MASLAHAT DALAM PANDANGAN SAHABAT NABI

advertisement
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 91
MASLAHAT DALAM PANDANGAN
SAHABAT NABI MUHAMMAD SAW
Hj. Andi Sukmawati Assaad
Abstract: Ijtihad's result best friends that, otherwise been argued by another Prophet best
friend, therefore reputed ijma’ best friends. On the contrary if yielding ijtihad that Prophet best
friend argued by the other Prophet best friend, therefore result that Prophet best friend can't be
looked on as ijma’ best friends, but just opinion person Prophet best friend about given law
problems. That looked thus Islamic law source on best friend term just three which is; al-Quran,
al Sunnah, and Ijma’ best friends. Along with nun [of] time and its death best friends saw's
Prophet, therefore authority tasyri’ fells to tabi's generation hand’ in then tabi’in and so on.
After best friend term, in order to think out faced law by Islam people, makes a abode to get
holds firmness to al-Quran and al Sunnah and Ijma’, best friends. But since faced law problem
by Islam people always effloresce and constitutes new law problem where al-Quran, al Sunnah
and Ijma’ best friends undiscovered its law, therefore in dig up its law, understand severally
istinbath's method sentences amongst those; Maslahah Mursalah or Istislah (Malik's priest),
Istihsan (Hanafi's priest), Qiyas (Syafi's priest.), Istishab is Ahmad bin Hambal's Priest and
another.
Keywords: Ijma’, Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, Prophet Mohammed saw. best Friend
Abstrak: Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya,
maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah
oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap
sebagai Ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang
persoalan-persoalan hukum tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa sumber hukum Islam
pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’ para sahabat. Seiring
dengan berjalannya waktu dan wafatnya para sahabat Nabi saw, maka otoritas tasyri’ jatuh ke
tangan generasi tabi’in kemudian tabi’in dan seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka
memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap
berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum
baru dimana al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka
para ulama dalam menggali hukumnya, memahami beberapa metode istinbath hukum
diantaranya; al-Maslahah al-Mursalah atau Istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi),
qiyas (imam Syafi’i), Istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lainnya.
Kata kunci: Ijma’, Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, sahabat Nabi Muhammad saw.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan
sesama
manusia
merupakan
manifestasi
dari
hubungan-hubungan dengan pencipta, jika baik hubungan dengan manusia lain, maka
baik pula hubungan dengan penciptanya, karena itu hukum Islam sangat menekankan
kemanusiaan.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 92
Allah swt. menurunkan agama Islam kepada umatnya disertai dengan aturanaturan (hukum-hukum). Aturan tersebut dibuat oleh Allah swt. agar manusia selamat
hidup di dunia sampai di akhirat kelak. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum)
yang dibuat oleh Allah swt. tersebut merupakan wahyu, yang diturunkan kepada Nabi
dan Rasul-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir
adalah Muhammad saw.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. tersebut, adakalanya untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala
itu, dan dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah Asbabun Nuzul (sebab turunnya wahyu
al-Qur’an).1 Namun apabila Allah swt. tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau
Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum tertentu yang sedang dihadapi oleh umat
Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath), kemudian
hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan as-sunnah (qauliyah, fi’liyah dan taqniyah).
Dengan demikian terlihat bahwa sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad saw.,
hidup hanya dua yaitu, al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi sebagai emperisasi dari wahyu
Allah swt.
Seiring dengan wafatnya Nabi saw., meluasnya wilayah kekuasaan Islam,
terpencarnya sahabat Nabi ke berbagai wilayah dan banyaknya para sahabat yang gugur
dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru dibidang hukum, sebab
kadangkala masalah hukum yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam alQur’an dan al-Sunnah, dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru
yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu berijtihad, mereka dapat dengan
mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat
Islam itu karena para sahabat sangat mengenal teknik Nabi berijtihad.
Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang
lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya jika hasil ijtihad sahabat Nabi
tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut
tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para
sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan hukum tertentu. Dengan demikian terlihat
bahwa sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, al-Sunnah,
dan Ijma’ para sahabat.
Seiring dengan berjalannya waktu dan wafatnya para sahabat Nabi saw, maka
otoritas tasyri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’in dan seterusnya. Setelah
masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi
oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
serta Ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat
Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru dimana al-Qur’an, alSunnah dan Ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam
menggali hukumnya, memahami beberapa metode istinbath hukum diantaranya;
1
Asbabun Nuzul, jika ditinjau dari perspektif yuridis sangat membantu umat Islam untuk
memecahkan persoalan hukum yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan cara
melakukan interpretasi juridis-historis. selengkapnya lihat Weal B. Khallaq, A History of Islamic Legal
Theories, alih bahasa oleh Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press, 2002). h. 18.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 93
Maslahah Mursalah atau Istislah (imam Malik), Istihsan (imam Hanafi), Qiyas (imam
Syafi’i), Istishab imam Ahmad bin Hambal dan lainnya.
Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di
atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena
berdasarkan kepada nash-nash tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai
sumber hukum yang keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’ para sahabat.2
Sedangkan metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk Maslahah-Mursalah atau
Istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik telah diperdebatkan, bahkan ditolak oleh
mayoritas penganut mazhab asy-Syatiyah.3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diketengahkan sekaligus
persoalan pokoknya, bahwa tulisan ini mencoba menguraikan apa yang dimaksud
dengan Maslahah Mursalah dan bagaimana maslahat dalam pandangan sahabat Nabi
saw.
II. Pembahasan
A. Diskursus tentang Maslahat
Teori Maslahat Mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (w. 97
H), pendiri mazhab Maliki, namun karena pengikutnya yang lebih mengingkari hal
tersebut, maka setelah abad ke 3 hijriah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbahkan
Maslahat Mursalah kepada Imam Malik.4 Sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat
yang menyatakan bahwa teori Maslahat Mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh
ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain, alJuwaini (w. 478 H), guru Imam al-Gazali. Dan menurut ahli usul fiqih yang paling
banyak membahas dan mengkaji Maslahah Mursalah adalah Imam al-Ghazali yang
dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.5
Imam Malik adalah penulis muslim digolongkan kedalam golongan sahabat
kecil, karena waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah saw. Imam Malik
salah seorang Imam mujtahid yang keempat (Malik, Hanafi, asy-Syafi’i dan Hambali)
yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para sahabat Nabi. Imam Malik tinggal
di Madinah, pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggalnya Nabi setelah hijrah dari
Mekkah, maka Madinah disebut pula kota Hadis.
Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi
oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an,
jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an Imam Malik mencarinya di dalam al-Sunnah
Nabi. Dan apabila tidak ditemukan, maka dia mendengarkan pendapat Ijma’ para
2
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2003). h. 1-23.
3
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali; al-Maslahah al-Mursalah dan
relevansinya dengan pembaruan hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). h. 184.
4
Wael B.Hallaq, Op. cit., 165-166.
5
Ahmad Munif Suratmaputra, Op. cit., h. 63-64.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 94
sahabat6 dan apabila dalam ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah hukum
tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara berijtihad. Metode
yang digunakan Imam Malik dalam menggali hukum Islam (istinbath) ada dua yaitu
Qiyas dan Istislah atau Maslahah Mursalah. Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan
apabila ada nash tertentu, baik al-Qur’an, al-Sunnah yang mendasarinya. Sedangkan
metode Istislah atau Maslahah Mursalah dipraktekkan apabila masalah hukum yang
sedang dihadapi tidak ada satupun nash yang mendasari, baik yang membenarkan
maupun yang melarangnya. Bahkan ada kasus-kasus tertentu, Imam Malik
menggunakan metode Maslahah-Mursalah dalam mentakhsis ayat al-Qur’an yang
bersifat umum.7
Kata maslahah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal
dari bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi
berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.8 Maslahat
merupakan bentuk masdar (adverb) dari fi’il (verb), dengan demikian terlihat bahwa
kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari bahasa Arab mempunyai makna
atau arti yang sama. Sedangkan menurut istilah atau terminologi, maslahah diartikan
oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, diantaranya al-Khawarizmi
(w. 997 H). Maslahah adalah al-Marodu bil-maslahatil Mukhafazah ‘ala Maqsudi-syr’i
bidaf’il mufaasidi’akil kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak
bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluk). Sedangkan ulama
telah berkonsensus bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal,
harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan menurut Syatibi dari golongan
mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling populer dan kontroversi pendapatnya
tentang Maslahah Mursalah menyatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak
6
Dasar dari Sunnah adalah sabda Nabi saw.: “Ummatku tidak akan bersepakat terhadap
kesesatan” dan sabda-sabda lain yang semakna. Cara penalaran yang digunakan untuk menyatakannya
sebagai dasar bagi ijma’ adalah bahwa sabda Nabi tersebut diriwayatkan dalam banyak redaksi dan
riwayat yang beragam yang mencapai derajat hadis yang diterima secara konvensional dan umum
(tawatur ma’nawi), seperti hadis-hadis yang berkaitan dengan keberanian Ali dan kedermawanan Hatim.
Sebagai signifikansinya adalah meyakinkan wajibnya mengikuti ijma’. Abdallah M. al-Husayn al-“Amiri,
Dekontruksi Sumber Hukum Islam (Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi), Cet. I: Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004), h. 97-99.
7
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2003). h. 110.
8
Al-Maslahah al-Mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan, (maslahah bersifat
umum), menururt istilah ulama Ushul yaitu; maslahah dimana syari’ tidak mensyariatkan hukum untuk
mewujudkans maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau
pembatalannya. Contohnya, maslahah yang karena maslahah tersebut, sahabat mensyariatkan pengadaan
pengadaan penjara atau mencetak mata uang atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil
kemenagan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilannya atau maslahat-maslahat lain
yang harus dituntut oleh keadaan-keadaan darurat kebutuhan dan atau karena kebaikan dan belum
disyari’atkan hukumnya, juga yang tidak terdapat saksi syara’ yang mengakuinya atau membatalkannya.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh (Cet. VII; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000, h. 123. Lihat pula Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar.
Bahasa Indonesia (Cet.II: Jakarta:Balai Pustaka, 1996), h.634.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 95
ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan
tindakan syara’.9
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Maslahah-Mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum
(istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada orang tertentu, tetapi berdasarkan
kepada pendekatan maksud di temukannya hukum syara’ (maqasid asy-syari’ah).
Berdasarkan penelitian para ulama, bahwa syari’ah mengandung kemalahatan
bagi manusia di dalam mengatur hidup dan kehidupannya di dunia ini, hal ini
ditegaskan di dalam QS. al-Anbiya/107; QS. Yunus/57; QS.al-Baqarah/2: 220.
Syari’ah sebagai sendi dan dasarnya adalah kebaikan dan maslahatan hamba,
baik untuk kehidupan duniawi maupun untuk kehidupan ukhrawi.
B. Masa Sahabat Nabi saw dan Tabi’in
Bagi mereka yang mencoba menapak tilas perjalanan tarikh tasyri’ para sahabat
akan menemukan bahwa pada masa itu Islam semakin melebarkan sayapnya untuk
membebaskan banyak negara dari cengkeraman kaum kafir. Perluasan wilayah negara
Islam itu tidak bisa tidak memberi imbas kepada keberlangsungan dan perkembangan
hukum Islam, mengingat bahwa banyak persoalan hukum yang baru dan belum pernah
ditemukan pada masa Rasul masih memegang sulthah altasyri’. Banyaknya persoalan
baru yang belum termuat oleh hukum itu membuat para sahabat mencoba menggali
hukum dengan tetap memperhatikan metode-metode istinbath yang secara tidak
langsung pernah dikemukakan oleh Rasulullah, ijtihad, istinbath atau istidlal yang
dilakukan para sahabat itu, pada fase selanjutnya memang menjadi ajang ikhtilaf.
Ada pihak yang menegaskan bahwa sebenarnya seluruh persoalan hidu[p telah
dibahas secara tuntas dalam al-Qur’an dan Hadis. Karenanya, ijtihad para sahabat itu
perlu diingkari. Sedangkan pihak yang lain menerima ijtihad sahabat, sebatas tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Lebih dari itu, ada lagi beberapa pihak
yang hanya mau menerima ijtihad yang dilakukan oleh sebagian golongan dari para
sahabat.
Pembicaraan kita kali ini bukan untuk ikut terlibat dalam perdebatan panjang
yang tak pernah selesai itu. Tetapi tidak salah kiranya jika dikemukakan beberapa
contoh kasus ijtihad yang dilakukan oleh beberapa sahabat dan disusul oleh seluruh
sahabat kemudian berijma’ atas hasil ijtihad tersebut. Beberapa contoh kasus itu antara
lain Jam’al-Qur’an (pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf).
Meskipun terjadi perbedaan riwayat tentang siapa yang pertama kali mempunyai
ide jam’u al-Qur’an itu, Abu Bakar, Usman atau Ali. Tetapi satu hal bisa dicatat, yaitu
bahwa beberapa sahabat telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sama
sekali oleh Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, telah terjadi sebuah qadhiyah yang
belum pernah termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Selain itu pada masa khilafah
Umar ibn Khattab telah terjadi ijma’ tentang had (hukuman) peminum khamr dari yang
semula 40 menjadi 80 deraan. Ditambah lagi dengan ucapan Umar yang masyhur
9
Malcom H.Keer, Moral and Legal Judgement Indevendent of Relevation Philosophy: Est and
West 18, 1968. h. 279.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 96
tentang hukum qishash bagi pembunuhan yang dilakukan secara berkomplot (qatl aljama’ah bi al- wahid).
Pada masa tabi’in persoalan hidup tentu saja semakin berkembang lebih pesat
dari masa sebelumnya. Maka, tidak jauh beda dengan para pendahulunya, para tabi’in
juga melakukan istinbath dengan berdasarkan Maslahah Mursalah. Karenanya bisa
dikemukakan juga contoh persoalan itu diantaranya adalah beberapa produk hukum
yang dihasilkan oleh Umar ibn Abdul Aziz ketika memegang khilafah.
Disamping itu pada masa ini telah terjadi kodifikasi Hadis beserta ilmu-ilmu
pendukungnya seperti ilmu al-Jarh wa al-ta’dil. Juga dalam riwayat al-Sarkhasy
disebutkan bahwa Ibn Abi Layla menerima kesaksian dari seorang anak kecil. Kesemua
contoh itu meskipun belum tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tetapi pada dasarnya
tidak bertentangan dengan kedua sumber utama hukum Islam itu. Pun ia tidak bisa
dikatakan sebagai bid’ah dhalalah yang dilarang oleh Rasulullah, melainkan bahwa
kasus-kasus itu merupakan istinbath yang didasarkan kepada jins ba’id dari Maqashid
’Ammah Syari’ah Islam.
C. Dalil-dalil Ulama yang menjadikan Hujjah Maslahah Mursalah
Jumhur ulama berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syari’at
yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasanya kejadian yang tidak ada
hukumnya dalam nash dan ijma’ atau qiyas atau istihsan itu disyariatkan padanya
hukum yang dikehendaki oleh maslahah umum, dan tidaklah berhenti pembentukan
hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi syari’ yang mengakuinya.
Pertama, yaitu bahwa maslahah ummat manusia itu selalu baru dan tidak ada
habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia
yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan. Serta
pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahah yang diakui oleh syari’ saja,
maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan ummat manusia pada berbagai
zaman dan tempat. Dan pembentukan hukum itu tidak memperhatikan roda
perkembangan ummat manusia dan kemaslahatannya. Hal ini tidak sesuai karena dalam
pembentukan hukum tidak termaksudkan merealisir kemaslahatan ummat manusia.
Kadua, bahwasanya orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat,
tabi’in dan para mujtahid, maka jadi jelas, bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa
hukum untuk merealisir maslahah secara umum, bukan karena adanya saksi yang
mengakuinya. Maka Abu Bakar telah menghimpun beberapa lembaran yang berserakan,
yang telah ditulis di dalamnya al-Qur’an dan memerangi para penghalang zakat.
Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan
hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat10, yaitu:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemaslahatan yang didukung nash secara umum;
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga
hukum yang ditetapkan melalui al-maslahah al-mursalah itu benar-benar
menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan;
10
H. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Cet. 1; Jakarta: Logos 1996), h. 123
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 97
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi
atau kelompok kecil tertentu.
Adapun golongan Syafi’iyyah,11 pada dasarnya juga menjadikan al-maslahah
al-mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya
ke dalam qiyas. Misalnya, ia mengqiyaskan hukuman bagi peminum minuman keras
kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang
yang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh
orang lain berbuat zina. Al-Gazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya
membahas permasalahan al-maslahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang
dikemukakan al-Gazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam
mengistinbathkan hukum, yaitu:
1. Malahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’;
2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’;
3. Maslahah itu termauk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian terhadap kehujjahan al-maslahah al-mursalah pada
prinsipnya beberapa ulama menerimanya sebagai salah satu alas an dalam menetapkan
hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda
pendapat.
D. Perhatian Hukum terhadap Maslahah, Baik secara Umum maupun Khusus
Secara umum, Allah swt. berfirman dalam QS. Yunus /10: 57-58:
“Wahai para manusia, telah dating kepadamu nasihat Tuhanmu dan obat bagi
apa yang ada di dalam hati dan petunjuk dan Rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Katakanlah! Berkat anugerah Allah dan Rahmat-Nya, dank arena hal
itu hendaknya mereka bergembira, karena hal itu lebih baik daripada apa yang
mereka kumpulkan”.
1.
2.
3.
4.
Kandungan dari dua ayat tersebut di atas memiliki beberapa aspek:
Aspek pertama: Firman Allah swt. “Telah dating kepadamu nasihat dari
Tuhanmu”, di mana Allah swt. perlu untuk menasehati, padahal di dalamnya
terdapat kemaslahatan mereka yang paling besar, karena dengan member nasihat,
Allah swt. memberikan benteng dari kehinaan dan petunjuk serta hidayah.
Aspek kedua: Allah swt. telah memberi sifat kepada al-Quran sebagai “ obat bagi
apa yang ada di dalam hati”, dalam arti obat terhadap keraguan dan yang
semacamnya, dan hal itu merupakan kemaslahatan yang Agung.
Aspek ketiga: Allah swt menyifati al-Quran sebagai petunjuk.
Aspek keempat: Allah swt member karakter al-Quran sebagai Rahmah, karena
dalam petunjuk yang benar dan Rahmat terdapat puncak maslahah
11
Ibid.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 98
5. Aspek kelima: menambahkan aspek-aspek tersebut dengan anugerah (fadl) dan
Rahmat Allah, yang mana tidak muncul darinya kecuali maslahah yang agung.
6. Aspek keenam: yaitu perintah Allah swt kepada mereka supaya bergembira
karenanya. Firman Allah “ Maka dengan hal itu, hendaknya mereka bergembira”,
bermakna ucapan selamat kepada mereka. Padahal kegembiraan dan ucapan
selamat hanyalah karena adanya maslahah yang agung.
7. Aspek ketujuh: adalah firman Allah swt “Ia lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan”. Apa yang mereka kumpulkan merupakan bagian dari kemaslahatan
mereka. Tetapi, al-Quran dan anugerahNya lebih menguntungkan daripada
kemaslahatan mereka, padahal yang lebih menguntungkan daripada maslahah
merupakan puncak maslahah.
Tujuh aspek dari ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum memiliki
kepedulian terhadap kemaslahatan orang-rang yang secara hukum bertanggung
jawab (al-mukallifin) dan mempertimbangkannya. Perhatian terhadap kemaslahatan
manusia dalam jiwa, harta dan kehormatan sebagai bukti, secara keseluruhan tidak
ada satu pun ayat dalam kitabullah yang tidak mengandung satu atau lebih aspekaspek kemaslahatan manusia
E. Masa Imam Mazhab
1. Imam Malik bin Anas
Beliau dikenal sebagai al-Azim bagi ulama yang mengakui dan menerima alMaslahah al-Mursalah sebagaai komponen hukum Islam. Justru dalam beberapa
riwayat, seperti telah disinggung di atas, hanya beliaulah yang mengakui keberadaan alMaslahah al-Mursalah.12 Dan dalam perkembangan selanjutnya,13 mazhab Malikiy
memang tercatat sebagai mazhab yang paling banyak memakai dalil-dalil hukum selain
al-Qur’an, al-Hadis, Ijma, Qiyas. seperti ‘Amal Ahl al-Madinah.
2. Imam Ahmad Ibn Hambal
Beliau terkenal sebagai orang kedua setelah Imam Malik dalam mengambil dan
mengakui Maslahah Mursalah. Dalam kitab I’lam al-Muaqqi’in disebutkan secara
12
html http://sugihan.multiply.com/journal/item/
Salah satu tokoh al-Maslahah al-Mursalah yaitu Imam Malik dan para pengikutnya dan dari
mazhab yang ekstrim al-Thufiy. Oleh ulama yang menerima maslahah Mursalah memberikan persyartan
di dalam menggunakan al-Maslahah al-Mursalah. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Maslahah Mursalah hanya berlaku di dalam mu’amalah, dalam arti hubungan manusia dengan
manusia dan tidak berlaku di dalam kaefiyat ibadah karena kaefiyat ibadah tetap tidak berubah-ubah;
b. Al-Maslahah di sini haruslah keamaslahatan yang hakiki bukan yang diragukan, dalam arti mengambil
maslahat, membawa manfaat dan menolak kemudharatan;
c. Bersifat umum bukan kemaslahatan yang sifatnya individual, dalam arti kemaslahatan yang memberi
manfaat kepada umumnya umat dan menolak kemudharatan dari umumnya umat;
d. Al-Maslahat di sini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang berupa almaqashid al-Syari’ah dan dalil-dalil yang kulliy serta nash-nash yang qath’i wurudnya dan dalalahnya.
Lihat H.A.Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000). H. 182-3.
13
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 99
mendetail beberapa dalil-dalil istinbat yang dipakai oleh Imam Hambali dan diantaranya
terdapat Maslahah-Mursalah.
3. Imam Syafi’i
Beberapa kalangan berpendapat bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling
keras menolak al-Maslahah al-Mursalah. Buktinya adalah bahwa dalam beberapa
persoalan fiqh, Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik yang kebetulan
sedang beristinbath dengan memakai al-Maslahah al-Mursalah. Tetapi, perbedaan
masalah furu’ (fiqh) antara kedua Imam tersebut tidak memastikan adanya perbedaan
ushul diantara keduanya. Lebih dari itu, meskipun dalam al-Risalah akan kita temukan
bahwa sebenarnya Imam Syafi’i mengambil dan mengakui al-Maslahah al-Mursalah
dalam beristinbath. Hal ini dikuatkan oleh banyak ulama, antara lain Ibnu Hajar dalam
kitab Fath al-Mubin, Imam Haramain dalam al-Burhan dan al-Zanjany dalam Takhrij
al-Furu’ ’ala al-Ushul.
4. Imam Abu Hanifah
Meskipun beliau tidak pernah menyinggung perihal al-Maslahah al-Mursalah
dalam beristinbath, tetapi hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau mengingkarinya,
sebab dalam beberapa kitab Abu Yusuf al-Hanafiy yang mengupas tentang beberapa
ikhtilaf antara Imam Hanafi dengan Ibn Abi Layla ditemukan bahwa sebenarnya Imam
Hanafi juga mengakui al-Maslahah al-Mursalah, Apalagi beliau terkenal sebagai alza’im dari para ahl al-ra’yi yang sudah barang tentu akan dekat dengan al-Maslahah alMursalah.
III. Simpulan
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Al-Maslahah al-Mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali
hukum Islam, namun tidak berdasarkan pada orang tertentu, tetapi berdasarkan
kepada pendekatan maksud di temukannya hukum syara’ (al-maqasid al-syari’ah).
2. Bahwa beberapa sahabat telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sama
sekali oleh Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, telah terjadi sebuah qadhiyah yang
belum pernah termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Selain itu pada masa khilafah
Umar ibn Khattab telah terjadi ijma’ tentang had (hukuman) peminum khamar dari
yang semula 40 menjadi 80 dera. Ditambah lagi dengan ucapan Umar yang masyhur
tentang hukum qishash bagi pembunuhan yang dilakukan secara berkomplotan tidak
berdasarkan pada orang tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud
ditemukannya hukum syara’ (al-maqasid al-syari’ah).
3. Al-Maslahah al-Mursalah pada masa tabi’in yaitu bisa dikemukakan juga contohnya
persoalan diantaranya adalah beberapa produk hukum yang dihasilkan oleh Umar ibn
Abdul Aziz ketika memegang khilafah. Disamping itu pada masa ini telah terjadi
kodifikasi Hadis beserta ilmu-ilmu pendukungnya seperti ilmu al-Jarh wa al-ta’dil.
Juga dalam riwayat al-Sarkhasy disebutkan bahwa Ibn Abi Layla menerima kesaksian
dari seorang anak kecil.
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat . . . 100
Daftar Pustaka
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam
Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah Mursalah
dan relevansinya dengan pembaruan hukum Islam,
Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002.
Abdallah M. al-Husayn al-‘Amiri, Dekontruksi Sumber Hukum Islam (Pemikiran
Hukum Najm ad-Din Thufi), Cet. I: Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II
Jakarta:Balai Pustaka, 1996.
H.A.Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
H. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Cet. 1; Jakarta: Logos 1996.
Malcom H.Keer, Moral and Legal Judgement Indevendent of Relevation Philosophy:
Est and West 18, 1968
Weal B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, alih bahasa oleh
Kusnadiningrat, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
html http://sugihan.multiply.com/journal/item/
http://Makalah-fifa.com.blogspot.com
http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/05/02/
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/22/masalihul mursalah
http://uin-suska.ac.id/ushuluddin//attachments/
Jurnal al-Ahkam Vol. VI No. I, Juni 2016
Download