"KONSENSUS SAKRAL Studi Sosial Kultural Budaya Ma`kombogan

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pendahuluan
Dalam interaksi sosial, baik antar individu maupun antar kelompok,
manusia tidak bisa menghindari terjadinya konsensus. Konsensus ini tentunya
dapat dilakukan antar individu, satu komunitas, maupun antar kelompok. Pada
prinsipnya konsensus dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, tergantung
kesepakatan pihak-pihak yang melakukan konsensus. Tujuan dari konsensus yang
ada dalam masyarakat yaitu untuk menjaga tatanan sosial tetap dalam suasana
integratif sehingga kehidupan sosial selalu damai dan rukun (harmonis). Karena
itu, dibutuhkan adanya kesepakatan atas nilai-nilai (values) dan kepentingan
(interest) untuk mengikat semua partisan konsensus. Nilai-nilai, norma atau moral
yang disepakati tersebut, tentunya diharapkan menjadi pengontrol agar solidaritas
tetap kuat dan menegaskan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran.
Untuk mewujudkan kosensus yang kuat dalam ikatan nilai-nilai (values),
norma atau moral, maka manusia melalui proses musyawarah untuk membangun
kesepakatan atau konsensus bersama. Konsekuensi logis yang akan dialami manusia
dalam dinamika interaksi sosial demikian yaitu manusia berada dalam ketegangan antara
keinginan dan kepentingan individu dengan keinginan dan kepentingan kelompok
(kolektifitas). Akibatnya conflic of interest tidak bisa dihindari, maka bisa saja terjadi
penghianatan dan pelanggaran terhadap konsensus atau kesepakatan. Karena itu,
konsensus perlu “dibentengi” dengan legitimasi nilai-nilai moral atau agama dalam
kesadaran kolektif membangun konsensus sakral. Demi menjaga integrasi sosial dan
18
keutuhan masyarakat, maka konsensus pun dapat “dipagari” dengan sanksi bagi yang
melanggar.
Karena itulah, sebelum memahami lebih jauh tentang konsensus sakral
dalam budaya kombongan kalua’, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa
pemikiran sosiologi Emile Durkheim yang dianggap berkaitan dengan masalah
yang diteliti dalam tesis ini. Selanjutnya, pemikiran Durkheim ini akan dijadikan
acuan dalam menganalisis konsensus sakral dalam budaya kombongan kalua’
tahun 1947 tentang penetapan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten dan
dampaknya terhadap integrasi sosial masyarakat Tana Toraja.
1.2.Gagasan Sosiologi Emile Durkheim
1.2.1. Solidaritas Sosial
Durkheim menguraikan secara luas tentang solidaritas sosial sebagai
fakta sosial dengan melakukan fokus analisis komparatif atas faktor pemersatu
dalam masyarakat primitif (solidaritas mekanik) dengan masyarakat modern
(solidaritas organik). Pemikiran ini muncul berangkat dari meningkatnya
pembagian kerja yang berujung dengan terjadinya transformasi kesadaran kolektif.
Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan hingga kaitannya dengan
tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja.
Durkheim sangat memberikan perhatian pada moralitas yang ada dalam
masyarakat, yang memungkinkan terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat.
Integrasi masyarakat terjadi karena adanya kesepakatan (konsensus) di antara
anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
19
Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut dinamakan oleh Durkheim dengan
kesadaran kolektif (bahasa Prancis: collective conscience, bahasa Inggris:
collective consciousness), yang dapat diartikan sebagai kesadaran “moral” (“hati
nurani”).
Durkheim
mendefinisikan
kesadaran
kolektif,
yaitu:
Seluruh
kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat
akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri: kita boleh
menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum…. Dengan
demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari
lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Kesadaran kolektif ini berada di luar individu atau bersifat eksterior,
namun memiliki daya penekan (koersif) terhadap individu-individu sebagai
anggota masyarakat. Konsensus adalah hasil kesadaran kolektif. Konsensus
masyarakat bertujuan mengatur hubungan sosial di antara anggota masyarakat
yang bersangkutan. Kesadaran kolektif tersebut bisa berwujud aturan-aturan
moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk, luhur dan
mulia. Kesadaran kolektif sangat diperlukan bagi kuatnya solidaritas sosial dan
integrasi sosial. Agar konsensus tetap kuat, maka perlu didasarkan atas
prinsip-prinsip moral, norma atau agama yang ada dalam masyarakat.
Seiring dengan semakin berkembangnya masyarakat, dari masyarakat
primitif ke masyarakat modern, akan meningkatkan pula pembagian kerja yang
berujung dengan terjadinya transformasi kesadaran kolektif. Durkheim menyebut
solidaritas masyarakat primitif dengan nama solidaritas mekanik, dan solidaritas
masyarakat modern dengan nama solidaritas organik. Masyarakat primitif
20
terutama dipersatukan oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya moralitas yang
dipegang erat bersama-sama, atau apa yang disebut sebagai kesadaran kolektif
yang begitu kuat. Namun, karena kompleksitas masyarakat modern, terjadi
perubahan kekuatan kesadaran kolektif.
Pergerakan masyarakat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik,
menunjukkan adanya suatu transformasi kesadaran kolektif. Pada masyarakat
bersolidaritas mekanis, kesadaran kolektif ini sangat tinggi, sedangkan pada
masyarakat solidaritas organis tidak demikian halnya. Hubungan yang kuat di
antara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan,
struktur pembagian kerja di suatu masyarakat akan membentuk corak solidaritas
sosial yang khas masyarakat itu.
Dengan meningkatnya pembagian kerja dalam masyarakat berhubungan
langsung dengan kepadatan moral (moral density) atau dinamika suatu
masyarakat. Moral density adalah tingkat kepadatan interaksi antar anggota
masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kepadatan moral, yang
berimplikasi pada hubungan di antara anggota masyarakat juga semakin rapat.
Begitu juga dengan hubungan antara kelompok, berbagai bentuk interaksi baru
bermunculan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kerja sama dan munculnya
berbagai bentuk solidaritas sosial dalam masyarakat terkait masalah peningkatan
pembagian pekerjaan.
Ciri-ciri masyarakat dalam solidaritas mekanik yaitu: kesadaran kolektif
sangat tinggi (kuat), pembagian kerja rendah, hukum represif sangat dominan,
kolektifitas sangat kuat sebaliknya individualitas dihindari, konsensus terhadap
21
nilai-nilai normatif (moral kolektif) sangat penting, dan bersifat primitif
(pedesaan). Dalam situasi masyarakat demikian, menjadi amat penting konsensus
moral dan pola-pola normatif, sehingga memberi ruang keterlibatan kolektifitas
(komunitas) dalam menghukum orang yang meyimpang dari konsensus bersama.
Keterlibatan kolektif menghukum pelanggar karena keyakinan dan perasaan
moralitas bersama sangat kuat, maka pelanggar dihukum atas pelanggarannya
terhadap sistem moral kolektif. Hukuman yang diberikan membuat pelanggar
menderita, kehilangan keberuntungan, kehormatan, kebebasan, atau kehilangan
kesenangan. Tanpa memperhitungkan manfaat dan rasa keadilan dari hukuman
yang diberikan, semata hanya membalas dendam.
Sehubunghan dengan ciri-ciri tersebut di atas, maka nilai (norma) sosial
yang berlaku dalam masyarakat ditentukan oleh kesadaran kolektif, terutama pada
kesamaan dalam kepercayaan, nilai-nilai moral dan hubungan emosional.
Maksudnya, jika terjadi pelanggaran oleh individu terhadap konsensus bersama,
maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran dan pengingkaran terhadap kesadaran
kolektif. Sehingga hukuman yang diberikan itu mencerminkan kemarahan kolektif
sangat tinggi.
Sedangkan ciri-ciri masyarakat dalam solidaritas organik yaitu:
solidaritas industri perkotaan, ditandai dengan adanya penghargaan terhadap
sistem heterogenitas dan pluralitas, individualitas dihargai, pembagian kerja dalam
masyarakat sangat tinggi dan menyuburkan saling ketergantungan fungsional
dalam masyarakat, sehingga kesadaran kolektif (collective consciousness) menjadi
rendah (lemah) sebab terdistribusi ke dalam masing-masing spesialisasi pekerjaan.
22
Durkheim mengatakan “itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran
yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif.” Meskipun demikian, bentuk kesadaran
kolektif mengalami perubahan, bukannya hilang. Dalam situasi masyarakat
demikian, maka konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu menjadi amat
penting, sehingga kontrol sosial terdistribusi melalui badan-badan yang berwenang
untuk menghukum orang yang melanggar konsensus. Ini menunjukkan bahwa
dalam masyarakat solidaritas organik, hukum restitutif yang dominan. Kolektifitas
tidak terlibat dalam menghukum pelanggar konsensus sebab sudah ada lembaga
yang berwenang. Hukum bersifat mendidik bukan bersifat balas dendam,
melainkan sekedar memulihkan keadaan. Pelanggar melakukan restitusi untuk
kejahatanya dan tidak selamanya akan kehilangan kehormatannya. Pelanggaran
dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari
masyarakat dan bukannya terhadap sistem moral itu sendiri.
1.2.2. Agama dan Pembentukan Solidaritas
Analisis sosiologis Durkheim menekankan adanya hubungan yang sangat
erat antara masyarakat, agama, dan dampaknya terhadap solidaritas sosial. Dalam
agama primitif (masyarakat primitif – suku Arunta di Australia), Durkheim
menemukan akar-akar agama dan hubungan saling ketergantungan antara agama
dan masyarakat untuk memahami dasar-dasar dari kehidupan sosial. Sedangkan
dalam
masyarakat
modern
(agama
modern),
institusi-institusi
agama
mengembangkan suatu tingkat otonomi tertentu yang mungkin juga mengaburkan
hubungan yang esensial antara agama dan masyarakat.
23
Walaupun
agama-agama
dapat
dibedakan
menurut
tingkatan
kompleksitas ritual, dan nilai-nilai yang dianutnya, tetapi pada hakekatnya
memiliki kesamaan dasar, yaitu:
“They respond to the same needs, they play the same role, they depend
upon the same cause; the can also well serve to show the nature of the
religious life, and consequently to resolvethe problem which we wish to
study.” [Agama-agama menjawab kebutuhan yang sama, memainkan
peranan yang sama, dan terbentuk dari penyebab yang sama;
agama-agama juga dapat memperlihatkan apakah arti religiusitas
manusia, dan tentunya menjawab pertanyaan yang hendak diteliti
(persoalan hidup manusia].
Menurut Durkheim agama merupakan sesuatu keseluruhan yang terdiri
bagian-bagian (komponen-komponen), yaitu sistim mitos, dogma, ritus, dan
seremoni. Baginya, agama manapun memiliki tiga komponen mendasar: sistim
kepercayaan, ritus (upacara keagamaan) dan komunitas religius. Kepercayaan
adalah “representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan
yang mereka miliki, baik dengan sesama hal yang sakral atau dengan hal yang
profan. Ritual agama, yaitu “aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana
seorang manusia harus bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Agama
membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh
anggotanya. Atas dasar inilah, Durkheim mendefenisikan agama sebagai:
…a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that
is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite
into one single moral community called a Church, all those who adhere
to them. [Suatu sistim yang terpadu mengenai kepercayaan dan
praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal sakral, dengan kata
lain, memberi batasan-batasan dan terlarang–kepercayaan dan praktek
keyakinan yang bersatu menjadi suatu komunitas moral (gereja) tunggal
yang menghimpun mereka semua yang menganutnya].
24
Kepercayaan agama manapun (baik agama primitif maupun agama
kompleks) membagi dunia ke dalam dua golongan yaitu: yang sakral dan profan.
Yang sakral (sacred realm) terdiri bukan hanya dari makhluk-makhluk yang
memiliki jiwa, tetapi juga benda-benda lain seperti karang, pohon dan sebagainya
yang dipandang suci (termasuk upacara keagamaan). Kepercayaan religius dapat
dikonsepsi sebagai “yang mengekspresikan sifat dasar dari hal-hal yang sakral dan
relasinya, baik dengan hal sakral yang lain ataupun dengan hal-hal yang profan”.
Sementara ritus (upacara keagamaan) dapat didefenisikan sebagai “prosedur yang
menggambarkan bagaimana manusia harus bertingkah laku di hadapan
benda-benda suci ini”.
Dalam agama manapun terdapat komunitas moral yang terdiri dari para
imam (alim ulama) dan umatnya. Kesamaan keyakinan menjadi ikatan yang kokoh
di antara anggota-anggota komunitas moral ini, antara ulama dan umat, antar
ulama, dan antar umat. Komunitas moral ini, yang dinamakan “church” oleh
Durkheim, tidak dapat dikatakan kurang penting bila dibandingkan dengan sistim
kepercayaan maupun ritus. Justru sebaliknya: “dengan menunjukkan bahwa agama
tidak terpisah dari komunitas moral, jelas bahwa agama merupakan sebuah
fenomena kolektif.”
Masyarakat
(melalui
individu)
menciptakan
agama
dengan
mendefenisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang
lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefenisikan dan dianggap sakral
inilah dan merupakan sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang
membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang diluar hal itu, didefenisikan dan
25
dianggap profan, misalnya: tempat umum, sesuatu yang biasa dipakai, aspek
kehidupan duniawi. Di satu pihak, yang sakral melahirkan sikap hormat, kagum
dan bertanggungjawab. Di pihak lain, sikap-sikap terhadap fenomena inilah yang
membuatnya dari profan menjadi sakral, atas dorongan kekuatan moral kolektif.
Menurut Durkheim sumber agama adalah masyarakat dan agama adalah
”sesuatu yang amat bersifat moral” yang bersumber dari kesadaran kolektif. Itu
sebabnya ia menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan lawan dari itu yang
ia sebut profan adalah individu. Sakral dalam pemikiran Durkheim berada dalam
bingkai believe and rite (kepercayaan dan ritus). Untuk mendapatkan yang
disakralkan diperlukan serangkaian ritus tertentu.
Menurut Durkheim, ide agama terbentuk dalam masyarakat ketika para
anggotanya berkumpul bersama-sama dalam kesempatan-kesempatan khusus yang
disebut ritus-ritus. Ia menjelaskan:
When they are once come together, a sort of electricity is formed by their
collecting which quickly transports them to an extraordinary degree of
exaltation. Every sentiment expressed finds a place without resistance in
all the minds, which are very open to outside impressions; each
re-echoes the others, and is re-echoed by the others. The initial impulse
thus proceeds, growing as it goes, as an avalanche grows in its advance.
And as such active passions so free from all control could not fail to
burst out, on every side one sees nothing but violent gestures, cries,
veritable howls, and deafening noises of every sort, which aid in
intensifying still more the state of mind which they manifest. So it is in
the midst of these effervescent social environments and out of this
effervescence it self that the religious idea seems to be born. [Ketika para
anggota berkumpul, kebersamaan mereka membentuk sebuah gairah yang
menghantar masing-masing ke kondisi surup. Setiap emosi yang meluap
merasuk ke pikiran tiap mereka tanpa ada perlawanan, pikiran mereka
amat mudah tersugesti (dan masuk ke hati); setiap mereka
mengumamkan gumaman yang lain. Gairahpun semakin meluap-luap
ibarat tanah longsor yang semakin lama kian deras. Dan seiring gairah
yang meliar ini tak bisa dikendalikan lagi, sejauh mata memandang kita
hanya akan mendapati gerak tubuh yang liar, pekik tangis, lolongan yang
26
menyayat, dan segala macam suara yang memekakkan telinga, sebuah
keadaan yang memperkuat kondisi serup mereka. Lalu di tengah-tengah
lingkungan sosial yang meluap-luap (effervescent) dan dari keadaan yang
meluap-luap ini sendirilah nampaknya ide agama itu lahir].
Jeritan dan gerak-gerik yang terjadi dalam upacara itu lantas menjadi
berirama dan teratur, menjadi nyanyian dan tarian. Lantaran ritus diadakan hanya
pada waktu-waktu tertentu, peristiwa ini dipandang berbeda dengan situasi
kehidupan sehari-hari. Ritus membentuk dan memperkuat kesadaran tentang
keberadaan kekuatan suci, kekuatan yang lebih superior, di luar diri mereka, dan
mendominasi mereka. keadaan ini membuat masing-masing individu, kemudian
menganggap diri mereka dirasuki oleh kekuatan suci. Individu merasa tak menjadi
dirinya lagi, ia merasa menjadi makhluk baru
Agama melalui sistim kepercayaan dan ritus membentuk dan
membentengi kesadaran kolektif di antara sekelompok manusia. Karena itulah
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya agama bermula (dibentuk) dari perasaan
ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi lingkungannya (masalah). Ia merasa
takut, lemah dan tak berdaya terhadap kekuatan jahat yang mengepungnya.
Manusia membutuhkan suatu keberadaan yang lebih superior dari dirinya.
Manusia membutuhkan kekuatan superior yang dapat menjadi tumpuannya untuk
bergantung. Apa yang dianggap kekuatan ilahi pada dasarnya merupakan sesuatu
yang dihasilkan oleh kelompok manusia yang berhimpun dan melakukan sebuah
ritus. Simbol yang dipercayaai (Durkheim menamainya: totem) menjadi penting,
karena menjadi simbol kekuatan sakral, ia menjadi wujud fisik dari ‘tuhan’ dan
masyarakat. Jika totem merupakan simbol dari ‘tuhan’ dan masyarakat, itu berarti
‘tuhan’ dan masyarakat adalah satu dan sama. Masyarakat merupakan kekuatan
27
yang lebih besar dari kekuatan individu. Ia melampaui individu, menuntut
pengorbanan individu, menekan sifat egois individu dan mengisi individu dengan
energi. Dengan kata lain masyarakat merupakan sumber dari kesakralan itu
sendiri.
1.2.3. Konsensus dalam Masyarakat
Menurut Durkheim, persepsi individu tentang kepentingan pribadinya
tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh
kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang-orang lainnya
dalam masyarakat. Ia melihat individu dibentuk oleh masyarakat, dan agar
persepsi kepentingan individu tidak benturan dengan persepsi kepentingan
masyarakat, maka dibutuhkan konsensus moral, yang dihasilkan dari kesadaran
kolektif.
Solidaritas bisa terjadi jika ada ikatan moralitas yang sama dari suatu
komunitas yang didasari atas konsensus bersama untuk menaati dan menjalani
bersama, menjadi ikatan sosial bersama untuk membangun integrasi sosial,
sehingga kohesi sosial tetap kuat dalam suatu masyarakat. Konsensus dalam suatu
masyarakat itu didasarkan atas kesadaran kolektif. Konsensus masyarakat adalah
hasil kesadaran kolektif (collective consciousness).
Solidaritas mekanik merupakan suatu bentuk hubungan sosial di antara
individu atau kelompok yang didasarkan pada kepercayaan bersama, nilai-nilai
moral dan diperkuat oleh perasaan senasib sepenanggungan atau pengalaman
emosional bersama (hubungan emosional). Ikatan ini lebih kuat dari pada
28
hubungan
kontraktual
yang
dibuat
atas
persetujuan
rasional,
karena
hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat
(derajat) konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.
Demi terpeliharanya keutuhan masyarakat (integrasi sosial), maka
dibutuhkan komitmen moral untuk setia kepada konsensus dalam masyarakat. Dua
elemen moralitas yang penting yaitu: disiplin dan keterikatan, saling
menyempurnakan dan mendukung satu sama lain karena keduanya merupakan
aspek yang berbeda dalam masyarakat. Disiplin adalah masyarakat yang dilihat
sebagai sesuatu yang menuntun kita, sementara keterikatan adalah masyarakat
yang dilihat sebagai bagian dari diri kita.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa solidaritas sosial
sebagai fakta sosial bisa terjadi karena dibangun atas kesadaran kolektif yang
bersumber dari masyarakat. Oleh karena solidaritas sosial merupakan wujud
konsensus masyarakat, maka hubungan individu harus dibangun sesuai
dasar-dasar moral kepercayaan, tradisi atau adat istiadat yang sudah diakui dan
dianut secara bersama oleh masyarakat. Dalam masyarakat terjadi konsensus
(persetujuan - kesepakatan) sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang
disepakati secara bersama, demi tujuan bersama.
Kepercayaan bersumber dari masyarakat, kepercayaan melahirkan
nilai-nilai moral bagi masyarakat, dan mengkonstruksi konsep sakral. Inilah teori
agama menurut Durkheim, karena itu ia katakan masyarakat adalah sumber
agama, nilai-nilai moral dan segala sesuatu yang dianggap sakral. Jadi,
29
kepercayaan, yang sakral, nilai-nilai moral, dan masyarakat adalah satu. Ia
mendefenisikan agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku
yang utuh dan selalu dikaitkan dengan ‘yang sakral’, yaitu sesuatu yang terpisah
dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan ke dalam satu
komunitas moral yang disebut gereja, tempat masyarakat memberikan
kesetiaannya. Kata kunci yaitu “komunitas” dan “gereja”. Yang sakral tersebut
memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh
anggota masyarakat. Sementara yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu
besar, hanya merefleksikan keseharian individu. Agama adalah cara masyarakat
mengekspresikan dirinya dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Dari perspektif
itu, Durkheim “menuhankan” masyarakat dan produk-produk utamanya, karena ia
sangat mengagungkan masyarakat.
Ini menunjukkan sikap konservatif Durkheim, bahwa: orang tidak akan
mencampakkan ‘tuhan’ atau sumber sosialnya yaitu masyarakat. Karena
mengidentikkan masyarakat dengan ‘tuhan’, Durkheim tidak menganjurkan
revolusi sosial dalam memperbaiki tatanan sosial. Ia adalah seorang pembaru
sosial yang berusaha menemukan cara memperbaiki fungsi masyarakat. Salah
satunya yaitu dengan jalan penguatan konsensus normatif dalam masyarakat. Hal
itu tercipta melalui ritus-ritus yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi
simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam konsensus bersama suatu
komunitas. Konsensus yang terjadi itu merupakan konsensus sakral.
Menjadi konsensus sakral, karena bagi Durkheim, konsensus masyarakat
merupakan hasil dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif sama sekali
30
membungkus keseluruhan kesadaran kita dan dalam segala hal, kesadaran kita
serupa dengan kesadaran kolektif. Durkheim pun menekankan tentang teori sakral,
yang mengatakan bahwa yang sakral itu adalah masyarakat. Menurut Durkheim
sumber agama adalah masyarakat, dan agama adalah ”sesuatu yang amat bersifat
moral” yang bersumber dari moralitas kolektif (moral community). Itu sebabnya ia
menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan lawan dari itu yang ia sebut
profan adalah individu.
1.2.4. Integrasi Sosial
Menurut Durkheim, integrasi sosial dalam suatu masyarakat terwujud
jika seluruh anggota masyarakat itu mampu membangun suatu collective
consciousness. Kondisi dimana masyarakat memiliki hakikat solidaritas sosial dan
kohesi sosial yang tinggi. Dalam masyarakat seperti ini, moralitas kolektif sangat
dijunjung tinggi, karena telah menjadi konsensus bersama.
Kesadaran kolektif akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk
menanamkan sikap moral yang merupakan dasar suatu keteraturan sosial yang
bersifat integratif. Dalam rangka mewujudkan hal itu, maka menurut Durkheim,
pendidikan harus dimajukan. Pendidikan didefenisikan sebagai proses di mana
individu mendapatkan alat-alat fisik, intelektual dan nilai-nilai moral yang
diperlukan untuk berperan dalam masyarakat.
Yang hendak ditekankan Durkheim tentang kesadaran kolektif yaitu:
Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika
dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua,
31
Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu
menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar
cerminan dari basis material. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud”
melalui kesadaran-kesadaran individual.
Durkheim juga menekankan peranan agama dan ide tentang yang suci
adalah produk kehidupan kolektif; kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat
ikatan-ikatan sosial di mana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain
hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan
yang sangat erat. Pada intinya menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan
agama memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis.
Misalnya dalam ritus agama, mempersatukan individu dalam kegiatan bersama
dengan satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan
komitmen moral yang merupakan dasar struktur sosial. Jadi ide tentang kesadaran
kolektif, yang sakral, solidaritas, ritus dan sebagainya yang bersifat nonmaterial
itu dimanifestasikan dalam perasaan bersama serta kegiatan bersama menjadi
bukti adanya integrasi sosial dalam masyarakat.
32
Download