Budaya Birokrasi dan Reformasi Penerimaan CPNS Oleh : Arisman (Widyaiswara Muda Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI) Budaya birokrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai lingkungan dan kronologi yang berbeda-beda, adanya pengaruh budaya tradisional kerajaan pada tiap-tiap daerah tersebut memiliki kesamaan, yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke dalam sistem birokrasi pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya keraton ke dalam birokrasi setidaknya akan memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Pada masyarakat Jawa misalnya, orang Jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengejar simbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestise sosial yang tinggi di masyarakat. Banyak masyarakat di Jawa yang sampai saat ini masih beranggapan bahwa menjadi PNS dapat mengangkat citra dan gengsi di masyarakat. Demikian halnya di Sulawesi Selatan. Dalam struktur sosial masyarakat Bugis, orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah kalangan masyarakat yang memiliki gelar bangsawan, memiliki jabatan dalam pemerintahan, dan mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi nilainilai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri. Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol budaya politik, seperti kekuasaan, kontrol, penguasaan sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan. Akar budaya di atas adalah beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk menjadi PNS yaitu untuk mendongkrak status ekonomi dan sosial seseorang. Banyak alasan yang dilontarkan dalam menanggapi mengapa pilihan PNS masih menjadi pilihan utama dalam bursa kerja pasca-pendidikan. Salah satunya, karena dengan menjadi PNS, kepastian ekonomi pada masa mendatang tidak diragukan, dan jika pandai membangun akses kekuatan ekonomi di level struktur kelembagaannya, orang tersebut tidak sulit untuk membangun dinasti, yang kemudian dapat diunduh oleh anak cucu nanti. Setidaknya dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia lainnya, jika menjadi PNS, maka hidup akan tenang, ada jaminan masa depan, dan terpandang di tengah masyarakat. Dinamika PNS dalam merengkuh profesinya, tidak lepas dari bayang-bayang akan jaminan hidup berupa gaji dan tunjangan pensiun dari pemerintah. Apalagi dalam dunia PNS, rajin atau malas sama saja. Pemecatan nyaris tidak ada, jika harus dipecat, prosedurnya demikian panjang. Sementara sektor informal atau wirausaha yang mensyaratkan persaingan dan etos kerja secara mandiri tidak terlalu diminati. Padahal, dalam era globalisasi, di mana ukuran prestasi menjadi segalanya, jiwa kemandirian merupakan keniscayaan. Solusi Pembenahan Rekrutmen PNS Beberapa solusi yang ditawarkan dalam menghilangkan budaya birokrasi yang merusak karena maraknya praktik KKN yaitu dimulai dari proses penerimaan CPNS. Proses ini harus diserahkan pada pihak independen seperti unsur masyarakat dan juga perguruan tinggi. Kalau dalam pemilu legislatif ada pemantau independen yang bertugas mengawal jalannya pemilu, mengapa dalam proses rekrutmen tidak bisa diwujudkan. Kedua kegiatan tersebut outputnya sama yaitu memilih orang-orang yang akan membawa amanah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peluang kontrol publik lainnya adalah pembentukan kelembagaan yang bisa mengakomodir partisipasi publik dalam pengadaan PNS dalam kelembagaan Komisi Kepegawaian Negara (KoKN). Sesuai amanat UU Kepegawaian Negara. Lembaga ini akan mengomodir aspirasi publik yang berhubungan dengan berbagai masalah kepegawaian, meskipun ini masih berupa wacana tetapi satu langkah kedepan dalam upaya partisipasi publik. Setiap tahap dalam proses rekrutmen haruslah diinformasikan secara detail dan cepat dengan didukung oleh perkembangan teknologi. Kejujuran dan obyektifitas dalam merekrut PNS, adalah harapan masyarakat. Sudah bukan zamannya lagi merekrut PNS dengan pola KKN atau atas dasar mengandalkan jaringan. Maka, transparansi adalah sesuatu yang wajib kita lakukan. Informasi yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya informasi pendaftaran tetapi sampai pada pengumuman penerimaan termasuk nilai yang diperoleh CPNS bagi yang lolos seleksi. Pembenahan yang kini sedang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara yaitu dengan mengembangkan Computer Assisted Test (CAT) sebagai metode tes penerimaan pegawai yang obyektif dan dapat dipercaya. Metode CAT yang dikembangkan BKN dan Lembar Jawaban Komputer (LJK) memiliki karakter dan keunggulan masing-masing. Salah satu keunggulan CAT adalah para peserta tes langsung mengetahui skor atau nilainya masing-masing setelah selesai mengerjakan tes. Sistem CAT tersebut menjadikan para peserta yang mengikuti test seleksi CPNS menerima soal secara on-line, kemudian yang bersangkutan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Kemudian secara langsung, jawaban yang diberikan oleh peserta test CPNS/CASN tersebut akan langsung masuk ke server atau database pusat dan dikumpulkan untuk langsung diinput menjadi skor nilai akhir. Sistem tes seperti itu jelas tidak akan bisa direkayasa sebab sistem komputer yang akan langsung memeriksa jawaban setiap peserta. Transparansi dalam penerimaan PNS merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat. Jangan sampai masyarakat selalu mengalami kekecewaan. Transparansi dalam pola rekruitmen PNS bermanfaat untuk memberikan informasi akurat, cepat, dan lengkap kepada masyarakat. Tes CPNS harus memiliki tujuan sebagai proses penjaringan para calon penyelenggara negara yang memiliki integritas dan kualitas yang unggul, melalui proses rekruitmen transparan dan akuntabel. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas eksternal mulai dari proses pengumuman lowongan, hingga pada tahap akhir tes.