PERAN FILANTROPI ISLAM DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA Rahmat Dahlan Program Studi Perbankan Syari’ah FAI Uhamka Hp. 081513360139 Abstract: Islamic economic is based on the concept of well-being (falah) and the good life (hayat tayyibah) that provides essential value to the brotherhood and socio-economic justice and achieving prosperity. To achieve prosperity demand that any attempt to empower all the potential that exists, it is closely related to economic empowerment and social justice. System of zakat and waqf as a religious order would be in line with the economic system of Pancasila since both systems rely on the awareness of the need. Thus stood and development institutions in the country zakat and waqf Pancasila is not going to diminish the importance and the role of the economic system of Pancasila, in fact, will add yet another aspect in order to achieve the ideals of a just and prosperous society. Keywords: Islamic philanthropy, poverty, Indonesia Abstrak: Ekonomi Islam didasarkan pada konsep kesejahteraan (falah) dan kehidupan yang baik (hayat thayyibah) yang memberikan nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi dan tercapainya kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut dituntut adanya usaha dengan memberdayakan segala potensi yang ada, hal ini erat kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan keadilan sosial. Sistem zakat dan wakaf sebagai perintah agama akan sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila mengingat kedua sistem tersebut bersandar kepada kesadaran akan kebutuhan. Dengan demikian berdiri dan berkembangnya lembaga zakat dan wakaf di negara Pancasila tidaklah akan mengurangi arti serta peranan sistem ekonomi Pancasila, malahan akan menambah satu segi lagi dalam upaya mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Kata kunci: filantropi Islam, kemiskinan, Indonesia Pendahuluan Perekonomian Indonesia dapat dilihat melalui pendekatan makro ekonomi. Di mana terdapat beberapa indikator perkonomian Indonesia. Salah satunya adalah tingkat kemisinan. Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, 1 kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Indikator kemiskinan menurut Bappenas adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi Ekonomi Islam mengajarkan bahwa sumber daya alam adalah sangat tidak terbatas, karena bumi dan isinya diciptakan Tuhan untuk makhluk-Nya, dan manusia sebagai salah satu makhluk-Nya di beri kebebasan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam ekonomi Islam yang terbatas adalah waktu, oleh sebab itu untuk dapat memanfaatkan potensi alam dengan segala sisinya semaksimal mungkin,1 dalam wakatu yang terbatas tersebut, maka tidak ada pilihan lain kecuali bekerja keras. Ekonomi Islam didasarkan pada konsep mengenai kesejahteraan (falah) dan kehidupan yang baik (hayat thayyibah) yang memberikan nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi dan tercapainya kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut dituntut adanya usaha dengan memberdayakan segala potensi yang ada, hal ini erat kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan keadilan sosial.2 1 Sebagaimana yang tersurat dalam firman Allah Surat al-Baqarah ayat 29 :”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit lalu dijadikanNya tujuh langit, dan Dia adalah Maha Mengetahui segala sesuatu”. 2 Menurut Gunawan Sumodiningrat, Ekonomi Masyarakat adalah segala kegiatan ekonomi dan upaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (basic need) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. (Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama). Dalam konteks pembangunan nasional istilah yang dipakai adalah ekonomi rakyat, penulis menyamakan kedua istilah tersebut. 2 Filantropi adalah segala bentuk kegiatan non pemerintah yang bersifat sukarela dan dilakukan untuk kepentingan perorangan atau umum. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia, kemanusiaan). Istilah filantropi digunakan karena bisa mencakup segala bentuk kedermawanan sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, sumbangan, bantuan, karitas, gotong-royong dan lain-lain.3 Robert Payton mendefinisikan filantropi sebagai “perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum”. Dengan mencakup berbagai pemberian sukarela, penagai budaya, dan pengabdian dan organisasi social, definisi ini membantu kita dalam menganalisis peran yang dimainkan filantropi di berbagai budaya, dan dalam upaya masyarakat untuk mewujudkan pemahaman mereka mengenai kebaikan dalam bentuk perbuatan dan sumbangan.4 Karitas, kedermawanan dan filantropi merupakan sarana untuk mendapatkan nama baik yang diwariskan kepada anak-cucu. Dalam Islam, motif keagamaan dan ukhrawi filantropi diungkapkan sebagai keinginan untuk mendekatkan diri kepada Alah, dan motivasi ini dimasukkan dalam bentuk kedekatan (qurbah) kepada Allah ke dalam rumusan hukum bagi konstitusi wakaf. Rumusan itu meninggalkan tanda yang jelas bagi Islam sebagai agama penyelamatan dunia melalui semua kegiatan derma dan filantropi. Pendekatan komparatif harus pula memperhatikan tujuan filantropi. Ini berarti membahas isu tentang badan sukarela di dalam kerangka konstitusi masyarakat tersebut. Meski filantropi berawal dari perbuatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok secara pribadi namun tujuan kemasyarakatnnya tak pelak lagi memasukkan salah satu kewenangan publik ke dalamnya. Artikulasi badan swasta, tujuan kemasyarakatan dan kebijaksanaan public dapat dipahmi hanya dengan membandingkan berbagai konstitusi sosiologis. Pembahasan A. Wakaf Uang Dalam Sosial-Ekonomi 3 Warren F. Ichman, Stanley N. Katz and Edward L.Queen, Philanthropy in The World’s Tradition, Penerjemah: Tim Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Indiana University Press, 1998), hal. vii-viii 4 Robert L. Payton, Philanthropy :Voluntary Action for The Public Good (New York : American Council on Education, 1988), hal. 9 3 Para ahli ekonomi berpendapat bahwa scarcity (kelangkaan atau kekurangan) dan ketidakseimbangan sebagai penyebab terjadinya kegiatan ekonomi. Kelangkaan dan kekurangan terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi yang tersedia di masyarakat5. Menurut Choudhury, konsep ekonomi Islam yang memiliki potensi-potensi sangat baik6, konsep ekonomi dalam ajaran Islam ini mengajarkan prinsip tauhid dan persaudaraan, dan prinsip pemerataan distribusi7. Ekonomi Islam dalam arti sistem ekonomi menurut Dawam raharjo, merupakan sebuah pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara dengan suatu cara dan metode tertentu (sistem ekonomi bersifat normatif). Sedangkan ekonomi Islam dalam arti perekonomian negara-negara Islam pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengembangkan teori-teori ekonomi Islam dan disertai dengan memberikan bantuan kepada masyarakat muslim dalam bentuk pembiayaan dan sumbangan8. Umat Islam Indonesia telah mendorong pemerintah membentuk peraturan wakaf produktif, dengan demikian perlu diidentifikasikan kebutuhan apa yang diharapkan oleh masyarakat yang berkaitan dengan pendayagunaan benda-benda wakaf dan faktor apa saja yang diperlukan agar benda wakaf mempunyai fungsi terutama fungsi sosial. Wacana perberdayaan ekonomi umat melalui sertifikasi wakaf dengan uang tunai lazim dikenal Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan konseptual, sistematika, dan metodologinya.9 Berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam mengkaji ekonomi islam banyak di antaranya yang kemudian menyimpulkan bahwa sistem ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan 5 Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. cet, ke-3.h. 4-5 6 Masudul Alam Choudhury, Contribution to Islamic Economic Theory, New York: St. Martin’s Press, 1986, h. 1 7 Masudul Alam Choudhury, Contribution to Islamic Economic Theory, New York: St. Martin’s Press, 1986, h. 7 8 M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta: Studi agama Islam dan Filsafat, 1999, cet ke-1, h. 4 9 AM Saefuddin. Membumikan Ekonomi Islam. cetakan I. Jakarta: PT PPA Consultants. 2011. Hal. 136. 4 etika membuat efek negatif dalam perekonomian. Sistem ekonomi tersebut menjadi salah satu penyebab kehancuran dan kekisruhan suatu bangsa karena meruntuhkan solidaritas kekeluargaan dan aspek sosial. Oleh karena itu, wakaf uang menjadi salah satu bukti sistem ekonomi Islam yang memajang fenomena solidaritas sosial. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267, dijelaskan: Ÿωuρ ( ÇÚö‘F{$# z⎯ÏiΒ Νä3s9 $oΨô_t÷zr& !$£ϑÏΒuρ óΟçFö;|¡Ÿ2 $tΒ ÏM≈t6ÍhŠsÛ ⎯ÏΒ (#θà)ÏΡr& (#þθãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ ;©Í_xî ©!$# ¨βr& (#þθßϑn=ôã$#uρ 4 Ïμ‹Ïù (#θàÒÏϑøóè? βr& HωÎ) ÏμƒÉ‹Ï{$t↔Î/ ΝçGó¡s9uρ tβθà)ÏΨè? çμ÷ΖÏΒ y]ŠÎ7y‚ø9$# (#θßϑ£ϑu‹s? ∩⊄∉∠∪ Ïϑym Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa Allah telah memerintahkan kepada hambanya, untuk tidak pernah lupa dengan sesamanya. Manusia dituntut lebih peka terhadap nasib sesamanya dengan cara berbagi dan saling membantu. Kemudian pada Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 92 juga dijelaskan: ∩®⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ⎯ÏμÎ/ ©!$# ¨βÎ*sù &™ó©x« ⎯ÏΒ (#θà)ÏΖè? $tΒuρ 4 šχθ™6ÏtéB $£ϑÏΒ (#θà)ÏΖè? 4©®Lym §É9ø9#$ (#θä9$oΨs? ⎯s9 Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." Namun, wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkan menjadi aset publik dan ia bekukan 5 haknya untuk kemaslahatan umat. Wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.10 Dalam ilmu ekonomi, kesejahteraan disinggung secara sepintas terkadang dihubungkan dengan kepuasan. Menurut Muhammad Daud Ali dan Habibah kesejahteraan secara bahasa berarti keamanan dan keselamatan hidup.11 Sejahtera adalah lawan kata dari miskin. Orang miskin berarti tidak sejahtera, dan sebaliknya orang yang sejahtera berarti tidak miskin. Kesejahteraan adalah tujuan ekonomi, sebaliknya kemiskinan adalah masalah ekonomi.12 Ali Daud menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sejahtera adalah keadaan hidup manusia yang aman, tenteram, dan dapat, memenuhi kebutuhan hidup.13 Sebaliknya miskin adalah suatu keadaan hidup yang tidak aman dan tidak dapat memenuhi kebutuhan.14 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf uang dibentuk untuk mengisi semangat pembukaan Undang-undang dasar 1945, yaitu dalam memajukan kesejahteraan umum.15 Akan tetapi dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf uang tidak terdapat bab pasal-pasal yang menjelaskan kesejahteraan umum yang dimaksud oleh para penyusun undang-undang. Seperti yang tercantum dalam UU 1945 Kesejahteraan sosial adalah fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, dan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia. Dengan meneropong dan menganalisa pendapatan wakaf tunai di Indonesia, kita dapat membayangkan totalitasnya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita garis 10 AM Saefuddin. Membumikan Ekonomi Islam, cetakan I. Jakarta: PT PPA Consultants. 2011. Hal. 137-138. 11 Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, Cet, ke-1. h. 275 12 M.Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya: Usaha Nasional, t.th. h.128 13 Muhammad Ali Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, h. 275 14 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2000, h. 21 15 Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4, pasal 33 dan 34. 6 bawahi – pertama – potensi wakaf tunai yang sangat dahsyat itu jelaslah mengungguli pendapatan sektor pajak, perolehan dari migas dan non-migas, apalagi dana hibah dan pinjaman luar negeri. Dengan akumulasi pendapatan dari wakaf tunai – sebagai hal kedua – bisa dirancang bukan hanya untuk mewujudkan cita-cita besar upaya pemberdayaan ekonomi rakyat/bangsa ini, tapi juga berpotensi besar untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa (tanpa utang luar negeri, bahkan akan bisa segera melunasi utangnya yang terus menggelayuti negeri dari anak-cicit kita) dan akhirnya bisa bicara lebih jauh tentang anggaran pembangunan sumberdaya manusia yang unggul (cerdas dan sehat), termasuk sarana dan prasarananya. Bahkan, infrastruktur pendukungnya yang lebih dari cukup.16 AM Saefuddin dalam bukunya menyebutkan, ada beberapa strategi penting untuk mengoptimalkan wakaf dalam rangka menopang pemberdayaan dan kesejahteraan umat, di antaranya: Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf, termasuk wakaf tunai. Seluruh komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Kedua, melakukan optimalisasi pemanfaatan wakaf untuk memberikan kemanfaatan secara lebih luas. Ketiga, membangun institusi pengelola wakaf yang profesional dan amanah. Keempat, reoptimalisasi pemanfaatan aset wakaf yang sudah termanfaatkan. Kelima, memanfaatkan wakaf untuk pembangunan sarana penunjang perdagangan. Keenam, mengembangkan inovasi-inovasi baru melalui berbagai hal dalam kaitan wakaf seperti yang dieksperimenkan Prof. Abdul Mannan di Bangladesh yang menerapkan konsep Temporary Waqf. Dengan metode ini wakaf dibatasi penggunaannya pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan kepada waqif. Hal ini sangat menarik, meski masih diperdebatkan kebolehannya. 16 AM Saefuddin, Op. Cit., hlm 127-128. 7 Wacana lain, yang menarik adalah memanfaatkan wakaf tunai untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya diasuransikan pada lembaga asuransi syariah. Di Indonesia sudah terlihat contoh wakaf inovatif itu. Contoh kasus adalah Dompet Dhu’afa. Ia berhasil mengembangkan program wakaf tunai dalam bentuk Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), sekolah unggulan dan gratis untuk orang dhu’afa. Selain itu, telah dicanangkan program dari pemerintah dalam upaya penerapan konsep wakaf uang yakni, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono, baru saja mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara, tepatnya tanggal 8 Januari 2010. Pencanangan ini sudah lama ditunggu masyarakat ekonomi syariah Indonesia. Pencanangan Gerakan ini diharaplan menjadi tonggak sejarah dan momentum penting bagi gerakan wakaf produktif di Indonesia dalam rangka meningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia. Zakat dan Wakaf adalah dua instrumen dalam ekonomi Islam yang sudah teruji dalam sejarah Islam mampu sebagai penopang kehidupan masyarakat dalam konsep kesejahteraan. Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim diharapkan mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan zakat dan wakaf kearah yang lebih produktif agar dapat membantu masyarakat dalam menunjang kesejahteraan. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Disinilah peran zakat dan wakaf menjadi penting dan signifikan. Wakaf uang merupakan salah satu hasil ijtihad, terkait dengan kontekstualisasi wakaf dalam rangka memperkenalkan atau lebih menghidupkan dan mengembangkan kembali ide tentang wakaf uang (cash waqf) yang pada dasarnya telah hidup sejak abad ke-16.17 Bahkan dalam catatan sejarah Islam wakaf uang ternyata telah dipraktikkan sejak 17 Cizakca, cash waqf, 1555-1823 Journal of the economic and social history of the orient, 1995. vol.338, h. 3. Dan lihat Azyumardi Azra dalam (Pengantar), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, Jakarta, CSRC Pusat Budaya dan bahasa (PBB), UIN Syahid, 2006. Isu ini menjelaskan makna cash waqf, yaitu wakaf dalam bentuk uang tunai yang diinvestasikan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang menguntungkan dengan ketentuan persentase tertentu digunakan untuk pelayanan sosial keagamaan. Disebut menghidupkan kembali, karena wakaf uang itu sendiri pada dasarnya memang bukan fenomena baru pada abad ke-16. 8 awal abad kedua hijriah.18 Riwayat Imam Bukhari19, bahwa al-Zuhri (wafat 124 H) salah satu ulama’ terkemuka memfatwakan dianjurkan wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam, adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungan sebagai wakaf. konsep ini dikembangkan kembali oleh Abdullah al-Anshari yang mengatakan “Uang wakaf akan bermanfaat jika ia digunakan, untuk itu Investasikan dana tersebut dan labanya disedekahkan”20. Wakaf adalah sebentuk instrumen unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan masyarakat Muslim yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefiti) menuju manfaat masyarakat (social benefit). Jika wakaf uang dapat diimplementasikan, maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Setidaknya, wakaf tunai bisa diharapkan kontribusinya untuk persoalan keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip “siapapun yang memberikan wakaf tunai tidak dibatasi waktu dan jumlah nilainya”. Kini, kita dapat membayangkan, akan berapa triliyun rupiah jika misalnya perbulan setiap indvidu di Tanah Air ini atau masyarakat di setiap daerah mewakafkan sebagian dananya secara tunai per bulan. Dengan dikembangkannya wakaf uang, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:21 Wakaf uang sudah dipraktikkan jauh sebelumnya, tepatnya masa Turki Utsmani. Lihat Mustafa Dasuki kasbih, Mustaqbal al-Waqf fỉ Amati Islamiyah, PPKEI Shalih kamil, Universitas al-Azhar. h. 8 18 Bukhori, Shahih Bukhari, Beirut, Dấr al-fikr, (1994/1414), Juz III, h.259-260. Lihat juga Abu Su’ud Muhammad, Risấlatu fỉ Jawấzi Waqf An-Nuqud, Beirut: Dấr Ibn Hazm, 1997. h.13 19 20 h. 13. Bukhori, Shahih Bukhari, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994 / 1414, Juz III, h.259-260. Abû As-Su’ud Muhammad, Risalatu Fi Jawazi Waqfi An-Nuqud, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997, 21 Agustianto, Wakaf Uang dan Peningkatan Kesejahteraan Umat, http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1272:wakaf-uangdan-peningkatan-kesejahteraan-umat&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60. (diakses pada hari Rabu, 12 Juni 2012, pukul 21:05) 9 Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. Kelima, dana waqaf uang bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb. Keenam, dana waqaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah. Sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar. Hal ini dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf uang (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Selain itu, terdapat Mazhab Hanafi yang pula membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi-hasil lainnya. Keuntungan dari bagi-hasil digunakan untuk kepentingan umum. Sebagai suatu lembaga keagamaan, di samping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (orang yang berwakaf) di hari akhirat karena 10 pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Adapun dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Wakaf selain sebagai upaya pembentuk watak dan kepribadian seseorang muslim untuk merelakan sebagian hartanya bagi kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai tinggi tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.22 Dengan demikian, jika wakaf dikelola dengan baik maka akan sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Menurut Rachmat Djatnika, dalam bidang ekonomi, wakaf memegang peranan semacam per shockbreaker dalam keseimbangan kehidupan masyarakat karena dapat menutupi kebutuhan vital bagi masyarakat.23 Pendapat di atas dapat diterima karena wakaf yang ada dapat digunakan untuk mendirikan tempat-tempat ibadah (Mesjid, Langgar, dan Mushalla), pemenuhan sarana kesehatan (poliklinik, BKIA, dan rumah sakit), rumah yatim piatu, madrasah, sekolah, pesantren, pasar, pertanian, jalan, lumbung desa, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Untuk pemeliharaan wakaf yang bersifat konsumtif, nazhir (pengelola wakaf) dapat mengelola sebagian tanah wakaf yang mungkin dikelola secara produktif, baik untuk tanah pertanian maupun untuk mendirikan bangunan-bangunan yang kemudian disewakan sehingga, menghasilkan dana yang diperlukan untuk pemeliharaan harta wakaf yang lain. Dengan demikian, wakaf tidak hanya memiliki peranan dan fungsi keagamaan, melainkan juga memiliki fungsi sentral sebagai suatu benih yang dapat menghasilkan, dan instrumen untuk keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik. Pada umumnya masyarakat Indonesia menganggap bahwa wakaf hanyalah ibadah yang tidak terkait dengan masalah perekonomian. Hal ini disebabkan sebagian besar harta benda yang diwakafkan oleh umat Islam di Indonesia adalah benda tidak bergerak yang berupa tanah dan peruntukannya pun terbatas pada kepentingan umum dan sarana ibadahal. Bahkan benda wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 22 Satria Effendi M. Zein, “Analisis Yurisprudensi : Tentang Perwakafan”, dalam Mimbar Hukum, Nomor 4 Tahun II, 1991, HAL. 38 23 Rachmat Djatnika, Wakaf Tanah (Surabaya : Al Ikhlas t.t.), hal. 78 11 1977 hanya terbatas pada tanah milik. Padahal salah maksud disyariatkannya wakaf adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini terlihat pada Hadits yang diiriwayatkan oleh Jama’ah: Dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Umar mendapatkan tanah di Khaibar, kemudian Umar berkata: Ya Rasullulah, aku telah mendapatkan tanah di Khaibar, dan aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari tanah tersebut, maka apakah yang Engkau perintahkan padaku (Ya Rasullulah) ? Kemudian Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau tahanlah asalnya dan sedekahkan (manfaatnya)”, maka Umar menyedekahkannya, untuk itu tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Sedekah tersebut diperuntukkan bagi orang-orang fakir keluarga dekat, memerdekakan budak, untuk menjamu tamu dan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, tidak mengapa orang yang menguasainya (nazirnya) makan sebagian dari padanya dengan baik dan memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat tidak dijadikan sebagai hak milik (Hadis diriwayatkan oleh Jama'ah). 24 Hadits tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya peruntukan wakaf tidak hanya terbatas pada sarana peribadatan, melainkan juga untuk membantu mereka yang kesulitan di bidang ekonomi. Perbuatan Umar bin Khattab ini kemudian diikuti oleh para sahabat dan generasi berikutnya sampai sekarang. Bahkan di berbagai negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara yang sangat berpengalaman dalam mengembangkan wakaf, antara lain Mesir dan Turki. Mesir adalah salah satu negara yang memiliki harta wakaf cukup banyak karena sejak masuknya Islam di Mesir, pemerintahnya selalu mengembangkan harta wakaf. Salah satu di antara harta wakaf yang sangat besar dan cukup dikenal di dunia Islam adalah Universitas al-Azhar yang sampai sekarang masih diminati oleh mahasiswa dari seluruh dunia. Universitas ini didirikan pada masa Khilafah Fathimiyyahal.25 Perkembangan pengelolaan wakaf di Mesir sejak awal memang sangat mengagumkan, 24 Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukany, Nail al-Authar, Jilid IV (Mesir: Musthafa al-Babi al-Hal.aby, t.t.), hal.. 127. 25 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah, Cet. II (Lajnah al-Ta’lif wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1958) hal.. 524-540. 12 bahkan keberhasilannya dijadikan contoh bagi pengembangan wakaf di negara-negara lain. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul Auqaf (Kementerian Wakaf). Salah satu di antara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan benda yang diwakafkan beragam, baik berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, yang dikelola secara baik dan benar. Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam (jika berupa uang) dan berbagai perusahaan, seperti perusahan besi dan baja.26 Untuk menyempurnakan pengembangan wakaf, Badan Wakaf membeli saham dan obligasi dari perusahaan-perusahaan penting. Hasil pengembangan wakaf yang ditanamkan di berbagai perusahaan tersebut di samping untuk mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan, juga dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat (fakir miskin, anak yatim, dan para pedagang kecil), kesehatan masyarakat (mendirikan rumah sakit dan menyediakan obat-obatan bagi masyarakat), pengembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, dan berbagai pelatihan.27 Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di samping Mesir, masih ada beberapa negara yang mengelola wakaf secara produktif, salah satunya adalah Turki. Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Dalam mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: - Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; - Tasdelen Healthy Water Corporation; - Auqaf Guraba Hospital; - Taksim Hotel (Sheraton); - Turkish Is Bank; - Aydin Textile Industry; - Black Sea Copper Industry; - Contruction and Export/Import Corporation; 26 Hasan Abdullah al-Amin (Ed.), Idarah wa Tasmir Mumtalakat al-Auqaf (Jeddah: Ma'had alIslamy li al-Buhus wa at-Tadrib al-Bank al-Islamy li at-Tanmiyyah,1989), hal. 344 27 Hasan Abdullah al-Amin (Ed.), op.cit. 13 - Turkish Auqaf Bank.28 Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya.29 Sementara di Indonesia, saat ini kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Memang tidak mudah untuk mengatasi masalah kemiskinan karena kemiskinan di Indonesia memiliki riwayat yang cukup panjang. Sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, Indonesia sudah dihadapkan pada masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, namun kebijakan pemerintah itu belum mampu mengentaskan kemiskinan. Dengan demikian, kesejahteraan umum yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masih jauh dari harapan rakyat karena kemiskinan masih terjadi di berbagai daerahal. Padahal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 34, ayat (1) disebutkan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini berarti bahwa kita sebagai bangsa Indonesia berkewajiban untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Jika solusi pengentasan kemiskinan yang tepat belum ditemukan maka kemiskinan tetap akan menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan merupakan persoalan yang menakutkan, yang dapat merajalela dan berpengaruh kepada sistem kehidupan yang lebih makro, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dilenyapkan.30 Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebenarnya dalam Islam ada beberapa lembaga yang potensial untuk dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan, salah satu di antaranya adalah wakaf. 28 Ibid., hal.. 117 Turkish Auqaf Bank didirikan oleh Direktorat Jenderal 1954. Direktorat memiliki saham di Bank tersebut sebanyak 75%. Bank ini merupakan salah satu bank besar di Turki dengan modal 17 Milyar TL (USD 45 juta), bank ini mempunyai 300 cabang di seluruh Turki. Laba yang dibukukan pada tahun 1983, berjumlah 2 milyar TL (USD 5 juta). Pendapatan dari bank tersebut dipergunakan untuk manajemen, perbaikan dan berbagai keperluan wakaf properti. 29 Hasmet Basar (Ed), Management and Development of Awqaf Properties (Jeddah: Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank, 1987), hal.. 117 30 Owin Jamasy, Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: Belantika, 2004), hal.. 32 14 Di kalangan umat Islam Indonesia, wakaf bukanlah lembaga Islam yang asing karena lembaga tersebut sudah diamalkan umat Islam sejak masuknya Islam di Indonesia. Lembaga wakaf tersebut mudah diterima umat Islam di Indonesia, karena sebelum Islam masuk di Indonesia sudah ada lembaga-lembaga sejenis yang dikembangkan di Nusantara, seperti Huma Serang di masyarakat suku Badui di Cibeo, Banten Selatan, dan Tanah Preman di Lombok.31 Akan tetapi, wakaf yang dikenal umat Islam Indonesia, umumnya adalah wakaf benda tidak bergerak, seperti tanah, kebun, sawah, Masjid, mushalla, gedung sekolahan, dan makam. Padahal sebenarnya, benda yang boleh diwakafkan tidak hanya terbatas pada benda tidak bergerak, melainkan juga benda bergerak termasuk uang, saham, dan logam mulia. Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Supaya hak dan kewajiban serta kepentingan masyarakat itu dapat berjalan dengan baik maka sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan yang memadai. Dengan adanya peraturan perundangundangan itu diharapkan ketertiban dalam praktik perwakafan ini dapat terwujud, sehingga manfaatnya pun dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai suatu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah tanah, wakaf di Indonesia sudah diatur pelaksanaannya dengan beberapa peraturan perUndang-Undangan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Meskipun sudah ada beberapa peraturan perUndang-Undangan yang berkenaan dengan masalah perwakafan, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa dilihat dari tertibnya administrasi, perwakafan di Indonesia memang meningkat karena sudah cukup banyak tanah wakaf yang bersertifikat berjumlah 319,698 lokasi, sedangkan yang belum bersertifikat berjumlah 111,068 lokasi.32 Akan tetapi dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat belum terlihat. Hal ini disebabkan wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur. Oleh karena benda-benda bergerak di Indonesia belum ada peraturannya maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk 31 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: UI, 1988), hal.. 79 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Per Provinsi Seluruh Indonesia”, Jakarta: Departemen Agama, November 2008 32 15 dikembangkan secara produktif. Tambah lagi kebanyakan nahzir juga kurang profesional dalam pengelolaan wakaf, sehingga mereka belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif. Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan bangsa Indonesia maka Undang- Undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya menyambut baik kehadiran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-Undang Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak, seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nazhir wakaf; dan hal-hal lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf yang diatur dalam Undang-Undang tentang Wakaf ini tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, melainkan juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam termasuk wakaf uang dan surat berharga. Baru sedikit wakaf yang dikelola secara produktif, sehingga wakaf di Indonesia belum dapat berperan dalam memberdayakan ekonomi umat. Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat: 1. Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf. Memahami rukun wakaf bagi masyarakat sangat penting, karena dengan memahami rukun wakaf, masyarakat bisa mengetahui siapa yang boleh berwakaf, apa saja yang boleh diwakafkan, untuk apa dan kepada siapa wakaf diperuntukkan, bagaimana cara berwakaf, dan siapa saja yang boleh menjadi nazhir atau pengelola wakaf. Pada saat ini cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang dapat diwakafkan hanyalah benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak bergerak lainnya. Dengan demikian peruntukannyapun sangat terbatas, seperti untuk mesjid, mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, sekolah dan sejenisnya. Walaupun wakaf untuk untuk hal-hal tersebut penting, namun jika masjid dan mushalla sudah banyak, akan lebih 16 manfaat jika wakif mewakafkan hartanya untuk hal-hal yang lebih produktif. Oleh karena pemahamannya masih pada wakaf konsumtif, maka nazhir yang dipilih oleh wakif juga mereka yang ada waktu untuk menunggu dan memelihara masjid, kurang mempertimbangkan kemampuan nazhir untuk mengembangkan masjid sehingga masjid menjadi pusat kegiatan umat. Dengan demikian wakaf yang ada selama ini, hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan peribadatan, dan sangat sedikit wakaf yang berorientasi untuk meningkatkan perkonomian umat. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan perumusan konsepsi fikih wakaf baru, kemudian dituangkan dalam UndangUndang tentang Wakaf, dan Undang-Undang tersebut disosialisasikan kepada masyarakat. Dengan demikian perwakafan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan wakaf dapat tercapai. Alhamdulillah pada saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia. 17 3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf). Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir (pengelolanya) tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi memungkinkan harta wakaf wakaf, tersebut dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya. Wakaf pada dasarnya adalah “economic corporation”, sehingga wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya secara langsung.33 Bentuk-bentuk wakaf yang sudah dikemukakan tersebut merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk Modal 33 Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Khalifa, 2005) hal.. 59 18 produksi, yang mampu menghasilkan manfaat/barang dan dapat digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang dimaksud berupa investasi yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan keuntungan yang direncanakan secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk mereka yang ditentukan oleh wakif dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf (Islam) adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi untuk kepentingan mereka yang memerlukan yang telah ditetapkan dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan pemukiman. Kedua, wakaf produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan produksi barang dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam bentuk ini, Modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian hasil investasi tersebut didistribusikan kepada mereka yang berhak. B. Zakat Untuk Kesejahteraan Zakat memainkan peranan penting dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, dan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi. Pengaruh-pengaruh positif dari pelaksanaan zakat memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas. Masalah zakat memang sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Zakat itu harus diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam hubungan ini Allah berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (al-Taubah, ayat 60). Zakat dalam kegiatan ekonomi merupakan pancaran langsung dari sikap teologi (aqidah) yang praktis dan merupakan kemutlakan Allah dan kenisbian manusia dengan 19 segala kegiatannya dalam bidang ekonomi. Hak milik (harta) sebagaimana milik individual dan sebagainya pada ukuran tertentu menurut syariah milik sosial tetapi dalam perspektif makro adalah milik Allahal. Pengaruh-pengaruh baik dari zakat pada aspek sosial ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas karena tajamnya perbedaan pendapat. Prinsip zakat meliputi dasar-dasar yang lebih luas. Zakat bagi orang Islam adalah untuk melaksanakan tugas ekonomi dan moral. Dalam bidang ekonomi, zakat menghindarkan penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat memungkinkan pelaksanaan tanggung jawab orang kaya untuk mengurangi kemiskinan. Sedangkan dalam bidang moral zakat mensucikan harta kekayaan yang dimiliki setiap orang agar harta kekayaan itu diridhai Tuhan. Zakat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan sekaligus mensucikan masyarakat dari sifat mendendam dan mendengki.34 Zakat sebagai lembaga yang berusaha mengatasi kemiskinan sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah sosial. Menurut ajaran Islam, zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktekkan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Pelaksanaan zakat akan membahagiakan dan menimbulkan rasa puas dalam diri muzakki (wajib zakat) karena telah menyempurnakan kewajiban kepada Allahal. Pengaruh-pengaruh positif dari aspek sosial ekonomi yang terdapat dalam zakat memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakan dan menghilangkan pertentangan kelas karena tajamnya perbedaan pendapatan. Zakat diharapkan menciptakan adil dan makmur. Begitu besarnya perhatian Islam terhadap fakir miskin sehingga mereka mendapat prioritas pertama dalam pembagian zakat. Demikian juga keadaannya di negara Republik Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah yang perlu ditangani, sehingga dalam 34 UUD 1945 dinyatakan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kedua 34 Mubyarto, “Zakat dan Mengurangi Kemiskinan”, mimeo, makalah diajukan pada Seminar Nasional Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat, Infaq dan Amal Jahiriyah lainnya (Jakarta: 1-5 November 982) 20 hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan yang dimaksud, di dalam Islam selain dari kewajiban shalat, puasa dan hajji ada juga kewajiban melaksanakan zakat. Zakat dimaksudkan untuk menjembatani dan memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara kelompok yang kuat dengan yang lemah, yang kaya dengan yang miskin. Karena Islam mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan yang dimanifestasikan dalam ibadah sekaligus juga mengatur hubungan horisontal dengan sesama manusia yang dimanifestasikan dalam aturan-aturan pergaulan sosial muamalah, maka zakat selain mempunya aspek sosial yang timbul akibat disalurkannya zakat itu kepada manusia lain yang memerlukannya, zakat termasuk ibadah ijtima’iyah atau ibadah sosial yakni ibadah yang dilaksanakan seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia anggota masyarakat.35 Zakat adalah kewajiban finansial dari harta kekayaan menurut ketentuan Islam. Menurut Iman Taqiyuddin, zakat adalah suatu nama bagi sejumlah harta tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu berdasarkan beberapa syarat.36 Sedangkan menurut Sabiq, zakat adalah nama atau sebutan dari hak Allah yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kewajiban.37 Zakat, yang merupakan ibadah yang menyangkut harta benda dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul terdahulu. Di dalam Al-Quran Allah berfirman sebagai berikut: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk degan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembahal.” (al-Anbiya’, ayat 73). 35 Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Rekomendasi dan Pedoman Zakat, hasil seminar, 30 Juni dan 7 Juli 1975 (Jakarta : BAZIS DKI, 1987) hlm.20 36 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Husein Kifayah al-Akhyar, terjemahan (Bandung: Syirkah Islami, 1974) hlm.172 37 Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr li al-Thabaah wa al-Nasyr wa alTawzi’ 1980) hlm.5 21 Kaum muslimin yang merupakan mayoritas penduduk di Negara Republik Indonesia telah lama melaksanakan lembaga zakat, yang di samping perintah agama juga salah satu upaya untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang ekonomi. Dapat dikatakan bahwa sistem zakat sebagai perintah agama akan sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila mengingat kedua sistem tersebut bersandar kepada kesadaran akan kebutuhan. Dengan demikian berdiri dan berkembangnya lembaga zakat di negara Pancasila tidaklah akan mengurangi arti serta peranan sistem ekonomi Pancasila, malahan akan menambah satu segi lagi dalam upaya mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Penutup Zakat dan wakaf sebagai bagian dari filantropi Islam memiliki peran strategis dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan zakat produktif diharapkan para mustahik dapat berusaha dengan modal yang dimilikinya dan suatu saat nanti berubah statusnya menjadi muzakki. Zakat produktif akan mningkatkan produktifitas ekonomi rakyat miskin sehingga pengangguran akan berkurang dan pendapatan nasional akan meningkat secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkat seiring dengan produktifitas ekonomi rakyat miskin. Wakaf produktif juga memiliki peran dalam perekonomian Indonesia, dengan memproduktifkantanah wakaf yang masih diam menggalakkan wakaf uang dan sejenisnya. Dengan adanya reformasi Undang-undang wakaf tahun 2004 semakin menjadikan wakaf sebagai salah satu pilar dalam pengembangan ekonomi alternatif. Pengimpunan wakaf uang, pengelolaan dan penyaluran wakaf uang yang dari tahun ketahun terus meningkat secara signifikan menjadikan wakaf sebagai primadona dalam filantropi Islam dan diharapkan menjadi bagian dalam pengentasan kemiskinan. Daftar Pustaka Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di 22 Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1990. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Per Provinsi Seluruh Indonesia”, Jakarta: Departemen Agama, November 2008 Djatnika, Rachmat, Wakaf Tanah, Surabaya : Al Ikhlas t.t. Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah, Cet. II, Lajnah al-Ta’lif wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1958. Kahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Khalifa Pustaka al-Kautsar Grup, 2005. Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Husein Kifayah al-Akhyar, terjemahan, Bandung: Syirkah Islami, 1974 Warren, Ichman,et.al, Philanthropy in The World’s Tradition, Penerjemah: Tim Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Indiana University Press, 1998) Jamasy, Owin, Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan , Jakarta: Belantika, 2004 Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyyah, Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat alTanfidziyyah , Kairo: Al-Haiah al-‘Ammah li syuun al-Mathabi al-Amiriyyah, 1993 Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Mesir: Mathba’ah al-Misr, 1951. Kubaisyi, Muhammad ‘Ubaid ‘Abdullah, Ahkam al-Waqf fi Syari’at al-Islamiyyah, Jilid II, Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977. 23 Mannan, M. A., “Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21 -Century Voluntary Sector Banking”, di dalam Harvard Islamic Finance Information Program-Center for Middle Eastern Studies, Proceedings of The Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Cambridge: Harvard University, 1999. Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukany, Nail al-Authar, Jilid IV, Mesir: Musthafa al-Babi al-Hal.aby, t.t. Mubyarto, “Zakat dan Mengurangi Kemiskinan”, mimeo, makalah diajukan pada Seminar Nasional Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat, Infaq dan Amal Jahiriyah lainnya (Jakarta: 1-5 November 982) Saefuddin, AM. Membumikan Ekonomi Islam, cetakan I. Jakarta: PT PPA Consultants. 2011. Peraturan: Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, LN Nomor 159 Tahun 2004, TLN Nomor 4459 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, LN Nomor 42 Tahun 2006 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, LN Nomor 22 Tahun 2006, TLN Nomor 4611 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, LN Nomor 94 Tahun 2008, TLN Nomor 4867 24