BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada lima jenis kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap orang, yaitu kebutuhan fisiologis; kebutuhan keamanan; kebutuhan cinta, sayang, dan kepemilikan; kebutuhan esteem; serta kebutuhan aktualisasi diri. Begitu lah lima jenis kebutuhan manusia yang dipaparkan oleh Abraham Maslow. Dalam hierarchy of needs, Maslow (1943) menyebutkan bahwa manusia memiliki tingkatan-tingkatan kebutuhan hidup yang akan terus berusaha dipenuhi sepanjang hidupnya. Lima kebutuhan tersebut kemudian ia gambarkan dalam sebuah piramida yang menjelaskan tingkatan kebutuhan manusia. Salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi adalah kebutuhan cinta, sayang, dan kepemilikan. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan seseorang menjadi bagian dari kelompok atau masyarakat. Seseorang butuh untuk merasa dimiliki dan memiliki sehingga tidak membuatnya merasa sendirian. Apabila kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka seseorang akan merasa kesepian, terasing, dan tidak dapat berkembang. Dengan demikian, tingkatan ini perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum meningkat ke kebutuhan selanjutnya. Sejalan dengan pendapat Fromm (1941) bahwa perasaan kesepian manusia dapat diobati dengan semangat cinta dan kerjasama antarmanusia. Dari sini seseorang dapat merasa saling memiliki dan memberikan konstribusi satu sama lain. Oleh sebab itu, interaksi kita dengan orang lain penting adanya untuk mengatasi kesepian dan keterasingan. Hubungan antarmanusia diawali dengan komunikasi, yakni aktivitas pertukaran pesan antara dua orang. Satu orang berperan sebagai komunikator (pengirim pesan), sedangkan satunya berperan sebagai komunikan (penerima pesan). Komunikasi seperti ini dinamakan komunikasi interpersonal. Melalui komunikasi interpersonal akan menghasilkan interaksi dan pertukaran pesan, baik secara verbal maupun non verbal. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Giffin dan Patton (1971) bahwa komunikasi interpersonal adalah proses yang melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang. 1 Komunikasi interpersonal adalah jenis komunikasi yang paling mudah kita temui karena aktivitas ini dilakukan setiap hari. Keterlibatan dua orang dalam komunikasi interpersonal membuat komunikasi menjadi faktor utama dalam terciptanya sebuah hubungan (relationships). Melalui komunikasi, kita dapat saling berinteraksi, saling memahami, dan ketika kenyaman datang maka kita kerap melakukan hal-hal untuk memelihara hubungan tersebut. Menurut Sternberg (2009), keterbukaan diri (self disclosure) antara dua orang merupakan awal dari sebuah keintiman (intimacy). L. B. Rubin (1985) berpendapat jika keintiman bisa dibentuk melalui persahabatan, meliputi kepercayaan, kejujuran, respek, komitmen, rasa aman, dukungan, kedermawanan, loyalitas, kekonstanan, pemahaman, dan penerimaan. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman sebagai perasaan saling percaya, terbuka, dan berbagi dalam suatu hubungan. Menurutnya, setiap orang, khususnya yang berusia 30-an, akan mencoba membangun keintiman dengan orang-orang sekitarnya sehingga tercipta sebuah hubungan (keluarga, pertemanan, pasangan romantis). Apabila keintiman berhasil dibangun, maka ia akan bersedia untuk berkorban demi menjaga hubungan tersebut. Namun, apabila seseorang mengalami penolakan, maka ia akan mengisolasi dirinya. Keintiman tidak tercipta begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang. Salah satu prosesnya dilakukan melalui komunikasi interpersonal. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, pola komunikasi interpersonal mulai bergeser. Pada awalnya komunikasi interpersonal dipahami sebagai komunikasi face-to-face, yakni komunikasi tatap muka antara komunikator dan komunikan. Dewasa ini fleksibilitas media dan kemudahan akses internet membuat setiap orang dapat terkoneksi dan berkomunikasi satu dengan lainnya tanpa harus bertatap muka, dimana pun, dan kapan pun. Perbedaan ruang dan waktu tidak lagi menjadi alasan penghambat komunikasi antarmanusia. Ketika komunikasi antarmanusia dapat dilakukan melalui media, maka begitu pun dengan keintiman. Bergesernya pola komunikasi antarmanusia diiringi pula dengan bergesernya bentuk keintiman. Berdasarkan penelitian pada tahun 2005, di AS terdapat 3,5 juta pasangan menikah yang berhubungan jarak jauh. 2 Jumlah ini meningkat 30% dari tahun 2000, yakni hanya 2,63%. Penelitian lainnya menyebutkan jika ada sekitar 4,4 juta pasangan mahasiswa (20%-40% mahasiswa dari jurusan yang beragam) yang belum menikah yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Membicarakan new media (media baru) tidak dapat dipisahkan dari internet. Memahami komunikasi interpersonal melalui internet harus disesuaikan dengan konteksnya. Konteks penting untuk diperhatikan karena akan membentuk sudut pandang terhadap fenomena yang akan dipahami. Konteks adalah tempat atau situasi selama komunikasi tersebut berlangsung. Konteks dapat berupa lingkungan fisik, latar belakang hubungan komunikator dan komunikan, budaya, peran gender, bahkan nilai dan norma yang ada di masyarakat (Shedletsky & Aitken, 2004). Konteks penelitian ini adalah keintiman yang terjalin diantara pasangan homoseksual melalui new media. Adapun homoseksual adalah orang-orang yang mendapatkan kepuasan seksual dari pasangan yang berjenis kelamin sama dengan mereka. Homoseksual dibagi menjadi dua, yaitu lesbian dan gay. Lesbian ditujukan bagi homoseksual perempuan, sedangkan gay sebutan untuk homoseksual laki-laki. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena berdasarkan nilai dan norma yang ada di masyarakat Indonesia membuat mereka termarginalkan. Orientasi seksual mereka dinilai tidak sejalan dengan aspek sosial, budaya, dan agama. Oleh sebab itu, di tengah masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai sosial, budaya, serta keagamaan pasangan homoseksual masih mendapat stigma negatif. Menurut survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia, 65% masyarakat Indonesia merasa tidak nyaman bertetangga dengan kaum homoseksual. Hal ini diutarakan oleh Hartoyo, Sekretaris Jendral Ourvoice, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang advokasi hak kelompok LGBT pada Minggu (28/10/2012) di salah satu media online. Tidak mudah bagi pasangan homoseksual hidup di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini lah yang membuat mereka memiliki cara komunikasi tersendiri dibandingkan pasangan heteroseksual yang mana jenis pasangan dominan di 3 masyarakat Indonesia. Orbe (1998) menjelaskan bahwa di masyarakat terdapat hierarki sosial yang mengelompokkan orang-orang ke dalam sejumlah grup. Grup yang dominan memiliki andil kual dalam seluruh sistem sosial, salah satunya adalah sistem komunikasi. Secara sadar atau pun tidak sadar, kelompok dominan akan memformulasikan sistem komunikasi yang mencerminkan pola pikir mereka. Bagi grup yang tidak dominan, mereka cenderung akan menciptakan pola komunikasi sendiri. Adapun Orbe mengelompokkan pasangan gay dan lesbian ke dalam co-cultural groups, yakni kelompok yang tidak dominan namun ada di tengah masyarakat. Pada dasarnya, permasalahan orientasi seksual bukan lah permasalahan sosial. Tidak ada yang salah untuk menjadi seorang homoseksual. Benar atau salahnya identitas seseorang di masyarakat hanyalah parameter sosial yang digunakan di masyarakat (Fromm, 2009). Buktinya, sejak tahun 2005, Inggris telah melegalkan pernikahan sesama jenis (lesbian dan gay). Namun, secara hukum mereka tidak dinamai “marriage”, tetapi “civil partnership”. Keduanya mempunyai hak yang sama layaknya pasangan “marriage”, misalnya hak harta gono-gini (property rights), jaminan pensiun (pension benefit), dan sebagainya. Sebelumnya, pemerintah Inggris melakukan sensus kepada warganya yang mengaku lesbian dan gay. Data yang diperoleh cukup mencengangkan, yakni 6% dari warga negara Inggris adalah seorang lesbian atau gay. Angka tersebut setara dengan jumlah 3,6 juta jiwa orang. Jumlah ini jauh dari perkiraan sebelumnya yang mungkin hanya 1%. Di Indonesia pertumbuhan pasangan homoseksual dinilai cukup signifikan. Meski pertambahannya tidak cepat, mereka terus berkembang dan hal ini terjadi secara underground (tidak kasat mata) sehingga belum ada jumlah yang pasti mengenai pasangan homoseksual di Indonesia. Di Medan, data yang diperoleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) kota Medan menunjukkan bahwa jumlah kaum gay di sana mencapai 1.699 orang, sedangkan jumlah waria adalah 664 orang. Di Yogyakarta, jumlah pasangan lesbian terus bertambah karena didukung oleh faktor sosial dan ekonomi. Yogyakarta merupakan kota yang 4 masyarakatnya memiliki toleransi tinggi, selain itu biaya hidupnya cukup murah (Sulandari, 2004). Tak hanya itu, pekembangan komunitas homoseksual di dunia maya, baik lesbian maupun gay, kini kian berkembang dan terang-terangan. Belum ada angka rigid yang menunjukkan jumlah keberadaan mereka, namun dikutip dari detikINET (15/7/2010), Bob Witeck dari Witeck-Combs Communication menyebutkan bahwa jejaring sosial dan blog kini menjadi komunitas virtual bagi gay dan lesbian. Di Indonesia, telah banyak komunitas virtual lesbian dan gay. Misalnya, situs “ourvoice.or.id” sebagai media penampung aspirasi bagi keluarga LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender). Ada pula “sepocikopi.com”, sebuah website yang mengajak para lesbian Indonesia untuk terbuka dan melakukan perjuangan, atau “lgbtindonesia.org” yang berisi segala informasi tentang dunia LGBT Indonesia dan perkembangannya. Di sana pun terdapat forum yang diikuti oleh beberapa konsultan, seperti konsultan hukum, konsultan psikologi, dan konsultan kesehatan. Selayaknya pasangan heteroseksual, pasangan homoseksual pun memanfaatkan new media dalam membangun keintiman hingga menjalin suatu hubungan. Melalui media ini, pasangan homoseksual menjadi lebih leluasa karena tidak ada nilai dan norma khusus yang berlaku dalam dunia online. Mereka tidak harus berhadapan dengan orang-orang yang menganggap hubungan mereka tabu. Kebebasan gerak di new media membuat mereka lebih bisa berekspresi dalam menyampaikan pesan. Tak hanya berbentuk teks, tetapi pesan-pesan dapat diterjemahkan ke dalam bentuk gambar, video, dan audio. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa di Surabaya menemukan bahwa adanya proses keterbukaan diri dalam komunikasi interpersonal pasangan gay melalui Facebook. Di sana ditemukan adanya cara khusus pada pasangan gay untuk membuka dirinya. Penelitian tersebut menemukan empat alur self-disclosure yang dilakukan oleh pasangan gay lewat Facebook, yaitu clicks, feelings, opinions, dan facts. Tahapan “clicks” menunjukkan langkah perkenalan, biasanya ditempuh melalui pesan di “wall”. Tahapan “feelings” terjadi ketika mereka melakukan pertemuan di dunia nyata, di 5 sana masing-masing pihak mengutarakan perasaannya dan lanjut ke tingkat hubungan yang lebih dalam. Pada tahap “opinions”, perasaan-perasaan negatif mulai muncul. Di sini pasangan gay mulai bertengkar dan biasanya disebabkan oleh pesan-pesan yang ada di dalam Facebook. Sedangkan tahap “facts” ditandai dengan turunnya frekuensi interaksi pasangan di Facebook. Dalam tahap ini masing-masing pihak mulai mempertanyakan apakah hubungan yang dimulai melalui dunia maya tersebut layak diperjuangkan atau tidak. Pihak ketiga, baik keluarga maupun teman, sudah mengambil peran di sini karena dalam tahap ini pasangan gay telah secara terang-terangan menyatakan dirinya dalam suatu hubungan (relationships). Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk membangun keintiman, sedangkan self-disclosure hanya lah salah satunya. Dengan demikian, penelitian ini mencoba untuk memahami bagaimana pasangan homoseksual memanfaatkan berbagai macam new media untuk membangun keintiman. Penelitian komunikasi interpersonal pasangan homoseksual ini diarahkan ke pemanfaatan new media bukan hanya karena bergesernya tren komunikasi antarmanusia, tetapi juga karena dalam dunia virtual tidak terdapat nilai dan norma yang mengikat. Adapun new media tidak terbatas pada jejaring sosial, melainkan seluruh media yang terkoneksi dengan internet. Dari sana akan tercipta sebuah komunikasi virtual, yakni proses penyampaian dan penerimaan pesan melalui ruang maya yang bersifat interaktif. Berangkat dari aktivitas komunikasi interpersonal yang virtual, maka keintiman yang terbentuk pun bersifat virtual (maya). B. Rumusan Masalah Bagaimana kaum homoseksual (lesbian dan gay) membentuk keintiman melalui komunikasi interpersonal dengan pasangannya lewat new media? 6 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui keintiman yang terbentuk melalui komunikasi interpersonal lewat new media diantara kaum homoseksual dengan pasangannya. 2. Untuk mengetahui motif atau tujuan pemilihan new media yang digunakan oleh kaum homoseksual dalam membangun keintiman dengan pasangannya. 3. Untuk memahami jenis pesan yang disampaikan oleh kaum homoseksual melalui new media dalam membangun keintiman dengan pasangannya. 4. Untuk mengetahui jenis new media yang dimanfaatkan oleh kaum homoseksual dalam membangun keintiman dengan pasangannya. D. Batasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa fenomena homoseksual dapat dieksplorasi ke dalam beberapa ranah penelitian. Oleh sebab itu, guna memfokuskan penelitian, maka peneliti membuat batasan penelitian. Adapun batasan tersebut merupakan fokus permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada adalah keintiman yang terbentuk diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay) sebagai hasil dari komunikasi interpersonal melalui new media. New media dikategorikan sebagai segala bentuk media yang terkoneksi dengan internet dan menciptakan interaktivitas. Konsep interaktivitas diambil dari sejumlah teori dan pemahaman yang peneliti jelaskan di bagian kerangka teori dan Bab 2. Peneliti tidak mengaitkan permasalahan homoseksual keluar topik komunikasi interpersonal dan keintiman yang termediasi karena penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena komunikasi. Adanya unsur psikologi di dalam penelitian ini hanya digunakan sebagai perspektif sekunder guna memahami informan dalam memandang keintimannya dengan pasangan melalui new media. Titik tolak analisis data dilihat dari empat aspek, yaitu latar belakang kebutuhan sosial-psikologis informan, new media yang digunakan, motif pemilihan media, dan pesan yang disampaikan. Latar belakang sosial-psikologis menggali tentang bagaimana informan memandang dirinya sebagai homoseksual, 7 baik secara personal maupun sosial. Dengan demikian, peneliti memahami kebutuhan personal dan sosial dari informan. Kemudian, peneliti pun mencari tahu new media yang digunakan informan untuk berkomunikasi dengan pasangannya serta alasan pemilihannya dihadapkan dengan kebutuhan sosialpsikologis informan. Kedua hal tersebut tidak terlepas dari pesan-pesan yang disampaikan, pada akhirnya peneliti dapat mengetahui keintiman yang terbentuk antara informan dengan pasangannya melalui new media karena adanya kebutuhan sosial-psikologis dari diri setiap pasangan. E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Interpersonal melalui New Media Komunikasi interpersonal sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya hal ini terjadi dalam suasana informal dan tatap muka (face-to-face), misalnya tegur sapa dengan teman atau ucapan yang bersifat spontan dan tidak menggunakan tata bahasa baku. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses yang melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan (Giffin dan Patton, 1971). Dalam komunikasi interpersonal, terdapat proses penyampaian berita yang dilakukan oleh seseorang kemudian berita tersebut diterima oleh orang lain atau sekelompok kecil orang guna mendapatkan umpan balik (DeVito, 2002). Adapun Little John (2008) menyebutkan lima kriteria komunikasi interpersonal, yakni harus ada dua orang yang saling menyadari keberadaannya, masing-masing saling ketergantungan dan mempengaruhi, pesan-pesan merupakan hasil dari hubungan timbal balik (feedback), pesan-pesan dituangkan dalam bentuk verbal dan non-verbal, serta komunikasi interpersonal bersifat informal dan fleksibel. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses pertukaran pesan verbal dan non-verbal antara dua orang, salah satunya bertindak sebagai pengirim pesan (sender) dan lainnya sebagai penerima pesan (receiver), guna memperoleh hubungan timbal balik (feedback). Keterlibatan dua orang di dalamnya membentuk komunikasi interpersonal menjadi interaksi yang bersifat diadik. Komunikasi diadik (dyadic 8 communication) adalah pondasi dari komunikasi interpersonal. Tak hanya membicarakan jumlah orang yang terlibat di dalamnya, tetapi komunikasi diadik juga memperhatikan kemampuan masing-masing orang dalam memproses informasi. Interaksi one-to-one ini memperhatikan cara seorang sender dan receiver memproduksi, mengolah, dan menerima pesan, dengan demikian tercipta lah hubungan timbal balik (feedback). Ada dua jenis komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi secara langsung (face-to-face) dan komunikasi termediasi (mediated communication). Perbedaan mendasar keduanya adalah kehadiran pihak sender dan receiver. Pada komunikasi langsung, ada pertemuan fisik secara nyata antara sender dan receiver. Sedangkan komunikasi termediasi dilakukan jika ada beberapa hambatan, seperti jarak, waktu, biaya, dan lainnya. Media menjadi penghubung antara satu orang dengan orang yang lainnya. Selain itu, media pun menerjemahkan pesan ke dalam bentuk yang difasilitasinya, misalnya teks, foto, suara, video, dan sebagainya. Di era globalisasi dan perkembangan teknologi, komunikasi interpersonal tidak hanya terjadi saat tatap muka (face-to-face) atau lewat media konvensional (surat, telefon, dan sebagainya), tetapi juga melalui new media. “Interpersonal communication is one-to-one communication, and some communication scholars the term synonymus with interpersonal relationship. We believe interpersonal communication can be face-to-face (f2f or FtF) or between two people online” (Shedletsky & Aitken, 2004: 143). New media (media baru) lahir pada abad ke-20. Media ini mampu mentransfer informasi secara digital, sistem komputer, atau jaringan data. Pada saat itu, informasi dapat dimanipulasi melalui berbagai cara dan bersifat interaktif. Oleh sebab itu, ciri khas bentuk komunikasi lewat media ini adalah interaktivitas. Dalam bukunya yang berjudul “Communication Technology: The New Media in Society”, Rogers (1986) menyebutkan bahwa interaktivitas adalah, 9 “When two or more individuals exchange messages via a computer-based communication system, with each message being determined in part by the previous messages in the sequence, the human participants will tend to move more closely together (or, in contrast, to diverge) in the meanings that they attach to the topic of communication” (Rogers, 1986: 212-213). Jenis new media dapat dinilai dari dua aspek, yaitu berbasis internet atau berupa digital. New media yang berbasis internet, misalnya adalah website, sedangkan yang berwujud digital, misalnya adalah CD-ROM atau DVD. Namun demikian, dalam penelitian ini new media difokuskan ke arah media yang berbasis internet, baik yang diakses melalui komputer maupun telepon selular. Dalam www.wisegeek.com, disebutkan bahwa di abad 20 orang-orang banyak memiliki koneksi internet. Hal ini menyadarkan mereka bahwa new media telah mencakup jejaring sosial, blog, bahkan situs video lainnya. Di samping itu, perkembangan ini menuju aplikasi dalam telepon selular sehingga menciptakan platform komunikasi yang berbasis jaringan internet. Computer-mediated communication (CMC) adalah interaksi manusia yang dilakukan melalui komputer (Shedletsky & Aitken, 2004). Spitzberg (2006) mendefinisikan CMC sebagai interaksi simbolik secara tekstual antarmanusia melalui teknologi digital. Teknologi yang dimaksud adalah internet, baik melalui telepon selular, instant messaging (IM), ataupun multi-user interactions (MUDs & MOOs). Adapun December (1997) berpendapat bahwa CMC adalah proses komunikasi manusia yang melibatkan orang-orang dan situasi tertentu sehingga menentukan pemilihan media untuk tujuan yang beragam. Berdasarkan sejumlah pendapat di atas, maka dapat disimpulkan jika CMC adalah komunikasi yang membutuhkan dua komponen, yaitu komputer dan jaringan internet. Sebenarnya kedua hal ini tidak lah cukup karena dalam komputer harus terdapat aplikasi yang memungkinkan seseorang dapat berkomunikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, aplikasi-aplikasi tersebut dapat dioperasikan melalui smart phone, personal digital assistant, komputer tablet, dan teknologi komunikasi lainnya. Oleh sebab itu, kajian terhadap CMC tidak terletak pada wujud komputernya, tetapi secara fungsional, yakni produksi pesan untuk tujuan tertentu, pemanfaatan internet untuk 10 pemeliharaan hubungan, keterbukaan diri dalam dunia maya mempengaruhi hubungan interpersonal, dinamika hubungan, dan sebagainya (Walther, 2011). Ketika internet difungsikan secara maksimal untuk berkomunikasi, maka komunikasi melalui internet tidak ada bedanya dengan komunikasi tatap muka (Bernes, 2002). CMC mengubah pola komunikasi interpersonal secara langsung (direct communication) menjadi komunikasi termediasi (mediated communication). Selain itu, kini hubungan manusia secara tatap muka dapat dipengaruhi oleh komunikasi secara online (Wolak, Mitchell & Finkelhor, 2003). Komunikasi interpersonal virtual (virtual interpersonal communication) adalah aktivitas pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang yang dilakukan lewat ruang maya (cyberspace) dan bersifat interaktif. Aspek interaktif antara dua orang di sini harus ada karena apabila tidak mendapatkan respon dan bukan dilakukan oleh dua orang, maka akan termasuk ke dalam komunikasi massa. Dalam komunikasi interpersonal virtual, dua orang saling berinteraksi layaknya tatap muka, hanya saja mereka tidak secara wujud nyata di tempat itu. Ada dua jenis komunikasi ini, yaitu asynchronous communication dan synchronous communication. Asynchronous communication terjadi apabila dua orang tidak dalam waktu dan tempat yang sama, namun pesan tetap sampai ke orang yang dituju. Sedangkan synchronous communication terjadi ketika si pengirim dan penerima pesan berada dalam waktu yang sama sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk saling merespon. Joseph Walther dan Malcolm Parks (dalam Thurlow, Lengel & Tomic, 2004) mengkategorikan teknologi internet dalam CMC menjadi e-mail, listserve, dan mailing list; newsgroup, bulletin board, dan blog; internet relay chat dan instant messaging; metaworld dan visual chat; serta personal homepage dan webcam. Ada pula pendapat lain yang membedakan komunikasi virtual menjadi tiga model, yaitu e-mail, chatting, dan web. E-mail merupakan singkatan dari electronic mail, fasilitas dalam internet yang memudahkan kita dalam berkirim surat. Kita tidak perlu membuang waktu, tenaga, dan biaya. Dalam hal ini, e-mail, listserve dan mailing list termasuk ke 11 dalam asynchronuos communication karena feedback yang kita peroleh harus melalui rentang waktu. Newsgroup, bulletin board dan blog dapat disejajarkan dengan web, yakni laman yang berisi sejumlah informasi dengan link tanpa batas. Saat ini web mampu menciptakan komunikasi interaktif sehingga orang-orang tidak hanya menerima informasi, tetapi juga dapat berbagi informasi (sharring). Internet relay chat dan visual chat adalah fasilitas media online yang dapat digunakan untuk berkomunikasi secara interaktif, baik interpersonal atau pun dengan banyak orang. Berbeda dengan jenis media online sebelumnya, media ini termasuk ke dalam synchronous communication karena kita memperoleh respon saat itu juga. Dua orang atau lebih terlibat dalam waktu yang sama saat berkomunikasi. Sedangkan metawrold dan visual chat hampir sama dengan instant messaging, hanya saja user divisualkan secara grafis. Kemudian, personal homepage adalah laman berisi informasi diri seseorang, dan yang terakhir adalah webcam, yaitu fasilitas chatting yang serupa dengan instant messanging dan visual chat namun masing-masing user dapat saling melihat wujudnya melalui video. Seiring dengan perkembangan teknologi, dilakukan beberapa inovasi dalam media online sehingga tersedia fasilitas-fasilitas baru sebagai sarana komunikasi interpersonal virtual. Salah satu inovasi itu adalah jejaring sosial atau lebih akrab disebut dengan social media. Media ini merupakan gabungan dari email, chatting, newsgroup, blog, hingga webcam. Facebook dan Twitter adalah contoh jejaring sosial yang banyak diminati. Dalam Facebook terdapat lama “about” yang menyediakan sejumlah informasi mengenai diri si user. Ada juga “note” yang memungkinkan si user berbagi informasi. Begitupun fungsi “wall” dan “message” yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi. Kemudian Twitter, yang kerap disebut juga sebagai mini blog. Social media ini mampu menghubungkan orang-orang dari seluruh dunia karena kemudahannya dalam mengakses orang lain. Komunikasi yang dilakukan melalui Twitter dapat digolongkan ke dalam komunikasi interpersonal, tetapi dapat pula komunikasi massa. Apabila pesan dikirimkan melalui “mention” (istilah untuk menunjuk langsung orang yang diajak berkomunikasi melalui Twitter), maka 12 dapat dinamakan komunikasi interpersonal karena langsung ke orang yang dituju. Sama halnya melalui ”direct message”. Namun jika informasi hanya diketik dan di-“tweet” (istilah untuk mem-posting sebuah tweet), maka dapat menciptakan komunikasi massa. Hal ini dikarenakan informasi dilempar ke banyak audiens dan mereka bebas untuk merespon atau meneruskannya ke pihak lain. Berubahnya pola komunikasi interpersonal mendorong inovasi-inovasi di bidang media online. Maka tak heran jika kini semakin banyak media online yang memfasilitasi komunikasi interpersonal, mulai dari aplikasi smart phone hingga instant messaging, seperti BlackBerry Messanger, Whats App, Line, dan sebagainya. Masing-masing pihak, baik sender maupun receiver, memaksimalkan fungsi media online agar tetap bisa berinteraksi satu sama lain sesuai dengan tujuannya. Katz, Blumler, dan Gurevitch (1974) menyebutkan bahwa pengguna media berperan aktif dalam memilih dan menggunakan media. Lewat teori “uses and gratification” mereka menganggap kalau orang secara aktif mencari lalu memilih media tertentu untuk menghasilkan kepuasan dalam dirinya. Seseorang tahu apa yang diinginkannya dari media dan ia pun tahu bagaimana memuaskan kebutuhannya. Pada awalnya, teori ini digunakan untuk mengkaji konsumsi media massa. Motif-motif tersebut berangkat dari pemuasan kebutuhan manusia, yakni cognitive, sebuah kebutuhan akan informasi, pengetahuan, dan hal – hal yang aktual; affective, sebuah kebutuhan yang berkaitan dengan pengalaman emosional, hal – hal yang menyenangkan, atau estetis; personal integrative, sebuah kebutuhan terhadap peningkatan kredibilitas atau kepercayaan diri seseorang; social integrative, sebuah kebutuhan yang terjadi ketika seseorang ingin berhubungan dengan keluarga, teman, dan lainnya; dan tension release, sebuah kebutuhan akan hiburan guna membuat diri rileks sejenak dari masalah. Namun dalam perkembangannya, sejumlah peneliti memanfaatkan teori ini sebagai alat untuk menganalisis motif seseorang memilih media untuk berkomunikasi secara interpersonal. Dengan begitu, motif pemilihan media internet untuk berkomunikasi interpersonal tidak lagi sama seperti yang 13 disebutkan di atas, melainkan motif-motif tersebut menjadi perolehan informasi (information seeking), interaksi interpersonal (interpersonal utility), kenyamanan dalam bermedia (convenience), hiburan (entertainment), dan menghabiskan waktu (passing time) (Papacharissi dan Rubin, 2000). Setiap orang kini bebas memilih jenis-jenis media online sesuai dengan orientasi tujuannya, termasuk untuk memelihara hubungan dengan pasangannya. Masing-masing jenis media online memliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, ditambah pula dengan kebutuhan dan kepuasan manusia yang tidak pernah terhenti, oleh sebab itu media online terus berkembang dan menjadi lebih beragam. 2. Keintiman dalam Sebuah Hubungan Melalui “The Triangular Theory of Love”, Sternberg (1986, 1988) menjelaskan bahwa keintiman adalah perasaan yang menciptakan kehangatan dan ikatan dalam hubungan cinta, seperti saling berbagi, memberikan dukungan emosional, dan berkomunikasi. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman sebagai perasaan saling percaya, terbuka, dan saling berbagi dalam sebuah hubungan. Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) berpendapat bahwa keintiman merupakan kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang akrab. Keakraban ini terlihat dari kedekatan, penghargaan, keterbukaan, komunikasi, tanggung jawab, hubungan timbal balik, komitmen, dan seksualitas. Adapun seksualitas di sini tidak mengacu kepada hubungan seks, melainkan kepuasan yang dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Adapun Fieldman (1995) menyebutkan keintiman adalah proses seseorang mengkomunikasikan perasaan-perasaannya serta informasi diri kepada orang lain melalui proses keterbukaan diri (self-disclosure). Berdasarkan sejumlah pemahaman di atas, maka dapat kita simpulkan jika keintiman merupakan perilaku afeksi seseorang kepada orang lain, termasuk di dalamnya adalah komitmen, saling percaya, keterbukaan diri, hubungan timbal balik, dan saling ketergantungan. Adapun keintiman tidak bisa terjadi pada satu orang, melainkan harus dua orang. Oleh sebab itu, keintiman erat kaitannya 14 dengan hubungan antarmanusia. Keintiman dapat dicirikan dengan ikatan dan intensitas interaksi yang tinggi dalam berbagai bentuk. “According to Cheal (1987), an intimate relationship consist of a private world of significant others, which needs to be continuously maintained. In intimate relationships the significant other is often reminded that “they are indeed significant”. People remind each other through gestures, actions and gifts, some of which may be routine and unremarkable”. (Kjeldskov, dkk., 2004: 103). Keintiman diterjemahkan ke dalam beberapa perilaku (Kjeldskov, dkk., 2005,), sebagai berikut: Self-disclosure; keintiman menunjukkan seberapa terbuka seseorang kepada orang lain yang sesungguhnya membuat dirinya rentan. Communicate emotion; keintiman kadang tak terucap dan minim informasi, namun sangat berarti dan kuat secara emosional. Seiring dengan perkembangan jaman, keintiman tersebut dapat dikomunikasikan melalui media (telefon dan e-mail). Presence in absence; keintiman kuat akan perasaan kehadiran orang lain, meskipun sebenarnya keberadaan orang tersebut di tempat yang berbeda. Ambiguous and incomplete; keintiman bersifat tersirat dan muncul pada konteks perilaku tertentu. Keintiman membagi dan mengisyaratkan dunia masing-masing individu. Private; keintiman biasanya sengaja dibangun oleh pasangan dan tidak terlihat oleh orang lain. Strong mutuality; keintiman merupakan ikatan timbal balik dalam pesan dan tindakan. Keintiman adalah sebuah kesatuan perasaan. Oleh sebab itu, kita tidak dapat memisahkan satu bentuk keintiman dengan bentuk keintiman yang lain. Biasanya satu bentuk keintiman diikuti dengan bentuk keintiman lainnya. Keintiman pun tercipta tanpa kita sadari, dengan demikian keintiman terbentuk seiring berjalannya waktu. Keintiman merupakan hasil dari kepercayaan dan 15 kenyamanan. Dengan begitu, hubungan antarmanusia tidak lagi berada di tahap strangers, tetapi masuk ke tahap relationships. “A relationship becomes more personal, more developed when: (i) its participants become more independent, (ii) interaction increases in depth or intimacy, (iii) interaction increases in breadth or variety, (iv) participants become more commited to maintaining the relationship, (v) participants feel better understood and interaction is more predictable, (vi) personalized ways of communicating emerge, and (vii) the participants’ social networks converge.” (Parks and Roberts, 2005: 278). Menurut Altman & Taylor (1973), self-disclosure merupakan dasar untuk menjalin keintiman. Keintiman berkembang melalui penyingkapan informasi, pikiran, dan perasaan kepada pasangan. Self-disclosure adalah sebuah proses di mana kita menginformasikan hal-hal tentang diri kita yang sebenarnya tidak patut diketahui oleh orang lain (Gamble & Gamble, 2005: 70). DeVito (1986) menjelaskan bahwa informasi yang diberikan ketika seseorang melakukan selfdisclosure adalah hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Selain itu, self-disclosure tidak dapat dilakukan sendiri (komunikasi intrapersonal). Sebuah komunikasi dapat dikatakan self-disclosure apabila sedikitnya melibatkan satu orang lain karena informasi tersebut harus diterima dan dimengerti oleh selain diri kita. Dari respon yang diberikan orang lain, kita dapat memahami sejauh mana understanding (pemahaman terhadap perasaan dan kebutuhan), validating (pemahaman terhadap topik dan konteks pembicaraan), serta caring (afeksi yang ditunjukkan). Proses tersebut terangkum dalam alur berikut: tahap orientasi, pertukaran penjajakan afeksi (exploratory affective exchanges), pertukaran afeksi (affective axchanges), dan pertukaran stabil (stable exchanges). Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa keintiman tidak dapat terbentuk begitu saja, tetapi membutuhkan waktu hingga mencapai kedekatan hubungan sampai tahap tertentu. Sternberg (1986) membedakan dua jenis hubungan, yaitu friendship (hubungan yang didominasi keintiman) dan romantic relationships (hubungan yang didominasi hasrat, namun dikombinasikan dengan keintiman dan komitmen). Williams, dkk. (2006) mengelompokkan “soulmate” ke dalam tiga kategori, yaitu best friend, confidant, dan romantic partner. Menurutnya, 16 romantic partner tidak selalu dihubungkan dengan hasrat seksual, tetapi dapat diarahkan menjadi companionate love, yakni hubungan yang menekankan keintiman (afeksi dan komitmen) dengan orang lain. Dalam “Wheel Theory”, Reiss (1960) menggambarkan perkembangan cinta seperti sebuah roda yang melalui empat tahap, yaitu rapport, self-revelation, mutual depedency, dan intimacy need fulfillment. Rapport adalah tahap di mana kita mendapatkan kenyaman dengan orang lain karena beberapa kesamaan, seperti sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dari sini kita mulai mengembangkan komunikasi menjadi lebih baik dan mendalam, misalnya bertukar ide. Selfrevelation merupakan tahap seseorang mulai terbuka dengan perasaannya. Masing-masing mulai berani mengutarakan ketakutan, harapan, dan ambisi, bahkan terkadang mulai melakukan hubungan seksual secara fisik. Pada tahap mutual depedency, dua orang mulai menjadi pasangan (couple). Mereka semakin intens melakukan berbagai hal bersama-sama, misalnya berolahraga, pergi ke bioskop, sampai tidur bersama. Di tahap ini pun perbedaan usia, budaya, nilainilai, dan prinsip mulai dikesampingkan. Sampai akhirnya pada tahap intimacy need fulfillment, hubungan menjadi lebih konsisten, masing-masing saling ketergantungan, dan mengisi kebutuhan. Mereka saling mendukung dan memperdalam cintanya. Meskipun demikian, keempat tahap tersebut layaknya roda, ia terus berputar dan melewati tahap-tahap itu berkali-kali hingga akhirnya menjadi semakin dalam atau berhenti menjadi hubungan yang singkat. 3. Keintiman yang Termediasi Internet menyediakan ruang baru bagi manusia untuk menciptakan kehidupan dan memenuhi kebutuhan afeksinya. Terlebih perkembangan jejaring sosial membuat kita semakin mudah bertemu dengan orang-orang. Meskipun internet tampak seperti media massa karena audiensnya banyak, tetapi CMC memandang internet sebagai media komunikasi interpersonal dibandingkan bentuk komunikasi lainnya (Walther, 1996; Walther, Anderson & Park, 1994). Keintiman yang terjalin melalui new media memang bukan keintiman secara fisik. Bentuknya bukan berupa kedekatan jarak ataupun sentuhan-sentuhan, 17 tetapi sebuah pemenuhan rasa cinta dari seseorang. Seperti yang dijelaskan oleh Model (1989), pada tahun 1950-an cinta dideskripsikan sebagai hasrat pertemuan secara fisik, kini cinta dikategorikan sebagai pemenuhan kebutuhan melalui interaksi, komitmen, afeksi, dan perilaku tidak mengekang. Ketergantungan kepada pasangan bukan lagi jaminan untuk hidup bersama, tetapi negosiasi diantara keduanya sehingga masing-masing dapat menempatkan diri. Bertambahnya jumlah “internet dating” mengindikasikan bahwa pola pikir masyarakat terhadap keintiman telah berubah. Kehadiran fisik pasangan bukan lagi faktor utama penentu kedekatan mereka dengan pasangan. Orang-orang kini mengedepankan kepercayaan, komitmen, dan sikap saling menghormati untuk memelihara hubungannya. Kehadiran new media di tengah masyarakat telah mampu menggantikan keberadaan fisik seseorang. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Lüders pada tahun 2009 membuktikan bahwa komunikasi secara online dapat dijadikan cara untuk memelihara hubungan. “To Stine, the computer is a practical tool for effectively keeping in touch with friends when she does not have time or occasion to meet then face-toface, and similary important as a tool for planning offline social meetings when she has time off. Her social life is lagerly shaped by how she manages to integrate online and offline social practices, enabling her to navigate between school, homework, ballet, and friends”. (Lüders, 2009: 205). Kualitas hubungan pasangan melalui new media dapat dilihat dari kualitas interaksinya. Sejumlah penelitian sebelumnya membuktikan bahwa keintiman pasangan melalui new media kini dinilai dari kualitas interaksi atau seberapa besar motivasi yang diberikan oleh masing-masing pihak. Hal ini dilakukan untuk menjaga kedekatan, kenyamanan, dan komunikasi diantara keduanya (Sullivan, 1953, dalam Rau, dkk., 2008). Meskipun beberapa kajian mengonsepkan keintiman dalam bentuk yang berbeda, tetapi self-disclosure dan dukungan emosional tetap menjadi landasan yang utama. Keintiman yang dibangun melalui new media adalah hasil dari dinamika CMC, yakni proses keterbukaan diri seseorang dalam memberikan informasi, penerimaan respon dari pasangannya, serta interpretasi pesan-pesan sebagai tahap 18 understanding, validating, dan caring. Keterbukaan diri (self-disclosure) dicirikan sebagai komunikasi verbal (verbal exchange) sebagai faktor utama penentu keintiman tersebut. Adapun dukungan emosional (emotional support) merefleksikan keintiman secara afektif (affective intimacy), seperti ekspresi perasaan dekat, dukungan moral, toleransi, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, Kjeldskov, dkk (2005) merumuskan sepuluh bentuk keintiman termediasi yang dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu: Antecedent, tindakan awal keintiman yang dilakukan untuk menciptakan bentuk keintiman lainnya. Contituents, bentuk keintiman selanjutnya. Yield, bentuk keintiman yang lebih mendalam sebagai hasil pertukaran keintiman-keintiman sebelumnya. Adapun kesepuluh bentuk keintiman itu adalah, sebagai berikut: a. Self-disclosure adalah sebuah tindakan pemberian informasi pribadi, seperti perasaan kita terhadap orang lain (Kjeldskov, 2004). Selfdisclosure menekankan kepada keterbukaan (openness) dan pengertian (receptive) seseorang kepada orang lain sehingga tidak adanya dinding pemisah dalam sebuah hubungan. Dua orang yang melakukan selfdisclosure dengan baik, maka mampu menciptakan keintiman lainnya. Begitu pun sebaliknya, apabila mereka gagal dalam hal ini, maka tidak dapat membentuk keintiman lainnya. b. Trust adalah kepercayaan atau keyakinan terhadap pasangan bahwa ia tidak akan merusak hubungan. Tingginya tingkat kepercayaan berbanding lurus dengan toleransi masing-masing pihak. Begitu pun dengan keintiman, semakin tinggi kepercayaan, maka dialog-dialog keintiman akan semakin berkembang. Keintiman ini bersifat kenyamanan dan privat. c. Commitment adalah sekumpulan tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan atau memeliharan keintiman. Kesalahpahaman komitmen dapat mengubah bentuk hubungan, dengan demikian komitmen menjadi salah satu dasar dari bentuk sebuah hubungan. Komitmen bukan hanya janji tidak berselingkuh, tetapi juga konsistensi menjalankan tanggung 19 jawab dalam sebuah hubungan, melibatkan pasangan dalam kehidupan dibanding berperilaku individualis, termasuk juga “cost and reward” saat hidup bersama. d. Emotional adalah perasaan yang dikomunikasikan melalui tindakan atau simbol tertentu. Biasanya hal ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang dituju dan melalui bentuk pesan yang sederhana. e. Reciprocity adalah hubungan timbal balik atau respon yang diberikan oleh pasangan. Hal ini sering kita temukan ketika seseorang mengucapkan “I love you” atau pesan selamat malam sebelum tidur. Dari respon yang diberikan kita dapat menilai seberapa dalam keintiman yang terjalin dalam sebuah hubungan. Apabila pesan-pesan yang dikomunikasikan tidak mendapatkan respon (diabaikan), maka dalam hubungan tersebut masih ada dinding pemisah. f. Expressive adalah keintiman non-verbal yang tak jarang bersifat ambigu. Meski dua orang telah lama menjalani hubungan masih ada kemungkinan terjadi kesalahpahaman. Hal tersebut dikarenakan keintiman jenis ini bergantung pada kreativitas manusia. Bentuk pesan dapat berubah sesuai dengan media dan perasaan yang ingin disampaikannya. g. Physical adalah pertemuan fisik, mulai dari kedekatan secara fisik hingga hubungan seksual (Moss & Schwebel, 1993). Dalam konteks keintiman termediasi, kedekatan fisik diekspresikan secara verbal dan non-verbal, misalnya bertukar foto, webcam, atau mengirim hadiah. Meskipun demikian, tak jarang orientasi keintiman ini mengekspresikan keinginan kedekatan secara fisik nyata atau aktivitas seksual. h. Public & Private adalah keintiman yang dilakukan pasangan, baik di depan publik atau pun tidak. Setiap pasangan memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan komitmen dan rasa sayangnya. Oleh sebab itu, tak jarang keintiman ini dihubungkan dengan public display affection, yakni pengekspresian kasih sayang terhadap pasangan di depan publik secara verbal dan non-verbal, misalnya ciuman, kata-kata mesra, dan sebagainya. 20 Adapun pesan yang dikomunikasikan dapat secara terang-terangan atau simbol-simbol yang hanya dimengerti beberapa pihak. i. Presence-in-absence adalah perasaan subjektif terhadap keberadaan orang lain, baik secara fisik maupun non-fisik (Register & Henley, 1992). Perasaan ini dapat muncul disebabkan hal-hal yang bersifat simbolik. Beberapa peneliti menyatakan bentuk keintiman ini bersifat irrational (tidak masuk akal), namun sangat mampu untuk menciptakan dan memelihara keintiman. j. Strong yet vulnerable adalah perasaan tidak aman pada masing-masing pihak. Keintiman memang menguatkan hubungan, namun keintiman pun dapat menumbuhkan kekhawatiran dari masing-masing pihak akan keberlanjutan hubungan mereka ke depannya. 21 Self-disclosure Openness Receptive Trust Commitment Work-in-Progress Shared-Past Shared-Future Common world-view Antecedents (or conditions for intimacy) Comfortable Private Emotional Physical Stroking & Patting Expressive Non-verbal Multi-layered Flirting & Playful Ambiguous Reciprocity Serendipity Fragile Temporality Constituents Public & Private (or themes of intimate acts) Factual Verbal Routine & Duty Secret Codes Yields Presence-inabsence Strong yet vulnerable (or result of intimate acts) Gambar 1 Antecedents, Constituents, and Yields of Intimacy based on Kjeldskov, dkk (2005) 22 4. Homoseksual dan Masyarakat Menurut Masland (2010), identitas seksual merupakan sekumpulan faktor yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat kombinasi bentuk perasaan diri seseorang secara internal dan eksternal, meliputi jasmaniah, emosional, psikologis, keturunan, dan lingkungan. Adapun akhirnya identitas seksual tersebut mengarahkan seseorang kepada orientasi seksualnya, yakni homoseksual atau heteroseksual. LeVay (1993) mendefinisikan orientasi seksual sebagai, “The direction of sexual feelings or behavior toward individuals of the opposite sex (heterosexuality), the same sex (homosexuality), or some combination of the two (bisexuality)”. (dalam Abramson & Pinkerton, 2002: 94-95). Homoseksual merupakan sebutan bagi laki-laki atau perempuan yang secara seksual memiliki ketertarikan dengan jenis kelamin sama dengan dirinya. Hampir seluruh kaum homoseksual tidak memiliki ketertarikan pada seseorang yang berbeda jenis kelamin. Gay adalah istilah yang kerap digunakan bagi kaum homoseksual laki-laki, sedangkan kaum homoseksual perempuan dinamakan lesbian. Tidak ada ciri fisik khusus seseorang dikatakan gay atau lesbian, termasuk juga karakteristik secara penampilan. Penelitian Tully (1992) membuktikan bahwa hampir semua pasiennya percaya bahwa peralihan orientasi seksual mereka dipengaruhi oleh keyakinan kuat bahwa mereka memang menyukai sejenis. Beberapa mengaku bahwa physical sex itu berbeda dengan psychological sex. Physical sex sama halnya dengan sesuatu yang bersifat biological, artinya sesuatu yang dibawa sejak lahir dan dapat dianalisis oleh seorang dokter. Namun psychological sex adalah bagianbagian yang tidak dapat dijamah oleh seorang dokter, ini merupkan bagian yang hanya dapat dirasakan. Dalam studinya, Tully juga menemukan beberapa penyebab pergeseran orientasi seksual. Hasil yang diperoleh merupakan pendapat-pendapat respondennya mengapa mereka menjadi homoseksual. Secara biologis, mayoritas respondennya mengutarakan bahwa orientasi seksual mereka dipengaruhi oleh gen, otak, dan hormon. 23 Namun tidak semua orang homoseksual menyetujui hal tersebut. Lainnya menyebutkan bahwa homoseksual berasal dari lingkungan (budaya) atau dari dalam diri mereka sendiri. “Transsexualism is when men’s innermost feminime feelings are forced outward to the surface where the become concrete. This is part of witchcraft theory (MF 14)” (Tully, 1992: 109). Bagaimana pun, fenomena homoseksual didominasi oleh bergesernya peran gender seseorang (maskulin/feminim) daripada sekedar permasalahan orientasi seksual atau perilakunya (dalam Abramson & Pinkerton, 2002: 96). Secara budaya, maskulinitas dan feminitas didefinisikan sebagai perilaku khusus dan peran-peran tertentu. Sedangkan secara psikologis, keduanya termasuk ke dalam personal character. Permasalahan orientasi seksual adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Beberapa orang masih merasa enggan untuk mendiskusikannya secara terbuka, terlebih topik homoseksual di Indonesia. Secara kultural Indonesia masih sulit untuk menerima keberadaan mereka. Nilai dan norma yang ada di Indonesia belum mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap kaum homoseksual. Ketabuan ini disebabkan oleh masyarakat yang menjadikan homoseksual sebagai entitas budaya, bukan kondisi seksual seseorang. Mereka memarginalkan kaum homoseksual sehingga secara umum perilaku kaum homoseksual dianggap menyimpang (tidak sesuai nilai dan norma). Sayangnya, bentuk penolakan bukan hanya terjadi di Indonesia dan secara nyata. Clark (1998) menyebutkan bahwa penerimaan terhadap kaum gay dan lesbian di dunia maya pun masih kurang. Beberapa informan penelitiannya mengaku jika hal yang paling buruk adalah ketika mereka terlibat dalam gay atau lesbian chatroom (lounge). Alasan mereka adalah hal tersebut merupakan ranah terlarang dan bukan tempat yang tepat untuk mencari teman atau pasangan. Adapun beban kelompok homoseksual yang tinggal di lingkungan individualis (perkotaan) berbeda dengan di lingkungan kolektivis (pedesaan atau kota kecil). Di lingkungan individualis, terutama di kota-kota besar, pilihan hidup dan berperilaku bukan masalah besar. Kaum homoseksual di lingkungan ini tidak 24 merasa dilema yang hebat, meski bagaimana pun mereka tetap terbebani tanggung jawab secara sosial. Lain halnya dengan pasangan homoseksual yang hidup di lingkungan kolektivis. Di sini mereka harus menerima resiko dikucilkan, meski pada kenyataannya mereka tidak melakukan tidak kriminal atau pun asusila. “Dua orang perempuan homoseksual terbuka boleh hidup bersama dalam keintiman yang penuh, dalam beragam komunitas tanpa penolakan sosial jika mereka tidak memamerkan penyimpangan-penyimpangan secara berlebihan. Misalnya, berpakaian maskulin atau salah satu dari mereka bertingkah laku seperti laki-laki. Kadang-kadang, bahkan jika mereka melakukan ekstrem ini,, mereka lebih dianggap aneh daripada dianggap tabu. Di sisi lain, dua laki-laki yang mencoba melakukan hal yang sama mungkin akan menjumpai permusuhan yang terang-terangan”. (Fromm, 2007: 189). Terbatasnya ruang gerak kaum homoseksual tidak menyurutkan tekadnya untuk mempertahankan eksistensi. Meski mengalami beberapa penolakan dari berbagai pihak, kini komunitas homoseksual mulai bertambah dan terus berkembang, baik secara nyata maupun virtual. Masing-masing komunitas membawa garis perjuangannya sendiri namun tetap bermuara pada satu hal, yakni untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat. Salah satu penyebab kesan negatif kaum homoseksual adalah pemberitaan di media. Tak sedikit ditemukan aktivitas-aktivitas homoseksual dekat dengan dunia malam, HIV AIDS, atau penculikan hingga pembunuhan. Padahal kenyataan di lapangan, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas homoseksual banyak melakukan aktivitas positif, seperti edukasi kesehatan hingga kegiatan bakti sosial. Sayangnya, berita yang ada di media lebih banyak menginformasikan sisi gelap dari kehidupan homoseksual. Tak hanya berita yang disiarkan, pesan-pesan yang tersebar pun lebih banyak komentar miring terkait kehidupan homoseksual. Hal ini wajar adanya mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah heteroseksual. Sesuai dengan pendapat Orbe (1998) bahwa kaum mayoritas dalam sebuah masyarakat mampu mengendalikan sistem komunikasi sosial. Komunikasi menjadi proses di mana realitas dibangun, dipelihara, dibenarkan, dan diubah. Melihat fenomena ini, selama kaum homoseksual masih tergolong kelompok 25 minoritas, maka status keberadaannya di masyarkat akan bergantung kepada pola pikir dan tindakan kelompok mayoritas. F. Kerangka Konsep Berkembangnya dunia teknologi komunikasi serta kemudahan akses internet membuat pola komunikasi antarmanusia bergeser. Kini, sulitnya pertemuan fisik dapat diatasi dengan komunikasi melalui new media. Media ini cenderung dimanfaatkan oleh mereka yang terpisah secara ruang dan waktu. Namun, berbeda bagi kaum homoseksual, pemanfaatannya bukan hanya didasari oleh tren dan fleksibilitas, tetapi juga mengantisipasi sikap penolakan dari masyarakat. Adanya anggapan tertentu terhadap mereka, membuat pasangan homoseksual membutuhkan ruang sendiri untuk mampu terbuka dan merasa dekat dengan pasangannya. Melihat kenyataan yang ada, bahwa tren komunikasi antarmanusia bergeser dan kebutuhan ruang privat antara pasangan homoseksual, maka komunikasi interpersonal yang tercipta adalah komunikasi virtual, yakni komunikasi yang terhubung oleh jaringan internet. Komunikasi ini bersifat maya karena dua orang yang terlibat seolah-olah berada dalam ruang yang sama, padahal kenyataannya ruangan tersebut tidak berwujud nyata (maya). Lewat komunikasi seperti ini, pasangan homoseksual memiliki ruang yang lebih aman, nyaman, dan ekspresif, dibandingkan secara terang-terangan di depan publik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya bentuk penolakan secara nyata karena dalam dunia maya tidak ada satu nilai dan norma tertentu. Dewasa ini, manusia tidak lagi dianggap sebagai pihak pasif dalam berkomunikasi. Alih-alih seperti itu, manusia kini menjadi pihak yang aktif, artinya bebas memilih media apa yang akan digunakan hingga menciptakan pesan ke dalam bentuk apapun. Pesan tidak hanya berbentuk verbal, tetapi juga nonverbal yang beragam dan dapat dikombinasikan semuanya. Dengan demikian, dari sini kita dapat melihat banyaknya ragam pesan yang dapat diproduksi kemudian dikomunikasikan melalui new media tertentu, sesuai dengan kemampuan media tersebut dan kebutuhan si pengirim pesan. 26 E-mail, chatting, dan social media adalah sejumlah new media yang dapat dipilih guna berkomunikasi dengan pasangan. Di dalamnya terdapat sejumlah fasilitas yang juga mendukung interaksi kita dengan pasangan. Lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, intensitas komunikasi dapat menciptakan sebuah keintiman. Adapun keintiman dapat terbentuk sesuai dengan pesan yang disampaikan melalui media. Begitu lah terbentuknya sebuah keintiman yang termediasi akibat komunikasi yang dilakukan melalui media. Di sisi lain, perbedaan pemanfaatan media tergantung pada kebutuhan setiap pasangan. Hal ini tidak hanya didorong perbedaan fasilitas media, tetapi juga fungsi media yang tidak seluruhnya sama. Oleh sebab itu, manusia adalah makhluk aktif yang bebas memilih media serta memproduksi pesan guna memenuhi kebutuhannya, yakni kebutuhan berkomunikasi dan kebutuhan afeksinya. Komunikator Pesan Media Komunikan Keintiman Skema 1 Alur berpikir penelitian 27 Motif Pemilihan Media Keintiman Jenis New Media Self-disclosure Commitment Trust Information Seeking Emotional Interpersonal Utiliy Latar Belakang Kebutuhan Sosial-Psikologis Asynchronous communication Reciprocity Physical Convenience Entertainment Synchronous communication Passing Time Expressive Public & Private Presence-inabsence Strong yet vulnerable Skema 2 Konsep Penelitian 28 G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Melihat pesatnya perkembangan internet, kini dunia virtual tak kalah kaya akan fenomena dibandingkan dengan dunia nyata. Teknologi menghapus keterbatasan komunikasi sehingga interaksi dunia offline bergeser menjadi online atau sebaliknya (Gajjala, 2000; Garcia, Standlee, Bechkoff and Cui, 2009). Hal ini lah yang mendorong pengembangan-pengembangan metode penelitian, salah satu diantaranya adalah etnografi di ranah komunikasi interpersonal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian etnografi observasi partisipasi (participant observation). Metode ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan peneliti, yaitu memahami keintiman yang terbentuk dari komunikasi interpersonal pasangan homoseksual melalui new media. Adapun keintiman adalah sesuatu yang subjektif sehingga bentuk dari keintiman tersebut sesuai dengan perspektif masing-masing informan. Seperti yang dijelaskan dalam www.sociology.org.uk (2003), bahwa “Participant observation, however, is sometimes called a form of subjective sociology, not because the researcher aims to impose their beliefs on the respondent (this would simply produce invalid data), but because the aim is to understand the social world from the subject's pointof-view. This method involves the researcher "getting to know" the people they're studying by entering their world and participating - either openly or secretly - in that world. This means you put yourself "in the shoes" of the people you're studying in an attempt to experience events in the way they experience them.” (www.sociology.org.uk, 2003, diakses pada Februari 2013). Prinsip etnografi adalah memahami fenomena sosial melalui kehidupan sehari-hari manusia (Emerson, Fretz and Shaw, 2008) dan analisis bentuk kebudayaannya serta perspektif dari lingkungannya (Gay, Mills and Airasian, 2006). Ada dua jenis cara yang dapat ditempuh dalam penelitian etnografi observasi partisipasi, yaitu overt dan covert. Metode overt memposisikan peneliti terbuka terhadap informannya, artinya ia memberitahu informan mengenai penelitian, jangka waktu, dan sebagainya. Sedangkan, metode covert adalah sebaliknya. Metode ini membuat peneliti terlibat penuh dalam grup dan 29 lingkungan yang ditelitinya tanpa menginformasikan apapun kepada mereka. Untuk penelitian ini, peneliti memilih metode overt dengan alasan sebagai berikut: 1. Guna mendapatkan akses yang lebih mudah ke dalam dunia homoseksual. 2. Agar dapat merekam wawancara dengan leluasa sehingga pertanyaanpertanyaan yang diajukan mendalam. 3. Dapat menempatkan peneliti sebagai partisipan sekaligus pengamat fenomena di lapangan. Penelitian ini pun bersifat deskriptif kualitatif, artinya hasil analisis data nantinya akan dituangkan dalam bentuk penjabaran fakta – fakta sehingga memperoleh penggambaran realitas yang utuh. Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2008) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan menurut Lindolf dan Taylor (2002) peran peneliti dalam penelitian kuaitatif adalah “qualitative researchers seek to preserve and analyze the situated form, content, and experience of social action, rather than subject it to mathematical or other formal transformations”. 2. Informan Penelitian Subjek penelitian ini adalah dua orang gay dan dua orang lesbian. Subjek dipilih secara acak. Hal ini dilakukan guna mendapatkan latar belakang yang beragam dan kemudahan akses peneliti. Meskipun demikian, ada beberapa kriteria yang telah peneliti tentukan, yaitu: a. Subjek adalah seorang homoseksual (lesbian atau gay), b. di awal penelitian, subjek sedang menjalin hubungan dengan sejenisnya. Apabila subjek putus atau mengalami kerenggangan hubungan, maka dianggap sebagai dinamika dalam hubungan tersebut, dan 30 c. subjek menggunakan new media untuk berkomunikasi dengan pasangannya. 3. Sumber Data Ada dua sumber data yang digunakan, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama yang akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis data lainnya. Dalam penelitian ini sumber data primer berasal dari interview (wawancara) dan recording (rekaman percakapan). Jenis data keduanya dipilih guna menyelaraskan hasil wawancara dengan fenomena online yang diteliti. Hal ini dipelukan karena keabsahan hasil penelitian computer mediated communication (CMC) adalah keselarasan data dan dari yang diucapkan oleh informan dengan kenyataannya secara online. “Researchers focus on the unique and dynamic relationships that exsist between different “species” of users in CMC contexts (e.g., between students, faculty, and reference librarians in university libraries). Users are bellieved to alternately collaborate and compete in defining technologies, establishing their relationships, and managing their use”. (Lindlof dan Taylor, 2002: 263) Wawancara mendalam (in depth interview) adalah jenis wawancara yang dipilih. Wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data secara lengkap dan mendalam dari informan. Wawancara dapat dilakukan secara tatap muka (face to face) atau pun melalui chatting. Namun, untuk mempertahankan validitas penelitian, wawancara melalui media dilakukan apabila dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut dari informan. Sedangkan perangkan fisik adalah foto, rekaman percakapan, maupun bukti fisik lainnya yang merujuk pada aktivitas komunikasi interpesonal subjek dengan pasangannya melalui dunia maya. Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung dan menambah analisis data primer. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari dokumen, berupa literatur, artikel, publikasi nasional maupun internasional. 31 4. Teknik Pengumpulan Data Ada dua cara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Interview (Wawancara) Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan interview guide, namun adanya interview guide tidak membatasi peneliti dalam menggali informasi. Interview guide hanya digunakan sebagai panduan sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun tidak harus urut sesuai susunan pertanyaan dalam interview guide. Wawancara pun dilakuakan dalam dua jenis, yakni bertemu langsung (face-to-face) dan secara online. Saat melakukan online interview, peneliti memanfaatkan instant message (IM) sebagai media wawancara. b. Recording Teknik ini merupakan pengambilan data berdasarkan rekaman percakapan informan. Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan transkrip komunikasi setiap pasangan melalui new media sebagai data komunikasi interpersonal virtual subjek penelitian. Transkrip komunikasi tidak sebatas obrolannya melalui media komunikasi interpersonal online saja, apabila terdapat interaksi di media sosial maka akan memungkinkan peneliti jadikan sebagai data. 5. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, peneliti kualitatif melakukan tiga tahapan, yaitu data management, data reduction, dan conceptual development (Lindolf dan Taylor, 2002). Data management adalah tahap pengelompokkan data. Peneliti mulai mengkategorikan data-data berdasarkan new media yang digunakan, motif pemilihan dan penggunaan new media, hingga pesan yang ada di dalamnya. Beberapa data yang dianggap belum cukup mampu membedah permasalahan kembali dikaji dari informan. Tahap data reduction adalah identifikasi dan pemilahan data. Pada tahap ini peneliti memilah mana data yang diperlukan untuk kemudian dikelompokkan dan dikaji, serta mana data yang tidak memiliki urgensi dan disimpan. Kemudian, 32 pada tahap conceptual development peneliti menghubungkan konsep, teori, dan data yang diperolehnya. Peneliti menginterpretasikan data – data sehingga melahirkan temuan – temuan terhadap realita yang dikaji. Strategi analisis data yang digunakan adalah triangulasi data. Menurut Stainback (dalam Sugiono, 2007; Bachri, 2010), triangulasi bukan bertujuan untuk menemukan kebenaran tetapi meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang dimilikinya. Peneliti akan menggunakan data dari berbagai sumber kemudian mengeceknya dari berbagai sudut pandang berbeda. 33