Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah yang dilakukan seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, ide wakaf sama tuanya dengan usia manusia. Para ahli hukum Islam, menurut Esposito, menyebutkan bahwa wakaf yang pertama adalah bangunan suci Ka’bah di Makkah. Yang dalam Surah Ali Imran (3) ayat 96 disebut sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun oleh umat manusia. Sejarah mencatat, wakaf keagamaan pertama terjadi pada masa Rasulullah SAW. Ketika hijrah bersama kaum Muhajirin ke Madinah, umat Islam membangun Masjid Quba. Inilah wakaf keagamaan pertama yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam. Enam bulan setelah membangun Masjid Quba, di pusat Kota Madinah juga dibangun Masjid Nabawi, yang juga dalam bentuk wakaf keagamaan. Wakaf derma (filantropis) juga dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Seseorang bernama Mukhairiq mendermakan (mewakafkan) tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya yang ada di Madinah setelah dia meninggal kepada Nabi SAW pada 626 M. Nabi SAW mengambil alih kepemilikan tujuh bidang kebun tersebut dan menetapkannya sebagai wakaf derma untuk diambil manfaatnya bagi fakir miskin. Praktik itu diikuti oleh para sahabat Nabi SAW dan Khalifah Umar bin Khattab. Tak lama setelah Nabi SAW wafat, Khalifah Umar bin Khattab (635-645 M) memutuskan untuk membuat dokumen tertulis mengenai wakafnya di Khaibar. Dia mengundang beberapa sahabat untuk menyaksikan penulisan dokumen tersebut. Wakaf itu kemudian dikenal sebagai wakaf keluarga. Pada adab kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang. Imam AzZuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin alhadis yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit, serta tempat-tempat penginapan. Di era kejayaan Islam, wakaf menjadi salah satu pilar kekuatan ekonomi dinasti-dinasti Islam. Bermodal pengelolaan harta wakaf yang profesional, dinasti-dinasti Islam mampu menyejahterakan rakyatnya. Pada zaman keemasan Islam, wakaf tak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, mengaji para guru, serta beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional rumah sakit ditanggung dari dana wakaf. Gaji dokter, perawat, hingga obat-obatan ditanggung dana wakaf. Sehingga, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima secara cuma-cuma. Khalifah Makmun Abbasiyah Pelopor Pendirian Badan Wakaf Menurut Ahmad Zaki dalam Wakaf Pengurusan dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Islam di Malaysia, Khalifah Makmun dari Dinasti Abbasiyah adalah individu pertama yang mengemukakan ide pembentukan badan-badan wakaf untuk pembiayaan pendidikan. Menurutnya, Bayt al-Hikmah merupakan perguruan tinggi yang didanai oleh badan wakaf yang dipelopori oleh Khalifah al-Makmun di Baghdad. Madrasah al-Nizamiyah atau juga dikenal sebagai Universitas Nizamiyah didirikan pada zaman pemerintahan Abbasiyah untuk menyebarluaskan ajaran Mazhab Ahlussunah waljamaah yang menjadi mazhab resmi Pemerintah Abbasiyah. Sekolah tersebut didirikan pada 459 Hijriyah (1066-1067 M) oleh Nizam al-Muluk, yaitu seorang menteri dari pada bangsa Saljuk dan dianggap sebagai perguruan tinggi yang dibangun dalam Islam. Dia turut mendirikan lembaga pendidikan lain dengan dibiayai segala kemudahannya, termasuk perpustakaan, honorarium para guru, dan beasiswa kepada yang terpilih. Ibnu Khaldun menyebutkan, Salahuddin al-Ayubi turut mewakafkan tanah pertanian, rumahrumah, dan bangunan untuk tujuan pendidikan di samping Pemerintah Turki juga mewakafkan harta untuk tujuan pendidikan sehingga banyak siswa mendapat manfaat dengan pertambahan jumlah sarjana terkemuka. Monzer Khaf dalam Financing The Development of Awqaf Property menambahkan, tanah wakaf pernah digunakan untuk membangun universitas selain membiayai peralatan pengajaran, honorarium untuk para guru, dan akomodasi siswa, baik yang lajang maupun sudah berumah tangga. Mohd Ali Muhamad Don melanjutkan, Universitas Al-Azhar di Mesir merupakan lembaga pendidikan wakaf yang terulung dibangun oleh Pemerintah Fatimiyah pada 975 Masehi kemudian dikembangkan kembali pada tahun 1960 oleh Pemerintah Mesir. Universitas ini dikelola dari harta wakaf yang mengutamakan kepentingan sektor pendidikan sehingga melahirkan banyak ilmuwan Islam tersohor. Dampak yang paling besar dari manfaat wakaf pendidikan ketika banyak siswa dari Asia dan Afrika melanjutkan pendidikan ke Mesir. Masih menurut Mohd Ali Muhamad Don, posisi lembaga pendidikan wakaf mulai mengalami perubahan seiring dengan modernisasi Pemerintah Turki Ottoman. Metode administrasi harta wakaf secara terpusat telah digunakan untuk menghapus lembaga wakaf secara terorganisasi. Harta wakaf dijadikan jalan mudah untuk cepat menjadi kaya di Turki. Bahkan, penyewapenyewa gedung dan penyewa tanah wakaf diarahkan supaya membeli aset jika tidak harta tersebut akan dijual dan segala hasilnya akan dimiliki oleh pihak pemerintah. Jenis Harta Wakaf Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menyatakan: (1) Harta benda wakaf terdiri dari : a. benda tidak bergerak; dan b. benda bergerak. (2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi : a. uang; b. logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual; f. hak sewa; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.