BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Hibah. Pengalihan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan tentang Hibah.
Pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain, dapat melalui proses penghibahan tanah
yang merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian
apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima
pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi hibah masih hidup. 1
1. Pengertian Hibah menurut Hukum Adat
Pengertian hibah menurut hukum adat adalah suatu pemberian sukarela kepada orang
lain tanpa mengharapkan imbalan suatu apapun. Hibah dalam pengertian lain adalah
pemberian seluruh ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih
hidup.2
Masalah hibah ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat adat sampai
sekarang, karena mereka menghendaki agar harta tersebut dapat diberikan sesuai dengan
kehendak pemilik harta, disamping pemilik harta juga ingin mengetahui kepada siapa
hartanya diberikan sebelum ia meninggal dunia.
Pengertian hibah dalam hukum adat adalah pemberian harta peninggalan diwaktu
masih hidup pemiliknya dan diperuntukkan buat dasar kehidupan materil anggotaanggota keluarga. Penghibahan itu cirinya ialah penyerahan barangnya berlaku dengan
seketika.3 Waktu anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tua,
biasanya anak-anak ini dibekali sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan
dengan rumahnya, beberapa ekor ternak dan lain sebagainya. Barang-barang itu
semuanya sudah merupakan bagiannya dalam harta benda keluarga, yang kelak
diperhitungkan pada pemberian harta peninggalan sesudah matinya kedua orang tuanya.4
Dalam hukum adat juga dikenal dengan istilah hibah wasiat, yang maksudnya adalah
orang tua memberikan hartanya dengan cara yang layak menurut anggapnya, ketika ia
1
2
3
4
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika,2010, hlm. 71
Soerojo Wignojodipoero ,Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973,hlm. 204
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,Jakarta,1994,hlm.210
Ibid,hlm 210
masih hidup.5 Penghibahan ini dilakukan untuk mencegah perselisihan, keributan dan
cekcok dalam membagi harta peninggalannya kemudian hari.
2. Pengertian hibah menurut hukum Islam
Adapun pengertian Hibah menurut Hukum Islam, cukup banyak ditemukan dalam
literatur hukum Islam, walaupun pada prinsipnya semuanya sama.
sebenarnya berasal dari bahasa Arab,
Kata hibah ini
yang artinya memberikan atau menghadirkan,
sedangkan hibah adalah kata benda dalam bentuk, yang artinya pemberian.6
Pengertian hibah menurut bahasa adalah suatu pemberian yang lepas dari penggantian
dan maksud tertentu.7 Menurut Syamsuddin Al Muqdasiy menerangkan bahwa hibah itu
adalah pemberian seseorang yang hidup dengan tiada perjanjian untuk mendapatkan
balasan yang baik.8 Hibah adalah perbuatan hukum sepihak. Dalam hal ini pihak yang
satu memberikan atau berjanji akan memberikan benda kepunyaannya kepada pihak lain
dengan tidak mendapatkan pertukaran/penggantian/imbalan.9 Dalam Ensiklopedia Islam
diterangkan bahwa hibah artinya berhembusnya atau berlalunya angin. Menurut bahasa
berarti suatu pemberian terhadap orang lain, yang sebelumnya orang lain itu tak punya
hak terhadap benda tersebut. Hibah dalam pengertian tersebut bersifat umum, baik untuk
bersifat materi maupun untuk yang bersifat non materi. Para Fukaha (ahli Fiqh)
mendefinisikan sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada
orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi.10
Adapun pengertian hibah secara istilah adalah suatu akad yang berisi pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup dengan tiada mengharap suatu
imbalan.11 Secara lebih mendalam, istilah hibah ini berkonotasi memberikan hak milik
oleh seseorang kepada orang lain tanpa memberikan imbalan dan jasa. Oleh sebab itu,
istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah. 12 Ringkasnya, hibah
5
6
7
8
9
10
11
12
Soerojo Wignojodipoero, op.cit, hlm.174
Al Munawir, Kamus Bahasa Arab,Pustaka Progressif Surabaya,1997,hlm 385
Syamsudin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al Khatib, Mugnal Muhtaz, Juzz III, Darul Kutubil Ilmiuyyah,
Beirut- Libanon,1994,hlm.558
Syamsudin Al Muqdasiy Abi Abdillah Muhammad Ibnu Muflih,Kitabul Furu,Juz I kamus Al Munawir,Pustaka
Progressif,Surabaya,1997
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta,1996,hlm 71
Ensiklopedia Islam, Depdiknaknas,faskal II, Inchtiah Baru Van Hoeve,Jakarta,hlm 106
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,jilid III,Darul Fathi lil I’lamil Arabiy,Al Qahirah,1410H,hlm 417
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997,hlm 74
secara umum bisa juga mengandung tindakan hukum hadiah atau sedekah. Keduanya
merupakan pemberian yang bersifat sukarela dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Maka hibah secara khusus meliputi hal –hal khusus dibawah ini :
a. Ibraaa, artinya menghibahkan hartanya kepada orang lain yang berhutang.
b. Sadaqah, artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di akhirat.
Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan
yang mendasar antara sedekah dan hibah. Para ulama membagi sedekah itu kepada
sedekah wajib dan sedekah sunah.
c. Hadiah, artinya imbalan yang diberikan seseorang karena seseorang tersebut telah
mendapatkan hibah.13
Pada dasarnya adalah hadiah dari hibah. Hanya saja kebiasaannya, hadiah itu lebih
dimotivasi oleh rasa terimakasih dan kekaguman seseorang.14
3. Pengertian hibah menurut KUHPerdata
Sedangkan pengertian hibah menurut KUHPerdata dapat kita temukan dalam Pasal
1666 yang berbunyi:
"Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”15
Dengan melihat ketentuan diatas, hibah merupakan suatu perjanjian yang diadakan
antara pemberi dan penerima hibah , pada waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan
dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Perjanjian hibah merupakan perkecualian dari perjanjian umum yang ada di dalam
KUHPerdata, karena hanya satu pihak saja yang berprestasi yaitu pemberi hibah,
sedangkan pihak lawannya yaitu penerima hibah tidak memberikan kontraprestasi
sebagai imbalan. Perjanjian ini disebut perjanjian cuma-cuma, yang artinya :
"Pihak penerima hibah tidak berkewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada
pemberi hibah atas kemurahan hati benda miliknya tanpa minta kontra prestasi, perbuatan
13
14
15
Sayyid Sabiq, log.cit, hlm 417
Helmi Karim,log.cit, 1997,hlm 74
Pasal 1666 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
pemberi hibah harus timbul dari kemauan suka memberi agar perbuatan itu dapat diberi
nama hibah.”16
B. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia
Kebanyakan tata hukum dari negara-negara sedang berkembang terdiri dari hukum
tradisional dan hukum modern. Negara berkembang biasanya mewarisi tata hukum yang
besifat pluralistis dimana sistem hukum tradisional modern berlaku berdampingan dengan
sistem hukum modern. Di Indonesia melalui Pasal Peralihan UUD 1945, masih berlaku
sistem hukum Pluralisme. Pluralisme itu adalah berlakunya hukum Eropa disamping hukum
Adat. Hukum Adat sebagai hukum masyarakat Indonesia yang bersifat tradisional.
Ciri-ciri hukum tradisional adalah sebagai berikut;
1. Hukum tradisional mempunyai sifat kolektivisme yang kuat;
2. mempunyai corak magis-religius, yaitu yang berhubungan dengan pandangan hidup
masyarakat asli;
3. Sistem hukumnya diliputi pikiran yang serba konkret, hukum tradisional sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan yang konkret yang terjadi
dalam masyarakat;
4. Sistem hukum tradisional bersifat visual artinya hubungan-hubungan hukum dianggap
terjadi hanya karena ditetapkan dengan ikatan yang dapat dilihat atau dengan suatu tanda
tampak.17
Sistem hukum di Indonesia mengenal hukum tertulis dan tidak tertulis. Pengakuan
terhadap keberadaan hukum tidak tertulis secara tersurat dalam Penjelasan Umum UUD
1945 yang menyatakan “ Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari
hukumnya dasar negara itu. Undang –Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara
meskipun tidak tertulis“
16
RM.Suryodiningrat, Perikatan-perikatan yang Bersumber Perjanjian, Alumni ,Bandung, hlm 11
17
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum,Sinar Baru,hlm 54
Hukum tertulis meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, UU
dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Perundang-undangan
kolonial yang menurut Aturan Peralihan UUD 1945 masih berlaku untuk sementara waktu.
Adapun hukum tidak tertulis meliputi hukum dasar tidak tertulis, yaitu kebiasaan- kebiasaan
ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan fungsi
kenegaraan (biasa disebut Konvesi Ketatanegaraan atau Constitutional Convention ) dan
hukum tidak tertulis lainnya, seperti hukum Adat dan hukum kebiasaan yang hidup dan
dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatannya. 18 Aturan hukum tidak
tertulis terbentuk bukan karena ditetapkan oleh pimpinan persekutuan, melainkan tumbuh
dari tahapan kebiasaan, kemudian dari kebiasaan ke tata kelakuan, dari tata kelakuan ke adat
istiadat, dari adat istiadat ke norma hukum. Semua itu berlangsung setelah nilai-nilai yang
dihayati oleh paguyuban masyarakat itu mengendap pada masing-masing tahapannya,
dibawah saringan cita hukum dan cita moral yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. 19 Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari
hukum Nasional yang eksistensinya sejak jaman kolonial secara tegas dimaksudkan sebagai
aturan bagi golongan pribumi ( Pasal 131 IS). Setelah merdeka, selain masih dianut
pluralisme hukum berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, yang antara lain masih
menempatkan hukum adat sebagai hukum masyarakat pribumi. Pancasila dan UUD 1945
telah memberikan landasan untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum Nasional,
dalam arti menarik segi-segi baik dari hukum adat dan membuang segi-segi yang tidak
relevan dengan perkembangan Iptek20
Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan perundang-undangan (hukum
tertulis), sistem Hukum Nasional mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis
jika ada benturan. Tetapi jika hukum tertulis tidak mengatur maka hukum tidak tertulislah
yang terakhir mengaturnya. Jadi, peran hukum tidak tertulis bersifat anvullend (mengisi)
terhadap hukum tertulis. Sistem hukum tertulis dan hukum tidak tertulis keduanya saling
melengkapi satu sama lain, meskipun hukum tertulis mendapat tempat yang diutamakan.
18
19
20
A.Hamid S,Attamimi, Pengembangan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Seminar Hukum Nasional ke VI,Tanggal
25-29 Juli 1994,BPHN,1994,hlm 119
Ibid,hlm 119
Sarjono, Hukum Kebiasaan dalam Sistem Hukum Nasional, BPHN, Hasil Penelitian tentang Peranan Hukum Kebiasaan
dalam Hukum Nasional,1988/1989,hlm 35
Pembentukan hukum adat berbeda dengan undang-undang, hukum adat tetap mempunyai
kekuatan yang legal, karena masyarakat mentaatinya. Baik tertulis maupun tidak tertulis
masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahan.21 Mengenai corak hukum Adat, F.D.
Holleman, dalam pidato inagurasinya De Commune trek in het Indonesische rechtsleven,
menyimpulkan ada empat sifat umum hukum adat sebagai satu kesatuan ; sifat religio magis,
sifat komunal, sifat kontan, dan sifat konkret (visual).22
Hilman Hadikusuma mengatakan dalam hukum adat Indonesia yang normatif pada
umumnya menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan
visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak terkodifikasi,
musyawarah dan mufakat.23 Adapun corak hukum adat, dapat dikemukakan sebagai berikut ;
1. Corak keagamaan (religio magis), artinya perilaku hukum atau kaidah hukumnya
berkaitan dengan kepercayaan terhadap gaib dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Corak kebersamaan (komunal), artinya lebih mengutamakan kepentingan bersama,
dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan antara
anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong. Menurut pandangan hukum Adat,
manusia merupakan mahluk dalam seluruh lapangan hukum adat. Kepentingan individu
selalu diimbangi dengan kepentingan umum.
3. Corak tunai (kontan), artinya suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana yang serba
konkret. Dengan suatu perbuatan yang nyata, suatu perbuatan yang simbolis atau suatu
pengucapan, maka tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika. Prestasi dan
kontra prestasi dilakukan secara bersama-sama pada waktu itu juga. Dalam hukum Adat
segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara kontan adalah
diluar akibat hukum, perbuatan hukum telah selesai seketika itu juga.
4. Corak konkret (visual), konkret artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual artinya dapat
terlihat, tampak, terbuka tidak tersembunyi. Cara berpikir visual adalah dalam hal-hal
tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal dimaksud, diinginkan, atau
dikehendaki ditransformir atau diberi wujud suatu benda atau ditetapkan dengan suatu
21
22
23
Rosjidi Ranggawidjaja ,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju,1998,hlm 40
A.Hamid S,Attamimi ,op.cit,hlm 52
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia,Alumni, Bandung, 1983, hlm 33
benda yang kelihatan. Dalam hukum adat dikenal panjer, paningset adalah perbuatan
yang kelihatan atau simbolik dari objek yang dikehendaki. Sifat hubungan hukum berlaku
dalam hukum adat itu adalah terang dan tunai.
5. Tidak dikodifikasi, maksudnya hukum adat sebagian besar tidak tertulis, sebagian lagi
ada yang tercatat dalam aksara bahasa daerah, dan ada yang dibukukan dengan cara yang
tidak sistematis. Hukum Adat tidak dikodifikasi seperti hukum barat ( Eropa), yang
disusun secara teratur dalam kitab undang-undang.
6. Sifat tradisional, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke
anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
yang bersangkutan. Peraturan yang turun temurun ini mempunyai keistimewaan yang
luhur sebagai pusaka yang dihormati, karena itu harus dijaga terus menerus. Pelanggaran
terhadap sesuatu yang diterima dari nenek moyang, diyakini dapat mendatangkan
malapetaka kepada masyarakat.
7. Dapat berubah dan menyesuaikan diri (dinamis), maksudnya hukum adat dapat berubah
menurut keadaan, waktu dan tempat. Setiap perkembangan masyarakat hukum akan
selalu menyesuaikan diri sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
8. Sifat terbuka (supple), artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur asing yang datang
dari luar asal saja tidak bertentangan jiwa hukum adat itu sendiri.
9. Sifatnya sederhana, artinya bersahaja, tidak rumit, tidak beradministrasi, bahkan tidak
tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai. Sifat
sederhana dapat dilihat pada transaksi, yang dilaksanakan tanpa surat menyurat hanya
lisan saja. Demikian juga dengan pembagian warisan, jarang dilakukan secara tertulis.
10. Musyawarah dan mufakat, maksudnya adalah hukum adat mengutamakan musyawarah
dan mufakat, di dalam keluarga, kekerabatan dan ketetanggaan, baik dalam memulai
pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat peradilan dalam
menyelesaikan perselisihan. Dalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan
penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat.24 Apabila
dibandingkan dengan hukum barat (Eropa), maka sistematika hukum adat sangat
sederhana, bahkan kebanyakan tidak sistematis. Hukum adat tidak mengenal perbedaan
24
Djamanat Samosir, op.cit,13,hlm 50 - 52
antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak
perorangan, dan tidak membedakan perkara perdata atau perkara pidana.25
R Soebekti berpendapat bahwa bagi hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan
menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme merupakan suatu tuntutan
kepastian hukum. Adanya sikap yang ditunjukkan diatas, merupakan suatu perkembangan
dari sistem kontan/konkret ke arah yang bersifat konsesuil. Karena itu juga sudah
merupakan suatu pilihan hukum dalam UUPA.
Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah, dinyatakan
dalam Konsiderans/ Berpendapat UUPA. Pernyataan mengenai Hukum Adat dalam UUPA
kita jumpai juga dalam :
1. Penjelasan Umum angka III ( 1)
2. Pasal 5
3. Penjelasan Pasal 5
4. Penjelasan Pasal 16
5. Pasal 56,dan secara tidak langsung juga dalam Pasal
6. Pasal 58.
Arti dan maksud Hukum Adat dalam UUPA adalah; “ hukum aslinya rakyat pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsurunsur Nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.26 Dalam pandangan hukum bahwa
hubungan manusia dengan tanah menjadi semakin penting, karena selain hak komunal ada
juga hak perorangan. Hak komunal merupakan hak kodrati manusia sebagai mahluk sosial,
namun agar manusia dapat hidup bertahan harus didukung oleh hak pribadi.27
Di Indonesia, individualisasi hak atas tanah terus berproses secara evolusi. Terjadinya
individualisasi hak atas tanah dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Proses perkembangan penduduk yang terus meningkat, sehingga semakin menambah
proses percepatan perpindahan penggunaan tanah mengakibatkan mulai tersa kekurangan
25
26
27
Hilman Hadikusuma, op.cit,hlm 54
Boedi Harsono, Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman,Yogyakarta,1975
Djamanat Samosir, op.cit,hlm 100
tanah yang tidak seimbang dengan perkembangan jumlah penduduk dan menimbulkan
rasa enggan untuk melepaskan tanah karena sulitnya mendapatkan tanah pengganti.
2. Kemajuan ekonomi berupa hasil-hasil produksi pertanian, peternakan, membawa akibat
bidang-bidang tanah tertentu mempunyai nilai lebih.
3. Menurunnya pengaruh dan kekuasaan hak persekutuan hukum yang jatuh ke tangan para
raja atau ke tangan kaum penjajah (ketika itu )
4. Peralihan pengaruh dan kekuasaan dari penguasa tradisional (adat) ke tangan raja atau
penjajah, ternyata tidak bersifat menyeluruh karena faktor komunikasi dan hilangnya
pengaruh raja sehingga terjadi suatu stagnasi kekuasaan.
5. Pengaruh yang datang dari luar.28
Proses indivudualisasi tanah itu telah diantisipasi UUPA, sebagaimana dapat disimak
dari ketentuan pada Pasal 16 UUPA, telah ditetapkan macam-macam hak atas tanah yang
dapat dipunyai orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan hukum sebagai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil dan hak yang tidak termasuk dalam hak
tersebut yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Dalam konteks macam-macam hak atas tanah yang disebutkan pada Pasal 16 UUPA, hak
ulayat tidak dimasukkan dalam pengertian hak atas tanah.
Hukum Indonesia dalam arti hukum positif bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut pandangan UUD 1945 yang tercantum dalam Pembukaan berpangkal pada
kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Dalam kalimat selanjutnya dari Pembukaan itu
menunjukkan konsep lebih lanjut dalam garis besar dari isi kemerdekaan,yang menurut
paham Indonesia menjadi sumber materiil UUD 1945. Hukum dasar yang dimaksud adalah
yang merupakan wujud rumusan dari filsafat Pancasila. Hukum dasar tersebut merupakan
penjabaran dari Rechtsidee. Sumbernya Rechtsidee itu ialah nilai-nilai budaya Indonesia.
Bila ditelusuri
lebih jauh, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya Indonesia,
khususnya nilai-nilai hukumnya, maka dari penjelasan dan pembukaan UUD 1945
terungkap dengan jelas bahwa nilai-nilai hukum yang bersangkutan adalah apa yang didalam
28
Ibid,,hlm. 101
ilmu pengetahuan hukum kita dewasa ini dinamakan hukum adat29. Kesimpulan tersebut
diperkuat dengan pencantuman dalam UUPA yang mempunyai arti bahwa hukum agraria/
hukum pertanahan nasional berdasarkan hukum adat sebagai falsafah dasar nya. Hukum adat
dipilih sebagai landasannya mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang
bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak, perlu disempurnakan karena dalam
perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat
swapraja. Hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional mempunyai arti adalah asasasas hukum adat sebagai nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang bersifat nasional.
Artinya asas-asas hukum yang sudah dihilangkan sifat lokalnya atau sifat kedaerahannya.
Hukum adat adalah hukumnya masyarakat yang masih sederhana, dengan lingkup personal
dan teritorial yang terbatas. Hukum Agraria Nasional dimaksudkan sebagai hukumnya
masyarakat modern, dengan lingkup personal yang meliputi seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.30
Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian
kepentingan masyarakat dalam konteks negara modern dan dunia internasional. Dalam
UUPA, pernyataan mengenai hukum adat dapat ditemukan dalam Pasal 5 UUPA ditegaskan
bahwa dasar hukum agraria nasional adalah Hukum Adat.Pasal 5 UUPA menyatakan
“Hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatunya dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.“
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan UUPA adalah hukum positif hukum adat,
artinya hukum adat khususnya hak-hak masyarakat hukum adat dinyatakan masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang nasional. UUPA adalah the living law.
Terhadap pernyataan itu secara tepat A.P Parlindungan,yang mengatakan “ Hukum adat
adalah jiwa dari UUPA “31
Ketentuan UUPA yang mengatur kedudukan hukum adat, sebagai berikut:
29
30
31
Ibid,hlm 185
Ibid,hlm 186
Ibid,hlm 186
1. Konsiderans bagian Berpendapat ; Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan hukum adat
tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
2. Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
3. Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
4. Penjelasan Pasal 5 : penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru.
5. Pasal 22 ayat (1) : Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
6. Pasal 26 ayat (1) : jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
mengindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7. Pasal VI Konversi : hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama
sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu : hak
vruchtgebruik, grand controleur, bruikleen, gamgam bauntuak , anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak
pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mula berlakunya undangundang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undangundang ini.
8. Pasal VII Konversi :
a. Hak gogolan, pekulen, atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat (1)
b. Hak gogolan, pikulen , atau sanggan yang tak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut
pada Pasal 41 ayat (1), memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh
pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini.
c. Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen, atau sanggan bersifat
tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
9. Penjelasan Umum Bagian II angka 1 : Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Republik
Indonesia
yang kemerdekaannya
diperjuangkan
oleh
bangsa
secara
keseluruhan, menjadi hak-hak pula bangsa Indonesia.
10. Penjelasan Umum Bagian II angka 3 : Bertalian dengan hubungan antara bangsa, bumi
serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2, maka
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksudkan akan mendudukkan hak itu
pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut diatas, UUPA memberikan kedudukan
sebagai posisi dasar. Hukum Adat berlaku dalam kerangka UUPA sebagai kesatuan tidak
terlepas dari UUPA itu sendiri. Dengan perkataan lain, pasal-pasal dalam UUPA merupakan
kristalisasi dari asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat. Dengan
demikian ditinjau dari segi materiil pembentukan hukum agraria nasional, hukum adat
dijadikan sebagai dasar pembentukannya telah sesuai yakni hukum yang sebagian besar
dianut oleh rakyat Indonesia sebagai hukum adat.32 Karena itu dapat disimpulkan bahwa
hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional mempunya 2 ( dua )
kedudukan, sebagai berikut :
1. Hukum adat sebagai dasar utama
Hukum adat sebagai dasar utama hukum agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans
UUPA dibawah perkataan “ Berpendapat “ dan dalam Penjelasan Umum III No.1.
2.
32
Hukum adat sebagai pelengkap.
Djamanat Samosir,op.cit,hlm 190
Hukum adat sebagai pelengkap mempunyai arti, yaitu bahwa pembentukan hukum
nasional yang mewujudkan kesatuan hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum
kepada pemegang hak memerlukan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses itu
belum selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan
pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum.33
Setelah amandemen UUD 1945 mengenai hukum adat semakin diperjelas posisi dan
kedudukannya dalam sistem hukum nasional, yang dapat dilihat dalam Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 yang berbunyi “ negara mengakui dan menghormati kekuatan-kekuatan
masyarakat hukum dapat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dengan UU.“
C. Macam-macam Hak Atas Tanah menurut UUPA
Adapun tujuan diundangkannya UUPA sebagaimana dimuat dalam penjelasan umumnya,
antara lain :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara
dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum
pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat
Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan diundangkan UUPA dapat terwujud melalui dua
upaya :
1. Tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara
konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-ketentuannya.
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah
untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Dan bagi pihak
yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur, untuk memperoleh
33
Ibid,hlm 191
keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang
akan dilakukan, serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahan.
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut dengan tanah yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada orang yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil
manfaat dari hak yang dihakinya. Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak perseorangan
atas tanah. Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada
pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum)
untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari
tanah tertentu.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria mengenai hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 16 di mana dikenal adanya jenisjenis hak atas tanah, antara lain :
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Sewa;
6. Hak Membuka Tanah;
7. Hak Memungut Hasil Hutan.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hakhak atas tanah dalam dua bentuk :
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama
dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik
(HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa
atas tanah pertanian.
Adapun pengertian macam-macam hak atas tanah yang terdapat dan diatur dalam Pasal
16 UUPA adalah:
1. Hak Milik
Dalam Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa:
1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dalam Pasal 21 UUPA disebutkan tentang subyek yang dapat mempunyai Hak Milik,
yaitu :
1) Hanya Warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik.
2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik
dan syarat-syaratnya (Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang
Penunjukan Badan- badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah).
3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh Hak Milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian
pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak Milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara,
dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
4) Selama
seseorang
di
samping
kewarganegaraan
Indonesianya
mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam Ayat (3) Pasal ini.
Tentang bagaimana terjadinya Hak Milik disebutkan dalam Pasal 22-UUPA, bahwa :
1) Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2) Selain cara sebagai yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini, Hak Milik terjadi karena :
a) Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah (Permenagria/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan).
b) Ketentuan undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 23 UUPA disebutkan bahwa :
1) Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hakhak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19.
2) Pendaftaran termaksud dalam Ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya Hak Milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Dalam Pasal 24 UUPA disebutkan bahwa :
Penggunaan tanah Hak Milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan
perundang-undangan (UU Nomor 4 Tahun 1996).
Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak-Tanggungan (Pasal 25
UUPA).
Dalam Pasal 26 UUPA disebutkan bahwa :
1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP Nomor 24 Tahun 1997).
2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan
Hak Milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21
Ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta
semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27 UUPA menyebutkan tentang hal-hal yang menyebabkan hapusnya Hak Milik
apabila:
1) Tanahnya jatuh kepada negara:
a) Karena pencabutan berdasarkan Pasal 18 (UU Nomor 2 Tahun 1961)
b) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya (Keppres Nomor 55 Tahun
1993)
c) Karena diterlantarkan.
d) Karena ketentuan Pasal 21 Ayat (3) dan Pasal 26 Ayat (2) UUPA.
2) Tanahnya musnah.
2. Hak Guna Usaha
Dalam Pasal 20 UUPA disebutkan pengertian Hak Guna Usaha :
1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
2) Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan
ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal
yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman
3) Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dalam Pasal 29 UUPA disebulkan tentang jangka waktu Hak Guna Usaha, yaitu:
1) Hak guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun
2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna
usaha-usaha untuk jangka waktu paling lama 35 tahun
3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu
yang dimaksud dalam Ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 25 tahun.
Pasal 30 UUPA menyebutkan bahwa :
1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah :
a) Warga Negara Indonesia
b) Badan- hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam Ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu
(1) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak
Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak
itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 31 UUPA disebutkan bahwa Hak guna Usaha terjadi karena penetapan
Pemerintah.
Pasal 32 UUPA menyebutkan bahwa :
1) Hak guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19 UUPA
2) Pendaftaran termaksud dalam Ayat (l) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhir.
Dalam Pasal 33 UUPA disebutkan bahwa Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Hak Tanggungan (diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan).
Pasal 34 UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena:
1) Jangka waktunya berakhir
2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4) Dicabut untuk kepentingan umum
5) Diterlantarkan
6) Tanahnya musnah
7) Ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (2) UUPA.
3.
Hak Guna Bangunan
Definisi Hak Guna Bangunan disebutkan dalam Pasal 35 UUPA, adalah:
1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30
tahun
2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam Ayat (1) dapat diperpanjang
dengan jangka waktu paling lama 20 tahun
3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dalam Pasal 36 UUPA disebutkan bahwa .
1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah :
a) Warga Negara Indonesia
b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia
2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat, yang tersebut dalam Ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu
satu (1) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak
Guna Bangunan,
jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna
Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu
tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
pemerintah.
Pasal 37 UUPA menjelaskan tentang terjadinya Hak Guna Bangunan:
1) Mengenai tanah yang langsung dikuasai oleh Negara karena penetapan pemerintah
2) Mengenai tanah milik karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah
yng bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang
bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38 menyebutkan bahwa:
a. Hak guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA
b. Pendaftaran termaksud dalam Ayat (I) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 40 UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena :
1) Jangka waktunya berakhir
2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4) Dicabut untuk kepentingan umum
5) Diterlantarkan
6) Tanahnya musnah
7) Ketentuan dalam Pasal 36 Ayat (2) UUPA.
4.
Hak Pakai
Dalam Pasal 41 UUPA disebutkan bahwa :
1) \Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan- ketentuan undang-undang ini
2) Hak Pakai dapat diberikan :
a) Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu
b) Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun
3) Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.
Pasal 42 UUPA menyebutkan tentang siapa yang dapat mempunyai Hak Pakai. Yang
dapat mempunyai hak Pakai ialah :
1) Warga Negara Indonesia
2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia
4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Dalam Pasal 43 UUPA disebutkan bahwa :
1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara maka Hak Pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang
2) Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
5. Hak Sewa Untuk Bangunan
Pasal 44 UUPA menyebutkan bahwa :
1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tandi, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa
2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :
a) Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu
b) Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan
3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syaratsyarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Dalam Pasal 45 UUPA disebutkan
yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah :
1) Warga Negara Indonesia
2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia
4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Dalam Pasal 46 UUPA disebutkan bahwa :
1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh Warga
Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah
2) Dengan mempergunakan hak membuka tanah dan memungut hasil hutan secara sah
tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Hak atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan, baik warga negara Indonesia,
sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
D. Proses Peralihan Hak Atas Tanah
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dinyatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan. UUPA mengatur
peralihan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah
yaitu:
1. Pasal 20 ayat (1) UUPA
Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2. Pasal 28 ayat (3) UUPA
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
3. Pasal 35 ayat (3) UUPA
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
4. Pasal 43 UUPA
1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, maka Hak Pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
2) Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Dua bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut.34
1. Beralih
Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang
haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah ini terjadi
karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subjek), maka ahli warisnya
memperoleh hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini, pihak yang memperoleh hak harus
memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah.
2. Dialihkan/pemindahan hak
Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang (subjek) haknya kepada pihak lain karena
suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut
memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukarmenukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang.
Dalam peralihan hak di sini, pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak
34
Urip Santosa,op.cit, hlm 301
dan berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.
Hak milik dapat dipindahkan haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara jual-beli,
hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.35
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 UUPA yang menyatakan bahwa:
1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.
2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada
seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah, termaksud dalam Pasal 21 ayat
(2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali . 36
Sehubungan dengan peralihan hak atas tanah, maka dikenal juga beberapa macam
peralihan hak atas tanah yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah
yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus
dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung
keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan
pembayaran harganya dilakukan secara serentak.
2. Jual beli tanah menurut UUPA, dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam
Pasal 26 UUPA, yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal
35
Adrian Sutedi, opcit, hlm .65
Ibid,hlm .65
36
lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli tetapi disebutkan sebagai dialihkan.
Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar
dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah
satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.
3. Penghibahan tanah. Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain
dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada
kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada
saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat
diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia.
4. Pewarisan tanah. Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari
pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 UUPA. Pewarisan dapat terjadi karena
ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang mewasiatkan.37
Pernyataan di atas merupakan bentuk-bentuk pengalihan hak milik atas tanah. Pengalihan
hak milik atas tanah tersebut tergantung bentuknya dan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.Oleh karena itu pengalihan hak milik atas tanah secara hukum harus diikuti
dengan alas hak yang jelas dan sesuai dengan undang-undang.
E. Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
dimaksud dengan pendaftaran tanah, sebagaimana disebut oleh Pasal 1 angka 1 adalah
sebagai berikut :
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 38
37
Adrian Sutedi, op.cit,hlm.65
38
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pengertian pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dapat diuraikan unsur-unsurnya yaitu39
1. Adanya serangkaian kegiatan kegiatan pendaftaran tanah terdiri atas kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali, bentuk kegiatannya adalah pengumpulan dan pengolahan data
fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan
data yuridis, dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, bentuk kegiatannya
adalah pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, dan pendaftaran tanah lainnya.
2. Dilakukan oleh pemerintah Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran
tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
3. Secara terus menerus, berkesinambungan.
Kata-kata “terus-menerus, berkesinambungan” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan,
yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia
harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir.
4. Secara teratur. Kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan
peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti
menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum
negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.
5. Bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun. Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan
terhadap hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan,
tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, dan tanah negara.
6. Pemberian surat tanda bukti hak
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak
berupa sertifikat atas bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan sertifikat hak milik
atas tanah satuan rumah susun.
7. Hak-hak tertentu yang membebaninya
39
Urip Santoso, op.cit,hlm 16
Dalam pendaftaran tanah dapat terjadi objek pendaftaran tanah dibebani dengan hak yang
lain, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak milik atas
satuan rumah susun dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, atau hak
milik atas tanah dibebani dengan hak guna bangunan atau hak pakai.
Kata-kata “serangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan menunjuk
kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkaitan
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berturutan
menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa pendaftaran tanah mengenal 2 macam asas,
yaitu:
1. Asas Specialiteit
Artinya pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan
perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran,
pemetaan, dan pendaftaran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanan pendaftaran
tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan
data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak, dan batas-batas tanah.
2. Asas Openbaarheid
Asas ini memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi subjek haknya, apa nama
hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini
sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya.40
Sedangkan dalam Pasal 2 PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga
disebutkan bahwa pendataran tanah dilaksanakan berdasarkan asas :
1. Asas sederhana
Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2. Asas aman
40
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Karunika-Universitas Terbuka, Jakarta,1998, hlm. 99
Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas terjangkau
Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa
terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
4. Asas mutakhir
Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaanya dan
berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan
keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan
perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah yang secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data
yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
5. Asas terbuka
Asas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data
yang benar setiap saat.
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah ditetapkan pada
Pasal 19 UUPA, yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang
diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Tujuan
pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah adalah :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan diriya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran
tanah dalam rangka Rechtcadaster (pendaftaran tanah). Bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum pada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti
yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa salinan buku tanah dan
surat ukur.41
Kegiatan pendaftaran tanah yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan sistem yang
sudah melembaga sebagaimana yang telah dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah
selama ini, mulai dari permohonan seorang atau badan, diproses sampai dikeluarkan bukti
haknya (sertifikat) dan dipelihara data pendaftarannya dalam buku tanah.42 .Berdasarkan
Pasal 19 UUPA, pendaftaran tanah meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
pendafatran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan pemberian surat-surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Tugas pendaftaran tanah
merupakan tugas administrasi hak yang dilakukan oleh negara dalam memberikan kepastian
hak atas tanah di Indonesia. Artinya negara bertugas untuk melakukan administrasi di
bidang pertanahan, dan dengan administrasi ini, negara memberikan bukti hak atas telah
dilakukannya administrasi tanah tersebut. Negara hanya memberikan jaminan yang kuat atas
bukti yang dikeluarkannya berdasarkan bukti formal yang dimohonkan. Bukan memberikan
hak atas tanah kepada seseorang tetapi kepada pemohon atas dilakukannya administrasi atas
tanah diberikan bukti jaminan materiil atas tanah seseorang tetapi hanya sebagai jaminan
formal saja.43
Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu
secara sistematik dan secara sporadik. Cara-cara pendaftaran tanah dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftraan tanah yang belum terdaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Hal ini diselenggarakan atas prakarsa
pemerintah berdasarkan suatu rencana kerja panjang dan tahunan serta dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
41
42
43
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia,
Jakarta,2005, hlm. 81
M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung,2010, hlm. 104
Ibid, hlm. 108
Pertanahan Nasional. Dalam suatu desa atau kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah
pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftaran tanah dilaksanakan secara sporadik.
2. Secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu
atau beberapa obyek pendaftaran tanah dan wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas
objek pendaftaran taah yang bersangkutan atau kuasanya.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan bentuk
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster yang bertujuan memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat
bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah yaitu berupa sertifikat. Sertifikat
dapat dijadikan bukti kepemilikan hak atas tanah. Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah
berlaku sebagai alat bukti yang kuat sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 32
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 10997 tentang Pendaftaran Tanah. Sertifikat
dapat memberikan kepastian hukum bagi orang yang namanya tercantum dalam sertifikat.
Dengan adanya penerbitan sertifikat maka akan meminimalkan terjadinya sengketa
kepemilikan tanah. Pemilikan sertifikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram
karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang oleh siapapun.44
F. Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Peralihan Hak Atas Tanah
Di dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah no.24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa Instansi
pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1 )
ditegaskan bahwa ;
“Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan,
kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundangundangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain.”45
44
Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Cetakan Ketiga, Remaja Karya, Bandung, 1988, hlm,. 57
45
Pasal 6 Ayat (1 ) Peraturan Pemerintah no.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Dalam pelaksanaan pendaftaran ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT
dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”
Berdasarkan Pasal 1 angka (24 ) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dimaksud PPAT adalah :
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu“46
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seperti halnya notaris memiliki peran penting
dalam peralihan hak atas tanah berdasarkan hibah, terkait dengan pendaftaran tanahnya.
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Pendaftaran
tanah dapat dilaksanakan apabila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah). PPAT berperan dalam pelaksanaan kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah, khususnya apabila terjadi peralihan hak atas tanah. PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum
tersebut. Akta PPAT sebagai dasar perubahan data pendaftaran tanah yang terjadi karena
adanya perbuatan hukum yang dimuat dalam akta tersebut, di mana akta ini merupakan
dasar pendaftaran tanah ke kantor pertanahan setempat. PPAT hanya berwenang membuat
akta mengenai hak atas tanah yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT harus membuat
satu buku daftar akta untuk akta-akta yang pernah dibuatnya kemudian wajib untuk
melaporkan mengenai akta yang dibuatnya. Berkenaan dengan kedudukan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dinyatakan dalam peraturan pendaftaran tanah yaitu Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Fungsi PPAT berada di dalam
46
Pasal 1 angka (24 ) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
rangkaian pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan sebagai pelaksana
pendaftaran tanah dengan menyediakan alat-alat bukti yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tertentu. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
selanjutnya disebut PPAT memiliki tugas untuk melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah, yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Akta yang dibuat PPAT dijadikan dasar pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah.
Pejabat Pembuat Akta Tanah ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
pendaftaran tanah, di mana kewenangan dari PPAT adalah membuat alat bukti mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang nantinya akan dijadikan dasar dalam proses pendaftaran tanah. Kewenangan
PPAT dalam proses pendaftaran hak atas tanah ini dinyatakan dalam Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai berikut :” Peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”47
Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaaan pendaftaran tanah oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten / kota ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.37
Tahun 1998, yaitu :
1. PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti tanah telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagai berikut :
47
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Jual beli, Tukar-menukar, Hibah, pemasukan ke dalam perusahaan inbreng, pembagian
hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik,
pemberian Hak Tanggungan, pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. 48
Perbuatan hukum yang diterangkan dalam Pasal 2 ini adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun,
yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak tersebut, dapat berupa pemindahan hak,
pembebanan hak, dan pemberian hak.
Dapat disimpulkan bahwa akta PPAT memiliki peranan penting dalam pendaftaran
peralihan hak atas tanah. Akta PPAT adalah akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya
suatu perbuataan hukum. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan “Suatu akta otentik adalah
suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.” 49 Akta dapat dijadikan
dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan.
G. Teori Efektivitas Hukum
Landasan teori merupakan teori-teori (ajaran) dan konsep-konsep yang mendukung atau
relevan dengan penelitian yang dibuat. Teori-teori dan konsep-konsep tersebut harus
berkaitan langsung dengan pokok masalahnya dan bermanfaat untuk memberikan analisis
terhadap topik yang dikaji. Teori dan konsep hukum yang digunakan sebagai landasan
dalam membahas permasalahan penelitian ini adalah Teori Efektivitas Hukum
Semua orang dipandang sama di hadapan hukum (equality before the law). Peraturan
perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi
bertujuan agar masyarakat maupun aparatur dapat melaksanakannya secara konsisten dan
tanpa membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam
realitanya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar,
sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan
48
49
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
karena undang-undangnya kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan atau
masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut.50
Istilah teori efektifitas hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris,yaitu effectiveness
of the legal theory, bahasa Belanda disebut effectiviteit van de juridische theorie.
Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektifias hukum, yaitu teori, efektifitas,
dan hukum. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua istilah yang berkaitan dengan
efektifitas, yaitu efektif dan keefektifan. Efektif artinya (1) ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya), (2) manjur atau mujarab, (3) dapat membawa hasil,berhasil guna
(tentang usaha, tindakan), (4) mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan).Keefektifan
artinya (1) keadaan berpengaruh, hal berkesan, (2) kemanjuran, kemujaraban, (3)
keberhasilan ( usaha, tindakan), (4) hal mulai berlakunya ( undang-undang,peraturan )51
Teori efektifitas hukum dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, Lawrence M
Friedman, Soerjono Soekanto, Clearence J Dias, Howard dan Mummers.
Bronislaw Manilowski (1884-1942) menyajikan teori efektifitas pengendalian sosial atau
hukum. Bronislaw Manilowski menyajikan teori efektifitas hukum dengan menganalisis tiga
maslah berikut ini yang meliputi;
1. Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga antara lain oleh suatu sistem
pengendalian sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum; untuk melaksanakannya,
hukum didukung oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan
(kepolisian,pengadilan dan
sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu negara;
2. Dalam masyarakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-kadang tidak ada; dan
3. Dengan demikian, apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum ?52
Bronislaw Manilowski menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat. Masyarakat
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Masyarakat modern ; dan
2. Masyarakat primitif.
50
51
52
H.Halim HS,Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2014, hlm 301
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1989, hlm 219
Koentjaraningrat dalam H.Halim HS,Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 305
Masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar
secara luas, spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi canggih. Dalam
masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang itu
ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan, dan sebagainya. Masyarakat primitip merupakan
masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi yang sederhana. Dalam masyarakat primitif
tidak mengenal alat-alat kekuasaan.
Lawrence M Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus diperhatikan dalam
penegakan hukum. Ketiga unsur itu meliputi ;
1. Struktur;
2. Subtansi;
3. Budaya hukum.53
Pengertian Struktur sistem hukum terdiri dari :
1. Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka
periksa dan bagaimana serta mengapa ) ;
2. Cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya, dan
3. Bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak orang yang duduk di Komisi dagang
Federal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, prosedur yang harus diikuti.
Pengertian Subtansi meliputi ;
1. Aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum;
2. Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan
yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan
sistem hukum,berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positip
maupun negatip kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Pengertian budaya hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu;
1. Kultur hukum eksternal; dan
2. Kultur hukum internal.54
53
54
Lawrence M Friedman dalam H.Halim HS,Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 305
Ibid, hlm.306
Kultur hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi umum. Kultur
hukum internal adalah kultur hukum para anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas
hukum yang terspesialisasi. Semua masyarakat memiliki kultur hukum, tetapi hanya
masyarakat dengan para spesialis hukum yang memiliki suatu kultur hukum internal. Esmi
Warassih Pujirahayu mengemukakan bahwa:
“ Budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya
hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin,
suku, kebangsaan, pendapatan dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi
budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaanperbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan
bahwa “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan
masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri ”55
Soerjono Soekanto mengemukakan lima faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan
hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawantah dan sikap sebagai
rangkaian
penjabaran
nilai
tahap
akhir,
untuk
menciptakan,
memelihara,
dan
mempertahankan kedamaian dalam masyarakat. Kelima faktor itu meliputi ;
1. Faktor hukum atau undang-undang;
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas;
4. Faktor masyarakat; dan
5. Faktor kebudayaan.56
Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Peraturan dibagi
dua macam, yaitu peraturan pusat dan peraturan setempat. Peraturan pusat berlaku untuk
semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di
sebagian wilayah negara. Peraturan setempat hanya berlaku di suatu tempat atau daerah
55
56
Ibid, hlm.306
Ibid, hlm.307
saja.Penegak hukum adalah kalangan yang secara kangsung yang berkecimpung dalam
bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga
mencakup peace maintenence (penegakan secara damai). Yang termasuk kalangan penegak
hukum, meliputi mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,
kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat
digunakan untuk mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas itu
meliputi tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal itu tidak dipenuhi, maka
mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Masyarakat dimaknakan dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.57 Masyarakat
dalam konteks penegakan hukum erat kaitannya, dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan. Sedangkan faktor yang kelima dalam penegakan hukum yaitu kebudayaan.
Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut harus diperhatikan secara seksama dalam proses penegakan
hukum, karena apabila hal itu kurang mendapat perhatian, maka penegakan hukum tidak
akan tercapai.
Pandangan lain tentang efektifitas hukum dikemukakan oleh Clearence J.Dias, Howard
dan Mummers. Clearence J.Dias mengemukakan lima syarat bagi efektifif tidaknya suatu
sistem hukum. Kelima syarat tersebut meliputi;
1. Mudah tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap;
2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan yang
bersangkutan;
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai dengan
bantuan:
a. Aparat adminidtrasi yang menyadari kewajibannya untuk melibatkan dirinya ke dalam
usaha mobilisasi yang demikian.
57
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hlm 564
b. Para warga masyarakat yang merasa terlibat dan merasa harus berpartisipasi di dalam
proses mobilisasi hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaikan sengketa yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan
dimasuki oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi juga harus efektif menyelesaikan
sengketa; dan
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat, bahwa
aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu
efektif.58
Pendapat yang lain tentang efektifitas hukum dikemukakan oleh Howard dan Mummers.
Kedua ahli itu mengemukakan delapan syarat agar hukum dapat berlaku secara efektif.
Kedelapan syarat itu meliputi;
1. Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah yang mematoki harus
dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian. Tanpa patokanpatokan yang jelas seperti itu, orang sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya
diharuskan, sehingga undang-undang tidak akan efektif.
2. Undang-undang itu, dimana mungkin seyogyanya bersifat melarang, dan bukan bersifat
mengharuskan. Dapat dikatakan bahwa hukum
prohibitur itu pada umumnya lebih
mudah dilaksanakan ketimbang hukum mandatur.
3. Sanksi yang diancamkan dalam undang-undang itu haruslah berpadanan dengan sifat
undang-undang yang dilanggar. Suatu sanksi yang mungkin tepat untuk suatu tujuan
tertentu, mungkin saja akan dianggap tidak tepat untuk tujuan lain.
4. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh terlalu berat. Sanksi
yang terlalu berat dan tak sebanding dengan macam pelanggarannya akan menimbulkan
keengganan dalam hati penegak hukum ( khususnya para juri) untuk menerapkan sanksi
itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu.
5. Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan-perbuatan yang dikaidahi dalam
undang-undang harus ada. Hukum yang dibuat untuk melarang perbuatan-perbuatan yang
sulit dideteksi, tentulah tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak
58
Marcus Priyo Gunarto dalam H.Halim HS,Erlies Septiana Nurbani, op.cit, hlm.308
mengontrol kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan orang tidak mungkin
akan efektif.
6. Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih efektif ketimbang
hukum yang tak selaras dengan kaidah-kaidah moral, atau yang netral. Seringkali kita
menjumpai hukum yang demikian efektifnya, sehingga seolah-olah kehadirannya tak
diperlukan lagi, karena perbuatan-perbuatan yang tak dikehendaki itu juga sudah dicegah
oleh daya kekuatan moral dan norma sosial. Akan tetapi, ada juga hukum yang mencoba
melarang perbuatan-perbuatan tertentu sekalipun kaidah-kaidah moral tak berbicara apaapa tentang perbuatan itu, misalnya larangan menungak pajak. Hukum seperti itu jelas
kalah efektif jika dibandingkan dengan hukum yang mengandung paham dan pandangan
moral didalamnya.
7. Agar hukum bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja sebagai pelaksanapelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan baik. Mereka harus mengumumkan
undang-undang secara luas. Mereka harus menafsirkannya secara seragam dan konsisten,
serta sedapat mungkin senapas atau senada dengan bunyi penafsiran yang mungkin juga
dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena. Aparat-aparat penegak hukum
harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu untuk menyidik dan menuntut pelanggarpelanggar.
8. Akhirnya agar suatu undang-undang dapat efektif, suatu standar hidup sosio-ekonomi
yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ini, ketertiban umum
sedikit atau banyak harus mudah terjaga.59
Dari delapan syarat itu maka dapat dipilah menjadi tiga syarat supaya aturan hukum
dikatakan efektif. Ketiga syarat itu meliputi;
1. Undang-undangnya;
2. Adanya pelaksana hukum;
3. Kondisi sosio masyarakat.
Undang-undang yang dibuat dan ditetapkan harus;
1. Dirancang dengan baik;
59
Ibid, hlm.69-70
2. Substansinya meliputi;
a. Bersifat melarang
b. Mengandung sanksinya. Sanksinya tidak terlalu berat;
c. Mengandung moralitas.
H. Penelitian Yang Relevan
1. Tesis milik I Kadek Suardana, disusun pada tahun 2013, mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang berjudul Hibah Wasiat Yang Dilakukan
Masyarakat Adat Bali Dengan Akta Notaris (Studi Kasus di Kota Denpasar). Rumusan
masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :
a. Mengapa anggota masyarakat adat Bali membuat hibah wasiat berdasarkan akta
Notaris PPAT ?
b. Apakah masyarakat adat Bali yang membuat hibah wasiat berdasarkan akta Notaris
PPAT menundukkan diri pada prinsip-prinsip hibah wasiat menurut KUHPerdata?
c. Apakah akibat hukum yang timbul pada masyarakat adat Bali dengan dibuatnya akta
hibah wasiat menurut akta Notaris PPAT?
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Bali melakukan hibah wasiat
dengan akta Notaris PPAT agar dapat mewariskan sebagian hartanya pada anak
perempuannya. Anggota masyarakat adat Bali yang membuat hibah wasiat berdasarkan
akta notaris PPAT menundukkan diri pada prinsip-prinsip hibah wasiat menurut
KUHPerdata. Akibat hukum bagi anggota masyarakat adat Bali yang melakukan hibah
wasiat dengan akta notaris menyebabkan lahirnya, berubahnya dan lenyapnya suatu
keadaan hukum tertentu.
2. Tesis milik Ferza Ika Mahendra, SH, mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro yang berjudul Hak Mewaris Berdasarkan Hibah Wasiat.
Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :
a. Bagaimana proses sahnya pengangkatan anak agar anak tersebut mempunyai
kedudukan hukum?
b. Bagaimana pelaksanaan hibah wasiat terhadap anak angkat dalam memperoleh hak
mewaris?
Berdasarkan penelitian ini, proses pengangkatan anak dapat dengan cara membuat akta
pengangkatan anak di hadapan notaris, di samping itu pengangkatan anak dapat dilakukan
dengan cara mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memperoleh
kepastian hukum terhadap pengangkatan anak tersebut. Hak mewaris anak angkat tidak
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun demikian khusus Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa, kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak
sah. Untuk itu ia berhak mewaris harta warisan orang tua angkatnya menurut UndangUndang atau mewaris berdasarkan hukum waris testamentair apabila ia mendapatkan
testament (hibah wasiat).
Kedua penelitian di atas merupakan penelitian di bidang hukum kenotariatan mengenai
hibah wasiat, berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas
oleh peneliti dalam
penelitian ini. Dalam tesis ini peneliti membahas mengenai hibah yang berdasarkan hukum
adat yang dilakukan oleh masyarakat kabupaten Boyolali, apakah efektif untuk dapat
dijadikan sebagai dasar dalam proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan. Dilihat dari
judul dan kajian permasalahan maka dapat disimpulkan penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya, sehingga penelitian tesis ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertanggung-jawabkan dari segi isinya.
I.
Kerangka Berpikir
Bagan 1
Kerangka Berpikir
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
-
Gambar l
UUD 1945
UUPA
Kerangka
Pikir
PP Nomer 24 tahun
1997
PMNA/KaBPN No 3 tahun 1997
PP Nomer 37 tahun 1998
Pasal 5 UUPA
Hukum Adat masih berlaku
Pasal 19 UUPA
Pendaftaran Tanah
Pasal 37 ayat ( 1) PP no 24 tahun 1997
Pendaftaran Tanah berdasarkan hibah
dibuktikan dengan Akta PPAT
Das Sein
Dalam pelaksanaannya ditemukan
Pendaftaran Tanah berdasarkan hibah adat /
bawah tangan , tidak melampirkan Akta
PPAT
Das Sein
Pendaftaran Tanah berdasarkan
hibah dengan melampirkan Akta
PPAT
PENGADILAN
KANTOR
PERTANAHAN
KEPASTIAN HUKUM
Keterangan ;
Dalam penulisan Tesis ini, penulis akan menguraikan sedikit mengenai garis besar atau
gagasan. Gagasan atau garis besar tersebut adalah :
-
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
-
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria masih mengakui eksistansi hukum adat.
-
Pada pasal 19 ayat ( 1 ) Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia.
-
Sedangkan Pasal 37 ayat ( 1 ) Peraturan Pemerintah Nomer 24 tahun 1997 menyebutkan
bahwa peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT.
-
PPAT diberi tugas pokok berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomer 37 tahun 1998
dan PKBPN No 3 Tahun 1997 untuk melaksanakan sebagian pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tentang peralihan hak
yang dijadikan dasar dalam pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
-
Pemerintah dalam proses penyelenggaraan pendaftaran tanah telah menyiapkan instansi
yaitu Kantor Pertanahan di tiap-tiap Kabupaten/ Kota, serta kehadiran PPAT dan PPAT
Sementara ( dalam hal ini Camat) pada tiap-tiap daerah kabupaten / kota. Hal ini berarti
pemerintah telah menyiapkan struktur dalam proses pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
-
Pendaftaran tanah berdasarkan hibah harus dibuktikan dengan melampirkan akta PPAT
sesuai persyaratan perundang-undangan. Walaupun pasal 5 UUPA masih mengakui
eksistensi hukum Adat, namun pasal 37 ayat (1) PP 24 tahun 1997 menghendaki harus
dibuktikan dengan akta PPAT. Apabila penghibahan dilakukan oleh masyarakat dengan
berdasarkan pada hukum adat, maka dalam proses pendaftaran tanahnya di Kantor
Pertanahan, masyarakat tidak dapat melampirkan bukti berupa akta otentik PPAT. Dalam
hal ini hibah yang dilakukan berdasarkan hukum adat tersebut, tidak dapat dijadikan dasar
proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan, sehingga kantor pertanahan tidak dapat
menerbitkan
Sertifikat Tanah, yang
mempunyai jaminan kepastian hukum. Namun
demikian apabila hibah atas tanah yang berdasarkan hukum adat tersebut menjadi sengketa
di pengadilan, maka Putusan Pengadilan dapat dijadikan dasar untuk proses pendaftaran
peralihan hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan, sepanjang tidak merugikan hak ahli waris
lain.
Download