Pengembangan dan Implementasi Zakat Wakaf di Indonesia 1 Oleh M. Fuad Nasar 2 Saya memberikan ucapan tahniah dan apresiasi yang tinggi pada forum international conference tentang sektor keuangan Islam zakat dan wakaf yang terselenggara atas kerjasama Bank Indonesia, BAZNAS dan IRTI IDB. Dalam kesempatan yang amat baik ini saya ingin mengemukakan dua hal prinsipil yang menjadi entry point kita ketika berbicara seputar pengembangan dan implementasi zakat dan wakaf di Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan mengalami fenomena pertumbuhan kelas menengah tercepat di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir. Pertama, negara Republik Indonesia mempunyai otoritas dan kepentingan untuk mengatur, memfasilitasi dan memberi kepastian hukum kepada umat Islam dalam menunaikan ibadah dan muamalah sesuai ketentuan syariah, termasuk di bidang zakat dan wakaf, tetapi negara bukan mengambil manfaat dari dana umat. Seperti kita tahu, zakat dan wakaf tidak masuk dalam neraca keuangan dan kekayaan negara, tetapi pemerintah dapat mengambil tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan yang merugikan kepentingan masyarakat Kedua, negara tidak mengambil mazhab fiqih tertentu sebagai mazhab resmi yang dianut negara. Dengan demikian, pengembangan hukum Islam di bidang zakat dan wakaf di Indonesia dilatar-belakangi keragaman mazhab yang terdapat di Dunia Islam. Walaupun masyarakat muslim Indonesia sebagian besar mengikuti mazhab Syafi’i, tetapi kita lihat dalam konteks dan konten regulasi perzakatan dan perwakafan tidak terjadi kekakuan mazhab apalagi “syafi’i oriented”, melainkan secara dinamis mengedepankan “maqashid syariah” sebagai tolok ukurnya. Hal itu terlihat dari wacana fiqih terapan tentang zakat perusahaan, zakat penghasilan profesi, wakaf uang, wakaf dalam jangka waktu tertentu, dan lainnya mengakomodir khazanah hukum Islam yang sangat kaya dengan ijtihad, istinbath dan istihsan. Selain itu, mari kita amati sumber-sumber keuangan umat Islam yang pernah membuat Islam berjaya di masa lalu sejatinya banyak sekali, dan bukan hanya zakat dan wakaf. Dalam rentang waktu perjalanan sejarah masyarakat Islam, sumbersumber keuangan umat yang banyak itu dengan berbagai dimensi yang dimiliki, sepertinya luput dari perhatian umat Islam. Seandainya seluruh institusi itu 1 Disampaikan dalam forum International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector di Bank Indonesia, Kamis 28 Agustus 2014. 2 Pemakalah adalah Pelaksana Tugas Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama RI dan Wakil Sekretaris BAZNAS. 1 dikembangkan dengan baik, niscaya masalah ekonomi umat dan kemiskinan sebagai isu global akan lebih mudah diatasi. Pemerintah melalui Kementerian Agama senantiasi mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi perekonomian umat. Zakat dan wakaf adalah bagian dari sistem perekonomian umat yang memerlukan pengembangan dan sekaligus penataan. Kita menyadari zakat dan wakaf adalah pranata keagamaan yang melandasi tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi umat Islam. Sebagaimana kita ketahui, kewajiban zakat pada umat Islam semula adalah kewajiban kepada negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dalam kaitan itu, zakat maupun wakaf tidak kehilangan nilai kontekstualnya di negara kami, meski tidak diakomodir sebagai penerimaan negara dalam kebijakan fiskal, tetapi tetap berperan sebagai sumber pendanaan umat untuk penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial. Dalam dekade terakhir kesadaran umat Islam Indonesia tentang arti penting ragam filantropi Islam, seperti zakat dan wakaf kian menggembirakan. Kita bersukur mengamati tingginya animo masyarakat untuk mengambil bagian dalam pengelolaan zakat dan wakaf. Setelah lahirnya Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU NO 23 Tahun 2011) dan Undang-Undang Wakaf (UU No 41 Tahun 2004) telah semakin mengkristal paradigma modern di masyarakat bahwa zakat dan wakaf, , di samping sebagai ibadah, sekaligus sebagai sebuah sistem keuangan sosial umat Islam yang memiliki peran dan kontribusi yang strategis dalam penanggulangan problema sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Pada sisi lain, maraknya wacana zakat dan wakaf seharusnya mampu mendorong tumbuhnya gerak sinergis umat Islam untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam kehidupan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran serta rendahnya kualitas umat Islam yang tidak sebanding dengan kuantitasnya. Menurut hemat saya, sedikitnya ada 3 faktor yang perlu dibenahi untuk mengoptimalkan sektor keuangan Islam khususnya zakat dan wakaf, yaitu: Pertama, kinerja lembaga pengelola zakat dan wakaf dalam menghimpun dan mendayagunakan potensi zakat dan wakaf. Lembaga pengelola zakat dan wakaf harus berupaya untuk lebih mendekatkan akses umat terhadap sumber dana dan manfaat zakat dan wakaf. Kedua, koordinasi dan sinergi di antara sesama lembaga pengelola zakat maupun wakaf. Ketiga, kompetensi sumber daya manusia. Amil zakat dan nazhir wakaf haruslah mengerti dan menguasai substansi pengembangan hukum dan permasalahan zakat dan wakaf. Jadi tidak sekedar kreator program. Amil dan nazhir adalah pilar utama dalam pengelolaan zakat dan wakaf. Dalam pada itu, patut digaris-bawahi bahwa regulasi (Undang-Undang dan peraturan pelaksananya) bukan satu-satunya yang penentu optimalisasi pengelolaan zakat dan wakaf. Regulasi haruslah diikuti dengan sosialisasi secara intensif dan ekspansif, pengelolaan yang terstandar , keteladanan para ulama, tokoh masyarakat 2 dan pejabat pemerintah, serta program-program pendayagunaan yang menyentuh secara masif kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin. Wallahu a’lam bisshawab. Demikian dan terima kasih. Jakarta, 28 Agustus 2014/2 Dzulqa’dah 1435 H 3