Dummy JLI Vol.11 No.3-1 - Kementerian Hukum dan HAM

advertisement
DARI REDAKSI
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk
memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah
ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah.
Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014 ini memuat artikel
mengenai: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 terhadap Penyelesaian
Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada
dan Tiada, Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE),
Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Partai Politik dan Problem
Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal), Metode RIA dalam Proses Formulasi
Kebijakan Publik, Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan UndangUndang, Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan Berdimensi Hak Asasi (Analisa Muatan
Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia), Kesiapan Hukum dan Tantangan
Indonesia Era Asean Community 2015, dan Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean Economic
Community 2015.
Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih
dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus
Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca
ahli (Mitra Bestari).
Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta
sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam, Redaksi.
iii
Vol. 11 No. 3 - September 2014
DAFTAR ISI
Dari redaksi
iii
vii - xii
Lembar Abstrak
Artikel:
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Eka N.A.M. Sihombing dan Rudy Hendra Pakpahan
97/PUU-XI/2013
terhadap
213 - 220
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada
Khopiatuziadah
221 - 232
Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE)
Eka Martiana Wulansari
233 - 246
Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Ramiyanto
247 - 256
Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah
Kajian Awal)
Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah
257 - 270
Metode RIA dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik
Dinoroy M. Aritonang
271 - 278
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan UndangUndang
Arrista Trimaya
278 - 290
Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan Berdimensi Hak Asasi
(Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia)
Cekli Setya Pratiwi
291 - 306
Kesiapan Hukum dan Tantangan Indonesia Era Asean Community 2015
Nadir
307 - 318
Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015
Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan
319 - 330
Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia
330-1 - 330-6
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.59
UDC 342.59
Sihombing, Eka N.A.M dan Pakpahan, Rudy Hendra
Sihombing, Eka N.A.M and Pakpahan, Rudy Hendra
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013 terhadap Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Kepala Daerah
(The Implication of Constitutional Court Verdict
Number 97/PUU-XI/2013 concerning Dispute Settlement
of Head of Local Government Election)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal
236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1)
Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan Nomor 97/PUUXI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa
hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh MK adalah
inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi
mengadili sengketa Pilkada. Putusan tersebut tidak serta
merta dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul
penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk
mengadili sengketa Pilkada selama belum ada undangundang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK.
Untuk itu pembentuk undang-undang harus merespons
putusan MK dengan melakukan percepatan penataan
undang-undang yang berkaitan dengan Pemilukada,
diantaranya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
The Constitutional Court has cancelled the provisions of
Article 236 clause c Law Number 12 of 2008 concerning the
Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional
Government and Article 29 paragraph (1) clause e of Law
Number 48 of 2009 on Judicial Power through Verdict Number
97/ PUU-XI/2013, the Court stated that the dispute over the
handling of local elections by the Court is unconstitutional. As
a result, the Court no longer authorized to adjudicate local
election disputes. Such decisions are not necessarily
enforceable, because one of the important clauses in the
decision, the authority to adjudicate disputes over the local
elections, there are no laws govern about it, so it is still remain
in the hands of the Constitutional Court. The legislators
should respond the Constitutional Court verdict to accelerate
settlement legislation relating to the General Election,
including revisions to the Law Number 48 of 2009 on Judicial
Power, Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court,
as amended by Law Number 8 of 2011 on the Amendment
Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court, and the
Law Number 32 of 2004 on Regional Government, as
amended by Law Number 12 of 2008 on the Second
Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional
Government.
Keywords : Implication, Dispute Resolution, Head of Local
Government Election.
Kata Kunci: I m p l i k a s i , P e n y e l e s a i a n S e n g k e t a ,
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
UDC 342.25
UDC 342.25
Khopiatuziadah
Khopiatuziadah
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik
Daerah: Antara Ada dan Tiada
Legal Basis on Local Owned Enterprise Management:
Between Existing and Not
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Landasan hukum bagi beroperasinya Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) pada hakikatnya masih merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi
terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut
Undang-Undang tersebut
dengan syarat terdapat
pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan
landasan hukum pengelolaan BUMD karena UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik dan
dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh
Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang
dengan memasukkan rencana penggantian terhadap
Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode
keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana
Legal basis for the regional owned enterprises (as called
ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 of 1962 on
Regional Enterprise. Until now, there is no amandment yet
towards this law that passed during guided democracy
regim. In fact, Law number 6 of 1969 which revoked such law
with the condition of amandment and replacement for ROE
regulation. The lack of legal basis of ROE management is a
result of Law Number 5 of 1962. It is not in accordance with
the political developments and the dynamics of the current
legislation. This fact is fully realized by the Government and
the House of Representatives as the embodiment of the law,
then they insert a replacement plan for the Law in the
National Legislation Program within two periods (2004-2009
and 2010-2014). However it can be created recently at the
end of the period of 2014. It is actually not an amandment
and substitute bill, but insertment of the regulation reganding
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
ini baru dapat diwujudkan pada akhir periode 2014, pun
bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan
ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
ROE into the amandemnt of Law Number 32 of 2004 on Local
Government.
dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana penjara dan ada juga
yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara.
Apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem
alternatif-kumulatif yang ditandai kata penghubung
“dan/atau”, maka pidana denda dapat dihapuskan (tidak
dijatuhkan kepada terdakwa). Namun, apabila ancaman
pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif yang
ditandai kata penghubung “dan”, maka pidana denda tidak
dapat dihapuskan atau harus dijatuhkan bersamaan
dengan pidana penjara. Dalam hal ini, maka pidana denda
dalam perkara tindak korupsi dapat dihapuskan, apabila
rumusan pasalnya dirumuskan dengan sistem alternatifkumulatif.
with imprisonment. If the criminal threats formulated with
alternative-cumulative systems which are marked conjunctive
"and / or", the criminal penalties can be eliminated (not
applied to the defendant). However, if the criminal threats
formulated with cumulative system which are marked
conjunctive "and", then the criminal penalties can not be
abolished or should be imposed in conjunction with
imprisonment. In this case, the criminal penalties in cases of
corruption can be eliminated, if the article is formulated with
the formulation of alternative-cumulative system.
Kata Kunci :
Keywords: Local company, local owned enterprises,
local government.
perusahaan daerah, badan usaha milik
daerah, pemerintah daerah.
UDC 341.221.2
UDC 341.221.2
Wulansari, Eka Martiana
Wulansari, Eka Martiana
Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE)
Law Enforcement System in the Field of Fisheries in
Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEE)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Penegakan hukum di bidang perikanan pada dasarnya
merupakan salah satu bagian dari penegakan hukum di
perairan atau laut. Penegakan hukum di perairan atau laut
sendiri secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan
negara atau aparaturnya berdasarkan kedaulatan negara
dan/atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum
Internasional yang bertujuan agar peraturan hukum yang
berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun
aturan hukum internasional dapat diindahkan atau ditaati
oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara
sebagai subyek hukum, dan dengan demikian dapat
tercipta tertib hukum nasional maupun tertib hukum
internasional.
Penegakan kedaulatan dan hukum di
perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum
Internasional, dan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku. Pengaturan tentang penegakan hukum dalam
bidang perikanan di Indonesia merupakan kebijakan yang
dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau
mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat dengan
melibatkan masyarakat dan keikutsertaan masyarakat yang
dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan
tersebut, mulai dari perumusan, pelaksanaan sampai
dengan penilaian kebijakan. Hal ini sejalan dengan kaidah
internasional tentang perlunya pengelolaan perikanan yang
bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible
Fisheries dari FAO, Tahun 1995).
Law enforcement in the fisheries sector is basically one part of
law enforcement in the water or sea. Law enforcement in the
water or ocean is generally defined as an activity or a state
apparatus based on the sovereignty of the state and/or under
the provisions of international law that aims to applicable
legislation in the sea either national legislation or the rules of
international law can be respected or obeyed by any person
or legal entity, including the state as a legal subject, and thus
can create a national legal order and the international legal
order. Sovereignty and law enforcement in Indonesian water,
air space, seabed and subsoil thereof, including the natural
resources contained therein as well as sanctions for the
offense, carried out in accordance with the provisions of the
Convention on International Law, and the legislation in force.
The regulation of law enforcement in the field of fisheries in
Indonesia is a policy that is created with the aim to solve the
problem or achieve the desired goals of society by involving
the community and community participation can influence the
overall policy process, starting from the formulation,
implementation to policy assessment. This is in line with
international rules on the need for responsible fisheries
management (Code of Conduct for Responsible Fisheries of
FAO, 1995).
Keywords: Criminal Penalties, Corruption.
Kata Kunci: Pidana Denda, Tindak Pidana Korupsi.
Keywords: Law Enforcement in the Field of Fisheries
Kata kunci: Penegakan Hukum di Bidang Perikanan
UDC 343.352
UDC 343.352
Ramiyanto
Ramiyanto
Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
Criminal Penalty Abolition on Corruption Case in
Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31
Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, yang di dalamnya
telah mencantumkan ancaman sanksi berupa pidana bagi
pelakunya. Dalam undang-undang tersebut ancaman
sanksinya dirumuskan dengan menggunakan sistem
perumusan sanksi (strafsoort) yang berbeda, yaitu tunggal,
alternatif-kumulatif, dan kumulatif. Berkaitan dengan
pidana denda dalam undang-undang tersebut, ada yang
At present the problem of corruption in Indonesia is regulated
in Law Number 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001,
included a threat of criminal sanctions for perpetrators. In the
law formulated by using the threat of sanctions with
sanctions formulation system (strafsoort) are different, ie:
single, alternative-cumulative, and cumulative. Relating to
criminal penalties in the law, there can be no imprisonment
imposed it self and there is also to be imposed in conjunction
UDC 342.827
UDC 342.827
Wijaya, Endra dan Abdullah, Zaitun
Wijaya, Endra and Abdullah, Zaitun
Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab
Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal)
Political Party and Judicature Problem for Group of
Minority in Indonesia (a First Study)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya
berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum.
Dinamika selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik
juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya
memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Bahkan,
secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi
salah satu sarana kelembagaan yang dapat dimanfaatkan
atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk
melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan
perlindungan kaum minoritas masih menjadi problem yang
belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk
kasus diskriminasi yang dialami oleh para penganut
mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian,
permasalahan ini tampaknya belum menjadi perhatian
yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan
umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap
kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak
bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat
Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat
Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan
mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri
Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah
menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi
masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga
merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar
negara yang mereka anggap mampu untuk
“mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar
belakangnya. Paper ini akan berfokus pada pembahasan
mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan
umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai
agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal
tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam
“indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik
mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang
bersumber dari dokumen yang diterbitkan oleh beberapa
Political parties have their functions in related with their
general election activities. Political parties have also the
function to struggle the minority rights. Theoretically and
practically political parties have already be an institutional
instrument that can be formed by minority group of society to
protect their rights as citizens. What is the condition in
Indonesia practically? The problems of minority group
protection in Indonesia are not completely finished, for
example the case of Syiah in Indonesia. This problem is not
attracted the political parties in a serious level. But actually
the discrimination problem is really needs to solve to protect
the country from disunity. At the very beginning, the “founding
fathers” of this republic had given their serious attention on
pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity
the pluralism of Indonesian people. This writing focus on the
role of political parties as the agent of discrimination protection
of the minority group in Indonesia based on Pancasila's
values. This study will be based on the data and document
publishing by political parties and interviews from related
informants.
Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
partai politik dan data wawancara yang berasal dari
narasumber yang relevan.
Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai,
mazhab minoritas.
UDC 340.13
UDC 340.13
Aritonang, Dinoroy M.
Aritonang, Dinoroy M.
Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik
Ria Method In Public Policy Formulation Process
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Public policy is a very important instrument in the application
of governmental process. Public policy can bring a lot of vast
influences on each aspect of people's lifes ranging from
economic, social, and political issues. The public policy
making process has been developed along with the
complexity of public issues which are emerging in the pattern
of life of the people. Public policy should be arranged and
created in a good way, that's because the impacts brought to
the people are very massive. A good public policy is
underpinned by a certain model and technique of policy
making which has been used. There are so many models and
techniques on policy making which have been used and
developed by many scholars and government's agencies. One
of the models is RIA. This model has been long enough applied
in many developed and developing countries especially the
member of OECD. In RIA model, the role of the cost and benefit
are the first and most important dimensions to decide the true
and appropriate policy alternative or option in order to handle
the public's problems. RIA can be also used before the public
issues become the first topic in public policy making process.
In this phase, RIA is used to analyze every potentials and
chances from economic, social, and political aspects. RIA can
be developed more massive by integrating it into the public
policy making system officially.
Key words: RIA, Policy, Formulation.
Kebijakan publik merupakan instrumen yang amat penting
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan
publik juga amat mempengaruhi berbagai aspek dalam
kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, dan
politik masyarakat. Penyusunan kebijakan publik telah
berkembang seiring isu-isu publik yang lebih kompleks
yang hadir dalam perkembangan pola kehidupan
masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik hendaknya
disusun dan diciptakan dengan baik, sebab dampak yang
ditimbulkannya sangat besar. Kebijakan yang baik amat
ditopang oleh model dan teknik penyusunan kebijakan yang
diterapkannya. Sudah banyak model dan teknik
penyusunan yang sudah dipakai dan dikembangkan oleh
banyak pakar maupun elemen pemerintahan. Salah satu
yang digunakan dan dikembangkan secara luas adalah
model RIA. Model ini juga sudah cukup lama digunakan
oleh berbagai negara di dunia terutama negara maju yang
tergabung dalam OECD. Dalam model ini peran biaya (cost)
dan manfaat (benefits) menjadi dimensi yang paling utama
dalam menentukan alternatif kebijakan atau opsi yang
mana yang paling tepat untuk digunakan dalam
penyelesaian persoalan publik. Bahkan sebelum isu
tersebut menjadi topik utama penyusunan kebijakan,
model RIA dapat digunakan untuk menganalisis segala
kemungkinan dari aspek ekonomi, sosial dan politik. RIA
dapat dikembangkan dengan lebih luas dengan cara
mengintegrasikannya ke dalam sistem penyusunan
kebijakan secara resmi.
Kata Kunci: RIA, Kebijakan, Formulasi.
UDC 340.13
UDC 340.13
Trimaya, Arrista
Trimaya, Arrista
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah
dengan Pembentukan Undang-Undang
Creating Synergy Between
Drafting and Law Making
Regional
Regulations
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Pemberian kebebasan sekaligus keleluasaan kepada Kepala
Daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam
era otonomi daerah belum dilaksanakan secara optimal dan
komprehensif. Akibatnya, penegakan hukum terhadap
keberlakuan Perda juga tidak dapat dilaksanakan secara
optimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya materi muatan
Perda yang bertentangan dan tumpang tindih dengan materi
muatan peraturan perundang-undangan diatasnya,
terutama dengan Undang-Undang. Banyaknya Perda yang
tumpang tindih, paling banyak disebabkan tidak adanya
kesesuaian antara metode pendekatan yang digunakan
dalam proses pembuatan Perda dan realitas di lapangan,
terutama jika dikaitkan dengan pihak yang berkepentingan
untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu masyarakat
lokal. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya
akuntabilitas pembuat Perda, yaitu DPRD dan Pemerintah
Freedoms and flexibilities given to the Head of Regions to
make regional regulations in the era of regional autonomy
have not been implemented optimally and comprehensively.
As the result, validity and legal enforce-ability of regional
regulations have not been implemented optimally as well. It is
characterized by a number of problematic and overlapping the
substance of the regulations as derivatives laws. The majority
of overlapping subject matters were mostly due to
incompatibility between the approach used during the
drafting of regional regulations and actual reality in the
regions, especially when it is related to the interest of different
entities involved in implementation, i.e. local communities.
These mismatches have hold regional law-makers, such as
regional parliaments and regional government, less
accountable for they rarely provide complete information to
local communities regarding regulations that will be drafted.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
Daerah yang jarang sekali memberikan informasi yang
lengkap kepada masyarakat lokal berkaitan dengan Perda
yang akan dibentuk. Untuk itu sangat diperlukan peran
Balegda sebagai koordinator dalam penyusunan Prolegda
antara DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan
sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas
dan fungsi Pemerintah Daerah. Di samping itu, peran
Balegda juga diperlukan untuk mewujudkan sinergi dalam
pembentukan Peraturan Daerah dengan Undang-Undang,
sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundangundangan.
The role of Regional Legislation Body as the coordinator
between regional parliament and regional government is
considerably needed in listing the Prolegda for a synergy in
the implementation of tasks and functions of both the regional
parliament and the regional government. In addition, the role
of Balegda also necessary for a synergetic drafting of the
regional regulations as derivatives laws, in order to
harmonize the regulations.
Keywords: synergy, regional regulations, laws.
Kata Kunci: sinergi, Peraturan Daerah, Undang-Undang.
UDC 340.13
UDC 340.13
Pratiwi, Cekli Setya
Pratiwi, Cekli Setya
Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan
Berdimensi Hak Asasi (Analisa Muatan Materi Peraturan
Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia)
A Responsive Model of Local Regulation Establishment
and Respect to Human Rights (a Content Analysis of
Local Regulation on Health Care in Indonesia)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
The existence of local regulation as part of the National Law is
an important legal instrument at the local level. After the Local
Government Law Number 32 of 2004 on the Local
Government make Local Regulation as an important
instrument of accession in the course of the co-administration
as well as to further elaborate the legislation in the higher
level. Currently along with the reform and legal reform in
Indonesia, the approach to make local regulation with
ROCCIPI model is not enough, and need additional
approaches that can achieve responsive regulation, harmony
and uphold the values of Human Rights. However, the
regulation is still transformed into repressive regulations
which are less involved in the formation process of public
participation and more oriented to the political interests than
the interests of the community to solve social problems. On the
other hand, where regulation is still ignoring the human rights
principles even distort the recognition of human rights
guaranteed in the constitution. In 2002, there were
approximately 700 local regulations that disallowed by the
Ministry of Internal Affairs as it is considered to have some of
the drawbacks of both formal and substantive aspects. In
addition, the National Human Rights Commission also
considered that the new laws are discriminatory practice
tends to result in human rights violations by state officials,
minority discrimination, and slow fulfillment of human rights
of citizens in the area one of which is the regulation of Malang
Health Care Number 12 of 2010 in terms of the Limburg
principles and the indicators of the right to health in General
Comment No. 14
Keywords: local regulation, the right to health, the
responsive law
Keberadaan Peraturan Daerah sebagai bagian dari Hukum
Nasional merupakan instrumen hukum yang penting di
tingkat lokal. Pemerintah Daerah pasca Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
membentuk Perda sebagai isntrumen penting dalam rangka
penyelenggaraan tugas pembantuan serta untuk
menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi. Saat ini seiring dengan
reformasi dan pembaharuan hukum di Indonesia, model
pendekatan pembentukan Perda dengan ROCCIPI tidaklah
cukup, dan perlu pendekatan tambahan yang dapat
mewujudkan Perda yang bersifat responsif, harmoni dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun demikian dewasa ini, Perda masih menjelma
menjadi regulasi yang bersifat represif dimana dalam proses
pembentukannya kurang melibatkan partisipasi
masyarakat dan lebih berorientasi pada kepentingan politik
dibandingkan kepentingan memecahkan masalah sosial
masyarakat. Di sisi lain, keberadaan Perda masih
mengabaikan prinsip-prinsip HAM bahkan mendistorsi
pengakuan HAM yang dijamin dalam konstitusi. Pada tahun
2002, terdapat sekitar 700 Perda yang dianulir oleh
Kementerian Dalam Negeri karena dinilai memiliki beberapa
kelemahan baik dari aspek formil maupun materiil. Selain
itu, KOMNAS HAM juga menilai bahwa berbagai Perda yang
bersifat diskriminatif cenderung melahirkan praktek
pelanggaran hak asasi manusia oleh pejabat negara,
diskriminasi kelompok minoritas, serta lambannya
pemenuhan HAM warga di daerah salah satunya adalah
Perda tentang Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12
Tahun 2010. ditinjau dari Prinsip-prinsip Limburg dan
indikator-indikator pemenuhan hak atas kesehatan dalam
Komentar Umum Nomor 14
Kata kunci: Peraturan Daerah, hak atas kesehatan, hukum
responsif
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 341.23
Nadir
Kesiapan Hukum dan Tantangan Indonesia Era Asean
Community 2015
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
Era baru Asean Economic Community 2015 ditandai dengan
seperangkat pembentukan hukum dan persiapanpersiapan serta strategi yang dilakukan oleh Negara-negara
anggota asean termasuk khususnya Indonesia. Persaingan
usaha yang sehat di Indonesia akan ditentukan kualitas
hukum persaingan usaha itu sendiri serta kredibilitas
lembaga-lembaga penegak hukum persaingan usaha,
karena hukum persaingan usaha merupakan suatu
bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep
hukum
dengan
konsep
ekonomi sebagai refleksi
semangat untuk membangun sistem ekonomi yang
efektif, efisien, terbuka dan jujur serta sehat. Berbagai
peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait
dengan perdagangan dan persaingan usaha diundangkan
dan/atau dipersiapkan di era asean economic community
2015 seperti: (i) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata); (ii) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHPidana); (iii) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal; (iv) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat; (v) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek; (vi) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal; (vii) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah; (viii) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan; (ix) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian; (x) Rancangan Undang-Undang
tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; (xi)
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan
Pengamanan Perdagangan. Posisi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dalam asean economic community
2015 tetap sebagai garda depan penjaga dan penegak
hukum persaingan usaha. Jika menyangkut masalah
pidana, maka akan menjadi kewenangan penegak hukum
lain, yaitu pihak kepolisian Negara republik Indonesia.
Kata Kunci: KPPU, Kesiapan dan Tantangan, Hukum
Indonesia, Asean Community 2015
UDC 341.23
Nadir
The Asean Community 2015 at Readiness and
Challenge
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
Asean Economic Community 2015 marked a set forming of
preparation and law and also strategy by Nations member of
Asean including Indonesia. Fair competition in Indonesia will
be determined by the quality of law competition itself and also
enforcer institutes credibility. By that law competition of effort
represent an area with high interaction between concept of
punishment with concept of economic as reflected a spirit to
develope; fair competition and build an effective economic
system and also Laws and regulations to commerce fair
competition between Asean Economic Community 2015: (1)
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie; (2) Wetbok van strafrecht
vor Indonesie; (3) Law Number 8 of 1995 on Capital Market;
(4) Law Number 5 of 1999 on Prohibition order Monopolistic
Practice and Unfair Competition; (5) Law Number 15 of 2001
on Brand; (6) Law Number 25 of 2007 on Cultivation of
Capital; (7) Law Number 20 of 2008 on Micro Effort, Middle
and Small; (8) Law Number 7 of 2014 on Commerce; (9) Law
Number
3 of 2014 on Industry; (10) Draft Bill on
Standardization and Assessment Compatibility; (11)
Government Regulation Number 34 of 2011 on Action of
Antidumping, Action Reward, and Action Security of
Commerce. The Position of KPPU in Asean Economic
Community 2015 is to remain the enforcement of punishment
to build fair competition. If the problem about crime, it will
become law enforcement authority, that is Republic of
Indonesia Police.
Keywords : Asean Community 2015, Law, Readiness,
Challenge
UDC 341.23
Butar Butar, Hisar P. dan Nababan, Budi S.P.
Menyoal Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean
Economic Community 2015
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3.
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) adalah
bentuk integrasi ekonomi regional yang akan dipercepat
pelaksanaannya pada 31 Desember 2015. Dengan
pelaksanaan tersebut maka akan terjadi arus bebas barang,
jasa, investasi, tenaga terampil serta aliran modal. AEC
2015 bisa dimanfaatkan Daerah untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun permasalahannya
adalah apa yang harus dilaksanakan daerah dalam
menyambut AEC 2015. Melalui penelitian perpustakaan,
penulis melihat bahwa untuk memanfaatkan AEC 2015
terlebih dahulu Pemerintah Daerah harus melakukan
berbagai persiapan, yaitu komitmen dalam menjalankan
sistem perizinan terpadu, membentuk perda tentang
retribusi perpanjangan IMTA, mewujudkan kawasan
ekonomi khusus (KEK), serta mendorong perlindungan hak
kekayaan intelektual (HKI).
Kata kunci: ASEAN Economic Community 2015,
Pemerintah Daerah, Persiapan.
UDC 341.23
Butar Butar, Hisar P. and Nababan, Budi S.P.
Readiness of Local Government in Preparing Asean
Economic Community 2015
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3.
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) is a form of
regional economic integration will be accelerated execution on
December 31, 2015. With the implementation, there will be
free flow of goods, services, investment, skilled labor and
capital flows. AEC 2015 can be used to improve local revenue
(PAD). But the problem is what should local government
implement in preparing AEC 2015? Through library research,
the authors noticed that for the first 2015 AEC utilizes local
governments have made various preparations, namely
commitment to perform a unified licensing system,
establishing local regulations on retribution fees renewal
license for hiring foreign workers, creating the special
economic zone (KEK), and encouraging the protection of
intellectual property rights (HKI).
Keywords: ASEAN Economic Community 2015, Local
Government, Preparing.
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013
TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(THE IMPLICATION OF CONSTITUTIONAL COURT VERDICT NUMBER 97/PUU-XI/2013
CONCERNING DISPUTE SETTLEMENT OF HEAD OF LOCAL GOVERNMENT ELECTION)
Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara
Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia
Email : [email protected]
(Naskah diterima 26/08/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1)
Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan Nomor 97/PUUXI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh MK adalah
inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa Pilkada. Putusan tersebut tidak serta merta
dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa
Pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Untuk itu pembentuk
undang-undang harus merespons putusan MK dengan melakukan percepatan penataan undang-undang yang
berkaitan dengan Pemilukada, diantaranya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kata Kunci: Implikasi, Penyelesaian Sengketa, Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Abstract
The Constitutional Court has cancelled the provisions of Article 236 clause c Law Number 12 of 2008 concerning the Second
Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government and Article 29 paragraph (1) clause e of Law Number 48 of
2009 on Judicial Power through Verdict Number 97/ PUU-XI/2013, the Court stated that the dispute over the handling of
local elections by the Court is unconstitutional. As a result, the Court no longer authorized to adjudicate local election
disputes. Such decisions are not necessarily enforceable, because one of the important clauses in the decision, the authority
to adjudicate disputes over the local elections, there are no laws govern about it, so it is still remain in the hands of the
Constitutional Court. The legislators should respond the Constitutional Court verdict to accelerate settlement legislation
relating to the General Election, including revisions to the Law Number 48 of 2009 on Judicial Power, Law Number 24 of
2003 on the Constitutional Court, as amended by Law Number 8 of 2011 on the Amendment Law Number 24 of 2003 on the
Constitutional Court, and the Law Number 32 of 2004 on Regional Government, as amended by Law Number 12 of 2008 on
the Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government.
Keywords : Implication, Dispute Resolution, Head of Local Government Election.
A.
Latar Belakang
Mahkamah Agung (MA) akan kembali
berwenang mengadili perkara sengketa Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada), setelah
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan
ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1)
Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan
Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa
penanganan sengketa hasil Pemilukada oleh MK
adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak
berwenang lagi mengadili sengketa Pilkada.
Putusan ini tidak diambil secara bulat, karena tiga
hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda
(dissenting opinions) terhadap pendapat hakim
lainnya. Namun putusan tersebut tidak serta merta
213
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220
dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul
penting dalam putusan tersebut, kewenangan
untuk mengadili sengketa Pilkada selama belum
ada undang-undang yang mengaturnya tetap
berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada
keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan
kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa
pilkada.
Putusan tersebut, tentunya menimbulkan
tanggapan beragam dari berbagai pihak. Bahkan
ada anggapan yang menyatakan bahwa putusan
MK ini tidak konsisten1 dengan putusan terdahulu
yakni pada Putusan Nomor 072- 073/PUU-II/2004
yang secara tidak langsung telah menafsirkan
bahwa penentuan Pilkada sebagai bagian dari
Pemilihan Umum. Adapun tanggapan dari 3 (tiga)
hakim konstitusi yang memberikan pendapat
berbeda (dissenting opinions) yakni Arief Hidayat,
Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi
berpendapat seharusnya permohonan pemohon
ditolak, sehingga penyelesaian perselisihan hasil
Pemilukada tetap menjadi kewenangan MK. Arief
berpendapat tidak wajib berpegang pada original
intent Pasal 24C UUD 1945 semata yang tidak
memasukkan sengketa Pemilukada sebagai
kewenangan MK. Sebab, sangat sulit memahami
bagaimana original intent yang sebenarnya. Karena
itu, kewenangan MK seharusnya bukan berusaha
menemukan maksud pembentuk undang-undang,
tetapi menemukan makna yang dikehendaki norma
konstitusi guna menyelesaikan persoalan hukum
yang dihadapi masa kini dan masa depan.2
Sementara itu, Anwar Usman menilai tuntutan
pemohon yang menyatakan sengketa Pemilukada
bukan kewenangan MK karena tidak diatur Pasal
24C UUD 1945 tidaklah tepat. Sebab, kedua norma
itu bukan kewenangan MK yang utama. Pasal 236 C
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah hanyalah memuat norma
administratif semata yakni pengalihan sengketa
Pemilukada dari MA ke MK. Hal ini sesuai
pertimbangan Putusan MK No. 25/PHPU.DVI/2008 yang menyebut “.....pemilihan kepala
daerah termasuk dalam rezim hukum pemilu.
Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil
pemilukada secara hukum menjadi kewenangan
MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus
kali menyatakan dirinya berwenang mengadili
perkara sengketa Pemilukada, kalaupun MK
menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
sengketa Pemilukada dengan alasan tidak diatur
dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya hal
tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima
permohonan sengketa Pemilukada pada tahun
2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak
yang membawa akibat hukum tersendiri.
Kemudian, Ahmad Fadli Sumadi berpendapat
perselisihan hasil Pemilukada merupakan bagian
dari sistem Pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945 yang
mengharuskan adanya forum yang menyelesaikan
yakni MK. Karena itu, berdasarkan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, MK berwenang mengadili
perselisihan hasil Pemilukada, dengan demikian,
permohonan pemohon seharusnya ditolak.
Menyikapi perbedaan pendapat dalam Putusan
MK Nomor 97/PUU-XI/2013 terkait dengan
pengalihan kewenangan mengadili sengketa
Pemilukada, penulis tertarik untuk menguraikan
implikasi putusan tersebut terhadap pelaksanaan
Pemilukada.
B.
Pandangan Teoritis
Aristoteles dalam teori ketatanegaraan klasik
mengemukakan bahwa konsep negara hukum (rule
of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan
(contrast) dengan konsep rule of man.3 Dalam
modern constitutional state, salah satu ciri negara
hukum (the rule of law atau rechtsstaat)4 ditandai
dengan pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan
itu dilakukan dengan hukum yang kemudian
menjadi ide dasar paham konstitusionalisme
modern.5 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian
atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu
elemen penting teori negara hukum Eropa
Kontinental.6 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan
itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan
1
http://news.detik.com/read/2014/05/20/085452/2586676/10/hapus-kewenangan-adili-sengketa-pilkada-mk-tidak-konsisten,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
2
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379f071d5173/mk-hapus-kewenangan-sengketa-pemilukada, diakses pada tanggal
18 Agustus 2014.
3
Brian Z. Tamanaba, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United Kingdom: Cambridge Univesity Press,2004), hlm 9.
4
Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtsstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat
dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga,
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshutzen Artz, The Concept of
Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum)
semua cabang kekuasaan negara dalam tangan
satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang
absolut.7 Misalnya dalam perkembangan sejarah
ketatanegaraan Inggris, raja pernah
berkuasa
karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan
negara (law-giver, the executor of the law, and the
judge) dalam satu tangan.8 Karena itu, sejarah
pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan
pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar
tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja
absolut).9
Sehubungan dengan pembatasan kekuasaan
itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar
Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan
horizontal.10 Secara vertikal, kekuasaan dibagi
berdasarkan tingkatan atau hubungan antar
tingkatan pemerintahan. Sementara secara
horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu
dengan membedakan antara fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan
yudikatif.11
“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh
Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini,
mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya
berurusan secara eksklusif dengan salah satu
dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa
hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu
tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan
bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai
dengan prinsip checks and balances”.
Secara umum “pemisahan kekuasaan” dalam
bahasa Indonesia dimaknai (separation of power)12
dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica
Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman
pendapat Montesquieu yang menyatakan, “when
the legislative and the executive powers are united in
the same person, or in the some body of magistrate,
there can be liberty”.13 Tidak terbantahkan,
pandangan Montesquieu memberikan pengaruh
yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan
negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip
dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara
Setelah mendalami banyak literatur tentang
pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie
menilai bahwa istilah-istilah separation of power,
distribution of power/division of power sebenarnya
mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk
menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie
mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang
menyatakan, the question whether the separation of
power (i.e. the distribution of power of the various
power of government among different organs).18
Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan,
Hood Phillips mengidentikkan kata separation of
7
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 73.
8
Ibid, hlm. 74.
9
Mohd. Mahfud MD., Dasar dan Stmktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm. 72.
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1989), hlm. 138. Berdasarkan sejarah
perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam
buku “Two Treaties of Civil Government “. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang
kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk
melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Lihat dalam, John Locke, Two Treaties of Civil Government (London: J.M.
Dent and Sons Ltd, 1960), hlm. 190-192.
11
Ibid
12
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan
dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugastugas kenegaraan yang secara kardkteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak
dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 edition, (London: The English Language Book Society, 1976),
hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation
of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M.
McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.
13
Ibid, hlm. 16
14
Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap
Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma. Jaya, 1998), hlm 30.
15
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm. 287.
16
Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm. 11.
17
Ibid, hlm. 36
6
Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 57.
18
Ibid
214
benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan
sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu,
karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang
kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan
lainnya, banyak pendapat yang mengatakan bahwa
pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan
secara murni14 atau tidak pernah dilahirkan dalam
fakta,15 tidak realistis dan jauh dari kenyataan.16
Karena itu Jimly Asshidiqie menyatakan :17
215
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220
power dengan distribution of power. Oleh karena itu,
kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan
tempatnya.19
Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan
yang mengandalkan bahwa kekuasaan itu adalah
dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam pengertian
yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut
sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan
bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada
pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu
rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan
memberi arahan yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.
Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu
pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh
rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik
diidealkan pula agar diselenggarakan bersamasama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan
masyarakat dalam arti yang seluasluasnya.
Keempat ciri itulah yang tercakup dalam pengertian
kedaulatan rakyat ; diselenggarakan untuk rakyat,
oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka
diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta
rakyat dalam penyelenggaraan negara.20
tahun sekali haruslah dipahami sebagai pemilihan
oleh dan untuk rakyat yang diperintah, bukan
rakyat yang berdaulat. Dengan demikian, Pemilihan
Umum tidak dapat disebut sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Menurut Jimly
Asshiddiqie, Pemilihan Umum adalah sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang bersifat
langsung. Dalam sistem hukum Indonesia,
kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu
dilakukan dengan 2 cara yang masing-masing
ditujukan dengan maksud untuk membentuk MPR
(termasuk juga DPR) dan untuk menetapkan UUD.
Untuk tujuan pertama, membentuk MPR, diadakan
Pemilihan Umum, dan untuk tujuan terakhir,
menetapkan UUD, diadakan Pemilihan Umum, dan
untuk tujuan terakhir, menetapkan UUD, diadakan
referendum (Pasal 37 UUD 1945 sebelum
perubahan jo TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1985 tentang Referendum). Dengan demikian,
kedua ketetapan itu dapat dikatakan telah
memenuhi kehendak rakyat yang berdaulat.23
Dalam teori maupun praktek di Indonesia,
fungsi pelaksanaan asas kedaulatan rakyat lazim
terkait dengan Pemilihan Umum. Hal ini tegaskan
berulang-ulang dalam TAP MPR No. VII/MPR/1973,
TAP MPR NO. VII/MPR/1978 dan dalam Pasal 1
TAP MPR No. VII/MPR/1973, dinyatakan bahwa
Pemilihan Umum diselenggarakan berdasarkan
Demokrasi Pancasila sebagai sarana pelaksanaan
asas kedaulatan rakyat dalam Negara Indonesia.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) TAP MPR No. VII/MPR/1978
juga ditegaskan bahwa Pemilihan Umum adalah
sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila baik dalam Pasal 1 Ayat (2)
TAP MPR No. II/MPPR/1988, hal yang sama juga
ditegaskan lagi. Artinya, secara yuridis, Pemilihan
Umum di Indonesia memang dimaksudkan sebagai
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.21
Baik pendapat A. Hamid S. Attamimi maupun
Jimly Asshiddiqie, sama-sama didasarkan pada
UUD 1945 sebelum diadakan perubahan, yang
mana kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Setelah diadakan
Perubahan III UUD 1945 pada tanggal 10 November
2001, kedaulatan ada di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya menurut UUD (Pasal 1 Ayat
(2) UUD 1945). Dengan perubahan tersebut, MPR
tidak lagi memiliki kedudukan yang eksklusif
sebagai satu-satunya instansi pelaku atau
pelaksana kedaulatan rakyat. Selain MPR, ada
lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan
pelaku pelaksana kedaulatan rakyat, misalnya,
Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat
adalah juga pelaku atau pelaksana kedaulatan
rakyat termasuk juga pelaksanaan referendum
untuk meminta terlebih dahulu persetujuan rakyat
berkenaan dengan rencana perubahan UUD 1945.24
Dengan menggunakan konstruksi pemikiran A.
Hamid S. Attamimi22 secara konsisten, maka
Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap 5
Solly Lubis membagi penegak hukum dalam
arti sempit dan dalam arti luas.25 Penegakan hukum
dalam arti sempit adalah penegakan yang
19
Ibid.
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Nomokrasi : Prasyarat Menuju Indonesia Baru”, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan ke- 4 (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 293-294.
21
Jimly Asshiddiqe, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Pergeseran keseimbangan antara
Individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Otonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an,
Cetakan ke1, (Jakatta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 84.
22
Menurut A. Hamid S. Attamimi, rakyat yang duduk di MPR adalah rakyat yang berdaulat (citoyen), sedangkan wakil-wakil rakyat di DPR
adalah rakyat yang diperintah (suyet). Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam…………Op, Cit., hlm. 82
23
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam……..Op, Cit., hlm. 85-86.
24
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD'45 Setelah Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II (Jakarta: Yasrif Watampone, 2003), hlm. 3-4.
25
Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etik Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26 April 2010.
20
216
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum)
dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim,
sedsangkan dalam arti yang luas bukan hanya
penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi,
Jaksa dan Hakim akan tetapi Penegakan Hukum
dimulai dari pembentukan peraturan perundangundangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif
dan eksekutif sampai eksekusi yang dilaksanakan
oleh badan peradilan.26 Bahkan pengacara
(advocaat dan procureur) juga termasuk sebagai
perangkat penegak hukum dalam upaya penegakan
hukum sesuai dengan batas kewenangan masingmasing secara proporsional. Apabila dikaitkan
dengan penyelesaian sengketa Pemilukada maka
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pilar
penegakan hukum dalam arti yang sempit.
tidak mampu menyerap aspirasi mayarakat secara
optimal. Justru pemilihan kepala daerah diwarnai
oleh kecendrungan oligarki partai politik sehingga
terjadi politisasi atas aspirasi publik dan
menguatnya indikasi praktik politik uang dalam
pemilihan kepala daerah.
Sistem penyelenggaraan Pemilukada di
Indonesia saat ini merupakan pilihan politik yang
diambil setelah melalui perjalanan yang cukup
panjang. Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai
pemilihan kepala daerah diatur dalam sejumlah
undang-undang mengenai pemerintahan daerah,
yaitu mulai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974. Pada masa berlakunya undangundang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
hanya mengusulkan nama-nama calon kepala
daerah dan kemudian kepala daerah tersebut
dipilih oleh presiden dari calon - calon tersebut.27
Untuk mengoreksi berbagai kelemahan praktik
Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, maka pada tanggal 29 September
2004 DPR telah menyetujui RUU tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya
disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri
pada tanggal 15 Oktober 2004 menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Salah satu materi yang
dimuat dalam undang-undang tersebut adalah
pengaturan mengenai Pilkada. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 KPUD
Provinsi, Kabupaten/Kota telah diberikan
kewenangan sebagai penyelenggara pilkada
langsung. Kewenangan KPUD ini dibatasi sampai
dengan penetapan calon terpilih dengan Berita
Acara yang selanjutnya diserahkan kepada DPRD
untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah
guna mendapatkan pengesahan. Dikarenakan
pemilihan kepala daerah belum termasuk rezim
Pemilihan Umum, maka penyelesaian sengketa
pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 108
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Sejak runtuhnya era Orde Baru, telah terjadi
perubahan yang sangat fundamental di berbagai
bidang, tidak terkecuali pada sistem
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, pilkada dilakukan menggunakan sistem
demokorasi tidak langsung di mana Kepala daerah
dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan
penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam
undang-undang ini posisi dan peran politik DPRD
sederajat dengan Kepala Daerah. Rekrutmen kepala
daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD.
Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan
dan melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil
pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat.
Namun, pada praktiknya pilkada yang dilakukan di
bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang telah memberikan peran besar kepada DPRD
Seiring berjalannya waktu, materi mengenai
penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 pun tidak luput dari
permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
072-73/PUU-II/2004 tanggal 22 Maret 2005
meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut
tidak secara eksplisit menyatakan bahwa pemilihan
kepala daerah secara langsung termasuk dalam
kategori pemilihan umum, namun Mahkamah
Konstitusi memberi ruang kepada pembentuk
Undang-Undang untuk memperluas makna
pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal
22 E UUD 1945 dengan memasukkan Pemilihan
Kepala Daerah. Berdasarkan putusan tersebut,
pembentuk Undang-Undang merespon dengan
membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun
C.
26
27
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Ibid
Bandingkan dengan, Suharizal, Pemilukada; Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), hlm. 15-16.
217
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220
2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
memasukkan Pemilihan Kepala Daerah dalam
rezim Pemilihan Umum. Kemudian berdasarkan
Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengalihkan penyelesaian perkara perselisihan
hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah
Agung ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Pasal
29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 menambahkan satu kewenangan lain
dari Mahkamah Konstitusi yaitu untuk mengadili
perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah.
D. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013 Terhadap
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala
Daerah
Berdasarkan Putusan Nomor : 97/PUUXI/2013, MK memutus mengabulkan permohonan
para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan
bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman sudah dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan
tidak memiliki kekuataan hukum mengikat. Dalam
pertimbangannya MK menyatakan bahwa dengan
menggunakan penafsiran sistematis dan original
intent, yang dimaksud Pemilihan Umum menurut
UUD 1945 adalah pemilihan yang dilaksanakan
sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih anggota
DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden serta DPRD.
Lebih lanjut MK menyatakan bahwa sudah tepat
ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa
perselisihan hasil pemilihan umum yang menjadi
kewenangan MK yaitu perselisihan hasil Pemilu
DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden. Pasal 74 ayat
(2) tersebut menentukan bahwa penyelesaian hasil
pemilu hanya dapat diajukan terhadap penetapan
hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh
Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: a.
Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah; b. Penentuan Pasangan calon yang masuk
pada putaran kedua pemilihan Presiden/Wakil
Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden; c. Perolehan kursi partai politik
pemilu di suatu daerah pemilihan.
218
Dengan demikian, berdasarkan putusan MK
tersebut maka Pemilihan Kepala Daerah tidak
termasuk dalam Rezim Pemilu akan tetapi kembali
masuk dalam rezim Pemerintahan Daerah,
konsekuensinya MK tidak lagi berwenang untuk
mengadili perselisihan hasil Pemilihan kepala
daerah. Putusan tersebut menunjukkan
inkonsistensi MK, dimana pada putusan terdahulu
(putusan Nomor 072- 073/PUU-II/2004), mayoritas
hakim konstitusi secara tidak langsung telah
menafsirkan bahwa penentuan pilkada sebagai
bagian dari pemilihan umum merupakan kebijakan
terbuka bagi pembentuk undang-undang (opened
legal policy), sehingga MK dapat berwenang untuk
mengadili sengketa pilkada berdasarkan pilihan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR.
Selain itu, MK sejak Tahun 2008 sampai dengan
2014 telah menangani 689 perkara sengketa
Pemilukada yang dalam putusannya MK
menyatakan berulangkali berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara
perselisihan hasil Pemilukada.
Inkonsistensi putusan MK lebih lanjut juga
dapat dilihat dalam putusan Nomor : 97/PUUXI/2013, dimana dalam amar putusan point 1
dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 236 Huruf c
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pasal 29 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat, namun dalam
amar putusan point 2 dinyatakan MK berwenang
mengadili perselisihan hasil Pemilukada selama
belum ada Undang-Undang yang mengatur
mengenai hal tersebut. Disatu sisi MK memutus
bahwa kewenangan MK mengadili sengketa
Pemilukada inkonstitusional, namun dalam
putusan yang sama dinyatakan juga bahwa
kewenangan MK mengadili sengketa Pemilukada
konstitusional selama belum ada Undang-Undang
yang mengatur mengenai hal tersebut.
E.
Penutup
Terlepas dari kontroversi putusan tersebut,
pembentuk undang-undang harus merespons
putusan MK dengan melakukan percepatan
penataan undang-undang yang berkaitan dengan
Pemilukada, diantaranya revisi terhadap Undang-
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum)
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Hal ini perlu segera
dilakukan untuk menghindari potensi
permasalahan konstitusionalitas penyelesaian
sengketa perselisihan hasil Pemilukada.
Daftar Pustaka
Brian Z. Tamanaba, On The Rule of Law: History,
Politics, Theory, United Kingdom:
Cambridge Univesity Press, 2004.
Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etik
Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26
April 2010.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New
York: Russel and Russel, 1971.
Jimly Asshiddiqe, Gagasan Kedaulatan Rakyat
dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia (Pergeseran keseimbangan
antara Individualisme dan kolektivisme
dalam kebijakan Demokrasi Politik dan
Demokrasi Otonomi selama Tiga Masa
Demokrasi, 1945-1980-an, Cetakan ke1,
Jakatta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1994.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta.
John Locke, Two Treaties of Civil Government,
London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960.
Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Pemerintahan Negara
(Dimensi Pendekatan Politik Hukum
terhadap Kekuasaan Presiden Menurut
Undang-Undang Dasar 1945), Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Atma. Jaya, 1998.
Marjanne Termorshutzen Artz, The Concept of Rule
of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II,
November, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, Jakarta.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Cetakan Ke-29, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka, 1989.
Mohd.
Mahfud MD., Dasar dan Stmktur
Ketatanegaraan Indonesia, Bandung:
Rieneke Cipta, 2001.
Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa
Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press,
2007.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,
1987.
Ridwan
HR, Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: UII Press, 2003.
Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford
University Press, 1950.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010.
_______________, Konsolidasi Naskah UUD'45 Setelah
Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II.
Jakarta : Yasrif Watampone, 2003.
Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4
edition, London: The English Language
Book Society, 1976.
_______________, Demokrasi dan Nomokrasi :
Prasyarat Menuju Indonesia Baru, Hukum
Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan
HAM, Cetakan ke- 4, Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
Suharizal, Pemilukada; Regulasi, Dinamika, dan
Konsep Mendatang, Jakarta: Rajawali
Press, 2011.
_______________, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid
II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan RI, 2006.
_______________, Perekembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi,
http://news.detik.com/read/2014/05/20/085452
/2586676/10/hapus-kewenangan-adilisengketa-pilkada-mk-tidak-konsisten,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379
f071d5173/mk-hapus-kewenangansengketa-pemilukada, diakses pada
tanggal 18 Agustus 2014.
219
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220
LANDASAN HUKUM PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DAERAH: ANTARA ADA DAN TIADA
(LEGAL BASIS ON LOCAL OWNED ENTERPRISE MANAGEMENT: BETWEEN EXISTING AND NOT)
Khopiatuziadah
Perancang Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI
Jl Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia
Email: [email protected]
(Naskah diterima 29/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Landasan hukum bagi beroperasinya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada hakikatnya masih merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi
terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut
Undang-Undang tersebut dengan syarat terdapat pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan
hukum pengelolaan BUMD karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan
DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang
tersebut dalam Prolegnas dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana ini baru dapat
diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan ketentuan mengenai
BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Kata Kunci: perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah.
Abstract
Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 of 1962 on
Regional Enterprise. Until now, there is no amandment yet towards this law that passed during guided democracy regim.
In fact, Law number 6 of 1969 which revoked such law with the condition of amandment and replacement for ROE
regulation. The lack of legal basis of ROE management is a result of Law Number 5 of 1962. It is not in accordance with the
political developments and the dynamics of the current legislation. This fact is fully realized by the Government and the
House of Representatives as the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the National
Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However it can be created recently at the end of the
period of 2014. It is actually not an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding ROE into the
amandemnt of Law Number 32 of 2004 on Local Government.
Keywords: Local company, local owned enterprises, local government.
A.
Pendahuluan
Pengaturan tentang perusahaan daerah yang
sering disebut sebagai Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), pada hakikatnya masih merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah (UU tentang Perusahaan
Daerah). UU tentang Perusahaan Dearah ini
kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak
Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No.
2901) yang mencabut beberapa undang-undang
dan peraturan pemerintah pengganti undangundang yang materi muatannya dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
atau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
politik dan hukum itu.
220
Namun demikian, ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1969 menyebutkan bahwa
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai
dibentuknya undang-undang baru yang mengatur
mengenai perusahaan daerah. Pada kenyataannya
sampai sekarang belum dibentuk undang-undang
baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan
legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah
karena dasar hukum yang sekarang berlaku yakni
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah yang secara substansial sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat. Berbagai undang-undang
yang terkait dengan pengelolaan perusahaan
221
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
daerah, terutama undang-undang sektoral, telah
mengalami perkembangan yang sangat dinamis.
Hal ini menyebabkan materi muatan dalam
Undang-Undang Perusahaan Daerah menjadi tidak
”up to date”dan tidak sesuai lagi dengan undangundang terkait lainnya.
Ketertinggalan ini kemudian dalam praktiknya
membuat pengelolaan perusahaan daerah menjadi
tidak satu irama karena perusahaan daerah yang
berbentuk perseroan mengacu dan tunduk kepada
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah yang
dijadikan rujukan pengelolaan secara Bussines Life
Corporation. Sedangkan Perusahaan Daerah yang
tidak berbentuk perseroan terbatas merujuk pada
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
setempat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memiliki
keterkaitan langsung telah mengalami banyak
perubahan semenjak tahun 1965. Bahkan saat ini
undang-undang tersebut tengah dalam proses
perubahan di lembaga legislatif. Beberapa undangundang terkait juga telah mengalami
perkembangan yang secara filosofis, yuridis dan
terutama sosiologis mengalami perubahan
pengaturan sesuai dengan kondisi politik hukum
dan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
hari ini, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Udang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini
mencoba mengkaji dan menganalisis:
a.
b.
apakah landasan yuridis bagi pengelolaan
BUMD, yakni ketentuan Undang-Undang
Perusahaan Daerah masih relevan bagi
pengelolaan perusahaan daerah saat ini?
bagaimana sinkronisasi pengaturan
pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang
Perusahaan Daerah dengan dinamika
perubahan peraturan perundang-undangan
terkait?
c.
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah)
bagaimana solusi menghadapi persoalan
yuridis terkait pengaturan mengenai
pengelolaan BUMD tersebut?
demokrasi, transparansi, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Tulisan ini ditujukan guna mendapatkan
jawaban atas permasalahan sebelumnya yakni
mendapatkan pengetahuan mengenai:
Tercapainya kesejahteraan masyarakat
merupakan tujuan pembangunan di segala bidang
yang sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam kerangka itulah setiap potensi daerah dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat
terutama di daerah yang bersangkutan. Pengaturan
terhadap berbagai potensi daerah yang dinilai dapat
menjadi sumber peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat tentunya perlu diatur secara
komprehensif sehingga dapat memaksimalkan
tujuan yang hendak dicapai dan meminimalisir
efek-efek negatif yang mungkin timbul.
a.
relevansi ketentuan dalam Undang-Undang
Perusahaan Daerah bagi pengelolaan BUMD
saat ini
b.
sinkronisasi pengaturan pengelolaan BUMD
dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah
dengan dinamika perubahan peraturan
perundang-undangan terkait
c.
solusi yang dapat ditawarkan menghadapi
persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai
pengelolaan BUMD
Guna mencapai tujuan penulisan maka
penulis melakukan kajian secara yuridis normatif
terhadap berbagai literatur terkait pengelolaan
perusahaan daerah, baik melalui kajian terhadap
berbagai ketentuan peraturan perundangundangan terkait maupun literatur pendukung
lainnya termasuk Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (RUU
tentang Pemerintah Daerah) yang saat ini tengah
dalam proses pembahasan tingkat I di DPR. Dalam
kajian tersebut, penulis juga menganalis data-data
dari berbagai literatur dengan kondisi empiris
pengelolaan perusahaan daerah saat ini, guna
menemukan solusi bagi permasalahan yang telah
diidentikasi pada bagian sebelumnya.
B.
Pembahasan
B.1. Kerangka Konseptual
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama
Pasal 18 ayat (1) dan (2), Daerah memiliki hak dan
kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah
dan mengelola kekayaan daerah. Daerah memiliki
kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan
mengoptimalkan segala potensi dari sumber daya
yang dimiliki guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
kesejahteraan masyarakat, peningkatan
pendapatan, pemberdayaan, serta peningkatan
daya saing daerah melalui pembangunan
perekonomian dengan memperhatikan prinsip
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada setiap daerah. Otonomi
yang bertanggung jawab merupakan perwujudan
pertanggungjawaban atas konsekuensi dari
pemberian hak dan kewenangan kepada Kepala
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang
harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi yakni peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi dan
pemerataan daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan.
Pelaksanaan otonomi daerah tentu saja
mempengaruhi pola keuangan daerah, pendapatan
daerah yang sebelumnya lebih banyak dikirim ke
Pemerintah Pusat, kini porsinya lebih banyak
masuk ke kas daerah. Namun sebaliknya, kondisi
ini juga berdampak terhadap pendapatan daerah
yang memiliki sumber daya minim, yang selama ini
biaya pembangunannya disubsidi oleh pemerintah
pusat. Dalam hubungan ini, sebagai sumbersumber penerimaan daerah keseluruhannya dalam
pelaksanaan otonomi dan desentralisasi tersebut
adalah: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana
Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d) Lain-lain
Penerimaan yang sah. Sedangkan PAD tersebut
bersumber dari: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil
retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah
dan hasil kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan
dan (d) lain lain PAD yang sah.1
1
222
Pada dasarnya, setiap pemerintah daerah
mempunyai potensi ekonomi tersendiri, salah
satunya adalah Perusahaan Daerah atau BUMD
yang keberadaannya saat ini masih dipandang
sebelah mata, yang kadang-kadang malah dianggap
sebagai beban bagi Pemerintah Daerah. Keberadaan
badan usaha yang mengelola kekayaan daerah
sebagai salah satu penggerak pembangunan ekonomi
Daerah belum memberikan sumbangan yang optimal
bagi peningkatan pendapatan daerah pada
khususnya dan kontribusi terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Seiring dengan tuntutan otonomi daerah,
penyelenggaraan pembangunan perekonomian di
daerah perlu merestrukturisasi berbagai badan
usaha yang ada sehingga mampu menjadi salah
satu pelaku utama kegiatan perekonomian daerah
melalui pengurusan, pelaporan dan pengawasan
yang profesional dan berdasarkan demokrasi
ekonomi. Hal ini mengingat daya dukung sumber
pendapatan daerah dalam menggantikan
penerimaan yang diperoleh dari Pemerintah pusat
merupakan salah satu isu strategis dari
pelaksanaan otonomi daerah dan sebagai wujud
kemandirian daerah dari segi pembiayaan
pembangunan.
Visi serta misi dan fungsi sosial dari BUMD
sendiri terkandung dalam Pasal 33 UUDNRI Tahun
1945 yang dinyatakan sebagai berikut: (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan mengenai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3)
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, BUMD dituntut agar dapat menggali
potensi daerah dengan tujuan mendulang profit
yang sebesar-besarnya dan menyejahterahkan
masyarakat daerah dengan menempatkan
manajemen BUMD yang professional, akuntabilitas,
kredibilitas, dan integritas.
Mengingat dipandang cukup pentingnya peran
BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD
di Daerah maka tentu saja BUMD dituntut agar
lebih profesional dan lebih efisien dalam
melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya ke
arah itu telah banyak dilakukan, namum karena
berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya,
khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan
Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
223
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
hasil yang belum menggembirakan. Hal ini tampak,
antara lain, relatif masih kecilnya peran dan
kontribusi laba BUMD dalam penerimaan PAD di
daerah, baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten dan kota (lihat Gambar 1).2
BPD = 26 (2,58%) tersebar pada 3503 Jaringan Kantor
BPR = 174 (17,28%)
PDAM = 383 (38,03%)
PD Lainnya = 424 (42,11%)
Gambar 1
Komposisi bentuk BUMD dari Jumlah Total
BUMD sejak tahun Maret 2011
Sumber data: BPKP 2012
Berdasarkan diagram yang bersumber dari
Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri, kontribusi
dari laba BUMD atau hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan masih merupakan
sumbangan terkecil dalam komposisi PAD dari 535
Kabupaten/Kota di 2014 (lihat Gambar 2).
KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM APBD
*Data terinput 535 Daerah dari 539
TA. 2014
Prov/Kab/Kota
Komposisi PAD
Provinsi, Kabupaten/Kota TA 2014
Komposisi PAD Provinsi TA 2014
Gambar 2
Komposisi Pendapatan Asli Daerah dalam
APBD Tahun Anggaran 2014
Sumber data: BPKP 2012
Secara umum, profil BUMD di Indonesia
digambarkan belum mampu memberikan
kontribusi ke PAD pada sejumlah daerah karena
merugi, bahkan beberapa daerah tidak memiliki
BUMD. Peranan BUMD bagi pemerintah daerah
tingkat provinsi masih kecil. Provinsi masih
bertumpu pada pajak daerah dan retribusi. Prestasi
yang mampu dicatat oleh BUMD-BUMD di seluruh
Indonesia memang relatif ketinggalan dibandingkan
dengan BUMN yang sama-sama dimiliki oleh
pemerintah.
Dampak dari diberlakukannya UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah terhadap pengelolaan pemerintah daerah
antara lain bahwa pemerintah daerah harus lebih
bersikap profesional dalam pengelolaan daerahnya
mengingat setiap daerah harus mampu menghidupi
kebutuhan daerahnya sendiri dan bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya
sehingga perlu adanya identifikasi bentuk
organisasi BUMD yang sesuai dengan otonomi
daerah. BUMD diharapkan menjadi salah satu dari
sumber pendapatan asli daerah yang sangat
penting dan menjadi salah satu profit center bagi
pemerintah daerah dan keberadaannya sebagai
jantung bagi penggerak kegiatan di segala sektor
yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Secara sosiologis, pentingnya pengaturan yang
memadai guna mengatur dan merustrukturisasi
BUMD terlihat dari banyaknya persoalaan yang
muncul di berbagai daerah seputar BUMD.
Persoalan ini sudah tidak dapat diakomodir oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah. Kondisi dari mayoritas badan
usaha saat ini yang dimiliki oleh daerah atau selama
ini disebut sebagai perusahaan daerah setidaknya
menunjukkan adanya pengelolaan yang kurang
efektif.
Persoalan yang sering menjadi kendala antara
lain terkait sumber daya manusia, managerial,
modal dan pengawasan. Secara garis besar
permasalahan-permasalahan tersebut dapat
dikelompokkan pada beberapa hal yaitu: Pertama,
masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia
beroperasi secara tidak efisien. Hal ini terjadi antara
lain disebabkan oleh tidak profesionalnya pengelola
dan pengelolaan BUMD sehingga banyak kebijakan
managerial yang diputuskan secara tidak
professional seperti dalam hal investasi baru atau
penentuan tarif sehingga terjadi pemborosan dana.
Inefesiensi BUMD juga disebabkan oleh
ketertinggalan pemanfaatan tekonologi.
Penggunaan mesin-mesin peninggalan kolonial
misalnya, justru menjadi beban bagi perusahaan
daripada meningkatkan produktifitas, mengingat
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah)
beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan
output yang diperoleh.3
Kedua, masalah intervensi dan birokrasi.
Besarnya campur tangan dan lambannya
pemerintah daerah dalam mengantisipasi
perubahan situasi dan kondisi bisnis merupakan
penghambat kemajuan BUMD. Keputusan bisnis
baik yang bersifat strategis maupun keputusankeputusan konvensional lainnya harus melalui
proses birokrasi dan perizinan kepada pemerintah
yang bisa dipastikan memakan waktu dan pada
akhirnya mengganggu gerak perusahaan.4 Dari
aspek governance, misalnya, BUMD juga masih
diperlakukan sama dengan institusi pemerintah.
Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah.
Implikasinya, berbagai kewajiban yang melekat
pada pemerintah, melekat pula pada BUMD.
Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti
ketentuan pengadaan barang yang diberlakukan di
pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena
BUMD adalah perusahaan.5
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku
pemilik, pemerintah daerah memiliki kewenangan
untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di
wilayahnya. Kinerja pengawasan inipun seringkali
menjadi kendala karena unsur yang berada dalam
badan pengawasan adalah pejabat daerah yang
tidak dapat bekerja secara penuh untuk mengawasi
dan mengendalikan perkembangan BUMD
tersebut.6
Keempat, permodalan. BUMD juga
menghadapi masalah minimnya permodalan akibat
kurangnya perhatian pemerintah daerah. Ironisnya,
Pemerintah daerah yang memiliki perhatian lebih
terhadap aspek permodalan pun masih harus
menghadapi ganjalan politik dari pihak legislatif,
sehingga proses penguatan permodalan BUMD
menjadi tidak efisien. Setiap penyertaan modal
harus dilakukan melalui Peraturan Daerah.
Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan:
“Penyertaan modal pemerintah daerah dapat
dilaksanakan apabila jumlah yang akan
disertakan dalam tahun anggaran berkenaan
telah ditetapkan dalam peraturan daerah
224
Pada hakikatnya ketentuan di atas sejalan
dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
menyatakan “Penyertaan modal pemerintah daerah
pada perusahaan negara/daerah/swasta
ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu
pada Undang-Undang ini, memang sudah tepat bila
setiap penyertaan modal Pemerintah daerah ke
BUMD harus melalui Peraturan Daerah (yang
berarti harus mendapat persetujuan DPRD).
Namun terkadang ketentuan ini diinterpretasikan
secara berlebihan karena penyertaan modalnya
harus diatur secara tersendiri dalam satu Perda
khusus, sehingga tidak efisien. Padahal, jika
dianalogikan, praktik penyertaan modal oleh
pemerintah pusat di BUMN, tidak harus melalui
mekanisme persetujuan tersendiri oleh DPR (atau
tidak melalui Undang-Undang tersendiri). Praktek
di tingkat pusat, setiap penyertaan modal
pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara
bersama-sama dalam setiap pembahasan mengenai
Undang-Undang tentang APBN, tidak dengan UU
tersendiri. Setelah Undang-Undang tentang APBN
disahkan, mekanisme penyertaan modal
pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui
peraturan pemerintah yang tidak membutuhkan
persetujuan DPR.7
Selain beberapa permasalahan managerial di
atas, terdapat masalah klasik yang membelenggu
kinerja sebagian BUMD, prinsip dasar peranan dan
fungsi BUMD yang mengharuskan badan usaha
menjalankan fungsi “public service obligation”
sekaligus dengan fungsi “profit gained”. Pada
praktiknya dualisme fungsi dan peranan ini
merupakan kondisi yang sulit untuk diterapkan.
Dilema inilah yang kemudian menjadi persoalan
bagi sebagian besar BUMD, terutama BUMD yang
bergerak di bidang yang terkait dengan kebutuhan
dasar masyarakat dan ditekankan untuk menjadi
perusahaan yang melayani publik. Sementara itu,
secara managerial dan permodalan BUMD ini
membutuhkan status sebagai perusahaan terbuka
karena harus bersaing dengan perusahaan sejenis
milik swasta. Sebagai contoh, PDAM yang
mengalami kesulitan dengan peran “public service
company” sementara perusahaan yang bergerak di
3
Eko Yulianto, “BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah”
http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html
Yogyakarta,
4
ibid
5
Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum'at, 13 Maret 2009.
2
Rustian Kamaluddin, “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran
dalam tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan
BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun 2001
tentang penyertaan modal daerah berkenaan”.
6
Eko Yulianto, Loc. Cit.
7
Sunarsip, Loc Cit.
5
Juni
2000,
diunduh
dari
225
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
bidang yang sama terus bergerak dengan tanpa ada
beban kewajiban peayanan publik semata tetapi
dikelola secara profesional dan mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Yang menarik, ketika ada konsep pembedaan
bidang usaha antara perusahaan yang berorientasi
pada profit dan perusahaan yang melayani
kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana konsep
yang tersirat dalam Undang-Undang Nomor 19
tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Hal
ini memunculkan wacana untuk mengkaji ulang
barang atau benda mana yang dikategorikan
sebagai barang publik atau barang privat.
Namun demikian, dalam pendirian suatu
BUMD, penting juga untuk memperhatikan
multiflier efek yang dihasilkan dalam memenuhi
kebutuhan rakyat banyak sebagai penjewatahan
Pasal 33 UUD 1945, maka perusahaan yang
bergerak di bidang listrik, air minum, dan
kebutuhan masyarakat banyak, haruslah menjadi
perhatian yang serius dari pemerintah.8 Seperti air
minum, pada 5 tahun mendatang akan menjadi
kebutuhan utama pada kota-kota besar. Pada
praktiknya, PDAM adalah contoh BUMD yang
mempunyai fungsi pelayanan publik dominan
sekaligus sumber dana pembangunan daerah.
Pelaksanaan kedua fungsi tersebut justru menjadi
distortif karena kesulitan untuk tetap menjalankan
fungsi service padahal perlu menyesuaikan
perkembangan biaya produksi. Pemerintah daerah
sebagai pemilik perusahaan yang berkewajiban
membina dan mengawasi terkadang cenderung
eksploitatif dan menargetkan penerimaan APBD
dari perusahaan daerah tanpa menghiraukan
apakah perusahaan untung atau rugi.
Dalam berbagai survei penilaian perusahaan
misalnya dari sisi best brand, customer satisfaction,
service excellent, good corporate governance, hampir
tidak pernah dijumpai perusahaan-perusahaan
milik daerah bisa menembus daftar 10 besar.
Sementara itu, banyak BUMN-BUMN yang dahulu
sering dianggap dikelola dengan tidak profesional,
dalam beberapa tahun terakhir ini mampu
menunjukkan kinerja positif dan berada pada
urutan puncak. Dalam hal penerapan praktik
pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate
governance/GCG), selain Bank Pembangunan
Daerah, BUMD umumnya relatif ketinggalan.9
Padahal perusahaan yang mempunyai GCG yang
baik akan mempunyai kinerja yang lebih baik.
Sejalan dengan gambaran di atas, terdapat
berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) lemahnya
kemampuan manajemen perusahaan; (2) lemahnya
kemampuan modal usaha; (3) kondisi mesin dan
peralatan yang sudah tua atau ketinggalan
dibandingkan usaha lain yang sejenis; (4) lemahnya
kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga
sulit bersaing; (5) kurang adanya koordinasi antar
BUMD khususnya dalam kaitannya dengan
industri hulu maupun hilir; (6) kurangnya
perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset
yang dimiliki, sehingga rendahnya produktivitas,
serta mutu dan ketepatan hasil produksi; (7)
besarnya beban administrasi, akibat relatif
besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang
rendah; dan (8) masih dipertahankannya BUMD
yang merugi, dengan alasan menghindarkan PHK
dan “kewajiban” pemberian pelayanan umum bagi
masyarakat; (9) adanya berbagai kendala lain dalam
pembinaan dan pengembangan usaha BUMD
diantaranya adanya campur tangan pemerintah
daerah yang cukup besar atas jalannya organisasi
BUMD serta adanya keterbatasan kewenangan
tertentu dalam operasionalisasi perusahaan.10
Adapun berdasarkan studi literatur dari BUMD
di berbagai negara, beberapa hal yang perlu
diperhatikan guna perbaikan kondisi BUMD
antaralain terkait pengaturan mekanisme
kepemilikan BUMD, pengaturan untuk mengurangi
korupsi dan intervensi oleh Pemerintah Daerah,
ketentuan sumber pemodalan BUMD dan
pengelolaan utang BUMD, ketentuan tentang
sistem peningkatan kompetensi SDM BUMD, dan
dukungan kerjasama dengan pihak ketiga. Pada
intinya BUMD harus beroperasi dengan dasar
hukum yang jelas dan didukung oleh mekanisme
penegakannya sehingga dibutuhkan suatu
prosedur operasi standar efisien.
1.
Kajian terhadap Undang-Undang Nomor 5
tahun 1962 dan Sinkronisasinya dengan
Undang-Undang Terkait.
a.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah
Hal-hal yang diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah di antaranya
8
Yusrizal Andayani, “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005
9
Tirmidzi Taridi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008
10
Rustian Kamaludin, Op cit., hal-8
226
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah)
mengenai sifat, tujuan dan lapangan
usaha BUMD, Pengawasan BUMD,
Kepemilikan BUMD mengingat perubahan
dan perkembangan sistem pemerintahan,
ketatanegaraan serta pengaruh era
globalisasi maka undang-undang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan
ekonomi nasional.
Sebagaimana disadari kondisi saat itu
yang masih berada dalam semangat
demokrasi/ekonomi terpimpin.,
perekonomian daerah belum terbangun
dengan baik, penyediaan jasa kepentingan
umum bagi masyarakat di daerah belum
terselenggara dengan baik, dan persaingan
dunia usaha belum berkembang karena
terbatasnya jumlah pelaku pasar.11
Mengingat perubahan dan
perkembangan sistem pemerintahan,
ketatanegaraan serta pengaruh era
globalisasi maka undang-undang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan
perekonomian saat ini. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan
dan kurang mampu mengakomodasi
penyelenggaraan BUMD dan justru
membuka celah salah kelola dan
penyimpangan. Ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 yang
dianggap perlu dievaluasi antara lain:
a)
dasar dan tatacara pendirian BUMD;
b)
bentuk BUMD yang memaksimalkan
profit dan yang memaksimalkan
pelayanan publik;
c)
kerjasama dengan pihak ketiga;
d)
mekanisme kepemilikan dan
pengambilan keputusan BUMD;
e)
pengangkatan dan kewenangan direksi;
f)
perencanaan jangka panjang dan
pendek perusahaan;
g)
pertanggungjawaban
pengawasan BUMD;
h)
kepegawaian; dan
i)
kebijakan manajemen peningkatan
kinerja BUMD: restrukturisasi dan
lain-lain.
dan
Pengaturan mengenai materi tersebut
sudah tidak dapat mengikuti
perkembangan ekonomi nasional yang
semakin berkembang di tambah dengan
arus globalisasi yang menuntut setiap
daerah untuk dapat bersaing. Dengan
kondisi seperti ini pengaturan mengenai
BUMD harus ada pijakan hukum oleh
karena itu Undang-Undang BUMD
nantinya di bentuk untuk memenuhi asas
ketertiban dan kepastian hukum bagi
BUMD.
b.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1969
Undang-Undang ini mengatur
mengenai pencabutan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tetapi dalam salah
satu pasalnya di sebutkan bahwa selama
belum ada undang-undang pengganti
mengenai perusahaan daerah maka
undang-undang yang lama masih
berlaku. Melihat kondisi ekonomi yang
berkembang, Udang-Undang Nomor 5
tahun 1962 sudah tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembanganperkembangan tersebut maka sangat
dibutuhkan undang-undang baru yang
mengatur perusahaan daerah.
c.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
Mengenai ketentuan yang berkaitan
dengan APBD, pengelolaan barang milik
daerah, pengguna barang milik daerah,
pengelola Investasi Pemerintah Daerah
dan persetujuan pemindahtanganan
barang milik daerah dalam BUMD
mengacu pada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
d.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Pendekatan yang di gunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah
dari sisi obyek, subyek, proses, dan
tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat
11
Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, Bahan Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam
Diskusi Dengan Bagian Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Setjen Dpr Ri, 21 Juli 2014
227
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
dinilai dengan uang, termasuk kegiatan
dan kebijakan dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Dari sisi subjek yang
dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi seluruh objek sebagaimana
tersebut di atas yang dimiliki negara, dan
atau di kuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah.
e.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara
Mengingat BUMD merupakan badan
usaha yang serupa dengan BUMN, maka
pengaturan mengenai BUMD banyak
mengacu pada prinsip-prinsip yang ada
dalam BUMN sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003.
Prinsip-prinsip pengaturan yang paling
signifikan adalah penerapan Good
Coorporate Governance dalam pengelolaan
BUMD sebagaimana yang telah berjalan di
BUMN. Selain itu pembagian dua bentuk
BUMD sesuai titik berat fungsi yang
diemban BUMD sebagai public service
oriented dan provit oriented, yakni
berbentuk Perusahaan Daerah (Perusda)
yang dianalogikan dengan Perusahaan
Umum (Perum) di BUMN dan Perseroan
Daerah (Perseroda) sebagaimana Persero
(PT) di lingkungan BUMN.
f.
Bentuk BUMD terdiri dari perusahaan
daerah dan persero daerah (Perseroda),
Pengaturan mengenai Perseroda mengacu
pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseoran Terbatas baik dari
segi pembentukan, kepengurusan, dan
pembubarannya.
g.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan Pemerintah
228
yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
sumber daya nasional secara adil,
termasuk perimbangan antara pemerintah
dan pemerintahan daerah. Sebagai daerah
otonom, penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan tersebut dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas.
Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
menangani urusan pemerintah
dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Dengan demikian isi
dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak
selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggung jawab adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional.
Pendanaan penyelenggaraan
pemerintah agar terlaksana secara efisien
dan efektif serta untuk mencegah tumpang
tindih ataupun tidak tersedianya
pendanaan pada suatu bidang
pemerintahan, maka diatur
penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari
APBD.
Dengan prinsip itu penyelenggaraan
otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat. Penyelenggaraan
otonomi daerah juga diharapkan dapat
meningkatkan penghasilan daerah dengan
menggali potensi daerah yang ada. Salah
satunya dengan dibentuknya BUMD
untuk memanfaatkan sumber daya di
daerah yang hasilnya diharapkan dapat
meningkatkan PAD dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
h.
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah
Dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan
dan penugasan urusan pemerintahan
kepada daerah secara nyata dan
bertanggung jawab harus diikuti dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
Pendapatan asli Daerah merupakan
pendapatan Daerah yang bersumber dari
hasil pajak daerah, hasil retribusi, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah, yang memberi
keleluasaan kepada daerah dalam
menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi
BUMD merupakan salah satu sumber
pendapatan asli daerah dapat
dikembangkan dengan memperhatikan
potensi sumber daya yang ada di daerah.
Dengan pengelolaan yang baik dan efisien
diharapkan BUMD dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerah.
2.
Solusi bagi Ketidakjelasan Landasan Hukum
Pengelolaan BUMD
Berdasarkan pada kajian dan evaluasi
terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
dan sinkronisasinya dengan berbagai undangundang terkait, maka kita dapat melihat adanya
kebutuhan hukum untuk mengganti UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962. Secara filosofis,
sosiologis, dan yuridis tampak adanya urgensi
untuk membuat pengaturan yang baru terkait
pengelolaan BUMD yang sesuai dengan konteks
kekinian, baik dari sisi hukum maupun sisi
praktik empiris.
Dari sisi substansi, dalam rangka
revitalisasi BUMD, perlu adanya redefinisi
BUMD agar menjadi perusahaan yang
mendukung perekonomian daerah. Dalam hal
ini, definisi yang paling mencakup adalah
definisi yang sejalan dengan pengertian BUMN.
Selain itu, perlu peningkatan daya saing
berfokus pada peluang pasar dan mekanisme
pasar, peningkatan kerjasama dengan
pemerintah daerah yang terkait, peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara
keseluruhan, penetapan peraturan yang
mendukung kegiatan operasional BUMD serta
optimalisasi Badan Pengawas.
Wacana penggantian Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 dengan sebuah undangundang baru telah lama dikembangkan. Pada
Prolegnas Jangka Panjang tahun 2005-2009,
wacana ini diwujudkan dengan masuknya RUU
tentang Perubahan/Penggantian atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 dalam daftar
dengan nomor urut 128. Deputi Perundangundangan Sekretariat Jenderal DPR RI bahkan
telah menyusun draft awal naskah akademik
dan rancangan undang-undangnya, namun
ternyata RUU ini tidak tersentuh sama sekali.
Pada periode keanggotaan DPR tahun
2010-1014, RUU ini kembali masuk dalam
daftar panjang Prolegnas tahun 2010-2014 di
nomor urut 55, dengan judul RUU tentang
Badan Usaha Milik Daerah yang ditetapkan
akan diinisiasi oleh Pemerintah.
Menjelang akhir masa keanggotaan DPR
tahun 2010-2014, dengan beberapa alasan
kemudian Pemerintah memasukkan substansi
RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah ke
dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Materi muatan mengenai BUMD dimasukkan
ke dalam satu bab khusus. Berdasarkan
perkembangan terakhir, Pada masa sidang III
lalu RUU ini tengah dalam masa pembahasan
tingkat I di DPR di tingkat pembahasan tim
perumus.
Beberapa materi muatan pokok dalam Bab
XI Tentang BUMD dalam RUU RUU tentang
Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah meliputi:12
a.
Pendirian dan tujuan pendirian BUMD
Daerah dapat mendirikan BUMD,
yang pendiriannya ditetapkan dengan
Perda dan didasarkan pada:
12
Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni
2014.
229
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
1). kebutuhan daerah; dan
2). kelayakan bidang usaha BUMD yang
akan dibentuk.
Pendirian BUMD bertujuan untuk:
1). m e m b e r i k a n m a n f a a t b a g i
perkembangan perekonomian daerah
pada umumnya;
2). menyelenggarakan kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu bagi
pemenuhan hajat hidup masyarakat
sesuai kondisi, karakteristik dan
potensi Daerah yang bersangkutan
berdasarkan tata kelola perusahaan
yang baik; dan
3). m e m p e r o l e h
keuntungan.
b.
laba
dan/atau
Sumber Modal BUMD
Sumber Modal BUMD terdiri atas:
1). penyertaan modal daerah;
2). pinjaman;
3). hibah;
4). sumber lainnya, seperti: kapitalisasi
cadangan; keuntungan revaluasi aset;
dan agio saham.
c.
Bentuk BUMD
BUMD terdiri atas perusahaan umum
daerah dan perusahaan perseroan daerah.
1). Perusahaan Umum Daerah
Perusahaan umum daerah
adalah BUMD yang seluruh modalnya
dimiliki oleh satu Daerah dan tidak
terbagi atas saham. Dalam hal
perusahaan umum daerah akan
dimiliki oleh lebih dari satu Daerah,
perusahaan umum daerah tersebut
harus merubah bentuk hukum
menjadi perusahaan perseroan
daerah. Perusahaan umum daerah
dapat membentuk anak perusahaan
dan/atau memiliki saham pada
perusahaan lain.
Laba perusahaan umum daerah
ditetapkan oleh kepala daerah selaku
wakil daerah sebagai pemilik modal
sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar dan peraturan perundangundangan. Laba perusahaan umum
230
Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah)
daerah yang menjadi hak daerah
disetor ke kas daerah setelah
disahkan oleh kepala daerah selaku
wakil daerah sebagai pemilik modal.
Laba perusahaan umum daerah
dapat ditahan atas persetujuan
kepala daerah selaku wakil daerah
sebagai pemilik modal dan dapat
digunakan untuk keperluan investasi
kembali (reinvestment) berupa
penambahan, peningkatan dan
perluasan prasarana dan sarana
pelayanan fisik dan non fisik serta
untuk peningkatan kuantitas,
kualitas dan kontinuitas pelayanan
umum, pelayanan dasar dan usaha
perintisan.
Perusahaan umum daerah dapat
melakukan restruksturisasi untuk
menyehatkan perusahaan umum
daerah agar dapat beroperasi secara
efisien, akuntabel, transparan, dan
profesional. Perusahaan umum
daerah dapat dibubarkan dan
ditetapkan dengan Perda. Kekayaan
perusahaan umum daerah yang telah
dibubarkan dan menjadi hak daerah
dikembalikan kepada Daerah.
2). Perusahaan Perseroan Daerah
Perusahaan Perseroan Daerah
adalah BUMD yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruhnya
atau paling sedikit 51% (lima puluh
satu persen) sahamnya dimiliki oleh
satu daerah yang ditetapkan dengan
Perda. Adapun pembentukan badan
hukumnya dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di
bidang perseroan terbatas. Dalam hal
pemegang saham perusahaan
perseroan daerah terdiri atas
beberapa daerah dan bukan daerah,
salah satu daerah merupakan
pemegang saham mayoritas. Dalam
hal terjadi pengurangan porsi
kepemilikan saham oleh daerah yang
memiliki saham mayoritas sehingga
tidak ada satu daerah yang memiliki
saham mayoritas, perusahaan
perseroan daerah menjadi perseroan
terbatas.
Perusahaan perseroan daerah
dapat membentuk anak perusahaan
dan atau memiliki saham pada
perusahaan lain didasarkan atas
analisis kelayakan investasi oleh
analis investasi yang profesional dan
independen.
Perusahaan perseroan daerah
dapat dibubarkan dan dilakukan
sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kekayaan daerah hasil
pembubaran perusahaan perseroan
daerah yang menjadi hak daerah
dikembalikan kepada daerah.
d.
Pengelolaan BUMD
Pengelolaan BUMD paling kurang
harus memenuhi unsur:
1)
tata cara penyertaan modal;
2)
organ dan kepegawaian;
3)
tata cara evaluasi;
4)
tata kelola perusahaan yang baik;
5)
perencanaan, pelaporan, pembinaan,
pengawasan;
6)
kerjasama;
7)
penggunaan laba;
8)
penugasan Pemerintah Pusat;
9)
pinjaman;
10) satuan pengawas intern, komite audit
dan komite lainnya;
11) penilaian tingkat kesehatan,
restrukturisasi, privatisasi;
12) perubahan bentuk hukum;
13) kepailitan; dan
14) penggabungan,
pengambilalihan.
peleburan,
dan
Kepala daerah dan/atau direksi
BUMD dilarang membuat kebijakan yang
merugikan BUMD. RUU ini juga
mengamanatkan pencabutan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah dan menyatakan
ketidakberlakuannya. Untuk peraturan
pelaksana dari Undang-Undang tersebut
selama tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam RUU yang baru, maka
dinyatakan tetap berlaku.
C.
Penutup
Berdasarkan kajian pada bagian
pembahasan, penulis melihat bahwa
ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan
BUMD akibat tidak mutakhirnya pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah sudah disadari
sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai
pembentuk undang-undang dengan
memasukkan rencana penggantian terhadap
Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua
periode (2004-2009 dan 2010-2014).
Namun baru pada akhir periode 2014 ini
wacana ini diwujudkan, pun bukan dalam
bentuk perubahan atau penggantian undangundang, namun hanya menyisipkan materi
pengaturan tentang BUMD dalam satu bab
khusus dari RUU tentang Perubahan UndangUndang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Materi yang diatur dalam
Bab tersebut tidak secara komprehensif
mengatur dan menggantikan materi muatan yang
ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah. Pengaturan
secara lebih dlanjut didelegasikan ke dalam
Peraturan Pemerintah.
Tentu saja terdapat kekurangan dan
kelebihan dari solusi yang dijalankan oleh
pembentuk undang-undang saat ini. Dengan
waktu yang sudah tidak memadai lagi, akan sulit
jika mencoba membentuk RUU penggantian atau
perubahan secara keseluruhan. Proses
pembentukan undang-undang yang relatif tidak
pendek, tidak memungkinkan pembentukan
RUU tersebut pada periode keanggotaan saat ini.
Namun dari sisi substansi, dengan materi
pengaturan yang hanya memuat garis besar
pengaturan dan memberikan delegasi kepada
peraturan pemerintah untuk pengaturan lebih
lanjut maka dikhawatirkan akan ada materi yang
tidak atau belum terakomodir.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah
memastikan bahwa peraturan pemerintah
pelaksana dari ketentuan mengenai BUMD harus
dapat mengakomodir berbagai hal yang belum
terangkum dalam RUU sehingga tidak terjadi
kekosongan pengaturan. Hal yang lebih penting
adalah menyegerakan pembentukan peraturan
pemerintah yang dimaksud setelah RUU disahkan
menjadi undang-undang.
231
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232
Daftar Pustaka
“Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 Tentang Perusahaan Daerah,” Bahan
Presentasi Kementerian Dalam Negeri
Dalam Diskusi Dengan Bagian Pengawasan
Pelaksanaan Undang-Undang Setjen DPR
RI, 21 Juli 2014
Andayani, Yusrizal., “BUMD, Antara Harapan dan
Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember
2005
Kamaluddin, Rustian., “Peran dan Pemberdayaan
BUMD Dalam Rangka Peningkatan
Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok
pikiran dalam tulisan ini, naskah aslinya
dalam bentuk dan analisis yang berbeda
disusun dan disajikan pada Rapat
Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh
Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6
Desember 2000), Majalah Perencaan
Pembangunan, Edisi 23 Tahun 2001
Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos
Group, Jum'at, 13 Maret 2009.
Taridi, Tirmidzi., “Menyehatkan BUMD dengan
GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008
Yulianto, Eko., “ BUMD: Potret Buram Perusahaan
Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000, diunduh
dari
PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERIKANAN DI ZONA EKONOMI
EKSLUSIF INDONESIA (ZEE)
Peraturan Perundang-undangan
(LAW ENFORCEMENT SYSTEM IN THE FIELD OF FISHERIES IN INDONESIAN
EXCLUSIVE ECONOMIC ZONE)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
Eka Martiana Wulansari
Bagian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-undangan
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia
Email : [email protected]
(Naskah diterima 20/08/2014, direvisi 03/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang
No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni
2014.
Abstrak
Penegakan hukum di bidang perikanan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari penegakan hukum di perairan
atau laut. Penegakan hukum di perairan atau laut sendiri secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau
aparaturnya berdasarkan kedaulatan negara dan/atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang
bertujuan agar peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun aturan hukum
internasional dapat diindahkan atau ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek
hukum, dan dengan demikian dapat tercipta tertib hukum nasional maupun tertib hukum internasional. Penegakan
kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Konvensi Hukum Internasional, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tentang penegakan
hukum dalam bidang perikanan di Indonesia merupakan kebijakan yang dibuat dengan tujuan untuk memecahkan
masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dan keikutsertaan
masyarakat yang dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan tersebut, mulai dari perumusan, pelaksanaan
sampai dengan penilaian kebijakan. Hal ini sejalan dengan kaidah internasional tentang perlunya pengelolaan
perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries dari FAO, Tahun 1995).
Kata kunci: Penegakan Hukum di Bidang Perikanan
Abstract
Law enforcement in the fisheries sector is basically one part of law enforcement in the water or sea. Law enforcement in the
water or ocean is generally defined as an activity or a state apparatus based on the sovereignty of the state and/or under
the provisions of international law that aims to applicable legislation in the sea either national legislation or the rules of
international law can be respected or obeyed by any person or legal entity, including the state as a legal subject, and thus
can create a national legal order and the international legal order. Sovereignty and law enforcement in Indonesian water, air
space, seabed and subsoil thereof, including the natural resources contained therein as well as sanctions for the offense,
carried out in accordance with the provisions of the Convention on International Law, and the legislation in force. The
regulation of law enforcement in the field of fisheries in Indonesia is a policy that is created with the aim to solve the problem
or achieve the desired goals of society by involving the community and community participation can influence the overall
policy process, starting from the formulation, implementation to policy assessment. This is in line with international rules on
the need for responsible fisheries management (Code of Conduct for Responsible Fisheries of FAO, 1995).
Keywords: Law Enforcement in the Field of Fisheries
A.
Pendahuluan
Sumber perikanan merupakan sumber
kekayaan alam hayati yang mempunyai
kemampuan memperbaharui diri sehingga sumber
perikanan dapat secara terus menerus
dikembangkan dan hasilnya dapat dimanfaatkan
secara terus-menerus. Sumber perikanan ini dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh umat
manusia. Pengelolaan sumber perikanan melalui
pembatasan konsumsi ikan
harus dilakukan
dengan cara yang bijaksana. Tujuannya adalah agar
dapat memberikan keuntungan bagi kesejahteraan
umat manusia, baik di masa kini maupun di masa
yang akan datang, sehingga kebutuhan manusia
akan makanan dapat selalu terpenuhi.1 Perikanan
1
Douglas M. Jhonston, The Internasional Law of Fisheries, Aframework for Policy-Oriented inquiries, Martinus Nijhoff Piblishers Dordrecht,
1986, hlm. 3
232
233
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
dalam hal pengaturan, penangkapan, pemrosesan,
penjualan persediaan perikanan dan budidaya
perairan atau budidaya ikan merupakan sumber
makanan, pekerjaan, pemasukan dan rekreasi
yang penting bagi semua orang di dunia. Jutaan
orang bergantung pada perikanan untuk kehidupan
mereka. Semua pihak yang terkait
dalam
perikanan harus membantu melestarikan dan
mengatur perikanan dunia.
Ikan merupakan shared stocks yang tidak
dapat dicegah perpindahannya dari satu wilayah ke
wilayah yang lainya. Perpindahan ini tidak menjadi
masalah jika masih terjadi di dalam satu wilayah
negara, akan tetapi jika perairan yang dijelajahi
melintasi wilayah beberapa negara,
maka
pemanfaatan dan pengelolaan ikan tidak dapat
hanya diserahkan kepada satu negara tertentu,
tetapi harus melibatkan negara-negara yang
berkepentingan, khususnya jika penangkapan ikan
tersebut dilakukan di perairan yang terletak di luar
wilayah negara.2
Praktek penangkapan spesies ikan yang
berlebihan dari populasi atau jumlahnya,
merupakan masalah yang masih berlangsung.
Konsekuensi ekonomi dari penangkapan yang
berlebihan meliputi overkapitalisasi oleh nelayan
sehingga ikan menjadi langka, kenaikan biaya
produksi dan harga pasar. Solusi untuk
penangkapan ikan yang berlebihan yaitu dengan
berusaha untuk membatasi hasil dan jumlah ikan
yang ditangkap ke tingkat yang berkelanjutan.
Setiap nelayan masih akan mendapatkan
keuntungan dari menangkap ikan sampai biaya
produksi sama dengan harga pasar.3 Penangkapan
ikan berlebihan juga menyebabkan banyak
konsekuensi biologis. Sebagai spesies yang
terhubung melalui rantai makanan, terdapat efek
signifikan dari penangkapan yang berlebihan.
Penghapusan atau pengurangan spesies ikan akan
mengakibatkan penurunan populasi spesies dan
menghapuskan spesies yang lebih kecil.4
Pembagian jumlah tangkapan ikan (catch
shares) adalah proporsi/jumlah spesifik yang
diperbolehkan dalam penangkapan ikan dan
berlaku bagi individu yang selanjutnya bebas
memperdagangkannya kembali. Strategi pembagian
jumlah tangkapan ikan dikembangkan untuk
meningkatkan efisiensi dan keuntungan ekonomi
yang lebih besar di industri perikanan, khususnya
pada level domestik. Namun dampaknya bagi
kesamarataan pendapatan dan kontribusinya
terhadap konservasi lingkungan semakin
dipertanyakan. Pada akhirnya, strategi pembagian
jumlah tangkapan ikan memerlukan penegakan
hukum yang efektif, yang sulit dilaksanakan secara
institusional maupun praktik di sektor perikanan
dunia internasional. Umumnya pembagian jumlah
tangkapan ikan bukanlah jalur yang dapat
menjamin peningkatan pengelolaan sektor
perikanan internasional. Strategi seperti ini justru
dapat mengalihkan langkah-langkah penting bagi
masyarakat internasional dalam meningkatkan
upaya konservasi sumber daya laut secara global.5
Di samping potensi laut yang dimiliki, berbagai
masalah juga terdapat dalam bidang kelautan,
antara lain adanya pencemaran laut, gejala
penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik
habitat pesisir, pencurian ikan, pembuangan
limbah secara illegal dan illegal fishing. Illegal
Fishing tidak hanya menimbulkan kerugian bagi
negara, tetapi juga mengancam kepentingan
nelayan Indonesia, iklim industri, dan usaha
perikanan nasional. Dilihat dari sisi kepentingan
nelayan dan pengusaha, illegal fishing mengancam
potensi ketersediaan ikan, menyebabkan terjadinya
penurunan stock ikan secara besar-besaran. Dari
sisi kepentingan industri dan pengusahaan
perikanan, illegal fishing menimbulkan iklim
persaingan usaha dan industri di bidang perikanan
menjadi tidak sehat, citra perikanan nasional
terpuruk dan kemungkinan Indonesia akan
menghadapi ancaman embargo dari negara-negara
pengimpor produk ikan asal Indonesia.6
Permasalahan yang mengakibatkan maraknya
aktifitas illegal fishing adalah: (1) rentang kendali dan
luasnya wilayah pengawasan, tidak sebanding
dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini;
(2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada
pengawasan di laut, (3) lemahnya kemampuan
Sumber Daya Manusia nelayan Indonesia, dan
2
Melda Kamil Ariadno, Ketentuan Hukum Internasional tentang Perikanman, dalam buku yang berjudul: Hukum Internasional Hukum
yang Hidup, Penerbit: Diadit Media, April 2007, hlm. 119
3
Ibid.,
4
Ibid.,
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu
rente ekonomi atau broker, (4) masih lemahnya
penegakan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan
komitmen antar aparat penegak hukum.7
Selain itu, selama ini banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan yang
dilakukan oleh kapal-kapal asing. Pelanggaranpelanggaran tersebut antara lain: pelanggaran
daerah penangkapan ikan
dan pelanggaran
yuridiksi oleh kapal kapal penagkap ikan asing;
kegiatan penangkapan ikan tampa izin atau masa
berlakunya sudah habis; manipulasi surat izin
penangkapan ikan dan/atau surat izin
kapal
penangkapan ikan; penggunaan alat tangkap yang
tidak sesuai dengan ijin dan/atau penggunaan alat
tangkap yang merusak sumber daya ikan. Banyak
kapal-kapal nelayan asing, baik yang berizin
maupun yang tidak berizin (antara lain dari jepang,
korea, vietnam, philiphina dan taiwan), beroperasi
di perairan ZEE yang kaya akan berjenis-jenis ikan.
Tindakan kapal-kapal nelayan asing yang tidak
berizin, jelas mengakibatkan kerugian bagi
Indonesia karena sebagian sumber perikananya
dimanfaatkan oleh para nelayan asing tersebut.8
6
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI,
hlm.1
234
Tragedi Kepemilikan Bersama (tragedy of the
common) adalah suatu pandangan tentang
keinginan untuk meraih untung yang banyak
untuk kepentingan pribadi daripada membagibagikannya kepada manusia lain dan masingmasing mendapat jatah sedikit. Pandangan seperti
ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak
yang memakai banyak sumber daya alam, namun
B.
Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum di Bidang
Perikanan
B.1. Tragedy of The Commons
Sistem kepemilikan sumberdaya laut (marine
tenure) merupakan salah satu isu sentral dalam
wacana pengelolaan sumberdaya laut. Jika kita
lihat sejarah wacana ini, maka akan ditemukan
bahwa popularitas isu ini berawal dari artikel
Hardin (1968) yang berjudul 'The Tragedy of the
Commons.9 Dalam tulisannya yang diterbitkan
dalam jurnal Science, Hardin mengatakan bahwa
sumberdaya alam yang bukan merupakan objek
kepemilikan atau dia sebut common property (milik
umum) yang juga berarti bukan milik siapa-siapa
(free for all), cenderung akan mengalami over
eksploitasi. Hal ini terjadi karena, terhadap
sumberdaya alam tanpa kepemilikan, secara
individual orang akan terdorong untuk
memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa
pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam
akan habis dan justru berdampak negatif bagi pihak
yang memakai dan bagi manusia lain.11
Indikator umum yang digunakan dalam
menilai tingkat kemajuan suatu negara atau
wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Idealnya,
saat pertumbuhan ekonomi terjadi, lingkungan
tetap lestari. Kenyataan yang terjadi sering tidak
seimbang. Di saat pertumbuhan ekonomi cukup
tinggi, kerusakan lingkungan juga tinggi. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan ekonomi diraih
dengan mengandalkan eksploitasi sumberdaya
alam tanpa mengupayakan nilai tambah dan tidak
dibarengi dengan investasi sumberdaya manusia.
Terjadilah kemudian tragedi kepemilikan bersama
(tragedy of the common). Tragedi kepemilikan
bersama merupakan perangkap sosial yang
biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang
menyangkut konflik antara kepentingan individu
dan barang milik umum.12
7
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI,
hlm.2
8
Sub-direktorat Pengawasan dan Pengendalian, Direktorat Jenderal Perikanan Kementrian Perikanan Republik Indonesia, Laporan
Penelitian: Evaluasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan dalam Rangka Pengembangan dan Pengemdaliannya, 1995, hlm. 18.
9
Ringkasan dari disertasi penulis pada Dept. Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 2002.
10
Ibid., hlm. 20
11
Ibid.,
5
Holly Doremus, Why International Catch Shares Won't Save Ocean Biodiversity, Michigan Journal of Environmental & Administrative Law
Spring 2013, 2 MIJENVAL 385, 2 Mich. J. Envtl. & Admin. L. 385, Copyright (c) 2013 Michigan Journal of Environmental & Administrative Law;
Holly Doremus, hlm. 386
memikirkan akibat buruknya yang akan diderita
oleh lingkungan dan manusia-manusia itu secara
kelompok. Dengan mengambil contoh padang
rumput, Hardin menjelaskan:10
'Adding together the component partial utilities,
the rational herdsman concludes that the only
sensible course for him to pursue is to add another
animal to his herd. And another and another…
But that is the conclusion reached by each and
every rational herdsman sharing a commons.
Therein is the tragedy. Each man is locked into a
system that compels him to increase his herd
without limit—in a world that is limited. Ruin is
the destination toward which all men rush, each
pursuing his own best interest in a society that
believes in the freedom of the commons. Freedom
in a commons brings ruin to all.'
12
http://kalimantankita.com/ 2009/06. Pertumbuhan Ekonomi Lingkungan dan Tragedi Kepemilikan Bersama. l di down load pada
tanggal 29 Oktober 2010.
235
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
Tragedi kepemilikan bersama merupakan
metafora yang menggambarkan bahwa akses bebas
dan ketidakterbatasan akan sumberdaya alam pada
akhirnya akan menyebabkan malapetaka
struktural yang tidak terelakkan terhadap
sumberdaya tersebut berupa eksploitasi berlebihan
(over-exploitation) yang menyebabkan habisnya
sumberdaya tersebut. Malapetaka tersebut terjadi
karena keuntungan dari ekploitasi hanya dinikmati
oleh individu atau kelompok, sedangkan dampak
dari eksploitasi akan terdistribusi ke semua orang
yang juga memerlukan sumberdaya tersebut.
Terjadinya tragedi kepemilikan bersama
diakibatkan oleh pemikiran bahwa sumberdaya
alam adalah milik semua orang yang telah
diciptakan Tuhan YME, sehingga siapa saja dapat
memanfaatkannya. Dalam logika sederhana, prinsif
ini lebih kurang bermakna ”Kalau tidak saya
manfaatkan sekarang, pasti ada orang lain yang
juga akan memanfaatkannya”. Konsep ini akhirnya
membuat semua penduduk menggunduli hutan di
Inggris pada masa revolusi industri dan
mengubahnya menjadi padang penggembalaan
untuk memelihara domba, karena tingginya
permintaan wool dengan harga yang
menguntungkan. Akibatnya eksploitasi hutan
menjadi tidak terkendali dan menyebabkan hutan
di Inggris mengalami penggundulan dengan sangat
cepat dan berdampak buruk pada lingkungan.
Tragedi kepemilikan bersama itulah yang
tampaknya telah mendorong terjadinya berbagai
praktek illegal dalam penggunaan sumberdaya
alam seperti illegal logging, illegal mining, bahkan
illegal fishing.13
Eksploitasi yang berlebihan dipicu oleh
permintaan ikan yang tinggi, karena pertambahan
penduduk atau berkurangnya sumber daya di
daratan. Timbul dilema antara peningkatan
teknologi alat tangkap untuk tujuan meningkatkan
produksi hasil tangkap dengan sumberdaya ikan
yang semakin habis. Salah satu upaya non teknis
untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan
pengontrolan kepentingan individu atau kelompok
terhadap sumber daya agar mengambil pada
standar-standar yang wajar. Hal ini juga bisa
dipertegas dengan beberapa aturan pemerintah.
13
Pada sisi lain dalam ilmu manajemen kelautan
terdapat permasalahan pemanfaatan ruang pesisir
dan laut, di mana setiap sektor atau institusi dan
stakeholder lainnya sama-sama merasa memiliki
hak dan kewenangan pada ruang tertentu di pesisir,
sehingga aktivitas akan overlaping (tumpang tindih)
atau bahkan saling bertentangan, yang bisa
berakibat buruk pada keberadaan ruang pesisir
tersebut. Misalnya ekosistem hutan bakau, ketika
Dinas Perikanan dan Kelautan ingin
menggunakannya sebagai lahan tambak udang
dengan konversi lahan, Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan akan menjadikannya sebagai
wilayah konservasi, Dinas Kehutanan ingin
melakukan rehabilitasi bakau, dan masyarakat
sekitar ingin menjadikannya sebagai lahan mencari
nafkah. Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan
dengan cara teknis, misalnya dengan pembagian
lahan, karena keterbatasan lahan itu sendiri.
Permasalahan ini diselesaikan dengan
meningkatkan koordinasi antar sektor untuk
menjadikan pesisir sebagai wilayah perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi secara terpadu
(terintegrasi) termasuk di dalamnya melibatkan
masyarakat.14
Salah satu kritik terhadap teori Hardin datang
dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa tidak
sedikit komunitas tradisional yang menganggap
sebagai objek dari pemilikan komunal (communal
marine tenure). Studi mengenai communal marine
tenure (selanjutnya disingkat CMT) yang popular
dalam antropologi sejak tahun 1970an ini,15
menunjukkan keyakinan Hardin mengenai prinsip
bahwa laut adalah free for all tidak selamanya
benar.16 Beberapa komunitas terbukti
mengembangkan pranata kepemilikan terhadap
wilayah laut. Ini berarti, pada komunitas-komunitas
tersebut, 'use rights for the resource are controlled by
an identifiable group and …there exist rules
concerning who may use the resource, who is
excluded from using the resource, and how the
resource should be used.'17
Selain itu, keberadaan praktek kepemilikan
komunal juga menunjukkan bahwa kecenderungan
pola fikir individualisme seperti diasumsikan Hardin
tidak selamanya benar. Malahan sebaliknya,
http:// Normansyah.org/wiki/Tragedi_Kepemilikan_Bersama l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010.
14
http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The Commons Kaitannya Dengan Ilmu Management Kelautan. html. l di down load pada
tanggal 29 Oktober 2010.
15
Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K. Ruddle and T. Akimichi (eds) Maritime Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9.
Osaka: National Museum of Ethnology
16
McCay, B.J and S. Jentoft and J.M. Acheson (eds). 1987. The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources.
Tucson: The University
17
Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press
236
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
berkembangnya pranata kepemilikan komunal
menunjukkan kemampuan komunitas
mengembangkan kerjasama untuk menghindari
tragedy of the commons. Lebih jauh, Berkes18
mengatakan bahwa CMT memiliki lima peran
penting. Pertama, CMT menjamin keamanan
penghidupan (livelihood security) dengan memberi
kesempatan kepada setiap anggota komunitas
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya
melalui jaminan akses terhadap sumberdaya alam
penting. Peran kedua adalah sebagai alat resolusi
konflik. Berkes percaya bahwa CMT menyediakan
mekanisma untuk memberi akses pemanfaatan
yang sama kepada semua anggota komunitas.
Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota
komunitas sebagai akibat dari perebutan akses
terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah.
Ketiga, CMT berfungsi mengikat anggota-anggota
komunitas menjadi suatu kesatuan sosial yang
kompak. Hal ini terjadi karena CMT secara eksplisit
menghubungkan keanggotaan komunitas dengan
penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini
memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan
kerjasama. Keempat, CMT bersifat konservasi
karena ia biasanya terkait dengan prinsip 'taking
what is needed.' Terakhir, Kelima CMT berfungsi
untuk menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan
dengan asumsi bahwa praktek CMT didasari prinsip
penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan
siklus alam. Namun demikian, hal yang
disayangkan oleh mereka yang sependapat dengan
Berkes, adalah praktek pengelolaan sumberdaya
laut tradisional, termasuk CMT, semakin
menghilang. Johannes 19 berpendapat bahwa
ekonomi pasar, hancurnya struktur otoritas
tradisional, aplikasi aturan-aturan dan praktek
baru oleh negara, merupakan faktor-faktor yang
telah menyebabkan degradasi praktek CMT di
Oceania. Johannes mengatakan bahwa saat
komunitas terkespose dengan ekonomi pasar, uang
menjadi issu sentral dalam kehidupan ekonomi
mereka. Dalam usaha memperoleh sebanyak
mungkin uang, orang terdorong untuk
meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya
laut dengan mengalokasikan lebih banyak waktu
dan mengadopsi teknologi yang lebih efektif.
Ditambah dengan kebijakan pembangunan
pemerintah yang juga menekankan pada prinsip-
prinsip maksimalisasi keuntungan, pemimpinpemimpin tradisional dipaksa oleh masyarakat dan
pemerintah untuk menghentikan 'perlindungannya'
terhadap praktek CMT. Kondisi demikian semakin
parah pada saat pemerintah kolonial atau modern
mengaplikasikan undang-undang dan aturanaturan baru atas dasar tradisi Eropa, 'freedom of the
seas'.20
Bagi Johannes, erosi CMT tidak hanya
menyangkut masalah hilangnya traditional wisdom
tetapi juga lenyapnya sebuah potensi untuk
menghindari kehancuran sumberdaya alam dan
lingkungan. Oleh karena itu mereka menganggap
erosi CMT lebih jauh haruslah dihindari. Untuk itu
diusulkan kepada pemerintah untuk secara formal
mengakui keberadaan CMT. Johannes21 percaya
bahwa pengakuan legal formal pemerintah terhadap
CMT 'akan menguatkan kemampuan komunitas
untuk mengawasi sumberdaya laut sesuatu yang
seringkali dilakukan secara sukarela jika hak-hak
mereka terlindungi. Sebaliknya, legislasi yang
melemahkan atau menihilkan CMT akan
meningkatkan beban tanggung jawab pemerintah
dan menambah beban departemen perikanan yang
seringkali telah kekurangan staf.' Dengan demikian,
diyakini legislasi yang sesuai dan melindungi CMT
tidak hanya akan melanggengkan kapabiltias
masyarakat tradisional tetapi juga menjamin
praktek pengelolaan sumberdaya laut yang effektif
dan berkelanjutan. Selain itu, legislasi ini akan
mengurangi beban tanggung jawab pemerintah
dalam hubungannya dengan perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan serta
pendanaan praktek pengelolaan sumberdaya laut.
B.2. Soveregn Rights (Hak Berdaulat Negara)
Hak berdaulat (sovereign rights) merupakan
kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah
tertentu yang pelaksanaannya haruslah tunduk
pada aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat
internasional. Yang artinya adalah hak berdaulat
suatu negara haruslah merupakan konsensus dan
mendapat persetujuan dari negara lain. Hak
berdaulat umumnya mengatur tentang
pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut
pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam
wilayah Kedaulatan negara sebagaimana tersebut
diatas.22 Hak-hak berdaulat (sovereign rights) adalah
18
Ibid.,
Johannes, R.E. 1978. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania and Their Demise. Annual Review of Ecology and Systematics
9:249-364.hlm.356
20
Ibid., hlm. 358
21
Ibid., hlm. 360
22
Ibid., ferryjunigwan.wordpress.com/2009/09/15/3/
19
237
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
hak-hak eksklusif yang dilaksanakan oleh negara
pantai dan berlaku terhadap sumber-sumber daya
alam dalam wilayah/batas tertentu yang telah
ditetapkan.23
terletak di antara pulau-pulau, dibatasi
atau dikelilingi oleh garis-garis pangkal,
tanpa memperhatikan kedalaman dan
lebar laut-laut tersebut. Pada wilayah
perairan kepulauan ini, kapal-kapal asing
memiliki hak lewat berdasarkan prinsip
lintas damai (innocent passage) dan bagi
kepentingan pelayaran internasional
kapal-kapal asing juga mempunyai hak
lewat melalui sea lanes. Adanya hak lewat
kapal asing berdasarkan prinsip lintas
damai, membedakan antara hak dan
kewenangan antara perairan pedalaman
dan perairan kepulauan.
Hak dan kewenangan atas laut diatur dalam
UNCLOS (Convention on The Law of The Sea of 1982)
yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat
kewenangan bagi negara yang bersangkutan. Ada
beberapa jenis laut yang mendapatkan perhatian
dikaitkan dengan pengelolaannya, baik bagi negara
itu sendiri, bersama dengan negara-negara tetangga
ataupun dengan memperhatikan kepentingankepentingan regional dan internasional. Secara
prinsip dalam kaitannya pengelolaan sumber daya
laut dan perikanan, perlu diperhatikan 3 (tiga) jenis
laut, meliputi:24
1.
Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi
suatu negara atau dikenal sebagai wilayah
kedaulatan suatu negara, meliputi laut
pedalaman, perairan kepulawan dan laut teritorial.
2.
Wilayah laut dengan hak berdaulat atas
kekayaan alam yang dikandung serta memiliki
kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu,
meliputi wilayah perairan Zona Tambahan, zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.
3.
Wilayah laut, dimana suatu negara memiliki
kepentingan namun tidak memiliki kedaulatan
kewilayahan ataupun kewenangan dan hak
berdaulat atas laut tersebut meliputi wilayah
perairan laut bebas atau ZEE dan dasar laut
internasional di luar landas kontinen.25
c)
b)
Perairan Kepulauan
Bagian luar perairan pedalaman adalaah
perairan kepulauan. Wilayah perairan ini
dapat dipahami sebagai laut-laut yang
Di dalam zona ini setiap negara mempunyai
hak-hak berdaulat atas kekayaan alam,
terutama perikanan serta mempunyai
kewenangan untuk memelihara lingkungan
laut, mengatur dan mengijinkan penelitian
ilmiah kelautan serta pemberian ijin
pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi,
dan bangunan-bangunan laut lainnya.28
Laut Teritorial.
Berkaitan dengan kewenangan atas pengelolaan sumber daya perikanan, setiap Negara
dapat menetapkan Maximum Sustainable Yield
(MSY), dan untuk menjaga atau menjamin
kelestarian kekayaan alam jenis ini dapat
ditetapkan Total Allowable Catch (TAC).
Selanjutnya setiap negara dapat menetapkan
kapasitas pengambilan kekayaan alam
(capacity to harvest). Apabila dalam
perhitungan antara TAC dan kapasitasnya
didapatkan suatu nilai surplus, maka setiap
Negara dapat menawarkan kelebihan ini
kepada negara-negara berkembang yang
berdekatan untuk memanfaatkan kelebihan ini
melalui suatu pengaturan, baik dalam bentuk
joint venture atau membayar dengan fee
tertentu. Perlu ditekankan, bahwa dalam zona
ZEE Indonesia tidak ada hak Negara lain untuk
menangkap ikan, kecuali dengan ijin yang
dikeluarkan oleh pemerintah suatu Negara
berdasarkan pengaturan tersendiri.
Jenis wilayah laut yang kedua bagi sebuah
negara kepulauan meliputi wilayah laut dengan hak
berdaulat atas kekayaan alam yang dikandung
serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal
tertentu, mencakup:26
a)
Zona Tambahan.
Di luar laut teritorial, terdapat laut-laut di
mana setiap negara mempunyai kewenangankewenangan tertentu. Zona tambahan dapat
ditetapkan sampai ke batas 12 mil laut di luar
laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis
pangkal. Pada zona ini, setiap Negara memiliki
hak untuk melaksanakan kewenangankewenangan tertentu dalam mengontrol
pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang
bea cukai/pabean, keuangan, karantina
kesehatan, pengawasan imigrasi dan menjamin
pelaksanaan hukum di wilayahnya.
Perairan Pedalaman.
Merupakan bagian dari wilayah perairan
kepulauan. Pada wilayah ini, setiap negara
memiliki kedaulatan mutlak dan kapalkapal asing tidak mempunyai hak lewat.
Ketentuan mengenai penetapan perairan
pedalaman telah diatur di UNCLOS 1982.
berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber daya alam
baik hayati maupun non hayati dari perairan di
atas dasar laut dan berkenaan dengan kegiatan
lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomi zona tersebut, seperti produk energi
dari air, arus dan angin.27
Adalah wilayah perairan diluar perairan
kepulauan yang lebarnya tidak melebihi
12 mil laut yang diukur dari garis pangkal.
Di wilayah laut ini setiap negara juga
memiliki kedaulatan penuh. Seperti
halnya yang berlaku di wilayah perairan
kepulauan, kapal-kapal asing memiliki
hak lewat berdasarkan lintas damai.
Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh
berarti bahwa di wilayah ini negara memiliki
kedaulatan mutlak atas ruang udara serta dasar
laut dan tanah dibawahnya, meliputi:
a)
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
b)
c)
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Menurut UNCLOS 1982 Pasal 55 dan Pasal 56
ayat 1a, ZEE adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial. Lebar
zona ini tidak lebih dari 200 mil laut dari garis
pangkal. Di ZEE setiap negara memiliki hak
Landas Kontinen.
kekayaan alam meliputi dasar laut dan tanah
di bawahnya dari daerah di bawah permukaan
laut yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah daratannya
hingga pinggiran luar tepian kontinen (continen
margin), atau hingga suatu jarak 200 mil laut
dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial
diukur, dalam hal pinggiran luar tepian
kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal
76 ayat 1). Selanjutnya, negara pantai memiliki
kesempatan untuk dapat menetapkan batasan
luar landas kontinen lebih lebar dari 200 mil
laut dari garis pangkal.
d)
Batas Landas Kontinen Hingga 200 Mil Dari
Garis Pangkal.
Batas Landas Kontinen di luar 200 dapat
diajukan hingga maksimal 350 mil laut.
Khusus untuk Batas Landas kontinen ini PBB
memberikan batasan waktu pengajuan hingga
tahun 2009. Oleh karena itu kemungkinan
Indonesia untuk menetapkan Landas Kontinen
lebih dari 200 mil laut atau 350 mil laut harus
segera ditindak lanjuti.
C.
Sistem Penegakan Hukum dalam Bidang
Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (ZEE)
Pengaturan tentang Perikanan diatur dalam
hukum internasional maupun hukum nasional
di setiap negara. Pengaturan tentang Perikanan
dalam beberapa ketentuan hukum
Internasional, antara lain:
Pertama, Ketentuan dalam 1993 FAO
Compliance Agreement yang merupakan upaya
mencegah Illegal, Unreported and Unregulated (IUU)
Fishing yang menyatakan bahwa:29
Landas Kontinen (continental shelf) adalah pada
awalnya merupakan istilah geologi. Istilah ini
merujuk pada fakta geologis bahwa daratan
pantai akan menurun ke bawah laut dengan
kemiringan kecil hinga di suatu tempat tertentu
menurun secara terjal kedasar laut. Bagian
tanah dasar laut dengan kemiringan kecil
tersebut merupakan landas kontinen.
(2) S e t i a p n e g a r a b e r k e w a j i b a n u n t u k
Pada UNCLOS III telah ditetapkan Landas
kontinen dengan pengertian yuridis
kewenangan suatu negara pantai atas
melaksanakan yurisdiksi dan kontrolnya
secara efektif pada setiap kapal yang
mengibarkan benderanya (preamble)
(1) Setiap negara diminta mengambil tindakan
aktif untuk mencegah pembenderaan kembali
kapal yang dimiliki oleh warganegaranya
dengan tujuan untuk menghindari ketentuan
konservasi dan manajemen kegiatan
penangkapan ikan di laut bebas (preamble)
23
Op.cit., Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, www.bakorkamla.go.id
Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, www.bakorkamla.go.id, © Penerbit:
Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, ISBN : 978-602-8741-01-9, hlm.24
25
Ibid.,
26
Ibid.,
24
238
27
Anwar, Chairul, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum laut 1982, Djambatan, 1989
28
Ibid.,
29
Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993
FAO Compliance Agreement)
239
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
(3) Praktek pembenderaan dan pembenderaan
kembali yang dimaksudkan untuk
menghindari keberlakukan ketentuan
konservasi dan manajemen sumber daya
hayati laut akan merusak sistem yang ada
{preamble)
(4) Setiap negara peserta tidak boleh mengijinkan
kapal ikan yang semula terdaftar pada negara
anggota lain atau bukan negara anggota yang
tidak mengikuti ketentuan konservasi, untuk
menangkap ikan di laut lepas, kecuali telah
terbukti bahwa kepemilikan kapal tersebut
telah berubah sama sekali dan tidak ada
hubungannya dengan pemilik yang lama (Pasal
3 ayat (5))
Kedua, Ketentuan
menyatakan bahwa:30
dalam
UNIA
1995
(1) Setiap negara harus mengambil tindakan
untuk mencegah dan menghilangkan adanya
overfishing dan excess fishing capacity serta
menjamin levei fishing effort yang tidak
melebihi pemanfaatan berkelanjutan dari
sumber daya ikan (Pasal 5 butir h)
(2) Kewajiban untuk mengumpulkan data
mengenai kegiatan kapal termasuk posisi kapal
dan target tangkapan (Pasal 5 butir j)
(3) UNIA 1995 mendorong terbentuknya
organisasi dan pengaturan manajemen
perikanan subregional dan regional untuk
menangani masalah konservasi sumber daya
hayati di laut lepas khususnya yang bersifat
straddling fish stocks dan highly migratory fish
stock (Part III). Negara bukan peserta UNIA
1995 harus menaati ketentuan konservasi
yang diatur oleh UNCLOS yang pada dasarnya
merupakan perjanjian induk dari UNIA 1995.
dan tidak berhak untuk mengijinkan kapal
yang berbendera negaranya untuk menangkap
ikan yang dikonservasi oleh organisasi atau
ketentuan regional dan subregional itu.
Ketiga, Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF). CCRF mengandung prinsipprinsip yang perlu diterapkan untuk mencapai
perikanan yang berkelanjutan, meskipun bukan
merupakan hukum perjanjian yang bersifat
mengikat, akan tetapi CCRF banyak diadopsi dalam
ketentuan hukum nasional negara-negara anggota
FAO.
CCRF dilengkapi dengan petunjuk
pelaksanaan (“guidelines”) mengenai (1) fishing
operations; (2) the precautionary approach as applied
to capture fisheries and species introductions; (3)
integrating fisheries into coastal area management;
(4) fisheries management; (5) aquaculture
development; and (6) inland fisheries.
Keempat, FAO International Plan of Action
(IPOA). FAO telah mengeluarkan beberapa panduan
mengenai konsep manajemen perikanan berkelanjutan, sebagai pelaksanaan dari CCRF yaitu:31
a.
International Plan of Action for the Management
of Fishing Capacity (IPOA FISHING CAPACITY)
yang telah disetujui pada sidang COFI ke 23
tanggal 19 Pebruari 1999;
b.
International Plan of Action for the Conservation
and Management of Sharks (IPOA-SHARKS)
yang telah disetujui pada sidang COFI ke 23,
tanggal 19 Pebruari 1999.;
c.
International Plan of Action for Reducing
Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries
(IPOA-SEABIRDS) yang telah disetujui pada
sidang COFI ke 23, tanggal 19 Pebruari 1999.;
dan
d.
International Plan of Action for Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU)
yang telah disetujui pada sidang COFI ke 24,
tanggal 2 Maret 2001 dan disahkan pada
sidang Dewan FAO ke 120, tanggal 23 Juni
2001.
IPOA ini seperti halnya induknya, CCRF,
bersifat sukarela, namun demikian negara-negara
anggota Food and Agriculture Organization (FAO)
dihimbau untuk mengikuti IPOA ini dan
melaksanakan ketentuannya yang dituangkan
dalam National Plan of Action (NPOA). Dalam IPOA
ini diatur mengenai penangkapan ikan ilegal, tidak
dilaporkan, dan tidak diatur.
Sebagai bangsa yang tinggal dan hidup pada
wilayah yang sebagian besar terdiri dari wilayah
laut, bangsa Indonesia harus mengembangkan
konsep wawasan nusantara yang tertuang dalam
Pasal 25A UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang memandang seluruh wilayah daratan,
laut dan udara di atasnya segenap penduduk serta
seluruh sumber daya yang terkandung didalamnya
sebagai sesuatu yang terpadu. Wawasan nusantara
juga tercantum dalam TAP MPR Nomor
30
Agreement for the Implementation of the Provisions of the 1982 UNCLOS, Relating to the Conservation and Management of Straddling
Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA 1995)
31
Op.cit., Melda Kamil Ariadno, Ketentuan Hukum Internasional tentang Perikanman, hlm. 125-127
240
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
11/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang merumuskan arti konsepsi
kewilayahan atau wawasan nusantara adalah:
“Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa
satu kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.” Laut
memberikan peluang dan keuntungan yang besar
bagi bangsa Indonesia dalam upaya memanfaatkan
dan mendayagunakan secara optimal sumber daya
alam di laut untuk pembangunan nasional
indonesia.
Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) pada Konvensi Hukum Laut 1982
memberikan posisi yang kuat dan keuntungan
secara ekonomis kepada negara-negara pantai
untuk memperoleh hak berdaulat (sovereign rights)38
guna memanfaatkan sumber kekayaan alam yang
ada di ZEE tersebut khususnya sumber perikanan.
Konsep ZEE tidak hanya merupakan konsep
sumber alam tetapi memuat enam konsep yang
terdiri atas: konsep ruang, konsep sumber daya
alam, konsep lingkungan, konsep penelitian ilmiah,
konsep pembanginan instalasi dan pulau buatan
serta konsep hak dan kewajiban negara di ZEE.39
Wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia untuk menangkap ikan dan/atau
pembudidayaan ikan meliputi: perairan Indonesia,
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, dan
sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air
lainnya yang dapat diusahakan serta lahan
pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia. 3 2 Perairan Indonesia
didefinisikan sebagai laut teritorial Indonesia
beserta perairan kepulawan dan perairan
pedalamannya.33 Dengan demikian wilayah perairan
Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, peraian
kepulauan, dan perairan pedalaman.34 Dalam
Undang-Undang Perairan Indonesia dan UndangUndang Perikanan, laut teritorial didefinisikan
sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.35 Perairan kepulauan Indonesia adalah
semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tampa memperhatikan
kedalaman atau jarak dari pantai,36 perairan
pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang
terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari
pantai-pantai Indonesia, termasuk semua ke
dalamnya dari perairan yang terletak pada sisi
barat dari suatu garis penutup.37
Bagi negara-negara berkembang, ZEE
merupakan hal yang sangat penting karena rezim
ini merupakan pencerminan dari usaha-usaha yang
dilakukan oleh negara yang sedang berkembang
untuk melakukan pengawasan dan penguasaan
terhadap kekayaan alam yang terdapat di dalam
laut yang berbatasan dengan laut wilayahnya.
Konsevasi sumber kekayaan hayati di ZEE
didasarkan pada prinsip pemanfaatan yang rasional
(use the resources rationally)40 yang menyatakan
bahwa masalah penangkapan ikan di ZEE dapat
mendatangkan manfaat sosial ekonomi yang
sebesar-besarnya dan menciptakan keseimbangan
pemanfaatan sumber kekayaan hayati di masa
yang akan datang bagi kepentingan masyarakat
dan negara pantai tersebut. Negara pantai
mempunyai hak berdaulat
untuk melakukan
pemanfaatan sumber perikanan untuk
kepentingannya. Dengan demikian negara pantai
mempunyai yurisdiksi (exetended fisheries
juridiction) atas zona perikanan tersebut untuk
melakukan pemanfaatan sumber perikanan yang
ada di zona tersebut, maka negara-negara lain
dapat melakukan pemanfaatan sumber perikanan
didi zona perikanan tersebut melalui persetujuan
dengan negara pantai.41
32
Pasal 5 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433).
33
Pasal 1 Angka 20, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073).
34
Pasal 3, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647).
35
Definisi laut tertorial mengacu pada UNCLOS yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3319).
36
Op.cit., Pasal 3 ayat (3), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
37
Ibid., Pasal 3 ayat (4), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
38
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Dinamika Global, Penerbit: Alumi, Bandung, tahun 2000,
hlm.322
39
Hajim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, CSIS, Jakarta, tahun 1995, hlm135-140.v
40
Op.,cit, Hasjim Djalal Indonesia and the Law of the Sea
41
Sri Wartini, Implementasi Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tentang Pemanfaatan Sumber Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif,
Jurnal Magister Hukum, ISSN: 1411-1500 Vol.1 No. 2 Mei tahun 2005, Penerbit Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UII,
Yogyakarta, [email protected], hlm. 204
241
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
Pengaturan tentang perikanan dahulu diatur
dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3299)
yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433). Undang-UndangNomor 9
Tahun 1985dianggap tidak cocok lagi dengan
perkembangan lingkungan strategis baruyaitu
globalisasi dan otonomi daerah.
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
Tabel 1
Hukum Materil dan Hukum Formil tentang
Perikanan
Hukum Materil Perikanan
Izin Untuk
Perikanan
SIPI (Surat Izin Penangkap Ikan)
SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan)
Kapal Perikanan Asing (KIA)
SIUP Budidaya Ikan
SIUP Pengolahan
Pengrusakan Lingkungan
Mengingat Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1985 tersebut disusun pada saat spirit sentralisme
dan modernisme masih dominan, sehingga negara
(pemerintah pusat) masih mendominasi sebagian
besar urusan perikanan, khususnya pengelolaan
sumber daya perikanan (fisheries management).
Sentralisme tersebut telah menghasilkan kegagalan
pembangunan perikanan dan kelautan di masa
lalu, seperti banyaknya produk regulasi yang sulit
diterapkan, misalnya penanganan pengeboman
ikan, pembiusan ikan, dan praktik destructive
fishing lainnya yang tak tersentuh. Hal ini terjadi
disebabkan karena partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya perikanan sangat rendah.
Begitu pula, muatan prinsip FAO Code of Conduct
for Responsible Fisheries (CCRF) belum
terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985. CCRF ini memuat prinsip dan standar
dalam menjamin terciptanya kegiatan perikanan
berkelanjutan, baik dalam penangkapan ikan,
budidaya perikanan, pascapanen dan pemasaran,
maupun kaitan antara perikanan dan pengelolaan
wilayah pesisir.42
Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang diundangkan pada
tanggal 6 Oktober 2004 merupakan salah satu
perubahan yang mendasar dari suatu proses
penegakan hukum di bidang perikanan melalui
Pengadilan Perikanan di Indonesia yang untuk
pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Selain
itu juga diatur mengenai hukum materil dan
hukum formil tentang perikanan seperti yang
terlihat pada Tabel 1:43
Jenis Perbuatan
M e n g e l o l a SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan)
SIUP - Penangkapan dan/atau APIPM
(Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman
Modal).
Budidaya ikan
Alat tangkap yang merusak
Penyetruman
Pengambilan terumbu karang dari laut
Pengambilan hutan bakau
Penggundulan hutan
Sedangkan hukum formil perikanan, antara
lain mengatur tentang:44
Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu hal
yang dijadikan sebagai isu utama dalam penerbitan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Berbeda dengan Undang-undang Nomor
9 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian
hukum terhadap penegakan hukum atas tindak
pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan. Tugas dan wewenang
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum
acara umum yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, juga hukum acara
tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 sebagai ketentuan khusus (lex specialis).45
Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun
2004, membuat kinerja untuk membasmi tindakan
pencurian ikan akan semakin efektif dan efisien
karena dalam undang-undang tersebut diatur
aparat yang menjadi penyidik tindak pidana di
bidang perikanan, yaitu PPNS Perikanan, Perwira
42
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pengadilan Perikanan, Kementrian Hukum dan HAM RI,
Jakarta, tahun 2009, hlm 70
43
Ibid.,
44
Ibid.,
45
Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit: Alumi, Bandung, Tahun 1982, hlm 75
242
perikanan, jenis alat tangkap, ukuran
mata jaring, jalur/daerah penangkapan
dan lain-lain. Kegiatan tersebut dapat
dilakukan pada saat nelayan akan
berangkat maupun pada saat
mendaratkan hasil tangkapannya.
c)
Bom ikan
Racun/tuba ikan
1.
TNI AL, dan Pejabat Polri. Untuk menangani kasuskasus peradilannya, Kementrian Kelautan dan
Perikanan juga sedang memfokuskan diri pada
pembentukan pengadilan perikanan di mana
perangkat-perangkatnya nantinya adalah mereka
yang menguasai ilmu perikanan. Aparat penegak
hukum di bidang perikanan adalah Pengawas
Perikanan, Perwira TNI-AL, dan Pejabat Polisi
Negara RI, yang mempunyai tugas dan kewajiban
melakukan pengawasan terhadap tertib
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan.
2.
Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan
Sebagai upaya penerapan atau penegakan
Undang-Undang Perikanan terhadap pemanfaatan
sumber daya ikan, aparat penegak hukum
perikanan mempunyai tugas umum selain tugas
yang telah ditentukan secara khusus oleh instansi
masing-masing. Adapun tugas-tugas umum yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di bidang
perikanan baik dari PPNS Perikanan, Perwira TNIAL, dan Pejabat Polisi Negara RI adalah melakukan
pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan
yaitu dengan:
a)
Monitoring yaitu kegiatan untuk
mengetahui tingkat potensi sumber daya
ikan, sehingga diperoleh data yang dapat
dijadikan acuan dalam menyusun
peraturan pemanfaatan sumber daya ikan.
Dalam pelaksanaannya dapat dilaporkan
fluktuasi volume penangkapan yang
memuat produksi, pergeseran spesies,
musim dan lain-lain, yang kemudian
setelah menjadi data diolah sebagai bahan
untuk menentukan potensi yang tersedia.
Dengan diketahuinya potensi sumber daya
ikan yang tersedia, maka dapat ditetapkan
alokasi sumber daya ikan yang dapat
ditangkap. Data-data tersebut diharapkan
dapat dikumpulkan secara berkelanjutan
dengan tertib melalui mekanisme kerja
yang jelas.
b)
Kontrol, yaitu kegiatan pengendalian
usaha pemanfaatan sumber daya ikan
dilakukan dengan mengamati telah sesuai
atau tidaknya kegiatan usaha
penangkapan ikan oleh nelayan dengan
peraturan perizinan yang dimilikinya.
Misalnya dengan memeriksa syarat-syarat
yang tercantum dalam izin usaha
3.
Surveillance, yaitu kegiatan pengawasan
terhadap ketentuan peraturan pengelolaan
sumber daya ikan, yang diikuti dengan
pemberian sanksi dan enforcement.
Tindakan surveillance merupakan tindak
lanjut dari monitoring dan kontrol, yang
sasarannya adalah pengamatan
penangkapan ikan di lapangan dan
dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk
sebagai fisheries observer atau
memanfaatkan tenaga PPNS Perikanan
dibantu dengan aparat keamanan,
sehingga apabila terjadi pelanggaran dapat
dilakukan penyidikan secara langsung.
Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan
Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum di bidang perikanan dapat
diuraikan beberapakewajiban yang harus
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di bidang
perikanan antara lain: 1) Penangkapan terhadap
kapal dan atau orang-orang yang diduga
melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, meliputi tindakan penghentian kapal
sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau
orang-orang tersebut di pelabuhan di mana perkara
tersebut dapat diproses lebih lanjut; 2) Penyerahan
kapal dan atau orang-orang tersebut harus
dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh
melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali
apabila terdapat keadaan force majeure; 3)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya pelanggaran ketentuan undangundang; 4) Melakukan panggilan dan pemeriksaan
terhadap tersangka pelaku pelanggar ketentuan
undang-undang; dan 5) Melakukan penyitaan ikan
hasil tangkapan, alat-alat atau surat-surat yang
digunakan dalam melakukan perbuatan melanggar
ketentuan undang-undang.
4.
Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak
Hukum dan Fasilitas
Dalam proses penegakan hukum, fungsi aparat
penegak hukum sangat berperan di samping faktor
lain seperti peraturan perundang- undangan,
fasilitas atau sarana, dan warga masyarakat
setempat. Pengertian aparat penegak hukum dalam
243
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
hal ini adalah terbatas kepada yang berkecimpung
langsung dalam law enforcement dan peace
maintenance, yaitu mereka yang bertugas di bidang
kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan
dan pemasyarakatan. Aparat penegak hukum pada
saat ini dituntut untuk bisa menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman dan peka terhadap
aspirasi masyarakat. Untuk itu, aparat penegak
hukum harus mempunyai kemampuan tertentu
seperti kemampuan berkomunikasi, keleluasaan
bertindak terhadap kasus/masalah tertentu
sehingga mampu menjalankan perannya di tengah
masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan
terhadap keberhasilan aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya masih dirasakan
pada saat ini. Situasi yang dimaksud di antaranya
adalah kurangnya dukungan fasilitas atau sarana
yang dimiliki oleh aparat penegakhukum itu sendiri,
misalnya kapal yang akan digunakan untuk
mengejar para pelaku tindak pidana di bidang
perikanan dan sarana sebagai tempat menyimpan
barang bukti.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan terdapat beberapa kelemahan,
sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang tersebut, antara lain mengenai:46
Pertama, pengawasan dan penegakan hukum
menyangkut masalah mekanisme koordinasi antar
instansi penyidik dalam penanganan penyidikan
tindak pidana di bidang perikanan, penerapan
sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama
mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan
perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di
bidang perikanan, termasuk kemungkinan
penerapan tindakan hukum berupa
penenggelaman kapal asing yang beroperasi di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia. Kedua, masalah pengelolaan perikanan
antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi,
perizinan, dan kesyahbandaran. Ketiga, perluasan
yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga
mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan perkembangan permasalahan
perikanan yang terus berkembang di atas, beberapa
pengaturan perikanan di Indonesia dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
diubah oleh Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang46
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari)
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak hanya
mengatur semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran,
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan, tetapi secara khusus mengatur pula
tindak pidana di bidang perikanan, kewenangan
penyidikan, penuntutan pemeriksaan di sidang
pengadilan perikanan dan Penegakan hukum
tindak pidana perikanan yang berkenaan dengan
Pelanggaran.
D. Penutup
Sasaran penegakan hukum dalam bidang
perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(ZEE) lebih difokuskan pada usaha untuk
mewujudkan, antara lain: a) terciptanya kerja sama
yang baik dalam menangani tindak pelanggaran
hukum di laut antara sesama aparat penegak
hukum baik yang berada di instansi/institusi pusat
maupun daerah; b) tercapainya kerja sama dan
kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam
untuk kepentingan pembangunan nasional; c)
terpenuhinya jumlah personel penyidik PPNS
Perikanan, Perwira Kepolisian dan TNI AL yang
profesional dan keberadaannya tersebar secara
merata di seluruh wilayah perairan Indonesia; dan
d) terpenuhinya dukungan unsur operasional di
daerah guna pelaksanaan kegiatan pengamanan
terhadap SDA
Daftar Pustaka
Anwar, Chairul, Hukum Internasional, Horizon
Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi
Hukum laut 1982, Djambatan, 1989
Abidin, S.Z., Kebijakan Publik. Penerbit: Yayasan
Pancur Siwah, tahun 2002, Jakarta
Agreement to Promote Compliance with International
Conservation and Management Measures by
Fishing Vessels on the High Seas (1993 FAO
Compliance Agreement)
Agreement to Promote Compliance with International
Conservation and Management Measures by
Fishing Vessels on the High Seas (1993 FAO
Compliance Agreement)
Agreement for the Implementation of the Provisions of
the 1982 UNCLOS, Relating to the
Op.cit., Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan
244
Conservation and Management of Straddling
Stocks and Highly Migratory Fish Stocks
1995 (UNIA 1995)
http://kalimantankita.com/ 2009/06.
Pertumbuhan Ekonomi Lingkungan dan
Tragedi Kepemilikan Bersama. l di down
load pada tanggal 29 Oktober 2010
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan
Evaluasi Hukum tentang Pengadilan
Perikanan, Kementrian Hukum dan HAM
RI, Jakarta, tahun 2009
http:// Normansyah.org/wiki/
Tragedi_Kepemilikan_Bersama l di down
load pada tanggal 29 Oktober 2010
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian
Peranan dan Fungsi dalam Dinamika
Global, Penerbit: Alumi, Bandung, tahun
2000
http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The
Commons Kaitannya Dengan Ilmu
Management Kelautan. html. l di down load
pada tanggal 29 Oktober 2010.
Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources:
Ecology and Community-based Sustainable
Development. London: Belhaven Press
http://Salehlubis.com. / 2 0 0 8 / 0 5 .
Douglas M. Jhonston, The Internasional Law of
Fisheries, Aframework for Policy-Oriented
inquiries, Martinus Nijhoff Piblishers
Dordrecht, 1986.
Eric M. Singer, Towards A Sustainable Fishery: The
Price-Cap Approach, Tulane Environmental
Law Journal, Summer 2011, 24 TLNELJ 253,
24 Tul. Envtl. L.J. 253. Copyright (c) 2011
Tulane Environmental Law Journal; Eric M.
Singer
Elise Anne Clark, Strengthening Regional Fisheries
Management--An Analysis of the Duty to
Cooperate, New Zealand Journal of Public
and International Law, November, 2011, 9
NZJPIL 223, 9 N.Z. J. Pub. & Int'l L. 223,
Copyright © 2011 by New Zealand Centre for
Public Law and contributors; Elise Anne
Clark ferryjunigwan.wordpress.com/
2009/09/15/3/
Hardin, G. The Tragedy of The Commons
Environmental Economics, 1968.
in
Holly Doremus, Why International Catch Shares
Won't Save Ocean Biodiversity, Michigan
Journal of Environmental & Administrative
Law Spring 2013, 2 MIJENVAL 385, 2 Mich.
J. Envtl. & Admin. L. 385, Copyright (c) 2013
Michigan Journal of Environmental &
Administrative Law; Holly Doremus.
Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS
1982 dan Konvensi-konvensi Bidang
Maritim, www.bakorkamla.go.id, Penerbit:
Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr.
Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, ISBN :
978-602-8741-01-9
Hajim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea,
CSIS, Jakarta, tahun 1995
Kebijakan
Pemerintah Atas Pulau Terluar.. html. l di
down load pada tanggal 29 Oktober 2010
http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The
Commons Kaitannya Dengan Ilmu
Management Kelautan. html. l di down load
pada tanggal 29 Oktober 2010.
http://Salehlubis.com./2008/05. Kebijakan
Pemerintah Atas Pulau Terluar.. html. l di
down load pada tanggal 29 Oktober
2010Melda Kamil Ariadno, Ketentuan
Hukum Internasional tentang Perikanman,
dalam buku yang berjudul: Hukum
Internasional Hukum yang Hidup, Penerbit:
Diadit Media, April 2007.
I.A. Shearer, Starke's International Law, London:
Butterworth, 1994.
Johannes, R.E. Traditional Marine Conservation
Methods in Oceania and Their Demise. Annual
Review of Ecology and Systematics, 1978.
Jurnal Hukum Internasional (Indonesia Journal of
Internasional Law), Volume 2 Nomor 3 April
2005, ISSN: 1693-5594 di terbitkan oleh
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
(Center for Internasional Law Studies Faculty
of Law University of Indonesia)
Kuntoro, Tinjauan Hukum Internasional Batas
Wilayah Laut Indonesia dengan Negara
Tetangga, , Penerbit: Mabes TNI AL,
diskumal, Gedung B4 Lantai 5 Mabes TNI
AL, Jl. Raya Hankam Cilangkap Jakarta
Timur-13870, Telp.021-8723403, Fax.0218711863
McCay, B.J and S. Jentoft and J.M. Acheson (eds).
1987. The Question of the Commons: The
Culture and Ecology of Communal
Resources. Tucson: The University
245
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246
Malcolm D. Evans,'The Law of the Sea', dalam
Malcolm D. Evans (ed.), International Law,
New York: Oxford University Press, 2003.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI.
Ringkasan dari disertasi penulis pada Dept.
Anthropology, Research School of Pacific and
Asian Studies, ANU, Canberra, 2002.
Ronny Hanitiyo Soemitro,
Studi Hukum dan
Masyarakat, Penerbit: Alumi, Bandung,
Tahun 1982
Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K.
Ruddle and T. Akimichi (eds) Maritime
Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9.
Osaka: National Museum of Ethnology
Sub-direktorat Pengawasan dan Pengendalian,
Direktorat Jenderal Perikanan Kementrian
Perikanan Republik Indonesia, Laporan
Penelitian: Evaluasi Pemanfaatan Sumber
Daya Ikan dalam Rangka Pengembangan
dan Pengemdaliannya, 1995
Sri Wartini, Implementasi Konvensi Hukum Laut
tahun 1982 tentang Pemanfaatan Sumber
Perikanan di
Zona Ekonomi Ekslusif,
Jurnal Magister Hukum, ISSN: 1411-1500
Vol.1 No. 2 Mei tahun 2005, Penerbit
Program Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum UII, Yogyakarta, [email protected]
PENGHAPUSAN PIDANA DENDA DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
TAP MPR Nomor 11/MPR/1993 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN)
(CRIMINAL PENALTY ABOLITION ON CORRUPTION CASE IN INDONESIA)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945
UNCLOS yang telah diratifikasi dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3319).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433).
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5073).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia, (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647).
Ramiyanto
Desa Suka Damai Baru Dusun 3 Rt. 002 Rw. 003
Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Indonesia
Email: [email protected]
(Naskah diterima 28/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, yang di dalamnya
telah mencantumkan ancaman sanksi berupa pidana bagi pelakunya. Dalam undang-undang tersebut ancaman
sanksinya dirumuskan dengan menggunakan sistem perumusan sanksi (strafsoort) yang berbeda, yaitu tunggal,
alternatif-kumulatif, dan kumulatif. Berkaitan dengan pidana denda dalam undang-undang tersebut, ada yang dapat
dijatuhkan sendiri tanpa pidana penjara dan ada juga yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara.
Apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif yang ditandai kata penghubung
“dan/atau”, maka pidana denda dapat dihapuskan (tidak dijatuhkan kepada terdakwa). Namun, apabila ancaman
pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan”, maka pidana denda tidak dapat
dihapuskan atau harus dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Dalam hal ini, maka pidana denda dalam
perkara tindak korupsi dapat dihapuskan, apabila rumusan pasalnya dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif.
Kata Kunci: Pidana Denda, Tindak Pidana Korupsi.
Abstract
At present the problem of corruption in Indonesia is regulated in Law Number 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001,
included a threat of criminal sanctions for perpetrators. In the law formulated by using the threat of sanctions with sanctions
formulation system (strafsoort) are different, ie: single, alternative-cumulative, and cumulative. Relating to criminal penalties
in the law, there can be no imprisonment imposed it self and there is also to be imposed in conjunction with imprisonment. If
the criminal threats formulated with alternative-cumulative systems which are marked conjunctive "and / or", the criminal
penalties can be eliminated (not applied to the defendant). However, if the criminal threats formulated with cumulative
system which are marked conjunctive "and", then the criminal penalties can not be abolished or should be imposed in
conjunction with imprisonment. In this case, the criminal penalties in cases of corruption can be eliminated, if the article is
formulated with the formulation of alternative-cumulative system.
Keywords: Criminal Penalties, Corruption.
A.
Pendahuluan
Korupsi1 merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam sejarah perkembangan manusia
dan termasuk ke dalam jenis kejahatan yang tertua,
serta merupakan salah satu penyakit masyarakat
yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti
pencurian yang sudah ada sejak manusia ada di
atas bumi. Masalah utama yang dihadapi adalah
korupsi mengalami peningkatan seiring dengan
kemajemukan, kemakmuran, dan kemajuan teknologi. Pengalaman menunjukkan bahwa semakin
maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin
meningkat juga kebutuhan hidup. Keadaan itu
dapat mendorong orang untuk melakukan suatu
kejahatan, termasuk korupsi.2
Korupsi dianggap sebagai suatu yang tidak
baik, suatu masalah yang menyebabkan keterpurukan bangsa. Oleh karena itu, harus dijadikan
sebagai suatu masalah yang harus ditanggulangi
dan diperangi secara bersama-sama. Korupsi
bukan suatu kebiasaan, bukan suatu budaya
1
Istilah korupsi berasal dari perkataan corruptio, yang berarti kerusakan. Misalnya dapat dipakai dalam kalimat: Naskah Kuno Negara
Kertanegara ada yang corrupt (=rusak). Di samping itu, perkataan korupsi dipakai juga untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang
busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum
Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 114-115. Istilah korupsi dalam bahasa Inggris disebut dengan corruption atau corrupt, dalam bahasa
Perancis disebut dengan corruption, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptie (korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah
lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Andi Hamzah, dalam Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana dan Formil Korupis Di Indonesia,
Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 1.
2
A. Djoko Sumaryanto, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, hlm. 1.
246
247
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256
bangsa, dan bukan juga sebagai mismanagement
tetapi korupsi adalah suatu kejahatan.3
Pada tataran internasional, korupsi
diklasifikasikan sebagai kejahatan kerah putih atau
white collar crime4 dan mempunyai akibat yang
kompleks serta menjadi perhatian masyarakat
internasional.5 Pada tahun 1990-an permasalahan
korupsi mulai mendapat perhatian khusus dan
intensif karena telah berkembang dan menjangkit
dalam komunitas internasional. Komunitas
internasional itu menyebutnya sebagai Global
Corruption Epidemic, dan menganggapnya sebagai
suatu masalah yang penting dan membutuhkan
penyelesaian yang baru.6
Oleh karena korupsi sebagai suatu masalah dan
menjadi perhatian dunia internasional maka
Indonesia sebagai suatu negara juga tentu ikut
memberikan perhatian. Perhatian itu dilakukan
dengan cara ikut melakukan pemberantasan terhadap praktik-praktik korupsi sebagai bentuk penanggulangannya yang dicantumkan dalam aturan
hukum. Saat ini peraturan yang berlaku di Indonesia
yang mengatur tindak pidana korupsi adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi7 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 20018
(UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001).
Jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia,
tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat sehingga tidak
dapat lagi digolongkan sebagai ordinary crime, tetapi
telah menjadi extra ordinary crime.9 Apabila tindak
pidana korupsi termasuk dalam kategori extra
ordinary crime maka dalam pemberantasannya juga
perlu dilakukan dengan cara yang luar biasa (extra
ordinary law enforcement). Hal ini seperti yang
disebutkan dalam Konsiderans menimbang huruf
(a) UU No. 20 Tahun 200110 dan penjelasan umum.
Berkaitan dengan bentuk extra ordinary law
enforcement dapat dilihat dari upaya aparat
penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana
yang seberat-beratnya kepada terdakwa yang telah
terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal itu
misalnya dapat dilihat pada penjatuhan sanksi
berupa pidana oleh Mahkamah Agung
dalam
putusan kasasinya kepada Angelina Patricia
Pingkan Sondakh.11 Selanjutnya yang baru saja kita
dengar bersama, yaitu sanksi yang dijatuhkan
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) kepada Akil Mochtar berupa pidana
penjara seumur hidup. Namun dalam hal ini,
pidana dendanya dihapuskan, sehingga Akil
Mochtar tidak diwajibkan membayarnya, dengan
alasan bahwa karena terdakwa sudah mendapat
hukuman badan secara maksimal.12
Dengan adanya pernyataan itu, maka timbul
pertanyaan: Apakah pidana denda dalam perkara
tindak pidana korupsi dapat dihapuskan,
mengingat korupsi sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime)?. Jika dihubungkan dengan
putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara
Akil Mochtar di atas, maka pertanyaan itu juga
menjadi catatan bagi Pusat Kajian Anti-Korupsi
(Pukat), sebagaimana yang disampaikan oleh Fanis
Fachry.13 Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis
tertarik untuk melakukan kajian mengenai
Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto)
penghapusan pidana denda dalam perkara tindak
pidana korupsi di Indonesia.
B.
Pembahasan
B.1. Pidana Denda Sebagai Salah Sanksi dalam
Hukum Pidana di Indonesia
Pidana merupakan kata lain untuk menunjuk
pada suatu sanksi yang berlaku dalam hukum
pidana. Dengan kata lain, pidana merupakan
bentuk sanksi yang khusus dipakai dalam hukum
pidana. Istilah pidana adalah terjemahan dari kata
“straf”, di samping itu juga lazim diterjemahkan
dengan kata “hukuman”.14 Menurut Moeljatno,
istilah pidana lebih tepat daripada istilah hukuman
sebagai terjemahan dari kata “straf”. Hal itu karena
kalau straf diterjemahkan dengan hukuman, maka
“strafrecht” harus diterjemahkan dengan “hukum/
hukuman”. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa
“dihukum” berarti diterapi hukum, baik hukum
pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah
hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang
maknanya lebih luas daripada hukuman, sebab
mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan
hukum perdata dan hukum administrasi negara.15
Bersandar pada pendapat Moeljanto di atas
maka dapat dipahami bahwa pidana adalah sebagai
terjemahan dari kata straf adalah lebih tepat. Hal
ini juga seperti yang disimpulkan oleh Sudarto,
bahwa pidana lebih tepat daripada hukuman
sebagai terjemahan dari kata straf.16 Berkaitan
dengan pidana, Sudarto mengartikannya sebagai
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang-orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.17
3
Bibit S. Rianto, 2009, Korupsi Go to Hell!: Mengupas Anatomi Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Hikmah, hlm. 7.
4
Istilah kejahatan kera putih atau white collar crime berasal dari pakar-pakar kriminologi. Sejarah kelahiran itu dimulai oleh Edward A.
Ross (1806-1951) dan kemudian dipopulerkan E.H. Sutherland (1883-1950) pada pidatonya di hadapan The American Socioligical Society.
Istilah tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahas, antara lain: crimne en col blanc (Perancis), criminalita in collecti bianchi
(Italia), Weisse-Kragen Kriminalitat (Jerman), dan El delito de Cuello blanco (Spanyol). Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum
Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, hlm. 148.
5
A. Djoko Sumaryanto, Loc.cit..
6
Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS, hlm. 279
7
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874.
8
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150
9
Budiyono, 2013, Pemanfaatan Media Massa oleh Penegak Hukum dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Perspektif
Volume XVIII No. 1 Edisi Januari, hlm.1.
10
Rumusan Konsiderans Menimbang huruf (a) UU No. 20 Tahun 2001, yaitu: “Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa”.
11
Dalam perkara itu, Majelis Hakim telah menjatuhkan sanksi berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp.
500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah), serta dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp. 12.850.000.000,00 (Dua Belas Miliar
Delapan Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (Dua Juta Tiga Ratus Lima Puluh Juta Dollar Amerika Serikat). Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1616 K/Pid.Sus/2013, hlm. 134.
12
Akil Mochtar terbukti melanggar Pasal 11 UU Pemberatan Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 12 huruf (c) UU Pemberantasan
Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Akil Mochtar Divonis Penjara Seumur Hidup, http://berita.plasa.msn.com/
nasional/tribunnews/akil-mochtar-divonis-penjara-seumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli 2014.
13
Menurut Fanis Fachry (Peneliti Pukat), dalam putusan yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar itu masih ada catatan yang
dipertanyakan, yakni dibatalkannya tuntutan denda dan perncabutan hak politik. Ia mengatakan, karena selain hukuman pidana penjara,
kita juga komitmen terkait dengan pemiskinan koruptor. http://m.poskotanews.com/2014/07/01/aktifiktas-komentari-vonis-maksimalakil-mochtar/?wpmp_Switcher=mobile, diakses tanggal 24 Juli 2014.
248
Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksireaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa
yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
delik.18 R. Soesilo menyebut pidana dengan kata
hukuman, yang diartikan sebagai suatu perasaan
tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim
dengan ponis kepada orang yang telah melanggar
undang-undang hukum pidana.19
Dengan demikian, jelaslah bahwa pidana
merupakan kata yang digunakan untuk menyebut
sanksi dalam hukum pidana. Sudarto mengatakan
bahwa sanksi dalam hukum pidana merupakan
sistem sanksi yang negatif.20 Menurut Satochid
Kartanegara, sanksi dalam hukum pidana berupa
ancaman dengan hukuman, yang bersifat
penderitaan dan siksaan.21 Beliau kemudian juga
mengatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana
dikatakan bersifat siksaan, karena hukuman itu
dimaksudkan sebagai hukuman terhadap
pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang
terhadap kepentingan hukum (rechtsbelang) yang
dilindungi oleh hukum pidana. Adapun
kepentingan hukum (rechtsbelang) itu adalah
hidup, badan, kehormatan, kebebasan, dan hak
milik.22
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) berkaitan dengan kata “pidana” tidak
diberikan definisinya. Tetapi, dalam KUHP
mengenai pidana ini telah ditentukan jenis-jenisnya.
Pasal 10 KUHP menentukan sebagai berikut:
Pidana terdiri atas:
a.
b.
Pidana Pokok:
1.
Pidana mati;
2.
Pidana penjara;
3.
Pidana kurungan;
4.
Pidana denda;
5.
Pidana tutupan;
Pidana Tambahan:
1.
Pencabutan hak-hak tertentu;
2.
Perampasan barang-barang tertentu;
3.
Pengumuman putusan hakim.
Dari ketentuan Pasal 10 KUHP di atas, maka
dapatlah dipahami bahwa pidana terdiri dari dua
jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Dalam terminologi hukum pidana, pidana pokok
(hoofdstraf) diartikan sebagai pidana yang dapat
dijatuhkan tersendiri oleh hakim, misalnya: pidana
mati, penjara, kurungan, dan denda. Sedangkan
14
Mustafa Abdullah dan Ruben Achamd, 1986, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.47.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Sudarto, dalam Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakaarta: Sinar Grafika. hlm. 186.
18
Roeslan Saleh, dalam Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,
hlm. 12.
19
R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia,
hlm. 35.
20
Sudarto, Op. cit, hlm. 22.
21
Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana Bahan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 49.
22
Ibid.
249
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256
pidana tambahan (bijkomende straf) berarti pidana
yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana
pokok, misalnya: pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan
berupa perampasan atau pemusnahan dapat
berdiri sendiri misalnya uang palsu, narkotika atau
senjata api atau bahan peledak.23
Kedua jenis pidana yang disebutkan di atas
mempunyai perbedaan, yang menurut Adami
Chazawi adalah:24
1)
Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok
bersifat keharusan (imperatif), sedangkan
penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
2)
Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus
dengan demikian menjatuhkan jenis tambahan
(berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis
pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan
menjatuhkan jenis pidana pokok.
3)
Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan
pelaksanaan (executie).
Jadi perbedaan dari kedua jenis pidana dalam
KUHP tersebut adalah terletak pada sifatnya
(imperatif atau fakultatif), cara penjatuhannya
(berdiri sendiri atau tidak), dan tindak lanjutnya
(ada pelaksanaan/eksekusi atau tidak). Misalnya
pidana pokok harus dijatuhkan (imperatif),
penjatuhannya dapat dibarengi dengan pidana
tambahan atau tidak, kemudian pidana pokok yang
dijatuhkan itu dilaksanakan oleh yang berwenang
melaksanakan.
terminologi hukum pidana, pidana denda disebut
dengan istilah “boete, geldboete, fine”, yaitu pidana
yang berupa pembayaran sejumlah uang oleh
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap26 (in kracht van gewijsde
zaak). Pengertian itu disesuaikan dengan ketentuan
Pasal 273 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana,27 yang lazimnya disebut Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Satochid Kartanegara, pidana denda
adalah hukuman yang dijalankan dengan merampas
harta bendanya orang yang melanggar undangundang28 (dalam hal ini undang-undang pidana).
Selanjutnya Adami Chazawi mengatakan bahwa
pidana denda diancamkan pada banyak jenis
pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana
kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga
terhadap jenis-jenis kejahatan ringan maupun
kejahatan culpa, pidana sering diancamkan sebagai
alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi
kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali
diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif
dari pidana penjara mupun berdiri sendiri.29
Hal tersebut di atas juga dikemukakan oleh
Mahrus Ali bahwa pidana denda dijatuhkan
terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran
atau kejahatan ringan.30 Kemudian dalam
perkembangannya, pidana denda tidak hanya
diancamkan terhadap tindak pidana dalam
kategori pelanggaran dan kejahatan ringan atau
culpa saja, tetapi juga untuk kejahatan berat,
seperti yang diancamkan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi.
Berkaitan dengan pidana denda, dengan
memperhatikan jenis-jenis pidana yang ditentukan
dalam Pasal 10 KUHP sebagaimana diuraikan di
atas, maka dapatlah dipahami bahwa pidana denda
termasuk dalam pidana pokok.
B.2. Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan
Luar Biasa (Extra Ordinary Crime)
Kemudian pertanyaannya adalah, apakah itu
pidana denda? Menurut Andi Hamzah, pidana denda
merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada
pidana penjara, mungkin setua pidana mati.25 Dalam
Berbicara masalah penghapusan pidana denda
berarti dalam pembahasan ini membicarakan
masalah ditiadakannya pidana denda bagi perlaku
tindak pidana korupsi. Sebagaimana telah
Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto)
diuraikan pada bagian pendahuluan makalah ini,
bahwa masalah tindak pidana korupsi di Indonesia
telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No.
20 Tahun 2001. Dalam undang-undang tersebut,
telah dicantumkan ancaman sanksi berupa pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi, yang
dirumuskan dengan cara yang berbeda. Berkaitan
dengan penghapusan pidana denda dalam perkara
tindak pidana korupsi, maka dalam pembahasan
ini akan dilihat dari perumusan sanksi pidananya
(strafsoort).31
Menurut Ilmu Hukum Pidana, ada beberapa jenis
sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu:32
a.
b.
Sistem perumusan alternatif, adalah sistem di
mana pidana penjara dirumuskan secara
alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya,
berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi
pidana dari yang terberat sampai yang
teringan. Dengan demikian, hakim diberi
kesempatan memilih jenis pidana yang
dicantumkan dalam pasal bersangkutan.
c.
Sistem perumusan kumulatif, yang
mempunyai ciri khusus yaitu adanya ancaman
pidana dengan redaksional kata hubung “dan”,
seperti “pidana penjara dan denda”.
d.
Jur. Andi Hamzah,2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.121.
Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya
Hukum Pidana, Jakarata: RajaGrafindo Persada, hlm. 21-27.
25
Andi Hamzah, dalam Mahrus Ali, Op. cit, hlm. 198.
26
Jur. Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 120.
27
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Pasal 273 ayat (1) KUHAP rumusan selengkapnya adalah: “Jika putusan
pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali
dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi”.
28
Satochid Kartanegara, Loc. cit.
29
Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana....., Op.cit, hlm. 40.
30
Mahrus Ali, Op.cit, hlm. 198.
250
Sistem perumusan kumulatif-alternatif, yang
ditinjau dari terminologinya biasa juga disebut
dengan sistem perumusan “campuran/
gabungan”. Sistem perumusan tersebut
mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut:
a)
Adanya dimensi kumulatif. Aspek ini
merupakan konsekuensi logis materi
b)
Adanya dimensi perumusan alternatif di
dalamnya. Aspek ini tercermin dari kata
yang bersifat memilih pada perumusan
alternatif; dan
c)
Adanya dimensi perumusan tunggal di
dalamnya.
Oleh karena tindak pidana korupsi di Indonesia
yang diatur dalam undang-undang tersendiri, maka
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di luar
KUHP atau disebut dengan istilah “hukum pidana
khusus”. 3 3 Walaupun demikian, masalah
perumusan sanksi pidananya (strafsoort) tetap
didasarkan pada teori sistem perumusan dalam
ilmu hukum pidana tersebut di atas.
Untuk mengetahui strafsoort dalam hukum
pidana korupsi, maka dalam pembahasan ini akan
diuraikan rumusan sanksi pidana yang ada di
dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun
2001 sebagai perubahan dari UU No. 31 Tahun
1999. Rumusan sanksi pidana dalam undangundang tersebut terdiri dari dari tiga sistem, yaitu
sistem perumusan tunggal, sistem perumusan
alternatif-kumulatif, dan sistem perumusan
kumulatif. Ketiga sistem perumusan tersebut dapat
dilihat pada ketentuan dalam UU No. 31 Tahun
1999 sebagai berikut:
1.
Sistem perumusan tunggal
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, yang
rumusannya adalah: “Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan”. Rumusan itu menunjukkan
bahwa pelaku tindak pidana korupsi hanya dapat
dijatuhkan hukuman mati saja, apabila dilakukan
dalam keadaan tertentu.34 Jadi, apabila tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) undang-undang tersebut35 dilakukan
31
Lilik Mulyadi mengatakan bahwa pada hakikatnya, secara substansial dan gradual, perumusan sanksi pidana (strafsoort) merupakan
tahap kebijakan formulatif/legislatif. Hal itu merupakan tahap strategis dan menentukan karena kesalahan tahap tersebut akan
berdampak pada tahap aplikatif dan eksekutif/administrasi. Lilik Mulyadi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi, dan
Victimologi, Jakarta: Djambatan, hlm. 15.
32
23
24
Sistem perumusan tunggal/imperatif adalah
sistem perumusan di mana jenis pidana
dirumuskan sebagai satu-satunya pidana
untuk tindak pidana yang bersangkutan.
Untuk itu, sistem perumusan tunggal dapat
berupa pidana penjara saja, pidana kurungan,
atau pidana denda saja.
perumusan kumulatif berupa adanya ciri
khusus kata “dan” di dalamnya
Ibid, hlm. 16-25.
33
Menurut Bambang Poernomo, hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang beradal di
luar hukum kodifikasi (KUHP:pen), dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khsusus menyimpang karena
kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung peraturan dari anasir-anasir kejahatan inkonvensional. Bambang
Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hlm.11.
34
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan
tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
35
Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak RP. 1.000.000.000,00 Isatu miliar rupiah).
251
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256
dalam keadaan tertentu, maka hakim hanya dapat
menjatuhkan hukuman mati saja.
2.
a.
Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepdanya untuk diadili;
atau
b.
Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan
kepada ppengadilan untuk diadili.
Sistem perumusan alterntif kumulatif
Sistem perumusan ini dapat dijumpai pada
ketentuan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, yang
rumusannya adalah:
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua) puluh tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah.
Berdasarkan pada rumusan tersebut, pelaku
tindak korupsi dalam hal terbukti secara sah dan
meyakinkan, Majelis Hakim dapat memilih salah
satu dari sanksi pidana yang diancamkan atau
menggabungkannya, yaitu pidana penjara dan
pidana denda sama-sama dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, hakim
diberikan kebebasan dalam penjatuhan sanksi
pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Pemilihan dan penggabungan sanksi pidana
bagi pelaku korupsi dalam rumusan Pasal 3 UU No.
31 Tahun 1999 ditandai dengan kata penghubung
“dan atau”. Maria Farida Indrati Soeprapto
mengatakan bahwa kata-kata “dan/atau”
sebenarnya sudah jelas yaitu dapat
menggabungkan (kumulatif) jenis-jenis pidana,
dapat pula “memilih” (alternatif) satu satu
daripadanya.36
3.
Sistem perumusan kumulatif
Sistem perumusan ini dapat dapat dijumpai
pada ketentuan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001,
yang rumusannya adalah:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang:
Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto)
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau advokat yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
Berdasarkan rumusan tersebut, pelaku tindak
pidana korupsi yang terbukti secara sah dan
meyakinkan, oleh Majelis Hakim harus dijatuhi
sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda
secara bersamaan (bergabung). Di sini hakim tidak
diberikan kebebasan memilih dalam penjatuhan
sanksi pidana. Hakim mau tidak mau harus
menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pidana
secara bersamaan. Penggabungan dua jenis pidana
pokok itu dalam rumusan Pasal 6 UU No. 20 Tahun
2001 ditandai dengan kata penghubung “dan”.
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa
terdapat dua jenis pidana pokok yang dapat
dijatuhkan secara bersamaan dalam perkara tindak
pidana korupsi, yaitu pidana penjara dan pidana
denda. Menurut Adami Chazawi, dalam hukum
pidana korupsi terdapat dua jenis pidana pokok
yang dijatuhkan bersamaan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:37
1)
Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang
bersifat imperatif, yaitu antara pidana penjara
dengan pidana denda itu wajib kedua-duanya
dijatuhkan secara serentak.
2)
Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak
yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu
antara pidana penjara dan pidana denda. Di
36
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 193.
37
Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana Materil......, Op.cit, hlm. 381.
252
antara dua jenis pidana pokok itu yang wajib
dijatuhkan adalah pidana penjara (imperatif),
namun dapat juga dijatuhkan secara kumulatif
dengan pidana denda. Dalam hal ini pidana
denda tidak wajib dijatuhkan, melainkan boleh
dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama
(kumulatif) dengan pidana penjara.
Jadi, dalam hukum pidana korupsi mengenai
sanksi pidananya terdapat ketentuan yang
menentukan bahwa dua jenis pidana pokok dapat
dijatuhkan secara bersamaan, yaitu pidana penjara
dan pidana denda. Kemudian pertanyaanya adalah:
Kapankah pidana denda dapat dihapuskan, dalam
arti tidak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
korupsi?.
Dengan merujuk pada pembagian strafsoort
dan pendapat Adami Chazawi di atas, maka pidana
denda dalam hukum pidana korupsi dapat
dihapuskan apabila dirumuskan dengan sistem
perumusan alternatif kumulatif. Dalam hal ini,
Majelis Hakim diberikan kebebasan untuk memilih
dalam penjatuhan sanksi berupa pidana penjara
tanpa pidana denda atau pidana penjara dan
pidana denda dijatuhkan secara bersamaan
(bergabung).
kumulatif, yang ditandai dengan kata penghubung
“dan/atau”. Apabila sanksi pidananya dirumuskan
dengan sistem kumulatif dengan kata penghubung
“dan”, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan.
Jika dikaitkan dengan putusan yang dijatuhkan
kepada Akil Mochtar oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta yang menghapuskan pidana
denda, maka pertanyaannya adalah “Apakah
putusan Majelis Hakim itu sudah tepat?”.
Seperti diketahui dari beberapa media masa,
bahwa Akil Mochtar dijatuhi sanksi berupa pidana
penjara seumur hidup, karena telah terbukti secara
sah dan meyakinkann melanggar ketentuan Pasal
11 UU Pemberatan Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP, dan Pasal 12 huruf (c) UU Pemberantasan
Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1)
KUHP. Namun dalam putusannya itu, Majelis
Hakim menghapuskan pidana dendanya, karena
hukumannya telah maksimal.38
Untuk mengetahui tepat atau tidaknya
putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta
itu, maka akan dilihat dari rumusan kedua pasal
yang dilanggar oleh Akil Mochtar tersebut.
1.
Apabila rumusan sanksi pidananya bersifat
kumulatif, maka pidana denda tidak dapat
dihapuskan karena sistem perumusan itu tidak
memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim
untuk memilih. Artinya, dalam hal pelaku tindak
pidana korupsi telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar ketentuan yang strafsoortnya menganut sistem perumusan kumulatif, maka
mau tidak mau Majelis Hakim mau tidak mau
harus menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara
bersamaan.
Selain itu, pendapat penulis tersebut juga
didasarkan pada eksitensi dari pidana denda, yang
mana dalam hukum pidana termasuk dari jenis
pidana pokok yang bersifat imperatif (keharusan).
Sehingga dalam hal suatu tindak pidana korupsi
diancam dengan salah satu dari jenis pidana pokok,
misalnya pidana denda maka mau tidak mau
majelis hakim harus menjatuhkan kepada
pelakunya.
Dengan demikian dapatlah dipahami, bahwa
dalam hukum pidana korupsi pidana denda dapat
dihapuskan, dalam arti tidak dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana korupsi apabila sanksi
pidananya dirumuskan dengan sistem alternatif
38
Rumusan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001
adalah:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
2.
Rumusan Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun
2001 adalah:
Dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah: c.
Hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa
http://berita.plasa.msn.com/nasional/tribunnews/akil-mochtar-divonis-penjara-seumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli 2014.
253
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Apabila melihat rumusan kedua pasal di atas,
maka sistem perumusan pidananya adalah
alternatif-kumulatif dan kumulatif. Sistem
perumusan alternatif-kumulatif digunakan Pasal 11
UU No. 20 Tahun 2001 yang ditandai dengan kata
penghubung “dan/atau”. Sedangkan sistem
perumusan kumulatif digunakan Pasal 12 huruf c
UU No. 20 Tahun 2001 yang ditandai dengan kata
penghubung “dan”.
Seperti yang diuraikan pada halaman
sebelumnya, bahwa dalam sistem perumusan
alternatif kumulatif memberikan kebebasan kepada
Majelis Hakim untuk memilih sanksi pidana yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Sedangkan sistem prumusan kumulatif tidak
memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim
untuk memilih. Dalam sistem itu, majelis hakim
hanya diberikan kebebasan untuk memilih berat
ringannya pidana penjara dan sedikit banyaknya
pidana dendanya.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 11 UU
No. 20 Tahun 2001, maka Akil Mochtar dapat
dibebaskan dari pidana denda oleh majelis hakim.
Dalam artian pidana denda dalam rumusan pasal
tersebut dapat dihapuskan. Namun, apabila
merujuk pada ketentuan Pasal 12 huruf c UU No.
20 Tahun 2001, maka pidana denda tidak dapat
dihapuskan karena sistem rumusannya kumulatif
yang berarti penggabungan, sehingga pidana
pidana penjara dan pidana denda harus dijatuhkan
secara bersamaan
Oleh karena Akil Mochtar dinyatakan bersalah
melanggar dua ketentuan tersebut oleh Pengadilan
Tipikor Jakarta, maka pidana denda tidak dapat
dihapuskan, karena salah satunya ada yang
dirumuskan dengan sistem kumulatif yaitu Pasal
12 huruf c UU No. 20 Tahun 200, yang berarti
pidana penjara dan pidana denda harus sama-sama
dijatuhkan kepada Akil Mochtar.
Jadi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta
tidak tepat apabila menghapuskan pidana denda
dalam perkara Akil Mochtar. Hal itu karena dasar
hukum rujukannnya terdiri dari dua pasal yang
menggunakan strafsoort yang berbeda. Apabila
pidana denda dihapuskan maka tindakan Majelis
Hakim tidak mencerminkan dari suatu upaya
pemberantasan korupsi yang luar biasa (extra
ordinary law enfrocement), sehingga korupsi tidak
254
Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto)
nampak sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime).
C.
Penutup
Pidana denda dalam hukum pidana
termasuk dalam jenis pidana pokok, yang bersifat
imperatif. Apabila melihat sistem perumusan
sanksi (strafsoort) dalam UU No. 31 Tahun 1999
Jo UU No. 20 Tahun 2001, maka tidak semua
pidana denda dapat dihapuskan. Pidana denda
dalam perkara tindak pidana korupsi dapat
dihapuskan (dalam arti tidak dijatuhkan kepada
terdakwa), apabila dirumuskan dengan sistem
alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata
penghubung “dan/atau”.
Berkaitan dengan perkara Akil Mochtar maka
putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta
adalah tidak tepat yang telah menghapuskan
pidana dendanya. Hal itu disebabkan, Akil Mochtar
dinyatakan telah bersalah melanggar ketentuan
Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (c) UU No. 20 Tahun
2001, yang mana salah satunya untuk ancaman
pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif
yang ditandai kata penghubung “dan”, sehingga
pidana denda harus dijatuhkan bersamaan dengan
pidana penjara (penggabungan).
Seluruh hakim yang menangani perkara
pidana terutama perkara tindak pidana korupsi,
apabila ketentuan pidana yang ada dalam suatu
peraturan perundang-undangan dirumuskan
secara kumulatif dengan menggunakan kata
penghubung “dan”, maka pelaku harus dijatuhi
kedua sanksi pidana sebagai bentuk penggabungan
(kumulatif). Selain itu, apabila dalam perkara Akil
Mochtar itu diajukan upaya hukum Banding, maka
Pengadilan Tinggi harus menjatuhkan pidana
denda. Hal itu patut untuk diperhitungkan, karena
korupsi merupakan extra ordinary crime, sehingga
diperlukan suatu upaya extra ordinary law
enforcement.
Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar
Maju.
Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara, Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Budiyono, 2013, Pemanfaatan Media Massa oleh
Penegak Hukum dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,
Perspektif Volume XVIII No. 1 Edisi Januari.
Suparni, Niniek. 2007, Eksistensi Pidana Denda
dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Jakarta: Sinar Grafika.
Winarno, Budi. 2011, Isu-Isu Global Kontemporer,
Yogyakarta: CAPS.
Chazawi, Adami. 2010, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana, Jakarata:
RajaGrafindo Persada.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
----------, --------. 2011, Hukum Pidana dan Formil
Korupis Di Indonesia, Malang: Bayumedia
Publishing.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI
Tahun 1981 Nomor 76.
Hamzah, Jur. Andi. 2008, Terminologi Hukum
Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3874.
Kartanegara, Satochid. Tanpa Tahun, Hukum
Pidana Bahan Kuliah Bagian Satu, Balai
Lektur Mahasiswa.
Mulyadi, Lilik. 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Kriminologi, dan Victimologi, Jakarta:
Djambatan.
Poernomo, Bambang. 1984, Pertumbuhan Hukum
Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum
Pidana, Jakarta: Bina Aksara.
Rianto, Bibit S. 2009, Korupsi Go to Hell!: Mengupas
Anatomi Korupsi Di Indonesia, Jakarta:
Hikmah.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998, Ilmu
Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius.
Soesilo, R. 1995, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Bogor: Politeia.
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana,
Bandung: Alumni.
Sumaryanto, A. Djoko. 2009, Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang RI Nomo 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4150.
Putusan
Putusan Mahakamah Agung
K/Pid.Sus/2013.
RI
No.
1616
Website:
Akil Mochtar Divonis Penjara Seumur Hidup,
http://berita.plasa.msn.com/nasional/trib
unnews/akil-mochtar-divonis-penjaraseumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli
2014.
http://m.poskotanews.com/2014/07/01/aktifikta
s-komentari-vonis-maksimal-akilmochtar/?wpmp_Switcher=mobile, diakses
tanggal 24 Juli 2014.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Abdullah, Mustafa dan Ruben Achamd. 1986,
Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Ali, Mahrus. 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
Jakaarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, Romli. 1995, Kapita Selekta Hukum
255
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256
PARTAI POLITIK DAN PROBLEM KEADILAN BAGI MAZHAB MINORITAS
DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN AWAL)
(POLITICAL PARTY AND JUDICATURE PROBLEM FOR GROUP OF MINORITY IN
INDONESIA (A FIRST STUDY))
Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta
e-mail: [email protected]
(Naskah diterima 07/07/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum. Dinamika
selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya memperjuangkan
hak-hak kelompok minoritas. Bahkan, secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi salah satu sarana
kelembagaan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk melindungi hak-hak
mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan perlindungan kaum
minoritas masih menjadi problem yang belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk kasus diskriminasi yang
dialami oleh para penganut mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian, permasalahan ini tampaknya belum menjadi
perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap
kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat
Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri
Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi
masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar negara
yang mereka anggap mampu untuk “mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar belakangnya. Paper ini
akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam
menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan
pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen yang diterbitkan
oleh beberapa partai politik dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan.
Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai, mazhab minoritas.
Abstract
Political parties have their functions in related with their general election activities. Political parties have also the function to
struggle the minority rights. Theoretically and practically political parties have already be an institutional instrument that
can be formed by minority group of society to protect their rights as citizens. What is the condition in Indonesia practically?
The problems of minority group protection in Indonesia are not completely finished, for example the case of Syiah in
Indonesia. This problem is not attracted the political parties in a serious level. But actually the discrimination problem is
really needs to solve to protect the country from disunity. At the very beginning, the “founding fathers” of this republic had
given their serious attention on pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity the pluralism of Indonesian
people. This writing focus on the role of political parties as the agent of discrimination protection of the minority group in
Indonesia based on Pancasila's values. This study will be based on the data and document publishing by political parties
and interviews from related informants.
Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group.
A.
Pendahuluan
Partai politik merupakan salah satu entitas
yang penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas
pada kegiatan untuk meraup suara pada saat
pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu,
partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang
bisa ikut menentukan perjalanan sejarah suatu
256
bangsa dan negara.
Hal seperti tersebut di atas dapat dilihat, antara
lain, pada pengalaman yang pernah terjadi di
Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan sampai
dengan masa sekarang ini. Secara historis, partaipartai politik di Indonesia sebenarnya lahir dan
tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan identitas
257
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun
menjadi wadah aspirasi dari kelompok atau
golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai
politik pada masa kolonial turut memberikan
kontribusi bagi penemuan identitas keindonesiaan
yang mendasari pembentukan republik.1
Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia,
dapat dilihat pula bahwa partai politik telah berhasil
menjadi agen perubahan yang ikut serta
mengantarkan bangsa Indonesia meraih
kemerdekaannya dari tangan penjajah. Begitupun
setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia,
beberapa partai politik yang dibentuk relatif berhasil
menjadi pengisi syarat bagi Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis. Mereka inilah yang
menjadi peserta pemilihan umum untuk pertama
kali pada tahun 1955.
Kehidupan partai politik di Indonesia mulai
“semarak lagi” sejak adanya Maklumat Nomor X
Tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan
Partai-Partai Politik, yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta
pada tanggal 3 November 1945.2 Maklumat itu
merupakan regulasi pertama di bidang kepartaian
di Indonesia setelah merdeka yang telah melahirkan
sistem multipartai. Ada banyak partai politik yang
dibentuk oleh rakyat berdasarkan maklumat itu.
Partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan
maklumat tersebut diarahkan oleh pemerintah agar
mereka dapat ikut serta dalam pemilihan anggota
badan perwakilan rakyat. Salah satu butir dari
Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945
menyebutkan bahwa “…Pemerintah berharap
supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya
dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.”
Berdasarkan maklumat itu berdirilah secara
resmi partai-partai politik, yang sampai dengan
bulan Januari 1946 telah berjumlah 10 (sepuluh)
partai politik, yang terdiri dari: Partai Majelis Syuro
Muslimin (Masyumi), Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat
Djelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Sosialis Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS),
Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), dan Partai
Nasional Indonesia (PNI).
1
David Reeve menyebutkan bahwa sebenarnya
jumlah partai yang berdiri berdasarkan Maklumat
Nomor X Tanggal 3 November 1945 bukan hanya 10
(sepuluh) partai politik, melainkan jauh lebih
banyak, karena selain muncul beberapa partai
politik kecil, partai-partai politik yang telah
dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit
kembali. Jumlah partai politik yang berdiri pada
bulan November sampai dengan Desember 1945
mencapai 35 (tiga puluh lima) partai politik.3
Pada tahun 1955 diselenggarakanlah
pemilihan umum yang pertama kali sejak
kemerdekaan Indonesia. Pemilihan umum itu
diikuti oleh banyak partai politik, dan dimaksudkan
untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Konstituante.
Berlanjut hingga masa sekarang, partai politik
kembali menjadi aktor penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahkan,
pada saat memasuki periode reformasi setelah
berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru,
berdirinya partai-partai politik menjadi syarat yang
harus dipenuhi oleh Indonesia guna memenuhi
statusnya kembali sebagai negara hukum yang
demokratis setelah lebih dari 30 (tiga puluh) tahun
berada dalam kekuasaan rezim yang “anti
demokrasi.”
Oleh karena itulah, maka dapat dipahami
mengapa pemikir seperti Antonio Gramsci sampai
berani “memuji” partai politik sebagai bagian dari
sejarah suatu negara. Mengenai hal itu Gramsci
mengatakan bahwa, “… Jadi menulis sejarah partai
berarti menulis sejarah umum negara tersebut …”4
Paparan tersebut di atas mencerminkan betapa
kehadiran partai politik begitu dibutuhkan bagi
kehidupan suatu negara, termasuk Indonesia,
karena ia memiliki fungsi-fungsi yang pada
akhirnya dapat ikut menentukan berjalannya
negara sebagai sebuah organisasi politik dan
hukum.
Di Indonesia, mengenai fungsi-fungsi dari
partai politik telah diatur di dalam undang-undang,
yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, yang kemudian diubah
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Syamsuddin Haris, “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 3, No. 1, 2006:
68.
2
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 115.
3
Ibid., hlm. 46.
4
Antonio Gramsci, Prison Notebooks, Catatan-Catatan dari Penjara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 209.
258
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
Fungsi-fungsi tersebut kemudian ditujukan
bagi pemenuhan dan perwujudan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ada
variabel penting yang harus (wajib) menjadi concern
bagi setiap partai politik dalam menjalankan
aktivitasnya, yaitu Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun faktanya Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bukanlah 2 (dua) hal yang “mudah” untuk
diamalkan, dijalankan, dan diwujudkan dalam
kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), termasuk oleh partai-partai politik yang ada.
Untuk hal ini, banyak peristiwa yang bisa dilihat
sebagai contohnya. Misalnya saja seperti peristiwa
tindak diskriminasi terhadap kaum Syiah yang
minoritas yang terjadi di Sampang, Madura.
Peristiwa diskriminasi terhadap kaum Syiah
seperti yang terjadi di Sampang harus diakui masih
belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mereka
yang bermazhab Syiah ini bahkan masih
“berstatus” sebagai pengungsi saat memberikan
suara mereka pada pemilihan umum tahun 2014
yang lalu.5 Padahal, apabila dilihat dari beberapa
aspek, peristiwa Sampang tersebut jelas
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Peristiwa Sampang hanyalah salah satu dari
serangkaian fakta bahwa sebenarnya di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih
sering terjadi diskriminasi terhadap kelompok
minoritas. Dari peristiwa diskriminasi itu, maka
nilai-nilai yang sedang diruntuhkan ialah nilai-nilai
keadilan, kemanusiaan, persatuan, serta
perlindungan hak asasi manusia sebagaimana
dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan,
semua itu akhirnya potensial dapat meruntuhkan
bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Permasalahan tersebut tentu harus dicarikan
solusinya, dan upaya ini harus dilakukan oleh
semua pihak, termasuk partai-partai politik yang
ada di Indonesia. Apalagi, sesuai dengan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, salah satu
tujuan yang diamanatkan kepada partai politik
ialah ia harus dapat mewujudkan cita-cita nasional
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Asumsi dalam kajian ini ialah permasalahan
diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok
minoritas, termasuk diskriminasi yang dialami oleh
kaum Syiah seperti yang terjadi di beberapa tempat
di Indonesia, belum menjadi fokus perhatian yang
serius dari partai-partai politik peserta pemilihan
umum tahun 2014 di Indonesia. Padahal, isu
diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah
satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan
secara tuntas, potensial untuk meruntuhkan
bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini mengingat karena Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibangun di atas kondisi
masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi
suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam
agama).
Paper ini akan berfokus pada pembahasan
mengkaji potensi beberapa partai politik peserta
pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan
fungsinya sebagai agen perlindungan kaum
minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat
dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal”
untuk menilai sejauh mana partai politik
mengupayakan nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan
didasarkan pada data yang bersumber dari
dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh partaipartai politik, dan data wawancara yang berasal dari
narasumber yang relevan.
B.
Pembahasan
B.1. Dinamika Fungsi Partai Politik
Fungsi partai politik, setidaknya, dapat dilihat
dari 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif yuridis, dan
teoretis. Dari perspektif yuridis, Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah
mengamanatkan agar partai politik berfungsi
menjadi sarana:
1.
Pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
5
Muhammad Syarrafah, “Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut Mencoblos,” <http://pemilu.tempo.co/
read/news/2014/04/09/058569339/Pengungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>, dan Muhammad Syarrafah, “Hak Pilih Pengungsi
Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04/08/269568878>, keduanya diakses pada tanggal 13 April 2014.
259
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
2.
Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat;
3.
Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;
4.
Partisipasi politik warga negara Indonesia;
5.
Rekrutmen politik dalam proses pengisian
jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
bentuk bersama dengan pihak lain yang
memiliki kepentingan yang sama.
6.
Sosialisasi politik. Partai politik mempunyai
fungsi sebagai sosialisasi politik. Dalam
fungsinya tersebut, maka partai politik akan
menjadi media melalui mana seseorang
memperoleh sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik, yang umumnya berlaku
dalam masyarakat di mana ia berada.
2.
Partisipasi politik. Partai politik dapat menjadi
alat mobilisasi warga negara ke dalam
kehidupan dan kegiatan politik.
3.
Rekrutmen politik. Partai politik berfungsi
untuk mencari dan mengajak orang yang
berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai. Juga
diusahakan untuk menarik golongan-golongan
muda untuk dididik menjadi kader yang di
masa mendatang akan mengganti pimpinan
lama. Kemudian, kader tersebut bisa saja
diikutsertakan bersaing dengan partai politik
lainnya untuk peran-peran politik dalam
parlemen, dalam kementerian, ataupun
pemerintahan daerah.
4.
5.
Komunikasi politik. Dalam menjalankan fungsi
komunikasi politik, partai politik menyalurkan
beragam pendapat dan aspirasi masyarakat,
serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat
berkurang.
Artikulasi kepentingan. Menyatakan atau
mengartikulasikan kepentingan tertentu
kepada badan-badan politik dan pemerintah
melalui kelompok-kelompok yang mereka
B.2.1. Perspektif Hukum Islam
Keadilan menurut Quraisy Syihab adalah
“menempatkan sesuatu pada tempatnya.”10
Sedangkan menurut Miskawaihi, sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir, bahwa keadilan
adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan
hikmah (wisdom), iffah (kesucian), dan syajaah
(keberanian).11
Pembuat kebijaksanaan. Jelas bahwa suatu
partai politik akan berusaha untuk merebut
kekuasaan di dalam pemerintahan secara
konstitusional. Sesudah partai politik itu merebut
kekuasaan dalam pemerintahan, baik dalam
bidang eksekutif maupun legislatif, maka dia
akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya
dalam membuat kebijaksanaan yang akan
digunakan dalam suatu pemerintahan.
Kitab suci Al-Quran sedikitnya menggunakan 2
(dua) kata kunci untuk menggambarkan keadilan,
yaitu “al-adl” dan “al-qist,”12 serta kata yang
semakna dengan al-adl, yaitu “al-wazn” dan “alwast” yang tercantum dalam berbagai tempat di
dalam Al-Quran.13 Kata al-adl dalam bahasa Arab
mengandung makna penyamarataan (equalizing)
dan kesamaan (levelling), maksudnya ialah bahwa
keadilan dapat dirasakan sama oleh 2 (dua) pihak.
Sehubungan dengan fakta bahwa dalam setiap
masyarakat akan selalu ada kelompok-kelompok
minoritas, Florian Bieber berpendapat bahwa
sebenarnya partai politik dapat juga dijadikan
(berfungsi) sebagai wadah untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok-kelompok minoritas.
Al-Qist merupakan kata kunci yang digunakan
Al-Quran untuk mengandung makna distribusi,
angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran,
dan kewajaran.14 “Al-Adl” dan “Al-Muqsith” juga
merupakan nama Allah yang artinya Tuhan Maha
Adil.15 Kata al-wast yang berarti al-adl dan al-nisf
(tengah atau pusat) dicantumkan pula dalam AlQuran.16 Kata al-wazn yang mempunyai makna
ta'dil dan istiqomah (moderat dan lurus). Dalam AlQuran, kata al-adl selalu disandingi oleh kata “alzulm,” yang merupakan lawan katanya.17 Al-zulm
bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang
tidak semestinya, baik dengan cara melebihkan
atau mengurangi maupun menyimpang dari waktu
dan tempat.18
7.
Secara lebih rinci, Bieber menjelaskan bahwa
ada beberapa sarana perwakilan yang dapat
dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompokkelompok minoritas, yaitu: perkumpulanperkumpulan untuk menyuarakan kepentingan
kelompok minoritas, institusi-institusi khusus,
seperti dewan, yang dibentuk untuk mewakili
kepentingan kelompok minoritas, partai politik yang
bisa saja bukan partai politik khusus yang dibentuk
untuk menyuarakan kepentingan kelompok
minoritas, tetapi lebih merupakan partai politik
yang program-programnya juga menjangkau
kepentingan kelompok minoritas, atau bahkan
membentuk partai politik yang memang khusus
mewakili kepentingan kelompok minoritas.7
6
Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005, hlm. 37-41. Lihat juga Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003,
hlm. 163, dan Mohtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm.
64-69.
7
Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political Parties,” dimuat dalam Florian Bieber et al., Political Parties and
Minority Participation, Skopje: Friedrich Ebert Stiftung, 2008, hlm. 11.
260
B.2. Sekilas tentang Keadilan
Agregasi kepentingan. Agregasi kepentingan
merupakan cara bagaimana tuntutantuntutan yang dilancarkan oleh kelompokkelompok yang berbeda digabungkan menjadi
alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Dalam masyarakat yang demokratik, partai
merumuskan program politik dan
menyampaikan usul-usul kepada badan
legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk
jabatan-jabatan pemerintah mengadakan
tawar-menawar dengan kelompok-kelompok
kepentingan. Dalam tawar-menawar, calon dari
partai politik menawarkan pemenuhan
kepentingan kelompok tertentu apabila mereka
mau mendukung calon tersebut.
Selanjutnya, dari perspektif teoretis, biasanya
partai politik itu dilihat sebagai sebuah institusi
yang memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk:6
1.
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
“Keadilan” merupakan kata sifat yang artinya
perbuatan yang adil. “Adil” artinya tidak berat sebelah,
tidak memihak.8 Menurut Ensiklopedi Hukum Islam,
kata “adil” secara terminologi berarti mempersamakan
sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun
dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak
berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.9
Dalam konteks ajaran Islam, dapat ditemui 6
(enam) macam bidang keadilan (sedikitnya ada 6
(enam) bidang kehidupan yang dituntut untuk
berlaku adil), yaitu: keadilan di bidang hukum,
keadilan di bidang ekonomi, keadilan politik,
keadilan berkeyakinan, keadilan kesehatan, dan
keadilan pendidikan.
Keadilan dalam bidang politik dapat diartikan
bahwa politik dijadikan sebagai standar dan tolok
ukurnya, antara lain, di mana setiap warga negara
mempunyai hak dan akses yang sama untuk
terlibat dalam kegiatan politik. Ukurannya ialah
instrumen negara seperti peraturan yang dibuat
oleh negara, perilaku negara terhadap warga
negaranya, dan apa yang dipandang adil oleh
aparatur negara. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa keadilan politik merupakan
produk dari kekuatan politik, termasuk partai
politik maupun orang yang berpengaruh.
Dalam pandangan Al-Quran, masalah keadilan
juga dikaitkan dengan kekuasaan dan penguasa
yang terpersonifikasikan dalam terminologi
“khalifah.” Dalam Al-Quran surat Shaad ayat 26,
Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Daud
diutus ke dunia untuk menjadi khalifah, penguasa
negara, yang tugasnya ialah untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Nabi Daud juga diperingatkan
agar tidak mengikuti hawa nafsu dalam
menegakkan keadilan.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah
Muhammad SAW, keadilan dikembalikan
kepadanya sebagai rujukan utama. Nilai keadilan
8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 6-7.
9
Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hlm. 25.
10
M. Quraisy Shihab, Lentera Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 238.
11
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 102.
12
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 59. Lihat juga Rifyal Ka'bah, Politik dan
Hukum dalam Al-Qur'an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, hlm. 82-87.
13
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 21.
14
Ibid.
15
Seyyed Hosein Nasr, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 289.
16
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim, Mesir: Dar Al-Fikr, 1981, hlm. 448.
17
Ibid. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 62.
18
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 391-410.
261
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
disandarkan kepada Rasul sebagai standarnya.
Terkait dengan hal itu, Allah berfirman dalam AlQuran surat An-Nisaa ayat 65 yang menjelaskan
bahwa: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima sepenuhnya.”
Setelah masa kepemimpinan Rasulullah lewat,
lalu siapakah yang diberi amanat untuk
menegakkan hukum dan keadilan? Dalam AlQuran surat An-Nisa ayat 59, Allah memberi
petunjuk: ”Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul serta ulil amri19 di antara kalian. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ulil amri di sini ditempatkan pada urutan ke
tiga dalam hierarki legitimasi kekuasaan yang
berhak memerintah kaum muslimin. Ia wajib ditaati
sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul. Dalam surat An-Nisaa ayat 83, Allah
berfirman, “Dan kalau mereka menyerahkan
kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil amri).”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas,
diberitakan bahwa bisa saja terjadi perbedaan
pendapat dalam menerjemahkan keadilan dalam
wilayah politik, atau keadilan di mana politik
menjadi bingkainya. Persoalannya kemudian ialah
siapakah ulil amri yang mempunyai otoritas politik
untuk menegakkan keadilan tersebut?
Dari aspek sejarah, awal mula perdebatan
siapa yang layak dijadikan ulil amri (khalifah)
muncul ketika Rasul wafat. Dalam pandangan
sahabat Rasul, khalifah perlu dipilih dari kalangan
mereka. Kaum muhajirin menghendaki khalifah
dari kalangan muhajirin, dan ansar menghendaki
khalifah dari ansar, sementara Bani Hasyim
menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
19
Pada saat itu terjadi perdebatan sengit untuk
menentukan siapa yang akan menjadi khalifah.
Hingga akhirnya pemilihan dilakukan secara
musyawarah dan terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah pertama. Cara musyawarah ini setidaknya
hanya terjadi pada saat pemilihan khalifah Abu
Bakar saja.20 Untuk khalifah ke dua, metode
pemilihan khalifahnya ialah secara penunjukan.
Dalam hal khalifah ke dua, Abu Bakar telah
membuat surat wasiat bahwa jika dirinya
meninggal, maka Umar bin Khattab yang berhak
menggantikannya. Khalifah ke tiga diangkat
berdasarkan pemilihan oleh sejumlah 6 (enam)
formatur yang anggotanya dipilih oleh Umar bin
Khattab. Sementara khalifah ke empat diangkat
berdasarkan pemilihan. Selanjutnya, dalam tradisi
Dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah berlakulah
sistem monarki.
Dari paparan tersebut terlihat tidak ada
konsistensi dalam pengangkatan khalifah. Hal ini
dapat dipahami karena memang tidak ada dasar
hukumnya yang pasti tentang bagaimana teknik
mengangkat ulil amri (khalifah).
Memang tidak ada satu dasar hukum dari AlQuran dan Sunah yang secara jelas menganjurkan
atau melarang seorang muslim untuk terlibat dalam
kegiatan politik dalam suatu negara. Dari paparan
di atas harus diakui pula bahwa Islam tidak dapat
memisahkan hubungan antara negara dan agama.
Hal itu telah diberi teladan oleh Rasulullah ketika ia
mendirikan “Negara Madinah.” Nabi Muhammad
SAW selama sekitar 10 (sepuluh) tahun di kota
hijrah itu telah tampil sebagai seorang Nabi dan
sekaligus seorang pemimpin masyarakat politik
(kepala negara). 2 1 Sehingga, praktis Nabi
Muhammad SAW yang langsung memberikan
contoh berpolitik yang islami.
Di masa kepemimpinan Rasul, praktik
keharmonisan dan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia yang diajarkan oleh Islam di
Madinah salah satunya diwujudkan dalam
dokumen yang dikenal dengan sebutan “Piagam
Madinah.” Dalam rangka itu pula, dikenal adanya
terminologi “ummatan wahidah,” suatu terminologi
yang sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh
mayoritas kaum muslimin. Ummatan wahidah
sering dipahami sebagai kondisi suatu masyarakat
Ulama adalah pemimpin agama, dan umaro adalah pemimpin pemerintahan.
20
Mengenai perdebatan dan insiden Saqifah Bani Sa'idah dapat dibaca pada Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I,
Mesir: Muassasah Al-Halabiy, tanpa keterangan tahun, hlm. 12-18.
21
Nurkholis Madjid, “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,
Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998: 589.
262
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
yang homogen (tidak ada perbedaan). Padahal
sesungguhnya, terminologi tersebut ialah untuk
menggambarkan keharmonisan yang terjadi di
masyarakat heterogen seperti yang ada di Madinah.
Konsep ummatan wahidah itu juga merupakan
suatu konsep yang dibangun oleh Rasul untuk
memberikan pemahaman bahwa Islam ialah agama
yang toleran dan menghargai perbedaan.
Lalu, apa relevansinya pembahasan tersebut di
atas, yang dilakukan dari perspektif hukum Islam,
dengan tema paper ini? Ada beberapa hal yang
dapat menjadi jawaban (alasan) atas pertanyaan itu,
yaitu:
Pertama, Islam dan politik ialah 2 (dua) hal
yang tidak bisa dipisahkan. Bagi para penganutnya,
Islam diyakini merupakan ajaran yang
komprehensif, termasuk mengatur bagaimana
politik itu dijalankan, melalui apa, dan apa
tujuannya. Pada titik ini, maka keberadaan partai
politik, yang merupakan bagian dari melalui apa
politik itu dijalankan, dibahas dalam kaitannya
dengan tujuan yang ingin dicapai melalui politik
kepartaian. Dan yang ingin dicapai melalui politik
kepartaian ini tentunya tertuju kepada “berbagai
maslahat baik yang kembali kepada agama
maupun umat,”22 termasuk tentunya keadilan bagi
mazhab minoritas yang ada di dalam tubuh Islam
itu sendiri.
Kedua, problem keadilan bagi seluruh
masyarakat, termasuk bagi kelompok minoritas
yang ada di dalam masyarakat, secara potensial
bisa diselesaikan antara lain melalui politik
kepartaian. Hal ini dikarenakan partai politik
memiliki fungsi sebagai sarana artikulasi, agregasi,
dan pembuat kebijakan atau hukum yang responsif
terhadap perwujudan keadilan di masyarakat.
Secara lebih umum, hal seperti itulah yang disebut
oleh Rocky Gerung sebagai “mengaktifkan politik
sebagai tata bahasa percakapan keadilan.”23 Sejalan
dengan hal itu, dalam konteks politik Islam, Yusuf
Qardhawi juga menjelaskan bahwa:24 “… kaum
muslimin lebih baik ikut berperan serta dalam
kancah politik demi tercapainya berbagai maslahat
baik yang kembali kepada agama maupun umat,
sekaligus untuk mencegah timbulnya bahaya dan
kerusakan yang akan mengancam mereka… Di
antara beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh
kaum muslimin adalah mendirikan partai yang
memperjuangkan hak-hak mereka serta hak-hak
orang lain.”
B.2.2. Perspektif Negara Hukum Indonesia
Untuk memahami konsep keadilan di dalam
tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
yang menjadi landasannya haruslah (harus diawali
dengan) pemahaman terhadap konsep keadilan
yang terkandung dalam sila-sila pada Pancasila
sebagai falsafah negara Indonesia.
Menurut Abdulkadir Besar, ciri khas paham
keadilan menurut Pancasila ialah:25
1.
Subjeknya jamak yang berinteraksi secara
berpasangan;
2.
Bahan baku dari keadilan ialah hasil tunaian
kewajiban memberi dari para subjek;
3.
Keadilannya bersifat fungsional;
4.
Dengan terjadinya transformasi kewajiban
menjadi hak antarpasangan-subjek yang
jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan
sosial terwujud.
Berdasarkan penjelasan mengenai konsep
keadilan dalam Pancasila tersebut di atas, apabila
kemudian hal itu dihubungkan dengan upaya
perlindungan hak asasi manusia kaum minoritas,
maka akan diperoleh pemahaman bahwa keadilan
dalam Pancasila jelas mengisyaratkan adanya
perlindungan bagi kelompok minoritas oleh
kelompok mayoritas.26 Antara subjek yang saling
terjalin dalam relasi ekuivalensi, mereka berada di
dalam “relasi samaan” sekaligus “relasi tak
samaan.” Menurut Besar, relasi samaan ialah
terkait dengan kesamaan tujuan yang hendak
dicapai oleh unsur-unsur yang saling berinteraksi,
dan relasi tak samaan ialah terkait dengan keadaan
tertentu yang berbeda yang mengakibatkan
antarunsur tadi saling bergantung.27
Dalam konteks keadaan masyarakat Indonesia
yang plural yang di dalamnya juga terdapat
kelompok minoritas dan mayoritas, maka ini
22
Yusuf Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 283.
23
Rocky Gerung, “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik,” Jurnal Jentera, Ed. 20, Thn. V, Januari-April 2010: 7.
24
Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 283.
25
Abdulkadir Besar, Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik, Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta: Pustaka Azhary, 2005, hlm.
42.
26
Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama,” Digest Epistema, Vol. 4, 2013:
25.
27
Abdulkadir Besar, op.cit., hlm. 21 dan 123.
263
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
mengisyaratkan perlunya kedua belah pihak untuk
saling bekerja sama, saling melengkapi, untuk
kemudian secara bersama-sama berupaya
mewujudkan kesejahteraan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.28 Sejalan mengenai
hal tersebut, Nurkholis Madjid pernah menjelaskan
bahwa dengan prinsip persamaan, manusia juga
didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin
kerja sama dan persaudaraan untuk mengatasi
kesenjangan serta perbedaan, dan untuk
meningkatkan mutu kehidupan bersama.29
Menurut J.S. Furnivall, masyarakat plural
adalah masyarakat yang terdiri dari 2 (dua) atau
lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang
hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan
menyatu dalam satu unit politik tunggal.30 Dalam
perkembangannya, masyarakat-masyarakat plural
di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhir
perang dunia ke-2, dapat menyatu dalam satukesatuan unit politik tunggal. Namun, memang
harus diakui bahwa penyatuan itu tidaklah
menghilangkan realitas pluralitas sosial, budaya,
bahkan keagamaan yang ada di dalam masyarakat
Indonesia.31
Negara, menurut alam Pancasila, diharapkan
dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama. Selain itu, sebagai negara yang dihuni
oleh warga negaranya yang memiliki beragam latar
belakang agama dan keyakinan, Negara Indonesia
diharapkan juga dapat mengambil jarak yang sama
terhadap semua agama dan keyakinan, serta
melindunginya. Dan sehubungan dengan adanya
fakta bahwa di dalam masyarakat selalu ada agama
dan keyakinan yang berposisi sebagai mayoritas
dan minoritas, maka Negara Indonesia harus dapat
pula mengembangkan dan menjalankan
kekuasaannya secara independen, tanpa didikte
oleh agama mayoritas sekalipun.32
Pernyataan yang terakhir itu merupakan
konsekuensi dari Negara Indonesia yang bukan
“negara agama,” melainkan “negara berdasar atas
28
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada negara agama,
negara hanya merepresentasikan salah satu unsur
agama tertentu, dan memungkinkan agama
tersebut mendikte negara.33 Sedangkan, menurut
Yudi Latif, pada negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka keberadaan agama
diharapkan (dimaksudkan) untuk: pertama,
mampu menempatkan diri dan menampilkan
ajaran agama yang membawa kebaikan bagi
semua.34 Ke dua, setiap agama mencari titik temu
dalam semangat gotong-royong untuk membentuk
landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik
bersama berdasarkan nilai-nilai moralitas
Ketuhanan. 35 Ke tiga, setiap agama harus
menghindari sikap mengucilkan agama lain yang
mengakibatkan timbulnya fragmentasi berdasarkan
ideologi keagamaan.36 Ke empat, agama harus dapat
berkontribusi bagi penciptaan budaya demokrasi
dan kemajuan bangsa, seperti pada saat ia ikut
serta membuka jalan menuju Indonesia merdeka.37
Ke lima, dan melalui hal-hal itu semua, dapat
mewujudkan “kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan, konsensus secara bijaksana, serta
keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan
dan golongan.”38
B.3. Problem
Indonesia
Keadilan
Bermazhab
di
Apakah yang dimaksud dengan problem
keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas
tersebut? Problem keadilan bermazhab bagi
minoritas ini sebenarnya ialah suatu permasalahan
di mana keadilan tidak terwujud bagi mereka yang
berasal dari kelompok mazhab minoritas. Wujud
konkret dari permasalahan itu ialah adanya
diskriminasi yang dialami oleh mereka yang berasal
dari kelompok mazhab yang berbeda yang berada
pada posisi minoritas.
Konsep mazhab minoritas mirip dengan konsep
agama minoritas (minority religion). Perbedaannya
terletak pada posisi mazhab yang justru berada di
dalam satu tubuh agama tertentu. Faktor agama,
Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., loc.cit.
29
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm.
390.
30
Azyumardi Azra, “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme,” dimual dalam Jusuf Susanto, The Dancing Leader, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 18.
31
Ibid., hlm. 19.
32
Yudi Latif, op.cit., hlm. 43.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 118.
35
Ibid., hlm. 119.
36
termasuk mazhab, tentunya juga dapat menciptakan
entitas kelompok minoritas. Dan di dalam suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya memiliki
beragam keyakinan agama, maka akan terdapat apa
yang disebut sebagai “agama minoritas.”
Istilah agama minoritas (minority religion) dapat
dipahami dalam beberapa pengertian. Secara
sederhana, agama minoritas dapat dipahami
sebagai sebuah situasi dalam mana sebuah bagian
dari masyarakat mempraktikkan sebuah agama
yang berbeda dari agama mayoritas pada
masyarakat yang bersangkutan.39
Agama minoritas juga dapat dipahami dalam
kaitannya dengan faktor kekuasaan. Karenanya
yang patut pula diperhatikan ialah, terkadang
dalam situasi tertentu, agama yang minoritas dalam
hal jumlah pengikut justru dapat menjadi dominan
secara politik (menguasai bidang politik). Dalam
keadaan seperti ini, maka agama minoritas tadi
tidaklah dapat disebut berada dalam kedudukan
yang minoritas.40
Masih dalam kaitannya dengan faktor
kekuasaan, agama minoritas dapat dipahami pula
sebagai agama yang dalam hal jumlah pengikutnya
memang sedikit apabila dibandingkan agama lain
yang pengikutnya lebih banyak (agama mayoritas),
ditambah lagi mereka (sebagai penganut agama
minoritas) juga memiliki pengaruh yang kecil dalam
bidang politik.41
Agama minoritas juga dapat dipahami dalam
kaitannya dengan etnis minoritas tertentu yang
ada di dalam suatu masyarakat. Apabila terdapat
sekelompok etnis minoritas yang mana suatu
agama menjadi salah satu bagian dari identitas
budaya mereka, maka agama yang mereka peluk
itu juga akan menjadi agama minoritas.42
Lebih lanjut, keberadaan kaum minoritas,
termasuk minoritas karena latar belakang mazhab
dalam suatu agama, biasanya terkait pula dengan
masalah praktik diskriminasi. Diskriminasi
menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 adalah: “setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
Apabila menggunakan pendapat-pendapat
tersebut di atas, maka jelas paham Syiah di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai entitas
minoritas. Alasannya tentu dapat dikaitkan dengan
pertimbangan dari sisi jumlah penganutnya,
pengaruhnya secara politis, dan perlakuan
diskriminasi yang mereka terima.
Penjelasan tersebut akan semakin relevan
apabila dihubungkan dengan fakta-fakta (peristiwa)
yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia,
terutama misalnya pada peristiwa di mana
kelompok yang menganut mazhab Syiah yang
minoritas mengalami diskriminasi secara terusmenerus. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang
dapat dijadikan contoh mengenai diskriminasi itu,
yaitu:
1.
Pada April 2000, bangunan dan fasilitas
Pesantren Syiah, Al-Hadi, di Pekalongan,
dibakar dan dihancurkan;
2.
Pada Februari 2011, terjadi penyerangan dan
kerusuhan di dalam Pesantren YAPI Bangil.
Bentrokan terjadi antara santri YAPI dan warga
Sunni;
3.
Pada Desember 2011, terjadi penyerangan
sekaligus pembakaran rumah-rumah warga
Syiah di wilayah Sampang, Jawa Timur;
4.
Pada Mei 2012, di Jember juga terjadi
bentrokan yang disebabkan isu gesekan
dakwah Syiah.
5.
Pada Agustus 2012, ratusan orang telah
menyerbu permukiman milik komunitas Syiah
di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam,
Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang,
Jawa Timur.
6.
Pada tanggal 14 November 2013, terjadi
pembubaran perayaan Asyura dari para
penganut mazhab Syiah di Balai Samudera,
Kelapa Gading, Jakarta.
39
Richard T. Schaefer, ed., Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society, Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc., 2008, hlm.
1139.
Ibid.
40
Ibid.
37
Ibid., hlm. 120.
41
Ibid., hlm. 1140.
38
Ibid.
42
Ibid.
264
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,
dan aspek kehidupan lainnya.”
265
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
Permasalahan tersebut tentunya harus segera
diselesaikan secara tuntas, karena apabila tidak
diselesaikan, maka secara perlahan-lahan potensial
meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang masyarakatnya bersifat plural.
B.4. Fungsi Partai Politik dan Problem
Keadilan Bermazhab
Apabila dihubungkan antara tujuan serta
fungsi partai politik di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 dengan permasalahan diskriminasi yang
dihadapi oleh para pemeluk mazhab Syiah di
Indonesia, maka idealnya partai politik di Indonesia
seharusnya ikut serta menjadi agen yang
menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan
mengenai hal ini ialah karena secara yuridis
keharusan itu sudah ditegaskan di dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008,
yang intinya mewajibkan setiap partai politik untuk
berupaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dan,
bentuk-bentuk dikriminasi yang dihadapi oleh
kaum Syiah di Indonesia selama ini jelas
merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tadi. Oleh karena
itu, apabila permasalahan diskriminasi itu tidak
segera diselesaikan secara tuntas tentunya
potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, partai politik yang ingin
secara sungguh-sungguh menjalankan fungsinya
sebagai pengemban nilai-nilai Pancasila seharusnya
juga ikut aktif menyelesaikan permasalahan
diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, seperti halnya yang dihadapi
oleh kaum Syiah di Indonesia.
Penjelasan tersebut di atas akan menjadi lebih
menarik lagi jika dihubungkan dengan fakta-fakta
yang ada dalam praktik kepartaian yang dijalankan
di Indonesia. Dengan membatasi diri pada partaipartai politik yang menjadi peserta pemilihan
umum tahun 2014, penulis mengamati praktik
yang dijalankan oleh beberapa partai politik, dan
dari pengamatan itu dapat diketahui hal-hal
penting sebagai berikut:
Pertama, dari 12 (dua belas) partai politik
nasional peserta pemilihan umum tahun 2014,
semua partai politik itu di dalam visi dan misi,
anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang
memuat penjelasan mengenai program-program
kerja partai politik yang bersangkutan telah
mencantumkan secara eksplisit maupun implisit
perlunya bersikap adil dan menentang diskriminasi
dalam kehidupan di masyarakat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal tersebut,
frase atau kata kunci yang digunakan oleh partaipartai politik di dalam dokumen-dokumen mereka,
antara lain, ialah “masyarakat madani,” “egaliter,”
“keharmonisan dari keberagaman agama,” “tatanan
masyarakat majemuk,” serta “setara, merata dan
tidak diskriminatif.”
Tetapi memang, dalam perkembangan
selanjutnya, masih dapat dilihat adanya ambiguitas
perumusan program-program kerja dari partai
politik tertentu terkait dengan isu keadilan dan
kebebasan dalam memilih serta memeluk agama
atau keyakinan.
Mengenai hal tersebut misalnya dapat dilihat
dari dokumen yang diterbitkan oleh salah satu
partai politik nasional yang, di satu sisi, dengan
tegas mencantumkan bahwa mereka adalah partai
yang menentang tindakan diskriminasi, termasuk
diskriminasi yang dilakukan atas alasan agama
atau keyakinan, tetapi di sisi yang lain, mereka
justru mencantumkan pula ide campur tangan
negara dalam hal “pemurnian ajaran agama.”
Padahal, sebagaimana terjadi dalam beberapa
kasus, alasan pemurnian agama telah dijadikan
sebagai salah satu dasar bagi “pembungkaman”
terhadap beberapa pihak yang memiliki agama atau
keyakinan yang minoritas, yang berbeda dengan
agama atau keyakinan mayoritas. Salah satu
contoh konkret mengenai kasus tersebut dapat
dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sampang
Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg, Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 481/Pid/
2012/PT.SBY, dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1787 K/Pid/2012 dengan terdakwa Tajul
Muluk yang berlatar belakang mazhab Syiah.
Kedua, walaupun dari 12 (dua belas) partai
politik nasional semuanya telah menaruh perhatian
terhadap permasalahan diskriminasi, tapi tidak ada
satupun dari mereka yang secara eksplisit
menggunakan istilah “mazhab” yang merujuk pada
pengertian paham atau aliran dalam suatu agama,
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
serta tidak pula ditemukan adanya penggunaan
istilah “minoritas” dalam visi dan misi, anggaran
dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat
penjelasan mengenai program-program kerja partai
politik yang bersangkutan.
Berdasarkan pengamatan penulis, masih
sangat sedikit partai-partai politik yang mau
mengangkat isu (permasalahan) diskriminasi
terhadap mazhab minoritas. Hanya Partai Nasdem
yang secara jelas sempat mengangkat
permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum
Syiah di Sampang, yaitu melalui program jajak
pendapat publik mengenai peristiwa Sampang.
Sedangkan partai politik lainnya tampak belum
begitu “bersemangat” mengangkat isu tersebut.
Kalaupun ada, mereka ini hanya sekedar
mempublikasikan “sekilas berita” mengenai
peristiwa Sampang tadi.
Mengenai fenomena tersebut di atas, penulis
telah mengkonfirmasi hal itu dengan mewawancarai
Ahmad Hidayat dari organisasi Ahlul Bait Indonesia
(ABI). Saat ia ditanya bagaimana pendapatnya
mengenai kecenderungan bahwa peristiwa
Sampang tampaknya masih belum menjadi isu
“yang menarik” bagi partai-partai politik nasional
yang ada, Hidayat membenarkan hal tersebut.43
Bahkan, menurutnya, “Patut disayangkan bahwa
partai politik justru tidak progresif dan bahkan pasif
terhadap persoalan-persoalan sektarian seperti
yang terjadi di Sampang.”44
Lebih lanjut menurut Hidayat:45 “Selama partai
tidak keluar dari cara-cara berpikir yang kuno yang
hanya mengharapkan dukungan suara, dan tidak
dengan pertimbangan rasional, maka sangat
mungkin persoalan sensitif seperti kasus Sampang
tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi
partai politik. Walaupun demikian, tentu kami
berharap agar partai-partai politik, baik yang
mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis
maupun partai berdasar agama tertentu, semestinya
menggunakan fungsi-fungsinya untuk memberikan
pendidikan politik kepada rakyat Indonesia, dan
mampu menjelaskan bahwa sesungguhnya secara
konstitusional persoalan keagamaan adalah
persoalan bangsa yang sudah diatur dalam Undang-
Namun, narasumber lain yang penulis
wawancarai menolak pendapat yang mengatakan
bahwa partai politik, terutama yang ada di Dewan
Perwakilan Rakyat, hanya bersikap pasif terhadap
peristiwa diskriminasi seperti yang terjadi Sampang.
Habiburrokhman yang menjabat sebagai Ketua
Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya
(Parta Gerinda) menjelaskan bahwa:46 “Bagi Partai
Gerindra isu penghormatan hak minoritas bukanlah
persoalan layak dijual atau tidak, tapi seharusnya
menjadi komitmen seluruh elemen bangsa termasuk
seluruh partai politik. Partai Gerinda sangat serius
merespons kasus Sampang, wakil kami di Dewan
Perwakilan Rakyat telah mendesak pemerintah
untuk melakukan tindakan tegas.”
Dinamika permasalahan diskriminasi di
Indonesia ini jelas tidak hanya berhenti pada
lingkup suku, ras, dan agama saja. Peristiwa seperti
yang terjadi di Sampang, yang melibatkan 2 (dua)
kelompok masyarakat yang berbeda mazhab, yaitu
Suni dan Syiah, sebenarnya memperlihatkan
bahwa diskriminasi dapat pula terjadi di dalam
lingkup 1 (satu) agama. Oleh karena itu, maka
perspektif keadilan bagi mazhab minoritas juga
menjadi hal penting yang perlu diperhatikan secara
sungguh-sungguh oleh seluruh pihak, termasuk
partai-partai politik di Indonesia.
Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat pula diketahui bahwa partai-partai politik
yang ada di Indonesia, khususnya mereka yang
menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014,
masih belum menjadikan isu keadilan bermazhab
bagi mazhab minoritas sebagai isu yang penting
untuk diperjuangkan perwujudannya di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendapat
semacam ini juga terungkap saat penulis
menanyakan kepada Hidayat sebagai narasumber.
Hidayat berpendapat bahwa:47 “Memang patut
disayangkan bahwa sejumlah partai politik yang
ada tidak cukup siap untuk memberikan kontribusi
yang positif bagi tegaknya kehidupan toleransi di
43
Wawancara dengan Ahmad Hidayat, Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia (ABI). Wawancara dilakukan pada tanggal 16 September
2013. Sebagai organisasi, ABI ini telah aktif mengadvokasi warga masyarakat yang menjadi korban diskriminasi berlatar belakang
perbedaan mazhab, seperti halnya yang menimpa kaum Syiah di Sampang.
44
Ibid.
45
Ibid.
46
Wawancara dengan Habiburrokhman, Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya (Parta Gerinda). Wawancara dilakukan
pada tanggal 10 September 2013.
47
266
Undang Dasar 1945. Karena itulah, partai politik
harusnya mencetak kader-kader politik yang
negarawan yang tidak lagi terkooptasi oleh
kepentingan sektarian.”
Wawancara dengan Ahmad Hidayat, loc.cit.
267
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
Negara Indonesia yang bhinneka atau plural ini.
Dan sesungguhnya hal itu tidak sesuai dengan
konstitusi.”
Padahal, tambah Hidayat, “Partai politik adalah
salah instrumen politik yang sangat baik, terutama
sekali karena ia mempunyai fungsi untuk
memberikan pendidikan politik dan budaya politik
bangsa.”48 Ia pun berharap agar partai-partai politik
dapat lebih memainkan peran yang signifikan,
terutama secara kelembagaan di Dewan Perwakilan
Rakyat, sehingga kehidupan toleransi dan keadilan
bagi kelompok minoritas di Indonesia bisa
terwujud.49
Berdasarkan pendapat dari narasumber
tersebut dapatlah diketahui bahwa memang partaipartai politik yang ada di Indonesia belum secara
maksimal menjalankan fungsinya sebagai sarana
artikulasi dan agregasi kepentingan, terlebih lagi
sebagai agen yang dapat ikut mewadahi kelompok
minoritas dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Penulis pun masih sulit untuk menemukan
adanya program-program “terobosan” yang
dirumuskan atau ditempuh secara konkret oleh
partai-partai politik dalam ikut menyelesaikan
permasalahan diskriminasi atau problem keadilan
bagi mazhab minoritas di Indonesia. Kesulitan dari
penulis seperti ini “didukung” pula oleh penjelasan
yang diberikan oleh Habiburrokhman sebagai
narasumber yang diwawancarai. Saat ia ditanya,
“program apakah yang partai anda tawarkan terkait
dengan isu pluralisme di Indonesia?”
Habiburrokhman menjelaskan bahwa:50 “Hak
berkeyakinan adalah hak paling dasar yang harus
dilindungi. Secara prinsip, menghormati setiap
elemen bangsa adalah komitmen Partai Gerindra.
Oleh karena itu, tidak ada program khusus terkait
isu pluralisme di Partai Gerindra. Justru Partai
Gerindra menerapkan prinsip-prinsip menghormati
setiap elemen bangsa dalam seluruh program politik
Partai Gerindra” (huruf miring dari penulis).
Padahal, sebagaimana pendapat dari Bieber,
yang telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan
partai politik potensial dapat ikut menciptakan
“ruang perjuangan kepentingan” bagi kelompok
minoritas dalam menghadapi diskriminasi.
Pentingnya perjuangan untuk menghapuskan
diskriminasi bagi kelompok minoritas melalui
wadah partai politik bisa dipahami karena adanya
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Wawancara dengan Habiburrokhman, loc.cit.
268
fungsi yang melekat pada partai politik untuk
mengartikulasikan dan mengagregasikan
kepentingan kelompok tertentu yang ada dalam
masyarakat, sehingga bisa berujung pada proses
pembuatan kebijakan yang diterapkan di tengahtengah masyarakat. Melalui wakil-wakil mereka
yang duduk di lembaga perwakilan rakyat maupun
pemerintah inilah yang potensial dapat membantu
menciptakan hukum (undang-undang) yang secara
substantif lebih mampu memberikan perlindungan
bagi kaum minoritas dari tindakan diskriminatif.
Oleh karena itu, semakin banyak partai politik
yang peduli atau memiliki perspektif keadilan bagi
minoritas, termasuk minoritas dalam konteks
mazhab, sebenarnya semakin memperbesar pula
peluang terciptanya hukum yang responsif
terhadap kebutuhan kaum minoritas. Dan
selanjutnya, kondisi seperti itu tentunya juga akan
semakin memperbesar peluang untuk
memaksimalkan perwujudan nilai-nilai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan di
masyarakat di Indonesia.
C.
Penutup
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka
beberapa hal yang dapat dijadikan simpulan bagi
kajian ini ialah:
Pertama, partai politik merupakan salah satu
entitas yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak
hanya terbatas pada kegiatan untuk meraup suara
pada saat pemilihan umum saja, lebih jauh
daripada itu, partai politik sebenarnya memiliki
fungsi lain yang bisa ikut menentukan sejarah
perjalanan suatu bangsa dan negara.
Dari perspektif yuridis, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008,
partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu
sebagai sarana: pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat, penciptaan iklim yang kondusif bagi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat, penyerap serta penyalur
aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan
dan menetapkan kebijakan negara, partisipasi
politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi.
Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)
Fungsi-fungsi tersebut pada akhirnya terkait
erat dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dalam perkembangan selanjutnya, partai
politik ternyata juga memiliki fungsi yang potensial
sebagai sarana untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok-kelompok minoritas.
Kedua, permasalahan diskriminasi sudah
menjadi perhatian dari partai-partai politik di
Indonesia yang menjadi peserta pemilihan umum
tahun 2014. Kecenderungan ini setidaknya dapat
dilihat dari dokumen-dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh partai-partai politik yang
bersangkutan. Tetapi, dapat juga dikatakan bahwa
perhatian yang diberikan oleh partai-partai politik
itu belumlah maksimal dipraktikkan.
Selain itu, partai-partai politik tersebut
tampaknya masih belum pula mempunyai
perspektif keadilan bermazhab bagi minoritas.
Padahal, problem keadilan bermazhab bagi
minoritas di Indonesia masih sering terjadi dalam
wujud tindakan diskriminatif, dan hingga sekarang,
hal ini pun masih belum dapat diselesaikan secara
tuntas.
Daftar Pustaka
Al-Dainuri, Ibnu Qutaibah. Tanpa keterangan
tahun. Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I.
Mesir: Muassasah Al-Halabiy.
Azed, Abdul Bari, dan Makmur Amir. 2005. Pemilu
dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Azra, Azyumardi. 2011. “Jadi Diri Indonesia:
Pancasila dan Multikulturalisme.” Dalam
Jusuf Susanto. The Dancing Leader.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1981. Al-Mu'jam AlMufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim.
Mesir: Dar Al-Fikr.
Basyir, Ahmad Azhar. 1993. Refleksi atas Persoalan
Keislaman. Bandung: Mizan.
Besar, Abdulkadir. 2005. Pancasila: Refleksi
Filsafati, Transformasi Ideologik,
Niscayaan Metoda Berfikir. Jakarta:
Pustaka Azhary.
Bieber, Florian. 2008. “Introduction: Minority
Participation and Political Parties.” Dalam
Florian Bieber et al. Political Parties and
Minority Participation. Skopje: Friedrich
Ebert Stiftung.
Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan Teologi
Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gerung, Rocky. 2010. “Representasi, Kedaulatan,
dan Etika Publik.” Jurnal Jentera (Ed. 20,
Thn. V, Januari-April).
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks, CatatanCatatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Haris, Syamsuddin. 2006. “Demokratisasi Partai
dan Dilema Sistem Kepartaian di
Indonesia.” Jurnal Penelitian Politik LIPI
(Vol. 3, No. 1).
Ka'bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum dalam AlQur'an. Jakarta: Khairul Bayan.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
2011. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Madjid, Nurkholis. 1998. “Islam dan Politik: Suatu
Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan
Keadilan.” Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina (Vol. I, No. 1).
Mas'oed, Mohtar, dan Colin MacAndrews. 2006.
Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Nasr, Seyyed Hosein. 2003. The Heart of Islam.
Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung:
Mizan.
Qardhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi
Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka AlKautsar.
Raharjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al-Qur'an:
Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
269
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity,
Transformation of Intelectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago Press.
Schaefer, Richard T., ed. 2008. Encyclopedia of
Race, Ethnicity, and Society. Los Angeles
dan London: SAGE Publications, Inc.
Shihab, M. Quraisy. 2008. Lentera Al-Qur'an.
Bandung: Mizan.
Syarrafah, Muhammad. 2014. “Hak Pilih Pengungsi
Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo.
co/read/news/2014/04/08/269568878
>. Diakses pada tanggal 13 April 2014.
-------------. Syarrafah, Muhammad. 2014.
“Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut
270
Mencoblos,” <http://pemilu.tempo.co/
read/news/2014/04/09/058569339/Pen
gungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>.
Diakses pada tanggal 13 April 2014.
Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di
Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve. 2000.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Wijaya, Endra, dan Zaitun Abdullah. Tanius
Sebastian, ed. 2013. “Menggugat
Diskriminasi atas Nama Agama.” Digest
Epistema (Vol. 4).
METODE RIA DALAM PROSES FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
(RIA METHOD IN PUBLIC POLICY FORMULATION PROCESS)
Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN Bandung
Jl. Cimandiri No. 34-38 Bandung, Indonesia
Telp. 022-4237375, Faks. 022-4267683
Email: [email protected]
(Naskah diterima 11/06/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Kebijakan publik merupakan instrumen yang amat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan
publik juga amat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, dan politik
masyarakat. Penyusunan kebijakan publik telah berkembang seiring isu-isu publik yang lebih kompleks yang hadir
dalam perkembangan pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik hendaknya disusun dan diciptakan
dengan baik, sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Kebijakan yang baik amat ditopang oleh model dan
teknik penyusunan kebijakan yang diterapkannya. Sudah banyak model dan teknik penyusunan yang sudah dipakai
dan dikembangkan oleh banyak pakar maupun elemen pemerintahan. Salah satu yang digunakan dan dikembangkan
secara luas adalah model RIA. Model ini juga sudah cukup lama digunakan oleh berbagai negara di dunia terutama
negara maju yang tergabung dalam OECD. Dalam model ini peran biaya (cost) dan manfaat (benefits) menjadi dimensi
yang paling utama dalam menentukan alternatif kebijakan atau opsi yang mana yang paling tepat untuk digunakan
dalam penyelesaian persoalan publik. Bahkan sebelum isu tersebut menjadi topik utama penyusunan kebijakan, model
RIA dapat digunakan untuk menganalisis segala kemungkinan dari aspek ekonomi, sosial dan politik. RIA dapat
dikembangkan dengan lebih luas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam sistem penyusunan kebijakan secara
resmi.
Kata Kunci: RIA, Kebijakan, Formulasi.
Abstract
Public policy is a very important instrument in the application of governmental process. Public policy can bring a lot of vast
influences on each aspect of people's lifes ranging from economic, social, and political issues. The public policy making
process has been developed along with the complexity of public issues which are emerging in the pattern of life of the people.
Public policy should be arranged and created in a good way, that's because the impacts brought to the people are very
massive. A good public policy is underpinned by a certain model and technique of policy making which has been used. There
are so many models and techniques on policy making which have been used and developed by many scholars and
government's agencies. One of the models is RIA. This model has been long enough applied in many developed and
developing countries especially the member of OECD. In RIA model, the role of the cost and benefit are the first and most
important dimensions to decide the true and appropriate policy alternative or option in order to handle the public's problems.
RIA can be also used before the public issues become the first topic in public policy making process. In this phase, RIA is
used to analyze every potentials and chances from economic, social, and political aspects. RIA can be developed more
massive by integrating it into the public policy making system officially.
Key words: RIA, Policy, Formulation.
A.
Pendahuluan
Kebijakan publik merupakan hal yang amat
sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semua tindakan dan kebijakan pemerintahan
diwujudkan dalam instrumen kebijakan. Hal ini
dilakukan agar, akuntabilitas dan transparansi
tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintah
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan lain
sebagainya mempunyai landasan sosial dan yuridis
yang tepat. Selain itu, melalui kebijakan publik
pemerintah, masyarakat dapat mengawasi
kebijakan tersebut dilakukan.
Kebijakan yang baik harus diformulasikan
dengan baik juga. Formulasi kebijakan yang baik
dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga
tahap penyusunan di tingkat legislatif atau komite
eksekutif. Meskipun pada tahapan ini pengaruh
politik dan kepentingan sektoral amat mempengaruhi kualitas kebijakan, namuan seyogyanya
para penyusun kebijakan memahami makna dan
tujuan dari diterbitkannya kebijakan publik
tersebut, sehingga niat politis dapat direduksi dan
dikesampingkan.
271
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278
Pada kenyataannya, memang tidak semua
kebijakan diformulasikan dengan baik sehingga
mengundang banyak persoalan dalam implementasinya. Kondisi ini, pada akhirnya menyebabkan
pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus
mengkaji dan merevisi kembali kebijakan yang ada.
Hal ini dapat merugikan masyarakat yang menjadi
objek pengaturan dari kebijakan tersebut, bukan
hanya dari segi biaya yang harus ditanggung tetapi
juga dari segi kepastian hukumnya.
Ada beberapa persoalan yang terkait dalam
formulasi kebijakan publik, antara lain:
a.
Dalam proses penyusunan kebijakan, tingkat
partisipasi publik masih rendah dan pengaruh
atau kontribusi publik di dalam penyusunan
kebijakan masih belum signifikan. Persoalan
partisipasi dan kontribusi yang masih rendah
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik
faktor keengganan dari pemerintah untuk
melibatkan masyarakat dengan berbagai
alasan politis maupun teknis yang ada, dan
faktor keengganan masyarakat untuk terlibat
dalam perumusan itu.
b.
Kualitas penyusun kebijakan yang belum baik
dan mendukung proses formulasi kebijakan. Di
setiap instansi pemerintah terutama daerah,
para penyusun kebijakan belum sepenuhnya
memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait
formulasi kebijakan. Dibutuhkan tenagatenaga fungsional yang kompeten dalam
bidangnya yang mempunyai pemahaman yang
cukup.
c.
Dalam penyusunan kebijakan publik
dibutuhkan kajian pendukung terkait isu yang
hendak diatur. Oleh karena itu, diperlukan
naskah akademik (academic paper) yang tepat
sebagai landasan filosofis, yuridis, dan
sosiologis yang tepat bagi penyusunan regulasi.
Dalam praktiknya, masih banyak regulasi di
daerah yang belum menggunakan naskah
akademik. Selain itu, naskah akademik yang
disusun juga masih kurang berkualias dari segi
kedalaman pembahasan dan kajian.
d.
1
2
Kurangnya kualitas data yang dipakai pada
saat penyusunan formulasi kebijakan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tidak tersedianya
data kuantitatif maupun kualitatif yang cukup
untuk mendukung penyusunan kebijakan
yang ada,
Apabila berkaca pada kondisi kebijakan publik
di Indonesia saat ini, pola pemecahan masalah
dalam kehidupan publik selama ini lebih banyak
bersifat reaktif dan terkesan tidak terprogram atau
terpola. Tidak heran jika pada akhirnya banyak
kritik dan keluhan yang disampaikan oleh
masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat. Pada
intinya, kebijakan memang tidak dapat memuaskan
semua pihak. Dalam setiap pilihan kebijakan pasti
ada sebagian pihak yang merasa tidak puas dan
dirugikan oleh adanya kebijakan yang muncul.
Setiap solusi dalam penyelesaian isu kebijakan
publik tidak dapat sepenuhnya berhasil, sebab
setiap kebijakan lahir dari pilihan-pilihan yang
sifatnya amat relatif dengan kandungan pro dan
kontra masing-masing. Setiap kebijakan
mempunyai kekurangan dan kelebihan masingmasing. Namun yang paling penting adalah
kebijakan tersebut mampu memberikan solusi dan
kemanfaatan terbesar bagi masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan publik.
B.
1.
2.
3.
Formulasi dan Dampak Kebijakan Publik
Untuk menghasilkan kebijakan yang baik, banyak
faktor yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut
terkait dalam proses formulasi atau pembentukan
kebijakan dan evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya. Selain itu, amat terkait juga dengann ruang
lingkup isu publik yang ingin diselesaikan, serta
alternatif solusi mana yang paling tepat.
Kebijakan merupakan instrumen yang tidak
bisa asal dibuat seolah-olah hanya merupakan
reaksi terhadap persoalan publik yang ada.
Kebijakan merupakan sesuatu yang sebaiknya
harus direncanakan dengan matang. Oleh karena
itu, sebuah kebijakan ketika sudah diciptakan
harus dapat diterima oleh masyarakat atau dengan
kata lain memperoleh legitimasi sosial dan politik.
Selain itu, kebijakan harus dapat dioperasionalisasikan dan memiliki tingkat operasionalisasi yang
masuk akal (reasonable). Sebagaimana dikutip oleh
Asmawi Rewansyah, policy adalah “a purposive
course of action followed by an actor or set of actor in
dealing with problem or matter of concern”.1
Untuk dapat dioperasionalisasikan dengan
baik maka penyusunan kebijakan pun harus dapat
didesain dengan baik pula. Penyusunan kebijakan
perlu memperhatikan beberapa hal yang amat
penting, antara lain:2
Rewansyah, Asmawi, 2010. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance, CV. Yusain Tamar Prima, Jakarta, hlm. 64.
Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, Kedeputian II LAN RI, 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan, 2010, LANR RI, Jakarta, hlm. 37.
272
Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.)
4.
Menyusun daftar kebutuhan (identifikasi
kebutuhan). Dalam tahap ini ada beberapa
langkah yang sebaiknya dilakukan, yaitu:
identifikasi isu-isu strategis, klasifikasi
isu-isu strategis, penyaringan isu,
pemilihan isu, dan perumusan isu
kebijakan.
Mengembangkan alternatif kebijakan. Dalam
proses ini ada beberapa prosedur yang harus
dilakukan, yaitu: mengidentifikasi alternatif
kebijakan, mendefinisikan dan merumuskan
alternatif kebijakan, menentukan kriteria
penilaian alternatif kebijakan, menilai dan
memilih alternatif kebijakan yang terbaik,
pengambilan keputusan untuk penilaian
alternatif, dan penentuan bentuk kebijakan.
Menyusun naskah akademik sebagai tahap
awal perancangan regulasi yang hendak
diciptakan. Nashkah akademik merupakan
naskah yang berisi informasi latar belakang
masalah dan kesimpulan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan. Selain itu, NA
juga merupakan dasar dan konsepsi sekaligus
arahan dalam menyusun materi regulasi yang
hendak dibuat.
Membuat rancangan awal (draft) kebijakan
publik. Dalam tahap ini rancangan awal
merupakan naskah yang berisi regulasi dan
substansi sementara dari kebijakan yang
hendak dibuat. Draft ini merupakan acuan
awal dalam proses penyusunan untuk
disepakati baik di tingkat komite eksekutif
maupun eksekutif dengan badan legislasi.
Proses pendiskusian tersebut amat bergantung
pada jenis dan hierarki dari regulasi yang
hendak dibuat.
Pada tahap penentuan isu strategis dan
alternatif kebijakan, amat diperlukan tekniteknik penentuan substansi kebijakan mana
yang paling mendesak untuk diselesaikan, serta
bagaimana mengukur dampak masalah tersebut
bagi kehidupan publik. Banyak teknik dan cara
yang dapat dilakukan. LAN dalam kajiannya
sendiri dalam menentukan criteria penilaian
alternatif kebijakan dan pemilihan alternatifnya,
memberikan beberapa masukan, seperti terlihat
pada Tabel 1:
Tabel 1
Kriteria Penilaian Alternatif Kebijakan
No.
1.
2.
3.
4.
Kriteria Penilaian
Dimensi
Efektifitas (pencapaian tujuan)
- Apakah alternatif kebijakan mencapai hasil
Technical Feasibility
(akibat) yang diharapkan atau mencapai
tujuan dari diadakannya?tindakan
Efisiensi (biaya dan hasil)
Economic and Financial
- Apakah biaya yang diperlukan dapat menghasilFeasibility
kan tingkat efektifitas yang diharapkan?
Acceptability
- Apakah alternatif kebijakan diterima oleh aktor
kebijakan dan kelompok sasaran?
Appropriatness
- Apakah kebijakan sesuai dengan nilai - nilai
masyarakat?
Responsiveness
- Apakah kebijakan sesuai dengan kebutuhan
Political Viability
masyarakat?
Legal Suitability
- Apakah kebijakan didukung oleh perangkat
hukum yang memadai?
Equity
- Apakah efek dan dampak kebijakan menjamin
aspek keadilan antar kelompok masyarakat?
- Apakah alternatif dapat diimplementasikan
pada konteks sosial, politik dan administrasi
yang berlaku?
- Apakah tersedia staf yang cukup?
- Apakah instansi terkait akan mendukung
Administrative Operability
implementasi kebijakan?
- Apakah tersedia sarana untuk melaksanakan
kebijakan?
- Apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat
waktu?
Jika melihat pada dimensi-dimensi di atas,
amat terlihat jelas bahwa menyusun kebijakan
publik bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab
banyak dimensi krusial yang harus diperhatikan.
Semua dimensi tersebut akan mempengaruhi pola
dan efektifitas dari pelaksanaan kebijakan itu di
lapangan. Selain itu, mengukur kemampuan dan
kapasitas dari penyusun kebijakan itu sendiri.
Proses pembuatan kebijakan publik bukan
ilmu pengetahuan yang sulit dipahami namun tetap
merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan
(The process of policy-making is not a high science,
but it is difficult to do well). Dalam prosesnya, banyak
perangkat (tools) dan teknik (techniques) yang dapat
membantu untuk melakukan penyusunan tersebut
dengan lebih efektif.3
Proses penyusunan kebijakan publik
berlangsung dalam kondisi lingkungan yang
ekstrim. Pemerintah mempunyai kewajiban dan
peranan pada setiap bagian dari masyarakat luas.
Pembuatan kebijakan publik memerlukan badan
administrasi tersendiri untuk menyeimbangkan
beragam kepentingan yang saling berkompetisi
tanpa kehilangan arah terhadap tujuan yang
diharapkan dari kebijakan tersebut.4
Menurut Wibawa5, formulasi kebijakan sebagai
bagian dalam proses kebijakan publik merupakan
tahap yang paling krusial karena implementasi dan
evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan
3
Office of The First Minister and Deputy First Minister, tanpa tahun. A Practical Guide to Policy Making in Northern Ireland, Economic
Policy Unit, Belfast, http://www.ofmdfmni.gov.uk/policylink-a-practical-guide-to-policy-making, hlm. 11.
4
Ibid.
5
Wibawa, Samodra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 2.
273
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278
apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai. Di
samping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya
sebagian besar bersumber pada ketidak
sempurnaan pengolaan tahap formulasi.
Tjokroamidjojo6 mengatakan bahwa policy
formulation (perumusan kebijakan) sama dengan
pembentukan kebijakan, yang merupakan
serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif
yang dilakukan secara terus menerus dan tidak
pernah selesai, dan ini di dalamnya termasuk
pembuatan keputusan.
Tujuan dibuatnya kebijakan adalah untuk
menyelesaikan persoalan publik yang menjadi latar
belakang diciptakannya kebijakan tersebut. Oleh
karena itu, proses pelaksanaannya tidak dapat
dilaksanakan dengan sembarangan atau hanya
mengandalkan insting dan perasaan dari pejabat
publik yang bersangkutan. Kebijakan harus
didesain dengan maksud dan tujuan yang telah
ditentukan terlebih dahulu, sehingga langkah dan
tindakan yang akan dilaksanakan sudah terencana
dengan jelas. Semua aspek baik politis, ekonomis,
dan sosial budaya harus menjadi pertimbangan
pada saat penyusunan kebijakan.
Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun daerah, mempunyai
efek atau dampak pada kehidupan masyarakat dan
penyelenggaraan pemerintahan. Dampaknya
terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan
juga turut mempengaruhi hubungan sosial
maupun hukum antara pemerintah dengan
masyarakat. Dalam hal ini kerap timbul
pertentangan atau kontestasi antara apa yang
diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat. Tidak
jarang kondisi ini menyebabkan kebijakan menjadi
terasa tidak tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, amat perlu dipertimbangkan
segala hal yang dapat menjadi faktor-faktor
penyebab kebijakan tersebut tidak maksimal untuk
dilaksanakan. Dalam kerangka penyusunan
kebijakan setiap faktor-faktor yang mungkin terjadi
tersebut sebaiknya pula harus diberikan alternatif
pemecahan masalah agar dapat dipakai atau
dipersiapkan pada tingkat operasionalnya.
Agar dampak kebijakan tepat sesuai dengan
yang diharapkan, Gerston menyampaikan beberapa
hal pada tahap pelaksanaan, agar dapat berjalan
dengan baik, yaitu7:
1.
Ada lembaga pelaksana dengan sumber daya
yang cukup untuk melaksanakan tugas yang
diberikan oleh regulasi yang terkait.
2.
Institusi pelaksana (implementing agency)
harus mampu menafsirkan tujuan regulasi ke
dalam kerangka kerja operasional.
3.
Lembaga pelaksana harus mampu
melaksanakan tugas yang diembannya dan
dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
segala tindakannya.
C.
Metode Regulatory Impact Analysis (RIA)
Dalam menyusun kebijakan ada salah satu
teknik pendukung yang dapat dipakai. Teknikteknik penyusunan kebijakan dapat dipakai dengan
tujuan untuk memastikan bahwa para pihak yang
terlibat dalam penyusunan memahami dan
mengetahui dengan lebih jelas apa yang menjadi
persoalan publik sebenarnya dan alternatif
tindakan apa yang paling tepat untuk
menyelesaikan persoalan tersebut.
Langkah untuk mengetahui persoalan dan
alternatif kebijakan yang paling tepat tidak dapat
dilandaskan pada perasaan dan pikiran sepihak
dari penyusun kebijakan saja, tetapi harus
kontekstual dan nyata terjadi dalam persoalan
masyarakat, atau paling tidak menurut
pertimbangan yang rasional dan sistematis,
persoalan publik amat berpotensi terjadi dan
mengganggu efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Salah satu teknik yang cukup populer dipakai
dan sudah amat sering diaplikasikan dalam
penyusunan kebijakan adalah teknik Regulatory
Impact Analysis (RIA) atau Regulatory Impact
Assessment.
Sudah banyak literatur yang secara spesifik
maupun umum membahas mengenai efektifitas
dan peranan metode RIA dalam penyusunan
kebijakan. Selain itu, sudah banyak pula yang
memberikan definisi atau batasan dari metode RIA
itu sendiri.
RIA merupakan instrumen kebijakan yang
sistematis yang dapat digunakan untuk
menganalisa dan mengukur peluang yang mungkin
terjadi (benefits), biaya (costs) dan dampak (effects)
dari regulasi yang baru atau yang sudah berjalan.
Sebuah dokumen RIA merupakan laporan analisa
Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.)
yang membantu pengambil kebijakan. Secara
tipikal, struktur inti harus memenuhi beberapa
elemen berikut: judul dari proposal RIA, sasaran
(objective) dan dampak yang diinginkan terjadi oleh
kebijakan, evaluasi terhadap persoalan-persoalan
dalam kebijakan, pertimbangan-pertimbangan
dalam pilihan-pilihan alternatif, penilaian terhadap
distribusi dampak yang terjadi, hasil dari
serangkaian konsultasi publik, strategi kepatuhan,
dan proses untuk memonitoring dan mengevaluasi.8
Fungsi RIA amat efektif untuk mendukung
proses penyusunan kebijakan publik terutama yang
berorientasi pada persoalan ekonomi dan
pembangunan. Kedua hal tersebut mempunyai
dampak yang amat besar terhadap aspek-aspek lain
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat. Menurut Ridwan,9 RIA
merupakan alat kebijakan penting untuk kualitas
peraturan. Tujuan keseluruhan dari RIA adalah
untuk membantu pemerintah untuk membuat
kebijakan mereka lebih efisien. Penggunaan RIA
dapat berkontribusi pada proses pembuatan
kebijakan dengan mempromosikan kebijakan
peraturan efisien dan meningkatkan kesejahteraan
sosial.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan
metode RIA, perlu dibangun sistem penyusunan
regulasi yang berbasis pada hasil riset dan kajian
yang tepat. Dalam hal ini, setiap kebijakan
merupakan perwujudan dari proses penyusunan
yang tidak berlandaskan pada alasan dan
kepentingan politis semata, tetapi juga dari ukuranukuran dan pertimbangan yang sifatnya empiris.
Untuk melakukan hal tersebut, metode RIA
perlu diintegrasikan ke dalam penyusunan
kebijakan publik terutama sejak tahap pengusulan
rancangan kebijakan tersebut. Membangun sistem
RIA membutuhkan pertimbangan terhadap
sejumlah elemen yang penting. Untuk
memaksimalkan keuntungan dari metode RIA,
pendekatan yang digunakan seharusnya
didasarkan pada perspektif jangka panjang dan
terlibat erat dengan kepentingan masyarakat
(stakeholders).10
Oleh karena itu, model RIA dalam
perkembangannya lebih dianggap sebagai proses
8
ketimbang sebuah metode. RIA merupakan
perkembangan dari praktik penyusunan kebijakan
yang telah berlaku selama ini dalam berbagai
praktik pemerintahan. Model tersebut mempelajari
mengenai kompleksitas dari masalah kebijakan dan
konsekuensi dari setiap tindakan yang akan
diambil. RIA juga mengakomodasi dialog dan
komunikasi publik yang lebih intensif dan produktif
terkait masalah yang diatasinya. Oleh karena itu,
RIA dilakukan berdasarkan bukti empiris (evidencebased) atau pendekatan keilmuan (scientific
approach) bagi pengambilan keputusan. Proses ini
mempertanyakan, mempelajari, dan
mengkomunikasikan isu kebijakan melalui
pendekatan sistematis. Hal tersebut merupakan
fungsi utama dari pemerintah untuk meningkatkan
kapasitasnya dalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh publik.11
Proses penyelesaian dokumen RIA merupakan
proses penyusunan kebijakan yang sifatnya
rasional yang harus mengikuti beberapa tahap
penyusunan. Kompleksitas dan kedalaman analisis
yang dibutuhkan ditentukan oleh tingkat
kepentingan dan ukuran dampak dari isu kebijakan
yang dijelaskan dalam bentuk pertanyaan. Menurut
OECD12, banyak pedoman mengenai RIA, tetapi
secara umum, ada beberapa tahapan yang harus
tersedia, yaitu:
1.
Definisi dari konteks kebijakan dan
sasarannya, secara khusus struktur
identifikasi dari masalah yang menyediakan
alasan bagi pemerintah untuk mengambil
tindakan.
2.
Identifikasi dan batasan dari semua
kemungkinan pilihan untuk pengaturan dan
bukan pengaturan untuk mencapai tujuan dari
kebijakan tersebut.
3.
Identifikasi dan kuantifikasi dari dampakdampak yang muncul akibat pilihan yang
diambil, termasuk biaya, keuntungan, dan
dampak sebarannya (distributional effects).
4.
Perkembangan dari strategi kepatuhan yang
dipilih, termasuk proses evaluasi dari efektifitas
dan efisiensi tindakan tersebut.
5.
Perkembangan mekanisme pengawasan untuk
mengevaluasi keberhasilan dari rancangan
OECD, 2008. Op.cit., hlm. 14.
9
Ridwan, Wawan dan Iwan Krisnadi, 2011. Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan UU Konvergensi Teknologi Informasi dan
Komunikasi, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer vol. 2 No. 2, Universitas Mercu Buana, Jakarta, hlm. 2.
10
OECD, 2008. Op.cit., hlm. 15.
11
6
Islamy, M. Irfan, 2002. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.
7
Larry N, Gerston, 1997. Public Policy Making: Process and Principles, 3rd Edition, M.E. Sharpe, New York, hlm. 94.
274
Jacobs, Scott, 2006. RIA in Regulatory Process, Method, and Co-operation: Lesson for Canada from International Trends, Working Paper
Series 026, Government of Canada, hlm. 24.
12
OECD, 2008. Op.cit.,hlm. 16.
275
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278
kebijakan dan memberikan informasi kembali
pada pengembangan kebijakan ke depan.
6.
Konsultasi publik diakomodasi secara
sistematis untuk memberikan peluang bagi
pemangku kepentingan untuk berpartisipasi
dalam proses penyusunan kebijakan. Hal ini
memberikan informasi yang penting akan biaya
dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan,
termasuk efektifitasnya.
Namun secara garis besar, menurut OECD,
ada empat elemen yang secara internasional
digunakan dalam proses RIA, yaitu:13
1.
Menyusun sasaran dan ruang lingkup RIA.
2.
Konsultasi publik
penyusunan RIA.
3.
Quality control melalui penilaian independen
dan studi keilmuan yang lain.
4.
Metode pengumpulan data.
yang
terkait
dengan
9.
Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.)
Apakah semua pihak yang berkepentingan
memiliki kesempatan untuk yang sama untuk
menyampaikan pandangan-pandangan
mereka?
•
Mengkuantifikasikan dan mengkalkulasi biaya
dan manfaat (Quantify and monetize the
benefits and costs).
•
10. Bagaimana kepatuhan akan regulasi itu dapat
dicapai?
Memperhitungkan biaya dan manfaat ke depan
(Discount future benefits and costs).
•
Mengevaluasi ukuran-ukuran biaya dan
manfaat non-quantified dan non-monetized
(Evaluate non-quantified and non-monetized
benefits and costs).
•
Mengkalkulasi ketidakpastian terhadap biaya,
manfaat, dan manfaat bersih (Characterize
uncertainty in benefits, costs, and net benefits).
Dalam proses penyusunan kebijakan, RIA
dapat dipakai sebagai instrumen analisis utama. Di
dalam proses tersebut, RIA dapat diimplementasikan dengan melibatkan analisis yang detil atau
rinci terhadap kebijakan yang masih berlaku dan
terhadap proses penyusunan kebijakan yang baru.
Pada proses inisiasi tersebut, RIA dapat dilakukan
dalam tahap penggalian informasi yang relevan
terhadap penyusunan kebijakan, analisis terhadap
kebijakan dan kondisi yang berlangsung, dan
proses pada saat pengumpulan informasi melalui
konsultasi publik (lihat Gambar 1).
Empat elemen tersebut tidak dipilih secara
acak (random) tetapi menurut perkembangannya,
dapat dilihat sebagai elemen pembentu utama agar
RIA menjadi efektif. Agar RIA dapat berhasil dalam
memperbaiki kualitas kebijakan publik, maka
keempat elemen tersebut harus bekerja bersama
dalam proses yang sistematis.14
POLICY-MAKING PROCESS
Information
RIA
Analysis
Consultation
Secara operasional, RIA dengan metode
sederhana dapat diuraikan dalam beberapa bentuk
pertanyaan yang mendasar. Beberapa pertanyaan
tersebut menurut versi OECD, yaitu:15
Discussion
D.
Agreement
Setiap aspek kehidupan masyarakat amat
dipengaruhi oleh bagaimana kebijakan publik
bekerja dan berlaku di dalam masyarkat. Banyak
kebijakan yang diciptakan tidak menghadirkan
solusi dalam praktiknya, sebaliknya malah
memberikan dampak yang negatif. Pada akhirnya
masyarakat tidak memberikan respon yang positif
terhadap kebijakan tersebut. Dalam proses ini
implementasi kebijakan menjadi tidak maksimal
dan tujuan kebijakan tidak tercapai.
Policy Implementation
Gambar 1
Policy Making Process
1.
Apakah masalahnya dengan benar telah
didefinisikan?
2.
Apakah tindakan pemerintah sudah tepat?
Untuk melakukan RIA secara lengkap,
institusi harus mengikuti beberapa langkah:16
3.
Apakah regulasi yang ada merupakan yang
terbaik untuk langkah pemerintah?
•
Mendeskripsikan kebutuhan akan kebijakan
(Describe the need for the regulatory action).
4.
Apakah ada dasar hukumnya untuk sebuah
peraturan?
•
Menentukan landasan dasar (Define the
baseline).
5.
Berapa tingkatan birokrasi pemerintah yang
dilibatkan untuk koordinasi regulasi ini?
•
Menyusun kerangka waktu untuk analisis (Set
the timeframe of analysis).
6.
Apakah regulasi yang ada bermanfaat,
dibanding biayanya?
•
7.
Apakah distribusi akan
transparan di masyarakat?
Mengidentifikasikan ruang lingkup alternatif
regulasi (Identify a range of regulatory
alternatives).
8.
Apakah regulasi jelas, konsisten, dapat
dipahami, dan dapat diakses oleh pengguna?
13
Ibid., hlm. 24.
14
Ibid.
15
Wawan Ridwan dan Iwan, op.cit., hlm. 15.
16
dampak
nya
•
Mengidentifikasikan konsekuensi dari
kebijakan alternatif (Identify the consequences
of regulatory alternatives).
www.whitehouse.gov. tanpa tahun. Regulatory Impact Analysis: A Primer. www.whitehouse.gov/.../circular-a-4_regulatory-impactanalysis-a-primer.pdf
276
Tahapan-tahapan tersebut secara otomatis
menjadi syarat dan kendali terhadap kualitas RIA
yang akan dihasilkan. RIA yang baik akan menjadi
landasan yang baik pula dalam menyusun
kebijakan yang diperlukan. Setiap tahapan tersebut
harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk program
dan kegiatan yang lebih riil dan operasional. Oleh
karena itu, diperlukan penyusunan dan
perencanaan RIA yang baik pula agar hasil yang
analisis yang diharapkan dapat memberikan
gambaran kondisi dan persoalan yang sebenarnya.
Penutup
Kebijakan publik yang baik harus diciptakan
dengan pertimbangan dan landasan yang tepat
pula. Kebijakan tersebut tidak seharusnya lahir dari
sikap dan pertimbangan yang sifatnya reaktif dan
temporer semata, tetapi harus didesain dan
diproyeksikan secara matang sebelumnya.
Kebijakan yang baik harus diformulasikan
dengan baik juga. Formulasi kebijakan yang baik
dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga
pada penyusunan di tingkat legislatif atau komite
eksekutif. Meskipun pada tahapan ini pengaruh
politik dan kepentingan sektoral amat
mempengaruhi kualitas kebijakan, namun
seyogyanya para penyusun kebijakan memahami
makna dan tujuan dari diterbitkannya kebijakan
publik tersebut, sehingga niat politis dapat
direduksi dan dikesampingkan.
Untuk menghasilkan kebijakan yang baik
banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktorfaktor tersebut terkait dalam proses formulasi atau
pembentukan kebijakan dan evaluasi terhadap
kebijakan sebelumnya. Selain itu, amat terkait juga
dalam mendesain ruang lingkup isu publik yang
ingin diselesaikan, serta alternatif solusi mana yang
paling tepat.
Dalam menyusun kebijakan ada teknik
pendukung yang dapat dipakai. Teknik-teknik
penyusunan kebijakan dapat dipakai dengan
tujuan untuk memastikan bahwa para pihak yang
terlibat dalam penyusunan memahami dan
mengetahui dengan lebih jelas apa yang menjadi
persoalan publik sebenarnya dan alternatif
tindakan apa yang paling tepat untuk
menyelesaikan persoalan tersebut.
Salah satu metode yang dapat dipakai adalah
metode RIA. Metode ini telah banyak dipakai dan
dikembangkan di berbagai negara di dunia.
Utamanya adalah untuk menganalisa kebutuhan
kebijakan yang diusulkan melalui pertimbangan
dari segi biaya dan manfaat. Dengan pendekatan
biaya yang minimal dan dampak yang paling besar,
maka kebijakan yang terbaik dapat ditentukan.
Untuk memaksimalkan metode RIA, perlu
dibangun sistem penyusunan regulasi yang
berbasis pada hasil riset dan kajian yang tepat.
Dalam hal ini, setiap kebijakan merupakan
perwujudan dari proses penyusunan yang tidak
berlandaskan pada alasan dan kepentingan politis
semata, tetapi juga dari ukuran-ukuran dan
pertimbangan yang sifatnya empiris.
Daftar Pustaka
Gerston, Larry N. 1997. Public Policy Making:
Process and Principles, 3rd Edition, New
York: M.E. Sharpe.
Islamy, M. Irfan. 2002. Prinsip-prinsip Perumusan
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara.
Jacobs, Scott, 2006. RIA in Regulatory Process,
Method, and Co-operation: Lesson for
Canada from International Trends,
Working Paper Series 026, Government of
Canada, hlm. 24.
277
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278
OECD.
2008. Introductory Handbook for
Undertaking Regulatory Impact Analysis
(RIA), Version 1.0, France: OECD.
OECD. 2008. Bulding an Institutional Framework
for RIA: Guidance for Policy Makers,
France: OECD Directorate for Public
Governance and Territorial Development.
Office of The First Minister and Deputy First
Minister. tanpa tahun. A Practical Guide
to Policy Making in Northern Ireland.
http://www.ofmdfmni.gov.uk/policylinka-practical-guide-to-policy-making
(diunduh pada tanggal 13 Desember
2013).
Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, Kedeputian II
LAN RI, 2010. Pedoman Perumusan
Kebijakan. Jakarta: LAN RI.
Rewansyah, Asmawi. 2010. Reformasi Birokrasi
dalam Rangka Good Governance. Jakarta:
CV. Yusain Tamar Prima.
Ridwan, Wawan dan Iwan Krisnadi. 2011. Regulatory
Impact Analysis Terhadap Rancangan UU
Konvergensi Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Jurnal Telekomunikasi dan
Komputer, vol. 2, No. 2.
MEWUJUDKAN SINERGI PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH DENGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
(CREATING SYNERGY BETWEEN REGIONAL REGULATIONS AND LAWS MAKING)
Arrista Trimaya
Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Sekretariat Jenderal DPR-RI
Jl. Jenderal Gatot subroto, Jakarta 10270, Indonesia
Email: [email protected]
(Naskah diterima 30/04/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Tarigan, Antonius. Mencermati Dampak Kebijakan
Publik dalam Program Penanggulangan
Kemiskinan. (diakses pada tanggal 12
Mei 2014).
Wahab, Abdul dan Solichin. 2001. Analisa
Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
www.whitehouse.gov. tanpa tahun. Regulatory
Impact Analysis: A Primer.
www.whitehouse.gov/.../circular-a4_regulatory-impact-analysis-aprimer.pdf (diunduh pada tanggal 13
Desember 2013).
Abstrak
Pemberian kebebasan sekaligus keleluasaan kepada Kepala Daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam
era otonomi daerah belum dilaksanakan secara optimal dan komprehensif. Akibatnya, penegakan hukum terhadap
keberlakuan Perda juga tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya materi muatan
Perda yang bertentangan dan tumpang tindih dengan materi muatan peraturan perundang-undangan diatasnya,
terutama dengan Undang-Undang. Banyaknya Perda yang tumpang tindih, paling banyak disebabkan tidak adanya
kesesuaian antara metode pendekatan yang digunakan dalam proses pembuatan Perda dan realitas di lapangan,
terutama jika dikaitkan dengan pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu masyarakat
lokal. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya akuntabilitas pembuat Perda, yaitu DPRD dan Pemerintah
Daerah yang jarang sekali memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat lokal berkaitan dengan Perda yang
akan dibentuk. Untuk itu sangat diperlukan peran Balegda sebagai koordinator dalam penyusunan Prolegda antara
DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas dan fungsi
Pemerintah Daerah. Di samping itu, peran Balegda juga diperlukan untuk mewujudkan sinergi dalam pembentukan
Peraturan Daerah dengan Undang-Undang, sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci: sinergi, Peraturan Daerah, Undang-Undang.
Abstract
Freedoms and flexibilities given to the Head of Regions to make regional regulations in the era of regional autonomy have not
been implemented optimally and comprehensively. As the result, validity and legal enforce-ability of regional regulations
have not been implemented optimally as well. It is characterized by a number of problematic and overlapping the substance
of the regulations as derivatives laws. The majority of overlapping subject matters were mostly due to incompatibility
between the approach used during the drafting of regional regulations and actual reality in the regions, especially when it is
related to the interest of different entities involved in implementation, i.e. local communities. These mismatches have hold
regional law-makers, such as regional parliaments and regional government, less accountable for they rarely provide
complete information to local communities regarding regulations that will be drafted. The role of Regional Legislation Body as
the coordinator between regional parliament and regional government is considerably needed in listing the Prolegda for a
synergy in the implementation of tasks and functions of both the regional parliament and the regional government. In
addition, the role of Balegda also necessary for a synergetic drafting of the regional regulations as derivatives laws, in order
to harmonize the regulations.
Keywords: synergy, regional regulations, laws.
A.
Latar Belakang
Setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memuat landasan filosofis,
landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hokum.
Dengan demikian Negara itu sendiri berkewajiban
melaksanakan pembangunan hukum nasional
yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan dalam sistem hukum nasional.1
Landasan filosofis pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah Pancasila. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011) yang menyebutkan bahwa
Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum Negara. Penempatan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum Negara sesuai
1
Konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234.
278
279
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
dengan Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Pengertian ''sumber dari segala sumber hukum''
adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita
hukum, serta cita-cita yang meliputi suasana
kejiwaan dan watak dari rakyat Negara yang
bersangkutan.2 Pancasila juga merupakan ideologi
Negara dan dasar filosofis Negara, hal ini berarti
setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila.
pemerintahan daerah, yang diatur dengan UndangUndang. Pengaturan mengenai hal ini lebih lanjut
diatur dalam Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945:
Landasan sosiologis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah Bhinneka
Tunggal Ika. Hal ini mengandung pengertian bahwa
materi muatan suatu peraturan perundangundangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sedangkan landasan yuridis yang digunakan dalam
penyusunan suatu peraturan perundangundangan adalah UUD NRI Tahun 1945 yang
merupakan hukum dasar dalam peraturan
perundang-undangan. Hal ini mengandung
pengertian bahwa UUD NRI Tahun 1945 menjadi
norma dasar bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan. Di samping itu, UUD NRI
merupakan sumber hukum bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya. Hal ini telah diatur dalam Ketentuan
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang secara
tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Lebih
lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (3) menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Dengan demikian setiap persoalan ketatanegaraan
harus berlandaskan hukum yang dapat diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) : Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya
antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan UndangUndang.
Kelahiran otonomi daerah di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dengan bergulirnya Era Reformasi
di penghujung era 90-an, selepas ambruknya Rejim
Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 (tiga puluh)
tahun. Ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah
secara tegas telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
2
Ayat (1) : Hubungan wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten, dan
Kota, atau antara Provinsi dan
Kabupaten dan Kota, diatur dengan
Undang-Undang dengan
memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Ketentuan mengenai otonomi daerah juga telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008), dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pendapat ini
dikuatkan melalui ketentuan Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah adalah:
a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar 1945, Pemerintah Daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
Jazim Hamidi, 2010. Problematika Sumber dan Tertib Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada RDPU Dalam Rangka
Penyampaian Masukan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Jakarta: Baleg DPR RI, hlm.2.
280
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya)
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Disamping itu, melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.3 Namun, otonomi daerah menyebabkan
terjadi tumpang tindih pengaturan kewenangan
antara Pusat dan Daerah, termasuk juga dalam
bidang hukum dan peraturan perundangundangan. Ini ditandai dengan banyaknya materi
muatan Peraturan Daerah (sebagai produk legislasi
di tingkat daerah) yang tumpang tindih dengan
materi peraturan perundang-undangan diatas nya,
terutama dengan materi muatan Undang-Undang
(sebagai produk legislasi di tingkat nasional).
Sejak tahun 2009 Kementerian Dalam Negeri
telah melakukan proses evaluasi terhadap 9000
(sembilan ribu) Peraturan Daerah yang bermasalah.
Hasil evaluasi ditargetkan akan selesai pada tahun
2014 ini. Hingga Juli 2011, sekitar 4500 (empat ribu
lima rastus) Peraturan Daerah telah selesai di
evaluasi. Dari jumlah itu, sekitar 175 (seratus tujuh
puluh lima) Peraturan Daerah telah dibatalkan
lantaran bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi dan menghambat iklim usaha.4 Data lain
menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir (20102012) Kementerian Dalam Negeri telah mencatat
terjadi penurunan Peraturan Daerah yang
dibatalkan. Tren penurunan pembatalan Peraturan
Daerah itu sudah terlihat sejak tahun 2010. Pada
tahun 2010, Kemendagri mengevaluasi sebanyak
3.000 (tiga ribu) Peraturan Daerah dan 407 (empat
ratus tujuh) Peraturan Daerah diantaranya
dinyatakan batal. Pada tahun 2011, Peraturan
Daerah yang dievaluasi bertambah menjadi 9.000
(sembilan ribu) Peraturan Daerah dan hasilnya 351
(tiga ratus lima puluh satu) Peraturan Daerah
dibatalkan. Sementara itu pada 2012, realisasi
evaluasi Peraturan Daerah mencapai 3.000 (tiga
ribu) Peraturan Daerah. Namun, hanya sekitar 173
(seratus tujuh puluh tiga) Peraturan Daerah yang
dinyatakan batal. Selain itu, secara kumulatif sejak
2002 sampai 2009, Kemendagri sudah
membatalkan sebanyak 1.878 (seribu delapan ratus
tujuh puluh delapan) Peraturan Daerah.5
Berdasarkan evaluasi Kementerian Dalam
Negeri tersebut, jelas Peraturan Daerah sebagai
produk peraturan perundang-undangan di tingkat
daerah menjadi bertentangan dan tidak konsisten
dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,
terutama dengan Undang-Undang, padahal secara
hierarki, peraturan daerah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lain yang
lebih tinggi. Fenomena ini terjadi, karena era
otonomi daerah memberikan kebebasan sekaligus
keleluasaan kepada daerah (dalam hal ini Kepala
Daerah dan DPRD) untuk membuat Peraturan
Daerah.6
Banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah
ini terutama disebabkan oleh pendekatan yang
digunakan dalam proses pembuatan kebijakan di
daerah yang menyebabkan rendahnya
akuntabilitas para pembuat kebijakan lokal,
terutama terhadap mereka yang paling
berkepentingan, yaitu masyarakat lokal. Pembuat
kebijakan lokal jarang sekali memberikan informasi
yang lengkap kepada publik berkaitan dengan
kebijakan yang telah disusun. Inilah yang
menyebabkan rendahnya akuntabilitas para
pembuat kebijakan di daerah.7
Hierarki peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 telah jelas
menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berada di
bawah Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah,
dan Undang-Undang. Namun pada prakteknya
banyak Peraturan Daerah yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,
terutama dengan Undang-Undang.
Selain itu,
banyak Peraturan Daerah yang sudah terlanjur
dilaksanakan sangat sulit untuk dibatalkan oleh
Pemerintah Daerah karena beberapa alasan, mulai
alasan politis, teknis, sampai dengan anggaran.
Peran Badan Legislasi Daerah (Balegda) dalam
pembentukan Peraturan Daerah melalui Program
3
Remaja, Sejarah Undang-Undang Pemerintah Daerah, diunduh dari http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasiakademis/bahan-kuliah/41-sejarah-undang-undang-pemerintahan-daerah.html, diakses tanggal 1 april 2014.
4
Riendy Astria, Evaluasi 9000 Perda Bermasalah Digelar sampai 2014, diunduh dari http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi9.000-perda-bermasalah-digelar-sampai-2014-1, diakses tanggal 28 Maret 2014.
5
Ash, Ada Tren Penurunan Pembatalan Perda: Pemerintah Dianggap Semakin Menyadari Pentingnya Otonomi Daerah, diakses dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d83f892322b/ada-tren-penurunan-pembatalan-perda, tanggal 6 Juli 2013, diakses
tanggal 28 Maret 2013.
6
M. Zamroni, 2013, “Pengujian Peraturan Daerah: Sebuah Telaaham Kritis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.10 No.3, Jakarta”Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, hlm. 260.
7
Rivandra Royono, Harga Sebuah Peraturan Daerah: Analisis Biaya dan Manfaat Dalam Pembuatan Kebijakan Publik, Jurnal
Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006, hal. 54.
281
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
Legislasi Daerah (Prolegda) juga perlu dicermati agar
terwujud suatu sinergi antara pembentukan
Peraturan Daerah dan pembentukan UndangUndang.
B.
Pembahasan
B.1. Pembentukan
Undangan
Peraturan
Perundang-
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 sebanyak 4
(empat) kali memberikan dampak yang sangat besar
dalam sistem ketatanegaraan negara Republik
Indonesia. Perubahan tersebut secara khusus telah
menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD
1945, yang sebelumnya kekuasaan tersebut berada
di tangan Presiden sesuai Pasal 5 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945. Kedua pasal tersebut setelah
Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis
sehingga mengalihkan kekuasaan pembentukan
Undang-Undang dari tangan Presiden ke tangan
DPR. Dengan perkataan lain, sejak perubahan
pertama UUD 1945 pada tahun 1999, telah terjadi
pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan
legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR.8
Fungsi legislasi atau fungsi pembentukan
Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR
mempunyai kaitan dengan hak-hak yang dimiliki
oleh DPR. Adapun hak-hak DPR yang berkaitan
dengan fungsi legislasi adalah hak amandemen dan
hak inisiatif. Fungsi legislasi DPR juga diperkuat
dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945 yang
berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak mengajukan usul Rancangan UndangUndang.” Hak inilah yang secara konstitusional
lazim disebut hak inisiatif DPR di bidang
perundang-undangan. Seperti Presiden yang
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang,
anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat
berinisiatif untuk mengajukan Rancangan UndangUndang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah
anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri9 itu
mencukupi jumlah persyaratan minimal yang
ditentukan oleh Undang-Undang.10
8
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya)
Merujuk pada teori hukum sociological
jurisprudence11, disebutkan bahwa hukum yang
baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hukum yang mampu mengikuti perkembangan
kebutuhan hukum dan berbagai kebutuhan yang
terjadi di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atas peraturan perundang-undangan
yang baik, pembentukan peraturan perundangundangan harus dilaksanakan dengan cara dan
metode yang pasti, baku, dan standard yang
mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk peraturan perundang-undangan. Hal
ini terwujud dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011)
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam
ketentuan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, bahwa
ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan Undang-Undang diatur dengan
Undang-Undang.
UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pengganti
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
No. 10 Tahun 2004) yang di dalamnya mengatur
penyempurnaan berbagai kekurangan materi
muatan UU No. 10 Tahun 2004 dan mengatur
beberapa materi muatan baru yang belum ada
dalam UU No. 10 Tahun 2004.
Pasal 1 Angka 2 UU No.12 Tahun 2011
menyatakan bahwa Peraturan Perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
diatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan, yang terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pengganti Undang-Undang;
d.
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 7 ayat (2) No.12
Tahun 2011 menyatakan bahwa kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sesuai dengan
jenis dan hierarkinya. Hierarki merupakan
penjenjangan setiap jenis peraturan perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam membentuk peraturan perundangundangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:
1.
2.
kejelasan tujuan, dalam arti setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai;
kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat, dalam arti setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang;
3.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dalam arti pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundangundangannya;
4.
dapat dilaksanakan, dalam arti setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis;
Pemerintah
5.
kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam arti
setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6.
kejelasan rumusan, dalam arti
peraturan perundang-undangan
Peraturan Pemerintah;
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 136.
9
Yang dimaksud dengan perkataan”sendiri-sendiri” di sini adalah bahwa ketika menjadi pemrakarsa, setiap anggota DPR itu tidak
tergantung kepada fraksinya, melainkan tampil sebagai pribadi anggota DPR secara sendiri-sendiri. Tetapi jumlah mereka diharuskan
mencukupi jumlah minimal menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
10
setiap
harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika,
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
7.
keterbukaan, dalam arti dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.12
Sedangkan materi muatan peraturan
perundang-undangan mengandung asas:
1.
pengayoman
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.
2.
kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3.
kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.
kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5.
kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
materi muatan peraturan perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
Op.Cit., hal. 137.
11
Di Indonesia aliran sociological jurisprudence dikembangkan oleh beberapa ahli hukum diantaranya Mochtar Koesoemaatmadja dan
Satjipto Rahardjo dengan teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif.
282
12
Berdasarkan Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
283
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
6.
bhinneka tunggal ika
7.
8.
c.
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
Sedangkan asas-asas yang material meliputi:
d.
asas tentang terminologi dan sistematika yang
benar;
tindak lanjut atas putusan
Konstitusi; dan/atau
e.
pemenuhan
masyarakat.
2.
asas tentang dapat dikenali;
3.
asas perlakuan yang sama dalam hukum;
keadilan.
4.
asas kepastian hukum;
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
5.
asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan
individual.14
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
1.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut harus
berdasarkan:
a.
cita hukum Indonesia;
b.
asas Negara berdasar atas hukum dan asas
pemerintahan berdasar sistem konstitusi;
c.
asas-asas lainnya, meliputi: asas tujuan yang
jelas; perlunya pengaturan; organ/lembaga
dan materi muatan yang tepat; dapat
dilaksanakan; dapat dikenali; perlakuan yang
sama dalam hukum; kepastian hukum; dan
pelaksanaan hukum sesuai keadaan
individual.15
ketertiban dan kepastian hukum,
Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.
10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Setiap materi muatan peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.13
Asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik juga dikemukakakan oleh I.C.
van der Vlies dan Hamid S. Attamimi. Di dalam
bukunya yang berjudul “Het wetsbegripen
beginselen van behoorlijke regelgeving”, I.C van der
Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan
peraturan Negara yang baik meliputi asas formal
dan material. Asas-asas yang formal meliputi:
1.
asas konsensus
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan,
9.
5.
asas tujuan yang jelas;
2.
asas organ/lembaga yang tepat;
3.
asas perlunya pengaturan;
4.
asas dapat dilaksanakan; dan
a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
UUD NRI Tahun 1945;
b.
perintah suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang;
Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234..
Seperti dikutip oleh Maria Farida Indrati, Op.Cit., hal. 228. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut juga dikutip
oleh Qomaruddin, “Membentuk Peraturan Perundang-Undangan Yang Aspiratif dan Responsif Sesuai Dengan Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.” Makalah disampaikan pada Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mei 2011, hal. 7.
15
Ibid, hal. 230.
284
a.
Mahkamah
hukum
dalam
Perencanaan
Perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam Program Legislasi Nasional
atau Prolegnas (Pasal 16 UU No. 12 Tahun
2011), yaitu instrumen perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan
Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui
Badan Legislasi (Baleg). Lebih lanjut
Penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas
didasarkan atas:
B.2. Pembentukan Undang-Undang
Ketentuan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 mendefiniskan UndangUndang adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
Presiden. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa materi muatan yang harus
diatur dengan Undang-Undang berisi:
kebutuhan
anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau
alat kelengkapan DPR yang khusus mengenai
bidang legislasi. Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR dikoordinasikan oleh Baleg. Sedangkan
Rancangan Undang-Undang yang diajukan
oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas
dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang, menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian terkait membentuk panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
Pembentukan Undang-Undang dilakukan
melalui beberapa tahapan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.16
Tahapan pembentukan Undang-Undang tersebut
selengkapnya dijabarkan seperti berikut ini.
Selain mencerminkan asas tersebut, Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan,
misalnya dalam hukum pidana (asas legalitas, asas
praduga tak bersalah, dan lain-lain) serta dalam
hukum perdata (asas kebebasan berkontrak, asas
kesepakatan, dan lain-lain).
13
14
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya)
b.
1)
perintah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
perintah Ketetapan
Permusyawaratan Rakyat;
3)
perintah Undang-Undang lainnya;
4)
sistem perencanaan
nasional;
5)
rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
6)
rencana pembangunan jangka menengah;
7)
rencana kerja pemerintah dan rencana
strategis DPR; dan
8)
aspirasi dan
masyarakat.17
Rancangan Undang-Undang dari DPR
disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kepada DPR. Presiden menugasi menteri yang
mewakili untuk membahas Rancangan
Undang-Undang bersama DPR dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
Menteri tersebut mengoordinasikan persiapan
pembahasan dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Sedangkan Rancangan
Undang-Undang dari Presiden diajukan
dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
Surat Presiden tersebut memuat penunjukan
menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan Rancangan UndangUndang bersama DPR dan DPR mulai
membahas Rancangan Undang-Undang
tersebut dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak Surat
Presiden diterima.
Majelis
pembangunan
kebutuhan
hukum
Penyusunan
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari
DPR, Presiden, dan DPD serta harus disertai
dengan Naskah Akademik.18 Rancangan
Undang-Undang dari DPR diajukan oleh
c.
Pembahasan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU
16
Tahapan tersebut tidak hanya berlaku untuk pembentukan Undang-Undang saja, tetapi juga untuk peraturan perundang-undangan
yang lainnya. Selengkapnya lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
17
Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011.
18
Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (4) UU No.12 Tahun 2011. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
285
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan,
yang terdiri atas:
1)
2)
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut:
a.
pengantar musyawarah;
b.
pembahasan daftar inventarisasi masalah;
dan
c.
penyampaian pendapat mini.
Pembicaraan tingkat II merupakan
pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna dengan kegiatan:
a.
d.
penyampaian laporan yang berisi
proses, pendapat mini fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan tingkat I;
b.
pernyataan persetujuan atau
penolakan dari tiap-tiap fraksi dan
anggota secara lisan yang diminta oleh
pimpinan rapat paripurna; dan
c.
penyampaian pendapat akhir
Presiden yang dilakukan oleh menteri
yang ditugasi.
Pengesahan
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR
kepada Presiden untuk disahkan menjadi
Undang-Undang. Penyampaian RUU tersebut
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama. Rancangan Undang-Undang tersebut
kemudian disahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden.
e.
Pengundangan
Undang-Undang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia,
sedangkan Penjelasan Undang-Undang
diundangkan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia. Pengundangan
286
Ayat (3) : Peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan
penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masingmasing daerah.
Undang-Undang dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi,
rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau
rapat Panitia Khusus; dan
pembicaraan tingkat II dalam rapat
paripurna.
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya)
B.3. Pembentukan Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota)
Berdasarkan jenis dan hierarkinya peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah dibedakan
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan Pasal 1 angka
7 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur,
sedangkan
ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 2011
menyatakan bahwa Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kapubaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota. Lebih lanjut
ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 menyatakan materi muatan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
dikenal juga dengan istilah Peraturan Delegasi.
Pendelegasian kewenangan dalam suatu peraturan
delegasi harus menyebut dengan tegas mengenai:
a.
ruang lingkup materi muatan yang diatur;
dan
b.
jenis peraturan perundang-undangan
Ketentuan mengenai Peraturan Daerah juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Bab VI
Pasal 136 mengenai Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah. Selengkapnya ketentuan
Pasal 136 sebagai berikut:
Ayat (1) : Peraturan daerah ditetapkan oleh
kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD.
Ayat (2) : Peraturan daerah dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi
daerah provinsi/ kabupaten/kota
dan tugas pembantuan.
Ayat (4) : Peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang
bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi.
lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan
oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi.
Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan
oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan
instansi vertikal terkait.
b.
Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 menyatakan penyusunan daftar
RUU dalam Prolegda Provinsi dan Prolegda
Kabupaten/Kota didasarkan atas:
(1) perintah Peraturan Perundang-undangan
lebih tinggi;
Seperti halnya dalam Pembentukan UndangUndang, pembentukan Peraturan Daerah juga
dilakukan melalui beberapa tahapan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.19 Tahapan pembentukan UndangUndang tersebut selengkapnya dijabarkan seperti
berikut ini.
a.
(2) rencana pembangunan daerah;
(3) penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan; dan
(4) aspirasi masyarakat daerah.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD
Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi (Balegda Provinsi), sedangkan
pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang berasal dari
DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota yang
khusus menangani bidang legislasi (Balegda
Kabupaten/Kota). Baik Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi maupun Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota yang khusus menangani
bidang legislasi.
Perencanaan
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah
Provinsi dilakukan dalam Program Legislasi
Daerah (Prolegda) Provinsi yang dilaksanakan
oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah
Provinsi, sedangkan untuk perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/
Kota yang dilaksanakan oleh DPRD
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Baik Prolegda Provinsi
maupun Prolegda Kabupaten memuat program
pembentukan Peraturan Daerah dengan judul
Rancangan Peraturan Daerah, materi yang
diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya, yang meliputi:
(1) latar belakang dan tujuan penyusunan;
(2) sasaran yang ingin diwujudkan;
(3) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang
akan diatur; dan
(4) jangkauan dan arah pengaturan.
Penyusunan Penyusunan Prolegda Provinsi
antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah
Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi
melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi, yaitu
Balegda. Penyusunan Prolegda Provinsi di
Penyusunan
c.
Pembahasan
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi (Raperda) Provinsi atau Raperda
Kabupaten/Kota dilakukan oleh DPRD Provinsi
bersama Gubernur atau DPRD Kabupaten/
Kota bersama Bupati/Walikota. Pembahasan
bersama Raperda dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat
pembicaraan tersebut dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD
Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang
19
Tahapan tersebut tidak hanya berlaku untuk pembentukan Undang-Undang saja, tetapi juga untuk peraturan perundang-undangan
yang lainnya. Selengkapnya lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
287
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
d.
khusus menangani bidang legislasi dan rapat
paripurna.
muatan Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan
dengan materi muatan Undang-Undang.20
Penetapan
Berdasarkan Pasal 53 Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Badan Legislasi Daerah (Balegda)
bertugas:
Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/
Kota yang telah disetujui bersama oleh DPRD
Provinsi dan Gubernur atau DPRD Kabupaten/
Kota dan Bupati/Walikota disampaikan oleh
pimpinan DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Penyampaian
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama. Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut
disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan
Gubernur. Jika Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tidak ditandatangani oleh Gubernur
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib
diundangkan. Ketentuan mengenai penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi berlaku
secara mutatis mutandis terhadap penetapan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
e.
Pengundangan
Peraturan Derah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota diundangkan dalam
Lembaran Daerah yang dilaksanakan oleh
Sekretaris Daerah.
B.4. Upaya Untuk Mewujudkan Sinergi
Pembentukan Peraturan Daerah dengan
Pembentukan Undang-Undang.
Dalam hal kaidah hukum, suatu Peraturan
Daerah dikaji untuk melihat apakah terdapat
harmonisasi produk hukum dimana Peraturan
Daerah yang hierarki hukumnya lebih rendah (lex
inferior) bertentangan atau tidak dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di atasnya (lex
superiori). Dengan demikian, karena Peraturan
Daerah berada dalam hierarki terendah, materi
a.
menyusun rancangan Prolegda yang memuat
daftar urutan dan prioritas Raperda beserta
alasannya untuk setiap tahun anggaran di
lingkungan DPRD;
b.
koordinasi untuk penyusunan Prolegda antara
DPRD dan Pemerintah Daerah;
c.
menyiapkan rancangan Perda usul DPRD
berdasarkan program prioritas yang telah
ditetapkan;
d.
e.
f.
melakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Raperda yang
diajukan oleh anggota, komisi dan/atau
gabungan komisi sebelum Raperda tersebut
disampaikan kepada pimpinan DPRD;
memberikan pertimbangan terhadap Raperda
yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau
gabungan komisi, di luar prioritas Raperda
tahun berjalan atau di luar
Perda yang
terdaftar dalam Prolegda;
mengikuti perkembangan dan melakukan
evaluasi terhadap pembahasan materi muatan
Raperda melalui koordinasi dengan komisi
dan/atau panitia khusus;
g.
memberikan masukan kepada pimpinan DPRD
atas Raperda yang ditugaskan oleh Badan
Musyawarah; dan
h.
membuat laporan kinerja pada masa akhir
keanggotaan DPRD, baik yang sudah maupun
yang belum terselesaikan untuk dapat
digunakan sebagai bahan oleh komisi pada
masa keanggotaan berikutnya.
Dalam penyusunan Peraturan Daerah sangat
jelas peran Balegda dalam melakukan koordinasi
untuk penyusunan Prolegda antara DPRD dan
Pemerintah Daerah, Balegda juga berfungsi untuk
melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Raperda yang diajukan oleh
anggota, komisi dan/atau gabungan komisi
sebelum Raperda tersebut disampaikan kepada
pimpinan DPRD, bahkan harus dapat mengikuti
20
P. Agung Pambudi, Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006,
hal. 32.
288
Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya)
perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap
pembahasan materi muatan Raperda melalui
koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus.
Namun dalam implementasinya, masih banyak
ditemukan Peraturan Daerah yang tidak konsisten
dan tumpang tindih, baik dengan Peraturan Daerah
lain maupun dengan peraturan perundangundangan di atasnya. Peraturan Daerah yang
bermasalah secara teknis-yuridis formal,
menunjukkan gambaran penguasaan yang lemah
salah satunya dalam hal legal drafting.21 Kemauan
politik pimpinan daerah, baik dari unsur eksekutif
maupun legislatif juga sangat menentukan kualitas
pembentukan Peraturan Daerah.22
Untuk mengatasi hal tersebut harus ada suatu
sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan
tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Sinergi juga
diperlukan agar tidak terjadi pertentangan dalam
pembentukan suatu Peraturan Daerah dengan
Peraturan Perundang-undangan di atasnya
(terutama dengan Undang-Undang) agar terwujud
harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Upaya mewujudkan sinergi dalam pembentukan
Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundangundangan di atasnya (terutama dengan UndangUndang) dapat dilakukan dengan cara:
a.
penyusunan Peraturan Daerah harus sesuai
dan tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila, NKRI, UUD NRI Tahun 1945, dan
Bhinneka Tunggal Ika;
b.
penyusunan Peraturan Daerah harus
berpedoman pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana yang telah diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011;
c.
pengharmonisasian materi muatan suatu
Raperda dengan materi muatan yang ada
dalam peraturan perundang-undangan
diatasnya untuk menghindari terjadi
penyimpangan. Penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan di atas
Raperda dapat diantisipasi sebelum Raperda
tersebut ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
sehingga potensi pengujian Peraturan Darah ke
Mahkamah Agung dapat dihindari dengan
adanya pelaksanaan harmonisasi dan
sinkronisasi ini;
d.
pengoptimalan peran Balegda sebagai
koordinator dalam pengharmonisasian,
21
Ibid, hal.49.
22
Ibid.
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/
Kota. Balegda harus dapat menyusun Prolegda
berdasarkan justifikasi kebutuhan sebuah
Raperda (need analysis) dan bukan hanya
memuat daftar judul Raperda semata, sehingga
substansi atau materi muatan Raperda yang
sudah ada dalam Prolegda dapat diketahui dan
duplikasi dapat dihindarkan;
e.
peningkatan wawasan ketataegaraan bagi
anggota Balegda, terutama pengetahuan dan
pengalaman dalam hal perancangan Raperda.
Hal ini sangat diperlukan mengingat Balegda
berperan sebagai law center di daerah yang
mempunyai peran utama untuk meningkatan
kualitas produk legislasi di daerah;
f.
penambahan dukungan tenaga ahli/pakar dan
SDM bagi anggota Balegda dalam pelaksanaan
fungsi legislasi di daerah, terutama dalam hal
penguasaan fungsi legislasi;
g.
pengikutsertaan tenaga perancang peraturan
perundang-undangan untuk menunjang
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik. Dalam hal ini Balegda dapat
melakukan perekrutan tenaga perancang
sendiri atau bekerja sama dengan Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kanwilkumham) yang ada di daerah;
dan
h.
pembentukan sistem pendukung yang kuat
dan profesional untuk membantu DPRD dan
Balegda dalam pelaksanaan fungsi legislasi di
daerah.
C.
Penutup
Banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah
terutama disebabkan adanya ketidaksesuaian
antara metode pendekatan yang digunakan dalam
proses pembuatan Peraturan Daerah dan realitas di
lapangan, terutama jika dikaitkan dengan pihak
yang berkepentingan untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, yaitu masyarakat lokal.
Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya
akuntabilitas DPRD dan Pemerintah Daerah yang
jarang sekali memberikan informasi yang lengkap
kepada masyarakat lokal berkaitan dengan
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Untuk itu
sangat diperlukan peran Balegda sebagai
289
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290
koordinator yang melakukan koordinasi, terutama
dalam penyusunan Prolegda antara DPRD dan
Pemerintah Daerah.
Peran Balegda sangat diperlukan untuk
mewujudkan sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi
DPRD dengan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah.
Di samping itu, peran Balegda juga diperlukan
untuk mewujudkan sinergi dalam pembentukan
Peraturan Daerah dengan Undang-Undang,
Balegda juga berfungsi untuk melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Raperda yang diajukan oleh anggota,
komisi dan/atau gabungan komisi sebelum
Raperda tersebut disampaikan kepada pimpinan
DPRD, bahkan anggota Balegada harus dapat
mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi
terhadap pembahasan materi muatan Raperda
melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia
khusus. Dengan demikian Peraturan Daerah yang
dihasilkan akan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat lokal dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya.
Daftar Pustaka
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Yani,
Akhmad. Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Responsif:
Catatan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Jakarta: Konstitusi
Press, 2013.
Makalah
Hamidi, Jazim. Problematika Sumber dan Tertib
Hukum Indonesia. Makalah disampaikan
pada RDPU Dalam Rangka Penyampaian
Masukan RUU tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Jakarta: Baleg DPR RI, 2010.
Qomaruddin. Membentuk Peraturan PerundangUndangan Yang Aspiratif dan Responsif
Sesuai Dengan Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Makalah
disampaikan pada Diklat Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Mei 2011.
Internet
Ash. Ada Tren Penurunan Pembatalan Perda: Pemerintah Dianggap Semakin Menyadari Pentingnya Otonomi Daerah, diakses dari http://
www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d83f
892322b/ada-tren-penurunan-pembatalanperda, diakses tanggal 28 Maret 2014.
Astria, Riendy. Evaluasi 9000 Perda Bermasalah
Digelar sampai 2014, diunduh dari
http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi9.000-perda-bermasalah-digelar-sampai2014-1, diakses tanggal 28 Maret 2014.
Remaja. Sejarah Undang-Undang Pemerintah
Daerah, diunduh dari http://www.
fakultashukum-universitaspanjisakti.
com/informasi-akademis/bahan-kuliah/ 41sejarah-undang-undang-pemerintahandaerah.html, diakses tanggal 1 april 2014.
Jurnal
Peraturan Perundang-Undangan
Pambudi, Agung P. Peraturan Daerah dan
Hambatan Investasi, Jurnal Hukum Jentera,
Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234.
Royono, Rivandra. Harga Sebuah Peraturan Daerah:
Analisis Biaya dan Manfaat Dalam
Pembuatan Kebijakan Publik, Jurnal Hukum
Jentera, Edisi 14-tahun IV, OktoberDesember 2006.
Zamroni, M. Pengujian Peraturan Daerah: Sebuah
Telaaham Kritis dalam Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol.10 No.3, Jakarta”Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
2009.
290
________. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5104.
MODEL PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG RESPONSIF DAN
BERDIMENSI HAK ASASI (ANALISA MUATAN MATERI PERATURAN DAERAH
TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA)
(A RESPONSIVE MODEL OF LOCAL REGULATION ESTABLISHMENT AND RESPECT TO
HUMAN RIGHTS (A CONTENT ANALYSIS OF LOCAL REGULATION ON HEALTH CARE
IN INDONESIA))
Cekli Setya Pratiwi
Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang Indonesia
Email: [email protected]
(Naskah diterima 18/09/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Keberadaan Peraturan Daerah sebagai bagian dari Hukum Nasional merupakan instrumen hukum yang penting di
tingkat lokal. Pemerintah Daerah pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
membentuk Perda sebagai isntrumen penting dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan serta untuk
menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Saat ini seiring dengan
reformasi dan pembaharuan hukum di Indonesia, model pendekatan pembentukan Perda dengan ROCCIPI tidaklah
cukup, dan perlu pendekatan tambahan yang dapat mewujudkan Perda yang bersifat responsif, harmoni dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian dewasa ini, Perda masih menjelma menjadi
regulasi yang bersifat represif dimana dalam proses pembentukannya kurang melibatkan partisipasi masyarakat dan
lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan kepentingan memecahkan masalah sosial masyarakat. Di sisi
lain, keberadaan Perda masih mengabaikan prinsip-prinsip HAM bahkan mendistorsi pengakuan HAM yang dijamin
dalam konstitusi. Pada tahun 2002, terdapat sekitar 700 Perda yang dianulir oleh Kementerian Dalam Negeri karena
dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari aspek formil maupun materiil. Selain itu, KOMNAS HAM juga menilai
bahwa berbagai Perda yang bersifat diskriminatif cenderung melahirkan praktek pelanggaran hak asasi manusia oleh
pejabat negara, diskriminasi kelompok minoritas, serta lambannya pemenuhan HAM warga di daerah salah satunya
adalah Perda tentang Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010. ditinjau dari Prinsip-prinsip Limburg
dan indikator-indikator pemenuhan hak atas kesehatan dalam Komentar Umum Nomor 14
Kata kunci: Peraturan Daerah, hak atas kesehatan, hukum responsif
Abstract
The existence of local regulation as part of the National Law is an important legal instrument at the local level. After the Local
Government Law Number 32 of 2004 on the Local Government make Local Regulation as an important instrument of
accession in the course of the co-administration as well as to further elaborate the legislation in the higher level. Currently
along with the reform and legal reform in Indonesia, the approach to make local regulation with ROCCIPI model is not
enough, and need additional approaches that can achieve responsive regulation, harmony and uphold the values ​ ​ of
Human Rights. However, the regulation is still transformed into repressive regulations which are less involved in the
formation process of public participation and more oriented to the political interests than the interests of the community to
solve social problems. On the other hand, where regulation is still ignoring the human rights principles even distort the
recognition of human rights guaranteed in the constitution. In 2002, there were approximately 700 local regulations that
disallowed by the Ministry of Internal Affairs as it is considered to have some of the drawbacks of both formal and
substantive aspects. In addition, the National Human Rights Commission also considered that the new laws are
discriminatory practice tends to result in human rights violations by state officials, minority discrimination, and slow
fulfillment of human rights of citizens in the area one of which is the regulation of Malang Health Care Number 12 of 2010 in
terms of the Limburg principles and the indicators of the right to health in General Comment No. 14
Keywords: local regulation, the right to health, the responsive law.
291
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang menjunjung
tinggi prinsip demokratisasi dan berdasarkan
hukum. Salah satu ciri dari negara hukum atau the
rule of law adalah adanya jaminan perlindungan
HAM oleh negara kepada warga negara.1 Makna
jaminan perlindungan di sini adalah bahwa negara
memiliki kewajiban (state obligation) untuk
mempromosikan (to promote), melindungi (to
protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to
fulfill), memastikan (to ensure) perlindungan HAM
kepada seluruh warga negaranya.2 Pertama,
kewajiban mempromosikan (to promote) artinya
bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya
baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki
kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan
pentingnya perlindungan HAM serta berbagai
peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga tingkat
kesadaran masyarakat dan aparaturnya terhadap
pentingnya HAM semakin meningkat. Kedua,
kewajiban melindungi (to protect) artinya, negara
memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap
warga negara dari segala bentuk tindakan yang
menyerang hak-hak warga negara. Negara tidak
hanya memiliki kewajiban untuk proaktif
memberikan perlindungan HAM setiap warga
negaranya, namun juga negara tidak dibenarkan
melakukan pembiaraan (act by ommission) terhadap
adanya pelanggaran HAM yang terjadi
dimasyarakat. Ketiga, kewajiban menjamin (to
guarentee) perlindungan HAM artinya bahwa
perlindungan HAM tidak hanya cukup
dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau
tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai
pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting
adalah bagaimana negara menjamin pengakuan
dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam
peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat
peraturan pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan
kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun
daerah. Keempat, kewajiban memenuhi (to fulfill)
artinya terhadap adanya pelanggaran HAM yang
terjadi dan menimbulkan korban, negara memiliki
kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban
1
dengan segera dan proporsional dengan tanpa
disyaratkan dalam kondisi tertentu. Kelima,
kewajiban memastikan (to guarantee) artinya bahwa
negara dapat memastikan bahwa pelaku
pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan.
Situasi kekinian perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia pada tahun 2012
menurut pernyataan Kelompok Kerja Majelis Tinggi
HAM PBB (United Nations Human Rights Council)
pada Universal Periodic Review (UPR) sesi ke-13 di
Genewa pada 21 Mei sd 4 Juni 2012 Nomor
A/HRC/WG.6/13/IDN/1 menunjukan bahwa
pemenuhan HAM masih dinilai lemah oleh Majelis
Tinggi HAM PBB. Oleh karena itu pada tahun 201220133 Indonesia bersedia untuk menerima peninjau
khusus (special rapportour) khususnya soal
pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas
perumahan dan hak kebebasan berekspresi, serta
berkomitmen menjamin hak kebebasan beragama.
Berbeda dengan Laporan Kelompok Kerja UPR
Tahun 20084 (empat tahun sebelumnya) dimana
dunia internasional menyoroti berbagai kelemahan
dalam perlindungan HAM di Indonesia. Misalnya,
lemahnya pemahanan HAM pembuatan kebijakan
publik di tingkat lokal (local regulation)
menyebabkan pada tahun 2002 terdapat ratusan
Perda yang dibatalkan karena tidak sesuai dengan
nilai-nilai penghormatan HAM.5 Oleh karena itu
perlu segera dilakukan harmonisasi baik di bidang
legislasi, administrasi, kebijakan, dan
pelaksanaannya. Dari Laporan Periodik Umum
Kelompok Kerja di atas baik pada tahun 2008 dan
2012 tersebut menggambarkan bahwa persoalan
transformasi norma hukum HAM Internasional ke
dalam regulasi baik di tingkat pusat (national
regulation) maupun di tingkat daerah (local
regulation) menjadi isu penting yang harus
diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Kedua,
tanggungjawab Indonesia untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM warga negara
merupakan bagian dari komitmen Indonesia
terhadap berbagai perjanjian Internasional tentang
HAM yang telah diratifikasi oleh pemerintah
A. Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
2
Pasal 28 I ayat 5 menyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab
negara, terutama pemerintah”.
3
Lihat UN Human Rights Council: Statement for the 2012 Universal Periodic Review of Indonesia, diakses dari Human Rights Wacth
website di http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un-human-rights-council-statement-2012-universal-periodic-review-indonesia, lihat
juga Human Rights Council Working Group on the Universal Periodic Review Thirteenth session Geneva, 21 May–4 June 2012 di
http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G1211638.pdf?OpenElement
4
Lihat UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the Working Group on the Universal Periodic Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14
May 2008, General Asembly of United Nation. HUMAN RIGHTS COUNCIL Eighth sessions Agenda item 6, dapat diakses melalui
http://www.geneva-academy.ch/RULAC/pdf_state/UPR-Outcome-of-the-Working-Group.pdf
5
UPR Indonesia, 2008, Ibid. Point 10 Halaman 4.
292
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
Indonesia dan keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai Organisasi Internasional. Komitmen
Indonesia untuk melindungi (to protect) HAM
diperkuat dengan ratifikasi Indonesia atas berbagai
perjanjian-perjanjian internasional di bidang HAM
antara lain 1) Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia,6 2) Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial,7 3) Konvensi tentang
Penghapusan Segala Macam Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan,8 4) Konvensi tentang Hak-hak
Anak,9 5) Konvensi Hak Kaum Disable/the
Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(CRPD) diratifikasi Indonesia pada November 2011,
6) Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran
dan Keluarganya atau the International Convention
on the Rights of All Migrant Workers and Members of
Their Families (ICRMW) yang diratifikasi oleh
Indonesia pada Mei 2012. Di level regional,
Indonesia yang sudah 14 tahun menjadi anggota
ASEAN, dan pada 2011 dipercaya sebagai ketua
dari organisasi ASEAN dan Indonesia menunjukan
peran yang cukup penting dalam pembentukan
Deklarasi HAM ASEAN.
Selama ini, Indonesia
sebagai pemegang
kewajiban (duty holders) masih sebatas
melaksanakan 1 (satu) kewajiban yaitu kewajiban
untuk melindungi HAM (obligation to protect).
Namun komitmen Indonesia dalam melaksanakan
(dua) kewajiban lainnya yaitu menghormati
(obligation to respect) dan memenuhi (obligation to
fulfil) HAM bagi setiap warga negara belum
maksimal. Kewajiban untuk menghormati
menuntut negara, termasuk organ-organnya untuk
tidak melakukan apapun yang melanggar hak-hak
dan kebebasan-kebebasan dasar individu, misalnya
menghalang-halangi kebebasan warga negara
untuk menjalankan agama dan kepercayaannya.
Kewajiban untuk melindungi menuntut negara
untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan (baik di bidang leglislatif, yudikatif,
eksekutif) guna melindungi hak-hak dan kebebasan
warga negara yang ada di wilayahnya. Misalnya
membuat Undang-undang atau berbagai kebijakan
publik yang memberikan jaminan perlindungan
terhadap hak-hak dan kebebasan warga di
wilayahnya. Dan kewajiban ketiga menuntut negara
untuk mengambil langkah-langkah guna
memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar manusia
misalnya pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas
penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak
atas pendidikan, dll. Kiranya kewajiban untuk
melindungi (obligation to protect) dengan membuat
berbagai produk regulasi di bidang HAM sudah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
sebagian saja yaitu pada level Konstitusi
(grundmorm/ norma dasar) meskipun dalam
catatan Penulis masih terkesan setengah hati dan
tidak konsisten karena faktanya berbagai regulasi
yang dibuat baik di tingkat Undang-undang (UU),
atau Peraturan Daerah (Perda) atau kebijakan
publik lainnya justru mereduksi jaminan
perlindungan HAM yang ada dalam UUD NRI Tahun
1945 serta bertentangan dengan
konvensi
Internasional tentang HAM yang telah diratifikasi.
Hasil penelitian Sulardi dan Cekli 1 0
menunjukan bahwa pasca perubahan Pasal 5 jo
Pasal 20 UUD NRI tahun 1945 terjadinya
pergeseran kewenangan dibidang legislasi dari
Presiden ke DPR. Namun demikian pergeseran
kekuasaan di bidang legislasi ini faktanya gagal
dimaknai oleh DPR untuk menghasilkan berbagai
produk UU yang berkualitas, alih-alih berdimensi
HAM. Produk hukum berupa UU yang dibuat
cenderung mengabaikan bahkan bertentangan
dengan hak konstitusional rakyat. Misalnya, pada
tataran UU, tingginya tingkat pengajuan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi dengan
permintaan pembatalan sejumlah UU, merupakan
salah satu indikator penting gagalnya Pemegang
Kekuasaan Legislatif dalam merumuskan UU yang
berkualitas dan konstitusional.11 Mahfud MD selaku
Ketua Mahkamah Konstitusi yang dimuat oleh
Harian Kompas tertanggal 20 Februari 2010,
menilai bahwa produk legislasi banyak yang tidak
6
Konvensi ini disebut CAT, diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Indonesia meratifikasinya
melalui UU No. 5 Tahun 1998.
7
CERD diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 2106 (XX) 21 Desember 1965. Indonesia meratifikasi CERD melalui UU No. 29
Tahun 1999.
8
Konvensi ini dikenal dengan nama CEDAW dan diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984.
9
CRC diratifikasi oleh Indonesia mellui Keppres 36 Tahun 1990.
10
Lihat Sulardi dan Cekli, 2001, 'Pergeserean Kekuasaan Legislasi Pasca Amandemen UUD 1945', ISSN: 0854, 6509. Vol. 7 No. 2, Hlm. 90
- 226. Faculty of Law, Muhammadiyah University, Malang. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, 'Sistem Ketatanegaraan Pasca Amandemen', dapat
diakses di http://jimly.com/makalah/namafile/42/SISTEM_KETATANEGARAAN.doc., Saldi Isra, 'MPR Perlu Menata Ulang Fungsi
Legislasi', disampaikan dalam Ujian terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum di UGM pada tanggal 7 Februari 2009, dapat diakses di
http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/15898-____mpr-perlu-menata-ulang-fungsi-legislasi____.pdf
11
Cekli Setya Pratiwi, 2010, WAJAH UU PASCA UJI MATERIIL MK (Menggugat Pemegang Kekuasaan Legislasi , Mendorong Tegaknya
Konstitusi dan Terwujudnya The Rule of Law), Jurnal Mahkamah Konstitusi, 2010.
293
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
beres karena menyimpang dari Program Legislasi
Nasional atau Prolegnas. Bukti dari ketidakberesan
itu adaah banyaknya undang-undang yang
dibatalkan MK yaitu dalam lima tahun terakhir MK
telah membatalkan 58 UU dari 108 UU yang diuji.
Saat ini ada 38 UU yang sedang diperiksa atau
menunggu giliran untuk diuji secara materiil oleh
MK.12 Pada tataran Perda, misalnya, hasil penelitian
LHB Surabaya bekerjasama dengan Pusat Studi
Kebijakan Publik (PSHK) tentang Kinerja DPRD di
Jawa Timur tahun 2004-2009, dihasilkan bahwa
dari tiga kota dan kabupaten yang dijadikan obyek
penelitian, yaitu Kota Surabya, Kabupaten
Lamongan dan Kabupaten Blitar ternyata minim
perda pro rakyat..13 Belum lagi adanya berbagai
kebijakan publik dalam bentuk Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri (SKB), Peraturan Menteri,
Peraturan Walikota, dll yang juga berpotensi
mereduksi perlindungan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, kegagalan dalam melaksanakan
kewajiban untuk melindungi (obligation to protect)
ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya dan akan
meningkatkan potensi dan eskalasi berbagai bentuk
pelanggaran HAM di lapangan.
Sampai sekarang masih banyak terjadi
berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia baik dibiang hak sipil dan politik atau hak
ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang hak sipil
misalnya hak kebebasan beragama juga masih
banyak hambatan. Dalam catatan KOMNASHAM
sedikitnya sepanjang Januari hingga November
2007, dapat dicatat bahwa telah terjadi 135 kasus
pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi,
tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12
kategori.14 Laporan yang disampaikan oleh ELSAM
mencacat bahwa selama tahun 2011 hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan masih
memburuk. ELSAM mencatat setidaknya terdapat
63 kasus pelanggaran hak atas kebebasan
beragama atau berkeyakinan yang dilakukan dalam
berbagai bentuk antara lain kebijakan diskriminatif,
pembakaran rumah ibadah, pembakaran rumah
jemaat, penyerangan, tindakan pembiaran oleh
aparat, dll. Mulai tahun 1999 hingga 2009 sudah
terbit tidak kurang dari 154 kebijakan di daerah
dalam bentuk perda yang bersumber dari nilaiyang
dianggap khas di daerah. Menurut pemantauan
12
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
Komisi NasionalAnti-Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), dari 154 perda
tersebut, daerah tingkat I (provinsi) menyumbang
19 perda, dandaerah tingkat II (kabupaten/kota)
merupakan penyumbangterbesarnya, yaitu
sebanyak 134 perda. Yang diaktualisasikan di
dalam perda itu kebanyakan berkaitan dengan
kontrol terhadap moral dan akhlak. Mulai dari soal
prostitusi hingga cara berbusana bagi perempuan
muslim. Tetapi yang menjadi keprihatinan kita
adalah, sebagaimana diamati Komnas Perempuan,
perda-perda tersebut bersifat diskriminatif terhadap
perempuan.15
jelas mengenai aspek formil dan materiil yang harus
diperhatikan oleh local regulator dalam menyusun
Perda yang responsive dan berdimensi HAM.
Dengan demikian, ada kecenderungan
pembentukan Perda hanya dipandang sebagai
pekerjaan rutin, pelibatan masyarakat hanya
sebagai alat legitimasi saja dan secara substansi
berpotensi melanggar hak-hak warga negara.
Dengan demikian perlu dipikirkan strategi baru dan
metode pembentukan Perda yang responsif dan
berdimensi HAM sehingga apa yang menjadi tujuan
negara dan cita-cita negara hukum yang demokratis
dapat terwujud di tingkat daerah.
Kegagalan transformasi norma hukum HAM
Internasional ke dalam berbagai produk hukum
nasional dan lokal dapat menjadi penanda bahwa
Indonesia masih belum menunjukan komitmen
yang tinggi dalam melaksanakan tiga kewajiban
pokok untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi HAM warga negara di wilayahnya
sebagai bagian dari masyarakat internasional.
Internalisasi norma hukum HAM Internasional ke
dalam hukum nasional masih sebatas pada norma
hukum tertinggi yaitu konstitusi Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
beberapa Undang-Undang tertentu, namun
sebagian besar Undang-Undang yang dibuat oleh
lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun
daerah belum berdimensi HAM. Hal ini nampak dari
jumlah UU yang diajukan yudicial review ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia karena
dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Keberadaan UU yang belum berdimensi HAM
menjadi sumber bagi lahirnya berbagai peraturan di
tinngkat bawahnya serta berbagai kebijakankebijakan lainnya, sehingga berbagai peraturan dan
kebijakan tersebut memiliki kecenderungan
bermasalah dan diskriminatif. Konsep otonomi
daerah dimaknai secara tidak tepat sehingga ada
kecenderungan daerah membuat peraturan daerah
di luar kewenangan daerah dan berpotensi
melanggar hak asasi manusia khususnya hak
kebebasan beragama. Sikap diam negara terhadap
maraknya berbagai pihak yang tanpa kewenangan
mengeluarkan berbagai ketentuan yang mengikat
publik, sehingga memicu berbagai konflik
horizontal. Sementara itu, keberadaan UU Nomor
12 Tahun 2011 tidak memberikan pedoman yang
Peraturan Daerah merupakan perangkat
hukum di daerah dan bukan hanya sebagai alat
untuk menertibkan masyarakat namun harus
mampu sebagai pendorong perubahan sosial
(mendorong masyarakat ke arah yang lebih baik).
Kesehatan dan pelayanan kesehatan tidak boleh
sekedar ditempatkan sebagai wewenang
pemerintah daerah tetapi harus ditempatkan
sebagai Kewajiban Negara (state obligation) (Ps. 8
UU 39/99) untuk menghormati , melindungi dan
memenuhi Hak Asasi Manusia (Ps. 12 CESCR) dan
Hak konstitusional rakyat (Ps. 28H UUD NRI 1945)
dengan langkah-langkah yang efektif (Ps. 71 & 72
UU 39/99). Kewajiban menghormati artinya
pemerintah wajib membuat UU untuk melindungi
dan menjamin hak setiap warganegara agar tak
mengalami diskriminasi etnis, ras, jender atau
bahasa dalam bidang kesehatan serta alokasi
sumberdaya yang kurang. Kewajiban melindungi
artinya: Pemerintah harus mengupayakan tindakan
untuk mencegah pelaku non-negara berperilaku
diskriminatif sehingga membatasi akses dalam
bidang kesehatan.Kewajiban memenuhi artinya:
Pemenuhan secara progresif; Investasi di bidang
kesehatan serta alokasi sumberdaya untuk
kemampuan masyarakat.
Lihat Kompas edisi Senin, 20 Februari 2010 '38 UU Menunggu Giliran Ujia Materiil'.
13
Peraturan yang baik adalah peraturan yang
responsif bukan represif: melibatkan partisipasi
masyarakat, mewujudkan ketertiban masyarakat
sekaligus keadilan (substantif dan prosedur),
memperhatikan kepentingan kelompok rentan,
tidak memberikan peluang bagi penguasa untuk
menafsirkan hukum, serta mampu mewujudkan
prinsip demokrasi, perlindungan HAM, tujuan
negara dan keadilan dalam masyarakat.
B.
Perlindungan HAM Sebagai Tanggungjawab
Negara
Diakui di dalam konstitusi berbagai negara di
dunia16 tak terkecuali konstitusi Indonesia17 serta
berbagai instrumen internasional tentang HAM
dimana Indonesia juga menjadi negara peserta
(state party) bahwa Hak Asasi Manusia diartikan
sebagai hak yang dimiliki dan melekat pada diri
setiap manusia karena kodratnya sebagai manusia
(inherent in dignity)18 sebagai anugrah dari Tuhan
Yang Maha Esa.19 Oleh karena itu HAM bukanlah
pemberian negara sehingga negara tidak
dibenarkan mencabutnya (inalienable)20 dan tidak
dapat membatasinya secara sewenang-wenang
(indivisible).21 Pengurangan atau pembatasan hak
asasi manusia hanya diperbolehkan pada hak-hak
tertentu dan dalam keadaan tertentu seperti
keadaaan darurat umum, dengan langkah-langkah
tertentu, harus sudah dinyatakan secara tegas
dalam undang-undang, serta tidak bermaksud
untuk mendiskriminasikan pihak lain.22 Dengan
demikian keberadaan berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang HAM
bukan sebagai bukti bahwa HAM adalah pemberian
negara atau belas kasihan negara kepada warga
negaranya,23 melainkan hanya sebatas menegaskan
atau menguatkan bahwa HAM memang nyata
adanya. Oleh karena itu konstitusi Indonesia secara
16
Lihat berbagai konstitusi negara anggotas Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Arab Saudi, Brunai Darusalam, Malaysia, Amerika
Serikat, dll. , dimana Indonesia adalah juga bagian dari Anggota PBB.
17
Lihat berbagai Pasal tentang HAM Dalam Bab XA Pasal 28 A-J UUD NRI Tahun 1945.
18
Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diterima oleh Majelis Umum PBB 2200 A (SSI) 16 Desember 1966
pada Mukadimah Alenia II menyatakan bahwa: “Negara-negara pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa hak hak ini berasal dari
martabat yang melekat pada manusia”
19
Lihat juga Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
20
Lihat juga Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 Nomor 217 A (III) Pada
Mukadima Alenia I menyatakan bahwa:”pengakuan atas hak-hak alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua
anggota keluarga manusia...”.
21
Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dihadapan hukum,
hak memeluk dan memilih agama, adalah hak yang bersifat non-derogable right (tidak dapat dikurang-kurangi dalam keadaan apapun).
Lihat Pasal 3 sd 9 DUHAM, Pasal 6,7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 Kovenan Internasional Hak Sipil Politik 1966, Pasal 28 I Ayat 1 dan 2
UUD NRI Tahun 1945, Pasal
Cekli Setya Pratiwi , LBH Surabaya dan PSHK, disarikan dari Laporan Hasil Penelitian Kinerja DPRD Di Jawa Timur, Tahun 20052009, Maret 2010.
22
Thomas Buergental, Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan Pengurangan Hak Yang Diizinkan”, dalam Ifdal Kasim (eds.),
2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM: Jakarta, ISBN: 979-8981-20-0. Halaman 315-353.
14
Lihat Laporan Tahunan 2007 KOMNASHAM, diakses oleh Penulis pada 11 Januari 2009 di http://komnasham.or.id
15
Kasim, Ifdal. Reduksi Perlindungan HAM Dalam Peratutan Daerah. Jurnal HUMANITAS, Volume II, November 2011.
23
Yosep Adi Prasetyo, 2012. Hak Ekosob Dan Kewajiban Negara, Makalah Memperkuat Pemahaman HAM Hakim Seluruh Indonesia,
Diselenggarakan Oleh Komisi Nasional HAM RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei 2012. Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id
294
295
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
tegas menyatakan bahwa jaminan HAM tersebut
adalah sebuah tanggungjawab yang harus dan
wajib dilakukan oleh negara.24 Jika negara atau
aparaturnya bertindak sewenang-wenang serta
mengabaikan pentingnya penghormatan nilai-nilai
HAM warga negaranya atau membiarkan perbuatan
diskirminasi, kekerasan dari pihak tertentu yang
melanggar HAM warga negaranya berarti negara
gagal melaksanakan kewajiban untuk menghormati
(obligation to respect). Jika negara atau lembaga
pembentuk hukum tidak menjamin HAM warga
negaranya atau justru peraturan yang dibuat atau
kebijakan yang dibuat bertujuan mengurangi atau
membatas-batasi atau meniadakan HAM warga
negaranya, maka negara dapat dikatakan tidak
menjalankan kewajibannya untuk melindungi HAM
warga negaranya (obligation to protect). Sedangkan
apabila negara memberikan kekebalan hukum
(impunity) kepada pihak tertentu yang melanggar
HAM atau mengabaikan hak-hak korban
pelanggaran HAM atau tidak memenuhi hak-hak
warga negara yang seharusnya segera dipenuhi
maka negara berarti telah gagal melaksanakan
kewajiban untuk memenuhi HAM warga negaranya
(obligation to fulfil).
Salah satu ciri dari negara hukum atau the rule
of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM
oleh negara kepada warga negara.25 Prinsip rule of
law menyatakan bahwa seluruh aspek negara
menjunjung tinggi supremasi hukum yang
dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian.
Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the
man. A.V.Dicey menegaskan bahwa unsur-unsur
rule of law meliputi: pertama, adanya superemasi
aturan-aturan hukum. Artinya bahwa, hukum
harus menjadi panglima, ditaati dan dipatuhi oleh
setiap warga negara, aparatur negara, dan setiap
unsur yang ada di masyarakat. Kedua, adanya
pengakuan “equality before the law” artinya setiap
orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan
hukum. Tidak ada perbedaan atau diskriminasi
baik menyangkut suku, agama, ras, warna kulit,
status ekonomi, sosial, dll. Ada tidaknya rule of law
pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”,
apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti
perlakuan adil. Ketiga, terjaminnya hak-hak asasi
manusia oleh undang-undang serta keputusankeputusan pengadilan. Artinya, setiap negara wajib
menghormati, menjamin dan melindungai hak-hak
asasi setiap warga negaranya, dan jaminan
terhadap perlindungan HAM warga negara tersebut
harus diatur dalam UU bahkan setingkat peraturan
pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan kebijakan
lain baik di tingkat pusat maupun daerah serta
dijamin melalui keputusan pengadilan.
Perlindungan HAM tidak hanya cukup
dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau
tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai
pasal dalam konstitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28I ayat 6:”Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”.
Penghormatan HAM sebagai bagian dari tujuan
bernegara secara tegas dinyatakan dalam
pembukaan undang-undang dasar 1945, bahwa
negara Indonesia didirikan untuk mencapai tujuan
negara yaitu: 1). Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2)
Memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa; 3) Ikut
melaksanakan ketertiban dunia.26 Ketiga tujuan
bernegara ini harus dilaksanakan dengan
berdasarkan pada Pancasila (sila I sampai V)
dengan tanpa diskriminasi sebagaimana semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Dari kelima sila Pancasila
tersebut selaras dengan prinsip penghormatan
HAM yaitu hak kebebasan beragama pada sila I
Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan hak
asasi manusia (Sila II Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, hak untuk mendapatkan perlakuan yang
adil dan tanpa diskriminasi (yaitu Sila III Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hak untuk
ikut serta dalam pemerintahan (Sila IV Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh hikmat dalam
permusyawaratan perwakilan) dan hak atas
kesejahteraan yang tergambar dalam sila ke V
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa sejak awal negara ini
didirikan memiliki cita-cita luhur untuk
memberikan penghormatan yang tinggi dan
perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia
tanpa membedaka-bedakan suku, agama, ras,
kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin dll dan
perlindungan serta rasa aman tersebut seharusnya
dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia
tanpa terkecuali dan di seluruh wilayah Republik
24
Pasal 28 I ayat 5 menyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab
negara, terutama pemerintah”.
25
26
A. Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
Lihat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 alenia IV.
296
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
Indonesia secara merata. Tujuan yang demikian
kiranya selaras dengan apa yang dimaksud dalam
ICCPR yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU
Nomor 12 Tahun 2005, Pasal 2 (1) yang
menyatakan: 'Each State Party undertakes to respect
and to ensure to all individuals within its territory and
subject to its jurisdiction the rights recognized in the
Covenant, without discrimination of any kind'.
Artinya, dengan diterimanya ketentuan ini maka
negara Indonesia memiliki kewajiban untuk
melindungi hak sipil dan politik sebagaimana hakhak yang diakui dalam CCPR kepada seluruh warga
negaranya tanpa didasarkan pada diskriminasi
apapun.27 Negara Indonesia juga berkehendak
'nensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa'. Jika dikaitkan dengan usaha untuk
mencapai tujuan negara yang pertama
sebagaimana tersebut di atas, yaitu menjamin
adanya perlindungan hak setiap warga negara,
maka dalam usaha memberikan jaminan
perlindungan tersebut akan sulit diwujudkan jika
kondisi masyarakat masih di bawah garis
kemiskinan atau pendidikan masyarakat masih
rendah. Sebagaimana prinsip-prinsip HAM dalam
Islam tentang perlindungan hak akal dan pikiran,
maka hak kebebasan berpendapat dan hak atas
pendidikan merupakan hak yang juga dijamin
pemenuhannya dalam HAM.
C.
27
2.
opportunity (Kesempatan) terdiri dari: (i)
apakah lingkungan di sekeliling pihak yang
dituju suatu undang-undang memungkinkan
mereka berperilaku sebagaimana
diperintahkan undang-undang atau tidak? (ii)
apakah lingkungan tersebut membuat perilaku
yang sesuai atau tidak mungkin terjadi?
3.
capacity (Kemampuan) terdiri dari: (i) apakah
para pelaku peran memiliki kemampuan
berperilaku sebagaimana ditentukan oleh
peraturan yang ada? (ii) berperilaku
sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang
yang ada; (iii) dalam prakteknya, kesempatan
dan kemampuan saling bertumpang tindih. (iv)
kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya
apabila berhasil merangsang para pembuat
rancangan undang-undang untuk
mengidentifikasikan penyebab dari perilaku
bermasalah yang harus diubah oleh rancangan
mereka.
4.
communication (komunikasi), ketidaktahuan
seorang pelaku peran tentang undang-undang
mungkin dapat menjelaskanmengapa dia
berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang
berwenang telah mengambil langkah-langkah
yang memadai untuk mengkomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada para
pihak yang dituju? Tidak ada orang yang
dengan secara sadar mematuhi undangundang kecuali bila dia mengetahui perintah;
5.
interest (kepentingan), apakah ada
kepentingan material atau non material (sosial)
yang mempengaruhi pemegang peran dalam
bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan
aturan yang ada?
6.
Process (proses), menurut kriteria dan
prosedur apakah dengan proses yang
bagaimana para pelaku peran memutuskan
untuk mematuhi undang-undang atau tidak?.
Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran
terdiri dari perorangan, kategori “proses”
menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna
untuk menjelaskan perilaku mereka. Orangorang biasanya memutuskan sendiri apakah
akan mematuhi peraturan atau tidak;
Model Pembentukan Perda Menggunakan
Metode ROCCIPI Plus Double RHR
Metode ROCCIPI merupakan singkatan dari
rule, opportunity, capacity, communication, interest,
process, ideology. Sedangkan Double RHR adalah
singkatan dari Responsive, Harmony Regulation
Respect to Human Rights. Metode ROCCIPI yang
dikenalkan oleh28 AUSAID
memberikan 7
parameter penilaian dan ditambah 3 parameter oleh
Penulis RHR (Responsive, Harmony Regulation) dan
RHR (Resptect to Human Rights) yang secara
keseluruhan diuraikan sebagai berikut:
1.
kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat
pelaksana dalam memutuskan apa dan
bagaimana mengubah perilaku bermasalah;
Rule (peraturan), susunan kata dari peraturan
kurang jelas atau rancu, peraturan mungkin
memberi peluang perilaku masalah.Tidak
menangani penyebab-penyebab dari perilaku
bermasalah, memberi peluang pelaksanaan
yang tidak transparan, tidak bertanggung
jawab, tidak partisipatif, memberikan
Cekli, op cit.
28
Local Government Support Program, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah Buku Pegangan untuk DPRD ,Publikasi ini didanai
oleh the United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, 2007 , hlm 17-19
297
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
7.
8.
298
ideology (idiologi), apakah nilai-nilai,
kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup
mempengaruhi pemegang peran untuk
bertindak sesuai atau bertentangan dengan
aturan yang ada?
Responsive Regulation dimaksudkan
sebagai sebuah aturan yang memiliki
karakteristik melibatkan partisipasi public
dalam setiap tahapan pembuatannya,
hendak menyelesai-kan masalah yang ada di
masyarakat. Menurut Philip Nonet dan Philip
Selznick, hukum mempunyai tiga jenis yaitu
hukum represif, hukum otonom dan hukum
responsif. Keikutsertaan masyarakat dalam
pembuatan hukum termasuk Peraturan
Daerah (perda) dalam setiap tahapan
pembuatan diharapkan menjadi kekuatan
kontrol (agent of social control) dan kekuatan
penyeimbang antara kepentingan
pemerintah dan masyarakat. Pada keadaan
terdapatnya hukum responsif, kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembentukan
hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini,
arena hukum menjadi semacam forum
politik, dan partisipasi hukum mengandung
dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi
hukum merupakan wahana bagi kelompok
atau organisasi untuk berperan serta dalam
menentukan kebijak-sanaan umum.
Dibukanya ruang bagi masyarakat untuk
ikut serta dalam proses pembentukan
hukum ini bertujuan agar hukum yang
dihasilkan tidak hanya responsive terhadap
kepentingan penguasa. Secara konstruktif
yuridis partisipasi masyarakat dalam
pembentukan hukum sebagaimana tertuang
dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004.
Paham Nonet dan Selznick hukum yang
responsif itu adalah hukum yang siap
mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dengan demikian, di
dalam hukum yang responsive terbuka lebar
ruang dialog dan wacana serta adanya
pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Karena itu hukum yang responsif tidak lagi
selalu mendasarkan pertimbangannya pada
pertimbangan juridis melainkan mencoba
melihat sebuah persoalan dari berbagai
perspektif dalam rangka untuk mengejar apa
yang disebut ”keadilan substantif”.
9.
Harmony Regulation, artinya sejuah mana
Perda yang dibuat mampu menjaga
harmonisasi heirarki dalam peraturan
perundang-undangan. Apakah perda tersebut
bertentangan dengan peraturan yang
kedudukannya lebih tinggi ataukah tidak?
Apakah Perda tersebut mengesampingkan
norma yang telah diatur oleh peraturan lainnya
yang kedudukannya lebih tinggi atau tidak?
Apakah perda tersebut memuat materi yang
sebenarnya membuat norma baru yang tidak
ada atau bertentangan dengan norma yang
diatur oleh peraturan lain yang kedudukannya
lebih tinggi atau tidak.
10. Respect to Human Rights artinya bahwa
penghormatan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
merupakan kewajiban utama bagi Negara atau
pemerintah baik pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah. Oleh karena itu dalam
menjalankan setiap kewenangannya baik
pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
harus memperhatikan kewajiban utamanya
dalam menghormati, melindungi dan
memenuhi hak setiap warga negaranya. Oleh
karena itu pembentuk hukum di daerah
khususnya lembaga legislative dalam
menyusun sebuah produk hukum yang
disebut sebagai peraturan daerah harus
senantiasa mentransformasikan kewajibankewajiban hukum dalam melindungi HAM.
Karena melindungi HAM merupakan bagian
dari upaya mewujudkan tujuan bernegara
serta menjalankan kewajiban-kewajiban
internasional sebagai Negara yang beradab.
Metode pembentukan Perda dengan
pendekatan ROCCIPI telah banyak diadobsi
oleh beberapa Pemerintah Daerah, namunn
demikian beberapa Perda yang dihasilkan
masih mengabaikan urgensi dari pentingnya
membuat Perda yang didasarkan oleh
partisipasi publik dan respon tinggi terhadap
kebutuhan publik, memperhatikan peraturanperaturan perundang-undangan yang
kedudukannya lebih tinggi sehingga tidak
terjadi konflik hokum yang dapat
menyebabkan kenetuan tersebut mengalami
penolakan public serta mampu mentransformasikan nilai-nalai hak asasi manusia
sebagai hak kodrat yang dimiliki oleh manusia
karena kodratnya sebagai manusia.
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
D.
Dimensi HAM Dalam
Pelayanan Kesehatan
D.1.Selaras Dengan
Nomor 14
Pemtukan
Komentar
Umum
Perda
PBB
a.
Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan
hendaknya menjamin pencapaian indikator
keberterimaan atas pelayanan kesehatan bagi
setiap orang
b.
Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan
hendaknya menjamin pencapaian indikator
kualitas dengan standard tertinggi atas
pelayanan kesehatan
c.
Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan
hendaknya menjamin pencapaian indikator
kesesuaian dengan budaya dan tradisi yang
diakui dan diikuti oleh masyarakat
d.
Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan
hendaknya menjamin indikator keterjangkuan
bagi masyarakat terutama warga miskin.
D.2.Penyelarasan
Limburg
Dengan
Prinsip-prinsip
Pertama, muatan Perda wajib mengatur dan
menyediakan upaya penyelesaian yang efektif bagi
warga Negara yang hak nya dilanggar. Prinsipprinsip Limburg juga semakin menegaskan dan
memberi arah bagi setiap negara, khususnya
negara pihak untuk tidak sekadar melihat hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya bersifat positif. Paragraf
ke-16 prinsip-prinsip Limburg menegaskan: “All
States parties have an obligation to begin
immediately to take steps towards full realization of
the rights contained in the Covenant.” Begitu juga
dalam paragraf ke-22: “Some obligations unders the
Covenant require immediate implementation in full by
all States parties, such as the probihation of
discrimination in article 2(2) of the Covenant.” Prinsip
Limburg mengenai Penerapan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya menekankan bahwa “Negara-negara Pihak
harus menyediakan upaya-upaya penyelesaian
yang efektif termasuk, bila memungkinkan,
penyelesaian melalui pengadilan” (Prinsip 19).
Kedua, muatan Perda mengatur dan
menyediakan jaminan tentang penyediaan sumber
daya yang tersedia secara maksimal dan langkahlangkah progressive yang harus dilakukan oleh
pemerintah. Dengan demikian, argumen maximum
available resources atau progressive realization tidak
dapat digunakan untuk mengkesampingkan
pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi
anggapan selama ini mengenai non-justiciable dari
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas
menyesatkan. Negara memiliki kewajiban yang
memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi
dapat dikualifikasi sebagai “bukan merupakan hak
yang sebenarnya” atau sekedar “pernyataan politik”.
Sama seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga
merupakan hak yang sebenarnya dapat dituntut
pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable).
Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3,
7(a) dan (i), 8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal
15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat
justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan
nasional masing-masing negara.
E.
Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah
tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Saat ini ada beberapa Kabupaten/Kota di
Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah tentang
Pelayanan Kesehatan. Oleh karena muatan materi
atau isi dari Perda Pelayanan Kesehatan di beberapa
kota/kabupaten di Indonesia tidak memiliki
perbedaan yang cukup signifikan, maka Peneliti
akan memfokuskan pada salah satu obyek yang
akan dikaji dalam tulisan ini adalah Perda
Pelayanan Kesehatan di Kota Malang Nomor 12
Tahun 2010.
Sebelum menelaah secara detail mengenai
muatan materi Perda tentang Pelayanan
Kesehatan di Kota Malang, perlu dipaparkan
tentang gambaran mengenai Perda Pelayanan
Kesehatan di Kota Malang mengenai dasar
filosofis yang digunakan sebagai pertimbangan
dalam penyusunan Perda Kesehatan Nomor 10
Tahun 2012 tentang Pelayanan Kesehatan.
Dalam dasar filosofis ini nantinya akan ditelaah
secara lebih mendalam sejauh manakah urgensi
disusunannya Perda Pelayanan Kesehatan Kota
Malang sebagai bentuk perwujudan tanggungjawab Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah
dalam menghormati, melindungi dan menjamin
hak atas kesehatan setiap warga Negara di Kota
Malang dengan tetap menunjunjung tinggi
prinsip perlindungan HAM yaitu prinsip
pemenuhan hak tanpa diskriminasi, prinsip
keterkaitan dan ketergantungan antara
pemenuhan hak kesehatan dan hak-hak
lainnya.
299
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
E.1. Bagian Konsideran
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai
pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–
undangan. Pokok pikiran pada konsiderans
Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan. Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.
a.
Aspek Filosofis
Aspek filosofis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
b.
Aspek Sosiologis
Aspek sosiologis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek.
c.
Aspek yuridis
hak asasi manusia yang diterima oleh Pemerintah
Republik Indonesia yang menyatakan bahwa:
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, memenuhi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia.
“ Salah satu upaya untuk melaksanakan kewajiban
tersebut adalah dengan melaksanakan ketentuan
Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
yaitu melakukan langkah implementasi yang efektif
dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang
lain. Langkah implementasi hak asasi manusia di
bidang peraturan perundang-undangan antara lain
dapat dilakukan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang memuat nilai – nilai hak
asasi manusia, termasuk produk hukum daerah.
Dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan, bahwa pemerintahan Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
300
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) Indonesia Tahun 20112014 menugaskan Gubernur membentuk Panitia
RANHAM Propinsi, dan Bupati/Walikota
membentuk Panitia RANHAM Kabupaten/Kota,
yang salah satu program utamanya adalah
Harmonisasi Rancangan dan Evaluasi Peraturan
Daerah.
Agar program harmonisasi rancangan dan
evaluasi peraturan daerah dapat berlangsung
dengan baik, maka diperlukan Parameter Hak Asasi
Manusia dalam pembentukan produk hukum
daerah. Secara umum pembentukan produk
hukum
daerah
agar memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1.
2.
Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis
Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai instrumen hukum dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah dalam
rangka otonomi daerah. Presiden Republik
Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 23
Non Diskriminasi
Materi muatan produk hukum daerah tidak
boleh bersifat diskriminasi dalam bentuk
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya.
Tabel.1. Analisa Dasar Filosofis Dalam
Konsideran Menimbang
Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang
Pelayanan Kesehatan Di Kota Malang
Aspek yuridis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Jika menyimak landasan filosofis yang
dituangkan dalam Perda aquo, Pembentuk Perda
setidak-tidaknya sudah cukup memahami prinsip
dasar Hak Asasi Manusia yaitu prinsip interelasi,
prinsip tanggungjawab Negara dan prinsip non
diskriminasi. Prinsip tanggung jawab Negara ini
selaras dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.”. Selanjutkan
ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
peraturan perundang-undangan dalam bidang hak
asasi manusia serta hukum internasional tentang
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
a)
Dasar kewenangan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan Tingkat Daerah;
b)
Undang-Undang yang menjadi dasar
Pembentukan Daerah yang bersangkutan;
c)
Peraturan Perundang-undangan yang
memerintahkan pembentukan Peraturan
Daerah tersebut.
Dasar hukum tersebut dirumuskan sebagai
berikut:
a)
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
b)
1945;
c)
Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah
yang bersangkutan;
d)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
e)
Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum hanya
Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatan (hierarkinya) sama atau lebih tinggi
dari peraturan yang ditetapkan.
f)
Peraturan yang akan dicabut dengan peraturan
yang akan dibentuk atau peraturan yang sudah
diundangkan tetapi belum berlaku, tidak boleh
dicantumkan sebagai dasar hukum.
g)
Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan
yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu,
urutan pencantuman perlu memperhatikan
tata urutan Peraturan Perundang-undangan
dan jika tingkatannya sama disusun secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan
atau penetapannya.
h)
Dasar hukum yang diambil dari pasal dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan
menyebutkan pasal. Frasa Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945
ditulis sesudah penyebutan pasal dan kedua
huruf ”u” ditulis dengan huruf kapital ”U.
Kesetaraan Gender
Masalah pokok untuk mengupayakan
substansi produk hukum daerah termasuk
teknis kebijakan operasional yang sensitif dan
responsif
terhadap
berbagai
persoalan
dalam
masyarakat, diantaranya persoalan
kesenjangan gender. Langkah praktis dan
strategis untuk menciptakan dan mewujudkan
peraturan-perundang undangan yang materi
muatannya sensitif dan responsif gender yaitu
melalui pengintegrasian perspektif gender
dalam suatu produk hukum daerah dan/atau
kebijakan teknis operasional untuk
mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman
sebagaimana yang diidamkan oleh masyarakat
luas.
E.2. Bagian Dasar hukum
Dasar hukum lazimnya diawali dengan kata
Mengingat. Dasar hukum memuat:
301
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
i)
Dasar hukum yang bukan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup
mencantumkan judul Peraturan Perundangundangan dilengkapi dengan pencantuman
Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, yang diletakkan di antara tanda
baca kurung. Penulisan undang-undang,
kedua huruf ”u” ditulis dengan huruf capital
”U”.
j)
Dasar hukum yang berasal dari Peraturan
Perundang-undangan zaman Hindia Belanda
atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah
kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27
Desember 1949, ditulis lebih dulu
terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan
kemudian judul asli bahasa Belanda dan
dilengkapi dengan tahun dan nomor
staatsblad yang dicetak miring di antara tanda
baca kurung.
k)
l)
Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam
contoh Nomor 29 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang
berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang
dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda
sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
Jika dasar hukum memuat lebih dari satu
Peraturan Perundang-undangan, penulisan
tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab
1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma (;).
Tabel. 2. Analisa Dasar Mengingat
(Dasar Hukum) Perda Nomor 12 Tahun 2010
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
E.3. Bagian Diktum
Tabel.3. Analisa Pemenuhan Indikator Kualitas
Pelayanan Kesehatan Dalam Perda Pelayanan
Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010
Diktum terdiri atas :
a . kata “Memutuskan” ;
b . kata “Menetapkan” ;
c.
jenis dan
undangan.
nama
Peraturan
Perundang-
Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku
kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta
diletakkan ditengah marjin. Pada Peraturan
Daerah, sebelum kata MEMUTUSKAN dicantumkan frasa “Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI .....
KABUPATEN/KOTA … (nama daerah) dan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ...
(nama
daerah),” yang ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diletakkan di tengah marjin. Kata
Menetapkan dicantumkan sesudah kata
MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan
kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata
Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda baca titik dua (:). Jenis dan
nama yang tercantum dalam judul peraturan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan
didahului dengan pencantuman jenis peraturan
tanpa menyebutkan nama Provinsi/Kabupaten/
Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda baca titik (.). Jika
menyimak rumusan diktum dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelayanan
Kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa diktum
Perda Kota Malang aquo telah sesuai dengan
perumusan yang seharusnya terdapat dalam
dictum Peraturan Daerah sebagaimana dapat
dilihat di bawah ini:
E.5. A n a l i s a P e m e n u h a n
Keterjangkauan
Indikator
Muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan di
Indonesia juga dituntut untuk mampu menjamin
pelayanan tanpa diskriminasi bagi setiap warga
serta dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Tabel.4. Analisa Pemenuhan Indikator
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam
Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2010
E.7. Analisa Penemuhan Indikator Kualitas
Prinsip indikator kualitas dimaksudkan agar
muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan tersebut
mampu menjamin aspek keamanan dan
kenyamanan dari pelayanan kesehatan bagi
masyarakat.
Tabel. 6. Analisa Pemenuhan Indikator
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam
Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2010
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KOTA MALANG
dan
WALIKOTA MALANG
MEMUTUSKAN :
E.6. Analisa Pemenuhan Keberterimaan
Menetapkan : P E R A T U R A N D A E R A H
TENTANG PELAYANAN
KESEHATAN.
E.4. Analisa Pemenuhan Indikator Ketersediaan
Dalam aspek ini Peneliti akan menelaah sejauh
manakah muatan materi Perda Pelayanan
Kesehatan tersebut mampu menjamin ketersediaan
pelayanan kesehatan, fasilitas dan program
pelayanan kesehatan yang memadai.
302
Prinsip keberterimaan dimaksudkan agar
muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan tersebut
mampu menjamin penerimaan atas keberagaman
budaya masyarakat setempat
Tabel.5. Analisa Pemenuhan Indikator
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam
Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2010
303
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
F.
Penutup
1.
Kesimpulan
a.
b.
2.
Model pembentukan Perda dengan
pendekatan ROCCIPI sebagaimana
dikenalkan oleh USAID kepada beberapa
daerah di Indonesia perlu dikaji ulang
dengan menambahkan pendekatan
pembentukan Perda yang Responsif,
mengindahkan ketentuan hokum atau
peraturan Perundnag-undangan yang
kedudukannya lebih tinggi serta mampu
mengejawantahkan nilai-nilai Hak Asasi
Manusia.
Produk Hukum berupa Perda Pelayanan
Kesehatan di Indonesia merupakan salah
satu produk hokum yang dapat ditelaah
sejauh mana prinsip-prinsip serta nilai
Hak Asasi Manusia telah ditransformasi
secara tepat yaitu dengan menelaah
muatan materi yang terkandung di
dalamnya dinilai belum mampu menjadi
pedoman dalam mencapai indicatorindikator pemenuhan hak kesehatan
dengan standar tertinggi.
Saran
a.
b.
Diperlukan kajian secara lebih mendalam
tentang pengembangan model
pembentukan Perda dengan pendekatan
ROCCIPI dengan menambahkan
pendekatan Responsive Regulation,
Harmony Regulation dan Respect to
Human Rights dengan leibatkan berbagai
pakar terkait.
Diperlukan pembekalan yang cukup bagi
pembentuk regulasi di tingkat daerah
tentang pentingnya membentuk peraturan
yang juga mengedepankan partisipasi
publik, selaras dengan ketentuan hukum
di tingkat atasnya serta memiliki dimensi
Hak Asasi Manusia.
Daftar Pustaka
Commission of Woman “Perempuan dan
Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan
dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27
Nopember 2007. http://jimly.com/makalah/
namafile/8/HAK_KONSTITUSIONAL_PERE
MPUAN.doc
Brownlie, I., "Principles of International Law", (5th
Edition, Oxford, 1998), Chapter 2
Buergental, Thomas. Menghormati dan Menjamin:
Kewajiban Negara dan Pengurangan Hak
Yang Diizinkan. dalam Ifdal Kasim (eds.),
Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku
1, Penerbit ELSAM, ISBN: 979-8981-20-0.
Jakarta, 2001
Christian Tomuschat, Human Rights, Between
Idealism and Realism, Oxford University
Press, 2003.
David Weissbrodt, dalam Peter Davies, 'Hak-Hak
Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, A.
Rahman (ed)., yayasan Obor Indonesia,
Jakarta 1994.
Drzewicki, Krzytof . Internationalization of Human
Rights and Their Jurizdiction, dalam Raija
Hanski and Markku Suksi, An Introduction to
the International Protection of Human Rights,
A Textbook, second revised edition, Institute
for Human Rights, Abo Akademi University,
2004.
Davies, Peter. Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah
Bunga Rampai. ed. A.Rahman. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Fadjar, A.Muktie. Tipe Negara Hukum. Malang:
Bayumedia Publishing, 2005.
Feldman, Noah. 'The fall and Rise of The Islamic
State, American Muslims For Constructive
Engagement, Alison Lake (ed), 2008.
General Comment No.22 (48) of the United Nations
Human Rights Committee provides normative
substance to Article 18 of the ICCPR
Hanski, Raija and Markku Suksi, An Introduction to
the International Protection of Human Rights,
A Textbook, second revised edition, Institute
for Human Rights, Abo Akademi University,
2004.
Annual Report of Human Rights National
Commission 2007: Indonesia. Released by
Human Rights National Commmission
J a n u a r y
1 1 ,
2 0 0 9
d i
http://komnasham.or.id
Harjono. Politik Hukum Perjanjian Internasional.
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1999.
Ashidiqi, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan dan
Tantangan Penegakannya, paper on Public
Dialog and Consulation with National
H. Victor Conde, A Hand Book of International
Human Rights Terminology, University of
Nebraska Press, hlm. 58.
304
Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi)
Isra, Saldi.
'MPR Perlu Menata Ulang Fungsi
Legislasi', disampaikan dalam Ujian terbuka
Promosi Doktor Ilmu Hukum di UGM pada
tanggal 7 Februari 2009, diakses di http://
www.news.id.finroll.com/news/14-beritaterkini/15898-____mpr-perlu-menata-ulangfungsi-legislasi____.pdf
Lindholm, Tore, Durham, W. Cole, Jr. Lie, Bahia G.
Tahzib, Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan; Seberapa Jauh? Sebuah
Referensi tentang Prinsip-Prinsip
dan
Praktek, Kanisius, Yogyakarta 2010.
Kasim, Ifdal. Reduksi Perlindungan HAM Dalam
Peratutan Daerah. Jurnal HUMANITAS,
Volume II, November 2011.
Kasim, Ifdal (eds.), Hak Sipil dan Politik, Esai-esai
Pilihan, Cetakan Pertama, Juli 2002.
Mahfud. Meneguhkan Kebebasan Beragama di
Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan
Wakil Presiden Terpilih, held by Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP).
Jakarta, Oktober 2009.
Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian,
Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global. Alumni Bandung, 2000, hal. 60-61.
Mayer, Ann Elizabeth. Universal versus Islamic
Human Rights: A Clash of Culture or a Clash
with a Construct?. Michigan, Journal of
International Law, Vol.15 No.2 Winter 1994.
Nowak, Manfred. The International Covenant On Civil
and Political Rights, Raija Hanski and Markku
Suksi, An Introduction to the International
Protection of Human Rights, A Textbook,
Second revised edition, Institute for Human
Rights, Abo Akademi University, 2004.
Parsch, Karl Josef. Kebebasan Beragama ,
Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik, ed.
Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-esai
Pilihan, ELSAM, 2002.
Prasetyo , Yosep Adi. 2012. Hak Ekosob Dan
Kewajiban Negara, Makalah Memperkuat
Pemahaman HAM Hakim Seluruh Indonesia,
Diselenggarakan Oleh Komisi Nasional HAM
RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei 2012.
Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id
Pratiwi, Cekli Setya. Wajah UU Pasca Uji Materiil
Mahkamah Konstitusi (Menggugat Pemegang
Kekuasaan Legislasi, Mendorong Tegaknya
Konstitusi dan Terwujudnya The Rule of Law),
Jurnal Konstitui, Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang dan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Volume III
Nomor 1, Juni 2010. Malang, 2010.
Pratiwi, Cekli Setya. Laporan Penelitian Kualitas
Peraturan Dearah Kabupaten Blitar Tahun
2004-2009, LBH Surabaya dan PSHK,
disarikan dari Laporan Hasil Penelitian
Kinerja DPRD Di Jawa Timur, Tahun 20052009, Maret 2010, Malang: 2010
Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 64.
Siraj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Figh
Demokratik Kaum Santri, Pustaka Ciganjur,
Jakarta, 1992.
Siahaan, Maruarar . Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi
Press: Jakarta, 2005, hal. 81-82. 192
Salman, Radian. Mahkamah Konstitusi dan Politik
Hukum di Bidang Pemilihan Umum, Jurnal
Konstitusi FH UNAIR, Volume 2 Nomor 1
Juni 2009, hal. 89
Sulardi dan Cekli, 2001, 'Pergeserean Kekuasaan
Legislasi Pasca Amandemen UUD 1945',
ISSN: 0854, 6509. Vol. 7 No. 2, Hlm. 90 - 226.
Faculty of Law, Muhammadiyah University,
Malang.
Sri Soemantri M, Hak Uji Materiil di Indonesia,
(Bandung: Penerbit Alumni), hlm. 6-8.
Tomuschat, Christian. Human Rights, Between
Idealism and Realism, Oxford University
Press, 2003.
Van Dijk, Mr.P., Flinterman, Prof.mr.C., Janssen,
Dr.mr.P.E.L.
International Law, Human
Rights. Fourth Revised Edition, Den Haag,
Koninjklijke Vermande, 2002.
Peraturan Perundnag-undangan, Kovensi
Internasional dan dokumen penting lainnya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Putusan MK Tentang Perkara No. 006/PUUIII/2005
The International Bill of Human Rights, Fact Sheet
No.2 (Rev.1), World Campaign For Human
Rights, United Nations.
Universal Declaration of Human Rights 1948
305
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306
International Covenant on Civil and Political Rights
1966
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
Undang-Undang Nomor 5/PNPS/Tahun 1969 tentang
Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama.
Putusan MK Tentang Perkara No. 010/PUUIII/2005
Putusan MK Tentang Perkara Nomor:18/PUUV/2007
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang
HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM
Annual Report of Human Rights National
Commission 2007: Indonesia. Released by
Human Rights National Commmission
January 11, 2009 di http://
komnasham.or.id
General Comment No.22 (48) of the United Nations
Human Rights Committee provides normative
substance to Article 18 of the ICCPR
UN Human Rights Council: Statement for the 2012
Universal Periodic Review of Indonesia,
http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un
-human-rights-council-statement-2012universal-periodic-review-indonesia,
Human Rights Council Working Group on the
Universal Periodic Review Thirteenth session
Geneva, 21 May–4 June 2012 di
http://daccess-dds-ny.un.org/doc/
UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G121163
8.pdf?OpenElement
UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the
Working Group on the Universal Periodic
Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14 May
2008, General Asembly of United Nation.
306
HUMAN RIGHTS COUNCIL Eighth sessions
Agenda item 6, dapat diakses melalui http://
www.geneva-academy.ch/RULAC/
pdf_state/UPR-Outcome-of-the-WorkingGroup.pdf
KESIAPAN HUKUM DAN TANTANGAN INDONESIA
ERA ASEAN COMMUNITY 2015
(THE ASEAN COMMUNITY 2015 AT READINESS AND CHALLENGE)
Nadir
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan
Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Indonesia
email: [email protected]
(Naskah diterima 17/06/2014, direvisi 30/09/2014, disetujui 07/10/2014)
Black's Law Dictionary, Eighth Edition, Ed. Bryan A.
Garner, Thomson West, 2004, hlm. 864.
Sumber Rujukan Lainnya
Laporan Tahunan 2008 Mahkamah Konstitusi,
'Menegakan Keadilan Substansif',
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/inde
x.php?page=website.LaporanDownload&id=4
Kompas edisi Senin, 20 Februari 2010 '38
Menunggu Giliran Uji Materiil'.
UU
http://www.dpr.go.id/id/baleg/prolegnas/29/Prol
egnas-2010-2014
http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/undangundang/2009
http://mpr.go.id
http://www.mpr.go.id/index.php?m=berita&s=deta
il&id_berita=85
http://dpr.go.id
http://bataviase.co.id/node/29110?page=16
http://mpr.go.id/index.php?m=berita&s=detail&id
_berita=83
Abstrak
Era baru Asean Economic Community 2015 ditandai dengan seperangkat pembentukan hukum dan persiapanpersiapan serta strategi yang dilakukan oleh Negara-negara anggota asean termasuk khususnya Indonesia. Persaingan
usaha yang sehat di Indonesia akan ditentukan kualitas hukum persaingan usaha itu sendiri serta kredibilitas
lembaga-lembaga penegak hukum persaingan usaha, karena hukum persaingan usaha merupakan suatu bidang
hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dengan konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk
membangun sistem ekonomi yang efektif, efisien, terbuka dan jujur serta sehat. Berbagai peraturan perundangundangan dan regulasi terkait dengan perdagangan dan persaingan usaha diundangkan dan/atau dipersiapkan di era
asean economic community 2015 seperti: (i) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); (ii) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHPidana); (iii) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; (iv) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (v) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; (vi) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
(vii) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; (viii) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan; (ix) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian; (x) Rancangan
Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; (xi) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011
tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Posisi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dalam asean economic community 2015 tetap sebagai garda depan penjaga dan penegak
hukum persaingan usaha. Jika menyangkut masalah pidana, maka akan menjadi kewenangan penegak hukum lain,
yaitu pihak kepolisian Negara republik Indonesia.
Kata Kunci: KPPU, Kesiapan dan Tantangan, Hukum Indonesia, Asean Community 2015
www.pemantauperadilan.co
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php
?page=website.LaporanDownload&id=6
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php
?page=website.RekapitulasiPUU
http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/
05/26/sulit-pendirian-negara-islam
http://pusham.uii.ac.id/index.php?&page=caping
&id=24.
http://komnasham.or.id
http://hdrstats.undp.org/en/countries/country_fa
ct_sheets/cty_fs_IDN.html,
Abstract
Asean Economic Community 2015 marked a set forming of preparation and law and also strategy by Nations member of
Asean including Indonesia. Fair competition in Indonesia will be determined by the quality of law competition itself and also
enforcer institutes credibility. By that law competition of effort represent an area with high interaction between concept of
punishment with concept of economic as reflected a spirit to develope; fair competition and build an effective economic
system and also Laws and regulations to commerce fair competition between Asean Economic Community 2015: (1)
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie; (2) Wetbok van strafrecht vor Indonesie; (3) Law Number 8 of 1995 on Capital Market; (4)
Law Number 5 of 1999 on Prohibition order Monopolistic Practice and Unfair Competition; (5) Law Number 15 of 2001 on
Brand; (6) Law Number 25 of 2007 on Cultivation of Capital; (7) Law Number 20 of 2008 on Micro Effort, Middle and Small;
(8) Law Number 7 of 2014 on Commerce; (9) Law Number 3 of 2014 on Industry; (10) Draft Bill on Standardization and
Assessment Compatibality; (11) Government Regulaton Number 34 of 2011 on Action of Antidumping, Action Reward, and
Action Security of Commerce. The Position of KPPU in Asean Economic Community 2015 is to remain the enforcement of
punishment to build fair competition. If the problem about crime, it will become law enforcement authority, that is Republic of
Indonesia Police.
http://hdrstats.undp.org/countries/country_fact_s
heets/cty_fs_IDN.html,
Keywords : Asean Community 2015, Law, Readiness, Challenge
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010
/02/01/brk,20100201-222560,id.htm
A.
http://www.kontras.org/index.php?hal=dalam_ber
ita&id=1552
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menyertai
kehidupan manusia di abad modern ini, maka
perkembangan hukum pun tidak dapat
dikesampingkan di tengah kedidupan manusia
yang serba canggih lebih-lebih dalam melakukan
transaksi perdagangan baik secara nasional
maupun transnasional di era asean economic
community 2015. Hukum harus mampu
mengendalikan dan merekayasa kehidupan
307
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
manusia termasuk perkembangan politiknya dalam
setiap aktivitasnya kerana pada dasarnya tidak ada
suatu aktivitas yang tidak lepas dari prakarsa
hukum, sehingga setiap tatanan kehidupan
manusia diatur oleh hukum sebagai instrument
untuk mengatur kehidupan lalulintas bisnis
transnasional.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menyertai kehidupan manusia di
abad modern ini sangat pesat sekali seiring dengan
perkembangan pemikiran tentang hukum, sistem
hukum, dan perkembangan tindakan orang sebagai
subjek hukum, sementara di sisi lain undangundang sebagai hukum yang terkodifikasi belum
mampu mengikuti perkembangannya.
Sementara hukum adalah suatu tata
perbuatan manusia, “tata perbuatan” mengandung
arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu
aturan semata, melainkan seperangkat peraturan
dalam satu kesatuan yang sistemik, sehingga tidak
mungkin untuk memahami hakikat hukum hanya
dengan memperhatikan satu peraturan saja.
Hubungan yang mempersatukan berbagai
peraturan khusus dari satu tata hukum perlu
dimaknai agar hakikat hukum dapat dipahami.
Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang
hubungan-hubungan yang membentuk tata
hukum tersebut, hakikat hukum dapat dipahami
dengan sempurna1 mulai dari asal usulnya serta
perkembangannya.
Secara filosofis Asean Community dibentuk
dalam rangka terwujudnya kebersamaan Negaranegara Asean untuk menghadapi persaingan
ekonomi global yang dibangun di dunia barat
dengan memperhatikan aspek geopolitik dan
geostrategi negara, ekonomi, sosial budaya, dan
prinsip iktikad baik dalam kebersamaan sebagai
sesama anggota Asean Community.
Sedangkan tujuan dibentuknya ASEAN sebagaimana tercantum dalam deklarasi Bangkok adalah:2
Mempercepat pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial serta pengembangan
kebudayaan di kawasan ini melalui usaha
bersama dalam semangat kebersamaan dan
persahabatan dalam untuk memperkokoh
landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa
asia tenggara yang sejahtera dan damai.
·
Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir)
·
Meningkatkan perdamaian dan stabilitas
regional dengan jalan menghormati keadilan
dan tertib hukum di dalam hubungan antar
Negara-negara dikawasan ini serta mematuhi
prinsip-prinsip piagam perserikatan bangsabangsa.
·
Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling
membantu dalam masalah-masalah yang
menjadi kepentingan bersama dibidang
ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan
administrasi.
·
Saling memberikan bantuan dalam bentuk
sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam
bidang pendidikan, profesi, teknik dan
administrasi.
·
Bekerjasama secara lebih efektif guna
meningkatkan pemanfaatan hasil pertanian
dan industri mereka, memperluas perdagangan
dan pengkajian masalah-masalah komoditi
internasional, memperbaiki sarana-sarana
pengangkutan dan komunikasi, serta
meningkatkan taraf hidup rakyat mereka.
·
Memajukan
tenggara.
pengkajian
mengenai
asia
·
Memelihara kerjasama yang erat dan berguna
dengan berbagai organisasi internasional dan
regional yang mempunyai tujuan serupa dan
untuk menjajagi segala kemungkinan untuk
saling bekerjasama secara erat diantara
mereka sendiri.
Ketakutan kalangan dunia usaha saat ini
dalam menghadapi persaingan ekonomi dengan
negara-negara anggota Asean di ruang lingkup
perdagangan bebas dan pasar tunggal Asean makin
kuat. Pasalnya, mereka hanya memiliki waktu yang
sangat sedikit untuk melakukan persiapan dalam
menghadapi Asean Economic Community. Waktu
untuk melakukan persiapan-persiapan tersebut
hanya 2 (dua) tahun, mengingat pemberlakuan
Asean Economic Community tersebut dinyatakan
dipercepat dari tahun 2020 menjadi 2015.
Meskipun pemerintah menyatakan siap untuk
menghadapi pemberlakuan Asean Economic
Community dan membuat kebijakan untuk
melindungi pengusaha dalam negeri, mereka tetap
pesimis.3
1
Hans Kelsen, General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia Oleh Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta: 2007, hlm. 3
2
Buku, Menuju Asean Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, hlm. 2-3
3
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12/28/asean-economic-community-2015-keyakinan-yang-ditanggapi-keraguan620328.html diakses 31 Mei 2014
308
Asean Economic Community sendiri merupakan
realisasi dari keinginan yang tercantum dalam Visi
ASEAN 2020 untuk melakukan intergrasi terhadap
ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk
pasar tunggal dan basis produksi bersama. Dalam
pelaksanaan AEC, negara-negara harus memegang
teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang
digerakkan oleh pasar, atau dengan kata lain,
konsekuensi diberlakukannya Asean Economic
Community adalah adanya liberalisasi perdagangan
barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan
arus tanpa hambatan tarif dan non tarif. Rencana
pemberlakuan Asean Economic Community tersebut
dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan
tahun 2007. Pada tahun tersebut pula disepakati
bahwa pencapaian Asean Economic Community
akan dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun
2015. Pengesahan Asean Economic Community
sendiri dicantumkan pada Pasal 1 ayat 5 Piagam
ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan
Area Perdagangan Bebas ASEAN (Asean Free Trade
Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam
ASEAN. Itulah dasar hukum yang mengesahkan
terbentuknya Asean Economic Community.4
Indonesia harus segera menyusun langkah
strategis yang dapat diimplementasikan secara
target specific agar peluang pasar yang terbuka
dapat dimanfaatkan secara optimal. Langkah
strategis tersebut disusun secara terpadu di antara
sektor mulai dari hulu hingga ke hilir di bawah
koordinasi suatu badan khusus atau kementerian
koordinator bidang ekonomi.5
B.
Kesiapan Hukum dan Tantangan
Menghadapi Asean Community 2015
Perkembangan perdagangan yang
mengarahkan kepada persaingan usaha dan atau
jasa di negara-negara maju yang sangat pesat turut
mewarnai corak pembentukan hukum
perdagangan dan persaingan usaha itu sendiri. Hal
itu tidak dapat dikesampingkan negara-negara
anggota Asean menjelang era baru Asean
Community 2015. Indonesia sebagai Negara anggota
Asean 15 (lima belas) tahun yang lalu sudah
mengantisipasi keadaan itu dengan menerbitkan
beberapa produk hukum seperti Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan
peraturan lainnya terkait penertiban persaingan
usaha antar sesama pelaku usaha meskipun di
dalamnya dijumpai kelemahan-kelemahan sebagai
produk hukum yang lahir di awal reformasi. Selain
Undang-undang Nomor tahun 1999, ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang juga
mengatur ketentuan-ketentuan perdagangan.
B.1. Kitab Undang-Undang Hukum
(KUHPerdata)
Perdata
Pasal 1365 KUHperdata dapat dijadikan dasar
hukum untuk menjerat pelaku usaha yang
perbuatan curangnya dapat menyebabkan kerugian
pada orang lain. Ketentuan pasal ini memberikan
perlindungan kepada pengusaha yang menghadapi
perbuatan persaingan curang, karena tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang kerena kesalahannya menyebabkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
B.2. Kitab Undang-Undang
(KUHPidana)
Hukum
Pidana
Pasal 382 bis KUHP dapat dijadikan dasar
hukum untuk menjerat pelaku usaha dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya. Larangan dan
ancaman pidana bagi pihak yang melakukan
perdagangan curang bagi pelaku usaha untuk
mendapatkan, melangsungkan atau memperluas
hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri
atau orang lain, melakukan perbuatan curang
untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang
tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat
menimbulkan kerugian bagi konkurenkonkurennya atau konguren-konkuren orang lain,
karena persaingan curang, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus
rupiah.
Selain menimbulkan kerugian antar sesama
pelaku usaha, persaingan tidak sehat juga
menimbulkan kerugian pada konsumen sebagai
pembeli barang, sehingga Pasal 383 KUHP
memberikan juga perlindungan kepada konsumen,
yaitu ancaman pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan bagi seorang penjual yang
berbuat curang terhadap pembeli yaitu sengaja
menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk
untuk dibeli ataupun penipuan jenis, keadaan atau
jumlah barang yang diserahkan.
4
Ibid.
5
Buku, Menuju Asean Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, hlm. 82
309
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
B.3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal
Konsideran Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal menegaskan, Pasar
Modal mempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan nasional sebagai salah satu sumber
pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana
investasi bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat
berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum
yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian
hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal serta melindungi kepentingan
masyarakat pemodal dari Praktik yang merugikan.
Oleh karena itu, Pasal 10 undang-undang tersebut
melarangg bursa Efek membuat ketentuan yang
menghambat anggotanya menjadi Anggota Bursa
Efek lain atau menghambat adanya persaingan
yang sehat.
B.4.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Beberapa seminar digelar di kalangan
perguruan tinggi untuk menyiapkan diri menjelang
Asean Economic Community 2015. Siap atau tidak
siap Indonesia tidak bisa mundur dari Asean
Economic Community 2015 mendatang khususnya
kesiapan hukumnya sebagai instrument pengatur
laju pengendali perdagangan dan persaingan usaha
dalam menjaga stabilitas produk dalam negeri serta
persaingan antar pelaku usaha baik pelaku usaha
dalam negeri maupun pelaku usaha luar negeri.
Keadaan tersebut tidak bisa ditawar meskipun
menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia ke
depan.
Masalah persaingan curang (unfair competition)
di era baru Asean Community 2015 bukan lagi
masalah privat seseorang atau sekelompok orang
melainkan sudah menjadi masalah public
international, karena akibat yang dirasakan
adalah adanya ketidakseimbangan publik.
Persaingan usaha yang sehat di Indonesia akan
banyak tergantung dari kualitas hukum
persaingan usaha itu sendiri. Hukum persaingan
usaha merupakan suatu bidang hukum dengan
interaksi tinggi antara konsep hukum dengan
konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk
membangun sistem ekonomi yang efektif dan
efisien terbuka dan jujur serta sehat. Hukum
persaingan usaha dan larangan Praktik monopoli
merupakan pilar penting dalam sistem ekonomi.
Praktik monopoli cenderung mengambil
keuntungan yang lebih besar, akan tetapi harus
di bayar oleh pelaku usaha lain yang tersingkir
secara tidak sehat dari pasar. Praktik keuntungan
dari ekonomi yang marak pada kurun waktu
1960-an hingga tahun 1990-an yang lalu
merupakan akibat dari Praktik persaingan usaha
tidak sehat yang menyebabkan pasar tertutup
bagi pelaku usaha yang lain yang sebenarnya
lebih efektif dan efisien serta mampu menghasilkan
produk yang yang berkualitas dengan harga
yang lebih baik untuk masyarakat luas. Akan
tetapi hambatan-hambatan yang tercipta karena
adanya faktor-faktor persaingan usaha tidak sehat
menyebabkan pelaku usaha yang baik tidak dapat
memasuki pasar secara terbuka.
Mencermati keadaan Praktik monopoli dan
persaingan usaha/bisnis yang tumbuh dan
berkembang selama kurun waktu tersebut di atas
yang berkembang begitu pesatnya ditengarahi
penuh dengan Praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat karena tidak adanya tata
aturan yang mengatur dan lembaga yang
mengawasi dan bertanggung jawab terhadap
jalannya sistem ekonomi dan bisnis. Hal ini
berdampak terhadap keadilan publik, akibat pasar
tidak berjalan dengan sendirinya untuk
menciptakan keadilan karena di dalamnya tidak
inheran melekat unsur moral dan etika.
Keadaan tersebut tentunya tidak ingin terjadi pada
era baru Asean Community 2015 mendatang,
sehingga untuk itu diperlukan instrument hukum
sebagai pengatur seperti peraturan perundang
undangan yang mampu mempengaruhi secara
langsung kepada para pelaku usaha/bisnis.
Dalam seminar yang bertema “Ketahanan
Pangan dan Kebijakan Persaingan Dalam
Menghadapi Pasar Bersama ASEAN” yang
diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) bekerjasama dengan Fakultas
Pertanian Universitas Hassanudin Makasar, banyak
yang khawatir bahwa Indonesia menjadi pecundang
di era ini. Dalam seminar tersebut sejumlah
pembicara memberi catatan tentang kesiapan
Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN.6
Dalam paparannya, Prof. Dr. Saleh Ali
menjelaskan bahwa AEC 2015 bisa menjadi berkah
bagi Indonesia, namun sekaligus menjadi petaka.
“AEC bisa menjadi petaka apabila produk pertanian
Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk
Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir)
pertanian dari negara ASEAN yang lain. Aliran
modal dan investasi dari luar hanya mengeruk hasil
bumi dan tenaga kerja terdidik menjadi penonton di
negaranya sendiri, sehingga diperlukan upaya
mengoptimalisasi sektor pertanian Indonesia di
AEC 2015 dengan cara memperkokoh konektivitas
antar wilayah untuk menjadi bagian di tingkat
ASEAN dan tingkat global. Memberi ruang bagi
setiap daerah untuk berkembang sesuai dengan
keunikan dan comparative advantage yang
dimilikinya, Pengembangan innovasi teknologi dan
penyiapan infrastruktur pendukung dalam rangka
meningkatkan daya saing, harmonisasi prosedur,
peraturan, dan standar yang menuju pada
peningkatan kualitas dan keamanan pangan,
memasyarakatkan AEC sampai ke tingkat grassroot society. Kekhawatiran tidak hanya datang dari
kalangan akademisi, kalangan pelaku bisnis juga
memiliki kekhawatiran yang sama tentang kesiapan
Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN.
Menurut Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang
Sulisto, pemerintah maupun dunia usaha belum
terlihat berupaya mengintegrasikan program untuk
persiapan ke arah AEC. Padahal dalam menghadapi
AEC, ada keterlibatan integratif dalam pembuatan
kebijakan. Langkah ini, sudah dilakukan negaranegara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan
Thailand. Sementara Indonesia masih harus
berbenah.7
Pandangan senada juga disampaikan Ketua
Umum HIPMI, Raja Sapta Oktohari, yang
mengemukakan bahwa agar Indonesia lebih siap
dalam melihat peluang dan tantangan menghadapi
liberalisasi ekonomi Asia Tenggara, pemerintah
perlu mendorong penciptaan pasar-pasar baru bagi
berbagai produk Indonesia. Apabila Indonesia tidak
siap, maka bisa dipastikan Indonesia hanya akan
menjadi pasar bagi berbagai produk impor.
Dalam rangka menciptakan daya saing melalui
hukum dan kebijakan persaingan, ASEAN melalui
Sekretariat ASEAN telah melakukan sejumlah aksi.
ASEAN Expert Group on Competition(AEGC), sebagai
lembaga struktural di ASEAN yang menangani
implementasi hukum persaingan, telah
menginisiasi dan mempromosikan hal ini. Tercatat
hingga saat ini, lima negara ASEAN telah
memberlakukan hukum persaingan, yaitu
Indonesia dan Thailand (1999), Singapore dan
Vietnam (2004) serta Malaysia (2012), sementara 5
7
8
6
Kompetisi, Menuju Pasar Bebas Asean: Laporan Utama Edisi 42 2013, hlm. 5-6
310
9
(lima) negara lainnya masih dalam tahap legislasi.
Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu negara
pertama yang memberlakukan hukum persaingan
telah berperan secara aktif menjadi centre of
excellence dalam pengembangan hukum
persaingan ini di ASEAN melalui pembagian
pengalaman (sharing experience).8
Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
larangan Praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat merupakan peroduk hukum yang
sudah lama berjalan dalam khasanah hukum di
Indonesia. Undang-undang ini mampu menjerat
pelaku usaha asing yang melakukan aktivitas
usaha di wilayah hukum Indonesia. Pengertian
pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 ini
menegaskan pelaku usaha adalah adalah setiap
orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Hal tersebut senada dengan Pasal 16 undangundang tersebut yang menegaskan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak
lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang
dapat mengakibatkan terjadinya Praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adanya lembaga yang akan menjadi penjaga
peraturan persaingan usaha merupakan syarat
mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih
operasional. Pemberian kewenangan khusus
kepada suatu komisi untuk melaksanakan
peraturan di bidang persaingan merupakan hal
yang lazim dilakukan oleh banyak negara. Di
Amerika Serikat, Departemen Kehakiman
mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Divison
untuk menegakan Sherman Act. Depertemen
kehakiman bersama-sama Federal Trade
Commisison juga bertugas menegakkan Clayton Act
. Sedangkan tugas untuk menegakan Robinson
Patman Act khususnya yang menyangkut
penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan
diserahkan kepada Federal Trade Commission.9
Di Indonesia, penegakan hukum persaingan
usaha diserahkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, di samping kepolisian,
kejaksaan dan peradilan. Pelanggaran hukum
Ibid.
Ibid, hlm. 5-6
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2004, hlm. 97
311
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
persaingan usaha harus dilakukan terlebih dahulu
melalui Komisi Pengawas Peraingan Usaha (KPPU).
Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada
penyidik Kepolisian, kemudian diteruskan kePengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia
menjalankan putusan yang telah dijatuhkan oleh
Komisi Pengaswas Persaingan Usaha.10
Menurut Anggota DPR RI Azam Abdurahman,
KPPU memiliki peranan penting dalam memberi
penguatan daya saing nasional dan melindungi
kepentingan masyarakat. Karena itu DPR akan
memperkuat fungsi dan kewenangan KPPU melalui
revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Korupsi dan Persaingan
Usaha Sehat.
Secara tradisional dalam penegakan hukum
terhadap persaingan usaha curang di Indonesia
KPPU menggunakan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat sebagai landasan
hukum dan peraturan terkait serta model
pendekatan
dalam menentukan hakekat
maknanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat sebagai berikut:
1.
Rule of Reason adalah suatu larangan di dalam
persaingan usaha bahwa suatu kegiatan usaha
dinyatakan melanggar hukum apabila kegiatan
usaha tersebut dapat dibuktikan mempunyai
dampak negatif terhadap persaingan usaha.
2.
Per se illegal adalah suatu larangan yang secara
alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan
dampak negatif kegiatan tersebut karena pada
dasarnya menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat. Dengan kata lain kegiatan
tersebut dilarang mutlak oleh Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini.
Salah satu tugas dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya Praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal
17 sampai dengan pasal 24 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
merupakan salah satu state auxiliary yang dibentuk
oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999. KPPU
10
Ibid.
312
yang selanjutnya disebut Komisi merupakan
sebuah lembaga yang diberi mandat oleh Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kinerja komisi yang telah berdiri sejak
beberapa tahun lalu telah menunjukan
performance yang baik. Hal itu dibuktikan dengan
beberapa keputusan yang telah dihasilkan selama
kurun waktu tahun 2000 hingga 2014 sekarang
meskipun belum maksimal karena kendala legal
substance dan legal structure, termasuk legal
system Indonesia yang menganut civil law.
Prospek Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
usaha tidak sehat banyak ditentukan oleh kinerja
kemandirian anggota KPPU sebagai lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan
lembaga pengadilan umum yang bersih dari KKN.
Oleh karena itu, pemerintahan yang bersih (good
governance) merupakan pra syarat yang tidak
dapat ditawar dalam penegakan hukum terhadap
persaingan usaha guna menciptakan iklim
persaingan usaha yang sehat.
Harus diakui bahwa prospek penegakan
hukum terhadap persaingan usaha curang melalui
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini sangat
bergantung pada political will pemerintah, legal
substance, kredibilitas anggota komisi itu sendiri
karena secara teoritis Parsons mengemukakan
bahwa subsistem politik memiliki energi yang lebih
kuat jika dibandingkan dengan hukum, artinya
keberhasilan penegakan hukum terhadap
persaingan usaha curang akan sangat banyak
ditentukan oleh pemerintah.
Menyadari hal itu, penciptaan pemerintahan
yang bersih (good governance)
adalah suatu
keharusan yang
tidak adapat ditawar bagi
pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
B.5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek
Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek mengatur ancaman Pidana
terhadap perbuatan curang dalam pemakaian
merek dagang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakanMerek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi
Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir)
dan/atau diperdagangkan. Kemudian Pasal 91
undang-undang tersebut member ancaman pidana
jika dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan
Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Juga diancam pidana bagi perdagangan di
bidang barang dan/atau jasa yang diketahui atau
patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa
tersebut merupakan hasil pelanggaran.
B.6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal mengatur beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan/
persaingan:
1.
2.
Pemerintah menetapkan kebijakan dasar
penanaman modal untuk:
a.
mendorong
terciptanya iklim
usaha
nasional yang kondusif bagi penanaman
modal untuk penguatan daya saing
perekonomian nasional; dan
b.
mempcrcepat peningkatan penanaman
modal.
Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga
mendapatkan kemudahan untuk memperoleh
dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha,
atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah
yangdiperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Sedangkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 20
Tahun 2008 ini menegaskan bahwa aspek
kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan untuk
menentukan peruntukan tempat usaha yang
meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang
pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian
rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang
wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya.
B.8. Undang-Undang Nomor
tentang Perdagangan
memberi perlakuan yang sama bagi
penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional.
b.
menjarnin kepastian hulnam, kepastian
berusaha, dan kemanan berusaha bagi
penanam modal sejak proses gengurusan
perizinan sampai dengan berakhirnya
kegiatan penanaman modal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
c.
membuka kesempatan bagi
perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil,
menengah, dm koperasi.
B.7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
mengancam pidana setiap orang yang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan mengaku atau memakai nama Usaha
Tahun
2014
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan mengatur ketentuan bagi
pelaku usaha:
1.
Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang
kebutuhan pokok dan/atau Barang penting
dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat
terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan
Barang.
2.
Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang
penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika
digunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong dalam proses produksi atau sebagai
persediaan Barang untuk didistribusikan.
Dalam menetapkan kebijakan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah:
a.
7
Sedangkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan menetapkan
larangan dan pembatasan bagi pelaku usaha dalam
menjalankan Perdagangan Barang dan/atau Jasa
untuk kepentingan nasional dengan alasan: (a).
melindungi kedaulatan ekonomi; (b). melindungi
keamanan negara; (c). melindungi moral dan
budaya masyarakat; (d). melindungi kesehatan dan
keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan,
dan lingkungan hidup; (e). melindungi penggunaan
sumber daya alam yang berlebihan untuk produksi
dan konsumsi; (f). melindungi neraca pembayaran
dan/atau neraca Perdagangan.
B.9. Undang-Undang Nomor
tentang Perindustrian
3
Tahun
2014
Pasal 120 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian mengancam pidana
313
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda bagi orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan
barang dan/atau Jasa Industri yang tidak
memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara
wajib di bidang Industri. Lingkup pengaturan
dalam Undang-Undang ini meliputi: (a).
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
Perindustrian; (b). Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional; (c). Kebijakan Industri Nasional;
(d). perwilayahan Industri; (e). pembangunan
sumber daya Industri; (f). pembangunan sarana
dan prasarana Industri;(g). pemberdayaan Industri;
(h).
tindakan pengamanan dan penyelamatan
Industri; (i). perizinan, penanaman modal bidang
Industri, dan fasilitas; (j). Komite Industri Nasional;
(k). peran serta masyarakat; dan (k). pengawasan
dan pengendalian.
B.10. Rancangan Undang-Undang tentang
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
Pada dasarnya pengaturan mengenai
standardisasi di Indonesia secara formal telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian yang sejak semula sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984
tentang Perindustrian yang lama,
sebagaimana Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian yang
menegaskan bahwa Standardisasi Industri
diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi
teknis, dan/atau pedoman tata cara. SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kemudian pada tahun 2000 pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102
Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Peraturan Pemerintah tersebut menjadi landasan
hukum bagi pengembangan kelembagaan dan
pelaksanaan proses perumusan, penetapan, dan
penerapan SNI. Peraturan pemerintah tersebut
belum mampu menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di bidang standardisasi dan penilaian
kesesuaian yang telah berkembang dengan pesat.
Oleh karena itu kegiatan standardisasi dan
penilaian kesesuaian perlu diatur dalam suatu
Undang-Undang, yang dapat mewujudkan
koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi kegiatan,
sehingga pelaksanaan kegiatan standardisasi dan
penilaian kesesuaian di Indonesia dapat dilakukan
secara efisien, efektif, terpadu, terorganisasikan
dengan baik dan pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi nasional dan daya saing
produk nasional serta perekonomian nasional.
Dalam kaitannya dengan penguatan daya saing
untuk menembus pasar global, elemen
standardisasi dalam infrastruktur mutu nasional
diharapkan mampu mengidentifikasi standarstandar yang diacu oleh regulasi teknis negara
tujuan ekspor yang mengatur karakteristik
komoditi yang akan diekspor, elemen penilaian
kesesuaian diharapkan untuk dapat memberikan
hasil-hasil sertifikasi, pengujian dan inspeksi yang
diakui negara tujuan ekspor setelah diakreditasi
dengan sistem akreditasi yang diakui secara
internasional, dan elemen metrologi mampu
memberikan jaminan ketertelusuran pengukuran
yang setara dengan dan diakui oleh negara tujuan
ekspor. Kemampuan infrastruktur mutu nasional
untuk memfasilitasi produk dan sumber daya
nasional untuk menembus pasar global ini
tentunya dapat dimanfaatkan sebaliknya untuk
melindungi kepentingan, keamanan, keselamatan
negara dan masyarakat serta kelestarian
lingkungan hidup.11
Rancangan Undang-undang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian bertujuan untuk
menciptakan meningkatkan jaminan mutu,
efisiensi produksi, daya saing nasional,
mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan
transparan dalam perdagangan, kepastian usaha,
dan kemampuan pelaku usaha, serta memacu
kemampuan inovasi teknologi. Selain itu, juga
meningkatkan perlindungan kepada konsumen,
pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat
lainnya, serta negara baik dari aspek keselamatan,
keamanan, kesehatan, pelestarian fungsi
lingkungan hidup, dan tanggung jawab sosial
meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi
transaksi perdagangan di dalam negeri dan dengan
dunia internasional.
B.11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2011 tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan
Pengamanan Perdagangan
Pesatnya dinamika perkembangan
perdagangan internasional menyisakan sejumlah
Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir)
permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan
perdagangan internasional itu sendiri.
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat
mengkristal dan menjadi hambatan (barrier) yang
dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan
yang harmonis dalam hubungan perdagangan
internasional. Dalam hubungan perdagangan
internasional antar negara, komitmen dalam
mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair
merupakan tuntutan sangat penting yang tidak
boleh diabaikan. Masalah-masalah terbesar yang
mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi
adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip
kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya
praktik dagang yang tidak sehat (Unfair Trade
Practices) dalam melaksanakan aktifitas
perdagangan internasional.12
Ada banyak Praktik perdagangan yang
tidak sehat yang terjadi dalam hubungan
perdagangan internasional dan yang paling banyak
disorot adalah masalah dumping. Praktik dumping
telah lama ditempatkan sebagai salah satu praktik
dagang yang curang yang terjadi dalam konteks
perdagangan internasional yang menimbulkan
kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu
negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dengan
menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan
harga lebih rendah dari harga pasar dalam
negeri, (negara pengimpor) mengakibatkan matinya
pasar barang sejenis dalam negeri. Hal ini
membuat barang-barang sejenis tersebut tidak
lagi dapat bersaing secara kompetitif dan fair
akibat perbedaan harga yang sangat drastis. Ini
adalah praktik dumping
yang menimbulkan
kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair
trade practices.13
Prinsip utama GATT adalah tidak ada
diskriminasi (non discrimination) yang tercantum
dalam klausa Most Favoured Nation (MFN). Prinsip
ini mengharuskan setiap negara penandatangan
persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan perdagangan
internasional kepada negara penandatangan lain.
Kelonggaran tarif yang diberikan kepada suatu
negara atas dasar perjanjian bilateral haruslah
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/content/article/64-rancangan-undang-undang/2311-rancangan-undangundang-tentang-standardisasi-dan-penilaian-kesesuaian.html diakses 7 Juni 2014
314
Sebagai salah satu negara anggota Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization)
yang telah meratifikasi Agreement Establishing
World Trade Organization sebagaimana diwujudkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994,
Indonesia berkewajiban untuk berperan aktif
dalam mewujudkan tatanan perdagangan dunia
yang adil dan saling menguntungkan.15
Salah satu upaya mewujudkan tatanan
perdagangan dunia dimaksud dilakukan dengan
mengatur persyaratan dan tata cara pengenaan Bea
Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, dan
Bea Masuk Tindakan Pengamanan serta
penanganannya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan
Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002
tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam
Negeri dari Akibat Lonjakan Impor sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan.
Pengaturan dan tata cara pengenaan Bea
Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, dan
Bea Masuk Tindakan Pengamanan ditujukan agar
proses penyelidikan dan implementasi dari
kasus-kasus Dumping, Subsidi dan Tindakan
Pengamanan dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan Internasional yang berlaku dan
sekaligus melindungi Industri Dalam Negeri dari
setiap praktik Dumping dan Subsidi, serta
terjadinya lonjakan jumlah barang impor dari
negara lain.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011
tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan,
dan Tindakan Pengamanan Perdagangan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2011 dengan
arah pemberlakuannya untuk melaksanakan
12
Christhophorus Barutu, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan
Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007,
Yogyakarta, hlm.53. dalam Dewa Gede Pradnya Yustiawan, perlindungan industri dalam negeri dari Praktik dumping, Tesis Program
Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar PDF online 2011, hlm. 20
13
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping, Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana Denpasar PDF online 2011, diakses 7 Juni 2014, hlm. 21
14
11
diberikan juga kepada negara penandatangan lain
tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Apabila
terjadi perselisihan di antara negara
penandatangan, GATT merupakan forum untuk
konsultasi dalam penyelesaian sengketa (dispute
settlement) dan juga mengawasi pelaksanaan
peraturan-peraturan yang telah ditandatangani.14
Ibid.
15
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan
Pengamanan Perdagangan
315
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
dan Pasal 23D Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai
tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan
tindakan pengamanan perdagangan. Dengan
adanya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2011 ini, maka seyogyanya tidak ada peluang bagi
pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri
untuk melakukan tindakan sebagaimana yang
dilarang dalam peraturan perundang-undangan ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011
tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan,
dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
merupakan bagian dari hukum persaingan usaha
dalam mengatur lalulintas perdagangan yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011
tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan,
dan Tindakan Pengamanan Perdagangan di
antaranya terhadap barang impor selain dikenakan
Bea Masuk dapat dikenakan Bea Masuk
Antidumping, jika Harga Ekspor dari barang
yang diimpor lebih rendah dari Nilai Normalnya
dan menyebabkan Kerugian. Besarnya Bea Masuk
Antidumping paling tinggi sama dengan Marjin
Dumping.
Untuk tindakan imbalan, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 ini disebutkan
dalam Pasal 37, terhadap barang impor selain
dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Bea
Masuk Imbalan, jika: (a). barang yang diimpor
mengandung Subsidi di negara pengekspor; dan
(b). impor barang sebagaimana dimaksud pada
huruf a menyebabkan Kerugian. Besarnya Bea
Masuk Imbalan paling tinggi sama dengan
Subsidi Neto.
C.
Kesimpulan
Perkembangan perdagangan yang mengarah
kepada persaingan usaha dan atau jasa di negaranegara maju di dunia sangat pesat turut mewarnai
corak pembentukan hukum perdagangan dan
persaingan usaha itu sendiri. Hal itu tidak dapat
dikesampingkan oleh negara-negara anggota Asean
menjelang era baru Asean Community 2015.
316
Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir)
Masalah persaingan curang (unfair competition) di
era baru Asean Community 2015 bukan lagi
masalah privat seseorang atau sekelompok orang
melainkan sudah menjadi masalah public
international, karena akibat yang dirasakan adalah
adanya ketidakseimbangan publik. Persaingan
usaha yang sehat di Indonesia akan banyak
tergantung dari kualitas hukum persaingan usaha
itu sendiri. Hukum persaingan usaha merupakan
suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi
antara konsep hukum dengan konsep ekonomi
sebagai refleksi semangat untuk membangun
sistem ekonomi yang efektif dan efisien terbuka dan
jujur serta sehat. Hukum persaingan usaha dan
larangan Praktik monopoli merupakan pilar
penting dalam sistem ekonomi, mengingat semua
negara modern yang maju perekonomiannya
meletakkan terlebih dahulu pondasi dasar hukum
persaingan ekonomi yang sehat dan larangan
Praktik monopoli.
Pustaka Utama.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
Buku Tanpa Tahun, Menuju Asean Economic
Community 2015, Departemen Perdagangan
Republik Indonesia.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2013. Laporan
Utama Menuju Pasar Bebas Asean: Laporan
Utama Edisi 42 2013, Kompetisi: Media
Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/
content/article/64-rancangan-undang-
undang/2311-rancangan-undang-undangtentang-standardisasi-dan-penilaiankesesuaian.html diakses 7 Juni 2014
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12
/28/asean-economic-community-2015keyakinan-yang-ditanggapi-keraguan620328.html diakses 31 Mei 2014
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan
Pengamanan Perdagangan.
Daftar Pustaka
Barutu, Christhophorus. 2007. Antidumping dalam
General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan
Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum,
Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari
2007, Yogyakarta.
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, 2011. Perlindungan
Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping,
Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana Denpasar PDF online 2011. diakses
7 Juni 2014.
Gitosudarmo, Indriyo. 2000. Pengantar Hukum
Bisnis, Edisi kedua, Yogyakarta: BPFE.
Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and
State: Alih Bahasa Indonesia Oleh Soemardi,
Jakarta: Bee Media Indonesia.
Maman Suherman, Ade. 2004. Kinerja KPPU
Sebagai Watchdog Pelaku Usaha di
Indonesia, makalah disampaikan dalam
seminar Pengkajian Hukum Nasional
diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di
Hotel Sahid Jaya Jakarta 6-7 Desember
2004.
Sudarsono, 1991. Pengantar
Indonesia, Jakarta.
Tata
Hukum
Usman, Rachmadi. 2004. Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, Jakarta: Gramedia
317
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318
KESIAPAN DAERAH DALAM MENGHADAPI
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
(READINESS OF LOCAL GOVERNMENT IN PREPARING ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY 2015)
Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan
Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.
Alamat: Jl.Putri Hijau No.4 Medan, 20112 Indonesia.
Email: [email protected]
(Naskah diterima 25/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang akan dipercepat
pelaksanaannya pada 31 Desember 2015. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan terjadi arus bebas barang, jasa,
investasi, tenaga terampil serta aliran modal. AEC 2015 bisa dimanfaatkan Daerah untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Namun permasalahannya adalah apa yang harus dilaksanakan daerah dalam menyambut AEC 2015.
Melalui penelitian perpustakaan, penulis melihat bahwa untuk memanfaatkan AEC 2015 terlebih dahulu Pemerintah
Daerah harus melakukan berbagai persiapan, yaitu komitmen dalam menjalankan sistem perizinan terpadu,
membentuk perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, mewujudkan kawasan ekonomi khusus (KEK), serta
mendorong perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI).
Kata kunci: ASEAN Economic Community 2015, Pemerintah Daerah, Persiapan.
Abstract
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) is a form of regional economic integration will be accelerated execution on
December 31, 2015. With the implementation, there will be free flow of goods, services, investment, skilled labor and capital
flows. AEC 2015 can be used to improve local revenue (PAD). But the problem is what should local government implement in
preparing AEC 2015? Through library research, the authors noticed that for the first 2015 AEC utilizes local governments
have made various preparations, namely commitment to perform a unified licensing system, establishing local regulations
on retribution fees renewal license for hiring foreign workers, creating the special economic zone (KEK), and encouraging the
protection of intellectual property rights (HKI).
Keywords: ASEAN Economic Community 2015, Local Government, Preparing.
A.
Pendahuluan
Globalisasi secara luas telah membuka
perekonomian dunia dalam skala yang hampir tidak
terbatas. Perkembangan globalisasi telah menuntut
negara-negara ASEAN untuk lebih kompetitif lagi1
serta menciptakan integrasi di kawasan Asia
Tenggara. Integrasi inilah yang dikenal dengan
ASEAN Vision 2020, salah satu pilar utamanya
adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (ASEAN
Economic Community 2015) yang akan dipercepat
pada tanggal 31 Desember 2015.
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015)
merupakan ide integrasi ekonomi negara-negara
ASEAN yang menjadi komitmen bersama untuk
dilaksanakan pada tahun 2015 oleh enam negara
terkaya ASEAN, salah satunya Indonesia. Tujuan
utamanya yaitu untuk mendorong efisiensi dan daya
saing ekonomi di Asia Tenggara yang tercermin
dalam empat hal, yaitu: (a) ASEAN sebagai aliran
bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, bebas
tenaga kerja terdidik, dan bebas modal (single market
and production base); (b) ASEAN sebagai kawasan
dengan daya saing tinggi (a highly competitive
economic region); (c) ASEAN sebagai kawasan dengan
pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil menengah (a
region of equitable economic development); dan (d)
ASEAN sebagai kawasan terintegrasi (a region fully
integrated in to the global economy).2
1
Triansyah Djani D, ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia, 2007), hlm.32.
2
http://regional.kompasiana.com/2014/04/25/kesiapan-indonesia-dalam-menghadapi-asean-economic-community-2015651271.html, diakses tanggal 11 Juli 2014.
318
319
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan
PADnya, karena itu Penulis melihat bahwa AEC
2015 bagi daerah sebagai pijakan untuk
mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pemerintah Daerah (Pemda) lah yang secara nyata
bersentuhan langsung dengan aliran bebas barang,
bebas jasa, bebas investasi, bebas tenaga kerja
terdidik, dan bebas modal, sehingga apabila Pemda
berhasil memanfaatkan AEC 2015 maka akan
meningkatkan PADnya.
Namun banyak pihak yang beranggapan
bahwa adanya AEC 2015 akan memberikan
kerugian yang sangat besar bagi Indonesia.
Anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Bagi negara
kita AEC 2015 bisa menjadi musibah namun juga
bisa menjadi peluang yang membawa kemanfaatan
dan keberkahan. Membawa kemanfaatan dan
keberkahan antara lain karena produk-produk
Indonesia akan mendapat pasar di kawasan
ASEAN, aliran modal (baik dari dalam negeri dan
juga dari luar negeri) akan bergerak dan secara
otomatis akan membuka peluang penyerapan
tenaga kerja. Menjadi musibah manakala kita tidak
siap dalam persaingan yang kompetitif sehingga kita
menjadi sasaran empuk negara pengkespor.3
Berkaitan dengan uraian di atas permasalahan
yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Apa yang
harus dilaksanakan pemerintah daerah dalam
menyambut AEC 2015?.
Dilihat dari tipologi penelitian hukum, maka
tulisan ini menggunakan penelitian hukum
normatif (yuridis normative research). Bambang
Waluyo mengatakan nama lain dari penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum
doktriner, juga disebut penelitian perpustakaan
atau studi dokumen. 4 Disebut penelitian
perpustakaan atau studi dokumen karena
penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
yang ada di perpustakaan. Dalam hal ini penulis
mengkaji secara normatif mengenai pelayanan
perizinan, perda tentang retribusi perpanjangan
IMTA, KEK, serta perlindungan HKI.
B.
Pembahasan
B.1. Lahirnya ASEAN Economic Community
2015
AEC 2015 merupakan ide integrasi ekonomi
negara-negara anggota ASEAN, yang menjadi
komitmen bersama untuk dilaksanakan di tahun
2015 oleh Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, Filipina dan Brunei Darussalam,
kemudian akan dilanjutkan tahun 2020 oleh
Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam. Sebelum
membahas tentang apa yang harus dilakukan oleh
Pemda sebagai persiapan dalam menghadapi AEC
2015, ada baiknya terlebih dahulu diuraikan secara
singkat mengenai kelahiran AEC 2015.
Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan
Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis.
Namun sebelum ASEAN didirikan, berbagai konflik
kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama
negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi”
antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial
Sabah antara Malaysia dan Filipina, serta
berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.
Dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut, negaranegara Asia Tenggara menyadari perlu dibentuk
kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan
membangun rasa saling percaya, serta mendorong
kerjasama pembangunan kawasan.5
Untuk mengatasi perseturuan yang sering
terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara dan
membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh,
maka 5 Menteri Luar Negeri yang berasal Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand
mengadakan pertemuan di Bangkok pada bulan
Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan Joint
Declaration, yang intinya mengatur tentang
kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, maka
pada tanggal 8 Agustus 1967 ditandatangani
Deklarasi ASEAN (dikenal sebagai Deklarasi
Bangkok) oleh Wakil Perdana Menteri merangkap
Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar
Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan
Thailand.6
Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan)
Deklarasi tersebut menandai berdirinya
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of South East Asian Nations). Masa awal
pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya
membangun rasa saling percaya (confidence
building) antar negara anggota guna
mengembangkan kerjasama regional yang bersifat
kooperatif namun belum bersifat integratif. Adapun
prinsip utama dalam kerjasama ASEAN, seperti
yang terdapat dalam Treaty of Amity and
Cooperation in South Eas Asia pada tahun 1976
adalah: (a) saling menghormati, (b) kedaulatan dan
kebebasan domestik tanpa adanya campur tangan
dari luar, (c) non interference, (d) penyelesaian
perbedaan atau sengketa dengan cara damai, (e)
menghindari ancaman dan penggunaaan
kekuatan/senjata, dan (f) kerjasama efektif antara
anggota. 7
Pada tahun 1997 dalam ASEAN Summit yang
diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara
ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 tujuan
sebagai berikut:8
a.
Menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang
stabil, makmur dan memiliki daya saing
tinggi yang ditandai dengan arus lalu lintas
barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas,
arus lalu lintas modal yang lebih bebas,
pembangunan ekonomi yang merata serta
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan
sosial-ekonomi.
November 2007 di Singapura, negara anggota
ASEAN sepakat untuk menandatangani cetak biru
(blueprint) AEC 2015 yang berisi lima elemen
penting dalam integrasi perekonomian ASEAN yaitu
liberalisasi arus barang, liberalisasi arus jasa,
liberalisasi arus investasi, liberalisasi arus modal/
kapital, dan liberalisasi arus tenaga kerja.
B.2. Empat Hal Yang Harus Dilaksanakan Oleh
Pemda
Dalam rangka menghadapi AEC 2015,
menurut hemat penulis ada empat hal yang harus
dilaksanakan oleh Pemda yaitu:
B.2.1.Komitmen Menjalankan Sistem Perizinan
Terpadu
Bergulirnya otonomi daerah melahirkan
kebijakan agar pelayanan aktivitas usaha seperti
izin usaha, kepastian hukum, dan iklim usaha yang
kondusif tidak lagi berada pada Pemerintah Pusat
semata. Pemda kini diharapkan menjadi aktor lokal
dalam mendukung mekanisme kegiatan usaha dan
pengelolaan sumber daya daerah bagi
kemaslahatan masyarakat lokal.9 Jangan sampai
pelaksanaan otonomi menciptakan kerumitan,
ketidakpastian biaya serta waktu dalam berurusan
dengan birokrasi hingga memperburuk iklim
investasi.
Kerumitan tersebut sering mengakibatkan
investor asing enggan menanamkan modalnya di
Indonesia. Hal ini ditandai dengan:
b.
Mempercepat liberalisasi perdagangan di
bidang jasa.
a.
Prosedur pengurusan izin yang berbelit-belit
dan terlalu banyak instansi yang terlibat;
c.
Meningkatkan pergerakan tenaga profesional
dan jasa lainnya secara bebas di kawasan.
b.
Biaya yang terlalu tinggi;
c.
Persyaratan yang tidak relevan;
d.
Waktu penyelesaian izin yang terlalu lama;
e.
Kinerja pelayanan yang sangat rendah
Dari sinilah muncul ide pembentukan ASEAN
Community yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: 1)
ASEAN Security Community; 2) ASEAN Economic
Community; 3) ASEAN Socio-Cultural Community.
Kemudian di tahun 2003, pada pertemuan kepala
negara ASEAN disepakati 3 pilar tersebut dipercepat
di 2015. Dalam perkembangannya, pelaksanaan
kerjasama ekonomi ASEAN berjalan relatif lebih
cepat dibandingkan dengan kerjasama di bidang
politik, keamanan dan sosial budaya. Pada 20
Untuk mempermudah pengurusan perizinan,
Pemerintah telah melakukan perbaikan pelayanan
perizinan melalui pelayanan terpadu (one service
stop) yang berbentuk kantor, dinas, ataupun badan.
Perintah untuk melakukan perbaikan pelayanan
perizinan dapat dijumpai dalam sejumlah
instrumen hukum, antara lain:
3
Berdasarkan pengalaman yang pernah dialami Indonesia tahun 2004 pasca penandatangan ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA), negara kita kebanjiran produk-produk asal negeri China. Kebanyakan dari produk-produk dalam negeri kalah bersaing dengan
produk-produk asal negeri Cina tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa industri dalam negeri mengalami mati suri, misalnya saja industri
garmen dalam negeri.
4
5
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.13-14.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, (Jakarta: 2010), hlm.1.
6
Brunei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada
tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.2.
320
7
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.3.
8
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.5.
9
Tirta Nugraha Mursitama dkk, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga,
Makassar, dan Banjarbaru), (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2010), hlm.10.
321
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
a.
Keppres Nomor 29 Tahun 2004.10
b.
Permendagri Nomor 24 Tahun 2006.11
c.
UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.12
d.
Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang
Penanaman Modal.13
Tujuan diadakannya one service stop di era
globalisasi adalah untuk menarik minat investor14
dan membangun sistem perizinan berinvestasi di
daerah dalam rangka menunjang pelaksanaan
otonomi daerah. Selain itu seluruh perizinan dan
non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi
maupun kabupaten/kota akan dapat terlayani
dalam satu lembaga dengan mengacu pada prinsip
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan keamanan
berkas sehingga meningkatkan kualitas pelayanan
publik yang cepat murah, mudah, transparan,
pasti, dan terjangkau.
Oleh karena itu, untuk mensukseskan
berjalannya AEC 2015 sangat diperlukan one
service stop. Agar penyelenggaraan one service stop
tersebut dapat berjalan dengan efektif setidaknya
dalam pelayanan publik dewasa ini haruslah
meliputi:15
a.
Penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non
perizinan dari proses awal penyerahan
dokumen, penandatanganan dokumen oleh
kepala PTSP hingga penyerahan dokumen yang
dilakukan pada satu pintu;
b.
Ketersediaan sumber daya manusia (kompetensi dan kemampuan teknis);
perekonomian, tanpa memerlukan visa kerja
khusus dan perizinan yang menyulitkan.
c.
Sarana dan prasarana berupa gedung beserta
peralatan pendukung perkantoran, komputerisasi dan aplikasi perizinan/non perizinan;
d.
Sarana memperoleh informasi berupa
telepon/fax, media touch screen dan website;
e.
Mekanisme kerja berupa visi/misi, maklumat/
janji layanan, standar pelayanan, SOP, serta
memiliki mekanisme front office dan back office;
f.
Ketersediaan layanan pengaduan (helpdesk)
berupa SOP pengaduan, media pengaduan dan
pengelolaan pengaduan berbasis database;
g.
Keberadaan sistem pelayanan informasi dan
perizinan investasi secara elektronik (bagi yang
melaksanakan perizinan bidang penanaman
modal).
Tingginya kehadiran TKA sebagaimana yang
pernah penulis kemukakan dalam tulisan
sebelumnya merupakan tambang emas bagi Pemda
sebab pemberi kerja yang akan memperpanjang izin
mempekerjakan TKA dipungut retribusi (kecuali
Instansi Pemerintah, Badan-Badan Internasional
dan Perwakilan Negara Asing).16 Berlakunya AEC
2015 tidak berarti terhadap TKA tidak dapat
dipungut retribusi, sebab yang menjadi agenda
dalam AEC 2015 adalah TKA tidak lagi memerlukan
visa kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan
seperti yang berlaku selama ini, sehingga Pemda
masih bisa memungut retribusi yang memang
benar-benar ada dan diakui peraturan perundangundangan yang masih berlaku, salah satunya
adalah retribusi perpanjangan IMTA. Kewenangan
Pemda untuk memungut retribusi perpanjangan
IMTA mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari
2013.17 Retribusi ini akan digunakan untuk
mendanai penerbitan dokumen izin, pengawasan di
lapangan, penegakan hukum, penatausahaan,
biaya dampak negatif dari perpanjangan IMTA, dan
kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan
tenaga kerja lokal.
B.2.2.Pembentukan Perda Tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA
Penulis melihat bahwa AEC 2015 merupakan
salah satu momentum untuk membentuk Perda
tentang Retribusi Perpanjangan IMTA, sebab
adanya AEC 2015 akan mendorong terjadinya
migrasi tenaga kerja asing (TKA) yang tinggi, salah
satunya di Indonesia. Dalam blueprint AEC 2015
yang sudah ditandatangani tahun 2009, disepakati
pembebasan arus tenaga kerja ahli terbatas sampai
tahun 2020. Selebihnya keseluruhan TKA baik yang
ahli maupun kurang ahli bisa bermigrasi dengan
bebas di daerah-daerah yang menjadi basis
10
Keppres ini diterbitkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 12 April 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman
modal baik dalam negeri maupun luar negeri melalui sistem pelayanan satu atap (one roof service). Melalui Keppres ini, penyelenggaraan
penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA
dan PMDN dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sehingga Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM melalui
sistem pelayanan satu atap.
11
Permendagri ini diterbitkan oleh Mendagri Moh.Ma'ruf pada tanggal 6 Juli 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaran Pelayanan
Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh perangkat daerah
penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu perangkat Pemda yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua
bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Pembinaan sistem ini dilakukan secara berjenjang dan
berkesinambungan oleh Mendagri dan Kepala Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing. Penyelenggaraan pelayanan terpadu
satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan
sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat (Pasal 1 angka 11 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006). Sedangkan
perizinan pararel adalah penyelenggaraan perizinan yang diberikan kepada pelaku usaha yang dilakukan sekaligus mencakup lebih dari
satu jenis izin, yang diproses secara terpadu dan bersamaan (Pasal 1 angka 12 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006).
12
UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 April 2007, yang didalamnya juga terdapat pengaturan
mengenai PTSP. PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan
wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari
tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat (Pasal 1 angka 10 UU Nomor 25 Tahun
2007). PTSP bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
penanaman modal (Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007). PTSP dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang
penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di
provinsi atau kabupaten/kota (Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2007).
13
UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Juni 2009 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3)
UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
14
Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi diungkapakan bahwa dalam menanamkan modalnya investor akan selalu mempertimbangkan
faktor-faktor ekonomi, misalnya: faktor modal, faktor tenaga kerja, kemampuan pasar, persaingan serta faktor-faktor diluar faktor
ekonomi, seperti teknologi, situasi politik, kepastian hukum dan faktor perizinan.
15
Asisten Deputi Pelayanan Perekonomian Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sebagai Implementasi Percepatan Reformasi Birokrasi Di Bidang
Pelayanan Publik.
322
Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan)
Untuk dapat memungut retribusi tersebut
perlu adanya suatu instrumen hukum sebagai
konsekuensi logis dianutnya asas negara hukum
(rechtstaat). Karena itu Pemda harus menyusun
Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA. Perda
ini merupakan kewenangan yang didelegasikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemda.18 Meskipun Perda
tentang Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan
kewenangan daerah namun dalam penyusunannya
haruslah dilakukan berdasarkan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik.19 Selain asas-asas tersebut, Perda
tentang retribusi perpanjangan IMTA juga haruslah
mencerminkan asas-asas hukum ketenagakerjaan.
Pembentukan Perda tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA tidak sama dengan regulasi
yang akan diterapkan Negara Singapura20 sebab
Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA
bukanlah untuk merintangi pergerakan arus TKA,
sedangkan regulasi yang akan diterapkan Negara
Singapura untuk membatasi jumlah TKA atau
imigran asing yang kian meningkat dalam beberapa
tahun terakhir melalui kenaikan retribusi yang
tinggi.
Karena itu pembentukan Perda tentang
retribusi perpanjangan IMTA tidak akan
menghambat AEC 2015, mengingat retribusi
perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan
pungutan Pemerintah Pusat berupa PNBP yang
kemudian menjadi retribusi daerah. Selain itu tarif
retribusi perpanjangan IMTA yang akan ditetapkan
berdasarkan tingkat penggunaan jasa tidak
melebihi tarif PNBP perpanjangan IMTA yang
berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Beberapa Pemda telah menetapkan Perda tentang
retribusi perpanjangan IMTA, seperti: Kabupaten
Purwakarta (Perda Nomor 12 Tahun 2013 yang
mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2013),
Provinsi Kalimantan Selatan (Perda Nomor 10
Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 28
Oktober 2013), Kota Batam (Perda Nomor 4 Tahun
2013 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 11
April 2013), Kabupaten Badung (Nomor 20 Tahun
2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2014), Kota Depok (Perda Nomor 2 Tahun 2013
yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Mei 2013), dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Perda Nomor 10
Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 13
Desember 2013).
B.2.3. Mewujudkan KEK
Pasal 31 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menyebutkan adanya
pengaturan kegiatan kawasan ekonomi khusus
(KEK) sebagai bagian dari kegiatan penanaman
modal di Indonesia, namun cikal bakal dari KEK itu
sendiri sudah ada dengan diundangkannya
Undang-Undang tentang Perdagangan Bebas dan
16
Budi S.P Nababan, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di
Kota Medan dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.11 No.1 Maret 2014.
17
Lihat Pasal 18 PP Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing.
18
Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a,
dan Pasal 136 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 150 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pasal 7 PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota beserta lampirannya, serta Pasal 2 jo Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 97 Tahun
2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
19
Lihat Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
20
Singapura akan batasi tenaga kerja asing, , diakses tanggal 19 Mei 2014.
323
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
Pelabuhan Bebas.21 Selain itu praktek yang
mengarah kepada KEK sudah ada dengan
ditandatanganinya MoU antara negara kita dengan
Singapura, dengan menjadikan Batam, Bintan dan
Karimun sebagai proyek percontohan.22
Dicetuskannya konsep KEK tidak lain
merupakan bagian dari program Pemerintah yang
ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi. Mari
E. Pangestu ketika menjabat sebagai Menteri
Perdagangan seusai mengikuti Rapat Terbatas
Kabinet yang dihadiri oleh beberapa menteri
Kabinet Indonesia Bersatu serta Gubernur dari 10
Provinsi,23 mengatakan bahwa beberapa daerah
akan terlebih dahulu menjadi KEK demi
meningkatkan penghasilan pajak, investasi, ekspor,
dan kesempatan kerja. Sebagai permulaan,
Pemerintah akan memulai dengan daerah-daerah
yang setidaknya memiliki kriteria khusus seperti
kawasan Batam yang telah terlebih dahulu dikenal
sebagai Kawasan Ekonomi Terpadu.24 Kriteria yang
harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan
sebagai kawasan ekonomi terpadu adalah sesuai
dengan RTRW, tidak berpotensi mengganggu
kawasan lindung, adanya dukungan dari
pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam
pengelolaan kawasan ekonomi terpadu, terletak
pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi
sumber daya unggulan di bidang kelautan dan
perikanan, perkebunan, pertambangan, dan
pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik
batas alam maupun batas buatan.25
Sebagai dasar hukum mengenai KEK
kemudian diundangkan UU Nomor 39 Tahun 2009
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5066. Ketentuan KEK
dalam UU ini mencakup pengaturan fungsi, bentuk,
dan kriteria kawasan ekonomi khusus,
pembentukan kawasan ekonomi khusus,
pendanaan infrastruktur, kelembagaan, lalu lintas
barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan
Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan)
kemudahan.
KEK merupakan kawasan dengan batas
tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan fungsi perekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah
untuk melakukan dan mengembangkan usaha di
bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan
dan energi, transportasi, maritim dan perikanan,
pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang
lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas
satu atau beberapa zona, antara lain zona
pengolahan ekspor, logistik, industri,
pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi
yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor
dan untuk dalam negeri.26 Bagi Pemda yang
daerahnya dijadikan sebagai KEK, maka Pemda
tersebut diberikan keleluasaan atau diberi ruang
yang lebih luas dalam mengelola hasil kesepakatan
kerjasama ekonomi tersebut. Karena itu ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Pemda
berkaitan dengan pembentukan KEK, yaitu: 27
1.
Kesiapan aparatur di daerah dalam menyikapi
masuknya investasi di daerah mereka.
2.
Kesiapan perangkat pendukung
masuknya investasi; dan
3.
Kesiapan masyarakat yang bermukim di
daerah tersebut dengan masuknya kegiatan
investasi.
proses
Berdasarkan ketentuan dalam UU tentang
KEK, sejumlah kewenangan telah diberikan kepada
Pemda yaitu: Pemda (Kabupaten/Kota ataupun
Provinsi) dapat mengusulkan pembentukan
kawasan ekonomi khusus kepada Dewan
Nasional28, Pemda (Provinsi atau Kabupaten/Kota)
menetapkan badan usaha untuk membangun
kawasan ekonomi khusus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan,29 Pemda dapat
membiayai pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam kawasan ekonomi khusus30,
Pemda dapat memberikan insentif berupa
pembebasan atau keringanan pajak daerah dan
retribusi daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan ataupun
memberikan kemudahan lain, 3 1 Gubernur
membentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus32
dan Dewan Pengupahan,33 menetapkan dan
memberlakukan upah minimum.34
Ketentuan-ketentuan tersebut bisa dijadikan
pegangan Pemda untuk lebih aktif lagi dalam KEK.
Karena itu Pemda harus mampu mengkreasikan
kebijakan di daerahnya dalam rangka menarik
investor untuk berinvestasi di KEK. Selain itu
Pemda juga harus mampu memberikan rasa aman
dan kepastian hukum berinvestasi di daerahnya,
sebab betapa lengkapnya sarana dan prasarana
yang tersedia bagi investor untuk berinvestasi tanpa
didukung keamanan dan kepastian hukum dapat
dipastikan tidak akan ada investor yang
berinvestasi.
B.2.4. Mendorong Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual
Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan
hak yang melekat pada suatu barang/produk hasil
karya manusia yang harus dilindungi oleh hukum.
Perlindungan ini sangat penting, apalagi dewasa ini
perkembangan hubungan internasional sedang
mengalami proses perubahan ke arah yang semakin
terbuka. Perlindungan HKI telah menjadi persoalan
yang penting di ASEAN terutama setelah
diluncurkannya Putaran Uruguay tahun 1994 yang
22
Ronny Sautma Hotma Bako, Permasalahan Di Seputar Kawasan Ekonomi Khusus, www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukumbisnis/87-permasalahan-di-seputar-kawasan-ekonomi-khusus.html, diakses tanggal 20 Agustus 2014.
23
10 provinsi tersebut antara lain DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Nangroe Aceh
Darussalam, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, dan Papua.
24
Rum Riyanto. S, Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia, , diakses tanggal 10 Juli 2014.
Penjelasan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
26
Penjelasan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
27
Ronny Sautma Hotma Bako, ibid www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/87-permasalahan-di-seputar-kawasanekonomi-khusus.html, diakses tanggal 23 Agustus 2014.
28
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
29
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
30
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 13 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
25
324
Permasalahan HKI tidak terlepas dari dunia
perdagangan dan investasi. HKI telah memacu
dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang
berdasar pada ilmu pengetahuan.36 Di negaranegara ASEAN sendiri, pada dasarnya sudah ada
pengaturan perlindungan HKI yang ruang
lingkup pengaturannya relatif telah banyak
berjalan sejalan dengan konvensi-konvensi
internasional di bidang HKI. Selain itu negaranegara ASEAN telah mengupayakan kerjasama
dalam pengaturan dan perlindungan HKI,
melalui pertemuan ilmiah ASEAN Law
Association yang pertama sekali diadakan pada
tahun 1982 di Malaysia. Dalam pertemuan
ASEAN Law Association masing-masing
perwakilan negara memaparkan sistem hukum
HKI yang berlaku di masing-masing negara.37
HKI adalah padanan kata yang biasa
digunakan untuk Intellectual Property Rights, yakni
hak yang timbul dari hasil olah pikir otak yang
menghasilkan suatu produk atau proses yang
berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah
hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari
suatu kreativitas intelektual. HKI dibagi dalam 2
bagian, yaitu:38
a)
Hak cipta (copyright)39
b)
Hak kekayaan industri (industrial property
rights), yang mencakup Paten,40 Desain
Industri,41 Merek,42 Desain Tata Letak Sirkuit
31
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 35 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
32
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
33
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 44 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
34
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 45 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
35
Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-Negara ASEAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.1-2.
36
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, (Tangerang: Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, 2013), hlm.iii.
37
Taryana Soenandar, op.cit, hlm.25.
38
Taryana Soenandar, ibid, hlm.3.
39
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
21
UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi UU sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang.
memasukkan masalah TRIPs (Agreement on Trade
Realated Intellectual Property Rights).35
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta).
40
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya
(Pasal 1 angka 1 UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten).
41
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau
gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola
tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan
(Pasal 1 angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri).
42
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek).
325
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
Terpadu,43 dan Rahasia Dagang.44
Meskipun pengelolaan HKI di Indonesia telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan secara khusus telah memiliki lembaga yang
menaungi HKI, akan tetapi kesadaran akan
pendaftaran HKI di kalangan usaha kecil dan
menengah masih tergolong lemah. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah usaha kecil dan menengah
yang mendaftarkan merek dagangnya, padahal
keberadaan usaha kecil dan menengah tersebut
berkaitan erat dengan HKI. Selain itu ada
beberapa keuntungan yang akan diterima oleh
masyarakat apabila memiliki kesadaran terhadap
HKI, yaitu:45
a.
Pengetahuan mengenai hak seseorang atas
suatu karya intelektual miliknya yang mungkin
selama ini tidak terpikirkan mengandung nilai
ekonomis yang harus mendapat perlindungan
hukum.
b.
Mendorong inventor untuk menanamkan
invensi dan alih tehnologi.
c.
Membuat orang menjadi jujur dan adil
terhadap karya orang lain sekaligus
memunculkan sikap untuk melindungi
konsumen ataupun masyarakat pengguna
produk HKI.
Sedangkan manfaat dari pendaftaran HKI
antara lain sebagai berikut:46
a)
Bagi inventor, dapat menjamin kepastian
hukum baik bagi individu maupun kelompok
serta terhindar dari kerugian akibat pemalsuan
dan perbuatan curang oleh pihak lain.
b)
Bagi pemerintah, adanya citra positif yang
menerapkan HKI di tingkatan WTO, selain itu
meningkatnya penerimaan devisa negara dari
pendaftaran HKI.
c)
Adanya kepastian hukum bagi pemegang hak
dalam melakukan usahanya, dimana si
pemegang hak dapat melakukan upaya hukum
baik secara perdata maupun secara pidana
apabila terjadi pelanggaran/peniruan serta
dapat memberikan izin atau lisensi kepada
pihak lain.
Secara umum permohonan pendaftaran HKI
mengalami pertumbuhan: untuk permohonan
merek pada tahun 2010 mengalami peningkatan
menjadi 47.794 dan di tahun 2011 menjadi 53.196
permohonan; untuk pendaftaran paten pada
periode 1992 sampai dengan 2003 sebanyak 1.388
permohonan yang berasal dari dalam negeri dan
25.784 permohonan yang berasal dari luar negeri.47
Khusus untuk indikasi geografis48 masih mengalami
pertumbuhan yang lambat, padahal Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tidak
heran jika produk-produk kekayaan tersebut sering
diklaim oleh negara lain sebagai hasil atau produk
dari negara mereka. Berdasarkan data yang dilansir
oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2013
sudah tercatat 22 produk asli Indonesia sebagai
indikasi geografis,49 bahkan negara asing (melalui
43
Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan
sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara
terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Sedangkan Desain Tata Letak
adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah
elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan
untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu).
44
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi
karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang).
45
Iwan Irawan, Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Bagi Perkembangan Kewirausahaan, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol.10 No.2 Juni 2003, hlm.174-175.
46
Iwan Irawan, ibid, hlm.175-176.
47
Iwan Irawan, ibid, hlm.174.
48
Indikasi geografis merupakan hal yang baru di dalam sistem perlindungan HKI, sedangkan di beberapa negara perlindungan indikasi
geografis telah berlangsung sejak lama, seperti di Australia sejak tahun 1993 dan Perancis sejak tahun 1905. Di Indonesia indikasi geografis
baru diatur dalam Pasal 79A sampai Pasal 79D UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang kemudian diganti dengan UU Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, kemudian diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dalam Pasal 56 UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek disebutkan bahwa Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal
suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Kemudian tanda yang dimaksud dalam Pasal 56 UU tentang Merek
tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis sebagai nama tempat atau daerah
maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh indikasi geografis, sedangkan
yang termasuk barang dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan atau barang lain.
49
22 produk asli Indonesia tersebut adalah: Kopi Arabika Kintamani Bali, Mebel Ukir Jepara, Lada Putih Muntok, Kopi Arabika Gayo,
Tembakau Hitam Sumedang, Tembakau Mole Sumedang, Susu Kuda Sumbawa, Kangkung Lombok, Madu Sumbawa, Beras Adan Krayon,
Kopi Arabika Flores Bajawa, Purwaceng Dieng, Carica Dieng, Vanili Kepulauan Alor, Kopi Arabika Kalosi Enrekang, Ubi Cilembu Sumedang,
Salak Pondoh Sleman Jogja, Minyak Nilam Aceh, Kopi Arabika Java Preanger, Kopi Arabika Java Ijen-Raung, Bandeng Asap Sidoarjo, dan
Kopi Arabika Toraja. www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20
Agustus 2014.
326
Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan)
perwakilan pemerintahnya maupun melalui badan
usaha) memiliki kesadaran yang tinggi dengan
mendaftarkan indikasi goegrafis produknya di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia.50
Perlindungan indikasi geografis di Indonesia
akan memberikan banyak manfaat, antara lain
adanya perlindungan hukum terhadap produkproduk indikasi geografis, indikasi geografis juga
dapat digunakan sebagai marketing tool dalam
dunia perdagangan, baik di tingkat nasional
maupun di internasional, disamping itu dengan
indikasi geografis produk-produk daerah/lokal
akan memiliki nilai tambah sehingga akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.51 Hal
ini baru disadari oleh 2 Pemerintah Daerah, yaitu
Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten
Sumedang.52
Namun sayangnya untuk daerah sekelas
Sumatera Utara belum ada 1 produk pun yang
terdaftar sebagai indikasi geografis. Bisa saja hal ini
terjadi salah satunya karena Pemda (baik Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera
Utara) belum menyadari indikasi geografis dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal
melirik banyaknya produk dari Sumatera Utara
banyak sekali yang memiliki potensi sebagai
indikasi geografis, misalnya tembakau Deli, kopi
Lintong, kopi Mandailing, markisa Berastagi, teh,
salak, berbagai jenis dodol dan berbagai jenis ulos
yang beragam motifnya yang tidak dimiliki daerah
lain.53 Seharusnya Pemda di Sumatera Utara
memainkan peranan dalam pendaftaran indikasi
geografis sebab produk khas di daerahnya memiliki
keanekaragaman dan bernilai jual ekonomi yang
tinggi. Jangan sampai nantinya produk-produk
lokal yang ada di daerah dicaplok dan diakui oleh
negara asing sebagai HKI mereka.54
Untuk melindungi hasil HKI dalam persaingan
pasar bebas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan
oleh Pemda antara lain:55
a) mengadakan sosialisasi atau penyuluhan
mengenai arti pentingnya hak kekayaan
intelektual;
b) mengadakan kerja sama dengan klinik HKI/
sentra HKI perguruan tinggi;
c) mengadakan pembantuan dalam pengurusan
penerbitan sertifikat HKI, dalam hal ini adalah
sertifikat merek dan paten;
d) mengadakan pemeriksaan terhadap merekmerek yang sudah terdaftar; dan
e) pemberian konsultasi dan informasi yang
berkaitan dengan pengurusan merek.
Selain itu Pemda juga bisa berkoordinasi
mengenai pendaftaran HKI dengan Kanwil
Kementerian Hukum dan HAM yang ada di setiap
provinsi, sebab Kanwil Kementerian Hukum dan
HAM adalah instansi vertikal yang
menyelenggarakan fungsi, salah satunya adalah
penegakan hukum di bidang HKI.56 Khusus
mengenai indikasi geografis, Pemda juga dapat
mengajukan permohonan pendaftaran produk
indikasi geografis di daerahnya.57
50
Produk asing yang didaftarkan indikasi geografisnya tersebut adalah Champagne yang dimohonkan oleh Comite Interprofessional Du
Vin De Champagne (CIVC) Gunawan Suryomurcito sebagai kuasanya, Pisco yang dimohonkan oleh Perwakilan Diplomatik Peru
(Ambassador Juan Alvarez Vita Embassy Of Peru In Indonesia), serta Parmigiano Reggiano yang dimohonkan oleh Consarzio Del Formaggio
"Parmigiano-Reggiano" Via Kennedy 18 Reggio Emilia dengan Andromeda, BA., SH AMR Partnership sebagai kuasanya.
www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014.
51
Andi Noorsaman Sommeng dan Agung Damarsasongko, Indikasi Geografis, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, 2008), hlm.iii.
52
Badan Pengelola, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mendaftarkan Lada Putih
Muntok dan Pemerintah Kabupaten Sumedang yang mendaftarkan Tembakau Hitam Sumedang beserta Tembakau Mole Sumedang.
www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014.
53
Ali Marwan HSB, Perlindungan Hukum Kekayaan Indonesia Melalui Pendaftaran Indikasi Geografis, Harian SIB Medan, tanggal 24
September 2013.
54
Misalnya seperti Kasus Kopi Toraja. Kasus ini berkaitan dengan indikasi geografis. Sejauh ini masyarakat mengakui bahwa reputasi
kopi Toraja sudah sedemikian tinggi, bahkan telah dikenal luas didalam dan di luar negeri. Nama kopi Toraja telah digunakan di luar negeri
dan didaftarkan sebagai merek di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat pendaftaran kopi Toraja tersebut tidak menyertakan kata Toraja
beserta gambar rumah adat Toraja yang merupakan simbol daerah Toraja sebagai hak eksklusif pendaftar. Ini berarti kopi Toraja tidak
diklaim sebagai produk indikasi geografis dari Indonesia. Kasus lain yang berkaitan dengan kopi Toraja adalah adanya pemalsuan terhadap
kopi Toraja. Hal tersebut mulai terindikasi pada pertengahan tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Andi Noorsaman Sommeng
dan Agung Damarsasongko, op.cit, hlm.91-92.
55
Agus Mardiyanto, Weda Kupita, Noor Asyik dan Rahadi Wasi Bintoro, Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kekayaan
Intelektual, Jurnal Dinamika Hukum Vol.13 No.1 Januari 2013, hlm.33.
56
Lihat lebih lanjut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M-01.Pr.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.
57
Lihat lebih lanjut Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Penjelasannya.
327
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
C.
Penutup
Berdasarkan pembahasan disimpulkan bahwa
berlakunya AEC 2015 adalah sebagai bentuk
integrasi ekonomi regional yang direncanakan
untuk dicapai pada tahun 2015. Dengan
pencapaian tersebut maka di ASEAN akan terjadi
pasar tunggal dan basis produksi dengan arus
bebas barang, jasa, investasi dan tenaga terampil
serta aliran modal. Agar AEC 2015 dapat menjadi
pijakan untuk meningkatkan PAD, ada beberapa
hal yang harus dilakukan oleh Pemda sebagai
persiapan dalam menghadapi AEC 2015, yaitu
komitmen menjalankan sistem perizinan terpadu,
membentuk perda tentang retribusi perpanjangan
IMTA, mewujudkan KEK, dan mendorong
perlindungan HKI.
Untuk menjamin terlaksananya pelayanan
perizinan terpadu (one stop service) yang cepat
murah, mudah, transparan dan pasti, sangat
diperlukan komitmen yang kuat dari Pemda agar
investor asing tertarik untuk menanamkan
modalnya di daerahnya. Bagi daerah yang belum
memiliki Perda tentang retribusi perpanjangan
IMTA, Pemda harus sesegera mungkin
membentuknya mengingat AEC 2015 akan
melahirkan migrasi tenaga kerja asing terutama di
KEK. Berkaitan dengan KEK, Pemda hendaknya
lebih serius lagi dalam menanganinya. Selain itu
Pemda harus mampu menarik investor untuk
berinvestasi di bidang kelautan dan perikanan,
perkebunan, pertambangan, dan pariwisata. Tidak
tertutup kemungkinan AEC 2015 juga akan
menimbulkan pelanggaran di bidang HKI, karena
itu Pemda harus memainkan peranannya untuk
lebih giat melindungi HKI terutama mengenai
indikasi geografis.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
2010. Menuju ASEAN Economic Community
2015, Jakarta.
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
2013. Buku Panduan Hak Kekayaan
Intelektual, Tangerang: Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual.
Mursitama, Tirta Nugraha dkk. 2010. Reformasi
Pelayanan Perizinan dan Pembangunan
Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga,
328
Makassar, dan Banjarbaru), Jakarta:
Masyarakat Transparansi Indonesia.
Soenandar, Taryana. 1996. Perlindungan Hak Milik
Intelektual Di Negara-Negara ASEAN, Jakarta:
Sinar Grafika.
Sommeng, Andi Noorsaman dan Agung
Damarsasongko. 2008. Indikasi Geografis,
Sebuah Pengantar, Jakarta: Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan)
Internet
Singapura akan batasi tenaga kerja asing, , diakses
tanggal 19 Mei 2014.
Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi ASEAN
Economic Community 2015, http://
regional.kompasiana.com/2014/04/25/k
esiapan-indonesia-dalam-menghadapi-
asean-economic-community-2015651271.html, diakses tanggal 11 Juli 2014.
Permohonan Indikasi Geografis Terdaftar Juni
2014, www.dgip.go.id/images/adelchimages/pdf-files/permohonan-igterdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20
Agustus 2014.
Waluyo, Bambang. 1996. Penelitian Hukum Dalam
Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.
Makalah / Artikel/ Prosiding/ Hasil Penelitian
Asisten Deputi Pelayanan Perekonomian Deputi
Bidang Pelayanan Publik Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sebagai
Implementasi Percepatan Reformasi Birokrasi
Di Bidang Pelayanan Publik. Materi
disampaikan pada Rapat Koordinasi dan
Fasilitasi Penyelenggaraan PTSP di Provinsi
Bengkulu, 10 Mei 2012.
Bako, Ronny Sautma Hotma. Permasalahan Di
Seputar Kawasan Ekonomi Khusus,
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukumbisnis/87-permasalahan-di-seputarkawasan-ekonomi-khusus.html, diakses
tanggal 23 Agustus 2014.
HSB, Ali Marwan. Perlindungan Hukum Kekayaan
Indonesia Melalui Pendaftaran Indikasi
Geografis, Opini dalam Harian SIB Medan,
tanggal 24 September 2013.
Irawan, Iwan. 2003. Pentingnya Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual Bagi Perkembangan
Kewirausahaan. Jurnal Legislasi Indonesia
Volume 10 Nomor 2 Juni.
Mardiyanto, Agus dkk. 2013. Implementasi
Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Kekayaan Intelektual, Jurnal Dinamika
Hukum Volume 13 Nomor 1.
Nababan, Budi S.P. 2014. Mendorong Lahirnya
Peraturan Daerah Tentang Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing Di Kota Medan. Jurnal Legislasi
Indonesia Volume 11 Nomor 1 Maret.
S, Rum Riyanto. Kawasan Ekonomi Khusus di
Indonesia, , diakses tanggal 10 Juli 2014.
329
Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330
330
330-1
330-2
330-3
330-4
330-5
330-6
Download