1.PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, jagung saat ini

advertisement
1
1.PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, jagung saat ini merupakan komoditas strategis yang
dibutuhkan untuk banyak industry.Selain untuk pakan ternak, jagung banyak
dibutuhkan untuk industri makanan, baik untuk olahan jagung maupun untuk
bahan pelengkap makanan. Selain itu, jagung juga mempunyai peranan penting
terhadap perekonomian nasional dan telah menempatkan jagung sebagai
kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tanaman pangan serealia, oleh
karena itulah dapat dipahami kebutuhan akan jagung sangatlah tinggi (Dirjen
Tanaman Pangan, 2012). Angka produksi jagung sendiri setiap tahunnya memiliki
kecenderungan naik diiringi angka produktivtias yang juga terus meningkat. Pada
Tabel 1 dapat dilihat tingkat produksi jagung dari tahun 2007 yang hanya
13.287.527 ton meningkat setiap tahun hingga tahun 2012 yaitu 18.838.529 ton,
sedangkan produktivtias sendiri telah naik pada tahun 2007 dengan nilai 3.66
ton/ha menjadi 4.84 ton/ha pada tahun 2012.
Tabel 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia 2007-2012
Tahun
Produksi
Pertumbuhan Luas Panen Produktivitas
Pertumbuhan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-Rata
( Ton)
Produksi (%)
( hektar)
( Ton/Ha)
Produktivtias(%)
13.287.527
16.317.252
17.629.748
18.327.636
17.643.250
18.838.529
17.007.323.67
22,8
8,04
3,96
-3,73
6,77
7,57
3.630.324
4.001.724
4.160.659
4.131.676
3.864.692
3.890.974
3946675
3,66
4,07
4,23
4,43
4,56
4,84
4,30
11,20
3,93
4,73
2,93
6,14
5,79
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)
Berdasarkan Tabel 1 juga diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2012
peningkatan angka produksi jagung rata-rata setiap tahun adalah sebesar 7.5%,
peningkatan laju produksi jagung dalam negeri ini dipengaruhi oleh tingginya
permintaan pakan ternak, hal ini didukung oleh pendapat Haryono (2012) bahwa
proporsi penggunaan jagung untuk pakan terhadap total kebutuhan jagung
mencapai 83% dan Tangenjaya et al(2002) bahwa komposisi pakan yang berasal
dari jagung, adalah untuk ayam pedaging 54% dan ayam petelur 47,14%.
Kenaikan angka produksi tersebut harusnya dapat memenuhi kebutuhan jagung
dalam negeri sehingga dapat menahan laju impor jagung, namun kenyataannya
data lima tahun terakhir menunjukan kenaikan pada jumlah impor yang
signifikan.Pada Gambar 1 terlihat grafik impor jagung meningkat signifikan dari
tahun 2009 hingga tahun 2012, pada tahun 2009 impor jagung berjumlah 338.778
ton hingga tahun 2011 mencapai 3.207.657 ton yang meningkat sebesar 846.77%,
sementara dari gambar 2 yaitu gambar kebutuhan total pakan ternak Indonesia,
dapat disimpulkan bahwa dalam rentang 2010 hingga 2012 impor juga mensuplai
rata-rata 17.6% dari total kebutuhan pakan ternak.
Berdasarkan Gambar 2 terlihat grafik yang memperlihatkan bahwa kebutuhan
pakan ternak dari tahun 2010 hingga tahun 2013 rata-rata meningkat sejumlah 9%
2
per tahun, dimana angka ini berada diatas rata-rata kenaikan produksi jagung.
Apabila angka produksi jagung nasional masih berada dibawah angka kebutuhan
pabrik pakan, maka kebutuhan jagung nasional akan bergantung pada impor luar
negeri sehingga imbasnya dapat mempengaruhi devisa negara. Menurut data yang
didapat dari GPMT (2005) impor jagung terbesar datang dari India dengan total
impor 1,1 juta ton dengan nilai US$ 319 juta, dilanjutkan oleh Argentina dengan
total impor jagung ke Indonesia sebesar 286,3 ribu ton dengan nilai US$ 89 juta,
Pakistan sebesar 146,2 ribu ton dengan nilai US$ 46 juta, Brazil sebanyak 74,4
ribu ton dengan nilai US$ 23 juta, dan Amerika Serikat sebanyak 44,2 ribu ton
dengan nilai US$ 15,8 juta..
Jumlah Impor ( Juta Ton)
3.207.657
1.527.516
1.500.000
701.953
264.665
338.798
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 1. Grafik Kenaikan Impor Jagung Indonesia (2007-2012)
Sumber : BPS 2013
Ketersediaan jagung memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis
lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak saat ini dipengaruhi
oleh harga jagung dimana jagung yang dipakai untuk pakan ternak harus diimpor
padahal jagung memakan biaya hampir 70% dari ongkos produksi pakan ternak,
sehingga dengan kondisi seperti itu akan memberatkan peternak-peternak kecil
maka dampaknya akan dirasakan yaitu harga daging ayam dan telur meningkat.
Permasalahannya tidak semua jagung dalam negeri memenuhi spesifikasi yang
dibutuhkan pabrikan, terutama kandungan alfatoksin yang tinggi pada jagung
dalam negeri ini(Subhana, 2005). Selain itu juga kadar air jagung dalam negeri
tidak memenuhi syarat produksi untuk bahan baku pakan ternak dimana jagung
dalam negeri airnya tinggi dan sistem penyimpananannya kurang baik sehingga
jagung dalam negeri memiliki jamur dan tidak bisa disimpan dalam jangka waktu
yang dibutuhkan oleh pabrik (Subijato, 2004).
3
Gambar 2 Kebutuhan Jagung Untuk Pakan Ternak Indonesia 2010-2013
Sumber : Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (2013)
Suplai jagung nasional berasal dari produksi jagung di wilayah Pulau Jawa
dengan persentase hampir 60 % dari total produksi nasional (BPS, 2013), tingkat
presentasi yang besar diakibatkan oleh sarana produksi dan infrastruktur yang
lengkap, juga terdapat industri-industri penyerap jagung di Pulau Jawa.
Penanaman jagung di Pulau Jawa sudah lama diusahakan oleh petani, pada
awalnya jagung di Pulau Jawa merupakan komoditas pengganti kedelai yang
harganya jatuh bertahun-tahun yang lalu dan akhirnya saat ini jagung menjadi
salah satu komoditas wajib yang ditanam selain padi. Keberlanjutan penanaman
jagung di Pulau Jawa dikarenakan kemudahan didalam perawatan disbanding
komoditas lainnya. Meskipun begitu, petani jagung di Pulau Jawa memiliki
keterbatasan didalam pengetahuan sehingga mereka masih belum mengerti
pentingnya suplai yang terus berlanjut. Hal inilah yang menjadi kaitan penting
antara kebutuhan suplai jagung dalam negeri dan permasalahan yang dihadapi
petani.
Di Pulau Jawa salah satu daerah sentra produsen jagung adalah Jawa Barat
yang menyumbangkan 18 % terhadap produksi jagung nasional (BPS, 2013).Dari
data pada Tabel 2 terlihat bahwa setiap tahun produksijagung di Jawa Barat
mengalami kenaikan yang signifikan, pada tahun 2011 tercatat produksi jagung
Jawa Barat adalah sebesar 945.104 ton pipilan kering, mengalami peningkatan
sebanyak 21.142 ton atau naik sebesar 2,29 persen dibandingkan dengan produksi
jagung pada tahun 2010 sebanyak 923.962 ton pipilan kering. Sejalan dengan
volume produksi yang meningkat, ternyata produktivitas jagung juga mengalami
kenaikan 4,75 persen dari 60,08 kuintal per hektar tahun 2010 menjadi 64,23
kuintal per hektar pada tahun 2011, rupanya kenaikan produktivitas ini disebabkan
karena naiknya jumlah produksi namun luas panen menurun karena pada tahun
2011 tercatat luas panen mencapai 147.152 hektar, menurun 6.626 hektar atau
mengalami penurunan -4,31 persen dibanding tahun 2010 yang mencapai 153.778
hektar. Apabila angka ini terus ditingkatkan bukannya tidak mungkin Jawa Barat
akan mampu menjadi pemasok jagung dalam negeri terbesar. Ditambah lagi
potensi jagung ditanaman di Jawa Barat didukung beberapa hal seperti
4
infrastruktur yang baik dan terjangkau oleh berbagai macam pihak, mudahnya
petani mendapatkan informasi mengenai komoditas jagung, dan akses terhadap
industri penyerap jagung berkapasitas besar yang berada di Jawa Barat.
Tabel 2. Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Jagung di Jawa Barat
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Produksi
(Ton)
639821
787599
923962
945104
1028653
Luas Panen
(Ha)
118976
136707
153778
147152
148601
Produktivitas
(Ton/Ha)
5.38
5.76
6.01
6.42
6.92
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2013)
Produksi jagung di Jawa Barat terpusat di Bandung Barat, Sumedang,
Garut, Majalengka, dan Tasik (Diperta Jabar, 2013), dari survey awal didapatkan
informasi bahwa pengusahaan jagung di Jawa Barat memiliki beberapa
permasalahan, diantaranya yaitu hasil produksi jagung tidak dapat diterima oleh
pabrik penyerap jagung dengan alas an pabrik pakanternak memiliki standar mutu
kadar air dan tingkat aflatoksin yang rendah dan pabrik pakan ternak juga
menerapkan standar kuantitas besar yang berkelanjutan sementara produksi
jagung di Jawa Barat hanya satu tahun dua kali. Permasalahan tersebut
menyebabkan pengusaha jagung kesulitan memasarkan jagungnya padahal pabrik
pakan ternak juga kesulitan mendapatkan jagung, padahal menurut Simamora
(2006) keberhasilan dalam memperebutkan pasar yang sama sangat tergantung
dari besarnya nilai kepuasan yang diberikan kepada konsumen. Saat ini,konsep
pemasaran berorientasi pada persaingan, dimana pengusaha berpikir untuk
memperoleh persaingan yang lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya
dalam melayani konsumen yang tidak hanya menekankan untuk melayani
konsumen sebaik-baiknya, namun harus pula berusaha untuk tampil meyakinkan
dan memuaskan di mata konsumen dibandingkan dengan pesaing (Gitisudarmo,
2000)
Apabila ingin memasarkan jagung kepada pabrik pakan ternak, maka
produsen jagung di Jawa Barat harus dapat bersaing dengan jagung impor. Maka
produsen jagung di Jawa Barat haruslah dapat memenuhi syarat yang ditentukan
oleh pabrik pakan selaku konsumen jagung. Menurut Morgan et al (2004) daya
saing dipengaruhi efektivitas dan efisiensi kinerja rantai pasok, maka dapat
disimpulkan bahwa rantai pasok memegang peranan yang penting didalam
memenangkan persaingan untuk memasarkan jagung.
Untuk memenangkan persaingan jagung maka diperlukan optimalisasi
rantai pasok dan nilai tambah pada lembaga-lembaga pemasaran jagung. Oleh
karena itu penelitian mengenai analisis rantai pasok perlu dilakukan.
Rumusan Masalah
Saat ini, permintaan jagung yang tinggi terutama dipicu oleh kebutuhan untuk
menghasilkan pakan ternak. Pada kenyataannya pemanfaatan jagung yang semula
5
untuk bahan makanan langsung, kini telah berubah menjadi komoditas industri.
Hal ini dipicu oleh pemenuhan gizi masyarakat yang berasal dari protein hewani
seperti, unggas dan ternak ruminansia. Kebutuhan penenuhan gizi yang berasal
dari hewan terus mengalami peningkatan dan mendorong berkembangnya usaha
peternakan, meskipun usaha menangkap dari alam bebas masih juga berlangsung.
Ternak peliharaan memerlukan pakan buatan yang komponen utamanya adalah
jagung. Maka untuk menyediakan gizi yang ber-mutu, perlu digiatkan produksi
jagung domestik, sebab ketergantungan pada impor akan semakin rawan dan
harga jagung impor juga akan semakin mahal.
Jagung untuk bahan baku pabrik pakan yaitu jagung gigi kuda (Zea Mays
Indentata) yang umumnya berwarna kuning. Jagung tersebut ditanam pada lahan
sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Di
Indonesia daerah-daerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa
Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Pulau Jawa memiliki sentra
unggulan produksi jagung, salah satunya adalah Jawa Barat. Jawa Barat
merupakan sentra jagung yang paling dekat dengan lokasi konsumen jagung,
maka dari itu Jawa Barat sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan pabrikpabrik pakan tersebut.
Dalam pemenuhan kebutuhan jagung pabrik pakan, Jawa Barat sendiri
seharusnya memiliki andil besar karena Jawa Barat memiliki kedekatan dengan
banyak pabrik pakan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Pada Tabel3 terlihat
bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki empat pabrik pakan ternak yang dapat
menampung jagung, belum lagi pabrik pakan yang berbatasan langsung dengan
Jawa Barat seperti pabrik pakan di Provinsi Bantern (10 unit), Provinsi DKI
Jakarta (4Unit), dan Jawa Tengah (3Unit). Namun, potensi Jagung Jawa Barat saat
ini belum bisa memenuhi peluang yang ada.
Berdasarkan jumlah produksi di Jawa Barat pada Tabel 4dapat dilihat
bahwa pada produksi tahun 2010 hingga tahun 2011 terjadi peningkatan pada
masing-masing kabupaten sentra produksi jagung di Jawa Barat, namun
kenyataannya dibalik peningkatan tersebut terdapat permasalahan didalam
pemasaran jagung sehingga pabrik pakan masih kesulitan mendapatkan jagung di
daerah Jawa Barat.
Permasalahan yang dihadapi jagung di Jawa Barat berkaitan dengan
kegiatan pemasaran yang dilakukan petani, bandar, dan pedagang. Permasalahan
permasalahan tersebut timbul karena petani tidak mendapatkan informasi yang
cukup mengenai kebutuhan pabrik pakan tentang kualitas jagung yang harus
memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kadar air dibawah 18%, sehingga
dampaknya pedagang besar kesulitan dalam memenuhi jumlah pasokan yang telah
disepakati antara pedagang besar dan pabrik pakan.
Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan
sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang
desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung
di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif
untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani
mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen,
namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal.
Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang
6
desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi
sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya.
Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran
sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah.
Tabel 3. Jumlah Industrik Pabrik Pakan Menurut Provinsi (2010)
Jumlah
Provinsi
Pabrik
Produksi
Share
( Unit)
( Juta Ton)
(%)
Kapasitas
Produksi
( Juta Ton)
Jawa Timur
15
2.71
35.2
3.64
Banten
10
2
25.9
2.71
Jawa Barat
4
0.94
12.2
1.11
Sumatera Utara
8
0.93
12.1
1.33
Jawa Tengah
3
0.48
6.2
1.12
DKI Jakarta
4
0.27
3.4
0.6
Lampung
4
0.25
3.3
0.66
Sulawesi Selatan
2
0.13
1.6
0.14
Total
50
7.7
100
11.3
Sumber: Kementrian Perdagangan dan Perindustrian (2012)
Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan
sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang
desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung
di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif
untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani
mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen,
namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal.
Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang
desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi
sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya.
Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran
sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah.
Uraian diatas mengindikasikan bahwa rantai pasok jagung di Jawa Barat
belum berjalan dengan baik, hal ini tercermin dari spekulasi harga yang dilakukan
oleh pedagang pengumpul desa. Perlu adanya perbaikan didalam rantai pasok
sehingga didalam pelaksanaannya rantai pasok pemasaran lebih optimal dalam
menyampaikan produk dari produsen ke konsumen begitu juga dengan konsumen
lebih mudah mendapatkan produk dari produsen. Maka diperlukan penelitian
rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat
Berkaitan dengan suplai jagung Jawa Barat ke industri pakan ternak,
tentunya rantai pasok jagung di Jawa Barat merupakan hal yang sangat penting
dan apabila ingin memenuhi kebutuhan pasokan untuk pabrik pakan tentunya
dibutuhkan sebuah gambaran kondisi rantai pasok untuk dapat mengoptimalisasi
integrasi rantai pasokan secara kontinyu. Gambaran mengenai kondisi rantai
pasok diperlukan untuk melihat sejauh mana sistem pemasaran yang berjalan
7
antar anggota rantai pasok jagung di Jawa Barat, maka untuk mendapatkan
gambaran kondisi rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat dapat
menggunakan analisis sesuai dengan Vorst (2006) karena kerangka tersebut
dapat menjelaskan secara rinci mengenai struktur rantai, sasaran rantai,
manajemen rantai, sumberdaya rantai, dan proses bisnis rantai. Kondisi rantai
pasok di Jawa Barat dapat dianalisis pada penelitian ini dengan menjawab
pertanyaan bagaimanakah kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat ?
Tabel 4. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kabupaten- Kabupaten di Jawa
Barat
Tahun
2010
Kabupaten
Garut
Majalengka
Sumedang
Tasikmalaya
Bandung
Luas
Panen
Hasil
Per Hektar
Produksi
Luas Panen
(Ha)
(Ton/Ha)
(Ton)
(Ha)
2011
Hasil
Per
Hektar
(Ton/Ha)
394.843
112.462
68.687
61.155
51.682
60.568
16.062
13.118
9095
7061
7,335
6,642
5,542
6,325
5,841
55.717
18.577
13.888
10.092
8.611
7,087
6,054
4,946
6,06
6,02
Produksi
444.285
106.484
72.706
57.529
42.244
(Ton)
Sumber : Dinasi Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2012)
Penilaian kinerja rantai pasok sangatlah penting untuk dilakukan, karena
pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana optimalisasi
kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok sehingga akan terlihat
sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan
didalam pengelolaan rantai pasok tersebut, Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kinerja rantai pasok diperlukan
integrasi didalam rantai pasok dengan cara perencanaan bersama (Frohlich &
Westbrook 2001), mengurangi biaya pemesanan dengan melakukan outsourcing
bahan baku setengah jadi (Scanell et al, 2000), mengurangi waktu siklus dan
tingkat persediaan (Stanket al, 1999), serta mengurangi ketidakpastian bisnis
(Childerhouse et al, 2003) dengan penggunaan teknologi informasi untuk berbagi
informasi antar anggota rantai pasok. Maka, pada penelitian akan dijawab
mengenai pertanyaan bagaimanakah kinerja rantai pasok di Jawa Barat?
Peran yang dilakukan masing-masing anggota adalah sumber dari
keunggulan –keunggulan kompetitif suatu rantai pasokan (Porter, 1985), dalam
memasarkan jagung anggota rantai pasok membentuk sistem pemasaran yang
didalamnya terdapat aliran pemasaran dimana pada setiap tingkatannya akan
terbentuk nilai tambah tersendiri. Pada sistem pemasaran jagung terdapat
kegiatan-kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok, kegiatan yang
dilakukan tersebut memiliki nilai. Nilai yang didapatkan anggota rantai pasok
pada proses pemasara tersebut merupakan nilai tambah Maka penting untuk
dikaji, bagaimana nilai tambah yang dilakukan masing-masing anggota rantai
pasok jagung di Provinsi Jawa Barat ?
8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1. Menganalisis kondisirantai pasok jagung di Jawa Barat menggunakan
kerangka Food Supply Chain Network (FSCN)
2. Menganalisis kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat
3. Menganalisis aktivitas-aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh para
anggota rantai pasok di Jawa Barat
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi rekomendasi kebijakan yang
mendukung pengembangan agribisnis jagung untuk meningkatkan kesejahteraan
petani jagung di Jawa Barat. Selain itu penelitian diharapkan menjadi rujukan bagi
peneliti yang akan melakukan penelitian terkati rantai pasok dan nilai tambah
komoditas jagung.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan utama penelitian ini adalah dalam melihat performa rantai
pasok dan saluran pemasaran tidak sampai pada produk hilir jagung, tetapi
dibatasi hanya sampai pada produk jagung pipilan karena disebabkan sulit
mengakses data sampai kepada industri selanjutnya. Oleh sebab itu dalam
melakukan pengukuran seperti farmer share’s yang seharusnya membandingkan
harga yang diterima petani jagung dengan harga yang diterima oleh konsumen
akhir, hanya dapat dibatasi dari harga yang diterima petani jagung dengan harga
yang diterima oleh bandar sebagai konsumen antara.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditi
Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung
lokal yang ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional
(subsistem), sehingga hasilnya relatif rendah.Jagung lokal termasuk ke dalam tipe
jagung mutiara (Zemaysindurata) yang umumnya berwarna putih.
Jagung untuk bahan baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul
komposit) ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan
menerapkan teknologi maju. Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi
kuda (Zeamays indentata) yang umumnya berwarna kuning. Di Indonesia daerahdaerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,
Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman
jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat
mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya
Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 2007).
Persyaratan mutu jagung untuk perdagangan menurut Standar Nasional Indonesia
9
(SNI) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu persyaratan kualitatif dan
persyaratan kuantitatif. Persyaratan kualitatif meliputi
1. Produk harus terbebas dari hama dan penyakit.
2. Produk terbebas dari bau busuk maupun zat kimia lainnya (berupa asam).
3. Produk harus terbebas dari bahan dan sisa-sisa pupuk maupun pestisida
Sedangkan persyaratan lainnya bisa dilihat pada Tabel5 yaitu tabel persyaratan
kuantitatif jagung.
Gambar 3. Jagung Tanaman Pangan (Zeamays indentata)
Tabel 5. Persyaratan Kuantitatif Jagung Sesuai Standar Nasional Indonesia
No
Komponen
Persyaratan Mutu (%Maks)
Utama
I
II
III
IV
1
Kadar Air
14
14
15
17
2
Butir Rusak
2
4
6
8
3
Butir Pecah
1
4
3
5
4
Butir Warna
1
3
7
10
Lain
5
Kotoran
1
1
2
2
Sumber : Deptan, 1995
10
Kondisi Jagung Nasional
Sebelum tahun 1980, penggunaan jagung di Indonesia hanya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi langsung. Demikian juga pada tahun 1980, 94%
digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung, hanya 6% untuk industri pakan,
dan belum ada untuk industri pangan. Pada tahun 1990 walaupun penggunaan
jagung masih didominasi untuk konsumsi langsung, tetapi penggunaan untuk
industri pangan sudah di atas untuk industri pakan.
Orientasi pengembangan jagung ke depan sebaiknya lebih diarahkan kepada
pemenuhan kebutuhan industri pakan dan pangan, mengingat produk kedua
industri ini merupakan barang normal (elastis terhadap peningkatan pendapatan),
sebaliknya merupakan barang inferior dalam bentuk jagung konsumsi langsung
seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat sesuai dengan hasil penelusuran
di lapangan, pabrik pakan ternak tidak mau menggunakan produk lokal karena
masalah kualitas dan kuantitas dari petani langsung.Sedangkan untuk subsitusi
jagung sendiri tidak dimungkinkan.Berbagai upaya untuk menggantikan jagung
dengan bahan pakan lain di Indonesia belum berhasil. Kedelai segar, selain mahal
juga tidak dapat digunakan langsung sebagai komponen pakan, kecuali dalam
bentuk bungkil kedelai yang merupakan hasil sampingan pabrik minyak kedelai
dan seluruhnya masih diimpor. Ubikayu, meskipun berlimpah, masih memerlukan
pengolahan antara, sebelum digunakan sebagai bahan campuran pakan
pabrikan.Gaplek (ubikayu kering) mempunyai kandungan protein rendah,
sehingga masih memerlukan tambahan sumber protein agar dapat memenuhi
kebutuhan ternak. Sorgum adalah satu-satunya bahan pakan yang mempunyai
kandungan gizi hampir sama dengan jagung, namun ketersediaannya di Indonesia
sangat terbatas (Tangendjajaet al, 2003).
Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan dan
kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan
sebagai bahan baku industri. Kasus yang sedang terjadi adalah pemerintah tidak
ingin memberatkan industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri
peternakan menanggung biaya produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan
berakibat pada tingginya harga produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus
tetap memperhatikan petani jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan
yang layak dari usaha tani jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan
berakibat pada rendahnya insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan
menyebabkan bahaya latent, yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang
terus menurun. Peningkatan impor jagung juga berdampak negatif pada
terkurasnya devisa negara dan neraca perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia
yang semakin defisit. Seiring dengan peningkatan jumlah produksi jagung
nasional pemerintah pelan-pelan menutup keran impor untuk bahan baku industri
karena pemerintah ingin jagung Indonesia lah yang dipakai untuk kebutuhan
produksi pabrik pakan ternak dan industri -industri lainnya.
Rantai Pasok
Baatz (1995) menyatakan bahwa secara konseptual rantai pasok
merupakan keseluruhan proses dari bahan mentah mulai diproduksi hingga
menjadi produk yang habis masa pakainya.Menurut Simchi-Levi et al (2008) dan
Chopra dan Meindl(2001) rantai pasokan adalah setiap tahapan yang melibatkan
11
konsumen dari mulai tahap pemesanan produk dari suplaier, manufaktur, jasa
transportasi dan gudang, retailer, hingga pelanggan. Setiap fungsi atau proses
yang ada didalam rantai pasok didukung oleh proses pemasaran, operasional,
distribusi, keuangan, dan servis untuk pelanggan. Proses –proses tersebut harus
dapat disampaikan dalam kuantitas yang tepat dalam waktu yang tepat, serta
lokasi yang tepat, juga dapat meminimalisasi biaya.Rantai pasok juga berarti
mengurangi inventori serta memperbaiki kinerja produksi (Challener,1999), selain
itu juga rantai pasok harus dapat memberikan nilai tambah kepada pelanggan serta
kepada para pemangku kepentingan (Jayaram et al, 2000; Handfield dan Nichols,
2002). Golicic et al (2002) menyatakan bahwa rantai pasok harus dapat
menjelaskan hubungan yang mendasar diantara para anggota dalam sebuah
organisasi dari mulai transaksi simple hingga transaksi yang sangat kompleks.
Dalam rantai pasok juga setiap informasi haruslah jelas untuk dapat mengurangi
bullwhip effect yang dapat mempengaruhi kerjasama antar anggota, selain itu juga
fungsi rantai pasok adalah perencanaan, monitoring, efisiensi stok, efisiensi
waktu dan menghilangkan ketidakpastian, serta meningkatkan kemampuan
utilisasi organisasi (Skjøtt-Larsen, 2000). Challener (1999) menjelaskan bahwa
untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas dalam sebuah kordinasi maka
seluruh sumberdaya dalam rantai pasok harus diintegrasi dengan melibatkan
optimisasi rantai pasok, integrasi rantai pasok, kolaborasi organisasi, serta
rintangan secara kulturan dan teknologi, sehingga organisasi tersebut dapat
responsive terhadap pasar
Austin (1992)dan Brown(1994) dalam Marimin dan Maghfiroh (2010)
menyatakan bahwa manajemen rantai pasok produk pertanian dapat berbeda
dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena produk pertanian
bersifat mudah rusak, proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung
pada iklim dan musim, hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi,
dan produk pertanian bersifat kamba sehingga sangat sulit ditangani. Bukan itu
saja, menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), struktur hubungan pemain rantai
pasok produk pertanian berbeda dengan manufaktur, pada komoditas pertanian
anggota rantai pasok tidak harus mengikuti rantai pasokan seperti manufaktur,
syaratnya anggota rantai pasok pertanian dapat melakukan fungsi-fungsi
pemasaran seperti yang dilakukan rantai berikutnya. Hal tersebut bisa dilihat dari
gambar 3 (Vorst, 2006)terlihat bahwa anggota-anggota rantai pasok bebas untuk
menyalurkan informasi, produk, dan finansial ke anggota rantai pasok lainnya
Menurut Vorst (2006) dalam satu waktu, proses paralel, dan berurutan
dapat terjadi dalam rantai pasok pertanian sehingga proses bisnis didalam jaringan
rantai pasok pertanian akan teridentifikasi lebih dari satu. Sebagai contoh, proses
bisnis dari jagung untuk pakan ternak dialirkan dari petani bisa ke berbagai pihak
seperti pedagang perantara kemudian diproses untuk dialirkan lagi ke konsumen
akhir. Pada proses pengaliran tersebut anggota rantai pasok yang terlibat
melakukan proses bisnis sesuai dengan kebutuhan, misalkan pedagang perantara
melakukan proses yang berbeda terkait jagung yang dikirimkan untuk industri
ternak dan jagung yang akan dikirimkan untuk industri makanan.
Salah satu aspek fundamental dalam rantai pasok adalah pengukuran kinerja.
Untuk menciptakan kinerja yang efisiem maka diperlukan sistem pengukuran
yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok, hal ini sesuai dengan pendapat
Pujawan (2005) bahwa sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk monitoring
12
dan evaluasi dan mengetahui dimana posisi suatu organisasi terhadap tujuan yang
ingin dicapai serta menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan
bersaing. Maka dari itu, untuk mengetahui sejauh mana potensi jagung di Jawa
Barat saat ini diperlukan sebuah pengukuran kinerja rantai pasok jagung.
Gambar 3. Skema Rantai Pasok
Sumber: Van der Vorst (2006)
Kinerja Rantai Pasok
Menurut Qhoirunisa (2014) keragaan struktur rantai pasok dapat dianalisis
secara kualitatif, termasuk dalam menganalisis kinerja atau performance yang
dihasilkan. Analisis kinerja rantai pasok secara kualitatif perlu didukung adanya
ukuran kinerja yang kuantitatif agar menghasilkan hasil kinerja yang lebih terukur
dan objektif. Sebagai proses yang saling terintegrasi antar anggota yang tergabung
di dalamnya, pengukuran kinerja rantai pasok perlu menggunakan pendekatan
tertentu.Kinerja rantai pasok didefinisikan oleh Christien et al (2006) sebagai titik
temu antara konsumen dan pemangku kepenting dimana syarat keduanya telah
terpenuhi dengan relevansi atribut indikator kinerja dari waktu ke waktu.
Pentingnya kinerja rantai pasok dapat ditemukan didalam hasil penelitian Vinícius
Gustavo Trombinb and Rafael Bordonal Kalakic (2013) di Brazil tentang orange
juice menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah konsumen dikarenakan
distribusi orange juice yang tidak responsive didalam rantai pasok. Orange juice
yang tidak dapat memenuhi keinginan konsumen pada waktu, tempat, dan harga
akan kehilangan keuntungan lebih besar dibandingkan orange juice yang memiliki
rantai pasok dengan kinerja yang efisien.
Keberhasilan rantai pasok dapat dilihat dari tingkat kinerja yang
dimilikinya, menurut Pettersson (2008) kinerja rantai pasok dapat diukur melalui
13
perhitungan biaya total rantai pasok terdiri dari penjumlahan harga di tingkat
petani, biaya transportasi dan pengemasan, biaya mark-up, serta pemborosan
akibat barang usah dan biaya kehilangan dalam transportasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Beamon (1996) menyatakan bahwa pengukuran kinerja rantai
pasok dapat melalui pendekatan biaya, respon konsumen, activity time, dan
fleksibilitas. Contoh pengukuran kinerja rantai pasok yang menggunakan
pendekatan biaya adalah penelitian Dilana (2013) yang meneliti kakaodengan
analisis marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya pada
setiap saluran pemasaran dalam struktur rantai pasok biji kakao. Hasil
penelitiannya menunjukan marjin pemasaran terendah dan nilai farmer’s share
tertinggi yaitu pada saluran ke-4 (petani-pedagang pengumpul tingkat kabupatenpedagang besar) dengan nilai marjin pemasaran sebesar Rp 929/kg dan nilai
farmer’s share sebesar 94.37 persen. Sedangkan nilai rasio keuntungan terhadap
biaya terbesar pada saluran ke-3 (petani-pedagang pengumpul tingkat kecamatanpedagang besar) yaitu sebesar 4.68.
Kebanyakan pengukuran kinerja rantai pasok selalu dikaitkan dengan
pengukuran efisiensi rantai pasok organisasi tersebut(Chakravarthy, 1986;
Venkatraman dan Ramanujan, 1986; Eccles, 1991; Kaplan dan Norton, 1992;
Brown dan Leverick, 1994) dan kebanyakan studi rantai pasok pada agro-industri
dipengaruhi banyak teori ekonomi yang berfokus pada kebijakan publik, struktur
organisasi, serta daya saing industry padahal rantai pasok lebih fokus kepada
efisiensi, efektivitas, operasiona, serta kebutuhan konsumen (Pereira dan Csillag,
2004). Sistem pengukuran rantai pasok haruslah sesuai dengan sistem yang
sedang berjalan, bisa jadi satu rantai pasok dan rantai pasok lainnya memiliki
perbedaan sistem pengukuran (Beamon, 1996). Penentuan kinerja rantai pasok
sendiri dapat diambil berdasarkan evaluasi dan perkembangan rantai pasok,
perkembangan prosedur dan model dari rantai pasok, isu-isu terkait yang
mempengaruhi rantai pasok, dan juga teknik umum yang telah
ditentukan(Beamon, 1996)
Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan nilai tangible yang ditambahkan dan jasa
intangible yang dipasok (Hines 2004). Nilai tambah berhubungan dengan prinsip
rantai pasok karena dengan penambahan nilai pada suatu produk pertanian maka
komoditas tersebut akan lebih mudah diterima oleh pasar yang luas(Coltrain,
Barton and Boland, 2000). Amanour dan Boadu (2004) konsep nilai tambah
didalam bisnis merupakan bagian dari rantai pasok karena aktiftias yang
dilakukan didalam penambahan nilai produk sampai saat ini dilakukan juga oleh
rantai pasok pada perusahaan downstream.Wood (1978) mengilustrasikan
penambahan nilai pada produk pertanian dengan mencontohkan seseorang yang
membeli bahan baku mentah kemudian orang tersebut memproduksi suatu barang
dan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi Lal (1999)
memberikan ilustrasi mengenai perhitungan nilai tambah di level industry,
menurutnya ada dua jenis nilai tambah yaitu gross value added dan net value
added. Gross value added adalah nilai dari output dikurangi nilai dari konsumsi
antara yang dihasilkan barang dan jasa, sementara net value added adalah nilai
14
dari output dikurangi nilai antara dan konsumsi fix capital. Menurut USDA
(2002) konsep nilai tambah pada pertanian adalah saat sebuah barang
mendapatkan perlakukan baik pada saat proses produksi ataupun penyaluran
kepada konsumen sehingga dengan aktiftias tersebut konsumen mengeluarkan
uang lebih banyak untuk barang yang dibelinya.
Pada penelitian Hayami, Kawagoe, dan Marooka (1985) nilai tambah
didalam pemasaran diukur dengan menghitung nilai yang dibuat pada tahap
produksi tertentu oleh faktor–faktor produksi, termasuk nilai tangible yang
ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan barang modal,
serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal intelektual (menggunakan
aset pengetahuan) dan hubungan pertukaran (yaitu hubungan kerja sama yang
dibangun). Pada penelitian Hayami (1985) yang berjudul Agricultural Marketing
and Processing in Upland Java perhitungan nilai tambah digunakan untuk
mengetahui kontributsi kegiatan pemasaran kedelai didalam produksi kedelai,
hasilnya menunjukan bahwa kegiatan pemasaran mampu menyumbang 50% dari
pendapatan buruh serta memiliki intensitas hingga 60% dari total pekerjaan yang
terdapat pada produksi kedelai.
Menurut Dilana (2013) peningkatan nilai tambah pada produk primer
komoditas pertanian menjadi salah satu langkah agar dapat meningkatkan
pendapatan petani terutama di wilayah pedasaan. Dalam penciptaan nilai tambah
Cowan (2002) mencontohkan bahwa dari tahun 1910 hingga 1990, kondisi
farmer’s share di Amerika Serikat terhadap produk domestik bruto (PDB) sistem
pangan keseluruhan turun dari 21 persen menjadi lima persen, sementara
sumbangan input pertanian dan subsektor distribusi meningkat dari 13 persen
menjadi 30 persen. Hal ini menunjukkan adanya peran penciptaan nilai tambah
produk pertanian pada strategi pembangunan ekonomi pedesaan di masa depan.
Contoh tersebut merupakan kesempatan bagi produsen untuk menciptakan nilai
tambah dan mengambil keuntungan dari komoditasnya untuk diproses secara
lokal. Dengan begitu diharapkan peningkatan nilai tambah akan memberikan
keuntugnan bagi petani, usaha pedesaan, dan masyaratak pedesaan. Selain itu,
dengan bukti yang diutarakan Cowan maka penciptaan nilai tambah dipercaya
akan mampu meningkatkan peerekonomian karena penciptaan nilai tambah
artinya penyerapan tenaga kerja yang baru dan pada ujungnya diharapkan akan
meningkatkan perekonomian di tempat tersebut.
Menurut Dilana (2013) sebelummemutuskan untuk memasuki pasar baru
harus terlebih dahulu menentukan bisnisyang paling menguntungkan. Hal ini
sangat penting bagi orang-orang miskin yangmemiliki sumber daya yang terbatas
sehingga tidak memilih pasar yang salah.Pendapatan, biaya, dan marjin harus
dibandingkan dalam rantai nilai (keduasaluran pemasaran yang berbeda dan rantai
produk yang berbeda). Selain itu jugapotensi scaling up dan investasi yang
diperlukan harus diselidiki.Setelah memetakan rantai nilai langkah berikutnya
adalah untukmempelajari aspek-aspek tertentu dari rantai nilai secara mendalam.
Ada berbagaipilihan aspek yang dapat dijabarkan lebih lanjut diantaranya adalah
biaya danmarjin. Analisis biaya dan marjin harus dipertimbangkan untuk
mengetahuiapakah rantai nilai merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat
miskin danapakah rantai nilai dapat diakses bagi masyarakat miskin.
Download