BAB I FENOMENA KASUS Sudah 2 jam Rr, tercenung di depan kaca riasnya, seolah tidak pernah puas dengan tata rias yang berulang kali dihapus dan dioles kembali. Usianya baru 15 tahun, namun Rr amat sangat mencemaskan wajahnya, terutama kulit dan bibir. Kulit Rr sebenarnya sawo matang kecoklatan yang membuat wajahnya tampak manis, namun Rr tidak senang dengan warna kulitnya dan ia sangat mendambakan kulit putih bersih mengkilat seperti artis yang dilihat di televisi. Sudah habis beberapa produk pemutih, tetap saja kulitnya tidak menjadi putih seperti yang “digaransikan”, malah pergantian itu sering membuat iritasi kulit sehingga timbul bercak-bercak tidak rata. Berulang kali Rr pergi ke dokter kulit, ke salon atau ke spa untuk memutihkan kulit, namun sepertinya tidak membawa hasil. Sudah banyak uang yang ia habiskan untuk penampilannya. Belum lagi keluhannya tentang bentuk bibir yang menurutnya terlalu lebar dan ia sangat tidak percaya diri karenanya. Rr sering menutupi bibir dengan saputangan, terutama jika sedang bicara dengan seseorang. Ia tidak ingin orang memperhatikan bibirnya. Makin lama, Rr makin cemas dan stress berat sampai-sampai dia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran di sekolah. Nilai-nilainya turun dan Rr pun semakin menyendiri, dan enggan ‘kumpul dengan teman-temannya. Di rumah, Rr selalu menghabiskan waktunya di kamar, untuk bercermin dan bercermin, dan semakin lama bercermin, semakin cemaslah hatinya dan sangat stress sebab tidak ada satu pun usahanya berhasil memperbaiki apa yang ia anggap sebagai kekurangannya. Tidak ada satu pun anggota keluarga, bahkan orang tua, yang bisa meyakinkan Rr, bahwa dirinya ok-ok saja...tidak ada yang aneh...Rr semakin menutup diri, semakin menjadi pendiam dan pemurung. Sumber: http://www.e-psikologi.com/remaja/110604.htm[27 September 2008]. 1 BAB II ANALISIS KASUS BERDASARKAN DIMENSI PERKEMBANGAN A. Konsep Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Namun pada kata adolescence mempunyai arti yang lebih luas yaitu mencapai kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut Piaget masa remaja adalah masa dimana secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak . Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Berikut akan digambarkan mengenai karakteristik perkembangan fisik atau perubahan dimensi biologis pada remaja. Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan 2 tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja. 1. Keprihatinan akan perubahan fisik Hanya sedikit remaja yang mengalami kateksis-tubuh atau merasa puas dengan tubuhnya. Ketidakpuasan lebih banyak dialami di beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis tubuh menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri selama masa remaja. Dion dan kawan-kawan menerangkan mengapa kepuasan terhadap perubahan fisik yang terjadi ketika tubuh anak beralih menjadi dewasa adalah N sangat penting. Menurut mereka, “Penampilan fisik seseorang beserta identitas seksualnya merupakan ciri pribadi yang paling jelas dan paling mudah dikenali oleh orang lain dalam interaksi sosial”. Meskipun pakaian dan alat-alat kecantikan dapat digunakan untuk menyembunyikan bentuk-bentuk fisik yang tidak disukai remaja dan untuk menonjolkan bentuk fisik yang dianggap menarik, tetapi belum cukup untuk manjamin adanya kateksis tubuh. Beberapa keprihatinan akan tubuh yang dihadapi remaja merupakan lanjutan dari pelbagai keprihatinan diri yang dialami pada masa remaja dan, yang pada awal tahuntahun remaja didasarkan pada kondisi-kondisi yang masih berlaku. Misalnya, keprihatinan akan kenormalan, akan terus berlangsung sampai perubahan fisik pada permukaan tubuh berakhir dan sampai para remaja merasa yakin bahwa tubuh mereka sesuai dengan norma kelompok seks mereka. Demikian pula, keprihatinan akan kepatutan seks, yang sangat menonjol pada masa puber, terus berlangsung sampai pertumbuhan dan perkembangan ciri seks primer dan sekunder berakhir sehingga remaja mempunyai kesempatan untuk melihat apakah tubuh mereka sesuai dengan standar budaya kepatutan seks. Adalah aneh bila remaja laki-laki maupun perempuan tidak prihatin akan daya tarik fisik mereka. Seperti telah diterangkan sebelumnya, hanya sedikit remjaja yang puas dengan penampilan mereka dan banyak yang memikirkan suatu cara yang dapat memperbaiki penampilan mereka. Keprihatinan akan timbul karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial. Para remaja menyadari bahwa mereka yang menarik biasanya diperlakukan dengan lebih baik daripada mereka yang kurang menarik. Mereka juga menyadari bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam pemilihan pemimpin. Akibatnya, kalau mereka merasa bahwa dirinya tidak semenarik seperti yang diharapkan pada waktu pertumbuhan belum berakhir, maka mereka akan mencari jalan untuk 3 memperbaiki penampilannya. Beberapa remaja menghindari keadaan “sadar akan penampilan” sehingga menghabiskan banyak waktu dan pikiran untuk mencari jalan memperbaiki penampilan mereka. 2. Karakteristik pertumbuhan fisik remaja Pesatnya pertumbuhan fisik remja mengakibatkan pada masa remaja sering menimbulkan kejutan pada diri remja itu. Pakaian yang dimilkinya menjadi cepat tidak muat dan harus membeli yang baru. Pada remaja putri ada perasaan seolah-olah belum dapat menerima kenyataan bahwa tanpa dibayangkan sebelumnya kini buah dadanya membesar. oleh karena itu, seringkali gerak-gerik remaja menjadi serba canggung dan tidak bebas. Gangguan dalam bergerak yang disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan fisik pada remaja seperti ini dikenal dengan istilah gangguan regulasi. Pada remaja pria, pertumbuhan lekum menyebabkan suara remaja itu menjadi parau untuk beberapa waktu dan akhirnya turun satu oktaf. Pertumbuhan kelenjar endoktrin yang telah mencapai taraf kematangan sehingga mulai berproduksi menghasilkan hormon yang bermanfaat bagi tubuh. Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja pada umumnya menjadi pemakan yang kuat. B. Analisis SWOT Dimensi perkembangan fisik kasus dianalisis berdasarkan pendekatan analisis SWOT sebagai berikut. 1. Strength (Kekuatan) Kulit Rr yang sawo matang kecoklatan membuat wajahnya tampak manis. Apabila Rr menyadari bahwa hal itu merupakan kelebihan yang ada padanya, Rr tidak perlu lagi untuk mengubah kulitnya tersebut menjadi lebih putih karena ternyata dengan kulit yang sawo matang justru membuat Rr terlihat lebih manis dan segar. 2. Weakness (Kelemahan) Rr tidak senang dengan warna kulitnya dan ia sangat mendambakan kulit putih bersih mengkilat seperti artis yang dilihat di televisi. Sudah habis beberapa produk pemutih, tetap saja kulitnya tidak menjadi putih seperti yang “digaransikan”, malah pergantian itu sering membuat iritasi kulit sehingga timbul bercak-bercak tidak rata. Berulang kali Rr pergi ke dokter kulit, ke salon atau ke spa untuk memutihkan kulit, namun sepertinya tidak membawa hasil. Sudah banyak uang yang ia habiskan untuk 4 mengubah penampilannya. Belum lagi keluhannya tentang bentuk bibir yang menurutnya terlalu lebar dan ia sangat tidak percaya diri karenanya. Rr sering menutupi bibir dengan saputangan, terutama jika sedang bicara dengan seseorang. Ia tidak ingin orang memperhatikan bibirnya. 3. Opportunity (Peluang) Rr memiliki peluang untuk berinteraksi dengan teman sekolahnya karena pada dasarnya teman-temannya tidak mempermasalahkan kondisi fisik Rr. Hanya saja persepsi Rr yang negatif terhadap kondisi fisiknya menghambat dia untuk berinteraksi dengan teman-temannya. 4. Threat (Ancaman) Tidak ada satu pun anggota keluarga, bahkan orang tua, yang bisa meyakinkan Rr, bahwa tidak ada yang aneh pada dirinya sehingga Rr semakin menutup diri, semakin menjadi pendiam dan pemurung. 5 BAB III KAJIAN TEORETIS A. Konsep Body Dismorphic Disorder Menurut Roberta Honigman & David J. Castle, body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Peran masyarakat dan media, memang membawa pengaruh yang besar dalam mendorong seseorang untuk begitu peduli pada penampilan dan image tubuhnya. Contohnya saja, sejak dulu di dalam masyarakat sudah terlihat pola-pola, bahwa yang cantik, yang ganteng, yang ‘keren, yang langsing, akan lebih populer, disukai dan banyak mendapatkan peluang di sana sini – dari pada yang “biasa-biasa saja”. Belum lagi, berbagai media dan iklan bermunculan di sana sini untuk memperkenalkan keampuhan produk mereka yang tentu saja banyak mendapat sambutan hangat dari masyarakat, baik tua muda, pria maupun wanita. Kehadiran media, tidak dipungkiri semakin mendorong pribadi-pribadi untuk meletakkan standard ideal dirinya – seperti yang dikehendaki oleh ‘masyarakat. Kecantikan dan kesempurnaan fisik, menjadi ukuran ideal bagi seseorang sehingga banyak yang berusaha mengejar kecantikan dan kesempurnaan, dengan bantuan kosmetik, gymnastic, fashion yang up to date, ke salon untuk menata rambut mode mutakhir, sampai dengan melakukan koreksi wajah dan tubuh di sana sini. Semua itu, bisa saja membuat orang semakin stress ketika dirinya meletakkan penilaian dan penerimaan sosial di atas segala-galanya. Padahal, kesempurnaan atau pun kecantikan itu adalah sebuah nilai yang relatif, karena berbeda antara satu individu dengan yang lain, antara satu budaya dengan yang lain, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Ada sebagian orang, yang kemudian amat merasa terganggu dan tidak nyaman dengan penampilan fisiknya. Mereka merasa punya kekurangan yang fatal dan sulit diperbaiki, mereka merasa buruk rupa. Begitu besarnya perhatian mereka akan “kekurangan” dan “keburukan” (yang padahal orang lain tidak memandangnya demikian), sehingga seluruh daya upaya, tenaga dan biaya, digunakan untuk menutupi kekurangan. Namun semua itu 6 tidak membawa hasil, karena tetap saja semua usaha tidak bisa mengubah penilaian diri. Banyak yang jatuh dalam stress dan depresi, hingga akhirnya tidak bisa belajar, tidak bisa kerja, tidak bisa sosialisasi, bahkan tidak bisa menikmati hidup ! Ketidakpuasan yang ekstrim terhadap penampilan ini, diistilahkan sebagai Body Dysmorphic Disorder. Pada tahun 1891, seorang psychopathologist dari Italia, Enrique Morselli, memunculkan istilah dysmorphobia untuk menerangkan kondisi patologis seseorang, karena terus menerus memikirkan imagine defect, atau “kekurangan imajiner” dirinya. Istilah Body Dysmorphic Disorder, secara formal juga tercantum dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor atau bahkan imagine defect. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan lainnya (misalnya, kehidupan keluarga dan perkawinan). Pada umumnya, penderita BDD, tidaklah buruk seperti apa yang mereka pikirkan dan nilai. Bahkan, mereka tampak seperti orang-orang kebanyakan lainnya. Namun, penderita BDD biasanya menunjukkan sikap pemalu, sulit menjalin kontak mata, komunikasi dan memiliki self-esteem yang rendah. Mereka seringkali bertingkah ekstrim untuk mengkamuflase atau menutupi apa yang mereka anggap kekurangan yang memalukan. Misalnya, berulang kali bercermin, berdandan yang memakan waktu sangat lama. Mereka pikir, dengan berdandan dan mematut diri, akan mengurangi kecemasan, padahal, justru semakin lama, akan semakin membangkitkan kecemasan karena mereka semakin memperhatikan “kekurangan” tersebut. Tidak semua orang yang memperhatikan atau mengkhawatirkan penampilan, dapat langsung dikategorikan sebagai BDD. Ada beberapa karakteristik dari penderita BDD: 1. Rendahnya self-esteem dan konsep diri negatif Penderita BDD, biasanya memiliki self esteem yang rendah dan konsep diri yang negatif. Perasaan takut untuk dilecehkan, diabaikan, disingkirkan dan dijauhi – membuat mereka sering merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah komunitas. Mereka pun dikatakan memiliki perasaan tidak berguna, serta memiliki perasaan yang terlalu sensitif. Penderita merasa takut jika orang lain memperhatikan kekurangan dan “cacat” tersebut, sehingga mereka melakukan ritual-ritual untuk menutupi “kekurangan”. Ritual seperti: a. Menghabiskan waktu lama untuk berkali-kali bercermin, memeriksa penampilan diri, atau bahkan tidak pernah mau berkaca – menghindari cermin 7 b. Selalu memfokuskan kekurangan diri untuk dibandingkan dengan orang lain c. Selalu membutuhkan konfirmasi dari orang lain, bahwa kekurangan itu tidaklah seberapa – atau dia tidak lah terlalu buruk d. Berdandan secara berlebihan, untuk menutupi “kekurangan”, misalnya dengan terus menerus menyisir dan menata rambut, menggunakan make up berulang kali (dihapus dan dipoles kembali), menggunakan topi atau kaca mata gelap untuk menutupi mata, berulang kali bercukur, sampai sengaja menggunakan pakaian / kostum tertentu (yang kurang proporsional) untuk menyebunyikan kekurangannya e. Sering sekali berkonsultasi dan meminta treatment dari Dermatologist, ahli kosmetik, atau pun berkali-kali operasi plastik (dan tidak pernah merasa puas akan hasilnya) f. Berlatih amat keras atau pun diet super ketat untuk membentuk tubuh untuk mencapai bentuk ideal yang didambakan g. Sering sekali dan berulang-ulang menyentuh bagian yang dinilai sebagai kekurangan h. Selalu mencari referensi bacaan yang membicarakan masalah bagian tubuh yang dirasa kurang 2. Menghabiskan 1 - 3 jam setiap hari untuk mengurusi penampilan Penderita BDD, umumnya larut dalam pemikiran dan perilaku berkaitan dengan perceived defect paling tidak minimal 1 jam atau lebih setiap harinya. Namun, hasil penelitian terhadap pasien remaja, mereka bahkan menghabiskan waktu selama 3 jam. Mereka juga dikatakan kurang memiliki pemahaman atas masalah yang terjadi (ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi pada diri saya; atau, apa yang menjadi masalah saya sesungguhnya). 3. Menghindari situasi sosial dan penurunan fungsi sosial Penderita BDD, seringkali menghindari situasi sosial karena mereka takut jika orang lain akan memperhatikan dan mengetahui kekurangan mereka. Akibatnya, beberapa orang sampai tidak masuk sekolah, tidak masuk kerja, bahkan tidak mau bertemu siapasiapa. Mereka pun mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan teman-teman, keluarga dan bahkan pasangan. Menurut hasil penelitian, penderita BDD mengalami penurunan dalam performance mereka, baik di sekolah maupun di tempat kerja – atau 8 dalam bidang kehidupan lainnya, karena pikiran mereka dipenuhi obsesi terhadap perceived defect sehingga sulit memfokuskan perhatian dan konsentrasi pada hal lain. 4. Disertai simtom depresi Kondisi lain yang menyertai symptom BDD, menurut Gary K. Arthur MD – seorang psikiater, adalah adanya major depression. BDD telah memunculkan kondisi depresi yang cukup berat, dan bukan karena sebaliknya (bukan depresi menyebabkan BDD, tapi BDD menyebabkan depresi). Lebih jauh, Gary K. Arthur menemukan probablitias resiko bagi penderita BDD untuk bunuh diri. Menurut Dr. Katherine Phillips, seorang peneliti yang khusus meneliti masalah Body Dysmorphic Disorder, BDD pada umumnya mulai tampak ketika seorang individu dalam masa remaja atau pun awal masa dewasa (bisa jadi berawal sejak masa kecil, namun selama ini tidak pernah terdeteksi). Pada masa ini lah individu semakin memperhatikan perubahan yang terjadi pada dirinya (ukuran dan bentuk tubuh). Sangatlah wajar dan umum, jika remaja memperhatikan dan mencemaskan penampilan mereka, apalagi perubahan fisik yang kian nyata. Normalnya, kecemasan itu bersifat sementara dan akan memudar dengan sendirinya ketika sang remaja mampu membangun rasa percaya diri yang positif dan realistik-kongkrit melalui aktivitas dan pengalaman sehari-hari. Namun, ada juga yang semakin tenggelam dalam kepanikan dan kecemasan, karena mereka sangat mengidealkan penampilan, kecantikan, kelangsingan atau bahkan kalau remaja pria – kelihatan kekar. Intinya, standard ukuran yang dilontarkan media dan masyarakat akan “model ideal” – itulah yang menjadi satu-satunya tolok ukur kesempurnaan diri. Menurut data penelitian, BDD berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan sering menjadi kian memburuk jika tidak ditangani secara benar. Menurut Gary K. Arthur MD, penderita BDD pada umumnya mendatangi dokter, dermatologist, atau pun ahli bedak plastik, untuk menangani ketidakpuasan mereka terhadap beberapa bagian tubuh. Biasanya, banyak penderita BDD yang tidak hanya overly concern terhadap satu hal saja (misal, hanya pada bentuk hidung), tapi mereka biasanya juga tidak senang atau tidak puas terhadap beberapa bagian tubuh lainnya, seperti: 9 Wajah : warna kulit, masalah jerawat, kerut-kerut serta spots, atau bercak pada wajah, hidung & bibir (bentuk dan ukuran), bentuk mata, telinga, bahkan pori-pori wajah. Rambut : tebal-tipis, model rambut, tipe rambut, dsb. Tubuh : ukuran payudara, berat tubuh (kurus / langsing / gemuk/ pendek/tinggi, kekar / berotot ) B. Konsep Cognitive Behavioral Therapy CBT merupakan pendekatan terapi yang memadukan dua pendekatan yaitu pendekatan kognitif dan pendekatan behavioral. Matson & Ollendick (dalam Muqoddas : 2008) mengungkapkan definisi cognitive behavioral therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus terapi yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang berada dalam National Association of Cognitive Behavioral Therapist (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive behaviora therapy yaitu suatu pendekatan psikologi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. (NACBT, 2007). Tujuan dari terapi Cognitive Behavior sebagaimana dikemukakan Oemarjoedi (dalam Muqoddas : 2008) adalah untuk mengajak siswa untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan terapis dalam CBT, diantaranya : 1. challenging irational belief, yaitu teknik yang digunakan untuk mengubah kepercayaan yang tidak masuk akal. 2. relaxation education and training, yaitu pelatihan relaksasi yang digunakan untuk meredakan ketegangan pikiran dan perasaan dengan cara menenangkan otot-otot. 3. self monitoring, yaitu teknik yang digunakan dalam menjaga, dan memperhatikan diri untuk memmberi keyakinan bahwa semuanya berfungsi dengan baik 4. cognitive rehearsal, yaitu teknik atau latihan yang digunakan untuk mnegubah cara berfikir individu agar mengarahkan pikiran yang tidak produktif menjadi pikiran yang lebih memperhatikan hal-hal yang positif 5. communication skills training, yaitu teknik yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi dengan orang lain. 10 6. assertiveness skills training, yaitu pelatihan yang membantu individu untuk bertingkah laku secara tegas dalam menghadapi berbagai situasi , 7. social skills training, yaitu pelatihan keterampilan sosial yang digunakan untuk mendapatkan interaksi yang lebih baik dan memiliki pengaruh yang positif. 8. bibliotherapy, yaitu teknik yang digunakan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosional yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dengan cara membaca suatu cerita dengan topik yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. 9. homework assignments, yaitu teknik yang digunakan untuk melihat perubahan perilaku individu ketika proses pemberian bantuan atau terapi. pemberian tugas rumah merupakan ciri khas cognitive behavioral therapy sehingga tugas rumah relatif selalu digunakan dalam cognitive behavioral therapy. Menurut teori Cognitive behavior yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck (Oemarjoedi, 2003 : 12), terapi kognitif behavior setidaknya memerlukan 12 sesi pertemuan. Proses terapi berdasarkan teori Cognitive Behavior No. Proses Sesi 1 Assesmen dan Diagnosa 1-2 2 Pendekatan Kognitif 2-3 3 Formulasi Status 3-5 4 Fokus terapi 4-10 5 Intervensi Tingkah laku 5-7 6 Perubahan Core Beliefs 8-11 7 Pencegahan 11-12 Melihat kultur yang ada di Indonesia dirasa penerapan sesi yang berjumlah 12 sulit untuk dilakukan. Sebagai perbandingan Oemarjoedi (2003 : 24) mengungkapkan efisiensi terapi bisa dilakukan hingga menjadi 5 sesi. Dengan tahapan sebagai berikut: No. Proses Sesi 1 Assesmen dan Diagnosa 1 2 Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan utama 2 yang berhubungan dengan gangguan 3 Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi 3 positif negatif kepada siswa 4 Formulasi Status, Fokus terapi, Intervensi Tingkah laku 4 5 Pencegahan 5 11 BAB IV INTERVENSI BIMBINGAN DAN KONSELING Beberapa ahli kedokteran, telah mengembangkan cara penanganan dengan menggunakan obat-obatan yang tergolong antidepresan, yaitu SSRI (Selective SerotoninReuptake Inhibitors) untuk menangani depresi dan obsessive-compulsive disorder yang biasanya terdapat di dalam penderita BDD. SSRI menurut para ahli, bekerja untuk meningkatkan aktivitas serotonin di dalam otak dan menyeimbangan kimiawi otak. Selain itu, ada pula beberapa jenis obat yang digunakan secara simultan atau pun complementary – selama pengobatan berlangsung. Namun yang perlu diperhatikan, adalah bahwa dalam setiap penggunaan obat, akan ada efek samping yang harus diketahui terlebih dahulu, apalagi jika obat-obatan tersebut dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, keputusan untuk menggunakan obat, harus dipikirkan dan dipertimbangkan sematang dan sebijaksana mungkin – atas dasar analisa dan pertimbangan holistik-scientific-psikologis. Psikoterapi, dikatakan sebagai sebuah strategi yang efektif untuk membantu penderita mengendalikan dan mengatasi BDD-nya. Para ahli mengatakan bahwa cognitive-behavioral therapy sangat tepat untuk membantu penderita memahami akar permasalahan yang sesungguhnya, peran konsep diri terhadap BDD yang dialami, seberapa besar dampak yang dialami dan merugikan kehidupan Konseli – agar diharapkan Konseli mau dan berusaha keras untuk membangun konsep diri dan pola pikir yang lebih positif dan obyektif dalam menilai diri. Selain itu, penderita juga dibimbing atau dilatih untuk membangun alternatif strategi dan jalan keluar dalam mengatasi pikiran-pikiran obsessive yang mengganggu konsentrasi dan meningkatkan pengendalian diri terhadap tindakan kompulsif-nya (misalnya, untuk terus menerus bercermin). Yang tidak kalah pentingnya, adalah adanya dukungan keluarga terhadap penderita BDD. Penderita BDD, pada umumnya individu yang tertutup, enggan mengekspresikan diri, dan tidak jarang menunjukkan sikap seolah “keras kepala”. Para anggota keluarga, sering merasa lelah menghadapi sikap dan pola pikir penderita, karena mereka sepertinya hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak bisa melihat atau memikirkan hal lain selain diri sendiri. Persoalan sering timbul, karena anggota keluarga atau pun orang tua, berusaha meyakinkan atau menyangkal kecemasan penderita dan mengatakan, bahwa apa yang dicemaskan itu sama sekali tidak beralasan dan sama 12 sekali tidak rasional. Meyakinkan penderita bahwa tidak ada yang salah dengan penampilan mereka – itu juga tidak banyak berguna, dikarenakan pola pikir yang irrational terhadap diri. Dari pada berdebat dan terlibat dalam argumentasi yang melelahkan, alangkah lebih baik jika anggota keluarga membantu penderita membicarakan emosi-emosi yang sedang dirasakan (stress, depresi, ketakutan, kekhawatiran) sehingga dengan terbukanya pintu hati mereka, diharapkan mereka akan lebih terbuka terhadap penawaran “treatment” yang bisa membantu penderita keluar dari masalahnya. Memang proses ini bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan pengertian dan kesabaran yang dalam. Bagaimana pun, masalah BDD ini adalah masalah yang sangat serius dan tidak bisa berlalu begitu saja jika tidak ditangani secara professional. Adapun langkah-langkah intervensi dengan menggunakan pendekatan Cognitif Behavioral Therapy dijelaskan melalui tabel berikut. No. 1 Proses Assesmen dan Diagnosa Sesi 1-2 Keterangan Hal ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kondisi individu yang ditangani serta untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahan penanganan pada proses dilakukan, metodenya observasi, studi terapi dapat yang melalui dokumentasi, dan wawancara. 2 Pendekatan Kognitif 2-3 Pada pendekatan kognitif, CBT akan memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif, kemudian mengajarkan individu untuk menggunakan akal untuk berpikir tentang hal-hal yang dapat menyebabkan kecemasannya. Tujuan dari diharapkan pendekatan siswa mampu kognitif ini mengenali kesalahan pada struktur kognitifnya dan mengubah cara pandang serta kepercayaan siswa yang kurang tepat. 13 sistem Dalam pendekatan kognitif ini bisa juga menggunakan teknik biblioterapi. 3 Formulasi Status 3-5 Formulasi status lebih menekankan kepada kemajuan dan perkembangan terapi pada sisi pendekatan kognitif. Pada sesi ini, diharapkan konselor atau terapis dapat memberikan feedback kepada siswa atas hasil kemajuan dan perkembangan diharapkan siswa terapi. mampu Sehingga memahami pengalamannya yang kurang tepat dalam memandang body image-nya. 4 Fokus terapi 4-10 Sesi ini lebih mengarah pada pemberian motivasi kepada siswa untuk tetap fokus pada terapi yang dijalani. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan siswa dari rasa bosan dan lelah selama mengikuti sesi. Diharapkan dengan sesi ini siswa mampu meningkatkan fokus terapi sehingga mampu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. 5 Intervensi Tingkah laku 5-7 Intervensi tingkah laku pada remaja yang mengalami BDD akan membantu siswa membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas, dan membantu membuat keputusan yang tepat. Setelah struktur kognitif siswa normal, yaitu ditandai dengan hilangnya keyakinan negatif yang dimiliki oleh remaja serta memiliki 14 penerimaan diri yang positif terhadap keadaan fisik yang dimilikinya, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran atau pengkondisian serta pembuktian pengalaman kurang baik yang pernah dilaluinya. Kondisi-kondisi seperti ini akan membawa siswa pada proses pembelajaran dan pengkondisian untuk mampu berperilaku secara normal sebagai individu yang mampu memfungsikan dengan baik keadaan fisiknya. 6 Perubahan Core Beliefs 8-11 Tujuan dari sesi ini adalah meyakinkan konseli betapa pentingnya proses terapi yang telah dilaksanakan. Selain itu, konseli juga menyadari kesalahan yang telah dilakukannya dan memandangnya sebagai sebuah kerugian. 7 Pencegahan 11-12 Pada sesi ini digunakan teknik self help. Konseli dilatih untuk mampu menolong dirinya sendiri, sehingga konseli tidak bergantung pada siapa pun. Self help ini dapat menghindarkan konseli dari kembali kepada keadaan sebelum konseli diberi tindakan. 15 DAFTAR PUSTAKA Afrianti, Nurul. 2006. Penggunaan Kognitif Behavioral Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial siswa Sekolah Dasar. Skripsi pada UPI: Tidak Diterbitkan. Ali, Mohammad & Asrori Mohammad. 2006. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik). Jakarta: Bumi Aksara. Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Jakarta : Erlangga. Muqoddas, Idat. 2008. Reduksi Sindrom Trauma Tsunami melalui Cognitive Behavioral Therapy. Skripsi pada UPI: Tidak Diterbitkan. Panuju, Panut & Umami, Ida. 2005. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Surya, Mohamad. 2003. Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Syamsuddin, Abin, 2004. Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: Rosdakarya. Rini, Jacinta F. (2004). Mencemaskan Penampilan. [Online]. Tersedia: http://www.epsikologi.com/remaja/110604.htm[27 September 2008]. http://nacbt.americommerce.com 16