studi penyebaran dan persepsi masyarakat

advertisement
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi Vegetasi
5.1.1. Jumlah jenis dan famili
Berdasarkan inventarisasi pada petak contoh dengan menggunakan metode
analisis vegetasi teknik jalur berpetak dengan luas 1 ha didapatkan kekayaan dan
komposisi jenis tumbuhan sebanyak 137 jenis dan 59 famili. Daftar jenis
tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan
secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah Jenis Tumbuhan pada Petak Contoh
No.
Tingkat Pertumbuhan
Jumlah Spesies
1.
Semai
60
2.
Pancang
80
3.
Tiang
45
4.
Pohon
31
Total Jenis Tumbuhan
137
Jumlah Famili
42
48
33
20
59
Kekayaan jenis tumbuhan pada tingkatan semai, pancang, tiang dan pohon
cukup bervariasi. Apabila dilihat secara menyeluruh, maka tingkat pohon
mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis
pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena pada tingkat
pohon mengalami regenerasi, yang menyebabkan tumbuh banyak anakan sebagai
regenerasi berikutnya, sedangkan pohon yang sudah tua mengalami kematian atau
dapat juga tumbang karena diterpa angin.
Secara umum komposisi dan stuktur hutan di lokasi penelitian hampir
sama dengan karakteristik hutan hujan tropis di Indonesia. Tajuk pohon hutan
hujan tropis yang sangat rapat, ditambah lagi adanya bentuk tumbuhan yang
memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya
rotan, anggrek dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat
menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi
semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies
tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.
5.1.2. Dominansi
Dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dapat dihitung dengan
menggunakan besaran-besaran sebagai berikut : kerapatan, persen penutupan
tajuk, volume, dan biomas dan atau produktivitas. Pada tingkat tiang dan pohon
dalam menentukan dominansi lebih lazim digunakan luas bidang dasar.
Dominansi dapat dinyatakan sebagai dominansi nisbi yang sebenarnya adalah luas
bidang dasar relatif, yaitu persentase jumlah bidang dasar suatu jenis terhadap
jumlah bidang dasar seluruh jenis. Pada tingkat semai harendong bulu (Clidemia
hirta) merupakan jenis yang mendominasi, pada tingkat pancang mara (Molutes
sp) yang mendominasi, tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah maja (Aegle
marmelos), dan pada tingkat pohon yang mendominasi adalah jenis huru (Phoebe
excelsa). Perbandingan INP tumbuhan eksotik dengan INP seluruh jenis di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Perbandingan INP Tumbuhan Eksotik dengan INP Seluruh Jenis di
Lokasi Penelitian
Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Jenis
INP
(%)
INP Seluruh
Jenis (%)
Harendong
bulu
Ki rinyuh
21,98
200,00
1,38
200,00
Kecubung
Kaliandra
4,85
1,74
200,00
200,00
Kecubung
1,07
200,00
Kaliandra
2,14
200,00
Seuseureuhan
1,07
200,00
Kaliandra
4,09
300,00
Seuseureuhan
5,55
300,00
Perbandingan INP
Tumbuhan Eksotik dengan
INP Seluruh Jenis
10,99
0,6
9
2,4
3
0,8
7
0,5
4
1,0
7
0,5
4
1,3
6
1,8
5
Indeks Nilai Penting merupakan indikator yang sesuai untuk melihat
pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak di lokasi penelitian. Berkurangnya
individu dalam satu jenis menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut.
Pergeseran ini merubah tingkat INP suatu jenis secara beraturan.
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya INP
dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis dominan.
Sutisna (1981) dalam Rosalia (2008) menyatakan bahwa suatu jenis tumbuhan
dapat dikatakan berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari
10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon 15%. Harendong merupakan jenis
tumbuhan eksotik yang mempunyai nilai INP paling tinggi bila dibandingkan
dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya, maka dapat dikatakan bahwa harendong
merupakan jenis tumbuhan eksotik yang dominan dan berperan. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap
lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lain.
Indeks Nilai Penting yang tinggi menunjukan tingkat vegetasi yang
mempunyai jumlah individu yang paling banyak, kerapatan yang paling tinggi dan
merupakan jenis yang mendominasi. Smith (1977) dalam Rosalia (2008)
menyatakan bahwa jenis dominan adalah yang dapat memanfaatkan lingkungan
yang ditempatinya secara efisien. Dominasi ini terjadi diduga karena kondisi
lingkungan (tanah dan iklimnya) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis
tersebut. Jenis-jenis tersebut mampu bersaing dengan jenis lainnya dan dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat
persaingan jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominant) daripada yang lain..
Selain jenis yang mendominasi, ada juga yang terhambat pertumbuhannya
dan kalah dengan tumbuhan yang mendominasi. Dari data yang diperoleh
kecubung dan seuseureuhan pada tingkat pertumbuhan pancang mempunyai nilai
INP paling rendah dibandingkan dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya pada
berbagai tingkat pertumbuhan. Hal ini diduga karena jenis-jenis tersebut kurang
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan kalah bersaing dengan jenisjenis dominan.
Secara umum dapat dilihat bahwa pada tingkat pertumbuhan pohon
memiliki nilai indeks dominansi tertinggi bila dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan lainnya. Nilai indeks dominansi di lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Indeks Dominansi (C) di Lokasi Penelitian
Tingkat Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
C
0,06
0,05
0,04
0,07
Besarnya nilai C pada berbagai tingkat pertumbuhan tidak terlalu
bervariasi, hanya berkisar 0,04 – 0,07. Nilai C akan bernilai 1 atau mendekati 1
apabila dominansi dipusatkan pada satu atau sedikit jenis. Sebaliknya, jika
beberapa jenis yang mendominasi secara bersama-sama, maka nilai C akan
bernilai rendah atau bahkan mendekati nol. Berdasarkan kriteria tersebut dapat
disimpulkan bahwa di lokasi penelitian tidak ada pemusatan suatu jenis tertentu,
karena nilai indeks dominansi jenisnya rendah atau hampir mendekati nol untuk
semua tingkat pertumbuhan.
5.1.3. Keanekaragaman Jenis
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman di lokasi penelitian
diketahui bahwa tingkat keanekaragamannya dapat dikatakan tinggi. Nilai indeks
keanekaragaman jenis di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Indeks Keanekaragaman Jenis pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (H’)
di Lokasi Penelitian
Tingkat Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Keanekaragaman Jenis
3,59
4,07
3,70
3,13
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa indeks keanekaragaman untuk masingmasing tingkat pertumbuhan beragam, berkisar antara 3,13 – 4,07. Indeks
keanekaragaman tertinggi pada tingkat pancang sebesar 4,07. Menurut kriteria
penilaian parameter vegetasi hutan (Tim Studi IPB 1997) bahwa keanekaragaman
tinggi bila mempunyai nilai ≥3, keanekaragaman sedang bila mempunyai kisaran
2-3, dan keanekaragaman rendah bila mempunyai nilai ≤ 2. Berdasarkan kriteria
tersebut menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi
penelitian termasuk kategori keanekaragaman jenis yang tinggi.
Nilai H’ menggambarkan tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu
tegakan. Bila nilai ini makin tinggi maka makin meningkat keanekaragamannya
dalam tegakan tersebut. Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis
cenderung tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah di dalam
komunitas yang baru terbentuk. Kemantapan habitat merupakan faktor utama
yang mengatur keanekaragaman jenis.
Perbedaan nilai H’ menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dalam
suatu komunitas sangat dibatasi oleh kondisi lingkungan. Dalam ekologi hutan,
keanekaragaman jenis di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya
jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu setiap jenis.
5.2. Tumbuhan Eksotik
5.2.1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik
Jika dibandingkan dengan semua jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi
penelitian, beberapa jenis tumbuhan eksotik termasuk jenis yang kehadirannya
rendah. Jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan pada lokasi penelitian hanya
berjumlah lima jenis. Daftar jenis tumbuhan eksotik untuk masing-masing tingkat
pertumbuhan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
No.
1.
Nama Lokal
Harendong bulu
2.
Ki rinyuh
3.
Kecubung
4.
5.
Kaliandra
Seuseureuhan
Nama Ilmiah
Clidemia hirta (L.) D.
Don.
Euphatorium
pallescens DC.
Brugmansia
suaveolens
Calliandra calothyrsus
Piper aduncum L.
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Keterangan * : Terdapat jenis tumbuhan eksotik
Harendong bulu merupakan jenis tumbuhan eksotik yang frekuensi
kehadirannya sangat tinggi bila dibandingakan dengan jenis tumbuhan eksotik
lainnya. Jenis ini ditemukan hampir disemua petak contoh penelitian. Sedangkan
jenis tumbuhan eksotik lainnya frekuensi kehadirannya tergolong jenis yang
kehadirannya rendah.
Seuseureuhan merupakan jenis tumbuhan eksotik yang hanya ditemukan
pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang, sedangkan pada tingkat
pertumbuhan semai tidak ditemukan sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena
rapatnya penutupan tajuk-tajuk dari tingkat tiang maupun pohon di areal
penelitian, sehingga menyebabkan jenis-jenis tertentu tidak dapat bertahan hidup
karena sifatnya yang intoleran (tidak tahan naungan) atau dengan kata lain jenisjenis tertentu tersebut cukup cahaya matahari untuk dapat hidup dan tumbuh. Di
samping itu adanya persaingan untuk mendapatkan hara mineral, air dan ruang
tumbuh antar individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis. Persaingan ini
menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang tertentu
baik bentuknya, macam maupun banyaknya jenis dan jumlah individuindividunya, yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya (Soerianegara &
Indrawan 2005).
(1)
(2)
(4)
(3)
(5)
(5)Gambar 5 Jenis-Jenis Tumbuhan Eksotik (1) Ki rinyuh (2) Seuseureuhan (3)
Kecubung (4) Kaliandra (5)Harendong bulu.
5.2.2. Regenerasi tumbuhan eksotik
Suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas
dalam suatu kawasan. Kadangkala suatu kelas umur, terutama individu muda
tidak ditemukan atau hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gejala ini
menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya apabila anakan dan
individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan stabil
dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan (Primack 1998 dalam Rosalia
2008).
Untuk melihat kestabilan dari populasi tersebut dilakukan perhitungan
potensi jenis tumbuhan eksotik berdasarkan jumlah individu di lokasi penelitian.
Kerapatan jenis tumbuhan eksotik di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kerapatan Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Harendong bulu
2
Ki rinyuh
3
Kecubung
4
5
Kaliandra
Seuseureuhan
Clidemia hirta (L.) D.
Don.
Euphatorium
pallescens DC.
Brugmansia
suaveolens
Calliandra calothyrsus
Piper aduncum L.
Semai
Kerapatan (individu/ha)
Pancang Tiang Pohon
9.000
400
1.600
16
600
32
16
4
8
Dari Tabel 7 terlihat bahwa jenis yang mempunyai permudaan paling
banyak adalah harendong yaitu 9.000 ind/ha, akan tetapi pada tingkat
pertumbuhan lainnya tidak ditemukan individu harendong tersebut. Hal ini juga
terjadi pada jenis ki rinyuh yang hanya mempunyai 400 ind/ha pada tingkat semai.
Kecubung, kaliandra, dan seuseureuhan mempunyai permudaan lebih banyak
dibandingkan tingkat pertumbuhan berikutnya. Hal ini sesuai dengan kaidah
umum dalam hutan alam dimana secara umum struktur tegakan hutannya
berbentuk huruf ”J” terbalik, yang berarti jumlah individu muda lebih banyak
daripada individu tua.
Lebih sedikitnya jumlah individu tua pada ketiga jenis tersebut
dikarenakan semakin bertambahnya waktu, individu-individu tersebut mengalami
pertumbuhan yang memerlukan banyak energi sehingga terjadilah persaingan baik
antarindividu dalam satu jenis maupun antar berbagai jenis agar dapat tetap hidup
dan tumbuh. Persaingan ini mengakibatkan terjadi pengurangan jumlah individu
yang bertahan hidup pada tiap tingkatan pertumbuhan.
5.2.3. Penyebaran tumbuhan eksotik
Hilangnya suatu jenis dalam petak, salah satunya disebabkan oleh pola
penyebaran jenis dan jumlah masing-masing individu bervariasi. Menurut
Sudirman (2002) dalam Rosalia (2008) bahwa pada umumnya jenis tumbuhan
memiliki pola penyebaran yang berbeda untuk semua tingkat pertumbuhan
disemua komunitas hutan. Hal tersebut diduga akibat adanya perubahan selama
proses pertumbuhan dari tingkat semai sampai pohon. Tumbuhan akan mengalami
berbagai kemampuan dalam hidupnya dan interaksinya terhadap lingkungan. Jenis
tumbuhan eksotik banyak ditemukan pada jalur 2 dan jalur 3 dengan ketinggian
tempat 1.056 m dpl (Tabel 8). Hal ini disebabkan lokasi tersebut merupakan jalur
yang sering dilalui oleh masyarakat dan juga digunakan untuk jalur ekowisata.
Tabel 8 Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Nama lokal
Harendong
bulu
Ki rinyuh
Kecubung
Kaliandra
Pancang
Kecubung
Kaliandra
Seuseureuhan
Tiang
Kaliandra
Seuseureuhan
Nama Ilmiah
Clidemia
hirta
Euphatorium
pallescens
Brugmansia
suaveolens
Calliandra
calothyrsus
Brugmansia
suaveolens
Calliandra
calothyrsus
Piper
aduncum
Calliandra
calothyrsus
Piper
aduncum
Keterangan (-) : Indeks Morishita tidak terdefinisi
Petak
Ditemukan
Jalur 1 (Petak 1
dan 3 )
Jalur 2 (Petak 6
dan 8 )
Jalur 3 (Petak 11,
14, dan 15)
Jalur 5 (Petak 22
dan 25)
Jalur 2 (Petak 11)
Ketinggian
tempat (m
dpl)
1.000
Indeks
Morishita
0,62
1.040
1.056
1.077
1.056
1,00
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
Jalur 4 (Petak 18)
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
Jalur 4 (Petak 17)
1.056
0,69
1.056
1.056
1,00
1.056
1,00
1.056
0,78
1.056
1,00
Jalur 3 (Petak 14)
1.056
-
Jalur 4 (Petak 18)
1.056
1,00
Semua jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian
memiliki pola penyebaran secara mengelompok, kecuali jenis kaliandra pada
tingkat tiang yang tidak diketahui pola penyebarannya. Pola penyebaran yang
tidak diketahui pada kaliandra dikarenakan nilai indeks morishita yang tidak
terdefinisi.
Naughton & Wolf (1990) dalam Rosalia (2008) menjelaskan bahwa
kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor lingkungan yang
sangat berperan dalam penyebaran. Apabila di sekitar lokasi induk jenis tumbuhan
menyediakan hara yang cukup untuk pertumbuhan, maka akan cenderung
membentuk pola penyebaran mengelompok (pola penyebaran yang umum terjadi
di hutan primer).
Hal ini didukung oleh pendapat Soegianto (1994) yang menyatakan bahwa
sebenarnya pola penyebaran organisme di alam jarang yang ditemukan dalam pola
yang seragam
(teratur), tetapi
umumnya
mempunyai
pola
penyebaran
mengelompok. Hal ini disebabkan karena adanya naluri dari individu-individu
tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang cocok untuknya. Individu
tersebut akan dapat hidup dan tumbuh apabila lingkungan tempat tumbuhnya
mendukung, tapi apabila lingkungan tidak mendukung maka dapat dipastikan
individu tersebut akan mati.
Pendapat Istomo (1994) juga mendukung pernyataan diatas bahwa
individu-individu tersebut akan mengelompok dalam tempat-tempat tertentu yang
lebih menguntungkan. Hal ini kemungkinan karena adanya interaksi yang saling
menguntungkan diantara individu-individu tersebut.
5.3. Persepsi Masyarakat terhadap Penggantian Jenis Tumbuhan Eksotik
5.3.1. Karakteristik responden
Karakteristik responden adalah gambaran dari karakteristik masing-masing
responden atau secara keseluruhan. Data yang ditampilkan berupa data secara
umum dari masing-masing pengkalsifikasian berdasarkan karakteristik responden.
Karakteristik responden dibagi menjadi umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
jumlah anggota rumahtangga, dan waktu tempuh ke hutan.
5.3.1.1. Umur
Usia mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan. Semakin tua
usia seseorang maka semakin kurang produktif, sehingga pemanfaatan
sumberdaya hutan yang ada juga relatif kecil. Usia masyarakat
yang
memanfaatkan sumberdaya hutan sebagian besar berada pada usia produktif.
Girsang (2006) mengemukakan bahwa usia produktif untuk bekerja di negaranegara berkembang, pada umumnya adalah 15-55 tahun.
Responden termuda dalam penelitian ini berumur 19 tahun dan tertua
berusia 64 tahun. Dengan memperhatikan sebaran umur mereka, maka responden
dibagi menjadi tiga kelompok umur (Tabel 9) , yaitu : 1) Muda ( 19 – 33), 2)
Sedang (34 – 48), dan 3) Tua (49 – 64).
Tabel 9 Distribusi Responden Menurut Umur
No.
Kelompok Umur
1.
Muda (19-33 tahun)
2.
Sedang (34-48 tahun)
3.
Tua (49-64 tahun)
Jumlah
Responden
(Orang)
11
16
13
30
Persen
(%)
36,67
53,33
10,00
100,00
Tabel 9 menunjukkan dari 30 responden yang diwawancarai dalam
penelitian ini 53,33 % berusia sedang, sepertiga berusia muda dan selebihnya
berusia tua. Secara umum Tabel 11 menunjukan bahwa responden di lokasi
penelitian masih termasuk kedalam kelompok berusia produktif (usia kerja).
Mayoritas responden yang diamati berusia dibawah atau sama dengan 50 tahun.
Sebagian kecil berusia lanjut (tua).
5.3.1.2. Pendidikan
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah
pendidikan terakhir yang pernah/telah ditempuh oleh masyarakat yang menjadi
responden. Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat
pemanfaatan sumberdaya hutan dan tingkat persepsi. Hal ini terkait dengan ilmu
pengetahuan yang dimiliki, penguasaan teknologi, keterampilan, dan informasi
pasar yang diperoleh. Tingkat pendidikan yang rendah, penguasaan teknologi dan
keterampilan yang terbatas, serta kurangnya informasi pasar menyebabkan
pemanfaatan sumberdaya hutan terutama untuk jenis-jenis komersil menjadi tidak
terkendali. Hal ini tentunya akan berdampak negatif terhadap kelestarian
sumberdaya hutan tersebut. Terbatasnya teknologi dan keterampilan yang dimiliki
menyebabkan rendahnya kemampuan untuk menghasilkan produk olahan yang
mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kurangnya informasi pasar yang
dimiliki menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap jenis-jenis sumberdaya
hutan tertentu.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas
manusia. Tingginya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada jenis
pekerjaanya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan. Dalam
penelitian ini tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) rendah,
(2) sedang, dan (3) tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi responden menurut
pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Responden
No.
Tingkat Pendidikan
(Orang)
1.
Tidak Sekolah – Tamat SD
27
2.
SMP – Tamat SMP
1
3.
SMA – Tamat SMA
2
Jumlah
30
Persen
(%)
90,00
3,33
6,67
100,00
Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini tergolong rendah. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah responden yang mampu melaksanakan wajib belajar 9
tahun atau lulus SMP yang hanya berjumlah 1 orang (3,33%). Sedangkan yang
melanjutkan ke jenjang SMA sebanyak 2 orang (6,67%), sebanyak 25 orang
(83,33%) memiliki tingkat pendidikan SD, dan 2 orang (6,67%) tidak pernah
sekolah.
Dari Tabel 10 terlihat bahwa dominasi responden memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, ada sebagian masyarakat yang telah mengenyam tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, hal ini sangat positif karena kondisi ini secara
langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya transfer ilmu
pengetahuan, keterampilan dan informasi pasar.
Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan informasi yang dimiliki
oleh masyarakat sekitar hutan juga menyebabkan masyarakat sulit untuk bersaing
dan memasuki pasar lapangan kerja secara umum. Hal ini tentunya berdampak
pada semakin sempitnya peluang mereka untuk memperoleh lapangan pekerjaan
yang layak dan memadai. Pilihan pekerjaan sebagai pemanfaat sumberdaya hutan
tidak mensyaratkan tingkat pendidikan maupun keterampilan tertentu, sehingga
tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan menjadi sangat
besar.
5.3.1.3. Mata pencaharian
Mata pencaharian masyarakat sekitar lokasi penelitian yang menjadi
rseponden yaitu buruh, petani, karyawan perkebunan, dan pedagang. Petani
adalah orang yang memiliki dan mengelola lahan, baik itu lahan milik sendiri
maupun
lahan
garapan/lahan
sewaan.
Kelompok
masyarakat
yang
bermatapencaharian sebagai petani meliputi petani sawah dan petani ladang.
Sedangkan kelompok buruh meliputi buruh tani dan buruh kebun musiman. Buruh
ini merupakan orang yang tidak memiliki lahan, baik lahan milik sendiri maupun
lahan sewaan. Aktivitas buruh pertanian dan buruh perkebunan pada umumnya
bersifat musiman, tergantung permintaan pemilik lahan dan perusahaan
perkebunan. Karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
Responden
No.
Mata Pencaharian
(Orang)
1.
Buruh
6
2.
Petani & Karyawan Perkebunan
22
3.
Pedagang
2
Jumlah
30
Persen
(%)
20,00
73,33
6,67
100,00
Mayoritas responden bermatapencaharian sebagai petani dan karyawan
perkebunan. Hal ini sesuai dengan keadaan lahan yang berada disekitar mereka.
Terdapat lahan untuk sawah dan juga terdapat perkebunan dimana masyarakat
dapat bekerja di perusahaan perkebunan teh tersebut baik sebagai pegawai tetap
maupun sebagai pegawai musiman.
5.3.1.4. Pendapatan
Pendapatan responden yang diwawancarai berkisar antara Rp 200.000., Rp 2.370.000. Dalam penelitian ini tingkat pendapatan responden dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu : 1) rendah ( Rp 200.000 – Rp 923.333), 2) sedang (Rp
924.000 – Rp 1.624.333), 3) tinggi (> Rp 1.648.000). Sebaran responden
berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan
Responden
No.
Pendapatan
(Orang)
1.
Rp 200.000 – Rp 923.333
27
2.
Rp 924.000 – Rp 1.624.333
3.
> Rp 1.648.000
3
Jumlah
30
Persen
(%)
90,00
10,00
100,00
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa tingkat pendapatan rendah pada
responden paling mendominasi (90%), hal ini dipengaruhi oleh jenis pekerjaan
responden dan tingkat pendidikan yang rendah. Pendapatan yang tinggi hanya
dimiliki oleh 10% responden.
5.3.1.5. Jumlah anggota rumah tangga
Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam
satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Besar keluarga dari responden berkisar
dari 2 orang sampai 7 orang. Dalam penelitian ini besar keluarga dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu : 1) keluarga kecil (2-3 orang), 2) keluarga sedang (4-5
orang), 3) keluarga besar (6-7 orang). Sebaran responden berdarkan jumlah
anggota rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga
Responden
Persen
No.
Jumlah Anggota RT
(Orang)
(%)
1.
Keluarga kecil (2-3 orang)
10
33,33
2.
Keluarga sedang (4-5 orang)
15
50,00
3.
Keluarga besar (6-7 orang)
5
16,67
Jumlah
30
100,00
Apabila besar keluarga ini dikelompokkan berdasarkan kriteria Norma
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (BPS, 2001) yaitu terdiri dari ayah, ibu dan
dua orang anak, maka sebanyak 76,67% tergolong dalam kelompok tersebut,
sedangkan lainnya tergolong keluarga sedang dan keluarga besar. Sebagian
responden mempunyai jumlah anggota rumah tangga yang besar hal ini
disebabkan masih ada yang merupakan bentuk keluarga luas (extended family),
yaitu keluarga yang tidak hanya terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak)
tetapi juga ditambah dengan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek,
keponakan atau sepupu.
Besar kecilnya sebuah keluarga pemanfaat sumberdaya hutan akan
berpengaruh terhadap peningkatan dan pengurangan pemanfaatan sumberdaya
hutan. Semakin besar sebuah keluarga menunjukkan bahwa semakin besar pula
ketersediaan tenaga kerja. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja memanfaatkan
sumberdaya hutan berpengaruh langsung terhadap jumlah sumberdaya hutan yang
dimanfaatkan dan jumlah pendapatan keluarga. Namun, dilain pihak banyaknya
anggota rumahtangga akan mempengaruhi pengeluaran belanja keluarga tersebut.
Hal ini terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya
konsumsi rumah tangga. Tidak hanya itu saja, semakin banyak anggota
rumahtangga, maka semakin banyak pula kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap peningkatan pemanfaatan
sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
5.3.1.6. Waktu tempuh ke hutan
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden,
diketahui bahwa waktu tempuh mereka ke hutan berkisar antara 5 menit sampai
120 menit. Distribusi responden berdasarkan lamanya waktu tempuh ke hutan di
sajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tempuh ke Hutan
Responden
Persen
No.
Waktu Tempuh
(Orang)
(%)
1.
Dekat (<30 menit)
7
23,33
2.
Sedang (30 – 60 Menit)
20
66,67
3.
Jauh (>60 menit)
3
10,00
Jumlah
30
100,00
Dalam penelitian ini waktu tempuh ke hutan dikelompokkan menjadi tiga
yaitu dekat (< 30 menit), sedang (30 – 60 menit), dan jauh (>60 menit).
Responden terbanyak berada pada kelompok kedua yaitu jarak tempuh yang
sedang berkisar antara 30 – 60 menit. Waktu tempuh masing-masing orang relatif,
tergantung kecepatan masing-masing individu. Waktu tempuh ke dalam hutan
sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan seseorang terhadap
sumberdaya hutan, semakin dekat jaraknya dengan hutan maka akan semakin
tinggi tingkat pemanfaatannya terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga, waktu
tempuh dapat mempengaruhi tingkat persepsi seseorang terutama mengenai SDA,
dalam hal ini adalah jenis tumbuhan eksotik. Semakin sering seseorang
berinteraksi dengan suatu objek maka akan semakin baik tingkat persepsinya.
5.3.2. Pemanfaatan SDA oleh masyarakat
5.3.2.1. Jenis-Jenis SDA yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung sejak lama.
Keberadaan hutan telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan umat
manusia. Bagi masyarakat desa sekitar hutan, keberadaan kawasan hutan sangat
berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdayasumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan
bangunan, dan hasil-hasil hutan lainnya, yang dapat memberikan nilai tambah
bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat
dari ketergantungan mereka akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air,
sumber energi (kayu bakar dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan dari hutan),
bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya. Bentuk-bentuk interaksi sosial
masyarakat desa dengan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat
seperti : mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa kayu bakar sebagai sumber
energi, rumput untuk makan ternak, umbi-umbian dan buah-buahan untuk bahan
makanan dan hasil-hasil hutan lainnya.
Kondisi di atas juga terjadi ditempat yang menjadi objek penelitian.
Masyarakat banyak memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari hutan . Hal ini
terjadi karena letak geografis wilayah tersebut cukup strategis dan berbatasan
langsung dengan kawasan hutan. Adapun beberapa jenis sumberdaya hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat yang menjadi responden tersebut meliputi : kayu
bakar, rumput, tumbuhan penghasil makanan, kayu bangunan, tumbuhan
penghasil buah, dan tumbuhan obat. Rekapitulasi pemanfaatan oleh masyarakat
disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Rekapitulasi SDA yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat
Responden
Persentase
No.
Jenis SDA
(Orang)
(%)
1. Kayu bakar
11
36,57
2. Tumbuhan obat
6
20,00
3. Rumput
6
20,00
4. Kayu bangunan
1
3,33
5. Tumbuhan penghasil buah
7
23,33
6. Tumbuhan penghasil makanan
3
10,00
Tebel 15 tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan
beberapa SDA hutan dengan persentase yang berbeda. Sebagian besar responden
memanfaatkan lebih dari satu jenis hasil hutan. Kayu bakar adalah jenis yang
paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya persentase pemanfaatan
kayu bakar menunjukan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat sangat tinggi
dalam hal kebutuhan energi rumah tangga.
Beberapa jenis hasil hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar Stasiun Penelitian Cikaniki :
1. Kayu bakar
Pemanfaatan kayu bakar sebagai salah satu sumber energi rumah tangga
masih banyak dilakukan oleh masyarakat desa sekitar hutan. Demikian halnya
dengan masyarakat dilokasi penelitian. Sebagian besar masyarakatnya masih
memanfaatkan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga, walaupun ada
juga masyarakat yang sudah menggunakan minyak tanah dan gas sebagai energi
rumah tangganya. Pada umumnya masyarakat memanfaatkan kayu bakar hanya
untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri.
Sebagian besar kegiatan pengambilan kayu bakar dilakukan dengan cara
dipikul dan berjalan kaki. Hampir tidak ditemui pengambilan kayu bakar dengan
menggunakan alat angkut seperti sepeda, sepeda motor atau alat transportasi
lainnya.
Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat sekitar hutan
biasanya dalam bentuk ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah
kering, dan kayu-kayu yang kondisinya sudah lapuk, serta kayu-kayu yang sudah
mati. Jenis-jenis kayu yang diambil berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat
pada Tabel 16.
Tabel 16 Jenis-Jenis Kayu yang Dimanfaatkan untuk Kayu Bakar oleh
Masyarakat
Pemanfaat
Persentase
No. Nama lokal
Nama Ilmiah
(orang)
(%)
Calamagrostis australis
1. Babanjaran
1
3,13
2. Bambu
Dinochloa sp
1
3,13
3. Batarua
n.a
4
13,33
Calliandra calothyrsus
4. Kaliandra *
2
6,67
Alangium sp
5. Ki dage
1
3,13
Aporosa fructescens
6. Ki huut
1
3,13
Euphatorium pallescens
7. Ki rinyuh*
1
3,13
Euodia latifolia
8. Ki sampang
1
3,33
Molutes sp
9. Mara
1
3,13
Lithocarpus sp.
10. Pasang
3
10,00
11. Pinus*
Pinus merkusii
5
16,67
12. Pongokan
n.a
1
3,13
Schima
wallichii
13. Puspa
4
13,33
Altingia excelsa
14. Rasamala
5
16,67
15. Sengon*
Paraserianthes falcataria
1
3,13
16. Teh*
Camellia sinensis
1
3,13
Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pinus dan rasamala merupakan
tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan
sebagai kayu bakar. Hal ini dikarenakan kayu-kayu tersebut mudah untuk
didapatkan. Terdapat beberapa jenis kayu bakar yang termasuk kedalam jenis
tumbuhan eksotik yaitu kaliandra, ki rinyuh, pinus, sengon, dan teh. Pemanfaatan
jenis tumbuhan eksotik oleh masyarakat cukup tinggi seperti untuk jenis pinus dan
kaliandra, sedangkan pemanfaatan untuk jenis tumbuhan eksotik lainnya tidak
terlalu tinggi seperti teh, sengon, dan ki rinyuh.
Sebenarnya semua kayu dapat dijadikan sebagai kayu bakar, namun ada
beberapa jenis yang sering digunakan oleh masyarakat karena alasan tertentu
seperti mudah didapatkan, kemudahan terbakar dan tidak banyak menimbulkan
asap.
2. Rumput
Masyarakat desa sekitar hutan yang dijadikan sebagai responden sebagian
besar memiliki hewan ternak seperti kambing dan domba. Oleh karena itu
sebagian besar masyarakat memanfaatkan rumput yang berada didalam ataupun
sekitar kawasan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.
Kegiatan pemanfaatan rumput dilakukan dengan cara pengambilan rumput
yang dilakukan dalam rangka mencukupi pakan ternak selama di kandang.
Pemanfaatan tersebut berlangsung sepanjang tahun dengan intensitas pemanfaatan
yang terjadi setiap hari. Para pemanfaat rumput biasanya mengambil rumput
dengan cara dipikul, dengan volume pemanfaatan rumput untuk satu pikulan
biasanya 1-2 ikat. Rumput yang dimanfaatkan oleh masyarakat, pada umumnya
hanya digunakan untuk konsumsi saja tidak untuk diperjualbelikan, namun
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diketahui bahwa jika
komoditas rumput tidak tersedia, maka masyarakat harus mengeluarkan biaya
untuk memenuhi kebutuhan akan rumput tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis komoditas ini sangat dibutuhkan keberadaanya oleh masyarakat.
Gambar 6 Pengambilan Rumput oleh Masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang memanfaatkan
rumput didalam ataupun sekitar kawasan terdapat 4 jenis rumput yang biasa
mereka gunakan. Jenis-jenis tersebut adalah nampong, hamerang, seuhang, dan
jampang pait. Persentase pemanfaatan rumput dapat dilihat pada Gambar 7.
0.13
0.10
0.10
t
pa
i
pa
ng
Ja
m
S
eu
ha
ng
0.03
H
am
er
an
g
N
am
po
ng
Persentase (%)
0.14
0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
Jenis Rumput
Gambar 7 Persentase Pemanfaatan Rumput oleh Masyarakat.
Nampong (Eupatorium odoratum) merupakan jenis yang frekuensi
pemanfatannya paling tinggi bila dibandingkan dengan rumput lainnya.
Sedangkan hamerang dan jampang pait pemanfaatannya tidak terlalu tinggi. Dari
keempat jenis rumput tersebut tidak didapatkan jenis tumbuhan eksotik yang
dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai pakan ternak.
3. Kayu bangunan
Dari 30 responden yang diwawancarai hanya satu orang yang mengambil
hasil hutan untuk dijadikan sebagai kayu bangunan. Jenis yang biasa diambil yaitu
huru gemblung sebanyak 8 - 10 batang. Menurut responden, kayu tersebut
digunakan untuk memperbaiki rumahnya dan tidak untuk diperjualbelikan. Huru
gemblung tersebut bukan termasuk jenis tumbuhan eksotik.
4. Tumbuhan obat
Terdapat 19 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
obat. Pemanfaatan yang paling banyak yaitu terhadap jenis ki kunti (Ficus
edelfeltii) sebesar 10,00% digunakan untuk mengobati batuk dan sebagai obat
mata. Untuk jenis lainnya tingkat pemanfaatan sama yaitu sebesar 3,33%. Dari
semua jenis tumbuhan yang dimanfaatkan untuk obat terdapat satu jenis tumbuhan
eksotik yaitu seuseureuhan. Jenis ini digunakan untuk obat tetes mata.
Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat terhadap jenis ini tergolong rendah
hanya sebesar 3,33% saja.
Jenis-jenis tumbuhan tersebut digunakan untuk mengobati penyakit yang
biasa mereka derita sehari-hari seperti batuk, demam, sakit mata, penutup luka,
dan sebagainya. Dari data di atas diketahui bahwa banyak jenis tumbuhan yang
biasa digunakan oleh mereka untuk obat tetes mata.
(1)
(2)
(3)
Gambar 8 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Untuk
Obat (1) Cangkore (2) Ficus (3) Reundeu.
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk dijadikan sebagai obat. Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh Masyarakat
Persentase
No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Kegunaan
Pemanfaat
(%)
1. Cangkore
Dinochloa
Obat tetes mata
3,33
scandens
2. Pacing
Costus
Penawar racun bisa
3,33
speciosus
ular, obat gatal, obat
tetes mata
3. Lumut kaso
Saccharum
Obat demam
3,33
spontaneum
4. Ki kunti
Ficus edelfeltii Obat mata, obat batuk,
10,00
5. Capituheur
Mikania
Untuk mengobati luka
3,33
odorata
6. Nampong
Eupatorium
Untuk mengobati luka
3,33
odoratum
7. Laja
Catimbium
Mengurangi bengkak3,33
malaccensis
bengkak, untuk luka
bakar
8. Taleus
Colocasia
Obat batuk
3,33
esculenta
9. Kapol
Amomum
Obat batuk
3,33
cardamomum
10. Reundeu
Staurogyne
Memperlancar buang
3,33
elongata
air kecil
11. Hariang
Begonia
Obat untuk amandel
3,33
robusta
dan ginjal
12. Seuseureuhan* Piper aduncum Obat tetes mata
3,33
13. Kawung
Arenga pinata Obat tetes mata
3,33
14. Tabat barito
Ficus
Aprodisiak
3,33
deltoidea
15.
Ki cantum
16.
Katutungkul
17.
18.
n.a
Polygala
venenosa
Ficus
Ficus spp
Ki balik sumpah n.a.
Diminum
tonik
Obat batuk
sebagai
Obat penutup luka
Obat mata
3,33
3,33
3,33
3,33
Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik
5. Tumbuhan penghasil buah
Di dalam dan sekitar kawasan terdapat jenis-jenis tumbuhan yang
menghasilkan buah. Masyarakat biasa mengambil dan memanfaatkannya untuk
konsumsi pribadi. Pengambilan buah dilakukan tidak sepanjang tahun akan tetapi
hanya dilakukan pada musim-musim tertentu saja. Jenis-jenis yang biasa mereka
ambil buahnya adalah canar, saninten, kalimorot, menteng, pinding, dan kupa.
Volume pengaambilan buah dari jenis tersebut hanya sedikit, menurut hasil
wawancara terhadap responden mereka hanya mengambil buah sebanyak satu
kantong plastik berukuran kecil.
6. Tumbuhan penghasil makanan
Beberapa jenis tumbuhan biasa digunakan masyarakat untuk makanan
seperti rendeu, poh-pohan dan pakis. Ketiga jenis tumbuhan tersebut biasa mereka
makan sebagai lalapan. Lalapan merupakan salah satu makanan yang biasa
dimakan oleh masyarakat etnis sunda. Masyarakat yang menjadi responden
banyak yang merupakan etnis sunda, sehingga mereka banyak memanfaatkan
jenis tumbuhan untuk dijadikan lalapan.
5.3.2.2. Hubungan karakteristik responden dengan tingkat pemanfaatan
SDA
Beberapa karakteristik responden yang terpilih dicari hubungannya dengan
persepsi masyarakat mengenai penggantian jenis tumbuhan eksotik, karakteristik
tersebut adalah umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota rumah
tangga, waktu tempuh ke hutan, dan tingkat pemanfaatan SDA. Hubungan faktor
internal masyarakat dengan tingkat persepsi dapat diketahui dengan melakukan
Uji Korelasi Peringkat Spearman. Hasil penelitian tentang hubungan faktor
internal responden dengan tingkat persepsi, serta hasil analisis korelasinya dapat
dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Pemanfaatan SDA
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Faktor Internal Responden
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Jumlah anggota rumahtangga
Waktu tempuh ke hutan
Tingkat Pemanfaatan SDA
Tingkat Persepsi
Nilai Probabilitas
Nilai Koefisien
(Uji Dua Pihak)
Korelasi (rs)
0,091
0,504
0,001
0,786
1,000
0,305
0,314
0,127
0,586**
0,052
0,000
0,194
Keterangan ** : Correlation is significant at the .01 level (2-tailed)
Hasil dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa faktor internal yang
berhubungan dengan tingkat persepsi masyarakat adalah pekerjaan. Faktor yang
mempunyai nilai hasil uji korelasi peringkat Spearman yang paling besar dan
bernilai positif yaitu pekerjaan sebesar 0,586 yang menunjukkan adanya
hubungan yang substansial antara pekerjaan dengan persepsi (Young 1982) dalam
(Sulaiman 2003). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pekerjaan
responden maka semakin baik tingkat persepsinya. Seseorang yang mempunyai
pekerjaan tinggi hampir dipastikan mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang cukup memadai mengenai sesuatu hal terutama yang berkaitan dengan
profesinya.
Faktor umur memiliki korelasi yang rendah terhadap persepsi masyarakat.
Hal ini dikarenakan faktor umur tidak mewakili variabel serta tidak adanya gap
yang signifikan, sehingga faktor umur tersebut dalam penelitian ini tidak
mempengaruhi persepsi yang terbentuk. Faktor internal lainnya yaitu pendidikan,
jumlah anggota rumahtangga, waktu tempuh ke hutan dan tingkat pemanfaatan
SDA mempunyai nilai koefisien korelasi kurang dari 0,20 yang berarti dapat
diabaikan (Sulaiman 2003).
Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi
dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu : (1)
pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya,
bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang
diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh
faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian,
kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk
pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial
ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lain-lain.
Jadi menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999) bahwa umur dan
pendidikan harusnya mempengaruhi persepsi, akan tetapi dalam penelitian ini
umur responden tidak mewakili variabel umur, karena umur responden berada
pada kisaran umur yang sudah mempunyai persepsi yang sama dan pemikiran
yang sama. Pada faktor pendidikan responden tidak ada gap yang signifikan.
5.3.3. Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat dalam penelitian ini digolongkan menjadi tiga
kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa
persepsi masyarakat menyebar secara merata ke dalam tiga kategori tersebut.
Sebaran persepsi masyarakat dapat dilihat pada Gambar 9.
0.35
33.33%
33.33%
33.33%
Persentase (%)
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Persepsi
Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Penggantian Jenis
Tumbuhan Eksotik.
Masing-masing responden mempunyai tingkat pengetahuan yang berbeda
mengenai jenis tumbuhan eksotik, sehingga tingkat persepsi yang dimiliki
beranekaragam. Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor utama yang
menyebabkan tingkat persepsi responden berbeda-beda yaitu interaksi responden
terhadap jenis tumbuhan eksotik. Pada umumnya responden yang mempunyai
persepsi tinggi mempunyai tingkat interaksi yang sering dengan jenis tumbuhan
eksotik, seperti pemanfaatan terhadap jenis tersebut. Sebaliknya responden yang
mempunyai tingkat persepsi yang rendah, tingkat interaksi dengan jenis tumbuhan
eksotik tidak terlalu sering.
Berdasarkan hasil wawancara mengenai jenis tumbuhan eksotik terhadap
30 orang responden, sebanyak 73,33% mengetahui mengenai jenis tumbuhan
eksotik dan 26,67% menyatakan tidak mengetahui mengenai jenis tumbuhan
eksotik. Responden yang menyatakan tidak mengetahui jenis tumbuhan eksotik
hampir sebagian besar merupakan responden yang tingkat pemanfaatan terhadap
SDA tergolong rendah. Tingkat pemanfaatan terhadap SDA sedikit banyak dapat
berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat mengenai sumberdaya alam yang
ada
didalam
kawasan.
Rendahnya
tingkat
pemanfaatan
akan
SDA
mengindikasikan bahwa kurangnya interaksi terhadap kawasan. Sehingga mereka
kurang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik yang berada
didalam kawasan.
Responden yang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik
di dalam kawasan merupakan responden yang tingkat pemanfaatan SDA
tergolong sedang sampai tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi mereka
terhadap kawasan dan SDA cukup tinggi, sehingga mereka banyak mengetahui
mengenai jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam kawasan. Menurut
pengetahuan responden, terdapat 24 jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam
mapun sekitar kawasan. Jenis tumbuhan eksotik menurut pengetahuan masyarakat
disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Jenis Tumbuhah Eksotik Menurut Pengetahuan Masyarakat di Stasiun
Penelitian Cikaniki dan Lahan Masyarakat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Nama lokal
Kaliandra
Manglid
Sengon
Kayu Afrika
Nangka
Durian
Menteng
Kopi dengkung
Manggu
Rambutan
Petai
Salak
Limus
Jambu
Pinus
Honje
Nama ilmiah
Calliandra calothyrsus
Magnolia Blumei
Paraserianthes falcataria
Maesopsis eminii
Artocarpus heterophyllus
Durio zibethinus
Baccaurea racemosa
Polynema integrifolia
Garcinia mangostana
Nephelium sp
Parkia speciosa
Salacca edulis
Magifera foetida
Syzygium aqueum
Pinus merkusii
Nikolaia sp
Persentase Pengetahuan (%)
50,00
4,55
22,73
45,45
31,82
13,64
9,09
4,55
9,09
4,55
4,55
4,55
4,55
4,55
31,82
4,55
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Kamper
Kupa
Jengkol
Jati
Tepus
Reundeu
Harendong bulu
Suren
Cinnamomum camphora
Eugenia polycephala
Pithecelobium jiringa
Tectona grandis
Amomum coccineum
Staurogyne elongata
Clidemia hirta
Toona sureni
4,55
4,55
4,55
4,55
4,55
4,55
4,55
4,55
Diketahui bahwa kaliandra merupakan jenis tumbuhan eksotik yang paling
banyak diketahui oleh masyarakat yang menjadi responden. Jenis lainnya yang
banyak diketahui yaitu kayu afrika, pinus, nangka, sengon, dan durian, sedangkan
jenis lainnya hanya beberapa responden saja yang mengetahui. Pada umumnya
mereka mengetahui jenis tumbuhan eksotik dari banyaknya interaksi dengan
kawasan dan SDA tersebut. Jenis-jenis tumbuhan eksotik yang diketahui oleh
mereka banyak yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kayu
bakar. Selain itu juga jenis-jenis tersebut banyak yang terdapat disekitar
pemukiman masyarakat dan juga ada beberapa jenis yang mereka budidayakan.
Masyarakat yang menjadi responden hampir semuanya menyatakan tidak
mengetahui mengenai dampak adanya jenis tumbuhan eksotik didalam kawasan.
Hanya satu orang yang mengetahui mengenai adanya dampak tumbuhan eksotik
terhadap kawasan. Responden tersebut menyatakan bahwa dengan adanya jenis
tumbuhan eksotik di dalam kawasan maka akan mengakibatkan rusaknya
ekosistem hutan.
Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak adanya jenis
tumbuhan eksotik di dalam kawasan dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang
tergolong rendah dan kurangnya sosialisasi dari pihak pengelola mengenai jenis
tumbuhan eksotik. Pengetahuan akan jenis eksotik dan dampaknya sangat penting
untuk diketahui oleh masyarakat karena masyarakat merupakan salah satu agen
penyebar masuknya jenis tumbuhan eksotik ke dalam kawasan. Jika mereka telah
mengetahui mengenai dampak yang akan ditimbulkan dengan masuknya jenis
tumbuhan eksotik ke dalam kawasan maka mereka akan berhati-hati terhadap
jenis-jenis tumbuhan asing yang mereka manfaatkan atau gunakan.
Masyarakat yang menjadi responden sebanyak 53,33% menyatakan
persetujuan jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis
tumbuhan asli. Sedangkan selebihnya (46,67%) menyatakan tidak setuju jika
dilakukan penggantian jenis tumbuhan tersebut.
Masing-masing responden mempunyai alasan tertentu menyetujui dan
tidak menyetujui kegiatan penggantian jenis eksotik tersebut. Beberapa alasan
responden menyetujui penggantian jenis tumbuhan eksotik diantaranya adalah
untuk menjaga keaslian ekosistem, ada jenis eksotik yang merusak kesuburan
tanah seperti pinus, serta adanya ketakutan dari masyarakat untuk menebang
pohon tersebut jika pohon-pohon tersebut merupakan pohon jenis asli kawasan.
Sedangkan alasan responden tidak menyetujui penggantian jenis tumbuhan
eksotik tersebut diantaranya adalah beberapa jenis eksotik dimanfaatkan oleh
masyarakat seperti untuk kayu bakar serta ada jenis tumbuhan eksotik yang
dibudidayakan oleh mereka dan mereka mengambil bibitnya dari dalam kawasan
yaitu kayu afrika. Menurut pengakuan responden bibit kayu afrika dari dalam
kawasan lebih bagus dibandingkan dengan bibit yang mereka beli dipasaran.
5.4. Rekomendasi Penggantian Jenis
Introduksi jenis eksotik di Indonesia telah lama terjadi, baik disengaja
maupun tidak sengaja. Introduksi jenis asing tersebut dalam beberapa kasus telah
menimbulkan dampak yang cukup besar. Jenis asing berupa gulma jahat telah
menimbulkan kerugian yang cukup besar di sektor pertanian. Sementara itu ada
pula jenis asing yang berubah menjadi jenis yang dominan dan berkompetisi
dengan jenis lokal yang pada akhirnya mengganggu keberadan jenis lokal.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati untuk keseimbangan
ekosistem khususnya di kawasan Pelestarian Alam, salah satu kebijakan
pengelolaannya yaitu dengan mendatangkan atau memasukkan jenis-jenis eksotik
ke dalam kawasan pelestarian tersebut. Yang menjadi masalah pemasukan jenisjenis eksotik tersebut tidak melalui pertimbangan yang matang. Sehingga jenisjenis eksotik yang pada dasarnya memiliki dampak yang positif dan negatif
terhadap kawasan pelestarian baik dari sisi ekonomi, lingkungan dan sosial
keberadaanya sulit untuk dikendalikan, khususnya untuk jenis eksotik yang
mempunyai dampak negatif sebagai kompetitor dan penyebab terjadinya polusi
genetik. Bila tidak cepat dikendalikan jenis-jenis eksotik tersebut akan menginvasi
dan menjadi dominan, tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya mengancam
kelestarian jenis-jenis flora dan fauna endemik serta keberadaan eksoisitem
kawasan pelestarian alam
TNGHS merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, dimana
mengemban mandat untuk menjaga keaslian eksosistemnya. Oleh karena itu,
perlu adanya perhatian khusus terhadap keberadaan jenis eksotik sebelum
terjadinya dominasi dari jenis eksotik ini dan mengancam keberadaan eksositem
yang ada. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan
pengendalian jenis tumbuhan eksotik, diantaranya adalah aspek ekologi, ekonomi
dan manfaat dari jenis tumbuhan eksotik tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan TNGHS khususnya di
Stasiun Penelitian Cikaniki telah dimasuki oleh jenis tumbuhan eksotik yaitu
harendong bulu, ki rinyuh, kecubung, seseureuhan, dan kaliandra. Meskipun jenisjenis tersebut belum menginvasi kawasan perlu dilakukan tindakan pengelolaan
yang lebih dini sehingga kawasan tersebut tidak terinvasi oleh jenis tumbuhan
eksotik. Salah satu tindakan yang harus diambil adalah dengan melakukan
penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis asli agar kawasan tersebut dapat
terjaga keasliannya, seperti saninten (Castanopsis argentea), pasang (Lithocarpus
sp), Ficus spp, ki seueur (Antidesma sp), puspa (Schima wallichii),
dan
harendong (Melastoma malabathricum).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebaran jenis-jenis
tumbuhan eksotik adalah mengelompok, hal ini akan lebih memudahkan dalam
melakukan pengelolaan terhadap jenis-jenis tersebut. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan yaitu pemberantasan secara kimiawi dan pemberantasan secara fisik
(penebangan/pemotongan pohon, pencabutan pohon, dan pembongkaran pohon).
Dalam proses penggantian jenis tumbuhan eksotik, peran masyarakat tidak
dapat diabaikan. Oleh kerena itu pelibatan masyarakat sekitar perlu diperhatikan
dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan jenis tumbuhan eksotik
tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pekerjaan mempunyai korelasi
yang substansial dengan tingkat persepsi terhadap jenis tumbuhan eksotik, hal ini
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan penggantian
jenis tumbuhan eksotik. Masyarakat yang sebagian besar merupakan petani dan
karyawan kebun dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut.
Mereka banyak berinteraksi dengan kawasan dan sedikit banyak mengetahui
mengenai jenis tumbuhan eksotik.
Sebagian besar masyarakat mengetahui jenis tumbuhan eksotik, akan
tetapi tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan jenis tumbuhan eksotik tersebut
terhadap kawasan konservasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan
pengetahuan masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik secara menyeluruh
seperti melalui penyuluhan. Agar masyarakat berhati-hati dalam melakukan
tindakan yang berhubungan dengan jenis tumbuhan eksotik, karena salah satu
agen penyebar masuknya jenis eksotik adalah manusia.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian
sebanyak lima jenis, meliputi harendong bulu (Clidemia hirta), ki rinyuh
(Eupatorium pallescens), kecubung (Brugmansia suaveolens), kaliandra
(Calliandra calothyrsus), dan seuseureuhan (Piper aduncum). Penyebaran
jenis tumbuhan eksotik mengelompok.
2. Jenis tumbuhan eksotik yang dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya
adalah
kaliandra
(Calliandra
calothyrsus),
sesuseureuhan
(Piper
aduncum), pinus (Pinus merkusii), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), teh
(Camellia sinensis), sengon (Paraserianthes falcataria), dan kayu afrika
(Maesopsis eminii). Jenis-jenis tersebut dimanfaatkan untuk kayu bakar,
obat, dan pakan ternak
3. Persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik menyebar secara
merata yaitu rendah (0-2), sedang (3-5) dan tinggi (6-8) sebesar 33,33%.
Masyarakat sebagian besar (53,33%) menyatakan setuju jika dilakukan
penggantian jenis tumbuhan eksotik.
6.2. Saran
Download