penegakan hukum netralitas pegawai negeri sipil (pns)

advertisement
258
PENEGAKAN HUKUM NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
Oleh:
Sri Hartini
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
E-mail: [email protected]
Abstract
Basically, the substance of democracy is the existence of role/active participation in the governance
based on independence, equality and freedom. Somehow in new era, this strategic position of public
servant was used by political party which finally makes political problems in the conception of law
enforcement and makes confusedness to the role of public servant. Finally, the government make
coherent regulation concerning with the neutrality in the public service law. Arrangement of public
service neutrality, arranged in article 3 sentence (2) and sentence (3) Law No. 43 Year 1999 and
Government Regulation No. 37 Year 2004 concerning prohibition order of public servant becoming
political party member and official member. The regulation only arranging concerning public servant
becoming member and official member of political party, while public servant which was
nonmember of political party, what exactly more loyal in political party not yet been arranged in
that regulation. The regulation which straightening of neutrality arrange in the preamble which
public servant that impinge this regulation not yet arranged to collision, though sanction to this
regulation was riffed as public servant, for public servant that becoming member and official
member of political party.
Keyword: Neutralities, political party, law enforcement.
A. Pendahuluan
Pertanyaan mengenai ilmu hukum termasuk sebuah ilmu, dapat saja dikatakan sebagai pertanyaan contradictio in terminis, ini
disebabkan banyak sekali pertentangan yang
menyatakan bahwa hukum di satu sisi bersifat
praktis dan di sisi lain bersifat teoritis. Pemahaman mengenai pengertian hukum itu
sendiri sampai dengan saat ini sangat sulit di
dapati, yang biasa dijadikan pengertian hukum
adalah seperangkat kaidah yang bertujuan
untuk mengatur tata kehidupan manusia.
Hukum yang merupakan seperangkat kaidah dinormatifkan ke dalam sebuah peraturan
perundang-undangan, setiap peraturan perundang-undangan ini harus ditegakan dalam
arti diimplementasikan agar dapat berlaku
secara efektif.
Salah satu ranah hukum yang ada di
Indonesia adalah hukum kepegawaian yang
mengatur mengenai pegawai negeri itu sendiri,
termasuk di dalamnya terkait dengan netralitas. Pelaksanaan netralitas pegawai negeri
sampai saat ini masih terus menjadi perdebatan
hangat, oleh sebab itulah perlu dikaji lebih
mendalam mengenai netralitas dan penegakan
hukumnya.
PNS diharapkan menjadi seorang yang
profesional dalam menjalankan setiap tugas
yang diembannya. Pandangan ini sesuai dengan
kedudukan manusia, yaitu dengan ungkapan not
the gun but the man behind the gun. Ungkapan
ini sangat tepat diterapkan dalam membahas
masalah kedudukan PNS. Kedudukan PNS diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pegawai Negeri harus netral dari
pengaruh semua golongan dan partai
politik serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Pegawai Negeri dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik
Pengaturan ini mengindikasikan bahwa
netralitas pegawai negeri dijamin dalam undang-undang agar pegawai negeri dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Ketentuan Pasal 3 UndangUndang No.43 Tahun 1999 itu kemudian
diperjelas kembali pada Penjelasan Umum I
angka 6 menyebutkan bahwa:
Dalam upaya menjaga netralitas Pegawai
negeri dari pengaruh partai politik dan
untuk menjamin keutuhan, kekompakkan
dan persatuan Pegawai negeri serta dapat
memusatkan segala perhatian, pikiran dan
tenaganya pada tugas yang dibebankan
kepadanya, maka Pegawai Negeri dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik. Oleh karena itu, Pegawai Negeri
yang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik harus diberhentikan sebagai
pegawai negeri. Pemberhentian tersebut
dapat dilakukan dengan hormat atau tidak
dengan hormat.
Kedudukan PNS tersebut, menunjukan
bahwa PNS merupakan tulang punggung bangsa
dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, serta melaksanakan birokrasi untuk
melayani masyarakat. Kedudukan yang strategis
ini diperlukan adanya PNS yang profesional.
Untuk mencapai keprofesionalan ini pemerintah
mengambil kebijakan, dengan mengeluarkan
peraturan pemerintah tentang netralitas PNS,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai
Negeri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik
kemudian diperbaharui kembali dengan Peraturan pemerintah No.37 Tahun 2004 dan aturan teknisnya dijelaskan melalui Surat Keputusan Badan Administrasi kepegawaian Negara
(BAKN) No.02/BA/1999 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut.
Netralitas PNS dalam partai politik merupakan kajian hukum kepegawaian. Kajian
hukum kepegawaian mengatur pegawai negeri
259
yang bekerja dalam administrasi negara. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Utrech, yang
menjelaskan bahwa hukum administrasi menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan
untuk memungkinkan para pejabat (amstragers) Administrasi negara melakukan tugas
mereka yang khusus.
Keanggotaan dan kepengurusan dalam
organisasi politik merupakan hak-hak dasar dan
hak asasi manusia. Hak-hak dasar ini senantiasa
merupakan hal yang menarik untuk selalu di
kaji karena secara normatif dijamin dan dijunjumg tinggi. Masalah dasar dalam hak asasi
manusia adalah masih adakah di dalam keterbatasaan terdapat kebebasan warga negara
untuk turut serta berperan aktif dalam pemerintahan.1
Kebebasan untuk berserikat/berkumpul
diatur pasal 28 UUD 1945 yaitu bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Peraturan pelaksana UUD ini adalah adanya
organisasi kemasyara-katan dan organisasi
politik
Ternyata, keikutsertaan Pegawai Negeri
dalam dunia politik banyak menimbulkan perdebatan. Tuntutan agar Pegawai Negari Sipil
netral dalam partai politik mulai bergema.
Bahkan akhir-akhir ini gema tuntutan itu semakin didengungkan bersama dengan semakin
kencangnya hembusan angin reformasi. Tuntutan agar Pegawai Negari Sipil netral dalam
keanggotaan dan kepengurusan dalam partai
politik adalah sesuatu yang wajar karena
selama pada saat Orde Baru, KORPRI dijadikan
sebagai mesin politik Golkar. Sedangkan
keanggotaan Korpri sebagian besar adalah
Pegawai Negari Sipil. Agar pengalaman yang
pahit tersebut tidak terulang lagi, maka untuk
menganti-sipasi hal ini Soewoto berpendapat
bahwa peran Pegawai Negari Sipil yang
memberikan kontribusi besar atas kemenangan
1
Sri Hartini, 2005, Netralitas Pegawai Negeri Sipil,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi, hlm. 24
260
Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
Golkar harus diantsipasi dengan Peraturan yang
baru.2
Pada era reformasi ini, keanggotaan dan
kepengurusan Pegawai Negeri Sipil di dalam
partai politik diatur tersendiri di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2004 tentang
Larangan Pegawai Negari Sipil Menjadi Anggota
Partai Politik. Peraturan perundang-undangan
tersebut dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
agar Pegawai Negari Sipil bersikap netral.
Sebab permasalahan yang selama ini terjadi
adanya penggunaan fasilitas oleh birokrat/
Pegawai Negeri Sipil dalam partai politik
tertentu. Latar belakang inilah yang dijadikan
alasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan tersebut .
PNS netral dalam partai politik memang
sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan/konflik sepanjang orde baru. Namun
setelah netralitas berjalan kurang lebih 10
(sepuluh) tahun, ternyata menimbulkan dampak positip dan negatif. Dampak positif, bahwa
PNS tidak lagi disibukkan berkampanye, rapatrapat parpol, sehingga dapat melaksanakan
pekerjaan secara optimal,
Dampak negatif yang muncul, adalah
selama PNS, TNI, dan Polri, tidak ada keterwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Pusat
maupun daerah. Dewan ini sering banyak
menjadi sorotan masyarakat, seperti korupsi,
perselingkuhan, ijazah palsu dan lain-lain.
Apakah ini kebetulan masa reformasi ataukah
ada hal lain yang perlu dibenahi kembali.
Pengaturan netralisas PNS, dalam Pasal 3
ayat (2) dan (3), serta PP No. 37 Tahun 2004,
dalam pelaksanaanya menimbulkan permasalahan yang krusial, yang sampai saat ini belum
mendapat perhatian dari semua kalangan.
Permasalahan yang muncul yaitu, pengaturan
baik dalam UU maupun aturan pelaksananya,
hanya mengatur tentang larangan PNS yang
menjadi anggota dan pengurus parpol.
Bagaimana PNS yang tidak menjadi anggota dan
pengurus tetapi kiprahnya melebihi anggota
2
Soewoto, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul, Makalah Penataran Hukum Administrasi, diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama
dengan Utrecht Universiteit Belanda, 8 – 13 Februari
1999, hlm. 6
dan pengurus, wewenang siapa dalam
menanganinya, prosedurnya bagaimana jika
terjadi pelanggaran. Latar belakang ini yang
akan menjadi kajian dalam tulisan ini.
Dari latar belakang tersebut di atas, dapat
ditarik permasalahan berupa :
1. Bagaimanakah netralitas pegawai negeri sipil dalam partai politik?
2. Bagaimanakah penegakan hukum netralitas
pegawai negeri dalam partai politik?
B. Pembahasan
Kebebasan dalam organisasi politik,
merupakan konskuensi logis oleh hukum atau
konstitusi atas hak-hak dasar dan hak asasi
manusia
dalam
kehidupan
kenegaraan.
Kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran
merupakan indikasi bahwa suatu negara
melaksanakan demokrasi Setiap negara yang
mengaku negara hukum yang demokrastis harus
memasukan aspek peran serta aktif rakyat di
dalam konstitusinya yang dilandasi persamaan
dan kemerdekaan/kebebasan. Kehidupan demokrasi di Indonesia, sebagaimana diatur Pasal
1 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat, dan dilakukan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Kebebasan merupakan hak asasi manusia.
Menurut Soewoto bahwa hak asasi itu bersifat
universal, yang tidak universal adalah implementasinya dalam produk perundang-undangan.3 Jadi hak asasi manusia yang merupakan
kebutuhan setiap manusia harus diatur dalam
undang-undang suatu negara.
Kebebasan ini dipertegas lagi oleh Toto
Pandoyo bahwa konsep kebebasan berserikat
dan berkumpul ini merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang diakui secara yuridis baik
internasional
maupun
nasional.4
Secara
internasional diatur Article 20, Declaration of
Human Rights sebagai berikut:
3
4
Soewoto, HAM Masalah Konsep, Penjabaran, Pelaksanaan dan Pengawasan di Indonesia, Makalah disampaikan
dalam seminar sehari dan demokratisasi di Indonesia
dalam rangka diesnatalis ke 31 Universitas Brawijaya 1
Februari 1994, hlm. 2.
Toto Pandoyo, 1981, Ulasan Terhadap Beberapa
Ketentuan UUD 1945 dan Perkembangan Kehidupan
Demokrasi, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1.
Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Everyone has the right to freedom of
peaceful assembly and association no one
may be compelled to belong an association.
Di Indonesia jaminan terhadap kebebasan
berserikat dan berkumpul diatur pasal 28 UUD
1945. Sebagai realisasi kebebasan berserikat
dalam partai politik adalah Undang-Undang No.
32 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dalam
penjelasan umum UU Partai Politik disebutkan
bahwa pembentukan partai politik pada
dasarnya merupakan suatu pencerminan hak
warganegara untuk berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat sesuai dengan pasal 28
UUD 1945. Partai politik merupakan sarana
pendidikan politik warganegara untuk ikut
berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan.
Fungsi undang-undang adalah mengatur
baik warganegara maupun pemerintah. Hal ini
sesuai dengan salah satu fungsi hukum adalah
perlindungan hukum bagi rakyat dan mengatur
kebebasan manusia secara wajar untuk menghindari bentrokan kepentingan yang satu dengan lainnya. Fungsi hukum yang memadai
diharapkan dapat diciptakan dan dipelihara
keamanan, ketertiban dan ketentraman dalam
masyarakat.
Menurut Philipus M. Hardjon, bahwa
undang-undang pada dasarnya dimaksudkan
untuk membatasi kekuasaan pemerintah secara
jelas dan tegas, di sisi lain dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak dasar.5 Jadi setiap
pembatasan terhadap hak-hak dasar harus
dengan instrumen undang-undang.
1. Kebebasan Berserikat Pegawai Negeri Sipil
dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun
1959
PNS dalam partai politik merupakan masalah yang selalu tidak ada akhirnya. Hal ini
sudah dimulai sejak masa Demokrasi liberal
yaitu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres)
No. 2 Tahun 1959 tentang larangan PNS dan
Pejabat Negeri dalam Partai Politik. Perpres ini
5
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara
Pancasila, Makalah simposium tentang Politik Hak Asasi
Manusia dan Pembangunan Hukum, dalam Rangka Dies
Natalis XL/Lustrum Universitas Airlangga, Surabaya 3
November 1994, hlm. 5.
261
semula dikeluarkan untuk menyatukan PNS
yang telah ter-pecah belah akibat permainan
politik saat itu yang dikenal Nasakom. Perpres
ini kemudian diikuti dan diperluas pula oleh
Surat Edaran Presiden Republik Indonesia (SE)
No. 2 Tahun 1959 tentang Larangan Keanggotaan Partai Politik bagi Pejabat Negari Jang
Mendjalankan Kewadjiban Negara di Luar
Djabatan Jang Dipangkunja.
Perpres ini menyatakan yang dimaksud
Pejabat negeri menurut ketentuan pasal 1 ayat
(1) adalah:
a. Pegawai pemerintah pusat yang digaji
menurut atau berdasarkan golongan F dari
PGPN-1955 dan pegawai pemerintah daerah
yang digaji sesuai PGPN-1955;
b. Semua anggota angkatan perang dan
Kepolisian Negara;
c. Anggota/direksi/pimpinan staf pada badanbadan usaha/yayasan-yayasan/perusahaanperusahaan/lembaga-lembaga baik yang secara langsung maupun tidak langsung seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh negara.
Menyimak materi muatan Perpres No. 2
Tahun 1959 maupun Surat Edaran (SE) Presiden
Republik Indonesia No. 2 Tahun 1959 penulis
berkesimpulan bahwa Perpres ini membatasi
kebebasan berpendapat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945,
bahkan kalau dikaji dengan konsep Hak Asasi
Manusia bukan hanya sekedar membatasi
bahkan tidak menjamin terhadap HAM yang
bersifat universal.
Perpres No. 2 Tahun 1959 tentang larangan Pejabat Negeri ini telah dicabut berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 1970.
Meskipun demikian Perpres tersebut merupakan
tonggak penting dalam sejarah pengaturan PNS
dalam partai politik. Perpres ini sebagai upaya
pemerintah untuk memulihkan keadaan PNS
pada saat itu berlarut-larut dalam permainan
politik. Perpres ini pula diharapkan dapat memulihkan keutuhan dan kekompakan PNS.
262
Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
2. Kebebasan Berserikat Pegawai Negeri Sipil
dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun
1970
Orde Baru merupakan masa pelaksanaan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan ini meliputi segala bidang kehidupan.
Masalah Pegawai Negeri merupakan agenda
bagi Orde Baru. Orde Baru menyadari bahwa
PNS harus diberi kesempatan untuk berserikat
dalam partai politik. Atas dasar alsan tersebut
di atas, diperlukan adanya pembinaan yang
diatur dalam peraturan yang jelas. Hal inilah
sebagai alasan untuk mengatur pegawai ngeri
dalam suatu wadah yang berbentuk korp. Korp
pegawai negeri ini dikenal dengan KORPRI
dalam Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1971
tentang Korpri.
Korpri merupakan wadah pegawai negeri
sipil yang sangat strategis. Bahkan Korpri
memberikan andil yang sangat besar pada
pemerintahan Orde Baru. Untuk mempertahankan kondisi ini dikeluarkan be-berapa kebijakan
yang berkaitan dengan Pegawai Negeri Sipil.
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah Peraturan Pemeritah No. 26 Tahun
1970 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil
dalam Partai Politik dan Golongan Karya. Esensi
Peraturan Pemerintah khususnya Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini berkaitan dengan Izin
Bagi Pegawai Negeri Sipil dalam partai politik.
Politik hukum tentang pemberian izin PNS
dalam Partai Politik adalah adanya usaha
merekrut PNS untuk memperkuat kekuatan
pemerintahan ORBA. Hal ini dinyatakan oleh
Afan Gafar:6
Birokrasi dalam pemerintahan Orde Baru
merupakan sebuah instrumen politik yang
sangat efektif dalam memobilisasi masa
demi memelihara format politik Orde
Baru. Kehadiran birokrasi sebagai instrumen kekuasaan salah satunya diwujudkan
memberi dukungan langsung kepada
Golkar pada setiap kali pemilihan umum.
dan Golongan Karya, pasal 8 ayat (2) yang
menyatakan bahwa :
a. PNS dapat menjadi anggota partai politik
dan Golongan Karya dengan sepengetahuan
pejabat yang berwenang;
b. PNS yang memegang jabatan-jabatan
tertentu tidak dapat menjadi anggota partai
politik dan golongan karya, kecuali dengan
izin tertulis dari pejabat yang berwenang.
Ketentuan pasal 8 tersebut di atas secara
normatif memberi kebebasan PNS menjadi anggota dan pengurus partai politik, namun secara
realitias izin tersebut menjadi permasalahan
hukum tersendiri. Pemberian izin selalu tidak
transparan. Hal ini mengakibatkan banyak PNS
yang dirugikan dengan alasan izin.
Pemberian izin inilah pada masa Orde Baru
disalahgunakan dengan alasan mengganggu
pelaksanaan tugas. Apabila pejabat konsisten,
PNS yang menjadi anggota dan pengurus Organisasi Kemasyarakatanpun seharusnya juga
dilarang karena dapat mengganggu pelaksanaan
tugas. Melihat realitas ini, pemerintah Orde
Baru dalam pemberian izin tidak konsisten.
Selain alasan tersebut pada masa Orde Baru
PNS dalam partai politik selalu dikaitkan
dengan monoloyalitas. Monoloyalitas sangat
positif jika dilaksanakan dengan konsisten
sesuai dengan UU No.8 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian khususnya pasal 3. Maksud
monoloyalitas pasal 3 tersebut adalah PNS
untuk kepentingan pemerintah, namun realitasnya digunakan untuk mendukung golongan/
partai tertentu yaitu
dijadikan
motor
penggerak kemenangan Golkar melalui KORPRI.
Hal ini seperti dinyatakan oleh Afan Gafar
bahwa:7
Kehadiran birokrasi sebagai instrumen kekuasaan dapat diwujudkan dalam bentuk
memberi dukungan langsung kepada Golongan Karya pada setiap kali pemilihan
umum diadakan. Pada pemilihan umum
1977, PNS memberikan suaranya buat
Golkar. Kalau itu kemudian ditambah
dengan suara dari keluarga, seperti
suami/istri, atau anak yang sudah berhak
memilih, Golkar akan mendapat sekitar
Dukungan ini lebih diperkuat lagi dalam
UU. No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik
6
Afan Gafar, 1999., Politik Indonesia Transisi Menuju
Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 235-237
7
Ibid., hlm. 235
Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
10 juta suara dari PNS dan keluarganya.
Dengan demikian PNS menyumbang suara
yang sangat berarti bagi Golkar.
Atas dasar uraian di atas penulis simpulkan bahwa pegawai negeri sipil pada masa
Orde Baru meskipun membatasi PNS dalam
partai politik, namun secara normatif masih
memberi kesempatan PNS dalam partai politik.
Ini merupakan politik hukum yang digunakan
dan dilegalkan oleh pemerintah agar PNS sebagai abdi negara harus menuruti kemauan
penguasa. Ketentuan tersebut dapat dilihat
bahwa peranan PNS tidak lagi secara nyata
sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat, sebagai alat dalam mencapai
kemenangan Golkar setiap pemilihan umum,
dan hal ini berlaku sampai pemilu tahun 1997.
3. Netralitas Pegawai Negeri Sipil pada Era
Reformasi
Keadaan Pegawai Negeri pada masa Orde
Baru yaitu 11 Maret 1966 sampai dengan 21 Mei
1998, yang dijadikan alasan era reformasi untuk
segera membenahi peraturan tentang keikut
sertaan PNS dalam partai politik. Hal ini
dimulai dari Pengunduran diri Soeharto sebagai
Presiden tanggal 21 Mei 1998 merupakan
tonggak baru dalam kehidupan pemerintahan di
Indonesia. Bersamaan dengan itu, hembusan
angin reformasi yang berkaitan dengan partai
politik dijadikan agenda utama. Pada masa
reformasi, hal yang berkaitan dengan PNS
dalam partai politikpun menjadi hangat dibicarakan akhirnya timbullh kebijakan tentang
netralitas PNS.
Selama ini, PNS menjadi perdebatan
dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1999 dan
terakhir dengan Peraturan pemerintah No.37
tahun 2004 tentang Larangan PNS menjadi
Anggota Partai Politik ini di-maksudkan untuk
menjawab permasalahan yang selama ini
terjadi. Peraturan tersebut dimaksudkan PNS
netral dalam partai politik. Peraturan ini pula
diharapkan dapat memberi angin segar dalam
kehidupan partai politik di Indonesia karena
selama ini PNS digunakan guna mendukung
263
salah satu partai politik saja. Adanya peraturan
ini diharapkan kehidupan berpolitik di Indonesia akan lebih demokratis tanpa diwarnai
rasa saling curiga.8
Akibat permainan politik yang dilakukan
pada Orde Baru tentang pegawai negeri dalam
partai politik mengakibatkan ketidakseimbangan dalam perolehan suara setiap pemilu.
Bahkan ini merupakan sumber konflik dalam
partai politik. Kabinet Reformasi Pemerintah
Habibie berupaya akan melakukan reformasi di
segala bidang, dalam rangka reformasi politik
menuju kehidupan politik yang lebih demokratis. Upaya tersebut guna menciptakan pemerintahan yang baik, berwibawa dan bersih,
termasuk di dalamnya tentang kedudukan Pegawai Negeri Sipil dalam kehidupan partai politik sudah saat-nya ditinjau kembali.9 Keinginan
reformasi Pegawai Negeri Sipil dalam partai
politik ini disebabkan Adanya pegawai negeri
yang dijadikan alat politik golkar tersebut,
meng-akibatkan fungsi PNS/birokrasi itu akan
terganggu. Sebab setiap birokrasi dalam
pembentukan dan perwujudan kebijaksanaan
publik adalah sebagai “implementing agency”
yaitu menghantarkan kebijaksanana publik itu
ke masyarakat.
Atas dasar dan kenyataan masa Orde Baru
ini, seyogyanya PNS itu Netral. Penulis setuju
bahwa PNS untuk saat ini harus netral.
Netralitas PNS dalam partai politik memang
untuk saat ini sangat diperlukan. Hal ini seperti
dinyatakan oleh Mahfud bahwa:
Salah satu persoalan besar bangsa ini
dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai negeri karena
secara teoritis sulit ditemukan landasan
teoritis yang dapat mem-berikan alasan
pembenar bagi dimungkinkannya pegawai
negeri untuk terlibat dalam kegiatankegiatan politik praktis.10
Akibat penyelewengan yang dilakukan
itu, tuntutan agar Pegawai Negeri Sipil netral
8
9
10
Sri Hartini, 2000, Kebebasan Berserikat Pegawai Negeri
Sipil Dalam Partai Politik. Tesis. Surabaya: Universitas
Airlangga, hlm. 54
Sri Hartini, 2005, Nop.cit., hlm.1
Mahfud. MD, 1988, Pergulatan Politik dan Hukum di
Indonesia, Yogyakarta: Gema Media, hlm. 69.
264
Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
dalam partai politik dalam keanggotaan dan
kepengurusan dalam partai politik adalah
wajar. Karena selama Orde Baru KORPRI dijadikan mesin politik Golkar. Sedangkan keanggotaan KORPRI sebagian besar adalah Pegawai
Negeri Sipil.
Jadi netralitas pegawai negeri diperlukan sepanjang sifatnya hanya sementara dan
selama masa transisi, bukan bersifat langgeng
untuk jangka waktu yang panjang. Karena
apabila berlangsung lama mengkibatkan hilangnya kebebasan berserikat bagi pegawai negeri
sipil. Dengan demikian netralitas pegawa negeri
diperlukan hanya untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi selama Orde Baru.
Netralitas PNS yang sudah berjalan selama 10 tahun, perlu direnungkan kembali,
konsekensi terhadap kualitas, moralitas,
pengalaman anggota dewan . Anggota dewan
adalah wakil rakyat yang akan menjadikan
negara ini kearah mana, sehingga diharapkan
anggota dewan syarat dengan nama besar
tersebut.
Netralitas diharapkan untuk perbaikan
untuk masa mendatang. Dalam mengkaji netralitas, dibatasi dalam pengertian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pe-merintah
No. 5 Tahun 1998 yang kemudian dirubah
dengan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun
1998, yang sekarang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota
Partai Politik. Netralitas diatur pasal 3 adalah:
Dalam kedudukan sebagaimana dimak-sud
dalam pasal 2, pegawai negeri sipil harus
bersikap netral dan menghindari fasilitas
negara.
Selanjutnya
Netralitas
dimaksudkan Pasal 4 adalah:
ini
juga
Pegawai negeri sipil dalam menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 tidak diskriminatif khususnya
dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Menurut Marbun makna netralitas adalah :
Bebasnya Pegawai Negeri Sipil dari pengaruh kepentingan partai politik terten-
tu atau tidak memihak untuk kepentingan
partai tertentu atau tidak berperan
dalam proses politik. Namun Pegawai
Negeri Sipil masih tetap mempunyai hak
politik untuk memilih, dan berhak untuk
dipilih dalma pemilihan umum. Namun
tidak diperkenankan aktif menjadi
anggota dan pengurus partai
Maksud netralitas yang lain adalah jika
seorang Pegawai Negeri Sipil aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif,
maka ia harus mengundurkan diri. Dengan
demikian birokrasi pemerintahan akan stabil
dan dapat berperan mendukung serta merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.11
Makna netralitas tersebut di atas adalah
bebasnya Pegawai Negeri Sipil dari pengaruh
kepentingan partai politik tertentu atau tidak
memihak untuk kepentingan partai tertentu
atau tidak berperan dalam proses politik karena
dikhawatirkan pegawai tersebut menyalahgunakan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan partai seperti yang telah terjadi pada
masa Orde Baru. Jadi tidak ada larangan
keterwakilan pegawai negeri dalam Lembaga
perwakilan rakyat.
Netralitas, seyogyanya tidak dikaitkan
dengan keterwakilan Pegawai negeri di dalam
anggota Dewan. Sejarah membuktikan bahwa,
pegawai negeri merupakan orang karier yang
berpengalaman, bekerja tanpa imbalan yang
menggiurkan sesuai dengan perannya, yang
masih memikirkan kehormatan dirinya, untuk
keluarga, masyarakat dan tugas-tugasnya, sehingga apabila pegawai negeri selesai menjalankan tugasnya sebagai dewan. Mereka
masih berharap kembali menjadi seorang yang
disegani dan dihormati, bahkan waktu berjalan
juga menunjukkan jarang pegawai negeri
terlibat skandal, korupsi ini menunjukan
budaya malu masih sangat dijunjung tinggi
Dengan demikian netralitas Pegawai
negeri, adalah tidak melarang pegawai negeri
11
S.F.Marbun, 1998, Reformasi Hukum Tata Negara,
Netralitas Pegawai Negeri dalam Kehidupan Politik di
Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, hlm. 74.
Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
duduk di anggota Dewan, yang bukan dari partai politik melalui perwakilan. Data tersebut di
atas juga didukung oleh data yang lain bahwa
seseorang yang mendapat kesempatan belajar,
seorang yang mempunyai karier untuk mengembangkan pe-ngetahuannya, dan masih selalu
memper-hatikan terhadap etika, rasa malu jika
melakukan pelanggaran adalah Pegawai Negeri
baik PNS, POLRI, maupun TNI, sehingga netralitas Pegawai negeri memang diperlukan. Jadi
netralitas PNS tidak termasuk dalam larangan
keterwakilan PNS dalam anggota Dewan. Apalagi menyimak kondisi anggota dewan yang
akhir-akhir ini menjadi sorotan publik terhadap
etika anggota dewan .
4. Penegakan hukum netralitas PNS dalam
partai politik
Secara normatif Penegakan hukum netralitas hanya berlaku bagi PNS yang melanggar
ketentuan UU No. 43 Pasal 3 ayat (2) dan (3)
adalah serangkaian upaya yang dilakukan
pemerintah untuk memberlakukan suatu peraturan perundang-undangan secara benar sesuai dengan norma yang telah ditetapkan.
Penegakan hukum itu sendiri terbagi menjadi
beberapa proses yaitu perumusan, pengesahan
(penormaan), dan pengaplikasian norma yang
telah dirumuskan.
Penegakan hukum yang terkait dengan
netralitas pegawai negeri adalah penegakan
hukum yang berkaitan dengan tugas dan wewenang serta kedudukan seorang pegawai
negeri itu sendiri. Pegawai negeri yang dimaksud adalah pegawai negeri dalam rumusan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.43 Tahun
1999 Tentang Perubahan Atas Un-dang-Undang
No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Kepegawaian, yaitu sebagai berikut :
Pegawai Negeri adalah setiap warga
negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang
dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
265
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 43
Tahun 1999 diatur bahwa :
Pasal 2
(1) Pegawai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
terdiri dari :
a. Pegawai negeri Sipil Pusat; dan
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Pasal 2 Undang-Undang No.43 Tahun 1999
mengisyaratkan bahwa pegawai negeri terdiri
dari sipil dan anggota TNI serta anggota
kepolisian yang kesemuanya harus netral dalam
menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya, Penegakan ini belum diatur
bagimana jika pelenggaran dilakukan oleh PNS
yang bukan anggota dan Pengurus tetapi
mereka lebih aktif, me-rupakan wewenang
siapa, dan bagaimana prosedur di dalam
peraturan netralitas tersebut ternyata belum
mengatur
Penjelasan Umum I angka 6 UndangUndang No.43 Tahun 1999 mengindikasikan
bahwa sanksi bagi pegawai negeri yang tidak
netral secara normatifkan dikenakan sanksi
yaitu pemberhentian sebagai pegawai negeri
baik secara hormat maupun secara tidak
hormat. Pemberhentian pegawai negeri sipil ini
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.32
Tahun 1976 Tentang Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil Republik Indonesia. Secara
normatif, penegakan hukum netralitas pegawai
negeri tidaklah bermasalah namun dalam
realisasinya penegakan hukum ini dipengaruhi
oleh banyak faktor di luar hukum.
C. Penutup
1. Simpulan
Netralitas PNS, merupakan solusi untuk
menyelesaikan permasalahan tentang keikutsertaan PNS dalam partai politik, yang selama
orde baru dijadikan permainan politik oleh pemerintah yang berkuasa. Pengaturan netralitas
PNS, dalam Peraturan perundang-undangan,
266
Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
yaitu UU No. 43 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (2)
dan ayat (3) dan Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri
Sipil yang menjadi anggota Partai Politik.
Pengaturan Netralitas Pegawai Negeri Sipil
tersebut harus mampu menyelesaikan konflik
yang terjadi selama Orde Baru, sehingga
diharapkan dengan adanya netralitas Pegawai
ini akan memperbaiki kekurangan-kekurang
anggota legislatif pada masa sebelumnya, bukan sebaliknya dan menimbulkan permasahan
baru. Lembaga legislatif merupakan lembaga
terhormat yang menyalurkan aspirasi masyarakat untuk menyejahterakan masyarakat,
bukan ajang mencari nafkah, sehingga dapat
dibeli, dan jangan meninggalkan kwalitas dan
moralitas, anggota dewan harus menjadi orang
yang menjadi panutan dan contoh tauladan
baik di dinas maupun di luar dinas bagi masyarakat. Dengan peraturan netralitas pemerintah
harus mampu merealisasikan peraturan tersebut, Dengan demikian tujuan netralitas akan
dapat tercapai.
Penegakan hukum terhadap netralitas
PNS, dalam realisasinya mengalami kesulitan,
karena Pengaturan mengenai penegakan hukum
netralitas pegawai negeri yang diatur dalam
Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu
Pasal 3 dan Penjelasan Umum I angka 6,
memberi sanksi bagi PNS yang melanggar
peraturan ini diberhentikan dari PNS, Peraturan
ini hanya mengatur bagi PNS yang menjadi
anggota dan pengurus parpol, sehingga
peraturan tersebut belum dapat menyelesaikan
setiap pelanggaran tentang netralitas. Jadi
bagi PNS yang tidak menjadi anggota dan
pengurus parpol, mereka lebih loyal, justru
lepas dari sanksi.
2. Saran
Peraturan tentang Netralitas hendaknya di
tinjau kembali, karena ada peluang PNS untuk
melakukan pelanggaran terhadap peraturan,
yaitu PNS yang tidak menjadi anggota maupun
pengurus tetap loyal dalam partai politik,
namun tidak dapat di kenakan sanksi.
Netralitas PNS dalam partai politik memang diperlukan, Namun dalam Keanggotaan
anggota Dewan, hendaknya melibatkan keterwakilan dari PNS, TNI dan POLRI, melalui penunjukkan, sehingga akan mewarnai kehidupan
yang lebih demokratis
Daftar Pustaka
Buku Literature
Gafar, Afan, 1999. Politik Indonesia Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar;
Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum
dalam
Negara
Pancasila,
Makalah
simposium tentang Politik Hak Asasi
Manusia dan Pembangunan Hukum, dalam
Rangka
Dies
Natalis
XL/Lustrum
Universitas
Airlangga,
Surabaya
3
November 1994;
Hartini, Sri, Setiajeng K dan Tedi S. 2008.
Hukum Kepegawaian Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika;
Kadarsih, Setiajeng, dan Sri Hartini. 2005.
Makalah Netralitas Pegawai Negeri Sipil,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi;
M.D., Mahfud. 1988. Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gema
Media
Marbun, S.F.1998. Reformasi Hukum Tata
Negara”, Netralitas Pegawai Negeri
dalam Kehidupan Politik di Indonesia.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia;
Muchsan.1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta:
Bina Aksara;
Pandoyo, Toto. 1981. Ulasan Terhadap Beberapa
Ketentuan
UUD
1945
dan
Perkembangan Kehidupan Demokrasi,
Yogyakarta: Liberty;
Soewoto, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul,
Makalah Penataran Hukum Administrasi,
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas
Airlangga
bekerjasama
dengan Utrecht Universiteit Belanda, 8 –
13 Februari 1999;
Wijaya, A.W. 1986. Administrasi kepegawaian
Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Peraturan Perundangan
UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas
UU No. 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004
tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil
267
yang menjadi anggota Partai Politik.
Netralitas
Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1979
Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil Republik Indonesia
Download