Depik, 4(1): 15-23
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Resmiyati, P., Waspada, Mustahal, D. Susanti. 1993. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) umur sampai 35 hari dengan padat tebar berbeda. Jurnal Penelitian Budidaya
Pantai, 9(5):12-17.
Rimmer, M. 2003. Review of grouper hatchery technology. Queensland Department of Primary Industries.
Northern Fisheries Centre. Cairns, Queensland, Australia.
Sim, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J. Phillips. 2005. A practical
guide to feeds and feed management for cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand.
Yoshimitsu, T.H. Eda, K. Hiramatsu. 1986. Groupers final report marineculture research and development
in Indonesia. ATA 192, JICA. p. 103-129.
23
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus time
series
The identification of harmonic component in Lombok Strait based on ocean
current time-series data
Rizal Fadlan Abida1*, Widodo Setiyo Pranowo2, Yogo Pratomo3, Engki Andri Kisnarti1
1Program
Studi Oseanografi, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman
Hakim 150 - Surabaya 60111.*Email Korespondensi : [email protected]
2Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir,
Kementrian Kelautan Perikanan, Jalan Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta 14430.
3JurusanTeknik Hidro-Oseanografi, Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, Jl. Pantai Kuta V Ancol Timur,
Jakarta 14430
Abstract. Lombok Strait is one part of Indonesia Through Flow (ITF), important for national and international maritime
economic. The strait is passed by ITF, i.e., a displacement water from the Pacific Ocean into the Indian Ocean caused by a
difference in the sea water level. ITF flows across the Makassar Strait to south direction and passes through the smaller straits
along Bali to Flores. ITF pattern is influenced by its local area condition which creates unique characteristics in each place. ITF
passes through the Lombok Strait in part directly related to the Indian Ocean, as well as a very diverse state bathymetry of shallow
ocean to ocean trenches. Various oceanographic phenomena affect ITF in the Lombok Strait: tides and waves are formed due to the
interaction between the ocean currents from the Indian Ocean to the Lombok Strait, met with ITF flowing from the Lombok Strait
into the Indian Ocean. As tides, currents are influenced by the tides that have harmonic components, but there are differences in the
frequency and phase are formed. Harmonic component is one of indicators in determining the characteristics of a body of water. The
purpose of this study is to obtain the derived harmonic components by analysing currents data in the Lombok Strait acquired from
The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) Expedition Mooring Deployment 1 conducted in 2004
to 2005. Based on the analysis it is known that the characteristic harmonic currents in the Lombok Strait is influenced by
significant harmonic components such as Solar Semi Annual (SSA) and Solar Annual (SA)constituents be used, as the result of
harmonic analyses of tidal data at ports all over the world reveal that they are dominated by the seasonal variations of sun.
Keywords : ITF; Sea Current; Harmonic Component; INSTANT Expedition
Abstrak. Selat Lombok merupakan salah satu alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) yang penting bagi
perekonomian maritim nasional dan internasional, sekaligus sebagai alur dari arus lintas Indonesia (Arlindo).
Arlindo merupakan peristiwa perpindahan masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, yang
disebabkan oleh perbedaan ketinggian air laut. Jalur Arlindo melintasi Selat Makasar menuju selatan, kemudian
terbagi melewati selat-selat yang lebih kecil diperairan Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Pola Arlindo
dipengaruhi keadaan perairan setempat yang dilewatinya, sehingga Arlindo memiliki karakteristik yang unik pada
masing-masing tempat. Pada Selat Lombok yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia, fenomena
oseanografi mempengaruhi ARLINDO di Selat Lombok diantaranya adalah pasang surut dan internal wave yang
terbentuk karena interaksi antara arus laut dalam yang berasal dari Samudera Hindia menuju Selat Lombok.
Arus pasut memiliki komponen harmonik seperti gaya pembangkitnya, namun terdapat perbedaan pada
frekuensi dan fasa yang terbentuk. Komponen harmonik pasut dan arus pasut merupakan salah satu indikator
dalam penentuan karakteristik suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh besaran
komponen harmonik yang diturunkan dari arus di Selat Lombok dari Ekspedisi INSTANT Mooring
Deployment 1 yang dilaksanakan pada tahun 2004 hingga 2005. Berdasarkan analisis harmonik diketahui bahwa
karakteristik arus di Selat Lombok dipengaruhi oleh komponen harmonik signifikan seperti Solar Semi Annual
dan Solar Annual yang merupakan komponen yang dipengaruhi oleh pergerakan matahari secara paruh tahun
maupun tahunan.
Kata kunci : Arlindo; Arus Laut; Komponen Harmonik; Ekspedisi INSTANT
24
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Pendahuluan
Laut didunia mencakup lebih dari 70 % permukaan bumi, serta menjadi salah satu sumber energi
terbarukan yang cukup besar. Energi yang terkandungdalam lautan antara lain energi panas , energi kinetik
(gelombang dan arus) serta sebagai sumber daya kimia dan produk biologi. Beragam cara untuk menjadikan
energi dari laut yang sedang dikaji, yang sebagian besar termasuk dalam energi berikut: energi gelombang, energi
arus laut dan pasang surut , energi panas laut , energi dari gradien salinitas (osmosis), dan pengembangan
biomassa kelautan (Ben Elghali et al., 2007). Kehadiran energi kinetik dalam arus laut dan pasang surut dapat
dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi turbin yang relatif konvensional. Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, hampir 70% terdiri atas perairan dan merupakan sumber daya
yang terbarukan. Indonesia merupakan salah satu saluran dalam sabuk konveyor raksasa (great conveyor belt), yang
memiliki pengaruh terhadap pola arus di perairan Indonesia. Fenomena Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
menjadi salah satu ciri khas sistem arus di Indonesia. Arlindo merupakan suatu sistem sirkulasi laut di perairan
Indonesia dimana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Massa air
Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki, 1961).
Arlindo adalah aliran massa air yang membentuk arus laut pada wilayah perairan Indonesia dari Utara
yang berasal dari Samudera Pasifik, menuju ke Selatan ke Samudera Hindia.Terjadinya Arlindo terutama
disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian
tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan
yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998). Yang
merupakan bagian dari Sabuk Konveyor Raksasa dunia, massa air ini dikenal memiliki suhu hangat (diatas
29ºC) dan berkadar garam rendah (kurang dari 32 ‰). Hal ini sangat berbeda dengan air Samudera Hindia yang
relatif lebih dingin dan berkadar garam tinggi.
Laut dan selat di Indonesia merupakan rute yang dilalui oleh arus Pasifik tropis yang mengalir ke
Samudera Hindia. Arlindo menjadikan Selat Makassar sebagai jalur utama masuknya arus tropis Pasifik ke
perairan Indonesia (Wajsowicz dalam Susanto et al., 2012). Arus dari Samudera Pasifik yang masuk melalui Selat
Makassar terhalangi oleh Dewakang Sill (Pendangkalan pada alur di Selatan Selat Makassar) pada kedalaman 680
m di selatan Selat Makassar, yang kemudian menjadikan sebagian arus terbagi kearah timur dan sebagian lagi
diteruskan kearah selatan sehingga keluar melalui Selat Lombok (Gordon et al. dalam Susanto et al., 2012).
Pada tahun 2004, Indonesia dan empat negara lainnya melaksanakan riset bersama, yaitu Ekspedisi
INSTANT (The International NusantaraStratification and Transport), bertujuan untuk mengetahui aliran masa air dari
Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia dan berguna untuk memprakirakan
variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina serta Asian-Australian Monsoon. Pengukuran dilaksanakan pada
beberapa bagian perairan Indonesia yaitu: jalur arus masuk di Selat Makassar dan Lintasan Lifamatola
(LifamatolaPassage), jalur arus keluar di Pintasan Timor (TimorPassage), Selat Lombok, Selat Ombai, dengan
periode selama 3 tahun. Ekspedisi INSTANT merupakan kejasama 5 negara yaitu, Indonesia, Amerika Serikat,
Australia, Belanda, dan Perancis (Sprintall et al. dalam Gordon et al., 2008).
Selat Lombok merupakan salah satu dari sekian jalur yang dilalui oleh Arlindo, selain Arlindo keadaan
pasang surut serta internal wave turut mempengaruhi pola pergerakan arus. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi komponen harmonik yang dihasilkan dari data arus pada mooring Ekspedisi INSTANT
deployment 1.
Bahan dan Metode
Lokasi penelitian ini berada di Selat Lombok dengan koordinat 8° 26.774' - 8° 24.566' LS dan 115°
45.487' - 115° 53.769' BT, lokasi penelitian ditunjukan oleh gambar 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini berupa data arus di Selat Lombok, data arus tersebut diperoleh dari Laboratorium Data Laut dan Pesisir,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan Perikanan, Kemeterian Kelautan dan Perikanan pada mooring Ekspedisi INSTANT yang
dilaksanakan pada tahun 2004-2005. Alat pengukuran arus yang digunakan adalah ADCP Long Range dengan
nomor seri 3517. Data yang digunakan pada kedalaman 100 meter dibawah permukaan air laut. Pengolahan data
untuk memperoleh komponen harmonik mengunakan Toolbox T-Tide berbasiskan MatLab (Pawlowicz et al.
2002).
25
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Tahapan penelitian:
1.
Data arus berupa data u, v, dan waktu diekstrak dari data hasil pengukuran (raw data), diolah dalam Ms.
Excel untuk menghapus data yang kosong atau tidak terekam (NaN/Not a Nummber).
2.
Data yang telah dikoreksi tersebut, kemudian diolah menjadi vektor menggunakan formulasi 𝑉 =
𝑢2 + 𝑣 2 dan di masukan kedalam t_tide.
3.
Data yang telak dimasukan kedalam t_tide kemudian diolah untuk memperoleh gambaran arus hasil
pengukuran, arus harmonik, arus non-harmonik , serta komponen harmonik di Selat Lombok.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
(Sumber: Rizal, 2014)
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan data arus pada mooring timur Ekspedisi INSTANT pada perairan Selat
Lombok, diperoleh kecepatan maksimal arus sebesar 1,068 m/detik sedangkan kecepatan minimal arus hasil
pengukuran sebesar 0,0006236 m/ detik dengan jangkauan (range) kecepatan sebesar 1,0686236 m/ detik pada
mooring timur, kecepatan maksimal arus sebesar 0,8665 m/ detik sedangkan kecepatan minimal arus hasil
pengukuran sebesar -0,0003967 m/ detik dengan jangkauan (range) kecepatan sebesar 0,8668967 m/ detik pada
mooring barat. Kecepatan arus hasil pengukuran ditampilkan pada gambar 2.
26
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
(a)
(b)
Gambar 2. Pola dan Kecepatan arus hasil pengukuran (a) mooring/tambatan timur
(b) mooring/tambatan barat.
27
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Karakteristik arus
1. Arus harmonik
Arus harmonik merupakan arus yang memiliki karakteristik tetap (siklus) sehingga dapat diprediksi
kecepatan maksimal dan minimal suatu arus. Arus harmonik ini merupakan hasil dari pengolahan data arus
menggunakan Toolbox T-tide MatLabdengan menginterolasi data sehingga diperoleh data arus yang harmonik.
Hasil pengolahan arus harmonik memiliki kecepatan maksimal sebesar 0,1213 m/detik, sedangkan kecepatan
minimal sebesar -0,1283 m/detik, sehingga jangkauan kecepatan (range) dari maksimal dan sebaliknya sebesar
0,2496 m/detik pada mooring timur. Kecepatan maksimal arus harmonik 0,1055 m/ detik, sedangkan
kecepatan minimal arus harmonik sebesar -0,1015 m/detik, sehingga jangkauan kecepatan (range) dari maksimal
dan sebaliknya sebesar 0,207 m/ detik pada mooring barat. Pola dan kecepatan arus harmonik diilustrasikan
pada gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3. Pola dan Kecepatan arus harmonik (a) mooring/tambatan timur
(b) mooring/tambatan barat.
28
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
2.
Arus non harmonik
Arus non-harmonik merupakan arus yang terbentuk bukan karena adanya fenomena pasang surut
sehingga memiliki sifat sebagai pelebur energi arus harmonik (Pawlowicz et al., 2002). Adapun kecepatan
maksimal arus non-harmonik sebesar 1,167 m/detik, sedangkan kecepatan minimal arus non-harmonik sebesar
-0,0974 m/ detik, sehingga jangjauan (range) kecepatan sebesar 1,2644 m/ detik pada mooring/tambatan timur.
Kecepatan maksimal arus non-harmonik sebesar 0,9156 m/ detik, sedangkan kecepatan minimal arus nonharmonik sebesar -0,09365 m/ detik, sehingga jangkauan (range) kecepatan sebesar 1,00925 m/ detik pada
mooring/tambatan barat. Pola pergerakan arus non-harmonik ditampilkan pada gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 4. Pola dan Kecepatan arus non-harmonik (a) mooring/tambatan timur
(b) mooring/tambatan barat.
29
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
3.
Komponen harmonik
Pengaruh pergerakan muka air laut (pasang surut) turut mempengaruhi pergerakan arus pada perairan
tersebut. Arus harmonik pada perairan Selat Lombok pun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
karakteristik pasang surut sehingga memiliki pula komponen harmonik yang diperoleh dari analisis frekuensi
terhadap amplitudo. Terdapat dua konstituen, yaitu konstituen signifikan yang mempengaruhi dari karakteristik
arus harmonik serta konstituen insignifikan yang tidak terlalu berpengaruh pada karakteristik arus harmonik
tersebut. Pembandingan analisis frekuensi terhadap amplitudo dapat dilihat pada gambar 5.
(a)
(b)
Gambar 5. Pembandingan antara Amplitudo (m/detik) dengan
frekuensi (cph/cycle per solar hour), (a) mooring/tambatan timur
(b) mooring/tambatan barat.
30
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Berdasarkan pengolahan data arus menggunakan t-tide maka diperoleh komponen yang mempengaruhi
arus harmonik di Selat Lombok, yang ditampilkan pada tabel 1.
Tabel 1. Komponen Harmonik yang mempengaruhi arus di Selat Lombok
Mooring/Tambatan Barat
Konstanta
Frekuensi
Amplitudo
Mooring/Tambatan Timur
Amplitudo
SNR
Konstanta
Error
Harmonik
Frekuensi
Amplitudo
Amplitudo
SNR
Error
Harmonik
SA
0.000114
0.029
0.016
3.4 SSA
0.000228
0.0817
0.036
5.2
NO1
0.040269
0.0105
0.006
3.2 J1
0.043293
0.0144
0.008
3.5
MSF
0.002822
0.0268
0.016
2.9 TAU1
0.038959
0.0128
0.008
2.7
SSA
0.000228
0.0267
0.016
2.8 SN4
0.162333
0.0074
0.005
2.3
MK3
0.122292
0.0053
0.004
1.8 M6
0.241534
0.0036
0.003
1.8
2MK6
0.244584
0.0027
0.002
1.6 SO1
0.044603
0.0101
0.008
1.7
M4
0.161023
0.0048
0.004
1.5 2MS6
0.244356
0.0033
0.003
1.5
M8
0.322046
0.0014
0.001
1.5 M10
0.402557
0.0017
0.001
1.5
SO3
0.122064
0.0044
0.004
1.2 2MN6
0.240022
0.0031
0.003
1.3
TAU1
0.038959
0.0061
0.006
1.1 SF
0.002822
0.0348
0.036
0.94
MSK6
0.247406
0.0022
0.002
0.00131
0.0345
0.036
0.92
1 MSM
Pada tabel 1 menunjukkan komponen harmonik hasil pengolahan arus pada Selat Lombok. Komponen
yang paling signifikan pada mooring timur SSA yaitu Solar Semi Annual, yang merupakan komponen paruhtahunan matahari yang disebabkan deklinasinya - dari equinox musim semi ke equinox musim gugur (vernal to
automnal equinox), sedangkan pada moring barat komponen yang paling signifikan adalah SA yaitu SolarAnnual,
yang merupakan komponen jarak-tahunan (paralax) matahari dari perigee ke perigee. Pola pergerakan matahari
juga mempengaruhi perbedaan elevasi pada Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dalam hal ini menyebabkan
terjadinya pergerakan masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Arlindo). Terjadinya Arlindo
disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Samudera Pasifik dari wilayah Indonesia.
Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik Barat lebih tinggi dari pada
Samudera Hindia bagian timur. Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arus lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari
pada di Muson Barat Laut (Webster et al., 1998).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, arus di Selat Lombok merupakan bagian dari Arlindo yang mengalir dari
Pasifik menuju Samudra Hindia, serta pola pergerakan arus di Selat Lombok dipengaruhi oleh pola pergerakan
semu matahari yang menjadikan terjadinya perbedaan elevasi air laut di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia
yang menjadikan mengalirnya arus dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melalui perairan Indonesia.
Hal ini ditunjukan dengan SSA dan SA sebagai komponen signifikan pada kedua perairan tersebut, sehingga
dapat disimpulkan arus pada Selat Lombok turut dipengaruhi oleh keadaan musim.
31
Depik, 4(1): 24-32
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Ucapan Terimakasih
Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Penghargaan sebesar-besarnya diberikan kepada Fuad Amzinuddin mahasiswa magang
di Lab Data P3SDLP dari Prodi Oseanografi Institut Teknologi Bandung yang menyediakan tutorial T-tide
MatLab. Tak lupa diucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membentu penulis selama proses penelitian dan penulisan jurnal. Penyusunan dan penerbitan naskah
arikel ini dibiayai oleh DIPA APBN Tahun Anggaran 2014 pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Perubahan Iklim.
Daftar Pustaka
Ben Elghali, S.E., M.E.H. Benbouzid, J.F. Charpentier. 2007. Marine tidal current electric power generation
technology: state of the art and current status. IEEE Journal, Perancis.
Gordon, A.L., R.D. Susanto, A. Ffield, B.A. Huber, W. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait
throughflow, 2004 to 2006. Geophysical Research Letters, 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372.
Hasanudin, M. 1998. Arus lintas Indonesia (ARLINDO). Oseana, 23(2):1-9.
Pawlowicz, R., B. Beardsley, S. Lentz. 2002. Classical tidal harmonic analysis including error estimates in
MATLAB using T TIDE. Pergamon. Computers and Geosciences, 28:929–937.
Pranowo, W., A.R.T.D. Kuswardhani, T.L. Kepel, U.R. Kadarwati, S. Makarim, S. Husrin. 2005. Ekspedisi
INSTANT 2003-2005 “menguak arus lintas Indonesia”. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya NonHayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Susanto, R.D., A. Ffield, A.L. Gordon, T.R. Adi. 2012. Variability of Indonesian throughflow within Makassar
Strait, 2004–2009. Journal of Geophysical Research, 117, C09013, doi:10.1029/2012JC008096.
Wyrtki, K. 1961. The physical oceanography of south east Asian waters. Naga Report Vol. 2. University
California Press. La Jolla, California. 195p.
Webster, P., V. Magana, T. Palmer et al. 1998. Monsoon: processes, predictability, and the prospects for
prediction. Journal of Geophysical Research, 103: 14451-14510. [4.7].
32
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberi pakan
berbahan baku lokal
The growth and feed consumption of walking catfish fed diets with local
ingredients.
Zaenal Abidin1*, Muhammad Junaidi1, Paryono1, Nunik Cokrowati1, Salnida Yuniarti1
1Program
Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram, JL Pendidikan No. 37 Mataram Nusa Tenggara Barat.
*Email : [email protected]
Abstract. Fish meal, corn, and rice bran are feed ingredient which easily obtained. Different of quality and amount of each
ingredients in fish feed result a various respons on fish. The aim of this study were to determine respon of growth and feed
consumption of walking cat fish (Clarias sp.) which fed feed made of fish meal, rice bran, and corn. The experimental diets
containing fish meal, corn meal, and rice bran meal, respectively A. 70;10:19,5.; B. 60;25;14,5 C=60,19,75:19,75;
D=60:9,5:30, and the other diets, E and F, were commersial diets. Daily growth rate, feed consumption, feed eficiency, and feed
conversion ratio showed significant differences (p>0,05) among the treatments. In general, feed consumption rate, daily growth rate,
feed efficiency, and feed conversion rate were best obtained on commercial feed, while feed made from local ingredients showed lower
performance than commercial feed. The low quality of feed local ingredients were caused by used low quality of local ingredients which
caused the level minimum of fibre and ash were high in 17,9% and 23,5%, respectively. The utilization of Local fish meal 6070%, corn meal 9,5-19,75%, and rice bran meal 14,5-30% in fish diet did not result better growth performance than commercial
diet, however the best formulation for local ingredients of fish meal, corn meal, rice bran meal were 60%; 19,75%; 19,75% and
60%; 9,5%;30 % respectively
Keywords : Corn meal; diets; feed consumption; fish meal; growth; rice bran; walking catfish (Clarias sp.)
Abstrak. Tepung ikan, jagung dan dedak padi adalah merupakan bahan baku yang mudah diperoleh dan dapat
digunakan sebagai bahan baku pakan ikan, meskipun demikian perbedaan kualitas setiap jenis bahan baku dan
jumlah pengggunaan setiap bahan baku dalam pakan dapat menghasilkan respon yang berbeda terhadap ikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang
diberikan pakan berbahan tepung ikan, tepung dedak padi, dan tepung jagung. Pakan uji yang dicobakan adalah
pakan dengan komposisi tepung ikan: tepung jagung, dan: tepung dedak yang berbeda yaitu masing-masing
A=70:10:19,5; B=60:25:14,5; C=60:19,75:19,75; D=60:9,5:30, serta dua pakan komersial yaitu E dan F Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan komposisi bahan baku yang berbeda berpengaruh (p<0,05)
terhadap laju pertumbuhan harian, tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan rasio konversi pakan. Tingkat
konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan rasio konversi pakan yang terbaik diperoleh pada
pakan komersial sedangkan pakan yang berbahan baku lokal menunjukkan tampilan yang lebih rendah
dibandingkan pakan komersial. Rendahnya kualitas pakan berbahan baku lokal diduga disebabkan oleh bahan
baku lokal yang digunakan memiliki kualitas yang rendah sehingga menghasilkan pakan dengan kandungan
serat kasar dan abu yang tinggi masing-masing minimal 17,9% dan 23,5%. Penggunaan bahan baku local yaitu
tepung ikan 60-70%, tepung jagung 9,5-19,75% dan dedak 14,5 – 30% belum dapat menghasilkan tampilan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial, meskipun demikian formulasi terbaik
pakan berbahan baku lokal diperolah pada komposisi tepung ikan; jagung; dedak adalah 60%; 19,75%; 19,75%
dan 60%; 9,5%;30 %.
Kata kunci : Ikan lele (Clarias sp.); konsumsi pakan; pakan; pertumbuhan; tepung dedak; tepung ikan;
tepung jagung
Pendahuluan
Biaya penyediaan pakan buatan dalam budidaya ikan lele (Clarias sp.) dengan sistem intensif dapat
mencapai 50–60 % dari total biaya produksi. Harga pakan yang semakin meningkat akibat penggunaan bahan
baku impor yang berupa tepung ikan dan tepung kedelai semakin menyulitkan petani untuk menekan biaya
produksi. Salah satu cara untuk menekan biaya pakan yaitu dengan cara membuat pakan secara mandiri dengan
33
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
menggunakan bahan baku lokal yaitu bahan yang dapat diperoleh disekitar lokasi budidaya, sehingga pakan ikan
tidak perlu lagi didatangkan dari daerah lain yang dapat menambah biaya penyediaan pakan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa dedak padi dan jagung, serta tepung ikan yang merupakan hasil sampingan pengolahan
minyak ikan dapat diolah menjadi bahan baku pakan ikan (Attipoe et al., 2009; Plutomeo dan Barro, 1991;
Menghe et al., 2013).
Tepung ikan merupakan sumber protein utama yang belum tergantikan dalam pakan ikan. Tepung ikan
tersedia dalam berbagai jenis berdasarkan bahan bakunya, meskipun demikian perbedaan bahan baku tepung
ikan dapat menghasilkan tampilan pertumbuhan yang sama (Kop dan Korkut, 2010).
Dedak padi, jagung, dan tepung ikan pada beberapa daerah termasuk di Pulau Lombok dapat diperoleh
dengan mudah. Penggunaan maksimal dedak dalam pakan untuk ikan karnivora adalah 15%,
omnivora/herbivora 35%, sedangkan untuk tepung biji jagung pada pakan ikan karnivora maksimal 20%,
omnivora/herbivora maksimal 35% (Nur dan Zainal, 2004). Ikan lele merupakan ikan karnivora yang
cenderung omnivora. Tingkat kecernaan ikan lele-lelean pada beberapa bahan baku dapat lebih baik
dibandingkan dengan ikan lain (Hertramf dan Felicitas, 2000).
Penelitian mengenai penggunaan suatu bahan baku umumnya dilakukan melalui formulasi pakan dengan
menggunakan bahan murni dan dilakukan secara terpisah untuk setiap bahan baku, sehingga hasilnya tidak
dapat langsung diaplikasikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan dan
konsumsi pakan ikan lele yang diberikan pakan berbahan baku tepung ikan, tepung dedak padi, dan tepung
jagung.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perikanan dan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian
Universitas Mataram. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
6 perlakuan dan tiga ulangan.
Bahan
Ikan uji yang digunakan adalah ikan lele (Clarias sp.) ukuran 10+1,0 g. Setiap unit percobaan diisi dengan
5 ekor ikan. Bahan baku pakan terdiri dari tepung jagung, dedak padi, dan tepung ikan yang merupakan hasil
sampingan pengolahan minyak ikan di Pelabuhan Perikanan Telong Elong Kabupaten Lombok Timur.
Pakan uji
Pakan uji berbentuk pelet dan terdiri dari 4 jenis pakan dengan komposisi bahan baku yang berbeda, dan
2 pakan komersial. Komposisi pakan uji dan perkiraan kandungan nutrisinya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tepung ikan, tepung jagung, dan tepung dedak dianalisa proksimat untuk dijadikan acuan dalam menyusun
formulasi yang akan dicobakan. Analisa proksimat protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldhal, lemak
dengan metode ekstraksi menggunakan alat Soxhlet; abu dengan menggunakan pemanasan dalam tanur pada
suhu 400 sampai 600 oC, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta
pemanasan, dan kadar air dengan menggunakan metode pemasanan dalam oven pada suhu 105 sampai 110 oC.
Bahan Baku Pakan
ikan2
Tepung
Tepung jagung2
Tepung dedak2
Minyak ikan2
1pakan
Tabel 1. Komposisi pakan uji (g/100 g pakan)
Pakan Uji
A
B
C
D
70
60
60
60
10
25
19,75
9,5
19,5
14,5
19,75
30
0,5
0,5
0,5
0,5
E1
-
F1
-
komersial, komposisinya tidak diketahui; 2harga tepung ikan Rp 4500/kg; tepung jagung Rp 3500kg-1; dedak Rp
minyak ikan Rp 60.000kg-1.
750kg-1;
Komposisi Proksimat
Protein
Lemak
BETN2
Serat Kasar
Tabel 2. Komposisi proksimat pakan uji (% berat kering)
Pakan Uji
A
B
C
D
E1
26,5
24,2
24,2
24,2
min 16,5
9,2
8,5
8,5
8,6
min 8,4
16,6
25,9
23,9
19,9
20,2
17,9
19,3
22,2
max 7,3
34
F1
30,6-23,9
min 5,68
max 6,81
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Abu
Energi3
1
2
3
27,5
327,0
23,5
359,6
24,1
348,4
25,1
327,0
max 13,4
-
max 14,7
-
Pakan Komersial
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Total energi kasar dihitung berdasarkan nilai ekuivalen untuk protein 5,6 kkal g -1, lemak 9,4 kkal g-1, dan
BETN 4,1 kkal g-1.
Komposisi setiap bahan baku disusun dengan mempertimbangkan kandungan protein pakan yaitu
minimal 22% dan perkiraan harga pakan maksimal Rp 4.500 kg-1.
Pemeliharaan ikan dan pengumpulan data
Ikan lele dipuasakan sebelum beratnya diseleksi. Berat awal ikan yang diseleksi adalah 10+1,0 g. Ikan
dipelihara selama 45 hari dalam akuarium yang berukuran 45 x 40 x 35 cm dan diberi pakan uji secara satiation
Pada akhir penelitian dilakukan pengukuran bobot biomassa yang kemudian dirata-ratakan untuk setiap
ekor ikan. Pengukuran bobot dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan harian ikan. Jumlah pakan yang
diberikan selama pemeliharaan dihitung untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan rasio
konversi pakan.
Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 7 hari. Parameter yang diukur adalah oksigen terlarut (DO Meter
: LT Lutron DO-5510), pH (pH meter : EZDO 7011), dan suhu (termometer).
Analisa data
Parameter yang diuji secara statistik adalah laju pertumbuhan harian, 𝑊𝑡 = 𝑊𝑜 1 + 0,01 ∝ 2 ; jumlah
konsumsi pakan; efisiensi pakan = (( 𝑊𝑡 + 𝑊𝑑 − 𝑊𝑜 /𝐹𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 ) × 100) dan; rasio konversi pakan =
(𝐹𝑏𝑎𝑠𝑎 ℎ / 𝑊𝑡 + 𝑊𝑑 − 𝑊𝑜 ). Wt= berat akhir; Wo = berat awal; Wd = berat ikan yang mati; ∝ =
laju pertumbuhan harian; Fbasah = berat basah pakan yang dikonsumsi; Fkering = berat kering pakan yang
dikonsumsi. Pengaruh pakan uji terhadap setiap parameter ditentukan melalui analysis ragam (uji F). Jika
terdapat perbedaan antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Tuckeys.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Pemberian pakan dengan kandungan bahan baku lokal berupa tepung ikan, dedak padi, dan tepung
jagung dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan lele (Gambar 1).
Gambar 1. Pertambahan berat rata-rata ikan lele selama 45 hari
Pakan yang dibuat dengan komposisi bahan baku yang berbeda dapat mempengaruhi (p<0,05) laju
pertumbuhan harian, tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan rasio konversi pakan yang dapat dilihat pada
Tabel 3. LPH terendah terjadi pada pakan A kemudian diikuti oleh pakan B. LPH ikan yang diberi pakan C
adalah yang tertinggi tetapi tidak berbeda (p>0,05) dengan pakan D. Akan tetapi jika dibandingkan dengan
pakan komersial makan LPH yang diberikan oleh pakan uji berbahan baku lokal masih signifikan lebih rendah.
35
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Tabel 3.
Laju pertumbuhan harian (LPH ,%hari-1), konsumsi pakan (KP, g), efisiensi pakan (EP, %), dan
rasio konversi pakan (food conversion ratio/FCR)
Parameter
LPH
KP
EP
FCR
A
0,5+0,1a
85,4+14,3a
18,5+1,7a
6,1+0,5d
B
0,9+0,2b
106,5+23,4a
26,7+1,31b
4,2+0,2c
Jenis Pakan
C
D
1,4+0,2c
1,2+0,1c
176,7+32,0bc 138,4+29,4ab
30,6+0,1b
31,7+1,8b
3,8+0,1c
3,6+0,2c
E
2,2+0,1d
222,9+49,3cd
41,9+4,7c
2,7+0,3b
F
3,6+0,2e
269,3+15,6d
83,8+6,0d
1,3+0,1a
Keterangan : Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya
perbedaan antara perlakuan (p<0,05).
Tingkat konsumsi pakan tertinggi terjadi pada pakan F kemudian disusul oleh pakan E dan C (p>0,05)
dan terendah pada pakan A, B, dan D (p>0,05). Tingkat konsumsi pakan yang terbuat dari bahan baku lokal
masih lebih rendah dari pakan komersial yang dicobakan. Efisiensi pakan tertinggi dihasilkan oleh pakan
komersial yaitu pakan F dan diikuti oleh pakan E (p<0,05) sedangkan efisiensi pakan berbahan baku lokal
masih lebih rendah pada pakan B, C dan D yang masing-masing tidak berbeda nyata (p>0,05) dan kemudian
diikuti oleh pakan A (p<0,05).
Hasil pengukuran kualitas air pada media pemeliharaan adalah pH 6,8-7,5; oksigen 4,5-5,1 ppm, dan suhu
o
25-29 C. Parameter kualitas air yang diukur memiliki nilai yang sama pada setiap unit percobaan karena wadah
didesain menggunakan sistem resirkulasi.
Pembahasan
Peningkatan pertumbuhan pada semua jenis pakan yang dicobakan menunjukkan bahwa pakan dapat
dikonsumsi dan nutrisi yang terkandung didalamnya dapat dipergunakan untuk membangun jaringan tubuh
yang baru. Terjadinya pertumbuhan adalah merupakan indikator bahwa energi yang dikonsumsi sudah melebihi
energi yang dibutuhkan untuk maintenance dan volunetary (NRC, 1983).
Parameter yang diamati untuk mengevaluasi mutu pakan pada percobaan ini menunjukkan bahwa
pakan komersial memiliki mutu yang lebih baik dari pakan yang berbahan baku lokal. Rendahnya tingkat
pertumbuhan yang dihasilkan oleh pakan yang berbahan baku lokal dapat diakibatkan oleh mutu pakan yang
kurang baik, termasuk mutu protein pakan. Kualitas protein dapat diukur melalui peningkatan berat tubuh yang
dihasilkan oleh pakan (Watanabe, 1988; Nur dan Arifin, 2004). Ikan yang diberikan protein dengan kualitas
yang berbeda meskipun pada level yang sama dapat menghasilkan pertumbuhan yang berbeda (Stankovic et al.,
2011). Protein sangat diperlukan sebagai bahan penyusun jaringan yang pada akhirnya akan meningkatkan berat
untuk terjadinya pertumbuhan.
Tingkat konsumsi pakan pada kedua pakan komesial E dan F lebih tinggi dari pakan uji lainnya,
meskipun tingkat konsumsi pakan E sama dengan tingkat konsumsi pakan C. Formulasi pakan seharusnya tidak
hanya mengutamakan nilai nutrisi pakan namun juga harus mempertimbangkan jumlah pakan yang dimakan dan
kecernaan nutrisi. Proses untuk memperoleh nutrisi tersebut harus didahului oleh pengambilan makanan masuk
ke dalam saluran pencernaan. Tingkat konsumsi pakan yang lebih tinggi akan cenderung menghasilkan
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jika tingkat konsumsi pakannya lebih sedikit (Peterson dan Small,
2006; Guroy et al., 2006; Ndome et al., 2011). Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada pakan yang berbahan
baku lokal menyebabkan semakin rendahnya kemungkinan ikan untuk memenuhi kebutuhan nutriennya,
sehingga mengakibatkan rendahnya pertumbuhan.
Perbedaan tingkat konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh kandungan dan karakteristik fisik pakan
seperti ukuran, bentuk, warna, tekstur, rasa dan bau. Houlihan et al. (2001) menyebutkan bahwa sifat fisik pakan
dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan pakan, seperti penggunaan suhu dan tekanan, meskipun demikian
faktor yang paling mempengaruhi adalah kondisi bahan baku yang digunakan. Rendahnya tingkat konsumsi
pakan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa palatabilitas pakan yang berbahan baku lokal
kurang disukai oleh ikan lele. Cita rasa pakan sangat tergantung pada bahan baku dan cara pengolahan. NRC
(1993) menyebutkan bahwa tepung ikan yang baik dapat memberikan cita rasa yang lebih baik untuk ikan.
Pakan A yang memiliki komposisi tepung ikan tertinggi justru tidak menghasilkan konsumsi pakan yang tinggi.
Tepung ikan yang digunakan dalam penelitian ini diolah dari ikan rucah yang tidak ditangani dengan baik
36
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
sehingga tingkat kesegaran ikan yang digunakan sangat rendah. Menurut Aksnes dan Mundheim (1997) bahwa
penggunaan bahan baku ikan yang tidak segar dapat menyebabkan penurunan tingkat konsumsi pakan.
LPH tertinggi terjadi pada pakan F karena memiliki kandungan protein 23,9-30,6 %, lebih tinggi dari
pakan yang berbahan baku lokal (A,B,C dan D) yang hanya mengandung protein 24,2-26,5 %. Jantrarotai et al.
(1998) mengatakan bahwa tampilan pertumbuhan pada ikan lele lebih bayak dipengaruhi oleh kandungan
protein pakannya dari pada kandungan energinya. Kandungan protein yang sesuai untuk kebutuhan ikan lele
ukuran 10-15 g adalah berkisar antara 35 sampai 40 % (Ali dan Jauncey, 2004; Mollah dan Hossain, 1990).
Kandungan protein E adalah min 16,5% lebih rendah dari pakan uji lainnya, namun tetap memberikan
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang berbahan baku lokal yang mengandung
protein yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa protein pakan E lebih berkualitas dibandingkan dengan
protein yang terkandung dalam pakan yang berbahan baku lokal. Chowdhary et al. (2012) menunjukkan bahwa
meskipun pakan yang digunakan memiliki kandungan protein yang sama, namun dapat memberikan respon
pertumbuhan dan nilai konversi pakan yang berbeda jika sumber protein yang digunakan berbeda.
LPH terendah terjadi pada ikan yang diberi pakan A yang memiliki protein 26,5% lebih tinggi
dibandingkan D dan E yang memiliki protein 24,2%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa perbedaan
pertumbuhan antara pakan uji komersil dengan pakan yang berbahan baku lokal tidak disebabkan oleh
perbedaan level protein tapi lebih disebabkan oleh karena mutu protein yang kurang baik pada pakan yang
berbahan baku lokal. NRC (1983) dan Watanabe (1988) menyebutkan bahwa mutu protein ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas asam amino serta bioavailabilitasnya. Pakan yang dibuat dari ikan yang tidak segar akan
menurun tingkat kecernaannya (Aksnes and Mundheim, 1997).
Konversi pakan yang diperoleh dalam penelitian ini berhubungan langsung dengan nilai efisiensinya.
Semakin rendah nilai konversi pakan maka nilai efisiensi juga akan semakin tinggi (pakan F dan E), sebaliknya
semakin tinggi nilai konversi pakan maka nilai efisiensi pakan akan semakin rendah. Nilai konversi pakan
menunjukkan jumlah pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiap satuan berat ikan, sedangkan efisiensi
menunjukkan jumlah pakan dalam berat kering yang berhasil disimpan menjadi bagian dari tubuh ikan.
Pakan A memberikan petumbuhan dan efisiensi pakan yang terendah meskipun menggunakan tepung
ikan sebesar 70% sedangkan pakan yang berbahan baku lokal lainnya hanya 60%. Hal ini semakin menunjukkan
bahwa bahan baku tepung ikan yang digunakan kurang baik.
Kualitas pakan sangat ditentukan oleh bahan baku yang digunakan. Hasil analisa proksimat pada tepung
ikan menunjukkan bahwa kadar abu tepung ikan 33% sedangkan protein 30%. Kadar abu yang lebih tinggi
daripada kandungan protein menunjukkan bahwa bahan baku tepung ikan berasal dari limbah ikan mentah yang
memiliki bagian tulang yang lebih banyak dari pada bagian dagingnya. Hertramf dan Felicitas (2000)
menyebutkan bahwa semakin tinggi bagian tulang pada bahan baku akan menghasilkan tepung tulang yang
memiliki kandungan abu yang tinggi, sehingga menurunkan proporsi kandungan protein tepung ikan yang
dihasilkan. Pengolahan bahan baku tepung ikan yang digunakan dapat mengakibatkan menurunnya mutu
tepung ikan yang dihasilkan.
NRC (1993) menyebutkan bahwa kandungan abu yang tinggi pada tepung ikan harus dipertimbangkan
penggunaannya karena akan menghasilkan pakan dengan komposisi mineral yang tidak seimbang. Standar
kualitas tepung ikan untuk ikan salmon memiliki kandungan abu di bawah 13%.
Hasil perkiraan proksimat pakan yang berbahan baku lokal menunjukkan bahwa kandungan serat kasar
pakan berkisar antara 17,9-22,2 %. Kandungan serat kasar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua
pakan komersial yang kandungan serat kasarnya adalah maksimal 7,31 %.
Menurut Webster dan Lim (2002), keberadaan serat kasar dalam pakan ikan dapat menyebabkan absorbsi
pakan menjadi terganggu. Learly dan Lovell (1975) menyebutkan bahwa pada ikan channel catfish
pertumbuhannya akan nyata terhambat jika diberi pakan yang mengandung serat kasar sebanyak 14 dan 20%,
sedangkan NRC (1983) melaporkan bahwa pakan sebaiknya mengandung serat sebanyak 3-5% yang umumnya
diperoleh dari bahan baku tumbuhan. Tingginya serat kasar akan menghambat pengambilan pakan,
meningkatkan tingkat buangan feses yang akhirnya akan menyebabkan rusaknya kualitas air. Pakan uji yang
dicobakan mengandung serat kasar yang tinggi sehingga memberikan nilai efisiensi pakan yang rendah yaitu
18,54-31,66% dibandingkan dengan pakan komersil yang memiliki nilai efisiensi pakan yaitu 41,99-83,77%.
Tingginya serat kasar dalam pakan disebabkan karena penggunaan tepung dedak dan tepung ikan yang
mengandung serat kasar yang tinggi. Komposisi serat kasar pada berbagai jenis tepung ikan tidak lebih dari 5%
(NRC, 1983; Hertramf dan Felicitas, 2000), sedangkan komposisi serat kasar dalam tepung ikan yang digunakan
adalah 16%. Berdasarkan pengamatan di lokasi produksi bahan baku tepung ikan, ditemukan bahwa limbah ikan
tidak ditangani dengan baik. Limbah ikan dibiarkan tergeletak di atas pasir dan kemudian ampas hasil ekstrak
37
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
minyak ikan dijemur di tempat yang kurang bersih sehingga butiran-butiran pasir banyak ditemukan pada bahan
baku tepung ikan.
Kesimpulan
Penggunaan bahan baku lokal yaitu tepung ikan 60-70%, tepung jagung 9,5-19,75% dan dedak 14,5-30%,
belum dapat menghasilkan pakan yang memiliki kualitas sama dengan pakan komersial. Kombinasi bahan baku
lokal yang menghasilkan respon terbaik diperoleh pada komposisi tepung ikan; jagung; dedak adalah 60%;
19,75%; 19,75% dan 60%; 9,5%;30 %.
Rendahnya kualitas pakan berbahan baku lokal disebabkan oleh karena mutu tepung ikan sebagai satusatunya sumber protein yang digunakan dalam pakan lokal masih sangat rendah.
Daftar Pustaka
Ali, M.Z., K. Jauncey. 2004. Effect of feeding regime and dietary protein on growth and body composition in
Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Indian Journal of Fisheries, 51(4):407-416.
Aksnes, A., H. Mundheim. 1997. The infact of raw material freshness and processing temprature for fish meal
on growth, feed efficiency and chemical composition of Atlantic Halibut (Hippoglossus hippoglossus).
Aquaculture, 149:87-106.
Attipoe, F., F. Nelson, E. Abban. 2009. Evaluation of three diets formulated from local agroindustrial by
products for production of Oreochromis niloticus in Earthen Ponds. Ghana Journal of Agricultural
Science, Vol. 42. No. 1-2.
Chowdhary, S., P.P. Srivastava, S. Mishara, A.K. Yadav, R. Dayal, S. Raizada, J.K. Jena. 2012. Partial
replacement of dietary animal protein with vegetable protein blend with different proportions of
glucosamine on growth, feed efficiency, body composition and survival of fingerlings of Asia catfish
(Clarias batrachus). Vol 35:4. 291-297.
Guroy, D., E. Deviciler, B.K. Guroy, A.A Tekinay. 2006. Influence of feeding frequency on feed intake, growth
performance and nutrient utilization in European Sea Bass (Dicentrarchus labrax Fed Pelleted or
Extruded Diets. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences, 30:171-177.
Ndome, C.B., A.O.Ekwu, A.A. Ateb. 2011. Effect of feeding frequency on feed consumption, growth and feed
conversion of clarias gariepinus x heterobanchus longifilis hybrid. American-Eurasian Journal of
Scientific Research, 6(1):06-12.
Hertrampf, J.W., P.P. Felicitas. 2000. Handbook on ingredients for aquaculture feeds. Kluwer Academic
Publisher. Netherlands.
Houlihan, D., T. Boujard, M. Jobling. 2001. Food intake in fish. Oxford. Blackwell Publishing.
Jantrarotai, W., P. Sitasit, P. Jantrarotai, T.V. Puthanumas, P. Srabua. 1988. Protein and energy levels for
maximum growth, diet utilization, yield of edible flesh and protein sparing of hybrid clarias catfish
(Clarias macrocephalus x Clarias garriepenus). Journal of The World Aquaculture Society, 3(29):
281-289.
Kop, A., A.Y. Korkut. 2010. Effects of diets with fish meal origins on the performance of rainbow trout
onchorhynchus mykiss (Walbaum). Journal of Animal and Veterinary Advances, 9(3): 581-583.
Leary, D.F., R.T. Lovell. 1975. Value of fiber in production type diets for channel catfish. Transactions of the
American Fisheries Society American Fisheries Society, 104:328-332.
Mollah, M.F.A., M.A. Hossain. 1990. Effects of artificial diets containing different protein levels on growth and
feed efficieny of catfish (Clarias batrachus L.). Indian Journal of Fisheries, 37(3):251 -259.
Menghe, H. Li., E.H. Robinson, D.F. Oberle, P.M. Lucas, B.G. Bosworth, 2013. Use of corn germ meal in diets
for pond raised channel catfish, Ictalurus punctatus. Journal of The World Aquaculture Society, 44(2):
282-287.
Peterson, B.C., B.C. Small. 2006. Effect of feeding frequency on feed consumtion, growth, and feed efficiency
in aquarium-reared norris and NWC103 channel catfish (Ictalurus punctatus). Journal of The World
Aquaculture Society, 36(4): 490-495.
Plutomeo, N., R.V. Barro. 1991. Evaluation of local ingredients (fish, shrimp, snail, copra, leaf meals, and rice
bran) for feeding nile tilapia (Oreochromis niloticus) fingerlings. Research and Development Journal,
7:2-10.
NRC [National Research Council]. 1993. Nutrient requirements of fish. National Academy Press. Washington.
NRC [National Research Council]. 1983. Nutrient requirements of warmwater fishes and shellfishes. Revised
Edition. National Academy Press. Washington.
38
Depik, 4(1): 33-39
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Nur, A., A. Zaenal. 2004. Nutrisi dan formulasi pakan ikan. [Terjemahan] Departemen Kelautan dan
Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Stankovic, M.B., Z.P. Dulic, Z.Z. Markovic. 2011. Protein source and their significance in carp (Cyprinus carpio
L.) nutrition. Journal of Agricultural Sciences, 56(1):75-86.
Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Departement of Aquatic Biasciences Tokyo University
of Fishes. Tokyo.
Webster, C.D., C. Lim. 2002. Nutrient requirement and feeding of finfish for aquaculture. CABI Publishing.
New York.
39
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Studi penentuan lokasi budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung di
perairan Timur Simeulue
Site selectionstudy for grouper cage-mariculture in Eastern coastal of Simeulue
Syahrul Purnawan1*, Muhammad Zaki2, T.M. Asnawi2, Ichsan Setiawan1
1Program
Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh.
Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh. *Email
Korespondensi: [email protected]
2Program
Abstract. Groupers are of considerable economic value in southeast Asia. Cage culture is considered as the proper
technology to maximize the sustainable biomass production in a unit area. This research assesses a site selection
approach for net-cage grouper mariculture in the eastern coastal area of Simeulue Island, namely Sambai, Kuta Batu
and Pulau Bengkalak. Data collection focused on 7 biophysical site capability parameters i.e.: current flow,
temperature, water clarity, bottom depth, pH, salinity, dissolved oxygen. Suitability analysis identified all stations
was categorized as a very appropriate and appropriate conditions for the fish cage location.
Keywords: grouper; mariculture; fish cage; Simeulue
Abstrak. Kerapu merupakan komoditas unggulan dan memiliki permintaan pasar yang tinggi di daerah Asia
Tenggara. Keramba jaring apung (KJA) dianggap sebagai teknologi yang tepat untuk meningkatkan biomassa
budidaya di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesesuaian lokasi penempatan KJA di wilayah
pesisir timur Pulau Simeulue yaitu Sambai, Kuta Batu dan Pulau Bengkalak. Kajian data difokuskan pada tujuh
parameter biofisik yaitu arus, suhu, kecerahan, kedalaman perairan, pH, salinitas, dan oksigen terlarut. Analisis
kelayakan menunjukkan seluruh stasiun dikategorikan sebagai layak dan sangat layak untuk lokasi budidaya KJA.
Kata kunci: Kerapu; marikultur; KJA; Simeulue
Pendahuluan
Wilayah Simeulue terletak di bagian barat Sumatera dan dikelilingi oleh perairan Samudera Hindia sehingga
memberikan ciri massa air oseanik yang terbuka dan memiliki sirkulasi yang baik. Dikelilingi garis pantai yang cukup
panjang, memiliki sejumlah pulau, adanya teluk dan selat, menjadikan wilayah perairan Simeulue sangat potensial
untuk dikembangkan kegiatan budidaya laut (Idris et al., 2007). Pengembangan budidaya laut dapat menyerap
tenaga kerja baru bagi daerah desa pesisir yang umumnya masuk dalam kategori desa tertinggal (FAO, 1995).
Pengembangan perikanan budidaya juga diharapkan dapat mengurangi gejala over fishing yang terjadi di perairan
Indonesia (Dahuri, 1998; Dahuri et al., 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007)
Ikan kerapu memiliki nilai ekonomis tinggi dengan permintaan yang cukup besardi pasar Asia Tenggara
(Pierre et al., 2008; Yamamoto, 2006; Tookwinas, 1989). Salah satu kegiatan budidaya laut yang populer untuk
dikembangkan adalah penggunaan keramba jaring apung (KJA). Pemilihan lokasi KJA yang tepat merupakan hal
yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam
kegiatan produksi (Radiarta et al., 2005; Ismail et al., 2001). Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, hendaknya
dipilih lokasi yang sesuai dengan karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi jenis ikan yang dibudidayakan
(Milne, 1979; Muir dan Kapetsky, 1998; Smith, 1982; Tucker, 1999).
Bahan dan Metode
Waktu dan lokasi survei
Kegiatan survei lapangan pada daerah yang akan dijadikan lokasi penempatan Keramba Jaring Apung (KJA)
dilakukan pada tanggal 23 Oktober sampai 1 November 2011. Lokasi survei berada di tiga titik atau stasiun yang
dipilih pada daerah timur Pulau Simeulue (Gambar 1).
40
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Gambar 1. Titik Lokasi Pengamatan P. Simeulue (inset: Aceh/ P. Sumatera): Kuta Batu (02°30'23"LU:
96°22'58"BT), Sambai (2°39’20”LU: 96°10’51”BT), P.Bengkalak (02°28’48”LU: 096°25’41”BT).
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tiga lokasi yang akan dijadikan daerah pengembangan budidaya
laut dengan sistem keramba jaring apung, terlihat kondisi perairan yang tenang dan terlindung. Ketiga lokasi
tersebut berada dalam daerah teluk sehingga relatif tenang dari hempasan angin dan gelombang. Kondisi ini sesuai
dengan pernyataan Ahmad et al. (1996) dan Cholik et al. (1995), yang menyatakan bahwa lokasi yang sesuai untuk
pengembangan budidaya berbasis KJA adalah daerah yang tenang seperti Goba, Muara dan Teluk.
Pengumpulan data lapangan
Secara umum, pengamatan terhadap parameter kualitas perairan mengacu pada Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51(KLH, 2004). Telah ditentukan tujuh parameter kunci yang dianggap sebagai parameter
utama yang sangat berperan terhadap keberhasilan upaya pengembangan budidaya KJA. Penentuan dilakukan
berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yaitu: arus (Cholik et al., 1995; Ahmad et al., 1991;
Ingmanson dan Wallace, 1985; Lumb, 1989; Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Mayunar et al., 1995; Radiarta et
al., 2005; KLH, 2004); suhu (Laevestu dan Hayes, 1981; Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Brown dan Gratzek,
1980; Davis, 1975; Kinne, 1972; Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001; Peres dan Olivia-teles, 1999),
kedalaman (Ahmad et al., 1991; Sunyoto, 1994), kecerahan (Laevastu dan Hayes, 1981; Boyd, 1982; Nybakken,
1998; Radiarta et al., 2005), pH (Gao et al., 2011; Zweig et al., 1999), salinitas(Laevastu dan Hayes, 1981; Radiarta
et al., 2004; Ingmanson dan Wallace, 1985; Ahmad et al., 1991), dan oksigen terlarut (Rahayu, 1991; Mayunar et
al., 1995; Akbar, 2001; Laevastu dan Hayes, 1981). Seluruh parameter diukur di lapangan (insitu) dengan 2 kali
pengulangan pada tiap lokasi, terlihat pada Tabel 1.
41
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Tabel 1. Parameter Fisik-Kimia Oseanografi yang Diukur dan Metode yang Digunakan
Keterangan
No
Parameter
Satuan
Metode Analisa
1
Arus
cm/s
Floating
Insitu
2
Suhu
°C
Thermometer
Insitu
3
Kecerahan
M
Secchi disk
Insitu
4
pH
pH meter
Insitu
5
Salinitas
ppt (‰)
Hand refrakto
Insitu
6
DO
mg/l
DO meter
Insitu
7
Kedalaman
M
Tali skala
Insitu
Sampel dasar laut (substrat sedimen) turut dikaji dalam studi ini. Penentuan jenis substrat dilakukan dengan
metode ayakan bertingkat untuk mendapatkan nilai ukuran butiran sedimen. Ukuran butiran ini dijadikan panduan
untuk menentukan jenis sedimen menggunakan segitiga Folk (Folk, 1974). Komponen lain yang turut dalam
penilaian adalah pasang-surut perairan. Perhitungan pasang surut (pasut) dilakukan berdasarkan data komponen
pasut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (Dishidros, 2010) dan model yang mampu
memprediksi tipe pasut di daerah tersebut. Jenis pasut ditentukan berdasarkan perhitungan Formzahl, yakni
bilangan yang dihitung dari nilai perbandingan antara amplitudo (tinggi gelombang) komponen harmonik pasang
surut tunggal utama dan amplitudo komponen harmonik pasang surut ganda utama.
Analisa kesesuaian
Studi ini melakukan pengukuran, kajian dan telaah dari sejumlah parameter biofisik yang terkait erat dengan
keberlangsungan usaha KJA. Analisa kesesuaian lahan yang akan dijadikan lokasi KJA dilakukan dengan menyusun
matriks kesesuaian lahan berdasarkan sistem pembobotan (Tabel 2).
Tabel 2. Kriteria Kelayakan Lokasi untuk Budidaya Sistem Keramba Jaring Apung.
No
Parameter
Bobot
1
2
3
4
5
6
7
Suhu
Salinitas
Arus
Kedalaman
Oksigen
pH
Kecerahan
3
3
3
2
2
2
1
Sangat
sesuai (4)
27-29
31-33
15-30
7-15
5-8
7,5-8
≥5
Sesuai (3)
Kategori (rating)
Sesuai bersyarat (2)
25-<27 atau >29-31
27-<31 atau >33-35
10-<15 atau >30-40
5-<7 atau 15-20
4-<5 atau >8-9
7-<7,5 atau >8-8,5
4-<5
20-<25 atau >31-35
20-<27 atau >35-37
5-<10 atau >40-50
4-<5 atau >20-25
3-<4 atau >9-10
6-<7 atau >8,5-9
3-<4
Tidak sesuai
(1)
<20 atau >35
<20 atau >37
<5 atau >50
<4 atau >25
<3 atau >10
<6 atau >9
<3
Sumber: modifikasi dari KLH (2004); Radiarta et al. (2004); Sudjiharno dan Winanto (1998); Langkosono dan
Wenno (2003); Anonim (2001); Mainassy et al. (2005); Chua dan Teng (1978); Minggawati dan Lukas
(2012).
Pembobotan pada setiap faktor pembatas/ parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter
tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut, seperti ikan kerapu. Faktor-faktor pembatas
tersebut diurutkan dari yang paling berpengaruh, karena setiap parameter memiliki andil yang berbeda dalam
menunjang kehidupan komoditas. Parameter yang memiliki peran yang besar akan mendapatkan nilai lebih besar
dari parameter yang tidak memiliki dampak yang besar (Hidayat et al., 1995). Bobot terbesar adalah 3 (tiga) dan
yang terkecil adalah 1 (satu) sehinggajumlah seluruh bobot adalah 16,00 (100%). Setiap faktor pembatas dalam
kolom matriks dibuat skala penilaian (rating) dengan angka 2 (kurang layak), 3 (layak), dan 4 (sangat layak).
Perkalian bobot dengan skala penilaian (rating) akan mendapatkan nilai akhir (skor) dari faktor-faktor tersebut.
Kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap kolom skala penilaian (rating) mulai dari 1 hingga
4. Kemudian dicari persentase dari nilai skor tersebut dengan satuan per-4, artinya nilai 4 mendapatkan nilai 100%
dan nilai 1 mendapatkan nilai 25%. Kesesuaian scoring ditetapkan berdasarkan nilai dari pembobotan scoring,
42
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
dengan perhitungan kriteria sebagai berikut: Sangat Layak>85%-100%; Layak jika skor 70%-85%; Layak bersyarat
jika skor 55%-70%; Tidak layak jika <55%.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi hidro-oseanografi
Kedalaman perairan pada ketiga lokasi menunjukkan nilai yang lebih besar dari 7 meter, dengan tipe substrat
pasir, kecuali pada stasiun Pulau Bengkalak berupa pasir berlumpur (Tabel 3). Kedalaman perairan dipengaruhi oleh
fenomena pasang surut. Nilai pasang surut diukur berdasarkan pemodelan, sehingga menghasilkan gambaran pasut
selama satu bulan penuh untuk mendapatkan tidal range tertinggi (Gambar 2). Tunggang pasut yang didapat dari
pemodelan menunjukkan nilai kurang dari 1 meter. Penyusunan matrik kesesuaian lahan pada stasiun Kuta Batu,
Sambai, dan Pulau bengkalak, terhadap parameter yang telah ditentukan sebelumnya dapat ditunjukkan pada Tabel
4.
Tabel 3. Kedalaman Dasar Laut dan Jenis Substrat di Lokasi Penelitian Simeulue
No
Lokasi
1
2
3
Kuta Batu (Simeulue Timur)
Sambai (Teluk Dalam)
P. Bengkalak (Teupah Selatan)
Kedalaman (m)
11
7
10
Jenis substrat
Pasir
Pasir
Pasir berlumpur
Tabel 4. Perhitungan Matriks Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Perairan Pulau Simeulue
Nilai
(Ni/N
No Parameter
Rating Bobot Ni
Skor
terukur
maks) x 100
Kuta Batu (Simeulue Timur)
1
Suhu (°C)
28
4
3
12 18,75
2
Salinitas (ppt)
30
3
3
9
14,06
3
Arus (cm/s)
10
3
3
9
14,06
90,62
4
Kedalaman dasar laut (m)
11
4
2
8
12,5
5
Oksigen terlarut (mg/l)
5,8
4
2
8
12,5
6
Ph
7,83
4
2
8
12,5
7
Kecerahan (m)
5
4
1
4
6,25
Sambai (Teluk Dalam)
1
Suhu (°C)
29
4
3
12 18,75
2
Salinitas (ppt)
26
2
3
6
9,38
3
Arus (cm/s)
10
3
3
9
14,06
4
Kedalaman dasar laut (m)
7
4
2
8
12,5
85,94
5
Oksigen terlarut (mg/l)
6
4
2
8
12,5
6
pH
7,82
4
2
8
12,5
7
Kecerahan (m)
6,5
4
1
4
6,25
P. Bengkalak (Teupah Selatan)
1
Suhu (°C)
29
4
3
12 18,75
2
Salinitas (ppt)
25
2
3
6
9,38
3
Arus (cm/s)
12.5
3
3
9
14,06
4
Kedalaman dasar laut (m)
10
4
2
8
12,5
84,38
5
Oksigen terlarut (mg/l)
5,1
4
2
8
12,5
6
pH
7,76
4
2
8
12,5
7
Kecerahan (m)
4,5
3
1
3
4,69
43
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Keterangan:
1. nilai terukur adalah nilai yang didapatkan pada saat survei lapangan
2. N maks adalah total nilai terbesar dari seluruh parameter, yaitu 64
3. Skor adala nilai total (%) yang didapatkan untuk setiap lokasi pengamatan yang menjadi acuan penilaian
kelayakan lokasi.
Time/ date (Oct)
Gambar 2. Kondisi pasang surut yang terjadi di perairan Pulau Simeulue pada bulan Oktober 2011.
Pembahasan
Kondisi dasar laut menjadi hal yang penting untuk diamati sebelum meletakkan KJA pada suatu daerah.
Dasar perairan tempat KJA sebaiknya memiliki topografi yang landai (Mayunar et al., 1995).Selanjutnya kedalaman
dasar laut juga harus lebih dalam dari 5 meter (Krisanti dan Imran, 2006; Sunyoto, 1994). Berdasarkan hasil
pengukuran menunjukkanketiga stasiun memiliki kontur yang sangat landai dengan kemiringan sekitar 0,32 %
hingga 3,13 % atau 0,19 - 1,79 derajat, dengan kedalaman terendah adalah 7 m. Pengamatan pasut diperlukan untuk
melihat variasi kedalaman yang diakibatkan oleh pasut. Ahmad et al. (1991) mengatakan bahwa daerah yang akan
dijadikan lokasi budidaya laut berbasis KJA harus memiliki tunggang pasut kurang dari 2 meter. Data prediksi
pasang surut memperlihatkan tidal range pada daerah perairan Simeulue adalah kurang dari 1 meter (amplitudo
pasut<0,5 m), dengan tipe pasut campuran cenderung semi diurnal (mixed tide prevailing semidiurnal). Berdasarkan hal
tersebut maka kedalaman perairan pada saat surut masih berada di atas 5 meter.
Jenis substrat yang ditemukan di daerah ini umumnya adalah pasir kecuali pada daerah Pulau Bengkalak yang
berjenis pasir berlumpur (Tabel 2). Pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat sejumlah sungai yang bermuara
di sekitar wilayah Pulau Bengkalak serta adanya vegetasi mangrove, menyebabkan terjadinya sedimentasi lumpur
(Nybakken, 1998; Fernandes et al., 2002; Provost, 1996). Sedimen lumpur lebih mudah teraduk ke kolom perairan
dan menyebabkan kekeruhan (Mason and Folk, 1958; Folk dan Robbles, 1964; Friedman, 1967; Boggs, 2009).
Perairan yang keruh menurunkan penetrasi cahaya kedalam perairan, sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis
dan mengurangi tempat dari tumbuhan yang berada di kolom (Nybakken, 1998). Cahaya juga dibutuhkan oleh ikan
budidaya, untuk menentukan keberadaan mangsa melalui pantulan cahaya yang ditangkap oleh sensor di mata ikan
(Laevastu dan Hayes, 1981). Sejalan dengan hal tersebut, kecerahan terendah (4,5 m) ditemukan pada P. Bengkalak
(Teupah Selatan), namun nilai tersebut masih lebih tinggi dari nilai referensi minimal yang disebutkan Radiarta et al.
(2005), sebesar 3 meter.
Kecepatan arus yang terukur pada tiga stasiun bernilai 10-12,5 m/d Posisi ketiga stasiun dapat dikatakan
berada di kawasan teluk, dimana kondisi arus perairan teluk yang lemah cenderung akan membuat proses
sedimentasi terjadi di sekitar lokasi tersebut (Purnawan et al., 2012; Cholik et al., 1995). Kecepatan arus yang dapat
ditoleransi berada pada kisaran 5 – 50 cm/s (Mayunar et al., 1995; Radiarta et al., 2005; KLH, 2004). Kecepatan
arus yang terlalu lemah akan membuat sirkulasi di sekitar jaring keramba akan berkurang, sementara arus yang
terlalu kencang akan mempengaruhi ketahanan bangunan keramba dan pakan yang banyak terbuang terbawa oleh
arus sebelum sempat dimakan oleh hewan budidaya. Kecepatan arus yang sesuai juga dapat mengurangi polutan
yang dihasilkan dan untuk memastikan limbah yang dihasilkan terbawa dari lokasi budidaya (Lumb, 1989). Kondisi
arus pada tiga stasiun pengamatan masih dapat dianggap sesuai berdasarkan rujukan di atas.
44
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Nilai salinitas yang diperoleh pada stasiun Sambai dan Pulau Bengkalak relatif rendah yaitu 26‰ dan 25‰.
Kedua stasiun berada dalam perairan teluk yang semi tertutup serta adanya masukan (runoff) sungai yang terdapat di
sekitar stasiun tersebut diduga menurunkan salinitas air laut di sekitarnya (Stewart, 2006). Kondisi salinitas pada dua
lokasi tersebut tentunya perlu dipertimbangkan dalam menjalankan proses budidaya kerapu. Jenis kerapu yang akan
dibudidayakan hendaknya memiliki toleransi terhadap kondisi salinitas rendah, serta turut dilakukan proses
aklimatisasi terlebih dahulu (Kohno et al., 1988; Ahmad et al., 1991; Radiarta et al., 2004).
Suhu yang terukur saat pengamatan adalah 28-29 °C,sementara nilai pH 7,76-7,83, dan nilai DO sebesar 5,15,8 mg/l. Pengamatan terhadap nilai suhu, pH, dan DO perairan menunjukkan kesesuaian dengan syarat yang
dibutuhkan untuk pengembangan kegiatan budidaya laut. (KLH, 2004; Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al.,
2001).
Hasil penilaian (scoring) yang dilakukan di perairan Simeulue menunjukkan bahwa Stasiun Kuta Batu dan
Sambai berada dalam kategori sangat layak untuk dikembangkan menjadi lokasi KJA budidaya kerapu, sementara
Pulau Bengkalak berada dalam kategori layak. Meskipun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut kondisi salinitas
dan potensi sedimentasi pada stasiun Sambai dan Pulau Bengkalak yang dapat menjadi faktor penentu keberhasilan
kegiatan budidaya kerapu berbasi KJA. Salah satunya adalah pemilihan jenis kerapu yang akan dibudidayakan pada
lokasi tersbut (Chen et al., 1977; Kohno et al., 1988). Akhirnya, keberhasilan kegiatan budidaya KJA juga ditentukan
oleh penanganan yang tepat dalam operasional KJA agar resiko kegagalan relatif rendah dan hasil yang didapat bisa
berlangsung secara berkesinambungan (Ali, 2003).
Kesimpulan
Bedasarkan hasil kajian pada Kuta Batu (Simeulue Timur), Sambai (Teluk Dalam) dan Pulau Bengkalak
(Teupah Selatan) dapat diketahui bahwa nilai parameter utama, yaitu: suhu berkisar 28-29 °C, pH 7,76-7,83, DO
5,1-5,8 mg/l, kecerahan 4,5-6,5 m, kedalaman 7-11 m, salinitas 25-30 ‰, arus 10-12,5 cm/s. Analisis matriks
kesesuaian menunjukkan stasiun Kuta Batu dan Sambai berada dalam kategori sangat layak, sementara Pulau
Bengkalak berada dalam kategori layak. Ditemukan kondisi salinitas yang cenderung rendah pada stasiun Sambai
dan Pulau Bengkalak diakibatkan adanya runoff sungai yang berada di sekitar perairan tersebut. Penentuan jenis
kerapu yang memiliki adaptasi terhadap kondisi salinitas rendah diperlukan untuk keberhasilan kegiatan budidaya.
Ucapan Terima Kasih
Studi ini merupakan bagian dari kegiatan Sustainable Sea Fisheries for Simeulue and Singkil (SSFS) yang diprakarsai
oleh Islamic Relief Aceh District, yang mengkaji kelayakan (feasibility study) untuk penempatan keramba jaring apung di
perairan Pulau Simeulue.
Daftar Pustaka
Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S. Diana, S. Redjeki, A.S.
Pranowo, S. Murtiningsih. 1991. Operasional pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Laporan
Teknis Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 59 p.
Ahmad, T., A. Mustafa, A. Hanafi. 1996. Konsep pengembangan desa pantai mendukung keberlanjutan produksi
perikanan pesisir. Dalam Prosiding Rapat Kerja Teknis Peningkatan Visi Sumberdaya Manusia Peneliti
Perikanan Menyongsong Globalisasi IPTEK. Poernomo, A., H.E. Irianto, S. Nurhakim, Murniyati, E. Pratiwi
(Eds). Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, Jakarta. Hal 91-106.
Akbar, S. 2001. Pembesaran ikan kerapu bebek dan kerapu macan di keramba jaring apung. Pengembangan
Agribisnis Kerapu. Prosiding Lokakarya Nasional. RISTEK - DKP – BPPT. Jakarta.
Ali. 2003. Penentuan lokasi dan estimasi daya dukung lingkungan untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring
apung di perairan Padang Cermin, Lampung Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Anonim. 2001. Pembudidayaan dan managemen kesehatan ikan kerapu. SEAFDEC Aquaculture Departement.
Kelompok Kerja Perikanan APEC, Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center.
Boggs, S. Jr. 2009. Petrology of sedimentary rocks, 2nd ed. Cambridge University Press. Cambridge. 600 p.
45
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. New
York.
Brown, E.E., J.B. Gratzek. 1980. Fish farming handbook. AVI Publishing Company, Connecticut. Westport.
Cholik, F.A., Sudradjat, P.T. Imanto. 1995. Peluang agribisnis budidaya laut di Kawasan Timur Indonesia, dalam
Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut. A. Sudradjat, W.
Ismail, B. Priono, Murniyati, dan E. Pratiwi (Eds). Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan. Jakarta. Hal
136-156.
Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chao, R. Lim. 1977. Artificial spawning and larval rearing of the grouper, Epinephelus
tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore Journal of Primary Industries, 5(1):1-21.
Chua, T.E., S.K. Teng. 1978. Effects of feeding frequency on the growth of Young Estuary Grouper, E. tauvina
Forskal, Cultured in Floating Net Cages. Aquaculture, 14:31-47.
Dahuri, R. 1998. Kebutuhan riset untuk mendukung implementasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
secara terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan (Indonesian Journal of Coastal And Marine Resources), 1(2):61-77.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Davis, J.C. 1975. Minimal disolved oxygen requirement of aquatic life with emphisis on Canadian Species. Journal
of the Fisheries Research Board of Canada, 32(12):2296-2332.
Dishidros. 2010. Daftar pasang surut Kepulauan Indonesia. Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL. Jakarta.
Effendi, I. 2004. Pengantar akuakultur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 187 p.
FAO. 1995. Code of conduct for responsible fisheries. FAO. Rome. 41 p.
Fernandes, T.F., A. Eleftheriou, H. Ackefors, M. Eleftheriou, A. Ervik, A. Sanchez-Mata, T. Scanlon, P. White, S.
Cochrane, T.H. Pearson, P.A. Read. 2002. MARAQUA: The management of the environmental impacts of
marine aquaculture. Final Report: European Union FAIR Programme, PL98-4300. Fisheries Research
Services, Aberdeen, Scotland. 70 p. + appendices.
Folk, R.L. 1974. Petrology of sedimentary rocks. Hemphills. Austin. Texas. 170 p.
Folk, R., R. Robles. 1964. Carbonate sands of Isla Perez, Alacran Reef Complex, Yucatan. Journal of Geology,
72:255-292.
Friedman, G.M. 1967. Dynamic processes andstatistical parameters compared for size frequency distributions of
beach and riversands. Journal of Sedimentary Petrology, 37:327-354.
Gao, Y., S.G. Kim, J.Y. Lee. 2011. Effects of pH on fertilization and the hatching rates of far eastern catfish Silurus
asotus. Fisheries and aquatic sciences, 14(4):417-420.
Hardjojo, B., Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan analisis kualitas air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Hidayat, A.M., Soekardi, Ponidi. 1995. Kajian kesesuaian lahan untuk mendukung pembangunan perikanan pantai
dan pertanian di daratan Kasipute-Lainea, Sulawesi Tenggara. Dalam Laporan Akhir Hasil Penelitian Potensi
dan Hasil Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Perikanan Pantai (Tingkat Tinjau Mendalam) Daerah
Kasipute-Lainea, Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan Proyek
Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian Nasional. Jakarta. Hal 96-162.
Idris, I., S.P. Ginting, Budiman. 2007. Membangunkan raksasa ekonomi: sebuah kajian terhadap perundangundangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer. 296 hal.
Ingmanson, D.E., W.J. Wallace. 1985. Oceanography: an introduction. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company.
California. USA.
Ismail, A., Wedjatmiko, Sastrawijaya, S. Sindu. 2001. Kajian teknis pembesaran ikan kerapu sunu dalam keramba
jaring apung di lahan petani. pusat penelitian dan pengembangan eksplorasi laut dan perikanan. Departemen
Perikanan dan Kelautan Bekerjasama dengan Japan International Cooporation Agency. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 tentang baku mutu air laut
untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Kinne, O. 1972. Marine ecology: environmental factors v.1. John Wiley & Sons Ltd. New York. 544 p.
46
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Kohno, H.M., Duray, J. Juario. 1988. State of grouper Lapu-Lapu culture in the Philippines. SEAFDEC Asian
Aquaculture, 10(2):4-8.
Krisanti, M., Z. Imran. 2006. Daya dukung lingkungan perairan teluk ekas untuk pengembangan kegiatan budidaya
ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Jurnal Pertanian Indonesia, 11(2):15-20.
Laevastu, T., M.L. Hayes. 1981. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books. England. 199 p.
Langkosono, L.F. Wenno. 2003. Distribusi ikan kerapu (serranidae) dan kondisi lingkungan perairan Kecamatan
Tanimbar Utara, Maluku Tenggara. Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis.
Kerapu II 203-212. Jakarta 8-9 Oktober 2002. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian,
BPPT. Jakarta.
Lumb, C.M. 1989. Self-pollution by scottish salmon farms. Marine Pollution Bulletin, 20:375-379.
Mainassy, B., N.V. Huliselan, S.F. Tuhumury, J.J. Wattimury. 2005. Penentuan lokasi pengembangan budidaya
keramba jaring apung (kja) di perairan Teluk Ambon dalam (tad) menggunakan sistem informasi geografis.
Ichthyos, 4(2):69-80.
Mason, C.C., R.L. Folk. 1958. Differentiation ofbeach, dune and aeolian flat environments by size analysis,
Mustang Island, Texas. Journal of Sedimentary Petrology, 28:211-226.
Mayunar, R. Purba, P.T. Imanto. 1995. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan laut. Prosiding temu usaha
pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut. pusat penelitian dan pengembangan
perikanan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Forum Komunikasi Penelitian
dan Pengembangan Agribisnis (FKKPA). Jakarta 12 – 13 April, No. 38: 179 – 187.
Milne, P. H. 1979. Fish and shellfish farming in coastal waters. Fishing News Book Ltd. Farnham Surrey.
Minggawati, I., Lukas. 2012. Water quality research for fish farming keramba in The Kahayan River. Media Sains,
4(1):87-91.
Muir, J.F., J.M. Kapetsky. 1988. Site selection decisions and project cost. The Case of Brackish Water Pond System.
Aquaculture Engineering Technologies for The Future. IChemE Symposium Series No. 111, EFCE
Publication Series No 66, Scotland.
Nybakken, J.W. 1998. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Penerjemah: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen,
M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 p.
Peres, H., A. Oliva-Teles. 1999. Influence of temperature on protein utilization in juvenile european seabass
(Dicentrarchus labrax). Aquaculture, 170:337–348.
Pierre, S., S. Gaillard, N. Prevot-D’alvise, J. Aubert, O. Rostaing-Capaillon, D. Leung-Tack, J.P.Grillasca. 2008.
Grouper aquaculture: Asian success and Mediterranean trials. Aquatic Conservative: Marine Freshwater
Ecosystem, 18:297-308.
Provost, P.G. 1996. The persistence and effects of antibacterial agents in marine fish farm sediments. PhD Tesis.
Napier University. Edinburgh. 313 p.
Purnawan, S., I. Setiawan, Marwantim. 2012. Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 1(1):31-36.
Radiarta, I.N., A. Saputra, B. Priono. 2004. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut di
Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(5):19-32.
Radiarta, I.N., A. Saputra, B. Priono. 2005. Identifikasi kelayakan lahan budidaya ikan dalam keramba jaring apung
dengan apikasi sistem informasi geografis di Teluk Pangpang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 11(5):1-13.
Rahayu, S. 1991. Penelitian kadar oksigen terlarut (DO) dalam air bagi kehidupan ikan. BPPT No. XLV/1991.
Jakarta.
Smith, L.S. 1982. Introduction to fish physiology. T.F.H. Publications. 352 p.
Stewart. 2006. The oceans, their physics, chemistry, and general biology. Prentice-Hall. New York.
Sudjiharno, T. Winanto. 1998. Pemilihan lokasi pembenihan ikan kerapu macan dalam pembenihan ikan kerapu
macan (E. Fuscoguttatus). Hal 13-19. Deptan. Ditjen. Perikanan Balai Budidaya Laut Lampung.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran kerapu dalam keramba jaring apung. Penebar Swadaya. Jakarta. 65 p.
Tookwinas, S. 1989. Review of knowledge on grouper aquaculture in South East Asia. Advance in Tropical
Aquaculture, 9:429-435.
47
Depik, 4(1): 40-48
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Tucker, J.W. 1999. Species profile grouper aquaculture. Southern Regional Aquaculture Center. SRAC Publication
No. 721.
Yamamoto, K. 2006. Asia Pacific Marine Finfish Aquaculture Network (APMFAN) and the efforts towards
sustainable grouper aquaculture in the region. Paper presented at the NACA/FAO Regional Workshop "The
Future of Mariculture: A regional approach for responsible development of marine farming in the Asia-pacific
region”. China.
Zweig, R.D., J.D. Morton, M.M. Stewart. 1999. Source water quality for aquaculture: a guide for assessment. World
Bank, Washington, DC, US.
48
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi
asam amino, asam lemak, kolesterol dan mineral
Amino acids, fatty acids, cholesterol andmineral composition on eel (Monopterus
albus) due to deep frying
Ika Astiana*, Nurjanah, Ruddy Suwandi, Anggraeni Ashory Suryani, Taufik Hidayat
Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jl.
Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor 16680. *Email Korespondensi:
[email protected], [email protected] telp: 087731326152.
Abstract. The nutrition contains on eel flash aremainly amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineral. The chemical content of
foods are change during frying process. The aim of this research was to studythe rendemen, proximate composition (moisture, ashes,
protein, and fat content), and analyzing the influence of deep fryingon amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineralof eel. The
research measures were eel morfometric which includes length, diameter, circumference, total weight, yield, proximat,
amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineral analysis on fresh eel and after frying in 180 oC temperature for 5
minutes.Rendemen of fried eel reducedabout 26%. The increasing of proximate levels were found on ashes by 2.56% and fat by
14.47% while water, protein, and carbohydrate were decreased about 55.43%, 2.84%, and 14.19% respectively. All of the eel
amino acids were decrease after deep frying. The highest non essensial amino acid on fresh and fried eel were glutamic acids by 12,89
g/100g and 9,06 g/100g respectively, and essensial amino acid were lisin by 7,13 g/100g and 4,91 g/100g respectively. Limit
amino acid on fresh and fried eel were histidine by 1,54 g/100g and 1,18 g/100g respectively.Deep frying could increase palmitic
acid by 17.37%, oleic acid by 24.31%,and EPA by 1.42%. Cholesterol content average of fresh eel was 30.15 mg /100 grams
and fried eel was 170.44 mg /100 grams. Calcium, natrium, kalium, magnesium, iron, and zinc are decrease and the copper
wereincrease.
Keywords : composition; eel; heating; nutrition; processing
Abstrak. Kandungan gizi dalam daging belut sawah diantaranya adalah asam amino, asam lemak, kolesterol, dan
mineral. Proses penggorengan dapat mempengaruhi kandungan kimia suatu bahan pangan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari rendemen, komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) serta menganalisis
pengaruh penggorengan terhadap kandungan asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral belut sawah.
Penelitian mencakup pengukuran morfometrik belut sawah segar yang meliputi panjang, diameter, lingkar badan,
dan berat total, pengukuran rendemen, analisis proksimat, analisis asam amino, asam lemak, kolesterol, dan
analisis mineral pada belut sawah segar dan setelah penggorengan dengan suhu 180 oC selama 5 menit.Rendemen
belut goreng mengalami susut sebesar 26%. Perubahan kadar proksimat adalah peningkatan kadar abu sebesar
2,56% dan peningkatan kadar lemak sebesar 14,47%. Penurunan terjadi pada kadar air yaitu sebesar 55,43%,
protein sebesar 2,84%, dan karbohidrat sebesar 14,19%. Keseluruhan kandungan asam amino belut mengalami
penurunan setelah penggorengan. Asam amino non esensial tertinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah
asam glutamat yaitu 12,89 g/100g dan 9,06 g/100g, sedangkan asam amino esensial yang tertinggi adalah lisin
yaitu 7,13 g/100g dan 4,91 g/100g. Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin
yaitu 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Proses penggorengan dapat meningkatkan kandungan asam palmitat sebesar
17,37%, asam oleat sebesar 24,31%, dan EPA sebesar 1,42%. Kandungan kolesterol rata-rata belut segar adalah
30,15 mg/100 gram dan belut goreng adalah 170,44 mg/100 gram.Mineral kalsium, natrium, kalium,
magnesium, besi, dan seng juga mengalami penurunan sedangkan tembaga mengalami kenaikan.
Kata kunci :belut sawah; komposisi; gizi; pemanasan; pengolahan
Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya era globalisasi aktivitas dan tuntutan hidup semakin tinggi, tentunya
tubuh memerlukan energi yang cukup. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat-zat gizi yang
merupakan sumber utama yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Belut sawah merupakan salah satu sumber
energi hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat.
Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 volume ekspor belut mencapai
2.676 ton meningkat dibandingkan tahun 2007 yang hanya 2.189 ton. Tahun 2009 ekspor belut terus meningkat
49
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
menjadi 4.744 ton atau meningkat 77,2% dibandingkan tahun 2008. Permintaan belut tidak hanya datang dari
luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan
Yogjakarta yang membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI, 2010).
Kelebihan ikan sebagai sumber energi yaitu memiliki struktur protein yang lebih mudah dicerna oleh
tubuh dibandingkan dengan protein dari hewan terestrial. Protein memiliki fungsi sebagai bahan pembangun dan
membantu pertumbuhan sel-sel tubuh. Protein tersusun atas dua puluh monomer-monomer asam amino yang
berbeda. Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut
(Winarno, 2008). Ikan juga memiliki kandungan omega-3 yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Ikan kaya akan
EPA dan DHA yang dapat mereduksi timbulnya resiko aterosklerosis, jantung koroner dan memiliki pengaruh
anti-inflamatori (De Castro et al., 2007).
Bahan pangan kususnya biota perairan semenjak penanganan awal, pengolahan, penyimpanan, dan
akhirnya sampai pada konsumen sering terjadi kerusakan nilai gizi. Cara pengolahan bahan makanan dapat
berperan dalam penentuan nilai gizi suatu makanan. Teknik pengolahan yang biasanya dilakukan pada belut
adalah penggorengan. Makanan yang digoreng memiliki sifat sensorik yang unik yang membuatnya menarik bagi
konsumen, namun penggunaan minyak yang berulang akan berdampak pada nilai gizi. Selama proses
penggorengan, minyak dipanaskan pada suhu berkisar antara 170-200 °C (Ghidurus et al., 2000).
Beberapa studi menunjukkan proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar
air, protein, lemak, dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Selama proses penggorengan, uap air dan beberapa
zat volatil dilepaskan dari makanan dan sisanya tetap berada dalam minyak melalui reaksi kimia yang kemudian
diserap dalam makanan yang digoreng (Ghidurus et al., 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh penggorengan terhadap komposisi gizi dari belut sawah (Monopterus albus) untuk memberikan
informasi seberapa jauh proses penggorengan akan merubah komposisi gizi dari bahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rendemen dan komposisi proksimat (air, abu, protein, dan
lemak) daging belut segar dan setelah proses penggorengan juga menganalisis pengaruh penggorengan terhadap
kandungan asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral belut sawah.
Bahan dan Metode
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian yaitu belut sawah (Monopterus albus) yang berasal dari kolam
budidaya Desa Cipambuan Kabupaten Bogor. Bahan pembantu yang digunakan adalahminyak goreng kelapa
sawit, akuades, HCl 0,1 N, NaOH 40 %, katalis selenium, H2SO4, H3BO3 2%, pelarut heksana, bromcresol green
0,1%, methyl red 0,1%, NaOH 0,5 N dalam metanol, BF3, NaCl jenuh, n-heksana, Na2SO4 anhidrat, etanol,
petroleum benzen, alkohol, acetic anhidrid, HNO3, HClO4, natrium hidroksida, 2-merkaptoetanol, larutan standar
asam amino 0,5 mikromol/ml, Na EDTA, methanol, Na-asetat, tetrahidrofuran (THF) dan larutan
ortoftalaldehid.
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu oven, desikator, tanur, deep fryer, bulb, pipet, tabung reaksi,
erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung soxhlet, labu lemak, kertas saring, kapas bebas lemak homogenizer,
evaporator, corong pisah, botol vial (metilasi), vortex, perangkat kromatografi gas SupelcoTM 37 Component
FAME Mix, hight performace liquid chromatrografi (HPLC) Shimadzu model LC-6A dan AAS.
Penelitian diawali dengan pengumpulan data-data berupa asal, ukuran belut, dan pengukuran rendemen
tubuh (daging, kepala, tulang, kulit, dan jeroan). Pengumpulan data berupa asal, ukuran, dan pengukuran
rendemen belut dilakukan pada kondisi segar. Analisis proksimat, asam amino, asam lemak, kolesterol, dan
mineral dilakukan pada kondisi segar dan setelah penggorengan.
Penelitian dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu belut segar dan belut goreng. Belut yang akan digoreng
dimasukkan ke dalam panci deep frying yang telah berisi minyak sebanyak 4 L dan telah dipanaskan pada suhu
180°C. Belut digoreng selama 5 menit, kemudian belut didinginkan pada suhu ruang. Sebelum dan sesudah
proses penggorengan dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat belut.
Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC.Preparasi sampel, yaitu tahap pembuatan
hidrolisat protein, sampel ditimbang, sebanyak 0,1 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur
ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24
jam.Sampel disaring dengan kertas saring milipore kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi sebanyak 30
mikroliter ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium asetat
dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4.selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml
asetonitrit 60 % atau buffer natrium asetat 1M, lalu dibiarkan selama20 menit. Hasil saringan diambil sebanyak 40
mikroliter untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.
50
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Metode asam lemak dilakukan dengan tiga tahap yaitu ekstraksi, metilasi, dan identifikasi. Tahap ekstraksi
dilakukan dengan metode soxhlet dan ditimbang sebanyak 0,02-0,03 gram lemak dalam bentuk minyak. Metilasi
dilakukan dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan menambahkan 1 ml NaOH 0,5 N ke dalam
metanol dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 20 menit. BF3 20% sebanyak 2 ml ditambahkan dan dipanaskan
pada suhu 80 °C selama 20 menit. Tahap selanjutnya, 2 ml NaCl jenuh dan 1 ml isooktan ditambahkan pada
sampel, dihomogenkan, lalu dipipet lapisan isooktan ke dalam tabung reaksi yang berisi 0,1 gram Na2SO4
anhidrat dan dibiarkan 15 menit. Larutan disaring dengan mikrofilter untuk memisahkan fase cairnya sebelum
diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya
sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas untuk dilakukan identifikasi.
Analisis kadar kolesterol dilakukan dengan menggunakan metode Liebermann - Buchard Colour Reaction.
Sampel ditimbang sebanyak ± 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, ditambah dengan 8 ml
larutan etanol dan petroleum benzen dengan perbandingan 3 : 1, kemudian diaduk sampai homogen. Pengaduk
dibilas dengan 2 ml larutan etanol : petroleum benzen (3 : 1) kemudian disentrifuge selama 10 menit (3.000 rpm).
Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100 ml dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan
kloroform (sedikit demi sedikit), sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml). Residu
kemudian ditambahkan 2 ml acetic anhidrid dan 0,2 ml H2SO4 pekat atau 2 tetes. Larutan divortex dan dibiarkan di
tempat gelap selama 15 menit, selanjutnya dibaca absorbansi pada spektrofotometri dengan panjang gelombang
(λ) 420 nm dan standar yang digunakan 0,4 mg/ml.
Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Proses pengabuan
basah dilakukan dengan sampel ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Ke
dalam labu ditambahkan 5 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas hotplate selama ± 4
jam dan ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, campuran (HClO4 dan HNO3) sebanyak 3 tetes, 2 ml akuades dan 0,6
ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok
standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades sampai konsentrasinya berada
dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam atomic absorption
spectrophotometer (AAS).
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran, belut sawah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang rata-rata
42,63±2,03 cm, diameter rata-rata 1,05±0,13 cm, lingkar badan rata-rata 5,07±0,37 cm dan berat rata-rata
62,33±8,01 g. Perbedaan ukuran dan bobot dari belut dipengaruhi oleh pertumbuhan.Menurut Metusalach
(2007), pertumbuhan suatu biota dipengararuhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah habitat,
musim, suhu perairan, jenis makanan yang tersedia, dan faktor lingkungan lainnya sedangkan faktor internal
adalah umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan, dan faktor biologis lainnya.
Rendemen
Perhitungan rendemen didasarkan pada persentase perbandingan bobot contoh dengan bobot total.Belut
yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan yang diberikan yaitu
belut segar dan belut goreng. Rendemen belut terdiri atas rendemen daging, kepala, jeroan, kulit, dan tulang
(Tabel 1).
Komposisi rendemen daging yang besar menunjukkan bahwa belut merupakan salah satu bahan baku yang
menjanjikan untuk diolah lebih lanjut. Daging belut yang telah dipreparasi kemudian digoreng. Perlakuan
penggorengan menyebabkan terjadinya penyusutan atau kehilangan berat (lost) sebesar 26 %. Penyusutan ini
terjadi karena kandungan air menguap dari bahan dan digantikan oleh minyak (Gokoglu et al., 2004). Kadar air
yang berkurang selama proses penggorengan mengakibatkan berkurangnya komponen zat gizi lain yaitu protein,
lemak, vitamin dan mineral.
Tabel 1. Rendemen belut sawah segar
No.
Parameter
Satuan
Nilai
1.
Badan
%
55,09
2.
Kepala
%
10,12
3.
Jeroan
%
9,69
4.
Kulit
%
10,39
5.
Tulang
%
14,72
51
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Komponen gizi
Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Analisis yang dapat digunakan
untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan baku yaitu menggunakan analisis proksimat (Tabel 2).
Komposisi kimia yang paling banyak terdapat pada belut adalah protein. Belut segar memiliki kandungan air yang
tinggi sedangkan kadar abu dan lemak rendah. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan
dan proses pengabuannya (Jacoeb et al., 2008). Proses penggorengan dapat mengubah komposisi kimia bahan
makanan seperti pada belut. Proses penggorengan pada belut menaikkan komposisi kimia berupa abu dan lemak
sedangkan air, protein, dan karbohidrat mengalami penurunan. Perhitungan karbohidrat pada daging belut segar
dan goreng dilakukan dengan metode by difference.
Tabel 2 Komposisi kimia daging belut sawah segar dan goreng
Segar (%)
Goreng (%)
Komposisi
kimia (%)
Basis basah
Basis kering
Basis basah
Basis kering
Kadar air
78,90
0
23,47
0
Kadar abu
0,33
1,56
3,15
4,12
Kadar protein
15,90
75,32
55,47
72,48
Kadar lemak
0,12
0,58
11,52
15,05
Kadar karbohidrat
4,75
22,54
6,39
8,35
Asam amino
Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida (Sitompul,
2004). Kualitas suatu protein dapat dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang menyusun protein tersebut.
Hasil analisis asam amino belut sawah segar dan goreng didapatkan 15 asam amino yang terdiri dari 9 asam
amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah
histidin, threonin, tirosin, methionin, valin, fenilalanin, I-leucin, leucin, dan lisin. Asam amino nonesensial belut
sawah adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, dan alanin. Asam amino esensial dan nonesensial
belut sawah segar lebih tinggi dibandingkan belut sawah setelah proses penggorengan (Tabel 3). Asam amino
non esensial tertinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah asam glutamat yaitu 12,89 g/100g dan
9,06 g/100g, sedangkan asam amino esensial yang tertinggi adalah lisin yaitu 7,13 g/100g dan 4,91 g/100g. Asam
glutamat merupakan salah satu sumber rasa umami (gurih) yang dominan pada bahan pangan, yang merupakan
rasa dasar kelima disamping rasa manis, asin, asam dan pahit (Suryaningrum et al. 2010). Asam amino pembatas
pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin yaitu 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Kandungan asam amino
pada masing-masing spesies memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan kandungan asam amino ini juga
dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay, 2005).
Proses penggorengan dengan suhu 180 oC dapat merusak asam amino yang terkandung dalam bahan
pangan. Kandungan asam amino yang hilang pada belut sawah setelah penggorengan bervariasi antara 22-48%
dari berat awal asam amino pada belut sawah segar, hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan masing-masing asam
amino terhadap suhu tinggi. Penelitian Ito et al. (2009) menyatakan bahwa asam amino akan mengalami
kerusakan apabila dipanaskan lebih dari 100 oC, akan tetapi bila dipanaskan dalam larutan alkali, maka kestabilan
asam amino dapat dinaikkan sampai suhu 200 oC. Kandungan asam amino di dalam belut sawah yang digoreng
sebagian diubah menjadi pigmen melanoid, sehingga jumlahnya di dalam bahan pangan menjadi berkurang. Jenis
asam amino yang paling banyak berkurang setelah penggorengan adalah asam glutamat dan lisin. Asam amino
yang paling berperan dalam pembentukan reaksi Maillard adalah lisin dan asam glutamat, dikarenakan asam
amino ini merupakan asam amino yang paling reaktif dan merupakan gugus amino bebas (deMan, 1997).
Tabel 3 Komposisi asam amino belut sawah dalam basis kering
Jenis
asam
Hasil (g/100g)
amino
Belut sawah segar
Belut sawah goreng Kehilangan asam amino
Asam aspartat
7,39
5,39
2,00
Asam glutamat
12,89
9,06
3,83
Serin
3,22
2,34
0,88
Histidin*
1,54
1,18
0,36
Glisin
3,90
2,43
1,47
52
Kebutuhan perhari**
~
~
~
1,9
~
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Treonin*
3,12
2,35
Arginin
5,02
3,53
Alanin
4,82
3,29
Tirosin*
2,55
1,90
Methionin*
2,22
1,62
Valin*
3,34
2,29
Fenilalanin*
3,88
2,01
I-leusin*
3,27
2,28
Leusin*
5,99
4,12
Lisin*
7,13
4,91
Keterangan: *asam amino esensial
** FAO/WHO (1985) diacu dalam Almatsier (2006)
0,77
1,49
1,53
0,65
0,60
1,05
1,87
0,99
1,87
2,22
2,8
~
~
2,2
2,2
2,5
2,2
2,8
4,4
4,4
Asam lemak
Nilai asam lemak yang terdapat pada daging belut segar dan goreng didapatkan dengan cara
membandingkan retention time standar asam lemak dengan retention time sampel yang diuji. Kandungan asam lemak
jenuh pada belut segar adalah 25,2% dan belut goreng adalah 35,53%. Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal
pada belut segar adalah 14,7% dan belut goreng adalah 36,51%. Kandungan asam lemak tak jenuh jamak pada
belut segar adalah 12,40% dan belut goreng adalah 12,88% (Tabel 4). Variasi asam lemak pada organisme
perairan dapat dipengaruhi oleh pergantian musim, letak geografis, salinitas lingkungan (Ozyurt et al., 2006), dan
perlakuan yaitu hidup bebas di alam atau dibudidayakan (Kandemir dan Polat, 2007).
Tabel 4 Kandungan asam lemak pada belut sawah (Monopterus albus)
Belut Segar
Belut Goreng
Minyak Kelapa
Asam Lemak
(% w/w)
(% w/w)
Sawit*
Asam lemak jenuh
Capric (C10:0)
0,02
0,02
Undecanoic (C11:0)
0,02
Lauric (C12:0)
1,93
0,17
Tridecanoic (C13:0)
0,53
Myristic (C14:0)
2,24
0,94
0,88
Pentadecanoic (C15:0)
0,72
0,06
Palmitic (C16:0)
12,83
29,90
42,6
Heptadecanoic (C17:0)
0,85
0,13
Stearic (C18:0)
5,13
3,82
8,13
Arachidic (C20:0)
0,28
0,32
0,29
Heneicosanoic (C21:0)
0,07
Behenic (C22:0)
0,26
0,06
Tricosanoic (C23:0)
0,10
Lignoceric (C24:0)
0,22
0,11
Asam lemak tak jenuh tunggal
Myristoleic (C14:1)
0,04
Palmitoleic (C16:1)
1,88
0,33
Cis-10-Heptadecanoic (C17:1)
0,40
0,06
Elaidic (C18:1n9t)
0,18
0,08
Oleic (C18:1n9c)
11,54
35,85
30,91
Cis-11-Eicosenoic (C20:1)
0,54
0,19
0,35
Nervonic (C24:1)
0,12
Asam lemak tak jenuh jamak
Linoleic (C18:2n6c)
4,22
10,45
9,23
g-Linoleic (C18:3n6)
0,19
Linolenic (C18:3n3)
1,13
0,28
Cis-11,14-Eicosedienoic (C20:2)
0,74
0,13
0,26
Eicosentrienoic (C20:3n6)
0,72
0,04
53
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Eicosentrienoic (C20:3n3)
Arachidonic (C20:4n6)
Docosadienoic (C22:2)
EPA (C20:5n3)
DHA (C22:6n3)
Keterangan : *Abiona et al. (2011)
0,58
2,14
0,07
0,29
2,32
0,04
0,18
0,02
1,42
0,32
-
Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya.
Penggorengan dapat meningkatkan ataupun menurunkan kandungan asam lemak jenuh pada belut. Kandungan
asam lemak jenuh yang paling tinggi pada belut segar dan goreng adalah asam palmitat dengan nilai masingmasing adalah 12,83%dan 29,90%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al. (1994)
yang menyatakan bahwa asam palmitat merupakan asam lemak jenuh paling banyak pada belut segar. Asam
palmitat juga merupakan komponen utama dalam asam lemak jenuh yaitu 53-65% dari total asam lemak jenuh
(Ozugul dan Ozugul 2007). Kandungan asam lemak palmitat yang meningkat setelah proses penggorengan dapat
disebabkan oleh tercampurnya asam palmitat yang berasal dari minyak. Kandungan asam palmitat pada minyak
kelapa sawit sekitar 42,6% (Abiona et al., 2011). Kandungan asam palmitat yang meningkat sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Alireza et al. (2010) yaitu asam palmitat pada minyak dapat meningkatkan setelah
proses deep fat frying.
Kandungan asam stearat dan miristat mengalami penurunan setelah proses penggorengan. Proses
penggorengan akan menghasilkan senyawa-senyawa karbonil, hal ini didukung oleh penelitian Gladyshev et al.
(2006) tentang pengaruh pengolahan terhadap kandungan asam lemakjenuh ikan salmon (Oncorhynchus gorbuscha)
yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa karbonil yang terbentuk selama pengolahan berasal dari pembentukan
produk-produk lipida yang teroksidasi.
Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal yang paling tinggi pada belut segar dan goreng adalah asam oleat
dengan nilai masing-masing 11,54% dan 35,85%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman
et al. (1994) yang menyatakan bahwa asam oleat merupakan asam lemak tak jenuh paling banyak pada belut
segar. Asam oleat merupakan asam lemak paling banyak dalam asam lemak jenuh tunggal yaitu 52-79% dari total
asam lemak tak jenuh tunggal (Ozugul dan Ozugul, 2007).
Kandungan asam lemak oleat dan linoleat yang meningkat setelah proses penggorengan dapat disebabkan
oleh tercampurnya asam oleat dan linoleat yang berasal dari minyak. Kandungan asam oleat pada minyak kelapa
sawit sekitar 30,91% dan asam linoleat sebesar 9,23%. Kadar asam lemak oleat dan linoleat dapat meningkat
selama proses penggorengan (Abiona et al., 2011).
Kandungan asam arakidonat mengalami penurunan setelah proses penggorengan yang disebabkan oleh
dekomposisi oksidatif pada asam lemak tidak jenuh selama proses pemanasan pada suhu tinggi karena ikatan
rangkapnya lebih mudah diserang oleh oksigen. Asam arakidonat adalah prekursor prostaglandin dan
thromboxan yang akan mempengaruhi proses pembekuan darah dan membawa ke jaringan endotel selama
penyembuhan luka. Asam arakidonat juga memainkan peran dalam pertumbuhan (Rahmat et al., 1994).
Asam lemak linolenat merupakan prekursor asam lemak omega-3 yang dijumpai dalam tubuh manusia
yaitu EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid). Menurut Ozugul dan Ozugul (2007) keragaman
komposisi asam lemak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, ketersediaan pakan, umur, habitat
dan ukuran. Kandungan DHA yang lebih tinggi pada belut yang diuji sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Razak et al. (2001) yaitu kandungan minyak dari belut memiliki kandungan DHA yang lebih tinggi daripada EPA.
EPA merupakan turunan oksidatif dari asam arakidonat. Asam lemak esensial seperti DHA (docosahexaenoic
acid) sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen, hal inilah yang menyebabkan kandungan DHA pada belut
mengalami penurunan. Hasil ini didukung oleh penelitian Arias et al. (2003) tentang pengaruh metode
pengolahan yang berbeda terhadap komposisi kimia dan kandungan asam lemak Sardine pilchardus yang
menyatakan bahwa kandungan DHA mengalami penurunan setelah dilakukan pengolahan dengan panas. Ozugul
et al. (2006) menyatakan bahwa DHA sangat penting bagi perkembangan otak dan mata juga dalam mencegah
penyakit kardiovaskular.
Kolesterol
Kolesterol merupakan substrat yang tidak larut air untuk pembentukan beberapa zat esensial, yaitu sintesa
asam empedu yang penting untuk penyerapan lemak serta hormon seperti testosteron, estrogen,
dihydroepidanrosterone, progesteron dan kortisol. Analisis kandungan kolesterol dilakukan untuk mengetahui
kandungan kolesterol pada belut (Gambar 1). Kandungan kolesterol rata-rata belut segar adalah 30,15 mg/100
gram dan belut goreng adalah 170,44 mg/100 gram. Volume minyak yang masuk selama proses penggorengan
54
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
kedalam 100 gram bahan adalah 24 ml yang didapatkan dari selisih volume minyak sebelum dan setelah
penggorengan. Kandungan lemak yang bertambah pada bahan pangan dapat menyebabkan meningkatnya
kandungan kolesterol pada bahan tersebut. Abiona et al. (2011) menyatakan kandungan asam lemak jenuh pada
minyak kelapa dapat meningkatkan kandungan kolesterol pada bahan yang digoreng. Kandungan asam lemak
jenuh pada minyak kelapa sebesar 59,24%. Sampaio et al. (2006) menyatakan bahwa variasi kolesterol
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, ketersediaan makanan, umur, seks, suhu air, lokasi geografis,
dan musim.
222,71
250
200
170,44
142,89
150
%
100
50
30,15
0
segar
goreng
Gambar 1. Kandungankolesterol belut sawah dalam mg/100 gram: ( ) basis basah; ( ) basis kering
Mineral
Kandungan mineral di dalam setiap bahan makanan berbeda-beda bergantung kepada jenis dan kondisi
hidupnya. Kandungan mineral makro yang paling tinggi pada belut sawah segar dan goreng yaitu masing-masing
8.049,45 mg/kg dan 5.025,08 mg/kg. Kandungan kalium yang tinggi pada belut dapat mencegah hipokalemia.
Hipokalemia adalah gejala kekurangan kalium pada tubuh yang ditandai badan yang lemah, kelelahan otot, tidak
nafsu makan, dan muntah (Widjajanti dan Agustini, 2005).
Kandungan mineral belut sawah setelah dilakukan proses penggorengan akan berubah (Tabel 5). Ada
mineral yang berkurang setelah penggorengan dan ada pula yang mengalami peningkatan. Mineral yang
mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium (Ca) 95,98 mg/kg, magnesium (Mg) 65,70
mg/kg, natrium (Na) 2.397,73 mg/kg, kalium (K) 3.024,37 mg/kg, seng (Zn) 18,37 mg/kg, dan besi (Fe) 36,92
mg/kg. Mineral yang mengalami peningkatan adalah tembaga yaitu sebesar 0,38 mg/kg. Natrium dan kalium
terdapat pada cairan sel. Jika cairan di dalam daging hilang maka unsur tersebut juga akan berkurang (deMan
1997). Mineral besi bersifat kurang stabil, dan mudah berubah menjadi ferro dan ferri (Arifin, 2008). Mineral
seng juga mengalami penurunan kandungan setelah proses penggorengan, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu
tinggi bila dibandingkan mineral lain, hal ini dimungkinkan karena seng lebih stabil terhadap panas dibandingkan
mineral lain.
Mineral
Ca
Mg
Na
K
Zn
Fe
Cu
Tabel 5 Kandungan mineral belut sawah segar dan goreng basis kering.
Hasil (mg/kg)
Daging belut sawah segar Daging belut sawah goreng
Kehilangan mineral
542,25
446,28
95,98
148,27
82,57
65,70
2745,69
347,96
2397,73
8049,45
5025,08
3024,37
99,79
81,41
18,37
75,09
38,17
36,92
1,92
2,30
+0,38
Kesimpulan
Penggorengan memberikan pengaruh terhadap komposisi asam amino, asam lemak, kolesterol, dan
mineral belut sawah (Monopterus albus).Proses penggorengan merubah bobot dan komposisi gizi belut sawah.
55
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Komposisi gizi yang mengalami penurunan jumlah didalam daging belut sawah setelah penggorengan adalah
kadar air, kadar protein, dan karbohidrat sedangkan komposisi gizi yang mengalami kenaikan setelah
penggorengan adalah kadar lemak dan kadar abu. Komposisi asam amino pada belut goreng secara keseluruhan
mengalami penurunan. Komposisi asam lemak dan kolesterol pada belut goreng secara keseluruhan mengalami
peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium, magnesium,
natrium, kalium, seng, dan besi. Mineral tembaga pada belut sawah goreng mengalami kenaikan.
Daftar Pustaka
Abiona, O.O., S.H. Awojide, A.J. Anifowoshe, O.B. Babalola. 2011. Comparative study on effect of frying
process on the fatty acid profile of vegetable oil and palm oil. E-International Scientific Research Journal,
3(3):210-219.
Alireza, S., C.P. Tan, M. Hamed, C.Y.B. Man. 2010. Effect of frying process on fatty acid composition and
iodine value of selected vegetable oils and their blends. International Food Researh Journal, 17:295-302.
Almatsier, S. 2006. Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arias, M.T., E. Pontes, G. Linares. 2003. Cooking-freezing-reheating (CFR) of sardine (Sardine pilchardus) fillets,
effect of different cooking dan reheating procedures on the proximate dan fatty acid composition. Food
Chem, 83:349-356.
Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal
Litbang Pertanian, 27(3):99-105.
De Castro, F.A., H.M. Sant’Ana, F.M. Campos, N.M. Costa, M.T. Silva, A.L. Salaro, S.C. Franceschini. 2007.
Fattyacid composition of three freshwater fishes under different storage and cooking processes. Food
Chemistry. 103:1080-1090.
deMan, J.M. 1997. Kimia makanan. Penerjemah: Kosasih P. 550 hal. ITB. Bandung.
Ghidurus, M., M. Turtor, G. Boskou, P. Niculita, V. Stan. 2000. Nutritional and health aspects related to frying
(I). Romanian Biotecnological Letters, 15(6):5675-5683.
Gladyshev, M., N.N. Sushchik, G.A. Gubanenko, S.M. Demirchieva, G.S. Kalachova. 2006. Effect of way of
cooking on content of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of humpback salmon
(Oncorhynchus gorbuscha). Food Chemistry, 96:446-451.
Gokoglu, N., P. Yerlikaya, E. Cengiz. 2004. Effect of cooking methods on the proximate composition and
mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Food Chemistry, 84: 19-22.
Ito, M., K. Yamaoka, H. Masuda, H. Kawahata, L. Gupta. 2009. Thermal stability of amino acid in biogenic
sediments and aqueous solutions at seafloor hydrothermal temperatures. Geochemical Journal, 43:331341.
Jacoeb, A.M., M. Hamdani, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan vitamin daging udang ronggeng
(Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, 11 (2): 76-89.
Kandemir, S., N. Polat. 2007 Seasonal variation of total lipid and total fatty acid in muscle and liver of rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss W 1792) reared in derbent dam lake. Tukish Journal of Fisheries and Aquatic
Science, 7:27-31.
Litaay, M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana, 3:1-7.
Metusalach. 2007. Pengaruh fase bulan dan ukuran tubuh terhadap rendemen, kadar protein, air dan abu daging
kepiting rajungan, Portunus spp. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, 17(3):233239.
Ozugul, Y., F. Ozugul, S. Alagoz. 2006. Fatty acid profiles and fat contents of commercially important seawater
and freshwater fish spesies of Tukey: a comparative study. Food Chemistry, 103:217-223.
Ozugul, Y., F.Ozugul. 2007. Fatty acid profiles of commercially important fish species from the mediterranean,
agean dan black seas. Food Chemistry, 100 (4):1634-1638.
Ozyurt, G., O. Duysak, E. Akamca, C. Tureli. 2006. Seasonal changes of fatty acids of cuttlefish Sepia officinalis L.
(mollusca: cephalopoda) in the north eastern mediterranean sea. Food Chemistry, 95(3):382-385.
Rahman, S.A., T.S. Huah, O. Hassan, N.M. Daud. 1994. Fatty acid composition of some malaysian fresh water
fish. Food Chemistry, 54:45-49.
Razak, Z.K.A., M. Basri, K. Dzulkefly, C.N.A. Razak, A.B. Salleh. 2001. Extration and characterization of fish oil
from Monopterus albus. Malaysian Journal of Analytical Sciences, 7(1):217-220.
Sampaio, G.R., D.H.M. Bastos, R.A.M. Sares, Y.S. Queiroz, E.A.F.S. Torres. 2006. Fatty acid dan cholesterol
oxidation in salted dan dried shrimp. Food Chemistry, 95(2):344-351.
56
Depik, 4(1): 49-57
April 2015
ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian, 9(1):33-37.
Suryaningrum, T.D., I. Muljanah, E. Tahapari. 2010. Profil sensori dan nilai gizi beberapa jenis ikan patin dan
hybrid nasutus. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 5(2):153-164.
Widjajanti, A., S.M. Agustini. 2005. Hipokalemik periodik paralisis. Indonesian Journal of Critical Pathology and
Medical Laboratory, 12(1):19-22.
Winarno, F.G. 2008. Kimia pangan dan gizi. 297 hal. Mbrio Press. Bogor.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan sidat permintaannya semakin meningkat. Edisi April Vol. 80. Direktorat
Pemasaran Dalam Negeri. Jakarta.
57
Download