BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad pertengahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada abad pertengahan, tepatnya abad ke-14 dan ke-15, Eropa dihebohkan oleh
isu witch-hunt atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt
mengakibatkan banyak orang diadili, disiksa, dieksekusi, bahkan digantung atau
dibakar hidup-hidup di depan umum karena dianggap penyihir. Larner (2000:3)
menyebutkan tiga-perempat dari para korban tersebut adalah perempuan. Pada masa
itu, perempuan hampir menjadi jaminan melakukan praktek sihir. Para perempuan
Eropa, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa, secara selektif telah
ditargetkan untuk menjadi korban kekejaman tersebut. Secara keseluruhan sekitar 7580 persen dari mereka yang dituduh dan dihukum karena sihir di masa awal era Eropa
Modern adalah perempuan. Sekitar 9 juta perempuan dibakar hidup-hidup. Melihat
jumlah ini, dapat dikatakan bahwa perburuan penyihir ini merupakan kasus
pembunuhan massal terbesar berbasis gender.
Di abad pertengahan, konsep orang Eropa dalam memahami perempuan
berangkat dari tradisi teologi tentang Eve dan Lilith. Perempuan dianggap sebagai
perwujudan negatif yang tidak ada habisnya. Secara ontologi, perempuan adalah
sepupu pertama yang muncul dari “kiri” atau sisi buruk manusia (Katz, 1994: 435).
Sebuah buku berjudul Malleus Maleficarum (The Hammer of Witches) yang
diterbitkan oleh Otoritas Inkuisisi Katolik mencatat hal tersebut. Buku ini telah
1
menimbulkan aib pada ribuan perempuan, yang sekaligus menjadi penyulut misogini
gila.
“sebagian dari kejahatan adalah kejahatan perempuan…
perempuan adalah musuh dari persahabatan, hukuman yang tak dapat
terhindari, hasrat akan bencana, bahaya yang sifatnya domestik, kelezatan yang
merugikan, sebuah sifat jahat, yang terbungkus dalam balutan kecantikan….
Pada dasarnya perempuan adalah instrument dari setan—mereka pada dasarnya
adalah cacat struktural yang berakar pada penciptaannya (Katz, 1994: 438–
439).
Menurut Katz (1994: 350) ada beberapa aspek yang membuat perempuan
dituduh sebagai penyihir. Perempuan yang tampaknya paling independen terhadap
norma-norma patriarkal sering dianggap sebagai peyihir. Selain itu, perempuan tua
yang hidup sendiri tanpa anak dan suami, serta banyak meminta dari tetangganya
untuk bertahan hidup, tetapi tidak banyak yang bisa ia tawarkan sebagai imbalannya
adalah golongan yang paling rentan terhadap tuduhan praktik sihir. Perempuan seperti
ini dianggap sebagai beban ekonomi oleh lingkungannya, sehingga dirasa merupakan
lokus dari sifat dengki yang berbahaya dan kekerasan verbal.
Keyakinan bahwa witch adalah perempuan yang memiliki kemampuan magis
dan menggunakannya untuk kejahatan, kemudian diadopsi ke dalam cerita anak-anak
Barat. Cerita anak yang mengangkat penyihir perempuan (witch) sebagai tokoh
antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, Donal Duck, Alice in
Wonderland, dan The Chronicle of Narnia. Dalam dongeng-dongeng anak, seperti
Sleeping Beauty, Snow White, dan Rapunsel, Witch digambarkan bahwa perempuan
2
adalah makhluk yang mengerikan, hidup sendirian di tempat-tempat menyeramkan
dan berusaha merusak kebahagiaan orang lain karena rasa iri dan dengki. Sementara
di cerita Alice in Wonderland dan The Chronicle of Narnia, Witch adalah perempuan
keji yang berusaha menguasai dunia dengan kejahatannya. Deskripsi ini sama persis
dengan apa yang diyakini masyarakat di masa awal Eropa Modern tentang
perempuan. Cerita-cerita ini terus bertahan dari masa ke masa, dibaca oleh generasi
ke generasi, yang tidak diragukan lagi telah membentuk stereotip Witch di
masyarakat.
Di tahun 1997, seorang penulis perempuan asal Inggris memunculkan novel
bertema sihir dengan judul Harry Potter. Dia adalah J.K Rowling. Dia adalah seorang
orang tua tunggal dan sebelum menjadi penulis, dia bekerja di lembaga penelitian
yang berfokus pada hak asasi manusia. Rowling sudah senang menulis cerita-cerita
fantasi sejak kanak-kanak dan mengaku bahwa dia sangat dipengaruhi oleh cerita The
Lion, The Witch, and Wardrobe karya C.S. Lewis. Merujuk pada latar belakangnya
tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian Rowling menulis cerita bertema sihir
yang sarat akan isu persamaan hak.
Setelah berabad-abad lamanya, keyakinan tentang penyihir (witch) itu tumbuh
di masyarakat khususnya di Eropa, J.K Rowling hadir dengan perspektif berbeda
mengenai witch dan witchcraft. Melalui Novel anak fantasi yang ditulisnya, Rowling
merekonstruksi definisi penyihir yang diyakini masyarakat selama ini. Dalam novel
Harry Potter, tidak ada penyihir nenek-nenek berwajah mengerikan yang tinggal di
tempat-tempat menyeramkan dan suka menculik anak-anak. Sebaliknya novel ini
3
diisi dengan tokoh-tokoh yang peduli pada anak-anak, misalnya Profesor Albus
Dumbledore Kepala sekolah Hogwarts yang pembawaannya tenang, kalem, ramah,
lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Rowling menceritakan kehidupan menyenangkan yang penuh hal-hal fantastik
yang dialami anak-anak penyihir di dunia sihir. Di sekolah sihir “Hogwarts”, ada
banyak permainan-permainan luar biasa, seperti : telinga terjulur yang membuat kita
bisa menguping dari kejauhan, makanan-makanan yang sangat ajaib seperti cokelat
kodok yang bisa melompat seperti kodok sungguhan dan lain sebagainya. Kekuatan
sihir yang dimiliki anak-anak dalam novel ini membuat kehidupan di dunia sihir
sangat menyenangkan.
Novel Harry Potter karya J.K. Rowling ini, ingin mengubah persepsi orang
tentang penyihir yang jahat dan menyeramkan. Dia menempatkan Harry Potter yang
berpenampilan layaknya orang biasa sebagai pemeran utama, serta menceritakan
dunia sihir yang penuh dengan suka ria sebagai fantasi cerita. Bersamaan dengan itu,
novel ini juga merombak konstruksi maskulinitas dan femininitas berhubungan
dengan isu witch yang telah menjadi momok bangsa Eropa selama berabad-abad.
Rowling menggambakan witch tidak selamanya perempuan jahat yang diidentikkan
dengan setan. Bangsa Eropa khususnya pada abad pertengahan percaya bahwa
witchcraft adalah simbol dari kelemahan perempuan. Oleh karena mereka lemah,
tetapi ingin memiliki kuasa, maka mereka keluar dari sistem patriarkal dan bersekutu
dengan setan untuk mendapatkan kekuatan. Kondisi ini membuat bangsa Eropa pada
4
umumnya menganggap menjadi witch merupakan perbuatan terhina dan perlu
dimusnahkan.
Posisi perempuan yang dianggap witch diputarbalikkan dan maskulinitas
konvensional dibongkar. Novel Harry Potter tetap menggunakan sebutan witch untuk
penyihir perempuan dan wizard untuk penyihir laki-laki. Namun, tidak seperti yang
lazim terjadi dimana witch diartikan sebagai penyihir perempuan yang jahat dan
wizard penyihir laki-laki yang baik dan bijaksana. Di dunia sihir yang diciptakan J.K.
Rowling, semua penyihir belajar bersama-sama di sekolah sihir Hogwarts. Apapun
yang dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya olahraga,
menjadi auror—semacam polisi yang bertugas menangkap penyalahgunaan sihir
hitam, bahkan bertarung. Setiap anak punya kesempatan untuk belajar di Hogwarts,
selama mereka memiliki bakat sihir, baik itu laki-laki, perempuan, darah murni, darah
campuran, bahkan mugle (orang biasa yang bukan keturunan penyihir).
Tokoh perempuan yang sangat menonjol dan berdampingan dengan Harry
Potter dalam novel ini adalah Hermione Granger. Dia adalah sahabat Harry Potter
yang selalu ada bersama Harry dan memiliki andil yang besar dalam setiap
petualangannya. Namun Rowling tidak mengambil Hermione sebagai tokoh
utamanya. Ia justru menggunakan seorang anak laki-laki yaitu Harry Potter. Namun
begitu, perlu diingat bahwa sosok Harry dalam novel ini bukanlah seperti sosok
maskulin yang umumnya dimunculkan dalam cerita-cerita barat misalnya bertubuh
kekar, jago berkelahi, ganteng, atau kaya. Sebaliknya, Harry adalah gambaran anak
laki-laki yang dalam hirarki maskulinitas barat merupakan laki-laki yang masuk
5
dalam kategori tidak maskulin (wimpy boy). Dia adalah anak laki-laki yatim piatu
dengan penampilan yang selalu berantakan, memakai kacamata bulat yang gagangnya
diselotape, dan tubuh kecilnya tenggelam dalam pakaian lusuh yang kebesaran, serta
sangat sentimental dan emosional. Kemenangannya melawan Voldemort yang jahat
pun kebanyakan adalah keberuntungan sihir yang melindunginya. Sihir menjadi satusatunya harapan Harry untuk bertahan. Sihir ini menjadikan penampilan yang
ditunjukkan Harry tak lagi penting dalam menentukan apakah dia maskulin atau
tidak. Ini mengindikasikan bahwa Rowling ingin melakukan perubahan baik itu pada
konsep maskulinitas maupun witchcraft.
Di satu sisi, witch dan wizard mencoba untuk disatukan untuk memberikan
persepsi bahwa sihir merupakan sesuatu yang dapat diterima. Namun di sisi lain,
tetap saja simbol-simbol yang digunakannya adalah laki-laki. Namun laki-laki yang
digunakan Rowling bukanlah laki-laki seperti yang lazim didefinisikan sebagai
maskulinitas hegemonik konvensional. Untuk itu, penelitian ini mencoba menggali
lebih dalam makna sihir dalam novel Harry Potter dan bagaimana sihir
mengonstruksi maskulinitas dan femininitas, serta citra perempuan tukang sihir
(witch) dalam novel tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Mengingat dalam sejarah, witch mendapat perlakuan yang sangat keji di masa
lalu, serta persepsi buruk itu terus melekat hingga sekarang, pengarang melalui
novelnya Harry Potter jelas ingin mengubah persepsi buruk tersebut. Witch dan
6
wizard disatukan untuk menunjukkan bahwa witch tidak selalu buruk. Witchcraft
yang pada kenyataannya dianggap sebagai simbol lemahnya perempuan, dalam novel
ini dibalik posisinya menjadi simbol kekuatan, tetapi tetap saja simbol-simbol yang
digunakan adalah laki-laki. Namun, laki-laki yang dipakai disini bukanlah laki-laki
yang kekar, kuat, jago berkelahi, seperti kriteria maskulin yang lazim kita temui
melainkan anak laki-laki yang umumnya masuk dalam kelompok wimpy boy yang
sering diejek karena penampilan mereka yang tidak maco, misalnya Harry yang
berkacamata tebal, berantakan, sentimental, dan emosional. Selain untuk mengangkat
posisi sihir, novel ini juga membongkar wacana maskulinitas hegemonik.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan yang menjadi
dasar dari penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana sihir (witchcraft), witch dan wizard
diposisikan dalam novel Harry Potter; 2) Bagaimana konstruksi maskulinitas dan
femininitas terkait isu witch dan wizard dalam novel Harry Potter; dan 3) Bagaimana
pemosisian sentral dan periferi terkait femininitas dan maskulinitas tersebut.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk memperlihatkan makna dari sihir itu
diputarbalikkan untuk mengubah persepsi tentang witchcraft yang diyakini
merupakan simbol bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah. Maka, mereka
bersekutu dengan setan. Penelitian ini juga melihat bagaimana melalui sihir tersebut,
konstruksi maskulinitas dibongkar, serta melakukan pencitraan ulang terhadap
perempuan tukang sihir (witch) dalam novel Harry Potter.
7
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian terhadap novel Harry Potter ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan dalam dunia sastra, akademik, dan
masyarakat secara luas. Diharapkan nantnya hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap dunia akademik yang melihat karya sastra
sebagai produk budaya yang menjadi cerminan serta refleksi masyarakat serta dapat
dijadikan sebagai acuan serta referensi tambahan dalam penelitian selanjutnya. Selain
itu, secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu bukan saja
kalangan pendidik, mahasiswa, tetapi secara keseluruhan pada masyarakat agar dapat
lebih kreatif dalam menciptakan karya sastra sebagai cerminan dan wujud dari
kelompok masyarakat.
1.5
Tinjauan Pustaka
Selama beberapa tahun terakhir, sudah sangat banyak penelitian-penelitian
yang membahas novel Harry Potter kaitannya dengan gender, feminisme, ataupun
unsur-unsur sihir dan magis yang ada di dalamnya. Namun, sampai saat ini penulis
belum menemukan ada penelitian yang mengaitkan antara isu gender dan sihir yang
ada dalam novel ini.
Dalam tesisnya yang mengangkat isu peran gender dalam novel Harry Potter,
Tsatsa (2013) menganalisis bagaimana gender ditampilkan oleh tiga pemeran utama
dalam novel ini yaitu Harry, Ron dan Hermione. Tsatsa mengfokuskan penelitiannya
8
untuk melihat apakah ketiga tokoh tersebut melawan stereotip gender, ataukah
mereka membangun sebuah klise, norma, dan sereotype terkait dengan gender.
Dengan mengacu pada teori gender yang dikemukakan oleh Judith Butler mengenai
gender sebagai sesuatu yang performatif, Tsatsa menemukan bahwa sifat maskulin
dan feminin tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Ketiga tokoh tersebut merupakan
perwakilan performa gender yang berbeda-beda. Harry diperlihatkan sebagai tokoh
yang memiliki karakteristik maskulinitas tradisional, Ron sebagai laki-laki yang
memiliki sisi-sisi feminin dan Hermione adalah perempuan yang memiliki sisi-sisi
maskulin dalam dirinya, tetapi juga tetap sebagai perempuan yang feminin.
Oskarsdottir (2012) membandingkan antara representasi gender yang
dimunculkan dalam novel dan film Harry Potter dan efeknya sebagai agen sosialisasi
gender. Oskarsdottir menemukan bahwa walaupun karakter-karakter perempuan
dalam novel ini tidak sepasif karakter dalam cerita-cerita dongeng barat, tapi laki-laki
tetap memegang posisi yang lebih tinggi dan menguasai. J.K. Rowling gagal
menempatkan tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya sejajar dengan laki-laki.
Dalam filmnya, persamaan posisi perempuan dengan laki-laki digambarkan dengan
lebih baik jika dibandingkan dengan novelnya, khususnya dalam penggambaran
tokoh Hermione.
Menganalisis karakter keluarga Weasley, Dursley, Harry, Hermione, Nevil,
dan Ginny, Oskarsdottir berpendapat bahwa novel Harry Potter memuat opini umum
tentang stereotip gender bahwa jenis kelamin secara alamiah berbeda. Menurutnya,
buku ini akan berperan sebagai agen untuk meneruskan keyakinan tentang perbedaan
9
gender antara feminin dan maskulin, sekaligus mengajarkan anak-anak bagaimana
berperilaku sesuai gendernya.
Turbiville (2005) melakukan sebuah penelitian untuk melihat apakah ada
korelasi antara pencekalan film Bewitch pada era 1960-an dan novel Harry Potter
pada awal kemunculannya di tahun 1999. Hasilnya, terdapat korelasi antara alasan
dicekalnya Bewitch dan Harry Potter, yaitu karena ada unsur witch dan witchcraft
dalam film dan novel tersebut. Buku Harry Potter dianggap membahayakan karena
unsur witch dan witchcraft yang ada di dalamnya.
Milwee (2009) menganalisis apakah Harry Potter adalah novel bertema
keluarga atau rahasia sihir hitam. Ia menemukan bahwa Harry Potter adalah bacaan
yang menarik, tidak seperti yang dikecam para penganut Kristen fanatik. J.K Rowling
berhasil menghadirkan sihir sebagai dunia yang menarik, penuh dengan imajinasi dan
humor. Para penyihir yang mengalami berbagai komplikasi yang hampir sama dengan
manusia pada umumnya memunculkan persepsi tidak ada perbedaan antara penyihir
dan bukan penyihir selain mereka memiliki kemampuan magis namun sama dengan
dunia kita, dunia sihir juga bukan dunia yang sempurna.
Di tahun 2011, Debbie June Rodrigues menulis sebuah tesis yang
menganalisis sihir dan gender dalam novel Harry Potter. Namun, sihir dan gender
dibahas secara terpisah dalam dua kerangka yang berbeda. Hal-hal magis yang terjadi
dalam novel Harry Potter dianalisis dengan teori semiotik, karena dianggap sebagai
simbol dan metafora. Simbol dan metafora ini mewakili fenomena yang terjadi di
masyarakat kita, agar pembaca dapat menyadari fenomena yang ada di sekitar mereka
10
dengan cara yang lebih segar. Sementara fenomena gender dilihat dari sifat para
tokoh dan perubahan yang terjadi pada diri tokoh-tokoh tersebut dari novel seri
pertama sampai ke tujuh. Menurut Rodrigues (2011), J.K. Rowling menunjukkan
bahwa gender adalah proses sosial. Gender bersifat cair dan asumsi gender yang
sudah ada berpotensi untuk ditolak atau diganti dengan perspektif yang baru.
Sebagaimana yang ditunjukkan Wannamaker, kemungkinan mendefinisikan ulang
asumsi gender menjadi lebih inklusif dan kurang memiliki batasan, karena buku-buku
menggambarkan harapan masyarakat melalui tokoh-tokoh yang tidak selalu sesuai
atau dengan jelas masuk ke dalam salah satu kategori-kategori gender tertentu. Sama
hanya seperti Rowling yang menunjukkan bahwa maskulinitas dan femininitas
didefinisikan sebagai konsep yang dapat tumpang tindih dalam diri individu.
Krunoslav (2009) menganalisis relasi gender yang terdapat dalam novel Harry
Potter karya J.K. Rowling dan menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan
ditempatkan dalam posisi yang setara tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan
yang fundamental dari keduanya. Niat Rowling tidak menghapus perbedaan,
sebaliknya dia menempatkan mereka di ujung-ujung lingkaran bayangan, pada
lintasan berjarak sama, sehingga mereka tidak pernah menghapuskan satu sama lain.
Dalam sistem ini, baik androgenisasi karakter perempuan, maupun feminisasi
karakter laki-laki tampaknya diperlukan untuk mencapai saling menghormati dan
kesetaraan dalam tekstur sosial dunia modern.
Ruthann (2003) mengkritik cara J.K. Rowling dalam mengkonstrusi gender,
serta agensi karakter perempuan dengan cara mendekonstruksi representasi dari
11
agensi perempuan dalam teks. Ruthann melihat agensi perempuan dalam novel Harry
Potter dengan menggunakan analisis wacana kritis. Interpretasi agensi perempuan
dalam disertasinya ditekankan pada 5 tema: taat/pelanggar aturan, kecerdasan,
pengesahan/kemungkinan, perempuan tipe pengasuh dan perlawanan yang “tertahan”.
kelima tema ini mengandung unsur oposisi biner, ikatan gender, dan perempuan
sebagai “yang lain/ other”. Dalam disertasinya Ruthann menemukan adanya
konstruksi gender tradisional dalam novel Harry Potter.
Menurut Ruthann (2003), J.K Rowming mengkonstruksi perempuan dan lakilaki dalam sebuah oposisi yang sangat jelas satu sama lain. Petualangan dalam novel
ini menonjolkan karakter laki-laki yang aktif, sementara karakter perempuan yang
pasif hanya sekedar sebagai tubuh di belakang laki-laki yang mendukun aksi lakilaki. Adapun yang membuat novel ini menjengkelkan dan menarik di saat yang
bersamaan adalah perlawanan tokoh perempuan. Kebanyakan tokoh perempuan
dalam teks melakukan perlawanan, tetapi ketika mereka melawan hanya sampai pada
titik tertentu dan kemudian mundur kembali. Dengan mengkonstruksi karakter
perempuan seperti ini, Rowling memberikan pesan kepada pembaca bahwa
perempuan harus menunjukkan diri, tetapi hanya sampai pada titik tertentu dan tidak
mengambil posisi laki-laki.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketujuh penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya menganalisis unsur gender dalam novel Harry Potter hanya
pada tataran yang sangat umum. Ketujuh penelitian tersebut juga hanya sampai pada
menjelaskan bagaimana karakteristik dan pemosisian laki-laki dan perempuan dalam
12
novel ini. Untuk itu, penelitian yang penulis lakukan ini mengaitkan unsur sihir yang
menjadi tema novel ini—sekaligus menjadikan novel ini populer—dengan konstruksi
maskulin – feminin dan posisi laki-laki – perempuan, serta melihat dampaknya
terhadap citra perempuan yang dalam novel ini merupakan perempuan tukang sihir
(witch).
1.6
Landasan Teori
1.6.1
Gender dan Konstruksi Maskulinitas dan Femininitas
Dalam ruang kajian gender, laki-laki dan perempuan dibagi ke dalam
dikotomi maskulin dan feminin yang kemudian melahirkan oposisi biner dalam
hubungan keduanya. Oleh karena gender merupakan sebuah pencapaian status
(Connell, 1995:71) baik laki-laki maupun perempuan memerankan gendernya
masing-masing. Relasi gender ini pada dasarnya merupakan relasi power (Cornwall,
1997:8). Bagi laki-laki, gender tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga menyangkut
sikap, persepsi, dan kecerdasan. Secara historis, kecerdasan itu sendiri adalah sifat
yang hanya ada pada diri laki-laki, khususnya dalam bidang seperti psikoanalisis,
filosofi, dan ilmu kedokteran. Secara tradisional, maskulinitas identik dengan seorang
laki-laki
yang
kuat,
rasional,
penentu,
kompetitif,
kuat
secara
fisik,
mengesampingkan aspek emosional, dan non-feminin (Connell via Barker 2011: 53)
dan perempuan adalah seseorang yang menarik secara fisik, pengasuh/pemelihara,
emosional, dan peduli.
13
Dalam sebuah proses pengulangan praktik sosial yang terjadi secara terus
menerus, kualitas konten maskulinitas dan femininitas menjadi bukan hanya sekedar
identitas gender atau menunjukkan jenis individu, tetapi juga yang lebih penting,
pengulangan kolektif dalam bentuk budaya, struktur sosial, dan organisasi sosial.
Ciri-ciri ideal maskulinitas dan femininitas sebagai dua kubu yang saling melengkapi
dan hirarkis memberikan alasan adanya relasi-relasi sosial antara laki-laki dan
perempuan pada semua level organisasi sosial mulai dari diri, interaksi, struktur
institusional, sampai pada hubungan global dominasi. Individu, kelompok, dan
masyarakat menggunakan maskulinitas dan femininitas sebagai alasan atas apa yang
dilakukan, bagaimana melakukannya, dan secara kolektif melakukannya secara
berulang pada berbagai keadaan institusional. Tidak hanya perbedaan gender, tetapi
juga hubungan implisit antara gender yang menjadi ciri-ciri taken-for-granted dari
relasi interpersonal, budaya, dan struktur sosial. Artinya, perbedaan gender kini
dilembagakan, begitu pula rasionalitas gender (Schippers, 2007: 91).
Dalam suatu masyarakat, selalu terdapat lebih dari satu jenis maskulinitas dan
femininitas. Jenis-jenis maskulinitas dan femininitas ini tidak begitu saja saling
berdampingan satu sama lain. Ada sebuah relasi dimana jenis maskulinitas tertentu
lebih dihargai dan lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan jenis maskulinitas
yang lain, begitu pula yang terjadi dalam relasi antar femininitas. Maskulinitas dan
femininitas ini mendominasi pada waktu dan tempat tertentu, tetapi bukan berarti
mematikan jenis maskulinitas dan femininitas yang lain. Jenis- jenis maskulinitas dan
femininitas yang lain masih tetap bertahan, tetapi menjadi yang subordinat.
14
Maskulintas dan femininitas hegemonik merupakan ideologi tentang bagaimana
menjadi laki-laki atau perempuan yang dapat diterima (Connell, 2000:4).
Maskullinitas dan femininitas yang lebih tinggi posisinya disebut sebagai
maskulinitas dan femininitas hegemonik. Hegemonik berarti berkaitan dengan
dominasi budaya dalam masyarakat secara keseluruhan (Connell, 1995:78). Jadi,
wacana maskulinitas dan/atau femininitas ini menggunakan aspek budaya, institusi,
dan cara-cara persuasif untuk meyakinkan masyarakat sampai masyarakat tidak
menyadari bahwa mereka sedang dipengaruhi untuk ikut pada satu ideologi. Oleh
karena itu, Connell menyebutnya sebagai maskulinitas dan/atau femininitas yang
mendominasi secara kultural.
Femininitas hegemonik yang konvensional mengatur penampilan dan perilaku
perempuan, bahwa perempuan dinilai dari proporsi tubuh, penampilan dan kecantikan
mereka. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa perempuan yang ideal harus
bertubuh langsing. Penelitian menunjukkan adanya tekanan sosial budaya yang
signifikan pada perempuan untuk menjadikan tubuhnya kurus. Dalam masyarakat
Amerika mas kini, gemuk disamakan dengan "devaluasi feminin" (Dworkin &
Wachs, 2004: 611). Dworkin dan Wachs menemukan bahwa tekanan untuk menjadi
kurus dan bugar telah meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan tubuh perempuan sebelum, selama, dan setelah kehamilan dinilai berdasarkan
penampilan bugar, yang berhubungan dengan femininitas. Pentingnya tipe tubuh
tertentu untuk mencapai femininitas memupuk sikap usaha untuk mendorong
penampilan.
15
Selain tubuh langsing sebagai tolak ukur ideal perempuan, kosmetik dan
rambut adalah penanda lain dari femininitas. Rambut yang panjang dan sehat sebagai
tipe yang ideal. Koppelman (1996:87) menyebutkan bahwa perempuan dengan kepala
botak atau rambut berwarna abu-abu atau putih dianggap menentang konstruksi sosial
kecantikan perempuan. Kata feminin pada dasarnya merupakan naskah yang diikuti
oleh perempuan untuk bisa menjadi menarik dan diinginkan oleh laki-laki
heteroseksual, serta untuk membuat perempuan lain iri (Leavy, 2009: 272). Artinya,
terjadi sebuah kompetisi di antara perempuan untuk menunjukkan dirinya sebagai
yang paling tinggi posisinya dalam hirarki femininitas, berdasarkan kriteria
femininitas hegemonik.
Meskipun keduanya hegemonik, femininitas dan maskulinitas hegemonik
adalah struktur yang tidak setara. Maskulinitas hegemonik adalah suprastruktur
dominasi sementara femininitas hegemonik terbatas pada hubungan kekuasaan
kalangan perempuan. Namun begitu, kedua struktur ini saling terkait dimana
femininitas
hegemonik
dibangun
untuk
melayani
maskulinitas
hegemonik,
sebagaimana legitimasi yang diberikan terhadap femininitas (Schippers, 2007: 88).
Femininitas hegemonik tidak pernah bisa berada sejajar dengan maskulinitas
hegemonik. Connell (1987: 187) menyebutkan bahwa semua bentuk femininitas di
masyarakat dikonstruksi dalam konteks subordinsi penuh perempuan pada laki-laki.
Untuk alasan ini, tidak ada femininitas yang memegang kekuasaan di antara
perempuan yang mampu memperoleh posisi dalam maskulinitas hegemonik laki-laki.
16
Femininitas hegemonik sekalipun akan selalu berada di bawah maskulinitas. Ia
kemudian membuat istilah emphasized femininity :
Salah satu bentuk [femininitas] didefinisikan semacam kepatuhan terhadap
subordinasi ini dan diorientasikan untuk mengakomodasi kepentingan dan
keinginan laki-laki. Saya akan menyebutnya “emphasized feminity”. Bentuk
yang lain ada yang diartikan secara sentral dengan strategi-strategi resistensi
atau bentuk-bentuk ketidakpatuhan. Yang lainnya lagi diartikan dengan
kombinasi strategi kompleks kepatuhan, resistensi, dan kerjasama (Connell,
1987: 184 –185)
Disini Connell mengungkapkan bahwa ada banyak bentuk femininitas, tetapi fokus
dari kesemuanya itu lebih pada relasi dengan maskulinitas. Connell (1987:188)
menulis bahwa femininitas diatur sebagai bentuk adaptasi kekuasaan laki-laki, dan
menekankan kerelaan, pengasuhan, dan empati sebagai sifat kebajikan feminin untuk
membentuk hegemoni atas semua bentuk femininitas.
Berbeda halnya dengan femininitas hegemonik yang hanya membawahi
femininitas-femininitas lain yang subordinat, maskulinitas hegemonik tidak hanya
hegemonik dalam konteks hubungannya dengan bentuk maskulinitas yang lain,
melainkan dalam relasinya dengan susunan gender secara umum. Maskulinitas
hegemonik merupakan wujud hak istimewa laki-laki secara kolektif terhadap
perempuan. Identitas maskulinitas hegemonik dibentuk menentang “yang lain
(otherness)” baik itu perempuan pada umumnya dan homosexual khususnya,
kebencian terhadap perempuan dan homophobia. Di bawah hirarki maskulinitas
hegemonik ini, hadir maskulinitas subordinat, femininitas hegemonik, dan
17
femininitas subordinat, yang artinya mereka tunduk di bawah dominasi maskulinitas
hegemonik dan mengikuti segala aturan yang diberlakukan oleh maskulinitas ideal
dalam patriarki. Maskulinitas hegemonik sebagai kualitas kelaki-lakian yang
membentuk dan melegitimasi relasi hirarkis dan saling melengkapi dengan
femininitas (Connell, 1995: 78–80). Berangkat dari definisi ini, Schippers, 2007: 94)
mendefinisikan femininitas hegemonik terdiri dari ciri-ciri yang mendefinisikan
keperempuanan yang membentuk dan meligitimasi relasi hirarkis, sehingga saling
melengkapi dengan maskulinitas hegemonik. Dengan demikian, konsep itu menjamin
posisi dominan laki-laki dan subordinasi perempuan.
Hegemoni gender beroperasi tidak hanya melalui subordinasi femininitas pada
maskulinitas hegemonik, tetapi juga melalui subordinasi dan marginalisasi
maskulinitas lainnya. Jadi, meskipun penekanannya lebih pada femininitas sebagai
pusat dominasi maskulin, hal itu bukan satu-satunya mekanisme untuk memastikan
dominasi laki-laki. Dalam hegemoni gender, pengaruh maskulinitas hegemonik atas
kelompok maskulinitas terpinggirkan lainnya sama pentingnya dengan kekuasaan
maskulin terhadap kelompok tersubordinasi (perempuan). Maskulinitas hegemonik
memastikan dominasi laki-laki, sehingga semua laki-laki bisa mendapatkan
keuntungan pada tingkat-tingkat tertentu meskipun kebanyakan laki-laki tidak harus
"di garis depan" atau mewujudkan maskulinitas hegemonik dalam dirinya. Connell
(1995:77) mendefinisikan maskulinitas hegemonik sebagai konfigurasi praktek
gender yang memberikan jawaban yang dapat diterima menyangkut masalah
legitimasi partiarki, yang menjamin (atau memberikan jaminan) posisi dominan laki18
laki dan subordinasi perempuan. Maskulinitas hegemonik, ketika diwujudkan oleh
sekurangnya beberapa laki-laki dari waktu ke waktu, akan melegitimasi dominasi
laki-laki atas perempuan sebagai kelompok.
Stereotip maskulinitas hegemonik itu, menurut Barker (2011: 241) umumnya
adalah
maskulinitas
tradisional—yang
merupakan
suatu
generalisasi—yang
menjelaskan nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kontrol, independensi,
keswadayaan, perkawanan/ jalinan persahabatan laki-laki, kerja dan lain-lain. Adapun
yang dipandang rendah adalah dependensi, kemampuan verbal, kehidupan domestik,
kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak. Sejalan dengan itu, Connel
(1995:68) menyebutkan konsep mendasar dari maskulinitas hegemonik adalah
kekuatan fisik, heteroseksualitas eksklusif, daya saing, homofobia, ketangguhan
emosional, kemampuan untuk menggunakan kekerasan interpersonal, kemampuan
dalam menghadapi konflik, dan pemilik otoritas. Karakteristik ini menjamin dominasi
yang sah laki-laki atas perempuan, hanya ketika mereka secara simbolis dipasangkan
dengan sifat-sifat inferior yang melekat pada femininitas. Sifat-sifat itu meliputi
kerentanan, ketidakmampuan untuk menggunakan kekerasan secara efektif, dan
kepatuhan.
Laki-laki heteroseksual pada umumnya mendapatkan apa yang diistilahkan
sebagai keuntungan patriarkal, misalnya gaji yang lebih tinggi, kesempatan yang
lebih luas dalam hal pekerjaan dan partisipasi politik dibandingkan perempuan.
Namun, ada grup-grup laki-laki tertentu yang tidak mendapatkan hal tersebut.
Kelompok-kelompok ini biasa disebut kelompok maskulinitas yang termarginalkan,
19
yaitu mereka yang dianggap tidak dapat memenuhi kriteria maskulinitas hegemonik.
Laki-laki yang masuk dalam golongan ini misalnya mereka yang memiliki sifat
menyerupai perempuan, lemah, atau karena kelas sosial dan ras mereka otomatis
menjadi laki-laki yang terpinggirkan (Connell, 1997:64). Maskulinitas marginal bisa
juga mereka yang berasal dari kelas atau ras subordinat/ kelompok etnis tertentu.
Sementara hegemoni, subordinasi, dan komplisitas adalah aspek-aspek dari aturan
gender.
Oleh karena alasan tersebut, laki-laki menggunakan tingkat maskulinitas
untuk berkompetisi satu sama lain. Mereka mereka saling membandingkan satu sama
lain berdasarkan segala jenis sumberdaya yang mereka miliki, yang dianggap dapat
menunjukkan maskulinitasnya. Semakin besar ciri-ciri maskulinnya dan paling
mendekati kriteria maskulinitas hegemonik yang diperesyaratkan oleh lingkungan
tempat mereka hidup, maka semakin tinggi pula posisinya (top level masculinity).
Sebaliknya, jika seorang laki-laki tidak mampu memenuhi dan jauh dari stereotip
maskulinitas hegemonik, maka dia dianggap bukan bagian dari mereka (low level
masculinity). Dalam konteks lingkungan sekolah misalnya, laki-laki yang masuk
dalam kelompok high level masculinity adalah kelompok remaja laki-laki yang
dianggap memiliki pengaruh besar di lingkungannya dan diidolakan oleh anak-anak
lain yang tidak mampu meniru penampilan mereka, sementara low level masculinity
ini biasanya yang berkacamata, berkawat gigi, berpenampilan culun, kutu buku,
dan/atau berasal dari kelas sosial yang dianggap lebih rendah. Maskulinitas dapat
dipaparkan sebagai nilai-nilai yang membangun identitas kelaki-lakian dalam
20
masyarakat sebagai pembatas tentang nilai-nilai, bukan feminin atau dengan kata lain
merupakan perwujudan ideal laki-laki.
Oleh karena legitimasi bahwa ciri-ciri maskulin adalah milik laki-laki, serta
melekat pada tubuh laki-laki, maka perempuan yang menunjukkan ciri maskulin
dianggap keluar dari jalurnya. Mereka dicela karena dianggap sebagai perempuan
yang rendah kualitas femininitasnya, karena femininitas mereka dicemari oleh sifatsifat maskulin. Schippers (2007: 95) mengistilahkan perempuan seperti ini sebagai
pariah femininity. Pariah artinya “kasta yang terendah” bahkan arti kasarnya “sampah
masyarakat”. Perempuan yang masuk dalam kategori ini misalnya mereka yang
tangguh dan agresif dicela sebagai “badass girl”, yang membebaskan dari kekuasaan
patiarki disebut “bitch”, atau yang mandiri dan tidak mudah mengalah (“cock-teaser”
and slut). Perempuan yang seperti ini secara sosial tidak diinginkan dan dianggap
mencemari masyarakat. sebaliknya jika sifat seperti ini melekat pada laki-laki,
posisinya akan sangat positif. Schippers (2007: 97) meyakini bahwa hal ini dilakukan
untuk menjaga tatanan gender, serta hubungan subordinasi dan dominasi antara lakilaki dan perempuan. Sama halnya dengan perempuan, laki-laki yang menunjukkan
ciri-ciri feminin misalnya tertarik pada laki-laki, lemah, selalu tunduk dan mengalah
juga dianggap sebagai pencemaran dan meresahkan masyarakat. Laki-laki seperti ini
menjadi sasaran stigma dan sanksi sosial. Laki-laki seperti ini biasa diejek sebagai
“fag,” “pussy”, dan “the wimp”. Apa yang oleh Connell disebut sebagai maskulinitas
subordinat.
21
Maskulinitas dan femininitas bisa menjadi "proyek gender" dalam kehidupan
individu, tetapi tidak mengacu pada fitur atau jenis orang tertentu. Alih-alih
menguasai atau memiliki maskulinitas, individu juga akan bergerak dan
menghasilkan maskulinitas dengan terlibat dalam praktik maskulin. Dengan begitu,
maskulinitas adalah praktek teridentifikasi yang muncul di seluruh ruang, dari waktu
ke waktu, akan diakui dan disahkan secara kolektif oleh kelompok, komunitas, dan
masyarakat. Dengan pengesahan yang berulang dari waktu ke waktu, praktek-praktek
ini membentuk sebuah produksi dan distribusi sumber daya, distribusi kekuasaan
dalam bentuk otoritas, cathexis, dimana Connell mengartikannya sebagai arena sosial
keinginan dan seksualitas, dan simbolisme atau produksi makna dan nilai-nilai. Oleh
karena itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa maskulinitas adalah posisi sosial,
seperangkat praktek, dan efek dari perwujudan kolektif praktek-praktek pada
individu, hubungan, struktur institusional, dan hubungan global dari dominasi.
Konsep maskulinitas dan femininitas dihasilkan, diperebutkan, dan diubah
melalui proses diskursif, dan karena itu dapat tertanam dengan baik, serta sarat
dengan hubungan kekuasaan. Dalam model ini, maka, dinamika kekuasaan adalah
pusat, tidak hanya dalam fokus konseptual pada hubungan hirarkis antara
maskulinitas dan femininitas daripada karakteristik tertentu ideal, tetapi juga dalam
hal dinamika produksi, proliferasi, dan kontestasi wacana yang mengartikulasikan apa
laki-laki dan perempuan dan hubungan mereka satu sama lain. Femininitas dan
maskulinitas sebenarnya merupakan suatu konsep yang sangat kompleks dan dapat
selalu berubah (shifting). Penelitian di bidang sosiologi menemukan bahwa
22
masyarakat dengan budaya dan periode sejarah yang berbeda mengkonstruksi
karakter maskulinitas yang berbeda (Connell, 2000:3). Dalam setiap lingkungan
kerja, bertetangga atau kelompok teman sebaya misalnya, masing-masing memiliki
pemahaman yang berbeda mengenai karakter laki-laki maskulin.
Apa yang disebut sebagai “isu-isu perempuan” menyangkut opresi dan
patriarki juga adalah “isu-isu laki-laki”, karena sama seperti halnya perempuan, lakilaki juga tergenderkan (Connel, 1997: 63). Adanya stereotip maskulin dan feminin
membuat perempuan tersubordinasi karena dianggap lemah. Sementara bagi laki-laki
hirarki maskulinitas dalam dunia mereka membuat mereka yang tidak dapat
menunjukkan ciri-ciri maskulinitas hegemonik menjadi laki-laki yang terpinggirkan.
Pendikotomian gender menjadi maskulin dan feminin telah memunculkan dualisme
dalam diri perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian terbaru meyakini bahwa gender
tidak boleh dilekatkan pada tubuh seperti yang selama ini diartikan bahwa
maskulinitas melekat pada tubuh laki-laki dan femininitas pada tubuh perempuan,
melainkan lebih sebagai seperangkat perilaku yang dominan dan diekspresikan
melalui wacana seksual. Connell (1987:67) menyatakan bahwa dalam diri setiap
orang, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki sisi maskulin dan
feminin. Sementara itu gender memaksa mereka untuk memilih masuk ke kategori
maskulin atau feminin. Ketika dikotomi gender ini dihilangkan, maka sifat-sifat
feminin dan maskulin dalam diri individu dapat dinegosiasikan, sehingga terjadi
keselarasan antar keduanya.
23
Penelitian yang dilakukan oleh Barker di tahun 2011 pada sebuah sekolah
gulat menunjukkan bahwa bahkan di lingkungan sekolah gulat yang sangat
menekankan kekuatan fisik, homofobia, daya saing, dan mengesampingakan perasaan
(emosi), tetap ditemukan perilaku-perilaku inklusif yang mengarah ke feminin.
Sejalan dengan pernyataan Connel dan hasil penelitian Barker, Cornwall (1997: 11)
menerangkan bahwa walaupun maskulinitas hegemonik berhubungan dengan
dominasi dan kekuasaan (power), tetapi atribut yang menandakan maskulinitas tidak
selalu berasosiasi dengan laki-laki. Perempuan juga dapat memiliki beberapa atribut
ini. Dengan begitu, tidak semua laki-laki memiliki power, dan tidak semua yang
memiliki power adalah laki-laki.
Dalam konseptualisasi yang ditawarkan di sini, maskulinitas bukanlah sebuah
tempat, praktik, atau struktur yang dihasilkan. Bagi Connell (1997: 66), "tempat"
merujuk pada posisi sosial "perempuan" dan "laki-laki", sementara perwujudan
karakter maskulinitas atau femininitas oleh individu adalah perwujudan gender atau
display. Mewujudkan dan memproduksi relasi antara maskulinitas dan femininitas
dalam interaksi sosial adalah "doing gender". Sejauh mana relasi hirarkis dan saling
melengkapi antara maskulinitas dan femininitas yang dilembagakan merupakan
struktur gender (Schippers, 2007: 93). Hal ini menawarkan jalur konseptual dan
empirik keluar dari peleburan antara praktik laki-laki dan perempuan, dengan
maskulinitas dan femininitas yang memungkinkan mereka menduduki posisi sebagai
"perempuan" untuk terlibat dalam praktik atau mewujudkan ciri-ciri yang dianggap
maskulin, serta bagi "laki-laki" untuk mewujudkan ciri-ciri femininitas. Maskulinitas
24
dan femininitas beserta konstruksi relasi mereka satu sama lain merupakan sebuah
alasan yang terbuka untuk praktik, sekaligus sebagai rujukan yang dapat digunakan
untuk menafsirkan dan menilai, tidak hanya sekedar display gender dan praktik
individu, tetapi semua relasi sosial, kebijakan, aturan, dan praktik institusional dan
struktur (Schippers, 2007: 93).
Connell (1997:67) tidak setuju dengan dimensi tubuh gender yang sering
dianggap batas absolut perubahan. Menurutnya, jika kita memahami gender sebagai
cara tubuh ditarik ke dalam proses historis, maka kita bisa mengenali kontradiksi
dalam perwujudan yang ada, serta dapat melihat besar kemungkinan untuk
perwujudan kembali tubuh laki-laki. Menurut Connell (1997:66), ada banyak cara
berbeda untuk menggunakan, merasakan, dan menunjukkan tubuh laki-laki.
Hubungan gender bersifat historis, sehingga hierarki gender dapat berubah. Oleh
karena itu, maskulinitas hegemonik muncul dalam situasi tertentu dan terbuka untuk
perubahan yang sifatnya historis. Penggunaan kostum berwarna pink oleh tim tasional
sepak bola Amerika yang tidak menimbulkan komentar negatif, adalah bukti bahwa
gender bisa dinegosiasikan, sehingga perubahan selalu terbuka (Barker, 2011: 61).
Di tahun 1970, sebuah gerakan yang disebut “men’s Liberation”
menyimpulkan bahwa feminisme baik untuk laki-laki, karena laki-laki juga menderita
akibat dikotomi jenis kelamin ini. Tujuan yang diusung oleh kelompok ini adalah
penghapusan maskulinitas (dan femininitas) melalui sebuah gerakan menuju
androgini, pencampuran dua sex roles yang berarti bahwa kita harus mengubah
kehidupan pribadi. Namun, menurut Connell hal ini meremehkan kompleksitas
25
maskulinitas dan femininitas, sehingga pembahasan terlalu banyak menekankan sikap
pada kesenjangan material dan isu-isu kekuasaan. Untuk itu, Connell (1997: 66) lebih
menyarankan “mengubah komposisi” elemen gender; membuat berbagai macam
simbolisme gender dan kegiatan yang didesain terbuka untuk semua orang.
Contohnya di sekolah siswa perempuan diberi peluang untuk mempelajari sains dan
teknologi, sehingga mendukung siswa laki-laki untuk belajar memasak dan menjahit.
Connell (1995: 71) mendefinisikan gender sebagai sebuah cara dimana “arena
reproduksi”, yang mencakup "struktur tubuh dan proses reproduksi manusia",
mengatur praktik di semua tingkat organisasi sosial mulai dari identitas, ritual
simbolik, sampai ke lembaga-lembaga dalam skala besar. Sebagai fitur utama dari
relasi gender, ia mendefinisikan maskulinitas sebagai sebuah posisi dalam relasi
gender yang secara bersamaan merupakan praktek, dimana laki-laki dan perempuan
terlibat pada posisi tersebut dalam gender, dan efek dari praktek tersebut terhadap
pengalaman tubuh, kepribadian dan budaya. Menurut Schippers (2007: 86),
maskulinitas memiliki tiga komponen; pertama, maskulinitas merupakan lokasi sosial
perorangan, terlepas dari jenis kelamin, dapat berpindah melalui praktek; kedua,
merupakan serangkaian praktek dan karakteristik yang dipahami sebagai "maskulin";
ketiga, ketika praktik-praktik ini diwujudkan terutama oleh laki-laki, tetapi juga oleh
perempuan, maka akan memberikan efek budaya dan sosial yang luas.
Dari berbagai penelitian empirik mengenai relasi maskulinitas dan
femininitas, Schippers (2007: 97) menyimpulkan bahwa karakteristik dan praktik
ideal maskulinitas dan femininitas merupakan hal yang bervariasi tergantung pada
26
konteks, kelompok, dan masyarakatnya. Variasi budaya, ekonomi, dan politik di
semua kelompok dan masyarakat, serta ciri-ciri khusus dari maskulinitas dan
femininitas yang memastikan dominasi laki-laki terhadap perempuan akan berbedabeda sesuai dengan konteks.
Di tahun 2002, Schippers melakukan sebuah penelitian empiris dan
menyimpulkan bahwa terdapat peluang untuk secara sengaja mengganti maskulinitas
hegemonik, femininitas hegemonik, pariah feminity, male femininities dengan
maskulinitas dan/atau femininitas alternatif. Dalam penelitiannya, Schippers
mengidentifikasi bagaimana anggota subkultur musik rock tertentu menolak
maskulinitas dan femininitas hegemonik yang telah menjadi wacana mainstream
dalam komunitas rock. Wacana baru yang mereka bentuk untuk menolak wacana
yang lama merupakan maskulinitas dan femininitas alternative (Schippers, 2007: 97)
Cornwall (1997:12) menyatakan bahwa hanya karena beberapa laki-laki
menempati posisi subyek pada beberapa keadaan yang memberikan mereka
kekuasaan atas orang lain, tidak berarti bahwa posisi ini kongruen dengan semua
aspek kehidupan mereka. Dia kemudian menyimpulkan bahwa gender adalah
masalah setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kita perlu
menemukan cara konstruktif yang lebih baik untuk menyelesaikan permasalahan
dikotomi laki-laki perempuan ini. Ia menyarankan merekonstruksi asumsi kultural
tentang “menjadi laki-laki”. Menurutnya, dengan begitu akan dicapai sebuah
kesadaran bahwa gender menempatkan banyak orang pada posisi yang tidak
menguntungkan dan membangun kepercayaan diri untuk bersikap berbeda.
27
Menurutnya sudah waktunya keluar dari ide-ide lama tentang peran gender dan
dominasi laki-laki yang universal. Ini adalah waktunya untuk menemukan cara
berpikir dan analisis gender yang lebih masuk akal, serta cocok dengan kompleksitas
realitas hidup masyarakat.
1.6.2 Gender dan Posisi Sentral – Periferi
Periferi adalah sebuah kondisi. Kondisi dimana seseorang menjadi periferi
atau sentral sangat tergantung dengan konteks keberadaan, sehingga periferi dan
sentral adalah posisi yang selalu berubah (shifting). Cornwall (1997: 10) menjelaskan
bahwa setiap hari dalam hidup, identitas kita sebagai perempuan atau laki-laki tidak
pernah tetap atau absolut, melainkan beragam dan berubah-ubah. Menurut Cornwall
(1997: 10), relasi gender tergantung pada konteks di mana kita berada. Hollway
menyebutnya “subject-position”. Saat perempuan menganalisis kehidupannya, tidak
satu pun dari perempuan yang selalu berada dalam posisi subordinasi orang lain.
Hubungan perempuan dengan orang-orang di sekitarnya mungkin merupakan
“hubungan gender”, dalam artian hubungan jenis kelamin yang membuat perbedaan,
tetapi tidak dalam arti hanya satu dimensi hubungan kekuasaan. Sebagai perempuan,
mungkin memiliki anak laki-laki, ayah, saudara, teman-teman laki-laki atau karyawan
laki-laki. Dengan orang-orang yang posisinya berbeda-beda ini, tentunya perempuan
juga memiliki pola hubungan yang berbeda dibandingkan dengan hubungan
dibandingkan dengan kekasih, suami atau atasan. Oleh karena itu, dalam konteks
28
yang menempati posisi sentral atau periferi, bisa saja laki laki dan perempuan saling
tumpang tindih.
Dikotomi laki-laki – perempuan, maskulin-feminin telah menghasilkan sebuah
oposisi biner yang membuat dua kubu ini bertentangan satu sama lain. Laki-laki
ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi (sentral) dan perempuan pada posisi
marginal (periferi). Bartky (1988: 30) menuliskan hal tersebut.
Ruang perempuan bukan bidang di mana intensionalitas tubuhnya dapat
secara bebas direalisasikan, tetapi sebuah kandang di mana dia merasa dirinya
diposisikan, serta di mana dia di kurung. Konsepsi ruang perempuan
menggambarkan ide umum dari ruang tertutup, daya / ketidakberdayaan, dan
tubuh sebagai situs gender performativity (Butler via Leavy, 2009: 261).
Hubungan antara feminin dan maskulin ini telah membentuk sebuah hirarki
gender dimana perempuan sebagai yang feminin berada pada posisi di bawah,
diyakini menjadi pihak yang terdomestifikasi, teropresi, dan korban kekerasan
berbasis gender. Sementara itu, laki-laki sebagai yang maskulin berada di posisi atas
hirarki, sebab dianggap memiliki power untuk menguasai. Kalkulasi, kompetensi, dan
logika yang dianggap merupakan kemampuan laki-laki memungkinkan laki-laki
untuk memiliki kontrol atas konstruksi kultural femininitas, serta telah memposisikan
tubuh perempuan sebagai situs objektifikasi (Leavi, 2009: 262). Baik secara pikiran
maupun fisik laki-laki, selalu diletakkan dalam posisi menguasai perempuan atau
sebagai perbandingan dengan tubuh perempuan, untuk membuat pemisahan antara
yang kuat dan kurang kuat (Leavy, 2009: 262). Melalui seksualisasi tubuh
29
perempuan, tubuh fisik itu sendiri menjadi situs seksualitas, di mana kepribadian dan
emosi dihapus atau diabaikan.
Dalam konteks dunia barat, hubungan sentral dan periferi umumnya
ditentukan oleh ras dan kelas. Konsep ini didasarkan pada etnosentrisme yang dianut
oleh ras kulit putih. Imperialisme Barat yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih
memungkinkan kolonisasi oleh bangsa kulit putih terhadap ras dan kelompok lain,
utamanya ras kulit hitam dan negara dunia ketiga. Dengan demikian, ras kulit putih
mampu menempati posisi sentral dan ras kulit hitam, serta negara dunia ketiga
sebagai the other (periferi). Berbagai penelitian dalam bidang kajian gender
membuktikan bahwa ketidaksetaraan gender bisa sangat beragam diakibatkan oleh
ras/etnisitas dan kelas. Gender, ras dan kelas saling mempengaruhi sistem dominasi
yang berefek pada akses terhadap kekuasaan dan hak-hak istimewa, mempengaruhi
relasi sosial, mengkonstruksi makna, dan membentuk pengalaman sehari-hari
masyarakat (Cotter dkk, 1999: 433). Dalam relasi laki-laki kulit putih dan kulit hitam,
laki-laki kulit putih merupakan sentral, sementara laki-laki kulit hitam menempati
posisi periferi. Namun, antara laki-laki kulit hitam dan perempuan kulit hitam, lakilaki kulit hitam menempati posisi sentral dan perempuan kulit hitam merupakan
periferi. Dalam hirarki ini, perempuan kulit hitam selalu menempati posisi periferi
baik dalam relasinya dengan laki-laki kulit hitam, laki-laki kulit putih, maupun
dengan perempuan kulit putih. Hirarki ini terjadi karena posisi sentral dan periferi
merupakan posisi yang dinamis, tergantung dengan siapa seseorang direlasikan.
30
Dalam teori Connell (1997:64), ada yang dia sebut sebagai maskulinitas yang
termarginalisasi. Connell memberikan istilah marginalisasi untuk mengkarakterisasi
hubungan antara laki-laki yang merupakan hasil dari persinggungan antara kelas, ras
dan gender. Maskulinitas yang terpinggirkan (marginalized masculinity) adalah
mereka yang berasal dari kelas-kelas atau kelompok ras/etnis subordinat. Hubungan
ini merupakan salah satu otorisasi dan marjinalisasi, karena maskulinitas hegemonik
digabungkan dengan kulit putih dan status kelas menengah, dimana laki-laki kulit
putih diberikan kewenangan, sementara ras dan kelas lain yang dianggap marginal
tidak (Schippers, 2007: 88).
Schippers (2007:88) menyebutkan bahwa di tahun 2003, Peaky dan Johnson
mengaplikasikan teori Connell dalam penelitian terhadap perempuan generasi ke-2 di
Korea dan Vietnam. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat relasi subordinasi dan
dominasi antara perempuan kulit putih dan perempuan Asia. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa perempuan kulit putih menduduki posisi hegemonic, sedangkan
perempuan Asia pada posisi subordinasi. Studi ini meningkatkan pemahaman kita
tentang bagaimana kinerja gender rasial yang terlibat dalam ketidaksetaraan antara
perempuan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ada femininitas yang lebih
berkuasa dari femininitas yang lain, karena aspek ras. Tentunya, hubungan antara
perempuan kulit putih dan perempuan Asia adalah hasil dari persimpangan gender
dan ras.
Penelitian lain dilakukan oleh Bettie pada tahun 2003 di sebuah sekolah di
Inggris mengenali pola hirarki femininitas, yaitu hubungannya dengan ras dan kelas.
31
Ia menemukan bahwa perempuan kulit putih kelas menengah yang menunjukkan
heterosexualitas, dianggap sebagai perwujudan “gadis baik” dan “siswa yang baik”.
Sementara Las Chilas, siswa keturunan Mexico-Amerika yang berasal dari golongan
kelas pekerja (working class) dianggap sebagai hiper-seksual dan lebih fokus pada
hetero-romance daripada sekolah karena alasan race-class femininity (Schippers,
2007:99). Apa yang dialami oleh Chilas, bukan lagi hanya masalah gendernya,
melainkan ras dan kelasnya. Meskipun dia tidak benar-benar mengacuhkan sekolah,
orang-orang tetap berpendapat demikian, karena melihat latar belakang ras dan
kelasnya.
Butler via Schippers (2007:99) mengungkapkan bahwa tidak memasukkan ras
dan kelas subordinat dalam kategori laki-laki dan perempuan "sejati", berarti
memberikan legitimasi yang sangat jelas akan subordinasi sosial, politik, dan
ekonomi mereka. Selain itu hal ini, berarti melegitimasi supremasi dan hak istimewa
bangsa kulit putih, dan bahwa kualitas ideal konten maskulinitas dan femininitas
ditekankan pada posisi seseorang secara social, apakah dia berada pada kelompok
dominan atau subordinat (Schippers, 2007:100). Schippers (2007: 99) menambahkan
bahwa kelompok ras/etnis minoritas, serta kelas pekerja dan ekonomi kelas bawah
dikonstruksi sebagai the other yang tidak memiliki kelayakan atau sebagai kelompok
bermasalah, karena praktik gender mereka. Kondisi ini ditunjukkan oleh Pyke dan
Johnson bahwa stereotip praktik gender yang sesungguhnya dari kelompok ras dan
kelas subordinat seringkali mendukung hegemoni gender, tetapi terhalangi oleh
hegemoni ras dan kelas.
32
Dalam pemikiran biner, the Other dilihat sebagai objek yang dikontrol dan
dimanipulasi. Collins (2000:70) mengungkapkan bahwa gagasan Barat mengharuskan
objeksifikasi, sebuah proses “pemisahan knowing self dari knowing object dalam
konsep tersebut. Dominasi selalu melibatkan usaha untuk mengobjeksi kelompok
subordinat. Subyek memiliki hak untuk mendefinisikan realitas mereka sendiri,
membentuk identitas mereka sendiri, menamai sejarah mereka. Sementara itu realitas,
identitas, dan kesejarahan mereka didefinisikan dan dibentuk oleh kelompok lain
yang disebut obyek (Collins, 2000:71). Untuk masyarakat kulit putih, kelompok
masyarakat “kulit berwarna” selalu dianggap stranger. Tidak hanya itu, mereka
dianggap stranger yang tuli, sehingga tak ada yang bisa disampaikan pada mereka.
Sebagai “Others” yang tidak akan pernah bisa masuk dalam masyarakat, strangers
mengancam tatanan moral dan sosial (Collins, 2000:70).
Yang paling mencolok di Barat adalah ketidaksetaraan ekonomi yang
diakibatkan oleh gender, kelas, dan ras karena kesenjangan upah dan pengkotakkotakan jenis pekerjaan berdasarkan ketiga aspek yang saling berhubungan tersebut.
Dalam sebuah studi empitik mengenai perbedaan penghasilan hubungannya dengan
gender, ras, dan kelas, Cotter dkk (1999) menemukan bahwa perempuan kulit putih
secara ekonomi dirugikan dalam hubungannya dengan laki-laki kulit putih, karena
mereka adalah perempuan. Namun, ketidaksetaraan penghasilan yang dialami oleh
perempuan kulit putih tidak separah yang dialami oleh perempuan African American
dan Amerika Latin. Hal ini disebabkan keuntungan yang didapatkan perempuan kulit
putih karena masuk dalam kelompok ras/etnik yang dominan. Perempuan African
33
American dan Amerika Latin di lain sisi menjadi pihak yang terhukum karena mereka
perempuan dan bukan ras kulit putih. Perempuan Asia, walaupun tidak separah
African Afro Amerika dan Amerika Latin, tetap mendapatkan kerugian karena nonkulit putih.
Ras dan kelas sering dianggap sebagai faktor sekunder dalam organisasi
sosial. Teori feminis menulis dari pengalaman di mana ras dan kelas dirasa bukan
merupakan elemen yang menindas dalam kehidupan mereka. Ini adalah teori dari
kulit putih, pengalaman kelas menengah yang memberikan kontribusi untuk
etnosentrisme yang sering terdapat dalam tulisan-tulisan feminis putih (Palmer, 1983:
154). Faktanya, opresi ras, gender, dan kelas menjadi penyebab utama dari
kemelaratan perempuan kulit hitam (Collins, 2000:1). Telah banyak yang dibuktikan
bahwa masalah ras dan kelas ini, dengan sendirinya ikut mempengaruhi relasi gender
dan studi feminis. Patricia L. Collins contohnya merupakan salah satu tokoh yang
paling santer berbicara masalah ras dan kelas hubungannya dengan relasi gender dan
wacana feminis.
Collins mengfokuskan kritiknya terhadap pemosisian perempuan kulit hitam
oleh bangsa kulit putih. Perspektif feminis kulit putih telah menghasilkan teori dan
tindakan yang berfokus pada masalah perilaku seks dan prasangka terhadap laki-laki,
dimana semua laki-laki dilihat sebagai penindas dengan level yang sama. Hal ini
membuat perempuan kulit hitam dicela karena keengganan mereka untuk berbicara
tentang seks dalam masyarakat hitam. Suatu realitas yang perlu dibahas, tetapi tidak
dalam cara yang sama seperti yang dialami perempuan kulit putih. Perempuan kulit
34
hitam berargumen bahwa sulit untuk memperhatikan seksisme kulit laki-laki hitam,
ketika teori dan praktek feminis kulit putih tidak memberi pertimbangan lebih pada
aspek historis masyarakat Amerika, yaitu bahwa laki-laki kulit putih, sebagai pihak
yang utama dengan hak istimewa berdasarkan kelas sosial mereka merupakan
penerima manfaat utama dalam hal seksisme dan rasisme (Palmer, 1983: 154-155).
Ras, kelas, gender, seksualitas, kebangsaan, usia, dan etnisitas merupakan
bentuk operasi utama yang terjadi di USA. Konvergensi karakteristik penindasan ras,
kelas, dan gender terhadap budak di USA membentuk hubungan konsekuensional
perempuan keturunan Afrika dalam keluara Afrika Amerika dan komunitas, dengan
majikan, dan antara sesame mereka. Hal ini juga menciptakan sebuah konteks politik
untuk karya intelektual perempuan kulit hitam (Collin, 2000: 4).
Dalam budaya Amerika, ideologi budaya, ras, dan seks meresap ke dalam
struktur sosial sebagai semacam “tingkatan” yang menjadi hegemonik, dilihat sebagai
hal yang natural, normal, dan tidak terelakkan. Stereotip negatif dilekatkan pada
perempuan kulit hitam dan telah menjadi hal yang mendasari opresi yang mereka
alami. Sistem penindasan ini bekerja untuk menekan ide-ide intelektual perempuan
kulit hitam, untuk melindungi kepentingan para elit laki-laki kulit putih elit, serta
pandangan dunia. Studi perempuan di Amerika dan Eropa telah menentang pemikiran
hegemonik elit laki-laki kulit putih. Ironisnya, feminis barat juga menekan pemikiranpemikiran perempuan kulit hitam. Ketidakhadiran pemikiran feminis kulit hitam
dalam studi feminis di barat menempatkan perempuan kulit hitam ke dalam posisi
35
yang lebih lemah lagi dari hegemoni ideologi mainstream yang ada pada separuh dari
para kaum perempuan.
Di Barat, perempuan kulit hitam mengalami dualisme. Di satu sisi, untuk
menunjukkan bahwa perempuan juga bisa seperti laki-laki, sehingga mereka
menuntut kesetaraan gender, mereka menggunakan perempuan kulit hitam sebagai
ikon. Namun, di sisi lain perempuan kulit hitam tidak mendapat pengakuan atas
identitas diri mereka. Mereka selalu dianggap powerless, baik itu oleh laki-laki
maupun oleh perempuan kulit putih. Perempuan kulit hitam, menurut Collin dan
Palmer memiliki semua ciri-ciri keperempuanan, seperti yang melekat pada
perempuan kulit putih. Sama seperti perempuan kulit putih, mereka juga adalah ibu.
Mereka memiliki semangat laki-laki : tegas, gagah giat, memiliki jiwa mandiri, dan
tidak mengenal rasa takut—sifat-sifat yang menurut feminis Barat juga dapat dimiliki
oleh perempuan, sehingga mereka seharusnya punya hak yang sama dengan laki-laki.
Namun begitu, karena label mereka adalah “kulit hitam”, mereka tak mendapatkan
pengakuan yang seharusnya menjadi milik mereka. Bangsa Barat khususnya di
Amerika menyebut “the daughter of Africa tidak memiliki ambisi dan kekuatan”
(Collins, 2000: 2).
Perempuan kulit hitam telah lama menjadi kelompok yang paling tertindas di
Amerika. Mereka merupakan kelompok dengan pendapatan terendah, presentasi
penyelesaian studi di perguruan tinggi rendah, dan proporsi tertinggi untuk kehamilan
remaja. Bagi banyak perempuan kulit putih, perempuan kulit hitam adalah korban
36
klasik dalam hal penindasan seks (Palmer, 1983: 153). Collins (2000: 54) menulis
pengakuan seorang perempuan kulit hitam.
Saya kehilangan posisi saya, karena saya menolak mengizinkan suami
Nyonya saya mencium saya. Ketika suami saya datang kepada laki-laki yang
telah melecehkan saya, dia mengumpat suami saya, dan menamparnya, lalu
suami saya ditangkap dan diadili. Meskipun, perempuan ini telah memberikan
kesaksian di pengadilan, suaminya tetap membayar denda $25 dan ketua
majelis hakim berkata “Pengadilan ini tidak akan pernah memihak kesaksian
seorang nigger yang melawan perintah laki-laki kulit putih”.
Pengalaman
historis kolektif
perempuan
kulit
hitam terkait
opresi
menstimulasi pendirian definisi diri perempuan kulit hitam ini, dapat membantu
aktivisme perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 30). Bagi perempuan Afro Amerika,
pengalaman yang diperoleh dari opresi ras, kelas, dan gender, telah memeberikan
stimulus pada mereka untuk mengangkat pengetahuan tentang teori sosial kritis
perempuan kulit hitam yang tidak pernah diindahkan (Collins, 2000 : 9).
Sebagai kelompok yang selalu teropresi, perempuan kulit hitam di Amerika
telah menciptakan gagasan sosial yang didesain untuk melawan opresi. Tujuan dari
gagasan kolektif perempuan kulit hitam sangat jelas berbeda dengan teori sosial yang
sudah ada. Teori sosial yang dimunculkan oleh separuh perempuan kulit hitam di
Amerika dan kelompok lain, selalu bertujuan untuk mendapatkan jalan bertahan dan
keluar dan/atau melawan ketidak adilan social, serta ekonomi yang mereka alami.
Teori sosial “kritis” ini berpegang pada komitmen akan keadilan baik untuk
perempuan kulit hitam di Amerika, maupun kelompok-kelompok lain yang sama
teropresi seperti mereka (Collins, 2000: 8-9).
37
Melihat kehidupan yang dialami oleh perempuan kulit putih, perempuan kulit
hitam kemudian mempertanyakan kontradiksi-kontradiksi antara ideologi dominan
perempuan kulit putih dan status devaluasi perempuan kulit hitam. Jika perempuan
diasumsikan pasif dan rapuh, lalu kenapa perempuan kulit hitam disebut
“bagal/mules” dan disuruh mengerjakan pekerjaan rumah yang berat? Jika ibu yang
baik adalah yang tinggal di rumah bersama anak-anak mereka, lalu kenapa
perempuan kulit hitam dipaksa untuk mencari pekerjaan dan meningalkan anak
mereka di penitipan anak? Jika prioritas tertinggi perempuan adalah menjadi ibu, lalu
kenapa perempuan kulit hitam yang menjadi ibu di usia muda ditekan untuk
menggunakan Norplant dan Depo Provera? (Collins, 2000 : 12)
Baik dalam kelompok ras kulit putih maupun kulit hitam, ada pengkotakkotakan lagi menurut kelas mereka, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas
pekerja pada hirarki terbawah. Antara perempuan kulit hitam middle class dan
working class mengalami jenis opresi yang berbeda karena mereka memiliki kelas
yang berbeda. Namun tetap saja, pekerja yang berasal dari ras kulit putih
mendapatkan keuntungan lebih dibanding kulit hitam. Dalam masing-masing kelas
ini, perempuan memiliki posisi di bawah laki-laki.
Sementara, segregasi rasial memisahkan Afro Amerika dari Amerika kulit
putih, relasi gender dalam masyarakat kulit hitam memisahkan laki-laki dan
perempuan. Ruang laki-laki adalah jalanan, rumah cukur, rumah biliar, sedangkan
ruang perempuan adalah rumah dan gereja. Selain itu, sebenarnya ada perbedaan
kelas di kalangan masyarakat kulit hitam, tetapi tertutupi oleh segregasi yang lebih
38
besar, yaitu segregasi rasial. Laki-laki kulit hitam bisa mendapatkan gaji yang tinggi,
tetapi pekerjaannya beresiko, sementara perempuan kulit hitam mendapatkan upah
yang lebih rendah, pekerjaan yang lebih banyak. Namun, karena laki-laki kulit hitam
berkompetisi langsung dengan laki-laki kulit putih, maka mereka lebih rentan di PHK
(Collins, 2000:55).
Meskipun kebanyakan perempuan kulit hitam menolak untuk diobjeksi
sebagai the Other, pengendalian image ini masih kuat pengaruhnya dalam relasi
perempuan kulit hitam dengan ras kulit putih, laki-laki kulit hitam, grup rasial/etnis
yang lain, dan sesama perempuan kulit hitam. Standar kecantikan yang berlaku
(terutama warna kulit, bentuk wajah, tekstur rambut) merupakan salah satu contoh
spesifik bagaimana kontrol image menghina diri perempuan kulit hitam. Perempuan
Afro Amerika mengalami penderitaan, karena tidak pernah mampu mencapai standar
kecantikan yang berlaku; standar yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan kulit
putih, laki-laki kulit hitam, dan yang paling menyedihkan sesama perempuan kulit
hitam juga demikian. Hal ini karena pengendakian image kontrol ini sifatnya
hegemonik dan taken for granted, sehingga pada hakekatnya tidak mungkin untuk
keluar darinya (Collins, 2000: 89-90).
1.7
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,
kemudian diaplikasikan secara sistematis. Tahap pertama adalah proses pengumpulan
39
data. Setelah data selesai dikumpulkan, kemudian melangkah ke tahap ke dua yaitu
analisis data.
Adapun objek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu objek
material dan objek formal. Objek material penelitian ini adalah novel Harry Potter,
sedangkan objek formalnya adalah konstruksi femininitas dan maskulinitas.
1. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari Novel Harry Potter yang sekaligus merupakan
objek material dari penelitian ini, sedangkan data sekunder diperoleh dari buku –
buku, artikel, jurnal, serta hasil penelitian relevan dengan permasalahan yang diteliti.
Data-data yang diambil, baik data primer maupun sekunder adalah yang berhubungan
dengan citra sihir serta witch dan wizard di masyarakat khususnya di Eropa, wacana
maskulinitas hegemonik, posisi laki-laki dan perempuan, hubungan keduanya dalam
relasi gender, serta pemosisian sentral dan periferi akibat persinggungan
gender/ras/kelas.
Dalam proses pengumpulan data ini, yang pertama kali dilakukan adalah
membaca novel Harry Potter secara keseluruhan, kemudian menentukan aspek apa
yang akan menjadi fokus kajian penelitian, dimana yang menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini adalah hubungan antara sihir dan konstruksi masskulinitas femininitas.
Setelah itu, menentukan konsep teoretis apa yang akan digunakan untuk mendukung
analisis. Konsep teoretis dalam penelitian ini adalah konsep maskulinitas dan hirarki
40
gender R.W. Connell. Kemudian dilakukan pengelompokan narasi dan dialog-dialog
dalam teks Harry Potter yang didasarkan beberapa implikatur sebagai berikut:
a. Sihir sebagai penentu kekuasaan
Contohnya:
“…Dumbledore is particularly famous… for the discovery of twelve uses of
dragon’s blood, and his work on alchemy with his partner, Nicolas Flamel” (HP
Vol.1, 67).
(Dumbledore khususnya terkenal… karena penemuannya untuk dua belas
kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakan bersama
temannya, Nicolas Flamel).
b. Kesetaraan posisi dalam memaknai witch dan wizard
Contohnya:
The name of Grindelwald is justly famous: In a list of Most Dangerous Dark
Wizards of All Time, he would miss out on the top spot only because You-KnowWho arrived, a generation later, to steal his crown… (HP Vol. 7, 355)
(Nama Grindelwald pantas terkenal dalam daftar Penyihir Hitam paling berbahaya
sepanjang masa, dia terusir dari tempat pertamanya hanya karena kemunculan
Voldemort, satu generasi kemudian untuk mencuri mahkotanya…).
c. Karakteristik maskulinitas hegemonik
Contohnya:
“That Harry Potter’s got more backbone than the whole Ministry of Magic put
together!” (HP Vol. 6, 139).
(“Si Harry Potter itu punya keberanian lebih besar daripada seluruh Kementerian
Sihir bersama-sama!”).
d. Perempuan sebagai individu yang cerdas, kuat dan mandiri
41
Contohnya:
Harry now saw red hair flying like flames in front of him: Ginny was locked in
combat with the lumpy Death Eater,… (HP Vol. 5, 598).
(Harry sekarang melihat rambut merah berkibar seperti lidah api di depannya.
Ginny sedang bertempur melawan si Pelahap Maut gendut,…).
e. Relasi laki-laki dan perempuan dalam hirarki gender
Contohnya:
Hermione let out a great sigh "Brilliant," said Hermione. "This isn't magic—it’s
logic—a puzzle. A lot of the greatest wizards haven't got an ounce of logic, they'd
be stuck in here forever."
"But so will we, won't we?"
"Of course not," said Hermione. "Give me a minute." Hermione read the paper
several times. Then she walked up and down the line of bottles, muttering to
herself and pointing at them. (HP Vol. 1, 231)
(Hermione mengembuskan napas lega “Brilian! Ini bukan sihir,” puji Hermione.
“Ini bukan sihir—ini logika—teka-teki. Banyak penyihir besar yang tidak punya
logika sama sekali, akan terkurung di sini selamanya.”
“Kita juga begitu, kan?”
“Tentu saja tidak,” kata Hermione. “Beri aku waktu sebentar.” Hermione
membaca kertas itu beberapa kali. Kemudian dia berjalan mondar mandir di depan
deretan botol, bergumam sendiri dan menunjuk-nunjuk botol itu).
f. Pemosisian sentral dan periferi yang dipengaruhi oleh persinggungan antara
gender dengan ras dan kelas.
Contohnya:
“…choked the elf. “Dobby has neverbeen asked to sit down by a wizard — like an
equal—” (HP Vol. 2, 13)
(Si peri tersedak. “Belum pernah Dobby dipersilahkan duduk oleh seorang
penyihir—seakan kita sederajat…”).
42
2. Klasifikasi Data
Pada tahap ini penulis mendaftar semua penggalan isi cerita dan dialog yang
menjadi korpus data, kemudian mengelompokkannya sesuai dengan poin-poin yang
menjadi pembahasan. Data yang diperoleh dikelompokkan ke dalam dua kelompok
besar. Yang pertama adalah pencitraan ulang sihir, wirch, dan wizard. Yang kedua
relasi antara konstruksi wacana maskulinitas dan femininitas. Dari dua kelompok
besar ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi enam kelompok yang lebih kecil
agar pembahasan dapat menjadi lebih spesifik. Keenam kelompok tersebut meliputi:
a. Pemosisian sihir sebagai penentu kekuasaan
b. Pemaknaan witch dan wizard sebagai dua hal yang setara
c. Rekonstruksi wacana maskulinitas hegemonik
d. Perempuan sebagai individu yang cerdas, kuat, dan mandiri
e. Relasi saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan
f. Pemosisian sentral dan periferi
3. Metode Analisis Data
Tahapan yang dilakukan dalam menganalisis data yang sudah dikumpulkan
adalah menganalisis sifat dan karakter para tokoh, interaksi antar tokoh, dan dinamika
lingkungan sosial yang dibangun pengarang dalam novel tersebut melalui dialogdialog, serta narasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Kemudian, hasil analisis itu
digunakan untuk menjabarkan hubungan antara sihir dan konstruksi maskulinitas
43
femininitas dalam novel dengan konsep-konsep dalam teori Connell sebagai
acuannya.
1.8
Sistematika Penyajian
Studi tentang wajah baru maskulinitas hegemonik dan witch (perempuan
tukang sihir) dalam novel Harry Potter ini disajikan dalam empat bab. Secara garis
besar penyajiannya terdiri dari bagian pendahuluan, pembahasan permasalahan
penelitian, dan kesimpulan. Secara lebih spesifik, akan dijelaskan sebagai berikut.
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari poin-poin sebagai
berikut : 1). Latar Belakang, berisikan alasan yang mendasari penulis untuk
mengambil kajian tentang pembongkaran wacana maskulinitas hegemonik dan citra
witch dalam novel Harry Potter; 2). Rumusan Masalah, yaitu tentang permasalahanpermasalahan yang akan dikaji dalam studi ini; 3). Tujuan Penelitian; 4). Manfaat
Penelitian; 5). Tinjauan Pustaka; 6). Landasan Teori; 7). Metode Penelitian.
Bab II merupakan pembahasan yang menjawab pertanyaan penelitian pertama
yang ada di rumusan masalah. Bab II dibagi menjadi dua sub poin yaitu; 1). Tentang
sihir yang ditempatkan sebagai penentu kekuasaan dalam novel Harry Potter. Narasi
ini menjelaskan tentang bagaimana Rowling mengubah makna dan posisi sihir. Sihir
yang tadinya merupakan simbol kelemahan dan keburukan yang melekat pada
perempuan diubah menjadi sesuatu yang bernada positif dan lekat dengan kekuasaan;
2). Witch dan Wizard yang dimaknai sebagai dua hal yang setara. Sub poin ini
44
menjelaskan bagaimana Rowling mengubah makna witch. Menunjukkan bahwa
Witch tidak selalu berarti perempuan yang menggunakan sihir untuk kejahatan.
Bab III merupakan pembahasan yang menjawab rumusan masalah kedua dan
ketiga. Bab ini dibagi menjadi empat sub poin; 1). Wajah baru maskulinitas
hegemonik. Bagian ini membahas karakteristik maskulinitas hegemonik dalam Novel
Harry Potter yang menentang ciri-ciri maskulinitas hegemonik yang kerap dijumpai
di masyarkat. Disini digambarkan sebagai seorang laki-laki, merupakan hal yang
wajar kalau seseorang menunjukkan sisi feminine; 2). Karakteristik perempuan yang
merupakan individu yang cerdas, kuat, mandiri, tetapi tetap tidak menghapus
femininitasnya; 3). Mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan, sehubungan
dengan karakteristik yang sudah dibahas pada sub poin 1 dan 2; 4). Membahas
hubungan sentral-periferi yang lebih kompleks dalam hirarki gender, sebagai akibat
persinggungan antara gender, ras, dan kelas.
Bab IV merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Berisi tentang
kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang sudah dilakukan.
45
Download