studi penyebaran dan persepsi masyarakat

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiversitas (Biodiversity)
Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk
kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah
yang terkandung di dalamnya (Wilcox 1984 dalam Mackinnon et al. 1993).
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang konvensi PBB mengenai
keanekaragaman hayati, pengertian biodiversitas adalah keanekaragaman di antara
daratan, lautan dan ekosistem akuatik lainnya serta kompleks-kompleks ekologi
yang merupakan bagian dari keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan
ekosistem (Soemarwoto 2001). Keanekaragaman hayati berhubungan dengan
keanekaragaman/variasi ekosistem dan macam-macam tipe serta perubahan
hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup di dunia (Kantor
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1992).
Keanekaragaman berarti keadaan berbeda atau mempunyai berbagai
perbedaan dalam bentuk atau sifat. Di daerah yang keanekaragaman spesies
tumbuhannya besar, di sana sering terdapat jumlah spesies hewan yang besar pula.
Hal ini disebabkan karena dengan cara yang bagaimanapun, setiap spesies hewan
mungkin bergantung pada kelompok spesies tumbuhan tertentu untuk makanan
dan kebutuhan lainnya (Ewusie 1990).
Soemarwoto (1991) mengemukakan banyak jenis tumbuhan, hewan dan
jasad renik memproduksi zat-zat yang sangat berguna bagi manusia. Untuk dapat
mendukung kebutuhan manusia yang makin meningkat perlu adanya sumberdaya
gen dengan keanekaragaman yang tinggi.
Saat ini terjadi pengurangan keanekaragaman hayati yang sangat besar.
Hal ini dapat terjadi dalam bentuk kepunahan jenis maupun variasi jenis hewan
dan tumbuhan tertentu. Penyebab kepunahan ini bermacam-macam, antara lain
berkurangnya luas habitat, rusaknya habitat, eksploitasi yang berlebihan, dan
penggunaan teknologi yang tidak bijaksana.
Keanekaragaman hayati ini harus dijaga dari bahaya kepunahan.
Kepunahan jenis atau variasi jenis hewan dan tumbuhan dapat pula terjadi akibat
kerusakan habitat walaupun luasnya tidak berkurang, misalnya berubahnya areal
hutan menjadi alang-alang. Untuk mempertahankan biodiversitas, maka
kerusakan habitat harus dicegah dengan membentuk kawasan yang dilindungi dan
memperkecil gangguan terhadap kawasan tersebut.
2.2. Tumbuhan Eksotik
Jenis eksotik adalah jenis-jenis yang bukan merupakan jenis asli di suatu
daerah atau habitat (Widada et al. 2006). Seluruh spesies di dunia ini tidak
menyebar secara merata. Penyebaran spesies secara geografik dibatasi oleh
penghalang lingkungan. Iklim, pegunungan, laut, sungai, dan gurun merupakan
contoh-contoh penghalang tersebut. Iklim yang sangat berbeda antara berbagai
tempat di belahan bumi juga akan menghalangi penyebaran spesies. Misalnya
iklim di Indonesia yang merupakan negara tropis sangat berbeda dengan iklim di
negara-negara Eropa yang mempunyai empat musim.
Kegiatan manusia baik secara sengaja maupun tidak, telah menyebabkan
terjadinya perpindahan beribu-ribu spesies ke tempat-tempat baru di dunia.
Beberapa spesies eksotik ini mempunyai efek negatif terhadap spesies-spesies
lokal. Sebagian besar spesies eksotik tidak dapat bertahan di daerah barunya
karena lingkungan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya, namun
beberapa spesies lainnya dapat bertahan hidup, dan bahkan membentuk koloni
yang kuat di tempat baru tersebut. Kadangkala mereka mengalahkan spesies asli
daerah tersebut melalui kompetisi dalam memperebutkan makanan atau ruang
hidup yang jumlahnya terbatas (Widada et al. 2006).
Tumbuhan eksotik atau alien plant species, dibedakan atas dua kategori,
yakni tumbuhan eksotik yang tidak bersifat invasif dan tumbuhan eksotik yang
bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak jenis tanaman yang termasuk kategori
jenis tumbuhan eksotik, seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis
guinensis), cabai (Capsicum annum), jagung (Zea mays), kentang (Solanum
tuberosum), dll. Namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak
menimbulkan ancaman kerusakan ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal
yang ada dalam satu areal. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo (2006) di
Pulau Jawa ditemui tidak kurang dari 2.000 jenis tumbuhan eksotik dan beberapa
diantaranya bersifat invasif.
Tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasif
alien plant spesies (IAS) adalah jenis tumbuhan yang tumbuh di luar habitat
alaminya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman
kerusakan bagi ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal dan berpotensi
menghancurkan habitat tersebut. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo
(2006) tumbuh-tumbuhan ini memiliki karakter yang menyebabkannya mampu
mendominasi kawasan tempat tumbuhnya, yaitu :
1. Pertumbuhan yang cepat.
2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji.
3. Biji yang dihasilkan juga banyak, sehingga cepat mendominasi areal.
4. Metode penyebaran biji yang efektif.
5. Beberapa jenis tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga
penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif.
6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal, sehingga dapat memproduksi biji.
7. Cepat membentuk naungan, produksi bunga lebih cepat daripada
tumbuhan lokal, sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi
penyerbuk bila sumber pangan dari jenis tumbuhan lokal belum tersedia.
8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat, sehingga
mendominasi perakaran di sekitarnya.
9. Seringkali memiliki allelopathy yang menghambat pertumbuhan jenis
lokal.
10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya.
2.3. Invasi
Invasi adalah pergerakan satu atau beberapa jenis tumbuhan dari satu
tempat ke tempat lain yang pada akhirnya tempat tersebut mereka kuasai (Weafer
1938 dalam Utomo 2006). Invasi merupakan proses yang kompleks dimana
migrasi dan kompetisi memegang peran yang penting. Invasi ke tempat yang baru
dimulai dengan migrasi (perpindahan tempat), diikuti dengan agregasi
(pengumpulan) dan kompetisi (persaingan).
Invasi dapat terjadi di daerah kosong atau daerah yang siap ditempati oleh
tumbuh-tumbuhan. Menurut Weafer (1983) dalam Pasaribu (2002), keberhasilan
invasi yang bersifat lokal biasanya merupakan invasi secara besar-besaran, seperti
invasi ternak ke padang rumput. Invasi dikatakan sempurna apabila pergerakan
spesies penyerbu ke dalam komunitas sangat besar dan mengusir spesies asli.
Invasi tumbuhan eksotik dan dominansinya pada kawasan bekas hutan
merupakan salah satu bentuk disklimaks dalam dinamika komunitas. Oosting
(1958) mengemukakan bahwa disklimaks ini terjadi karena adanya gangguan
manusia pada suatu kawasan, dan munculnya jenis yang mendominasi. Jenis
dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya
menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat.
2.4. Penyebaran
Kebanyakan komunitas tumbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi
baik secara vertikal maupun horizontal, yakni setiap jenisnya tersebar dengan
tinggi yang berbeda-beda di atas permukaan tanah dan juga tersebar pada lokasi
dan jarak yang berbeda-beda. Penyebaran secara vertikal dari suatu jenis
tumbuhan biasanya dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya
matahari. Jenis-jenis dengan tajuk daun yang menjulang tinggi paling teratas
berada dalam keadaan cahaya penuh (100%), sedangkan jenis-jenis dengan tajuk
daun yang rendah yang dekat dengan permukaan tanah berada dalam keadaan
cahaya yang sangat kurang.
Penyebaran tumbuhan secara horizontal di permukaan tanah adalah sangat
kompleks. Whittaker (1970) dalam Sastroutomo (1990) telah mengidentifikasikan
empat macam penyebaran dari setiap jenis tumbuhan secara horizontal di dalam
suatu komunitas (juga untuk setiap individu dalam suatu populasi), yaitu
penyebaran secara random, mengelompok (kontagius), regular (kontagius
negatif), dan penyebaran secara kombinasi pengelompokan individu kedalam
koloni dan distribusi regular.
Pada komunitas alami setiap jenis tumbuhan biasanya dijumpai tersebar
secara acak dan tidak pernah dijumpai penyebaran yang sangat teratur dengan
jarak yang relatif sama dari individu yang satu ke individu yang lainnya. Keadaan
seperti ini dapat dijumpai pada komunitas tanaman pertanian dimana paling tidak
tanaman pokoknya ditanam dengan jarak yang sama dalam satu barisan. Beberapa
jenis penyebaran lainnya selain yang acak juga dijumpai pada komunitas alami.
Penyebaran yang mengelompok di sana sini dapat terjadi sebagai akibat dari pola
pemancaran biji dari tumbuhan induknya, gradasi lingkungan mikro, atau
kekerabatan antar jenis baik yang positif maupun yang negatif.
Para ahli ekologi telah memahami bahwa setiap jenis tumbuhan dalam
suatu komunitas akan mempunyai pola penyebaran yang tersendiri. Pola ini dapat
memiliki persamaan dengan jenis lainnya tetapi tidak mungkin seluruhnya sama.
Oleh karena itu, komunitas tumbuhan merupakan suatu gabungan dari beberapa
pola penyebaran berjenis-jenis tumbuhan yang satu sama lainnya saling tumpang
tindih dan berinteraksi satu sama lain (Sastroutomo 1990).
2.5. Persepsi
Persepsi adalah pandangan dan pengamatan; pengertian dan interpretasi
seseorang atau individu terhadap suatu kesan/objek yang diinformasikan kepada
dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya
(Kartini 1984 dalam Mauludin 1994).
Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi
dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu : (1)
pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya,
bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang
diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh
faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian,
kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk
pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial
ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lain-lain.
Download