BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa antara manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Dalam berbudaya itu manusia tidak sendiri tetapi bersama-sama dengan orang lain, tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. A. Kebudayaan Secara etimologis istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budddhayah merupakan bentuk jamak dari kata budhi (akal) artinya bahwa kebudayaan berarti hasil karya akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.1 Menurut E.B. Tylorkebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang berturun temurun 1 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya.(Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 10 11 dari generasi ke generasi tetap hidup meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena kematian dan kelahiran. 2 Sementara itu, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan adalah budi daya manusia dalam hidup bermasyarakat.3 Dalam Kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Tri Widiarto dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Antropologi Budaya”4 dalam hal ini memiliki setiap unsur memiliki hubungan satu dengan yang lain. Di situ dijelaskan tiga unsur : 1) Cipta, yakni kemampuan akal pikiran yang menimbulkan pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki kenginginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal, pikiran dan nalar (ratio) manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu yang baru, serta mampu menciptakan karya-karya besar; 2) Rasa, dengan panca inderanya menusia mengembangkan rasa keindahan atau seketika dan melahirkan karya-karya kesenian; 3) Karsa atau kehendak, dengan ini manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan kemuliaan hidup, mencari kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari perlindungan dari sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. 2 Di kutip oleh Soerjono Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar,. (Jakarta PT. Raja Gravindo persada, cet 23, 1996), 187-888. 3 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya. (Salatiga: Wisdya Sari Press, 2005), 12 4 Ibid., 12 12 B. Mayarakat Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang artinya sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas.5 Dengan mendasarkan pada pandangan Comte yang melihat masyarakat sebagai suatu keseluruan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung maka Durkheim memfokuskan pada solidaritas dan integrasi masyarakat sebagai permasalahan substansial karyanya. Tentunya hal ini sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh kondisi pada masa itu, saat terjadinya revolusi khususnya di Perancis yang menimbulkan perubahan tatanan sosial dan munculnya efek-efek negatif industrialisasi terhadap masyarakat. Pada masa itu pemikiran-pemikiran tentang hubungan antara individu dengan masyarakat masih menjadi bahan pemikiran. Namun Durkheim memiliki perspektif yang berbeda dengan pemikir-pemikir lain seperti Hobbes dan Spencer. Para pemikir sebelumnya melihat bahwa masyarakat dibentuk oleh individuindividu yang kemudian dengan berbagai alasan tertentu membentuk jalinan masyarakat. Durkheim memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan 5 Indah F, Pengertian Dan Defenisis Masyarakat Menurut Para Ahli. Cara pedia. carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488.html. Di akses tanggal 4 agustus 2014. 13 pandangan ini.Ia melihat bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Masyarakat juga memiliki sejumlah aturan yang membuat kita bergantung padanya. Hal-hal itu adalah fakta sosial yang ada dalam masyarakat seperti hukum-hukkum, norma-norma, nilai-nilai, dan sanksi-sanksi yang diterima apabila anggota masyarakat tidak menjalankan hukum-hukum atau norma-norma yang ada.6 Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan dengan apa yang dia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial adalah perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu tidak dapat terlepas dari individuindividu secara bersama-sama serta memaksakan individu berbuat sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Sesungguhnya individu-individu memiliki hasrat sendirisendiri namun lingkungan sosialnya mempengaruhi sehingga hasrat individu tidak muncul. Proses ini sepenuhnya terjadi melalui sosialisasi yang memungkinkan proses “pemaksaan” itu terjadi tanpa disadari. Jadi fakta sosial tidak menyatu dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak bisa lepas dari individuindividu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu adanya tindakan yang dilakukan disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan sosial itu sendiri. Sehingga Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi fakta individu, karena ia memiliki eksistensi yang independen ditengah-tengah masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan dari fakta-fakta individu akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas yang riil. Masyarakat merupakan realitas sui generis.Durkheim menyebut fakta sosial dengan sui 6 Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013), 42 14 generis, yang berarti “unik”, artinya bahwa masyarakat memiliki karakteristiknya sendiri yang tidak bisa dijumpai dalam realitas lain dalam alam semesta atau tidak dapat dijumpai dalam bentuk yang sama.7Dengan demikian fakta sosial akan berlaku umum bagi masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu. Lebih lanjut Durkheim menjelaskan tentang fakta sosial sebagai kesadaran kolektif dan gambaran kolektif. Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota kelompok. Sedangkan kesadaran kolektif merupakan semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif sebagai bentuk consensus normative yang mencakup kepercayaankepercayaan keagamaan.8 Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intregral dari fakta-fakta sosial itu. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri atau dapat juga disebut dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Masyarakat memiliki “kesadaran kolektif” yang 7 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 38 8 Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2 2012), 140 15 membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu. Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih besar daripada kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas kecendrungan egois kita, dan memenuhi kita dengan energi. Masyarakat, menurut Durkheim, melaksanakan kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasirepresentasi. Misalnya didalam Tuhan, Durkheim melihat “hanya masyarakat yang diubah rupanya dan diungkapkan secara simbolis”. Oleh karena itu masyarakat adalah sumber dari yang sakral. Menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan bersama orang banyak dalam masyarakat yang akan menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat umum. Durkheim memandang kesadaran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat terwujud melalui kesadaran-kesadaran individu. Sementara itu, adanya representatif kolektif dikarena, kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengan melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih spesifik dalam karya-karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol agama, mitos serta cerita-cerita populer. Semua itu adalah cara-cara masyarakat merefleksikan dirinya dan 16 mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan pengakuan kolektif. Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran-kesadran individu, karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material. C. Agama Menurut Emile Durkheim Kata “agama” merupakan kata atau istilah yang menjadi sangat penting di dalam kehidupan manusia. Agama diperlukan oleh manusia baik perorangan maupun kelompok dari generasi ke generasi.9 Seringkali pengertian agama itu dipahami secara abstrak dan tidak riil karena merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang misterius. Pengertian agama seperti ini merupakan pengertian umum, dimana agama sebagai sesuatu yang berhubungan dengan yang misterius dan tidak bisa dipahami manusia karena keterbatasan intelektual. Emile Durkheim dalam penelitian terhadap kehidupan kepercayaan masyarakat Aboriginyang ada di pedalaman Australia, melihat bahwa pemahaman ide-ide tentang agama sebagai suatu yang misteri tidak didapat dalam masyarakat primitif, karena bagi mereka ide-ide tersebut adalah sesuatu yang bersifat sederhana, tidak rumit dan bukanlah suatu yang irasional. Ide-ide yang dianggap misteri tersebut justru merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan memahami apa yang ada disekitar.10 Dengan demikian dapat disimpulkan secara 9 K. Sukardi, Agama-Agama Yang Berkembang Di Dunia Dan Pemeluknya. (Bandung: Angkasa Bandung, 1993), 17 10 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 251-255 17 keseluruhan bahwa masyarakat adalah sosok yang membentuk agama itu sendiri, dimana setiap individu yang memilki kebiasan yang sama akan disatukan melalui kepercayaan dan ritus. Masyarakat merupakan sesuatu yang mengikat setiap individu dalam aturan yang kemudian menjadikan masyarakat sebagai Tuhan yang juga harus disembah dan dihormati oleh setiap individu sebagaimana setiap individu menghormati prinsip-prinsip totem. Menurut Durkheim, ide yang muncul dalam benak manusia tentang hal yang misterius akan melahirkan konsep tentang yang supernatural. Namun pemahaman tentang ide yang supernatural tidak hanya didapat melalui fenomenafenomena alam yang terlihat tidak natural. Menurutnya, ide mengenai yang misteruis merupakan ide yang diciptakan atau diolah oleh manusia itu sendiri sebagaimana yang misterius mempengaruhi manusia. Sesuatu yang supernatural seringkali dipahami oleh masyarakat umum sebagai sesuatu yang agung atau sebagai Tuhan, tetapi Durkheim sendiri lebih suka menggunakan istilah “sesuatu yang spiritual” (spiritual being). Sesuatu yang spiritual itu mesti dipahami sebagai subjek yang berkesadaran yang memiliki kemampuan melebihi manusia. Sebab Durkheim sendiri mengatakan bahwa satu-satunya hal yang dapat menghubungkan kita dengan yang spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan manusia padanya. Sesuatu yang spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran dan kita dapat mempengaruhinya sebagaimana kita dapat mempengaruhi kesadaran secara umum dengan menggunkan sarana-sarana psikologi, dengan berusaha meyakinkan dan membangkitkan kata-kata (matra dan doa) atau dengan sesaji dan kurban-kurban. Dan karena objek agama mengatur hubungan-hubungan 18 kita dengan sesuatu yang khas ini, maka agama hanya bisa ada jika doa, kurban, ritus-ritus tolak bala dan sejenisnya.11 Lebih lanjut, Durkheim melihat bahwa agama juga tidak bisa dipisahkan dari ide tentang komunitas agama karena komunitas agama membentuk satu komunitas moral yang memiliki keyakinan yang sama dan yang terdiri dari para pengikut, baik orang awam, pemimpin agama atau pemuka agama.12 Lebih jelasnya Durkheim mendefenisikan agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral yakni hal-hal yang terpisah dan dilarang yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut komunitas agama. Untuk menunjukan bahwa ide agama tidak dapat dipisahkan dari ide gereja, mau tidak mau agama harus dikonsepsikan sebagai hal yang benar-benar kolektif.13 Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaanperwujudan lainnya.Ia menyatakan bahwa Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. 11 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 56-57 12 DhavamonyMariasusai. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: Kanisius), 79 13 Emil durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.) (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 80 19 Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan lambang kolektif atau collective representation daripada masyarakat dalam bentuknya yang ideal. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus atau upacara-upacara.Keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan.14 Pandangan inipula yang nampak dalam pemikiran Durkheim bahwa agama berasal dari masyarakat itu sendiri.Masyarakatlah yang secara kolektif mengkonstruksikan hal-hal yang mereka anggap suci (sakral) dan yang mereka anggap duniawiah. Anggapannya tersebut didukung dari hasil penelitian yang ia lakukan terhadap masyarakat Aborijin di pedalaman Australia. Masyarakat tersebut secara kolektif menganggap bahwa sebuah benda yang dinamakan “Totem” itu sebagai benda yang suci dan diangap sebagai Tuhan sehingga mereka tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku karena mereka merasa diawasi oleh Totem tersebut. Totem yang mereka anggap suci tersebut tidak lain adalah sebuah simbol belaka yaitu simbol dari Tuhan yang mereka konstruksikan sendiri. Durkheim mengatakan ada dua hal paling pokok dalam agama, yaitu apa yang disebut sebagai kepercayaan dan apa yang disebut sebagai ritus atau upacara-upacara, dan kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan agama merupakan kepercayaan kepada hal-hal yang dianggap sakral, sehingga 14 Hotman M. Siahaan. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi.(Jakarta: Penerbit Erlangga. 1986), 156 20 orang bertingkah laku tertentu terhadap hal-hal yang dilakukan dalam hubungannya dengan hal-hal tersebut. Agama dianggap sebagai sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif diantara masyarakat yang diwujudkan melalui upacara-upacara atau ritus-ritusnya. Upacara-upacara keagamann tersebut dianggap dapat memperkuat kesadaran kolektif diantara para pemeluknya dan setelah selesai melakukan upacara keagamann tersebut, kesadaran kolektif itu dibawa dalam kehidupannya seharihari dan lama kelamaan akan luntur dan akan diperkuat lagi dengan mengikuti upacara keagamaan lagi. Dalam defenisi Durkeim tentang agama jelas menunjukan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral.Dan disebutkan komunitas agama karena agama merupakan suatu komunitas yang melibatkan kepentingankepentingan besar dan kesejahteraan seluruh kelompok umat.Defenisi ini juga mengingatkan bahwa yang profan itu tidak selalu jahat atau buruk, melainkan menunjukan ruang lingkup yang lebih kecil dan pribadi. Bertolak dari pemikiran Durkheim mengenai agama, maka dapat dilihat bahwa agama memiliki hubungan dengan komunitasnya. Agama tidak lain daripada kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individu-individu. Kekuatan ini sungguh masyarakat.Meskipun ada demikian dan agama kekuatan-kekuatan bukan hanya itu merupakan adalah sistem kepercayaan atau konsep-konsep, melainkan juga sistem tindakan karena agama melibatkan ritus-ritus. Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakatnya nampak di dalam ritual. 21 D. Ritual Emile Durkehim dalam bukunya yang berjudul The Elemetary Forms The Religius Life menjelaskan bahwa ritual merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.15 Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam kehidupan seharihari dapat saja mempengaruhi perkembangan keyakinan dan ajaran, karena apa yang telah dilakukan berulang-ulang dan terus menerus dan itu akan menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai sesuatu yang memang sebaliknya demikian. Dalam kehidupan keagamaan terdapat simbol-simbol sakral.Simbol sakral tersebut membawa manusia pada pelaksanaan ritus, karena di dalam ritus itulah tingkah laku manusia dijadikan sakral. Melalui ritus-ritus tertentu yang didalamnya terdapat suasana hati dan motivasi yang apabila dipertemukan akan membentuk kesadaran spiritual dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritualdilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral terhadap kehidupan kelompok. Durkheim menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri setiap manusia 15 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 72 22 sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacara-uparaca religius yang dianggap sakral. Perlu dikemukakan bahwa, sistem ritual keagamaan biasanya relatif tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya bisa berubah. Kalau diamati dalam pelaksanaanya, ternyata biasanya melibatkan banyak warga masyarakat yang menganut agama yang sama, sehingga mereka bersama-sama mempunyai fungsi sosial yang sama pula yaitu untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk agama itu dituntut untuk menjalankan kewajiban mereka melakukan upacara agamanya dengan sungguh-sungguh, namun demikian ada saja anggota yang melakukan tuntutan itu dengan tidak serius. Ritual memang tidak dapat dilepas pisahkan dari agama.Agama merupakan lambang representasi kolektif dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan perintah atau tuntunanbagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya. 23 Dari sini, terjawab sudah arti penting ritual-ritual keagamaan dari agamaagama yang pada saat ini masih ada. Mereka dapat memberikan arti penting suatu masyarakat dalam diri kita sekaligus memberikan kepada kita perasaan yang transenden, yang tidak terjamah, yang tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat individual. Ini juga menjelaskan mengapa pemuka-pemuka agama dan kalangan-kalangan beragama yang taat sangatlah dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena mereka sudah mengorbankan diri mereka untuk kepentingan masyarakat. Ia menjadi contoh bagi masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan karena Yang sakral berada di kepentingan masyarakat. Pandangan mengenai ritus juga dikemukakan oleh Mircea Eliade.Eliade mendefenisikan ritus sebagai sarana bagi manusia religius untuk bisa beralih dari waktu profan ke waktu kudus (sakral) yang transenden terhadap kondisi manusia, dimana manusia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi manusiawinya dengan keluar dari waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu awal mula yang kudus yang menjadi pusat dunia.16Pada dasarnya dalam makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototype yang suci, model-model teladan, arketipe primordial; sebagaimana dikatakan ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis.17Pendefenisian yang senada juga dikemukakan oleh J. Goody dalam fenomenologi Agama mendefenisikan ritual sebagai suatu kategori adat perilaku yang dibakukan, dimana hubungan antara 16 Hary Susanto, Mitos : Menurut Pemikiran Mircea Eliade. (Jogjakarta: Kanisius, 1987), 56 17 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 183 24 sarana-sarana dengan tujuan yang bersifat “intrinsik”, dengan kata lainsifatnya entah rasional atau nonrasional.18 Dalam pendefenisian yang berbeda, Susana Langer dalam Dhavamony mengemukakan bahwa ritual merupakan ungkapan dari yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbolsimbol yang diobjekan. Simbol-simbol tersebut mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti modelnya masing-masing.19Melalui pengobjekan terhadap simbol-simbol tersebut terdapat kepentingan untuk melanjutkan eksistensi individu dan kolektifitas dalam keagamaan. Berbicara mengenai eksistensi ritus dalam realitas keagamaan suatu masyarakat, Geertz mengemukakan bahwa dalam ritus, tingkahlaku yang dikeramatkan, kepercayaan bahwa konsep-konsep religius dibenarkan dan kepercayaan bahwa tujuan-tujuan religius terbukti agak berhasil. Di dalam semacam bentuk seremonial tertentulah-sekalipun bentuk itu hampir tidak lebih daripada resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau dekorasi sebuah makam, suasana-suasana sebuah hati atau motivasi-motivasi yang timbul oleh simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata 18 Ibid ., 175 19 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 174 25 eksistensi yang di rumuskan simbol-simbol itu bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu sama lain.20 Bertolak dari pemikiran tokoh-tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa; 1), ritus merupakan sarana bagi manusia untuk berkomunikasi dengan hakekat yang tertinggi dalam penggunaan simbol-simbol. 2), ritus mengikat klanklan menjadi satu. 3), ritus dalam pelaksanaannya secara kolektif memperbaharui rasa solidaritas pada mereka. Tetapi ketika anggota-anggota klan terpisah, rasa solidaritas mulai menurun dan sewaktu-waktu harus dirangsang lagi dengan berkumpul dan mengulangi upacara dimana kelompok tersebut saling memperkuat. Selain itu, ritual dapat dibedakan menjadi empat macam; Pertama, tindakan magi. tindakan magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini. ketiga, ritual konstituti yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Keempat, ritual faktatif yang meningkatkan kekuatan atau pemurnian dan perlindungan, juga meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.21 Sejalan dengan itu Van Gennep melihat bahwa ritual ini juga di perlukan untuk menetapkan 20 Clifford Geertz, The Interpretation Of Cultures (Terj.). (Jogjakarta: Kanisius, 1992), 32-33 21 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995) 175 26 keseimbangan baru di dalamhubungan-hubungan yang berubah atau dengan istilahnya yaitu memperoleh penyatuan kembali. 22 Ritual juga memiliki suatu lingkaran dan kalender tersendiri. 23 Lingkaran ritual (ritual circle) mengandung didalamnya tindakan manusia, kemudian bagaimana tindakana itu mengarah dan menunjuk kepada makhluk-makhluk ilahi yang disembah atau yang menjadi alasan dan dasar dari suatu perbuatan ritual. Lingkaran itu adalah lingkaran kosmis yang secara langsung membawa manusia (pelaku ritual) masuk dalam suatu pola hubungan kosmis dengan dunia transenden dimana makhluk ilahi itu berada.24Tindakan ritus selalu melibatkan partisipasi manusia baik sebagai individu maupun komunitas. Adapun tujuan dari ritual-ritual (upacara-upacara) itu, adalah : tujuan penerimaan, perlindungan, pemurnian, pemulihan, kesuburan (produktifitas), penjaminan, melestarikan kehendak leluhur (penghormatan), mengontrol pelikau komunitas menurut situasi kehidupan sosial, yang semuanya diarahkan kepada transformasi keadaan dalam manusia atau alam. Kadang-kadang tujuannya untuk menjamin perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang diinginkan oleh pelaku upacara. Kadangkala juga targetnya adalah suatu aspek hakikat bukan manusia; kadang manusiawi, individu; atau juga suatu kelompok. Perubahan yang dimaksud kadang merupakan suatu perubahan kecil, suatu 22 Ibid ., 176 23 Lorrieane V. Aragon, Fields Of The Lord: Animism, Christian Ministiries, And State Develompment In Indonesia. (Honolulu: Hawai University Press, 2002), 202-207 24 Bnd. Dhavamony.,175 27 koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status qou, melestarikan gerakan sistema dalam ikatan-ikatana; kadang menyangkut suatu sistem yang rasikal, tercapainya level keseimbangan baru, atau bahkan kualitas baru dalam organisasi.25 Secara global ritus dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu : ritual (upacara-upacara) yang bersifat musiman dan bukan musiman. Ritual-ritual musiman terjadi pada acara-acara yang sudah ditentukan, dan kesempatan untuk melaksanakannya selalu merupakan peristiwa dalam siklus lingkaran alam-siang dan malam gerhana, letak planet-planet dan bintang-bintang. Sedangkan ritualritual bukan musiman, dilaksanakan pada saat-saat kritis, mengikuti kalender lingkaran hidup. Sebagaimana dipaparkan Tiev, bahwa ritual-ritual musiaman hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur kebutuhankebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sementara ritual-ritual (upacaraupacara) bukan musiman mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal.26 Pemahaman mengenai ritus sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa ritus sangat penting untuk mempertahankan solidaritas dan hubungan masyarakat. Dengan demikian menurut Durkheim, melalui ritus-ritus atau upacara-upacara tersebut masyarakat memperkuat dan memperbaharui sentimen-sentimen keagamaan mereka serta perasaan ketergantungan mereka pada kekuatan moral dan spiritual yang bersifat eksternal yang sebetulnya tidak 25 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995) 180 26 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 178-179 28 lain dari masyarakt itu sendiri.27 Ritus-ritus atau upacara-upacara seperti itu akan menciptakan suasana kegembiraan serta berusaha meyakinkan setiap anggota masyarakat akan pentingnya kelompok dan masyarakat lewat nasihat-nasihat keagamaan. Namun, sering kali ritus juga dilakukan untuk memperoleh sesuatu atau menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. E. Yang sakral dan Yang Profan Menurut Emile Durkheim dasar dari kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak agama tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan. Dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural (pembedaan atas apa yang natural dan supernatural), melainkan konsep yang sakral. Pada masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu yang sakral dan yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi profan ia tidak tersentuh dan terjamah dan dihormati. Sementara, yang profan adalahkehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja.28 Dalam penjelasan Durkheim mengenai agama, ia menjelaskan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. 27 Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013), 45 28 Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2 2012), 144-145 29 Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan kedalam komunitas masyarakat.yang sakral memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian yang sakral menurut Durkheim berada dalam masyarakat. Sementara yang profan tidak memiliki pengaruh yang kuat, dan hanya merefleksikan kehidupan setiap hari yang dilakukan oleh individu-individu. Untuk menjelaskan yang sakral, Durkheim menganalisis agama totemisme yang dianut oleh suku Aborijin bangsa penduduk asli Australia. Dalam totemisme, kelompok manusia itu mengasosiasikan dirinya dengan salah satu binatang atau tumbuhan sebagai totem. Mereka menganggap semua simbol totem itu sakral, sehingga tidak boleh disentuh atau dimakan. Dari pandangan seperti itulah muncul pandangan mengenai yang sakral dan profan.29 Berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral dan profan, maka ide tentang pembagian dunia menjadi dua ranah tersebut pada akhirnya akan melahirkan antagonitas. Manusia menciptakan dua hal ini dengancara menciptakan larangan-larangan agar keduanya tidak saling bersentuhan. Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci, maka keadaaan tertentu yang tidak suci dianggap dapat mencemarkan yang suci tersebut. Oleh karena itu untuk 29 Daniel Pals ., 157-158 30 menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran suatu yang profan terhadap yang sakral, maka manusia memagari keduanya dengan larangan atau tabu-tabu.30 Untuk menjauhi sentuhan antara keduanya, maka hal-hal yang sakral di isolasikan oleh larangan-larangan, sedangkan hal-hal yang profan adalah tempat larangan itu diterapkan. Untuk mengatur hubungan dengan hal-hal yang sakral, maka manusia menggunakan ritus sebagai sebuah aturan atau tindakan. Hal-hal yang sakral akan menjadi pusat organisasi yang dikelilingi oleh kepercayaan, larangan-larangan, dan tata cara ritus-ritus yang dilakukan oleh masyarakat.31 Bagi Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat, sementara yang profan ada dalam konteks individu. Ia mengemukan konsepiniatas dasar penelitiannya mengenai masyarakat dengan agama totemisme; agama yang dianggap sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pada agama totemisme, simbol-simbol hewan dan tumbuhan dipuja sebagai sesuatu yang dihormati. Simbol hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan tertentu merupakan lambang dari klan-klan tertentu pada suku-suku. Hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan itu suci dan tidak boleh dibunuh, tidak boleh dilukai atau bahkan didekati kecuali dalam perayaan-perayaan tertentu. Kesucian totem adalah mutlak dalam masyarakat itu. Kesuciannya dapat dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual keagamaan. Pada ritual-ritual dan perayaan-perayaan itu, totem-totem menyusup dan mengatur kesadaran diri 30 Elizabeth K Nottingham, Religion And Society (Terj.). (Jakarta: Rajawali, cet-1, 1985), 12 31 Emil Durkheim ., 71 31 manusia. Saat pemujaan berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-lagu, manteramantera dan perasaan tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka detik itu juga individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan masa yang sakral. Sebuah perasaan melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak bisa diungkapkan, tetapi nyata dan bersifat transendental.32 Menurut Durkheim pemujaan sebagai bagian dari fenomena religius dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pemujaan negatif dan pemujaan positif. Pemujaan negatif sangat erat hubungannya dengan larangan-larangan atau tabu, karena ia yang akan menentukan jenis-jenis larangan religius tersebut. Larangan religius termuat dalam ide tentang hal yang sakral dan dia muncul dari respek yang di tuntut oleh objek-objek yang sakral.33Ia selanjutnya memperlihatkan bahwa kepercayaan terhadap roh-roh dan dewa-dewi berasal dari kepercayaan akan roh nenek moyang yang sebetulnya merupakan jiwa-jiwa dari nenek moyang. Karena itu, jiwa-jiwa dari nenek moyang tersebut sebetulnya merupakan prinsip-prinsip sosial yang diekspresikan pada individu-individu tertentu.Sementara itu, laranganlarangan atau tabu berasal dari rasa hormat terhadap objek-objek yang sakral. Sehingga tujuan dari larangan-larangan atau tabu tersebut adalah untuk mempertahankan rasa hormat tersebut.34Dengan demikian dari hal-hal tersebut muncul larangan-larangan dan penyangkalan diri yang di dalamnya juga 32 Ibid ., 154-166 33 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 434-436 34 Raho Bernard SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013), 46 32 mengandung pengertian bahwa keteraturan sosial menjadi mungkin apabila individu-individu dalam tingkatan tertentu menyangkal dirinya dan meninggalkan kepentingan-kepentingan dirinya. Fungsi dari larangan religius dalam pemahaman Durkheim adalah untuk memisahkan antara yang sakral dan profan.Larangan-larangan tersebut mengusahakan agar keduanya tidak melakukan kontak. Kontak yang dimaksud di sini, misalnya dengan tatapan atau memandang terhadap yang sakral dan suara atau bahasa-bahasa yang digunakan ketika melakukan upacara tidak boleh sampai ke telinga orang-orang yang profan, perlengkapan-perlengkapan untuk ritus juga menjadi suatu yang sacral dan terpisah dari profan. Lebih jauh lagi, tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari dilarang dilakukan selama kehidupan religius berjalan.35Jadi pemujaan negatif dalam hal ini merupkan sesuatu yang terbatas pada sistem larangan dan bersifat menghalangi aktivitas profan. Pemujaan negatif merupakan sarana yang diciptakan oleh masyarakat untuk menandakan dan memisahkan sesuatu yang sakral dan profan, sehingga setiap individu dengan sendirinya mampu membedakan kedua dunia tersebut.Dengan adanya pemisahan antara yang sakral dan profan maka setiap individu dapat menjalankan kehidupan religius mereka.Pemujaan negatif juga merupakan langkah untuk tiba pada pemujaan positif seperti yang diistilahkan 35 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 437-444 33 oleh Durkheim.36 Dengan demikian maka setiap individu yang terikat dalam satu keyakinan akan memahami sesuatu sebagai yang sakral ketika ada suatu larangan yang mendorong setiap individu untuk patuh dan tunduk terhadapnya. Implikasi dari keyakinan terhadap totem itu selanjutnya mampu menjelaskan bagaimana masyarakat membangun sistem-sistem kepercayaan tertentu melalui metode asosiasi hubungan-hubungan antar konsep yang berpusat pada Yang sakral. Termasuk didalamnya adalah sistem kepercayaan terhadap roh atau jiwa (yang menjadi dasar dari banyak agama). Roh yang ada dalam diri seseorang merupakan representasi ketergantungan mereka terhadap masyarakat. Roh bertugas untuk memberitahukan kepada individu untuk mematuhi kewajibankewajiban moral terhadap masyarakat. Roh yang menjadi representasi masyarakat dalam diri individu merupakan yang sakral sementara badan yang bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah yang profan. Selanjutnya hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh yang bersifat abadi. Dari sinilah penyembahan terhadap Dewa-Dewi dan Tuhan berasal. Rohroh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh masyarakat sebagai representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang disebut Dewa dan Tuhan.37 Kepercayaan terhadap totem-totem yang pada akhirnya menjadi Dewa dan Tuhan itu bukanlah hal yang paling penting dalam agama menurut Durkheim. 36 Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisi Sosiologi- Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo’ Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), 32 37 Daniel Pals ., 153-156 34 Yang paling penting, adalah perasaan sakral yang dihasilkan dari ritual-ritual keagamaan. Pemujaan-pemujaan yang ada dalam ritual-ritual atau perayaanperayaan dalam setiap agama bertujuan bukan untuk totem atau Dewa, melainkan untuk menjaga individu-individu agar tidak melupakan arti penting klan dan memberikan perasan bahwa yang sakral adalah sesuatu yang berbeda dan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan. 38Dengan demikianmenurut Durkeim,yang sakral beradadalam masyarakat artinya bahwa ikatan paling mendasar yang mempersatukan masyarakat itulah yang disebut sakral. Menurut Mircea Eliade yang sakral adalah sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan. Sementara,yang profan adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Yang sakral bersifat abadi, mengandung substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral mengandung kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh, nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara yang profan bersifat mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan.39 Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Manifestasi dari yang 38 Ibid ., 156-164 39 Ibid ., 233-234 35 sakral ini disebut Eliade sebagai “Hierofani”.40 Eliade memperkenalkan konsep hierofani sebagai sebuah konsep di mana yang sakral memanifestasikan dirinya pada diri manusia, pengalaman dari orde realitas lain yang merasuki pengalaman manusia. Ia juga memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang mengambarkan bagaimana satu-satunya ruang yang “nyata” adalah ruang sakral, yang dikelilingi oleh satu medan tanpa bentuk. Ruang sakral menjadi arah bagi ruang yang lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia tengah, antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang diperbaharui lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan menyucikan satu tempat dalam dunia profan, kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin diakses. Ini menjadi pusat dari dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam ruang sakral ini, dan menjadi satu-satunya cara partisipasi dalam kosmos yang sakral ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dunia profan. Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika “waktu profan” adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya nampak lebih “nyata” daripada keadaannya sekarang. Lagi-lagi ritual memainkan peran penting. Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Dalam buku The sacred and the profane, Eliade mengatakan dengan hadirnya yang sakral, maka setiap benda yang dipakai dapat menjadi sesuatu yang 40 Hierofani berasal dari bahasa yunani, yaitu hieros dan phainein yang berarti “penampakan yang sakral” 36 lain, walaupun benda-benda tersebut tetap nampak seperti benda-benda biasa dan berada di alamnya. Sementara dalam pandangan profan, sebuah batu yang dianggap sakral kelihatannya tidak lebih dari batu biasa, tidak istimewah. Tetapi bagi mereka yang melihat kehadiran yang sakral didalamnya, maka dengan seketika batu akan berubah menjadi suatu kenyataan yang supernatural.41 Demikian juga halnya dengan tindakan religius, dimana setiap tindakan religius bisa hanya oleh karena fakta sederhana maka tindakan itu bersifat religius.Dengan diberi status makna simbolis maka tindakan itu menunjuk kepada makhluk atau nilai-nilai yang supernatural.Yang sakral bisa disamakan dengan kekuatan atau suatu realitas.42 Tetapi bisa terjadi pada waktu yang tertentu sesuatu yang mejadi sarana sakral itu pada waktu yang lain tidak lagi menjadi symbolsimbol sakral dan tempatnya diganti dengan objek yang lain, sekalipun yang sakral sendiri tetap dan tidak pernah berubah. Karena yang sakral itu ialah yang ilahi, abadi dan tidak pernah mati. Yang sakral merupakan suatu realitas yang bukan dari dunia, sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang profan.43 Bagi Eliade, otoritas yang sakral mengatur semua kehidupan. Misalnya dalam pembangunan perkampungan baru.Masyarakat arkhais tidak dengan 41 Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisis Sosiologi- Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo’ Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), 31-32 42 Mircea Eliade, The Sacred And The Profane: The Nature Of Religion. (London: A Harvest/HBJ Book, 1959), 12 43 Ibid ., 14-18 37 sembarangan memilih tempat.Satu perkampungan haruslah didirikan pada tempat yang memiliki “Hierofani”.Sehingga rencana tersebut dapat diwujudkan apabila di tempat yang dipilih tersebut pernah “dikunjungi” oleh yang sakral, baik itu dalam bentuk dewa atau arwah nenek moyang.Dengan demikian suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa “Hierofani”. Lebih lanjut Eliade mengatakan bahwa di dalam masyarakat arkhais, realitas yang paling utama adalah yang sakral. Dalam melakukan hal-hal yang sifatnya mendasar, seperti menetukan waktu dan tempat menetap, mereka akan selalu menyerahkan pilihannya kepada yang sakral.44 Keinginan manusia untuk selalu dekat dengan yang sakral itulah menyebabkan Eliade, menyebutkan manusia seperti itu sebagai manusia religius. Eliade juga mengatakan bahwa manusia nonreligius sebetulnya juga berasal dari manusia religius. Ia merupakan karya manusia religius dan dibentuk mulai dari sejak para leluhur yang merupakan hasil proses desakralisasi. Manusia profan merupakan hasil dari desakralisai eksistensi manusia.45 Dari sini terlihat sebenarnya perbedaan konsep yang sakral antara Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim selalu mengunakan pendekatan sosial kemasyarakatan yang non-supernatural dalam menentukan apa yang sakral itu, Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya, kekuatan supernatural adalah inti dari yang sakral itu. Pemikiran Eliade ini bukanlah bersumber sepenuhnya dari pemikiran Durkheim meski menggunakan istilah-istilah yang sama, melainkan 44 Daniel Pals ., 236 45 Seno P Harbangan ., 44 38 bersumber dari seorang teolog yang pernah menjadi pembimbingnya, yaitu Rudolf Otto yang mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal yang misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau mysterium tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan dengan yang sakral.46Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi. Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dasyat, terpikat oleh suatu yang sama sekali lain, sesuatu yang misterius, menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa.Dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan ini, terletak emosional dari semua manusia yang kita sebut agama.Perhatian agama adalah terhadap yang supernatural, yang jelas dan sederhana yang berpusat pada yang sakral. Dengan demikian agama menurut Eliade (lebih dekat dengan Tylor dan Frazer) pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supernatural.47 Kesakralan adalah keseluruhan realitas yang dahsyat dan abadi, sehingga manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Eliade mengatakan bahwa dalam perjumpaan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir- 46 Daniel Pals ., 235 47 Ibid ., 235-238 39 duniawi.48Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai yang sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal. Dengan kepercayaan terhadap kekuatan yang agung dan nir-duniawi yang nyata itu,adalah mudah menjelaskan bagaimana kepercayaan yang begitu kuatnya pada akhirnya membentuk sistemsistem tertentu. Yang sakral mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia. Sehingga bagi Eliade yang sakral itu adalah sesuatu yang memiliki kekuatan supernatural, yang tertinggi, ada pada diri sendiri dan bukan produk masyarakat. Pandangan di atas tentu tidak terlepas dari pandangan terhadap leluhur. Fenomena kepercayaan terhadap roh leluhur merupakan gelaja umum yang ditemukan pada kalangan masyarakat primitif dan juga ada pada berbagai kelas masyarakat dan tingkat pendidikan. Peran leluhur sanngat penting dalm mempengaruhi mereka yang masih hidup, misalnya supaya leluhur itu tidak marah dan mendatangkan malapetaka maka setiap ketentuan harus di ikuti. Kepercayaan terhadap leluhur biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan sesuatu bentuk komunikasi yang baik. Oleh karena itu pemahaman masyarakat yang mengakui bahwa kedudukan leluhur dalam upacara adat merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting dalam menangkal kejahatan dan menjamin kesejahteraan.Dengan demikian masyarakat mengalami secara langsung impresi-impresi keagamaan yang menghubungkan mereka dengan leluhur. Dalam pengalaman itu, leluhur diyakini memiliki kuasa tertentu dan 48 Ibid ., 235 40 fungsi menjaga dan memelihara komunitas masyarakat itu dan bahkan mereka merasakan bahwa leluhur itu begitu dekat. Berkaitan dengan penyembahan terhadap para lelulur, Dhavamony49 melihat ada dua bentuk kepercayaan dan praktek yang berkenan dengan para leluhur yakni berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas dan orang-orang yang sudah meninggal dianggap sebagai makhluk-makhluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Sementara itu Paul Radin menggunakan istilah antropologis untuk menjelaskan pemujaan terhadap para leluhur adalah penyamaan leluhur, baik secara langsung ataupun tidak langsung, atau dari orang-orang yang menggantikan kedudukan leluhur dengan roh dan dewa, serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan sikap religius yang biasanya diasosiasikan dengan pemujaan roh dan dewa.50 Sedangkan menurut Richard, leluhur lebih superior dari manusia yang hidup, akan tetapi kedudukan mereka tidak sederajat dengan Allah, peran mereka adalah sebagai perantara yakni menolong Allah menyampaikan kehendak manusia sekaligus menolong manusia menyampaikan masalah-masalah kepada Allah.51 Sementara itu Durkheim dalam teorinya tentang pemujaan dengan mendasarkan pada kehidupan atau dunia yang sakral karena pemujaan itu sendiri tidak akan lepas dari segala sesuatu yang dianggap sakral. 49 Davamnony ., 79 50 Paul radin dalam MariasuasiDhavamony. Fenomenologi Agama. (Jogjakarta: kanisius, 1995), 79 51 Suh Sung Min, Injil Dan Penyembahan Nenek Moyang. (Jogyakarta:Media Pressindo 2001), 24 41 Hal ini juga terlihat dalam konteks kehidupan masyarakat Mepa yang mengandaikan bahwa walaupun leluhur itu sudah meninggal namun, jiwanya masih tetap hidup. Oleh karena itu maka leluhur patut diberi penghormatan. Leluhur diyakni oleh masyarakat adat desa Mepa sebagai sosok yang dapat menjaga dan melindungi mereka ketika mereka melakukan upacara-upacar adat. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa pola karakteristik masyarakat adat merupakan cerminan menarik untuk dipelajari. Durkheim dan Eliade dalam penelitiannya memberikan gambaran hampir sama dengan masyarakat adat desa Mepa. 42