6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Risiko Risiko merupakan

advertisement
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Risiko
Risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, bahkan
ada orang yang mengatakan bahwa tidak ada hidup tanpa risiko. Dengan demikian
setiap hari kita menghadapi risiko baik sebagai perorangan maupun perusahaan.
Orang berusaha melindungi diri terhadap risiko demikian pula badan usaha pun
harus melindungi usahanya dari risiko. Terlebih lagi dalam dunia bisnis dimana
ketidakpastian beserta risikonya merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan
begitu saja, melainkan harus diperhatikan secara cermat bila menginginkan
kesuksesan.
Menurut Darmawi (1990), risiko dihubungkan dengan kemungkinan
terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan atau tidak terduga.
Dengan kata lain “Kemungkinan” itu sudah menunjukan adanya ketidakpastian.
Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang dapat menyebabkan tumbuhnya
risiko. Penulis lain
Djojosoedarso (1999) memandang bahwa, risiko selalu
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu yang merugikan yang tidak
diduga/ tidak diinginkan. Jadi risiko merupakan ketidakpastian atau kemungkinan
terjadinya sesutu yang bila terjadi mengakibatkan kerugian. Dengan demikian
risiko mempunyai karakteristik : a. merupakan ketidakpastian atas terjadinya
suatu peristiwa, b. Merupakan ketidakpastian yang bila terjadi akan menimbulkan
kerugian.
Asiyanto (2009) memiliki pandangan bahwa risiko pada dasarnya adalah
6
7
suatu pontensi kejadian yang dapat merugikan, namun demikian ada dua perkiraan
yang selalu harus dipertimbangkan terhadap risiko tersebut, yaitu : tingkat
kemungkinan risiko tersebut dapat terjadinya yang disebut dengan frekuensi
kejadian dan tingkat dampaknya jika risiko itu terjadi yang sering disebut dengan
impact (consequances).
Lebih
lanjut
Djojosoedarso
(1999)
berpandangan
bahwa
risiko
berdasarkan sifatnya dapat dibedakan ke dalam: a. Risiko yang tidak disengaja
(risiko murni), adalah risiko yang apabila terjadi tentu menimbulkan kerugian dan
terjadinya tanpa disengaja misalnya risiko terjadinya kebakaran, pencurian dan
sebagainya; b. Risiko disengaja (Risiko spekulatif) adalah risiko yang sengaja
ditimbulkan oleh bersangkutan agar terjadinya ketidakpastian memberikan
keuntungan kepadanya seperti risiko hutang piutang, perjudian, perdagangan dan
sebagainya; c. Risiko fundamental adalah risiko yang penyebabnya tidak dapat
dilimpahkannya kepada seseorang dan yang menderita tidak hanya satu atau
beberapa orang saja tetapi banyak orang seperti banjir, angin topan dan
sebagainya; d. Risiko khusus adalah risiko yang bersumber pada peristiwa yang
mandiri dan umumnya mudah diketahui penyebabnya, seperti
kapal kandas,
pesawat jatuh, tabrakan mobil dan sebagainya; e. Risiko dinamis adalah risiko
yang timbul karena perkembangan dan kemajuan masyarakat dibidang ekonomi,
ilmu dan teknonogi seperti risiko keusangan, risiko penerbangan luar angkasa dan
sebagainya.
Secara garis besar ketidakpastian dapat diklasifikasikan kedalam
:
a.Ketidakpastian ekonomi (economic uncertainty) yaitu kejadian-kejadian yang
timbul sebagai akibat kondisi dan perilaku dari pelaku ekonomi misalnya
8
perubahan sikap konsumen, perubahan selera konsumen, perubahan harga, dan
sebagainya, b. Ketidakpastian alam (uncertainty of nature) yaitu ketidakpastian
yang disebabkan oleh alam misalnya badai, banjir, gempa bumi, kebakaran dan
sebagainya, c. Ketidakpastian manusia (human uncertaity) yakni ketidakpastian
yang disebabkan oleh perilaku manusia seperti
peperangan, pencurian,
penggelapan dan sebagainya.
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa risiko adalah
suatu pontensi kejadian yang dapat merugikan yang disebabkan karena adanya
ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa, dimana ketidakpastian itu
merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko yang bersumber dari
berbagai aktivitas.
2.2 Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam
penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi, perusahaan,
keluarga, dan masyarakat. Jadi mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir,
menyususun, memimpin/mengkoordinir dan mengawasi program penanggulangan
risiko. (Djojosoedarso, 1999)
Menurut Kerzner (1995) manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan,
prosedur yang lengkap yang dimiliki organisasi untuk mengelola, memonitor dan
mengendalikan risiko yang mungkin muncul. Sistem manajemen risiko tidak
hanya mengidentifikasi tapi juga harus menghitung risiko dan pengaruhnya
terhadap proyek, hasilnya adalah apakah risiko itu dapat diterima atau tidak.
9
Menurut Asiyanto (2009), dalam manajemen risiko dikenal tiga faktor,
yakni :
1. Risk even status, yaitu merupakan kriteria nilai risiko atau sering disebut
ranking risiko
2. Risk probability, yakni merupakan tingkat kemungkinan terjadinya suatu risiko
biasanya dinyatakan dalam %
3. Risk consequences, yakni merupakan nilai impact atau pengaruhnya jika risiko
tersebut benar-benar terjadi .
Hubungan ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan bahwa risk even status
merupakan fungsi dari risk probability dan risk konsequences. Oleh karena itu
penentuan tingkat atau rangking risiko dapat dihasilkan dari perkalian kedua
faktor tersebut. Bila ingin mengurangi atau menurunkan tingkat risiko, maka
upayanya adalah mengurangi kemungkinan terjadinya dan mengurangi besar
dampaknya.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, risiko dapat dibagi dalam
beberapa tingkatan yaitu yang pertama risiko rendah (minor risk) dimana dampak
yang terjadi kecil dan tidak mempengaruhi tujuan yang ada, yang kedua risiko
sedang (moderate risk) yaitu dampaknya mulai terasa dan dapat mempengaruhi
tujuan yang ada walaupun kurang signifikan, dan yang ketiga risiko tinggi (major
risk) yaitu dampak yang terasa sangat besar dan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap tujuan yang ada. Pada risiko tinggi (major risk) perlu
mendapatkan perhatian yang besar sehingga dapat meminimalkan kerugian yang
mungkin terjadi.
Adanya ketidakpastian sebagai sumber terjadinya risiko tidak dapat
10
sepenuhnya dihilangkan tetapi dapat dikurangi dengan Analisis Risiko Sistematis
(Systematic Risk Management) seperti diuraikan oleh Godfrey (1996), yang
berpandangan bahwa dengan melakukan analisis risiko secara sistematis akan
dapat membantu untuk mengidentifikasi, menilai dan merangking risiko secara
jelas, memusatkan perhatian pada major risk (risiko utama), memperjelas
keputusan tentang batasan kerugian, meminimalkan potensi kerusakan apabila
timbul keadaan yang paling jelek, mengontrol aspek ketidakpastian dalam proyek,
memperjelas dan menegaskan peran setiap orang/badan yang terlibat dalam
manajemen risiko.
Untuk melakukan pengambilan keputusan terhadap risiko-risiko, Flanagan
dan Norman (1993) mengemukakan kerangka dasar langkah-langkah seperti pada
Gambar 2.1. Keseluruhan proses manajemen risiko, identifikasi dan penilaian
risiko merupakan tahap pertama yang penting dilakukan dan kualitas dari hasil
suatu analisis kualitatif sangat ditentukan oleh identifikasi dan penilaian risiko ini.
Selanjutnya risiko tersebut harus dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi
ancaman terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Identifikasi Risiko
Klasifikasi Risiko
Analisis Risiko
Perlakuan Risiko
Respon Risiko
Gambar 2.1 Kerangka Umum Manajemen Risiko
(Sumber Flanagan dan Norman, 1993)
11
2.2.1
Identifikasi Risiko
Godfrey (1996) berpandangan bahwa dalam melakukan indentifikasi risiko
terlebih dahulu diupayakan untuk menentukan sumber risiko itu sendiri secara
komprehensif. Hal ini mengingat bahwa dalam tahap identifikasi risiko
merupakan tahapan tersulit dan paling menentukan dalam manajemen risiko.
Kesulitan ini dapat disebabkan oleh ketidak mampuan untuk mengidentifikasi
seluruh risiko yang akan timbul mengingat adanya ketidakpastian dari apa yang
akan dihadapi.
Darmawi (2006) berpendapat bahwa melakukan identifikasi risiko
merupakan proses penganalisaan untuk menemukan secara sistematis dan secara
berkesinambungan risiko (kerugian yang potensial) yang menantang perusahaan.
Sehingga diperlukan checklist dari semua kerugian potensial yang mungkin bisa
terjadi umumnya pada setiap perusahaan dan selanjutnya melakukan pendekatan
secara sistematik untuk menentukan yang mana dari kerugian potensial dalam
checklist yang sedang dihadapi oleh perusahaan yang sedang dianalisis.
Selanjutnya menurut Flanagan dan Norman (1993) untuk dapat mengenali
risiko secara komprehensif dapat dilakukan dengan mengenali dari sumbernya
(source), kejadiannya (event), dan akibatnya (effect). Sumber risiko adalah
kondisi-kondisi yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya risiko. Event
adalah peristiwa yang menimbulkan pengaruh (effect) yang sifatnya dapat
merugikan dan menguntungkan. Hubungan ketiga komponen tersebut dapat
dilihat seperti Gambar 2.2.
Sumber
Peristiwa
Gambar 2.2. Proses Identifikasi Risiko
(Sumber Flanagan dan Norman, 1993)
Akibat
12
Tabel 2.1 Sumber Risiko dan Penyebabnya
No
Sumber Risiko
Perubahan dan ketidak pastian karena
1
Politik
(political)
Kebijaksanaan
pemerintah,
pendapat
publik,
perubahan idiologi, peraturan, kekacauan, (perang,
terorisme, kerusuhan)
2
Lingkungan
(Environmental)
3
Perencanaan
(planning)
Pemasaran
(market)
Kontaminasi tanah atau polusi, kebisingan, perijinan,
pendapat publik, kebijaksanaan internal, peraturan,
lingkungan.
Persyaratan perijinan, kebijaksanaan dan praktek, tata
guna lahan, dampak sosial ekonomi, pendapat publik.
Permintaan (perkiraan), persaingan, kepuasan
konsumen
5
Ekonomi
(economic)
Kebijaksanaan keuangan, pajak, biaya inflasi, suku,
bunga, nilai tukar uang
6
Keuangan
(financial)
Kebangkrutan,
tingkat
pembagian risiko
7
Alami
(Natural)
Proyek
(Project)
Kondisi tak terduga, cuaca, gempa bumi, kebakaran,
penemuan purbakala
Definisi, strategi pengadaan, persyaratan untuk kerja,
standar, kepemimpinan, organisasi (kedewasaan,
komitmen,
kompetensi
dan
pengalaman),
perencanaan,
dan kontrol kualitas, rencana kerja, tenaga kerja dan
sumber daya komunikasi dan budaya.
Kelengkapan design, efisiensi operasional, ketahanan
uji.
Kesalahan, tidak kompeten, ketidaktahuan, kelelahan,
kemampuan komunikasi, bekerja dalam gelap atau
malam hari.
Kurangnya
keamanan,
perusakan,
pencurian,
penipuan, korupsi
Kesehatan dan keselamatan kerja, tabrakan, benturan,
keruntuhan, ledakan
4
8
9
10
11
12
Teknis
(Technical)
Manusia
(Human)
Kriminal
(Criminal)
Keselamatan
(Safety)
keuntungan,
asuransi,
(Sumber : Godfrey, 1996)
Godfrey (1996) memberikan pandangan untuk dapat mengenali risiko dari
sumber terjadinya risiko, antar lain risiko dapat bersumber dari politis (political),
13
lingkungan (environmental), perencanaan (planning), pemasaran (market),
ekonomi (economic), keuangan (financial), proyek (project), teknik (tecnical),
manusia (human), kriminal (criminal), dan keselamatan (safety). Masing-masing
sumber risiko dan penyebabnya dapat diuraikan seperti pada Tabel 2.1 di atas.
Dalam melakukan identifikasi risiko perlu mempertimbangkan beberapa
faktor menurut pandangan Flanagan dan Norman (1993) yang diuraikan seperti
pada Gambar.2.3. Dari Gambar 2.3 dapat dijelaskan sumber risiko dikatakan
terkontrol jika risiko dapat dikontrol oleh manajemen dan berada dibawah
pengaruhnya, sedangkan risiko tidak terkontrol jika kejadiannya sebaliknya. Jika
ada satu sumber risiko memberikan pengaruh pada sumber risiko yang lain artinya
dua sumber risiko tersebut dikatakan saling bergantung.
Sumber dan Akibat Risiko
Dapat Dikontrol
Tidak Dapat Dikontrol
Tidak Bebas/Bergantung
Bebas/Tidak Tergantung
Total
Sebagian
Gambar 2.3 Diagaram Identifikasi Risiko
(Sumber : Flanagan dan Norman, 1993)
Selanjutnya Godfrey (1996) menjelaskan teknik dalam mengidentifikasi
risiko dengan melakukan langkah-langkah :
14
1.
What Can Go Wrong Analysis yaitu menganalisis secara obyektif risiko yang
potensial akan terjadi pada saat pelaksanan pekerjaan.
2.
Free and Structured Brainstorming dengan team pelaksana proyek
3.
Menyusun Prompt List yaitu untuk mengidentifikasi risiko secara cepat guna
mendapatkan risiko spesifik dan Chek List risiko berdasarkan pengalaman
sebelumnya.
4.
Use of records, mencatat dimulai dari risiko yang paling sering terjadi
5.
Structured Interviews yaitu interview dengan expert dibidangnya
6.
Reviews, mengevaluasi kekeliruan yang telah dilakukan saat pekerjaan.
2.2.2
Klasifikasi Risiko
Setelah risiko dapat teridentifikasi dilanjutkan dengan melakukan
klasifikasi terhadap risiko, dengan tujuan untuk memudahkan melakukan
perbedaan dan pemahaman terhadap risiko tersebut. Flanagan dan Norman (1993)
mengemukan tiga cara untuk dapat mengklasifikasikan identifikasi risiko yakni
dengan mengidentifikasi risiko berdasarkan konsekuensi risiko, jenis risiko dan
pengaruh risiko. Berdasarkan konsekuensinya, risiko dapat diklasifikasikan lagi
berdasarkan frekuensi kejadian, akibat risiko dan kemungkinan terjadinya risiko.
Menurut jenisnya, risiko diklasifikasikan menjadi risiko murni dan risiko
spekulatif, dimana risiko spekualitatif selanjutnya dibagi menjadi risiko yang
berkaitan dengan asset dan risiko yang berkaitan dengan modal. Sedangkan
Pengaruh risiko dapat diklasifikasikan berdasarkan pengaruh risiko terhadap
perusahaan,
terhadap
proyek/individu.
lingkungan,
terhadap
pasar/industri
dan
terhadap
15
Langkah selanjutnya menurut Djojosoedarso (1999) adalah melakukan
pengukuran risiko, yang bertujuan untuk menentukan cara dan kombinasi cara cara yang paling dapat diterima/ paling baik dalam penggunaan sarana
penanggulangan risiko. Dimensi yang perlu diukur dalam pengukuran risiko
adalah besarnya frekuensi kejadian yakni berapa kali terjadinya suatu kejadiaan
dalam periode tertentu dan tingkat kegawatan (saverity) yakni sampai seberapa
besar pengaruh dari suatu kerugian terhadap terhadap kondisi perusahaan.
Menurut Godfrey (1996) bahwa nilai risiko ditentukan sebagai perkalian
antara kecenderungan/frekuenasi dengan konsekuensi risiko. Kecenderungan
(likelihood) adalah peluang terjadinya kerugian yang merugikan, yang dinyatakan
dalam jumlah kejadian pertahun. Sedangkan konsekuensi (consequences)
merupakan besaran kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya suatu kejadian
yang merugikan yang dinyatakan dalam nilai uang.
2.2.3
Analisis Risiko
Keseluruhan proses analisis risiko dan manajemen dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu analisis risiko dan manajemen risiko. Tujuan dari analisis dan
manajemen risiko adalah membantu menghindari kegagalan dan memberikan
gambaran tentang apa yang terjadi bila proyek yang dijalankan ternyata
tidak sesuai dengan
rencana. Analisis
risiko dapat dilakukan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, dimana risiko harus diidentifikasi dan akibat (effect)
harus dinilai atau dianalisis. Flanagan dan Norman (1993) mengemukakan
langkah-langkah untuk menganalisis risiko seperti pada Gambar 2.4.
16
Analisis Risiko
Identifikasi Alternatif
Penilaian Risiko ke Biaya
Pengukuran Risiko
Kuantitatif
Kualitatif
Analisis
Probabilitas
Keputusan
Langsung
Analisis
Sensitivitas
Keputusan
Langsung
Analisis
Skenario
Keputusan
Langsung
Analisis
Simulasi
Analisis
Korelasi
Tipe dari penyebaran
Perkiraan
Jumlah simulasi
Hubungan dengan item lain
yang lain
Keputusan
Langsung
Berdasarkan
Rangking
Berdasarkan
perbandingan
Analisis
Deskriptif
Linier/non linier
Tunggal/jamak
Gambar 2.4 Analisis Risiko
Sumber (Flanagan dan Norman, 1993)
Analisis risiko diawali dengan analisis risiko kualitatif yang nantinya
dapat dilanjutkan dengan analisis risiko kuantitatif, ini disebabkan karena analisis
risiko kualitatif lebih terfokus pada identifikasi dan penilaian risiko sehingga
hasilnya dapat berupa ranking, perbandingan atau analisis deskriptif.
2.2.4
Penanganan (mitigation) Risiko
Menurut Flanagan dan Norman (1993), Risk response adalah tanggapan
atau reaksi terhadap risiko yang dilakukan oleh setiap orang atau perusahaan
dalam pengambilan keputusan, yang dipengaruhi oleh pendekatan risiko (risk
17
attitude) dari pengambil keputusan. Tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
risiko yang muncul tersebut disebut mitigasi/ penanganan risiko (risk mitigation).
Risiko yang muncul kadang-kadang tidak dapat dihilangkan sama sekali tetapi
hanya dapat dikurangi sehingga akan timbul residual risk (sisa risiko).
Penanganan Risiko
Penahanan
Risiko
Pengurangan
Risiko
Pemindahan
Risiko
Penghindaran
Risiko
Gambar 2.5 Tanggapan Terhadap Sumber risiko
Sumber (Flanagan dan Norman, 1993)
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani risiko
disampaikan seperti pada Gambar 2.5, yaitu :
1.
Menahan Risiko (Risk Retention)
Tindakan untuk menahan risiko ini karena dampak dari suatu kejadian
yang merugikan masih dapat diterima (acceptable).
2.
Mengurangi Risiko (Risk Reduction)
Mengurangi risiko dilakukan dengan mempelajari secara mendalam risiko itu
sendiri, dan melakukan usaha-usaha pencegahan pada sumber risiko atau
mengkombinasikan usaha agar
risiko yang diterima tidak terjadi secara
simultan.
3.
Memindahkan Risiko (Risk Transfer).
Sikap pemindahan risiko dilakukan dengan cara mengansuransikan risiko
yang dilakukan dengan memberikan sebagian atau seluruhnya kepada
pihak lain.
18
4.
Menghindari Risiko (Risk Avoidance)
Sikap menghindari
risiko adalah cara menghindari
kerugian dengan
menghindari aktivitas yang tingkat kerugiannya tinggi.
2.3 Penerapan Manajemen Risiko
Dalam investasi suatu proyek perlu melakukan pendekatan analisis risiko
sehingga memudahkan memanajemen untuk mengambil keputusan. Menurut
Djojosoedarso (1999) berpandangan bahwa hasil upaya penanggulangan risiko
pada hakekatnya akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan kerugiankerugian yang bersifat ekonomis dari suatu risiko, sehingga upaya menanggulangi
risiko mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil. Hal ini didukung oleh
pendapat Darmawi (2006) bahwa sumbangan manajemen risiko yang mungkin
diberikan terhadap perusahaan diantaranya dapat pencegah perusahaan dari
kegagalan. Sebagian kerugian seperti kehancuran fasilititas produksi mungkin bisa
menyebabkan perusahaan harus ditutup, jika sebelumnya tidak ada kesiapsiagaan
menghadapi musibah seperti itu. Sehingga dengan manajemen risiko tersebut
perusahaan dapat terhindar dari kehancuran.
Studi yang pernah dilakukan dalam penerapan manajemen risiko pada
tahap operasional dan pemeliharaan diantaranya oleh Purbawijaya (2009)
mengenai manajemen risiko penanganan banjir pada sistem jaringan drainase di
wilayah kota Denpasar dan Triadi (2010) mengenai manajemen risiko operasional
dan pemeliharaan waduk di Provinsi Bali.
2.4 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Menurut SNI 03-3241-1994, tempat pembuangan akhir sampah adalah
sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah berupa
19
tempat yang digunakan untuk mengkarantina sampah kota secara aman.
Sedangkan pengertian sampah menurut Standar Nasional Indonesia No.19-39641994 adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan
anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pengertian
ini juga didukung oleh adanya Undang-Undang no 18 tahun 2008 yang
menyebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/proses alam
yang berbentuk padat.
Sampah yang telah berada di TPA terutama sampah organik mengalami
proses penguraian secara alami dengan jangka waktu panjang. Beberapa jenis
sampah dapat terurai secara cepat, sementara yang lain lebih lambat, bahkan ada
beberapa jenis sampah yang tidak berubah sampai puluhan tahun, misalnya
plastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakan pun
masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan beberapa zat yang dapat
mengganggu lingkungan. Diperlukan pengawasan terhadap TPA yang telah
ditutup karena proses kimia dan biologis yang berlangsung menghasilkan hasil
sampingan antara lain seperti gas dan lindi.
Berdasarkan pengoperasiannya ada beberapa metode pengurugan sampah
yang dilakukan pada lahan TPA, yaitu :
a. open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan
sederhana dimana sampah hanya dihampar pada suatu lokasi, dibiarkan
terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi penimbunan
penuh. Cara pembuangan sampah seperti ini memiliki potensi mencemari
lingkungan seperti menimbulkan polusi udara dan gas yang dihasilkan,
20
polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah), rusaknya estetika
lingkungan, berkembangnya vektor penyakit seperti lalat, tikus dll.
b. Controlled landfill merupakan sarana pengurugan sampah yang bersifat
antara, yakni sebelum mampu melaksanakan dengan sistem sanitary
landfill, dimana sampah yang telah diurug dan dipadatkan di area
pengurugan dilakukan penutupan dengan tanah penutup setiap 3-5 hari.
c. Sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan
yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis, dengan penyebaran dan
pemadatan sampah pada area pengurugan, serta penutupan sampah setiap
hari.
2.4.1
TPA dengan Sistem Sanitary Landfill
Menurut Tchobanoglous (1993) sanitary landfill adalah sarana fisik yang
digunakan untuk membuang sisa sampah padat ke permukaan tanah di bumi. Pada
masa sebelumnya sanitary landfill menunjukan suatu lahan urug dimana sampah
diletakan diatasnya dan selanjutnya ditutup pada akhir operasi setiap harinya,
namun saat ini sanitary landfill merupakan suatu fasilitas peralatan yang
digunakan untuk pembuangan sampah padat perkotaan yang didesain dan
dioperasikan secara sistematis untuk meminimalkan pengaruhnya terhadap
kesehatan masyarakat umum dan lingkungan.
Tchobanoglous (1977) mengemukakan beberapa keuntungan dan
kerugian jika suatu tempat pembuangan akhir sampah
dioperasikan
menerapkan sistem sanitary landfill seperti pada Tabel 2.2 .
dengan
21
Tabel 2.2. Keuntungan dan kerugian sistem Sanitary Landfill
Keuntungan
Kerugian
a. Jika lahan memungkinkan, sistem
sanitary landfill lebih ekonomis
dibandingkan menggunakan metode
pemusnahan sampah yang lain
seperti cara pembakaran sampah
dengan incinenator
Pada pemukiman padat dimana
tersedianya lahan terbatas maka
metode ini menjadi tidak
ekonomis lagi
b. Biaya investasi awal lebih murah
dibandingan menggunakan metode
pemusnahan
sampah
dengan
incinerator
c. Sanitary landfill dapat menampung
semua jenis sampah
Metode sanitary bisa berubah
menjadi open dumping jika
standar prosedur dan operasi
tidak dilakukan setiap harinya.
Lahan sanitary yang telah
ditutup
masih
memerlukan
pengawasan dan pemeliharaan
secara berkala
d. Operasional lebih fleksibel, dimana
penambahan jumlah sampah yang
masuk ke TPA dapat ditangani
dengan melakukan penambahan
tenaga kerja dan peralatan yang
sesuai
e. Lahan setelah penutupan sanitary
landfill bisa dimanfaatkan untuk
area parkir, lapangan golf dll.
Disain dan konstruksi yang
khusus
diperlukan
bagi
bangunan yang dibuat di atas
lahan hasil penimbunan sampah
Gas methana atau gas lain hasil
dari penguraian sampah masih
dapat menjadi ancaman atau
bahaya terutama saat lahan
ditutup.
Sumber : Tchobanoglous (1977)
Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan jika menggunakan sistem
sanitary landfill, yaitu :
a. Pihak pengelola harus dapat menjamin sampah diturunkan, ditutup dan
dipadatkan secara efisien.
b. Air sampah (lindi) dan gas harus dikontrol dan dikeringkan untuk menjaga
22
kondisi operasi yang terbaik dan melindungi kesehatan masyarakat serta
lingkungan.
c. Pengelola tempat pembuangan akhir sampah harus bertanggung jawab
terhadap operasional dan pemeliharaan landfill.
2.4.2
Sarana dan Prasarana TPA dengan Sistem Sanitary Landfill
Sarana penunjang TPA yang diperlukan guna menunjang kelancaran
operasional TPA dengan sistem sanitary landfill, antara lain :
1. Prasarana jalan
Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA,
dimana dengan semakin baiknya kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar
kegiatan pengangkutan sehinggga efisiensi semakin tinggi. Prasana jalan TPA
dapat dikelompokan menjadi :
a. Jalan masuk/akses, yakni jalan yang menghubungkan TPA dengan jalan
umum yang telah tersedia.
b. Jalan penghubung, yakni jalan yang menghubungkan antara satu bagian
dengan bagian lain dalam wilayah TPA
c. Jalan operasi/kerja, yakni jalan yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut
menuju pembongkaran sampah.
2. Prasarana drainase
Drainase pada TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
sehingga dapat memperkecil masuknya air hujan ke timbunan sampah. Hal ini
dikarenakan air hujan dapat menjadi faktor utama peyebab bertambahnya debit
lindi yang dihasilkan.
3. Fasilitas penerimaan
23
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang
datang, penimbangan, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk
sampah.
4. Lapisan kedap air
Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang mengalir
ke dasar TPA dan ke kolam pengolah lindi. Lapisan kedap air harus dipasang
di seluruh permukaan dalam TPA dan kolam pengolah lindi.
5. Lapisan pengaman gas
Gas yang terbentuk di TPA seperti gas karbon dioksida (CO2) dan gas metan
(CH4) memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global, karena itu perlu
dilakukan pengendalian gas agar tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Perlu
dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada
titik-titik tertentu.
6. Fasilitas pengaman lindi
Lindi yang merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang
melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan
pencemaran khususnya zat organik yang sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi
menyebabkan pencemaran baik air tanah maupun air permukaan.
7. Bahan Penutup
Bahan penutup adalah berupa tanah yang digunakan untuk memisahkan
sampah dari lingkungan luar pada setiap hari kerja. Penutupan tanah pada lahan
sanitary setiap harinya sangat penting untuk menghindari gangguan lalat dan
vektor penyakit lainnya, mencegah kebakaran dan asap, mengurangi polusi
bau, mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam sampah, mengarahkan gas
24
menuju ventilasi keluar dari sanitary lanfill.
8. Alat berat
Alat berat yang digunakan di TPA umumnya berupa bulldozer, excavator, dan
louder. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
dalam operasionalnya.
9. Penghijauan
Penghijauan pada lahan TPA diperlukan diantaranya untuk meningkatkan
estetika lingkungan sebagai buffer zone untuk mencegah bau dan lalat yang
berlebihan.
10. Fasilitas penunjang
Fasilitas penunjang diperlukan untuk membantu pengoperasian
TPA
diantaranya pemadam kebakaran, kesehatan dan keselamatan kerja, bangunan
untuk kegiatan 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) serta peralatan penunjang lainnya.
2.4.3 Kegiatan 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) pada Operasional dan
Pemeliharaan TPA dengan Sistem Sanitary Landfill
Kegiatan 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) pada operasional dan
pemeliharaan TPA dengan sistem sanitary landfill harus dilakukan dengan baik,
sehingga sampah yang dibuang pada lahan pembuangan hanya berupa sampah
sisa atau sampah yang tidak layak untuk dimanfaatkan. Kegiatan 3 R dapat
dilakukan mulai dari sumber timbulan sampah sampai pada TPA. Kegiatan Reuse
berarti penggunaan kembali sampah secara langsung baik dengan fungsi yang
sama maupun dengan fungsi yang lain. Kegiatan reduce berarti mengurangi segala
sesuatu yang dapat menimbulkan sampah. Dan kegiatan recycle berarti
memanfaatkan kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan.
25
Kegiatan 3 R dilakukan untuk mengendalikan, mengelola, dan
memanfatkan kembali material sampah sehingga memiliki nilai lebih dari sisi
ekonominya. Kegiatan 3 R pada kegiatan operasional dan pemeliharan TPA
dengan sistem sanitary landfill harus dapat terlaksana dengan baik agar volume
sampah yang akan dibuang ke tempat penimbunan akhir sampah dapat dikurangi
sebagai suatu upaya memperpanjang umur rencana pemakaian TPA.
2.4.4
Operasional dan Pemeliharaan TPA dengan Sistem Sanitary Landfill
Operasional dan pemeliharaan TPA regional dengan sistem sanitary
landfill memerlukan penanganan dengan baik sehingga dapat mengatasi
permasalahan dalam pengelolaan sampah. Masalah yang berkaitan dengan
pengelolaan TPA saat ini diantaranya, menurunnya kualitas TPA yang sebagian
besar menjadi open dumping, timbulnya friksi antar daerah/sosial, menurunnya
kapasitas
pembiayaan
daerah,
pola
pengelolaan
TPA
yang
tidak
bertanggungjawab sehingga menimbulkan korban jiwa seperti dalam kasus
longsornya TPA Leuwigajah dan Bantar Gebang (anonim, 2006).
Untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan persampahan yang
tegas dan realistis sehingga dapat digunakan sebagai acauan pemerintah pusat dan
daerah, maka pemerintah pusat menyusun kebijakan dan strategi nasional
pengembangan sistem pengelolaan persampahan yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006. Kebijakan dan strategi
nasional pengembangan sistem pengelolaan persampahan dirumuskan dengan
pengurangan sampah semaksimal mungkin mulai dari sumbernya, peningkatan
peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta sebagai mitra pengelolaan,
peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan, pengembangan
26
kelembagaan, peraturan dan perundangan, serta pengembangan alternatif sumber
pembiayaan.
Pengoperasian dan pemeliharaan TPA dengan sistem sanitary landfill
membutuhkan pengawasan dan pengendalian untuk meyakinkan bahwa setiap
kegiatan yang dilaksanakan di TPA sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.
Untuk dapat melakukan pengawasan dan pengendalian OP TPA dalam UU
Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada
pasal 6 diatur tentang tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah diantaranya
menumbuhkembangkan
dan
pengelolaan
melakukan
sampah,
meningkatkan
kesadaran
penelitian,
masyarakat
pengembangan
dalam
teknologi
pengurangan dan penanganan sampah, memfasilitasi penyediaan prasarana dan
sarana pengelolaan sampah dan manfaat hasil pengolahan sampah.
Wewenang pemerintah pusat dalam pengelolaan sampah diatur dalam
UU Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2008 pada pasal 7 diantaranya
menetapkan kebijakan dan strategi nasional, menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, memfasilitasi dan mengembangkan kerjasama antar daerah,
kemitraan, dan jejaring. Selain itu juga wewenang pemerintah pusat adalah
menyelenggarakan koordinasi, pembinaan dan pengawasan kinerja pemerintah
daerah, dan menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antar daerah.
Wewenang pemerintah provinsi dalam pengelolaan sampah diatur dalam
UU Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2008 pada pasal 8 diantaranya
menetapkan kebijakan strategi dalam pengolahan sampah sesuai dengan kebijakan
pemerintah pusat, memfasilitasi kerjasama antar daerah dalam satu provinsi,
kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah. Wewenang pemerintah
27
provinsi yang lain adalah menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan kinerja kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah, dan memfasilitasi
penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antar kabupaten/kota dalam
provinsi.
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah diatur
dalam UU Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2008 pada pasal 9 diantaranya
menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional
dan
provinsi,
menyelengggarakan
pengelolaan
sampah
skala
kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kreteria yang
ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu wewenang pemerintah kabupaten adalah
melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain, menetapkan lokasi tempat penampungan sementara,
tempat pengolahan sampah terpadu/ tempat pemrosesan akhir sampah, melakukan
pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap tempat pemrosesan akhir
sampah; menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan
sampah sesuai dengan kewenangannya.
Pengoperasian dan pemeliharaan TPA dengan sistem sanitary landfill
akan dapat terlaksana dengan baik jika semua unsur yakni pemerintah, dunia
usaha, dan masyarakat saling bekerjasama dalam pengoperasian dan pemeliharaan
serta pengawasan TPA. Peran masyarakat seperti tertuang dalam UU RI No 18
tahun 2008 diantaranya masyarakat dapat ikut dalam pengelolaan sampah yang
dilakukan pemerintah melalui pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah. Masyarakat juga dapat ikut dalam perumusan kebijakan pengelolaan
28
sampah,
pemberian
saran
dan
pendapat
dalam
penyelesaian
sengketa
persampahan.
Menurut anonim ( 2006), TPA dengan sistem sanitary landfill harus
dapat menjamin terlaksananya fungsi sistem pengumpulan dan pengolahan
leachate, penanganan gas methan, pemeliharaan estetika sekitar lingkungan,
pengendalian vektor penyakit, pelaksanaan keselamatan kerja, penanganan
tanggap darurat bahaya kebakaran dan longsor. Secara teknis setiap data hasil
pemantauan dan pengawasan serta catatan kegiatan perlu dirangkum dengan baik
menjadi suatu laporan sehingga mudah memberikan gambaran mengenai kondisi
pengoperasian dan pemeliharaan TPA.
Download