DARI REDAKSI Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah. Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014 ini memuat artikel mengenai: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 terhadap Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada, Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE), Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal), Metode RIA dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik, Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan UndangUndang, Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan Berdimensi Hak Asasi (Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia), Kesiapan Hukum dan Tantangan Indonesia Era Asean Community 2015, dan Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015. Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 3 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca ahli (Mitra Bestari). Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan. Salam, Redaksi. iii Vol. 11 No. 3 - September 2014 DAFTAR ISI Dari redaksi iii vii - xii Lembar Abstrak Artikel: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Eka N.A.M. Sihombing dan Rudy Hendra Pakpahan 97/PUU-XI/2013 terhadap 213 - 220 Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada Khopiatuziadah 221 - 232 Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Eka Martiana Wulansari 233 - 246 Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ramiyanto 247 - 256 Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal) Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah 257 - 270 Metode RIA dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik Dinoroy M. Aritonang 271 - 278 Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan UndangUndang Arrista Trimaya 278 - 290 Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan Berdimensi Hak Asasi (Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia) Cekli Setya Pratiwi 291 - 306 Kesiapan Hukum dan Tantangan Indonesia Era Asean Community 2015 Nadir 307 - 318 Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015 Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan 319 - 330 Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia 330-1 - 330-6 Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees UDC 342.59 UDC 342.59 Sihombing, Eka N.A.M dan Pakpahan, Rudy Hendra Sihombing, Eka N.A.M and Pakpahan, Rudy Hendra Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 terhadap Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (The Implication of Constitutional Court Verdict Number 97/PUU-XI/2013 concerning Dispute Settlement of Head of Local Government Election) Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan Nomor 97/PUUXI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa Pilkada. Putusan tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada selama belum ada undangundang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Untuk itu pembentuk undang-undang harus merespons putusan MK dengan melakukan percepatan penataan undang-undang yang berkaitan dengan Pemilukada, diantaranya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. The Constitutional Court has cancelled the provisions of Article 236 clause c Law Number 12 of 2008 concerning the Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government and Article 29 paragraph (1) clause e of Law Number 48 of 2009 on Judicial Power through Verdict Number 97/ PUU-XI/2013, the Court stated that the dispute over the handling of local elections by the Court is unconstitutional. As a result, the Court no longer authorized to adjudicate local election disputes. Such decisions are not necessarily enforceable, because one of the important clauses in the decision, the authority to adjudicate disputes over the local elections, there are no laws govern about it, so it is still remain in the hands of the Constitutional Court. The legislators should respond the Constitutional Court verdict to accelerate settlement legislation relating to the General Election, including revisions to the Law Number 48 of 2009 on Judicial Power, Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court, as amended by Law Number 8 of 2011 on the Amendment Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court, and the Law Number 32 of 2004 on Regional Government, as amended by Law Number 12 of 2008 on the Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government. Keywords : Implication, Dispute Resolution, Head of Local Government Election. Kata Kunci: I m p l i k a s i , P e n y e l e s a i a n S e n g k e t a , Pemilihan Umum Kepala Daerah. UDC 342.25 UDC 342.25 Khopiatuziadah Khopiatuziadah Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada Legal Basis on Local Owned Enterprise Management: Between Existing and Not Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Landasan hukum bagi beroperasinya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut Undang-Undang tersebut dengan syarat terdapat pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan hukum pengelolaan BUMD karena UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 of 1962 on Regional Enterprise. Until now, there is no amandment yet towards this law that passed during guided democracy regim. In fact, Law number 6 of 1969 which revoked such law with the condition of amandment and replacement for ROE regulation. The lack of legal basis of ROE management is a result of Law Number 5 of 1962. It is not in accordance with the political developments and the dynamics of the current legislation. This fact is fully realized by the Government and the House of Representatives as the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the National Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However it can be created recently at the end of the period of 2014. It is actually not an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees ini baru dapat diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. ROE into the amandemnt of Law Number 32 of 2004 on Local Government. dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana penjara dan ada juga yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan/atau”, maka pidana denda dapat dihapuskan (tidak dijatuhkan kepada terdakwa). Namun, apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan”, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan atau harus dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Dalam hal ini, maka pidana denda dalam perkara tindak korupsi dapat dihapuskan, apabila rumusan pasalnya dirumuskan dengan sistem alternatifkumulatif. with imprisonment. If the criminal threats formulated with alternative-cumulative systems which are marked conjunctive "and / or", the criminal penalties can be eliminated (not applied to the defendant). However, if the criminal threats formulated with cumulative system which are marked conjunctive "and", then the criminal penalties can not be abolished or should be imposed in conjunction with imprisonment. In this case, the criminal penalties in cases of corruption can be eliminated, if the article is formulated with the formulation of alternative-cumulative system. Kata Kunci : Keywords: Local company, local owned enterprises, local government. perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah. UDC 341.221.2 UDC 341.221.2 Wulansari, Eka Martiana Wulansari, Eka Martiana Penegakan Hukum di Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) Law Enforcement System in the Field of Fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEE) Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Penegakan hukum di bidang perikanan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari penegakan hukum di perairan atau laut. Penegakan hukum di perairan atau laut sendiri secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparaturnya berdasarkan kedaulatan negara dan/atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang bertujuan agar peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan atau ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum, dan dengan demikian dapat tercipta tertib hukum nasional maupun tertib hukum internasional. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Internasional, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tentang penegakan hukum dalam bidang perikanan di Indonesia merupakan kebijakan yang dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dan keikutsertaan masyarakat yang dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan tersebut, mulai dari perumusan, pelaksanaan sampai dengan penilaian kebijakan. Hal ini sejalan dengan kaidah internasional tentang perlunya pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries dari FAO, Tahun 1995). Law enforcement in the fisheries sector is basically one part of law enforcement in the water or sea. Law enforcement in the water or ocean is generally defined as an activity or a state apparatus based on the sovereignty of the state and/or under the provisions of international law that aims to applicable legislation in the sea either national legislation or the rules of international law can be respected or obeyed by any person or legal entity, including the state as a legal subject, and thus can create a national legal order and the international legal order. Sovereignty and law enforcement in Indonesian water, air space, seabed and subsoil thereof, including the natural resources contained therein as well as sanctions for the offense, carried out in accordance with the provisions of the Convention on International Law, and the legislation in force. The regulation of law enforcement in the field of fisheries in Indonesia is a policy that is created with the aim to solve the problem or achieve the desired goals of society by involving the community and community participation can influence the overall policy process, starting from the formulation, implementation to policy assessment. This is in line with international rules on the need for responsible fisheries management (Code of Conduct for Responsible Fisheries of FAO, 1995). Keywords: Criminal Penalties, Corruption. Kata Kunci: Pidana Denda, Tindak Pidana Korupsi. Keywords: Law Enforcement in the Field of Fisheries Kata kunci: Penegakan Hukum di Bidang Perikanan UDC 343.352 UDC 343.352 Ramiyanto Ramiyanto Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Criminal Penalty Abolition on Corruption Case in Indonesia Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, yang di dalamnya telah mencantumkan ancaman sanksi berupa pidana bagi pelakunya. Dalam undang-undang tersebut ancaman sanksinya dirumuskan dengan menggunakan sistem perumusan sanksi (strafsoort) yang berbeda, yaitu tunggal, alternatif-kumulatif, dan kumulatif. Berkaitan dengan pidana denda dalam undang-undang tersebut, ada yang At present the problem of corruption in Indonesia is regulated in Law Number 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001, included a threat of criminal sanctions for perpetrators. In the law formulated by using the threat of sanctions with sanctions formulation system (strafsoort) are different, ie: single, alternative-cumulative, and cumulative. Relating to criminal penalties in the law, there can be no imprisonment imposed it self and there is also to be imposed in conjunction UDC 342.827 UDC 342.827 Wijaya, Endra dan Abdullah, Zaitun Wijaya, Endra and Abdullah, Zaitun Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal) Political Party and Judicature Problem for Group of Minority in Indonesia (a First Study) Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum. Dinamika selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Bahkan, secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi salah satu sarana kelembagaan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan perlindungan kaum minoritas masih menjadi problem yang belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk kasus diskriminasi yang dialami oleh para penganut mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian, permasalahan ini tampaknya belum menjadi perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar negara yang mereka anggap mampu untuk “mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar belakangnya. Paper ini akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen yang diterbitkan oleh beberapa Political parties have their functions in related with their general election activities. Political parties have also the function to struggle the minority rights. Theoretically and practically political parties have already be an institutional instrument that can be formed by minority group of society to protect their rights as citizens. What is the condition in Indonesia practically? The problems of minority group protection in Indonesia are not completely finished, for example the case of Syiah in Indonesia. This problem is not attracted the political parties in a serious level. But actually the discrimination problem is really needs to solve to protect the country from disunity. At the very beginning, the “founding fathers” of this republic had given their serious attention on pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity the pluralism of Indonesian people. This writing focus on the role of political parties as the agent of discrimination protection of the minority group in Indonesia based on Pancasila's values. This study will be based on the data and document publishing by political parties and interviews from related informants. Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees partai politik dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan. Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai, mazhab minoritas. UDC 340.13 UDC 340.13 Aritonang, Dinoroy M. Aritonang, Dinoroy M. Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik Ria Method In Public Policy Formulation Process Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Public policy is a very important instrument in the application of governmental process. Public policy can bring a lot of vast influences on each aspect of people's lifes ranging from economic, social, and political issues. The public policy making process has been developed along with the complexity of public issues which are emerging in the pattern of life of the people. Public policy should be arranged and created in a good way, that's because the impacts brought to the people are very massive. A good public policy is underpinned by a certain model and technique of policy making which has been used. There are so many models and techniques on policy making which have been used and developed by many scholars and government's agencies. One of the models is RIA. This model has been long enough applied in many developed and developing countries especially the member of OECD. In RIA model, the role of the cost and benefit are the first and most important dimensions to decide the true and appropriate policy alternative or option in order to handle the public's problems. RIA can be also used before the public issues become the first topic in public policy making process. In this phase, RIA is used to analyze every potentials and chances from economic, social, and political aspects. RIA can be developed more massive by integrating it into the public policy making system officially. Key words: RIA, Policy, Formulation. Kebijakan publik merupakan instrumen yang amat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan publik juga amat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Penyusunan kebijakan publik telah berkembang seiring isu-isu publik yang lebih kompleks yang hadir dalam perkembangan pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik hendaknya disusun dan diciptakan dengan baik, sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Kebijakan yang baik amat ditopang oleh model dan teknik penyusunan kebijakan yang diterapkannya. Sudah banyak model dan teknik penyusunan yang sudah dipakai dan dikembangkan oleh banyak pakar maupun elemen pemerintahan. Salah satu yang digunakan dan dikembangkan secara luas adalah model RIA. Model ini juga sudah cukup lama digunakan oleh berbagai negara di dunia terutama negara maju yang tergabung dalam OECD. Dalam model ini peran biaya (cost) dan manfaat (benefits) menjadi dimensi yang paling utama dalam menentukan alternatif kebijakan atau opsi yang mana yang paling tepat untuk digunakan dalam penyelesaian persoalan publik. Bahkan sebelum isu tersebut menjadi topik utama penyusunan kebijakan, model RIA dapat digunakan untuk menganalisis segala kemungkinan dari aspek ekonomi, sosial dan politik. RIA dapat dikembangkan dengan lebih luas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam sistem penyusunan kebijakan secara resmi. Kata Kunci: RIA, Kebijakan, Formulasi. UDC 340.13 UDC 340.13 Trimaya, Arrista Trimaya, Arrista Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan Undang-Undang Creating Synergy Between Drafting and Law Making Regional Regulations Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Pemberian kebebasan sekaligus keleluasaan kepada Kepala Daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam era otonomi daerah belum dilaksanakan secara optimal dan komprehensif. Akibatnya, penegakan hukum terhadap keberlakuan Perda juga tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya materi muatan Perda yang bertentangan dan tumpang tindih dengan materi muatan peraturan perundang-undangan diatasnya, terutama dengan Undang-Undang. Banyaknya Perda yang tumpang tindih, paling banyak disebabkan tidak adanya kesesuaian antara metode pendekatan yang digunakan dalam proses pembuatan Perda dan realitas di lapangan, terutama jika dikaitkan dengan pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu masyarakat lokal. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya akuntabilitas pembuat Perda, yaitu DPRD dan Pemerintah Freedoms and flexibilities given to the Head of Regions to make regional regulations in the era of regional autonomy have not been implemented optimally and comprehensively. As the result, validity and legal enforce-ability of regional regulations have not been implemented optimally as well. It is characterized by a number of problematic and overlapping the substance of the regulations as derivatives laws. The majority of overlapping subject matters were mostly due to incompatibility between the approach used during the drafting of regional regulations and actual reality in the regions, especially when it is related to the interest of different entities involved in implementation, i.e. local communities. These mismatches have hold regional law-makers, such as regional parliaments and regional government, less accountable for they rarely provide complete information to local communities regarding regulations that will be drafted. Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees Daerah yang jarang sekali memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat lokal berkaitan dengan Perda yang akan dibentuk. Untuk itu sangat diperlukan peran Balegda sebagai koordinator dalam penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Di samping itu, peran Balegda juga diperlukan untuk mewujudkan sinergi dalam pembentukan Peraturan Daerah dengan Undang-Undang, sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundangundangan. The role of Regional Legislation Body as the coordinator between regional parliament and regional government is considerably needed in listing the Prolegda for a synergy in the implementation of tasks and functions of both the regional parliament and the regional government. In addition, the role of Balegda also necessary for a synergetic drafting of the regional regulations as derivatives laws, in order to harmonize the regulations. Keywords: synergy, regional regulations, laws. Kata Kunci: sinergi, Peraturan Daerah, Undang-Undang. UDC 340.13 UDC 340.13 Pratiwi, Cekli Setya Pratiwi, Cekli Setya Model Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dan Berdimensi Hak Asasi (Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia) A Responsive Model of Local Regulation Establishment and Respect to Human Rights (a Content Analysis of Local Regulation on Health Care in Indonesia) Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. The existence of local regulation as part of the National Law is an important legal instrument at the local level. After the Local Government Law Number 32 of 2004 on the Local Government make Local Regulation as an important instrument of accession in the course of the co-administration as well as to further elaborate the legislation in the higher level. Currently along with the reform and legal reform in Indonesia, the approach to make local regulation with ROCCIPI model is not enough, and need additional approaches that can achieve responsive regulation, harmony and uphold the values of Human Rights. However, the regulation is still transformed into repressive regulations which are less involved in the formation process of public participation and more oriented to the political interests than the interests of the community to solve social problems. On the other hand, where regulation is still ignoring the human rights principles even distort the recognition of human rights guaranteed in the constitution. In 2002, there were approximately 700 local regulations that disallowed by the Ministry of Internal Affairs as it is considered to have some of the drawbacks of both formal and substantive aspects. In addition, the National Human Rights Commission also considered that the new laws are discriminatory practice tends to result in human rights violations by state officials, minority discrimination, and slow fulfillment of human rights of citizens in the area one of which is the regulation of Malang Health Care Number 12 of 2010 in terms of the Limburg principles and the indicators of the right to health in General Comment No. 14 Keywords: local regulation, the right to health, the responsive law Keberadaan Peraturan Daerah sebagai bagian dari Hukum Nasional merupakan instrumen hukum yang penting di tingkat lokal. Pemerintah Daerah pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membentuk Perda sebagai isntrumen penting dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan serta untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Saat ini seiring dengan reformasi dan pembaharuan hukum di Indonesia, model pendekatan pembentukan Perda dengan ROCCIPI tidaklah cukup, dan perlu pendekatan tambahan yang dapat mewujudkan Perda yang bersifat responsif, harmoni dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian dewasa ini, Perda masih menjelma menjadi regulasi yang bersifat represif dimana dalam proses pembentukannya kurang melibatkan partisipasi masyarakat dan lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan kepentingan memecahkan masalah sosial masyarakat. Di sisi lain, keberadaan Perda masih mengabaikan prinsip-prinsip HAM bahkan mendistorsi pengakuan HAM yang dijamin dalam konstitusi. Pada tahun 2002, terdapat sekitar 700 Perda yang dianulir oleh Kementerian Dalam Negeri karena dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari aspek formil maupun materiil. Selain itu, KOMNAS HAM juga menilai bahwa berbagai Perda yang bersifat diskriminatif cenderung melahirkan praktek pelanggaran hak asasi manusia oleh pejabat negara, diskriminasi kelompok minoritas, serta lambannya pemenuhan HAM warga di daerah salah satunya adalah Perda tentang Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010. ditinjau dari Prinsip-prinsip Limburg dan indikator-indikator pemenuhan hak atas kesehatan dalam Komentar Umum Nomor 14 Kata kunci: Peraturan Daerah, hak atas kesehatan, hukum responsif Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees UDC 341.23 Nadir Kesiapan Hukum dan Tantangan Indonesia Era Asean Community 2015 Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. Era baru Asean Economic Community 2015 ditandai dengan seperangkat pembentukan hukum dan persiapanpersiapan serta strategi yang dilakukan oleh Negara-negara anggota asean termasuk khususnya Indonesia. Persaingan usaha yang sehat di Indonesia akan ditentukan kualitas hukum persaingan usaha itu sendiri serta kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum persaingan usaha, karena hukum persaingan usaha merupakan suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dengan konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk membangun sistem ekonomi yang efektif, efisien, terbuka dan jujur serta sehat. Berbagai peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait dengan perdagangan dan persaingan usaha diundangkan dan/atau dipersiapkan di era asean economic community 2015 seperti: (i) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); (ii) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana); (iii) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; (iv) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (v) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; (vi) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (vii) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; (viii) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; (ix) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian; (x) Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; (xi) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam asean economic community 2015 tetap sebagai garda depan penjaga dan penegak hukum persaingan usaha. Jika menyangkut masalah pidana, maka akan menjadi kewenangan penegak hukum lain, yaitu pihak kepolisian Negara republik Indonesia. Kata Kunci: KPPU, Kesiapan dan Tantangan, Hukum Indonesia, Asean Community 2015 UDC 341.23 Nadir The Asean Community 2015 at Readiness and Challenge Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. Asean Economic Community 2015 marked a set forming of preparation and law and also strategy by Nations member of Asean including Indonesia. Fair competition in Indonesia will be determined by the quality of law competition itself and also enforcer institutes credibility. By that law competition of effort represent an area with high interaction between concept of punishment with concept of economic as reflected a spirit to develope; fair competition and build an effective economic system and also Laws and regulations to commerce fair competition between Asean Economic Community 2015: (1) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie; (2) Wetbok van strafrecht vor Indonesie; (3) Law Number 8 of 1995 on Capital Market; (4) Law Number 5 of 1999 on Prohibition order Monopolistic Practice and Unfair Competition; (5) Law Number 15 of 2001 on Brand; (6) Law Number 25 of 2007 on Cultivation of Capital; (7) Law Number 20 of 2008 on Micro Effort, Middle and Small; (8) Law Number 7 of 2014 on Commerce; (9) Law Number 3 of 2014 on Industry; (10) Draft Bill on Standardization and Assessment Compatibility; (11) Government Regulation Number 34 of 2011 on Action of Antidumping, Action Reward, and Action Security of Commerce. The Position of KPPU in Asean Economic Community 2015 is to remain the enforcement of punishment to build fair competition. If the problem about crime, it will become law enforcement authority, that is Republic of Indonesia Police. Keywords : Asean Community 2015, Law, Readiness, Challenge UDC 341.23 Butar Butar, Hisar P. dan Nababan, Budi S.P. Menyoal Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015 Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 3. ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang akan dipercepat pelaksanaannya pada 31 Desember 2015. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan terjadi arus bebas barang, jasa, investasi, tenaga terampil serta aliran modal. AEC 2015 bisa dimanfaatkan Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun permasalahannya adalah apa yang harus dilaksanakan daerah dalam menyambut AEC 2015. Melalui penelitian perpustakaan, penulis melihat bahwa untuk memanfaatkan AEC 2015 terlebih dahulu Pemerintah Daerah harus melakukan berbagai persiapan, yaitu komitmen dalam menjalankan sistem perizinan terpadu, membentuk perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, mewujudkan kawasan ekonomi khusus (KEK), serta mendorong perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). Kata kunci: ASEAN Economic Community 2015, Pemerintah Daerah, Persiapan. UDC 341.23 Butar Butar, Hisar P. and Nababan, Budi S.P. Readiness of Local Government in Preparing Asean Economic Community 2015 Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 3. ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) is a form of regional economic integration will be accelerated execution on December 31, 2015. With the implementation, there will be free flow of goods, services, investment, skilled labor and capital flows. AEC 2015 can be used to improve local revenue (PAD). But the problem is what should local government implement in preparing AEC 2015? Through library research, the authors noticed that for the first 2015 AEC utilizes local governments have made various preparations, namely commitment to perform a unified licensing system, establishing local regulations on retribution fees renewal license for hiring foreign workers, creating the special economic zone (KEK), and encouraging the protection of intellectual property rights (HKI). Keywords: ASEAN Economic Community 2015, Local Government, Preparing. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013 TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (THE IMPLICATION OF CONSTITUTIONAL COURT VERDICT NUMBER 97/PUU-XI/2013 CONCERNING DISPUTE SETTLEMENT OF HEAD OF LOCAL GOVERNMENT ELECTION) Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia Email : [email protected] (Naskah diterima 26/08/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan Nomor 97/PUUXI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa Pilkada. Putusan tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Untuk itu pembentuk undang-undang harus merespons putusan MK dengan melakukan percepatan penataan undang-undang yang berkaitan dengan Pemilukada, diantaranya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kata Kunci: Implikasi, Penyelesaian Sengketa, Pemilihan Umum Kepala Daerah. Abstract The Constitutional Court has cancelled the provisions of Article 236 clause c Law Number 12 of 2008 concerning the Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government and Article 29 paragraph (1) clause e of Law Number 48 of 2009 on Judicial Power through Verdict Number 97/ PUU-XI/2013, the Court stated that the dispute over the handling of local elections by the Court is unconstitutional. As a result, the Court no longer authorized to adjudicate local election disputes. Such decisions are not necessarily enforceable, because one of the important clauses in the decision, the authority to adjudicate disputes over the local elections, there are no laws govern about it, so it is still remain in the hands of the Constitutional Court. The legislators should respond the Constitutional Court verdict to accelerate settlement legislation relating to the General Election, including revisions to the Law Number 48 of 2009 on Judicial Power, Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court, as amended by Law Number 8 of 2011 on the Amendment Law Number 24 of 2003 on the Constitutional Court, and the Law Number 32 of 2004 on Regional Government, as amended by Law Number 12 of 2008 on the Second Amendment of Law Number 32 of 2004 on Regional Government. Keywords : Implication, Dispute Resolution, Head of Local Government Election. A. Latar Belakang Mahkamah Agung (MA) akan kembali berwenang mengadili perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil Pemilukada oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa Pilkada. Putusan ini tidak diambil secara bulat, karena tiga hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap pendapat hakim lainnya. Namun putusan tersebut tidak serta merta 213 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220 dapat dilaksanakan, karena salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada. Putusan tersebut, tentunya menimbulkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa putusan MK ini tidak konsisten1 dengan putusan terdahulu yakni pada Putusan Nomor 072- 073/PUU-II/2004 yang secara tidak langsung telah menafsirkan bahwa penentuan Pilkada sebagai bagian dari Pemilihan Umum. Adapun tanggapan dari 3 (tiga) hakim konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi berpendapat seharusnya permohonan pemohon ditolak, sehingga penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada tetap menjadi kewenangan MK. Arief berpendapat tidak wajib berpegang pada original intent Pasal 24C UUD 1945 semata yang tidak memasukkan sengketa Pemilukada sebagai kewenangan MK. Sebab, sangat sulit memahami bagaimana original intent yang sebenarnya. Karena itu, kewenangan MK seharusnya bukan berusaha menemukan maksud pembentuk undang-undang, tetapi menemukan makna yang dikehendaki norma konstitusi guna menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi masa kini dan masa depan.2 Sementara itu, Anwar Usman menilai tuntutan pemohon yang menyatakan sengketa Pemilukada bukan kewenangan MK karena tidak diatur Pasal 24C UUD 1945 tidaklah tepat. Sebab, kedua norma itu bukan kewenangan MK yang utama. Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanyalah memuat norma administratif semata yakni pengalihan sengketa Pemilukada dari MA ke MK. Hal ini sesuai pertimbangan Putusan MK No. 25/PHPU.DVI/2008 yang menyebut “.....pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim hukum pemilu. Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil pemilukada secara hukum menjadi kewenangan MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus kali menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara sengketa Pemilukada, kalaupun MK menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa Pemilukada dengan alasan tidak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan sengketa Pemilukada pada tahun 2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak yang membawa akibat hukum tersendiri. Kemudian, Ahmad Fadli Sumadi berpendapat perselisihan hasil Pemilukada merupakan bagian dari sistem Pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945 yang mengharuskan adanya forum yang menyelesaikan yakni MK. Karena itu, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili perselisihan hasil Pemilukada, dengan demikian, permohonan pemohon seharusnya ditolak. Menyikapi perbedaan pendapat dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 terkait dengan pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pemilukada, penulis tertarik untuk menguraikan implikasi putusan tersebut terhadap pelaksanaan Pemilukada. B. Pandangan Teoritis Aristoteles dalam teori ketatanegaraan klasik mengemukakan bahwa konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man.3 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat)4 ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.5 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental.6 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan 1 http://news.detik.com/read/2014/05/20/085452/2586676/10/hapus-kewenangan-adili-sengketa-pilkada-mk-tidak-konsisten, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. 2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379f071d5173/mk-hapus-kewenangan-sengketa-pemilukada, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. 3 Brian Z. Tamanaba, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United Kingdom: Cambridge Univesity Press,2004), hlm 9. 4 Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtsstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshutzen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum) semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.7 Misalnya dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan.8 Karena itu, sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).9 Sehubungan dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.10 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.11 “Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”. Secara umum “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai (separation of power)12 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang menyatakan, “when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the some body of magistrate, there can be liberty”.13 Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahwa istilah-istilah separation of power, distribution of power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang menyatakan, the question whether the separation of power (i.e. the distribution of power of the various power of government among different organs).18 Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of 7 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 73. 8 Ibid, hlm. 74. 9 Mohd. Mahfud MD., Dasar dan Stmktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm. 72. 10 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1989), hlm. 138. Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government “. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Lihat dalam, John Locke, Two Treaties of Civil Government (London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hlm. 190-192. 11 Ibid 12 Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugastugas kenegaraan yang secara kardkteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364. 13 Ibid, hlm. 16 14 Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma. Jaya, 1998), hlm 30. 15 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm. 287. 16 Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm. 11. 17 Ibid, hlm. 36 6 Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 57. 18 Ibid 214 benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni14 atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,15 tidak realistis dan jauh dari kenyataan.16 Karena itu Jimly Asshidiqie menyatakan :17 215 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220 power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.19 Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandalkan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arahan yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersamasama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluasluasnya. Keempat ciri itulah yang tercakup dalam pengertian kedaulatan rakyat ; diselenggarakan untuk rakyat, oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara.20 tahun sekali haruslah dipahami sebagai pemilihan oleh dan untuk rakyat yang diperintah, bukan rakyat yang berdaulat. Dengan demikian, Pemilihan Umum tidak dapat disebut sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang bersifat langsung. Dalam sistem hukum Indonesia, kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu dilakukan dengan 2 cara yang masing-masing ditujukan dengan maksud untuk membentuk MPR (termasuk juga DPR) dan untuk menetapkan UUD. Untuk tujuan pertama, membentuk MPR, diadakan Pemilihan Umum, dan untuk tujuan terakhir, menetapkan UUD, diadakan Pemilihan Umum, dan untuk tujuan terakhir, menetapkan UUD, diadakan referendum (Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan jo TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum). Dengan demikian, kedua ketetapan itu dapat dikatakan telah memenuhi kehendak rakyat yang berdaulat.23 Dalam teori maupun praktek di Indonesia, fungsi pelaksanaan asas kedaulatan rakyat lazim terkait dengan Pemilihan Umum. Hal ini tegaskan berulang-ulang dalam TAP MPR No. VII/MPR/1973, TAP MPR NO. VII/MPR/1978 dan dalam Pasal 1 TAP MPR No. VII/MPR/1973, dinyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan berdasarkan Demokrasi Pancasila sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam Negara Indonesia. Dalam Pasal 1 Ayat (1) TAP MPR No. VII/MPR/1978 juga ditegaskan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila baik dalam Pasal 1 Ayat (2) TAP MPR No. II/MPPR/1988, hal yang sama juga ditegaskan lagi. Artinya, secara yuridis, Pemilihan Umum di Indonesia memang dimaksudkan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.21 Baik pendapat A. Hamid S. Attamimi maupun Jimly Asshiddiqie, sama-sama didasarkan pada UUD 1945 sebelum diadakan perubahan, yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Setelah diadakan Perubahan III UUD 1945 pada tanggal 10 November 2001, kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut UUD (Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945). Dengan perubahan tersebut, MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Selain MPR, ada lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan pelaku pelaksana kedaulatan rakyat, misalnya, Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah juga pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat termasuk juga pelaksanaan referendum untuk meminta terlebih dahulu persetujuan rakyat berkenaan dengan rencana perubahan UUD 1945.24 Dengan menggunakan konstruksi pemikiran A. Hamid S. Attamimi22 secara konsisten, maka Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap 5 Solly Lubis membagi penegak hukum dalam arti sempit dan dalam arti luas.25 Penegakan hukum dalam arti sempit adalah penegakan yang 19 Ibid. Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Nomokrasi : Prasyarat Menuju Indonesia Baru”, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan ke- 4 (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 293-294. 21 Jimly Asshiddiqe, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Pergeseran keseimbangan antara Individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Otonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Cetakan ke1, (Jakatta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 84. 22 Menurut A. Hamid S. Attamimi, rakyat yang duduk di MPR adalah rakyat yang berdaulat (citoyen), sedangkan wakil-wakil rakyat di DPR adalah rakyat yang diperintah (suyet). Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam…………Op, Cit., hlm. 82 23 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam……..Op, Cit., hlm. 85-86. 24 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD'45 Setelah Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II (Jakarta: Yasrif Watampone, 2003), hlm. 3-4. 25 Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etik Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26 April 2010. 20 216 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum) dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, sedsangkan dalam arti yang luas bukan hanya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim akan tetapi Penegakan Hukum dimulai dari pembentukan peraturan perundangundangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif sampai eksekusi yang dilaksanakan oleh badan peradilan.26 Bahkan pengacara (advocaat dan procureur) juga termasuk sebagai perangkat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan batas kewenangan masingmasing secara proporsional. Apabila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa Pemilukada maka Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pilar penegakan hukum dalam arti yang sempit. tidak mampu menyerap aspirasi mayarakat secara optimal. Justru pemilihan kepala daerah diwarnai oleh kecendrungan oligarki partai politik sehingga terjadi politisasi atas aspirasi publik dan menguatnya indikasi praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Sistem penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia saat ini merupakan pilihan politik yang diambil setelah melalui perjalanan yang cukup panjang. Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dalam sejumlah undang-undang mengenai pemerintahan daerah, yaitu mulai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pada masa berlakunya undangundang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon - calon tersebut.27 Untuk mengoreksi berbagai kelemahan praktik Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka pada tanggal 29 September 2004 DPR telah menyetujui RUU tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 15 Oktober 2004 menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu materi yang dimuat dalam undang-undang tersebut adalah pengaturan mengenai Pilkada. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 KPUD Provinsi, Kabupaten/Kota telah diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pilkada langsung. Kewenangan KPUD ini dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya diserahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan. Dikarenakan pemilihan kepala daerah belum termasuk rezim Pemilihan Umum, maka penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak runtuhnya era Orde Baru, telah terjadi perubahan yang sangat fundamental di berbagai bidang, tidak terkecuali pada sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan menggunakan sistem demokorasi tidak langsung di mana Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam undang-undang ini posisi dan peran politik DPRD sederajat dengan Kepala Daerah. Rekrutmen kepala daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat. Namun, pada praktiknya pilkada yang dilakukan di bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah memberikan peran besar kepada DPRD Seiring berjalannya waktu, materi mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pun tidak luput dari permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/PUU-II/2004 tanggal 22 Maret 2005 meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung termasuk dalam kategori pemilihan umum, namun Mahkamah Konstitusi memberi ruang kepada pembentuk Undang-Undang untuk memperluas makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945 dengan memasukkan Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan putusan tersebut, pembentuk Undang-Undang merespon dengan membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun C. 26 27 Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Ibid Bandingkan dengan, Suharizal, Pemilukada; Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), hlm. 15-16. 217 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memasukkan Pemilihan Kepala Daerah dalam rezim Pemilihan Umum. Kemudian berdasarkan Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalihkan penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menambahkan satu kewenangan lain dari Mahkamah Konstitusi yaitu untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah. D. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 Terhadap Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Putusan Nomor : 97/PUUXI/2013, MK memutus mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa dengan menggunakan penafsiran sistematis dan original intent, yang dimaksud Pemilihan Umum menurut UUD 1945 adalah pemilihan yang dilaksanakan sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden serta DPRD. Lebih lanjut MK menyatakan bahwa sudah tepat ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa perselisihan hasil pemilihan umum yang menjadi kewenangan MK yaitu perselisihan hasil Pemilu DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden. Pasal 74 ayat (2) tersebut menentukan bahwa penyelesaian hasil pemilu hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; b. Penentuan Pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden/Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. Perolehan kursi partai politik pemilu di suatu daerah pemilihan. 218 Dengan demikian, berdasarkan putusan MK tersebut maka Pemilihan Kepala Daerah tidak termasuk dalam Rezim Pemilu akan tetapi kembali masuk dalam rezim Pemerintahan Daerah, konsekuensinya MK tidak lagi berwenang untuk mengadili perselisihan hasil Pemilihan kepala daerah. Putusan tersebut menunjukkan inkonsistensi MK, dimana pada putusan terdahulu (putusan Nomor 072- 073/PUU-II/2004), mayoritas hakim konstitusi secara tidak langsung telah menafsirkan bahwa penentuan pilkada sebagai bagian dari pemilihan umum merupakan kebijakan terbuka bagi pembentuk undang-undang (opened legal policy), sehingga MK dapat berwenang untuk mengadili sengketa pilkada berdasarkan pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR. Selain itu, MK sejak Tahun 2008 sampai dengan 2014 telah menangani 689 perkara sengketa Pemilukada yang dalam putusannya MK menyatakan berulangkali berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil Pemilukada. Inkonsistensi putusan MK lebih lanjut juga dapat dilihat dalam putusan Nomor : 97/PUUXI/2013, dimana dalam amar putusan point 1 dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 236 Huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun dalam amar putusan point 2 dinyatakan MK berwenang mengadili perselisihan hasil Pemilukada selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Disatu sisi MK memutus bahwa kewenangan MK mengadili sengketa Pemilukada inkonstitusional, namun dalam putusan yang sama dinyatakan juga bahwa kewenangan MK mengadili sengketa Pemilukada konstitusional selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. E. Penutup Terlepas dari kontroversi putusan tersebut, pembentuk undang-undang harus merespons putusan MK dengan melakukan percepatan penataan undang-undang yang berkaitan dengan Pemilukada, diantaranya revisi terhadap Undang- Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi.....(Eka N. A. M. Sihombing, SH, M.Hum dan Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini perlu segera dilakukan untuk menghindari potensi permasalahan konstitusionalitas penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pemilukada. Daftar Pustaka Brian Z. Tamanaba, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004. Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etik Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26 April 2010. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971. Jimly Asshiddiqe, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Pergeseran keseimbangan antara Individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Otonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Cetakan ke1, Jakatta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. John Locke, Two Treaties of Civil Government, London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960. Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma. Jaya, 1998. Marjanne Termorshutzen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1989. Mohd. Mahfud MD., Dasar dan Stmktur Ketatanegaraan Indonesia, Bandung: Rieneke Cipta, 2001. Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003. Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950. Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. _______________, Konsolidasi Naskah UUD'45 Setelah Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II. Jakarta : Yasrif Watampone, 2003. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 edition, London: The English Language Book Society, 1976. _______________, Demokrasi dan Nomokrasi : Prasyarat Menuju Indonesia Baru, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan ke- 4, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Suharizal, Pemilukada; Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Jakarta: Rajawali Press, 2011. _______________, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006. _______________, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, http://news.detik.com/read/2014/05/20/085452 /2586676/10/hapus-kewenangan-adilisengketa-pilkada-mk-tidak-konsisten, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379 f071d5173/mk-hapus-kewenangansengketa-pemilukada, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. 219 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 213 - 220 LANDASAN HUKUM PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DAERAH: ANTARA ADA DAN TIADA (LEGAL BASIS ON LOCAL OWNED ENTERPRISE MANAGEMENT: BETWEEN EXISTING AND NOT) Khopiatuziadah Perancang Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI Jl Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia Email: [email protected] (Naskah diterima 29/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Landasan hukum bagi beroperasinya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut Undang-Undang tersebut dengan syarat terdapat pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan hukum pengelolaan BUMD karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana ini baru dapat diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kata Kunci: perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah. Abstract Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 of 1962 on Regional Enterprise. Until now, there is no amandment yet towards this law that passed during guided democracy regim. In fact, Law number 6 of 1969 which revoked such law with the condition of amandment and replacement for ROE regulation. The lack of legal basis of ROE management is a result of Law Number 5 of 1962. It is not in accordance with the political developments and the dynamics of the current legislation. This fact is fully realized by the Government and the House of Representatives as the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the National Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However it can be created recently at the end of the period of 2014. It is actually not an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding ROE into the amandemnt of Law Number 32 of 2004 on Local Government. Keywords: Local company, local owned enterprises, local government. A. Pendahuluan Pengaturan tentang perusahaan daerah yang sering disebut sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (UU tentang Perusahaan Daerah). UU tentang Perusahaan Dearah ini kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2901) yang mencabut beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undangundang yang materi muatannya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi politik dan hukum itu. 220 Namun demikian, ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang baru yang mengatur mengenai perusahaan daerah. Pada kenyataannya sampai sekarang belum dibentuk undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962. Kondisi ini menimbulkan permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah karena dasar hukum yang sekarang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang secara substansial sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Berbagai undang-undang yang terkait dengan pengelolaan perusahaan 221 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 daerah, terutama undang-undang sektoral, telah mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini menyebabkan materi muatan dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah menjadi tidak ”up to date”dan tidak sesuai lagi dengan undangundang terkait lainnya. Ketertinggalan ini kemudian dalam praktiknya membuat pengelolaan perusahaan daerah menjadi tidak satu irama karena perusahaan daerah yang berbentuk perseroan mengacu dan tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah yang dijadikan rujukan pengelolaan secara Bussines Life Corporation. Sedangkan Perusahaan Daerah yang tidak berbentuk perseroan terbatas merujuk pada Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah setempat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memiliki keterkaitan langsung telah mengalami banyak perubahan semenjak tahun 1965. Bahkan saat ini undang-undang tersebut tengah dalam proses perubahan di lembaga legislatif. Beberapa undangundang terkait juga telah mengalami perkembangan yang secara filosofis, yuridis dan terutama sosiologis mengalami perubahan pengaturan sesuai dengan kondisi politik hukum dan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat hari ini, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Udang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini mencoba mengkaji dan menganalisis: a. b. apakah landasan yuridis bagi pengelolaan BUMD, yakni ketentuan Undang-Undang Perusahaan Daerah masih relevan bagi pengelolaan perusahaan daerah saat ini? bagaimana sinkronisasi pengaturan pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan terkait? c. Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah) bagaimana solusi menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan BUMD tersebut? demokrasi, transparansi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini ditujukan guna mendapatkan jawaban atas permasalahan sebelumnya yakni mendapatkan pengetahuan mengenai: Tercapainya kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan di segala bidang yang sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kerangka itulah setiap potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat terutama di daerah yang bersangkutan. Pengaturan terhadap berbagai potensi daerah yang dinilai dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat tentunya perlu diatur secara komprehensif sehingga dapat memaksimalkan tujuan yang hendak dicapai dan meminimalisir efek-efek negatif yang mungkin timbul. a. relevansi ketentuan dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah bagi pengelolaan BUMD saat ini b. sinkronisasi pengaturan pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan terkait c. solusi yang dapat ditawarkan menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan BUMD Guna mencapai tujuan penulisan maka penulis melakukan kajian secara yuridis normatif terhadap berbagai literatur terkait pengelolaan perusahaan daerah, baik melalui kajian terhadap berbagai ketentuan peraturan perundangundangan terkait maupun literatur pendukung lainnya termasuk Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (RUU tentang Pemerintah Daerah) yang saat ini tengah dalam proses pembahasan tingkat I di DPR. Dalam kajian tersebut, penulis juga menganalis data-data dari berbagai literatur dengan kondisi empiris pengelolaan perusahaan daerah saat ini, guna menemukan solusi bagi permasalahan yang telah diidentikasi pada bagian sebelumnya. B. Pembahasan B.1. Kerangka Konseptual Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama Pasal 18 ayat (1) dan (2), Daerah memiliki hak dan kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah dan mengelola kekayaan daerah. Daerah memiliki kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan mengoptimalkan segala potensi dari sumber daya yang dimiliki guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan, pemberdayaan, serta peningkatan daya saing daerah melalui pembangunan perekonomian dengan memperhatikan prinsip Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada setiap daerah. Otonomi yang bertanggung jawab merupakan perwujudan pertanggungjawaban atas konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan kepada Kepala Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi dan pemerataan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Pelaksanaan otonomi daerah tentu saja mempengaruhi pola keuangan daerah, pendapatan daerah yang sebelumnya lebih banyak dikirim ke Pemerintah Pusat, kini porsinya lebih banyak masuk ke kas daerah. Namun sebaliknya, kondisi ini juga berdampak terhadap pendapatan daerah yang memiliki sumber daya minim, yang selama ini biaya pembangunannya disubsidi oleh pemerintah pusat. Dalam hubungan ini, sebagai sumbersumber penerimaan daerah keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi tersebut adalah: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d) Lain-lain Penerimaan yang sah. Sedangkan PAD tersebut bersumber dari: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan (d) lain lain PAD yang sah.1 1 222 Pada dasarnya, setiap pemerintah daerah mempunyai potensi ekonomi tersendiri, salah satunya adalah Perusahaan Daerah atau BUMD yang keberadaannya saat ini masih dipandang sebelah mata, yang kadang-kadang malah dianggap sebagai beban bagi Pemerintah Daerah. Keberadaan badan usaha yang mengelola kekayaan daerah sebagai salah satu penggerak pembangunan ekonomi Daerah belum memberikan sumbangan yang optimal bagi peningkatan pendapatan daerah pada khususnya dan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, penyelenggaraan pembangunan perekonomian di daerah perlu merestrukturisasi berbagai badan usaha yang ada sehingga mampu menjadi salah satu pelaku utama kegiatan perekonomian daerah melalui pengurusan, pelaporan dan pengawasan yang profesional dan berdasarkan demokrasi ekonomi. Hal ini mengingat daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari Pemerintah pusat merupakan salah satu isu strategis dari pelaksanaan otonomi daerah dan sebagai wujud kemandirian daerah dari segi pembiayaan pembangunan. Visi serta misi dan fungsi sosial dari BUMD sendiri terkandung dalam Pasal 33 UUDNRI Tahun 1945 yang dinyatakan sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, BUMD dituntut agar dapat menggali potensi daerah dengan tujuan mendulang profit yang sebesar-besarnya dan menyejahterahkan masyarakat daerah dengan menempatkan manajemen BUMD yang professional, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas. Mengingat dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD di Daerah maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya ke arah itu telah banyak dilakukan, namum karena berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya, khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 223 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 hasil yang belum menggembirakan. Hal ini tampak, antara lain, relatif masih kecilnya peran dan kontribusi laba BUMD dalam penerimaan PAD di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota (lihat Gambar 1).2 BPD = 26 (2,58%) tersebar pada 3503 Jaringan Kantor BPR = 174 (17,28%) PDAM = 383 (38,03%) PD Lainnya = 424 (42,11%) Gambar 1 Komposisi bentuk BUMD dari Jumlah Total BUMD sejak tahun Maret 2011 Sumber data: BPKP 2012 Berdasarkan diagram yang bersumber dari Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri, kontribusi dari laba BUMD atau hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan masih merupakan sumbangan terkecil dalam komposisi PAD dari 535 Kabupaten/Kota di 2014 (lihat Gambar 2). KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM APBD *Data terinput 535 Daerah dari 539 TA. 2014 Prov/Kab/Kota Komposisi PAD Provinsi, Kabupaten/Kota TA 2014 Komposisi PAD Provinsi TA 2014 Gambar 2 Komposisi Pendapatan Asli Daerah dalam APBD Tahun Anggaran 2014 Sumber data: BPKP 2012 Secara umum, profil BUMD di Indonesia digambarkan belum mampu memberikan kontribusi ke PAD pada sejumlah daerah karena merugi, bahkan beberapa daerah tidak memiliki BUMD. Peranan BUMD bagi pemerintah daerah tingkat provinsi masih kecil. Provinsi masih bertumpu pada pajak daerah dan retribusi. Prestasi yang mampu dicatat oleh BUMD-BUMD di seluruh Indonesia memang relatif ketinggalan dibandingkan dengan BUMN yang sama-sama dimiliki oleh pemerintah. Dampak dari diberlakukannya UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan pemerintah daerah antara lain bahwa pemerintah daerah harus lebih bersikap profesional dalam pengelolaan daerahnya mengingat setiap daerah harus mampu menghidupi kebutuhan daerahnya sendiri dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya sehingga perlu adanya identifikasi bentuk organisasi BUMD yang sesuai dengan otonomi daerah. BUMD diharapkan menjadi salah satu dari sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan menjadi salah satu profit center bagi pemerintah daerah dan keberadaannya sebagai jantung bagi penggerak kegiatan di segala sektor yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Secara sosiologis, pentingnya pengaturan yang memadai guna mengatur dan merustrukturisasi BUMD terlihat dari banyaknya persoalaan yang muncul di berbagai daerah seputar BUMD. Persoalan ini sudah tidak dapat diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Kondisi dari mayoritas badan usaha saat ini yang dimiliki oleh daerah atau selama ini disebut sebagai perusahaan daerah setidaknya menunjukkan adanya pengelolaan yang kurang efektif. Persoalan yang sering menjadi kendala antara lain terkait sumber daya manusia, managerial, modal dan pengawasan. Secara garis besar permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikelompokkan pada beberapa hal yaitu: Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi secara tidak efisien. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh tidak profesionalnya pengelola dan pengelolaan BUMD sehingga banyak kebijakan managerial yang diputuskan secara tidak professional seperti dalam hal investasi baru atau penentuan tarif sehingga terjadi pemborosan dana. Inefesiensi BUMD juga disebabkan oleh ketertinggalan pemanfaatan tekonologi. Penggunaan mesin-mesin peninggalan kolonial misalnya, justru menjadi beban bagi perusahaan daripada meningkatkan produktifitas, mengingat Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah) beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh.3 Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis merupakan penghambat kemajuan BUMD. Keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusankeputusan konvensional lainnya harus melalui proses birokrasi dan perizinan kepada pemerintah yang bisa dipastikan memakan waktu dan pada akhirnya mengganggu gerak perusahaan.4 Dari aspek governance, misalnya, BUMD juga masih diperlakukan sama dengan institusi pemerintah. Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah. Implikasinya, berbagai kewajiban yang melekat pada pemerintah, melekat pula pada BUMD. Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti ketentuan pengadaan barang yang diberlakukan di pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena BUMD adalah perusahaan.5 Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Kinerja pengawasan inipun seringkali menjadi kendala karena unsur yang berada dalam badan pengawasan adalah pejabat daerah yang tidak dapat bekerja secara penuh untuk mengawasi dan mengendalikan perkembangan BUMD tersebut.6 Keempat, permodalan. BUMD juga menghadapi masalah minimnya permodalan akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah. Ironisnya, Pemerintah daerah yang memiliki perhatian lebih terhadap aspek permodalan pun masih harus menghadapi ganjalan politik dari pihak legislatif, sehingga proses penguatan permodalan BUMD menjadi tidak efisien. Setiap penyertaan modal harus dilakukan melalui Peraturan Daerah. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan: “Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah 224 Pada hakikatnya ketentuan di atas sejalan dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan “Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu pada Undang-Undang ini, memang sudah tepat bila setiap penyertaan modal Pemerintah daerah ke BUMD harus melalui Peraturan Daerah (yang berarti harus mendapat persetujuan DPRD). Namun terkadang ketentuan ini diinterpretasikan secara berlebihan karena penyertaan modalnya harus diatur secara tersendiri dalam satu Perda khusus, sehingga tidak efisien. Padahal, jika dianalogikan, praktik penyertaan modal oleh pemerintah pusat di BUMN, tidak harus melalui mekanisme persetujuan tersendiri oleh DPR (atau tidak melalui Undang-Undang tersendiri). Praktek di tingkat pusat, setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara bersama-sama dalam setiap pembahasan mengenai Undang-Undang tentang APBN, tidak dengan UU tersendiri. Setelah Undang-Undang tentang APBN disahkan, mekanisme penyertaan modal pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui peraturan pemerintah yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.7 Selain beberapa permasalahan managerial di atas, terdapat masalah klasik yang membelenggu kinerja sebagian BUMD, prinsip dasar peranan dan fungsi BUMD yang mengharuskan badan usaha menjalankan fungsi “public service obligation” sekaligus dengan fungsi “profit gained”. Pada praktiknya dualisme fungsi dan peranan ini merupakan kondisi yang sulit untuk diterapkan. Dilema inilah yang kemudian menjadi persoalan bagi sebagian besar BUMD, terutama BUMD yang bergerak di bidang yang terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat dan ditekankan untuk menjadi perusahaan yang melayani publik. Sementara itu, secara managerial dan permodalan BUMD ini membutuhkan status sebagai perusahaan terbuka karena harus bersaing dengan perusahaan sejenis milik swasta. Sebagai contoh, PDAM yang mengalami kesulitan dengan peran “public service company” sementara perusahaan yang bergerak di 3 Eko Yulianto, “BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah” http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html Yogyakarta, 4 ibid 5 Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum'at, 13 Maret 2009. 2 Rustian Kamaluddin, “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun 2001 tentang penyertaan modal daerah berkenaan”. 6 Eko Yulianto, Loc. Cit. 7 Sunarsip, Loc Cit. 5 Juni 2000, diunduh dari 225 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 bidang yang sama terus bergerak dengan tanpa ada beban kewajiban peayanan publik semata tetapi dikelola secara profesional dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Yang menarik, ketika ada konsep pembedaan bidang usaha antara perusahaan yang berorientasi pada profit dan perusahaan yang melayani kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana konsep yang tersirat dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Hal ini memunculkan wacana untuk mengkaji ulang barang atau benda mana yang dikategorikan sebagai barang publik atau barang privat. Namun demikian, dalam pendirian suatu BUMD, penting juga untuk memperhatikan multiflier efek yang dihasilkan dalam memenuhi kebutuhan rakyat banyak sebagai penjewatahan Pasal 33 UUD 1945, maka perusahaan yang bergerak di bidang listrik, air minum, dan kebutuhan masyarakat banyak, haruslah menjadi perhatian yang serius dari pemerintah.8 Seperti air minum, pada 5 tahun mendatang akan menjadi kebutuhan utama pada kota-kota besar. Pada praktiknya, PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan sekaligus sumber dana pembangunan daerah. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut justru menjadi distortif karena kesulitan untuk tetap menjalankan fungsi service padahal perlu menyesuaikan perkembangan biaya produksi. Pemerintah daerah sebagai pemilik perusahaan yang berkewajiban membina dan mengawasi terkadang cenderung eksploitatif dan menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah tanpa menghiraukan apakah perusahaan untung atau rugi. Dalam berbagai survei penilaian perusahaan misalnya dari sisi best brand, customer satisfaction, service excellent, good corporate governance, hampir tidak pernah dijumpai perusahaan-perusahaan milik daerah bisa menembus daftar 10 besar. Sementara itu, banyak BUMN-BUMN yang dahulu sering dianggap dikelola dengan tidak profesional, dalam beberapa tahun terakhir ini mampu menunjukkan kinerja positif dan berada pada urutan puncak. Dalam hal penerapan praktik pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), selain Bank Pembangunan Daerah, BUMD umumnya relatif ketinggalan.9 Padahal perusahaan yang mempunyai GCG yang baik akan mempunyai kinerja yang lebih baik. Sejalan dengan gambaran di atas, terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) lemahnya kemampuan manajemen perusahaan; (2) lemahnya kemampuan modal usaha; (3) kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis; (4) lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing; (5) kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industri hulu maupun hilir; (6) kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki, sehingga rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil produksi; (7) besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah; dan (8) masih dipertahankannya BUMD yang merugi, dengan alasan menghindarkan PHK dan “kewajiban” pemberian pelayanan umum bagi masyarakat; (9) adanya berbagai kendala lain dalam pembinaan dan pengembangan usaha BUMD diantaranya adanya campur tangan pemerintah daerah yang cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya keterbatasan kewenangan tertentu dalam operasionalisasi perusahaan.10 Adapun berdasarkan studi literatur dari BUMD di berbagai negara, beberapa hal yang perlu diperhatikan guna perbaikan kondisi BUMD antaralain terkait pengaturan mekanisme kepemilikan BUMD, pengaturan untuk mengurangi korupsi dan intervensi oleh Pemerintah Daerah, ketentuan sumber pemodalan BUMD dan pengelolaan utang BUMD, ketentuan tentang sistem peningkatan kompetensi SDM BUMD, dan dukungan kerjasama dengan pihak ketiga. Pada intinya BUMD harus beroperasi dengan dasar hukum yang jelas dan didukung oleh mekanisme penegakannya sehingga dibutuhkan suatu prosedur operasi standar efisien. 1. Kajian terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 dan Sinkronisasinya dengan Undang-Undang Terkait. a. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah Hal-hal yang diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah di antaranya 8 Yusrizal Andayani, “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005 9 Tirmidzi Taridi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008 10 Rustian Kamaludin, Op cit., hal-8 226 Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah) mengenai sifat, tujuan dan lapangan usaha BUMD, Pengawasan BUMD, Kepemilikan BUMD mengingat perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh era globalisasi maka undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi nasional. Sebagaimana disadari kondisi saat itu yang masih berada dalam semangat demokrasi/ekonomi terpimpin., perekonomian daerah belum terbangun dengan baik, penyediaan jasa kepentingan umum bagi masyarakat di daerah belum terselenggara dengan baik, dan persaingan dunia usaha belum berkembang karena terbatasnya jumlah pelaku pasar.11 Mengingat perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh era globalisasi maka undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian saat ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD dan justru membuka celah salah kelola dan penyimpangan. Ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 yang dianggap perlu dievaluasi antara lain: a) dasar dan tatacara pendirian BUMD; b) bentuk BUMD yang memaksimalkan profit dan yang memaksimalkan pelayanan publik; c) kerjasama dengan pihak ketiga; d) mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD; e) pengangkatan dan kewenangan direksi; f) perencanaan jangka panjang dan pendek perusahaan; g) pertanggungjawaban pengawasan BUMD; h) kepegawaian; dan i) kebijakan manajemen peningkatan kinerja BUMD: restrukturisasi dan lain-lain. dan Pengaturan mengenai materi tersebut sudah tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi nasional yang semakin berkembang di tambah dengan arus globalisasi yang menuntut setiap daerah untuk dapat bersaing. Dengan kondisi seperti ini pengaturan mengenai BUMD harus ada pijakan hukum oleh karena itu Undang-Undang BUMD nantinya di bentuk untuk memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum bagi BUMD. b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1969 Undang-Undang ini mengatur mengenai pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tetapi dalam salah satu pasalnya di sebutkan bahwa selama belum ada undang-undang pengganti mengenai perusahaan daerah maka undang-undang yang lama masih berlaku. Melihat kondisi ekonomi yang berkembang, Udang-Undang Nomor 5 tahun 1962 sudah tidak dapat lagi mengakomodasi perkembanganperkembangan tersebut maka sangat dibutuhkan undang-undang baru yang mengatur perusahaan daerah. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Mengenai ketentuan yang berkaitan dengan APBD, pengelolaan barang milik daerah, pengguna barang milik daerah, pengelola Investasi Pemerintah Daerah dan persetujuan pemindahtanganan barang milik daerah dalam BUMD mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pendekatan yang di gunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat 11 Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, Bahan Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam Diskusi Dengan Bagian Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Setjen Dpr Ri, 21 Juli 2014 227 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau di kuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah. e. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Mengingat BUMD merupakan badan usaha yang serupa dengan BUMN, maka pengaturan mengenai BUMD banyak mengacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Prinsip-prinsip pengaturan yang paling signifikan adalah penerapan Good Coorporate Governance dalam pengelolaan BUMD sebagaimana yang telah berjalan di BUMN. Selain itu pembagian dua bentuk BUMD sesuai titik berat fungsi yang diemban BUMD sebagai public service oriented dan provit oriented, yakni berbentuk Perusahaan Daerah (Perusda) yang dianalogikan dengan Perusahaan Umum (Perum) di BUMN dan Perseroan Daerah (Perseroda) sebagaimana Persero (PT) di lingkungan BUMN. f. Bentuk BUMD terdiri dari perusahaan daerah dan persero daerah (Perseroda), Pengaturan mengenai Perseroda mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas baik dari segi pembentukan, kepengurusan, dan pembubarannya. g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah 228 yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pendanaan penyelenggaraan pemerintah agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD. Dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan penghasilan daerah dengan menggali potensi daerah yang ada. Salah satunya dengan dibentuknya BUMD untuk memanfaatkan sumber daya di daerah yang hasilnya diharapkan dapat meningkatkan PAD dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas h. Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan Pendapatan asli Daerah merupakan pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang memberi keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi BUMD merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah dapat dikembangkan dengan memperhatikan potensi sumber daya yang ada di daerah. Dengan pengelolaan yang baik dan efisien diharapkan BUMD dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. 2. Solusi bagi Ketidakjelasan Landasan Hukum Pengelolaan BUMD Berdasarkan pada kajian dan evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dan sinkronisasinya dengan berbagai undangundang terkait, maka kita dapat melihat adanya kebutuhan hukum untuk mengganti UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962. Secara filosofis, sosiologis, dan yuridis tampak adanya urgensi untuk membuat pengaturan yang baru terkait pengelolaan BUMD yang sesuai dengan konteks kekinian, baik dari sisi hukum maupun sisi praktik empiris. Dari sisi substansi, dalam rangka revitalisasi BUMD, perlu adanya redefinisi BUMD agar menjadi perusahaan yang mendukung perekonomian daerah. Dalam hal ini, definisi yang paling mencakup adalah definisi yang sejalan dengan pengertian BUMN. Selain itu, perlu peningkatan daya saing berfokus pada peluang pasar dan mekanisme pasar, peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah yang terkait, peningkatan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan, penetapan peraturan yang mendukung kegiatan operasional BUMD serta optimalisasi Badan Pengawas. Wacana penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dengan sebuah undangundang baru telah lama dikembangkan. Pada Prolegnas Jangka Panjang tahun 2005-2009, wacana ini diwujudkan dengan masuknya RUU tentang Perubahan/Penggantian atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 dalam daftar dengan nomor urut 128. Deputi Perundangundangan Sekretariat Jenderal DPR RI bahkan telah menyusun draft awal naskah akademik dan rancangan undang-undangnya, namun ternyata RUU ini tidak tersentuh sama sekali. Pada periode keanggotaan DPR tahun 2010-1014, RUU ini kembali masuk dalam daftar panjang Prolegnas tahun 2010-2014 di nomor urut 55, dengan judul RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah yang ditetapkan akan diinisiasi oleh Pemerintah. Menjelang akhir masa keanggotaan DPR tahun 2010-2014, dengan beberapa alasan kemudian Pemerintah memasukkan substansi RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah ke dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi muatan mengenai BUMD dimasukkan ke dalam satu bab khusus. Berdasarkan perkembangan terakhir, Pada masa sidang III lalu RUU ini tengah dalam masa pembahasan tingkat I di DPR di tingkat pembahasan tim perumus. Beberapa materi muatan pokok dalam Bab XI Tentang BUMD dalam RUU RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah meliputi:12 a. Pendirian dan tujuan pendirian BUMD Daerah dapat mendirikan BUMD, yang pendiriannya ditetapkan dengan Perda dan didasarkan pada: 12 Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014. 229 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 1). kebutuhan daerah; dan 2). kelayakan bidang usaha BUMD yang akan dibentuk. Pendirian BUMD bertujuan untuk: 1). m e m b e r i k a n m a n f a a t b a g i perkembangan perekonomian daerah pada umumnya; 2). menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan 3). m e m p e r o l e h keuntungan. b. laba dan/atau Sumber Modal BUMD Sumber Modal BUMD terdiri atas: 1). penyertaan modal daerah; 2). pinjaman; 3). hibah; 4). sumber lainnya, seperti: kapitalisasi cadangan; keuntungan revaluasi aset; dan agio saham. c. Bentuk BUMD BUMD terdiri atas perusahaan umum daerah dan perusahaan perseroan daerah. 1). Perusahaan Umum Daerah Perusahaan umum daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham. Dalam hal perusahaan umum daerah akan dimiliki oleh lebih dari satu Daerah, perusahaan umum daerah tersebut harus merubah bentuk hukum menjadi perusahaan perseroan daerah. Perusahaan umum daerah dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain. Laba perusahaan umum daerah ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundangundangan. Laba perusahaan umum 230 Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.....(Khopiatuziadah) daerah yang menjadi hak daerah disetor ke kas daerah setelah disahkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal. Laba perusahaan umum daerah dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal dan dapat digunakan untuk keperluan investasi kembali (reinvestment) berupa penambahan, peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan non fisik serta untuk peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar dan usaha perintisan. Perusahaan umum daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional. Perusahaan umum daerah dapat dibubarkan dan ditetapkan dengan Perda. Kekayaan perusahaan umum daerah yang telah dibubarkan dan menjadi hak daerah dikembalikan kepada Daerah. 2). Perusahaan Perseroan Daerah Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu daerah yang ditetapkan dengan Perda. Adapun pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan daerah terdiri atas beberapa daerah dan bukan daerah, salah satu daerah merupakan pemegang saham mayoritas. Dalam hal terjadi pengurangan porsi kepemilikan saham oleh daerah yang memiliki saham mayoritas sehingga tidak ada satu daerah yang memiliki saham mayoritas, perusahaan perseroan daerah menjadi perseroan terbatas. Perusahaan perseroan daerah dapat membentuk anak perusahaan dan atau memiliki saham pada perusahaan lain didasarkan atas analisis kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen. Perusahaan perseroan daerah dapat dibubarkan dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kekayaan daerah hasil pembubaran perusahaan perseroan daerah yang menjadi hak daerah dikembalikan kepada daerah. d. Pengelolaan BUMD Pengelolaan BUMD paling kurang harus memenuhi unsur: 1) tata cara penyertaan modal; 2) organ dan kepegawaian; 3) tata cara evaluasi; 4) tata kelola perusahaan yang baik; 5) perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan; 6) kerjasama; 7) penggunaan laba; 8) penugasan Pemerintah Pusat; 9) pinjaman; 10) satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya; 11) penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi; 12) perubahan bentuk hukum; 13) kepailitan; dan 14) penggabungan, pengambilalihan. peleburan, dan Kepala daerah dan/atau direksi BUMD dilarang membuat kebijakan yang merugikan BUMD. RUU ini juga mengamanatkan pencabutan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan menyatakan ketidakberlakuannya. Untuk peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut selama tidak bertentangan dengan ketentuan dalam RUU yang baru, maka dinyatakan tetap berlaku. C. Penutup Berdasarkan kajian pada bagian pembahasan, penulis melihat bahwa ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan BUMD akibat tidak mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah sudah disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode (2004-2009 dan 2010-2014). Namun baru pada akhir periode 2014 ini wacana ini diwujudkan, pun bukan dalam bentuk perubahan atau penggantian undangundang, namun hanya menyisipkan materi pengaturan tentang BUMD dalam satu bab khusus dari RUU tentang Perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi yang diatur dalam Bab tersebut tidak secara komprehensif mengatur dan menggantikan materi muatan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Pengaturan secara lebih dlanjut didelegasikan ke dalam Peraturan Pemerintah. Tentu saja terdapat kekurangan dan kelebihan dari solusi yang dijalankan oleh pembentuk undang-undang saat ini. Dengan waktu yang sudah tidak memadai lagi, akan sulit jika mencoba membentuk RUU penggantian atau perubahan secara keseluruhan. Proses pembentukan undang-undang yang relatif tidak pendek, tidak memungkinkan pembentukan RUU tersebut pada periode keanggotaan saat ini. Namun dari sisi substansi, dengan materi pengaturan yang hanya memuat garis besar pengaturan dan memberikan delegasi kepada peraturan pemerintah untuk pengaturan lebih lanjut maka dikhawatirkan akan ada materi yang tidak atau belum terakomodir. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan bahwa peraturan pemerintah pelaksana dari ketentuan mengenai BUMD harus dapat mengakomodir berbagai hal yang belum terangkum dalam RUU sehingga tidak terjadi kekosongan pengaturan. Hal yang lebih penting adalah menyegerakan pembentukan peraturan pemerintah yang dimaksud setelah RUU disahkan menjadi undang-undang. 231 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 221 - 232 Daftar Pustaka “Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah,” Bahan Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam Diskusi Dengan Bagian Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Setjen DPR RI, 21 Juli 2014 Andayani, Yusrizal., “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005 Kamaluddin, Rustian., “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun 2001 Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum'at, 13 Maret 2009. Taridi, Tirmidzi., “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008 Yulianto, Eko., “ BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000, diunduh dari PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA (ZEE) Peraturan Perundang-undangan (LAW ENFORCEMENT SYSTEM IN THE FIELD OF FISHERIES IN INDONESIAN EXCLUSIVE ECONOMIC ZONE) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Eka Martiana Wulansari Bagian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia Email : [email protected] (Naskah diterima 20/08/2014, direvisi 03/10/2014, disetujui 07/10/2014) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014. Abstrak Penegakan hukum di bidang perikanan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari penegakan hukum di perairan atau laut. Penegakan hukum di perairan atau laut sendiri secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparaturnya berdasarkan kedaulatan negara dan/atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang bertujuan agar peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan atau ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum, dan dengan demikian dapat tercipta tertib hukum nasional maupun tertib hukum internasional. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Internasional, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tentang penegakan hukum dalam bidang perikanan di Indonesia merupakan kebijakan yang dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dan keikutsertaan masyarakat yang dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan tersebut, mulai dari perumusan, pelaksanaan sampai dengan penilaian kebijakan. Hal ini sejalan dengan kaidah internasional tentang perlunya pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries dari FAO, Tahun 1995). Kata kunci: Penegakan Hukum di Bidang Perikanan Abstract Law enforcement in the fisheries sector is basically one part of law enforcement in the water or sea. Law enforcement in the water or ocean is generally defined as an activity or a state apparatus based on the sovereignty of the state and/or under the provisions of international law that aims to applicable legislation in the sea either national legislation or the rules of international law can be respected or obeyed by any person or legal entity, including the state as a legal subject, and thus can create a national legal order and the international legal order. Sovereignty and law enforcement in Indonesian water, air space, seabed and subsoil thereof, including the natural resources contained therein as well as sanctions for the offense, carried out in accordance with the provisions of the Convention on International Law, and the legislation in force. The regulation of law enforcement in the field of fisheries in Indonesia is a policy that is created with the aim to solve the problem or achieve the desired goals of society by involving the community and community participation can influence the overall policy process, starting from the formulation, implementation to policy assessment. This is in line with international rules on the need for responsible fisheries management (Code of Conduct for Responsible Fisheries of FAO, 1995). Keywords: Law Enforcement in the Field of Fisheries A. Pendahuluan Sumber perikanan merupakan sumber kekayaan alam hayati yang mempunyai kemampuan memperbaharui diri sehingga sumber perikanan dapat secara terus menerus dikembangkan dan hasilnya dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Sumber perikanan ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Pengelolaan sumber perikanan melalui pembatasan konsumsi ikan harus dilakukan dengan cara yang bijaksana. Tujuannya adalah agar dapat memberikan keuntungan bagi kesejahteraan umat manusia, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang, sehingga kebutuhan manusia akan makanan dapat selalu terpenuhi.1 Perikanan 1 Douglas M. Jhonston, The Internasional Law of Fisheries, Aframework for Policy-Oriented inquiries, Martinus Nijhoff Piblishers Dordrecht, 1986, hlm. 3 232 233 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 dalam hal pengaturan, penangkapan, pemrosesan, penjualan persediaan perikanan dan budidaya perairan atau budidaya ikan merupakan sumber makanan, pekerjaan, pemasukan dan rekreasi yang penting bagi semua orang di dunia. Jutaan orang bergantung pada perikanan untuk kehidupan mereka. Semua pihak yang terkait dalam perikanan harus membantu melestarikan dan mengatur perikanan dunia. Ikan merupakan shared stocks yang tidak dapat dicegah perpindahannya dari satu wilayah ke wilayah yang lainya. Perpindahan ini tidak menjadi masalah jika masih terjadi di dalam satu wilayah negara, akan tetapi jika perairan yang dijelajahi melintasi wilayah beberapa negara, maka pemanfaatan dan pengelolaan ikan tidak dapat hanya diserahkan kepada satu negara tertentu, tetapi harus melibatkan negara-negara yang berkepentingan, khususnya jika penangkapan ikan tersebut dilakukan di perairan yang terletak di luar wilayah negara.2 Praktek penangkapan spesies ikan yang berlebihan dari populasi atau jumlahnya, merupakan masalah yang masih berlangsung. Konsekuensi ekonomi dari penangkapan yang berlebihan meliputi overkapitalisasi oleh nelayan sehingga ikan menjadi langka, kenaikan biaya produksi dan harga pasar. Solusi untuk penangkapan ikan yang berlebihan yaitu dengan berusaha untuk membatasi hasil dan jumlah ikan yang ditangkap ke tingkat yang berkelanjutan. Setiap nelayan masih akan mendapatkan keuntungan dari menangkap ikan sampai biaya produksi sama dengan harga pasar.3 Penangkapan ikan berlebihan juga menyebabkan banyak konsekuensi biologis. Sebagai spesies yang terhubung melalui rantai makanan, terdapat efek signifikan dari penangkapan yang berlebihan. Penghapusan atau pengurangan spesies ikan akan mengakibatkan penurunan populasi spesies dan menghapuskan spesies yang lebih kecil.4 Pembagian jumlah tangkapan ikan (catch shares) adalah proporsi/jumlah spesifik yang diperbolehkan dalam penangkapan ikan dan berlaku bagi individu yang selanjutnya bebas memperdagangkannya kembali. Strategi pembagian jumlah tangkapan ikan dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan ekonomi yang lebih besar di industri perikanan, khususnya pada level domestik. Namun dampaknya bagi kesamarataan pendapatan dan kontribusinya terhadap konservasi lingkungan semakin dipertanyakan. Pada akhirnya, strategi pembagian jumlah tangkapan ikan memerlukan penegakan hukum yang efektif, yang sulit dilaksanakan secara institusional maupun praktik di sektor perikanan dunia internasional. Umumnya pembagian jumlah tangkapan ikan bukanlah jalur yang dapat menjamin peningkatan pengelolaan sektor perikanan internasional. Strategi seperti ini justru dapat mengalihkan langkah-langkah penting bagi masyarakat internasional dalam meningkatkan upaya konservasi sumber daya laut secara global.5 Di samping potensi laut yang dimiliki, berbagai masalah juga terdapat dalam bidang kelautan, antara lain adanya pencemaran laut, gejala penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir, pencurian ikan, pembuangan limbah secara illegal dan illegal fishing. Illegal Fishing tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan nelayan Indonesia, iklim industri, dan usaha perikanan nasional. Dilihat dari sisi kepentingan nelayan dan pengusaha, illegal fishing mengancam potensi ketersediaan ikan, menyebabkan terjadinya penurunan stock ikan secara besar-besaran. Dari sisi kepentingan industri dan pengusahaan perikanan, illegal fishing menimbulkan iklim persaingan usaha dan industri di bidang perikanan menjadi tidak sehat, citra perikanan nasional terpuruk dan kemungkinan Indonesia akan menghadapi ancaman embargo dari negara-negara pengimpor produk ikan asal Indonesia.6 Permasalahan yang mengakibatkan maraknya aktifitas illegal fishing adalah: (1) rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan, tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini; (2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan di laut, (3) lemahnya kemampuan Sumber Daya Manusia nelayan Indonesia, dan 2 Melda Kamil Ariadno, Ketentuan Hukum Internasional tentang Perikanman, dalam buku yang berjudul: Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Penerbit: Diadit Media, April 2007, hlm. 119 3 Ibid., 4 Ibid., Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi atau broker, (4) masih lemahnya penegakan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.7 Selain itu, selama ini banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal asing. Pelanggaranpelanggaran tersebut antara lain: pelanggaran daerah penangkapan ikan dan pelanggaran yuridiksi oleh kapal kapal penagkap ikan asing; kegiatan penangkapan ikan tampa izin atau masa berlakunya sudah habis; manipulasi surat izin penangkapan ikan dan/atau surat izin kapal penangkapan ikan; penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan ijin dan/atau penggunaan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan. Banyak kapal-kapal nelayan asing, baik yang berizin maupun yang tidak berizin (antara lain dari jepang, korea, vietnam, philiphina dan taiwan), beroperasi di perairan ZEE yang kaya akan berjenis-jenis ikan. Tindakan kapal-kapal nelayan asing yang tidak berizin, jelas mengakibatkan kerugian bagi Indonesia karena sebagian sumber perikananya dimanfaatkan oleh para nelayan asing tersebut.8 6 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI, hlm.1 234 Tragedi Kepemilikan Bersama (tragedy of the common) adalah suatu pandangan tentang keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi daripada membagibagikannya kepada manusia lain dan masingmasing mendapat jatah sedikit. Pandangan seperti ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumber daya alam, namun B. Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum di Bidang Perikanan B.1. Tragedy of The Commons Sistem kepemilikan sumberdaya laut (marine tenure) merupakan salah satu isu sentral dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut. Jika kita lihat sejarah wacana ini, maka akan ditemukan bahwa popularitas isu ini berawal dari artikel Hardin (1968) yang berjudul 'The Tragedy of the Commons.9 Dalam tulisannya yang diterbitkan dalam jurnal Science, Hardin mengatakan bahwa sumberdaya alam yang bukan merupakan objek kepemilikan atau dia sebut common property (milik umum) yang juga berarti bukan milik siapa-siapa (free for all), cenderung akan mengalami over eksploitasi. Hal ini terjadi karena, terhadap sumberdaya alam tanpa kepemilikan, secara individual orang akan terdorong untuk memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam akan habis dan justru berdampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi manusia lain.11 Indikator umum yang digunakan dalam menilai tingkat kemajuan suatu negara atau wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Idealnya, saat pertumbuhan ekonomi terjadi, lingkungan tetap lestari. Kenyataan yang terjadi sering tidak seimbang. Di saat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kerusakan lingkungan juga tinggi. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi diraih dengan mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengupayakan nilai tambah dan tidak dibarengi dengan investasi sumberdaya manusia. Terjadilah kemudian tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the common). Tragedi kepemilikan bersama merupakan perangkap sosial yang biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang menyangkut konflik antara kepentingan individu dan barang milik umum.12 7 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI, hlm.2 8 Sub-direktorat Pengawasan dan Pengendalian, Direktorat Jenderal Perikanan Kementrian Perikanan Republik Indonesia, Laporan Penelitian: Evaluasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan dalam Rangka Pengembangan dan Pengemdaliannya, 1995, hlm. 18. 9 Ringkasan dari disertasi penulis pada Dept. Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 2002. 10 Ibid., hlm. 20 11 Ibid., 5 Holly Doremus, Why International Catch Shares Won't Save Ocean Biodiversity, Michigan Journal of Environmental & Administrative Law Spring 2013, 2 MIJENVAL 385, 2 Mich. J. Envtl. & Admin. L. 385, Copyright (c) 2013 Michigan Journal of Environmental & Administrative Law; Holly Doremus, hlm. 386 memikirkan akibat buruknya yang akan diderita oleh lingkungan dan manusia-manusia itu secara kelompok. Dengan mengambil contoh padang rumput, Hardin menjelaskan:10 'Adding together the component partial utilities, the rational herdsman concludes that the only sensible course for him to pursue is to add another animal to his herd. And another and another… But that is the conclusion reached by each and every rational herdsman sharing a commons. Therein is the tragedy. Each man is locked into a system that compels him to increase his herd without limit—in a world that is limited. Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons. Freedom in a commons brings ruin to all.' 12 http://kalimantankita.com/ 2009/06. Pertumbuhan Ekonomi Lingkungan dan Tragedi Kepemilikan Bersama. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010. 235 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 Tragedi kepemilikan bersama merupakan metafora yang menggambarkan bahwa akses bebas dan ketidakterbatasan akan sumberdaya alam pada akhirnya akan menyebabkan malapetaka struktural yang tidak terelakkan terhadap sumberdaya tersebut berupa eksploitasi berlebihan (over-exploitation) yang menyebabkan habisnya sumberdaya tersebut. Malapetaka tersebut terjadi karena keuntungan dari ekploitasi hanya dinikmati oleh individu atau kelompok, sedangkan dampak dari eksploitasi akan terdistribusi ke semua orang yang juga memerlukan sumberdaya tersebut. Terjadinya tragedi kepemilikan bersama diakibatkan oleh pemikiran bahwa sumberdaya alam adalah milik semua orang yang telah diciptakan Tuhan YME, sehingga siapa saja dapat memanfaatkannya. Dalam logika sederhana, prinsif ini lebih kurang bermakna ”Kalau tidak saya manfaatkan sekarang, pasti ada orang lain yang juga akan memanfaatkannya”. Konsep ini akhirnya membuat semua penduduk menggunduli hutan di Inggris pada masa revolusi industri dan mengubahnya menjadi padang penggembalaan untuk memelihara domba, karena tingginya permintaan wool dengan harga yang menguntungkan. Akibatnya eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali dan menyebabkan hutan di Inggris mengalami penggundulan dengan sangat cepat dan berdampak buruk pada lingkungan. Tragedi kepemilikan bersama itulah yang tampaknya telah mendorong terjadinya berbagai praktek illegal dalam penggunaan sumberdaya alam seperti illegal logging, illegal mining, bahkan illegal fishing.13 Eksploitasi yang berlebihan dipicu oleh permintaan ikan yang tinggi, karena pertambahan penduduk atau berkurangnya sumber daya di daratan. Timbul dilema antara peningkatan teknologi alat tangkap untuk tujuan meningkatkan produksi hasil tangkap dengan sumberdaya ikan yang semakin habis. Salah satu upaya non teknis untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan pengontrolan kepentingan individu atau kelompok terhadap sumber daya agar mengambil pada standar-standar yang wajar. Hal ini juga bisa dipertegas dengan beberapa aturan pemerintah. 13 Pada sisi lain dalam ilmu manajemen kelautan terdapat permasalahan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, di mana setiap sektor atau institusi dan stakeholder lainnya sama-sama merasa memiliki hak dan kewenangan pada ruang tertentu di pesisir, sehingga aktivitas akan overlaping (tumpang tindih) atau bahkan saling bertentangan, yang bisa berakibat buruk pada keberadaan ruang pesisir tersebut. Misalnya ekosistem hutan bakau, ketika Dinas Perikanan dan Kelautan ingin menggunakannya sebagai lahan tambak udang dengan konversi lahan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan menjadikannya sebagai wilayah konservasi, Dinas Kehutanan ingin melakukan rehabilitasi bakau, dan masyarakat sekitar ingin menjadikannya sebagai lahan mencari nafkah. Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara teknis, misalnya dengan pembagian lahan, karena keterbatasan lahan itu sendiri. Permasalahan ini diselesaikan dengan meningkatkan koordinasi antar sektor untuk menjadikan pesisir sebagai wilayah perencanaan, pengelolaan dan evaluasi secara terpadu (terintegrasi) termasuk di dalamnya melibatkan masyarakat.14 Salah satu kritik terhadap teori Hardin datang dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa tidak sedikit komunitas tradisional yang menganggap sebagai objek dari pemilikan komunal (communal marine tenure). Studi mengenai communal marine tenure (selanjutnya disingkat CMT) yang popular dalam antropologi sejak tahun 1970an ini,15 menunjukkan keyakinan Hardin mengenai prinsip bahwa laut adalah free for all tidak selamanya benar.16 Beberapa komunitas terbukti mengembangkan pranata kepemilikan terhadap wilayah laut. Ini berarti, pada komunitas-komunitas tersebut, 'use rights for the resource are controlled by an identifiable group and …there exist rules concerning who may use the resource, who is excluded from using the resource, and how the resource should be used.'17 Selain itu, keberadaan praktek kepemilikan komunal juga menunjukkan bahwa kecenderungan pola fikir individualisme seperti diasumsikan Hardin tidak selamanya benar. Malahan sebaliknya, http:// Normansyah.org/wiki/Tragedi_Kepemilikan_Bersama l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010. 14 http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The Commons Kaitannya Dengan Ilmu Management Kelautan. html. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010. 15 Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K. Ruddle and T. Akimichi (eds) Maritime Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9. Osaka: National Museum of Ethnology 16 McCay, B.J and S. Jentoft and J.M. Acheson (eds). 1987. The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: The University 17 Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press 236 Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) berkembangnya pranata kepemilikan komunal menunjukkan kemampuan komunitas mengembangkan kerjasama untuk menghindari tragedy of the commons. Lebih jauh, Berkes18 mengatakan bahwa CMT memiliki lima peran penting. Pertama, CMT menjamin keamanan penghidupan (livelihood security) dengan memberi kesempatan kepada setiap anggota komunitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui jaminan akses terhadap sumberdaya alam penting. Peran kedua adalah sebagai alat resolusi konflik. Berkes percaya bahwa CMT menyediakan mekanisma untuk memberi akses pemanfaatan yang sama kepada semua anggota komunitas. Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota komunitas sebagai akibat dari perebutan akses terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah. Ketiga, CMT berfungsi mengikat anggota-anggota komunitas menjadi suatu kesatuan sosial yang kompak. Hal ini terjadi karena CMT secara eksplisit menghubungkan keanggotaan komunitas dengan penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan kerjasama. Keempat, CMT bersifat konservasi karena ia biasanya terkait dengan prinsip 'taking what is needed.' Terakhir, Kelima CMT berfungsi untuk menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa praktek CMT didasari prinsip penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan siklus alam. Namun demikian, hal yang disayangkan oleh mereka yang sependapat dengan Berkes, adalah praktek pengelolaan sumberdaya laut tradisional, termasuk CMT, semakin menghilang. Johannes 19 berpendapat bahwa ekonomi pasar, hancurnya struktur otoritas tradisional, aplikasi aturan-aturan dan praktek baru oleh negara, merupakan faktor-faktor yang telah menyebabkan degradasi praktek CMT di Oceania. Johannes mengatakan bahwa saat komunitas terkespose dengan ekonomi pasar, uang menjadi issu sentral dalam kehidupan ekonomi mereka. Dalam usaha memperoleh sebanyak mungkin uang, orang terdorong untuk meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya laut dengan mengalokasikan lebih banyak waktu dan mengadopsi teknologi yang lebih efektif. Ditambah dengan kebijakan pembangunan pemerintah yang juga menekankan pada prinsip- prinsip maksimalisasi keuntungan, pemimpinpemimpin tradisional dipaksa oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghentikan 'perlindungannya' terhadap praktek CMT. Kondisi demikian semakin parah pada saat pemerintah kolonial atau modern mengaplikasikan undang-undang dan aturanaturan baru atas dasar tradisi Eropa, 'freedom of the seas'.20 Bagi Johannes, erosi CMT tidak hanya menyangkut masalah hilangnya traditional wisdom tetapi juga lenyapnya sebuah potensi untuk menghindari kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu mereka menganggap erosi CMT lebih jauh haruslah dihindari. Untuk itu diusulkan kepada pemerintah untuk secara formal mengakui keberadaan CMT. Johannes21 percaya bahwa pengakuan legal formal pemerintah terhadap CMT 'akan menguatkan kemampuan komunitas untuk mengawasi sumberdaya laut sesuatu yang seringkali dilakukan secara sukarela jika hak-hak mereka terlindungi. Sebaliknya, legislasi yang melemahkan atau menihilkan CMT akan meningkatkan beban tanggung jawab pemerintah dan menambah beban departemen perikanan yang seringkali telah kekurangan staf.' Dengan demikian, diyakini legislasi yang sesuai dan melindungi CMT tidak hanya akan melanggengkan kapabiltias masyarakat tradisional tetapi juga menjamin praktek pengelolaan sumberdaya laut yang effektif dan berkelanjutan. Selain itu, legislasi ini akan mengurangi beban tanggung jawab pemerintah dalam hubungannya dengan perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pendanaan praktek pengelolaan sumberdaya laut. B.2. Soveregn Rights (Hak Berdaulat Negara) Hak berdaulat (sovereign rights) merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu yang pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional. Yang artinya adalah hak berdaulat suatu negara haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara sebagaimana tersebut diatas.22 Hak-hak berdaulat (sovereign rights) adalah 18 Ibid., Johannes, R.E. 1978. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania and Their Demise. Annual Review of Ecology and Systematics 9:249-364.hlm.356 20 Ibid., hlm. 358 21 Ibid., hlm. 360 22 Ibid., ferryjunigwan.wordpress.com/2009/09/15/3/ 19 237 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 hak-hak eksklusif yang dilaksanakan oleh negara pantai dan berlaku terhadap sumber-sumber daya alam dalam wilayah/batas tertentu yang telah ditetapkan.23 terletak di antara pulau-pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis-garis pangkal, tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut-laut tersebut. Pada wilayah perairan kepulauan ini, kapal-kapal asing memiliki hak lewat berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran internasional kapal-kapal asing juga mempunyai hak lewat melalui sea lanes. Adanya hak lewat kapal asing berdasarkan prinsip lintas damai, membedakan antara hak dan kewenangan antara perairan pedalaman dan perairan kepulauan. Hak dan kewenangan atas laut diatur dalam UNCLOS (Convention on The Law of The Sea of 1982) yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan bagi negara yang bersangkutan. Ada beberapa jenis laut yang mendapatkan perhatian dikaitkan dengan pengelolaannya, baik bagi negara itu sendiri, bersama dengan negara-negara tetangga ataupun dengan memperhatikan kepentingankepentingan regional dan internasional. Secara prinsip dalam kaitannya pengelolaan sumber daya laut dan perikanan, perlu diperhatikan 3 (tiga) jenis laut, meliputi:24 1. Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi suatu negara atau dikenal sebagai wilayah kedaulatan suatu negara, meliputi laut pedalaman, perairan kepulawan dan laut teritorial. 2. Wilayah laut dengan hak berdaulat atas kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, meliputi wilayah perairan Zona Tambahan, zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. 3. Wilayah laut, dimana suatu negara memiliki kepentingan namun tidak memiliki kedaulatan kewilayahan ataupun kewenangan dan hak berdaulat atas laut tersebut meliputi wilayah perairan laut bebas atau ZEE dan dasar laut internasional di luar landas kontinen.25 c) b) Perairan Kepulauan Bagian luar perairan pedalaman adalaah perairan kepulauan. Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut-laut yang Di dalam zona ini setiap negara mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam, terutama perikanan serta mempunyai kewenangan untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengijinkan penelitian ilmiah kelautan serta pemberian ijin pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi, dan bangunan-bangunan laut lainnya.28 Laut Teritorial. Berkaitan dengan kewenangan atas pengelolaan sumber daya perikanan, setiap Negara dapat menetapkan Maximum Sustainable Yield (MSY), dan untuk menjaga atau menjamin kelestarian kekayaan alam jenis ini dapat ditetapkan Total Allowable Catch (TAC). Selanjutnya setiap negara dapat menetapkan kapasitas pengambilan kekayaan alam (capacity to harvest). Apabila dalam perhitungan antara TAC dan kapasitasnya didapatkan suatu nilai surplus, maka setiap Negara dapat menawarkan kelebihan ini kepada negara-negara berkembang yang berdekatan untuk memanfaatkan kelebihan ini melalui suatu pengaturan, baik dalam bentuk joint venture atau membayar dengan fee tertentu. Perlu ditekankan, bahwa dalam zona ZEE Indonesia tidak ada hak Negara lain untuk menangkap ikan, kecuali dengan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu Negara berdasarkan pengaturan tersendiri. Jenis wilayah laut yang kedua bagi sebuah negara kepulauan meliputi wilayah laut dengan hak berdaulat atas kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, mencakup:26 a) Zona Tambahan. Di luar laut teritorial, terdapat laut-laut di mana setiap negara mempunyai kewenangankewenangan tertentu. Zona tambahan dapat ditetapkan sampai ke batas 12 mil laut di luar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. Pada zona ini, setiap Negara memiliki hak untuk melaksanakan kewenangankewenangan tertentu dalam mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi dan menjamin pelaksanaan hukum di wilayahnya. Perairan Pedalaman. Merupakan bagian dari wilayah perairan kepulauan. Pada wilayah ini, setiap negara memiliki kedaulatan mutlak dan kapalkapal asing tidak mempunyai hak lewat. Ketentuan mengenai penetapan perairan pedalaman telah diatur di UNCLOS 1982. berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dari perairan di atas dasar laut dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produk energi dari air, arus dan angin.27 Adalah wilayah perairan diluar perairan kepulauan yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Di wilayah laut ini setiap negara juga memiliki kedaulatan penuh. Seperti halnya yang berlaku di wilayah perairan kepulauan, kapal-kapal asing memiliki hak lewat berdasarkan lintas damai. Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh berarti bahwa di wilayah ini negara memiliki kedaulatan mutlak atas ruang udara serta dasar laut dan tanah dibawahnya, meliputi: a) Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) b) c) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Menurut UNCLOS 1982 Pasal 55 dan Pasal 56 ayat 1a, ZEE adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Lebar zona ini tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di ZEE setiap negara memiliki hak Landas Kontinen. kekayaan alam meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen (continen margin), atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 ayat 1). Selanjutnya, negara pantai memiliki kesempatan untuk dapat menetapkan batasan luar landas kontinen lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal. d) Batas Landas Kontinen Hingga 200 Mil Dari Garis Pangkal. Batas Landas Kontinen di luar 200 dapat diajukan hingga maksimal 350 mil laut. Khusus untuk Batas Landas kontinen ini PBB memberikan batasan waktu pengajuan hingga tahun 2009. Oleh karena itu kemungkinan Indonesia untuk menetapkan Landas Kontinen lebih dari 200 mil laut atau 350 mil laut harus segera ditindak lanjuti. C. Sistem Penegakan Hukum dalam Bidang Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) Pengaturan tentang Perikanan diatur dalam hukum internasional maupun hukum nasional di setiap negara. Pengaturan tentang Perikanan dalam beberapa ketentuan hukum Internasional, antara lain: Pertama, Ketentuan dalam 1993 FAO Compliance Agreement yang merupakan upaya mencegah Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang menyatakan bahwa:29 Landas Kontinen (continental shelf) adalah pada awalnya merupakan istilah geologi. Istilah ini merujuk pada fakta geologis bahwa daratan pantai akan menurun ke bawah laut dengan kemiringan kecil hinga di suatu tempat tertentu menurun secara terjal kedasar laut. Bagian tanah dasar laut dengan kemiringan kecil tersebut merupakan landas kontinen. (2) S e t i a p n e g a r a b e r k e w a j i b a n u n t u k Pada UNCLOS III telah ditetapkan Landas kontinen dengan pengertian yuridis kewenangan suatu negara pantai atas melaksanakan yurisdiksi dan kontrolnya secara efektif pada setiap kapal yang mengibarkan benderanya (preamble) (1) Setiap negara diminta mengambil tindakan aktif untuk mencegah pembenderaan kembali kapal yang dimiliki oleh warganegaranya dengan tujuan untuk menghindari ketentuan konservasi dan manajemen kegiatan penangkapan ikan di laut bebas (preamble) 23 Op.cit., Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, www.bakorkamla.go.id Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, www.bakorkamla.go.id, © Penerbit: Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, ISBN : 978-602-8741-01-9, hlm.24 25 Ibid., 26 Ibid., 24 238 27 Anwar, Chairul, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum laut 1982, Djambatan, 1989 28 Ibid., 29 Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993 FAO Compliance Agreement) 239 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 (3) Praktek pembenderaan dan pembenderaan kembali yang dimaksudkan untuk menghindari keberlakukan ketentuan konservasi dan manajemen sumber daya hayati laut akan merusak sistem yang ada {preamble) (4) Setiap negara peserta tidak boleh mengijinkan kapal ikan yang semula terdaftar pada negara anggota lain atau bukan negara anggota yang tidak mengikuti ketentuan konservasi, untuk menangkap ikan di laut lepas, kecuali telah terbukti bahwa kepemilikan kapal tersebut telah berubah sama sekali dan tidak ada hubungannya dengan pemilik yang lama (Pasal 3 ayat (5)) Kedua, Ketentuan menyatakan bahwa:30 dalam UNIA 1995 (1) Setiap negara harus mengambil tindakan untuk mencegah dan menghilangkan adanya overfishing dan excess fishing capacity serta menjamin levei fishing effort yang tidak melebihi pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya ikan (Pasal 5 butir h) (2) Kewajiban untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan kapal termasuk posisi kapal dan target tangkapan (Pasal 5 butir j) (3) UNIA 1995 mendorong terbentuknya organisasi dan pengaturan manajemen perikanan subregional dan regional untuk menangani masalah konservasi sumber daya hayati di laut lepas khususnya yang bersifat straddling fish stocks dan highly migratory fish stock (Part III). Negara bukan peserta UNIA 1995 harus menaati ketentuan konservasi yang diatur oleh UNCLOS yang pada dasarnya merupakan perjanjian induk dari UNIA 1995. dan tidak berhak untuk mengijinkan kapal yang berbendera negaranya untuk menangkap ikan yang dikonservasi oleh organisasi atau ketentuan regional dan subregional itu. Ketiga, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF mengandung prinsipprinsip yang perlu diterapkan untuk mencapai perikanan yang berkelanjutan, meskipun bukan merupakan hukum perjanjian yang bersifat mengikat, akan tetapi CCRF banyak diadopsi dalam ketentuan hukum nasional negara-negara anggota FAO. CCRF dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan (“guidelines”) mengenai (1) fishing operations; (2) the precautionary approach as applied to capture fisheries and species introductions; (3) integrating fisheries into coastal area management; (4) fisheries management; (5) aquaculture development; and (6) inland fisheries. Keempat, FAO International Plan of Action (IPOA). FAO telah mengeluarkan beberapa panduan mengenai konsep manajemen perikanan berkelanjutan, sebagai pelaksanaan dari CCRF yaitu:31 a. International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity (IPOA FISHING CAPACITY) yang telah disetujui pada sidang COFI ke 23 tanggal 19 Pebruari 1999; b. International Plan of Action for the Conservation and Management of Sharks (IPOA-SHARKS) yang telah disetujui pada sidang COFI ke 23, tanggal 19 Pebruari 1999.; c. International Plan of Action for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries (IPOA-SEABIRDS) yang telah disetujui pada sidang COFI ke 23, tanggal 19 Pebruari 1999.; dan d. International Plan of Action for Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU) yang telah disetujui pada sidang COFI ke 24, tanggal 2 Maret 2001 dan disahkan pada sidang Dewan FAO ke 120, tanggal 23 Juni 2001. IPOA ini seperti halnya induknya, CCRF, bersifat sukarela, namun demikian negara-negara anggota Food and Agriculture Organization (FAO) dihimbau untuk mengikuti IPOA ini dan melaksanakan ketentuannya yang dituangkan dalam National Plan of Action (NPOA). Dalam IPOA ini diatur mengenai penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Sebagai bangsa yang tinggal dan hidup pada wilayah yang sebagian besar terdiri dari wilayah laut, bangsa Indonesia harus mengembangkan konsep wawasan nusantara yang tertuang dalam Pasal 25A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memandang seluruh wilayah daratan, laut dan udara di atasnya segenap penduduk serta seluruh sumber daya yang terkandung didalamnya sebagai sesuatu yang terpadu. Wawasan nusantara juga tercantum dalam TAP MPR Nomor 30 Agreement for the Implementation of the Provisions of the 1982 UNCLOS, Relating to the Conservation and Management of Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA 1995) 31 Op.cit., Melda Kamil Ariadno, Ketentuan Hukum Internasional tentang Perikanman, hlm. 125-127 240 Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) 11/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merumuskan arti konsepsi kewilayahan atau wawasan nusantara adalah: “Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa satu kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.” Laut memberikan peluang dan keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia dalam upaya memanfaatkan dan mendayagunakan secara optimal sumber daya alam di laut untuk pembangunan nasional indonesia. Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) pada Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan posisi yang kuat dan keuntungan secara ekonomis kepada negara-negara pantai untuk memperoleh hak berdaulat (sovereign rights)38 guna memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di ZEE tersebut khususnya sumber perikanan. Konsep ZEE tidak hanya merupakan konsep sumber alam tetapi memuat enam konsep yang terdiri atas: konsep ruang, konsep sumber daya alam, konsep lingkungan, konsep penelitian ilmiah, konsep pembanginan instalasi dan pulau buatan serta konsep hak dan kewajiban negara di ZEE.39 Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk menangkap ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: perairan Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. 3 2 Perairan Indonesia didefinisikan sebagai laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulawan dan perairan pedalamannya.33 Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, peraian kepulauan, dan perairan pedalaman.34 Dalam Undang-Undang Perairan Indonesia dan UndangUndang Perikanan, laut teritorial didefinisikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.35 Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tampa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai,36 perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk semua ke dalamnya dari perairan yang terletak pada sisi barat dari suatu garis penutup.37 Bagi negara-negara berkembang, ZEE merupakan hal yang sangat penting karena rezim ini merupakan pencerminan dari usaha-usaha yang dilakukan oleh negara yang sedang berkembang untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap kekayaan alam yang terdapat di dalam laut yang berbatasan dengan laut wilayahnya. Konsevasi sumber kekayaan hayati di ZEE didasarkan pada prinsip pemanfaatan yang rasional (use the resources rationally)40 yang menyatakan bahwa masalah penangkapan ikan di ZEE dapat mendatangkan manfaat sosial ekonomi yang sebesar-besarnya dan menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan hayati di masa yang akan datang bagi kepentingan masyarakat dan negara pantai tersebut. Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan pemanfaatan sumber perikanan untuk kepentingannya. Dengan demikian negara pantai mempunyai yurisdiksi (exetended fisheries juridiction) atas zona perikanan tersebut untuk melakukan pemanfaatan sumber perikanan yang ada di zona tersebut, maka negara-negara lain dapat melakukan pemanfaatan sumber perikanan didi zona perikanan tersebut melalui persetujuan dengan negara pantai.41 32 Pasal 5 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). 33 Pasal 1 Angka 20, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073). 34 Pasal 3, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647). 35 Definisi laut tertorial mengacu pada UNCLOS yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319). 36 Op.cit., Pasal 3 ayat (3), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 37 Ibid., Pasal 3 ayat (4), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 38 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Dinamika Global, Penerbit: Alumi, Bandung, tahun 2000, hlm.322 39 Hajim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, CSIS, Jakarta, tahun 1995, hlm135-140.v 40 Op.,cit, Hasjim Djalal Indonesia and the Law of the Sea 41 Sri Wartini, Implementasi Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tentang Pemanfaatan Sumber Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif, Jurnal Magister Hukum, ISSN: 1411-1500 Vol.1 No. 2 Mei tahun 2005, Penerbit Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, [email protected], hlm. 204 241 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 Pengaturan tentang perikanan dahulu diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3299) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Undang-UndangNomor 9 Tahun 1985dianggap tidak cocok lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baruyaitu globalisasi dan otonomi daerah. Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) Tabel 1 Hukum Materil dan Hukum Formil tentang Perikanan Hukum Materil Perikanan Izin Untuk Perikanan SIPI (Surat Izin Penangkap Ikan) SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) Kapal Perikanan Asing (KIA) SIUP Budidaya Ikan SIUP Pengolahan Pengrusakan Lingkungan Mengingat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tersebut disusun pada saat spirit sentralisme dan modernisme masih dominan, sehingga negara (pemerintah pusat) masih mendominasi sebagian besar urusan perikanan, khususnya pengelolaan sumber daya perikanan (fisheries management). Sentralisme tersebut telah menghasilkan kegagalan pembangunan perikanan dan kelautan di masa lalu, seperti banyaknya produk regulasi yang sulit diterapkan, misalnya penanganan pengeboman ikan, pembiusan ikan, dan praktik destructive fishing lainnya yang tak tersentuh. Hal ini terjadi disebabkan karena partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan sangat rendah. Begitu pula, muatan prinsip FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) belum terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. CCRF ini memuat prinsip dan standar dalam menjamin terciptanya kegiatan perikanan berkelanjutan, baik dalam penangkapan ikan, budidaya perikanan, pascapanen dan pemasaran, maupun kaitan antara perikanan dan pengelolaan wilayah pesisir.42 Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 merupakan salah satu perubahan yang mendasar dari suatu proses penegakan hukum di bidang perikanan melalui Pengadilan Perikanan di Indonesia yang untuk pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Selain itu juga diatur mengenai hukum materil dan hukum formil tentang perikanan seperti yang terlihat pada Tabel 1:43 Jenis Perbuatan M e n g e l o l a SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) SIUP - Penangkapan dan/atau APIPM (Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal). Budidaya ikan Alat tangkap yang merusak Penyetruman Pengambilan terumbu karang dari laut Pengambilan hutan bakau Penggundulan hutan Sedangkan hukum formil perikanan, antara lain mengatur tentang:44 Kepastian hukum Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan sebagai isu utama dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, juga hukum acara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagai ketentuan khusus (lex specialis).45 Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004, membuat kinerja untuk membasmi tindakan pencurian ikan akan semakin efektif dan efisien karena dalam undang-undang tersebut diatur aparat yang menjadi penyidik tindak pidana di bidang perikanan, yaitu PPNS Perikanan, Perwira 42 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pengadilan Perikanan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, tahun 2009, hlm 70 43 Ibid., 44 Ibid., 45 Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit: Alumi, Bandung, Tahun 1982, hlm 75 242 perikanan, jenis alat tangkap, ukuran mata jaring, jalur/daerah penangkapan dan lain-lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan pada saat nelayan akan berangkat maupun pada saat mendaratkan hasil tangkapannya. c) Bom ikan Racun/tuba ikan 1. TNI AL, dan Pejabat Polri. Untuk menangani kasuskasus peradilannya, Kementrian Kelautan dan Perikanan juga sedang memfokuskan diri pada pembentukan pengadilan perikanan di mana perangkat-perangkatnya nantinya adalah mereka yang menguasai ilmu perikanan. Aparat penegak hukum di bidang perikanan adalah Pengawas Perikanan, Perwira TNI-AL, dan Pejabat Polisi Negara RI, yang mempunyai tugas dan kewajiban melakukan pengawasan terhadap tertib pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. 2. Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan Sebagai upaya penerapan atau penegakan Undang-Undang Perikanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, aparat penegak hukum perikanan mempunyai tugas umum selain tugas yang telah ditentukan secara khusus oleh instansi masing-masing. Adapun tugas-tugas umum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di bidang perikanan baik dari PPNS Perikanan, Perwira TNIAL, dan Pejabat Polisi Negara RI adalah melakukan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan yaitu dengan: a) Monitoring yaitu kegiatan untuk mengetahui tingkat potensi sumber daya ikan, sehingga diperoleh data yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun peraturan pemanfaatan sumber daya ikan. Dalam pelaksanaannya dapat dilaporkan fluktuasi volume penangkapan yang memuat produksi, pergeseran spesies, musim dan lain-lain, yang kemudian setelah menjadi data diolah sebagai bahan untuk menentukan potensi yang tersedia. Dengan diketahuinya potensi sumber daya ikan yang tersedia, maka dapat ditetapkan alokasi sumber daya ikan yang dapat ditangkap. Data-data tersebut diharapkan dapat dikumpulkan secara berkelanjutan dengan tertib melalui mekanisme kerja yang jelas. b) Kontrol, yaitu kegiatan pengendalian usaha pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dengan mengamati telah sesuai atau tidaknya kegiatan usaha penangkapan ikan oleh nelayan dengan peraturan perizinan yang dimilikinya. Misalnya dengan memeriksa syarat-syarat yang tercantum dalam izin usaha 3. Surveillance, yaitu kegiatan pengawasan terhadap ketentuan peraturan pengelolaan sumber daya ikan, yang diikuti dengan pemberian sanksi dan enforcement. Tindakan surveillance merupakan tindak lanjut dari monitoring dan kontrol, yang sasarannya adalah pengamatan penangkapan ikan di lapangan dan dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk sebagai fisheries observer atau memanfaatkan tenaga PPNS Perikanan dibantu dengan aparat keamanan, sehingga apabila terjadi pelanggaran dapat dilakukan penyidikan secara langsung. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di bidang perikanan dapat diuraikan beberapakewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di bidang perikanan antara lain: 1) Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut; 2) Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure; 3) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya pelanggaran ketentuan undangundang; 4) Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka pelaku pelanggar ketentuan undang-undang; dan 5) Melakukan penyitaan ikan hasil tangkapan, alat-alat atau surat-surat yang digunakan dalam melakukan perbuatan melanggar ketentuan undang-undang. 4. Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak Hukum dan Fasilitas Dalam proses penegakan hukum, fungsi aparat penegak hukum sangat berperan di samping faktor lain seperti peraturan perundang- undangan, fasilitas atau sarana, dan warga masyarakat setempat. Pengertian aparat penegak hukum dalam 243 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 hal ini adalah terbatas kepada yang berkecimpung langsung dalam law enforcement dan peace maintenance, yaitu mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan. Aparat penegak hukum pada saat ini dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan peka terhadap aspirasi masyarakat. Untuk itu, aparat penegak hukum harus mempunyai kemampuan tertentu seperti kemampuan berkomunikasi, keleluasaan bertindak terhadap kasus/masalah tertentu sehingga mampu menjalankan perannya di tengah masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan terhadap keberhasilan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya masih dirasakan pada saat ini. Situasi yang dimaksud di antaranya adalah kurangnya dukungan fasilitas atau sarana yang dimiliki oleh aparat penegakhukum itu sendiri, misalnya kapal yang akan digunakan untuk mengejar para pelaku tindak pidana di bidang perikanan dan sarana sebagai tempat menyimpan barang bukti. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan terdapat beberapa kelemahan, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut, antara lain mengenai:46 Pertama, pengawasan dan penegakan hukum menyangkut masalah mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kedua, masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran. Ketiga, perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Berdasarkan perkembangan permasalahan perikanan yang terus berkembang di atas, beberapa pengaturan perikanan di Indonesia dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diubah oleh Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang46 Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Di Zona Ekonomi.....(Eka Martiana Wulansari) Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak hanya mengatur semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan, tetapi secara khusus mengatur pula tindak pidana di bidang perikanan, kewenangan penyidikan, penuntutan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan dan Penegakan hukum tindak pidana perikanan yang berkenaan dengan Pelanggaran. D. Penutup Sasaran penegakan hukum dalam bidang perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) lebih difokuskan pada usaha untuk mewujudkan, antara lain: a) terciptanya kerja sama yang baik dalam menangani tindak pelanggaran hukum di laut antara sesama aparat penegak hukum baik yang berada di instansi/institusi pusat maupun daerah; b) tercapainya kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan pembangunan nasional; c) terpenuhinya jumlah personel penyidik PPNS Perikanan, Perwira Kepolisian dan TNI AL yang profesional dan keberadaannya tersebar secara merata di seluruh wilayah perairan Indonesia; dan d) terpenuhinya dukungan unsur operasional di daerah guna pelaksanaan kegiatan pengamanan terhadap SDA Daftar Pustaka Anwar, Chairul, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum laut 1982, Djambatan, 1989 Abidin, S.Z., Kebijakan Publik. Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, tahun 2002, Jakarta Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993 FAO Compliance Agreement) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993 FAO Compliance Agreement) Agreement for the Implementation of the Provisions of the 1982 UNCLOS, Relating to the Op.cit., Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 244 Conservation and Management of Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA 1995) http://kalimantankita.com/ 2009/06. Pertumbuhan Ekonomi Lingkungan dan Tragedi Kepemilikan Bersama. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pengadilan Perikanan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, tahun 2009 http:// Normansyah.org/wiki/ Tragedi_Kepemilikan_Bersama l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Dinamika Global, Penerbit: Alumi, Bandung, tahun 2000 http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The Commons Kaitannya Dengan Ilmu Management Kelautan. html. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010. Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press http://Salehlubis.com. / 2 0 0 8 / 0 5 . Douglas M. Jhonston, The Internasional Law of Fisheries, Aframework for Policy-Oriented inquiries, Martinus Nijhoff Piblishers Dordrecht, 1986. Eric M. Singer, Towards A Sustainable Fishery: The Price-Cap Approach, Tulane Environmental Law Journal, Summer 2011, 24 TLNELJ 253, 24 Tul. Envtl. L.J. 253. Copyright (c) 2011 Tulane Environmental Law Journal; Eric M. Singer Elise Anne Clark, Strengthening Regional Fisheries Management--An Analysis of the Duty to Cooperate, New Zealand Journal of Public and International Law, November, 2011, 9 NZJPIL 223, 9 N.Z. J. Pub. & Int'l L. 223, Copyright © 2011 by New Zealand Centre for Public Law and contributors; Elise Anne Clark ferryjunigwan.wordpress.com/ 2009/09/15/3/ Hardin, G. The Tragedy of The Commons Environmental Economics, 1968. in Holly Doremus, Why International Catch Shares Won't Save Ocean Biodiversity, Michigan Journal of Environmental & Administrative Law Spring 2013, 2 MIJENVAL 385, 2 Mich. J. Envtl. & Admin. L. 385, Copyright (c) 2013 Michigan Journal of Environmental & Administrative Law; Holly Doremus. Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, www.bakorkamla.go.id, Penerbit: Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, ISBN : 978-602-8741-01-9 Hajim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, CSIS, Jakarta, tahun 1995 Kebijakan Pemerintah Atas Pulau Terluar.. html. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010 http://Salehlubis.com./2009/02/ Tragedy Of The Commons Kaitannya Dengan Ilmu Management Kelautan. html. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010. http://Salehlubis.com./2008/05. Kebijakan Pemerintah Atas Pulau Terluar.. html. l di down load pada tanggal 29 Oktober 2010Melda Kamil Ariadno, Ketentuan Hukum Internasional tentang Perikanman, dalam buku yang berjudul: Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Penerbit: Diadit Media, April 2007. I.A. Shearer, Starke's International Law, London: Butterworth, 1994. Johannes, R.E. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania and Their Demise. Annual Review of Ecology and Systematics, 1978. Jurnal Hukum Internasional (Indonesia Journal of Internasional Law), Volume 2 Nomor 3 April 2005, ISSN: 1693-5594 di terbitkan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (Center for Internasional Law Studies Faculty of Law University of Indonesia) Kuntoro, Tinjauan Hukum Internasional Batas Wilayah Laut Indonesia dengan Negara Tetangga, , Penerbit: Mabes TNI AL, diskumal, Gedung B4 Lantai 5 Mabes TNI AL, Jl. Raya Hankam Cilangkap Jakarta Timur-13870, Telp.021-8723403, Fax.0218711863 McCay, B.J and S. Jentoft and J.M. Acheson (eds). 1987. The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: The University 245 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 233 - 246 Malcolm D. Evans,'The Law of the Sea', dalam Malcolm D. Evans (ed.), International Law, New York: Oxford University Press, 2003. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Perikanan, Deputi Perancang Undang-Undang, SET JEN DPR RI. Ringkasan dari disertasi penulis pada Dept. Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 2002. Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit: Alumi, Bandung, Tahun 1982 Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K. Ruddle and T. Akimichi (eds) Maritime Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9. Osaka: National Museum of Ethnology Sub-direktorat Pengawasan dan Pengendalian, Direktorat Jenderal Perikanan Kementrian Perikanan Republik Indonesia, Laporan Penelitian: Evaluasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan dalam Rangka Pengembangan dan Pengemdaliannya, 1995 Sri Wartini, Implementasi Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tentang Pemanfaatan Sumber Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif, Jurnal Magister Hukum, ISSN: 1411-1500 Vol.1 No. 2 Mei tahun 2005, Penerbit Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, [email protected] PENGHAPUSAN PIDANA DENDA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TAP MPR Nomor 11/MPR/1993 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) (CRIMINAL PENALTY ABOLITION ON CORRUPTION CASE IN INDONESIA) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 UNCLOS yang telah diratifikasi dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647). Ramiyanto Desa Suka Damai Baru Dusun 3 Rt. 002 Rw. 003 Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Indonesia Email: [email protected] (Naskah diterima 28/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, yang di dalamnya telah mencantumkan ancaman sanksi berupa pidana bagi pelakunya. Dalam undang-undang tersebut ancaman sanksinya dirumuskan dengan menggunakan sistem perumusan sanksi (strafsoort) yang berbeda, yaitu tunggal, alternatif-kumulatif, dan kumulatif. Berkaitan dengan pidana denda dalam undang-undang tersebut, ada yang dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana penjara dan ada juga yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan/atau”, maka pidana denda dapat dihapuskan (tidak dijatuhkan kepada terdakwa). Namun, apabila ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan”, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan atau harus dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Dalam hal ini, maka pidana denda dalam perkara tindak korupsi dapat dihapuskan, apabila rumusan pasalnya dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif. Kata Kunci: Pidana Denda, Tindak Pidana Korupsi. Abstract At present the problem of corruption in Indonesia is regulated in Law Number 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001, included a threat of criminal sanctions for perpetrators. In the law formulated by using the threat of sanctions with sanctions formulation system (strafsoort) are different, ie: single, alternative-cumulative, and cumulative. Relating to criminal penalties in the law, there can be no imprisonment imposed it self and there is also to be imposed in conjunction with imprisonment. If the criminal threats formulated with alternative-cumulative systems which are marked conjunctive "and / or", the criminal penalties can be eliminated (not applied to the defendant). However, if the criminal threats formulated with cumulative system which are marked conjunctive "and", then the criminal penalties can not be abolished or should be imposed in conjunction with imprisonment. In this case, the criminal penalties in cases of corruption can be eliminated, if the article is formulated with the formulation of alternative-cumulative system. Keywords: Criminal Penalties, Corruption. A. Pendahuluan Korupsi1 merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan manusia dan termasuk ke dalam jenis kejahatan yang tertua, serta merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia ada di atas bumi. Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi mengalami peningkatan seiring dengan kemajemukan, kemakmuran, dan kemajuan teknologi. Pengalaman menunjukkan bahwa semakin maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat juga kebutuhan hidup. Keadaan itu dapat mendorong orang untuk melakukan suatu kejahatan, termasuk korupsi.2 Korupsi dianggap sebagai suatu yang tidak baik, suatu masalah yang menyebabkan keterpurukan bangsa. Oleh karena itu, harus dijadikan sebagai suatu masalah yang harus ditanggulangi dan diperangi secara bersama-sama. Korupsi bukan suatu kebiasaan, bukan suatu budaya 1 Istilah korupsi berasal dari perkataan corruptio, yang berarti kerusakan. Misalnya dapat dipakai dalam kalimat: Naskah Kuno Negara Kertanegara ada yang corrupt (=rusak). Di samping itu, perkataan korupsi dipakai juga untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 114-115. Istilah korupsi dalam bahasa Inggris disebut dengan corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut dengan corruption, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptie (korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Andi Hamzah, dalam Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana dan Formil Korupis Di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 1. 2 A. Djoko Sumaryanto, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, hlm. 1. 246 247 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256 bangsa, dan bukan juga sebagai mismanagement tetapi korupsi adalah suatu kejahatan.3 Pada tataran internasional, korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime4 dan mempunyai akibat yang kompleks serta menjadi perhatian masyarakat internasional.5 Pada tahun 1990-an permasalahan korupsi mulai mendapat perhatian khusus dan intensif karena telah berkembang dan menjangkit dalam komunitas internasional. Komunitas internasional itu menyebutnya sebagai Global Corruption Epidemic, dan menganggapnya sebagai suatu masalah yang penting dan membutuhkan penyelesaian yang baru.6 Oleh karena korupsi sebagai suatu masalah dan menjadi perhatian dunia internasional maka Indonesia sebagai suatu negara juga tentu ikut memberikan perhatian. Perhatian itu dilakukan dengan cara ikut melakukan pemberantasan terhadap praktik-praktik korupsi sebagai bentuk penanggulangannya yang dicantumkan dalam aturan hukum. Saat ini peraturan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi7 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 20018 (UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001). Jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai ordinary crime, tetapi telah menjadi extra ordinary crime.9 Apabila tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori extra ordinary crime maka dalam pemberantasannya juga perlu dilakukan dengan cara yang luar biasa (extra ordinary law enforcement). Hal ini seperti yang disebutkan dalam Konsiderans menimbang huruf (a) UU No. 20 Tahun 200110 dan penjelasan umum. Berkaitan dengan bentuk extra ordinary law enforcement dapat dilihat dari upaya aparat penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana yang seberat-beratnya kepada terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal itu misalnya dapat dilihat pada penjatuhan sanksi berupa pidana oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya kepada Angelina Patricia Pingkan Sondakh.11 Selanjutnya yang baru saja kita dengar bersama, yaitu sanksi yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Akil Mochtar berupa pidana penjara seumur hidup. Namun dalam hal ini, pidana dendanya dihapuskan, sehingga Akil Mochtar tidak diwajibkan membayarnya, dengan alasan bahwa karena terdakwa sudah mendapat hukuman badan secara maksimal.12 Dengan adanya pernyataan itu, maka timbul pertanyaan: Apakah pidana denda dalam perkara tindak pidana korupsi dapat dihapuskan, mengingat korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)?. Jika dihubungkan dengan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara Akil Mochtar di atas, maka pertanyaan itu juga menjadi catatan bagi Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat), sebagaimana yang disampaikan oleh Fanis Fachry.13 Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis tertarik untuk melakukan kajian mengenai Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto) penghapusan pidana denda dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. B. Pembahasan B.1. Pidana Denda Sebagai Salah Sanksi dalam Hukum Pidana di Indonesia Pidana merupakan kata lain untuk menunjuk pada suatu sanksi yang berlaku dalam hukum pidana. Dengan kata lain, pidana merupakan bentuk sanksi yang khusus dipakai dalam hukum pidana. Istilah pidana adalah terjemahan dari kata “straf”, di samping itu juga lazim diterjemahkan dengan kata “hukuman”.14 Menurut Moeljatno, istilah pidana lebih tepat daripada istilah hukuman sebagai terjemahan dari kata “straf”. Hal itu karena kalau straf diterjemahkan dengan hukuman, maka “strafrecht” harus diterjemahkan dengan “hukum/ hukuman”. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa “dihukum” berarti diterapi hukum, baik hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada hukuman, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata dan hukum administrasi negara.15 Bersandar pada pendapat Moeljanto di atas maka dapat dipahami bahwa pidana adalah sebagai terjemahan dari kata straf adalah lebih tepat. Hal ini juga seperti yang disimpulkan oleh Sudarto, bahwa pidana lebih tepat daripada hukuman sebagai terjemahan dari kata straf.16 Berkaitan dengan pidana, Sudarto mengartikannya sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.17 3 Bibit S. Rianto, 2009, Korupsi Go to Hell!: Mengupas Anatomi Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Hikmah, hlm. 7. 4 Istilah kejahatan kera putih atau white collar crime berasal dari pakar-pakar kriminologi. Sejarah kelahiran itu dimulai oleh Edward A. Ross (1806-1951) dan kemudian dipopulerkan E.H. Sutherland (1883-1950) pada pidatonya di hadapan The American Socioligical Society. Istilah tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahas, antara lain: crimne en col blanc (Perancis), criminalita in collecti bianchi (Italia), Weisse-Kragen Kriminalitat (Jerman), dan El delito de Cuello blanco (Spanyol). Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, hlm. 148. 5 A. Djoko Sumaryanto, Loc.cit.. 6 Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS, hlm. 279 7 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874. 8 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 9 Budiyono, 2013, Pemanfaatan Media Massa oleh Penegak Hukum dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Perspektif Volume XVIII No. 1 Edisi Januari, hlm.1. 10 Rumusan Konsiderans Menimbang huruf (a) UU No. 20 Tahun 2001, yaitu: “Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”. 11 Dalam perkara itu, Majelis Hakim telah menjatuhkan sanksi berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah), serta dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp. 12.850.000.000,00 (Dua Belas Miliar Delapan Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (Dua Juta Tiga Ratus Lima Puluh Juta Dollar Amerika Serikat). Putusan Mahkamah Agung RI No. 1616 K/Pid.Sus/2013, hlm. 134. 12 Akil Mochtar terbukti melanggar Pasal 11 UU Pemberatan Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 12 huruf (c) UU Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Akil Mochtar Divonis Penjara Seumur Hidup, http://berita.plasa.msn.com/ nasional/tribunnews/akil-mochtar-divonis-penjara-seumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli 2014. 13 Menurut Fanis Fachry (Peneliti Pukat), dalam putusan yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar itu masih ada catatan yang dipertanyakan, yakni dibatalkannya tuntutan denda dan perncabutan hak politik. Ia mengatakan, karena selain hukuman pidana penjara, kita juga komitmen terkait dengan pemiskinan koruptor. http://m.poskotanews.com/2014/07/01/aktifiktas-komentari-vonis-maksimalakil-mochtar/?wpmp_Switcher=mobile, diakses tanggal 24 Juli 2014. 248 Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksireaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.18 R. Soesilo menyebut pidana dengan kata hukuman, yang diartikan sebagai suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.19 Dengan demikian, jelaslah bahwa pidana merupakan kata yang digunakan untuk menyebut sanksi dalam hukum pidana. Sudarto mengatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif.20 Menurut Satochid Kartanegara, sanksi dalam hukum pidana berupa ancaman dengan hukuman, yang bersifat penderitaan dan siksaan.21 Beliau kemudian juga mengatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana dikatakan bersifat siksaan, karena hukuman itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum (rechtsbelang) yang dilindungi oleh hukum pidana. Adapun kepentingan hukum (rechtsbelang) itu adalah hidup, badan, kehormatan, kebebasan, dan hak milik.22 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan kata “pidana” tidak diberikan definisinya. Tetapi, dalam KUHP mengenai pidana ini telah ditentukan jenis-jenisnya. Pasal 10 KUHP menentukan sebagai berikut: Pidana terdiri atas: a. b. Pidana Pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan; Pidana Tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Dari ketentuan Pasal 10 KUHP di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pidana terdiri dari dua jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam terminologi hukum pidana, pidana pokok (hoofdstraf) diartikan sebagai pidana yang dapat dijatuhkan tersendiri oleh hakim, misalnya: pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Sedangkan 14 Mustafa Abdullah dan Ruben Achamd, 1986, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.47. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Sudarto, dalam Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakaarta: Sinar Grafika. hlm. 186. 18 Roeslan Saleh, dalam Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 12. 19 R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, hlm. 35. 20 Sudarto, Op. cit, hlm. 22. 21 Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana Bahan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 49. 22 Ibid. 249 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256 pidana tambahan (bijkomende straf) berarti pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok, misalnya: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan berupa perampasan atau pemusnahan dapat berdiri sendiri misalnya uang palsu, narkotika atau senjata api atau bahan peledak.23 Kedua jenis pidana yang disebutkan di atas mempunyai perbedaan, yang menurut Adami Chazawi adalah:24 1) Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. 2) Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. 3) Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie). Jadi perbedaan dari kedua jenis pidana dalam KUHP tersebut adalah terletak pada sifatnya (imperatif atau fakultatif), cara penjatuhannya (berdiri sendiri atau tidak), dan tindak lanjutnya (ada pelaksanaan/eksekusi atau tidak). Misalnya pidana pokok harus dijatuhkan (imperatif), penjatuhannya dapat dibarengi dengan pidana tambahan atau tidak, kemudian pidana pokok yang dijatuhkan itu dilaksanakan oleh yang berwenang melaksanakan. terminologi hukum pidana, pidana denda disebut dengan istilah “boete, geldboete, fine”, yaitu pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap26 (in kracht van gewijsde zaak). Pengertian itu disesuaikan dengan ketentuan Pasal 273 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,27 yang lazimnya disebut Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Satochid Kartanegara, pidana denda adalah hukuman yang dijalankan dengan merampas harta bendanya orang yang melanggar undangundang28 (dalam hal ini undang-undang pidana). Selanjutnya Adami Chazawi mengatakan bahwa pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis-jenis kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana sering diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara mupun berdiri sendiri.29 Hal tersebut di atas juga dikemukakan oleh Mahrus Ali bahwa pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.30 Kemudian dalam perkembangannya, pidana denda tidak hanya diancamkan terhadap tindak pidana dalam kategori pelanggaran dan kejahatan ringan atau culpa saja, tetapi juga untuk kejahatan berat, seperti yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan pidana denda, dengan memperhatikan jenis-jenis pidana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pidana denda termasuk dalam pidana pokok. B.2. Penghapusan Pidana Denda dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) Kemudian pertanyaannya adalah, apakah itu pidana denda? Menurut Andi Hamzah, pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua pidana mati.25 Dalam Berbicara masalah penghapusan pidana denda berarti dalam pembahasan ini membicarakan masalah ditiadakannya pidana denda bagi perlaku tindak pidana korupsi. Sebagaimana telah Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto) diuraikan pada bagian pendahuluan makalah ini, bahwa masalah tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang tersebut, telah dicantumkan ancaman sanksi berupa pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yang dirumuskan dengan cara yang berbeda. Berkaitan dengan penghapusan pidana denda dalam perkara tindak pidana korupsi, maka dalam pembahasan ini akan dilihat dari perumusan sanksi pidananya (strafsoort).31 Menurut Ilmu Hukum Pidana, ada beberapa jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu:32 a. b. Sistem perumusan alternatif, adalah sistem di mana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya, berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana dari yang terberat sampai yang teringan. Dengan demikian, hakim diberi kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam pasal bersangkutan. c. Sistem perumusan kumulatif, yang mempunyai ciri khusus yaitu adanya ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan”, seperti “pidana penjara dan denda”. d. Jur. Andi Hamzah,2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.121. Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarata: RajaGrafindo Persada, hlm. 21-27. 25 Andi Hamzah, dalam Mahrus Ali, Op. cit, hlm. 198. 26 Jur. Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 120. 27 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Pasal 273 ayat (1) KUHAP rumusan selengkapnya adalah: “Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi”. 28 Satochid Kartanegara, Loc. cit. 29 Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana....., Op.cit, hlm. 40. 30 Mahrus Ali, Op.cit, hlm. 198. 250 Sistem perumusan kumulatif-alternatif, yang ditinjau dari terminologinya biasa juga disebut dengan sistem perumusan “campuran/ gabungan”. Sistem perumusan tersebut mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut: a) Adanya dimensi kumulatif. Aspek ini merupakan konsekuensi logis materi b) Adanya dimensi perumusan alternatif di dalamnya. Aspek ini tercermin dari kata yang bersifat memilih pada perumusan alternatif; dan c) Adanya dimensi perumusan tunggal di dalamnya. Oleh karena tindak pidana korupsi di Indonesia yang diatur dalam undang-undang tersendiri, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di luar KUHP atau disebut dengan istilah “hukum pidana khusus”. 3 3 Walaupun demikian, masalah perumusan sanksi pidananya (strafsoort) tetap didasarkan pada teori sistem perumusan dalam ilmu hukum pidana tersebut di atas. Untuk mengetahui strafsoort dalam hukum pidana korupsi, maka dalam pembahasan ini akan diuraikan rumusan sanksi pidana yang ada di dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999. Rumusan sanksi pidana dalam undangundang tersebut terdiri dari dari tiga sistem, yaitu sistem perumusan tunggal, sistem perumusan alternatif-kumulatif, dan sistem perumusan kumulatif. Ketiga sistem perumusan tersebut dapat dilihat pada ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut: 1. Sistem perumusan tunggal Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, yang rumusannya adalah: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Rumusan itu menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi hanya dapat dijatuhkan hukuman mati saja, apabila dilakukan dalam keadaan tertentu.34 Jadi, apabila tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut35 dilakukan 31 Lilik Mulyadi mengatakan bahwa pada hakikatnya, secara substansial dan gradual, perumusan sanksi pidana (strafsoort) merupakan tahap kebijakan formulatif/legislatif. Hal itu merupakan tahap strategis dan menentukan karena kesalahan tahap tersebut akan berdampak pada tahap aplikatif dan eksekutif/administrasi. Lilik Mulyadi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi, dan Victimologi, Jakarta: Djambatan, hlm. 15. 32 23 24 Sistem perumusan tunggal/imperatif adalah sistem perumusan di mana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk tindak pidana yang bersangkutan. Untuk itu, sistem perumusan tunggal dapat berupa pidana penjara saja, pidana kurungan, atau pidana denda saja. perumusan kumulatif berupa adanya ciri khusus kata “dan” di dalamnya Ibid, hlm. 16-25. 33 Menurut Bambang Poernomo, hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang beradal di luar hukum kodifikasi (KUHP:pen), dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khsusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung peraturan dari anasir-anasir kejahatan inkonvensional. Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hlm.11. 34 Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. 35 Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak RP. 1.000.000.000,00 Isatu miliar rupiah). 251 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256 dalam keadaan tertentu, maka hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman mati saja. 2. a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepdanya untuk diadili; atau b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada ppengadilan untuk diadili. Sistem perumusan alterntif kumulatif Sistem perumusan ini dapat dijumpai pada ketentuan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, yang rumusannya adalah: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua) puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah. Berdasarkan pada rumusan tersebut, pelaku tindak korupsi dalam hal terbukti secara sah dan meyakinkan, Majelis Hakim dapat memilih salah satu dari sanksi pidana yang diancamkan atau menggabungkannya, yaitu pidana penjara dan pidana denda sama-sama dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, hakim diberikan kebebasan dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi. Pemilihan dan penggabungan sanksi pidana bagi pelaku korupsi dalam rumusan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 ditandai dengan kata penghubung “dan atau”. Maria Farida Indrati Soeprapto mengatakan bahwa kata-kata “dan/atau” sebenarnya sudah jelas yaitu dapat menggabungkan (kumulatif) jenis-jenis pidana, dapat pula “memilih” (alternatif) satu satu daripadanya.36 3. Sistem perumusan kumulatif Sistem perumusan ini dapat dapat dijumpai pada ketentuan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001, yang rumusannya adalah: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto) (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat(1). Berdasarkan rumusan tersebut, pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara sah dan meyakinkan, oleh Majelis Hakim harus dijatuhi sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda secara bersamaan (bergabung). Di sini hakim tidak diberikan kebebasan memilih dalam penjatuhan sanksi pidana. Hakim mau tidak mau harus menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pidana secara bersamaan. Penggabungan dua jenis pidana pokok itu dalam rumusan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 ditandai dengan kata penghubung “dan”. Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa terdapat dua jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan secara bersamaan dalam perkara tindak pidana korupsi, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Menurut Adami Chazawi, dalam hukum pidana korupsi terdapat dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:37 1) Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda itu wajib kedua-duanya dijatuhkan secara serentak. 2) Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dan pidana denda. Di 36 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 193. 37 Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana Materil......, Op.cit, hlm. 381. 252 antara dua jenis pidana pokok itu yang wajib dijatuhkan adalah pidana penjara (imperatif), namun dapat juga dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda. Dalam hal ini pidana denda tidak wajib dijatuhkan, melainkan boleh dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi, dalam hukum pidana korupsi mengenai sanksi pidananya terdapat ketentuan yang menentukan bahwa dua jenis pidana pokok dapat dijatuhkan secara bersamaan, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Kemudian pertanyaanya adalah: Kapankah pidana denda dapat dihapuskan, dalam arti tidak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi?. Dengan merujuk pada pembagian strafsoort dan pendapat Adami Chazawi di atas, maka pidana denda dalam hukum pidana korupsi dapat dihapuskan apabila dirumuskan dengan sistem perumusan alternatif kumulatif. Dalam hal ini, Majelis Hakim diberikan kebebasan untuk memilih dalam penjatuhan sanksi berupa pidana penjara tanpa pidana denda atau pidana penjara dan pidana denda dijatuhkan secara bersamaan (bergabung). kumulatif, yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau”. Apabila sanksi pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif dengan kata penghubung “dan”, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan. Jika dikaitkan dengan putusan yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghapuskan pidana denda, maka pertanyaannya adalah “Apakah putusan Majelis Hakim itu sudah tepat?”. Seperti diketahui dari beberapa media masa, bahwa Akil Mochtar dijatuhi sanksi berupa pidana penjara seumur hidup, karena telah terbukti secara sah dan meyakinkann melanggar ketentuan Pasal 11 UU Pemberatan Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 12 huruf (c) UU Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Namun dalam putusannya itu, Majelis Hakim menghapuskan pidana dendanya, karena hukumannya telah maksimal.38 Untuk mengetahui tepat atau tidaknya putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta itu, maka akan dilihat dari rumusan kedua pasal yang dilanggar oleh Akil Mochtar tersebut. 1. Apabila rumusan sanksi pidananya bersifat kumulatif, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan karena sistem perumusan itu tidak memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk memilih. Artinya, dalam hal pelaku tindak pidana korupsi telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan yang strafsoortnya menganut sistem perumusan kumulatif, maka mau tidak mau Majelis Hakim mau tidak mau harus menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan. Selain itu, pendapat penulis tersebut juga didasarkan pada eksitensi dari pidana denda, yang mana dalam hukum pidana termasuk dari jenis pidana pokok yang bersifat imperatif (keharusan). Sehingga dalam hal suatu tindak pidana korupsi diancam dengan salah satu dari jenis pidana pokok, misalnya pidana denda maka mau tidak mau majelis hakim harus menjatuhkan kepada pelakunya. Dengan demikian dapatlah dipahami, bahwa dalam hukum pidana korupsi pidana denda dapat dihapuskan, dalam arti tidak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi apabila sanksi pidananya dirumuskan dengan sistem alternatif 38 Rumusan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 adalah: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 2. Rumusan Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 adalah: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah: c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa http://berita.plasa.msn.com/nasional/tribunnews/akil-mochtar-divonis-penjara-seumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli 2014. 253 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256 hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Apabila melihat rumusan kedua pasal di atas, maka sistem perumusan pidananya adalah alternatif-kumulatif dan kumulatif. Sistem perumusan alternatif-kumulatif digunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau”. Sedangkan sistem perumusan kumulatif digunakan Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 yang ditandai dengan kata penghubung “dan”. Seperti yang diuraikan pada halaman sebelumnya, bahwa dalam sistem perumusan alternatif kumulatif memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk memilih sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Sedangkan sistem prumusan kumulatif tidak memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk memilih. Dalam sistem itu, majelis hakim hanya diberikan kebebasan untuk memilih berat ringannya pidana penjara dan sedikit banyaknya pidana dendanya. Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001, maka Akil Mochtar dapat dibebaskan dari pidana denda oleh majelis hakim. Dalam artian pidana denda dalam rumusan pasal tersebut dapat dihapuskan. Namun, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan karena sistem rumusannya kumulatif yang berarti penggabungan, sehingga pidana pidana penjara dan pidana denda harus dijatuhkan secara bersamaan Oleh karena Akil Mochtar dinyatakan bersalah melanggar dua ketentuan tersebut oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, maka pidana denda tidak dapat dihapuskan, karena salah satunya ada yang dirumuskan dengan sistem kumulatif yaitu Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 200, yang berarti pidana penjara dan pidana denda harus sama-sama dijatuhkan kepada Akil Mochtar. Jadi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak tepat apabila menghapuskan pidana denda dalam perkara Akil Mochtar. Hal itu karena dasar hukum rujukannnya terdiri dari dua pasal yang menggunakan strafsoort yang berbeda. Apabila pidana denda dihapuskan maka tindakan Majelis Hakim tidak mencerminkan dari suatu upaya pemberantasan korupsi yang luar biasa (extra ordinary law enfrocement), sehingga korupsi tidak 254 Penghapusan Pidana Denda Dalam Perkara .....(Ramiyanto) nampak sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). C. Penutup Pidana denda dalam hukum pidana termasuk dalam jenis pidana pokok, yang bersifat imperatif. Apabila melihat sistem perumusan sanksi (strafsoort) dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, maka tidak semua pidana denda dapat dihapuskan. Pidana denda dalam perkara tindak pidana korupsi dapat dihapuskan (dalam arti tidak dijatuhkan kepada terdakwa), apabila dirumuskan dengan sistem alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau”. Berkaitan dengan perkara Akil Mochtar maka putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta adalah tidak tepat yang telah menghapuskan pidana dendanya. Hal itu disebabkan, Akil Mochtar dinyatakan telah bersalah melanggar ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (c) UU No. 20 Tahun 2001, yang mana salah satunya untuk ancaman pidananya dirumuskan dengan sistem kumulatif yang ditandai kata penghubung “dan”, sehingga pidana denda harus dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara (penggabungan). Seluruh hakim yang menangani perkara pidana terutama perkara tindak pidana korupsi, apabila ketentuan pidana yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan dirumuskan secara kumulatif dengan menggunakan kata penghubung “dan”, maka pelaku harus dijatuhi kedua sanksi pidana sebagai bentuk penggabungan (kumulatif). Selain itu, apabila dalam perkara Akil Mochtar itu diajukan upaya hukum Banding, maka Pengadilan Tinggi harus menjatuhkan pidana denda. Hal itu patut untuk diperhitungkan, karena korupsi merupakan extra ordinary crime, sehingga diperlukan suatu upaya extra ordinary law enforcement. Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju. Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Budiyono, 2013, Pemanfaatan Media Massa oleh Penegak Hukum dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Perspektif Volume XVIII No. 1 Edisi Januari. Suparni, Niniek. 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika. Winarno, Budi. 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS. Chazawi, Adami. 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarata: RajaGrafindo Persada. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ----------, --------. 2011, Hukum Pidana dan Formil Korupis Di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76. Hamzah, Jur. Andi. 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3874. Kartanegara, Satochid. Tanpa Tahun, Hukum Pidana Bahan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa. Mulyadi, Lilik. 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi, dan Victimologi, Jakarta: Djambatan. Poernomo, Bambang. 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara. Rianto, Bibit S. 2009, Korupsi Go to Hell!: Mengupas Anatomi Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Hikmah. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius. Soesilo, R. 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Sumaryanto, A. Djoko. 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang RI Nomo 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4150. Putusan Putusan Mahakamah Agung K/Pid.Sus/2013. RI No. 1616 Website: Akil Mochtar Divonis Penjara Seumur Hidup, http://berita.plasa.msn.com/nasional/trib unnews/akil-mochtar-divonis-penjaraseumur-hidup, diakses tanggal 22 Juli 2014. http://m.poskotanews.com/2014/07/01/aktifikta s-komentari-vonis-maksimal-akilmochtar/?wpmp_Switcher=mobile, diakses tanggal 24 Juli 2014. Daftar Pustaka Buku-Buku Abdullah, Mustafa dan Ruben Achamd. 1986, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. Ali, Mahrus. 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakaarta: Sinar Grafika. Atmasasmita, Romli. 1995, Kapita Selekta Hukum 255 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256 PARTAI POLITIK DAN PROBLEM KEADILAN BAGI MAZHAB MINORITAS DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN AWAL) (POLITICAL PARTY AND JUDICATURE PROBLEM FOR GROUP OF MINORITY IN INDONESIA (A FIRST STUDY)) Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta e-mail: [email protected] (Naskah diterima 07/07/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum. Dinamika selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Bahkan, secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi salah satu sarana kelembagaan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan perlindungan kaum minoritas masih menjadi problem yang belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk kasus diskriminasi yang dialami oleh para penganut mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian, permasalahan ini tampaknya belum menjadi perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar negara yang mereka anggap mampu untuk “mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar belakangnya. Paper ini akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen yang diterbitkan oleh beberapa partai politik dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan. Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai, mazhab minoritas. Abstract Political parties have their functions in related with their general election activities. Political parties have also the function to struggle the minority rights. Theoretically and practically political parties have already be an institutional instrument that can be formed by minority group of society to protect their rights as citizens. What is the condition in Indonesia practically? The problems of minority group protection in Indonesia are not completely finished, for example the case of Syiah in Indonesia. This problem is not attracted the political parties in a serious level. But actually the discrimination problem is really needs to solve to protect the country from disunity. At the very beginning, the “founding fathers” of this republic had given their serious attention on pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity the pluralism of Indonesian people. This writing focus on the role of political parties as the agent of discrimination protection of the minority group in Indonesia based on Pancasila's values. This study will be based on the data and document publishing by political parties and interviews from related informants. Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group. A. Pendahuluan Partai politik merupakan salah satu entitas yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas pada kegiatan untuk meraup suara pada saat pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu, partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang bisa ikut menentukan perjalanan sejarah suatu 256 bangsa dan negara. Hal seperti tersebut di atas dapat dilihat, antara lain, pada pengalaman yang pernah terjadi di Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan sampai dengan masa sekarang ini. Secara historis, partaipartai politik di Indonesia sebenarnya lahir dan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan identitas 257 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun menjadi wadah aspirasi dari kelompok atau golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai politik pada masa kolonial turut memberikan kontribusi bagi penemuan identitas keindonesiaan yang mendasari pembentukan republik.1 Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia, dapat dilihat pula bahwa partai politik telah berhasil menjadi agen perubahan yang ikut serta mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari tangan penjajah. Begitupun setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia, beberapa partai politik yang dibentuk relatif berhasil menjadi pengisi syarat bagi Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Mereka inilah yang menjadi peserta pemilihan umum untuk pertama kali pada tahun 1955. Kehidupan partai politik di Indonesia mulai “semarak lagi” sejak adanya Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945.2 Maklumat itu merupakan regulasi pertama di bidang kepartaian di Indonesia setelah merdeka yang telah melahirkan sistem multipartai. Ada banyak partai politik yang dibentuk oleh rakyat berdasarkan maklumat itu. Partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan maklumat tersebut diarahkan oleh pemerintah agar mereka dapat ikut serta dalam pemilihan anggota badan perwakilan rakyat. Salah satu butir dari Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 menyebutkan bahwa “…Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.” Berdasarkan maklumat itu berdirilah secara resmi partai-partai politik, yang sampai dengan bulan Januari 1946 telah berjumlah 10 (sepuluh) partai politik, yang terdiri dari: Partai Majelis Syuro Muslimin (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Djelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). 1 David Reeve menyebutkan bahwa sebenarnya jumlah partai yang berdiri berdasarkan Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 bukan hanya 10 (sepuluh) partai politik, melainkan jauh lebih banyak, karena selain muncul beberapa partai politik kecil, partai-partai politik yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit kembali. Jumlah partai politik yang berdiri pada bulan November sampai dengan Desember 1945 mencapai 35 (tiga puluh lima) partai politik.3 Pada tahun 1955 diselenggarakanlah pemilihan umum yang pertama kali sejak kemerdekaan Indonesia. Pemilihan umum itu diikuti oleh banyak partai politik, dan dimaksudkan untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante. Berlanjut hingga masa sekarang, partai politik kembali menjadi aktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahkan, pada saat memasuki periode reformasi setelah berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru, berdirinya partai-partai politik menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia guna memenuhi statusnya kembali sebagai negara hukum yang demokratis setelah lebih dari 30 (tiga puluh) tahun berada dalam kekuasaan rezim yang “anti demokrasi.” Oleh karena itulah, maka dapat dipahami mengapa pemikir seperti Antonio Gramsci sampai berani “memuji” partai politik sebagai bagian dari sejarah suatu negara. Mengenai hal itu Gramsci mengatakan bahwa, “… Jadi menulis sejarah partai berarti menulis sejarah umum negara tersebut …”4 Paparan tersebut di atas mencerminkan betapa kehadiran partai politik begitu dibutuhkan bagi kehidupan suatu negara, termasuk Indonesia, karena ia memiliki fungsi-fungsi yang pada akhirnya dapat ikut menentukan berjalannya negara sebagai sebuah organisasi politik dan hukum. Di Indonesia, mengenai fungsi-fungsi dari partai politik telah diatur di dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syamsuddin Haris, “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 3, No. 1, 2006: 68. 2 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 115. 3 Ibid., hlm. 46. 4 Antonio Gramsci, Prison Notebooks, Catatan-Catatan dari Penjara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 209. 258 Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) Fungsi-fungsi tersebut kemudian ditujukan bagi pemenuhan dan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ada variabel penting yang harus (wajib) menjadi concern bagi setiap partai politik dalam menjalankan aktivitasnya, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun faktanya Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah 2 (dua) hal yang “mudah” untuk diamalkan, dijalankan, dan diwujudkan dalam kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk oleh partai-partai politik yang ada. Untuk hal ini, banyak peristiwa yang bisa dilihat sebagai contohnya. Misalnya saja seperti peristiwa tindak diskriminasi terhadap kaum Syiah yang minoritas yang terjadi di Sampang, Madura. Peristiwa diskriminasi terhadap kaum Syiah seperti yang terjadi di Sampang harus diakui masih belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mereka yang bermazhab Syiah ini bahkan masih “berstatus” sebagai pengungsi saat memberikan suara mereka pada pemilihan umum tahun 2014 yang lalu.5 Padahal, apabila dilihat dari beberapa aspek, peristiwa Sampang tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peristiwa Sampang hanyalah salah satu dari serangkaian fakta bahwa sebenarnya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih sering terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Dari peristiwa diskriminasi itu, maka nilai-nilai yang sedang diruntuhkan ialah nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persatuan, serta perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan, semua itu akhirnya potensial dapat meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan tersebut tentu harus dicarikan solusinya, dan upaya ini harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk partai-partai politik yang ada di Indonesia. Apalagi, sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, salah satu tujuan yang diamanatkan kepada partai politik ialah ia harus dapat mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Asumsi dalam kajian ini ialah permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas, termasuk diskriminasi yang dialami oleh kaum Syiah seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, belum menjadi fokus perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan secara tuntas, potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat karena Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Paper ini akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh partaipartai politik, dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan. B. Pembahasan B.1. Dinamika Fungsi Partai Politik Fungsi partai politik, setidaknya, dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif yuridis, dan teoretis. Dari perspektif yuridis, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah mengamanatkan agar partai politik berfungsi menjadi sarana: 1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 5 Muhammad Syarrafah, “Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut Mencoblos,” <http://pemilu.tempo.co/ read/news/2014/04/09/058569339/Pengungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>, dan Muhammad Syarrafah, “Hak Pilih Pengungsi Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04/08/269568878>, keduanya diakses pada tanggal 13 April 2014. 259 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; 4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; 5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. bentuk bersama dengan pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama. 6. Sosialisasi politik. Partai politik mempunyai fungsi sebagai sosialisasi politik. Dalam fungsinya tersebut, maka partai politik akan menjadi media melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. 2. Partisipasi politik. Partai politik dapat menjadi alat mobilisasi warga negara ke dalam kehidupan dan kegiatan politik. 3. Rekrutmen politik. Partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Juga diusahakan untuk menarik golongan-golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Kemudian, kader tersebut bisa saja diikutsertakan bersaing dengan partai politik lainnya untuk peran-peran politik dalam parlemen, dalam kementerian, ataupun pemerintahan daerah. 4. 5. Komunikasi politik. Dalam menjalankan fungsi komunikasi politik, partai politik menyalurkan beragam pendapat dan aspirasi masyarakat, serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Artikulasi kepentingan. Menyatakan atau mengartikulasikan kepentingan tertentu kepada badan-badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka B.2.1. Perspektif Hukum Islam Keadilan menurut Quraisy Syihab adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya.”10 Sedangkan menurut Miskawaihi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir, bahwa keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan hikmah (wisdom), iffah (kesucian), dan syajaah (keberanian).11 Pembuat kebijaksanaan. Jelas bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan di dalam pemerintahan secara konstitusional. Sesudah partai politik itu merebut kekuasaan dalam pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif, maka dia akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan. Kitab suci Al-Quran sedikitnya menggunakan 2 (dua) kata kunci untuk menggambarkan keadilan, yaitu “al-adl” dan “al-qist,”12 serta kata yang semakna dengan al-adl, yaitu “al-wazn” dan “alwast” yang tercantum dalam berbagai tempat di dalam Al-Quran.13 Kata al-adl dalam bahasa Arab mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling), maksudnya ialah bahwa keadilan dapat dirasakan sama oleh 2 (dua) pihak. Sehubungan dengan fakta bahwa dalam setiap masyarakat akan selalu ada kelompok-kelompok minoritas, Florian Bieber berpendapat bahwa sebenarnya partai politik dapat juga dijadikan (berfungsi) sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok minoritas. Al-Qist merupakan kata kunci yang digunakan Al-Quran untuk mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran.14 “Al-Adl” dan “Al-Muqsith” juga merupakan nama Allah yang artinya Tuhan Maha Adil.15 Kata al-wast yang berarti al-adl dan al-nisf (tengah atau pusat) dicantumkan pula dalam AlQuran.16 Kata al-wazn yang mempunyai makna ta'dil dan istiqomah (moderat dan lurus). Dalam AlQuran, kata al-adl selalu disandingi oleh kata “alzulm,” yang merupakan lawan katanya.17 Al-zulm bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak semestinya, baik dengan cara melebihkan atau mengurangi maupun menyimpang dari waktu dan tempat.18 7. Secara lebih rinci, Bieber menjelaskan bahwa ada beberapa sarana perwakilan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompokkelompok minoritas, yaitu: perkumpulanperkumpulan untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, institusi-institusi khusus, seperti dewan, yang dibentuk untuk mewakili kepentingan kelompok minoritas, partai politik yang bisa saja bukan partai politik khusus yang dibentuk untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, tetapi lebih merupakan partai politik yang program-programnya juga menjangkau kepentingan kelompok minoritas, atau bahkan membentuk partai politik yang memang khusus mewakili kepentingan kelompok minoritas.7 6 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hlm. 37-41. Lihat juga Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 163, dan Mohtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 64-69. 7 Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political Parties,” dimuat dalam Florian Bieber et al., Political Parties and Minority Participation, Skopje: Friedrich Ebert Stiftung, 2008, hlm. 11. 260 B.2. Sekilas tentang Keadilan Agregasi kepentingan. Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutantuntutan yang dilancarkan oleh kelompokkelompok yang berbeda digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah. Dalam masyarakat yang demokratik, partai merumuskan program politik dan menyampaikan usul-usul kepada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintah mengadakan tawar-menawar dengan kelompok-kelompok kepentingan. Dalam tawar-menawar, calon dari partai politik menawarkan pemenuhan kepentingan kelompok tertentu apabila mereka mau mendukung calon tersebut. Selanjutnya, dari perspektif teoretis, biasanya partai politik itu dilihat sebagai sebuah institusi yang memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk:6 1. Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) “Keadilan” merupakan kata sifat yang artinya perbuatan yang adil. “Adil” artinya tidak berat sebelah, tidak memihak.8 Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, kata “adil” secara terminologi berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.9 Dalam konteks ajaran Islam, dapat ditemui 6 (enam) macam bidang keadilan (sedikitnya ada 6 (enam) bidang kehidupan yang dituntut untuk berlaku adil), yaitu: keadilan di bidang hukum, keadilan di bidang ekonomi, keadilan politik, keadilan berkeyakinan, keadilan kesehatan, dan keadilan pendidikan. Keadilan dalam bidang politik dapat diartikan bahwa politik dijadikan sebagai standar dan tolok ukurnya, antara lain, di mana setiap warga negara mempunyai hak dan akses yang sama untuk terlibat dalam kegiatan politik. Ukurannya ialah instrumen negara seperti peraturan yang dibuat oleh negara, perilaku negara terhadap warga negaranya, dan apa yang dipandang adil oleh aparatur negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keadilan politik merupakan produk dari kekuatan politik, termasuk partai politik maupun orang yang berpengaruh. Dalam pandangan Al-Quran, masalah keadilan juga dikaitkan dengan kekuasaan dan penguasa yang terpersonifikasikan dalam terminologi “khalifah.” Dalam Al-Quran surat Shaad ayat 26, Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Daud diutus ke dunia untuk menjadi khalifah, penguasa negara, yang tugasnya ialah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Nabi Daud juga diperingatkan agar tidak mengikuti hawa nafsu dalam menegakkan keadilan. Pada masa kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, keadilan dikembalikan kepadanya sebagai rujukan utama. Nilai keadilan 8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 6-7. 9 Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hlm. 25. 10 M. Quraisy Shihab, Lentera Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 238. 11 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 102. 12 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 59. Lihat juga Rifyal Ka'bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur'an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, hlm. 82-87. 13 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 21. 14 Ibid. 15 Seyyed Hosein Nasr, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 289. 16 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim, Mesir: Dar Al-Fikr, 1981, hlm. 448. 17 Ibid. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 62. 18 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 391-410. 261 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 disandarkan kepada Rasul sebagai standarnya. Terkait dengan hal itu, Allah berfirman dalam AlQuran surat An-Nisaa ayat 65 yang menjelaskan bahwa: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” Setelah masa kepemimpinan Rasulullah lewat, lalu siapakah yang diberi amanat untuk menegakkan hukum dan keadilan? Dalam AlQuran surat An-Nisa ayat 59, Allah memberi petunjuk: ”Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri19 di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Ulil amri di sini ditempatkan pada urutan ke tiga dalam hierarki legitimasi kekuasaan yang berhak memerintah kaum muslimin. Ia wajib ditaati sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul. Dalam surat An-Nisaa ayat 83, Allah berfirman, “Dan kalau mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).” Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, diberitakan bahwa bisa saja terjadi perbedaan pendapat dalam menerjemahkan keadilan dalam wilayah politik, atau keadilan di mana politik menjadi bingkainya. Persoalannya kemudian ialah siapakah ulil amri yang mempunyai otoritas politik untuk menegakkan keadilan tersebut? Dari aspek sejarah, awal mula perdebatan siapa yang layak dijadikan ulil amri (khalifah) muncul ketika Rasul wafat. Dalam pandangan sahabat Rasul, khalifah perlu dipilih dari kalangan mereka. Kaum muhajirin menghendaki khalifah dari kalangan muhajirin, dan ansar menghendaki khalifah dari ansar, sementara Bani Hasyim menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. 19 Pada saat itu terjadi perdebatan sengit untuk menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Hingga akhirnya pemilihan dilakukan secara musyawarah dan terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Cara musyawarah ini setidaknya hanya terjadi pada saat pemilihan khalifah Abu Bakar saja.20 Untuk khalifah ke dua, metode pemilihan khalifahnya ialah secara penunjukan. Dalam hal khalifah ke dua, Abu Bakar telah membuat surat wasiat bahwa jika dirinya meninggal, maka Umar bin Khattab yang berhak menggantikannya. Khalifah ke tiga diangkat berdasarkan pemilihan oleh sejumlah 6 (enam) formatur yang anggotanya dipilih oleh Umar bin Khattab. Sementara khalifah ke empat diangkat berdasarkan pemilihan. Selanjutnya, dalam tradisi Dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah berlakulah sistem monarki. Dari paparan tersebut terlihat tidak ada konsistensi dalam pengangkatan khalifah. Hal ini dapat dipahami karena memang tidak ada dasar hukumnya yang pasti tentang bagaimana teknik mengangkat ulil amri (khalifah). Memang tidak ada satu dasar hukum dari AlQuran dan Sunah yang secara jelas menganjurkan atau melarang seorang muslim untuk terlibat dalam kegiatan politik dalam suatu negara. Dari paparan di atas harus diakui pula bahwa Islam tidak dapat memisahkan hubungan antara negara dan agama. Hal itu telah diberi teladan oleh Rasulullah ketika ia mendirikan “Negara Madinah.” Nabi Muhammad SAW selama sekitar 10 (sepuluh) tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang Nabi dan sekaligus seorang pemimpin masyarakat politik (kepala negara). 2 1 Sehingga, praktis Nabi Muhammad SAW yang langsung memberikan contoh berpolitik yang islami. Di masa kepemimpinan Rasul, praktik keharmonisan dan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia yang diajarkan oleh Islam di Madinah salah satunya diwujudkan dalam dokumen yang dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah.” Dalam rangka itu pula, dikenal adanya terminologi “ummatan wahidah,” suatu terminologi yang sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh mayoritas kaum muslimin. Ummatan wahidah sering dipahami sebagai kondisi suatu masyarakat Ulama adalah pemimpin agama, dan umaro adalah pemimpin pemerintahan. 20 Mengenai perdebatan dan insiden Saqifah Bani Sa'idah dapat dibaca pada Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I, Mesir: Muassasah Al-Halabiy, tanpa keterangan tahun, hlm. 12-18. 21 Nurkholis Madjid, “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998: 589. 262 Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) yang homogen (tidak ada perbedaan). Padahal sesungguhnya, terminologi tersebut ialah untuk menggambarkan keharmonisan yang terjadi di masyarakat heterogen seperti yang ada di Madinah. Konsep ummatan wahidah itu juga merupakan suatu konsep yang dibangun oleh Rasul untuk memberikan pemahaman bahwa Islam ialah agama yang toleran dan menghargai perbedaan. Lalu, apa relevansinya pembahasan tersebut di atas, yang dilakukan dari perspektif hukum Islam, dengan tema paper ini? Ada beberapa hal yang dapat menjadi jawaban (alasan) atas pertanyaan itu, yaitu: Pertama, Islam dan politik ialah 2 (dua) hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi para penganutnya, Islam diyakini merupakan ajaran yang komprehensif, termasuk mengatur bagaimana politik itu dijalankan, melalui apa, dan apa tujuannya. Pada titik ini, maka keberadaan partai politik, yang merupakan bagian dari melalui apa politik itu dijalankan, dibahas dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai melalui politik kepartaian. Dan yang ingin dicapai melalui politik kepartaian ini tentunya tertuju kepada “berbagai maslahat baik yang kembali kepada agama maupun umat,”22 termasuk tentunya keadilan bagi mazhab minoritas yang ada di dalam tubuh Islam itu sendiri. Kedua, problem keadilan bagi seluruh masyarakat, termasuk bagi kelompok minoritas yang ada di dalam masyarakat, secara potensial bisa diselesaikan antara lain melalui politik kepartaian. Hal ini dikarenakan partai politik memiliki fungsi sebagai sarana artikulasi, agregasi, dan pembuat kebijakan atau hukum yang responsif terhadap perwujudan keadilan di masyarakat. Secara lebih umum, hal seperti itulah yang disebut oleh Rocky Gerung sebagai “mengaktifkan politik sebagai tata bahasa percakapan keadilan.”23 Sejalan dengan hal itu, dalam konteks politik Islam, Yusuf Qardhawi juga menjelaskan bahwa:24 “… kaum muslimin lebih baik ikut berperan serta dalam kancah politik demi tercapainya berbagai maslahat baik yang kembali kepada agama maupun umat, sekaligus untuk mencegah timbulnya bahaya dan kerusakan yang akan mengancam mereka… Di antara beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh kaum muslimin adalah mendirikan partai yang memperjuangkan hak-hak mereka serta hak-hak orang lain.” B.2.2. Perspektif Negara Hukum Indonesia Untuk memahami konsep keadilan di dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka yang menjadi landasannya haruslah (harus diawali dengan) pemahaman terhadap konsep keadilan yang terkandung dalam sila-sila pada Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia. Menurut Abdulkadir Besar, ciri khas paham keadilan menurut Pancasila ialah:25 1. Subjeknya jamak yang berinteraksi secara berpasangan; 2. Bahan baku dari keadilan ialah hasil tunaian kewajiban memberi dari para subjek; 3. Keadilannya bersifat fungsional; 4. Dengan terjadinya transformasi kewajiban menjadi hak antarpasangan-subjek yang jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan sosial terwujud. Berdasarkan penjelasan mengenai konsep keadilan dalam Pancasila tersebut di atas, apabila kemudian hal itu dihubungkan dengan upaya perlindungan hak asasi manusia kaum minoritas, maka akan diperoleh pemahaman bahwa keadilan dalam Pancasila jelas mengisyaratkan adanya perlindungan bagi kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas.26 Antara subjek yang saling terjalin dalam relasi ekuivalensi, mereka berada di dalam “relasi samaan” sekaligus “relasi tak samaan.” Menurut Besar, relasi samaan ialah terkait dengan kesamaan tujuan yang hendak dicapai oleh unsur-unsur yang saling berinteraksi, dan relasi tak samaan ialah terkait dengan keadaan tertentu yang berbeda yang mengakibatkan antarunsur tadi saling bergantung.27 Dalam konteks keadaan masyarakat Indonesia yang plural yang di dalamnya juga terdapat kelompok minoritas dan mayoritas, maka ini 22 Yusuf Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 283. 23 Rocky Gerung, “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik,” Jurnal Jentera, Ed. 20, Thn. V, Januari-April 2010: 7. 24 Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 283. 25 Abdulkadir Besar, Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik, Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta: Pustaka Azhary, 2005, hlm. 42. 26 Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama,” Digest Epistema, Vol. 4, 2013: 25. 27 Abdulkadir Besar, op.cit., hlm. 21 dan 123. 263 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 mengisyaratkan perlunya kedua belah pihak untuk saling bekerja sama, saling melengkapi, untuk kemudian secara bersama-sama berupaya mewujudkan kesejahteraan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.28 Sejalan mengenai hal tersebut, Nurkholis Madjid pernah menjelaskan bahwa dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerja sama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan serta perbedaan, dan untuk meningkatkan mutu kehidupan bersama.29 Menurut J.S. Furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal.30 Dalam perkembangannya, masyarakat-masyarakat plural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhir perang dunia ke-2, dapat menyatu dalam satukesatuan unit politik tunggal. Namun, memang harus diakui bahwa penyatuan itu tidaklah menghilangkan realitas pluralitas sosial, budaya, bahkan keagamaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia.31 Negara, menurut alam Pancasila, diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama. Selain itu, sebagai negara yang dihuni oleh warga negaranya yang memiliki beragam latar belakang agama dan keyakinan, Negara Indonesia diharapkan juga dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama dan keyakinan, serta melindunginya. Dan sehubungan dengan adanya fakta bahwa di dalam masyarakat selalu ada agama dan keyakinan yang berposisi sebagai mayoritas dan minoritas, maka Negara Indonesia harus dapat pula mengembangkan dan menjalankan kekuasaannya secara independen, tanpa didikte oleh agama mayoritas sekalipun.32 Pernyataan yang terakhir itu merupakan konsekuensi dari Negara Indonesia yang bukan “negara agama,” melainkan “negara berdasar atas 28 Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada negara agama, negara hanya merepresentasikan salah satu unsur agama tertentu, dan memungkinkan agama tersebut mendikte negara.33 Sedangkan, menurut Yudi Latif, pada negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keberadaan agama diharapkan (dimaksudkan) untuk: pertama, mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama yang membawa kebaikan bagi semua.34 Ke dua, setiap agama mencari titik temu dalam semangat gotong-royong untuk membentuk landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik bersama berdasarkan nilai-nilai moralitas Ketuhanan. 35 Ke tiga, setiap agama harus menghindari sikap mengucilkan agama lain yang mengakibatkan timbulnya fragmentasi berdasarkan ideologi keagamaan.36 Ke empat, agama harus dapat berkontribusi bagi penciptaan budaya demokrasi dan kemajuan bangsa, seperti pada saat ia ikut serta membuka jalan menuju Indonesia merdeka.37 Ke lima, dan melalui hal-hal itu semua, dapat mewujudkan “kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan dan golongan.”38 B.3. Problem Indonesia Keadilan Bermazhab di Apakah yang dimaksud dengan problem keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas tersebut? Problem keadilan bermazhab bagi minoritas ini sebenarnya ialah suatu permasalahan di mana keadilan tidak terwujud bagi mereka yang berasal dari kelompok mazhab minoritas. Wujud konkret dari permasalahan itu ialah adanya diskriminasi yang dialami oleh mereka yang berasal dari kelompok mazhab yang berbeda yang berada pada posisi minoritas. Konsep mazhab minoritas mirip dengan konsep agama minoritas (minority religion). Perbedaannya terletak pada posisi mazhab yang justru berada di dalam satu tubuh agama tertentu. Faktor agama, Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., loc.cit. 29 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 390. 30 Azyumardi Azra, “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme,” dimual dalam Jusuf Susanto, The Dancing Leader, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 18. 31 Ibid., hlm. 19. 32 Yudi Latif, op.cit., hlm. 43. 33 Ibid. 34 Ibid., hlm. 118. 35 Ibid., hlm. 119. 36 termasuk mazhab, tentunya juga dapat menciptakan entitas kelompok minoritas. Dan di dalam suatu masyarakat yang anggota-anggotanya memiliki beragam keyakinan agama, maka akan terdapat apa yang disebut sebagai “agama minoritas.” Istilah agama minoritas (minority religion) dapat dipahami dalam beberapa pengertian. Secara sederhana, agama minoritas dapat dipahami sebagai sebuah situasi dalam mana sebuah bagian dari masyarakat mempraktikkan sebuah agama yang berbeda dari agama mayoritas pada masyarakat yang bersangkutan.39 Agama minoritas juga dapat dipahami dalam kaitannya dengan faktor kekuasaan. Karenanya yang patut pula diperhatikan ialah, terkadang dalam situasi tertentu, agama yang minoritas dalam hal jumlah pengikut justru dapat menjadi dominan secara politik (menguasai bidang politik). Dalam keadaan seperti ini, maka agama minoritas tadi tidaklah dapat disebut berada dalam kedudukan yang minoritas.40 Masih dalam kaitannya dengan faktor kekuasaan, agama minoritas dapat dipahami pula sebagai agama yang dalam hal jumlah pengikutnya memang sedikit apabila dibandingkan agama lain yang pengikutnya lebih banyak (agama mayoritas), ditambah lagi mereka (sebagai penganut agama minoritas) juga memiliki pengaruh yang kecil dalam bidang politik.41 Agama minoritas juga dapat dipahami dalam kaitannya dengan etnis minoritas tertentu yang ada di dalam suatu masyarakat. Apabila terdapat sekelompok etnis minoritas yang mana suatu agama menjadi salah satu bagian dari identitas budaya mereka, maka agama yang mereka peluk itu juga akan menjadi agama minoritas.42 Lebih lanjut, keberadaan kaum minoritas, termasuk minoritas karena latar belakang mazhab dalam suatu agama, biasanya terkait pula dengan masalah praktik diskriminasi. Diskriminasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah: “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis Apabila menggunakan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka jelas paham Syiah di Indonesia dapat dikategorikan sebagai entitas minoritas. Alasannya tentu dapat dikaitkan dengan pertimbangan dari sisi jumlah penganutnya, pengaruhnya secara politis, dan perlakuan diskriminasi yang mereka terima. Penjelasan tersebut akan semakin relevan apabila dihubungkan dengan fakta-fakta (peristiwa) yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, terutama misalnya pada peristiwa di mana kelompok yang menganut mazhab Syiah yang minoritas mengalami diskriminasi secara terusmenerus. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan contoh mengenai diskriminasi itu, yaitu: 1. Pada April 2000, bangunan dan fasilitas Pesantren Syiah, Al-Hadi, di Pekalongan, dibakar dan dihancurkan; 2. Pada Februari 2011, terjadi penyerangan dan kerusuhan di dalam Pesantren YAPI Bangil. Bentrokan terjadi antara santri YAPI dan warga Sunni; 3. Pada Desember 2011, terjadi penyerangan sekaligus pembakaran rumah-rumah warga Syiah di wilayah Sampang, Jawa Timur; 4. Pada Mei 2012, di Jember juga terjadi bentrokan yang disebabkan isu gesekan dakwah Syiah. 5. Pada Agustus 2012, ratusan orang telah menyerbu permukiman milik komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. 6. Pada tanggal 14 November 2013, terjadi pembubaran perayaan Asyura dari para penganut mazhab Syiah di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta. 39 Richard T. Schaefer, ed., Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society, Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc., 2008, hlm. 1139. Ibid. 40 Ibid. 37 Ibid., hlm. 120. 41 Ibid., hlm. 1140. 38 Ibid. 42 Ibid. 264 kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” 265 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 Permasalahan tersebut tentunya harus segera diselesaikan secara tuntas, karena apabila tidak diselesaikan, maka secara perlahan-lahan potensial meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masyarakatnya bersifat plural. B.4. Fungsi Partai Politik dan Problem Keadilan Bermazhab Apabila dihubungkan antara tujuan serta fungsi partai politik di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dengan permasalahan diskriminasi yang dihadapi oleh para pemeluk mazhab Syiah di Indonesia, maka idealnya partai politik di Indonesia seharusnya ikut serta menjadi agen yang menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan mengenai hal ini ialah karena secara yuridis keharusan itu sudah ditegaskan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, yang intinya mewajibkan setiap partai politik untuk berupaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dan, bentuk-bentuk dikriminasi yang dihadapi oleh kaum Syiah di Indonesia selama ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tadi. Oleh karena itu, apabila permasalahan diskriminasi itu tidak segera diselesaikan secara tuntas tentunya potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, partai politik yang ingin secara sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai pengemban nilai-nilai Pancasila seharusnya juga ikut aktif menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seperti halnya yang dihadapi oleh kaum Syiah di Indonesia. Penjelasan tersebut di atas akan menjadi lebih menarik lagi jika dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dalam praktik kepartaian yang dijalankan di Indonesia. Dengan membatasi diri pada partaipartai politik yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014, penulis mengamati praktik yang dijalankan oleh beberapa partai politik, dan dari pengamatan itu dapat diketahui hal-hal penting sebagai berikut: Pertama, dari 12 (dua belas) partai politik nasional peserta pemilihan umum tahun 2014, semua partai politik itu di dalam visi dan misi, anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat penjelasan mengenai program-program kerja partai politik yang bersangkutan telah mencantumkan secara eksplisit maupun implisit perlunya bersikap adil dan menentang diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal tersebut, frase atau kata kunci yang digunakan oleh partaipartai politik di dalam dokumen-dokumen mereka, antara lain, ialah “masyarakat madani,” “egaliter,” “keharmonisan dari keberagaman agama,” “tatanan masyarakat majemuk,” serta “setara, merata dan tidak diskriminatif.” Tetapi memang, dalam perkembangan selanjutnya, masih dapat dilihat adanya ambiguitas perumusan program-program kerja dari partai politik tertentu terkait dengan isu keadilan dan kebebasan dalam memilih serta memeluk agama atau keyakinan. Mengenai hal tersebut misalnya dapat dilihat dari dokumen yang diterbitkan oleh salah satu partai politik nasional yang, di satu sisi, dengan tegas mencantumkan bahwa mereka adalah partai yang menentang tindakan diskriminasi, termasuk diskriminasi yang dilakukan atas alasan agama atau keyakinan, tetapi di sisi yang lain, mereka justru mencantumkan pula ide campur tangan negara dalam hal “pemurnian ajaran agama.” Padahal, sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus, alasan pemurnian agama telah dijadikan sebagai salah satu dasar bagi “pembungkaman” terhadap beberapa pihak yang memiliki agama atau keyakinan yang minoritas, yang berbeda dengan agama atau keyakinan mayoritas. Salah satu contoh konkret mengenai kasus tersebut dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 481/Pid/ 2012/PT.SBY, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1787 K/Pid/2012 dengan terdakwa Tajul Muluk yang berlatar belakang mazhab Syiah. Kedua, walaupun dari 12 (dua belas) partai politik nasional semuanya telah menaruh perhatian terhadap permasalahan diskriminasi, tapi tidak ada satupun dari mereka yang secara eksplisit menggunakan istilah “mazhab” yang merujuk pada pengertian paham atau aliran dalam suatu agama, Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) serta tidak pula ditemukan adanya penggunaan istilah “minoritas” dalam visi dan misi, anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat penjelasan mengenai program-program kerja partai politik yang bersangkutan. Berdasarkan pengamatan penulis, masih sangat sedikit partai-partai politik yang mau mengangkat isu (permasalahan) diskriminasi terhadap mazhab minoritas. Hanya Partai Nasdem yang secara jelas sempat mengangkat permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum Syiah di Sampang, yaitu melalui program jajak pendapat publik mengenai peristiwa Sampang. Sedangkan partai politik lainnya tampak belum begitu “bersemangat” mengangkat isu tersebut. Kalaupun ada, mereka ini hanya sekedar mempublikasikan “sekilas berita” mengenai peristiwa Sampang tadi. Mengenai fenomena tersebut di atas, penulis telah mengkonfirmasi hal itu dengan mewawancarai Ahmad Hidayat dari organisasi Ahlul Bait Indonesia (ABI). Saat ia ditanya bagaimana pendapatnya mengenai kecenderungan bahwa peristiwa Sampang tampaknya masih belum menjadi isu “yang menarik” bagi partai-partai politik nasional yang ada, Hidayat membenarkan hal tersebut.43 Bahkan, menurutnya, “Patut disayangkan bahwa partai politik justru tidak progresif dan bahkan pasif terhadap persoalan-persoalan sektarian seperti yang terjadi di Sampang.”44 Lebih lanjut menurut Hidayat:45 “Selama partai tidak keluar dari cara-cara berpikir yang kuno yang hanya mengharapkan dukungan suara, dan tidak dengan pertimbangan rasional, maka sangat mungkin persoalan sensitif seperti kasus Sampang tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi partai politik. Walaupun demikian, tentu kami berharap agar partai-partai politik, baik yang mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis maupun partai berdasar agama tertentu, semestinya menggunakan fungsi-fungsinya untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat Indonesia, dan mampu menjelaskan bahwa sesungguhnya secara konstitusional persoalan keagamaan adalah persoalan bangsa yang sudah diatur dalam Undang- Namun, narasumber lain yang penulis wawancarai menolak pendapat yang mengatakan bahwa partai politik, terutama yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, hanya bersikap pasif terhadap peristiwa diskriminasi seperti yang terjadi Sampang. Habiburrokhman yang menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya (Parta Gerinda) menjelaskan bahwa:46 “Bagi Partai Gerindra isu penghormatan hak minoritas bukanlah persoalan layak dijual atau tidak, tapi seharusnya menjadi komitmen seluruh elemen bangsa termasuk seluruh partai politik. Partai Gerinda sangat serius merespons kasus Sampang, wakil kami di Dewan Perwakilan Rakyat telah mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan tegas.” Dinamika permasalahan diskriminasi di Indonesia ini jelas tidak hanya berhenti pada lingkup suku, ras, dan agama saja. Peristiwa seperti yang terjadi di Sampang, yang melibatkan 2 (dua) kelompok masyarakat yang berbeda mazhab, yaitu Suni dan Syiah, sebenarnya memperlihatkan bahwa diskriminasi dapat pula terjadi di dalam lingkup 1 (satu) agama. Oleh karena itu, maka perspektif keadilan bagi mazhab minoritas juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh seluruh pihak, termasuk partai-partai politik di Indonesia. Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat pula diketahui bahwa partai-partai politik yang ada di Indonesia, khususnya mereka yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014, masih belum menjadikan isu keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas sebagai isu yang penting untuk diperjuangkan perwujudannya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendapat semacam ini juga terungkap saat penulis menanyakan kepada Hidayat sebagai narasumber. Hidayat berpendapat bahwa:47 “Memang patut disayangkan bahwa sejumlah partai politik yang ada tidak cukup siap untuk memberikan kontribusi yang positif bagi tegaknya kehidupan toleransi di 43 Wawancara dengan Ahmad Hidayat, Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia (ABI). Wawancara dilakukan pada tanggal 16 September 2013. Sebagai organisasi, ABI ini telah aktif mengadvokasi warga masyarakat yang menjadi korban diskriminasi berlatar belakang perbedaan mazhab, seperti halnya yang menimpa kaum Syiah di Sampang. 44 Ibid. 45 Ibid. 46 Wawancara dengan Habiburrokhman, Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya (Parta Gerinda). Wawancara dilakukan pada tanggal 10 September 2013. 47 266 Undang Dasar 1945. Karena itulah, partai politik harusnya mencetak kader-kader politik yang negarawan yang tidak lagi terkooptasi oleh kepentingan sektarian.” Wawancara dengan Ahmad Hidayat, loc.cit. 267 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 Negara Indonesia yang bhinneka atau plural ini. Dan sesungguhnya hal itu tidak sesuai dengan konstitusi.” Padahal, tambah Hidayat, “Partai politik adalah salah instrumen politik yang sangat baik, terutama sekali karena ia mempunyai fungsi untuk memberikan pendidikan politik dan budaya politik bangsa.”48 Ia pun berharap agar partai-partai politik dapat lebih memainkan peran yang signifikan, terutama secara kelembagaan di Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga kehidupan toleransi dan keadilan bagi kelompok minoritas di Indonesia bisa terwujud.49 Berdasarkan pendapat dari narasumber tersebut dapatlah diketahui bahwa memang partaipartai politik yang ada di Indonesia belum secara maksimal menjalankan fungsinya sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan, terlebih lagi sebagai agen yang dapat ikut mewadahi kelompok minoritas dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Penulis pun masih sulit untuk menemukan adanya program-program “terobosan” yang dirumuskan atau ditempuh secara konkret oleh partai-partai politik dalam ikut menyelesaikan permasalahan diskriminasi atau problem keadilan bagi mazhab minoritas di Indonesia. Kesulitan dari penulis seperti ini “didukung” pula oleh penjelasan yang diberikan oleh Habiburrokhman sebagai narasumber yang diwawancarai. Saat ia ditanya, “program apakah yang partai anda tawarkan terkait dengan isu pluralisme di Indonesia?” Habiburrokhman menjelaskan bahwa:50 “Hak berkeyakinan adalah hak paling dasar yang harus dilindungi. Secara prinsip, menghormati setiap elemen bangsa adalah komitmen Partai Gerindra. Oleh karena itu, tidak ada program khusus terkait isu pluralisme di Partai Gerindra. Justru Partai Gerindra menerapkan prinsip-prinsip menghormati setiap elemen bangsa dalam seluruh program politik Partai Gerindra” (huruf miring dari penulis). Padahal, sebagaimana pendapat dari Bieber, yang telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan partai politik potensial dapat ikut menciptakan “ruang perjuangan kepentingan” bagi kelompok minoritas dalam menghadapi diskriminasi. Pentingnya perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi bagi kelompok minoritas melalui wadah partai politik bisa dipahami karena adanya 48 Ibid. 49 Ibid. 50 Wawancara dengan Habiburrokhman, loc.cit. 268 fungsi yang melekat pada partai politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat, sehingga bisa berujung pada proses pembuatan kebijakan yang diterapkan di tengahtengah masyarakat. Melalui wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat maupun pemerintah inilah yang potensial dapat membantu menciptakan hukum (undang-undang) yang secara substantif lebih mampu memberikan perlindungan bagi kaum minoritas dari tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, semakin banyak partai politik yang peduli atau memiliki perspektif keadilan bagi minoritas, termasuk minoritas dalam konteks mazhab, sebenarnya semakin memperbesar pula peluang terciptanya hukum yang responsif terhadap kebutuhan kaum minoritas. Dan selanjutnya, kondisi seperti itu tentunya juga akan semakin memperbesar peluang untuk memaksimalkan perwujudan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan di masyarakat di Indonesia. C. Penutup Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka beberapa hal yang dapat dijadikan simpulan bagi kajian ini ialah: Pertama, partai politik merupakan salah satu entitas yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas pada kegiatan untuk meraup suara pada saat pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu, partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang bisa ikut menentukan sejarah perjalanan suatu bangsa dan negara. Dari perspektif yuridis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana: pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap serta penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, partisipasi politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah) Fungsi-fungsi tersebut pada akhirnya terkait erat dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam perkembangan selanjutnya, partai politik ternyata juga memiliki fungsi yang potensial sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok minoritas. Kedua, permasalahan diskriminasi sudah menjadi perhatian dari partai-partai politik di Indonesia yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014. Kecenderungan ini setidaknya dapat dilihat dari dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh partai-partai politik yang bersangkutan. Tetapi, dapat juga dikatakan bahwa perhatian yang diberikan oleh partai-partai politik itu belumlah maksimal dipraktikkan. Selain itu, partai-partai politik tersebut tampaknya masih belum pula mempunyai perspektif keadilan bermazhab bagi minoritas. Padahal, problem keadilan bermazhab bagi minoritas di Indonesia masih sering terjadi dalam wujud tindakan diskriminatif, dan hingga sekarang, hal ini pun masih belum dapat diselesaikan secara tuntas. Daftar Pustaka Al-Dainuri, Ibnu Qutaibah. Tanpa keterangan tahun. Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I. Mesir: Muassasah Al-Halabiy. Azed, Abdul Bari, dan Makmur Amir. 2005. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Azra, Azyumardi. 2011. “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme.” Dalam Jusuf Susanto. The Dancing Leader. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1981. Al-Mu'jam AlMufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim. Mesir: Dar Al-Fikr. Basyir, Ahmad Azhar. 1993. Refleksi atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan. Besar, Abdulkadir. 2005. Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik, Niscayaan Metoda Berfikir. Jakarta: Pustaka Azhary. Bieber, Florian. 2008. “Introduction: Minority Participation and Political Parties.” Dalam Florian Bieber et al. Political Parties and Minority Participation. Skopje: Friedrich Ebert Stiftung. Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gerung, Rocky. 2010. “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik.” Jurnal Jentera (Ed. 20, Thn. V, Januari-April). Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks, CatatanCatatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haris, Syamsuddin. 2006. “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia.” Jurnal Penelitian Politik LIPI (Vol. 3, No. 1). Ka'bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum dalam AlQur'an. Jakarta: Khairul Bayan. Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. 2011. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Madjid, Nurkholis. 1998. “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan.” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina (Vol. I, No. 1). Mas'oed, Mohtar, dan Colin MacAndrews. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasr, Seyyed Hosein. 2003. The Heart of Islam. Bandung: Mizan. Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan. Qardhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka AlKautsar. Raharjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci. Jakarta: Paramadina. 269 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270 Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. Schaefer, Richard T., ed. 2008. Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society. Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc. Shihab, M. Quraisy. 2008. Lentera Al-Qur'an. Bandung: Mizan. Syarrafah, Muhammad. 2014. “Hak Pilih Pengungsi Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo. co/read/news/2014/04/08/269568878 >. Diakses pada tanggal 13 April 2014. -------------. Syarrafah, Muhammad. 2014. “Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut 270 Mencoblos,” <http://pemilu.tempo.co/ read/news/2014/04/09/058569339/Pen gungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>. Diakses pada tanggal 13 April 2014. Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Wijaya, Endra, dan Zaitun Abdullah. Tanius Sebastian, ed. 2013. “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama.” Digest Epistema (Vol. 4). METODE RIA DALAM PROSES FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK (RIA METHOD IN PUBLIC POLICY FORMULATION PROCESS) Dinoroy M. Aritonang, SH., MH. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN Bandung Jl. Cimandiri No. 34-38 Bandung, Indonesia Telp. 022-4237375, Faks. 022-4267683 Email: [email protected] (Naskah diterima 11/06/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Kebijakan publik merupakan instrumen yang amat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan publik juga amat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Penyusunan kebijakan publik telah berkembang seiring isu-isu publik yang lebih kompleks yang hadir dalam perkembangan pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik hendaknya disusun dan diciptakan dengan baik, sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Kebijakan yang baik amat ditopang oleh model dan teknik penyusunan kebijakan yang diterapkannya. Sudah banyak model dan teknik penyusunan yang sudah dipakai dan dikembangkan oleh banyak pakar maupun elemen pemerintahan. Salah satu yang digunakan dan dikembangkan secara luas adalah model RIA. Model ini juga sudah cukup lama digunakan oleh berbagai negara di dunia terutama negara maju yang tergabung dalam OECD. Dalam model ini peran biaya (cost) dan manfaat (benefits) menjadi dimensi yang paling utama dalam menentukan alternatif kebijakan atau opsi yang mana yang paling tepat untuk digunakan dalam penyelesaian persoalan publik. Bahkan sebelum isu tersebut menjadi topik utama penyusunan kebijakan, model RIA dapat digunakan untuk menganalisis segala kemungkinan dari aspek ekonomi, sosial dan politik. RIA dapat dikembangkan dengan lebih luas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam sistem penyusunan kebijakan secara resmi. Kata Kunci: RIA, Kebijakan, Formulasi. Abstract Public policy is a very important instrument in the application of governmental process. Public policy can bring a lot of vast influences on each aspect of people's lifes ranging from economic, social, and political issues. The public policy making process has been developed along with the complexity of public issues which are emerging in the pattern of life of the people. Public policy should be arranged and created in a good way, that's because the impacts brought to the people are very massive. A good public policy is underpinned by a certain model and technique of policy making which has been used. There are so many models and techniques on policy making which have been used and developed by many scholars and government's agencies. One of the models is RIA. This model has been long enough applied in many developed and developing countries especially the member of OECD. In RIA model, the role of the cost and benefit are the first and most important dimensions to decide the true and appropriate policy alternative or option in order to handle the public's problems. RIA can be also used before the public issues become the first topic in public policy making process. In this phase, RIA is used to analyze every potentials and chances from economic, social, and political aspects. RIA can be developed more massive by integrating it into the public policy making system officially. Key words: RIA, Policy, Formulation. A. Pendahuluan Kebijakan publik merupakan hal yang amat sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Semua tindakan dan kebijakan pemerintahan diwujudkan dalam instrumen kebijakan. Hal ini dilakukan agar, akuntabilitas dan transparansi tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan lain sebagainya mempunyai landasan sosial dan yuridis yang tepat. Selain itu, melalui kebijakan publik pemerintah, masyarakat dapat mengawasi kebijakan tersebut dilakukan. Kebijakan yang baik harus diformulasikan dengan baik juga. Formulasi kebijakan yang baik dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap penyusunan di tingkat legislatif atau komite eksekutif. Meskipun pada tahapan ini pengaruh politik dan kepentingan sektoral amat mempengaruhi kualitas kebijakan, namuan seyogyanya para penyusun kebijakan memahami makna dan tujuan dari diterbitkannya kebijakan publik tersebut, sehingga niat politis dapat direduksi dan dikesampingkan. 271 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278 Pada kenyataannya, memang tidak semua kebijakan diformulasikan dengan baik sehingga mengundang banyak persoalan dalam implementasinya. Kondisi ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengkaji dan merevisi kembali kebijakan yang ada. Hal ini dapat merugikan masyarakat yang menjadi objek pengaturan dari kebijakan tersebut, bukan hanya dari segi biaya yang harus ditanggung tetapi juga dari segi kepastian hukumnya. Ada beberapa persoalan yang terkait dalam formulasi kebijakan publik, antara lain: a. Dalam proses penyusunan kebijakan, tingkat partisipasi publik masih rendah dan pengaruh atau kontribusi publik di dalam penyusunan kebijakan masih belum signifikan. Persoalan partisipasi dan kontribusi yang masih rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor keengganan dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat dengan berbagai alasan politis maupun teknis yang ada, dan faktor keengganan masyarakat untuk terlibat dalam perumusan itu. b. Kualitas penyusun kebijakan yang belum baik dan mendukung proses formulasi kebijakan. Di setiap instansi pemerintah terutama daerah, para penyusun kebijakan belum sepenuhnya memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait formulasi kebijakan. Dibutuhkan tenagatenaga fungsional yang kompeten dalam bidangnya yang mempunyai pemahaman yang cukup. c. Dalam penyusunan kebijakan publik dibutuhkan kajian pendukung terkait isu yang hendak diatur. Oleh karena itu, diperlukan naskah akademik (academic paper) yang tepat sebagai landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang tepat bagi penyusunan regulasi. Dalam praktiknya, masih banyak regulasi di daerah yang belum menggunakan naskah akademik. Selain itu, naskah akademik yang disusun juga masih kurang berkualias dari segi kedalaman pembahasan dan kajian. d. 1 2 Kurangnya kualitas data yang dipakai pada saat penyusunan formulasi kebijakan. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak tersedianya data kuantitatif maupun kualitatif yang cukup untuk mendukung penyusunan kebijakan yang ada, Apabila berkaca pada kondisi kebijakan publik di Indonesia saat ini, pola pemecahan masalah dalam kehidupan publik selama ini lebih banyak bersifat reaktif dan terkesan tidak terprogram atau terpola. Tidak heran jika pada akhirnya banyak kritik dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat. Pada intinya, kebijakan memang tidak dapat memuaskan semua pihak. Dalam setiap pilihan kebijakan pasti ada sebagian pihak yang merasa tidak puas dan dirugikan oleh adanya kebijakan yang muncul. Setiap solusi dalam penyelesaian isu kebijakan publik tidak dapat sepenuhnya berhasil, sebab setiap kebijakan lahir dari pilihan-pilihan yang sifatnya amat relatif dengan kandungan pro dan kontra masing-masing. Setiap kebijakan mempunyai kekurangan dan kelebihan masingmasing. Namun yang paling penting adalah kebijakan tersebut mampu memberikan solusi dan kemanfaatan terbesar bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan publik. B. 1. 2. 3. Formulasi dan Dampak Kebijakan Publik Untuk menghasilkan kebijakan yang baik, banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut terkait dalam proses formulasi atau pembentukan kebijakan dan evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya. Selain itu, amat terkait juga dengann ruang lingkup isu publik yang ingin diselesaikan, serta alternatif solusi mana yang paling tepat. Kebijakan merupakan instrumen yang tidak bisa asal dibuat seolah-olah hanya merupakan reaksi terhadap persoalan publik yang ada. Kebijakan merupakan sesuatu yang sebaiknya harus direncanakan dengan matang. Oleh karena itu, sebuah kebijakan ketika sudah diciptakan harus dapat diterima oleh masyarakat atau dengan kata lain memperoleh legitimasi sosial dan politik. Selain itu, kebijakan harus dapat dioperasionalisasikan dan memiliki tingkat operasionalisasi yang masuk akal (reasonable). Sebagaimana dikutip oleh Asmawi Rewansyah, policy adalah “a purposive course of action followed by an actor or set of actor in dealing with problem or matter of concern”.1 Untuk dapat dioperasionalisasikan dengan baik maka penyusunan kebijakan pun harus dapat didesain dengan baik pula. Penyusunan kebijakan perlu memperhatikan beberapa hal yang amat penting, antara lain:2 Rewansyah, Asmawi, 2010. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance, CV. Yusain Tamar Prima, Jakarta, hlm. 64. Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, Kedeputian II LAN RI, 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan, 2010, LANR RI, Jakarta, hlm. 37. 272 Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.) 4. Menyusun daftar kebutuhan (identifikasi kebutuhan). Dalam tahap ini ada beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan, yaitu: identifikasi isu-isu strategis, klasifikasi isu-isu strategis, penyaringan isu, pemilihan isu, dan perumusan isu kebijakan. Mengembangkan alternatif kebijakan. Dalam proses ini ada beberapa prosedur yang harus dilakukan, yaitu: mengidentifikasi alternatif kebijakan, mendefinisikan dan merumuskan alternatif kebijakan, menentukan kriteria penilaian alternatif kebijakan, menilai dan memilih alternatif kebijakan yang terbaik, pengambilan keputusan untuk penilaian alternatif, dan penentuan bentuk kebijakan. Menyusun naskah akademik sebagai tahap awal perancangan regulasi yang hendak diciptakan. Nashkah akademik merupakan naskah yang berisi informasi latar belakang masalah dan kesimpulan untuk menjawab permasalahan-permasalahan. Selain itu, NA juga merupakan dasar dan konsepsi sekaligus arahan dalam menyusun materi regulasi yang hendak dibuat. Membuat rancangan awal (draft) kebijakan publik. Dalam tahap ini rancangan awal merupakan naskah yang berisi regulasi dan substansi sementara dari kebijakan yang hendak dibuat. Draft ini merupakan acuan awal dalam proses penyusunan untuk disepakati baik di tingkat komite eksekutif maupun eksekutif dengan badan legislasi. Proses pendiskusian tersebut amat bergantung pada jenis dan hierarki dari regulasi yang hendak dibuat. Pada tahap penentuan isu strategis dan alternatif kebijakan, amat diperlukan tekniteknik penentuan substansi kebijakan mana yang paling mendesak untuk diselesaikan, serta bagaimana mengukur dampak masalah tersebut bagi kehidupan publik. Banyak teknik dan cara yang dapat dilakukan. LAN dalam kajiannya sendiri dalam menentukan criteria penilaian alternatif kebijakan dan pemilihan alternatifnya, memberikan beberapa masukan, seperti terlihat pada Tabel 1: Tabel 1 Kriteria Penilaian Alternatif Kebijakan No. 1. 2. 3. 4. Kriteria Penilaian Dimensi Efektifitas (pencapaian tujuan) - Apakah alternatif kebijakan mencapai hasil Technical Feasibility (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya?tindakan Efisiensi (biaya dan hasil) Economic and Financial - Apakah biaya yang diperlukan dapat menghasilFeasibility kan tingkat efektifitas yang diharapkan? Acceptability - Apakah alternatif kebijakan diterima oleh aktor kebijakan dan kelompok sasaran? Appropriatness - Apakah kebijakan sesuai dengan nilai - nilai masyarakat? Responsiveness - Apakah kebijakan sesuai dengan kebutuhan Political Viability masyarakat? Legal Suitability - Apakah kebijakan didukung oleh perangkat hukum yang memadai? Equity - Apakah efek dan dampak kebijakan menjamin aspek keadilan antar kelompok masyarakat? - Apakah alternatif dapat diimplementasikan pada konteks sosial, politik dan administrasi yang berlaku? - Apakah tersedia staf yang cukup? - Apakah instansi terkait akan mendukung Administrative Operability implementasi kebijakan? - Apakah tersedia sarana untuk melaksanakan kebijakan? - Apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu? Jika melihat pada dimensi-dimensi di atas, amat terlihat jelas bahwa menyusun kebijakan publik bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab banyak dimensi krusial yang harus diperhatikan. Semua dimensi tersebut akan mempengaruhi pola dan efektifitas dari pelaksanaan kebijakan itu di lapangan. Selain itu, mengukur kemampuan dan kapasitas dari penyusun kebijakan itu sendiri. Proses pembuatan kebijakan publik bukan ilmu pengetahuan yang sulit dipahami namun tetap merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan (The process of policy-making is not a high science, but it is difficult to do well). Dalam prosesnya, banyak perangkat (tools) dan teknik (techniques) yang dapat membantu untuk melakukan penyusunan tersebut dengan lebih efektif.3 Proses penyusunan kebijakan publik berlangsung dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Pemerintah mempunyai kewajiban dan peranan pada setiap bagian dari masyarakat luas. Pembuatan kebijakan publik memerlukan badan administrasi tersendiri untuk menyeimbangkan beragam kepentingan yang saling berkompetisi tanpa kehilangan arah terhadap tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut.4 Menurut Wibawa5, formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan 3 Office of The First Minister and Deputy First Minister, tanpa tahun. A Practical Guide to Policy Making in Northern Ireland, Economic Policy Unit, Belfast, http://www.ofmdfmni.gov.uk/policylink-a-practical-guide-to-policy-making, hlm. 11. 4 Ibid. 5 Wibawa, Samodra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 2. 273 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278 apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai. Di samping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidak sempurnaan pengolaan tahap formulasi. Tjokroamidjojo6 mengatakan bahwa policy formulation (perumusan kebijakan) sama dengan pembentukan kebijakan, yang merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dan ini di dalamnya termasuk pembuatan keputusan. Tujuan dibuatnya kebijakan adalah untuk menyelesaikan persoalan publik yang menjadi latar belakang diciptakannya kebijakan tersebut. Oleh karena itu, proses pelaksanaannya tidak dapat dilaksanakan dengan sembarangan atau hanya mengandalkan insting dan perasaan dari pejabat publik yang bersangkutan. Kebijakan harus didesain dengan maksud dan tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu, sehingga langkah dan tindakan yang akan dilaksanakan sudah terencana dengan jelas. Semua aspek baik politis, ekonomis, dan sosial budaya harus menjadi pertimbangan pada saat penyusunan kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, mempunyai efek atau dampak pada kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan. Dampaknya terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan juga turut mempengaruhi hubungan sosial maupun hukum antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam hal ini kerap timbul pertentangan atau kontestasi antara apa yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat. Tidak jarang kondisi ini menyebabkan kebijakan menjadi terasa tidak tepat bagi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, amat perlu dipertimbangkan segala hal yang dapat menjadi faktor-faktor penyebab kebijakan tersebut tidak maksimal untuk dilaksanakan. Dalam kerangka penyusunan kebijakan setiap faktor-faktor yang mungkin terjadi tersebut sebaiknya pula harus diberikan alternatif pemecahan masalah agar dapat dipakai atau dipersiapkan pada tingkat operasionalnya. Agar dampak kebijakan tepat sesuai dengan yang diharapkan, Gerston menyampaikan beberapa hal pada tahap pelaksanaan, agar dapat berjalan dengan baik, yaitu7: 1. Ada lembaga pelaksana dengan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh regulasi yang terkait. 2. Institusi pelaksana (implementing agency) harus mampu menafsirkan tujuan regulasi ke dalam kerangka kerja operasional. 3. Lembaga pelaksana harus mampu melaksanakan tugas yang diembannya dan dapat dimintakan pertanggungjawaban atas segala tindakannya. C. Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Dalam menyusun kebijakan ada salah satu teknik pendukung yang dapat dipakai. Teknikteknik penyusunan kebijakan dapat dipakai dengan tujuan untuk memastikan bahwa para pihak yang terlibat dalam penyusunan memahami dan mengetahui dengan lebih jelas apa yang menjadi persoalan publik sebenarnya dan alternatif tindakan apa yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Langkah untuk mengetahui persoalan dan alternatif kebijakan yang paling tepat tidak dapat dilandaskan pada perasaan dan pikiran sepihak dari penyusun kebijakan saja, tetapi harus kontekstual dan nyata terjadi dalam persoalan masyarakat, atau paling tidak menurut pertimbangan yang rasional dan sistematis, persoalan publik amat berpotensi terjadi dan mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Salah satu teknik yang cukup populer dipakai dan sudah amat sering diaplikasikan dalam penyusunan kebijakan adalah teknik Regulatory Impact Analysis (RIA) atau Regulatory Impact Assessment. Sudah banyak literatur yang secara spesifik maupun umum membahas mengenai efektifitas dan peranan metode RIA dalam penyusunan kebijakan. Selain itu, sudah banyak pula yang memberikan definisi atau batasan dari metode RIA itu sendiri. RIA merupakan instrumen kebijakan yang sistematis yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengukur peluang yang mungkin terjadi (benefits), biaya (costs) dan dampak (effects) dari regulasi yang baru atau yang sudah berjalan. Sebuah dokumen RIA merupakan laporan analisa Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.) yang membantu pengambil kebijakan. Secara tipikal, struktur inti harus memenuhi beberapa elemen berikut: judul dari proposal RIA, sasaran (objective) dan dampak yang diinginkan terjadi oleh kebijakan, evaluasi terhadap persoalan-persoalan dalam kebijakan, pertimbangan-pertimbangan dalam pilihan-pilihan alternatif, penilaian terhadap distribusi dampak yang terjadi, hasil dari serangkaian konsultasi publik, strategi kepatuhan, dan proses untuk memonitoring dan mengevaluasi.8 Fungsi RIA amat efektif untuk mendukung proses penyusunan kebijakan publik terutama yang berorientasi pada persoalan ekonomi dan pembangunan. Kedua hal tersebut mempunyai dampak yang amat besar terhadap aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Menurut Ridwan,9 RIA merupakan alat kebijakan penting untuk kualitas peraturan. Tujuan keseluruhan dari RIA adalah untuk membantu pemerintah untuk membuat kebijakan mereka lebih efisien. Penggunaan RIA dapat berkontribusi pada proses pembuatan kebijakan dengan mempromosikan kebijakan peraturan efisien dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan metode RIA, perlu dibangun sistem penyusunan regulasi yang berbasis pada hasil riset dan kajian yang tepat. Dalam hal ini, setiap kebijakan merupakan perwujudan dari proses penyusunan yang tidak berlandaskan pada alasan dan kepentingan politis semata, tetapi juga dari ukuranukuran dan pertimbangan yang sifatnya empiris. Untuk melakukan hal tersebut, metode RIA perlu diintegrasikan ke dalam penyusunan kebijakan publik terutama sejak tahap pengusulan rancangan kebijakan tersebut. Membangun sistem RIA membutuhkan pertimbangan terhadap sejumlah elemen yang penting. Untuk memaksimalkan keuntungan dari metode RIA, pendekatan yang digunakan seharusnya didasarkan pada perspektif jangka panjang dan terlibat erat dengan kepentingan masyarakat (stakeholders).10 Oleh karena itu, model RIA dalam perkembangannya lebih dianggap sebagai proses 8 ketimbang sebuah metode. RIA merupakan perkembangan dari praktik penyusunan kebijakan yang telah berlaku selama ini dalam berbagai praktik pemerintahan. Model tersebut mempelajari mengenai kompleksitas dari masalah kebijakan dan konsekuensi dari setiap tindakan yang akan diambil. RIA juga mengakomodasi dialog dan komunikasi publik yang lebih intensif dan produktif terkait masalah yang diatasinya. Oleh karena itu, RIA dilakukan berdasarkan bukti empiris (evidencebased) atau pendekatan keilmuan (scientific approach) bagi pengambilan keputusan. Proses ini mempertanyakan, mempelajari, dan mengkomunikasikan isu kebijakan melalui pendekatan sistematis. Hal tersebut merupakan fungsi utama dari pemerintah untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh publik.11 Proses penyelesaian dokumen RIA merupakan proses penyusunan kebijakan yang sifatnya rasional yang harus mengikuti beberapa tahap penyusunan. Kompleksitas dan kedalaman analisis yang dibutuhkan ditentukan oleh tingkat kepentingan dan ukuran dampak dari isu kebijakan yang dijelaskan dalam bentuk pertanyaan. Menurut OECD12, banyak pedoman mengenai RIA, tetapi secara umum, ada beberapa tahapan yang harus tersedia, yaitu: 1. Definisi dari konteks kebijakan dan sasarannya, secara khusus struktur identifikasi dari masalah yang menyediakan alasan bagi pemerintah untuk mengambil tindakan. 2. Identifikasi dan batasan dari semua kemungkinan pilihan untuk pengaturan dan bukan pengaturan untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. 3. Identifikasi dan kuantifikasi dari dampakdampak yang muncul akibat pilihan yang diambil, termasuk biaya, keuntungan, dan dampak sebarannya (distributional effects). 4. Perkembangan dari strategi kepatuhan yang dipilih, termasuk proses evaluasi dari efektifitas dan efisiensi tindakan tersebut. 5. Perkembangan mekanisme pengawasan untuk mengevaluasi keberhasilan dari rancangan OECD, 2008. Op.cit., hlm. 14. 9 Ridwan, Wawan dan Iwan Krisnadi, 2011. Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan UU Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer vol. 2 No. 2, Universitas Mercu Buana, Jakarta, hlm. 2. 10 OECD, 2008. Op.cit., hlm. 15. 11 6 Islamy, M. Irfan, 2002. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 7 Larry N, Gerston, 1997. Public Policy Making: Process and Principles, 3rd Edition, M.E. Sharpe, New York, hlm. 94. 274 Jacobs, Scott, 2006. RIA in Regulatory Process, Method, and Co-operation: Lesson for Canada from International Trends, Working Paper Series 026, Government of Canada, hlm. 24. 12 OECD, 2008. Op.cit.,hlm. 16. 275 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278 kebijakan dan memberikan informasi kembali pada pengembangan kebijakan ke depan. 6. Konsultasi publik diakomodasi secara sistematis untuk memberikan peluang bagi pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan. Hal ini memberikan informasi yang penting akan biaya dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan, termasuk efektifitasnya. Namun secara garis besar, menurut OECD, ada empat elemen yang secara internasional digunakan dalam proses RIA, yaitu:13 1. Menyusun sasaran dan ruang lingkup RIA. 2. Konsultasi publik penyusunan RIA. 3. Quality control melalui penilaian independen dan studi keilmuan yang lain. 4. Metode pengumpulan data. yang terkait dengan 9. Metode Ria Dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik.....(Dinoroy M. Aritonang, SH., MH.) Apakah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan untuk yang sama untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka? • Mengkuantifikasikan dan mengkalkulasi biaya dan manfaat (Quantify and monetize the benefits and costs). • 10. Bagaimana kepatuhan akan regulasi itu dapat dicapai? Memperhitungkan biaya dan manfaat ke depan (Discount future benefits and costs). • Mengevaluasi ukuran-ukuran biaya dan manfaat non-quantified dan non-monetized (Evaluate non-quantified and non-monetized benefits and costs). • Mengkalkulasi ketidakpastian terhadap biaya, manfaat, dan manfaat bersih (Characterize uncertainty in benefits, costs, and net benefits). Dalam proses penyusunan kebijakan, RIA dapat dipakai sebagai instrumen analisis utama. Di dalam proses tersebut, RIA dapat diimplementasikan dengan melibatkan analisis yang detil atau rinci terhadap kebijakan yang masih berlaku dan terhadap proses penyusunan kebijakan yang baru. Pada proses inisiasi tersebut, RIA dapat dilakukan dalam tahap penggalian informasi yang relevan terhadap penyusunan kebijakan, analisis terhadap kebijakan dan kondisi yang berlangsung, dan proses pada saat pengumpulan informasi melalui konsultasi publik (lihat Gambar 1). Empat elemen tersebut tidak dipilih secara acak (random) tetapi menurut perkembangannya, dapat dilihat sebagai elemen pembentu utama agar RIA menjadi efektif. Agar RIA dapat berhasil dalam memperbaiki kualitas kebijakan publik, maka keempat elemen tersebut harus bekerja bersama dalam proses yang sistematis.14 POLICY-MAKING PROCESS Information RIA Analysis Consultation Secara operasional, RIA dengan metode sederhana dapat diuraikan dalam beberapa bentuk pertanyaan yang mendasar. Beberapa pertanyaan tersebut menurut versi OECD, yaitu:15 Discussion D. Agreement Setiap aspek kehidupan masyarakat amat dipengaruhi oleh bagaimana kebijakan publik bekerja dan berlaku di dalam masyarkat. Banyak kebijakan yang diciptakan tidak menghadirkan solusi dalam praktiknya, sebaliknya malah memberikan dampak yang negatif. Pada akhirnya masyarakat tidak memberikan respon yang positif terhadap kebijakan tersebut. Dalam proses ini implementasi kebijakan menjadi tidak maksimal dan tujuan kebijakan tidak tercapai. Policy Implementation Gambar 1 Policy Making Process 1. Apakah masalahnya dengan benar telah didefinisikan? 2. Apakah tindakan pemerintah sudah tepat? Untuk melakukan RIA secara lengkap, institusi harus mengikuti beberapa langkah:16 3. Apakah regulasi yang ada merupakan yang terbaik untuk langkah pemerintah? • Mendeskripsikan kebutuhan akan kebijakan (Describe the need for the regulatory action). 4. Apakah ada dasar hukumnya untuk sebuah peraturan? • Menentukan landasan dasar (Define the baseline). 5. Berapa tingkatan birokrasi pemerintah yang dilibatkan untuk koordinasi regulasi ini? • Menyusun kerangka waktu untuk analisis (Set the timeframe of analysis). 6. Apakah regulasi yang ada bermanfaat, dibanding biayanya? • 7. Apakah distribusi akan transparan di masyarakat? Mengidentifikasikan ruang lingkup alternatif regulasi (Identify a range of regulatory alternatives). 8. Apakah regulasi jelas, konsisten, dapat dipahami, dan dapat diakses oleh pengguna? 13 Ibid., hlm. 24. 14 Ibid. 15 Wawan Ridwan dan Iwan, op.cit., hlm. 15. 16 dampak nya • Mengidentifikasikan konsekuensi dari kebijakan alternatif (Identify the consequences of regulatory alternatives). www.whitehouse.gov. tanpa tahun. Regulatory Impact Analysis: A Primer. www.whitehouse.gov/.../circular-a-4_regulatory-impactanalysis-a-primer.pdf 276 Tahapan-tahapan tersebut secara otomatis menjadi syarat dan kendali terhadap kualitas RIA yang akan dihasilkan. RIA yang baik akan menjadi landasan yang baik pula dalam menyusun kebijakan yang diperlukan. Setiap tahapan tersebut harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk program dan kegiatan yang lebih riil dan operasional. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan dan perencanaan RIA yang baik pula agar hasil yang analisis yang diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi dan persoalan yang sebenarnya. Penutup Kebijakan publik yang baik harus diciptakan dengan pertimbangan dan landasan yang tepat pula. Kebijakan tersebut tidak seharusnya lahir dari sikap dan pertimbangan yang sifatnya reaktif dan temporer semata, tetapi harus didesain dan diproyeksikan secara matang sebelumnya. Kebijakan yang baik harus diformulasikan dengan baik juga. Formulasi kebijakan yang baik dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga pada penyusunan di tingkat legislatif atau komite eksekutif. Meskipun pada tahapan ini pengaruh politik dan kepentingan sektoral amat mempengaruhi kualitas kebijakan, namun seyogyanya para penyusun kebijakan memahami makna dan tujuan dari diterbitkannya kebijakan publik tersebut, sehingga niat politis dapat direduksi dan dikesampingkan. Untuk menghasilkan kebijakan yang baik banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktorfaktor tersebut terkait dalam proses formulasi atau pembentukan kebijakan dan evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya. Selain itu, amat terkait juga dalam mendesain ruang lingkup isu publik yang ingin diselesaikan, serta alternatif solusi mana yang paling tepat. Dalam menyusun kebijakan ada teknik pendukung yang dapat dipakai. Teknik-teknik penyusunan kebijakan dapat dipakai dengan tujuan untuk memastikan bahwa para pihak yang terlibat dalam penyusunan memahami dan mengetahui dengan lebih jelas apa yang menjadi persoalan publik sebenarnya dan alternatif tindakan apa yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Salah satu metode yang dapat dipakai adalah metode RIA. Metode ini telah banyak dipakai dan dikembangkan di berbagai negara di dunia. Utamanya adalah untuk menganalisa kebutuhan kebijakan yang diusulkan melalui pertimbangan dari segi biaya dan manfaat. Dengan pendekatan biaya yang minimal dan dampak yang paling besar, maka kebijakan yang terbaik dapat ditentukan. Untuk memaksimalkan metode RIA, perlu dibangun sistem penyusunan regulasi yang berbasis pada hasil riset dan kajian yang tepat. Dalam hal ini, setiap kebijakan merupakan perwujudan dari proses penyusunan yang tidak berlandaskan pada alasan dan kepentingan politis semata, tetapi juga dari ukuran-ukuran dan pertimbangan yang sifatnya empiris. Daftar Pustaka Gerston, Larry N. 1997. Public Policy Making: Process and Principles, 3rd Edition, New York: M.E. Sharpe. Islamy, M. Irfan. 2002. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Jacobs, Scott, 2006. RIA in Regulatory Process, Method, and Co-operation: Lesson for Canada from International Trends, Working Paper Series 026, Government of Canada, hlm. 24. 277 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 271 - 278 OECD. 2008. Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis (RIA), Version 1.0, France: OECD. OECD. 2008. Bulding an Institutional Framework for RIA: Guidance for Policy Makers, France: OECD Directorate for Public Governance and Territorial Development. Office of The First Minister and Deputy First Minister. tanpa tahun. A Practical Guide to Policy Making in Northern Ireland. http://www.ofmdfmni.gov.uk/policylinka-practical-guide-to-policy-making (diunduh pada tanggal 13 Desember 2013). Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, Kedeputian II LAN RI, 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan. Jakarta: LAN RI. Rewansyah, Asmawi. 2010. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance. Jakarta: CV. Yusain Tamar Prima. Ridwan, Wawan dan Iwan Krisnadi. 2011. Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan UU Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Telekomunikasi dan Komputer, vol. 2, No. 2. MEWUJUDKAN SINERGI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG (CREATING SYNERGY BETWEEN REGIONAL REGULATIONS AND LAWS MAKING) Arrista Trimaya Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal DPR-RI Jl. Jenderal Gatot subroto, Jakarta 10270, Indonesia Email: [email protected] (Naskah diterima 30/04/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014) Tarigan, Antonius. Mencermati Dampak Kebijakan Publik dalam Program Penanggulangan Kemiskinan. (diakses pada tanggal 12 Mei 2014). Wahab, Abdul dan Solichin. 2001. Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. www.whitehouse.gov. tanpa tahun. Regulatory Impact Analysis: A Primer. www.whitehouse.gov/.../circular-a4_regulatory-impact-analysis-aprimer.pdf (diunduh pada tanggal 13 Desember 2013). Abstrak Pemberian kebebasan sekaligus keleluasaan kepada Kepala Daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam era otonomi daerah belum dilaksanakan secara optimal dan komprehensif. Akibatnya, penegakan hukum terhadap keberlakuan Perda juga tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya materi muatan Perda yang bertentangan dan tumpang tindih dengan materi muatan peraturan perundang-undangan diatasnya, terutama dengan Undang-Undang. Banyaknya Perda yang tumpang tindih, paling banyak disebabkan tidak adanya kesesuaian antara metode pendekatan yang digunakan dalam proses pembuatan Perda dan realitas di lapangan, terutama jika dikaitkan dengan pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu masyarakat lokal. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya akuntabilitas pembuat Perda, yaitu DPRD dan Pemerintah Daerah yang jarang sekali memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat lokal berkaitan dengan Perda yang akan dibentuk. Untuk itu sangat diperlukan peran Balegda sebagai koordinator dalam penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Di samping itu, peran Balegda juga diperlukan untuk mewujudkan sinergi dalam pembentukan Peraturan Daerah dengan Undang-Undang, sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan. Kata Kunci: sinergi, Peraturan Daerah, Undang-Undang. Abstract Freedoms and flexibilities given to the Head of Regions to make regional regulations in the era of regional autonomy have not been implemented optimally and comprehensively. As the result, validity and legal enforce-ability of regional regulations have not been implemented optimally as well. It is characterized by a number of problematic and overlapping the substance of the regulations as derivatives laws. The majority of overlapping subject matters were mostly due to incompatibility between the approach used during the drafting of regional regulations and actual reality in the regions, especially when it is related to the interest of different entities involved in implementation, i.e. local communities. These mismatches have hold regional law-makers, such as regional parliaments and regional government, less accountable for they rarely provide complete information to local communities regarding regulations that will be drafted. The role of Regional Legislation Body as the coordinator between regional parliament and regional government is considerably needed in listing the Prolegda for a synergy in the implementation of tasks and functions of both the regional parliament and the regional government. In addition, the role of Balegda also necessary for a synergetic drafting of the regional regulations as derivatives laws, in order to harmonize the regulations. Keywords: synergy, regional regulations, laws. A. Latar Belakang Setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memuat landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hokum. Dengan demikian Negara itu sendiri berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional.1 Landasan filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pancasila. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) yang menyebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara sesuai 1 Konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234. 278 279 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pengertian ''sumber dari segala sumber hukum'' adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum, serta cita-cita yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat Negara yang bersangkutan.2 Pancasila juga merupakan ideologi Negara dan dasar filosofis Negara, hal ini berarti setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. pemerintahan daerah, yang diatur dengan UndangUndang. Pengaturan mengenai hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945: Landasan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini mengandung pengertian bahwa materi muatan suatu peraturan perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan landasan yuridis yang digunakan dalam penyusunan suatu peraturan perundangundangan adalah UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung pengertian bahwa UUD NRI Tahun 1945 menjadi norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, UUD NRI merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Hal ini telah diatur dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Lebih lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dengan demikian setiap persoalan ketatanegaraan harus berlandaskan hukum yang dapat diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Ayat (2) : Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UndangUndang. Kelahiran otonomi daerah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan bergulirnya Era Reformasi di penghujung era 90-an, selepas ambruknya Rejim Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 (tiga puluh) tahun. Ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah secara tegas telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai 2 Ayat (1) : Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Ketentuan mengenai otonomi daerah juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008), dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapat ini dikuatkan melalui ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah adalah: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Dengan demikian, sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan Jazim Hamidi, 2010. Problematika Sumber dan Tertib Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada RDPU Dalam Rangka Penyampaian Masukan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Jakarta: Baleg DPR RI, hlm.2. 280 Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya) pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.3 Namun, otonomi daerah menyebabkan terjadi tumpang tindih pengaturan kewenangan antara Pusat dan Daerah, termasuk juga dalam bidang hukum dan peraturan perundangundangan. Ini ditandai dengan banyaknya materi muatan Peraturan Daerah (sebagai produk legislasi di tingkat daerah) yang tumpang tindih dengan materi peraturan perundang-undangan diatas nya, terutama dengan materi muatan Undang-Undang (sebagai produk legislasi di tingkat nasional). Sejak tahun 2009 Kementerian Dalam Negeri telah melakukan proses evaluasi terhadap 9000 (sembilan ribu) Peraturan Daerah yang bermasalah. Hasil evaluasi ditargetkan akan selesai pada tahun 2014 ini. Hingga Juli 2011, sekitar 4500 (empat ribu lima rastus) Peraturan Daerah telah selesai di evaluasi. Dari jumlah itu, sekitar 175 (seratus tujuh puluh lima) Peraturan Daerah telah dibatalkan lantaran bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan menghambat iklim usaha.4 Data lain menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir (20102012) Kementerian Dalam Negeri telah mencatat terjadi penurunan Peraturan Daerah yang dibatalkan. Tren penurunan pembatalan Peraturan Daerah itu sudah terlihat sejak tahun 2010. Pada tahun 2010, Kemendagri mengevaluasi sebanyak 3.000 (tiga ribu) Peraturan Daerah dan 407 (empat ratus tujuh) Peraturan Daerah diantaranya dinyatakan batal. Pada tahun 2011, Peraturan Daerah yang dievaluasi bertambah menjadi 9.000 (sembilan ribu) Peraturan Daerah dan hasilnya 351 (tiga ratus lima puluh satu) Peraturan Daerah dibatalkan. Sementara itu pada 2012, realisasi evaluasi Peraturan Daerah mencapai 3.000 (tiga ribu) Peraturan Daerah. Namun, hanya sekitar 173 (seratus tujuh puluh tiga) Peraturan Daerah yang dinyatakan batal. Selain itu, secara kumulatif sejak 2002 sampai 2009, Kemendagri sudah membatalkan sebanyak 1.878 (seribu delapan ratus tujuh puluh delapan) Peraturan Daerah.5 Berdasarkan evaluasi Kementerian Dalam Negeri tersebut, jelas Peraturan Daerah sebagai produk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah menjadi bertentangan dan tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, terutama dengan Undang-Undang, padahal secara hierarki, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Fenomena ini terjadi, karena era otonomi daerah memberikan kebebasan sekaligus keleluasaan kepada daerah (dalam hal ini Kepala Daerah dan DPRD) untuk membuat Peraturan Daerah.6 Banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah ini terutama disebabkan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses pembuatan kebijakan di daerah yang menyebabkan rendahnya akuntabilitas para pembuat kebijakan lokal, terutama terhadap mereka yang paling berkepentingan, yaitu masyarakat lokal. Pembuat kebijakan lokal jarang sekali memberikan informasi yang lengkap kepada publik berkaitan dengan kebijakan yang telah disusun. Inilah yang menyebabkan rendahnya akuntabilitas para pembuat kebijakan di daerah.7 Hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 telah jelas menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berada di bawah Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undang. Namun pada prakteknya banyak Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, terutama dengan Undang-Undang. Selain itu, banyak Peraturan Daerah yang sudah terlanjur dilaksanakan sangat sulit untuk dibatalkan oleh Pemerintah Daerah karena beberapa alasan, mulai alasan politis, teknis, sampai dengan anggaran. Peran Badan Legislasi Daerah (Balegda) dalam pembentukan Peraturan Daerah melalui Program 3 Remaja, Sejarah Undang-Undang Pemerintah Daerah, diunduh dari http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasiakademis/bahan-kuliah/41-sejarah-undang-undang-pemerintahan-daerah.html, diakses tanggal 1 april 2014. 4 Riendy Astria, Evaluasi 9000 Perda Bermasalah Digelar sampai 2014, diunduh dari http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi9.000-perda-bermasalah-digelar-sampai-2014-1, diakses tanggal 28 Maret 2014. 5 Ash, Ada Tren Penurunan Pembatalan Perda: Pemerintah Dianggap Semakin Menyadari Pentingnya Otonomi Daerah, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d83f892322b/ada-tren-penurunan-pembatalan-perda, tanggal 6 Juli 2013, diakses tanggal 28 Maret 2013. 6 M. Zamroni, 2013, “Pengujian Peraturan Daerah: Sebuah Telaaham Kritis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.10 No.3, Jakarta”Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, hlm. 260. 7 Rivandra Royono, Harga Sebuah Peraturan Daerah: Analisis Biaya dan Manfaat Dalam Pembuatan Kebijakan Publik, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006, hal. 54. 281 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 Legislasi Daerah (Prolegda) juga perlu dicermati agar terwujud suatu sinergi antara pembentukan Peraturan Daerah dan pembentukan UndangUndang. B. Pembahasan B.1. Pembentukan Undangan Peraturan Perundang- Perubahan UUD NRI Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali memberikan dampak yang sangat besar dalam sistem ketatanegaraan negara Republik Indonesia. Perubahan tersebut secara khusus telah menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang sebelumnya kekuasaan tersebut berada di tangan Presiden sesuai Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kedua pasal tersebut setelah Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan kekuasaan pembentukan Undang-Undang dari tangan Presiden ke tangan DPR. Dengan perkataan lain, sejak perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999, telah terjadi pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR.8 Fungsi legislasi atau fungsi pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR mempunyai kaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPR. Adapun hak-hak DPR yang berkaitan dengan fungsi legislasi adalah hak amandemen dan hak inisiatif. Fungsi legislasi DPR juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul Rancangan UndangUndang.” Hak inilah yang secara konstitusional lazim disebut hak inisiatif DPR di bidang perundang-undangan. Seperti Presiden yang berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang, anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan Rancangan UndangUndang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri9 itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan oleh Undang-Undang.10 8 Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya) Merujuk pada teori hukum sociological jurisprudence11, disebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang mampu mengikuti perkembangan kebutuhan hukum dan berbagai kebutuhan yang terjadi di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, pembentukan peraturan perundangundangan harus dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standard yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini terwujud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam ketentuan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang. UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 10 Tahun 2004) yang di dalamnya mengatur penyempurnaan berbagai kekurangan materi muatan UU No. 10 Tahun 2004 dan mengatur beberapa materi muatan baru yang belum ada dalam UU No. 10 Tahun 2004. Pasal 1 Angka 2 UU No.12 Tahun 2011 menyatakan bahwa Peraturan Perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 diatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang; d. e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Lebih lanjut ketentuan Pasal 7 ayat (2) No.12 Tahun 2011 menyatakan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis dan hierarkinya. Hierarki merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam membentuk peraturan perundangundangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 1. 2. kejelasan tujuan, dalam arti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, dalam arti setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang; 3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam arti pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundangundangannya; 4. dapat dilaksanakan, dalam arti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis; Pemerintah 5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam arti setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 6. kejelasan rumusan, dalam arti peraturan perundang-undangan Peraturan Pemerintah; Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 136. 9 Yang dimaksud dengan perkataan”sendiri-sendiri” di sini adalah bahwa ketika menjadi pemrakarsa, setiap anggota DPR itu tidak tergantung kepada fraksinya, melainkan tampil sebagai pribadi anggota DPR secara sendiri-sendiri. Tetapi jumlah mereka diharuskan mencukupi jumlah minimal menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 10 setiap harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; dan 7. keterbukaan, dalam arti dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.12 Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas: 1. pengayoman Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. 2. kemanusiaan Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 3. kebangsaan Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. kekeluargaan Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. 5. kenusantaraan Setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Op.Cit., hal. 137. 11 Di Indonesia aliran sociological jurisprudence dikembangkan oleh beberapa ahli hukum diantaranya Mochtar Koesoemaatmadja dan Satjipto Rahardjo dengan teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif. 282 12 Berdasarkan Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234. 283 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 6. bhinneka tunggal ika 7. 8. c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; Sedangkan asas-asas yang material meliputi: d. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; tindak lanjut atas putusan Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan masyarakat. 2. asas tentang dapat dikenali; 3. asas perlakuan yang sama dalam hukum; keadilan. 4. asas kepastian hukum; Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.14 Setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. 1. Menurut A. Hamid S. Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut harus berdasarkan: a. cita hukum Indonesia; b. asas Negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi; c. asas-asas lainnya, meliputi: asas tujuan yang jelas; perlunya pengaturan; organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; dapat dilaksanakan; dapat dikenali; perlakuan yang sama dalam hukum; kepastian hukum; dan pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.15 ketertiban dan kepastian hukum, Setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. 10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Setiap materi muatan peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.13 Asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik juga dikemukakakan oleh I.C. van der Vlies dan Hamid S. Attamimi. Di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegripen beginselen van behoorlijke regelgeving”, I.C van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan Negara yang baik meliputi asas formal dan material. Asas-asas yang formal meliputi: 1. asas konsensus Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, 9. 5. asas tujuan yang jelas; 2. asas organ/lembaga yang tepat; 3. asas perlunya pengaturan; 4. asas dapat dilaksanakan; dan a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.. Seperti dikutip oleh Maria Farida Indrati, Op.Cit., hal. 228. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut juga dikutip oleh Qomaruddin, “Membentuk Peraturan Perundang-Undangan Yang Aspiratif dan Responsif Sesuai Dengan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Makalah disampaikan pada Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mei 2011, hal. 7. 15 Ibid, hal. 230. 284 a. Mahkamah hukum dalam Perencanaan Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas (Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011), yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Lebih lanjut Penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas didasarkan atas: B.2. Pembentukan Undang-Undang Ketentuan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mendefiniskan UndangUndang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: kebutuhan anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus mengenai bidang legislasi. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh Baleg. Sedangkan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pembentukan Undang-Undang dilakukan melalui beberapa tahapan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.16 Tahapan pembentukan Undang-Undang tersebut selengkapnya dijabarkan seperti berikut ini. Selain mencerminkan asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, misalnya dalam hukum pidana (asas legalitas, asas praduga tak bersalah, dan lain-lain) serta dalam hukum perdata (asas kebebasan berkontrak, asas kesepakatan, dan lain-lain). 13 14 Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya) b. 1) perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) perintah Ketetapan Permusyawaratan Rakyat; 3) perintah Undang-Undang lainnya; 4) sistem perencanaan nasional; 5) rencana pembangunan jangka panjang nasional; 6) rencana pembangunan jangka menengah; 7) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan 8) aspirasi dan masyarakat.17 Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada DPR. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Menteri tersebut mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Sedangkan Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan UndangUndang bersama DPR dan DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak Surat Presiden diterima. Majelis pembangunan kebutuhan hukum Penyusunan Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, dan DPD serta harus disertai dengan Naskah Akademik.18 Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh c. Pembahasan Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU 16 Tahapan tersebut tidak hanya berlaku untuk pembentukan Undang-Undang saja, tetapi juga untuk peraturan perundang-undangan yang lainnya. Selengkapnya lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 17 Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011. 18 Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (4) UU No.12 Tahun 2011. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 285 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yang terdiri atas: 1) 2) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. d. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang tersebut kemudian disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. e. Pengundangan Undang-Undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, sedangkan Penjelasan Undang-Undang diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan 286 Ayat (3) : Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah. Undang-Undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya) B.3. Pembentukan Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) Berdasarkan jenis dan hierarkinya peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dibedakan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur, sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kapubaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Lebih lanjut ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dikenal juga dengan istilah Peraturan Delegasi. Pendelegasian kewenangan dalam suatu peraturan delegasi harus menyebut dengan tegas mengenai: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis peraturan perundang-undangan Ketentuan mengenai Peraturan Daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Bab VI Pasal 136 mengenai Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Selengkapnya ketentuan Pasal 136 sebagai berikut: Ayat (1) : Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Ayat (2) : Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Ayat (4) : Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. b. Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan penyusunan daftar RUU dalam Prolegda Provinsi dan Prolegda Kabupaten/Kota didasarkan atas: (1) perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; Seperti halnya dalam Pembentukan UndangUndang, pembentukan Peraturan Daerah juga dilakukan melalui beberapa tahapan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.19 Tahapan pembentukan UndangUndang tersebut selengkapnya dijabarkan seperti berikut ini. a. (2) rencana pembangunan daerah; (3) penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan (4) aspirasi masyarakat daerah. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi (Balegda Provinsi), sedangkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota yang khusus menangani bidang legislasi (Balegda Kabupaten/Kota). Baik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi maupun Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang khusus menangani bidang legislasi. Perencanaan Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Provinsi yang dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan untuk perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/ Kota yang dilaksanakan oleh DPRD Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Baik Prolegda Provinsi maupun Prolegda Kabupaten memuat program pembentukan Peraturan Daerah dengan judul Rancangan Peraturan Daerah, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya, yang meliputi: (1) latar belakang dan tujuan penyusunan; (2) sasaran yang ingin diwujudkan; (3) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan (4) jangkauan dan arah pengaturan. Penyusunan Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi, yaitu Balegda. Penyusunan Prolegda Provinsi di Penyusunan c. Pembahasan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperda) Provinsi atau Raperda Kabupaten/Kota dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur atau DPRD Kabupaten/ Kota bersama Bupati/Walikota. Pembahasan bersama Raperda dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan tersebut dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang 19 Tahapan tersebut tidak hanya berlaku untuk pembentukan Undang-Undang saja, tetapi juga untuk peraturan perundang-undangan yang lainnya. Selengkapnya lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 287 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 d. khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. muatan Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan materi muatan Undang-Undang.20 Penetapan Berdasarkan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Legislasi Daerah (Balegda) bertugas: Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/ Kota yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur atau DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. Jika Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. e. Pengundangan Peraturan Derah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diundangkan dalam Lembaran Daerah yang dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. B.4. Upaya Untuk Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah dengan Pembentukan Undang-Undang. Dalam hal kaidah hukum, suatu Peraturan Daerah dikaji untuk melihat apakah terdapat harmonisasi produk hukum dimana Peraturan Daerah yang hierarki hukumnya lebih rendah (lex inferior) bertentangan atau tidak dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya (lex superiori). Dengan demikian, karena Peraturan Daerah berada dalam hierarki terendah, materi a. menyusun rancangan Prolegda yang memuat daftar urutan dan prioritas Raperda beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD; b. koordinasi untuk penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah; c. menyiapkan rancangan Perda usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; d. e. f. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Raperda yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum Raperda tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD; memberikan pertimbangan terhadap Raperda yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, di luar prioritas Raperda tahun berjalan atau di luar Perda yang terdaftar dalam Prolegda; mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Raperda melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus; g. memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas Raperda yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan h. membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Dalam penyusunan Peraturan Daerah sangat jelas peran Balegda dalam melakukan koordinasi untuk penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah, Balegda juga berfungsi untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Raperda yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum Raperda tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD, bahkan harus dapat mengikuti 20 P. Agung Pambudi, Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006, hal. 32. 288 Mewujudkan Sinergi Pembentukan Peraturan Daerah Dengan.....(Arrista Trimaya) perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Raperda melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus. Namun dalam implementasinya, masih banyak ditemukan Peraturan Daerah yang tidak konsisten dan tumpang tindih, baik dengan Peraturan Daerah lain maupun dengan peraturan perundangundangan di atasnya. Peraturan Daerah yang bermasalah secara teknis-yuridis formal, menunjukkan gambaran penguasaan yang lemah salah satunya dalam hal legal drafting.21 Kemauan politik pimpinan daerah, baik dari unsur eksekutif maupun legislatif juga sangat menentukan kualitas pembentukan Peraturan Daerah.22 Untuk mengatasi hal tersebut harus ada suatu sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Sinergi juga diperlukan agar tidak terjadi pertentangan dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya (terutama dengan Undang-Undang) agar terwujud harmonisasi peraturan perundang-undangan. Upaya mewujudkan sinergi dalam pembentukan Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundangundangan di atasnya (terutama dengan UndangUndang) dapat dilakukan dengan cara: a. penyusunan Peraturan Daerah harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, NKRI, UUD NRI Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika; b. penyusunan Peraturan Daerah harus berpedoman pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011; c. pengharmonisasian materi muatan suatu Raperda dengan materi muatan yang ada dalam peraturan perundang-undangan diatasnya untuk menghindari terjadi penyimpangan. Penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan di atas Raperda dapat diantisipasi sebelum Raperda tersebut ditetapkan menjadi Peraturan Daerah sehingga potensi pengujian Peraturan Darah ke Mahkamah Agung dapat dihindari dengan adanya pelaksanaan harmonisasi dan sinkronisasi ini; d. pengoptimalan peran Balegda sebagai koordinator dalam pengharmonisasian, 21 Ibid, hal.49. 22 Ibid. pembulatan, dan pemantapan konsepsi Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/ Kota. Balegda harus dapat menyusun Prolegda berdasarkan justifikasi kebutuhan sebuah Raperda (need analysis) dan bukan hanya memuat daftar judul Raperda semata, sehingga substansi atau materi muatan Raperda yang sudah ada dalam Prolegda dapat diketahui dan duplikasi dapat dihindarkan; e. peningkatan wawasan ketataegaraan bagi anggota Balegda, terutama pengetahuan dan pengalaman dalam hal perancangan Raperda. Hal ini sangat diperlukan mengingat Balegda berperan sebagai law center di daerah yang mempunyai peran utama untuk meningkatan kualitas produk legislasi di daerah; f. penambahan dukungan tenaga ahli/pakar dan SDM bagi anggota Balegda dalam pelaksanaan fungsi legislasi di daerah, terutama dalam hal penguasaan fungsi legislasi; g. pengikutsertaan tenaga perancang peraturan perundang-undangan untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam hal ini Balegda dapat melakukan perekrutan tenaga perancang sendiri atau bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwilkumham) yang ada di daerah; dan h. pembentukan sistem pendukung yang kuat dan profesional untuk membantu DPRD dan Balegda dalam pelaksanaan fungsi legislasi di daerah. C. Penutup Banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah terutama disebabkan adanya ketidaksesuaian antara metode pendekatan yang digunakan dalam proses pembuatan Peraturan Daerah dan realitas di lapangan, terutama jika dikaitkan dengan pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu masyarakat lokal. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan rendahnya akuntabilitas DPRD dan Pemerintah Daerah yang jarang sekali memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat lokal berkaitan dengan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Untuk itu sangat diperlukan peran Balegda sebagai 289 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 279 - 290 koordinator yang melakukan koordinasi, terutama dalam penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Peran Balegda sangat diperlukan untuk mewujudkan sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dengan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Di samping itu, peran Balegda juga diperlukan untuk mewujudkan sinergi dalam pembentukan Peraturan Daerah dengan Undang-Undang, Balegda juga berfungsi untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Raperda yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum Raperda tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD, bahkan anggota Balegada harus dapat mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Raperda melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus. Dengan demikian Peraturan Daerah yang dihasilkan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Daftar Pustaka Buku Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Yani, Akhmad. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif: Catatan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Konstitusi Press, 2013. Makalah Hamidi, Jazim. Problematika Sumber dan Tertib Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada RDPU Dalam Rangka Penyampaian Masukan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Jakarta: Baleg DPR RI, 2010. Qomaruddin. Membentuk Peraturan PerundangUndangan Yang Aspiratif dan Responsif Sesuai Dengan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Makalah disampaikan pada Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mei 2011. Internet Ash. Ada Tren Penurunan Pembatalan Perda: Pemerintah Dianggap Semakin Menyadari Pentingnya Otonomi Daerah, diakses dari http:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d83f 892322b/ada-tren-penurunan-pembatalanperda, diakses tanggal 28 Maret 2014. Astria, Riendy. Evaluasi 9000 Perda Bermasalah Digelar sampai 2014, diunduh dari http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi9.000-perda-bermasalah-digelar-sampai2014-1, diakses tanggal 28 Maret 2014. Remaja. Sejarah Undang-Undang Pemerintah Daerah, diunduh dari http://www. fakultashukum-universitaspanjisakti. com/informasi-akademis/bahan-kuliah/ 41sejarah-undang-undang-pemerintahandaerah.html, diakses tanggal 1 april 2014. Jurnal Peraturan Perundang-Undangan Pambudi, Agung P. Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, Oktober-Desember 2006. Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234. Royono, Rivandra. Harga Sebuah Peraturan Daerah: Analisis Biaya dan Manfaat Dalam Pembuatan Kebijakan Publik, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14-tahun IV, OktoberDesember 2006. Zamroni, M. Pengujian Peraturan Daerah: Sebuah Telaaham Kritis dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.10 No.3, Jakarta”Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 2009. 290 ________. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104. MODEL PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG RESPONSIF DAN BERDIMENSI HAK ASASI (ANALISA MUATAN MATERI PERATURAN DAERAH TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA) (A RESPONSIVE MODEL OF LOCAL REGULATION ESTABLISHMENT AND RESPECT TO HUMAN RIGHTS (A CONTENT ANALYSIS OF LOCAL REGULATION ON HEALTH CARE IN INDONESIA)) Cekli Setya Pratiwi Pusat Studi Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas 246 Malang Indonesia Email: [email protected] (Naskah diterima 18/09/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak Keberadaan Peraturan Daerah sebagai bagian dari Hukum Nasional merupakan instrumen hukum yang penting di tingkat lokal. Pemerintah Daerah pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membentuk Perda sebagai isntrumen penting dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan serta untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Saat ini seiring dengan reformasi dan pembaharuan hukum di Indonesia, model pendekatan pembentukan Perda dengan ROCCIPI tidaklah cukup, dan perlu pendekatan tambahan yang dapat mewujudkan Perda yang bersifat responsif, harmoni dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian dewasa ini, Perda masih menjelma menjadi regulasi yang bersifat represif dimana dalam proses pembentukannya kurang melibatkan partisipasi masyarakat dan lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan kepentingan memecahkan masalah sosial masyarakat. Di sisi lain, keberadaan Perda masih mengabaikan prinsip-prinsip HAM bahkan mendistorsi pengakuan HAM yang dijamin dalam konstitusi. Pada tahun 2002, terdapat sekitar 700 Perda yang dianulir oleh Kementerian Dalam Negeri karena dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari aspek formil maupun materiil. Selain itu, KOMNAS HAM juga menilai bahwa berbagai Perda yang bersifat diskriminatif cenderung melahirkan praktek pelanggaran hak asasi manusia oleh pejabat negara, diskriminasi kelompok minoritas, serta lambannya pemenuhan HAM warga di daerah salah satunya adalah Perda tentang Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010. ditinjau dari Prinsip-prinsip Limburg dan indikator-indikator pemenuhan hak atas kesehatan dalam Komentar Umum Nomor 14 Kata kunci: Peraturan Daerah, hak atas kesehatan, hukum responsif Abstract The existence of local regulation as part of the National Law is an important legal instrument at the local level. After the Local Government Law Number 32 of 2004 on the Local Government make Local Regulation as an important instrument of accession in the course of the co-administration as well as to further elaborate the legislation in the higher level. Currently along with the reform and legal reform in Indonesia, the approach to make local regulation with ROCCIPI model is not enough, and need additional approaches that can achieve responsive regulation, harmony and uphold the values ​ ​ of Human Rights. However, the regulation is still transformed into repressive regulations which are less involved in the formation process of public participation and more oriented to the political interests than the interests of the community to solve social problems. On the other hand, where regulation is still ignoring the human rights principles even distort the recognition of human rights guaranteed in the constitution. In 2002, there were approximately 700 local regulations that disallowed by the Ministry of Internal Affairs as it is considered to have some of the drawbacks of both formal and substantive aspects. In addition, the National Human Rights Commission also considered that the new laws are discriminatory practice tends to result in human rights violations by state officials, minority discrimination, and slow fulfillment of human rights of citizens in the area one of which is the regulation of Malang Health Care Number 12 of 2010 in terms of the Limburg principles and the indicators of the right to health in General Comment No. 14 Keywords: local regulation, the right to health, the responsive law. 291 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 A. Pendahuluan Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi prinsip demokratisasi dan berdasarkan hukum. Salah satu ciri dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh negara kepada warga negara.1 Makna jaminan perlindungan di sini adalah bahwa negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to fulfill), memastikan (to ensure) perlindungan HAM kepada seluruh warga negaranya.2 Pertama, kewajiban mempromosikan (to promote) artinya bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan pentingnya perlindungan HAM serta berbagai peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga tingkat kesadaran masyarakat dan aparaturnya terhadap pentingnya HAM semakin meningkat. Kedua, kewajiban melindungi (to protect) artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap warga negara dari segala bentuk tindakan yang menyerang hak-hak warga negara. Negara tidak hanya memiliki kewajiban untuk proaktif memberikan perlindungan HAM setiap warga negaranya, namun juga negara tidak dibenarkan melakukan pembiaraan (act by ommission) terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat. Ketiga, kewajiban menjamin (to guarentee) perlindungan HAM artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah. Keempat, kewajiban memenuhi (to fulfill) artinya terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dan menimbulkan korban, negara memiliki kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban 1 dengan segera dan proporsional dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi tertentu. Kelima, kewajiban memastikan (to guarantee) artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan. Situasi kekinian perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada tahun 2012 menurut pernyataan Kelompok Kerja Majelis Tinggi HAM PBB (United Nations Human Rights Council) pada Universal Periodic Review (UPR) sesi ke-13 di Genewa pada 21 Mei sd 4 Juni 2012 Nomor A/HRC/WG.6/13/IDN/1 menunjukan bahwa pemenuhan HAM masih dinilai lemah oleh Majelis Tinggi HAM PBB. Oleh karena itu pada tahun 201220133 Indonesia bersedia untuk menerima peninjau khusus (special rapportour) khususnya soal pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas perumahan dan hak kebebasan berekspresi, serta berkomitmen menjamin hak kebebasan beragama. Berbeda dengan Laporan Kelompok Kerja UPR Tahun 20084 (empat tahun sebelumnya) dimana dunia internasional menyoroti berbagai kelemahan dalam perlindungan HAM di Indonesia. Misalnya, lemahnya pemahanan HAM pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal (local regulation) menyebabkan pada tahun 2002 terdapat ratusan Perda yang dibatalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai penghormatan HAM.5 Oleh karena itu perlu segera dilakukan harmonisasi baik di bidang legislasi, administrasi, kebijakan, dan pelaksanaannya. Dari Laporan Periodik Umum Kelompok Kerja di atas baik pada tahun 2008 dan 2012 tersebut menggambarkan bahwa persoalan transformasi norma hukum HAM Internasional ke dalam regulasi baik di tingkat pusat (national regulation) maupun di tingkat daerah (local regulation) menjadi isu penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Kedua, tanggungjawab Indonesia untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM warga negara merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap berbagai perjanjian Internasional tentang HAM yang telah diratifikasi oleh pemerintah A. Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005. 2 Pasal 28 I ayat 5 menyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. 3 Lihat UN Human Rights Council: Statement for the 2012 Universal Periodic Review of Indonesia, diakses dari Human Rights Wacth website di http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un-human-rights-council-statement-2012-universal-periodic-review-indonesia, lihat juga Human Rights Council Working Group on the Universal Periodic Review Thirteenth session Geneva, 21 May–4 June 2012 di http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G1211638.pdf?OpenElement 4 Lihat UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the Working Group on the Universal Periodic Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14 May 2008, General Asembly of United Nation. HUMAN RIGHTS COUNCIL Eighth sessions Agenda item 6, dapat diakses melalui http://www.geneva-academy.ch/RULAC/pdf_state/UPR-Outcome-of-the-Working-Group.pdf 5 UPR Indonesia, 2008, Ibid. Point 10 Halaman 4. 292 Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) Indonesia dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai Organisasi Internasional. Komitmen Indonesia untuk melindungi (to protect) HAM diperkuat dengan ratifikasi Indonesia atas berbagai perjanjian-perjanjian internasional di bidang HAM antara lain 1) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia,6 2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,7 3) Konvensi tentang Penghapusan Segala Macam Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,8 4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,9 5) Konvensi Hak Kaum Disable/the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) diratifikasi Indonesia pada November 2011, 6) Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya atau the International Convention on the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) yang diratifikasi oleh Indonesia pada Mei 2012. Di level regional, Indonesia yang sudah 14 tahun menjadi anggota ASEAN, dan pada 2011 dipercaya sebagai ketua dari organisasi ASEAN dan Indonesia menunjukan peran yang cukup penting dalam pembentukan Deklarasi HAM ASEAN. Selama ini, Indonesia sebagai pemegang kewajiban (duty holders) masih sebatas melaksanakan 1 (satu) kewajiban yaitu kewajiban untuk melindungi HAM (obligation to protect). Namun komitmen Indonesia dalam melaksanakan (dua) kewajiban lainnya yaitu menghormati (obligation to respect) dan memenuhi (obligation to fulfil) HAM bagi setiap warga negara belum maksimal. Kewajiban untuk menghormati menuntut negara, termasuk organ-organnya untuk tidak melakukan apapun yang melanggar hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar individu, misalnya menghalang-halangi kebebasan warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Kewajiban untuk melindungi menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan (baik di bidang leglislatif, yudikatif, eksekutif) guna melindungi hak-hak dan kebebasan warga negara yang ada di wilayahnya. Misalnya membuat Undang-undang atau berbagai kebijakan publik yang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan warga di wilayahnya. Dan kewajiban ketiga menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah guna memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar manusia misalnya pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dll. Kiranya kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) dengan membuat berbagai produk regulasi di bidang HAM sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk sebagian saja yaitu pada level Konstitusi (grundmorm/ norma dasar) meskipun dalam catatan Penulis masih terkesan setengah hati dan tidak konsisten karena faktanya berbagai regulasi yang dibuat baik di tingkat Undang-undang (UU), atau Peraturan Daerah (Perda) atau kebijakan publik lainnya justru mereduksi jaminan perlindungan HAM yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 serta bertentangan dengan konvensi Internasional tentang HAM yang telah diratifikasi. Hasil penelitian Sulardi dan Cekli 1 0 menunjukan bahwa pasca perubahan Pasal 5 jo Pasal 20 UUD NRI tahun 1945 terjadinya pergeseran kewenangan dibidang legislasi dari Presiden ke DPR. Namun demikian pergeseran kekuasaan di bidang legislasi ini faktanya gagal dimaknai oleh DPR untuk menghasilkan berbagai produk UU yang berkualitas, alih-alih berdimensi HAM. Produk hukum berupa UU yang dibuat cenderung mengabaikan bahkan bertentangan dengan hak konstitusional rakyat. Misalnya, pada tataran UU, tingginya tingkat pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan permintaan pembatalan sejumlah UU, merupakan salah satu indikator penting gagalnya Pemegang Kekuasaan Legislatif dalam merumuskan UU yang berkualitas dan konstitusional.11 Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang dimuat oleh Harian Kompas tertanggal 20 Februari 2010, menilai bahwa produk legislasi banyak yang tidak 6 Konvensi ini disebut CAT, diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Indonesia meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1998. 7 CERD diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 2106 (XX) 21 Desember 1965. Indonesia meratifikasi CERD melalui UU No. 29 Tahun 1999. 8 Konvensi ini dikenal dengan nama CEDAW dan diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984. 9 CRC diratifikasi oleh Indonesia mellui Keppres 36 Tahun 1990. 10 Lihat Sulardi dan Cekli, 2001, 'Pergeserean Kekuasaan Legislasi Pasca Amandemen UUD 1945', ISSN: 0854, 6509. Vol. 7 No. 2, Hlm. 90 - 226. Faculty of Law, Muhammadiyah University, Malang. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, 'Sistem Ketatanegaraan Pasca Amandemen', dapat diakses di http://jimly.com/makalah/namafile/42/SISTEM_KETATANEGARAAN.doc., Saldi Isra, 'MPR Perlu Menata Ulang Fungsi Legislasi', disampaikan dalam Ujian terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum di UGM pada tanggal 7 Februari 2009, dapat diakses di http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/15898-____mpr-perlu-menata-ulang-fungsi-legislasi____.pdf 11 Cekli Setya Pratiwi, 2010, WAJAH UU PASCA UJI MATERIIL MK (Menggugat Pemegang Kekuasaan Legislasi , Mendorong Tegaknya Konstitusi dan Terwujudnya The Rule of Law), Jurnal Mahkamah Konstitusi, 2010. 293 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 beres karena menyimpang dari Program Legislasi Nasional atau Prolegnas. Bukti dari ketidakberesan itu adaah banyaknya undang-undang yang dibatalkan MK yaitu dalam lima tahun terakhir MK telah membatalkan 58 UU dari 108 UU yang diuji. Saat ini ada 38 UU yang sedang diperiksa atau menunggu giliran untuk diuji secara materiil oleh MK.12 Pada tataran Perda, misalnya, hasil penelitian LHB Surabaya bekerjasama dengan Pusat Studi Kebijakan Publik (PSHK) tentang Kinerja DPRD di Jawa Timur tahun 2004-2009, dihasilkan bahwa dari tiga kota dan kabupaten yang dijadikan obyek penelitian, yaitu Kota Surabya, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Blitar ternyata minim perda pro rakyat..13 Belum lagi adanya berbagai kebijakan publik dalam bentuk Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB), Peraturan Menteri, Peraturan Walikota, dll yang juga berpotensi mereduksi perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kegagalan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya dan akan meningkatkan potensi dan eskalasi berbagai bentuk pelanggaran HAM di lapangan. Sampai sekarang masih banyak terjadi berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia baik dibiang hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang hak sipil misalnya hak kebebasan beragama juga masih banyak hambatan. Dalam catatan KOMNASHAM sedikitnya sepanjang Januari hingga November 2007, dapat dicatat bahwa telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori.14 Laporan yang disampaikan oleh ELSAM mencacat bahwa selama tahun 2011 hak kebebasan beragama dan berkeyakinan masih memburuk. ELSAM mencatat setidaknya terdapat 63 kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain kebijakan diskriminatif, pembakaran rumah ibadah, pembakaran rumah jemaat, penyerangan, tindakan pembiaran oleh aparat, dll. Mulai tahun 1999 hingga 2009 sudah terbit tidak kurang dari 154 kebijakan di daerah dalam bentuk perda yang bersumber dari nilaiyang dianggap khas di daerah. Menurut pemantauan 12 Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) Komisi NasionalAnti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 154 perda tersebut, daerah tingkat I (provinsi) menyumbang 19 perda, dandaerah tingkat II (kabupaten/kota) merupakan penyumbangterbesarnya, yaitu sebanyak 134 perda. Yang diaktualisasikan di dalam perda itu kebanyakan berkaitan dengan kontrol terhadap moral dan akhlak. Mulai dari soal prostitusi hingga cara berbusana bagi perempuan muslim. Tetapi yang menjadi keprihatinan kita adalah, sebagaimana diamati Komnas Perempuan, perda-perda tersebut bersifat diskriminatif terhadap perempuan.15 jelas mengenai aspek formil dan materiil yang harus diperhatikan oleh local regulator dalam menyusun Perda yang responsive dan berdimensi HAM. Dengan demikian, ada kecenderungan pembentukan Perda hanya dipandang sebagai pekerjaan rutin, pelibatan masyarakat hanya sebagai alat legitimasi saja dan secara substansi berpotensi melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian perlu dipikirkan strategi baru dan metode pembentukan Perda yang responsif dan berdimensi HAM sehingga apa yang menjadi tujuan negara dan cita-cita negara hukum yang demokratis dapat terwujud di tingkat daerah. Kegagalan transformasi norma hukum HAM Internasional ke dalam berbagai produk hukum nasional dan lokal dapat menjadi penanda bahwa Indonesia masih belum menunjukan komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tiga kewajiban pokok untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM warga negara di wilayahnya sebagai bagian dari masyarakat internasional. Internalisasi norma hukum HAM Internasional ke dalam hukum nasional masih sebatas pada norma hukum tertinggi yaitu konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa Undang-Undang tertentu, namun sebagian besar Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah belum berdimensi HAM. Hal ini nampak dari jumlah UU yang diajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Keberadaan UU yang belum berdimensi HAM menjadi sumber bagi lahirnya berbagai peraturan di tinngkat bawahnya serta berbagai kebijakankebijakan lainnya, sehingga berbagai peraturan dan kebijakan tersebut memiliki kecenderungan bermasalah dan diskriminatif. Konsep otonomi daerah dimaknai secara tidak tepat sehingga ada kecenderungan daerah membuat peraturan daerah di luar kewenangan daerah dan berpotensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak kebebasan beragama. Sikap diam negara terhadap maraknya berbagai pihak yang tanpa kewenangan mengeluarkan berbagai ketentuan yang mengikat publik, sehingga memicu berbagai konflik horizontal. Sementara itu, keberadaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak memberikan pedoman yang Peraturan Daerah merupakan perangkat hukum di daerah dan bukan hanya sebagai alat untuk menertibkan masyarakat namun harus mampu sebagai pendorong perubahan sosial (mendorong masyarakat ke arah yang lebih baik). Kesehatan dan pelayanan kesehatan tidak boleh sekedar ditempatkan sebagai wewenang pemerintah daerah tetapi harus ditempatkan sebagai Kewajiban Negara (state obligation) (Ps. 8 UU 39/99) untuk menghormati , melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia (Ps. 12 CESCR) dan Hak konstitusional rakyat (Ps. 28H UUD NRI 1945) dengan langkah-langkah yang efektif (Ps. 71 & 72 UU 39/99). Kewajiban menghormati artinya pemerintah wajib membuat UU untuk melindungi dan menjamin hak setiap warganegara agar tak mengalami diskriminasi etnis, ras, jender atau bahasa dalam bidang kesehatan serta alokasi sumberdaya yang kurang. Kewajiban melindungi artinya: Pemerintah harus mengupayakan tindakan untuk mencegah pelaku non-negara berperilaku diskriminatif sehingga membatasi akses dalam bidang kesehatan.Kewajiban memenuhi artinya: Pemenuhan secara progresif; Investasi di bidang kesehatan serta alokasi sumberdaya untuk kemampuan masyarakat. Lihat Kompas edisi Senin, 20 Februari 2010 '38 UU Menunggu Giliran Ujia Materiil'. 13 Peraturan yang baik adalah peraturan yang responsif bukan represif: melibatkan partisipasi masyarakat, mewujudkan ketertiban masyarakat sekaligus keadilan (substantif dan prosedur), memperhatikan kepentingan kelompok rentan, tidak memberikan peluang bagi penguasa untuk menafsirkan hukum, serta mampu mewujudkan prinsip demokrasi, perlindungan HAM, tujuan negara dan keadilan dalam masyarakat. B. Perlindungan HAM Sebagai Tanggungjawab Negara Diakui di dalam konstitusi berbagai negara di dunia16 tak terkecuali konstitusi Indonesia17 serta berbagai instrumen internasional tentang HAM dimana Indonesia juga menjadi negara peserta (state party) bahwa Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak yang dimiliki dan melekat pada diri setiap manusia karena kodratnya sebagai manusia (inherent in dignity)18 sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.19 Oleh karena itu HAM bukanlah pemberian negara sehingga negara tidak dibenarkan mencabutnya (inalienable)20 dan tidak dapat membatasinya secara sewenang-wenang (indivisible).21 Pengurangan atau pembatasan hak asasi manusia hanya diperbolehkan pada hak-hak tertentu dan dalam keadaan tertentu seperti keadaaan darurat umum, dengan langkah-langkah tertentu, harus sudah dinyatakan secara tegas dalam undang-undang, serta tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan pihak lain.22 Dengan demikian keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HAM bukan sebagai bukti bahwa HAM adalah pemberian negara atau belas kasihan negara kepada warga negaranya,23 melainkan hanya sebatas menegaskan atau menguatkan bahwa HAM memang nyata adanya. Oleh karena itu konstitusi Indonesia secara 16 Lihat berbagai konstitusi negara anggotas Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Arab Saudi, Brunai Darusalam, Malaysia, Amerika Serikat, dll. , dimana Indonesia adalah juga bagian dari Anggota PBB. 17 Lihat berbagai Pasal tentang HAM Dalam Bab XA Pasal 28 A-J UUD NRI Tahun 1945. 18 Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diterima oleh Majelis Umum PBB 2200 A (SSI) 16 Desember 1966 pada Mukadimah Alenia II menyatakan bahwa: “Negara-negara pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa hak hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia” 19 Lihat juga Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 20 Lihat juga Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 Nomor 217 A (III) Pada Mukadima Alenia I menyatakan bahwa:”pengakuan atas hak-hak alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia...”. 21 Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dihadapan hukum, hak memeluk dan memilih agama, adalah hak yang bersifat non-derogable right (tidak dapat dikurang-kurangi dalam keadaan apapun). Lihat Pasal 3 sd 9 DUHAM, Pasal 6,7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 Kovenan Internasional Hak Sipil Politik 1966, Pasal 28 I Ayat 1 dan 2 UUD NRI Tahun 1945, Pasal Cekli Setya Pratiwi , LBH Surabaya dan PSHK, disarikan dari Laporan Hasil Penelitian Kinerja DPRD Di Jawa Timur, Tahun 20052009, Maret 2010. 22 Thomas Buergental, Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan Pengurangan Hak Yang Diizinkan”, dalam Ifdal Kasim (eds.), 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM: Jakarta, ISBN: 979-8981-20-0. Halaman 315-353. 14 Lihat Laporan Tahunan 2007 KOMNASHAM, diakses oleh Penulis pada 11 Januari 2009 di http://komnasham.or.id 15 Kasim, Ifdal. Reduksi Perlindungan HAM Dalam Peratutan Daerah. Jurnal HUMANITAS, Volume II, November 2011. 23 Yosep Adi Prasetyo, 2012. Hak Ekosob Dan Kewajiban Negara, Makalah Memperkuat Pemahaman HAM Hakim Seluruh Indonesia, Diselenggarakan Oleh Komisi Nasional HAM RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei 2012. Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id 294 295 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 tegas menyatakan bahwa jaminan HAM tersebut adalah sebuah tanggungjawab yang harus dan wajib dilakukan oleh negara.24 Jika negara atau aparaturnya bertindak sewenang-wenang serta mengabaikan pentingnya penghormatan nilai-nilai HAM warga negaranya atau membiarkan perbuatan diskirminasi, kekerasan dari pihak tertentu yang melanggar HAM warga negaranya berarti negara gagal melaksanakan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect). Jika negara atau lembaga pembentuk hukum tidak menjamin HAM warga negaranya atau justru peraturan yang dibuat atau kebijakan yang dibuat bertujuan mengurangi atau membatas-batasi atau meniadakan HAM warga negaranya, maka negara dapat dikatakan tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi HAM warga negaranya (obligation to protect). Sedangkan apabila negara memberikan kekebalan hukum (impunity) kepada pihak tertentu yang melanggar HAM atau mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM atau tidak memenuhi hak-hak warga negara yang seharusnya segera dipenuhi maka negara berarti telah gagal melaksanakan kewajiban untuk memenuhi HAM warga negaranya (obligation to fulfil). Salah satu ciri dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh negara kepada warga negara.25 Prinsip rule of law menyatakan bahwa seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man. A.V.Dicey menegaskan bahwa unsur-unsur rule of law meliputi: pertama, adanya superemasi aturan-aturan hukum. Artinya bahwa, hukum harus menjadi panglima, ditaati dan dipatuhi oleh setiap warga negara, aparatur negara, dan setiap unsur yang ada di masyarakat. Kedua, adanya pengakuan “equality before the law” artinya setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan atau diskriminasi baik menyangkut suku, agama, ras, warna kulit, status ekonomi, sosial, dll. Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil. Ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusankeputusan pengadilan. Artinya, setiap negara wajib menghormati, menjamin dan melindungai hak-hak asasi setiap warga negaranya, dan jaminan terhadap perlindungan HAM warga negara tersebut harus diatur dalam UU bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah serta dijamin melalui keputusan pengadilan. Perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat 6:”Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Penghormatan HAM sebagai bagian dari tujuan bernegara secara tegas dinyatakan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, bahwa negara Indonesia didirikan untuk mencapai tujuan negara yaitu: 1). Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; 3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.26 Ketiga tujuan bernegara ini harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada Pancasila (sila I sampai V) dengan tanpa diskriminasi sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dari kelima sila Pancasila tersebut selaras dengan prinsip penghormatan HAM yaitu hak kebebasan beragama pada sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan hak asasi manusia (Sila II Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan tanpa diskriminasi (yaitu Sila III Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hak untuk ikut serta dalam pemerintahan (Sila IV Kerakyatan Yang Dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan) dan hak atas kesejahteraan yang tergambar dalam sila ke V Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa sejak awal negara ini didirikan memiliki cita-cita luhur untuk memberikan penghormatan yang tinggi dan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia tanpa membedaka-bedakan suku, agama, ras, kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin dll dan perlindungan serta rasa aman tersebut seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali dan di seluruh wilayah Republik 24 Pasal 28 I ayat 5 menyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. 25 26 A. Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005. Lihat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 alenia IV. 296 Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) Indonesia secara merata. Tujuan yang demikian kiranya selaras dengan apa yang dimaksud dalam ICCPR yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, Pasal 2 (1) yang menyatakan: 'Each State Party undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the Covenant, without discrimination of any kind'. Artinya, dengan diterimanya ketentuan ini maka negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik sebagaimana hakhak yang diakui dalam CCPR kepada seluruh warga negaranya tanpa didasarkan pada diskriminasi apapun.27 Negara Indonesia juga berkehendak 'nensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa'. Jika dikaitkan dengan usaha untuk mencapai tujuan negara yang pertama sebagaimana tersebut di atas, yaitu menjamin adanya perlindungan hak setiap warga negara, maka dalam usaha memberikan jaminan perlindungan tersebut akan sulit diwujudkan jika kondisi masyarakat masih di bawah garis kemiskinan atau pendidikan masyarakat masih rendah. Sebagaimana prinsip-prinsip HAM dalam Islam tentang perlindungan hak akal dan pikiran, maka hak kebebasan berpendapat dan hak atas pendidikan merupakan hak yang juga dijamin pemenuhannya dalam HAM. C. 27 2. opportunity (Kesempatan) terdiri dari: (i) apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang-undang memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak? (ii) apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai atau tidak mungkin terjadi? 3. capacity (Kemampuan) terdiri dari: (i) apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada? (ii) berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada; (iii) dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. (iv) kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka. 4. communication (komunikasi), ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskanmengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undangundang kecuali bila dia mengetahui perintah; 5. interest (kepentingan), apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada? 6. Process (proses), menurut kriteria dan prosedur apakah dengan proses yang bagaimana para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orangorang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak; Model Pembentukan Perda Menggunakan Metode ROCCIPI Plus Double RHR Metode ROCCIPI merupakan singkatan dari rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology. Sedangkan Double RHR adalah singkatan dari Responsive, Harmony Regulation Respect to Human Rights. Metode ROCCIPI yang dikenalkan oleh28 AUSAID memberikan 7 parameter penilaian dan ditambah 3 parameter oleh Penulis RHR (Responsive, Harmony Regulation) dan RHR (Resptect to Human Rights) yang secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut: 1. kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah; Rule (peraturan), susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu, peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah.Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah, memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, tidak partisipatif, memberikan Cekli, op cit. 28 Local Government Support Program, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah Buku Pegangan untuk DPRD ,Publikasi ini didanai oleh the United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, 2007 , hlm 17-19 297 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 7. 8. 298 ideology (idiologi), apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada? Responsive Regulation dimaksudkan sebagai sebuah aturan yang memiliki karakteristik melibatkan partisipasi public dalam setiap tahapan pembuatannya, hendak menyelesai-kan masalah yang ada di masyarakat. Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum mempunyai tiga jenis yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan hukum termasuk Peraturan Daerah (perda) dalam setiap tahapan pembuatan diharapkan menjadi kekuatan kontrol (agent of social control) dan kekuatan penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pada keadaan terdapatnya hukum responsif, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijak-sanaan umum. Dibukanya ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembentukan hukum ini bertujuan agar hukum yang dihasilkan tidak hanya responsive terhadap kepentingan penguasa. Secara konstruktif yuridis partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004. Paham Nonet dan Selznick hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dengan demikian, di dalam hukum yang responsive terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. 9. Harmony Regulation, artinya sejuah mana Perda yang dibuat mampu menjaga harmonisasi heirarki dalam peraturan perundang-undangan. Apakah perda tersebut bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi ataukah tidak? Apakah Perda tersebut mengesampingkan norma yang telah diatur oleh peraturan lainnya yang kedudukannya lebih tinggi atau tidak? Apakah perda tersebut memuat materi yang sebenarnya membuat norma baru yang tidak ada atau bertentangan dengan norma yang diatur oleh peraturan lain yang kedudukannya lebih tinggi atau tidak. 10. Respect to Human Rights artinya bahwa penghormatan nilai-nilai Hak Asasi Manusia merupakan kewajiban utama bagi Negara atau pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu dalam menjalankan setiap kewenangannya baik pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus memperhatikan kewajiban utamanya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap warga negaranya. Oleh karena itu pembentuk hukum di daerah khususnya lembaga legislative dalam menyusun sebuah produk hukum yang disebut sebagai peraturan daerah harus senantiasa mentransformasikan kewajibankewajiban hukum dalam melindungi HAM. Karena melindungi HAM merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan bernegara serta menjalankan kewajiban-kewajiban internasional sebagai Negara yang beradab. Metode pembentukan Perda dengan pendekatan ROCCIPI telah banyak diadobsi oleh beberapa Pemerintah Daerah, namunn demikian beberapa Perda yang dihasilkan masih mengabaikan urgensi dari pentingnya membuat Perda yang didasarkan oleh partisipasi publik dan respon tinggi terhadap kebutuhan publik, memperhatikan peraturanperaturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi sehingga tidak terjadi konflik hokum yang dapat menyebabkan kenetuan tersebut mengalami penolakan public serta mampu mentransformasikan nilai-nalai hak asasi manusia sebagai hak kodrat yang dimiliki oleh manusia karena kodratnya sebagai manusia. Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) D. Dimensi HAM Dalam Pelayanan Kesehatan D.1.Selaras Dengan Nomor 14 Pemtukan Komentar Umum Perda PBB a. Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan hendaknya menjamin pencapaian indikator keberterimaan atas pelayanan kesehatan bagi setiap orang b. Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan hendaknya menjamin pencapaian indikator kualitas dengan standard tertinggi atas pelayanan kesehatan c. Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan hendaknya menjamin pencapaian indikator kesesuaian dengan budaya dan tradisi yang diakui dan diikuti oleh masyarakat d. Muatan Materi Perda Pelayanan Kesehatan hendaknya menjamin indikator keterjangkuan bagi masyarakat terutama warga miskin. D.2.Penyelarasan Limburg Dengan Prinsip-prinsip Pertama, muatan Perda wajib mengatur dan menyediakan upaya penyelesaian yang efektif bagi warga Negara yang hak nya dilanggar. Prinsipprinsip Limburg juga semakin menegaskan dan memberi arah bagi setiap negara, khususnya negara pihak untuk tidak sekadar melihat hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat positif. Paragraf ke-16 prinsip-prinsip Limburg menegaskan: “All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards full realization of the rights contained in the Covenant.” Begitu juga dalam paragraf ke-22: “Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of the Covenant.” Prinsip Limburg mengenai Penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menekankan bahwa “Negara-negara Pihak harus menyediakan upaya-upaya penyelesaian yang efektif termasuk, bila memungkinkan, penyelesaian melalui pengadilan” (Prinsip 19). Kedua, muatan Perda mengatur dan menyediakan jaminan tentang penyediaan sumber daya yang tersedia secara maksimal dan langkahlangkah progressive yang harus dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat digunakan untuk mengkesampingkan pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi anggapan selama ini mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas menyesatkan. Negara memiliki kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dikualifikasi sebagai “bukan merupakan hak yang sebenarnya” atau sekedar “pernyataan politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya dapat dituntut pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3, 7(a) dan (i), 8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional masing-masing negara. E. Analisa Muatan Materi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan di Indonesia Saat ini ada beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan. Oleh karena muatan materi atau isi dari Perda Pelayanan Kesehatan di beberapa kota/kabupaten di Indonesia tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan, maka Peneliti akan memfokuskan pada salah satu obyek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah Perda Pelayanan Kesehatan di Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010. Sebelum menelaah secara detail mengenai muatan materi Perda tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Malang, perlu dipaparkan tentang gambaran mengenai Perda Pelayanan Kesehatan di Kota Malang mengenai dasar filosofis yang digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan Perda Kesehatan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pelayanan Kesehatan. Dalam dasar filosofis ini nantinya akan ditelaah secara lebih mendalam sejauh manakah urgensi disusunannya Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang sebagai bentuk perwujudan tanggungjawab Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah dalam menghormati, melindungi dan menjamin hak atas kesehatan setiap warga Negara di Kota Malang dengan tetap menunjunjung tinggi prinsip perlindungan HAM yaitu prinsip pemenuhan hak tanpa diskriminasi, prinsip keterkaitan dan ketergantungan antara pemenuhan hak kesehatan dan hak-hak lainnya. 299 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 E.1. Bagian Konsideran Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang– undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan. Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. a. Aspek Filosofis Aspek filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Aspek Sosiologis Aspek sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. c. Aspek yuridis hak asasi manusia yang diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia. “ Salah satu upaya untuk melaksanakan kewajiban tersebut adalah dengan melaksanakan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yaitu melakukan langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Langkah implementasi hak asasi manusia di bidang peraturan perundang-undangan antara lain dapat dilakukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang memuat nilai – nilai hak asasi manusia, termasuk produk hukum daerah. Dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 300 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Indonesia Tahun 20112014 menugaskan Gubernur membentuk Panitia RANHAM Propinsi, dan Bupati/Walikota membentuk Panitia RANHAM Kabupaten/Kota, yang salah satu program utamanya adalah Harmonisasi Rancangan dan Evaluasi Peraturan Daerah. Agar program harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturan daerah dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan Parameter Hak Asasi Manusia dalam pembentukan produk hukum daerah. Secara umum pembentukan produk hukum daerah agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. 2. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai instrumen hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah dalam rangka otonomi daerah. Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Non Diskriminasi Materi muatan produk hukum daerah tidak boleh bersifat diskriminasi dalam bentuk pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Tabel.1. Analisa Dasar Filosofis Dalam Konsideran Menimbang Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan Di Kota Malang Aspek yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jika menyimak landasan filosofis yang dituangkan dalam Perda aquo, Pembentuk Perda setidak-tidaknya sudah cukup memahami prinsip dasar Hak Asasi Manusia yaitu prinsip interelasi, prinsip tanggungjawab Negara dan prinsip non diskriminasi. Prinsip tanggung jawab Negara ini selaras dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”. Selanjutkan ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan dalam bidang hak asasi manusia serta hukum internasional tentang Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) a) Dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah; b) Undang-Undang yang menjadi dasar Pembentukan Daerah yang bersangkutan; c) Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Dasar hukum tersebut dirumuskan sebagai berikut: a) Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun b) 1945; c) Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah yang bersangkutan; d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); e) Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatan (hierarkinya) sama atau lebih tinggi dari peraturan yang ditetapkan. f) Peraturan yang akan dicabut dengan peraturan yang akan dibentuk atau peraturan yang sudah diundangkan tetapi belum berlaku, tidak boleh dicantumkan sebagai dasar hukum. g) Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. h) Dasar hukum yang diambil dari pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal. Frasa Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal dan kedua huruf ”u” ditulis dengan huruf kapital ”U. Kesetaraan Gender Masalah pokok untuk mengupayakan substansi produk hukum daerah termasuk teknis kebijakan operasional yang sensitif dan responsif terhadap berbagai persoalan dalam masyarakat, diantaranya persoalan kesenjangan gender. Langkah praktis dan strategis untuk menciptakan dan mewujudkan peraturan-perundang undangan yang materi muatannya sensitif dan responsif gender yaitu melalui pengintegrasian perspektif gender dalam suatu produk hukum daerah dan/atau kebijakan teknis operasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman sebagaimana yang diidamkan oleh masyarakat luas. E.2. Bagian Dasar hukum Dasar hukum lazimnya diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: 301 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 i) Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan judul Peraturan Perundangundangan dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Penulisan undang-undang, kedua huruf ”u” ditulis dengan huruf capital ”U”. j) Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang-undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. k) l) Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam contoh Nomor 29 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, penulisan tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). Tabel. 2. Analisa Dasar Mengingat (Dasar Hukum) Perda Nomor 12 Tahun 2010 Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) E.3. Bagian Diktum Tabel.3. Analisa Pemenuhan Indikator Kualitas Pelayanan Kesehatan Dalam Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010 Diktum terdiri atas : a . kata “Memutuskan” ; b . kata “Menetapkan” ; c. jenis dan undangan. nama Peraturan Perundang- Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan ditengah marjin. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata MEMUTUSKAN dicantumkan frasa “Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI ..... KABUPATEN/KOTA … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama daerah),” yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:). Jenis dan nama yang tercantum dalam judul peraturan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan pencantuman jenis peraturan tanpa menyebutkan nama Provinsi/Kabupaten/ Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik (.). Jika menyimak rumusan diktum dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa diktum Perda Kota Malang aquo telah sesuai dengan perumusan yang seharusnya terdapat dalam dictum Peraturan Daerah sebagaimana dapat dilihat di bawah ini: E.5. A n a l i s a P e m e n u h a n Keterjangkauan Indikator Muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan di Indonesia juga dituntut untuk mampu menjamin pelayanan tanpa diskriminasi bagi setiap warga serta dapat dijangkau oleh semua kalangan. Tabel.4. Analisa Pemenuhan Indikator Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010 E.7. Analisa Penemuhan Indikator Kualitas Prinsip indikator kualitas dimaksudkan agar muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan tersebut mampu menjamin aspek keamanan dan kenyamanan dari pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Tabel. 6. Analisa Pemenuhan Indikator Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG dan WALIKOTA MALANG MEMUTUSKAN : E.6. Analisa Pemenuhan Keberterimaan Menetapkan : P E R A T U R A N D A E R A H TENTANG PELAYANAN KESEHATAN. E.4. Analisa Pemenuhan Indikator Ketersediaan Dalam aspek ini Peneliti akan menelaah sejauh manakah muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan tersebut mampu menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan, fasilitas dan program pelayanan kesehatan yang memadai. 302 Prinsip keberterimaan dimaksudkan agar muatan materi Perda Pelayanan Kesehatan tersebut mampu menjamin penerimaan atas keberagaman budaya masyarakat setempat Tabel.5. Analisa Pemenuhan Indikator Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Dalam Perda Pelayanan Kesehatan Kota Malang Nomor 12 Tahun 2010 303 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 F. Penutup 1. Kesimpulan a. b. 2. Model pembentukan Perda dengan pendekatan ROCCIPI sebagaimana dikenalkan oleh USAID kepada beberapa daerah di Indonesia perlu dikaji ulang dengan menambahkan pendekatan pembentukan Perda yang Responsif, mengindahkan ketentuan hokum atau peraturan Perundnag-undangan yang kedudukannya lebih tinggi serta mampu mengejawantahkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Produk Hukum berupa Perda Pelayanan Kesehatan di Indonesia merupakan salah satu produk hokum yang dapat ditelaah sejauh mana prinsip-prinsip serta nilai Hak Asasi Manusia telah ditransformasi secara tepat yaitu dengan menelaah muatan materi yang terkandung di dalamnya dinilai belum mampu menjadi pedoman dalam mencapai indicatorindikator pemenuhan hak kesehatan dengan standar tertinggi. Saran a. b. Diperlukan kajian secara lebih mendalam tentang pengembangan model pembentukan Perda dengan pendekatan ROCCIPI dengan menambahkan pendekatan Responsive Regulation, Harmony Regulation dan Respect to Human Rights dengan leibatkan berbagai pakar terkait. Diperlukan pembekalan yang cukup bagi pembentuk regulasi di tingkat daerah tentang pentingnya membentuk peraturan yang juga mengedepankan partisipasi publik, selaras dengan ketentuan hukum di tingkat atasnya serta memiliki dimensi Hak Asasi Manusia. Daftar Pustaka Commission of Woman “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007. http://jimly.com/makalah/ namafile/8/HAK_KONSTITUSIONAL_PERE MPUAN.doc Brownlie, I., "Principles of International Law", (5th Edition, Oxford, 1998), Chapter 2 Buergental, Thomas. Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan Pengurangan Hak Yang Diizinkan. dalam Ifdal Kasim (eds.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM, ISBN: 979-8981-20-0. Jakarta, 2001 Christian Tomuschat, Human Rights, Between Idealism and Realism, Oxford University Press, 2003. David Weissbrodt, dalam Peter Davies, 'Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, A. Rahman (ed)., yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1994. Drzewicki, Krzytof . Internationalization of Human Rights and Their Jurizdiction, dalam Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction to the International Protection of Human Rights, A Textbook, second revised edition, Institute for Human Rights, Abo Akademi University, 2004. Davies, Peter. Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai. ed. A.Rahman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Fadjar, A.Muktie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Feldman, Noah. 'The fall and Rise of The Islamic State, American Muslims For Constructive Engagement, Alison Lake (ed), 2008. General Comment No.22 (48) of the United Nations Human Rights Committee provides normative substance to Article 18 of the ICCPR Hanski, Raija and Markku Suksi, An Introduction to the International Protection of Human Rights, A Textbook, second revised edition, Institute for Human Rights, Abo Akademi University, 2004. Annual Report of Human Rights National Commission 2007: Indonesia. Released by Human Rights National Commmission J a n u a r y 1 1 , 2 0 0 9 d i http://komnasham.or.id Harjono. Politik Hukum Perjanjian Internasional. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1999. Ashidiqi, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, paper on Public Dialog and Consulation with National H. Victor Conde, A Hand Book of International Human Rights Terminology, University of Nebraska Press, hlm. 58. 304 Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dan.....(Cekli Setya Pratiwi) Isra, Saldi. 'MPR Perlu Menata Ulang Fungsi Legislasi', disampaikan dalam Ujian terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum di UGM pada tanggal 7 Februari 2009, diakses di http:// www.news.id.finroll.com/news/14-beritaterkini/15898-____mpr-perlu-menata-ulangfungsi-legislasi____.pdf Lindholm, Tore, Durham, W. Cole, Jr. Lie, Bahia G. Tahzib, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan; Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Kanisius, Yogyakarta 2010. Kasim, Ifdal. Reduksi Perlindungan HAM Dalam Peratutan Daerah. Jurnal HUMANITAS, Volume II, November 2011. Kasim, Ifdal (eds.), Hak Sipil dan Politik, Esai-esai Pilihan, Cetakan Pertama, Juli 2002. Mahfud. Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, held by Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Jakarta, Oktober 2009. Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Alumni Bandung, 2000, hal. 60-61. Mayer, Ann Elizabeth. Universal versus Islamic Human Rights: A Clash of Culture or a Clash with a Construct?. Michigan, Journal of International Law, Vol.15 No.2 Winter 1994. Nowak, Manfred. The International Covenant On Civil and Political Rights, Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction to the International Protection of Human Rights, A Textbook, Second revised edition, Institute for Human Rights, Abo Akademi University, 2004. Parsch, Karl Josef. Kebebasan Beragama , Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik, ed. Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-esai Pilihan, ELSAM, 2002. Prasetyo , Yosep Adi. 2012. Hak Ekosob Dan Kewajiban Negara, Makalah Memperkuat Pemahaman HAM Hakim Seluruh Indonesia, Diselenggarakan Oleh Komisi Nasional HAM RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei 2012. Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id Pratiwi, Cekli Setya. Wajah UU Pasca Uji Materiil Mahkamah Konstitusi (Menggugat Pemegang Kekuasaan Legislasi, Mendorong Tegaknya Konstitusi dan Terwujudnya The Rule of Law), Jurnal Konstitui, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume III Nomor 1, Juni 2010. Malang, 2010. Pratiwi, Cekli Setya. Laporan Penelitian Kualitas Peraturan Dearah Kabupaten Blitar Tahun 2004-2009, LBH Surabaya dan PSHK, disarikan dari Laporan Hasil Penelitian Kinerja DPRD Di Jawa Timur, Tahun 20052009, Maret 2010, Malang: 2010 Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 64. Siraj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Figh Demokratik Kaum Santri, Pustaka Ciganjur, Jakarta, 1992. Siahaan, Maruarar . Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press: Jakarta, 2005, hal. 81-82. 192 Salman, Radian. Mahkamah Konstitusi dan Politik Hukum di Bidang Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi FH UNAIR, Volume 2 Nomor 1 Juni 2009, hal. 89 Sulardi dan Cekli, 2001, 'Pergeserean Kekuasaan Legislasi Pasca Amandemen UUD 1945', ISSN: 0854, 6509. Vol. 7 No. 2, Hlm. 90 - 226. Faculty of Law, Muhammadiyah University, Malang. Sri Soemantri M, Hak Uji Materiil di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni), hlm. 6-8. Tomuschat, Christian. Human Rights, Between Idealism and Realism, Oxford University Press, 2003. Van Dijk, Mr.P., Flinterman, Prof.mr.C., Janssen, Dr.mr.P.E.L. International Law, Human Rights. Fourth Revised Edition, Den Haag, Koninjklijke Vermande, 2002. Peraturan Perundnag-undangan, Kovensi Internasional dan dokumen penting lainnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Putusan MK Tentang Perkara No. 006/PUUIII/2005 The International Bill of Human Rights, Fact Sheet No.2 (Rev.1), World Campaign For Human Rights, United Nations. Universal Declaration of Human Rights 1948 305 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 291 - 306 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Undang-Undang Nomor 5/PNPS/Tahun 1969 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama. Putusan MK Tentang Perkara No. 010/PUUIII/2005 Putusan MK Tentang Perkara Nomor:18/PUUV/2007 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Annual Report of Human Rights National Commission 2007: Indonesia. Released by Human Rights National Commmission January 11, 2009 di http:// komnasham.or.id General Comment No.22 (48) of the United Nations Human Rights Committee provides normative substance to Article 18 of the ICCPR UN Human Rights Council: Statement for the 2012 Universal Periodic Review of Indonesia, http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un -human-rights-council-statement-2012universal-periodic-review-indonesia, Human Rights Council Working Group on the Universal Periodic Review Thirteenth session Geneva, 21 May–4 June 2012 di http://daccess-dds-ny.un.org/doc/ UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G121163 8.pdf?OpenElement UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the Working Group on the Universal Periodic Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14 May 2008, General Asembly of United Nation. 306 HUMAN RIGHTS COUNCIL Eighth sessions Agenda item 6, dapat diakses melalui http:// www.geneva-academy.ch/RULAC/ pdf_state/UPR-Outcome-of-the-WorkingGroup.pdf KESIAPAN HUKUM DAN TANTANGAN INDONESIA ERA ASEAN COMMUNITY 2015 (THE ASEAN COMMUNITY 2015 AT READINESS AND CHALLENGE) Nadir Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Indonesia email: [email protected] (Naskah diterima 17/06/2014, direvisi 30/09/2014, disetujui 07/10/2014) Black's Law Dictionary, Eighth Edition, Ed. Bryan A. Garner, Thomson West, 2004, hlm. 864. Sumber Rujukan Lainnya Laporan Tahunan 2008 Mahkamah Konstitusi, 'Menegakan Keadilan Substansif', http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/inde x.php?page=website.LaporanDownload&id=4 Kompas edisi Senin, 20 Februari 2010 '38 Menunggu Giliran Uji Materiil'. UU http://www.dpr.go.id/id/baleg/prolegnas/29/Prol egnas-2010-2014 http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/undangundang/2009 http://mpr.go.id http://www.mpr.go.id/index.php?m=berita&s=deta il&id_berita=85 http://dpr.go.id http://bataviase.co.id/node/29110?page=16 http://mpr.go.id/index.php?m=berita&s=detail&id _berita=83 Abstrak Era baru Asean Economic Community 2015 ditandai dengan seperangkat pembentukan hukum dan persiapanpersiapan serta strategi yang dilakukan oleh Negara-negara anggota asean termasuk khususnya Indonesia. Persaingan usaha yang sehat di Indonesia akan ditentukan kualitas hukum persaingan usaha itu sendiri serta kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum persaingan usaha, karena hukum persaingan usaha merupakan suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dengan konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk membangun sistem ekonomi yang efektif, efisien, terbuka dan jujur serta sehat. Berbagai peraturan perundangundangan dan regulasi terkait dengan perdagangan dan persaingan usaha diundangkan dan/atau dipersiapkan di era asean economic community 2015 seperti: (i) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); (ii) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHPidana); (iii) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; (iv) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (v) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; (vi) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (vii) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; (viii) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; (ix) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian; (x) Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; (xi) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam asean economic community 2015 tetap sebagai garda depan penjaga dan penegak hukum persaingan usaha. Jika menyangkut masalah pidana, maka akan menjadi kewenangan penegak hukum lain, yaitu pihak kepolisian Negara republik Indonesia. Kata Kunci: KPPU, Kesiapan dan Tantangan, Hukum Indonesia, Asean Community 2015 www.pemantauperadilan.co http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php ?page=website.LaporanDownload&id=6 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php ?page=website.RekapitulasiPUU http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/ 05/26/sulit-pendirian-negara-islam http://pusham.uii.ac.id/index.php?&page=caping &id=24. http://komnasham.or.id http://hdrstats.undp.org/en/countries/country_fa ct_sheets/cty_fs_IDN.html, Abstract Asean Economic Community 2015 marked a set forming of preparation and law and also strategy by Nations member of Asean including Indonesia. Fair competition in Indonesia will be determined by the quality of law competition itself and also enforcer institutes credibility. By that law competition of effort represent an area with high interaction between concept of punishment with concept of economic as reflected a spirit to develope; fair competition and build an effective economic system and also Laws and regulations to commerce fair competition between Asean Economic Community 2015: (1) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie; (2) Wetbok van strafrecht vor Indonesie; (3) Law Number 8 of 1995 on Capital Market; (4) Law Number 5 of 1999 on Prohibition order Monopolistic Practice and Unfair Competition; (5) Law Number 15 of 2001 on Brand; (6) Law Number 25 of 2007 on Cultivation of Capital; (7) Law Number 20 of 2008 on Micro Effort, Middle and Small; (8) Law Number 7 of 2014 on Commerce; (9) Law Number 3 of 2014 on Industry; (10) Draft Bill on Standardization and Assessment Compatibality; (11) Government Regulaton Number 34 of 2011 on Action of Antidumping, Action Reward, and Action Security of Commerce. The Position of KPPU in Asean Economic Community 2015 is to remain the enforcement of punishment to build fair competition. If the problem about crime, it will become law enforcement authority, that is Republic of Indonesia Police. http://hdrstats.undp.org/countries/country_fact_s heets/cty_fs_IDN.html, Keywords : Asean Community 2015, Law, Readiness, Challenge http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010 /02/01/brk,20100201-222560,id.htm A. http://www.kontras.org/index.php?hal=dalam_ber ita&id=1552 Pendahuluan Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertai kehidupan manusia di abad modern ini, maka perkembangan hukum pun tidak dapat dikesampingkan di tengah kedidupan manusia yang serba canggih lebih-lebih dalam melakukan transaksi perdagangan baik secara nasional maupun transnasional di era asean economic community 2015. Hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa kehidupan 307 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 manusia termasuk perkembangan politiknya dalam setiap aktivitasnya kerana pada dasarnya tidak ada suatu aktivitas yang tidak lepas dari prakarsa hukum, sehingga setiap tatanan kehidupan manusia diatur oleh hukum sebagai instrument untuk mengatur kehidupan lalulintas bisnis transnasional. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertai kehidupan manusia di abad modern ini sangat pesat sekali seiring dengan perkembangan pemikiran tentang hukum, sistem hukum, dan perkembangan tindakan orang sebagai subjek hukum, sementara di sisi lain undangundang sebagai hukum yang terkodifikasi belum mampu mengikuti perkembangannya. Sementara hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan” mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu aturan semata, melainkan seperangkat peraturan dalam satu kesatuan yang sistemik, sehingga tidak mungkin untuk memahami hakikat hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang mempersatukan berbagai peraturan khusus dari satu tata hukum perlu dimaknai agar hakikat hukum dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk tata hukum tersebut, hakikat hukum dapat dipahami dengan sempurna1 mulai dari asal usulnya serta perkembangannya. Secara filosofis Asean Community dibentuk dalam rangka terwujudnya kebersamaan Negaranegara Asean untuk menghadapi persaingan ekonomi global yang dibangun di dunia barat dengan memperhatikan aspek geopolitik dan geostrategi negara, ekonomi, sosial budaya, dan prinsip iktikad baik dalam kebersamaan sebagai sesama anggota Asean Community. Sedangkan tujuan dibentuknya ASEAN sebagaimana tercantum dalam deklarasi Bangkok adalah:2 Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kebersamaan dan persahabatan dalam untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa asia tenggara yang sejahtera dan damai. · Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir) · Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antar Negara-negara dikawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip piagam perserikatan bangsabangsa. · Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama dibidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi. · Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi. · Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan hasil pertanian dan industri mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat mereka. · Memajukan tenggara. pengkajian mengenai asia · Memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa dan untuk menjajagi segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara erat diantara mereka sendiri. Ketakutan kalangan dunia usaha saat ini dalam menghadapi persaingan ekonomi dengan negara-negara anggota Asean di ruang lingkup perdagangan bebas dan pasar tunggal Asean makin kuat. Pasalnya, mereka hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk melakukan persiapan dalam menghadapi Asean Economic Community. Waktu untuk melakukan persiapan-persiapan tersebut hanya 2 (dua) tahun, mengingat pemberlakuan Asean Economic Community tersebut dinyatakan dipercepat dari tahun 2020 menjadi 2015. Meskipun pemerintah menyatakan siap untuk menghadapi pemberlakuan Asean Economic Community dan membuat kebijakan untuk melindungi pengusaha dalam negeri, mereka tetap pesimis.3 1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia Oleh Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta: 2007, hlm. 3 2 Buku, Menuju Asean Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, hlm. 2-3 3 http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12/28/asean-economic-community-2015-keyakinan-yang-ditanggapi-keraguan620328.html diakses 31 Mei 2014 308 Asean Economic Community sendiri merupakan realisasi dari keinginan yang tercantum dalam Visi ASEAN 2020 untuk melakukan intergrasi terhadap ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama. Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar, atau dengan kata lain, konsekuensi diberlakukannya Asean Economic Community adalah adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan arus tanpa hambatan tarif dan non tarif. Rencana pemberlakuan Asean Economic Community tersebut dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan tahun 2007. Pada tahun tersebut pula disepakati bahwa pencapaian Asean Economic Community akan dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pengesahan Asean Economic Community sendiri dicantumkan pada Pasal 1 ayat 5 Piagam ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas ASEAN (Asean Free Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN. Itulah dasar hukum yang mengesahkan terbentuknya Asean Economic Community.4 Indonesia harus segera menyusun langkah strategis yang dapat diimplementasikan secara target specific agar peluang pasar yang terbuka dapat dimanfaatkan secara optimal. Langkah strategis tersebut disusun secara terpadu di antara sektor mulai dari hulu hingga ke hilir di bawah koordinasi suatu badan khusus atau kementerian koordinator bidang ekonomi.5 B. Kesiapan Hukum dan Tantangan Menghadapi Asean Community 2015 Perkembangan perdagangan yang mengarahkan kepada persaingan usaha dan atau jasa di negara-negara maju yang sangat pesat turut mewarnai corak pembentukan hukum perdagangan dan persaingan usaha itu sendiri. Hal itu tidak dapat dikesampingkan negara-negara anggota Asean menjelang era baru Asean Community 2015. Indonesia sebagai Negara anggota Asean 15 (lima belas) tahun yang lalu sudah mengantisipasi keadaan itu dengan menerbitkan beberapa produk hukum seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan peraturan lainnya terkait penertiban persaingan usaha antar sesama pelaku usaha meskipun di dalamnya dijumpai kelemahan-kelemahan sebagai produk hukum yang lahir di awal reformasi. Selain Undang-undang Nomor tahun 1999, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang juga mengatur ketentuan-ketentuan perdagangan. B.1. Kitab Undang-Undang Hukum (KUHPerdata) Perdata Pasal 1365 KUHperdata dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat pelaku usaha yang perbuatan curangnya dapat menyebabkan kerugian pada orang lain. Ketentuan pasal ini memberikan perlindungan kepada pengusaha yang menghadapi perbuatan persaingan curang, karena tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang kerena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. B.2. Kitab Undang-Undang (KUHPidana) Hukum Pidana Pasal 382 bis KUHP dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Larangan dan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan perdagangan curang bagi pelaku usaha untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkurenkonkurennya atau konguren-konkuren orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah. Selain menimbulkan kerugian antar sesama pelaku usaha, persaingan tidak sehat juga menimbulkan kerugian pada konsumen sebagai pembeli barang, sehingga Pasal 383 KUHP memberikan juga perlindungan kepada konsumen, yaitu ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan bagi seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli yaitu sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli ataupun penipuan jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan. 4 Ibid. 5 Buku, Menuju Asean Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, hlm. 82 309 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 B.3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Konsideran Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menegaskan, Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari Praktik yang merugikan. Oleh karena itu, Pasal 10 undang-undang tersebut melarangg bursa Efek membuat ketentuan yang menghambat anggotanya menjadi Anggota Bursa Efek lain atau menghambat adanya persaingan yang sehat. B.4.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Beberapa seminar digelar di kalangan perguruan tinggi untuk menyiapkan diri menjelang Asean Economic Community 2015. Siap atau tidak siap Indonesia tidak bisa mundur dari Asean Economic Community 2015 mendatang khususnya kesiapan hukumnya sebagai instrument pengatur laju pengendali perdagangan dan persaingan usaha dalam menjaga stabilitas produk dalam negeri serta persaingan antar pelaku usaha baik pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha luar negeri. Keadaan tersebut tidak bisa ditawar meskipun menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia ke depan. Masalah persaingan curang (unfair competition) di era baru Asean Community 2015 bukan lagi masalah privat seseorang atau sekelompok orang melainkan sudah menjadi masalah public international, karena akibat yang dirasakan adalah adanya ketidakseimbangan publik. Persaingan usaha yang sehat di Indonesia akan banyak tergantung dari kualitas hukum persaingan usaha itu sendiri. Hukum persaingan usaha merupakan suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dengan konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk membangun sistem ekonomi yang efektif dan efisien terbuka dan jujur serta sehat. Hukum persaingan usaha dan larangan Praktik monopoli merupakan pilar penting dalam sistem ekonomi. Praktik monopoli cenderung mengambil keuntungan yang lebih besar, akan tetapi harus di bayar oleh pelaku usaha lain yang tersingkir secara tidak sehat dari pasar. Praktik keuntungan dari ekonomi yang marak pada kurun waktu 1960-an hingga tahun 1990-an yang lalu merupakan akibat dari Praktik persaingan usaha tidak sehat yang menyebabkan pasar tertutup bagi pelaku usaha yang lain yang sebenarnya lebih efektif dan efisien serta mampu menghasilkan produk yang yang berkualitas dengan harga yang lebih baik untuk masyarakat luas. Akan tetapi hambatan-hambatan yang tercipta karena adanya faktor-faktor persaingan usaha tidak sehat menyebabkan pelaku usaha yang baik tidak dapat memasuki pasar secara terbuka. Mencermati keadaan Praktik monopoli dan persaingan usaha/bisnis yang tumbuh dan berkembang selama kurun waktu tersebut di atas yang berkembang begitu pesatnya ditengarahi penuh dengan Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena tidak adanya tata aturan yang mengatur dan lembaga yang mengawasi dan bertanggung jawab terhadap jalannya sistem ekonomi dan bisnis. Hal ini berdampak terhadap keadilan publik, akibat pasar tidak berjalan dengan sendirinya untuk menciptakan keadilan karena di dalamnya tidak inheran melekat unsur moral dan etika. Keadaan tersebut tentunya tidak ingin terjadi pada era baru Asean Community 2015 mendatang, sehingga untuk itu diperlukan instrument hukum sebagai pengatur seperti peraturan perundang undangan yang mampu mempengaruhi secara langsung kepada para pelaku usaha/bisnis. Dalam seminar yang bertema “Ketahanan Pangan dan Kebijakan Persaingan Dalam Menghadapi Pasar Bersama ASEAN” yang diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Hassanudin Makasar, banyak yang khawatir bahwa Indonesia menjadi pecundang di era ini. Dalam seminar tersebut sejumlah pembicara memberi catatan tentang kesiapan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN.6 Dalam paparannya, Prof. Dr. Saleh Ali menjelaskan bahwa AEC 2015 bisa menjadi berkah bagi Indonesia, namun sekaligus menjadi petaka. “AEC bisa menjadi petaka apabila produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir) pertanian dari negara ASEAN yang lain. Aliran modal dan investasi dari luar hanya mengeruk hasil bumi dan tenaga kerja terdidik menjadi penonton di negaranya sendiri, sehingga diperlukan upaya mengoptimalisasi sektor pertanian Indonesia di AEC 2015 dengan cara memperkokoh konektivitas antar wilayah untuk menjadi bagian di tingkat ASEAN dan tingkat global. Memberi ruang bagi setiap daerah untuk berkembang sesuai dengan keunikan dan comparative advantage yang dimilikinya, Pengembangan innovasi teknologi dan penyiapan infrastruktur pendukung dalam rangka meningkatkan daya saing, harmonisasi prosedur, peraturan, dan standar yang menuju pada peningkatan kualitas dan keamanan pangan, memasyarakatkan AEC sampai ke tingkat grassroot society. Kekhawatiran tidak hanya datang dari kalangan akademisi, kalangan pelaku bisnis juga memiliki kekhawatiran yang sama tentang kesiapan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN. Menurut Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang Sulisto, pemerintah maupun dunia usaha belum terlihat berupaya mengintegrasikan program untuk persiapan ke arah AEC. Padahal dalam menghadapi AEC, ada keterlibatan integratif dalam pembuatan kebijakan. Langkah ini, sudah dilakukan negaranegara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara Indonesia masih harus berbenah.7 Pandangan senada juga disampaikan Ketua Umum HIPMI, Raja Sapta Oktohari, yang mengemukakan bahwa agar Indonesia lebih siap dalam melihat peluang dan tantangan menghadapi liberalisasi ekonomi Asia Tenggara, pemerintah perlu mendorong penciptaan pasar-pasar baru bagi berbagai produk Indonesia. Apabila Indonesia tidak siap, maka bisa dipastikan Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi berbagai produk impor. Dalam rangka menciptakan daya saing melalui hukum dan kebijakan persaingan, ASEAN melalui Sekretariat ASEAN telah melakukan sejumlah aksi. ASEAN Expert Group on Competition(AEGC), sebagai lembaga struktural di ASEAN yang menangani implementasi hukum persaingan, telah menginisiasi dan mempromosikan hal ini. Tercatat hingga saat ini, lima negara ASEAN telah memberlakukan hukum persaingan, yaitu Indonesia dan Thailand (1999), Singapore dan Vietnam (2004) serta Malaysia (2012), sementara 5 7 8 6 Kompetisi, Menuju Pasar Bebas Asean: Laporan Utama Edisi 42 2013, hlm. 5-6 310 9 (lima) negara lainnya masih dalam tahap legislasi. Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu negara pertama yang memberlakukan hukum persaingan telah berperan secara aktif menjadi centre of excellence dalam pengembangan hukum persaingan ini di ASEAN melalui pembagian pengalaman (sharing experience).8 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan peroduk hukum yang sudah lama berjalan dalam khasanah hukum di Indonesia. Undang-undang ini mampu menjerat pelaku usaha asing yang melakukan aktivitas usaha di wilayah hukum Indonesia. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 ini menegaskan pelaku usaha adalah adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Hal tersebut senada dengan Pasal 16 undangundang tersebut yang menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Adanya lembaga yang akan menjadi penjaga peraturan persaingan usaha merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh banyak negara. Di Amerika Serikat, Departemen Kehakiman mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Divison untuk menegakan Sherman Act. Depertemen kehakiman bersama-sama Federal Trade Commisison juga bertugas menegakkan Clayton Act . Sedangkan tugas untuk menegakan Robinson Patman Act khususnya yang menyangkut penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan diserahkan kepada Federal Trade Commission.9 Di Indonesia, penegakan hukum persaingan usaha diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di samping kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Pelanggaran hukum Ibid. Ibid, hlm. 5-6 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2004, hlm. 97 311 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 persaingan usaha harus dilakukan terlebih dahulu melalui Komisi Pengawas Peraingan Usaha (KPPU). Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik Kepolisian, kemudian diteruskan kePengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan oleh Komisi Pengaswas Persaingan Usaha.10 Menurut Anggota DPR RI Azam Abdurahman, KPPU memiliki peranan penting dalam memberi penguatan daya saing nasional dan melindungi kepentingan masyarakat. Karena itu DPR akan memperkuat fungsi dan kewenangan KPPU melalui revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Korupsi dan Persaingan Usaha Sehat. Secara tradisional dalam penegakan hukum terhadap persaingan usaha curang di Indonesia KPPU menggunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai landasan hukum dan peraturan terkait serta model pendekatan dalam menentukan hakekat maknanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai berikut: 1. Rule of Reason adalah suatu larangan di dalam persaingan usaha bahwa suatu kegiatan usaha dinyatakan melanggar hukum apabila kegiatan usaha tersebut dapat dibuktikan mempunyai dampak negatif terhadap persaingan usaha. 2. Per se illegal adalah suatu larangan yang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak negatif kegiatan tersebut karena pada dasarnya menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kata lain kegiatan tersebut dilarang mutlak oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini. Salah satu tugas dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan salah satu state auxiliary yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999. KPPU 10 Ibid. 312 yang selanjutnya disebut Komisi merupakan sebuah lembaga yang diberi mandat oleh Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kinerja komisi yang telah berdiri sejak beberapa tahun lalu telah menunjukan performance yang baik. Hal itu dibuktikan dengan beberapa keputusan yang telah dihasilkan selama kurun waktu tahun 2000 hingga 2014 sekarang meskipun belum maksimal karena kendala legal substance dan legal structure, termasuk legal system Indonesia yang menganut civil law. Prospek Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat banyak ditentukan oleh kinerja kemandirian anggota KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan lembaga pengadilan umum yang bersih dari KKN. Oleh karena itu, pemerintahan yang bersih (good governance) merupakan pra syarat yang tidak dapat ditawar dalam penegakan hukum terhadap persaingan usaha guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Harus diakui bahwa prospek penegakan hukum terhadap persaingan usaha curang melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini sangat bergantung pada political will pemerintah, legal substance, kredibilitas anggota komisi itu sendiri karena secara teoritis Parsons mengemukakan bahwa subsistem politik memiliki energi yang lebih kuat jika dibandingkan dengan hukum, artinya keberhasilan penegakan hukum terhadap persaingan usaha curang akan sangat banyak ditentukan oleh pemerintah. Menyadari hal itu, penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance) adalah suatu keharusan yang tidak adapat ditawar bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. B.5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur ancaman Pidana terhadap perbuatan curang dalam pemakaian merek dagang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakanMerek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir) dan/atau diperdagangkan. Kemudian Pasal 91 undang-undang tersebut member ancaman pidana jika dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Juga diancam pidana bagi perdagangan di bidang barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran. B.6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan/ persaingan: 1. 2. Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk: a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b. mempcrcepat peningkatan penanaman modal. Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mendapatkan kemudahan untuk memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yangdiperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Sedangkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 ini menegaskan bahwa aspek kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya. B.8. Undang-Undang Nomor tentang Perdagangan memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. b. menjarnin kepastian hulnam, kepastian berusaha, dan kemanan berusaha bagi penanam modal sejak proses gengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dm koperasi. B.7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pasal 40 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mengancam pidana setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan mengaku atau memakai nama Usaha Tahun 2014 Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur ketentuan bagi pelaku usaha: 1. Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. 2. Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan. Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a. 7 Sedangkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menetapkan larangan dan pembatasan bagi pelaku usaha dalam menjalankan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan: (a). melindungi kedaulatan ekonomi; (b). melindungi keamanan negara; (c). melindungi moral dan budaya masyarakat; (d). melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup; (e). melindungi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan untuk produksi dan konsumsi; (f). melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan. B.9. Undang-Undang Nomor tentang Perindustrian 3 Tahun 2014 Pasal 120 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengancam pidana 313 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda bagi orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri. Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian; (b). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional; (c). Kebijakan Industri Nasional; (d). perwilayahan Industri; (e). pembangunan sumber daya Industri; (f). pembangunan sarana dan prasarana Industri;(g). pemberdayaan Industri; (h). tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri; (i). perizinan, penanaman modal bidang Industri, dan fasilitas; (j). Komite Industri Nasional; (k). peran serta masyarakat; dan (k). pengawasan dan pengendalian. B.10. Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Pada dasarnya pengaturan mengenai standardisasi di Indonesia secara formal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang sejak semula sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang lama, sebagaimana Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang menegaskan bahwa Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut menjadi landasan hukum bagi pengembangan kelembagaan dan pelaksanaan proses perumusan, penetapan, dan penerapan SNI. Peraturan pemerintah tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian yang telah berkembang dengan pesat. Oleh karena itu kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian perlu diatur dalam suatu Undang-Undang, yang dapat mewujudkan koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi kegiatan, sehingga pelaksanaan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian di Indonesia dapat dilakukan secara efisien, efektif, terpadu, terorganisasikan dengan baik dan pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi nasional dan daya saing produk nasional serta perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan penguatan daya saing untuk menembus pasar global, elemen standardisasi dalam infrastruktur mutu nasional diharapkan mampu mengidentifikasi standarstandar yang diacu oleh regulasi teknis negara tujuan ekspor yang mengatur karakteristik komoditi yang akan diekspor, elemen penilaian kesesuaian diharapkan untuk dapat memberikan hasil-hasil sertifikasi, pengujian dan inspeksi yang diakui negara tujuan ekspor setelah diakreditasi dengan sistem akreditasi yang diakui secara internasional, dan elemen metrologi mampu memberikan jaminan ketertelusuran pengukuran yang setara dengan dan diakui oleh negara tujuan ekspor. Kemampuan infrastruktur mutu nasional untuk memfasilitasi produk dan sumber daya nasional untuk menembus pasar global ini tentunya dapat dimanfaatkan sebaliknya untuk melindungi kepentingan, keamanan, keselamatan negara dan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.11 Rancangan Undang-undang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian bertujuan untuk menciptakan meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan pelaku usaha, serta memacu kemampuan inovasi teknologi. Selain itu, juga meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan tanggung jawab sosial meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan di dalam negeri dan dengan dunia internasional. B.11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan internasional menyisakan sejumlah Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir) permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan internasional itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal dan menjadi hambatan (barrier) yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan internasional antar negara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah-masalah terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktik dagang yang tidak sehat (Unfair Trade Practices) dalam melaksanakan aktifitas perdagangan internasional.12 Ada banyak Praktik perdagangan yang tidak sehat yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional dan yang paling banyak disorot adalah masalah dumping. Praktik dumping telah lama ditempatkan sebagai salah satu praktik dagang yang curang yang terjadi dalam konteks perdagangan internasional yang menimbulkan kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih rendah dari harga pasar dalam negeri, (negara pengimpor) mengakibatkan matinya pasar barang sejenis dalam negeri. Hal ini membuat barang-barang sejenis tersebut tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan fair akibat perbedaan harga yang sangat drastis. Ini adalah praktik dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices.13 Prinsip utama GATT adalah tidak ada diskriminasi (non discrimination) yang tercantum dalam klausa Most Favoured Nation (MFN). Prinsip ini mengharuskan setiap negara penandatangan persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan perdagangan internasional kepada negara penandatangan lain. Kelonggaran tarif yang diberikan kepada suatu negara atas dasar perjanjian bilateral haruslah http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/content/article/64-rancangan-undang-undang/2311-rancangan-undangundang-tentang-standardisasi-dan-penilaian-kesesuaian.html diakses 7 Juni 2014 314 Sebagai salah satu negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang telah meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia berkewajiban untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan perdagangan dunia yang adil dan saling menguntungkan.15 Salah satu upaya mewujudkan tatanan perdagangan dunia dimaksud dilakukan dengan mengatur persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan serta penanganannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pengaturan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan ditujukan agar proses penyelidikan dan implementasi dari kasus-kasus Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Internasional yang berlaku dan sekaligus melindungi Industri Dalam Negeri dari setiap praktik Dumping dan Subsidi, serta terjadinya lonjakan jumlah barang impor dari negara lain. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2011 dengan arah pemberlakuannya untuk melaksanakan 12 Christhophorus Barutu, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, hlm.53. dalam Dewa Gede Pradnya Yustiawan, perlindungan industri dalam negeri dari Praktik dumping, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar PDF online 2011, hlm. 20 13 Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar PDF online 2011, diakses 7 Juni 2014, hlm. 21 14 11 diberikan juga kepada negara penandatangan lain tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Apabila terjadi perselisihan di antara negara penandatangan, GATT merupakan forum untuk konsultasi dalam penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan juga mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditandatangani.14 Ibid. 15 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan 315 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan Pasal 23D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan perdagangan. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 ini, maka seyogyanya tidak ada peluang bagi pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri untuk melakukan tindakan sebagaimana yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan ini. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan merupakan bagian dari hukum persaingan usaha dalam mengatur lalulintas perdagangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan di antaranya terhadap barang impor selain dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Bea Masuk Antidumping, jika Harga Ekspor dari barang yang diimpor lebih rendah dari Nilai Normalnya dan menyebabkan Kerugian. Besarnya Bea Masuk Antidumping paling tinggi sama dengan Marjin Dumping. Untuk tindakan imbalan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 ini disebutkan dalam Pasal 37, terhadap barang impor selain dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Bea Masuk Imbalan, jika: (a). barang yang diimpor mengandung Subsidi di negara pengekspor; dan (b). impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf a menyebabkan Kerugian. Besarnya Bea Masuk Imbalan paling tinggi sama dengan Subsidi Neto. C. Kesimpulan Perkembangan perdagangan yang mengarah kepada persaingan usaha dan atau jasa di negaranegara maju di dunia sangat pesat turut mewarnai corak pembentukan hukum perdagangan dan persaingan usaha itu sendiri. Hal itu tidak dapat dikesampingkan oleh negara-negara anggota Asean menjelang era baru Asean Community 2015. 316 Kesiapan Hukum Dan Tantangan Indonesia.....(Nadir) Masalah persaingan curang (unfair competition) di era baru Asean Community 2015 bukan lagi masalah privat seseorang atau sekelompok orang melainkan sudah menjadi masalah public international, karena akibat yang dirasakan adalah adanya ketidakseimbangan publik. Persaingan usaha yang sehat di Indonesia akan banyak tergantung dari kualitas hukum persaingan usaha itu sendiri. Hukum persaingan usaha merupakan suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dengan konsep ekonomi sebagai refleksi semangat untuk membangun sistem ekonomi yang efektif dan efisien terbuka dan jujur serta sehat. Hukum persaingan usaha dan larangan Praktik monopoli merupakan pilar penting dalam sistem ekonomi, mengingat semua negara modern yang maju perekonomiannya meletakkan terlebih dahulu pondasi dasar hukum persaingan ekonomi yang sehat dan larangan Praktik monopoli. Pustaka Utama. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Buku Tanpa Tahun, Menuju Asean Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2013. Laporan Utama Menuju Pasar Bebas Asean: Laporan Utama Edisi 42 2013, Kompetisi: Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/ content/article/64-rancangan-undang- undang/2311-rancangan-undang-undangtentang-standardisasi-dan-penilaiankesesuaian.html diakses 7 Juni 2014 http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12 /28/asean-economic-community-2015keyakinan-yang-ditanggapi-keraguan620328.html diakses 31 Mei 2014 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Daftar Pustaka Barutu, Christhophorus. 2007. Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta. Dewa Gede Pradnya Yustiawan, 2011. Perlindungan Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar PDF online 2011. diakses 7 Juni 2014. Gitosudarmo, Indriyo. 2000. Pengantar Hukum Bisnis, Edisi kedua, Yogyakarta: BPFE. Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia Oleh Soemardi, Jakarta: Bee Media Indonesia. Maman Suherman, Ade. 2004. Kinerja KPPU Sebagai Watchdog Pelaku Usaha di Indonesia, makalah disampaikan dalam seminar Pengkajian Hukum Nasional diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di Hotel Sahid Jaya Jakarta 6-7 Desember 2004. Sudarsono, 1991. Pengantar Indonesia, Jakarta. Tata Hukum Usman, Rachmadi. 2004. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Gramedia 317 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 307 - 318 KESIAPAN DAERAH DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 (READINESS OF LOCAL GOVERNMENT IN PREPARING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015) Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan Perancang Peraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara. Alamat: Jl.Putri Hijau No.4 Medan, 20112 Indonesia. Email: [email protected] (Naskah diterima 25/08/2014, direvisi 29/09/2014, disetujui 07/10/2014) Abstrak ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang akan dipercepat pelaksanaannya pada 31 Desember 2015. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan terjadi arus bebas barang, jasa, investasi, tenaga terampil serta aliran modal. AEC 2015 bisa dimanfaatkan Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun permasalahannya adalah apa yang harus dilaksanakan daerah dalam menyambut AEC 2015. Melalui penelitian perpustakaan, penulis melihat bahwa untuk memanfaatkan AEC 2015 terlebih dahulu Pemerintah Daerah harus melakukan berbagai persiapan, yaitu komitmen dalam menjalankan sistem perizinan terpadu, membentuk perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, mewujudkan kawasan ekonomi khusus (KEK), serta mendorong perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). Kata kunci: ASEAN Economic Community 2015, Pemerintah Daerah, Persiapan. Abstract ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) is a form of regional economic integration will be accelerated execution on December 31, 2015. With the implementation, there will be free flow of goods, services, investment, skilled labor and capital flows. AEC 2015 can be used to improve local revenue (PAD). But the problem is what should local government implement in preparing AEC 2015? Through library research, the authors noticed that for the first 2015 AEC utilizes local governments have made various preparations, namely commitment to perform a unified licensing system, establishing local regulations on retribution fees renewal license for hiring foreign workers, creating the special economic zone (KEK), and encouraging the protection of intellectual property rights (HKI). Keywords: ASEAN Economic Community 2015, Local Government, Preparing. A. Pendahuluan Globalisasi secara luas telah membuka perekonomian dunia dalam skala yang hampir tidak terbatas. Perkembangan globalisasi telah menuntut negara-negara ASEAN untuk lebih kompetitif lagi1 serta menciptakan integrasi di kawasan Asia Tenggara. Integrasi inilah yang dikenal dengan ASEAN Vision 2020, salah satu pilar utamanya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (ASEAN Economic Community 2015) yang akan dipercepat pada tanggal 31 Desember 2015. ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) merupakan ide integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang menjadi komitmen bersama untuk dilaksanakan pada tahun 2015 oleh enam negara terkaya ASEAN, salah satunya Indonesia. Tujuan utamanya yaitu untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di Asia Tenggara yang tercermin dalam empat hal, yaitu: (a) ASEAN sebagai aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, bebas tenaga kerja terdidik, dan bebas modal (single market and production base); (b) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi (a highly competitive economic region); (c) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil menengah (a region of equitable economic development); dan (d) ASEAN sebagai kawasan terintegrasi (a region fully integrated in to the global economy).2 1 Triansyah Djani D, ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2007), hlm.32. 2 http://regional.kompasiana.com/2014/04/25/kesiapan-indonesia-dalam-menghadapi-asean-economic-community-2015651271.html, diakses tanggal 11 Juli 2014. 318 319 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan PADnya, karena itu Penulis melihat bahwa AEC 2015 bagi daerah sebagai pijakan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah (Pemda) lah yang secara nyata bersentuhan langsung dengan aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, bebas tenaga kerja terdidik, dan bebas modal, sehingga apabila Pemda berhasil memanfaatkan AEC 2015 maka akan meningkatkan PADnya. Namun banyak pihak yang beranggapan bahwa adanya AEC 2015 akan memberikan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia. Anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Bagi negara kita AEC 2015 bisa menjadi musibah namun juga bisa menjadi peluang yang membawa kemanfaatan dan keberkahan. Membawa kemanfaatan dan keberkahan antara lain karena produk-produk Indonesia akan mendapat pasar di kawasan ASEAN, aliran modal (baik dari dalam negeri dan juga dari luar negeri) akan bergerak dan secara otomatis akan membuka peluang penyerapan tenaga kerja. Menjadi musibah manakala kita tidak siap dalam persaingan yang kompetitif sehingga kita menjadi sasaran empuk negara pengkespor.3 Berkaitan dengan uraian di atas permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Apa yang harus dilaksanakan pemerintah daerah dalam menyambut AEC 2015?. Dilihat dari tipologi penelitian hukum, maka tulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative research). Bambang Waluyo mengatakan nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen. 4 Disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang ada di perpustakaan. Dalam hal ini penulis mengkaji secara normatif mengenai pelayanan perizinan, perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, KEK, serta perlindungan HKI. B. Pembahasan B.1. Lahirnya ASEAN Economic Community 2015 AEC 2015 merupakan ide integrasi ekonomi negara-negara anggota ASEAN, yang menjadi komitmen bersama untuk dilaksanakan di tahun 2015 oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei Darussalam, kemudian akan dilanjutkan tahun 2020 oleh Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam. Sebelum membahas tentang apa yang harus dilakukan oleh Pemda sebagai persiapan dalam menghadapi AEC 2015, ada baiknya terlebih dahulu diuraikan secara singkat mengenai kelahiran AEC 2015. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Namun sebelum ASEAN didirikan, berbagai konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial Sabah antara Malaysia dan Filipina, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia. Dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut, negaranegara Asia Tenggara menyadari perlu dibentuk kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan membangun rasa saling percaya, serta mendorong kerjasama pembangunan kawasan.5 Untuk mengatasi perseturuan yang sering terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara dan membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka 5 Menteri Luar Negeri yang berasal Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand mengadakan pertemuan di Bangkok pada bulan Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan Joint Declaration, yang intinya mengatur tentang kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara. Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, maka pada tanggal 8 Agustus 1967 ditandatangani Deklarasi ASEAN (dikenal sebagai Deklarasi Bangkok) oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand.6 Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan) Deklarasi tersebut menandai berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations). Masa awal pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya membangun rasa saling percaya (confidence building) antar negara anggota guna mengembangkan kerjasama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif. Adapun prinsip utama dalam kerjasama ASEAN, seperti yang terdapat dalam Treaty of Amity and Cooperation in South Eas Asia pada tahun 1976 adalah: (a) saling menghormati, (b) kedaulatan dan kebebasan domestik tanpa adanya campur tangan dari luar, (c) non interference, (d) penyelesaian perbedaan atau sengketa dengan cara damai, (e) menghindari ancaman dan penggunaaan kekuatan/senjata, dan (f) kerjasama efektif antara anggota. 7 Pada tahun 1997 dalam ASEAN Summit yang diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 tujuan sebagai berikut:8 a. Menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing tinggi yang ditandai dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang lebih bebas, pembangunan ekonomi yang merata serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. November 2007 di Singapura, negara anggota ASEAN sepakat untuk menandatangani cetak biru (blueprint) AEC 2015 yang berisi lima elemen penting dalam integrasi perekonomian ASEAN yaitu liberalisasi arus barang, liberalisasi arus jasa, liberalisasi arus investasi, liberalisasi arus modal/ kapital, dan liberalisasi arus tenaga kerja. B.2. Empat Hal Yang Harus Dilaksanakan Oleh Pemda Dalam rangka menghadapi AEC 2015, menurut hemat penulis ada empat hal yang harus dilaksanakan oleh Pemda yaitu: B.2.1.Komitmen Menjalankan Sistem Perizinan Terpadu Bergulirnya otonomi daerah melahirkan kebijakan agar pelayanan aktivitas usaha seperti izin usaha, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondusif tidak lagi berada pada Pemerintah Pusat semata. Pemda kini diharapkan menjadi aktor lokal dalam mendukung mekanisme kegiatan usaha dan pengelolaan sumber daya daerah bagi kemaslahatan masyarakat lokal.9 Jangan sampai pelaksanaan otonomi menciptakan kerumitan, ketidakpastian biaya serta waktu dalam berurusan dengan birokrasi hingga memperburuk iklim investasi. Kerumitan tersebut sering mengakibatkan investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini ditandai dengan: b. Mempercepat liberalisasi perdagangan di bidang jasa. a. Prosedur pengurusan izin yang berbelit-belit dan terlalu banyak instansi yang terlibat; c. Meningkatkan pergerakan tenaga profesional dan jasa lainnya secara bebas di kawasan. b. Biaya yang terlalu tinggi; c. Persyaratan yang tidak relevan; d. Waktu penyelesaian izin yang terlalu lama; e. Kinerja pelayanan yang sangat rendah Dari sinilah muncul ide pembentukan ASEAN Community yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: 1) ASEAN Security Community; 2) ASEAN Economic Community; 3) ASEAN Socio-Cultural Community. Kemudian di tahun 2003, pada pertemuan kepala negara ASEAN disepakati 3 pilar tersebut dipercepat di 2015. Dalam perkembangannya, pelaksanaan kerjasama ekonomi ASEAN berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama di bidang politik, keamanan dan sosial budaya. Pada 20 Untuk mempermudah pengurusan perizinan, Pemerintah telah melakukan perbaikan pelayanan perizinan melalui pelayanan terpadu (one service stop) yang berbentuk kantor, dinas, ataupun badan. Perintah untuk melakukan perbaikan pelayanan perizinan dapat dijumpai dalam sejumlah instrumen hukum, antara lain: 3 Berdasarkan pengalaman yang pernah dialami Indonesia tahun 2004 pasca penandatangan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), negara kita kebanjiran produk-produk asal negeri China. Kebanyakan dari produk-produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk-produk asal negeri Cina tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa industri dalam negeri mengalami mati suri, misalnya saja industri garmen dalam negeri. 4 5 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.13-14. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, (Jakarta: 2010), hlm.1. 6 Brunei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.2. 320 7 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.3. 8 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ibid, hlm.5. 9 Tirta Nugraha Mursitama dkk, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, dan Banjarbaru), (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2010), hlm.10. 321 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 a. Keppres Nomor 29 Tahun 2004.10 b. Permendagri Nomor 24 Tahun 2006.11 c. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.12 d. Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal.13 Tujuan diadakannya one service stop di era globalisasi adalah untuk menarik minat investor14 dan membangun sistem perizinan berinvestasi di daerah dalam rangka menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu seluruh perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi maupun kabupaten/kota akan dapat terlayani dalam satu lembaga dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan keamanan berkas sehingga meningkatkan kualitas pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau. Oleh karena itu, untuk mensukseskan berjalannya AEC 2015 sangat diperlukan one service stop. Agar penyelenggaraan one service stop tersebut dapat berjalan dengan efektif setidaknya dalam pelayanan publik dewasa ini haruslah meliputi:15 a. Penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan dari proses awal penyerahan dokumen, penandatanganan dokumen oleh kepala PTSP hingga penyerahan dokumen yang dilakukan pada satu pintu; b. Ketersediaan sumber daya manusia (kompetensi dan kemampuan teknis); perekonomian, tanpa memerlukan visa kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan. c. Sarana dan prasarana berupa gedung beserta peralatan pendukung perkantoran, komputerisasi dan aplikasi perizinan/non perizinan; d. Sarana memperoleh informasi berupa telepon/fax, media touch screen dan website; e. Mekanisme kerja berupa visi/misi, maklumat/ janji layanan, standar pelayanan, SOP, serta memiliki mekanisme front office dan back office; f. Ketersediaan layanan pengaduan (helpdesk) berupa SOP pengaduan, media pengaduan dan pengelolaan pengaduan berbasis database; g. Keberadaan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara elektronik (bagi yang melaksanakan perizinan bidang penanaman modal). Tingginya kehadiran TKA sebagaimana yang pernah penulis kemukakan dalam tulisan sebelumnya merupakan tambang emas bagi Pemda sebab pemberi kerja yang akan memperpanjang izin mempekerjakan TKA dipungut retribusi (kecuali Instansi Pemerintah, Badan-Badan Internasional dan Perwakilan Negara Asing).16 Berlakunya AEC 2015 tidak berarti terhadap TKA tidak dapat dipungut retribusi, sebab yang menjadi agenda dalam AEC 2015 adalah TKA tidak lagi memerlukan visa kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan seperti yang berlaku selama ini, sehingga Pemda masih bisa memungut retribusi yang memang benar-benar ada dan diakui peraturan perundangundangan yang masih berlaku, salah satunya adalah retribusi perpanjangan IMTA. Kewenangan Pemda untuk memungut retribusi perpanjangan IMTA mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2013.17 Retribusi ini akan digunakan untuk mendanai penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, biaya dampak negatif dari perpanjangan IMTA, dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal. B.2.2.Pembentukan Perda Tentang Retribusi Perpanjangan IMTA Penulis melihat bahwa AEC 2015 merupakan salah satu momentum untuk membentuk Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA, sebab adanya AEC 2015 akan mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja asing (TKA) yang tinggi, salah satunya di Indonesia. Dalam blueprint AEC 2015 yang sudah ditandatangani tahun 2009, disepakati pembebasan arus tenaga kerja ahli terbatas sampai tahun 2020. Selebihnya keseluruhan TKA baik yang ahli maupun kurang ahli bisa bermigrasi dengan bebas di daerah-daerah yang menjadi basis 10 Keppres ini diterbitkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 12 April 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri melalui sistem pelayanan satu atap (one roof service). Melalui Keppres ini, penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sehingga Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap. 11 Permendagri ini diterbitkan oleh Mendagri Moh.Ma'ruf pada tanggal 6 Juli 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh perangkat daerah penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu perangkat Pemda yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Pembinaan sistem ini dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Mendagri dan Kepala Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing. Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat (Pasal 1 angka 11 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006). Sedangkan perizinan pararel adalah penyelenggaraan perizinan yang diberikan kepada pelaku usaha yang dilakukan sekaligus mencakup lebih dari satu jenis izin, yang diproses secara terpadu dan bersamaan (Pasal 1 angka 12 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006). 12 UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 April 2007, yang didalamnya juga terdapat pengaturan mengenai PTSP. PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat (Pasal 1 angka 10 UU Nomor 25 Tahun 2007). PTSP bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal (Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007). PTSP dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupaten/kota (Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2007). 13 UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Juni 2009 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 14 Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi diungkapakan bahwa dalam menanamkan modalnya investor akan selalu mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, misalnya: faktor modal, faktor tenaga kerja, kemampuan pasar, persaingan serta faktor-faktor diluar faktor ekonomi, seperti teknologi, situasi politik, kepastian hukum dan faktor perizinan. 15 Asisten Deputi Pelayanan Perekonomian Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sebagai Implementasi Percepatan Reformasi Birokrasi Di Bidang Pelayanan Publik. 322 Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan) Untuk dapat memungut retribusi tersebut perlu adanya suatu instrumen hukum sebagai konsekuensi logis dianutnya asas negara hukum (rechtstaat). Karena itu Pemda harus menyusun Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA. Perda ini merupakan kewenangan yang didelegasikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda.18 Meskipun Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan kewenangan daerah namun dalam penyusunannya haruslah dilakukan berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19 Selain asas-asas tersebut, Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA juga haruslah mencerminkan asas-asas hukum ketenagakerjaan. Pembentukan Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA tidak sama dengan regulasi yang akan diterapkan Negara Singapura20 sebab Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA bukanlah untuk merintangi pergerakan arus TKA, sedangkan regulasi yang akan diterapkan Negara Singapura untuk membatasi jumlah TKA atau imigran asing yang kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir melalui kenaikan retribusi yang tinggi. Karena itu pembentukan Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA tidak akan menghambat AEC 2015, mengingat retribusi perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan pungutan Pemerintah Pusat berupa PNBP yang kemudian menjadi retribusi daerah. Selain itu tarif retribusi perpanjangan IMTA yang akan ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa tidak melebihi tarif PNBP perpanjangan IMTA yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Beberapa Pemda telah menetapkan Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, seperti: Kabupaten Purwakarta (Perda Nomor 12 Tahun 2013 yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2013), Provinsi Kalimantan Selatan (Perda Nomor 10 Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 28 Oktober 2013), Kota Batam (Perda Nomor 4 Tahun 2013 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 11 April 2013), Kabupaten Badung (Nomor 20 Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014), Kota Depok (Perda Nomor 2 Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Mei 2013), dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Perda Nomor 10 Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Desember 2013). B.2.3. Mewujudkan KEK Pasal 31 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan adanya pengaturan kegiatan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai bagian dari kegiatan penanaman modal di Indonesia, namun cikal bakal dari KEK itu sendiri sudah ada dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Perdagangan Bebas dan 16 Budi S.P Nababan, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota Medan dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.11 No.1 Maret 2014. 17 Lihat Pasal 18 PP Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. 18 Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 150 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 7 PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota beserta lampirannya, serta Pasal 2 jo Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. 19 Lihat Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 20 Singapura akan batasi tenaga kerja asing, , diakses tanggal 19 Mei 2014. 323 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 Pelabuhan Bebas.21 Selain itu praktek yang mengarah kepada KEK sudah ada dengan ditandatanganinya MoU antara negara kita dengan Singapura, dengan menjadikan Batam, Bintan dan Karimun sebagai proyek percontohan.22 Dicetuskannya konsep KEK tidak lain merupakan bagian dari program Pemerintah yang ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi. Mari E. Pangestu ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan seusai mengikuti Rapat Terbatas Kabinet yang dihadiri oleh beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu serta Gubernur dari 10 Provinsi,23 mengatakan bahwa beberapa daerah akan terlebih dahulu menjadi KEK demi meningkatkan penghasilan pajak, investasi, ekspor, dan kesempatan kerja. Sebagai permulaan, Pemerintah akan memulai dengan daerah-daerah yang setidaknya memiliki kriteria khusus seperti kawasan Batam yang telah terlebih dahulu dikenal sebagai Kawasan Ekonomi Terpadu.24 Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai kawasan ekonomi terpadu adalah sesuai dengan RTRW, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan kawasan ekonomi terpadu, terletak pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan.25 Sebagai dasar hukum mengenai KEK kemudian diundangkan UU Nomor 39 Tahun 2009 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066. Ketentuan KEK dalam UU ini mencakup pengaturan fungsi, bentuk, dan kriteria kawasan ekonomi khusus, pembentukan kawasan ekonomi khusus, pendanaan infrastruktur, kelembagaan, lalu lintas barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan) kemudahan. KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.26 Bagi Pemda yang daerahnya dijadikan sebagai KEK, maka Pemda tersebut diberikan keleluasaan atau diberi ruang yang lebih luas dalam mengelola hasil kesepakatan kerjasama ekonomi tersebut. Karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Pemda berkaitan dengan pembentukan KEK, yaitu: 27 1. Kesiapan aparatur di daerah dalam menyikapi masuknya investasi di daerah mereka. 2. Kesiapan perangkat pendukung masuknya investasi; dan 3. Kesiapan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dengan masuknya kegiatan investasi. proses Berdasarkan ketentuan dalam UU tentang KEK, sejumlah kewenangan telah diberikan kepada Pemda yaitu: Pemda (Kabupaten/Kota ataupun Provinsi) dapat mengusulkan pembentukan kawasan ekonomi khusus kepada Dewan Nasional28, Pemda (Provinsi atau Kabupaten/Kota) menetapkan badan usaha untuk membangun kawasan ekonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,29 Pemda dapat membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam kawasan ekonomi khusus30, Pemda dapat memberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun memberikan kemudahan lain, 3 1 Gubernur membentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus32 dan Dewan Pengupahan,33 menetapkan dan memberlakukan upah minimum.34 Ketentuan-ketentuan tersebut bisa dijadikan pegangan Pemda untuk lebih aktif lagi dalam KEK. Karena itu Pemda harus mampu mengkreasikan kebijakan di daerahnya dalam rangka menarik investor untuk berinvestasi di KEK. Selain itu Pemda juga harus mampu memberikan rasa aman dan kepastian hukum berinvestasi di daerahnya, sebab betapa lengkapnya sarana dan prasarana yang tersedia bagi investor untuk berinvestasi tanpa didukung keamanan dan kepastian hukum dapat dipastikan tidak akan ada investor yang berinvestasi. B.2.4. Mendorong Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan hak yang melekat pada suatu barang/produk hasil karya manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Perlindungan ini sangat penting, apalagi dewasa ini perkembangan hubungan internasional sedang mengalami proses perubahan ke arah yang semakin terbuka. Perlindungan HKI telah menjadi persoalan yang penting di ASEAN terutama setelah diluncurkannya Putaran Uruguay tahun 1994 yang 22 Ronny Sautma Hotma Bako, Permasalahan Di Seputar Kawasan Ekonomi Khusus, www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukumbisnis/87-permasalahan-di-seputar-kawasan-ekonomi-khusus.html, diakses tanggal 20 Agustus 2014. 23 10 provinsi tersebut antara lain DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Nangroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, dan Papua. 24 Rum Riyanto. S, Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia, , diakses tanggal 10 Juli 2014. Penjelasan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 26 Penjelasan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 27 Ronny Sautma Hotma Bako, ibid www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/87-permasalahan-di-seputar-kawasanekonomi-khusus.html, diakses tanggal 23 Agustus 2014. 28 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 29 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 30 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 13 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 25 324 Permasalahan HKI tidak terlepas dari dunia perdagangan dan investasi. HKI telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar pada ilmu pengetahuan.36 Di negaranegara ASEAN sendiri, pada dasarnya sudah ada pengaturan perlindungan HKI yang ruang lingkup pengaturannya relatif telah banyak berjalan sejalan dengan konvensi-konvensi internasional di bidang HKI. Selain itu negaranegara ASEAN telah mengupayakan kerjasama dalam pengaturan dan perlindungan HKI, melalui pertemuan ilmiah ASEAN Law Association yang pertama sekali diadakan pada tahun 1982 di Malaysia. Dalam pertemuan ASEAN Law Association masing-masing perwakilan negara memaparkan sistem hukum HKI yang berlaku di masing-masing negara.37 HKI adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights, yakni hak yang timbul dari hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. HKI dibagi dalam 2 bagian, yaitu:38 a) Hak cipta (copyright)39 b) Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup Paten,40 Desain Industri,41 Merek,42 Desain Tata Letak Sirkuit 31 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 35 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 32 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 33 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 44 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 34 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 45 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. 35 Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-Negara ASEAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.1-2. 36 Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, (Tangerang: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2013), hlm.iii. 37 Taryana Soenandar, op.cit, hlm.25. 38 Taryana Soenandar, ibid, hlm.3. 39 Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau 21 UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UU sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. memasukkan masalah TRIPs (Agreement on Trade Realated Intellectual Property Rights).35 memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta). 40 Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten). 41 Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri). 42 Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). 325 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 Terpadu,43 dan Rahasia Dagang.44 Meskipun pengelolaan HKI di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan secara khusus telah memiliki lembaga yang menaungi HKI, akan tetapi kesadaran akan pendaftaran HKI di kalangan usaha kecil dan menengah masih tergolong lemah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah usaha kecil dan menengah yang mendaftarkan merek dagangnya, padahal keberadaan usaha kecil dan menengah tersebut berkaitan erat dengan HKI. Selain itu ada beberapa keuntungan yang akan diterima oleh masyarakat apabila memiliki kesadaran terhadap HKI, yaitu:45 a. Pengetahuan mengenai hak seseorang atas suatu karya intelektual miliknya yang mungkin selama ini tidak terpikirkan mengandung nilai ekonomis yang harus mendapat perlindungan hukum. b. Mendorong inventor untuk menanamkan invensi dan alih tehnologi. c. Membuat orang menjadi jujur dan adil terhadap karya orang lain sekaligus memunculkan sikap untuk melindungi konsumen ataupun masyarakat pengguna produk HKI. Sedangkan manfaat dari pendaftaran HKI antara lain sebagai berikut:46 a) Bagi inventor, dapat menjamin kepastian hukum baik bagi individu maupun kelompok serta terhindar dari kerugian akibat pemalsuan dan perbuatan curang oleh pihak lain. b) Bagi pemerintah, adanya citra positif yang menerapkan HKI di tingkatan WTO, selain itu meningkatnya penerimaan devisa negara dari pendaftaran HKI. c) Adanya kepastian hukum bagi pemegang hak dalam melakukan usahanya, dimana si pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik secara perdata maupun secara pidana apabila terjadi pelanggaran/peniruan serta dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain. Secara umum permohonan pendaftaran HKI mengalami pertumbuhan: untuk permohonan merek pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 47.794 dan di tahun 2011 menjadi 53.196 permohonan; untuk pendaftaran paten pada periode 1992 sampai dengan 2003 sebanyak 1.388 permohonan yang berasal dari dalam negeri dan 25.784 permohonan yang berasal dari luar negeri.47 Khusus untuk indikasi geografis48 masih mengalami pertumbuhan yang lambat, padahal Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tidak heran jika produk-produk kekayaan tersebut sering diklaim oleh negara lain sebagai hasil atau produk dari negara mereka. Berdasarkan data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 sudah tercatat 22 produk asli Indonesia sebagai indikasi geografis,49 bahkan negara asing (melalui 43 Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Sedangkan Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu). 44 Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang). 45 Iwan Irawan, Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Bagi Perkembangan Kewirausahaan, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.10 No.2 Juni 2003, hlm.174-175. 46 Iwan Irawan, ibid, hlm.175-176. 47 Iwan Irawan, ibid, hlm.174. 48 Indikasi geografis merupakan hal yang baru di dalam sistem perlindungan HKI, sedangkan di beberapa negara perlindungan indikasi geografis telah berlangsung sejak lama, seperti di Australia sejak tahun 1993 dan Perancis sejak tahun 1905. Di Indonesia indikasi geografis baru diatur dalam Pasal 79A sampai Pasal 79D UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang kemudian diganti dengan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, kemudian diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dalam Pasal 56 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek disebutkan bahwa Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Kemudian tanda yang dimaksud dalam Pasal 56 UU tentang Merek tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis sebagai nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh indikasi geografis, sedangkan yang termasuk barang dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan atau barang lain. 49 22 produk asli Indonesia tersebut adalah: Kopi Arabika Kintamani Bali, Mebel Ukir Jepara, Lada Putih Muntok, Kopi Arabika Gayo, Tembakau Hitam Sumedang, Tembakau Mole Sumedang, Susu Kuda Sumbawa, Kangkung Lombok, Madu Sumbawa, Beras Adan Krayon, Kopi Arabika Flores Bajawa, Purwaceng Dieng, Carica Dieng, Vanili Kepulauan Alor, Kopi Arabika Kalosi Enrekang, Ubi Cilembu Sumedang, Salak Pondoh Sleman Jogja, Minyak Nilam Aceh, Kopi Arabika Java Preanger, Kopi Arabika Java Ijen-Raung, Bandeng Asap Sidoarjo, dan Kopi Arabika Toraja. www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014. 326 Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan) perwakilan pemerintahnya maupun melalui badan usaha) memiliki kesadaran yang tinggi dengan mendaftarkan indikasi goegrafis produknya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.50 Perlindungan indikasi geografis di Indonesia akan memberikan banyak manfaat, antara lain adanya perlindungan hukum terhadap produkproduk indikasi geografis, indikasi geografis juga dapat digunakan sebagai marketing tool dalam dunia perdagangan, baik di tingkat nasional maupun di internasional, disamping itu dengan indikasi geografis produk-produk daerah/lokal akan memiliki nilai tambah sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.51 Hal ini baru disadari oleh 2 Pemerintah Daerah, yaitu Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Sumedang.52 Namun sayangnya untuk daerah sekelas Sumatera Utara belum ada 1 produk pun yang terdaftar sebagai indikasi geografis. Bisa saja hal ini terjadi salah satunya karena Pemda (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara) belum menyadari indikasi geografis dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal melirik banyaknya produk dari Sumatera Utara banyak sekali yang memiliki potensi sebagai indikasi geografis, misalnya tembakau Deli, kopi Lintong, kopi Mandailing, markisa Berastagi, teh, salak, berbagai jenis dodol dan berbagai jenis ulos yang beragam motifnya yang tidak dimiliki daerah lain.53 Seharusnya Pemda di Sumatera Utara memainkan peranan dalam pendaftaran indikasi geografis sebab produk khas di daerahnya memiliki keanekaragaman dan bernilai jual ekonomi yang tinggi. Jangan sampai nantinya produk-produk lokal yang ada di daerah dicaplok dan diakui oleh negara asing sebagai HKI mereka.54 Untuk melindungi hasil HKI dalam persaingan pasar bebas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemda antara lain:55 a) mengadakan sosialisasi atau penyuluhan mengenai arti pentingnya hak kekayaan intelektual; b) mengadakan kerja sama dengan klinik HKI/ sentra HKI perguruan tinggi; c) mengadakan pembantuan dalam pengurusan penerbitan sertifikat HKI, dalam hal ini adalah sertifikat merek dan paten; d) mengadakan pemeriksaan terhadap merekmerek yang sudah terdaftar; dan e) pemberian konsultasi dan informasi yang berkaitan dengan pengurusan merek. Selain itu Pemda juga bisa berkoordinasi mengenai pendaftaran HKI dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM yang ada di setiap provinsi, sebab Kanwil Kementerian Hukum dan HAM adalah instansi vertikal yang menyelenggarakan fungsi, salah satunya adalah penegakan hukum di bidang HKI.56 Khusus mengenai indikasi geografis, Pemda juga dapat mengajukan permohonan pendaftaran produk indikasi geografis di daerahnya.57 50 Produk asing yang didaftarkan indikasi geografisnya tersebut adalah Champagne yang dimohonkan oleh Comite Interprofessional Du Vin De Champagne (CIVC) Gunawan Suryomurcito sebagai kuasanya, Pisco yang dimohonkan oleh Perwakilan Diplomatik Peru (Ambassador Juan Alvarez Vita Embassy Of Peru In Indonesia), serta Parmigiano Reggiano yang dimohonkan oleh Consarzio Del Formaggio "Parmigiano-Reggiano" Via Kennedy 18 Reggio Emilia dengan Andromeda, BA., SH AMR Partnership sebagai kuasanya. www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014. 51 Andi Noorsaman Sommeng dan Agung Damarsasongko, Indikasi Geografis, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2008), hlm.iii. 52 Badan Pengelola, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mendaftarkan Lada Putih Muntok dan Pemerintah Kabupaten Sumedang yang mendaftarkan Tembakau Hitam Sumedang beserta Tembakau Mole Sumedang. www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/permohonan-ig-terdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014. 53 Ali Marwan HSB, Perlindungan Hukum Kekayaan Indonesia Melalui Pendaftaran Indikasi Geografis, Harian SIB Medan, tanggal 24 September 2013. 54 Misalnya seperti Kasus Kopi Toraja. Kasus ini berkaitan dengan indikasi geografis. Sejauh ini masyarakat mengakui bahwa reputasi kopi Toraja sudah sedemikian tinggi, bahkan telah dikenal luas didalam dan di luar negeri. Nama kopi Toraja telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat pendaftaran kopi Toraja tersebut tidak menyertakan kata Toraja beserta gambar rumah adat Toraja yang merupakan simbol daerah Toraja sebagai hak eksklusif pendaftar. Ini berarti kopi Toraja tidak diklaim sebagai produk indikasi geografis dari Indonesia. Kasus lain yang berkaitan dengan kopi Toraja adalah adanya pemalsuan terhadap kopi Toraja. Hal tersebut mulai terindikasi pada pertengahan tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Andi Noorsaman Sommeng dan Agung Damarsasongko, op.cit, hlm.91-92. 55 Agus Mardiyanto, Weda Kupita, Noor Asyik dan Rahadi Wasi Bintoro, Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal Dinamika Hukum Vol.13 No.1 Januari 2013, hlm.33. 56 Lihat lebih lanjut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M-01.Pr.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. 57 Lihat lebih lanjut Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Penjelasannya. 327 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 C. Penutup Berdasarkan pembahasan disimpulkan bahwa berlakunya AEC 2015 adalah sebagai bentuk integrasi ekonomi regional yang direncanakan untuk dicapai pada tahun 2015. Dengan pencapaian tersebut maka di ASEAN akan terjadi pasar tunggal dan basis produksi dengan arus bebas barang, jasa, investasi dan tenaga terampil serta aliran modal. Agar AEC 2015 dapat menjadi pijakan untuk meningkatkan PAD, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Pemda sebagai persiapan dalam menghadapi AEC 2015, yaitu komitmen menjalankan sistem perizinan terpadu, membentuk perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, mewujudkan KEK, dan mendorong perlindungan HKI. Untuk menjamin terlaksananya pelayanan perizinan terpadu (one stop service) yang cepat murah, mudah, transparan dan pasti, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari Pemda agar investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di daerahnya. Bagi daerah yang belum memiliki Perda tentang retribusi perpanjangan IMTA, Pemda harus sesegera mungkin membentuknya mengingat AEC 2015 akan melahirkan migrasi tenaga kerja asing terutama di KEK. Berkaitan dengan KEK, Pemda hendaknya lebih serius lagi dalam menanganinya. Selain itu Pemda harus mampu menarik investor untuk berinvestasi di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata. Tidak tertutup kemungkinan AEC 2015 juga akan menimbulkan pelanggaran di bidang HKI, karena itu Pemda harus memainkan peranannya untuk lebih giat melindungi HKI terutama mengenai indikasi geografis. Daftar Pustaka Buku-Buku Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2010. Menuju ASEAN Economic Community 2015, Jakarta. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2013. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Mursitama, Tirta Nugraha dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, 328 Makassar, dan Banjarbaru), Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. Soenandar, Taryana. 1996. Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-Negara ASEAN, Jakarta: Sinar Grafika. Sommeng, Andi Noorsaman dan Agung Damarsasongko. 2008. Indikasi Geografis, Sebuah Pengantar, Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Asean.....(Hisar P. Butar-Butar dan Budi S.P Nababan) Internet Singapura akan batasi tenaga kerja asing, , diakses tanggal 19 Mei 2014. Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, http:// regional.kompasiana.com/2014/04/25/k esiapan-indonesia-dalam-menghadapi- asean-economic-community-2015651271.html, diakses tanggal 11 Juli 2014. Permohonan Indikasi Geografis Terdaftar Juni 2014, www.dgip.go.id/images/adelchimages/pdf-files/permohonan-igterdaftar-juni-2014.pdf, diakses tanggal 20 Agustus 2014. Waluyo, Bambang. 1996. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika. Makalah / Artikel/ Prosiding/ Hasil Penelitian Asisten Deputi Pelayanan Perekonomian Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sebagai Implementasi Percepatan Reformasi Birokrasi Di Bidang Pelayanan Publik. Materi disampaikan pada Rapat Koordinasi dan Fasilitasi Penyelenggaraan PTSP di Provinsi Bengkulu, 10 Mei 2012. Bako, Ronny Sautma Hotma. Permasalahan Di Seputar Kawasan Ekonomi Khusus, www.ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukumbisnis/87-permasalahan-di-seputarkawasan-ekonomi-khusus.html, diakses tanggal 23 Agustus 2014. HSB, Ali Marwan. Perlindungan Hukum Kekayaan Indonesia Melalui Pendaftaran Indikasi Geografis, Opini dalam Harian SIB Medan, tanggal 24 September 2013. Irawan, Iwan. 2003. Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Bagi Perkembangan Kewirausahaan. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 10 Nomor 2 Juni. Mardiyanto, Agus dkk. 2013. Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal Dinamika Hukum Volume 13 Nomor 1. Nababan, Budi S.P. 2014. Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota Medan. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Maret. S, Rum Riyanto. Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia, , diakses tanggal 10 Juli 2014. 329 Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 319 - 330 330 330-1 330-2 330-3 330-4 330-5 330-6