V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi Vegetasi 5.1.1. Jumlah jenis dan famili Berdasarkan inventarisasi pada petak contoh dengan menggunakan metode analisis vegetasi teknik jalur berpetak dengan luas 1 ha didapatkan kekayaan dan komposisi jenis tumbuhan sebanyak 137 jenis dan 59 famili. Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah Jenis Tumbuhan pada Petak Contoh No. Tingkat Pertumbuhan Jumlah Spesies 1. Semai 60 2. Pancang 80 3. Tiang 45 4. Pohon 31 Total Jenis Tumbuhan 137 Jumlah Famili 42 48 33 20 59 Kekayaan jenis tumbuhan pada tingkatan semai, pancang, tiang dan pohon cukup bervariasi. Apabila dilihat secara menyeluruh, maka tingkat pohon mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena pada tingkat pohon mengalami regenerasi, yang menyebabkan tumbuh banyak anakan sebagai regenerasi berikutnya, sedangkan pohon yang sudah tua mengalami kematian atau dapat juga tumbang karena diterpa angin. Secara umum komposisi dan stuktur hutan di lokasi penelitian hampir sama dengan karakteristik hutan hujan tropis di Indonesia. Tajuk pohon hutan hujan tropis yang sangat rapat, ditambah lagi adanya bentuk tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan. 5.1.2. Dominansi Dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dapat dihitung dengan menggunakan besaran-besaran sebagai berikut : kerapatan, persen penutupan tajuk, volume, dan biomas dan atau produktivitas. Pada tingkat tiang dan pohon dalam menentukan dominansi lebih lazim digunakan luas bidang dasar. Dominansi dapat dinyatakan sebagai dominansi nisbi yang sebenarnya adalah luas bidang dasar relatif, yaitu persentase jumlah bidang dasar suatu jenis terhadap jumlah bidang dasar seluruh jenis. Pada tingkat semai harendong bulu (Clidemia hirta) merupakan jenis yang mendominasi, pada tingkat pancang mara (Molutes sp) yang mendominasi, tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah maja (Aegle marmelos), dan pada tingkat pohon yang mendominasi adalah jenis huru (Phoebe excelsa). Perbandingan INP tumbuhan eksotik dengan INP seluruh jenis di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan INP Tumbuhan Eksotik dengan INP Seluruh Jenis di Lokasi Penelitian Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Jenis INP (%) INP Seluruh Jenis (%) Harendong bulu Ki rinyuh 21,98 200,00 1,38 200,00 Kecubung Kaliandra 4,85 1,74 200,00 200,00 Kecubung 1,07 200,00 Kaliandra 2,14 200,00 Seuseureuhan 1,07 200,00 Kaliandra 4,09 300,00 Seuseureuhan 5,55 300,00 Perbandingan INP Tumbuhan Eksotik dengan INP Seluruh Jenis 10,99 0,6 9 2,4 3 0,8 7 0,5 4 1,0 7 0,5 4 1,3 6 1,8 5 Indeks Nilai Penting merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak di lokasi penelitian. Berkurangnya individu dalam satu jenis menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut. Pergeseran ini merubah tingkat INP suatu jenis secara beraturan. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya INP dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis dominan. Sutisna (1981) dalam Rosalia (2008) menyatakan bahwa suatu jenis tumbuhan dapat dikatakan berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon 15%. Harendong merupakan jenis tumbuhan eksotik yang mempunyai nilai INP paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya, maka dapat dikatakan bahwa harendong merupakan jenis tumbuhan eksotik yang dominan dan berperan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lain. Indeks Nilai Penting yang tinggi menunjukan tingkat vegetasi yang mempunyai jumlah individu yang paling banyak, kerapatan yang paling tinggi dan merupakan jenis yang mendominasi. Smith (1977) dalam Rosalia (2008) menyatakan bahwa jenis dominan adalah yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien. Dominasi ini terjadi diduga karena kondisi lingkungan (tanah dan iklimnya) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis tersebut. Jenis-jenis tersebut mampu bersaing dengan jenis lainnya dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominant) daripada yang lain.. Selain jenis yang mendominasi, ada juga yang terhambat pertumbuhannya dan kalah dengan tumbuhan yang mendominasi. Dari data yang diperoleh kecubung dan seuseureuhan pada tingkat pertumbuhan pancang mempunyai nilai INP paling rendah dibandingkan dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya pada berbagai tingkat pertumbuhan. Hal ini diduga karena jenis-jenis tersebut kurang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan kalah bersaing dengan jenisjenis dominan. Secara umum dapat dilihat bahwa pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki nilai indeks dominansi tertinggi bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Nilai indeks dominansi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Indeks Dominansi (C) di Lokasi Penelitian Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon C 0,06 0,05 0,04 0,07 Besarnya nilai C pada berbagai tingkat pertumbuhan tidak terlalu bervariasi, hanya berkisar 0,04 – 0,07. Nilai C akan bernilai 1 atau mendekati 1 apabila dominansi dipusatkan pada satu atau sedikit jenis. Sebaliknya, jika beberapa jenis yang mendominasi secara bersama-sama, maka nilai C akan bernilai rendah atau bahkan mendekati nol. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa di lokasi penelitian tidak ada pemusatan suatu jenis tertentu, karena nilai indeks dominansi jenisnya rendah atau hampir mendekati nol untuk semua tingkat pertumbuhan. 5.1.3. Keanekaragaman Jenis Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman di lokasi penelitian diketahui bahwa tingkat keanekaragamannya dapat dikatakan tinggi. Nilai indeks keanekaragaman jenis di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Indeks Keanekaragaman Jenis pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (H’) di Lokasi Penelitian Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon Keanekaragaman Jenis 3,59 4,07 3,70 3,13 Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa indeks keanekaragaman untuk masingmasing tingkat pertumbuhan beragam, berkisar antara 3,13 – 4,07. Indeks keanekaragaman tertinggi pada tingkat pancang sebesar 4,07. Menurut kriteria penilaian parameter vegetasi hutan (Tim Studi IPB 1997) bahwa keanekaragaman tinggi bila mempunyai nilai ≥3, keanekaragaman sedang bila mempunyai kisaran 2-3, dan keanekaragaman rendah bila mempunyai nilai ≤ 2. Berdasarkan kriteria tersebut menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi penelitian termasuk kategori keanekaragaman jenis yang tinggi. Nilai H’ menggambarkan tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu tegakan. Bila nilai ini makin tinggi maka makin meningkat keanekaragamannya dalam tegakan tersebut. Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah di dalam komunitas yang baru terbentuk. Kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keanekaragaman jenis. Perbedaan nilai H’ menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dibatasi oleh kondisi lingkungan. Dalam ekologi hutan, keanekaragaman jenis di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu setiap jenis. 5.2. Tumbuhan Eksotik 5.2.1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik Jika dibandingkan dengan semua jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian, beberapa jenis tumbuhan eksotik termasuk jenis yang kehadirannya rendah. Jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan pada lokasi penelitian hanya berjumlah lima jenis. Daftar jenis tumbuhan eksotik untuk masing-masing tingkat pertumbuhan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian No. 1. Nama Lokal Harendong bulu 2. Ki rinyuh 3. Kecubung 4. 5. Kaliandra Seuseureuhan Nama Ilmiah Clidemia hirta (L.) D. Don. Euphatorium pallescens DC. Brugmansia suaveolens Calliandra calothyrsus Piper aduncum L. Semai Pancang Tiang Pohon * * * * * * * * * Keterangan * : Terdapat jenis tumbuhan eksotik Harendong bulu merupakan jenis tumbuhan eksotik yang frekuensi kehadirannya sangat tinggi bila dibandingakan dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya. Jenis ini ditemukan hampir disemua petak contoh penelitian. Sedangkan jenis tumbuhan eksotik lainnya frekuensi kehadirannya tergolong jenis yang kehadirannya rendah. Seuseureuhan merupakan jenis tumbuhan eksotik yang hanya ditemukan pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai tidak ditemukan sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena rapatnya penutupan tajuk-tajuk dari tingkat tiang maupun pohon di areal penelitian, sehingga menyebabkan jenis-jenis tertentu tidak dapat bertahan hidup karena sifatnya yang intoleran (tidak tahan naungan) atau dengan kata lain jenisjenis tertentu tersebut cukup cahaya matahari untuk dapat hidup dan tumbuh. Di samping itu adanya persaingan untuk mendapatkan hara mineral, air dan ruang tumbuh antar individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis. Persaingan ini menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang tertentu baik bentuknya, macam maupun banyaknya jenis dan jumlah individuindividunya, yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya (Soerianegara & Indrawan 2005). (1) (2) (4) (3) (5) (5)Gambar 5 Jenis-Jenis Tumbuhan Eksotik (1) Ki rinyuh (2) Seuseureuhan (3) Kecubung (4) Kaliandra (5)Harendong bulu. 5.2.2. Regenerasi tumbuhan eksotik Suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dalam suatu kawasan. Kadangkala suatu kelas umur, terutama individu muda tidak ditemukan atau hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gejala ini menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya apabila anakan dan individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan (Primack 1998 dalam Rosalia 2008). Untuk melihat kestabilan dari populasi tersebut dilakukan perhitungan potensi jenis tumbuhan eksotik berdasarkan jumlah individu di lokasi penelitian. Kerapatan jenis tumbuhan eksotik di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Kerapatan Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian No Nama Lokal Nama Ilmiah 1 Harendong bulu 2 Ki rinyuh 3 Kecubung 4 5 Kaliandra Seuseureuhan Clidemia hirta (L.) D. Don. Euphatorium pallescens DC. Brugmansia suaveolens Calliandra calothyrsus Piper aduncum L. Semai Kerapatan (individu/ha) Pancang Tiang Pohon 9.000 400 1.600 16 600 32 16 4 8 Dari Tabel 7 terlihat bahwa jenis yang mempunyai permudaan paling banyak adalah harendong yaitu 9.000 ind/ha, akan tetapi pada tingkat pertumbuhan lainnya tidak ditemukan individu harendong tersebut. Hal ini juga terjadi pada jenis ki rinyuh yang hanya mempunyai 400 ind/ha pada tingkat semai. Kecubung, kaliandra, dan seuseureuhan mempunyai permudaan lebih banyak dibandingkan tingkat pertumbuhan berikutnya. Hal ini sesuai dengan kaidah umum dalam hutan alam dimana secara umum struktur tegakan hutannya berbentuk huruf ”J” terbalik, yang berarti jumlah individu muda lebih banyak daripada individu tua. Lebih sedikitnya jumlah individu tua pada ketiga jenis tersebut dikarenakan semakin bertambahnya waktu, individu-individu tersebut mengalami pertumbuhan yang memerlukan banyak energi sehingga terjadilah persaingan baik antarindividu dalam satu jenis maupun antar berbagai jenis agar dapat tetap hidup dan tumbuh. Persaingan ini mengakibatkan terjadi pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada tiap tingkatan pertumbuhan. 5.2.3. Penyebaran tumbuhan eksotik Hilangnya suatu jenis dalam petak, salah satunya disebabkan oleh pola penyebaran jenis dan jumlah masing-masing individu bervariasi. Menurut Sudirman (2002) dalam Rosalia (2008) bahwa pada umumnya jenis tumbuhan memiliki pola penyebaran yang berbeda untuk semua tingkat pertumbuhan disemua komunitas hutan. Hal tersebut diduga akibat adanya perubahan selama proses pertumbuhan dari tingkat semai sampai pohon. Tumbuhan akan mengalami berbagai kemampuan dalam hidupnya dan interaksinya terhadap lingkungan. Jenis tumbuhan eksotik banyak ditemukan pada jalur 2 dan jalur 3 dengan ketinggian tempat 1.056 m dpl (Tabel 8). Hal ini disebabkan lokasi tersebut merupakan jalur yang sering dilalui oleh masyarakat dan juga digunakan untuk jalur ekowisata. Tabel 8 Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian Tingkat Pertumbuhan Semai Nama lokal Harendong bulu Ki rinyuh Kecubung Kaliandra Pancang Kecubung Kaliandra Seuseureuhan Tiang Kaliandra Seuseureuhan Nama Ilmiah Clidemia hirta Euphatorium pallescens Brugmansia suaveolens Calliandra calothyrsus Brugmansia suaveolens Calliandra calothyrsus Piper aduncum Calliandra calothyrsus Piper aduncum Keterangan (-) : Indeks Morishita tidak terdefinisi Petak Ditemukan Jalur 1 (Petak 1 dan 3 ) Jalur 2 (Petak 6 dan 8 ) Jalur 3 (Petak 11, 14, dan 15) Jalur 5 (Petak 22 dan 25) Jalur 2 (Petak 11) Ketinggian tempat (m dpl) 1.000 Indeks Morishita 0,62 1.040 1.056 1.077 1.056 1,00 Jalur 3 (Petak 13 dan 14) Jalur 4 (Petak 18) Jalur 3 (Petak 13 dan 14) Jalur 3 (Petak 13 dan 14) Jalur 3 (Petak 13 dan 14) Jalur 4 (Petak 17) 1.056 0,69 1.056 1.056 1,00 1.056 1,00 1.056 0,78 1.056 1,00 Jalur 3 (Petak 14) 1.056 - Jalur 4 (Petak 18) 1.056 1,00 Semua jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki pola penyebaran secara mengelompok, kecuali jenis kaliandra pada tingkat tiang yang tidak diketahui pola penyebarannya. Pola penyebaran yang tidak diketahui pada kaliandra dikarenakan nilai indeks morishita yang tidak terdefinisi. Naughton & Wolf (1990) dalam Rosalia (2008) menjelaskan bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor lingkungan yang sangat berperan dalam penyebaran. Apabila di sekitar lokasi induk jenis tumbuhan menyediakan hara yang cukup untuk pertumbuhan, maka akan cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok (pola penyebaran yang umum terjadi di hutan primer). Hal ini didukung oleh pendapat Soegianto (1994) yang menyatakan bahwa sebenarnya pola penyebaran organisme di alam jarang yang ditemukan dalam pola yang seragam (teratur), tetapi umumnya mempunyai pola penyebaran mengelompok. Hal ini disebabkan karena adanya naluri dari individu-individu tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang cocok untuknya. Individu tersebut akan dapat hidup dan tumbuh apabila lingkungan tempat tumbuhnya mendukung, tapi apabila lingkungan tidak mendukung maka dapat dipastikan individu tersebut akan mati. Pendapat Istomo (1994) juga mendukung pernyataan diatas bahwa individu-individu tersebut akan mengelompok dalam tempat-tempat tertentu yang lebih menguntungkan. Hal ini kemungkinan karena adanya interaksi yang saling menguntungkan diantara individu-individu tersebut. 5.3. Persepsi Masyarakat terhadap Penggantian Jenis Tumbuhan Eksotik 5.3.1. Karakteristik responden Karakteristik responden adalah gambaran dari karakteristik masing-masing responden atau secara keseluruhan. Data yang ditampilkan berupa data secara umum dari masing-masing pengkalsifikasian berdasarkan karakteristik responden. Karakteristik responden dibagi menjadi umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota rumahtangga, dan waktu tempuh ke hutan. 5.3.1.1. Umur Usia mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan. Semakin tua usia seseorang maka semakin kurang produktif, sehingga pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada juga relatif kecil. Usia masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan sebagian besar berada pada usia produktif. Girsang (2006) mengemukakan bahwa usia produktif untuk bekerja di negaranegara berkembang, pada umumnya adalah 15-55 tahun. Responden termuda dalam penelitian ini berumur 19 tahun dan tertua berusia 64 tahun. Dengan memperhatikan sebaran umur mereka, maka responden dibagi menjadi tiga kelompok umur (Tabel 9) , yaitu : 1) Muda ( 19 – 33), 2) Sedang (34 – 48), dan 3) Tua (49 – 64). Tabel 9 Distribusi Responden Menurut Umur No. Kelompok Umur 1. Muda (19-33 tahun) 2. Sedang (34-48 tahun) 3. Tua (49-64 tahun) Jumlah Responden (Orang) 11 16 13 30 Persen (%) 36,67 53,33 10,00 100,00 Tabel 9 menunjukkan dari 30 responden yang diwawancarai dalam penelitian ini 53,33 % berusia sedang, sepertiga berusia muda dan selebihnya berusia tua. Secara umum Tabel 11 menunjukan bahwa responden di lokasi penelitian masih termasuk kedalam kelompok berusia produktif (usia kerja). Mayoritas responden yang diamati berusia dibawah atau sama dengan 50 tahun. Sebagian kecil berusia lanjut (tua). 5.3.1.2. Pendidikan Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah/telah ditempuh oleh masyarakat yang menjadi responden. Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan dan tingkat persepsi. Hal ini terkait dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, penguasaan teknologi, keterampilan, dan informasi pasar yang diperoleh. Tingkat pendidikan yang rendah, penguasaan teknologi dan keterampilan yang terbatas, serta kurangnya informasi pasar menyebabkan pemanfaatan sumberdaya hutan terutama untuk jenis-jenis komersil menjadi tidak terkendali. Hal ini tentunya akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Terbatasnya teknologi dan keterampilan yang dimiliki menyebabkan rendahnya kemampuan untuk menghasilkan produk olahan yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kurangnya informasi pasar yang dimiliki menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap jenis-jenis sumberdaya hutan tertentu. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas manusia. Tingginya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada jenis pekerjaanya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi responden menurut pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden No. Tingkat Pendidikan (Orang) 1. Tidak Sekolah – Tamat SD 27 2. SMP – Tamat SMP 1 3. SMA – Tamat SMA 2 Jumlah 30 Persen (%) 90,00 3,33 6,67 100,00 Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang mampu melaksanakan wajib belajar 9 tahun atau lulus SMP yang hanya berjumlah 1 orang (3,33%). Sedangkan yang melanjutkan ke jenjang SMA sebanyak 2 orang (6,67%), sebanyak 25 orang (83,33%) memiliki tingkat pendidikan SD, dan 2 orang (6,67%) tidak pernah sekolah. Dari Tabel 10 terlihat bahwa dominasi responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, ada sebagian masyarakat yang telah mengenyam tingkat pendidikan yang lebih tinggi, hal ini sangat positif karena kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya transfer ilmu pengetahuan, keterampilan dan informasi pasar. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan informasi yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan juga menyebabkan masyarakat sulit untuk bersaing dan memasuki pasar lapangan kerja secara umum. Hal ini tentunya berdampak pada semakin sempitnya peluang mereka untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Pilihan pekerjaan sebagai pemanfaat sumberdaya hutan tidak mensyaratkan tingkat pendidikan maupun keterampilan tertentu, sehingga tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan menjadi sangat besar. 5.3.1.3. Mata pencaharian Mata pencaharian masyarakat sekitar lokasi penelitian yang menjadi rseponden yaitu buruh, petani, karyawan perkebunan, dan pedagang. Petani adalah orang yang memiliki dan mengelola lahan, baik itu lahan milik sendiri maupun lahan garapan/lahan sewaan. Kelompok masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani meliputi petani sawah dan petani ladang. Sedangkan kelompok buruh meliputi buruh tani dan buruh kebun musiman. Buruh ini merupakan orang yang tidak memiliki lahan, baik lahan milik sendiri maupun lahan sewaan. Aktivitas buruh pertanian dan buruh perkebunan pada umumnya bersifat musiman, tergantung permintaan pemilik lahan dan perusahaan perkebunan. Karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Responden No. Mata Pencaharian (Orang) 1. Buruh 6 2. Petani & Karyawan Perkebunan 22 3. Pedagang 2 Jumlah 30 Persen (%) 20,00 73,33 6,67 100,00 Mayoritas responden bermatapencaharian sebagai petani dan karyawan perkebunan. Hal ini sesuai dengan keadaan lahan yang berada disekitar mereka. Terdapat lahan untuk sawah dan juga terdapat perkebunan dimana masyarakat dapat bekerja di perusahaan perkebunan teh tersebut baik sebagai pegawai tetap maupun sebagai pegawai musiman. 5.3.1.4. Pendapatan Pendapatan responden yang diwawancarai berkisar antara Rp 200.000., Rp 2.370.000. Dalam penelitian ini tingkat pendapatan responden dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) rendah ( Rp 200.000 – Rp 923.333), 2) sedang (Rp 924.000 – Rp 1.624.333), 3) tinggi (> Rp 1.648.000). Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan Responden No. Pendapatan (Orang) 1. Rp 200.000 – Rp 923.333 27 2. Rp 924.000 – Rp 1.624.333 3. > Rp 1.648.000 3 Jumlah 30 Persen (%) 90,00 10,00 100,00 Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa tingkat pendapatan rendah pada responden paling mendominasi (90%), hal ini dipengaruhi oleh jenis pekerjaan responden dan tingkat pendidikan yang rendah. Pendapatan yang tinggi hanya dimiliki oleh 10% responden. 5.3.1.5. Jumlah anggota rumah tangga Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Besar keluarga dari responden berkisar dari 2 orang sampai 7 orang. Dalam penelitian ini besar keluarga dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1) keluarga kecil (2-3 orang), 2) keluarga sedang (4-5 orang), 3) keluarga besar (6-7 orang). Sebaran responden berdarkan jumlah anggota rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden Persen No. Jumlah Anggota RT (Orang) (%) 1. Keluarga kecil (2-3 orang) 10 33,33 2. Keluarga sedang (4-5 orang) 15 50,00 3. Keluarga besar (6-7 orang) 5 16,67 Jumlah 30 100,00 Apabila besar keluarga ini dikelompokkan berdasarkan kriteria Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (BPS, 2001) yaitu terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak, maka sebanyak 76,67% tergolong dalam kelompok tersebut, sedangkan lainnya tergolong keluarga sedang dan keluarga besar. Sebagian responden mempunyai jumlah anggota rumah tangga yang besar hal ini disebabkan masih ada yang merupakan bentuk keluarga luas (extended family), yaitu keluarga yang tidak hanya terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak) tetapi juga ditambah dengan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, keponakan atau sepupu. Besar kecilnya sebuah keluarga pemanfaat sumberdaya hutan akan berpengaruh terhadap peningkatan dan pengurangan pemanfaatan sumberdaya hutan. Semakin besar sebuah keluarga menunjukkan bahwa semakin besar pula ketersediaan tenaga kerja. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja memanfaatkan sumberdaya hutan berpengaruh langsung terhadap jumlah sumberdaya hutan yang dimanfaatkan dan jumlah pendapatan keluarga. Namun, dilain pihak banyaknya anggota rumahtangga akan mempengaruhi pengeluaran belanja keluarga tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya konsumsi rumah tangga. Tidak hanya itu saja, semakin banyak anggota rumahtangga, maka semakin banyak pula kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap peningkatan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 5.3.1.6. Waktu tempuh ke hutan Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden, diketahui bahwa waktu tempuh mereka ke hutan berkisar antara 5 menit sampai 120 menit. Distribusi responden berdasarkan lamanya waktu tempuh ke hutan di sajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tempuh ke Hutan Responden Persen No. Waktu Tempuh (Orang) (%) 1. Dekat (<30 menit) 7 23,33 2. Sedang (30 – 60 Menit) 20 66,67 3. Jauh (>60 menit) 3 10,00 Jumlah 30 100,00 Dalam penelitian ini waktu tempuh ke hutan dikelompokkan menjadi tiga yaitu dekat (< 30 menit), sedang (30 – 60 menit), dan jauh (>60 menit). Responden terbanyak berada pada kelompok kedua yaitu jarak tempuh yang sedang berkisar antara 30 – 60 menit. Waktu tempuh masing-masing orang relatif, tergantung kecepatan masing-masing individu. Waktu tempuh ke dalam hutan sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan seseorang terhadap sumberdaya hutan, semakin dekat jaraknya dengan hutan maka akan semakin tinggi tingkat pemanfaatannya terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga, waktu tempuh dapat mempengaruhi tingkat persepsi seseorang terutama mengenai SDA, dalam hal ini adalah jenis tumbuhan eksotik. Semakin sering seseorang berinteraksi dengan suatu objek maka akan semakin baik tingkat persepsinya. 5.3.2. Pemanfaatan SDA oleh masyarakat 5.3.2.1. Jenis-Jenis SDA yang dimanfaatkan oleh masyarakat Interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung sejak lama. Keberadaan hutan telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan umat manusia. Bagi masyarakat desa sekitar hutan, keberadaan kawasan hutan sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdayasumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan bangunan, dan hasil-hasil hutan lainnya, yang dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat dari ketergantungan mereka akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air, sumber energi (kayu bakar dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan dari hutan), bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya. Bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti : mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa kayu bakar sebagai sumber energi, rumput untuk makan ternak, umbi-umbian dan buah-buahan untuk bahan makanan dan hasil-hasil hutan lainnya. Kondisi di atas juga terjadi ditempat yang menjadi objek penelitian. Masyarakat banyak memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari hutan . Hal ini terjadi karena letak geografis wilayah tersebut cukup strategis dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Adapun beberapa jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang menjadi responden tersebut meliputi : kayu bakar, rumput, tumbuhan penghasil makanan, kayu bangunan, tumbuhan penghasil buah, dan tumbuhan obat. Rekapitulasi pemanfaatan oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Rekapitulasi SDA yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Responden Persentase No. Jenis SDA (Orang) (%) 1. Kayu bakar 11 36,57 2. Tumbuhan obat 6 20,00 3. Rumput 6 20,00 4. Kayu bangunan 1 3,33 5. Tumbuhan penghasil buah 7 23,33 6. Tumbuhan penghasil makanan 3 10,00 Tebel 15 tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan beberapa SDA hutan dengan persentase yang berbeda. Sebagian besar responden memanfaatkan lebih dari satu jenis hasil hutan. Kayu bakar adalah jenis yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya persentase pemanfaatan kayu bakar menunjukan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat sangat tinggi dalam hal kebutuhan energi rumah tangga. Beberapa jenis hasil hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Stasiun Penelitian Cikaniki : 1. Kayu bakar Pemanfaatan kayu bakar sebagai salah satu sumber energi rumah tangga masih banyak dilakukan oleh masyarakat desa sekitar hutan. Demikian halnya dengan masyarakat dilokasi penelitian. Sebagian besar masyarakatnya masih memanfaatkan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga, walaupun ada juga masyarakat yang sudah menggunakan minyak tanah dan gas sebagai energi rumah tangganya. Pada umumnya masyarakat memanfaatkan kayu bakar hanya untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Sebagian besar kegiatan pengambilan kayu bakar dilakukan dengan cara dipikul dan berjalan kaki. Hampir tidak ditemui pengambilan kayu bakar dengan menggunakan alat angkut seperti sepeda, sepeda motor atau alat transportasi lainnya. Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat sekitar hutan biasanya dalam bentuk ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah kering, dan kayu-kayu yang kondisinya sudah lapuk, serta kayu-kayu yang sudah mati. Jenis-jenis kayu yang diambil berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jenis-Jenis Kayu yang Dimanfaatkan untuk Kayu Bakar oleh Masyarakat Pemanfaat Persentase No. Nama lokal Nama Ilmiah (orang) (%) Calamagrostis australis 1. Babanjaran 1 3,13 2. Bambu Dinochloa sp 1 3,13 3. Batarua n.a 4 13,33 Calliandra calothyrsus 4. Kaliandra * 2 6,67 Alangium sp 5. Ki dage 1 3,13 Aporosa fructescens 6. Ki huut 1 3,13 Euphatorium pallescens 7. Ki rinyuh* 1 3,13 Euodia latifolia 8. Ki sampang 1 3,33 Molutes sp 9. Mara 1 3,13 Lithocarpus sp. 10. Pasang 3 10,00 11. Pinus* Pinus merkusii 5 16,67 12. Pongokan n.a 1 3,13 Schima wallichii 13. Puspa 4 13,33 Altingia excelsa 14. Rasamala 5 16,67 15. Sengon* Paraserianthes falcataria 1 3,13 16. Teh* Camellia sinensis 1 3,13 Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pinus dan rasamala merupakan tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Hal ini dikarenakan kayu-kayu tersebut mudah untuk didapatkan. Terdapat beberapa jenis kayu bakar yang termasuk kedalam jenis tumbuhan eksotik yaitu kaliandra, ki rinyuh, pinus, sengon, dan teh. Pemanfaatan jenis tumbuhan eksotik oleh masyarakat cukup tinggi seperti untuk jenis pinus dan kaliandra, sedangkan pemanfaatan untuk jenis tumbuhan eksotik lainnya tidak terlalu tinggi seperti teh, sengon, dan ki rinyuh. Sebenarnya semua kayu dapat dijadikan sebagai kayu bakar, namun ada beberapa jenis yang sering digunakan oleh masyarakat karena alasan tertentu seperti mudah didapatkan, kemudahan terbakar dan tidak banyak menimbulkan asap. 2. Rumput Masyarakat desa sekitar hutan yang dijadikan sebagai responden sebagian besar memiliki hewan ternak seperti kambing dan domba. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat memanfaatkan rumput yang berada didalam ataupun sekitar kawasan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Kegiatan pemanfaatan rumput dilakukan dengan cara pengambilan rumput yang dilakukan dalam rangka mencukupi pakan ternak selama di kandang. Pemanfaatan tersebut berlangsung sepanjang tahun dengan intensitas pemanfaatan yang terjadi setiap hari. Para pemanfaat rumput biasanya mengambil rumput dengan cara dipikul, dengan volume pemanfaatan rumput untuk satu pikulan biasanya 1-2 ikat. Rumput yang dimanfaatkan oleh masyarakat, pada umumnya hanya digunakan untuk konsumsi saja tidak untuk diperjualbelikan, namun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diketahui bahwa jika komoditas rumput tidak tersedia, maka masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan akan rumput tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa jenis komoditas ini sangat dibutuhkan keberadaanya oleh masyarakat. Gambar 6 Pengambilan Rumput oleh Masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang memanfaatkan rumput didalam ataupun sekitar kawasan terdapat 4 jenis rumput yang biasa mereka gunakan. Jenis-jenis tersebut adalah nampong, hamerang, seuhang, dan jampang pait. Persentase pemanfaatan rumput dapat dilihat pada Gambar 7. 0.13 0.10 0.10 t pa i pa ng Ja m S eu ha ng 0.03 H am er an g N am po ng Persentase (%) 0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 Jenis Rumput Gambar 7 Persentase Pemanfaatan Rumput oleh Masyarakat. Nampong (Eupatorium odoratum) merupakan jenis yang frekuensi pemanfatannya paling tinggi bila dibandingkan dengan rumput lainnya. Sedangkan hamerang dan jampang pait pemanfaatannya tidak terlalu tinggi. Dari keempat jenis rumput tersebut tidak didapatkan jenis tumbuhan eksotik yang dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai pakan ternak. 3. Kayu bangunan Dari 30 responden yang diwawancarai hanya satu orang yang mengambil hasil hutan untuk dijadikan sebagai kayu bangunan. Jenis yang biasa diambil yaitu huru gemblung sebanyak 8 - 10 batang. Menurut responden, kayu tersebut digunakan untuk memperbaiki rumahnya dan tidak untuk diperjualbelikan. Huru gemblung tersebut bukan termasuk jenis tumbuhan eksotik. 4. Tumbuhan obat Terdapat 19 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat. Pemanfaatan yang paling banyak yaitu terhadap jenis ki kunti (Ficus edelfeltii) sebesar 10,00% digunakan untuk mengobati batuk dan sebagai obat mata. Untuk jenis lainnya tingkat pemanfaatan sama yaitu sebesar 3,33%. Dari semua jenis tumbuhan yang dimanfaatkan untuk obat terdapat satu jenis tumbuhan eksotik yaitu seuseureuhan. Jenis ini digunakan untuk obat tetes mata. Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat terhadap jenis ini tergolong rendah hanya sebesar 3,33% saja. Jenis-jenis tumbuhan tersebut digunakan untuk mengobati penyakit yang biasa mereka derita sehari-hari seperti batuk, demam, sakit mata, penutup luka, dan sebagainya. Dari data di atas diketahui bahwa banyak jenis tumbuhan yang biasa digunakan oleh mereka untuk obat tetes mata. (1) (2) (3) Gambar 8 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Untuk Obat (1) Cangkore (2) Ficus (3) Reundeu. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai obat. Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh Masyarakat Persentase No. Nama Lokal Nama Ilmiah Kegunaan Pemanfaat (%) 1. Cangkore Dinochloa Obat tetes mata 3,33 scandens 2. Pacing Costus Penawar racun bisa 3,33 speciosus ular, obat gatal, obat tetes mata 3. Lumut kaso Saccharum Obat demam 3,33 spontaneum 4. Ki kunti Ficus edelfeltii Obat mata, obat batuk, 10,00 5. Capituheur Mikania Untuk mengobati luka 3,33 odorata 6. Nampong Eupatorium Untuk mengobati luka 3,33 odoratum 7. Laja Catimbium Mengurangi bengkak3,33 malaccensis bengkak, untuk luka bakar 8. Taleus Colocasia Obat batuk 3,33 esculenta 9. Kapol Amomum Obat batuk 3,33 cardamomum 10. Reundeu Staurogyne Memperlancar buang 3,33 elongata air kecil 11. Hariang Begonia Obat untuk amandel 3,33 robusta dan ginjal 12. Seuseureuhan* Piper aduncum Obat tetes mata 3,33 13. Kawung Arenga pinata Obat tetes mata 3,33 14. Tabat barito Ficus Aprodisiak 3,33 deltoidea 15. Ki cantum 16. Katutungkul 17. 18. n.a Polygala venenosa Ficus Ficus spp Ki balik sumpah n.a. Diminum tonik Obat batuk sebagai Obat penutup luka Obat mata 3,33 3,33 3,33 3,33 Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik 5. Tumbuhan penghasil buah Di dalam dan sekitar kawasan terdapat jenis-jenis tumbuhan yang menghasilkan buah. Masyarakat biasa mengambil dan memanfaatkannya untuk konsumsi pribadi. Pengambilan buah dilakukan tidak sepanjang tahun akan tetapi hanya dilakukan pada musim-musim tertentu saja. Jenis-jenis yang biasa mereka ambil buahnya adalah canar, saninten, kalimorot, menteng, pinding, dan kupa. Volume pengaambilan buah dari jenis tersebut hanya sedikit, menurut hasil wawancara terhadap responden mereka hanya mengambil buah sebanyak satu kantong plastik berukuran kecil. 6. Tumbuhan penghasil makanan Beberapa jenis tumbuhan biasa digunakan masyarakat untuk makanan seperti rendeu, poh-pohan dan pakis. Ketiga jenis tumbuhan tersebut biasa mereka makan sebagai lalapan. Lalapan merupakan salah satu makanan yang biasa dimakan oleh masyarakat etnis sunda. Masyarakat yang menjadi responden banyak yang merupakan etnis sunda, sehingga mereka banyak memanfaatkan jenis tumbuhan untuk dijadikan lalapan. 5.3.2.2. Hubungan karakteristik responden dengan tingkat pemanfaatan SDA Beberapa karakteristik responden yang terpilih dicari hubungannya dengan persepsi masyarakat mengenai penggantian jenis tumbuhan eksotik, karakteristik tersebut adalah umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota rumah tangga, waktu tempuh ke hutan, dan tingkat pemanfaatan SDA. Hubungan faktor internal masyarakat dengan tingkat persepsi dapat diketahui dengan melakukan Uji Korelasi Peringkat Spearman. Hasil penelitian tentang hubungan faktor internal responden dengan tingkat persepsi, serta hasil analisis korelasinya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Pemanfaatan SDA No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Faktor Internal Responden Umur Pendidikan Pekerjaan Jumlah anggota rumahtangga Waktu tempuh ke hutan Tingkat Pemanfaatan SDA Tingkat Persepsi Nilai Probabilitas Nilai Koefisien (Uji Dua Pihak) Korelasi (rs) 0,091 0,504 0,001 0,786 1,000 0,305 0,314 0,127 0,586** 0,052 0,000 0,194 Keterangan ** : Correlation is significant at the .01 level (2-tailed) Hasil dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa faktor internal yang berhubungan dengan tingkat persepsi masyarakat adalah pekerjaan. Faktor yang mempunyai nilai hasil uji korelasi peringkat Spearman yang paling besar dan bernilai positif yaitu pekerjaan sebesar 0,586 yang menunjukkan adanya hubungan yang substansial antara pekerjaan dengan persepsi (Young 1982) dalam (Sulaiman 2003). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pekerjaan responden maka semakin baik tingkat persepsinya. Seseorang yang mempunyai pekerjaan tinggi hampir dipastikan mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup memadai mengenai sesuatu hal terutama yang berkaitan dengan profesinya. Faktor umur memiliki korelasi yang rendah terhadap persepsi masyarakat. Hal ini dikarenakan faktor umur tidak mewakili variabel serta tidak adanya gap yang signifikan, sehingga faktor umur tersebut dalam penelitian ini tidak mempengaruhi persepsi yang terbentuk. Faktor internal lainnya yaitu pendidikan, jumlah anggota rumahtangga, waktu tempuh ke hutan dan tingkat pemanfaatan SDA mempunyai nilai koefisien korelasi kurang dari 0,20 yang berarti dapat diabaikan (Sulaiman 2003). Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu : (1) pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lain-lain. Jadi menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999) bahwa umur dan pendidikan harusnya mempengaruhi persepsi, akan tetapi dalam penelitian ini umur responden tidak mewakili variabel umur, karena umur responden berada pada kisaran umur yang sudah mempunyai persepsi yang sama dan pemikiran yang sama. Pada faktor pendidikan responden tidak ada gap yang signifikan. 5.3.3. Persepsi masyarakat Persepsi masyarakat dalam penelitian ini digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa persepsi masyarakat menyebar secara merata ke dalam tiga kategori tersebut. Sebaran persepsi masyarakat dapat dilihat pada Gambar 9. 0.35 33.33% 33.33% 33.33% Persentase (%) 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 Rendah Sedang Tinggi Tingkat Persepsi Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Penggantian Jenis Tumbuhan Eksotik. Masing-masing responden mempunyai tingkat pengetahuan yang berbeda mengenai jenis tumbuhan eksotik, sehingga tingkat persepsi yang dimiliki beranekaragam. Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor utama yang menyebabkan tingkat persepsi responden berbeda-beda yaitu interaksi responden terhadap jenis tumbuhan eksotik. Pada umumnya responden yang mempunyai persepsi tinggi mempunyai tingkat interaksi yang sering dengan jenis tumbuhan eksotik, seperti pemanfaatan terhadap jenis tersebut. Sebaliknya responden yang mempunyai tingkat persepsi yang rendah, tingkat interaksi dengan jenis tumbuhan eksotik tidak terlalu sering. Berdasarkan hasil wawancara mengenai jenis tumbuhan eksotik terhadap 30 orang responden, sebanyak 73,33% mengetahui mengenai jenis tumbuhan eksotik dan 26,67% menyatakan tidak mengetahui mengenai jenis tumbuhan eksotik. Responden yang menyatakan tidak mengetahui jenis tumbuhan eksotik hampir sebagian besar merupakan responden yang tingkat pemanfaatan terhadap SDA tergolong rendah. Tingkat pemanfaatan terhadap SDA sedikit banyak dapat berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat mengenai sumberdaya alam yang ada didalam kawasan. Rendahnya tingkat pemanfaatan akan SDA mengindikasikan bahwa kurangnya interaksi terhadap kawasan. Sehingga mereka kurang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik yang berada didalam kawasan. Responden yang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik di dalam kawasan merupakan responden yang tingkat pemanfaatan SDA tergolong sedang sampai tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi mereka terhadap kawasan dan SDA cukup tinggi, sehingga mereka banyak mengetahui mengenai jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam kawasan. Menurut pengetahuan responden, terdapat 24 jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam mapun sekitar kawasan. Jenis tumbuhan eksotik menurut pengetahuan masyarakat disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Jenis Tumbuhah Eksotik Menurut Pengetahuan Masyarakat di Stasiun Penelitian Cikaniki dan Lahan Masyarakat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Nama lokal Kaliandra Manglid Sengon Kayu Afrika Nangka Durian Menteng Kopi dengkung Manggu Rambutan Petai Salak Limus Jambu Pinus Honje Nama ilmiah Calliandra calothyrsus Magnolia Blumei Paraserianthes falcataria Maesopsis eminii Artocarpus heterophyllus Durio zibethinus Baccaurea racemosa Polynema integrifolia Garcinia mangostana Nephelium sp Parkia speciosa Salacca edulis Magifera foetida Syzygium aqueum Pinus merkusii Nikolaia sp Persentase Pengetahuan (%) 50,00 4,55 22,73 45,45 31,82 13,64 9,09 4,55 9,09 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 31,82 4,55 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Kamper Kupa Jengkol Jati Tepus Reundeu Harendong bulu Suren Cinnamomum camphora Eugenia polycephala Pithecelobium jiringa Tectona grandis Amomum coccineum Staurogyne elongata Clidemia hirta Toona sureni 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 Diketahui bahwa kaliandra merupakan jenis tumbuhan eksotik yang paling banyak diketahui oleh masyarakat yang menjadi responden. Jenis lainnya yang banyak diketahui yaitu kayu afrika, pinus, nangka, sengon, dan durian, sedangkan jenis lainnya hanya beberapa responden saja yang mengetahui. Pada umumnya mereka mengetahui jenis tumbuhan eksotik dari banyaknya interaksi dengan kawasan dan SDA tersebut. Jenis-jenis tumbuhan eksotik yang diketahui oleh mereka banyak yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kayu bakar. Selain itu juga jenis-jenis tersebut banyak yang terdapat disekitar pemukiman masyarakat dan juga ada beberapa jenis yang mereka budidayakan. Masyarakat yang menjadi responden hampir semuanya menyatakan tidak mengetahui mengenai dampak adanya jenis tumbuhan eksotik didalam kawasan. Hanya satu orang yang mengetahui mengenai adanya dampak tumbuhan eksotik terhadap kawasan. Responden tersebut menyatakan bahwa dengan adanya jenis tumbuhan eksotik di dalam kawasan maka akan mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak adanya jenis tumbuhan eksotik di dalam kawasan dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang tergolong rendah dan kurangnya sosialisasi dari pihak pengelola mengenai jenis tumbuhan eksotik. Pengetahuan akan jenis eksotik dan dampaknya sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat karena masyarakat merupakan salah satu agen penyebar masuknya jenis tumbuhan eksotik ke dalam kawasan. Jika mereka telah mengetahui mengenai dampak yang akan ditimbulkan dengan masuknya jenis tumbuhan eksotik ke dalam kawasan maka mereka akan berhati-hati terhadap jenis-jenis tumbuhan asing yang mereka manfaatkan atau gunakan. Masyarakat yang menjadi responden sebanyak 53,33% menyatakan persetujuan jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis tumbuhan asli. Sedangkan selebihnya (46,67%) menyatakan tidak setuju jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan tersebut. Masing-masing responden mempunyai alasan tertentu menyetujui dan tidak menyetujui kegiatan penggantian jenis eksotik tersebut. Beberapa alasan responden menyetujui penggantian jenis tumbuhan eksotik diantaranya adalah untuk menjaga keaslian ekosistem, ada jenis eksotik yang merusak kesuburan tanah seperti pinus, serta adanya ketakutan dari masyarakat untuk menebang pohon tersebut jika pohon-pohon tersebut merupakan pohon jenis asli kawasan. Sedangkan alasan responden tidak menyetujui penggantian jenis tumbuhan eksotik tersebut diantaranya adalah beberapa jenis eksotik dimanfaatkan oleh masyarakat seperti untuk kayu bakar serta ada jenis tumbuhan eksotik yang dibudidayakan oleh mereka dan mereka mengambil bibitnya dari dalam kawasan yaitu kayu afrika. Menurut pengakuan responden bibit kayu afrika dari dalam kawasan lebih bagus dibandingkan dengan bibit yang mereka beli dipasaran. 5.4. Rekomendasi Penggantian Jenis Introduksi jenis eksotik di Indonesia telah lama terjadi, baik disengaja maupun tidak sengaja. Introduksi jenis asing tersebut dalam beberapa kasus telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Jenis asing berupa gulma jahat telah menimbulkan kerugian yang cukup besar di sektor pertanian. Sementara itu ada pula jenis asing yang berubah menjadi jenis yang dominan dan berkompetisi dengan jenis lokal yang pada akhirnya mengganggu keberadan jenis lokal. Dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati untuk keseimbangan ekosistem khususnya di kawasan Pelestarian Alam, salah satu kebijakan pengelolaannya yaitu dengan mendatangkan atau memasukkan jenis-jenis eksotik ke dalam kawasan pelestarian tersebut. Yang menjadi masalah pemasukan jenisjenis eksotik tersebut tidak melalui pertimbangan yang matang. Sehingga jenisjenis eksotik yang pada dasarnya memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap kawasan pelestarian baik dari sisi ekonomi, lingkungan dan sosial keberadaanya sulit untuk dikendalikan, khususnya untuk jenis eksotik yang mempunyai dampak negatif sebagai kompetitor dan penyebab terjadinya polusi genetik. Bila tidak cepat dikendalikan jenis-jenis eksotik tersebut akan menginvasi dan menjadi dominan, tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya mengancam kelestarian jenis-jenis flora dan fauna endemik serta keberadaan eksoisitem kawasan pelestarian alam TNGHS merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, dimana mengemban mandat untuk menjaga keaslian eksosistemnya. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap keberadaan jenis eksotik sebelum terjadinya dominasi dari jenis eksotik ini dan mengancam keberadaan eksositem yang ada. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pengendalian jenis tumbuhan eksotik, diantaranya adalah aspek ekologi, ekonomi dan manfaat dari jenis tumbuhan eksotik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan TNGHS khususnya di Stasiun Penelitian Cikaniki telah dimasuki oleh jenis tumbuhan eksotik yaitu harendong bulu, ki rinyuh, kecubung, seseureuhan, dan kaliandra. Meskipun jenisjenis tersebut belum menginvasi kawasan perlu dilakukan tindakan pengelolaan yang lebih dini sehingga kawasan tersebut tidak terinvasi oleh jenis tumbuhan eksotik. Salah satu tindakan yang harus diambil adalah dengan melakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis asli agar kawasan tersebut dapat terjaga keasliannya, seperti saninten (Castanopsis argentea), pasang (Lithocarpus sp), Ficus spp, ki seueur (Antidesma sp), puspa (Schima wallichii), dan harendong (Melastoma malabathricum). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebaran jenis-jenis tumbuhan eksotik adalah mengelompok, hal ini akan lebih memudahkan dalam melakukan pengelolaan terhadap jenis-jenis tersebut. Beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu pemberantasan secara kimiawi dan pemberantasan secara fisik (penebangan/pemotongan pohon, pencabutan pohon, dan pembongkaran pohon). Dalam proses penggantian jenis tumbuhan eksotik, peran masyarakat tidak dapat diabaikan. Oleh kerena itu pelibatan masyarakat sekitar perlu diperhatikan dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan jenis tumbuhan eksotik tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pekerjaan mempunyai korelasi yang substansial dengan tingkat persepsi terhadap jenis tumbuhan eksotik, hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik. Masyarakat yang sebagian besar merupakan petani dan karyawan kebun dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Mereka banyak berinteraksi dengan kawasan dan sedikit banyak mengetahui mengenai jenis tumbuhan eksotik. Sebagian besar masyarakat mengetahui jenis tumbuhan eksotik, akan tetapi tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan jenis tumbuhan eksotik tersebut terhadap kawasan konservasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik secara menyeluruh seperti melalui penyuluhan. Agar masyarakat berhati-hati dalam melakukan tindakan yang berhubungan dengan jenis tumbuhan eksotik, karena salah satu agen penyebar masuknya jenis eksotik adalah manusia. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak lima jenis, meliputi harendong bulu (Clidemia hirta), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), kecubung (Brugmansia suaveolens), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan seuseureuhan (Piper aduncum). Penyebaran jenis tumbuhan eksotik mengelompok. 2. Jenis tumbuhan eksotik yang dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus), sesuseureuhan (Piper aduncum), pinus (Pinus merkusii), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), teh (Camellia sinensis), sengon (Paraserianthes falcataria), dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Jenis-jenis tersebut dimanfaatkan untuk kayu bakar, obat, dan pakan ternak 3. Persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik menyebar secara merata yaitu rendah (0-2), sedang (3-5) dan tinggi (6-8) sebesar 33,33%. Masyarakat sebagian besar (53,33%) menyatakan setuju jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik. 6.2. Saran