BIOAVAILABILITAS BESI KONSUMSI PANGAN PADA REMAJA PUTRI ANEMIA DAN NON ANEMIA DINA MARDIYAH DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 ABSTRACT DINA MARDIYAH Assessment of iron bioavailability on anemic and non anemic high school student of SMAN 1 Cibungbulang. Under direction of DODIK BRIAWAN and CESILIA METI DWIRIANI The objective of this research was to assess bioavailability of iron intake among anemic and non anemic adolescent girls. The subjects were 80 high school student of SMAN 1 Cibungbulang Bogor. The dietary assessment was applied among 30 anemic and 50 non anemic student. The heme iron source student are 5.9 ± 7.7 mg and from non heme iron source are 8.6 ± 9.5 mg. Iron bioavailability are 1.4 ± 0.8 mg on anemic student and 1.2 ± 0.9 mg on non anemic student. The result of Pearson test showed that there is no significant corelation (p>0,05) between iron absorbed with adolescent anemic status. Keywords: iron bioavailability, adolescent girls, anemia. RINGKASAN DINA MARDIYAH. Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan CESILIA METI DWIRIANI Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghitung bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia. Tujuan khususnya adalah mengkaji karakteristik contoh (usia,kelas, uang saku, usia menarche), status gizi contoh, faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi pangan, mengkaji bioavailabilitas pangan sumber besi, serta menganalisis hubungan bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja putri dengan kejadian anemia. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di Sekolah untuk Peningkatan Prestasi Akademik siswa SMA (Briawan et al 2009). SMA dipilih sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Penelitian ini dilakukan di SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Desember 2009. Persyaratan SMA sebagai lokasi penelitian adalah: 1) mempunyai jumlah pelajar wanita >50%, 2) mayoritas berasal dari keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi rendah/sedang, 3) mempunyai Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), 4) mempunyai komitmen untuk peningkatan kesehatan siswa yang ditunjukkan oleh surat pernyataan dari kepala sekolah. Contoh dalam penelitian ini adalah siswi kelas 1 (satu), 2 (dua), dan 3 (tiga) SMAN 1 Cibungbulang. Contoh berjumlah 80 orang. Contoh dipilih berdasarkan kriteria yang meliputi remaja putri yang sudah menstruasi dan tidak memiliki riwayat penyakit yang terkait dengan anemia (demam berdarah, malaria, sakit karena kecelakaan atau perdarahan hebat, cacingan, talasemia serta sedang melakukan transfusi darah). Data sekunder yang didapatkan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner serta análisis laboratorium. Data karakteristik contoh berupa identitas contoh seperti, tempat dan tanggal lahir contoh, kelas serta usia menarche didapatkan dengan cara pengisian kuesioner. Data jumlah uang saku diperoleh dengan menanyakan kepada contoh berapa jumlah uang saku yang diberikan oleh orang tua dalam satu hari. Data status gizi contoh didapatkan dengan pengukuran antropometri yaitu mengukur secara langsung BB dan TB contoh. Konsumsi pangan didapatkan dari pengisian kuesioner berupa recall 1x24 jam yang dilakukan dengan menanyakan jenis serta jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh contoh selama 24 jam. Gambaran tentang bahan makanan yang dikonsumsi selama satu bulan diperoleh melalui metode food frequency questionare. Status anemia sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dilakukan dengan metode cyanmethemoglobin. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik dan deskriptif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan program SPSS versi 16.0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji beda menggunakan uji beda t. Usia siswi yang menjadi contoh dalam penelitian yaitu berkisar antara 14 hingga 18 tahun dengan rata-rata 12,7 ± 1,1 tahun pada siswi anemia dan 12,9 ± 0,8 tahun pada siswi non anemia. Siswi dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari kelas 2. Sebagian besar contoh memiliki uang saku sebesar Rp 6.000-Rp 17.000. Rata-rata contoh dalam penelitian ini mengalami menarche pada usia 12-13 tahun. Sebagian besar siswi yang menjadi contoh memiliki status gizi normal yaitu sebesar 90% baik pada siswi yang mengalami anemia maupun siswi non anemia. Status anemia contoh dalam penelitian ini 36,3% mengalami anemia ringan dan 1,2% mengalami anemia sedang. Pangan potensial pendorong penyerapan Fe yang dikonsumsi contoh berdasarkan hasil recall 1x24 jam, sebagian besar contoh anemia yaitu 50% mengkonsumsi daging ayam sebagai pangan hewani dan sebesar 40% mengkonsumsi sayuran. Pada contoh non anemia sebesar 52% siswi mengkonsumsi sayuran dan sebesar 46% siswi mengkonsumsi telur ayam. Cokelat merupakan pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dengan rata-rata konsumsi sebesar 6,6 ± 4,8 gram dan pada siswi non anemia pangan penghambat penyerapan zat besi yang paling banyak dikonsumsi adalah teh manis yaitu sebesar 28% dengan rata-rata konsumsi sebesar 47,8 gram. Daging ayam merupakan pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi siswi anemia yaitu sebesar 50,0% dengan total Fe sebesar 0,6 mg dan pangan sumber non heme paling banyak dikonsumsi adalah serealia seperti nasi, bubur ayam, bihun dan mie sebesar 100,0% dengan total Fe 5,2 mg. Pada siswi non anemia kelompok serealia merupakan pangan sumber non heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu sebesar 100,0% dengan total Fe 5,6 mg dan pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu telur ayam sebesar 46,0% dengan total Fe sebesar 2,6 mg. Rata-rata kecukupan energi pada siswi anemia sebesar 1848 ± 265 kkal/hari dan pada siswi non anemia sebesar 1934 ± 229 kkal/hari. Siswi yang mengalami anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan energi normal yaitu sebesar 43,3%, dan pada siswi non anemia sebagian besar tergolong dalam defisit energi tingkat berat 38,0%. Tingkat kecukupan energi siswi anemia sebesar 89% nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi siswi non anemia sebesar 87%. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi (p=0,778) antara siswi anemia dan siswi non anemia. Kecukupan protein pada siswi anemia rata-rata sebesar 50,8 ± 9,2 g/hari dan pada siswi non anemia sebesar 53,0 ± 9,0 g/hari. Tingkat kecukupan protein pada siswi anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan berlebih 66,7% dan pada siswi non anemia sebesar 56,0% tergolong dalam tingkat kecukupan protein berlebih. Tingkat kecukupan protein siswi anemia sebesar 182,5% sedangkan tingkat kecukupan protein siswi non anemia sebesar 169,0%. Tidak terdapat perbedaan (p=0,564) tingkat kecukupan protein antara siswi anemia dan siswi non anemia. Kecukupan vitamin A pada siswi anemia sebesar 451 ± 62 RE/hari lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan vitamin A pada siswi non anemia sebesar 473 ± 51 RE/hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada siswi anemia dan non anemia termasuk pada kategori kurang. Tabel tingkat kecukupan vitamin A menunjukkan bahwa siswi yang mengalami anemia dan kurang vitamin A sebesar 76,7%, dan siswi yang tidak mengalami anemia sebagian besar 78,0% kurang vitamin A. Tingkat kecukupan vitamin A siswi yang mengalami anemia sebesar (41%) lebih rendah dibandingkan dengan nilai tingkat kecukupan siswi yang tidak mengalami anemia sebesar (60%).Sebagian besar siswi anemia tergolong dalam kategori kurang. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,878) tingkat kecukupan vitamin A siswi anemia dan non anemia. Kecukupan vitamin C siswi anemia lebih rendah dibandingkan dengan siswi non anemia, pada siswi anemia rata-rata kecukupan vitamin C sebesar 54,2 ± 7,5 mg/hari dan pada siswi non anemia sebesar 56,8 ± 6,1 mg/hari. Sebesar 96,7% yang mengalami anemia kekurangan vitamin C dan Sebesar 92,0% yang tidak mengalami anemia kekurangan vitamin C. Tingkat kecukupan vitamin C siswi anemia sebesar (15,1%) sedangkan tingkat kecukupan vitamin C siswi non anemia sebesar (26,6%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,411) tingkat kecukupan vitamin C siswi yang mengalami anemia dan non anemia. Pada siswi anemia kecukupan Fe lebih rendah yaitu 20,0 ± 3,6 mg/hari dibandingkan dengan siswi non anemia yaitu 21,1 ± 3,0 mg/hari. Tingkat kecukupan zat besi pada siswi yang mengalami anemia 80,0% tergolong dalam kategori cukup dan pada siswi non anemia sebesar 62,0% tergolong dalam kategori cukup asupan Fe. Tingkat kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia 114,9% lebih tinggi daripada siswi yang tidak mengalami anemia 104,8%. Hasil uji beda t-test menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,487) tingkat kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia dan yang tidak anemia. Uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,331) besi terserap antara siswi anemia dan siswi non anemia. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,433) besi terserap dengan kejadian anemia pada remaja. Analisis mengenai kejadian anemia, asupan zat besi konsumsi pangan beserta berbagai macam faktor yang mempengaruhinya masih perlu di pertajam oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas zat besi konsumsi pangan dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. BIOAVAILABILITAS BESI KONSUMSI PANGAN PADA REMAJA PUTRI ANEMIA DAN NON ANEMIA DINA MARDIYAH Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Judul Nama NIM : Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia : Dina Mardiyah : I14086014 Disetujui : Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 1966 0701 199002 1001 Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani,M.Sc. NIP. 19660527 199203 2003 Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rakhmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia”. Terselesaikannya Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing 1 dan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku pembimbing 2 yang selalu memberikan arahan dan saran serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu yang telah memberikan masukan dalam penulisan. 3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan. 4. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan. 5. Papa, mama, ua, kakak-kakak, serta adik tersayang yang selalu memberikan bantuan dan dukungannya baik secara moril maupun materil kepada penulis. 6. Teman-teman alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-2 dan pak Mashudi yang telah memberikan dukungan dan sarannya selama ini. 7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang membutuhkan dan menjadi sumber informasi serta inspirasi bagi penelitian selanjutnya. Bogor, April 2012 Dina Mardiyah RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sukabumi pada tanggal 03 Maret 1987. Penulis adalah anak ke empat dari lima bersaudara dari Bapak Rochimansyah dan Ibu Acu Hindun. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Cibadak VII pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTPN 2 Cibadak dan lulus tahun 2002. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Cibadak Sukabumi dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 sampai 2008, penulis menjalani pendidikan sebagai mahasiswa di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Bandung. Selama menempuh perkuliahan penulis melaksanakan praktek kerja lapang di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Puskesmas Cigondewah Bandung dan di Desa Sukamahi Cianjur dalam rangka mengatasi masalah gizi buruk. Penulis melanjutkan pendidikan ke Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan Masa Perkenalan Mahasiswa Baru Program Penyelenggaraan Ilmu Gizi pada tahun 2009, Seminar Cermat Memilih Produk Perikanan (CERMINAN) 2010 dan Fieldtrip (2010). Penulis juga memiliki pengalaman kerja sebagai enumerator Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010 Kota Sukabumi dan Survey Cepat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Kabupaten Bogor pada tahun 2011. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan ........................................................................................................... 2 Hipotesis ........................................................................................................ 3 Kegunaan ...................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 4 Remaja ........................................................................................................... 4 Anemia .......................................................................................................... 6 Konsumsi Pangan ......................................................................................... 15 Bioavailabilitas Besi ...................................................................................... 17 Status Gizi ..................................................................................................... 22 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 24 METODELOGI PENELITIAN ............................................................................... 26 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 26 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ............................................................. 26 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 26 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 27 Definisi Operasional ...................................................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 34 Karakteristik Contoh ...................................................................................... 34 Status Gizi ..................................................................................................... 35 Status Anemia.............................................................................................. 36 Pangan Pendorong Penyerapan Fe ............................................................. 37 Pangan Penghambat Penyerapan Fe ........................................................... 38 Konsumsi Pangan Sumber Fe ....................................................................... 39 Bioavailabilitas Konsumsi Pangan pada Remaja Anemia dan Non Anemia .......................................................................................................... 49 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 51 Kesimpulan ................................................................................................... 51 Saran ............................................................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 52 LAMPIRAN ........................................................................................................... 56 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kecukupan zat besi untuk Indonesia ............................................................. 7 2 Batas normal kadar hemoglobin (Hb) ........................................................... 8 3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan ................................................. 12 4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U ........................................................ 23 5 Kategori variabel penelitian ........................................................................... 28 6 Estimasi tingkat ketersediaan zat besi .......................................................... 29 7 Contoh cara perhitungan bioavailabilitas zat besi ......................................... 30 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik siswi anemia dan non anemia ................................................................................................... 35 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi pada siswi anemia dan non anemia ............................................................................................. 36 10 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ................................................ 36 11 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan pendorong penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia ................. 37 12 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan penghambat penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia ................. 39 13 Rata–rata Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia..................... 40 14 Contoh konsumsi pangan pada siswi anemia ...........................……………. 41 15 Contoh konsumsi pangan pada siswi non anemia..................................….. 42 16 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu minggu pada siswi anemia dan non anemia ................................................................................ 43 17 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada siswi anemia dan non anemia.......................................... 45 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada siswi anemia dan non anemia ............................................................. 46 19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral pada siswi anemia dan non anemia .............................................................. 48 20 Rata-rata besi terserap pada siswi anemia dan non anemia........................ 49 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pikir Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia ..................................................................... 25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pangan pendorong penyerapan Fe yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia.................................... 57 2 Pangan penghambat penyerapan Fe yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia.................................... 57 3 Jenis pangan sumber non heme yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia............................................................................................ 58 4 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu bulan pada siswi anemia dan non anemia........................................................................ 59 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu mewujudkan Indonesia Sehat diharapkan akan menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat. Indonesia Sehat dimaksudkan juga untuk mendorong agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata guna mencapai derajat kesehatan yang optimal. Manusia yang sehat tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani, sehingga tubuh sehat dan ideal dari segi kesehatan meliputi aspek fisik, mental dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit. Semua aspek tersebut akan mempengaruhi penampilan setiap individu, dalam melakukan aktivitas sehari hari seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan hal-hal yang produktif serta bermanfaat (Depkes 2001). Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan, yang merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera. Di dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), Anemia Gizi Besi (AGB) dan masalah Gizi Lebih (kelebihan berat badan & obesitas). Anemia pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh yang berpenghasilan rendah (Depkes 2005). Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik diklinik maupun dimasyarakat. Anemia ini banyak dialami oleh masyarakat di negara berkembang. Wanita secara kodrati harus kehilangan darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya terkena anemia gizi besi dibandingkan pria. Anak-anak dan remaja merupakan usia rawan anemia gizi besi karena kebutuhan zat besi cukup tinggi diperlukan semasa pertumbuhan. Jika asupan zat besi kurang maka risiko anemia gizi besi menjadi sangat besar (Depkes 2001). Soemantri (1985) menyatakan bahwa penyebab utama anemia gizi di Indonesia adalah rendahnya asupan zat besi (Fe), hal ini dikarenakan sebagian 2 besar penduduk indonesia kurang mengetahui tentang pendidikan gizi dan kurang perduli terhadap kesehatan sehingga pada saat mengkonsumsi pangan, konsumsi dilakukan secara bersamaan antara pangan yang kaya akan Fe dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan Fe sehingga Fe yang dapat diserap tidak optimal. Kualitas pangan yang dikonsumsi rendah karena makanan yang dikonsumsi biasanya tidak diperhatikan berdasarkan kualitasnya melainkan kuantitasnya, serta penyakit infeksi yang dapat berdampak pada penurunan antibodi, penurunan kemampuan fisik, penurunan produktivitas kerja dan kemampuan berfikir. Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai generasi penerus merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah remaja putri pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan remaja putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja putra. Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar sepertiga remaja putri di Indonesia menderita anemia. Depkes (2005) menyatakan bahwa, prevalensi anemia wanita di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 26.50%. Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25.5% dengan perincian laki-laki 21% dan 30% pada perempuan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19.7% (Depkes 2008). Berdasarkan data prevalensi tersebut, dapat dilihat bahwa kejadian anemia lebih sering dan banyak terjadi pada perempuan sehingga perlu adanya pengkajian lebih lanjut terhadap status anemia perempuan khususnya bagi para remaja. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai anemia pada remaja putri yang berjudul "Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia". Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghitung bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia. 3 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji karakteristik contoh (usia,kelas, uang saku, usia menarche) 2. Mengkaji status gizi contoh 3. Mengkaji pendorong penyerapan zat besi pangan 4. Mengkaji penghambat penyerapan zat besi pangan 5. Mengkaji bioavailabilitas pangan sumber besi 6. Menganalisis hubungan bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja putri dengan kejadian anemia Hipotesis H0 : Tidak terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan dengan kejadian anemia pada remaja putri. H1 : Terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan dengan kejadian anemia pada remaja putri. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan anemia khususnya pada remaja putri. Selain itu, dapat memberikan wawasan terhadap pembaca mengenai bioavailabilitas besi konsumsi pangan dalam kaitannya dengan anemia pada remaja, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perencana pangan gizi pada remaja agar nantinya dapat tercipta sumber daya manusia yang berkualitas bagi kemajuan bangsa Indonesia. 4 TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa. Menurut Desmita (2005) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Remaja dalam bahasa inggris disebut "teenager" yakni manusia usia 13-19 tahun, merupakan usia perkembangan untuk menjadi dewasa. Masa remaja merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh. Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya, tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri. Soetjiningsih (2007) menyatakan bahwa dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual semua remaja akan melewati tahapan, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun. Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid (Briawan 2008). Wiknjosastro (1999) mengatakan bahwa remaja putri akan mengalami perubahan fisik dengan pesat yang merupakan pertanda biologis dari kematangan seksualitas. Perubahan ini terjadi pada satu masa yang disebut masa pubertas yaitu masa transisi antara kanak-kanak menuju masa reproduksi. Asupan zat gizi mempengaruhi kematangan seksual pada remaja. Remaja yang mendapat menstruasi pertama lebih dini, cenderung lebih berat dan lebih tinggi 5 dibandingkan dengan remaja yang belum mendapat menstruasi pada usia yang sama. Sebaliknya pada remaja yang menstruasi terlambat, beratnya lebih ringan daripada yang sudah menstruasi pada usia yang sama, walaupun tinggi badan (TB) nya sama. Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh kembang, kurangnya asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan tulang tidak proporsional), kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang seperti zinc, sering sakit-sakitan. Dari beberapa masalah gizi remaja putri tersebut diperlukan upaya peningkatan status gizinya karena remaja putri membutuhkan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal dan remaja putri perlu suplementasi gizi guna meningkatkan status gizi dan kesehatannya (Pardede 2002 ). Pada masa remaja kebutuhan kalori semakin meningkat karena pertumbuhan anak remaja sangat pesat serta perubahan menjadi pubertas dan aktivitas. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun berat badan sehingga kebutuhan gizi pun meningkat. Oleh karena itu, bila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhannya. Pada remaja, juga terjadi menarche (awal menstruasi) yang berarti mulai terjadi pembuangan Fe (Khumaidi 1997). Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut kemudian memasuki perkawinan, remaja akan hamil dengan status gizi yang rendah karena membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan dirinya sendiri dan bayi yang dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah dan teman -teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu, pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001). 6 Anemia Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi. Menurut Yatim (2003), anemia dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel, perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang. Menurut Rasmaliah (2004), kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal merupakan akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Anemia gizi terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut : a. Anemia hipokromik mikrositis, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi . b. Anemia megaloblastik, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan asam folat dan vitamin B12. Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang terjadi bila tubuh kehilangan banyak darah (baik karena perdarahan luka maupun menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan besi yang berbentuk feritin dan hemosiderin menurun dan absorbsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkuangnya zat besi dalam plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah (eritropoesis) di dalam susmsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (mycrocytic) dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998). Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap seperti dikemukakan Sutaryo (2004), pertama terjadi penurunan simpanan 7 cadangan zat besi karena berbagai hal. Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua cadangan zat besi sudah kosong dan semakin parah, besi dalam serum turun, total iron-binding capacity (TIBC) meningkat, hematokrit masih baik. Tahap ketiga ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun, TIBC meningkat, hemoglobin dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia. Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2004). Kecukupan zat gizi terutama Fe (besi) pada setiap individu berbeda-beda, kecukupan zat besi dikelompokkan berdasarkan umur, sesuai dengan Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Kecukupan Zat Besi Untuk Indonesia Kelompok Umur Kecukupan Zat Besi (mg/hari) Bayi (0-6 bulan) 0.5 Anak (1-3 tahun) 8.0 Anak (4-6 tahun) 9.0 Remaja (7-9 tahun) 10.0 Remaja laki-laki (10-12 tahun) 13.0 Remaja perempuan (10-12 tahun) 20.0 Remaja laki-laki (13-15 tahun) 19.0 Remaja perempuan (13-15 tahun) 26.0 Remaja laki-laki (16-18 tahun) 15.0 Remaja perempuan (16-18 tahun) 26.0 Dewasa laki-laki (19 tahun ke atas) 13.0 Dewasa perempuan (19 tahun ke atas) 26.0 Ibu hamil trimester 1 +0 Ibu hamil trimester 2 +9.0 Ibu hamil trimester 3 +13.0 Ibu menyusui +6.0 Sumber: Djoko Kartono dan Moesjianti Soekatri dalam Soekirman et al ( 2004). Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya gabung) kuat dengan O2 dan dengan oksigen tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paruparu ke jaringan tubuh (Roosita, Uripi dan Nasoetion 2006). Ganong (2001) 8 mengatakan bahwa hemoglobin adalah molekul globuler yang dibentuk dari empat subunit. Tiap-tiap subunit mengandung hem yang bergabung dengan polipeptida. Hem adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi. Polipeptida secara keseluruhan dinyatakan sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Terdapat dua pasang polipeptida pada tiap-tiap molekul hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipeptida pada tiap-tiap molekul hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipetida dan 2 mengandung polipetida lain. Menurut (Brody 1994), hemoglobin memiliki berat molekul 64500 dan tersusun atas empat sub unit. Dua sub unit disebut α-globin, dan dua lainnya disebut β-globin. Masing-masing sub unit mengandung sebuah grup heme yang dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Atom besi yang terdapat dalam kelompok heme tersebut harus dalam bentuk fero untuk mengikat oksigen. Kadar hemoglobin (Hb) ± 15 g % (gram per dl darah). Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. ion besi dalam bentuk Fe+2 dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen. Kadar hemoglobin normal dalam darah untuk wanita usia subur adalah 12 g%. Cara penentuan kadar kadar hemoglobin yang dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin (Sediaoetama 2000). Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) adalah sebagai berikut : Tabel 2 Batas Normal Kadar Hemoglobin (Hb) Kelompok Anak balita Anak usia sekolah Wanita dewasa Laki-laki dewasa Ibu hamil Ibu menyusui Sumber : WHO (2001) Kadar Hb ( g% ) 11 g% 12 g% 12 g% 13 g% 11 g% 12 g% Gejala Anemia Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan, sering mengeluh pusing, mata berkunang – kunang, kelopak mata pucat, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai, memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang 9 tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004). Yatim (2003) mengatakan bahwa gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung. Faktor Risiko Anemia Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara lain pengetahuan tentang gizi yang kurang, konsumsi zat gizi yang kurang dari kebutuhan, dan penyakit infeksi. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa sepertiga dari remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarkan sejumlah zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin memiliki tubuh ideal. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Depkes 1998). Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa bertambah hingga 1 mg. Penyebab anemia bermacam – macam, Affandi (1990) menyatakan bahwa menstruasi merupakan salah satu penyebab anemia. 10 Menstruasi merupakan suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Faktor yang penting lainnya adalah faktor sosial misalnya status perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Anemia juga disebabkan karena perdarahan hebat, akut (mendadak), kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah, kronik (menahun), perdarahan hidung, wasir (hemoroid), ulkus peptikum, kanker atau polip di saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih dan perdarahan menstruasi yang sangat banyak (Depkes RI 2001). Kekurangan asupan bahan makanan yang mengandung zat besi menyebabkan anemia gizi besi, gangguan sumsum tulang mengakibatkan anemia aplastik. Pembentukan hemoglobin yang tidak normal sehingga pada thalasemia mengakibatkan masa hidup sel darah merah pendek hingga menyebabkan anemia. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia umumnya terjadi karena perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau gangguan penyerapan zat gizi oleh usus juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan darah. Adapun tiga kemungkinan dasar penyebab anemia adalah penghancuran sel darah merah yang berlebihan, kehilangan darah dan produksi sel darah merah yang tidak optimal. Zat Besi (Fe) Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Pengelolaan besi dalam tubuh sangat efisien, kurang lebih 90% di daur ulang dan digunakan kembali setiap harinya. Sisanya dieksresi, terutama lewat empedu. Konsumsi besi dalam makanan digunakan untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing dan kulit. Kehilangan basal ini kira-kira 14µg per kilogram berat badan per hari atau hampir sama dengan 0,9 mg zat besi pada laki-laki dewasa dan 0,8 mg bagi wanita dewasa, wanita usia subur, dan kehilangan zat besi melalui darah haid (Anderson 2000). Absorbsi zat besi banyak terjadi di usus halus dengan bantuan transferin. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk 11 mengangkut besi lain. Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sumsum tulang untuk digunakan membuat Hb, sebagai bagian sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Almastier 2004). Bakta et al (2009) mengatakan bahwa, tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus kedalam tubuh diperlukan absorbsi besi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi kedalam tiga fase : Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum Fase mucosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif Fase corporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Sumber utama dari besi adalah hati, sumber yang lain diantaranya tiram, seafood, ginjal, jantung, daging, ayam dan ikan. Kacang-kacangan dan sayuran merupakan sumber zat besi dari pangan nabati. Makanan lain yang mengandung zat besi adalah kuning telur, buah-buahan kering, tepung dan sereal. Susu dan hasil olahnya sama sekali tidak mengandung zat besi dan kandungan besi dalam jagung juga sangat sedikit (Anderson 2000). Palupi et al (2010) menyatakan bahwa kebutuhan zat besi remaja putri dengan kisaran usia 15-25 tahun, menurut Angka Kecukupan Gizi orang Indonesia (AKG 2005) adalah 26 mg. Untuk memelihara keseimbangan hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan hemosiderin sebagai tempat penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi dari bahan pangan tidak cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin dimobilisasi untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin dan hemosiderin banyak ditemukan dalam organ hati, limfa dan sumsum tulang belakang. Winarno (2002) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu : besi heme, terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Bentuk kedua yaitu besi non-heme, berasal dari tumbuhtumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Fungsi zat besi bagi tubuh 12 antara lain : untuk metabolisme energi, kemampuan belajar, system kekebalan serta pelarut obat-obatan. Adapun kandungan zat besi yang terkandung di dalam beberapa bahan makanan antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan Bahan Makanan Hati Daging sapi Telur ayam Kacang-kacangan Tepung gandum Ikan Beras Umbi-umbian Buah-buahan Susu sapi Sumber : Winarno (2002) Zat besi (mg/100g) 6.0 – 14.0 2.0 – 4.3 2.0 – 3.0 1.9 – 14.0 1.5 – 7.0 0.5 – 1.0 0.5 – 0.8 0.3 – 2.0 0.2 – 4.0 0.1 – 0.4 WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5 mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002). Remaja membutuhkan zat besi untuk menambah massa sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Remaja mempunyai resiko untuk mengalami defisiensi zat besi. Faktor yang sama penting dengan kandungan total zat besi di dalam makanan adalah persediaan zat besi yang dimakan, yaitu daya serapnya. Berapa banyak zat besi yang secara efektif diserap oleh tubuh sangat bervariasi, tergantung banyak faktor diantaranya dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk kimianya, penyantapan bersama dengan faktor yang mempertinggi atau menghambat penyerapannya dan status zat besi individu (DeMaeyer 1995). Menurut Siswono (2001), zat besi dapat dibagi menjadi dua jenis, jika ditinjau berdasarkan mekanisme penyerapannya. Dua jenis zat besi tersebut, yaitu : 1. Heme Iron : Heme iron merupakan zat besi yang terdapat di dalam hemoglobin dan myoglobin. Sumber dari Heme Iron adalah daging-dagingan. Heme Iron diserap sebagai iron phorpyrin complex yang dipecah oleh enzim heme oxygenase di dalam sel mukosa usus. Senyawa ini akan meninggalkan sel mukosa dalam bentuk kimia yang sama dengan non heme iron. Kandungan heme di dalam heme iron dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan pada suhu tinggi dan 13 waktu yang lama sehingga berpengaruh terhadap bioavailabilitas heme iron. Bioavailabilitas heme iron tidak dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan. 2. Non Heme Iron : Senyawa ini secara alami terdapat di dalam daging, serealia, sayur dan buahbuahan. Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor (phythate, tannin, dll). Penyerapan non heme iron akan semakin meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat besi juga semakin meningkat. Jika suplai zat besi dari makanan telah habis terserap maka proses penyerapan zat besi akan berhenti . Kehilangan besi dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, lewat pendarahan, melalui feses, keringat serta pengelupasan kulit dan rambut. Besi yang keluar lewat feses adalah besi yang tidak dapat diserap dari asupan makanan dan hampir tiadak ada besi yang terbuang lewat urin. Rata-rata kehilangan besi tiap harinya adalah sekitar 1% pada laki-laki dewasa atau kurang 1% pada wanita yang sudah tidak menstruasi. Sedang rata-rata kehilangan besi pada wanita yang menstruasi sekitar 0.5 mg per hari (Anderson 2000). Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat banyak didalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan zat besi, termasuk di Indonesia. Kekurangan zat besi berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan system kekebalan (Almatsier 2004). Depkes (2003) mengatakan bahwa fungsi zat besi adalah sebagai pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk fungsi normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi sel-sel di seluruh tubuh bisa terganggu. Selain itu, zat besi menurut Almatsier (2004) mempunyai fungsi diantaranya adalah : 1. Metabolisme energi. Didalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah – langkah akhir metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksgen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. Sebagian besar besi berada di dalam hemoglobin, yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan 14 mioglobin dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru – paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru – paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Menurunnya produktivitas kerja pada kekurangan besi disebabkan oleh dua hal yaitu berkurangnya enzim – enzim mengandung besi dan besi sebagai kofaktor enzim – enzim yang terlibat dalam metabolisme energi, kedua menurunnya hemoglobin darah. Akibatnya, metabolisme energi di dalam otot terganggu dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah. 2. Kemampuan belajar. Penelitian – penelitian di Indonesia oleh Soemantri (1985) dan Almatsier (1989) menunjukan peningkatan prestasi belajar pada anak – anak sekolah dasar bila diberikan suplemen besi. Beberapa bagian otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang pada masa pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (pengantar saraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh terganggu. 3. Sistem kekebalan. Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel – sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonokleotida yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. 4. Pelarut obat – obatan. Obat – obatan tidak larut air oleh enzim mengandung besi dapat dilarutkan hingga dapat dikeluarkan oleh tubuh (Almatsier 2004). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah 15 pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1988) Menurut Suandi (2004), untuk pertumbuhan normal, tubuh memerlukan gizi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrient esensial yang menjadi basis pertumbuhan. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Path (2004) mengatakan bahwa, agar menarche tidak menimbulkan keluhan-keluhan, sebaiknya remaja wanita mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, sehingga status gizinya baik. Status gizi dikatakan baik apabila nutrisi yang diperlukan baik protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin maupun air digunakan oleh tubuh sesuai kebutuhan. Tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Remaja putra memiliki kebiasaan makan yang lebih baik daripada remaja putri. Remaja putra cenderung memiliki nafsu makan besar dan kemampuan untuk mengkonsumsi pangan dalam jumlah besar sehingga kebutuhan akan zat gizi dapat terpenuhi. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja putri dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas yang sedikit disebut sebagai faktor fisiologis dan tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja putri untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja putri sering mengalami kurang gizi (Arisman 2004). Menurut survey yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali dengan jajanan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry, serta permen. Sedangkan golongan sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak popular atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat gizi lainnya. Selain itu, hasil survei menunjukan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan minum susu. Jelliffe and Jelliffe (1989) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang mempengaruhi penggunaan makanan dalam tubuh, termasuk pencernaan dan absorpsi (bioavailabilitas). Pertama, campuran makanan dalam usus yang mungkin meningkatkan atau menghambat absorpsi. Kedua, dapat juga berhubungan dengan tahap kehidupan secara fisiologis. Sebagai contoh, ketika 16 hamil, berbagai zat gzi, diabsorpsi lebih baik. Ketiga, genetik mempengaruhi penggunaan makanan dan zat gzi secara individual. Beberapa faktor genetik dimana batas penggunaan makanan oleh tubuh telah diketahui, seperti laktose intolerance pada masa kanak-kanak biasanya nampak pengurangan produksi laktase pada usus secara genetik. Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier 2004). Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu : vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain : makanan yang mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al 1978). Konsumsi pangan dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi dan mampu memberikan kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia. Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et al (1978) mengatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan Fe. Estimasi zat besi bagi perempuan di indonesia yang tersedia sekitar 3% jika 17 vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg, 5% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg dan 8% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar >75 mg. Anemia gizi dapat disebabkan oleh konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor– faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan (Husaini 1989). Yatim (2003) mengatakan bahwa sebagian besar anemia disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, terutama besi, vitamin B12 dan asam folat. Sebab yang lain adalah karena adanya pendarahan, kelainan genetik, penyakit kronis atau keracunan obat. Anemia karena tidak terpenuhinya asupan dari besi, protein dan beberapa vitamin (B12, asam folat, piridoksin dan asam askorbat), tembaga dan mineral yang lain disebut nutritional anemias. Defisiensi besi, atau kekurangan zat besi, dapat menjadi salah satu penyebab paling sering terjadi anemia. Bioavailabilitas Besi Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan biologi zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001), bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi bervariasi dapat berkisar antara 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan. Latunde & Nale (1986) mengatakan bahwa Bioavailabilitas zat besi didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorpsi zat besi dalam usus halus sehingga istilah bioavailibilitas zat besi dapat disamakan dengan absorpsi dalam usus. Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non heme. Kecepatan penyerapan zat besi heme oleh tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi non heme, oleh karena itu bentuk non heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak. 18 Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari bervariasi antara 5-10%. Untuk masyarakat yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 1020% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% ( Almatsier 2004 ). Beberapa jenis bahan makanan memiliki persentase penyerapan zat besi yang berbeda. Winarno (2002) menyatakan bahwa beras memiliki persen penyerapan sebesar 1%, kedelai 6%, jagung 3%, ikan 11%, dan hati 13%. Monsen et al (1978) mengatakan bahwa, estimasi zat besi yang tersedia dibagi menjadi tiga kategori yaitu dikatakan availabilitas rendah (low availability) jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg maka availability zat besinya sebesar 3%, dikatakan availabilitas sedang (medium availability) jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg maka availability zat besinya sebesar 5% sedangkan dikatakan availabilitas tinggi (high availability) bila vitamin C yang dikonsumsi > 75 mg maka availability zat besinya sebesar 8%. Terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh yang berhubungan dengan ketersediaan zat besi secara biologis (Palupi et al 2010). Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor endogen yaitu : kebutuhan tubuh, dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu : kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal dari bahan makanan. Almatsier (2004) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam askorbat, konsumsi makanan sumber heme dan asam organik. Konsumsi pangan sumber besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat 19 mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali. Pendorong Penyerapan Fe Pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu memiliki kandungan gizi yang berbeda, begitupun dengan vitamin dan mineral yang terdapat dalam pangan tersebut. Dalam proses absorpsinya, zat besi dipengaruhi oleh faktor pendorong penyerapan zat besi, faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat akan melindungi zat besi dari pembentukan feri-hidroksida yang bersifat tidak larut. Selain itu juga dapat membentuk kelat Fe-askorbat yang bersifat tetap larut meskipun terjadi peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus (Palupi et al 2010). Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya terjadi apabila dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian asam askorbat 4-6 jam setelah mengonsumsi bahan pangan tidak akan berpengaruh terhadap penyerapan zat besi. Sebaliknya, asam askorbat yang dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat yang telah teroksidasi hampir tidak berpengaruh dalam memperkuat penyerapan zat besi. Selain itu, terdapat faktor dalam daging, ikan dan unggas (meat fish poultry (MFP) factor) yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi (Palupi et al 2010). Meat faktor berperan dalam meningkatkan penyerapan zat besi bentuk heme maupun non heme (Muchtadi et al 1992). Hal tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti fitat dan ion-ion hidroksil (Palupi et al 2010). Faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi : 1. Daging, ayam, ikan, dan makanan laut. Daging-dagingan merupakan salah satu sumber zat besi (jenis heme iron dan non heme iron). Disamping itu, daging-dagingan juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh ketika dikonsumsi bersamaan dengan 20 makanan yang mengandung senyawa inhibitor bagi zat besi. Mekanisme dari peningkatan penyerapan zat besi karena daging-dagingan ini belum dapat diketahui secara pasti. 2. Asam askorbat (sayur dan buah) Asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe 3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus. Selain itu asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus, 25-75 mg asam askorbat yang pertama kali dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap penyerapan zat besi (non heme iron). 3. Makanan terfermentasi Makanan terfermentasi dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh, tetapi mekanismenya belum dapat diketahui secara pasti. Faktor lain yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. WHO (2001) mengatakan bahwa faktor yang menjadi pendorong penyerapan zat besi antara lain : - Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan dan sea food - Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan - Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap Sumber zat besi yang baik adalah makanan hewani seperti : daging, ayam, ikan dan sumber lainnya seperti : telur, serealia tumbuk, kacangkacangan, sayuran hijau dan buah-buahan yang kaya akan vitamin C (Almatsier 2004). Penghambat Penyerapan Fe Senyawa-senyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi antara lain: tanin, fitat, polifenol, oksalat dan serat pangan. Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Penghilangan fitat dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 3 kali (Palupi et al 2010). 21 Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi dengan beberapa mineral lainnya. Menurut Yuanita (2008) bahwa diet tinggi serat pangan memberi efek fisilogis yang positif, namun juga menyebabkan ketidaktersediaan mineral Fe terutama disebabkan karena kemampuan serat pangan mengikat Fe. Afinitas pengikatan Fe dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komponen bahan pangan, proses pengolahan dan pH medium. Pengikatan mineral oleh serat pangan dapat terjadi melalui beberapa pola interaksi yaitu adsorpsi permukaan, pertukaran kation dan pembentukan senyawa kompleks. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Palupi et al 2010). Menurut WHO (2001) faktor penghambat penyerapan zat besi antara lain : - Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan - Makanan dengan kandungan inositol tinggi - Makanan yang mengandung tannin seperti ; teh, kopi, dan coklat. - Kalsium, terutama dari susu dan produk susu. Asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi (Almatsier 2004). Siswono (2001) mengatakan bahwa faktor lain yang menghambat penyerapan zat besi antara lain : 1. Phythate (inositol-hexa-phosphate) Phythate secara alami terdapat dalam lapisan aleuron serealia, kacangkacangan, beans, dan legum. Senyawa ini merupakan inhibitor bagi penyerapan zat besi. Phythate akan mengikat zat besi (non heme iron) dengan perbandingan 0.6 : 2.17 (Fe : Phythate) 2. Senyawa phenol Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat, sehingga dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Asam chlorogenat (kopi) dan asam gallat merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi. Oregano (rempah-rempah), yang digunakan dalam pembuatan pizza, dapat menurunkan penyerapan zat besi sebanyak dua kali lipat. 22 Status Gizi Menurut Supariasa (2001) Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang dinilai melalui proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data individu. Data tersebut bersifat obyektif dan subyektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data obyektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Penilaian status gizi dilakukan sebagai indikator untuk menentukan status gizi seseorang. Ada dua metode yang data dilakukan yaitu secara langsung dan tidak langsung. Metoda secara lagsung diantaranya dengan pengukuran antropometri, biokimia, biofisik dan klinik. Sedangkan tidak langsung diantaranya adalah mengukur konsumsi makan, ekologi, berdasar pada lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, dan vital statistik. Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja lemak tubuh cenderung meningkat dan protein otot menurun. Berat badan menjadi pilihan utama karena : mudah memperlihatkan perubahan dalam waktu singkat karena perubahanperubahan konsumsi makanan dan kesehatan. memberikan gambaran status gizi sekarang dan jika dilakukan secara periodic memberikan gambaran yang berkaitan dengan pertumbuhan. merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan. ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang terpenting (Supariasa 2001). Pengukuran IMT merupakan salah satu metoda pengukuran antropometri yang dapat dipakai dalam menentukan status gizi. IMT direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk memantau status gizi, baik yang kekurangan berat badan maupun yang kelebihan berat badan. Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel berikut ini. 23 Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U Variabel -3 ≤ z ≤ -2 -2 ≤ z ≤ +1 +1 ≤ z ≤ +2 z > +2 Sumber : WHO (2007) Kategori Kurus Normal Gemuk Obese 24 KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik contoh yang meliputi usia, BB, TB, dan besar uang saku akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan atau kebiasaan makan. Semakin besar uang saku yang didapatkan maka akan semakin bervariasi makanan yang dikonsumsi. Kebiasaan makan yang terbentuk dengan baik akan mempengaruhi konsumsi pangan dan jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi terutama bagi pemenuhan zat gizi besi. Pangan yang dikonsumsi memiliki beraneka ragam karakteristik antara lain pangan heme dan pangan non heme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan zat besi yang berbeda. Pangan heme dan pangan non heme dalam penyerapannya sangat dipengaruhi oleh faktor penghambat dan pendorong, dimana pangan yang menjadi penghambat penyerapan Fe antara lain pangan yang mengandung tannin; teh, kopi,coklat, dan kalsium, terutama dari susu dan produk susu serta pangan yang dapat menjadi faktor pendorong penyerapan Fe seperti besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan dan sea food, asam askorbat atau vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan sayuran hijau. Konsumsi pangan sumber besi memiliki karakteristik sebagai pendorong penyerapan Fe dan penghambat penyerapan Fe yang akan berpengaruh terhadap asupan zat besi. Pangan sumber besi yang memiliki nilai bioavailabilitas baik jika didukung oleh konsumsi pangan yang berperan sebagai pendorong penyerapan zat besi maka kebutuhan besi tubuh akan terpenuhi sedangkan bila bersamaan dengan pangan yang berperan sebagai faktor penghambat besi maka kebutuhan besi tidak akan tercukupi dengan baik karena penyerapannya tidak sempurna. Faktor – faktor tersebut akan berpengaruh terhadap asupan besi dan menentukan ketersediaan zat besi yang siap dimanfaatkan oleh tubuh dan secara langsung asupan zat besi akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat besi. Tingkat kecukupan zat besi seseorang yang disesuaikan dengan angka kecukupan gizi akan menunjukkan kesesuaian antara zat besi yang dianjurkan dengan asupan yang sebenarnya. Tingkat kecukupan zat besi dan ketersediaan zat besi akan berpengaruh terhadap status anemia. 25 Karakteristik contoh Konsumsi pangan -pangan sumber Fe non heme - pangan sumber Fe heme Faktor pendorong penyerapan Fe Faktor penghambat penyerapan Fe Angka Kecukupan Gizi Tingkat asupan Fe Besi tersedia Tingkat Kecukupan Fe Status Anemia Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai bioavailabilitas zat besi konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia. Keterangan : = Variabel yang diteliti = Hubungan yang di analisis 26 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah crosectional study. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di Sekolah untuk Peningkatan Prestasi Akademik siswa SMA (Briawan et al 2009). Penelitian ini dilakukan di SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Desember 2009. Persyaratan SMA sebagai lokasi penelitian adalah: 1) mempunyai jumlah pelajar wanita >50%, 2) mayoritas berasal dari keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi rendah/sedang, 3) mempunyai Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), 4) mempunyai komitmen untuk peningkatan kesehatan siswa yang ditunjukkan oleh surat pernyataan dari kepala sekolah. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah siswi kelas 1 (satu), 2 (dua), dan 3 (tiga) SMAN 1 Cibungbulang yang berjumlah 80 orang. Contoh dipilih dengan kriteria remaja putri yang sudah menstruasi dan tidak memiliki riwayat penyakit yang terkait dengan anemia (demam berdarah, malaria, sakit karena kecelakaan atau perdarahan hebat, cacingan, talasemia serta sedang melakukan transfusi darah). Jumlah contoh yang diperlukan untuk penelitian dihitung dengan cara mencari Zα, bila tingkat kepercayaan 95% (Z α=1,96) dan power of test=90% (Zß=1,28), maka diperlukan minimal 73 siswi dan apabila asumsi drop out 10%, maka ditetapkan jumlah contoh 80 siswi (Kirkwood 1998). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data sekunder yang didapatkan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner serta análisis laboratorium. Pengisian kuesioner diisi oleh siswa yang dipandu oleh enumerator. Data karakteristik contoh berupa identitas contoh seperti tempat dan tanggal lahir contoh, kelas serta usia menarche didapatkan dengan cara pengisian kuesioner. Data jumlah uang saku diperoleh dengan menanyakan kepada contoh berapa jumlah uang saku yang diberikan oleh orang tua dalam satu hari. Data status gizi contoh didapatkan dengan cara pengukuran antropometri yaitu mengukur secara langsung berat badan dan tinggi badan contoh. Pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang badan 27 dan stadiometer (ketelitian 0,1 cm). Data konsumsi pangan yang dikumpulkan melalui food frequency questionare (FFQ) dan konsumsi pangan didapatkan dari pengisian kuesioner berupa recall 1x24 jam yang dilakukan dengan menanyakan jenis serta jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh contoh selama 24 jam. Hasil recall kemudian digolongkan berdasarkan pangan yang menjadi sumber heme dan non heme. Status anemia sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan pada bulan Oktober 2009. Sampel darah diambil oleh tenaga kesehatan yang terlatih dari RS PMI Bogor. Untuk analisa Hb menggunakan metode cyanmethemoglobin. Pengambilan darah dilakukan dari vena dengan jarum kupu- kupu (wing needle) kapasitas 23 ½ cc yang disposible (sekali pakai) sebanyak 2 cc. Darah yang sudah didapatkan, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan untuk pemeriksaan hemoglobin. Hasil recall 1x24 jam digunakan untuk mendapatkan data mengenai tingkat kecukupan energi dan zat gizi seperti energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan zat besi, kemudian data mengenai pangan yang tergolong sebagai pendorong penyerapan zat besi dan penghambat penyerapan zat besi serta data bioavailabilitas zat besi pangan. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16 for Windows. Proses pengolahan dimulai dari editing, coding, entry dan analisis. Data tersebut kemudian diberi kode sesuai dengan kode dalam code book. Seluruh data yang telah dikumpulkan akan dientri menggunakan software microsoft excel for windows. Data yang telah dientri kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Untuk menjawab tujuan penelitian, maka hasil analisis data tersebut akan ditampilkan dalam bentuk tabel. Adapun kategori dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. 28 Tabel 5 Kategori variabel penelitian No. 1. Variabel Usia 2. Kelas 3. Uang saku 4. Tingkat kecukupan energi dan protein 5. 6. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral Status gizi (IMT/U) 7. Status anemia Kategori Remaja awal (12-14) Remaja pertengahan (15-17) Remaja akhir (18-21) 1 2 3 < Rp 6000 Rp 6000-17000 > Rp 17000 Defisit tingkat berat : <70% AKG Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG Defisit tingkat ringan : 80-89 % AKG Normal : 90-119% AKG Berlebih : ≥120% AKG Kurang <77% AKG Cukup ≥77% AKG Sangat Kurus : z< -3 Kurus : -3 ≤ z < -2 Normal : -2 ≤ z ≤ +1 Over weight : +1 < z ≤ +2 Obese : z > +2 Normal : >12,0-15,0 g/dl Ringan : 10,0–11,9 g/dl Sedang : 7,0-10,0 g/dl Berat : < 7,0 g/dl Keterangan Mandleco (2004) Depkes (1996) Gibson (2005) WHO (2007) Allen (1991) Data karakteristik contoh seperti usia, kelas, uang saku dan usia menarche digolongkan berdasarkan kategori pada Tabel 5 diatas. Hasil kategori variabel tersebut kemudian diolah dengan menggunakan uji beda Mann Witney. Data mengenai status anemia dan status gizi diolah menggunakan uji beda Independent sampel t-test. Tingkat kecukupan zat gizi pada remaja dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004) yang dibagi berdasarkan kelompok umur. Angka kecukupan energi kategori 13-15 tahun yaitu 2100 kkal, usia 16-19 tahun 2000 kkal, angka kecukupan protein usia 13-15 tahun yaitu 62 g dan usia 16-19 tahun 51 g, untuk vitamin A usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun sebesar 500 RE, angka kecukupan vitamin C usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun sebesar 60 mg. Angka kecukupan Fe usia 13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-18 tahun sebesar 25 mg. Data konsumsi pangan sumber Fe diperoleh dengan melihat pangan yang dikonsumsi mengandung Fe, kemudian data yang diperoleh dikonversikan 29 kedalam kandungan zat besi yang dimiliki oleh bahan pangan yang dikonsumsi untuk dihitung rata-rata jumlah Fe yang dikonsumsi contoh per hari. Data konsumsi pangan yang dilakukan dengan recall selama 1x24 jam terdiri dari waktu makan, nama makanan, komposisi, URT dan gram pangan. Setelah konsumsi Fe diketahui maka tingkat kecukupan Fe dapat diketahui dengan membandingkan antara konsumsi Fe aktual dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengisian kuesioner food frequency questionare (FFQ) digunakan untuk menggambarkan kebiasaan pangan yang dikonsumsi selama satu bulan baik pada siswi anemia maupun siswi non anemia. Data intake didapatkan dengan cara data konsumsi yang didapatkan dikonversi kedalam zat gizi. Data konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi contoh didapatkan dengan cara mengkonversi gram bahan pangan yang dikonsumsi kedalam kandungan zat gizi yang dimiliki oleh bahan pangan tersebut. Data kecukupan zat gizi, vitamin dan mineral contoh yang memiliki status gizi normal didapatkan dengan cara BB contoh di bagi BB ideal berdasarkan WKNPG kemudian di kali dengan angka kecukupan gizi. Data kecukupan zat gizi, vitamin dan mineral contoh yang memiliki status gizi kurang dan berlebih menggunakan BB yang tercantum dalam AKG. Data mengenai tingkat kecukupan zat gizi dihitung dengan cara energi aktual dibagi kecukupan berdasarkan angka kecukupan zat gizi dikali 100 persen. Data mengenai pangan yang berpotensi sebagai pendorong dan penghambat zat besi dihitung dengan cara mengklasifikasikan bahan pangan yang dikonsumsi kedalam bahan pangan yang mampu mendorong dan menghambat zat besi, jumlah gram bahan pangan yang dikonsumsi kemudian dikonversikan kedalam zat besi yang terkandung dalam masing-masing bahan pangan untuk dihitung rata-rata gram yang dikonsumsi dan jumlah contoh yang mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Bioavailabilitas zat besi yang dimiliki oleh suatu pangan bervariasi, dalam proses absorpsinya zat besi dapat dipengaruhi oleh vitamin C agar penyerapannya lebih optimal. Monsen et al (1978) menjelaskan estimasi tingkat ketersedian zat besi pada Tabel 6 sebagai berikut. 30 Tabel 6 Estimasi tingkat ketersediaan zat besi Tingkat bioavailabilitas Tingkat availabilitas rendah jika : - Konsumsi vitamin C <25mg Tingkat availabilitas sedang jika : - Konsumsi vitamin C 25-75 mg Tingkat availabilitas tinggi jika : - Konsumsi vitamin C >75 mg Monsen et al (1978) % absorpsi 3% 5% 8% Monsen et al (1978) menyatakan bahwa cara perhitungan bioavailabilitas Fe secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut. Tabel 7 Contoh cara perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan sumber Fe Bioavailabilitas (%) Bahan Makanan Brt (g) Tot. Fe (mg) Vit. C (mg) Heme Faktor Besi Heme (mg) Besi Non Heme (mg) (1) Nasi Putih Telur dadar Tahu goreng Tempe goreng Nasi putih Telur dadar Tempe goreng Chocolatos Teh manis Mie ayam Total (2) 86 30 (3) 0,4 0,8 (4) 0,0 0,0 (5) 0,4 (6) 0,3 (7) 0,4 0,5 50 0,3 0,0 - - 0,3 3 75 7,9 0,0 - - 7,9 3 86 60 0,4 1,5 0,0 0,0 0,4 0,6 0,4 0,9 75 7,9 0,0 - - 7,9 30 216 262 0 0 19,7 0,0 0,0 0,0 - - 0 0 19,7 Heme (8) 23 23 Non Heme (9) 3 3 3 3 Besi terserap Heme (mg) (10) 0,07 Total (mg) (12) 0,24 0,14 3 - Non Heme (mg) (11) 0,01 0,02 0,01 3 0,21 0,01 0,03 0,24 0,59 1,15 1,36 Keterangan : 1. Kolom pertama yaitu jenis bahan makanan yang dikonsumsi, makanan yang dihitung adalah makanan yang contoh konsumsi dalam satu hari dan termasuk dalam golongan pangan sumber heme (hewani) dan pangan sumber non heme (selain hewani yang memiliki kandungan zat besi). Makanan yang tidak memiliki kandungan besi tidak dilakukan perhitungan bioavailabilitasnya. 2. Kolom kedua yaitu berat bahan makanan yang dikonsumsi 3. Kolom ketiga yaitu total besi (mg), nilai tersebut merupakan kandungan zat besi dalam pangan yang dikonsumsi dan dihitung dengan cara berat bahan makanan yang dikonsumsi (kolom 2) dibagi 100 kemudian dikalikan dengan nilai Fe dalam DKBM 4. Kolom keempat yaitu Vitamin C (mg), nilai tersebut merupakan kandungan vitamin C dalam pangan yang dikonsumsi dan dihitung dengan cara berat 31 bahan makanan yang dikonsumsi (kolom 2) dibagi 100 kemudian dikalikan dengan nilai vitamin C dalam DKBM 5. Kolom kelima yaitu heme faktor, dengan nilai 0,4 6. Kolom keenam yaitu besi heme (mg), yang dihitung dengan perkalian heme faktor (kolom 5) dengan total besi (kolom 3) 7. Kolom ketujuh yaitu besi non heme (mg) yang dihitung dengan pengurangan total besi (kolom 3) dengan besi heme kolom 6 (hanya untuk pangan non heme saja) 8. Kolom kedelapan yaitu besi heme yang merupakan bagian dari bioavailabilitas (%), nilai ini didapatkan dari literatur yang diperoleh. Nilai bioavailabilitas untuk hewani sebesar 23% 9. Kolom kesembilan yaitu besi non heme yang merupakan bagian dari bioavailabilitas (%), nilai ini didapatkan dari literatur yang diperoleh. Nilai bioavailabilitas untuk semua jenis pangan sumber non heme yaitu 3% (low) jika konsumsi vitamin C < 25mg, 5% (medium) jika konsumsi vitamin C 2575mg, dan 8% (high) jika konsumsi vitamin C >75mg 10.Kolom kesepuluh yaitu Besi terserap khususnya besi heme. Merupakan hasil dari nilai bioavailabilitas besi heme (kolom 8 ) dikali besi heme (kolom 6). Perhitungan dilakukan untuk per jenis bahan pangan sumber heme. Contoh perhitungan untuk telur dadar yaitu 23% x 0,3 mg = 0,07 mg. 11.Kolom kesebelas yaitu besi terserap khususnya besi non heme. Merupakan hasil dari nilai bioavailabilitas besi non heme (kolom 9) dikali besi non heme (kolom 7). Perhitungan dilakukan untuh per jenis bahan pangan. Contoh perhitungan untuk nasi putih yaitu 3% x 0,4 mg = 0,01 mg. 12.Kolom keduabelas yaitu total besi terserap. Merupakan hasil penjumlahan antara total besi terserap sumber heme (kolom 10) dan total besi terserap sumber non heme (kolom 11). Vitamin C yang dimiliki per bahan pangan dihitung untuk melihat jumlah bioavailabilitas Fe (% bioavailabilitas) yang dapat diserap oleh tubuh. Nilai yang didapat berdasarkan pangan sumber heme dan sumber non heme yang dikonsumsi. Adapun estimasi bioavailabilitas Fe yang dilihat berdasarkan tingkat konsumsi vitamin C menurut Monsen et al (1978) adalah sebagai berikut : - Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 3% jika vitamin C per bahan pangan dari hasil recall 1x24 jam mencapai <25 mg. 32 - Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 5% jika vitamin C per bahan pangan yang dikonsumsi mencapai 25-75 mg. - Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 8% jika vitamin C per bahan pangan yang dikonsumsi mencapai > 75 mg. - Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 23% khusus untuk semua jenis pangan sumber heme. Nilai ini didapat tanpa melihat konsumsi vitamin C. Uji Independent sample t-test digunakan untuk melihat beda antara variabel yang diteliti dengan kategori siswi anemia dan non anemia. Uji Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara konsumsi pangan terhadap status anemia. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Definisi Operasional Anemia Gizi Besi adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah, yakni jumlah hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari kadar normal Contoh adalah siswi-siswi SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor Remaja putri : adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa, ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan berfungsinya alat reproduksi seperti menstruasi (umur 10-19 tahun). Karakteristik contoh adalah data umum contoh meliputi nama,usia,BB,TB dan besar uang saku Besar uang saku adalah jumlah total uang yang diterima contoh per bulan yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari Konsumsi pangan adalah keseluruhan makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh contoh dalam satu hari (1x24 jam) Faktor pendorong penyerapan Fe adalah faktor yang mempengaruhi penyerapan Fe dan berperan sebagai pendorong atau membantu dalam penyerapan Fe seperti : asam askorbat (sayur dan buah), pangan hewani dan makanan fermentasi. Faktor penghambat penyerapan Fe adalah faktor yang mempengaruhi penyerapan Fe dan berperan sebagai penghambat dalam penyerapan Fe seperti : protein dalam kacang kedelai, kalsium (susu dan produk olahannya), serta zat thanin (kopi dan teh). Menarche adalah datangnya haid pertama kali Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai dengan perdarahan secara periodik Kadar Hb adalah kadar hemoglobin dalam darah 33 Status anemia contoh adalah keadaan kadar Hb contoh yang menunjukkan kondisi contoh anemia dan non-anemia. Contoh dikatakan anemia jika kadar Hb < 12 g/dL darah. Pengukuran kadar Hb ditentukan dengan Chyanmet Hemoglobin. Tingkat kecukupan Besi adalah kecukupan konsumsi pangan sumber Fe contoh yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Bioavailabilitas Besi adalah ketersediaan biologi Fe (zat besi) yang terkandung dalam makanan. Cara perhitungan bioavailabilitas Fe didapatkan dari literatur yang kemudian diambil nilai rata-ratanya. Status Gizi adalah keaadaan fisik siswa yang diukur dengan antropometri dengan indeks IMT/U. 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Berdasarkan hasil penelitian, usia siswi yang menjadi contoh dalam penelitian yaitu berkisar antara 14 hingga 18 tahun. Contoh sebagian besar tergolong dalam remaja pertengahan sebesar 93,4% pada siswi anemia dan 92,0% pada siswi non anemia. Menurut Mandleco (2004), masa remaja terbagi kedalam tiga aspek yaitu masa remaja awal (12-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-17 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Rata-rata usia siswi anemia yaitu 15,7 ± 0,8 tahun dan 15,7 ± 0,9 tahun pada siswi non anemia. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,919) antara usia siswi anemia dan siswi non anemia. Uang saku contoh dibagi dalam tiga kategori, yaitu : <Rp 6.000, Rp 6.000-Rp 17.000 dan >Rp 17.000. Tabel 8 menjelaskan bahwa sebagian besar contoh memiliki uang saku antara Rp6.000-Rp17.000 yaitu pada siswi yang mengalami anemia sebesar 80,0%, dan pada siswi non anemia sebesar 80,0%. Rata-rata uang saku siswi anemia yaitu sebesar Rp 11866,7 ± 4819,0 nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata uang saku siswi non anemia yaitu sebesar Rp 10730,0 ± 6843,1. Tidak terdapat perbedaan (p=0,206) uang saku siswi anemia dan non anemia. Napitu (1994) menyatakan bahwa, uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimiliki. Tabel 8 menjelaskan bahwa kisaran contoh mendapatkan menstruasi pertama kali adalah saat usia 11 hingga 15 tahun. Usia menarche adalah usia pertama kali contoh mendapat menstruasi. Biasanya wanita mendapatkan menstruasi pertamakali yaitu pada usia 10-14 tahun. Menstruasi merupakan indikator perkembangan/kematangan fisik anak perempuan (Arisman 2004). Berdasarkan penjelasan tersebut, pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar siswi anemia yang menjadi contoh mengalami menarce saat usia 12 tahun yaitu sebesar 33,3%. Contoh yang tidak mengalami anemia sebagian besar mengalami menarche pada usia 13 tahun yaitu 42,0%. Rata-rata usia menarche siswi anemia yang menjadi contoh sebesar 12,7 ± 1,1 tahun lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata siswi non anemia 12,9 ± 0,8 tahun. Tidak 35 terdapat perbedaan (p=0,266) usia menarche siswi anemia dan non anemia. Karakteristik contoh seperti usia, jumlah uang saku, dan usia menarche disajikan dalam Tabel 8 sebagai berikut. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik siswi anemia dan non anemia Karakteristik contoh Kategori 12-14 tahun Usia (tahun) 15-17 tahun 18-21 tahun Total <Rp 6.000 Jumlah uang saku Rp 6.000-17.000 (Rp/hari) >Rp 17.000 Total 11 tahun 12 tahun Usia 13 tahun Menarche 14 tahun 15 tahun Total Anemia (n=30) n 1 28 1 30 1 24 5 30 4 10 9 6 1 30 % 3,3 93,4 3,3 100,0 3,3 80,0 16,7 100,0 13,3 33,3 30,0 20,0 3,3 100,0 Non anemia (n=50) N % 3 6,0 46 92,0 1 2,0 50 100,0 7 14,0 40 80,0 3 6,0 50 100,0 2 4,0 14 28,0 21 42,0 13 26,0 0 0,0 50 100,0 Total n 4 74 2 80 8 64 8 80 6 24 30 19 1 80 % 5,0 92,5 2,5 100,0 10,0 80,0 10,0 100,0 7,5 30,0 37,5 23,7 1,3 100,0 Contoh dalam penelitian ini berasal dari kelas 1,2 dan 3. Sebagian besar siswi yang menjadi contoh dalam penelitian ini berasal dari kelas dua yaitu pada siswi yang mengalami anemia sebesar 63,3% dan pada siswi non anemia sebesar 50,0%. Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p=0,197) kelas antara siswi anemia dan siswi non anemia. Status Gizi Tabel 9 menjelaskan bahwa siswi yang menjadi contoh, memiliki status gizi kurus, normal, overweight dan obes. Siswi yang mengalami anemia sebagian besar memiliki status gizi normal yaitu sebesar 90,0%. Siswi non anemia yang menjadi contoh sebagian besar memiliki status gizi normal yaitu sebesar 90,0%. Nilai rata-rata status gizi siswi anemia sebesar -0,9 ± 1,2 nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata siswi non anemia yaitu -0,3 ± 0,7. Berdasarkan hasil uji beda t-test, terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,004) status gizi siswi anemia dan non anemia. Status gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 9. 36 Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi pada siswi anemia dan non anemia Status gizi (IMT/U) Kurus (-3 ≤ z ≤-2) Normal (-2 ≤ z ≤ +1) Overweight (+1 ≤ z ≤ +2) Obes (z > +2) Total Anemia (n=30) n % 2 6,7 27 90,0 1 3,3 0 0,0 30 100,0 Non anemia (n=50) N % 3 6,0 45 90,0 2 4,0 0 0,0 50 100,0 Total N 5 72 3 0 80 % 6,3 90,0 3,7 0,0 100,0 Mahan dan Escott-Stump (2004) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat dan jelas perubahannya dari anak-anak menjadi tubuh orang dewasa. Status gizi remaja merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan gizi remaja tergantung pada asupan zat gizi, serta relatif dengan kebutuhan dan kemampuan tubuh untuk menggunakannya. Status anemia Status anemia pada siswi SMAN 1 Cibungbulang yaitu, sebesar 37,5 % mengalami anemia dan siswi yang tidak anemia 62,5%. Allen (1991) menetapkan bahwa, batas nilai kadar hemoglobin dalam darah yaitu dikatakan normal jika >12-15 g/dL, anemia ringan jika 10.0-11.9 g/dL, anemia sedang jika 7-10 g/dL dan anemia berat jika nilai hemoglobin dalam darah <7 g/dL. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pada Tabel 10 status anemia siswi yang menjadi contoh dalam penelitian ini dibagi kedalam empat kategori yaitu normal, anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat. Siswi yang menderita anemia ringan sebesar 36,3%, siswi yang mengalami anemia sedang 1,2% dan tidak ada siswi yang mengalami anemia berat, sedangkan sebesar 62,5% tidak mengalami anemia. Nilai rata-rata hemoglobin siswi anemia yaitu (11,3 ± 0,6 g/dL) dan pada siswi non anemia sebesar (13,3 ± 1,0 g/dL). Penjelasan mengenai status anemia siswi dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori status anemia Kategori anemia Normal Ringan Sedang Berat Total Batas nilai kadar Hb (g/dL) >12-15 g/dL 10,0-11,9 g/dL 7-10 g/dL <7 g/dL N 50 29 1 0 80 % 62,5 36,3 1,2 0,0 100,0 Menurut WHO (2001) prevalensi anemia > 20% menunjukkan masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa prevalensi anemia di SMAN 1 Cibungbulang cukup tinggi yaitu 30 siswi menderita anemia 37 (37,5%) ini berarti anemia masih menjadi masalah kesehatan dikalangan usia sekolah atau remaja. Pangan potensial pendorong penyerapan Fe Almatsier (2004) menyatakan bahwa protein terutama protein hewani dan vitamin C membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Pangan yang mengandung zat besi dalam jumlah yang cukup tinggi adalah hati, daging, makanan laut, buah kering dan sayuran hijau. Berdasarkan hasil recall 1x24 jam, dapat dilihat bahwa pangan pendorong penyerapan Fe paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia yaitu daging ayam, telur ayam dan sayuran. Daging ayam yang dikonsumsi terdiri dari daging ayam yang diolah dengan berbagai cara pengolahan, telur ayam yang dikonsumsi terdiri dari telur yang dikonsumsi dalam berbagai cara pengolahan, sayuran yang dikonsumsi terdiri dari berbagai jenis sayuran yang kemudian dikategorikan kedalam satu kelompok pangan sayuran. Jenis–jenis pangan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh siswi dan tergolong dalam pangan pendorong penyerapan Fe dapat dilihat pada Tabel 11 sebagai berikut. Tabel 11 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan pendorong penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia no Jenis Pangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Hati ayam Ampela ayam Daging ayam Daging sapi Daging kerbau Telur ayam Cumi Usus ayam Ikan air laut Ikan air tawar Sayuran Buah-buahan Total N 1 15 2 14 1 1 3 5 12 5 Anemia (n=30) % Rata-rata (g) 3,3 0,8 50,0 25,4 6,7 5,0 46,7 53,9 3,3 1,7 3,3 0,7 10,0 3,6 16,7 8,1 40,0 30,9 16,7 22,0 152,1 N 1 23 5 1 23 1 5 9 26 10 Non anemia (n=50) % Rata-rata (g) 2,0 0,5 46,0 22,9 10,0 6,0 2,0 1,0 46,0 52,3 2,0 2,0 10,0 6,4 18,0 10,5 52,0 43,7 20,0 85,0 230,3 Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa sebesar 50,0% siswi anemia mengkonsumsi daging ayam dengan rata-rata berat konsumsi pangan sebesar 25,4 ± 22,2 g. Sebesar 40% contoh mengkonsumisi sayuran dengan rata-rata pangan yang dikonsumsi sebesar 30,9 ± 49,5 g. Siswi non anemia sebagian besar mengonsumsi sayuran 52,0% dengan rata-rata konsumsi pangan sebesar 43,7 g dan 46,0% mengkonsumsi telur ayam dengan rata-rata konsumsi sebesar 52,3 g. Berdasarkan uji beda t-test tidak terdapat perbedaan (p=0,964) antara 38 siswi anemia dan siswi non anemia yang mengkonsumsi pangan yang berpotensial sebagai pendorong penyerapan Fe. Pangan potensial penghambat penyerapan Fe Karyadi dan Muhilal (1995) menyatakan bahwa zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain tanin dan kalsium yang terdapat dalam teh, kopi, coklat, oregano dan susu. Tingkat keasaman lambung, faktor intrinsik dan kebutuhan tubuh dapat menjadi faktor penghambat penyerapan Fe dalam tubuh. Tabel 12 menunjukkan bahwa pangan potensial penghambat penyerapan zat besi yang dikonsumsi oleh contoh antara lain : kopi, teh manis, susu dan cokelat. Jenis kopi yang dikonsumsi berupa kopi serbuk yang telah di larutkan dalam air, teh manis yang dikonsumsi contoh terdiri dari berbagai macam jenis dan ukuran, teh tersebut dikonsumsi dalam bentuk cairan. Susu yang dikonsumsi terdiri dari jenis serbuk, susu kental manis, dan susu segar cair yang telah dikonversikan kedalam ukuran gram bahan pangan. Cokelat yang dikonsumsi contoh terdiri dari cokelat pasta, wafer dan batangan. Lebih jelasnya berbagai pangan potensial penghambat penyerapan zat besi yang dikonsumsi oleh contoh dapat dilihat pada Lampiran 2. Cokelat merupakan pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia sebesar 26,7% dengan rata-rata konsumsi sebesar 6,6 g dan pada siswi non anemia, pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi yaitu teh manis sebesar 28,0% dengan rata-rata konsumsi 47,8 g. Kalsium dalam susu dapat menjadi salah satu penyebab terhambatnya penyerapan zat besi, sebesar 20,0% siswi anemia mengkonsumsi susu dengan rata-rata konsumsi 37,6 g. Sebesar 14,0% siswi non anemia mengkonsumsi susu dengan rata-rata konsumsi 28,2 g. Rata-rata Ca susu yang dikonsumsi pada siswi anemia yaitu sebesar 593,8 ± 89,4 mg nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata Ca susu yang dikonsumsi pada remaja non anemia yaitu sebesar 300,6 ± 2870,6 mg. Berdasarkan hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p=0,345) antara siswi anemia dan siswi non anemia yang mengkonsumsi pangan yang berpotensial sebagai penghambat penyerapan Fe. Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh siswi dan tergolong dalam pangan yang menjadi penghambat penyerapan Fe dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut. 39 Tabel 12 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan penghambat penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia Bahan Makanan Kopi Teh manis Susu Cokelat Total n 0 7 6 8 Anemia (n=30) % Rata-rata (g) 0,0 0,0 23,3 56,8 20,0 37,6 26,7 6,6 101,0 N 1 14 7 13 Non anemia (n=50) % Rata-rata (g) 2,0 0,6 28,0 47,8 14,0 28,2 26,0 9,1 85,7 Kopi dapat menurunkan penyerapan besi bila dikonsumsi setelah makan sebesar 39 persen karena kopi mengandung zat polifenol yang dapat mengikat besi (Morck et al 1983). Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi juga menghambat absorbsi besi. Diet yang banyak mengandung makanan tinggi tanin, akan menurun kan absorpsi zat besi sekitar 1-2 persen (UNICEF 1998). Konsumsi Pangan Sumber Fe Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa daging ayam merupakan pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi siswi anemia yaitu sebesar 50,0% dengan rata-rata Fe sebesar 0,6 mg dan pangan sumber non heme paling banyak dikonsumsi adalah serealia seperti nasi, bubur ayam, bihun dan mie sebesar 100% dengan rata-rata Fe 5,2 mg. Pada siswi non anemia serealia seperti nasi, mie, binun dan bubur merupakan pangan sumber non heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu sebesar 100% dengan rata-rata Fe 5,6 mg dan pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu telur ayam ayam sebesar 46,0% dengan rata-rata Fe sebesar 2,6 mg. Achadi (2007) menyatakan bahwa sumber utama Fe adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati dan daging, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau. Pangan hewani relatif lebih tinggi tingkat absorpsinya yaitu 20-30 persen dibandingkan pangan nabati hanya 1-7 persen. Hal tersebut karena Fe dalam ferri ketika akan diabsorpsi harus direduksi dahulu menjadi bentuk ferro. Hasil analisis konsumsi pangan hewani dari data Susenas (1995) menunjukkan bahwa lebih dari 50% rumah tangga Indonesia sangat jarang mengkonsumsi daging. Rendahnya frekuensi daging dan buah segar pada rumah tangga Indonesia menyebabkan risiko kekurangan zat besi lebih tinggi karena penyerapan besi dari sayuran tanpa heme dari daging dan tanpa vitamin C akan sangat rendah (Prihatini dkk 2009). 40 Konsumsi pangan sumber Fe contoh terdiri dari jenis pangan heme dan pangan non heme. Pangan heme terdiri dari pangan hewani beserta olahannya, sementara pangan non heme terdiri dari kelompok pangan sayuran, buahbuahan, serealia dan olahan nya serta kacang-kacangan. Adapun jenis-jenis bahan pangan yang termasuk dalam kelompok jenis non heme seperti sayuran, buah-buahan, serealia dan kacang-kacangan yang dikonsumsi contoh dapat dilihat pada Lampiran 3. Pangan sumber heme dan non heme yang dikonsumsi contoh disajikan pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13 Rata-rata Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia Bahan Pangan Heme Hati ayam Ampela ayam Daging ayam Daging sapi Daging kerbau Telur ayam Cumi Usus ayam Ikan air laut Ikan air tawar Susu Rata-rata ± SD Non heme Sayuran Buah-buahan Serealia Kacangkacangan Rata-rata ± SD Pertumbuhan N Anemia (n=30) RataRata-rata % rata Fe (mg) (g) n Non anemia (n=50) RataRata-rata % rata Fe (mg) (g) 1 15 2 14 1 1 3 5 6 3,3 50,0 6,7 46,7 3,3 3,3 10,0 16,7 20,0 0,8 25,4 5,0 53,9 1,7 0,7 3,6 8,1 37,6 0,8 0,6 0,1 2,6 0,0 0,0 0,1 0,6 0,7 5,9±7,5 1 23 5 1 23 1 5 9 7 2,0 46,0 10,0 2,0 46,0 2,0 10,0 18,0 14,0 0,5 22,9 6,0 1,0 52,3 2,0 6,4 10,5 28,2 0,0 0,5 0,1 0,0 2,6 0,1 0,3 0,5 0,3 6,0±7,9 12 5 30 40,0 16,7 100,0 30,9 22,0 343,3 1,8 0,1 5,2 26 10 50 52,0 20,0 100,0 43,7 85,0 347,2 2,3 0,4 5,6 17 56,7 10,7 0,8 22 44,0 22,8 1,4 9,8±10,4 badan yang cepat selama 7,9±9,0 remaja membutuhkan ketersediaan makanan sumber zat besi yang berlimpah (Spear 2004). Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang karena sebagian besar penduduknya memenuhi asupan zat besi dari produk nabati (Backstrand et al 2002). Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa rata-rata dari total asupan zat besi yang berasal dari pangan sumber heme siswi anemia dan siswi non anemia sebesar 5,9 ± 7,7 mg. Pangan sumber non heme memiliki rata-rata dari total asupan zat besi siswi anemia dan siswi non anemia sebesar 8,6 ± 9,5 mg. Achadi (2007) mengatakan bahwa bahan pangan kelompok lauk pauk sering digunakan sebagai sumber protein utama yang berfungsi sebagai zat pembangun. Sayuran dan buah-buahan termasuk dalam bahan pangan nabati. 41 Buah dan sayuran bermanfaat sebagai sumber vitamin dan mineral, selain itu vitamin dan mineral pada buah dan sayuran memiliki fungsi sebagai zat pengatur dan membantu preoses metabolisme tubuh. Recall 1x24 jam digunakan untuk melihat asupan energi dan zat gizi contoh dalam satu hari, adapun contoh hasil recall 1x24 jam yang terdiri dari bahan pangan yang dikonsumsi contoh beserta gram bahan pangan yang dikonsumsi pada siswi anemia dan non anemia disajikan pada Tabel 14 sebagai berikut. Tabel 14 Contoh konsumsi pangan pada siswi anemia Anemia (n=30) Banyaknya Bahan makanan Waktu Malam Pagi Selingan Siang Mie goreng Nasi Sayur sup Cokelat Teh manis Siomay Komposisi Fe (mg) Besi tersedia Jumlah URT Berat (g) 1 bks 85 4,5 0,14 1 ctg 86 0,4 0,01 Wortel 2 sdk syr 80 0,0 0,00 Choki-choki 3 bks 24 0,1 0,00 Teh botol 1 btl 250 16,0 0,48 Siomay TOTAL 1 biji 111 0,0 21,0 0,0 0,63 Indomie goreng Nasi putih (mg) Tabel diatas menunjukkan bahwa contoh anemia memiliki frekuensi makan dalam satu hari sebanyak empat kali yang terdiri dari tiga kali makan utama dan satu kali selingan. Jenis pangan yang dikonsumsi berupa makanan pokok (nasi dan mie), sayuran wortel, makanan jajanan seperti siomay dan makanan berpotensi sebagai penghambat penyerapan zat besi (cokelat dan teh manis). Contoh tidak mengkonsumsi pangan hewani. Nilai besi terserap salah satu contoh anemia yang diperoleh berdasarkan pangan yang dikonsumsi dalam satu hari adalah sebesar 0,63 mg dengan pembulatan satu angka dibelakang koma sehingga menjadi 0,7 mg dan total asupan zat besi sebesar 21,0 mg. Asupan zat besi sebesar 21,0 mg menunjukkan bahwa contoh sudah cukup memenuhi asupan zat besi berdasarkan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk zat besi yaitu sebesar 19-25 mg per hari. Nilai zat besi yang terserap sebesar 0,6 mg menunjukkan bahwa tidak semua asupan zat besi mampu diserap oleh tubuh sehingga bila dibandingkan dengan anjuran jumlah besi yang harus dikonsumsi berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh yaitu 1,5 mg, nilai ini masih kurang akan asupan zat besi yang sesuai. 42 Tabel 15 Contoh konsumsi pangan pada siswi non anemia Non anemia (n=50) Banyaknya Waktu Malam Komposisi Nasi campur Nasi putih Nasi campur Pagi Selingan Siang Bahan makanan Cokelat Teh manis Mie ayam Fe (mg) Besi tersedia Jumlah URT Berat (g) 1 ctg 86 0,4 0,01 Telur dadar Tahu goreng Tempe goreng 0,5 btr 30 0,8 0,09 2 ptg 50 0,3 0,01 3 ptg 75 7,9 0,24 Kerupuk 10 bh 80 0,0 0,00 Nasi putih Telur dadar Tempe goreng Chocolatos 1 1 ctg btr 86 60 0,4 1,5 0,01 0,17 3 bh 75 7,9 0,24 2 bks 30 0,0 0,00 Teh manis 1 gls 216 0,0 0,00 Mie ayam TOTAL 1 mangkok 262 19,7 38,9 0,59 1,36 (mg) Tabel 15 diatas menunjukkan bahwa siswi non anemia memiliki frekuensi makan dalam satu hari sebanyak empat kali yang terdiri dari tiga kali makan utama dan satu kali selingan. Jenis pangan yang dikonsumsi berupa makanan pokok nasi putih, pangan nabati (tahu dan tempe goreng), pangan hewani telur ayam, makanan jajanan seperti mie ayam, kerupuk dan makanan berpotensi sebagai penghambat penyerapan zat besi (cokelat dan teh manis). Contoh tidak mengkonsumsi sayuran. Nilai besi terserap salah satu siswi non anemia yang diperoleh berdasarkan pangan yang dikonsumsi dalam satu hari adalah sebesar 1,36 mg dengan pembulatan satu angka dibelakang koma sehingga menjadi 1,4 mg dengan total asupan zat besi sebesar 38,9 mg. Asupan zat besi sebesar 38,9 mg menunjukkan bahwa contoh sudah memenuhi asupan zat besi sesuai dengan angka kecukupan zat gizi khususnya zat besi yang dianjurkan yaitu sebesar 19-25 mg per hari. Nilai zat besi yang terserap sebesar 1,4 mg menunjukkan bahwa contoh sudah cukup akan konsumsi zat besi yang dilihat berdasarkan kehilangan zat besi dalam tubuh per hari yaitu 1,5 mg. Food frequncy questionare merupakan metode lain yang digunakan dalam penelitian ini selain recall 1x24 jam. Metode ini bertujuan untuk melihat gambaran secara umum mengenai bahan pangan apa saja yang dikonsumsi contoh dalam satu bulan, hasil tersebut kemudian di sajikan secara deskriptif, 43 adapun hasil dari rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan metode food frequncy questionare disajikan dalam Tabel 16 berikut. Tabel 16 Rata-rata frekunsi konsumsi pangan selama satu minggu pada siswi anemia dan non anemia Nama makanan/minuman (Anemia n=30) Rata-rata frekuensi (x/minggu) Non anemia (n=50) Rata-rata frekuensi (x/minggu) 15,8 2,1 4,1 0,0 16,1 0,8 3,2 0,0 2,7 3,4 0,2 0,0 0,0 0,5 0,1 3,5 3,5 0,5 0,0 0,1 0,1 0,2 0,1 2,5 0,6 1,7 3,6 0,1 3,0 0,6 1,8 2,3 0,0 0,0 1,6 0,4 3,5 0,3 1,6 0,8 0,5 1,1 0,5 1,0 3,3 0,3 0,1 0,2 0,5 0,5 1,0 0,2 1,1 0,1 0,0 2,8 0,6 0,4 0,2 0,2 0,7 1,2 0,6 1,0 0,0 0,3 Serealia : Nasi Roti Mie Bihun Kacang-kacangan : Tahu Tempe Oncom Tauco Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Daging : Kambing Ayam Sapi Ikan Telur Kerbau Susu : Bubuk SKM Segar Yoghurt Es krim Minuman : Teh Kopi Soft Drink Minuman sereal Minuman isotonik Juice Sari buah Es campur Minuman jelly Es buah Pop ice 44 Tabel 16. Lanjutan Nama makanan/minuman Suplemen/Herbal : Multivitamin Vitamin C hisap Energi drink Vegeta Jamu Minuman penyegar Buah : Pisang Pepaya Jeruk Nanas Jambu Mangga Sayur : Bayam Kangkung Sawi Caisin Wortel Daun singkong Makanan jajanan: Gorengan Chiki Biskuit Cokelat Anemia (n=30) Frekuensi (x/minggu) Non anemia (n=50) Frekuensi (x/minggu) 0,1 0,7 0,1 0,1 0,0 0,4 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,9 0,1 4,2 0,0 1,8 2,8 1,1` 0,2 2,9 0,0 1,5 2,2 1,5 2,0 0,6 0,3 2,2 0,1 1,8 1,3 1,0 0,4 1,1 0,6 4,3 1,1 2,0 3,0 2,3 1,3 1,4 2,6 Tabel diatas menjelaskan rata-rata frekuensi pangan yang paling sering dikonsumsi oleh siswi anemia dalam satu minggu. Kelompok pangan yang dikonsumsi terdiri dari kelompok serealia, kacang-kacangan, daging, susu, minuman, suplemen/herbal, buah, sayur dan makanan jajanan. Adapun jenis pangannya yaitu nasi sebanyak 15,8 kali, tempe sebanyak 3,4 kali, telur ayam sebanyak 3,6 kali. Susu segar sebanyak 3,5 kali, teh sebanyak 3,3 kali, vitamin C hisap sebanyak 0,7 kali. Jeruk sebanyak 4,2 kali, wortel sebanyak 2,2 kali dan gorengan sebanyak 4,3 kali. Rata-rata frekuensi pangan yang paling sering dikonsumsi oleh siswi non anemia dalam satu minggu antara lain nasi sebanyak 16,1 kali, tempe sebanyak 3,5 kali, daging ayam sebanyak 3,0 kali. Susu segar sebanyak 1,1 kali, teh sebanyak 2,8 kali, vitamin C hisap sebanyak 0,2 kali. Jeruk sebanyak 2,9 kali, bayam sebanyak 1,8 kali dan cokelat sebanyak 2,6 kali. Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu bulan dapat dilihat pada Lampiran 4. 45 Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Rata-rata kecukupan energi pada siswi anemia sebesar 1848 ± 265 kkal/hari dan pada siswi non anemia sebesar 1934 ± 229 kkal/hari. Kecukupan protein pada siswi anemia rata-rata sebesar 50,8 ± 9,2 g/hari dan pada siswi non anemia sebesar 53,0 ± 9,0 g/hari. Kecukupan vitamin A pada siswi anemia sebesar 451 ± 62 RE/hari lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan vitamin A pada siswi non anemia sebesar 473 ± 51 RE/hari. Kecukupan vitamin C siswi anemia lebih rendah dibandingkan dengan siswi non anemia, pada siswi anemia rata-rata kecukupan vitamin C sebesar 54,2 ± 7,5 mg/hari dan pada siswi non anemia sebesar 56,8 ± 6,1 mg/hari. Pada siswi anemia kecukupan Fe lebih rendah yaitu 20,0 ± 3,6 mg/hari dibandingkan dengan siswi non anemia yaitu 21,1 ± 3,0 mg/hari. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan energi dan zat-zat gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktifitas fisik. Oleh karena itu, perlu disusun angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai untuk rata-rata penduduk yang hidup di daerah tertentu. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan digunakan sebagai standar guna mencapai status gizi optimal bagi penduduk (Almatsier 2004). Tingkat kecukupan energi dan zat gizi remaja anemia dan non anemia dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswi anemia dan non anemia Energi dan Zat Gizi Energi Rata-rata SD Protein Rata-rata SD Vitamin A Rata-rata SD Vitamin C Rata-rata SD Zat Besi Rata-rata SD Anemia (n=30) Tk kec Asupan (%) Non anemia (n=50) Tk kec Asupan (%) Total (n=80) Tk kec Asupan (%) 1657 561 89,9 27,4 1671 701 87,8 39,1 1665 649 88,6 35,0 89,3 41,8 182,5 92,7 85,9 55,0 169,0 114,2 87,2 50,2 174,0 106,2 188 173 41,8 36,7 275 354 60,4 82,4 242 300 53,4 69,2 8,1 12,6 15,1 24,7 15,0 31,3 26,6 54,0 12,4 26,0 22,3 45,4 22,7 10,9 114,9 59,7 21,5 12,9 104,8 66,6 22,0 12,1 108,6 63,9 46 Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat badan yang ideal. Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau kegemukan (Almatsier 2004). Tingkat kecukupan energi dan protein contoh disajikan dalam tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada siswi anemia dan non anemia Tingkat kecukupan Anemia (n=30) N % Non anemia (n=50) N % Total (n=80) n % Energi : Defisit tingkat Berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Kelebihan Total Protein : Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Kelebihan Total 9 4 0 13 4 30 30,0 13,3 0,0 43,3 13,3 100,0 19 11 1 10 9 50 38,0 22,0 2,0 20,0 18,0 100,0 28 15 1 23 13 80 35,0 18,8 1,2 28,8 16,2 100,0 4 2 1 3 20 30 13,3 6,7 3,3 10,0 66,7 100,0 11 1 5 5 28 50 22,0 2,0 10,0 10,0 56,0 100,0 15 3 6 8 48 80 18,8 3,7 7,5 10,0 60,0 100,0 Tabel diatas menunjukkan bahwa siswi yang mengalami anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan energi normal yaitu sebesar 43,3%, dan pada siswi non anemia sebagian besar tergolong dalam defisit energi tingkat berat 38,0%. Tingkat kecukupan energi siswi anemia sebesar 89% nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi siswi non anemia sebesar 87%. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi (p=0,778) antara siswi anemia dan siswi non anemia. Tingkat kecukupan protein pada remaja anemia dan tidak anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan berlebih. Sebesar 66,7% terjadi pada siswi anemia dan sebesar 56,0% pada siswi non anemia. Tingkat kecukupan protein siswi anemia sebesar 182,5% sedangkan tingkat kecukupan protein siswi non anemia sebesar 169,0%. Tidak terdapat perbedaan (p=0,564) tingkat kecukupan protein antara siswi anemia dan siswi non anemia. 47 Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah lima tahun (balita). Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan energy-protein malnutrition/EPM atau kurang energi protein/KEP atau kurang kalori-protein/KKP. Sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia (Almatsier 2004). Kurangnya konsumsi pangan siswa menyebabkan konsumsi energi dan protein berkurang, sehingga tingkat kecukupannya defisit. Siswa perlu meningkatkan konsumsi pangan yang tinggi energi dan protein. Fungsi protein antara lain untuk pertumbuhan, jika konsumsi protein rendah maka pertumbuhan akan terhambat dan antibodi kurang terbentuk sehingga rentan terhadap sakit. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada siswi anemia dan non anemia termasuk pada kategori kurang. Tabel tingkat kecukupan vitamin A menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A terjadi pada siswi yang mengalami anemia sebesar 76,7%, dan siswi non anemia sebesar 78,0%. Tingkat kecukupan vitamin A siswi anemia sebesar 41% lebih rendah dibandingkan dengan nilai tingkat kecukupan siswi non anemia sebesar 60%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,878) tingkat kecukupan vitamin A siswi anemia dan non anemia. Tingkat kecukupan vitamin A tergantung dari konsumsi pangan sumber vitamin A. Vitamin A selain berfungsi untuk kesehatan mata, berperan juga untuk pertumbuhan dan imunitas. Diperkirakan pada suatu waktu sebanyak 3 juta anak-anak buta karena kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pernapasan dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan. Konsumsi vitamin A yang cukup dapat mencegah terjadinya penyakit atau dampak dari kekurangan vitamin A. Makanan sumber vitamin A yang banyak terdapat dan dikonsumsi masyarakat seperti hati, susu, telur, wortel, mangga serta sayur berwarna hijau tua seperti daun pepaya (Almatsier 2004). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel 19 berikut. 48 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral pada siswi anemia dan non anemia Tingkat kecukupan Vitamin A Kurang Cukup Total Vitamin C Kurang Cukup Total Zat Besi (Fe) Kurang Cukup Total Anemia (n=30) N % Non anemia (n=50) N % Total (n=80) n % 23 7 30 76,7 23,3 100,0 39 11 50 78,0 22,0 100,0 62 18 80 77,5 22,5 100,0 29 1 30 96,7 3,3 100,0 46 4 50 92,0 8,0 100,0 75 5 80 93,8 6,2 100,0 6 24 30 20,0 80,0 100,0 19 31 50 38,0 62,0 100,0 25 55 80 31,3 68,7 100,0 Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar siswi anemia dan tidak anemia mengalami kekurangan vitamin C. Siswi anemia sebesar 96,7% dan sebesar 92,0% terjadi pada siswi non anemia. Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C siswi anemia sebesar 15,1% sedangkan tingkat kecukupan vitamin C siswi non anemia sebesar 26,6%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,411) tingkat kecukupan vitamin C pada siswi yang mengalami anemia dan non anemia. Almatsier (2004) mengatakan bahwa kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan sariawan, luka sulit sembuh, dan anemia, sehingga siswa perlu meningkatkan asupan vitamin C. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat didalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat didalam sayuran daun-daunan dan jenis kol. Skorbut merupakan akibat dari kekurangan mengkonsumsi vitamin C dalam waktu yang lama. Tanda awal dari skorbut adalah lelah, lemah, nafas pendek, kejang otot dan kurang nafsu makan. Kelebihan vitamin C yang berasal dari makanan tidak menimbulkan gejala (Almatsier 2004). Tingkat kecukupan zat besi pada contoh baik yang mengalami anemia maupun non anemia sebagian besar tergolong dalam kategori cukup. Sebesar 80,0% pada siswi anemia dan sebesar 62,0% pada siswi non anemia. Tingkat kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia sekitar 114,9% lebih tinggi daripada siswi non anemia yaitu sebesar 104,8%. Hasil uji beda t-test menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,487) tingkat kecukupan zat besi pada remaja yang mengalami anemia dan non anemia. WKNPG (2004) menyatakan bahwa kecukupan zat besi (Fe) untuk wanita usia 49 13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-19 tahun sebesar 25 mg. Tingkat kecukupan Fe siswi didapat dengan cara melakukan wawancara (recall 1x24 jam) mengenai makanan yang dikonsumsi siswi dalam satu hari. Hasil recall yang dilakukan terhadap siswi dibagi dalam dua kategori tingkat kecukupan zat besi yaitu cukup dan kurang. Bioavailabilitas Fe konsumsi pangan Monsen et al (1978) menyebutkan bahwa nilai bioavailabilitas pangan hewani sebesar 3% jika vitamin C per bahan pangan yang dikonsumsi mencapai <25 mg. Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 5% jika vitamin C per bahan pangan mencapai 25-75 mg. Dan bioavailabilitas Fe sebesar 8% jika vitamin C per bahan pangan yang dikonsumsi mencapai > 75 mg. Penyerapan zat besi akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan sumber vitamin C. Berdasarkan penjelasan tersebut maka, pangan yang dikonsumsi contoh dalam satu hari dikonversikan kedalam persentase nilai bioavailabilitas sesuai dengan nilai yang dimiliki oleh masing-masing pangan untuk kemudian dihitung total besi terserapnya (mg). WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5 mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002). Tabel 20 menjelaskan bahwa, rata-rata besi terserap pada siswi anemia sebesar (1,4 ± 0,8 mg) dan rata-rata besi terserap untuk siswi non anemia sebesar (1,2 ± 0,9 mg). Berdasarkan penjelasan diatas dapat dilihat bahwa jumlah besi yang dikonsumsi sudah sesuai dengan kebutuhan zat besi dalam tubuh sesuai dengan besi yang hilang didalam tubuh per hari yaitu sebesar 1,5 mg pada wanita. Uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,331) besi terserap antara siswi anemia dan siswi non anemia. Tabel 20 berikut ini menunjukkan rata-rata besi terserap pangan yang dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia di SMAN 1 Cibungbulang. Tabel 20 Rata-rata besi terserap pada siswi anemia dan non anemia Besi terserap (mg) Rata-rata ± SD Maksimum Minimum Anemia (n=30) 1,4 ± 0,8 3,3 0,1 Non anemia (n=50) 1,2 ± 0,9 3,0 0,2 50 Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p=0,433) antara besi terserap dengan kejadian anemia pada remaja. Hal ini diduga karena selain konsumsi pangan jenis heme dan non heme, pangan yang menjadi pemicu sebagai pendorong dan penghambat zat besi sangat berpengaruh terhadap status anemia. Selain itu diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja seperti pola konsumsi pangan yang kurang beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (cacing tambang) (UNICEF 1998). Nilai biologis vitamin dan mineral pangan menggambarkan daya cerna, daya serap, distribusi dan masuknya vitamin dan mineral pangan ke dalam sel untuk digunakan sebagai kofaktor enzim, bagian dari hormon atau bagian struktural sel. Evaluasi nilai biologis dilakukan untuk menentukan jumlah vitamin dan mineral yang terkandung dalam bahan pangan yang dapat diserap dan digunakan oleh sel untuk keperluan metabolisme sel (Palupi et al 2010). 51 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Contoh adalah siswi SMAN 1 Cibungbulang kelas 1,2 dan 3. kisaran umur contoh yaitu 14 sampai 18 tahun. Contoh mengalami usia menarche pada usia 11 sampai 15 tahun. Rata-rata uang saku siswi anemia (Rp 11866 ± 4819) lebih tinggi dibandingkan dengan siswi non anemia (Rp 10730 ± 6843). Status gizi siswi yang menjadi contoh sebesar 90,0% adalah normal, 6,3% memiliki status gizi kurus dan 3,7% memiliki status gizi overweight. Rata-rata asupan zat besi pada siswi anemia sebesar 22,7 ± 10,9 mg dan pada siswi non anemia sebesar 21,5 ± 12,9 mg. Tingkat kecukupan zat besi siswi anemia sebesar 114,9 ± 59,7 mg dan pada siswi non anemia sebesar 104,8 ± 66,6 mg. Rata-rata besi terserap pada siswi anemia sebesar (1,4 ± 0,8 mg) dan rata-rata besi terserap untuk siswi non anemia sebesar (1,2 ± 0,9 mg). Uji beda ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,331) besi terserap antara siswi anemia dan siswi non anemia. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,433) antara besi terserap dengan kejadian anemia pada remaja. Saran Anemia terjadi karena berbagai faktor diantaranya kondisi tubuh, gaya hidup, serta pola konsumsi pangan yang kurang baik. Konsumsi pangan yang kurang zat besi dikarenakan masyarakat kurang faham akan manfaat zat besi bagi tubuh sehingga perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai kejadian anemia dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Analisis mengenai kejadian anemia, asupan zat besi konsumsi pangan beserta berbagai macam faktor yang mempengaruhinya masih perlu di pertajam oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas zat besi konsumsi pangan dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. 52 DAFTAR PUSTAKA Achadi LE. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Affandi B, Danukusumo D. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Allen LH, Gillespire SR. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. UN. ACC/SCN.ADB. Almatsier S. 1989. Pengaruh Pendekatan Belajar Status Anemia Gizi Besi terhadap Prestasi Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Jakarta: IKIP Jakarta. _________ . 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Anderson C. 2000. Petunjuk Modern Kepada Kesejahteraan Indonesia. Bandung: Penerbit Publishing House. Arisman MB. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Buku Kedokteran. EGC. Bakta IM. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Interna Publishing. Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press. De Maeyer EM. 1995. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Jakarta : Widya Medika. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang dewasa. Jakarta : Depkes. _ . 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Subur. Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. _________ . 2001. Pedoman praktis memantau Status Gizi Orang dewasa. Jakarta : Depkes. _________ . 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta : Depkes. _________ . 2005. Pedoman Umum Kebutuhan Gizi untuk Masa Tumbuh Kembang Remaja Putri. Jakarta : Depkes. _________ . 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 53 [FAO/WHO] Food and Agriculture Organization. 2001.Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome: Food & Nutrition Division. FAO. Ganong WF. 2001. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Gibson. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Oxford : Oxford University Perss. Hardinsyah, Briawan D. 2000. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. _________ , Martianto D. 1988. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta : Wirasari. Hurlock EB. 1997. Psikologi, perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Husaini M.A. 1989. Study Nutritional Anemia, An Assessment of Information. Compilation for Supporting and Formulating National Policy and Program. Jakarta: Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jelliffe DB. And E.F. Patrice Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Karyadi D & Muhilal. 1995. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia. Khumaidi M. 1997. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Jakarta : Gunung Mulia. Kirkwood BR. 1988. Essentials of medical statistics. Publication. London. Page: 138-146. Blackwell Scientific Latunde D, Neale. 1986. Availability of iron from foods. Journal of Food Technology (1986) 21, 255-268. http://www.ifst.org. [18 jan 2011]. Mahan LK, Stump E. 2004. Krause’s : Food, Nutrition and Diet Therapy 11 USA: Elsevier. th Ed. Mandleco LB. 2004. Growth and Development Handbook Newborn Through Adolescent. Canada: Thomson Elmar Learning. Moehji, Sjahmien. 2000. Ilmu Gizi 1 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : PT Bhratara Niaga Media. Monsen ER et al. 1978. Estimation of available dietary iron. Am J Clin Nutr January. Morck TA, Lynch SR, Cook JD. 1983. Inhibition on food iron absoption by coffee. Am J Clin Nutr 1983;37:416-420. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metoda kimia biokimia dan biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. 54 Napitu N. 1994. Perilaku jajan di kalangan siswa di kota dan di pinggiran kota DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Palupi NS, Zakaria FR, Prangdimurti E. 2010. Evaluasi nilai biologis vitamin dan mineral. http://xa.yimg.com/kq/groups/20875559/1523764269. [20 jan 2011]. Pardede N. 2002. Masa Remaja Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak edisi ke–1. Jakarta : Sagung Seto. Path FE. 2004 . Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC. Permaesih D, Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171. Price et al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses–Proses Penyakit edisi ke–6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing Pada Ibu Hamil. [Skripsi]. UNSU : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Reddy et al. 2000. Estimation of non heme iron bioavailability from meal composition. American society for clinical nutrition USA. Roosita K, Uripi V, Nasoetion A. 2006. Pengembangan Modul E-Learning Fisiologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Cet.4. Jakarta : Dian Rakyat. Soekirman. 2004. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarata : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Soemantri AG. 1985. Hubungan Kekurangan Zat Besi dengan Konsentrasi dan Prestasi Belajar. [Tesis]. Semarang: UNDIP. Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: CV. Sagung Seto Suandi KG. 2004 . Obesitas Pada Remaja. Jakarta : CV Sagung Seto. Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Sutaryo. 2004. Aspek Klinis Anemia Defisiensi Besi. Makalah Seminar Anemia Defisiensi Besi Disampaikan pada tanggal 29 Mei 2004. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hal: 14-28. [UNICEF]. 1998. Preventing Iron Deficiency in Woman and Children : Background and consensus on key technical issues and resources for advocacy, planning, and Implementing National Program. Canada : International Nutritional Foundation (INF). 55 [WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World World Health Organization. _____________________________. 2007. BMI for Age (5-19 years). http://www.who.int/growthref/who2007bmi-for-age/en/index.html (11 Maret 2011). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi [WNPG] VIII. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta. Direktorat Standarisasi Produk Pangan. Wiknjosastro. 1999. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus Agriwidya. Yatim F. 2003. Talasemia, Leukimia dan Anemia. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Yuanita L. 2008. Pengaruh derajat keasaman dan lama perebusan terhadap ketersediaan hayati Fe : pengikatan Fe oleh makromolekul serat pangan kacang panjang (Vigna sesqui pedalis (L) Fruhw). http://www.adln.lib.unair.ac.id. [26 jan 2011]. 56 LAMPIRAN 57 Lampiran 1. Pangan pendorong penyerapan Fe yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia Anemia (n=30) Kelompok daging ayam - Kwetiaw ayam - Ayam goreng - Ayam balado - Sop ayam - Sate ayam Kelompok sayuran - Wortel - Kacang panjang - Daun singkong - Kangkung - Jagung - Kentang Non anemia (n=50) Kelompok telur ayam - Telur ceplok - Telur dadar - Bakso telur - Telur rebus Kelompok sayuran - Toge - Bayam - Sayur nagka - Kangkung - Sawi Lampiran 2. Pangan penghambat penyerapan Fe yang paling banyak dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia Anemia (n=30) Kopi Non anemia (n=50) Kopi Tidak ada yang mengkonsumsi kopi Susu Kopi susu Susu Susu kental manis Susu sapi Susu bubuk Teh Susu sapi Susu kental manis Susu ultra Teh Teh gelas Teh manis Teh botol Mountea Cokelat Gery pasta Chunky bar Beng-beng Choki-choki Teh gelas Teh jus Teh botol Teh sisiri Mountea Cokelat Chocolatos Astor Beng-beng Roti coklat Choki-choki 58 Lampiran 3. Jenis pangan sumber non heme yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia Jenis pangan yang dikonsumsi Sayuran Buah-buahan Serealia Kacang-kacangan Anemia (n=30) Sayur sop (wortel) Ketimun Tomat Wortel Kentang Kangkung Daun singkong Sawi Sayur gambas Sayur sop Sayur labu Jagung Selada Sayur asam Mangga Buah labu Nangka Kelapa Jeruk manis Mie Nasi Roti Bubur ayam Lontong Tempe Tahu Kacang kedelai Non anemia (n=50) Sayur asam Capcai (wortel) Bayam Kentang Sayur sop (wortel) Ketimun Kol Sayur sop Jagung Sayur nangka Sawi Kangkung Toge Mangga Semangka Jambu biji Jambu air Pisang Pepaya Salak Nasi Bihun Bubur ayam Mie Roti Tahu Tempe Kacang hijau Kacang kedelai 59 Lampiran 4. Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu bulan pada siswi anemia dan non anemia Nama makanan/minuman Serealia : Nasi Roti Mie Bihun Kacang-kacangan : Tahu Tempe Oncom Tauco Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Daging : Kambing Ayam Sapi Ikan Telur Kerbau Susu : Bubuk SKM Segar Yoghurt Es krim Minuman : Teh Kopi Soft Drink Minuman sereal Minuman isotonik Juice Sari buah Es campur Minuman jelly Es buah Pop ice (Anemia n=30) Rata-rata Rata-rata frekuensi frekuensi (x/bulan) (x/minggu) Non anemia (n=50) Rata-rata Rata-rata frekuensi frekuensi (x/bulan) (x/minggu) 63,3 8,4 16,5 0,1 15,8 2,1 4,1 0,0 64,4 3,1 12,6 0,1 16,1 0,8 3,2 0,0 10,9 13,6 0,9 0,0 0,0 1,8 0,4 2,7 3,4 0,2 0,0 0,0 0,5 0,1 13,8 14,0 2,0 0,0 0,4 0,4 0,6 3,5 3,5 0,5 0,0 0,1 0,1 0,2 0,4 9,9 2,2 6,8 14,5 0,0 0,1 2,5 0,6 1,7 3,6 0,3 11,9 2,2 7,0 9,3 0,1 3,0 0,6 1,8 2,3 0,0 0,1 0,0 6,4 1,7 14,0 1,1 6,4 1,6 0,4 3,5 0,3 1,6 3,0 1,8 4,5 2,1 3,8 0,8 0,5 1,1 0,5 1,0 13,1 1,3 0,2 0,7 1,9 2,1 3,8 0,9 4,3 0,4 0,0 3,3 0,3 0,1 0,2 0,5 0,5 1,0 0,2 1,1 0,1 0,0 11,3 2,3 1,5 0,8 0,9 2,8 4,6 2,2 3,9 0,0 1,1 2,8 0,6 0,4 0,2 0,2 0,7 1,2 0,6 1,0 0,0 0,3 60 Lampiran 4. Lanjutan Nama makanan/minuman Suplemen/Herbal : Multivitamin Vitamin C hisap Energi drink Vegeta Jamu Minuman penyegar Buah : Pisang Pepaya Jeruk Nanas Jambu Mangga Sayur : Bayam Kangkung Sawi Caisin Wortel Daun singkong Makanan jajanan: Gorengan Chiki Biskuit Cokelat Anemia (n=30) Rata-rata Rata-rata frekuensi frekuensi (x/bln) (x/minggu) Non anemia (n=50) Rata-rata Rata-rata frekuensi frekuensi (x/bln) (x/minggu) 0,2 2,7 0,3 0,3 0,0 1,6 0,1 0,7 0,1 0,1 0,0 0,4 0,9 0,9 0,2 0,4 0,2 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 3,7 0,4 16,8 0,0 7,2 11,1 0,9 0,1 4,2 0,0 1,8 2,8 4,3 0,6 11,4 0,0 5,9 8,9 1,1` 0,2 2,9 0,0 1,5 2,2 6,0 8,1 2,3 1,1 8,7 0,4 1,5 2,0 0,6 0,3 2,2 0,1 7,1 5,1 3,8 1,5 4,3 2,3 1,8 1,3 1,0 0,4 1,1 0,6 17,1 4,4 7,8 12,1 4,3 1,1 2,0 3,0 9,1 5,0 5,4 10,2 2,3 1,3 1,4 2,6