analisis kasus pembebasan tanah dalam

advertisement
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT
(ANALISIS KASUS PEMBEBASAN TANAH
DALAM PANDANGAN FIQH)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
ABDUL RAHMAN
NIM. 104043101306
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
1
2
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT
(ANALISIS KASUS PEMBEBASAN TANAH
DALAM PANDANGAN FIQH)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
ABDUL RAHMAN
NIM. 104043101306
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
NIP: 150 275 509
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP: 150 290 159
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Orisinalitas Konsep Dalǎlat al-Ahkǎm al-Ghazǎlǐ Dalam
Perspektif Adonis telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari
2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(Perbandingan Mazhab Fiqih)
Jakarta, 19 Februari 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
Panitia Ujian
1. Ketua
: Dr. KH. Ahmad Mukri Adji, MA, MM
NIP. 150 220 554
(……..…………..)
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 150 290 159
(……..…………..)
3. Pembimbing I
: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
NIP: 150 275 509
(……..…………..)
4. Pembimbing II
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 150 290 159
(……..…………..)
5. Penguji I
: Dr. KH. Ahmad Mukri Adji, MA
NIP. 150 220 554
(……..…………..)
6. Penguji II
: H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc, MA (……..…………..)
NIP. 150 238 774
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta:
28 April
2009 M
9 Jumadil Awal 1430 H
Abdul Rahman
5
‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala yang memberi hidup dan
penghidupan, pengetahuan dan kemauan untuk menulis serta kekuatan hingga
penulisan skripsi ini selesai. Shalawat dan salam penulis kirimkan untuk orang yang
terpilih, Nabi Muhammad saw, yang atas kelahirannya Allah ciptakan semesta alam.
Semoga karunia iman dan berkah juga mengalir kepada para sahabat dan semua
pengikutnya hingga akhir zaman.
Menulis merupakan pengalaman unik sekaligus menegangkan namun cukup
menarik dijalani. Menulis tidak pernah memberi pengalaman yang sama dengan yang
dialami oleh generasi sebelumnya, ataupun penulis lainnya: menulis adalah
pengalaman individual. Walau begitu menulis adalah meta-dialog yang mengijinkan
seseorang memperoleh spirit pengetahuan dari banyak pihak sekaligus bertanggung
jawab kepada mereka. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A, Ketua Prodi PMH Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , dan Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag.,
Sekertaris Prodi PMH Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
6
Jakarta yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku
dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan
masukan, arahan, dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku ataupun
literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
atas semua pengetahuan yang diberikan pada penulis selama masa pendidikan
berlangsung.
6. Kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Ahmad Sani (Alm) dan Ibunda Lasinah,
yang senantiasa mendoakan penulis dan menberikan motifasi, baik moril maupun
materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, kasih sayang dan taufik-Nya
serta melimpahkan kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat.
Amin.
7
7. Kakak-kakakku yang tercinta Maryam, Lukman Hakim, Astri Suryani, Mushtofa
dan tak lupa adikku yang kusayangi Suryanti. Kalian adalah hidup, semangat dan
doaku.
8. Guru-guruku, para Kiyai dan dewan asatidz sejakku “Nyantri” di Al-Hamidiyah
(Depok-Jawa Barat), Bahrul Ulum (Jombang-Jawa Timur) hingga Darul Falah
(Jepara-Jawa Tengah) yang telah menancapkan keimanan dan keilmuan dalam
jiwaku dengan penuh keikhlasan. Semoga mereka selalu dalam naungan dan
keridhoan-Nya
9. Terima Kasih kepada seluruh Mahasiswa PF-B angkatan 2004, khususnya Anas
Shafwan Khalid SHI, Abdurrahman SHI, Abdul Halim Mahmudi SHI, Musthofa
Zahri, Madinah, SHI, Jannatul Firdaus, SHI, Jeffy Efrianti, SHI, Sinarembulan
SHI, Latifah, SHI dan teman-teman di semua periode hidupku, kalian adalah
wacana yang membentuk kepribadianku.
10. Terima kasih untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
yang telah memberikan dorongan, motifasi, bantuan moril maupun materil kepada
penulis dalam menyelesaikan studi penulis terutama penyelesaian penulisan
skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan
dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya ganjaran pahala yang
berlipat ganda.
8
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu masukan dan saran selalu penulis harapkan untuk kesempurnaanya.
semoga pula skripsi ini berguna bagi para pembaca. Amin
Jakarta:
28 April
2009 M
9 Jumadil Awal 1430 H
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN .....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................
7
D. Review Studi Terdahulu ..........................................................
8
E. Metode Penelitian ................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 12
BAB II : SISTEM PERTANAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Sejarah Pertanahan dalam Islam ............................................. 14
B. Hukum Pertanahan Islam ......................................................... 16
C. Ihyâ’ al-Mawât ........................................................................ 22
D. Al-Iqtâ’ .................................................................................... 29
10
BAB III : KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH
BERDASARKAN HUKUM POSITIF
A. Tanah dan Pembangunan ........................................................ 35
B. Latar Belakang Pembebasan Tanah di Indonesia..................... 39
C. Pengertian dan Macam-macam Pembebasan Tanah ............... 45
D. Pelaksanaan Pembebasan Tanah dan Ganti Rugi yang diberikan
Pemerintah ............................................................................... 46
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERILAKU
PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH
A. Efektifitas Kebijakan Pemerintah Tentang Pertanahan .......... 53
B. Dampak Pembebasan Tanah terhadap Kehidupan Rakyat ...... 58
C. Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam
Perspektif Fiqh ........................................................................ 62
D. Otoritas Pemerintah Demi Kemaslahatan di bidang Pertanahan dalam
Sorotan Fiqh ........................................................................... 65
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 73
B. Saran-Saran ............................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 76
LAMPIRAN ................................................................................................... 81
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan hukum pertanahan yang kelihatannya tidak pernah selesai
diperbincangkan dan dikaji orang adalah persoalan pengambilan tanah kepunyaan
penduduk mayarakat untuk keperluan proyek pembangunan yang biasa dikenal
dengan istilah pembebasan tanah. Hal ini memang menyangkut persoalan paling
kontroversial dalam masalah pertanahan. Pada satu sisi tuntutan pembangunan
akan tanah ternyata sudah sedemikian mendesak, dan pada sisi lain persediaan
tanah semakin langka dan terbatas.
Perkembangan proses pembangunan yang terus berkembang pesat di
Negara kita bukan saja memaksa harga tanah pada berbagai tempat semakin
melambung, akan tetapi juga telah menciptakan suasana dimana tanah sudah
menjadi komoditi ekonomi yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga
besar kemungkinan pembangunan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam
mengejar laju perkembangan harga tanah dimaksud.1
Tanah memang mempunyai arti yang sangat strategis bagi kehidupan
manusia di muka bumi dan hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung
1
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1991), cet.III, h.2
12
dan bersumber pada tanah, baik itu sebagai tanah pertanian, tempat pemukiman,
tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan dan lain sebagainya.2
Persoalan pembebasan tanah, pengadaan tanah atau apapun namanya
selalu menyangkut dua dimensi yang harus di tempatkan secara seimbang yaitu
kepentingan pemerintah dan kepentingan warga masyarakat. Dua pihak yang
terlibat yaitu penguasa dan rakyat harus sama-sama memperhatikan dan mentaati
ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai hal tersebut. Jika hal tersebut tidak
diindahkan akan timbul persoalan-persoalan seperti yang kita baca dalam
publikasi media masa dimana pihak penguasa dengan keterpaksaanya melakukan
tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak azasi dan sebagainya. Sedangkan
rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang
diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya.
Konflik kepentingan atas hak tanah akan terus meningkat dimasa akan
datang antara lain disebabkan oleh mekanisme pembebasan tanah yang tidak
memberikan akses pada warga masyarakat untuk
turut serta di dalam
pengambilan keputusan dan terutama yang berkenaan dengan penentuan
penggunaan tanah dan bentuk serta ganti rugi yang kurang wajar diterima oleh
mereka warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk keperluan pembangunan.
Sedangkan menurut pengamat politik Dr. Affan Gaffar persoalan tanah
akan terus menerus muncul disebabkan oleh beberapa hal:
2
Abdul Muis, Pembangunan dan Problematika Pertanahan, dalam Masdar F. Mas’udi
(ed.), Teologi Tanah, cet.I, (Jakarta : P3M, 1994), cet.I, h.55
13
1. Prosedur pelepasan atas tanah yang tidak didasarkan atas prinsip musyawarah
dengan masyarakat yang terkena pembebasan tanah.
2. Rendahnya nilai ganti rugi tanah yang diberikan oleh Pemerintah ataupun
pelaksana pembangunan sebuah proyek.3
Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha pembangunan baik
yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun pihak swasta dirasakan perlu
adanya kesatuan mengenai pembebasan tanah dan sekaligus penentuan ganti rugi
atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib dan seragam.
Masalah ganti rugi pembebasan tanah meskipun tata caranya menganut
prinsip musyawarah, tetapi seperti diberitakan media masa terkadang masih juga
timbul persoalan-persoalan akibat ketidakpuasan bekas pemilik tanah dengan
ganti rugi yang diterimanya.
Ciri-ciri permasalahan yang pada umumnya menjadi konflik di dalam
proses pembebasan tanah yaitu:
1. Pelaksanaan keharusan musyawarah antara panitia pembebasan tanah dengan
para pihak pemilik tanah.
2. Penetapan ganti rugi yang sering dirasakan jauh dari memadai.
Pembayaran ganti rugi ada kalanya mengalami keterlambatan. Prosedur
pembayaran ganti rugi yang sering tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Menurut penulis permasalahan ganti rugi atas pembebasan tanah itu
karena dalam peraturan perundang-undangan hukum positif ada unsur-unsur
3
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, h.2
14
bentuk ganti rugi yang perlu dipertimbangkan untuk ganti rugi di dalamnya.
Karena di dalamnya tidak ada keseimbangan antara penguasa pembebasan tanah
dengan rakyat yang tanahnya akan dibebaskan yaitu adanya susunan panitia yang
terdiri dari unsur-unsur birokrasi.
Beranjak dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas maka penulis
memandang perlu untuk mengkaji ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam dan
hukum positif untuk mencari alternatif pemecahan permasalahan dalam masalah
ganti rugi pembebasan tanah.
Islam adalah agama yang way of life dan oleh karenanya Islam sudah
tentu mempunyai konsepsi tentang segala segi hajat hidup. Persoalan tanah adalah
satu di antara hajat hidup, dan sudah tentu Islam mempunyai konsepsi tentang hal
tersebut. Melihat persoalan-persoalan yang terjadi pada saat ini khususnya pada
masalah pertanahan Islam mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan.
Hal tersebut telah di cetuskan dan dipelopori oleh Nabi Muhammad saw dan
dilanjutkan oleh para al- Khulafa’ al-Rasyidun.4
Islam mengajarkan agar hidup dalam bermasyarakat keadilan dan ihsan
dapat ditegakkan. Adil dan ihsan dalam kalangan muslim dan umat manusia pada
umumnya. Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan diri sendiri,
keadilan hukum dan keadilan sosial.5
4
Marsekan, Hak Milik Tanah dalam Islam, (Yogyakarta : t.n.p., t.th.), h.27
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta : Fak. Hukum
UII, 1990), h.28
5
15
Dalam hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang
lain. Dan setiap orang memiliki hak yang diperhatikan oleh orang lain serta dalam
waktu yang sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang
lain. Hubungan antara hak dan kewajiban itu diatur dengan batasan-batasan yang
telah ditentukan guna menghindari terjadinya bentrokan-bentrokan berbagai
kepentingan.
Dalam pola fiqih ada ketentuan-ketentuan tentang kewajibankewajiban kemasyarakatan yang dikenal dengan istilah fardu al-Kifâyah. Dan jika
hal itu diabaikan maka seluruh masyarakat yang menanggung dosanya.
Dalam ruang lingkup
pelaksanaan fardu al-Kifâyah terdapat
ketentuan-ketentuan pembatasan hak milik dan pencabutan hak milik untuk suatu
kepentingan umum seperti perluasan jalan raya, penggalian saluran air,
pembangunan masjid, rumah sakit dan sekolah dengan jalan mengganti kerugian
pemilik yang dibatasi atau dicabut haknya untuk kepentingan bersama dalam
bermasyarakat.
Begitu pentingnya tanah bagi manusia dapat dilihat dari kenyataan
bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Tanah menjadi suatu
kebutuhan di mana setiap individu membutuhkannya.
Sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah menjadi lebih
bernilai karena ia dapat beralih dari pemiliknya kepada pihak lain yang
menginginkannya. Peralihan kepemilikan tanah hubungannya sangat erat dengan
16
ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi seseorang yang
memperoleh tanah.
Islam pun mengakui bahwa manusia memerlukan tanah untuk
membangun sebuah atau lebih bangunan, guna mewujudkan barang-barang yang
dibutuhkan dan dapat digunakan pada saat-saat tertentu ataupun kebutuhan
komersial. Rasulullah saw sendiri menyimpan persediaan untuk memenuhi
kelangsungan hidup selama setahun setelah musim memetik tanaman kurma
tahunan.6 Pada tataran kondisi ini peranan penting dari tanah dalam aspek
konsumtif dalam mewujudkan keinginan manusia untuk mendirikan tempat
tinggal terlihat nyata. Aspek tersebut dapat dilihat dari target atas penggunaan
tanah.
Berdasarkan pemaparan di atas, membuat penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh tentang permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang, sehingga
penulis berkeinginan untuk meneliti tentang
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP RAKYAT (Analisis Kasus Pembebasan Tanah Dalam
Tinjauan Fiqh).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Kajian ini ingin memfokuskan diri pada pandangan Fiqh terhadap
praktek penyimpangan Pemerintah pada persoalan pembebasan tanah. Dalam hal
6
Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 19687), h.1
17
ini penulis mencoba membandingkan antara konsep ulama mazhab secara realitas
melalui fatwa Fatwa MUI No. 8/Munas VII/MUI /12/ 2005 dan Perpres No. 65
Tahun 2006 untuk mengetahui efektifitas peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan masalah ini.
Ringkasnya, beberapa pertanyaan berikut dapat menggambarkan
rumusan masalah skripsi ini:
1. Bagaimana
kebijakan
Pemerintah
dalam
menangani
praktek
kasus
pembebasan tanah?
2. Bagaimana efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 dalam mengatur persoalan
pembebasan tanah?
3. Bagaimana dampak kebijakan Pemerintah dalam pembebasan tanah terhadap
kesejahteraan rakyat?
4. Bagaimana perspektif fiqih dalam menyikapi kebijakan Pemerintah tentang
pembebasan tanah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian adalah :
1. Mengetahui kebijakan Pemerintah dalam menangani kasus pembebasan tanah.
2. Mengetahui efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 dalam mengatur
pembebasan tanah.
3. Mengetahui dampak kebijakan Pemerintah dalam pembebasan tanah terhadap
kesejahteraan rakyat.
18
4. Mengetahui pandangan fiqih terhadap praktek Pemerintah dalam menangani
kasus pembebasan tanah.
Manfaat penelitian adalah:
1. Bagi Penulis.
Kegiatan penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk menambah
pengetahuan teoretis dan memperluas wawasan untuk mempelajari secara
lansung dan menganalisis fiqh berikut Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang
pembebasan tanah.
2. Bagi Akademisi
Guna memberikan pertimbangan kepada para pembuat Undang-Undang untuk
memperhatikan kondisi masyarakat dalam membuat Undang-Undang,
sehingga hukum yang dilahirkan tidak hanya sebatas wacana belaka tapi dapat
diterapkan sesuai tujuan melahirkan hukum tersebut, dan menguntungkan
masyrakat.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam penulisan skripsi terdahulu, terdapat dua penelitian yang dilakukan
oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yakni:
1. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pepres No. 36 Tahun
2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan umum, oleh: Siti Faizah, SJPMH, 2005.
19
Penulis menguraiakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan jika benar-benar
untuk kepentingan umum, dan pemilik tanah harus rela melepaskan tanah
miliknya demi kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum menurut hukukm positif dan hukum
Islam dilakukan dengan cara penyerahan dan pencabutan hak atas tanah. Islam
juga mengakui adanya pencabutan hak milik demi kepentingan umum, karena
tanah memiliki fungsi sosial yang dapat digunakan untuk kemashlahatan
umat. Kepentingan umum merupakan kepentingan yang manfaatnya dinikmati
masyarakat umum tanpa adanya diskriminasi.
2. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kritis Terhadap
Perpres No. 65 Tahun 2006), oleh: Jalaluddin Noor, SJPMH, 2007.
Penulis mengurai tentang kepentingan umum dalam Perpres No.
65 Tahun 2006, sesuai pasal 2 butir 5 adalah kepentingan sebagian besar
lapisan masyarakat. Tindakan Pemerintah sesuai pasal 18 Perpres No. 65
Tahun 2006 merupakan ketentuan yang tidak mengandung unsur pembatasan,
setiap hak atas tanah baik yang telah memiliki surat-surat resmi/sertifikat
maupun belum dapat dicabut atas dalih pembangunan bagi kepentingan
umum. Hukum Islam memberikan wewenang kepada pemerintah untuk
mencabut hak milik demi kepentingan umum, tetapi hal tersebut di lakukan
berdasarkan persetujuan DPR dan DPRD.
20
Dalam skripsi ini penulis akan menguraikan tentang perilaku
pemerintah di dalam menentukan suatu kebijakan dalam pertanahan. Dalam
hali ini tentunya pemerintah menggunakan peraturan tersendiri yang mengatur
tentang kasus pembebasan tanah antara lain Perpres No.65 Tahun 2006.
Namun Penulis memiliki sorotan yang berbeda dalam skripsi ini,
untuk membedakannya dengan dua skripsi terdahulu yang telah disebutkan di
atas. Dalam skripsi ini akan dibahas secara fokus tentang legalitas peraturan
yang dibuat pemerintah dalam perspektif fiqih dan Fatwa MUI No. 8/ Munas
VII/MUI/12/2005 . Selain itu penulis juga menyoroti tentang otoritas
Pemerintah sebagai pengatur kekuasaan untuk mewujudkan kemaslahatan
rakyat dan dampak yang ditimbulkan dari pembebasan tanah terhadap
kesejahteraan hidup rakyat.
E. Metode penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan normatif
sosiologis yaitu dengan mengkaji hukum terlebih dahulu kemudian dampak dari
hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Sehingga dalam perolehan data
penelitian penulis memilih penelitian kepustakaan (library research),7 berkenaan
7
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data
dan informasi dengan bantuan materi yang berupa buku, majalah, dokumen dan yang lainnya.
Lihat: Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006),
h.28
21
dengan perundang-undangan mengenai persoalan pertanahan dan aspek sosiologis
masyarakat terkait dengan persoalan yang dimaksud.
Selain itu penulis juga menyajikan penelitian lapangan (field research),
dengan cara, penulis langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang
berkaitan dengan pokok permasalahan.
Untuk data primer penulis mengacu pada Perpres No. 65 Tahun 2006,
Fatwa MUI No. 8/Munas VII/MUI/12/2005, Fatwa MUI No. 6/Munas
VII/MUI/10/2005, Al-Qur’an, al-Hadis dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh, seperti
kitab Al-asybah Wa al-Nazâ`ir Fi al-Furu’ karya Jalâluddin al-Suyûti dan Al-fiqh
al-Islâmi Wa Adillatuh karya Wahbah Zuhayli. Sedang pada data sekunder
penulis mengutip berbagai literatur seperti buku, artikel, majalah, internet dan
lainnya yang terkait dengan tema skripsi.
Dalam metode analisis data untuk penulisan skripsi ini yang digunakan
oleh penulis adalah analisis isi (content analysis), yaitu penguraian data melalui
kategorisasi,
perbandingan
dan
pencarian
sebab
akibat,
baik
dengan
menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa
berbagai data untuk diambil kesimpulan), maupun metode analisa deduktif
(berangkat dari ungkapan umum kemudian dihubungkan dengan pertanyaan yang
lebih sempit)
Adapun tehnik penulisan ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh
Fakultas Syari’ah dan Hukum Tahun 2007.
22
F. Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review
Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Sistem Pertanahan Dalam Hukum Islam
Berisi ulasan teoretis berkenaan dengan pertanahan dalam Islam.
Meliputi Sejarah Pertanahan, Hukum Pertanahan, Ihya’ al-Mawât, dan
Al-Iqta’.
Bab III Kebijakan Pemerintah Dalam Pembebasan Tanah Berdasarkan
Hukum Positif
Mengenai perspektif hukum positif tentang pembebasan tanah. Pada bab
ini, penulis akan menguraikan hubungan tanah dan pembangunan, latar
belakang pembebasan tanah di Indonesia, pengertian dan macam-macam
pembebasan tanah, pelaksanaan pembebasan tanah dan ganti rugi yang
diberikan pemerintah.
Bab IV Analisis Hukum Islam Terhadap Perilaku Pemerintah Dalam
Pembebasan Tanah
Berupa analisis penulis tentang beberapa poin sentral mengenai praktik
pembebasan tanah, seperti: efektifitas kebijakan pemerintah tentang
pertanahan, dampak pembebasan tanah terhadap kehidupan rakyat,
Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam
23
Perspektif Fiqih serta otoritas Pemerintah demi kemaslahatan dibidang
pertanahan dalam sorotan fiqih.
Bab V
Penutup, Berupa kesimpulan penelitian
24
BAB II
SISTEM PERTANAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Sejarah Pertanahan Dalam Islam
Syariah Islam tidak mempunyai satu teori yang lengkap yang
berhubungan dengan sistem pertanahan atau Undang-undang pertanahan, tetapi
melalui gabungan beberapa Undang-undang seperti kontrak, peraturan-peraturan
yang berhubungan dengan pengambilan balik harta, peraturan pajak tanah dan
hasil tanah, peraturan penaklukan, pembagian harta rampasan perang dan lainlain.8
Perkembangan Undang-undang pertanahan Islam secara ringkas dapat
dilihat pada praktek-praktek yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW serta para
sahabat dalam pemerintahan mereka masing-masing. Pada zaman Rasulullah
SAW tidak banyak timbul persoalan-persoalan yang berhubungan dengan harta
dan tanah, kecuali yang berkaitan dengan harta-harta rampasan perang
(ghanimah)9 yaitu tanah-tanah orang Yahudi di sekitar Madinah. Hal ini
disebabkan lahan-lahan pertanian di Semenanjung Tanah Arab yang terlalu
sedikit.10
8
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, Tesis
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2002, h. 48-49
9
Ghanimah adalah harta kekayaan yang diperoleh orang-orang muslim dari non muslim
melalui peperangan. Ghanimah ini tidak hanya berupa harta (baik bergerak ataupun tidak), tetapi
juga orang-orangnya dapat berupa tawanan perang ataupun perempuan dan anak-anak. Ridwan,
Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2007), h. 297.
10
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam., h. 49-50
25
Dalam perkembangan sejarah, penaklukan pertama yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan orang-orang Islam ialah kepada Bani Nadhir (4 H/623 M).
Rasulullah SAW telah mengambil tanah-tanah Bani Nadhir di Madinah dan ini
merupakan perluasan wilayah taklukan yang mula-mula dilakukan oleh negara
Islam.11
Sedang pada masa kekhalifahan pada pemerintahan khalifah pertama
yaitu Abu Bakar Siddiq r.a tidak banyak mengalami perubahan tentang sistem
pemilikan tanah, bahkan sistem yang sama dengan zaman Rasulullah SAW telah
dilaksanakan. Tetapi setelah khalifah Umar bin Khattab r.a dilantik menjadi
khalifah kedua, sistem pemilikan tanah telah banyak berubah, dan banyak
pembaharuan Undang-undang tanah telah diperkenalkan. Zaman Umar r.a boleh
digambarkan sebagai zaman perluasan wilayah-wilayah yang berdekatan dengan
semenanjung Arab, disebelah timur negeri Persia, sebelah barat Syam dan Mesir,
dan di sebelah selatan ialah Afrika. Sedangkan negeri-negeri ini mempunyai
bentuk muka bumi dan kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk pertanian.12
Kesan utama yang timbul dari penaklukan wilayah-wilayah yang baru itu
ialah masalah pembagian tanah-tanah di wilayah tersebut. Hal ini dapat
diperhatikan melalui tindakan Umar r.a atas tanah Sawad di Irak. Umar enggan
membagikan tanah Sawad kepada tentara-tentara Islam yang menaklukinya
melalui peperangan. Menurut Umar r.a tanah Sawad tidak boleh dibagikan seperti
11
12
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 53
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 55
26
pembagian yang dibuat pada harta rampasan perang. Bahkan harta itu hendaklah
diletakkan dibawah hak milik baitul mal orang-orang Islam dan hendaklah
dibelanjakan bagi kepentingan mereka.13
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa hukum pertanahan Islam telah
dilakukan pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tetapi ketentuan
pertanahan itu hanya sebatas praktek-praktek yang dilakukan pada masa
pemerintahannya masing-masing, dan belum dikodifikasikan secara lengkap.
B. Hukum Pertanahan Islam
Dalam hukum Islam ada beberapa macam tanah yang masuk ke dalam
wilayah kekuasaan umat Islam yaitu berupa tanah baru yang diperoleh melalui
penguasaan atau penaklukan dan berupa wilayah lama, yaitu yang mereka tempati
sendiri.14 Kedua jenis tanah tersebut akan dibahas sebagai berikut:
1. Tanah yang dimiliki karena penaklukan
Tanah yang dikuasai dalam jenis ini ada 3 macam, yaitu tanah yang
dimiliki secara paksa, tanah yang diserahkan oleh pemiliknya karena takut,
dan tanah yang dimiliki karena kesepakatan.
a) Tanah yang diperoleh secara paksa
Menurut mayoritas ulama Malikiyah, kepemilikan atas tanah dapat
berpindah kepada para penakluk dengan cara penaklukan, begitupun
13
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 56
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi Wa Adillatuhu, (Beirut : Dâr-al Fikr,
2004), h. 4595
14
27
menurut Hanabilah, Syi’ah Imamiyah dan Zaidiyah. Sebab tanah
merupakan harta yang bisa lepas dari penguasaan para penakluk jika tanah
itu masih bisa dipertahankan, sehingga sama dengan barang mubah yang
dapat dimiliki oleh orang yang memperoleh dan menjaganya. Menurut
ulama Syafi’iyah, kepemilkan atas tanah dan benda-benda bergerak
lainnya adalah dengan penguasaan dan pembagian yang disepakati atau
dengan upaya memilikinya. Sedang menurut Hanafiyah, kepemilikan itu
tidak dapat berpindah kecuali dengan memasukkannya sebagai wilayah
kekuasaan Islam.15
b) Tanah yang diberikan oleh pemiliknya karena takut
Jenis tanah yang kedua adalah tanah yang dikenal dengan fay', yaitu
harta kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dari para kafir harbi
dengan tanpa melalui peperang atau mengerahkan pasukan kuda dan
unta,16 seperti halnya jizyah17 yang pajaknya 1/10 dalam perdagangan.
Ketentuannya kepemilikan atas tanah ini beralih pada baitul mal, dan
menjadi milik negara. Para fukaha menilainya sebagai wakaf milik umat
Islam,
dan
Pemerintah
mengenakan
pajak
kepada
orang
yang
memanfaatkannya, perorangan ataupun persekutuan. Perihal wakaf itu
15
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi, h. 4595-4596
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2007), cet.II, h.278
17
Jizyah adalah pajak yang dipungut oleh Negara Islam dari rakyat non muslim
yang membuat perjanjian dengan penguasa Islam, yang dengan membayar pajak itu
mereka mendapat jaminan perlindungan dari Negara yang bersangkutan. ‘Jizyah’ dalam
Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 2 (Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), h. 824
16
28
dikarenakan harta ini bukanlah ghanimah, sehingga ini menjadi hak
seluruh umat Islam. Para fuqaha sepakat hal itu sebanding dengan harta.
Hanya saja Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa mewakafkan
tanah itu mengharuskan keterangan dari Pemerintah, agar tanah itu
menjadi tanah wakaf.
Sementara itu benda-benda bergerak dalam harta fay'18, menurut
Jumhur Ulama juga dapat diwakafkan dan dikelola untuk kepentingan
umat, dan pemerintah yang berhak untuk mengelolanya.
Jika pemerintah ingin membagi-bagikan harta fay' kepada masyarakat
Islam, maka harus membuat panitia yang menjaga, mengaturnya, dan
membagikannya sesuai kebutuhan bulanan.19
c) Tanah yang diperoleh melalui kesepakatan
Ketentuan hukum tanah ini terbatas pada akad damai, baik tanah itu
menjadi tanah milik umat Islam atau tetap menjadi tanah pemiliknya,
seperti tanah Yaman dan Hairah. Pada kategori pertama, tanah menjadi
18
Menurut Imam Syafi'i dalam qaul qadim, fay' atau harta yang diambil dari orangorang kafir tanpa melalui perang tidak diambil 1/5 seperti dalam pembagian ghanimah,
karena harta fay' sepadan dengan harta yang diperoleh melalui perniagaan. Sedang dalam
qaul jadid, Imam Syafl'I berpendapat bahwa harta fay' diambil 1/5 seperti dalam
pembagian ghanimah. Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul
Qadim Qaul Jadid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h. 295
19
Pemerintah, diwakili oleh lembaga peradilan dapat menentukan kepemilikan atas
tanah kepada orang lain yang dianggap lebih mampu dan mengandung maslahat. Baik
dalam bentuk hak pakai ataupun hak milik, dengan catatan bahwa tanah itu bukan tanah
fay'. Selain itu, pemerintah tidak boleh mengalihkan hak itu untuk kepentingannya
sendiri. AI-Khatib Al-Syarbiniy, Mughnî al-Muhtaj, Jilid 2, (Beirut : Dâr al-Fikr, 2003),
h. 497-499
29
wakaf untuk umat Islam, seperti tanah taklukan, dan dianggap sebagai
bagian dari Negara Islam, seperti tanah yang telah diserahkan oleh
pemiliknya. Sebab Nabi Saw menaklukkan Khaibar dan berdamai dengan
penduduknya untuk mengurus tanahnya, dan mereka berhak atas separuh
hasil buminya, dan sisanya untuk umat Islam. Ibnu Umar pernah berkata:
Nabi memperlakukan Khaibar separuh dari hasil tanahnya, buah dan
tanaman. Dan Nabi pun berdamai dengan Bani Nadhir, bahwa para
lelakinya tetap sebagai penduduk Madinah dan mereka berhak atas unta
dan harta benda, selain senjata yang menjadi harta yang diberikan Allah
untuk rasul-Nya. Tanah seperti ini dikenai pajak dan hal itu menjadi
kemestian, artinya ketika seorang muslim membeli sebagiannya, ia juga
dikenai pajak. Sebab hal itu dianggap sebagai upah dari pemakaian tanah.
Hal ini sudah menjadi kesepakatan para fuqaha.20
Sementara pada kategori kedua, tanah tetap menjadi hak pemiliknya
berdasarkan kesepakatan, dan orang Islam pun wajib memenuhi
persyaratan perdamaian secara total, selagi mereka tetap konsisten dengan
perdamaian. Akan tetapi mereka dikenai pajak atas tanah yang mereka
miliki, dan pemasukan pajak ini milik baitul mal. Pajak ini diperhitungkan
sebagai jizyah, yang mana ketika mereka masuk Islam kewajiban itu
gugur, ini menurut jumhur ulama dan Syi'ah Imamiyah yaitu berdasarkan
20
Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4605-4606
30
surat Umar bin Abdul Aziz kepada para pegawainya: "Tak ada kewajiban
pajak atas tanah bagi orang yang telah memeluk Islam. "21
Ulama Hanafiyah dan Syi'ah Zaidiyah berpendapat bahwa kewajiban
pajak itu tidak gugur, dikarenakan ada makna biaya dan balasan dalam
pajak, sehingga tetap wajib atas orang yang masuk Islam, dan tidak
terkecuali.22
Wilayah para penandatangan kesepakatan itu dianggap oleh
Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah sebagai wilayah perdamaian
atau perjanjian. Tapi menurut Jumhur wilayah itu adalah wilayah Islam
yang penduduknya diposisikan sebagai ahl dzimmah yang wajib dikenai
pajak.
2. Tanah yang berada dalam wilayah kekuasaan
Ada dua jenis tanah dalam kategori ini, yaitu tanah yang berpemilik dan
tanah mubah. Tanah yang berpemilik dibagi menjadi dua kategori, tanah yang
dipakai dan tanah yang dibiarkan (bero). Begitupun tanah mubah ada yang
dipakai untuk kepentingan mencari kayu dan mengembala binatang, ada juga
tanah kosong yang kini disebut sebagai tanah milik Negara. Jadi yang
dimaksud sebagai tanah yang dipakai adalah tanah yang digunakan sebagai
pemukiman, wilayah pertanian atau yang lainnya.23 Sedang tanah bero adalah
21
Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4605-4606.
Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4607
23
Al-Khâtib As-Syarbîniy, Mughnî Al-Muhtâj, h. 490-491
22
31
tanah yang kering tak berair, tidak ditempati sebagai pemukiman atau untuk
kepentingan apapun.
Adapun ketentuan hukum yang berlaku pada tanah milik yang dipakai
adalah tak seorang pun berhak menggunakannya tanpa izin pemiliknya.
Sedangkan tanah bero yang sudah kering, tanah ini masih menjadi hak
pemiliknya, sekalipun periode keberoannya lama, bahkan bisa dijual,
digadaikan, dihibahkan atau disewakan dan diwariskan. Ketentuan ini berlaku
jika pemilik tanah itu diketahui, jika tidak diketahui maka tanah itu berstatus
luqathah.24
Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat
mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati
batas waktu 3 tahun.Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan
seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi
tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum, dalam pandangan Islam
prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena pemanfaatan tanah itu sendiri.
Artinya,
kepemilikan
terhadap
tanah
menimbulkan
konsekuensi
pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan
konsekuensi pemilikan. Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah
melalui pewarisan, akad pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.
24
Al-Zuhaily, Al-Flqh Al-Islami, h. 4607
32
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah bahwa tidak ada sesuatu yang boleh
diperoleh secara gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja
orang lain. Allah membenci sumber daya yang ditelantarkan, dan juga orang
pemalas. Orang yang telah bekerja keras untuk hidup, di mata Islam sama
baiknya dengan jihad berjuang di jalan Allah.
C. Ihya' Al-Mawăt
1. Pengertian
Secara etimologis, kata ihya' berarti upaya menjadikan sesuatu menjadi
hidup, aktif dan memiliki kepekaan serta daya tumbuh. Kata al-mawat dapat
diartikan sebagai tanah yang tak bertuan atau tanah bero, tanah yang tak terpakai.
Ringkasnya, tanah yang tidak digunakan. Sehingga ihya’ al-mawât berarti
menggunakannya.25
Secara terminologis ihya’ al-mawât berarti memperbaiki tanah dengan
cara membangun, menanami atau membalik tanah yang tanah kosong, tak berair
dan belum dimiliki atau dimanfaatkan oleh siapapun. Dan ada beberapa definisi
yang dikemukakan para ulama tentang ihya' al-mawât, yaitu sebagai berikut:
25
AI-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami, h. 4614-4615 bandingkan dengan Ibn Qudamah alMuqaddasi, Al-Mughni Wa l--Syarh al-Kabir, h. 147
33
a. Menurut ulama Hanafiyah ihya' al-mawât adalah penggarapan lahan yang
belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh
dari pemukiman.26
b. Menurut Imam Rafi'i ihya’ al-mawât adalah mengusahakan sebidang tanah
yang tidak ada atau tidak diketahui pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh
seseorang.27
c. Menurut Imam Syafi’I dalam kitab al-umm, ihya’ al-mawât adalah sebidang
tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorangpun yang
memanfaatkannya.28
Dengan demikian definisi ihya’ al-mawât dapat dikatakan memperbaiki
tanah pertanian atau membuatnya bisa dijadikan lahan pertanian, dengan
membuang semua pantangannya (bebatuan, rerumputan), membuat saluran air,
menimbuni dengan tanah yang cocok untuk pertanian serta memagarinya.
Cara ihya' al-mawât pada umumnya meliputi salah satu dari beberapa
tindakan berikut, yaitu menyuburkan tanah, membersihkan tanah, menanaminya
dengan tumbuh-tumbuhan, membangun dinding atau memagarinya, dan menggali
parit yang di sekelilingnya. Namun semua itu tergantung pada adat kebiasaan
dalam membangun tanah tersebut.29
26
Al-Imâm Abi al-Qâsim Abd al-Karîm bin Muhammad al-Rafi’I, Al-‘Azîz Syarh alWajîz, Juz. VI, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), h. 205
27
al-Rafi’i, Al-‘Azîz h. 205.
28
Al-Imam Muhammad bin Idrîs al-Syafi’I, Al-Umm, Juz. V, (Beirut : Dâr al-Wafa`,
2005), h. 77-78
29
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi'i, Edisi Lengkap: Muamalah,
Munakahat, Jinayah, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), cet.I, h. 143
34
Keberlakuan syari'at tentang hal ini diatur dalam beberapa hadits berikut:
‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ ﺍﹶﺭ‬‫ﻲ‬‫ ﺍﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺍﷲِ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
30
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺔﹰ ﻓﹶﻬﹺﻲ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻣ‬
Artinya: Dari Jâbir bin ‘Abdillâh R.a. dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia berhak
terhadap tanah tersebut." (HR. Al-Tirmidzi)
‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺔﹶ ﺭ‬‫ﺸ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
31
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﹶﺣ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ِﻻﹶﺣ‬‫ﺖ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﺿ‬‫ﺍﹶﺭ‬
Artinya: Dari ‘Aisyah R.a. dari Nabi SAW. Bersabda : “Barang siapa yang
menyuburkan sebidang tanah yang tak ada pemiliknya, maka dia lebih
berhak terhadap tanah tersebut.” (HR. Bukhari)
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya membuka lahan yang belum
dimiliki dan digunakan oleh siapapun, yaitu dengan menanami, membajak
tanahnya, membangun atau memagarinya. Selain itu, hadis-hadis di atas
menunjukkan bahwa membenarkan pembukaan lahan kosong, untuk kepentingan
manusia, seperti kepentingan pertanian, memakmurkan alam yang bisa
menghasilkan keuntungan ekonomis dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat
luas.
30
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, (Beirut : Dâr alFikr, 1994), h. 90
31
Al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ismâîl al-Bukhâri, Sahih al-Bukhâri, Juz 3,
(Beirut : Dâr al-Fikr, t.th), h. 139
35
Dalam hal ini tidak semua tanah dapat dibuka atau dijadikan sebagai
lahan miliknya. Para fukaha sepakat tanah ini terbatas pada tanah yang belum
dimiliki dan tak ada tanda pemakaian dan pemanfaatnnya. Namun mereka
berselisih pendapat berkenaan dengan jenis-jenis tanah, seperti uraian berikut32
1) Tanah atau lahan yang sebelumya telah digarap seseorang tapi kemudian
ditingalkan sehingga menjadi lahan kosong. Terhadap tanah seperti ini Ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh digarap orang lain, karena
tanah itu sebelumnya telah digarap oleh seseorang, sekalipun setelah itu ia
tinggalkan kosong. Tanah seperti ini termasuk kedalam kategori yang telah
menjadi milik orang lain. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, pakar fiqh Hanafi
menyatakan bahwa tanah seperti itu boleh digarap orang lain, selama
penggarap sebelumnya tidak diketahui, dan lahan itu berada jauh dari
pemukiman penduduk. Ulama Malikiyah menyatakan tanah yang telah
berubah menjadi tanah kosong, sekalipun sebelumnya telah digarap orang
lain, lalu ia tinggalkan sehingga tidak terurus boleh digarap oleh orang lain.33
Alasannya adalah keumuman hadis yang menyatakan :
‫ﻲ‬‫ ﺍﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺍﷲِ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ﻦ ﺟ‬‫ﻋ‬
34
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺔﹰ ﻓﹶﻬﹺﻲ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺿ‬‫ﺍﹶﺭ‬
Artinya: Dari Jâbir bin ‘Abdillâh R.a. dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia
berhak terhadap tanah tersebut." (HR. At-Tirmidzi)
32
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 47-48
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 47
34
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, h. 90
33
36
2) Tanah atau lahan yang di dalamnya ada bekas-bekas pemerintahan kuno,
seperti pemerintah Bizantium dan peninggalan kaum Samud. Lahan seperti
ini, menurut kesepakatan mazhab yang empat, boleh dijadikan obyek ihya' almawât. Akan tetapi, di kalangan ulama Syafi'iyah ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa lahan seperti itu tidak termasuk obyek ihya' al-mawât.
3) Tanah atau lahan yang sebelumnya dimiliki oleh orang Islam atau kaum
dzimmi (orang kafir yang tinggal dan tunduk kepada perturan Negara Islam),
namun tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya. Ulama Hanafiyah,
Malikiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa lahan seperti ini boleh dijadikan ihya' al-mawât. Adapun ulama
Syafi'iyah menyatakan bahwa lahan seperti itu adalah sama dengan harta yang
hilang. Tanggung jawab untuk memelihara lahan seperti itu berada di pundak
pemerintah, sampai diketahui pemiliknya, dan tidak bolah dijadikan obyek
ihya' al-mawât oleh seseorang. Pendapat terkuat dikalangan Hanabilah
menyatakan bahwa lahan seperti itu tidak boleh dijadikan obyek ihya' almawât, tetapi lahan itu berstatus al-fai' (harta yang diperoleh umat Islam
melalui suatu penaklukan daerah kafir, tanpa peperangan dan digunakan untuk
kemaslahatan umat Islam). Harta seperti ini menurut ulama Hanabilah, boleh
dipergunakan untuk kepentingan umum.
37
2. Syarat-syarat Membuka Lahan35
1. Syarat pelaku (al muhyi)
Muhyi adalah orang yang melakukan pembukaan lahan yang
menjadi sebab kepemilikan, menurut Jumhur (Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah) tidak disyaratkan beragama Islam. Hal ini berdasarkan redaksi
hadits yang umum "orang yang membuka lahan, dia pemiliknya "; dan
juga karena membuka lahan adalah salah satu sebab kepemilikan. Dalam
hal ini muslim dan non-muslim sama.36
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan si pembuka lahan adalah muslim,
seorang dzimmi tidak berhak melakukannya, sekalipun mendapat izin dari
Pemerintah. Sebab membuka lahan berarti menguasainya. Jika seorang
dzimmi membuka lahan, maka ia bebas dari kewajiban pajak.
2. Syarat lahan yang hendak dibuka (al muhyat)
a. Bukan lahan yang telah miliki seseorang (baik muslim ataupun
dzimmi) dan bukan hak perorangan.
b. Tidak dimanfaatkan oleh penduduk perkampungan, baik jauh ataupun
dekat.
c. Menurut ulama Syafi'iyah lahan itu berada di wilayah Islam. Jika
berada di wilayah non-muslim, seorang muslim berhak membukanya
35
AI-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h. 4625-4627
Akan tetapi, penulis Al Mughni Wa as Syarh al Kabir mencatat, Imam Malik
membatasi ketentuan ini pada wilayah taklukan, tidak pada wilayah islam. Dalam
wilayah islam, seorang dzimmi tidak berhak membuka lahan kosong. Lih. Ibn Qudamah
al-Mukadasiy, Al Mughni Wa as Syarh al kabir, h. 150
36
38
jika pemiliknya tidak mencegahnya. Sedang ulama Jumhur selain
Syafi’iyah tidak menysaratkan ketentuan ini, tidak ada beda antara
wilayah Islam ataupun non-muslim.37
3. Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan
a. Menurut Abu Hanifah, harus memperoleh izin dari pemerintah.
Apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak
boleh langsung menggarap lahan itu. Menurut ulama Malikiyah jika
lahan itu dekat dengan pemukiman, untuk menggarapnya harus
mendapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman
tidak perlu izin dari pemerintah. Sementara ulama Syafi'iyah,
Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani keduanya pakar
fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi obyek
ihya' al-mawât jika ingin digarap oleh seseorang tidak perlu mendapat
izin dari pemerintah karena harta seperti itu adalah harta yang boleh
dimiliki oleh setiap orang, namun dianjurkan mendapatkan izin dari
pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
b. Menurut ulama Hanafiyah, lahan itu sudah harus digarap dalam waktu
tiga tahun jika selama tiga tahun lahan itu tidak digarap secara intensif,
37
Di antara argumen yang dapat disebutkan adalah bahwa wilayah non-muslim
dapat diperoleh dengan cara penaklukan secara paksa atau perdamaian. Di sinilah
relevansi ghanimah dan fay', seperti dalam ulasan tentang tanah. Ibn Qudamah alMukadasiy, Al mughni Wa as Syarh al Kabir, h. 150
39
maka pihak
pemerintah
berhak
mengambil
lahan
itu,
serta
memberikannya kepada orang lain.38
D. Al-Iqta'
1. Pengertian
Secara etimologi, al-Iqta'39 berarti memotong. Persoalan al-Iqta' di
dalam fiqih Islam dibahasa dalam persoalan yang menyangkut pemilikan lahan
oleh pribadi maupun pemerintah. Secara terminologi para ulama fiqh
mendefinisikan al-Iqta' sebagai ketetapan pemerintah tentang penentuan lahan
kepada seseorang yang dianggap cakap menggarap lahan itu, baik penetapan itu
sebagai hak milik, maupun hak pemanfaatan lahan.40 Selain itu iqta’ juga dapat
didefinisikan sebagai harta yang diberi Pemerintah dalam bentuk tanah.
Pemberian tersebut dapat menjadi hak atupun hanya sebagai bentuk
pemanfaatan terhadap tanah tersebut.41
Menurut Qadhi lyadh yang dimaksud dengan al-Iqta' (membagi-bagi
tanah) adalah pembolehan atau izin kepala Negara untuk memanfaatkan
sesuatu dari kekayaan Allah kepada orang yang beliau pandang ahli dalam
bidang itu.42
38
Haroen, Fiqh Muamalah, h, 49-50
Kâmil Musâ, Ahkâm al-Mu’âmalât, (Beirut : al-Risâlah, 1998), h. 40
40
Haroen, Fiqh Muamalah, h. 51 -52
41
Muhammad Rawwâs Qal`aji, Mausû`ah Fiqh `Umar ibn al-Khatâb, (Beirut : Dâr
al-Nafâis, 1986), h. 81
42
Al-Imâm Muhammad ‘Ali al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Juz.V, (Mishr: al-Halabî,
t.th), h. 351
39
40
Jadi al-Iqta' adalah ketetapan pemerintah tetang penentuan tanah
kepada seseorang yang dianggap cakap menggarap tanah tersebut, baik
penetapan itu sebagai hak milik maupun hak pemanfaatannya saja, dengan
syarat tanah tersebut belum dimiliki orang lain.
2. Dasar hukum al-Iqta'
Para ulama fiqih menyatakan bahwa pihak penguasa dibolehkan
menyerahkan penggarapan lahan kosong yang dimiliki seeorang kepada
seorang yang dianggap cakap untuk menggarap lahan itu, baik penyerahan
lahan itu berupa pemilikan, maupun merupakan hak memanfaatkan lahan itu
selama waktu tertentu. Alasan mereka membolehkan hal ini adalah sebuah
riwayat yang menyatakan bahwa :
‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬،‫ﻪ‬‫ ﺍﹶﺑﹺﻴ‬‫ﻦ‬‫ﺙﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ﻞﹴ ﻳ‬‫ﺍﺋ‬‫ﻦﹺ ﻭ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
43
(‫ )ﺭﻭﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻳ‬‫ﺎ ﺍ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﻘﹾﻄ‬‫ﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﺚﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬،‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﺿﺎﹰ ﺑﹺﺤ‬‫ ﺍﹶﺭ‬‫ﻪ‬‫ﺍﹶﻗﹾﻄﹶﻌ‬
Artinya: "Dari ‘Alqamah bin wa`il diceritakan dari ayahnya (Wa`il bin
Hajar) Bahwasanya Nabi SAW. Telah menetapkan sebidang
tanah di Hadramaut (Yaman) dan mengirim Mu'awiyah untuk
menentukannya. " (HR. At-Tirmidzi)
Hal yang sama dilakukan pula oleh Rasulullah untuk Jubair bin
Awwam seperti yang dijelaskan dalam hadis yang lain yang berkaitan dengan
masalah al-Iqta'.
43
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, h. 91
41
3. Macam-macam al-Iqta'
Ada beberapa macam al-Iqta' yang dikemukan oleh para ulama fiqh yaitu:44
a. Hukum Iqta' al-Mawât (lahan kosong yang digarap seseorang). Para ulama
fiqih menetapkan bahwa Pemerintah dibolehkan untuk menetukan dan
menyerahkan sebidang lahan untuk digarap oleh orang tertentu yang
dianggap cakap dalam menggarap lahan itu. Tujuannya adalah agar lahan itu
menjadi lahan yang produktif dan masyarakat terbantu. Alasannya adalah
hadis-hadis Rasulullah di atas, ulama Malikiyah menyatakan bahwa jika
Pemerintah menentukan sebidang lahan untuk digarap seseorang, maka lahan
itu berstatus hak milik penggarap, sekalipun belum ia garap. Alasannya
adalah karena ketetapan pemerintah itu mengacu kepada pemilikan.
Sedangkan Jumhur ulama menyatakan bahwa lahan yang diserahkan
Pemerintah untuk seseorang itu tidak berstatus hak milik, tetapi menjadi hak
pemanfaatan lahan dalam jangka waktu tertentu yang oleh ulama Hanafiyah
dibatasi selama tiga tahun, sehingga apabila Pemerintah meminta kembali
lahan
itu,
penggarap
harus
mengembalikannya.
Ulama
Hanabilah
menyatakan bahwa Pemerintah boleh saja menjanjikan lahan itu menjadi hak
milik seseorang atau hak pemanfaatan oleh seseorang, baik lahan itu lahan
kosong yang belum dimiliki orang maupun lahan Negara, jika Pemerintah
dalam penentuan itu ada kemaslahatan yang lebih besar.45
44
45
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 733
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 733.
42
b. Hukum Iqta' al-irfaq (lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum). Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendirian bahwa Pemerintah
boleh menetapkan lahan tertentu untuk pekarangan masjid, tempat-tempat
istirahat di pasar, dan jalan yang luas, dengan status hak pemanfaatan saja
bukan hak milik, selama penetapan lahan itu tidak merugikan kepentingan
orang banyak. Apabila Pemerintah memerlukan lahan itu, mereka dapat
memintanya kembali, dan berakhirlah hak pemanfaatan lahan itu oleh
penggarap. Iqta' al-irfaq contohnya adalah seperti apa yang terjadi di
wilayah Indonesia yaitu lahan-lahan yang digarap oleh para transmigran di
berbagai wilayah Indonesia.46
c. Hukum Iqta' al-ma'âdin (harta terpendam).
Kata al-ma'âdin berarti tambang atau sumber barang-barang tambang.
Terdapat perbedaan ulama fiqh dalam mendefinisikan al-ma'âdin. Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa al-ma'âdin adalah seluruh harta yang
terpendam dalam tanah, baik atas kehendak Allah Swt, seperti bijih besi, emas
dan perak, maupun harta yang disimpan manusia zaman dahulu (harta karun).
Selain itu juga ulama ini menyamakan status al-ma'adin dengan harta karun
yang tersimpan di dalam tanah (rikaz).47
Akan tetapi, Jumhur ulama membedakan antara rikaz dan al-ma'adin.
Rikaz adalah harta terpendam yang disimpan orang terdahulu sebelum adanya
46
47
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 734.
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 735
43
Islam. Sedangkan al-ma'âdin adalah harta terpendam yang disimpan oleh
orang yang telah memeluk Islam. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah membagi
al-ma'adin kepada dua bagian, yaitu al-ma'âdin zâhirah dan al-ma'âdin
bâtinah, al-ma'âdin zâhirah seperti minyak bumi, gas dan belerang. Sedang
al-ma'adin bathinah seperti emas, perak, besi dan tembaga.
Selain definisi, ulama juga berbeda pendapat dalam hal pemilikan
harta tersebut. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa seluruh harta al-ma'âdin
dan rikaz tidak bisa dimiliki seseorang, ia menjadi milik dan dikuasai oleh
Negara untuk kepentingan bersama. Menurut ulama Hanafiyah harta
terpendam itu dapat dimiliki seseorang jika tanah tersebut adalah miliknya.
Jika barang yang ditemukan itu seperti emas dan perak, maka diwajibkan
zakat 20%. Jika barang itu seperti minyak bumi dan batu berharga, maka
seluruhnya milik penemu dan tidak dikenakan pajak.
Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah membedakan antara alma'âdin dan rikaz. Jika al-ma'adin zahirah ditemukan maka seluruhnya
menjadi milik Negara dan dipergunakan untuk kepentingan umum. Jika alma'âdin bâtinah ditemukan seseorang di dalam tanah kosong, maka harta itu
menjadi miliknya dan dikenakan zakat 2,5%. Jika itu berbentuk rikaz dan
ditemukan oleh seseorang di tanah kosong maka harta itu menjadi miliknya
44
dan dikenakan pajak sebesar 20%. Apabila tanah itu ditemukan di tanah milik
seseorang, maka penemunya tidak mendapatkan apapun.48
48
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h.735.
45
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH
BERDASARKAN HUKUM POSITIF
A. Tanah dan Pembangunan
1. Tanah Sebagai Modal Dasar Pembangunan Ekonomi
Menurut Jhingan49 pembangunan ekonomi membutuhkan dua macam
faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi
tergantung pada sumber alam, akumulasi, modal, teknologi, organisasi dan
pembagian kerja serta skala produksi. Sedangkan faktor non ekonomi terdiri
dari : faktor sosial, manusia dan politik, administratif.
Peranan sumber daya tanah diperlukan dalam pembangunan ekonomi.
Menurut Prof. Soemitro50, tanah dan air termasuk kedalam sumber alam yang
utama. Tanah bersifat lestari (Renewable Resources), artinya sumber alam
yang dapat diperbaharui. Inti pokok permasalahan pertanahan dalam
pembangunan ekonomi berkisar pada penguasaan, pemilikan dan penggunaan
tanah.
a.
Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang perorang,
kelompok orang atau badan hukum dengan tanah. Atas dasar
49
Jhingan. M.L., Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Terj., (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), cet.VII, h. 32
50
Sumitro Djoyohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet.I, h. 24.
46
penguasaan tanah, muncul kewenangan bagi subjek hukum untuk
berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai subjek hukum.Penggunaan tanah
b.
adalah wujud tutupan permukaan bumi yang merupakan bentukan alami
maupun kegiatan manusia. Menurut UUPA, bagi subjek hukum
diwajibkan menggunakan tanahnya sesuai sifat dan tujuan pemberian
haknya.
c.
Pemilikan tanah adalah tanah yang dilekati dengan hak milik atas tanah.
Menurut UUPA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dipunyai orang atas tanah. Hak milik atas tanah memiliki
fungsi sosial ini menunjukan bahwa tanah tidak sekedar milik pribadi
tetapi juga milik bersama.
2. Fungsi Tanah Menurut Sistem Kapitalisme dan Sistem Sosialisme
Dalam sistem kapitalisme, tanah beralih ketangan para pemodal
yang akan memanfaatkan tanah untuk kepentingannya. Tanah bukan lagi alat
produksi untuk konsumsi penggarapnya melainkan alat produksi untuk meraih
laba sebesar-besarnya bagi pemiliknya.
Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi
secara kolektif. Tanah merupakan alat produksi, tetapi semua yang
dihasilkannya menjadi milik bersama yang akan dibagi secara adil, dengan
demikian eksploitasi tanah tidak terjadi.
47
Berdasarkan dua sistem di atas jika diperbandingkan akan
memperoleh kesimpulan yang berbeda, sebagai berikut:
a. Dalam sistem kapitalisme, tanah dimiliki secara pribadi yang melakukan
eksploitasi tinggi, demi meraih keuntungan pribadi.
b. Dalam sistem sosialisme, tanah dimiliki secara kolektif.
Konsep tanah menurut UUPA tidak dapat dimasukkan kedalam
sistem kapitalisme maupun sistem sosialisme. UUPA menentang eksploitasi
tanah seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalisme. Memang benar, bahwa
kekuasaan tertinggi terhadap tanah dipegang oleh Negara, tetapi anggota
masyarakat dibolehkan mempunyai hak atas tanah dan dibolehkannya tanah
untuk diperjual belikan sekedar sebagai usah pengalihan hak. Dan itu berbeda
dengan sistem sosilaisme yang melarang penguasaan tanah oleh anggota
masyarakat.
Menurut Wiradi51 UUPA lebih mendekati visi neo populis52
ketimbang kubu kapitalis atau sosialis. Sayangnya visi neo-populis tersebut
didengungkannya dengan slogan sosialisme ala Indonesia. Ini mengandung
prasangka bahwa UUPA mengandung stigma PKI.
51
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang belum berakhir,
(Yogyakarta : Insist Press, 2000), h. 71
52
Dalam sistem Neo-populis, satuan usaha merupakan usaha keluarga (unit usaha
kecil). Karena itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar kapada sejumlah
besar keluarga (tani). Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga (tani). Dengan demikian,
produksi secara Agregat merupakan fungsi dari keputusan keluarga-keluarga (tani) itu.
Namun tanggung jawab atau akumulasi biasanya terletak ditangan Negara. Lihat Gunawan
Wiradi, “Reformasi Agraria dalam Perspektif Transisi Agraris”, Jurnal Ilmiah PuslitBang
BPN, No. 9 (Februari 1998), h. 25
48
3. Permintaan dan Penawaran Atas Tanah
Dalam sumber daya tanah dikenal istilah land rent. Land Rent
adalah sewa atas tanah. Land rent ditentukan oleh interaksi antara permintaan
(demand) dan penawaran (supply) atas tanah. Menurut Barlowe53 terdapat
empat faktor utama yang mempengaruhi penawaran atas tanah untuk berbagai
penggunaan, yaitu :
1. Faktor pembatas alamiah, adanya variasi yang beraneka ragam dari
keadaan tanah, seperti: sinar matahari, curah hujan, topografi, dan lainlainnya, menyebabkan tanah hanya sesuai digunakan untuk kegiatan
tertentu dan menjadi pembatas untuk kegiatan lainnya.
2. Faktor ekonomi, manusia memanfaatkan tanah untuk suatu aktifitas
ekonomi, maka fungsi tanah menjadi barang ekonomi (tanah sebagai
faktor produksi).
3. Faktor intitusi, seperti: budaya, opini publik, pemerintah, hukum, dan
konsep kepemilikan tanah sangat berdampak terhadap penawaran tanah.
4. Faktor
teknologi,
adanya
kemajuan
teknologi
menyebabkan
ketergantungan manusia pada tanah dapat dikurangi.54
53
Releigh Barlowe, Land Resorce Economics: The Economics of Real Estate, third
edition, (New Jersey : Printice-Hall, 1978), h. 84
54
Chaizi Nasucha, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas
Tanah, (Jakarta : Megapoin, 1995), cet. I, h. 82
49
B. Latar Belakang Pembebasan Tanah di Indonesia
Pembebasan tanah di Indonesia, yang coba diuraikan kembali oleh
Zaman,55 bahwa pembebasan tanah berawal tahun 1970-an dan 1980-an, ketika
Pemerintah Indonesia hendak membangun proyek Bendungan Kedung Ombo,
yang didanai oleh Bank Dunia. Untuk merelokasi lokasi tersebut Pemerintah
melakukan suatu opsi yakni dengan transmigrasi. Ada sekitar 5.200 keluarga
(diestimasi 23.000 orang), dimana sekitar 3.500 keluarga (35%) memilih untuk
transmigrasi, dan sekitar 700 keluarga tetap memilih tinggal di sekitar lokasi
proyek. Hal ini mengundang banyak protes tentang pelanggaran hak azasi
manusia serta kurangnya perhatian dari Pemerintah dalam pengembangan
kembali bendungan tersebut, sehingga membuat Bank Dunia melakukan tinjauan
ulang akan “krisis” tersebut.
Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
umum
mulai
dilaksanakan
berdasarkan Permendagri Nomor 15/1975 dan kemudian diganti menjadi
Permendagri Nomor 2/1985.
Dalam peraturan itu menyatakan, pembebasan tanah dilaksanakan melalui
panitia Pembebasan Tanah dengan asas musyawarah. Maksudnya, agar pemilik
tanah dilindungi dan tidak dirugikan. Sementara pemerintah memperoleh tanah
dengan harga yang benar.
55
Zaman, Mohammad, “Resettlement and Development in Indonesia” Journal of
Contemporary Asia 2. No.5 (Mei 2002), h. 255
50
Deregulasi dilakukan terhadap peraturan tersebut dengan diberlakukan
Keppres
Nomor
55/1993
tentang
pengadaan
tanah
bagi
pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, yang peraturan pelaksanaannya diatur
dalam Permenag/ kepala BPN Nomor 1/1994.
Panitia pembebesan tanah yang semula seperti penentu keputusan, dalam
Keppres ini hanya bertugas sebagai pengarah, penengah dan pemimpin
musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik
tanah yang tanahnya akan dibebaskan.
Khusus perolehan tanah untuk kepentingan pihak swasta, sebelumnya
dikeluarkan Permendagri Nomor 2/1976, ada dua cara pembebasan tanah.
Sedangkan berdasarkan keppres Nomor 55/1993 ini, hanya dikenal satu cara,
yaitu pembebasan langsung berdasarkan musyawarah untuk mufakat seperti
proses jual beli biasa berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Pemerintah hanya
mengawasi dan mengendalikan. Pengawasan dan pengendalian tersebut
dimaksudkan agar pembebasan tanah dapat memuaskan kedua belah pihak.
Berbeda dengan perolehan tanah untuk kepentingan swasta pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan bila tidak tercapai kata mufakat,
selanjutnya secara berjenjang dapat naik banding. Bila tetap tidak tercapai kata
mufakat juga maka dilakukan pencabutan hak yang menjadi wewenang presiden.
Masalah yang sering terjadi sehubungan dengan perdebatan hak atas tanah
adalah mengenai besarnya penetapan ganti rugi tanah. Berkaitan dengan hal ini,
51
Maria Sumardjono56 mengatakan bahwa ganti kerugian pada Keppres dan permen
ini hanya diberikan semata-mata untuk hal-hal yang bersifat fisik, sedangkan
untuk hal-hal yang bersifat non fisik, seperti, hilangnya pekerjaan dan
pendapatan, tidak diperhitungkan. Padahal ganti kerugian dapat disebut adil,
apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak setara dengan
keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup
bagi mereka yang tergusur
Namun tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali
oleh kepentingan umum (masyarakat), satu dan yang lainnya harus saling
mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya57.
Berkaitan dengan pembebasan tanah, persaingan ekonomi naiknya harga
tanah di kota, makin dekat dengan fasilias kota, maka makin mahal harganya, hal
tersebut yang pada akhirnya menjdi sumber konflik dalam penentuan ganti rugi
dalam pembebasan tanah.58
Undang-Undang pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) sebagai landasan
umum dan politik pertanahan Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai
pembebasan tanah, namun pada pasal 18 dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah
yang dicabut untuk kepentingan umum akan diberikan ganti rugi yang layak.
56
Maria Sumardjono. SW, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta : Kompas, 2001), h. 54
57
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana, 2006),
cet.II, h. 60
58
Ibid., h. 175-176
52
Selanjutnya dalam pengaturan mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan akan hapus apabila dilepaskan secara sukarela oleh pemegang
haknya (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) sehingga dapat ditafsirkan bahwa
pembebasan tanah merupakan suatu pelaksanaan lebih lanjut dari adanya sifat
fungsi social pada semua hak atas tanah.59
Pembangunan yang meuntut pengadaan tanah yang cepat diharapkan
menghormati dan menghargai hak-hak warga masyarakat atas tanah dan tidak
merugikan masyarakat.60 Pada dasarnya tanah yang ada dalam wilayah Negara
Republik Indonesia adalah hak bangsa Indonesia, yaitu hak seluruh rakyat
Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai bansga Indonesia.61 Sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi:
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu,
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
seluruh rakyat.
Kemudian pada ayat (2) berbunyi:
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
59
Arie S. Hutagalung, “Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Khususnya Menyangkut Pengertian Kepentingan Umum”, (Makalah pada Loka karya
Penegadaan Tanah, Jakarta, 24 Agustus 2005), h. 5
60
Abdurrahman, Tebaran Pemikiran Mengenai Hukum Agraria, (Bandung : Alumni,
1985), h. 175-176
61
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), (Jakarta : Djambatan, 2003), cet. IX, h. 270
53
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.62
Dari uraian tersebut di atas tampaklah bahwa hak dari seluruh rakyat
Indonesia tersebut diatur dalam Undang-Undang dengan adanya hak menguasai
dari Negara, yang memberi wewenang pada Negara sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2 Ayat (2) dari Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 2 Ayat (3)
Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa:
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesarsebesar kemakmuran rakyat, dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil63.
Dengan demikian, Negara harus memperhatikan bahwa peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, jangan sampai wewenang yang
dilakukan tersebut justeru akan menyengsarakan rakyat dan menimbulkan
pertentangan dari masyarakat.
Setelah reformasi, Keppres 55/99 diganti; dan Pemerintah mengeluarkan
Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 ini mengundang
kritikan dari berbagai pihak terkait dengan kecurigaan pelanggaran hak yang sah
atas tanah khususnya dalam klausul yang mengatur tentang cara pengadaan tanah
(pasal 2), lingkup definisi mengenai kepentingan umum (pasal 5), dan tenggat
62
63
Ibid., Pasal 2 ayat (2)
Ibid., ayat (3)
54
waktu pelaksanaan musyawarah (pasal 10). Menanggapi kontroversi ini maka
dikeluarkan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, timbul berbagai
tanggapan dalam masyarakat terhadap isi dan berlakunya Perpres tersebut, yang
dalam hal ini banyak terjadi pada pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak
swasta dalam rangka menjalankan proyek pemerintahan yang dikelola oleh pihak
swasta tersebut dengan dasar demi pembangunan untuk kepentingan umum.
Masing-masing pendapat sesuai dengan sudut pandang dan posisinya.
Kalangan
birokrasi
pemerintah
umumnya
berpendapat
pro
terhadap
diberlakukannya Peraturan Presiden ini, hal ini dapat dipahami karena pihak
pemerintah merupakan pihak yang melaksanakan proyek pembangunan untuk
kepentingan umum, sedangkan pihak masyarakat berpendapat kontra karena
sebagai pihak yang diharapkan “rela” melepaskan hak atas tanah demi
pembangunan untuk kepentingan umum64.
Suatu peraturan akan lebih jelas dan tepat apabila kita mampu
membacanya secara keseluruhan, tidak hanya dalam konteks in book, tapi juga
dalam konteks in action.65 Oleh Karena banyaknya penolakan dari masyarakat
64
Arie S. Hutagalung, “Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam Hukum
Pertanahan Indonesia”, (Makalah pada Seminar Nasonal “ Perpres No 36 Tahun 2006 Untuk Apa
dan Siapa ?, Jakarta, 10 Agustus 2005), h. 3
65
Ibid., h. 3
55
terhadap Perpres Nomor 36 Tahun 2005, maka dengan pertimbangan untuk lebih
meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan
kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentinagan umum, maka Pemerintah menganggap perlu merubah Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 tersebut pada beberapa pasalnya dengan Perpres Nomor
65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
C. Pengertian dan Macam-Macam Pembebasan Tanah
1. Pengertian Pembebasan Tanah
Istilah pembebasan tanah, memang tidak terdapat dalam Undangundang Pokok Agraria. Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 menyatakan
tentang istilah pembebasan tanah yang diganti dengan pengadaan tanah. Yang
dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap keadaan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah
tersebut.
Sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2006 lebih
menegaskan lagi bahwa istilah Pembebasan Tanah diganti dengan pengadaan
tanah. Yang dimaksud dengan pengadaan tanah disini adalah setiap kegiatan
untuk mendapakan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
56
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaiatan dengan tanah.66
2. Macam-macam Pembebasan Tanah.
a. Pembebasan tanah untuk kepentingan Perindustrian
Kawasan industri adalah tempat pemusatan kegiatan industri
pengolahan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta fasilitas
penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh Perusahaan kawasan
Industri dan harus suatu perusahaan Badan Hukum didirikan menurut
hukum Indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia yang khusus untuk
mengelola kawasan industri.67
b. Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemukiman68
c. Pembebasan Tanah untuk Masa Depan
D. Pelaksanaan Pembebasan Tanah & Ganti Rugi Yang Diberikan Pemerintah
Pada hakikatnya, pembebasan tanah bila dilihat dari sudut pemegang
haknya adalah sebagai suatu pelepasan hak, namun dari sudut pemerintah dapat
dikatakan sebagai pembebasan tanah.69
Pelaksanaan pengadaan tanah pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh
pemerintah, BUMN maupun oleh swasta. Pelaksanaan pengadaan tanah oleh
66
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 1 angka 3
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 895
68
Ibid., h. 688
69
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), h.15-16
67
57
pemerintah untuk kepentingan umum diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005
dan Perpres No 65 Tahun 2006.
Pembangunan
untuk
kepentingan
umum
tersebut
dilakukan
dan
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak untuk mencari keuntungan.
Pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut dapat pula dipakai oleh
Badan Umum Milik Negara (BUMN) dengan: a.) Kegiatan pembangunan tersebut
dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah (BUMN) yang bersangkutan;
b.) Tidak digunakan untuk mencari keuntungan; dan c.) bidang-bidang kegiatan
tersebut terbatas pada apa yang telah ditentukan dalam pasal 5.
Dalam pembebasan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum,
ganti rugi diberikan atas dasar musyawarah. Secara umum ganti rugi adalah
penggantian yang diterima seseorang karena adanya kehilangan atas hak yang
dimilikinya dalam pengadaan tanah. Untuk kepentingan umum. Ganti rugi
menurut pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 :
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik
dan / atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan/ atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena pengadaan tanah.
Dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk otomatis kebutuhan
akan tanah akan terus meningkat, namun kebutuhan akan tanah tersebut tidak
mampu diimbangi oleh suplai tanah, membawa konsekuensi serius baik terhadap
58
pola hubungan antara manusia dengan tanah maupun terhadap hubungan antara
manusia dengan manusia yang berobyek tanah.70
Menurut penulis Interpretasi fungsi sosial hak atas tanah mengandung
makna bahwa antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum harus
terdapat keseimbangan dan dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan, maka kepentingan perorangan itu harus diakui dan dihormati,
di samping makna bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan
tujuan haknya. Misalnya menemukan keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum. Dalam ganti kerugian tanah yang
dibebaskan, menemukan keseimbangan tersebut tidaklah mudah. Sebagai wujud
upaya penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah
dikorbankan untuk kepentingan umum, ganti kerugian tersebut dikatakan adil jika
tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari keadaan
semula.71
1. Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemberian Ganti
Rugi
Dalam pemberian ganti rugi harus dipertimbangkan beberapa hak
yang diperkirakan justru akan memperburuk keadaan dan taraf kehidupan
70
Ali Sofyan Husein, Konflik Pertanahan, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997),
h. 40
71
Maria SW. Somardjono, Kebijakan Pertanahan Antara
Implementasi, (Jakarta : PT. Kompasa Media Nusantara, 2006), h. 79-80
Regulasidan
59
orang-orang yang tanahnya dibebaskan tersebut. Hendaknya dipikirkan agar
kualitas kehidupan mereka meningkat dan diupayakan agar ganti rugi
diberikan dalam bentuk yang tidak mengolah pola kehidupan masyarakat
dengan alih pemukiman ke lokasi yang sesuai. Pemukiman dapat dilihat
sebagai dunia tersendiri tempat dimana warga-warganya menentukan identitas
mereka, merasa sebagai makhluk sosial dan aman.72
Selain hal-hal yang sunguh-sunguh diderita, dalam pemberian ganti
rugi harus dipertimbangkan juga faktor-faktor non fisik atau imateriil. Faktor
yang bersifat non fisik atau imateriil yang dapat memperburuk keadan jika
tidak dipertimbangkan dalam menentukan besarnya ganti rugi misalnya biaya
pindah tempat atau pindah pekerjaan, turunnya penghasilan pemegang hak
karena proses pengambil alihan yang lama dan kerugian dala hal tanah yang
dibebaskan hanya sebagian sehingga tanah tersisa sulit dijual.73
Ada beberapa faktor yang dapat memadai bahan pertimbangan
dalam menentukan ganti rugi selain NJOP Bumi dan Bangunan tahun
terakhir, faktor-faktor trsebut adalah : 1.) lokasi/letak tanah, 2.) Status
pemegang hak atas tanah, 3.) Status hak atas tanah, 4.) Kelengkapan
sarana/prasarana, 5.) Keadaan penggunaan tanahnya, 6.) Kerugian sebagai
akibat
dipecahnya
72
hak
atas
tanah
seseorang,
7.)
Biaya
pindah
Zarida Hermanto, Perubahan Pemanfaatan Lahan di Wilayah Jabotabek (Studi
Kasus Mengeanai Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mengalami Penggusuran,
(Jakarta : Puslitbang Ekonomi dan Pembangnan LIPPi, 1995), h. 11
73
Maria, Kebijakan Pertanahan, h. 86
60
tempat/pekerjaan, dan 8.) Kerugian terhadap turunnya penghasilan pemegang
hak, dan penentuan akhirnya tetap melalui musyawarah para pihak yang
bersangkutan.74
2. Pelaksanaan Ganti Rugi
Mengenai ganti rugi tanah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 11
Perpres Nomor 36 tahun 2005 diatas juga diatur dalam UU No.24 Tahun 1992
pasal 4 ayat (2) mengenai hak sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Penggantian yang layak menurut pasal 4 ayat (2) huruf C undangundang tersebut adalah bahwa nilai dari penggantian itu tidak mengurangi
tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan.
Dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
menurut pasal 12 Perpres 36 Tahun 2005, ganti rugi hanya diberikan untuk
hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda yang berkaitan dengan tanah.
Sedangkan mengenai bentuk ganti rugi tersebut diatur selanjutnya dalam pasal
3 yang telah mengalami. Perubahan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006
yang mengatakan bahwa ganti rugi kerugian sebagaimana dimaksud dalam
huruf A, huruf B, huruf C, atau bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
74
Maria, Kebijakan Pertanahan,, h. 81
61
Mengenai pembebasan tanah ini penulis mengambil satu kasus yaitu
Proyek pembangunan Banjir Kanal Timur di wilayah kelurahan Pondok Kopi
Jakarta Timur. Penulis mewawancarai salah seorang warga yang menjadi
korban pembebasan tanah ini ketika ditanya nengenai ganti rugi yang
diberikan Pemerintah,
“..........Ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah menurut kami tidak
layak karena harga NJOP yang diberikan oleh Pemerintah di bawah harga
pasaran. Kemudian harga tanah yang berada di gang dan di pinggir jalan
raya sama. Mestinya kan berbeda. Karena rata-rata kami yang tinggal di
pinggir jalan besar ini memiliki usaha, dan saat ini harga tanah di sini
mencapai 2,5 juta rupiah per meternya. Jadi, kalau kami dikasih ganti rugi
berdasar NJOP sebesar 1.722.000 rupiah per meter, jelas kami keberatan”75
Pada dasarnya cara memperoleh tanah harus melalui musyawarah
antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah hingga
tecapai kata sepakat antara kedua belah pihak, namun masyarakat sering
merasakan dalam kesepakatan untuk menentukan besarnya ganti rugi tanah
yang dibebaskan dihadapkan pada suatu ultimatum menerima ganti rugi yang
telah ditetapkan oleh penguasa atau merelakan tempat tinggalnya.
Jika musyawarah mengenai ganti rugi telah tercapai, maka Panitia
Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi sesuai kesepakatan tersebut pasal 11 perpres tahun 2005. Namun
jika kesepakatan mengenai ganti rugi tidak tercapai sedangkan keperluan akan
75
Wawancara bersama H. Musa (Ketua Rt. 008 Rw. 03, Kel. Pondok Kopi Jakarta
Timur), Jakarta, 14 Mei 2009.
62
tanah tersebut sangat mendesak bagi instansi yang memerlukan tanah, maka
dilaksanakan penitipan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat
(konsinyasi) pasal 10 Ayat (2) Perpres No.36 Tahun 2005.
63
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERILAKU PEMERINTAH
DALAM PEMBEBASAN TANAH
A. Efektifitas Kebijakan Pemerintah Tentang Pertanahan
Peranan Pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat
penting sekali sehingga dalam hal ini Pemerintah harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan benar. Pemerintah dalam memecahkan berbagai
masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsipprinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas
ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak
berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.
Dalam upaya mengatasi masalah tersebut Pemerintah perlu untuk
membangun suatu kerangka kebijakan pertanahan nasional untuk dipergunakan
sebagai pedoman oleh semua pihak, baik Pemerintah, masyarakat maupun sektor
swasta, dalam menangani masalah-masalah pertanahan sesuai dengan bidang
tugas dan kepentingannya masing-masing. Tujuan akhir dari kebijakan pertanahan
nasional ini adalah terwujudnya kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD RI, UUPA dan TAP MPR IX/2001
sebagai akibat pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam lainnya secara
berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.
64
UUPA No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai
suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil
atau petani) dibandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di
masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini76. Akan tetapi dalam
kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara UUPA yang dianggap sebagai
Undang-Undang payung (umbrella act) dengan Undang-Undang sektoral yang
berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Banyak ketentuan-ketentuan dari
berberapa Undang-Undang sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa yang
telah digariskan di dalam UUPA.
Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan
pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat
kecil dan hanya berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing
maupun domestik). Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005
ialah munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian
beberapa pasalnya dirubah dengan berlakunya Perpres No. 65 Tahun 2006.
Dengan adanya peraturan tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi
pemodal asing ke Indonesia. Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan
bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi
76
Irvan Surya Hartadi, SH, “Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria”, artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari
http://unisys.uii.ac.id/index.Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang PokokPokok Agraria
65
rusaknya kemakmuran rakyat terutama rakyat tani, khususnya pencabutan hak
atas tanah. Dalam pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan umumpun juga
belum ada penjelasan secara detail siapa yang akan mengelola negara, swasta atau
rakyat.
Ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam UndangUndang sektoral dengan materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di
atas, dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut
tidak hanya terjadi antara Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi
konflik hukum (Conflict of Law) juga terjadi antara Undang-Undang sektoral itu
sendiri. Salah satu penyebab utama kegagalan UUPA sebagai undang-undang
payung (umbrella act) ataupun sebagai pohon peraturan perundang-undangan
disebabkan karena materi muatan UUPA lebih dominan mengatur masalah
pertanahan, sehingga menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut
sebagai Undang-Undang Pertanahan daripada Undang-Undang yang mengatur
secara komprehensif dan proporsional tentang agraria. Selain hal tersebut, UUPA
dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung
beberapa kekurangan, diantaranya adalah:
1. UUPA belum memuat aspek perlindungan HAM bagi masyarakat, khususnya
petani dan pemilik tanah serta masyarakat adat;
2. UUPA
tidak
mampu
merespon
perkembangan
global,
khususnya
perkembangan yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki
perubahan dalam pengaturan pertanahan;
66
3. UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus
mengkoordinir pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain sebagainya
Sebenarnya apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan
sebagian kecil masalah yang dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih
banyak permasalahan-permasalahan lain yang timbul di dalam bidang agraria
khususnya bidang pertanahan.77
Dari beberapa uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu
penataan kembali kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan
mengenai agraria maupun pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita
Reformasi Agraria (Agrarian Reform) maupun Reformasi dalam bidang
pertanahan (Land Reform).
Beberapa alternatif penyelesaian permasalahan
tersebut diantaranya penyempurnaan aturan-aturan mengenai agraria maupun
pertanahan sehingga terjadi keselarasan antara UUPA dengan beberapa UndangUndang sektoral, perbaikan kinerja departemen/instansi yang bergerak di bidang
agraria khususnya di bidang pertanahan. Salah satu upaya penting guna
77
Permasalahan yang timbul dari konflik pertanahan di tanah air dapat disebabkan
karena beberapa hal sebagai berikut:
a. Peraturan Perundang-undangan yang tidak kondusif.
b. Terbatasnya akses masyarakat terhadap pemilikan dan penguasaan tanah secara adil.
c. Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien.
d. Pelaksanaan pendaftaran tanah belum optimal.
e. Belum optimalnya penatagunaan tanah.
f. Lemahnya informasi berbasis tanah.
g. Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan belum memadai.
h. Lemahnya sistem perpajakan tanah.
i. Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan.
67
mewujudkan hal tersebut adalah dilakukannya penyempurnaan (perubahan
maupun amandemen) UUPA.
Pada dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa
perubahan maupun amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah
menjadi pembahasan sejak dulu. Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA
telah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta dalam Keputusan Presiden No.
34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam pengelolaan
pertanahan pada setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di
seluruh
tanah
air
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
harus
dapat
menginternalisasikan jiwa dan semangat 4 (empat) prinsip utama yaitu:
1.
Pertanahan harus berperan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
melahirkan sumber-sumber kemakmuran baru,
2.
Pertanahan mampu meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih
berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan
dan pemilikan tanah,
3.
Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dengan memberikan akses
seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi
masyarakat; dan
4.
Pertanahan dapat menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis
dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah.
68
B. Dampak Pembebasan Tanah Terhadap Kehidupan Rakyat
Istilah dampak dapat didefnisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi
dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia78. Dampak yang akan timbul
dari proses pembebasan tanah dan pembangunan proyek disekitarnya antara lain
akan muncul dari segi sosial budaya dan ekonomi.79
1. Dampak Sosial Budaya
Dampak sosial budaya ini mempengaruhi sistem sosial budaya pada
daerah sekitar proyek konstruksi yang sedang dikerjakan. Menurut
Tjondronegoro seorang pakar sosiolog dari IPB menyebutkan bahwa sistem
sosial budaya mempunyai dua segi, yaitu segi yang lebih abstrak dan yang
lebih nyata.
Sedangkan yang dimaksud sistem sosial budaya yang lebih abstrak
antara lain ialah nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, norma-norma
sosial, dan kelembagaan sosialnya yang mengarahkan dan mengatur perilaku
manusia.80
Pada pelaksanaan proyek konstruksi, dampak sosial budaya yang timbul
dapat berupa:
78
F Gunarwan Suratmo, Analisis mengenai dampak lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 1995), h.2
79
Menurut Otto Soemarwoto, seorang pakar lingkungan, setiap kegiatan akan
mengakibatkan dampak terhadap lingkungan, demikian pula kegiatan manusia dalam
melaksanakan pembangunan proyek konstruksi juga akan menimbulkan dampak terhadap
lingkungannya, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Otto Soemarwoto,
“Analisis dampak lingkungan”, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989), h. 15
80
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2004), h. 16
69
a. Ketegangan sosial81
Sebagai contoh: timbulnya perkelahian akibat perebutan pacar atau salah
pengertian akibat perbedaan adat istiadat.
b. Pergeseran nilai sosial82
c. Timbulnya pemukiman yang tidak higenis, seperti perjudian dan
pelacuran
d. Berubahnya struktur kependudukan
e. Perubahan adat istiadat setempat
f. Terganggunya gaya hidup, kebebasan, dan budaya masyarakat sekitar
yang dapat menimbulkan kesenjangan83
g. Terganggunya mobilitas masyarakat, seperti terjadinya kemacetan lalu
lintas terutama di sekitar proyek konstruksi akibat pergerakan kendaraan
proyek Dapat juga sebagai akibat langsung dari aktivitas konstruksi dan
operasi dari proyek seperti bau, debu, kebisingan, serta kemacetan lalu
lintas.
2. Dampak Sosial Ekonomi
Di samping adanya dampak sosial budaya pada saat pembangunan
proyek konstruksi pembebasan tanah, juga terjadi dampak sosial ekonomi
81
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, (Jakarta :
Djambatan, 1994), h. 165
82
Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1989), h. 33
83
Istimawan Dipohusodo, Manajemen Proyek & Konstruksi, Jilid 2, (Jakarta :
Kanisius, 1996), h. 311
70
terhadap masyarakat sekitar proyek. Dampak sosial ekonomi tersebut dapat
dilihat dari aspek:84
a. Mata Pencaharian Penduduk
Pada waktu pembebasan tanah untuk lokasi membangun proyek
konstruksi, terjadi pemindahan penduduk yang semula tinggal di lokasi
proyek tersebut termasuk pengalihan mata pencaharian mereka ke tempat
lain.
b. Kesehatan
Pelaksanaan proyek bangunan membawa dampak yang bersifat fisik,
kimia, dan biologis yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
disekitar lingkungan proyek. Timbulnya gangguan kesehatan pada
masyarakat mengakibatkan masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra
untuk menyembuhkan gangguan kesehatan yang diderita akibat dampak
pembangunan proyek konstruksi tersebut.
c. Tingkat Pendapatan Penduduk
Pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan proyek konstruksi
dapat menyebabkan berkurangnya tingkat pendapatan penduduk yang
semula memiliki lahan pada proyek konstruksi tersebut, walaupun tidak
sampai menghilangkan mata pencaharian yang dimiliki.
84
Soemarwoto, Analisis dampak, h. 15
71
d. Proses Pemiskinan
Penggusuran juga menciptakan proses pemiskinan dimana warga
miskin menjadi semakin miskin akibat kehilangan berbagai sumber daya
yang sebenarnya hanya bisa digunakan untuk sekedar dapat bertahan
hidup.85
e. Meningkatnya Pengangguran
Angka
penggusuran
pengangguran
semakin
meningkat,
karena
korban
kehilangan tempat tinggal mereka yang juga dijadikan
sebagai tempat usaha mereka. Padahal angka pengangguran di Indonesia
telah mencapai angka yang memprihatinkan.86
f. Anak-anak putus sekolah
Penggusuran telah mengakibtkan tidak sedikit anak-anak di
pemukiman miskin menjadi putus sekolah akibat kondisi ekonomi orang
tua yang tidak memungkinkan lagi karena tidak menyisakan sedikitpun
harta milik mereka. Hancurnya buku-buku dan perlengkapan sekolah
(termasuk seragam) juga mendorong anak-anak warga miskin untuk
berhenti sekolah87
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa pengabaian terhadap hak
atas tanah melahirkan pola penyingkiran rakyat kecil dari akses atas tanah.
85
Yayasan Kemala, Ford Foundation, Konsorsium Pembaruan Agraria, Tanah masih di
langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di Indonesia yang tak
kunjung tuntas di era reformasi, (Bandung : Yayasan Kemala, 2005), h. 877-878
86
Ibid., h. 878
87
Ibid., h. 877-878
72
Dalam hal akses rakyat atas tanah negara, penguasa selama ini lebih banyak
mengedepankan kepentingan modal ketimbang kepentingan komunitas rakyat
kecil yang hanya butuh sedikit lahan untuk sekedar bertahan hidup. Sementara
rakyat konglomerat yang lapar tanah, lebih sering menjadikan tanah sebagai
obyek spekulasi.
C. Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam Perspektif
Fiqh
Dalam suatu musyawarah setiap peserta saling mengemukakan pikiran,
pendapat atau pertimbangan kemudian lahir kesimpulan bersama. Apabila suatu
musyawarah menghasilkan kesimpulan bersama maka masing-masing peserta
terikat dengan kesimpulan tersebut dan bertanggung jawab terhadap putusan
tersebut baik moril dan formil.88
Musyawarah tersebut dilakukan harus sejalan dengan tujuan syari'at
yaitu terpe1iharanya hak atau jaminan dasar manusia yang meliputi kehormatan,
keyakinan agama, jiwa, akal, keluarga, keturunan dan keselamatan hak milik.
Masalah yang diselesaikan harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam
fiqih Islam yaitu:
1. Penentuan ganti rugi tersebut tidak menyalahi hukum syari’at Islam
88
h. 26
M. Yunan Nasution, Keadilan dan Musyawarah, (Semarang : Ramadhani, 1993),
73
2. Harus sama ridha dan ada pilihan antara kedua belah pihak tanpa ada unsur
paksaan dan tipuan dari pihak lain.
3. Harus jelas tujuannya agar tidak ada kesalah pahaman diantara para pihak
tentang apa yang telah dikerjakan dikemudian hari.89
Dalam penentuan ganti rugi pembebasan tanah seharusnya dilaksanakan
dan diatur dengan sebaik-baiknya. Mengenai masalah ini penulis memaparkan
beberapa point alternatif untuk pnyelesaian masalah ganti rugi sebagai mana yang
telah dikaji dalam hukum Islam.
1. Menjaga kehormatan manusia
Nilai kehormatan manusia telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat AIsraa’ (17) ayat 70 :
( ٧٠ : ‫ )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ‬.
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam”
.(QS. A-Israa’ (17) ayat 70)
Dalam menetapkan bentuk dan besar ganti rugi, manusia (pemilik
tanah) harus dihormati apalagi mereka sudah mengorbankan hak miliknya
demi kepentingan umum. Oleh karena itu pemilik tanah perlu diberi jasa
tersendiri yang dapat meningkatkan tarap hidupnya, bukan sebaliknya rakyat
akan semakin lebih sengsara.
89
Chairuman P., Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 3
74
2. Keadilan
Keadilan berarti memberikan kepada seseorang sesuatu haknya secara
seimbang (proporsional) antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang
diterimanya.
Dalam penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi pembebasan tanah ini
pemerintah
(investor)
selayaknya
memperhatikan
asas
keadilan
ini
dikarenakan jasa yang telah dikorbankan pemilik tanah sudah begitu besar,
tidak hanya mengorbankan tanahnya saja, tapi juga kehilangan mata
pencaharian.
3. Menarik Manfaat dan Menghindarkan Madarat
Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk
kemaslahatan umum jangan sampai
rakyat justru menjadi korban
pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan Kaidah Fiqhiyyah :
90
‫ﺰﺍﹶﻝﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺍﹶﻟﻀ‬
Artinya : “Kemudaratan itu harus dihilangkan”
4. Kesukarelaan
Fiqih Islam memandang bahwa pada dasarnya pembebasan tanah
rakyat untuk kepentingan apapun hanya bisa dilaksanakan atas dasar prinsip
kesukarelan dari pihak pemilik baik dalam bentuk jual beli atau hibah, wakaf
atau sedekah lainnya. Dalam bentuk jual beli prinsip sukarela kedua belah
90
Jalâluddîn Abd al-Rahmân al-Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazâir fi al-Furû’, (Beirut
: Dâr al-Fikr, 1995), cet.I, h. 60
75
pihak baik dalam penentuan harga, penyerahan barang maupun hal-hal lain
yang menjadi keperluan kedua pihak tetap berlaku.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :
‫ﺮﹺﻩ‬‫ ﻏﹶﻴ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ﻑ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫َﺘ‬‫ ﺃ َﻥﹾ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺄ َﺣ‬‫ ﻟ‬‫ﺯ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬
91
Artinya : “Tiada seorangpun yang boleh melakukan tindakan hukum atas
milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”
D. Otoritas Pemerintah Demi Kemaslahatan dibidang Pertanahan dalam
Sorotan Fiqh
1. Penguasa Pemelihara Kemaslahatan Rakyat
Keberadaan
penguasa/pemerintah
tidak
lain
adalah
untuk
memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya, betapapun kepentingan
dan kemaslahatan ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan pandangan
manusia terhadap suatu perbuatan atau sesuatu materi, yaitu apakah suatu
perbuatan atau materi itu termasuk kemaslahatan atau kemadaratan.
Islam telah menetapkan dalam banyak nash bahwa penguasa
berkewajiban memelihara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim yang berasal dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw.
pernah bersabda:
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﻝﹲ ﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺆ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻛﹸﻠﱡﻜﹸﻢ‬‫ ﺭﺍﹶﻉﹴ ﻭ‬‫ﺍﹶﻟﹶﺎ ﻛﹸﻠﱡﻜﹸﻢ‬
92
91
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2007), cet. II, h. 131
92
Al-Imam Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Naysâburi, Sahîh Muslim (AlRiyâd : Dâr al-Salâm, 1998), h. 280
76
Artinya: “Ingatlah Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing
kalian akan ditanya (bertanggung jawab) atas kepemimpinannya.”
(HR. Muslim).
Kaitanya dengan tema yang penulis angkat, dalam masalah
pembebasan tanah ini perlu adanya campur tangan pemerintah secara positif
untuk menentukan kebijakan yang baik untuk rakyat. Sesuai denga kaidah
fiqhiyyah:
‫ﺔ‬‫ﻠﹶﺤ‬‫ﺼ‬‫ﻁﹲ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺎﻡﹺ ﻋ‬‫ ﺍﹾﻹِﻣ‬‫ﻑ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺗ‬
93
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
kepada kemaslahatan”
Kaidah diatas memberikan pengertian bahwa setiap tindakan atau
kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat
dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk
mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanat
penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia sebagai petunjuk dalam
kehidupan mereka serta harus memperhatikan kemaslahatannya.94
Kemaslahatan
membawa
manfaat
bagi
kehidupan
manusia,
sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia.
Para ulama telah menentukan kriteia kemaslahatan sebagai berikut:
93
al-Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazâir, h. 84
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 124
94
77
1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqâsid alsyarî’ah, dalil-dalil kulli (general dari Al-Qur’an dan As-Sunnah),
semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalm arti harus berdasarkan
penelitian yang akurat, hingga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar
masyarakat, bukan pada sebagian kecil masyrakat.
4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan
kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.95
Setelah
penulis
cermati
kriteria
kemaslahatan
diatas
yang
disimpulkan para Ulama’ memiliki persamaan dengan kriteria yang telah
ditetapkan oleh MUI dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005
tentang kritria maslahat. Persamaan itu dapat kita lihat dari segi tujuannya.96
Hal senada juga di ungkapkan oleh ketua komisi fatwa MUI Pusat,
M. Anwar Ibrahim ketika diwawancarai mengenai sumber hukum maslahat,
“…..maslahah yang digunakan bukanlah menurut pertimbangan kita
ataupun pandangan para mujtahid, karena maslahah itu harus kita
kembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Maslahat itu ibarat pisau
bermata dua, sehingga sering disalah gunakan oleh orang. Banyak orang
yang menilai maslahah sesuai dengan pandangan mereka sendiri tanpa
melihat terlebih dahulu apakah telah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunah
atau belum dan mengandung maslahat atau tidak.97
95
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, h. 53
Mengenai isi dari Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No.
6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 tentang kritria maslahat penulis cantumkan dalam lembaran
lampiran 1
97
Wawancara Pribadi dengan DR. KH. M. Anwar Ibrahim (Ketua Komisi Fatwa
MUI Pusat). Jakarta, 30 Mei 2009.
96
78
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat
universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin,
material dan spiritual, maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari
ini dan esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik, tanpa
membedakan jenis dan golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan,
orang lemah atau kuat, penguasa atau rakyat jelata.98
Dengan demikian, peranan maslahat yang di lakukan oleh pemerintah
sebagai kontrol sosial untuk mewujudkan kesejateraan rakyat dalam hukum
Islam sangat dominan dan menentukan. Karena tujuan pokok hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.99
2. Pengutamaan Kemaslahatan Umum di atas Kemaslahatan Pribadi
Berkaitan dengan kasus pembebasan tanah yang didalamnya
menyangkut dua kepentingan antara rakyat (pemegang tanah) dengan
Pemerintah yang saling berbenturan dapat kita lihat sebagaimana yang
disebutkan dalam kaidah fiqhiyyah sbb :
.‫ﺔ‬‫ﺎﺻ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺔ‬‫ﻠﹶﺤ‬‫ﺼ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺔﹲ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ﻘﹶﺪ‬‫ﺔﹸ ﻣ‬‫ـﺎﻣ‬‫ﺔﹸ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻠﹶﺤ‬‫ﺼ‬‫ﺍﹶﻟﹾﻤ‬
100
Artinya: “Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada
kemaslahatan yang khusus”
98
Yusuf Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’âsir, (Misr : Dâr at-Tauzi’ wa al-Nasy alIslâmiyah, 1994), h. 68
99
Al-Syâtibi, Abu Ishâq, al-Muwâfaqât fî Usul al-Syarîah, juz II (Misr : Maktabah
al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt.), h. 6
100
Ibid., 302 dan 369
79
Kaidah di atas menegasakan bahwa apabila berbenturan antara
kemaslahatan umum dengan kemaslahatan yang khusus, maka kemaslahatan
yang bersifat umum harus lebih di dahulukan, karena dalam kemaslahatan
yang umum itu terkandung pula kemaslahatan yang khusus, namun tidak
sebaliknya.
Mengenai kemaslahatan umat, hukum Islam tetap memberikan
kelonggaran dan keringanan dengan mengacu pada tujuan syari’at. Dalam
keadaan tertentu yang mendesak
baik dari sudut waktu maupun tempat
Pemerintah dapat melakukan pemindahan hak/pembebasan tanah oleh pihak
pemilik dengan ketentuan-ketentuan sbb :
a. Pembebasan tanah itu harus benar-benar karena kondisi keterpaksaan baik
secara waktu mupun tempat dan tidak ada jalan lain yang tersedia, artinya
jika tidak dilakukan, proses pembangunan sarana umum yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat luas tidak mungkin terlaksana. Sebagaimana
yang disebutkan dalam kaidah Fiqhiyyah :
101
‫ﺭﺍﹶﺕ‬‫ﻈﹸﻮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺢ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ ﺗ‬‫ﺭﺍﹶَﺕ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺍﹶﻟﻀ‬
Artinya : “Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Kaidah diatas didasarkan kepada Firman Allah SWT:
: ‫ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬.
(١٧٣
101
Al-Suyûti, al-Asybâh h. 61
80
Artinya : “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah : 173)
Selain kaidah yang telah disebutkan diatas juga terdapat kaidah
fikhiyyah lain yang berbunyi :
‫ﺔﹰ‬‫ﺎﺻ‬‫ﺧ‬‫ ﺍﹶﻭ‬‫ﺖ‬‫ﺔﹰ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﺓ‬‫ﺭ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺰﹺﻟﹶﺔﹶ ﺍﻟﻀ‬‫ﻨ‬‫ﻝﹸ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻨ‬‫ﺔﹸ ﺗ‬‫ﺎﺟ‬‫ﺍﹶﻟﹾﺤ‬
102
Artinya : “Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat
baikumum maupun khusus”
b. Pembebasan tanah itu untuk kepentingan umum bukan tujuan komersil
terlebih lagi perorangan/pribadi. Dalam kaidah Fiqhiyyah di sebutkan :
103
‫ﺔﹶ‬‫ﺍﺟﹺﺤ‬‫ﺔﹶ ﺍﹶﻟﺮ‬‫ﻠﹶﺤ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﹶﻟﹾﻤ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻜﹾﻢ‬‫ﺍﹶﻟﹾﺤ‬
Artinya : “Hukum itu mengikuti maslahah yang kuat”
Ketentuan diatas nampaknya selaras dengan Fatwa MUI Dalam
Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No. 8/MUNAS VII/MUI/12/2005
yang merumuskan dan menetapkan fatwa tentang perubahan hak milik
pribadi untuk kepentingan umum.104
Hal senada juga di ungkapkan oleh ketua komisi fatwa MUI Pusat, M.
Anwar Ibrahim ketika diwawancarai mengenai pembebasan tanah untuk
kepentingan umum.
102
Ibid,. h. 63
T.M. Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1975), h.463
104
Mengenai isi dari Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No.
8/MUNAS VII/MUI/12/2005 yang merumuskan dan menetapkan fatwa tentang perubahan
hak milik pribadi untuk kepentingan umum penulis cantumkan dalam lembaran lampiran.
103
81
Pembangunan harus bertujuan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia sebagai warga masyarakat dalam negara hukum Indonesia.
Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk kemaslahatan
umum jangan sampai rakyat justru menjadi korban pembangunan.
Masalah kepentingan umum dalam pembebasan tanah harus lebih kuat
daripada mafsadatnya. Hal tersebut juga pernah dilakukan oleh sahabat Umar
Ibn al-Khatab dalam membagi-bagikan tanah di negeri Syam untuk
kepentingan umum yang lebih penting, sebagaimana yang dikatakan oleh alMaududi.
‫ﺍﺧﺘﺎﺭﻩ ﻋﻤﺮﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻻﻭﻝ ﻣﺮﺓ ﺑﺎﻟﺸﺎﻡ ﻭﺳﻮﺍﺩ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﺟﺮﻯ ﻧﻈﺎﻡ‬
‫ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺍﳌﻔﺘﻮﺣﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﻫﻮ ﺍﻧﻪ ﱂ ﻳﻘﺴﻢ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﺎﺍﻓﺘﺘﺤﻮﻩ ﻣﻦ‬
105
‫ﺍﻻﺭﺽ ﺑﻞ ﺟﻌﻠﻬﺎ ﻣﻠﻜﻴﺔ ﲨﺎﻋﻴﺔ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﲨﻴﻌـﺎ‬
Artinya: “Sahabat Umar mengambil kebijaksanaan pada waktu membagi
tanah di Syam Dan Irak dalam melaksanakan peraturan Negara
yang dimerdekakannya untuk generasi sesudahnya, maka beliau
tidak akan membagikan tanah kepada orang-orang muslim yang
mereka telah (memerdekakan) tetapi Beliau menjadikan (tanah
tersebut) menjadi milik kepentingan umum.”
Adapun
masalah
syarat-syarat
kemaslahatan
sebagian
Fuqâhâ’
berpendapat
a. Dalam pengambilan kemaslahatan memandang kesempitan yang umum
105
Abul A’la al-Maududi, Milkiyyah al-Ardi Fî al-Islâm, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1969), h.
43-44
82
b. Kemaslahatan-kemaslahatan itu berupa kemaslahatan umum.106 Dalam kaidah
syariah masalah tanah Abul A’la al-Maududi berpendapat:
‫ﺍﻥﹼ ﺍﳊﻜﻮﻣﺔ ﻻ ﺗﻘﻄﻊ ﺍﻷﺭﺍﺿﻰ ﺍﻻﹼ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﰲ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻷَﻣﺮ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﻮﺍ‬
‫ﲞﺪﻣﺔ ﻣﺸﻜﻮﺭﺓ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﳉﻤﺎﻋﻴﺔ ﺍﻭﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑـﻬﻢ ﺍﻻﻥ‬
‫ﺧﺪﻣﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻭ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺍﻗﻄﺎﻋﻬﻢ ﺍﺭﺿﺎ ﻣﻦ ﺍﻷَﺭﺍﺿﻰ ﻳﻸﻡ‬
107
‫ﺍﳌﺼﻠﺤﺔ ﺍﳉﻤﺎﻋﻴﺔ ﺑﻮﺟﻪ ﺍﻟﻮﺟﻮﻩ‬
Artinya: “Pemerintah tidak mempunyai wewenang memberikan tanah,
melainkan kepada orang-orang yang telah sanggup mengabdikan
diri untuk kesejahteraan masyrakat atau dengan kata lain
pemberian tanah tersebut sesuai dengan maksud untuk
kesejahteraan umat dari segala segi.”
Dari kaidah-kaidah dan pendapat para ulama di atas dapat kita
simpulkan bahwa pemerintah dalam menyerahkan pelaksanaan pembebasan tanah
(kepada panitia atau investor) harus betul-betul telah sanggup mengabdikan untuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kesejahteraan umat dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum yang diantara
fungsinya untuk melaksanakan secara konsisten dan komitmen persoalan
pembebasan tanah dengan segenap implikasinya.
106
Muhammad Abd al-Jawâd, Milkiyyah al-Ardi, (Misr : Iskandâriyyah Mansya`ah alMa’ârif, t.th), h. 345
107
Al-Maududi, Milkiyyah al-Ardi, h. 43-44
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka
penulis dapat menarik beberapa kesimpulan :
1.
Perilaku Pemerintah dalam kasus pembebasan tanah tidak berpihak pada
kepentingan rakyat. Karena selalu terjadi konflik pembebasan tanah. Hal ini
pada dasarnya, bukan karena rakyat menolak kepentingan pembangunan,
kepentingan bisnis, kepentingan investasi atau kepentingan umum lainnya,
tetapi karena prosedur hukum yang tidak terpenuhi seperti musyawarah
dalam penentuan ganti rugi yang cenderung sepihak..
2.
Salah satu efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 yaitu lebih mempermudah
masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia. Akan tetapi, karena
pemilik modal yang lebih dominan, sehingga kekuatan-kekuatan modallah
yang akan bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya
akan berimplikasi pada rusaknya kemakmuran rakyat terutama petani,
karena terjadi pencabutan hak atas tanah mereka.
3.
Dampak
perilaku
Pemerintah
tidak
relevan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Sebab yang terjadi justru hilangnya mata pencaharian
penduduk, terganggunya kesehatan masyarakat, berkurangnya tingkat
pendapatan penduduk, meningkatnya angka kemiskinan di masyarakat,
84
menambahnya jumlah pengangguran, dan yang terakhir adalah yang
menyangkut tentang masa depan, yaitu membuat anak-anak korban
penggusuran putus sekolah karena tidak adanya biaya yang mencukupi.
4.
Dalam perspektif fiqih pemerintah boleh mendesak/memaksakan terjadinya
pemindahan hak oleh pihak pemilik atau pembebasan tanah. Namun dalam
penbebasan tanah ini Pemerintah harus selalu memperhatikan aspek
kemaslahatan untuk para warga yang tanahnya diambil alih, agar tidak
terjadi kesenjangan dan ketimpangan sosial di kemudian hari nanti.
B. Saran-saran
1.
Pemerintah dalam melaksanaan musyawarah untuk menentukan ganti rugi
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah yang terdiri
dari unsur-unsur birokrasi, sudah saatnya mereka merubah sikap dari abdi
negara yang berorientasi kepada penguasa, menjadi abdi rakyat yang lebih
berorientasi kepada masyarakat dan sekaligus menjaga kepentingan
masyarakat. Selain itu warga masyarakat dalam bermusyawarah harus
berperan serta dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan
alokasi penggunan tanah dan penentuan bentuk dan besarnya ganti rugiyang
akan diberikan.
2.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan pertanahan ini, selain menyertakan
panitia
pengadaan
tanah
dan
pemilik
tanah,
seharusnya
juga
mengikutsertakan para ahli atau pakar-pakar ilmu seperti psikologi sosial,
85
sosiologi, hukum, ekonomi dan tokoh-tokoh agama serta tokoh LSM dalam
musyawarah penentuan ganti rugi. Karena hukum pada dasarnya harus
berlaku secara filsafati yang merupakan pengejawantahan dari kewibawaan
dan keadilan secara yuridis yaitu sesuai dengan hukum positif dan fiqh atau
hukum Islam serta secara sosiologis yaitu dapat diterima oleh masyarakat
dengan baik dan bijaksana.
3.
Pemerintah dalam hal ini panitia pengadaan tanah, dalam menentukan ganti
rugi tidak hanya sekedar mengganti nilai tanah, tanaman atau bangunan
yang berbentuk uang, pemukiman, atau tanah pengganti. Tetapi perlu juga
memperhatikan kelangsungan hidup mereka seperti kehilangan mata
pencaharian, kehilangan keahliannya dan diupayakan agar kemaslahatan
umum yang menjadi prinsip pembebasan tanah tidak menimbulkan kerugian
orang lain atau minimal memperkecil kerugian yang timbul sehinnga tidak
sampai mengorbankan kepentingan umum lainnya.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abd al-Jawâd, Muhammad, Milkiyyah al-Ardi, Misr: Iskandâriyyah Mansya`ah alMa’ârif, t.th
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991, cet. III
____________, Tebaran Pemikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni,
1985
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994,
Juz 3
Barlowe, Releigh, Land Resorce Economics: The Economics of Real Estate, third
edition, New Jersey: Printice-Hall, 1978
Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-pokok Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta: Fak. Hukum
UII, 1990
Bukhâri, al-, Al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ismâîl, Sahih al-Bukhâri,
Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, juz. 3
Dahlan, Abdul Azis, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997, vol. 2
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Al-Hidayah, 2002
Dipohusodo, Istimawan, Manajemen Proyek & Konstruksi, Jakarta: Kanisius, 1996,
jilid 2
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet.
II
Djoyohadikusumo, Sumitro, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1994,
cet. I
87
F Gunarwan Suratmo, Analisis mengenai dampak lingkungan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1995
Gani, Abdul, Tesis: Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong,
Jakarta: UMJ, 2002
Haroen, Nasrun, Dr., H., Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, cet.
II
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003, cet.IX
Hartadi, Irvan Surya Hartadi, SH, “Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria”, artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari
http://unisys.uii.ac.id/index.Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria
Hasbullah, Frieda Husni, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak Yang Memberi
Kenikamatan, Jakarta: Ind Hill Co, 2005, cet. III
Hermanto, Zarida, Perubahan Pemanfaatan Lahan di Wilayah Jabotabek (Studi
Kasus Mengeanai Kondisi SosialEkonomi Masyarakart yang Mengalami
Penggusuran, Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangnan LIPPi, 1995
Husein, Ali Sofyan, Konflik Pertanahan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997
Hutagalung, Arie S., “Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Khususnya Menyangkut Pengertian Kepentingan Umum”,
Makalah pada Loka karya Penegadaan Tanah, Jakarta, 24 Agustus 2005
______________, “Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam Hukum
Pertanahan Indoneseia”, Makalah pada Seminar Nasonal “Perpres No 36
Tahun 2006 Untuk Apa dan Siapa?, Jakarta, 10 Agustus 2005
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi'l, Edisi Lengkap: Muamalah,
Munakahat, Jinayah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, cet. I
Iqbal, Muhammad , Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007, cet. II
Kemala, Yayasan, Ford Foundation, Konsorsium Pembaruan Agraria, Tanah masih di
langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di
88
Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan
Kemala, 2005
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
M.L, Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. terj, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999, cet. VII
Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara,
2006
Maududi, al-, Abul A’la, Milkiyyah al-Ardi Fî al-Islâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1969
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qaul Qadim Qaul Jadid,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Muis, Abdul, “Pembangunan dan Problematika Pertanahan”, dalam Masdar F.
Mas’udi (ed.), Teologi Tanah, Jakarta, P3M, 1994, cet. I
Mulyadi, Kartini, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group, 2004
Musâ, Kâmil, Ahkâm al-Mu’âmalât, Beirut: al-Risâlah, 1998
Musbikin, Imam, Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah,
Jakarta: Megapoin, 1995, cet. I
Nasution, M. Yunan, Keadilan dan Musyawarah, Semarang: Ramadhani, 1993
Naysâburi, al-, Al-Imam Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj, Sahih Muslim, AlRiyâd: Dâr al-Salâm, 1998, juz.V
P., Chairuman, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia; suatu Telaah dari Sudut Pandang
Politik Hukum, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1991, cet. III
Qal`aji, Muhammad Rawwâs, Mausû`ah Fiqh `Umar ibn al-Khatâb, Beirut: Dâr alNafâis, 1986
89
Qardawi, Yusuf, al-Ijtihâd al-Mu’asir, Misr: Dâr at-Tauzi’ wa l-Nasy al-Islâmiyah,
1994
Rafi’i, al, Al-Imâm Abi al-Qâsim Abd al-Karîm bin Muhammad, Al-‘Azîz Syarh alWajîz, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, juz. VI
Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan kenyataan, Yogyakarta: FH. UII
Press, 2007
Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 1987
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2006, cet.
II
Shiddieqy, Ash-, Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975
Soemarwoto, Otto, Ekologi, lingkungan hidup, dan pembangunan, Jakarta:
Djambatan, 1994
______________, Analisis dampak lingkungan, Yogyakarta:
University Press, 1989
Gadjah Mada
Soimin, Soedhryo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004,
cet. II
Somardjono Maria SW., Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Suyûthi, al-, Jalâluddîn Abd al-Rahmân, al-Asybâh wa al-Nazhâir fi al-Furû’, Beirut:
Dâr al-Fikr, 1415H/1995, cet.I
Syafi’i, al-, Al-Imam Muhammad bin Idrîs, Al-Umm, Beirut: Dâr al-Wafa`, 2005, juz.
V
Syaibânî, al-, Al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Fath al-Rabbânî, Qâhirah: Dâr alSyihâb, t.th, juz 15
Syarbiniy, al-, AI-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 2003, jilid 2
90
Syatibi, al-, Abu Ishâq, al-Muwâfaqat fî Usul al-Syarîah, Mesir: Maktabah alTijâriyah al-Kubrâ, t.th, juz II
Syaukânî, al-, Al-Imâm Muhammad ‘Ali, Nail al-Autâr, Misr: al-Halabî, t.th
Syukur, Ellyana, Hak Milik Atas Tanah; Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum,
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 1999, cet. II
Wiradi, Gunawan, Reforma Agraria, Perjalanan yang belum berakhir, Yogyakarta:
Insist Press, 2000
______________, “Reformasi Agraria dalam Perspektif Transasi Agraris”, dalam
Jurnal Ilmiah Puslit Bang BPN, Nomor 9, Februari 1998
Zaman, Mohammad. “Resettlement and Development in Indonesia”, dalam Journal
of Contemporary Asia, No.5, Mei 2002, vol. 2
Zuhaili, al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi Wa Adillatuhu, Beirut: Dar-al Fikr, 2004
91
Surat Keterangan
Nomor :
Yang bertanda tangan di bawah ini Ketua Rt. 08 / 03 Kelurahan Pondok Kopi
menerangkan bahwa :
Nama
: Abdul Rahman
Nomor Pokok
: 104043101306
Konsentrasi / Jurusan : PF / PMH
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Telah mengadakan penelitian, wawancara, dan pengumpulan data di tempat
kami, guna memenuhi penyelesaian tugas akhir (skripsi) yang berjudul :
“KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT (Analisis Kasus
Pembebasan Tanah Dalam Pandangan Fiqh)”
Demikian surat keterangan ini kami buat agar dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Pondok Kopi, 14 Mei 2009
An. Ketua Rt 08 / 03
(
H. Musa
)
92
Daftar Wawancara
1. Apakah seluruh warga yang tempat tinggalnya terkena pembebasan tanah setuju
dengan pembangunan proyek Banjir Kanal Timur yang dilakukan oleh
Pemerintah?
Jawab : “Pada dasarnya seluruh warga setuju dengan proyek pembangunan
Banjir Kanal Timur yang dilakukan oleh Pemerintah. Akan tetapi
warga menginginkan Ganti rugi dari harga tanah yang diberikan oleh
Pemerintah itu NJOP, karena, harga tanah pasaran di daerah saja
jauh lebih tinggi dari NJOP”
2. Apakah ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah kepada warga sudah sesuai
dengan harga yang diinginkan warga?
Jawab : “Ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah menurut kami tidak layak
karena harga NJOP yang diberikan oleh Pemerintah di bawah harga
pasaran. Kemudian harga tanah yang berada di gang dan di pinggir
jalan raya sama. Mestinya kan berbeda. Karena rata-rata kami yang
tinggal di pinggir jalan besar ini memiliki usaha, dan saat ini harga
tanah di sini mencapai 2,5 juta rupiah per meternya. Jadi, kalau kami
dikasih ganti rugi berdasar NJOP sebesar 1.722.000 rupiah per meter,
jelas kami keberatan”
3. Dalam hal bermusyawarah. Apakah setiap warga yang memiliki hak atas tanah
tersebut sudah di undang untuk bermusyawarah?
Jawab : “Mengenai harga NJOP yang telah di tetapkan oleh Pemerintah warga
tidak diajak bermusyawarah, karena katanya penentuan harga itu harus
93
dari Pemerintah. Warga hanya diajak bermusyawarah di kelurahan,
mengenai proses pemberian ganti rugi itu saja, yang diambil melalui
Bank DKI.
4. Bagaimana dampak pembebasan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
tingkat kesejahteraan rakyat?
Jawab : “Mengenai hal itu kita kembalikan kepada masing-masing warga. Bagi
mereka yang mampu mengelola uang ganti rugi untuk melanjutkan
kehidupannya tentu itu tidak terlalu berpengaruh. Tapi disini perlu kita
ketahui bahwa banyak warga yang tempat tinggalnya juga dijadikan
sebagai tempat usaha, tentunya hal ini sangat merugikan mereka.
Karena selain mereka mendapatkan ganti rugi yang tidak layak mereka
juga harus kehilangan mata pencaharian. Sekalipun mereka membuka
usaha di tempat yang baru, tentunya mereka harus memulainya dari nol
lagi, dan itu bukan lah perkara yang mudah.
5. Bagaimana menurut pandangan Bapak apakah kebijakan yang dilakukan oleh
Pemerintah mengenai pembebasan tanah ini sudah berpihak kepada rakyat?
Jawab : “Menurut saya kebijakan Pemerintah dalam hal ini belum berpihak
kepada rakyat. Karena masih banyak warga yang merasa di rugikan
dengan kebijakan tersebut. pemerintah seharusnya juga memberikan
solusi atas masalah kami. Kami ingin ada keadilan bagi warga korban
BKT ini. Jangan hanya berdalih untuk kepentingan umum saja, akan
tetapi nasib kami tidak diperhatikan dengan baik.”
94
Nama Responden
: DR. KH. M. Anwar Ibrahim
Jabatan
: Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat
Alamat
: Jl. Kenari II Blok L 5 No. 13 Bintaro Jaya Jakarta Selatan
Waktu / Tempat
: Sabtu, 30 Mei 2009 / Jl. Kenari II Blok L 5 No. 13 Bintaro
Jaya Jakarta Selatan
1. Apa yang melatarbelakangi MUI mengeluarkan Fatwa tentang Pencabutan Hak
Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
2. Apakah MUI menggunakan maslahah sebagai salah satu dasar Penetapan Fatwa
tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
3. Seperti Fatwa pada umumnya, apakah fatwa ini dikeluarkan karena adanya
permintaan dari pihak tertentu ?
4. Bagaimana pandangan Bapak tentang Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Umum?
5. Apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi
Untuk Kepentingan Umum ini, juga dijadikan sebagai tolak ukur oleh Pemerintah
untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum?
6. Apakah pencabutan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Pemerintah selama
ini memang benar-benar digunakan untuk kepentingan umum ?
7. Bagaimanakah Aplikasi fatwa ini di Masyarakat ?
8. Terkait dengan masalah pembebasan tanah, Bagaimana menurut pandangan MUI
dengan banyaknya konflik yang terjadi di masyarakat tentang Pencabutan Hak
Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
9. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini mampu untuk mengurangi terjadinya
konflik pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum di Masyarakat ?
10. Bagaimana menurut MUI, Apakah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah
selama ini berpihak kepada Rakyat atau sebaliknya ?
95
Jakarta,
30
Mei 2009
Ketua Komisi
Fatwa
MUI
Pusat
DR.
KH.
M.
Anwar Ibrahim
Daftar Wawancara
11. Apa yang melatarbelakangi MUI mengeluarkan Fatwa tentang Pencabutan Hak
Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
Jawab : Mengenai latar belakangnya dapat kita lihat dalam konsideran fatwa
tersebut.
12. Apakah MUI menggunakan maslahah sebagai salah satu dasar Penetapan Fatwa
tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
Jawab : Itu sudah jelas, dalam menetapkan fatwa ini MUI menggunakan konsep
maslahah. Akan tetapi maslahah yang digunakan bukanlah menurut
pertimbangan
kita ataupun pandangan para mujtahid, karena
maslahah itu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Maslahat itu ibarat pisau bermata dua, sehingga sering disalah
gunakan oleh orang. Banyak orang yang menilai maslahah sesuai
dengan pandangan mereka
sendiri
tanpa melihat terlebih dahulu
apakah telah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunah atau belum dan
mengandung maslahat atau tidak.
96
13. Seperti Fatwa pada umumnya, apakah fatwa ini dikeluarkan karena adanya
permintaan dari pihak tertentu ?
Jawab : Secara umum masyarakat banyak yang mengeluh karena hak tanah
mereka banyak yang diambil dengan alasan untuk pembangunan
fasilitas umum. Berangkat dari keresahan itulah timbul pertanyaan dan
pemintaan kepada MUI. Untuk merespon aspirasi masyarakat tersebut
maka kami mengeluarkan fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi
Untuk Kepentingan Umum. Selain itu MUI juga bisa mengeluarkan
fatwa tanpa ada permintaan dari masyarakat dalam penetapan
hukumnya, walaupun hanya dengan melihat keresahan yang ada
dimasyarakat.
14. Bagaimana pandangan Bapak tentang Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Umum?
Jawab : Pembebasan tanah boleh dilakukan selama tidak menganggu ekosistem
yang ada dimasyarakat, jika mengganggu maka harus diselesaikan
dengan baik. Pemerintah harus mendata terlebih dahulu mengenai
status tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Jika masyarakat tidak
memiliki bukti kepemilikan tanah yang sah, maka Pemrintah berhak
memindahkan mereka, karena tanah itu bukan hak mereka.
15. Apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi
Untuk Kepentingan Umum ini, juga dijadikan sebagai tolak ukur oleh Pemerintah
untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum?
Jawab : Saya tidak tahu mengenai hal itu, kita lihat saja di dalam konsideran
perpres No. 65 Tahun 2006 itu, apakah di sebutkan atau tidak. Mestinya
dicantumkan di dalam konsideran karena Pemerintah itu terdiri dari
orang-orang Islam, seharusnya mereka membuat peraturan yang sesuai
dengan syari’at Islam.
97
16. Apakah pencabutan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Pemerintah selama
ini memang benar-benar digunakan untuk kepentingan umum ?
Jawab : Kita lihat saja bagaimana faktanya secara ilmiah yang terjadi. Berapa
jumlah warga yang tanahnya dibebaskan, berapa jumlah ganti rugi
yang diberikan, Pemerintah. Untuk berbicara mengenai hal ini saya
tidak memiliki data.
17. Bagaimanakah Aplikasi fatwa ini di Masyarakat ?
Jawab : Dalam mengaplikasikan fatwa kemasyarakat MUI menggunakan
berbagai cara, baik secara lisan yaitu melalui seminar, diskusi dan
majelis-majelis ta’lim maupun secara tulisan yaitu melalui media cetak
dan yang lainnya.
18. Terkait dengan masalah pembebasan tanah, Bagaimana menurut pandangan MUI
dengan banyaknya konflik yang terjadi di masyarakat tentang Pencabutan Hak
Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ?
Jawab : Konflik itu terjadi mungkin karena kurangnya pengetahuan masyarkat
mengenai kesadaran hukum. Atau juga mungkin kurang adilnya
Pemerintah di dalam menerapkan kebijakn yang ada. Seharusnya
Pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi
masyarakat dan masyarakat juga seharusnya mengerti dan sadar akan
kebijakan yang telah diterapkan.
19. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini mampu untuk mengurangi terjadinya
konflik pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum di Masyarakat ?
Jawab : MUI tidak pernah melakukan pendataan mengenai konflik pertanahan
yang terjadi di Masyarakat. Sehinngga kami tidak mengetahui secara
jelas apakah fatwa ini dapat mengurangi benturan di masyarakat atau
tidak.
20. Bagaimana menurut MUI, Apakah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah
selama ini berpihak kepada Rakyat atau sebaliknya ?
98
Jawab : Saya tidak tahu mengenai hal itu, karena kita harus memiliki data yang
akurat untuk mengetahuinya. Mungkin dapat dikatakan selama
Pemerintah dapat melaksanakan kebijakannya sesuai dengan ketetapan
yang diberlakukan dan masyarkat pun tidak merasa dirugikan, berarti
Pemerintah telah bertindak adil kepada masyarakat.
Download