no 18 vol. 2.pmd - Sosiologi FISIP UNS

advertisement
REVIEW BUKU
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006
MENCOBA MENGULAS KETAHANAN SOSIAL
(Mengaitkan Perspektif Fungsionalisme Terhadap Ketahanan
Sosial)
Atik Catur Budiati
Dosen Program Studi Sosiologi dan Anthropologi Fakultas Ilmu Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maert surakarta
Terciptanya ketahanan sosial dalam masyarakat merupakan sebuah gejala sosial yang saat ini
sedang dikembangkan sebagai suatu antisipasi dari segala bentuk perubahan sosial, politik dan
ekonomi. Melalui konsepsi pembangunan nasional, istilah ketahanan sosial ini dikembangkan melalui
upaya terjaringnya modal sosial yang ada di masyarakat. Baik modal sosial berupa norma dan
jaringan sosial, ataupun kepercayaan sosial yang mampu mendorong tindakan kolektifitas demi
mencapai manfaat bersama. Namun, persoalannya siapakah yang paling mampu memenuhi kebutuhan
akan modal sosial ini ? Dalam perdebatan ilmu sosial, permasalahan ini terkait dengan wacana
apakah tindakan sosial merupakan sikap subjektif individu ataukah pengaruh objektif dari lingkungan
sosial (struktur sosial/masyarakat) ? Melihat perkembangan yang ada, ternyata ketahanan sosial
merupakan tindakan kolektif. Karena itu, dapat dikatakan bahwa struktur sosial, lebih dianggap
mampu memenuhi kebutuhan modal sosial sehingga terekontruksinya suatu keutuhan/integrasi sosial.
Hal itu, terkait erat dengan analisa fungsionalisme yang memberikan prioritas utama pada
masyarakat, struktur sosial. Masyarakat mendahului individu. Individu dicetak, ditekan dan dipengaruhi
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, kepentingan individu mencerminkan “kesadaran kolektif”
atau sistem nilai masyarakat. Dalam menganalisa suatu masyarakat, maka tekanan ini disalurkan
melalui mekanisme dimana institusi-institusi sosial diintegrasikan satu sama lain untuk mempertahankan
keteraturan sosial yang sudah ada (Jhonson, 1990:102).
Demikian halnya dengan ketahanan sosial. Salah satu indikator ketahanan sosial adalah adanya
partisipasi masyarakat dalam organisasi sosial. Kriteria yang tercakup dalam indikator ini adalah
keikutsertaan warga masyarakat ke dalam organisasi sosial lokal dan berbasis institusi tradisi dengan
ukuran terpeliharanya peran dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Harapanya semakin
aktif warga masyarakat dalam organisasi sosial lokal maka semain meningkat relasi sosial antarwarga,
mendorong kerukunan sosial dan terpenuhi kebutuhannya dalam situasi sulit (Santi,dkk, 2005:17).
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
141
Jurnal Sosiologi DILEMA
Makna Ketahanan Sosial
Ketahanan sosial diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bertahan dan memulihkan
keadaan dari berbagai tekanan seperti perubahan lingkungan, pergolakan sosial, ekonomi ataupun
politik (Kartono, 2004:34-35). Ketahanan sosial masyarakat merupakan sebuah pendekatan yang
menggerakan masyarakat lokal ke arah perwujudan kondisi yang tangguh dan handal dalam
menghadapi berbagai tekanan, ancaman, atau situasi rawan apapun (Bahransyaf,dkk, 2005:3).
Harapannya adalah kebutuhan atau kepentingan individu yang mengalami ketegangan secara konsisten
akan tunduk pada persyaratan sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas
keteraturan sosialnya.
Ketahanan sosial menunjukkan kemampuan pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat
mempertahankan fungsi-fungsi dasarnya dan mencari berbagai solusi pemecahan masalah. Dapat
disimpulkan bahwa pranata sosial mempunyai peran sangat penting dalam masyarakat atau komunitas
tertentu. Menurut Rochwan Achwan, suatu komunitas dianggap memiliki ketahanan sosial apabila:
1. Mampu melindungi secara efektif anggotanya, termasuk individu dan keluarga yang rentan dari
kelompok perubahan sosial yang mempengaruhinya
2. Mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan
3. Mampu mengembangkan mekanisme yang efektif dalam mengelola konflik dan kekerasan.
(Hikmat,dkk, 2004:7)
Ketahanan sosial masyarakat menggambarkan kemampuan internal masyarakat dalam
menggalang konsensus dan mengatur sumber daya maupun kemampuannya mengantisipasi faktor
eksternal menjadi sumber ancaman menjadi peluang. Oleh karena itu ketahanan sosial tidak hanya
dilihat sebagai final or finish product tetapi juga process or dynamic product.(Hikmat,dkk,
2004:22). Ketahanan sosial masyarakat tidak dapat diartikan dalam batas-batas “social defence”
pada konteks statis, tetapi perlu dimaknai pula sebagai “social resiliance” yang lebih bercorak
dinamis.
Ketahanan Sosial Dan Fungsionalisme Durkheim
Sementara itu, ada beberapa macam pandangan dari sosiolog tentang analisa yang bisa dikaitkan
dengan ketahanan sosial. Durkheim misalnya, melihat realitas sebagai hasil komunikasi antara
kenyataan sosial dan kesadaran. Masyarakat bukan hanya realitas melainkan juga milieu yang
melahirkan ide tentang apa yang real itu. Oleh karena itu, individu haruslah terikat pada masyarakat,
terikat pada kolektivitas. Hal ini menarik, karena perlunya suatu ikatan kolektivitas yang mampu
142
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006
menjembatani antara kesadaran individu dengan kesadaran kolektivitas, semakin besar perubahan
sosial yang terjadi sehingga semakin diperlukan sebuah perantara dalam bentuk organisasi untuk
mencegah kecenderungan disintegrasi. Kalau kesadaran kolektif cukup kuat maka kesadaran itu
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menetralisasikan perbedaan-perbedaan, sehingga
menjadi tambah sensitif terhadap pelanggaran yang semula dianggap sebagai hal yang biasa
(Soekamto, 1985).
Menurut Achwan (Hikmat, 2003:6), akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pranata sosial yang
menjadi penopang ketahanan komunitas, mulai mengalami penciutan, keretakan, bahkan kelumpuhan.
Padahal, lembaga solidaritas ini merupakan sebuah jembatan untuk menyederhanakan dan mengurangi
ketidakpastian di dalam kehidupan sosial. Pesatnya arus globalisasi, membuat masyarakat semakin
terseret dalam arus perubahan sosial yang semakin merenggangkan ikatan solidaritas. Krisis ekonomi
yang tidak ujung henti disertai dengan kenaikan harga BBM, bencana alam, kelaparan, teror bom
serta berbagai masalah sosial lainnya dapat menghilangkan “social trust” di dalam masyarakat.
Menurut Muhadjir Effendi yang memperkenalkan “Masyarakat Equilibrium”, menegaskan
bahwa sebuah perubahan yang terjadi di Indonesia harus dibarengi dengan keseimbangan. Karena
tanpa keseimbangan, perubahan justru akan menghasilkan ketimpangan dan rusaknya tatanan sosial.
Perubahan yang diiringi dengan keseimbangan inilah yang akan mewujudkan masyarakat equilibrium. Dengan didukung nilai kebenaran yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Tanpa itu, akan
menimbulkan suasana yang dalam dunia psikologi disebut itensi paradoksi (pertentangan yang intens).
Apalagi, jika pada kenyataannya terjadi proses benturan-benturan nilai yang ada dalam masyarakat,
maka hal itu tidak akan mengarahkan terciptanya new equilibrium tetapi menciptakan disequilibrium baru. (Effendy, 2002:12-13). Itulah sebabnya, menurut Durkheim dalam kehidupan sosial
perlu adanya solidaritas sosial yang terbentuk dalam masyarakat melalui mekanisme sistem hukum
tertentu sebagai proses keseimbangan.
Durkheim menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis, hukum seringkali
bersifat represif. Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, hukuman
itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya dalam masyarakat yang
memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif dengan tujuan bukan untuk menghukum melainkan
untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Fungsi hukuman yang
sebenarnya adalah menjaga agar kesatuan sosial tetap utuh dengan jalan memelihara segenap vitalitas
pada hati nurani kolektif. Hati nurani kolektif adalah keseluruhan sistem kepercayaan dan perasaan
umum yang dibentuk di kalangan anggota masyarakat. Bila hati nurani kolektif diabaikan begitu
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
143
Jurnal Sosiologi DILEMA
saja, maka dapat melemahkan solidaritas sosial yang tercipta dalam masyarakat. (Abdullah, 1986:92)
Kalau solidaritas mekanis mengandaikan bahwa individu saling menyerupai, maka solidaritas
organis mengandaikan bahwa individu berbeda satu sama lain. Solidaritas mekanis hanya mungkin
ada apabila kepribadian masing-masing orang diserap dalam kepribadian kolektif, sedangkan
solidaritas organis hanya mungkin ada bila masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak yang
khas untuk dirinya. Oleh karena itu hati nurani kolektif harus memberi tempat bagi sebagian dari hati
nurani individu untuk dapat menjalankan fungsi-fungsi khusus yang tidak mungkin diaturnya. (Abdullah,
1986:147)
Selanjutnya, Durkheim menekankan bahwa masyarakat akan selalu mengalami perubahan.
Perubahan struktur masyarakat ini memerlukan suatu dasar moralitas baru yang dikembangkan
sebagai fakta sosial yang terdiri atas kaidah-kaidah moral untuk bertindak. Dengan kata lain, tindakan
moralitas itu berarti berbuat untuk kepentingan kolektif. Moralitas terdiri dari suatu sistem kaidah
atau norma mengenai tindakan yang menentukan tingkah laku kita. Kaidah-kaidah tersebut
menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi-situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat,
tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan (Abdullah, 1986:157),
berdasarkan dimensi moral (Giddens, 1986:145).
Permasalahannya adalah bagaimana kita menemukan kembali kekuatan moral yang mulai
tergerus oleh perubahan sosial ? Pertama yang harus kita lakukan adalah menemukan kembali
kekuatan-kekuatan moral yang merupakan dasar bagi semua kehidupan moral, baik yang berasal
dari masa lalu maupun masa kini. Kedua, kita harus menyelidiki bagaimana perkembangan yang
sebaiknya dan bagaimana dapat diarahkan dalam kondisi-kondisi sosial dewasa ini. Dalam hal ini,
Durkheim lebih menekankan pada pencarian unsur-unsur moralitas yang berarti mencari watak
dasar yang merupakan akar kehidupan moral. Apa saja unsur moralitas itu ? Unsur pertama moralitas
adalah semangat disiplin sebagai sarana untuk mempertegas perilaku yang diperintahkannya. Dengan
istilah lain, disiplin moral sangat berperan besar dalam pembentukan watak dan kepribadian, yaitu
kemampuan mengendalikan diri, nafsu, keinginan dan kebiasaan menurut kaidah yang berlaku
(Abdullah, 1986:179).
Unsur kedua adalah ikatan individu pada kelompok dimana individu menjadi anggotanya
(ikatan kepada kelompok sosial). Untuk bisa menjadi makhluk moral, manusia harus mengabdikan
dirinya kepada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Individu harus merasa dirinya satu dengan
masyarakat, betapapun rendah tingkat masyarakat tersebut. (Abdullah, 1986:196). Hal terpenting
dalam ketahanan sosial adalah bagaimana masyarakat dapat memelihara hubungan yang harmonis
144
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006
untuk peningkatan keberfungsian sosial dan kesejahteraan masyarakat. Harapannya, melalui kekuatan
individu-individu yang terikat dalam kesadaran moral itulah, proses mengendalikan perbedaan dan
konflik dapat termanifestasikan dengan baik. Tentu, tindakan moral tidak cukup hanya dengan
menghormati disiplin dan terikat pada kelompok sosial, tetapi lebih dari itu. Yakini, perlunya
pengetahuan dan kesadaran. Karena dengan adanya kesadaran, otonomi moral individu dapat
terdistribusi dengan baik dalam masyarakat.
Unsur ketiga moralitas adalah gagasan mengenai moralitas itu sendiri. Moralitas tidak hanya
terdiri dari proses bertindak, namun juga adanya prinsip kesukarelaan. Kesukarelaan ini adalah
bagian dari persetujuan secara bijaksana dari individu yang bersangkutan. Karena tanpa hal itu,
ketika masyarakat semakin komplek dan mengalami berbagai perubahan sosial, maka membuat
masyarakat bersangkutan semkain resisten atas dinamika tersebut. (Abdullah, 1986:157)
Pada perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, pemikiran Durkheim tentang
moralitas semakin dibutuhkan. Tujuan tindakan moral adalah untuk kepentingan bersama (kolektif)
yang menjadi dasar terciptanya ketahanan sosial dalam masyarakat. (Abdullah, 1986:192).
Kesadaran untuk hidup dan terikat bersama dalam kelompok sosial dimana individu menjadi
anggotanya adalah penting untuk mengantisipasi perubahan dalam aspek kehidupan masyarakat.
Moralitas sebagai dasar terciptanya kosensus sosial pada gilirannya menjamin adanya solidaritas
sosial. Asumsinya ketika semakin kuat ikatan solidaritas sosial yang ada dalam masyarakat maka
semakin kuat tingkat integrasi sosial yang ada dan hasil akhirnya adalah terciptanya ketahanan sosial
dalam masyarakat.
Ketahanan Sosial Dan Fungsionalisme Parson
Selain Durkheim, ada juga sosiolog yang memiliki pandangan fungsionalisme dan pandangannya
ini bisa dikaitkan dengan ketahanan sosial. Yakni, Talcott Parson. Dengan menggunakan perspektif
struktural fungsional Talcott Parsons, masyarakat dapat dianalogikan suatu organisme yang memiliki
struktur dan fungsi agar tetap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal itu hanya akan
dicapai jika setiap bagian dari organisme tersebut dapat memainkan perannya masing-masing,
sehingga sistem secara keseluruhan dalam masyarakat itu dapat seimbang, bekerja dengan baik
(tidak goncang). Jika dikaitkan dengan ketahanan sosial, maka dapat diartikan bahwa setiap bagian
dari sistem kemasyarakatan atau subsistem kemasyarakatan merupakan media pembentuk ketahanan
sosial, selama mereka itu mampu menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan kedudukan
yang dimilikinya. Berlangsungnya subsistem-subsistem dalam sistem kemasyarakatan dalam konsep
Parsons, dijelaskannya dengan skema AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
145
Jurnal Sosiologi DILEMA
dan Latency. Agar suatu sistem itu dapat bertahan maka harus memiliki empat fungsi tersebut.
1. Adaptation (adaptasi), yaitu sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan ini dengan kebutuhannya.
2. Goal Attainment (pencapaian tujuan), yaitu sebuah sistem yang harus mendefinisikan dan
mencapi tujuan utamanya.
3. Integration (integrasi), yaitu sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya
(A, G, L).
4. Latent Pattern-maintenance (latensi atau pemeliharaan pola), yaitu sistem harus
memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki baik motivasi, individual maupun pola-pola
kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Mampu menjamin kesinambungan tindakan
dalam sistem sesuai beberapa aturan atau norma-norma.
(Poloma, 1994:181-182 )
Merujuk pandangan Parson di atas, maka ketahanan sosial bergerak pada keempat fungsi
tersebut. Artinya, ketahanan sosial akan tercipta jika dalam masyarakat memiliki fungsi adaptasi,
tujuan, integrasi dan pemeliharan sosial. Untuk mencegah gejolak sosial yang diakibatkan perubahan
sosial, maka komponen-komponen masyarakat itu dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masingmasing dengan baik. Memang, perubahan sosial dapat mempengaruhi kinerja ketahanan sosial karena
tidak berfungsinya pranata-pranata sosial yang ada sehingga banyak komunitas mengalami social
disorder atau social harmony. Karena itu, sangat penting untuk menguatkan ketahanan sosial melalui
pemberdayaan pranata sosial yang berbasis pada komunitas lokal sebagai faktor penentu penguat
ketahanan sosial masyarakat dengan memelihara keempat fungsi sub-sistem Parsonian di atas.
Hasil penelitian Departemen Sosial menunjukkan bahwa konflik (perubahan sosial) pada tingkat
yang paling parah, mengendurkan pranata sosial. Karena, konflik adalah suatu klimaks dari suatu
proses panjang dimana masuk dan berkembangnya “virus-virus sosial” ke dalam masyarakat. Konflik
berat dalam wujud perusakan harta benda hingga nyawa manusia sebenarnya adalah hasil akumulasi
proses sosial yang keropos. Oleh karena itu, perlunya memberdayakan pranata sosial dalam kerangka
mencegah dan mengantisipasi terulang kembalinya konflik sosial. (Muttaqin, 2002:1)
Terciptanya ketahanan sosial di masyarakat diindikasikan dengan kemampuan segenap
komponen pemerintah, asosiasi lokal, pengusaha, lembaga swadana masyarakat, lembaga pendidikan,
lembaga ekonomi, dan lembaga keagamaan, guna melakukan peace keeping (menjaga perdamaian),
146
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006
antisipasi konflik, resolusi konflik, dan social recovery dalam proses kehidupan sosial (Kartono,
2005:39). Selain itu, komponen-komponen inilah pula yang perlu mememilihara dan memainkan
fungsinya sebagai adaptasi, integrasi, goal-attainment, dan latence-pattern Maintenace. Agar,
ketahanan sosial bukan sebuah impian semata dalam kondisi sosial yang tidak menentu seperti
sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik & Leeden, A.C. Van Der, (1986), Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas
(terjemahan), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Bahransyaf, Daud,dkk (2005) Model Jaminan Sosial Berbasis Komunitas Lokal dalam
Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat, Jakarta, Pusat Pengembangan Ketahanan
Sosial Masyarakat, Departemen Sosial RI
Effendi, Muhadjir, (2002) Masyarakat Equilibrium, Yogyakarta, Bentang Budaya
Giddens, Anthony, (1986) Kapitalisme dan Teori Sosial Modern (terjemahan), Jakarta, UI Press
Hikmat, Harry,dkk, (2004) Indikator Ketahanan Sosial Masyarakat (Kajian Konseptual dan
Empirik), Jakarta, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Departemen Sosial
RI
Johnson, Doyle Paul, (1990) Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama
Kartono, Drajat Tri, (2004) Pembentukan Sistem Ketahanan Sosial Melalui Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan, Surakarta, UNS Press
Muttaqin,dkk, (2003) Model Pemberdayaan Pranata Sosial dalam Penanganan Konflik, Jakarta,
Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Departemen Sosial RI
Poloma, Margareth, (1994) Sosiologi Kontemporer, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Santi, Kanya Eka,dkk, (2005) Ketahanan Sosial di Wilayah Perbatasan, Jakarta, Pusat
Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Departemen Sosial RI
Soekamto, Soerjono, (1985) Aturan-Aturan Metode Sosiologis (Seri Pengenalan Sosiologi 2
Emile Durkheim), Jakarta, CV Rajawali
Atik Catur Budiati “Mencoba Mengulas Ketahanan Sosial”
147
Jurnal Sosiologi DILEMA
148
Download