bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja

advertisement
BIOAVAILABILITAS BESI KONSUMSI PANGAN PADA REMAJA PUTRI
ANEMIA DAN NON ANEMIA
DINA MARDIYAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ABSTRACT
DINA MARDIYAH Assessment of iron bioavailability on anemic and non anemic high
school student of SMAN 1 Cibungbulang. Under direction of DODIK BRIAWAN and
CESILIA METI DWIRIANI
The objective of this research was to assess bioavailability of iron intake
among anemic and non anemic adolescent girls. The subjects were 80 high school
student of SMAN 1 Cibungbulang Bogor. The dietary assessment was applied
among 30 anemic and 50 non anemic student. The heme iron source student are 5.9
± 7.7 mg and from non heme iron source are 8.6 ± 9.5 mg. Iron bioavailability are 1.4
± 0.8 mg on anemic student and 1.2 ± 0.9 mg on non anemic student. The result of
Pearson test showed that there is no significant corelation (p>0,05) between iron
absorbed with adolescent anemic status.
Keywords: iron bioavailability, adolescent girls, anemia.
RINGKASAN
DINA MARDIYAH. Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri
Anemia dan Non Anemia. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan CESILIA METI
DWIRIANI
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghitung bioavailabilitas besi
konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia. Tujuan khususnya
adalah mengkaji karakteristik contoh (usia,kelas, uang saku, usia menarche), status
gizi contoh, faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi pangan,
mengkaji bioavailabilitas pangan sumber besi, serta menganalisis hubungan
bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada remaja putri dengan kejadian anemia.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Data yang
digunakan merupakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di
Sekolah untuk Peningkatan Prestasi Akademik siswa SMA (Briawan et al 2009).
SMA dipilih sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Penelitian ini dilakukan di
SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan
pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Desember 2009. Persyaratan SMA
sebagai lokasi penelitian adalah: 1) mempunyai jumlah pelajar wanita >50%, 2)
mayoritas berasal dari keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi rendah/sedang, 3)
mempunyai Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), 4) mempunyai komitmen untuk
peningkatan kesehatan siswa yang ditunjukkan oleh surat pernyataan dari kepala
sekolah.
Contoh dalam penelitian ini adalah siswi kelas 1 (satu), 2 (dua), dan 3 (tiga)
SMAN 1 Cibungbulang. Contoh berjumlah 80 orang. Contoh dipilih berdasarkan
kriteria yang meliputi remaja putri yang sudah menstruasi dan tidak memiliki riwayat
penyakit yang terkait dengan anemia (demam berdarah, malaria, sakit karena
kecelakaan atau perdarahan hebat, cacingan, talasemia serta sedang melakukan
transfusi darah).
Data sekunder yang didapatkan dikumpulkan dengan cara pengisian
kuesioner serta análisis laboratorium. Data karakteristik contoh berupa identitas
contoh seperti, tempat dan tanggal lahir contoh, kelas serta usia menarche
didapatkan dengan cara pengisian kuesioner. Data jumlah uang saku diperoleh
dengan menanyakan kepada contoh berapa jumlah uang saku yang diberikan oleh
orang tua dalam satu hari. Data status gizi contoh didapatkan dengan pengukuran
antropometri yaitu mengukur secara langsung BB dan TB contoh. Konsumsi pangan
didapatkan dari pengisian kuesioner berupa recall 1x24 jam yang dilakukan dengan
menanyakan jenis serta jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh
contoh selama 24 jam. Gambaran tentang bahan makanan yang dikonsumsi selama
satu bulan diperoleh melalui metode food frequency questionare. Status anemia
sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Pemeriksaan hemoglobin (Hb)
dilakukan dengan metode cyanmethemoglobin. Data yang diperoleh diolah dan
dianalisis secara statistik dan deskriptif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan
program SPSS versi 16.0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis
menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji beda menggunakan uji beda t.
Usia siswi yang menjadi contoh dalam penelitian yaitu berkisar antara 14
hingga 18 tahun dengan rata-rata 12,7 ± 1,1 tahun pada siswi anemia dan 12,9 ± 0,8
tahun pada siswi non anemia. Siswi dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari
kelas 2. Sebagian besar contoh memiliki uang saku sebesar Rp 6.000-Rp 17.000.
Rata-rata contoh dalam penelitian ini mengalami menarche pada usia 12-13 tahun.
Sebagian besar siswi yang menjadi contoh memiliki status gizi normal yaitu
sebesar 90% baik pada siswi yang mengalami anemia maupun siswi non anemia.
Status anemia contoh dalam penelitian ini 36,3% mengalami anemia ringan dan
1,2% mengalami anemia sedang.
Pangan potensial pendorong penyerapan Fe yang dikonsumsi contoh
berdasarkan hasil recall 1x24 jam, sebagian besar contoh anemia yaitu 50%
mengkonsumsi daging ayam sebagai pangan hewani dan sebesar 40%
mengkonsumsi sayuran. Pada contoh non anemia sebesar 52% siswi
mengkonsumsi sayuran dan sebesar 46% siswi mengkonsumsi telur ayam.
Cokelat merupakan pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi
oleh siswi anemia dengan rata-rata konsumsi sebesar 6,6 ± 4,8 gram dan pada siswi
non anemia pangan penghambat penyerapan zat besi yang paling banyak
dikonsumsi adalah teh manis yaitu sebesar 28% dengan rata-rata konsumsi sebesar
47,8 gram.
Daging ayam merupakan pangan sumber heme yang paling banyak
dikonsumsi siswi anemia yaitu sebesar 50,0% dengan total Fe sebesar 0,6 mg dan
pangan sumber non heme paling banyak dikonsumsi adalah serealia seperti nasi,
bubur ayam, bihun dan mie sebesar 100,0% dengan total Fe 5,2 mg. Pada siswi non
anemia kelompok serealia merupakan pangan sumber non heme yang paling
banyak dikonsumsi yaitu sebesar 100,0% dengan total Fe 5,6 mg dan pangan
sumber heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu telur ayam sebesar 46,0%
dengan total Fe sebesar 2,6 mg.
Rata-rata kecukupan energi pada siswi anemia sebesar 1848 ± 265 kkal/hari
dan pada siswi non anemia sebesar 1934 ± 229 kkal/hari. Siswi yang mengalami
anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan energi normal yaitu
sebesar 43,3%, dan pada siswi non anemia sebagian besar tergolong dalam defisit
energi tingkat berat 38,0%. Tingkat kecukupan energi siswi anemia sebesar 89%
nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi siswi non anemia
sebesar 87%. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi (p=0,778) antara
siswi anemia dan siswi non anemia.
Kecukupan protein pada siswi anemia rata-rata sebesar 50,8 ± 9,2 g/hari dan
pada siswi non anemia sebesar 53,0 ± 9,0 g/hari. Tingkat kecukupan protein pada
siswi anemia sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan berlebih 66,7% dan
pada siswi non anemia sebesar 56,0% tergolong dalam tingkat kecukupan protein
berlebih. Tingkat kecukupan protein siswi anemia sebesar 182,5% sedangkan
tingkat kecukupan protein siswi non anemia sebesar 169,0%. Tidak terdapat
perbedaan (p=0,564) tingkat kecukupan protein antara siswi anemia dan siswi non
anemia.
Kecukupan vitamin A pada siswi anemia sebesar 451 ± 62 RE/hari lebih
rendah dibandingkan dengan kecukupan vitamin A pada siswi non anemia sebesar
473 ± 51 RE/hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada siswi anemia dan non
anemia termasuk pada kategori kurang. Tabel tingkat kecukupan vitamin A
menunjukkan bahwa siswi yang mengalami anemia dan kurang vitamin A sebesar
76,7%, dan siswi yang tidak mengalami anemia sebagian besar 78,0% kurang
vitamin A. Tingkat kecukupan vitamin A siswi yang mengalami anemia sebesar
(41%) lebih rendah dibandingkan dengan nilai tingkat kecukupan siswi yang tidak
mengalami anemia sebesar (60%).Sebagian besar siswi anemia tergolong dalam
kategori kurang. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,878) tingkat
kecukupan vitamin A siswi anemia dan non anemia.
Kecukupan vitamin C siswi anemia lebih rendah dibandingkan dengan siswi
non anemia, pada siswi anemia rata-rata kecukupan vitamin C sebesar 54,2 ± 7,5
mg/hari dan pada siswi non anemia sebesar 56,8 ± 6,1 mg/hari. Sebesar 96,7%
yang mengalami anemia kekurangan vitamin C dan Sebesar 92,0% yang tidak
mengalami anemia kekurangan vitamin C. Tingkat kecukupan vitamin C siswi
anemia sebesar (15,1%) sedangkan tingkat kecukupan vitamin C siswi non anemia
sebesar (26,6%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,411) tingkat kecukupan
vitamin C siswi yang mengalami anemia dan non anemia.
Pada siswi anemia kecukupan Fe lebih rendah yaitu 20,0 ± 3,6 mg/hari
dibandingkan dengan siswi non anemia yaitu 21,1 ± 3,0 mg/hari. Tingkat kecukupan
zat besi pada siswi yang mengalami anemia 80,0% tergolong dalam kategori cukup
dan pada siswi non anemia sebesar 62,0% tergolong dalam kategori cukup asupan
Fe. Tingkat kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia 114,9% lebih tinggi
daripada siswi yang tidak mengalami anemia 104,8%. Hasil uji beda t-test
menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,487) tingkat
kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia dan yang tidak anemia.
Uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
(p=0,331) besi terserap antara siswi anemia dan siswi non anemia. Hasil uji korelasi
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,433) besi
terserap dengan kejadian anemia pada remaja.
Analisis mengenai kejadian anemia, asupan zat besi konsumsi pangan beserta
berbagai macam faktor yang mempengaruhinya masih perlu di pertajam oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas zat besi konsumsi
pangan dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhinya.
BIOAVAILABILITAS BESI KONSUMSI PANGAN PADA REMAJA PUTRI
ANEMIA DAN NON ANEMIA
DINA MARDIYAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul
Nama
NIM
: Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri
Anemia dan Non Anemia
: Dina Mardiyah
: I14086014
Disetujui :
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
NIP. 1966 0701 199002 1001
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani,M.Sc.
NIP. 19660527 199203 2003
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
Rakhmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “
Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non
Anemia”. Terselesaikannya Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing 1 dan Dr. Ir. Cesilia Meti
Dwiriani, M.Sc selaku pembimbing 2 yang selalu memberikan arahan dan saran
serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu yang telah memberikan
masukan dalam penulisan.
3.
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dalam penulisan.
4.
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama perkuliahan.
5.
Papa, mama, ua, kakak-kakak, serta adik tersayang yang selalu memberikan
bantuan dan dukungannya baik secara moril maupun materil kepada penulis.
6.
Teman-teman alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-2 dan pak Mashudi
yang telah memberikan dukungan dan sarannya selama ini.
7.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan
dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang membutuhkan
dan menjadi sumber informasi serta inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, April 2012
Dina Mardiyah
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sukabumi pada tanggal 03 Maret 1987. Penulis adalah anak
ke empat dari lima bersaudara dari Bapak Rochimansyah dan Ibu Acu Hindun.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Cibadak VII pada tahun 1999,
kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTPN 2 Cibadak dan lulus tahun 2002.
Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Cibadak Sukabumi dan
lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005 sampai 2008, penulis menjalani pendidikan sebagai
mahasiswa di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Bandung. Selama menempuh
perkuliahan penulis melaksanakan praktek kerja lapang di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta, Puskesmas Cigondewah Bandung dan di Desa Sukamahi Cianjur
dalam rangka mengatasi masalah gizi buruk.
Penulis melanjutkan pendidikan ke Program Penyelenggaraan Khusus S1
Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian
Bogor.
Penulis
pernah
mengikuti kepanitiaan
Masa
Perkenalan
Mahasiswa Baru Program Penyelenggaraan Ilmu Gizi pada tahun 2009, Seminar
Cermat Memilih Produk Perikanan (CERMINAN) 2010 dan Fieldtrip (2010). Penulis
juga memiliki pengalaman kerja sebagai enumerator Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2010 Kota Sukabumi dan Survey Cepat Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) Kabupaten Bogor pada tahun 2011.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Tujuan ........................................................................................................... 2
Hipotesis ........................................................................................................ 3
Kegunaan ...................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 4
Remaja ........................................................................................................... 4
Anemia .......................................................................................................... 6
Konsumsi Pangan ......................................................................................... 15
Bioavailabilitas Besi ...................................................................................... 17
Status Gizi ..................................................................................................... 22
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 24
METODELOGI PENELITIAN ............................................................................... 26
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 26
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ............................................................. 26
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 26
Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 27
Definisi Operasional ...................................................................................... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 34
Karakteristik Contoh ...................................................................................... 34
Status Gizi ..................................................................................................... 35
Status Anemia.............................................................................................. 36
Pangan Pendorong Penyerapan Fe ............................................................. 37
Pangan Penghambat Penyerapan Fe ........................................................... 38
Konsumsi Pangan Sumber Fe ....................................................................... 39
Bioavailabilitas Konsumsi Pangan pada Remaja Anemia dan Non
Anemia .......................................................................................................... 49
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 51
Kesimpulan ................................................................................................... 51
Saran ............................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 52
LAMPIRAN ........................................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kecukupan zat besi untuk Indonesia ............................................................. 7
2 Batas normal kadar hemoglobin (Hb) ........................................................... 8
3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan ................................................. 12
4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U ........................................................ 23
5 Kategori variabel penelitian ........................................................................... 28
6 Estimasi tingkat ketersediaan zat besi .......................................................... 29
7 Contoh cara perhitungan bioavailabilitas zat besi ......................................... 30
8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik siswi anemia dan
non anemia ................................................................................................... 35
9 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi pada siswi anemia
dan non anemia ............................................................................................. 36
10 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ................................................ 36
11 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan pendorong
penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia ................. 37
12 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan penghambat
penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia ................. 39
13 Rata–rata Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia..................... 40
14 Contoh konsumsi pangan pada siswi anemia ...........................……………. 41
15 Contoh konsumsi pangan pada siswi non anemia..................................….. 42
16 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu minggu pada siswi
anemia dan non anemia ................................................................................ 43
17 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan tingkat kecukupan energi
dan zat gizi pada siswi anemia dan non anemia.......................................... 45
18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
pada siswi anemia dan non anemia ............................................................. 46
19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral
pada siswi anemia dan non anemia .............................................................. 48
20 Rata-rata besi terserap pada siswi anemia dan non anemia........................ 49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pikir Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja
Putri Anemia dan Non Anemia ..................................................................... 25
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Pangan pendorong penyerapan Fe yang paling banyak
dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia.................................... 57
2 Pangan penghambat penyerapan Fe yang paling banyak
dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia.................................... 57
3 Jenis pangan sumber non heme yang dikonsumsi siswi anemia dan
non anemia............................................................................................ 58
4 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu bulan pada siswi
anemia dan non anemia........................................................................ 59
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu mewujudkan Indonesia Sehat
diharapkan akan menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan
sehat dan berperilaku hidup sehat. Indonesia Sehat dimaksudkan juga untuk
mendorong agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, adil dan merata guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Manusia yang sehat tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani,
sehingga tubuh sehat dan ideal dari segi kesehatan meliputi aspek fisik, mental
dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit. Semua aspek tersebut akan
mempengaruhi penampilan setiap individu, dalam melakukan aktivitas sehari hari
seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan hal-hal yang produktif serta
bermanfaat (Depkes 2001).
Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga
faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Oleh
karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan, yang
merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera. Di
dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi Kurang
Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium (GAKI), Anemia Gizi Besi (AGB) dan masalah Gizi Lebih (kelebihan berat
badan & obesitas). Anemia pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi
yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh
yang berpenghasilan rendah (Depkes 2005).
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik diklinik maupun dimasyarakat. Anemia ini banyak dialami oleh
masyarakat di negara berkembang. Wanita secara kodrati harus kehilangan
darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya
terkena anemia gizi besi dibandingkan pria. Anak-anak dan remaja merupakan
usia rawan anemia gizi besi karena kebutuhan zat besi cukup tinggi diperlukan
semasa pertumbuhan. Jika asupan zat besi kurang maka risiko anemia gizi besi
menjadi sangat besar (Depkes 2001).
Soemantri (1985) menyatakan bahwa penyebab utama anemia gizi di
Indonesia adalah rendahnya asupan zat besi (Fe), hal ini dikarenakan sebagian
2
besar penduduk indonesia kurang mengetahui tentang pendidikan gizi dan
kurang perduli terhadap kesehatan sehingga pada saat mengkonsumsi pangan,
konsumsi dilakukan secara bersamaan antara pangan yang kaya akan Fe
dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan Fe sehingga Fe yang
dapat diserap tidak optimal. Kualitas pangan yang dikonsumsi rendah karena
makanan yang dikonsumsi biasanya tidak diperhatikan berdasarkan kualitasnya
melainkan kuantitasnya, serta penyakit infeksi yang dapat berdampak pada
penurunan antibodi, penurunan kemampuan fisik, penurunan produktivitas kerja
dan kemampuan berfikir. Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai
generasi penerus merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah
remaja putri pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan
remaja putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja
putra.
Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dan masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Data dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sekitar sepertiga remaja putri di Indonesia menderita
anemia. Depkes (2005) menyatakan bahwa, prevalensi anemia wanita di
Indonesia masih cukup tinggi yaitu 26.50%. Hasil analisis Permaesih dan
Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25.5% dengan
perincian laki-laki 21% dan 30% pada perempuan. Laporan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19.7%
(Depkes 2008).
Berdasarkan data prevalensi tersebut, dapat dilihat bahwa kejadian
anemia lebih sering dan banyak terjadi pada perempuan sehingga perlu adanya
pengkajian lebih lanjut terhadap status anemia perempuan khususnya bagi para
remaja. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih
lanjut mengenai anemia pada remaja putri yang berjudul "Bioavailabilitas Besi
Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia".
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghitung bioavailabilitas
besi konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia.
3
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji karakteristik contoh (usia,kelas, uang saku, usia menarche)
2. Mengkaji status gizi contoh
3. Mengkaji pendorong penyerapan zat besi pangan
4. Mengkaji penghambat penyerapan zat besi pangan
5. Mengkaji bioavailabilitas pangan sumber besi
6. Menganalisis hubungan bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada
remaja putri dengan kejadian anemia
Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan
dengan kejadian anemia pada remaja putri.
H1 : Terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan dengan
kejadian anemia pada remaja putri.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan anemia khususnya pada remaja putri. Selain itu, dapat
memberikan wawasan terhadap pembaca mengenai bioavailabilitas besi
konsumsi pangan dalam kaitannya dengan anemia pada remaja, sehingga hasil
penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perencana pangan gizi pada remaja
agar nantinya dapat tercipta sumber daya manusia yang berkualitas bagi
kemajuan bangsa Indonesia.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa.
Menurut Desmita (2005) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas
atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk
mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Remaja
dalam bahasa inggris disebut "teenager" yakni manusia usia 13-19 tahun,
merupakan usia perkembangan untuk menjadi dewasa. Masa remaja merupakan
saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik,
kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan
tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat
proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh.
Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24
tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun
merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya,
tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri.
Soetjiningsih (2007) menyatakan bahwa dalam tumbuh kembangnya menuju
dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual semua remaja akan
melewati tahapan, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13
tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan
masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun.
Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi
gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa
pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu
untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah
peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche).
Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap
karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada
saat menstruasi atau haid (Briawan 2008).
Wiknjosastro (1999) mengatakan bahwa remaja putri akan mengalami
perubahan fisik dengan pesat yang merupakan pertanda biologis dari
kematangan seksualitas. Perubahan ini terjadi pada satu masa yang disebut
masa pubertas yaitu masa transisi antara kanak-kanak menuju masa reproduksi.
Asupan zat gizi mempengaruhi kematangan seksual pada remaja. Remaja yang
mendapat menstruasi pertama lebih dini, cenderung lebih berat dan lebih tinggi
5
dibandingkan dengan remaja yang belum mendapat menstruasi pada usia yang
sama. Sebaliknya pada remaja yang menstruasi terlambat, beratnya lebih ringan
daripada yang sudah menstruasi pada usia yang sama, walaupun tinggi badan
(TB) nya sama.
Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh
kembang, kurangnya asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh
dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak
dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan tulang
tidak proporsional), kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh
kembang seperti zinc, sering sakit-sakitan. Dari beberapa masalah gizi remaja
putri tersebut diperlukan upaya peningkatan status gizinya karena remaja putri
membutuhkan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal dan remaja putri
perlu suplementasi gizi guna meningkatkan status gizi dan kesehatannya
(Pardede 2002 ).
Pada masa remaja kebutuhan kalori semakin meningkat karena
pertumbuhan anak remaja sangat pesat serta perubahan menjadi pubertas dan
aktivitas. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun berat
badan sehingga kebutuhan gizi pun meningkat. Oleh karena itu, bila konsumsi
makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan
kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat
pertumbuhannya. Pada remaja, juga terjadi menarche (awal menstruasi) yang
berarti mulai terjadi pembuangan Fe (Khumaidi 1997).
Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi
belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut kemudian memasuki
perkawinan, remaja akan hamil dengan status gizi yang rendah karena
membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan
dirinya sendiri dan bayi yang dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa
remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga
lingkungan sekolah dan teman -teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu,
pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik
media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001).
6
Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen
hemoglobin (Hb)
dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan
karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di
Indonesia sebagian besar anemia ini dikarenakan kekurangan zat besi (Fe)
hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi. Menurut
Yatim (2003), anemia dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel,
perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia
sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah
berkurang. Menurut Rasmaliah (2004), kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah
daripada normal merupakan akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel
darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada
tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius,
berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Anemia gizi
terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Anemia hipokromik mikrositis, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan
zat besi .
b. Anemia megaloblastik, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan asam
folat dan vitamin B12.
Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang
terjadi bila tubuh kehilangan banyak darah (baik karena perdarahan luka maupun
menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung
zat besi (Moehji 2001).
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan besi yang berbentuk feritin dan
hemosiderin menurun dan absorbsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding
capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam
sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkuangnya zat besi dalam plasma.
Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah
(eritropoesis) di dalam susmsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah
sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun
(hypocromic) dan eritrosit mengecil (mycrocytic) dan terjadi anemia gizi besi
(Wirakusumah 1998).
Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap
seperti dikemukakan Sutaryo (2004), pertama terjadi penurunan simpanan
7
cadangan zat besi karena berbagai hal. Cadangan besi rendah tapi belum terjadi
disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal.
Pada tahap kedua cadangan zat besi sudah kosong dan semakin parah, besi
dalam serum turun, total iron-binding capacity (TIBC) meningkat, hematokrit
masih baik. Tahap ketiga ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum
menurun, TIBC meningkat, hemoglobin dan hematokrit menurun, juga disertai
gejala klinis anemia.
Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia
akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh
yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman
2004).
Kecukupan zat gizi terutama Fe (besi) pada setiap individu berbeda-beda,
kecukupan zat besi dikelompokkan berdasarkan umur, sesuai dengan Tabel 1
sebagai berikut :
Tabel 1 Kecukupan Zat Besi Untuk Indonesia
Kelompok Umur
Kecukupan Zat Besi (mg/hari)
Bayi (0-6 bulan)
0.5
Anak (1-3 tahun)
8.0
Anak (4-6 tahun)
9.0
Remaja (7-9 tahun)
10.0
Remaja laki-laki (10-12 tahun)
13.0
Remaja perempuan (10-12 tahun)
20.0
Remaja laki-laki (13-15 tahun)
19.0
Remaja perempuan (13-15 tahun)
26.0
Remaja laki-laki (16-18 tahun)
15.0
Remaja perempuan (16-18 tahun)
26.0
Dewasa laki-laki (19 tahun ke atas)
13.0
Dewasa perempuan (19 tahun ke atas)
26.0
Ibu hamil trimester 1
+0
Ibu hamil trimester 2
+9.0
Ibu hamil trimester 3
+13.0
Ibu menyusui
+6.0
Sumber: Djoko Kartono dan Moesjianti Soekatri dalam Soekirman et al ( 2004).
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin
berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya
gabung)
kuat
dengan
O2
dan
dengan
oksigen
tersebut
membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paruparu ke jaringan tubuh (Roosita, Uripi dan Nasoetion 2006). Ganong (2001)
8
mengatakan bahwa hemoglobin adalah molekul globuler yang dibentuk dari
empat subunit. Tiap-tiap subunit mengandung hem yang bergabung dengan
polipeptida. Hem adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.
Polipeptida secara keseluruhan dinyatakan sebagai bagian globin dari molekul
hemoglobin.
Terdapat
dua
pasang
polipeptida
pada
tiap-tiap
molekul
hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipeptida pada tiap-tiap molekul
hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipetida dan 2 mengandung
polipetida lain. Menurut (Brody 1994), hemoglobin memiliki berat molekul 64500
dan tersusun atas empat sub unit. Dua sub unit disebut α-globin, dan dua lainnya
disebut β-globin. Masing-masing sub unit mengandung sebuah grup heme yang
dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Atom besi yang terdapat dalam
kelompok heme tersebut harus dalam bentuk fero untuk mengikat oksigen. Kadar
hemoglobin (Hb) ± 15 g % (gram per dl darah).
Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang
bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem
peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. ion besi dalam bentuk Fe+2
dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan
normal 100 ml darah mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu
mengangkut 0.03 gram oksigen. Kadar hemoglobin normal dalam darah untuk
wanita usia subur adalah 12 g%. Cara penentuan kadar kadar hemoglobin yang
dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for
Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin (Sediaoetama
2000). Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) adalah
sebagai berikut :
Tabel 2 Batas Normal Kadar Hemoglobin (Hb)
Kelompok
Anak balita
Anak usia sekolah
Wanita dewasa
Laki-laki dewasa
Ibu hamil
Ibu menyusui
Sumber : WHO (2001)
Kadar Hb ( g% )
11 g%
12 g%
12 g%
13 g%
11 g%
12 g%
Gejala Anemia
Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan,
sering mengeluh pusing, mata berkunang – kunang, kelopak mata pucat, bibir,
lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai,
memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang
9
tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan. Gejala ini disebabkan
karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam
darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha
mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat.
Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini
berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal
jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya
tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004).
Yatim (2003) mengatakan bahwa gejala umum anemia yang disebut juga
sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan,
kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah
berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.
Faktor Risiko Anemia
Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara lain
pengetahuan tentang gizi yang kurang, konsumsi zat gizi yang kurang dari
kebutuhan, dan penyakit infeksi. Data dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sepertiga dari remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri
secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap
bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarkan sejumlah zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi
untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri
cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin memiliki
tubuh ideal. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup
tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena
masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi
yang lebih tinggi (Depkes 1998).
Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar
terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh
wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih
tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi
melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa
bertambah hingga 1 mg. Penyebab anemia bermacam – macam, Affandi (1990)
menyatakan bahwa menstruasi merupakan salah satu penyebab anemia.
10
Menstruasi merupakan suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari
permukaan laut. Faktor yang penting lainnya adalah faktor sosial misalnya status
perkawinan dan lamanya menstruasi ibu.
Anemia juga disebabkan karena perdarahan hebat, akut (mendadak),
kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah, kronik (menahun),
perdarahan hidung, wasir (hemoroid), ulkus peptikum, kanker atau polip di
saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih dan perdarahan
menstruasi yang sangat banyak (Depkes RI 2001). Kekurangan asupan bahan
makanan yang mengandung zat besi menyebabkan anemia gizi besi, gangguan
sumsum tulang mengakibatkan anemia aplastik. Pembentukan hemoglobin yang
tidak normal sehingga pada thalasemia mengakibatkan masa hidup sel darah
merah pendek hingga menyebabkan anemia.
Menurut Depkes (2003), penyebab anemia umumnya terjadi karena
perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau gangguan penyerapan zat gizi oleh usus
juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan darah. Adapun tiga
kemungkinan dasar penyebab anemia adalah penghancuran sel darah merah
yang berlebihan, kehilangan darah dan produksi sel darah merah yang tidak
optimal.
Zat Besi (Fe)
Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh
manusia dewasa. Pengelolaan besi dalam tubuh sangat efisien, kurang lebih
90% di daur ulang dan digunakan kembali setiap harinya. Sisanya dieksresi,
terutama lewat empedu. Konsumsi besi dalam makanan digunakan untuk
mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Masukan zat besi setiap hari
diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing dan
kulit. Kehilangan basal ini kira-kira 14µg per kilogram berat badan per hari atau
hampir sama dengan 0,9 mg zat besi pada laki-laki dewasa dan 0,8 mg bagi
wanita dewasa, wanita usia subur, dan kehilangan zat besi melalui darah haid
(Anderson 2000).
Absorbsi zat besi banyak terjadi di usus halus dengan bantuan transferin.
Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat
angkut protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus
untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk
11
mengangkut besi lain. Sebagian besar transferin darah membawa besi ke
sumsum tulang untuk digunakan membuat Hb, sebagai bagian sel darah merah.
Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Almastier 2004).
Bakta et al (2009) mengatakan bahwa, tubuh mendapatkan masukan besi
yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus kedalam tubuh
diperlukan absorbsi besi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian
proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses
absorbsi besi dibagi kedalam tiga fase :
Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap
diserap di duodenum
Fase mucosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan
suatu proses aktif
Fase corporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel-sel yang memerlukan dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.
Sumber utama dari besi adalah hati, sumber yang lain diantaranya tiram,
seafood, ginjal, jantung, daging, ayam dan ikan. Kacang-kacangan dan sayuran
merupakan sumber zat besi dari pangan nabati. Makanan lain yang mengandung
zat besi adalah kuning telur, buah-buahan kering, tepung dan sereal. Susu dan
hasil olahnya sama sekali tidak mengandung zat besi dan kandungan besi dalam
jagung juga sangat sedikit (Anderson 2000).
Palupi et al (2010) menyatakan bahwa kebutuhan zat besi remaja putri
dengan kisaran usia 15-25 tahun, menurut Angka Kecukupan Gizi orang
Indonesia (AKG 2005) adalah 26 mg. Untuk memelihara keseimbangan
hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan hemosiderin sebagai tempat
penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi dari bahan pangan tidak
cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin dimobilisasi untuk
mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin dan hemosiderin
banyak ditemukan dalam organ hati, limfa dan sumsum tulang belakang.
Winarno (2002) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat dalam
2 bentuk yaitu : besi heme, terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya
tinggi,
tidak
dihambat
oleh
bahan
penghambat
sehingga
mempunyai
bioavailabilitas tinggi. Bentuk kedua yaitu besi non-heme, berasal dari tumbuhtumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau
penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Fungsi zat besi bagi tubuh
12
antara lain : untuk metabolisme energi, kemampuan belajar, system kekebalan
serta pelarut obat-obatan. Adapun kandungan zat besi yang terkandung di dalam
beberapa bahan makanan antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan
Bahan Makanan
Hati
Daging sapi
Telur ayam
Kacang-kacangan
Tepung gandum
Ikan
Beras
Umbi-umbian
Buah-buahan
Susu sapi
Sumber : Winarno (2002)
Zat besi (mg/100g)
6.0 – 14.0
2.0 – 4.3
2.0 – 3.0
1.9 – 14.0
1.5 – 7.0
0.5 – 1.0
0.5 – 0.8
0.3 – 2.0
0.2 – 4.0
0.1 – 0.4
WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus
dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta
jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi
yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5
mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002).
Remaja membutuhkan zat besi untuk menambah massa sel darah merah
dan pertumbuhan jaringan tubuh. Remaja mempunyai resiko untuk mengalami
defisiensi zat besi. Faktor yang sama penting dengan kandungan total zat besi di
dalam makanan adalah persediaan zat besi yang dimakan, yaitu daya serapnya.
Berapa banyak zat besi yang secara efektif diserap oleh tubuh sangat bervariasi,
tergantung banyak faktor diantaranya dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk
kimianya, penyantapan bersama dengan faktor yang mempertinggi atau
menghambat penyerapannya dan status zat besi individu (DeMaeyer 1995).
Menurut Siswono (2001), zat besi dapat dibagi menjadi dua jenis, jika
ditinjau berdasarkan mekanisme penyerapannya. Dua jenis zat besi tersebut,
yaitu :
1. Heme Iron :
Heme iron merupakan zat besi yang terdapat di dalam hemoglobin dan
myoglobin. Sumber dari Heme Iron adalah daging-dagingan. Heme Iron diserap
sebagai iron phorpyrin complex yang dipecah oleh enzim heme oxygenase di
dalam sel mukosa usus. Senyawa ini akan meninggalkan sel mukosa dalam
bentuk kimia yang sama dengan non heme iron. Kandungan heme di dalam
heme iron dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan pada suhu tinggi dan
13
waktu yang lama sehingga berpengaruh terhadap bioavailabilitas heme iron.
Bioavailabilitas heme iron tidak dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan.
2. Non Heme Iron :
Senyawa ini secara alami terdapat di dalam daging, serealia, sayur dan buahbuahan. Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa
inhibitor (phythate, tannin, dll). Penyerapan non heme iron akan semakin
meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat besi juga semakin meningkat. Jika
suplai zat besi dari makanan telah habis terserap maka proses penyerapan zat
besi akan berhenti .
Kehilangan besi dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, lewat
pendarahan, melalui feses, keringat serta pengelupasan kulit dan rambut. Besi
yang keluar lewat feses adalah besi yang tidak dapat diserap dari asupan
makanan dan hampir tiadak ada besi yang terbuang lewat urin. Rata-rata
kehilangan besi tiap harinya adalah sekitar 1% pada laki-laki dewasa atau kurang
1% pada wanita yang sudah tidak menstruasi. Sedang rata-rata kehilangan besi
pada wanita yang menstruasi sekitar 0.5 mg per hari (Anderson 2000).
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh. Walaupun terdapat banyak didalam makanan, banyak penduduk dunia
mengalami kekurangan zat besi, termasuk di Indonesia. Kekurangan zat besi
berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan system
kekebalan (Almatsier 2004).
Depkes (2003) mengatakan bahwa fungsi zat besi adalah
sebagai
pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk
fungsi normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi
sel-sel di seluruh tubuh bisa terganggu.
Selain itu, zat besi menurut Almatsier (2004) mempunyai fungsi diantaranya
adalah :
1. Metabolisme energi. Didalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai
protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah – langkah akhir
metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang
berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksgen, sehingga membentuk air.
Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. Sebagian besar besi berada di dalam
hemoglobin, yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan
14
mioglobin dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari
paru – paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida
dari seluruh sel ke paru – paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Menurunnya
produktivitas kerja pada kekurangan besi disebabkan oleh dua hal yaitu
berkurangnya enzim – enzim mengandung besi dan besi sebagai kofaktor
enzim – enzim yang terlibat dalam metabolisme energi, kedua menurunnya
hemoglobin darah. Akibatnya, metabolisme energi di dalam otot terganggu
dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah.
2. Kemampuan belajar. Penelitian – penelitian di Indonesia oleh Soemantri
(1985) dan Almatsier (1989) menunjukan peningkatan prestasi belajar pada
anak – anak sekolah dasar bila diberikan suplemen besi. Beberapa bagian
otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang
dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat
selama pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang pada masa
pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh
negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter
(pengantar saraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang
yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi,
daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit
meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh
terganggu.
3. Sistem kekebalan. Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.
Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya
pembentukan sel – sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh
berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh
gangguan enzim reduktase ribonokleotida yang membutuhkan besi untuk
dapat berfungsi.
4. Pelarut obat – obatan. Obat – obatan tidak larut air oleh enzim mengandung
besi dapat dilarutkan hingga dapat dikeluarkan oleh tubuh (Almatsier 2004).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang
atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan
dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan
tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah
15
pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu
(Hardinsyah & Martianto 1988)
Menurut Suandi (2004), untuk pertumbuhan normal, tubuh memerlukan
gizi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrient
esensial yang menjadi basis pertumbuhan. Kebiasaan makan yang diperoleh
semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan
selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Path (2004) mengatakan bahwa,
agar menarche tidak menimbulkan keluhan-keluhan, sebaiknya remaja wanita
mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, sehingga status gizinya baik.
Status gizi dikatakan baik apabila nutrisi yang diperlukan baik protein, lemak,
karbohidrat, mineral dan vitamin maupun air digunakan oleh tubuh sesuai
kebutuhan.
Tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja.
Remaja putra memiliki kebiasaan makan yang lebih baik daripada remaja putri.
Remaja putra cenderung memiliki nafsu makan besar dan kemampuan untuk
mengkonsumsi pangan dalam jumlah besar sehingga kebutuhan akan zat gizi
dapat terpenuhi. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja putri dapat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan
lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas yang sedikit disebut sebagai
faktor fisiologis dan tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja putri
untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja putri sering mengalami kurang
gizi (Arisman 2004).
Menurut survey yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali
dengan jajanan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue
yang rasanya manis, pastry, serta permen. Sedangkan golongan sayuran dan
buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak popular atau jarang
dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat
gizi lainnya. Selain itu, hasil survei menunjukan bahwa remaja menyukai
minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan
minum susu.
Jelliffe and Jelliffe (1989) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga faktor
yang mempengaruhi penggunaan makanan dalam tubuh, termasuk pencernaan
dan absorpsi (bioavailabilitas). Pertama, campuran makanan dalam usus yang
mungkin meningkatkan atau menghambat absorpsi. Kedua, dapat juga
berhubungan dengan tahap kehidupan secara fisiologis. Sebagai contoh, ketika
16
hamil, berbagai zat gzi, diabsorpsi lebih baik. Ketiga, genetik mempengaruhi
penggunaan makanan dan zat gzi secara individual. Beberapa faktor genetik
dimana batas penggunaan makanan oleh tubuh telah diketahui, seperti laktose
intolerance pada masa kanak-kanak biasanya nampak pengurangan produksi
laktase pada usus secara genetik.
Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di
dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang
mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi
atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme
dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier
2004).
Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap
kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan
sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya,
kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika
pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat
menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak
akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu : vitamin C,
makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan
yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain : makanan yang
mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al 1978).
Konsumsi pangan dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya anemia.
Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat
besi dan mampu memberikan kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat
besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu
membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak
akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.
Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam
pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et al (1978) mengatakan bahwa
penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi
bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan Fe.
Estimasi zat besi bagi perempuan di indonesia yang tersedia sekitar 3% jika
17
vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg, 5% jika vitamin C yang dikonsumsi
sebesar 25-75 mg dan 8% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar >75 mg.
Anemia gizi dapat disebabkan oleh konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri
dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing
tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah
tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor–
faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan,
fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor
tersebut saling berkaitan (Husaini 1989).
Yatim (2003) mengatakan bahwa sebagian besar anemia disebabkan
karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, terutama besi,
vitamin B12 dan asam folat. Sebab yang lain adalah karena adanya pendarahan,
kelainan genetik, penyakit kronis atau keracunan obat. Anemia karena tidak
terpenuhinya asupan dari besi, protein dan beberapa vitamin (B12, asam folat,
piridoksin dan asam askorbat), tembaga dan mineral yang lain disebut nutritional
anemias. Defisiensi besi, atau kekurangan zat besi, dapat menjadi salah satu
penyebab paling sering terjadi anemia.
Bioavailabilitas Besi
Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan
biologi zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001),
bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi bervariasi dapat berkisar antara
1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam
makanan. Latunde & Nale (1986) mengatakan bahwa Bioavailabilitas zat besi
didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari
lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan
proses absorpsi zat besi dalam usus halus sehingga istilah bioavailibilitas zat
besi dapat disamakan dengan absorpsi dalam usus.
Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan
diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non heme. Kecepatan
penyerapan zat besi heme oleh tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non
heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi
non heme, oleh karena itu bentuk non heme menyumbang kebutuhan zat besi
tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak.
18
Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan
yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari
makanan
yang
dikonsumsi sehari-hari bervariasi antara
5-10%.
Untuk
masyarakat yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari
hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya
absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 1020% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% (
Almatsier 2004 ). Beberapa jenis bahan makanan memiliki persentase
penyerapan zat besi yang berbeda. Winarno (2002) menyatakan bahwa beras
memiliki persen penyerapan sebesar 1%, kedelai 6%, jagung 3%, ikan 11%, dan
hati 13%.
Monsen et al (1978) mengatakan bahwa, estimasi zat besi yang tersedia
dibagi menjadi tiga kategori yaitu dikatakan availabilitas rendah (low availability)
jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg maka availability zat besinya
sebesar 3%, dikatakan availabilitas sedang (medium availability) jika vitamin C
yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg maka availability zat besinya sebesar 5%
sedangkan dikatakan availabilitas tinggi (high availability) bila vitamin C yang
dikonsumsi > 75 mg maka availability zat besinya sebesar 8%.
Terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat
besi di dalam tubuh yang berhubungan dengan ketersediaan zat besi secara
biologis (Palupi et al
2010). Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang
mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor
endogen yaitu : kebutuhan tubuh, dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen
meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan
zat besi, yaitu : kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan
pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal
dari bahan makanan.
Almatsier (2004) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh
pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan
zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam askorbat,
konsumsi makanan sumber heme dan asam organik. Konsumsi pangan sumber
besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi
nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu
penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat
19
mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan
besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau
kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme
dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali.
Pendorong Penyerapan Fe
Pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu memiliki kandungan gizi
yang berbeda, begitupun dengan vitamin dan mineral yang terdapat dalam
pangan tersebut. Dalam proses absorpsinya, zat besi dipengaruhi oleh faktor
pendorong penyerapan zat besi, faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi
adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun
terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga
dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat,
sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat
akan melindungi zat besi dari pembentukan feri-hidroksida yang bersifat tidak
larut. Selain itu juga dapat membentuk kelat Fe-askorbat yang bersifat tetap larut
meskipun terjadi peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus (Palupi et
al 2010).
Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya
terjadi apabila dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian
asam askorbat 4-6 jam setelah mengonsumsi bahan pangan tidak akan
berpengaruh terhadap penyerapan zat besi. Sebaliknya, asam askorbat yang
dikonsumsi
bersama-sama
dalam
bahan
pangan
akan
meningkatkan
penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat yang telah teroksidasi hampir tidak
berpengaruh dalam memperkuat penyerapan zat besi. Selain itu, terdapat faktor
dalam daging, ikan dan unggas (meat fish poultry (MFP) factor) yang dapat
meningkatkan penyerapan zat besi (Palupi et al 2010). Meat faktor berperan
dalam meningkatkan penyerapan zat besi bentuk heme maupun non heme
(Muchtadi et al 1992). Hal tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi
dengan senyawa-senyawa yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti
fitat dan ion-ion hidroksil (Palupi et al 2010).
Faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi :
1. Daging, ayam, ikan, dan makanan laut.
Daging-dagingan merupakan salah satu sumber zat besi (jenis heme iron dan
non heme iron). Disamping itu, daging-dagingan juga dapat meningkatkan
penyerapan zat besi di dalam tubuh ketika dikonsumsi bersamaan dengan
20
makanan yang mengandung senyawa inhibitor bagi zat besi. Mekanisme dari
peningkatan penyerapan zat besi karena daging-dagingan ini belum dapat
diketahui secara pasti.
2. Asam askorbat (sayur dan buah)
Asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe 3+) menjadi zat besi dalam bentuk
ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus.
Selain itu asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa
ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus, 25-75 mg asam
askorbat yang pertama kali dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap
penyerapan zat besi (non heme iron).
3. Makanan terfermentasi
Makanan terfermentasi dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam
tubuh, tetapi mekanismenya belum dapat diketahui secara pasti.
Faktor lain yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam
organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan
besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi
nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu
penyerapan besi. WHO (2001) mengatakan bahwa faktor yang menjadi
pendorong penyerapan zat besi antara lain :
- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan dan sea food
- Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
- Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap
Sumber zat besi yang baik adalah makanan hewani seperti : daging,
ayam, ikan dan sumber lainnya seperti : telur, serealia tumbuk, kacangkacangan, sayuran hijau dan buah-buahan yang kaya akan vitamin C (Almatsier
2004).
Penghambat Penyerapan Fe
Senyawa-senyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi
antara lain: tanin, fitat, polifenol, oksalat dan serat pangan. Tanin yang banyak
terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat
besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit
serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Penghilangan fitat
dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 3 kali
(Palupi et al 2010).
21
Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi
dengan beberapa mineral lainnya. Menurut Yuanita (2008) bahwa diet tinggi
serat pangan memberi efek fisilogis yang positif, namun juga menyebabkan
ketidaktersediaan mineral Fe terutama disebabkan karena kemampuan serat
pangan mengikat Fe. Afinitas pengikatan Fe dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain komponen bahan pangan, proses pengolahan dan pH medium.
Pengikatan mineral oleh serat pangan dapat terjadi melalui beberapa pola
interaksi yaitu adsorpsi permukaan, pertukaran kation dan pembentukan
senyawa kompleks. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan
zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Palupi et al 2010).
Menurut WHO (2001) faktor penghambat penyerapan zat besi antara lain :
- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan
- Makanan dengan kandungan inositol tinggi
- Makanan yang mengandung tannin seperti ; teh, kopi, dan coklat.
- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu.
Asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga
mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar
terhadap absorbsi besi (Almatsier 2004). Siswono (2001) mengatakan bahwa
faktor lain yang menghambat penyerapan zat besi antara lain :
1. Phythate (inositol-hexa-phosphate)
Phythate secara alami terdapat dalam lapisan aleuron serealia, kacangkacangan, beans, dan legum. Senyawa ini merupakan inhibitor bagi
penyerapan zat besi. Phythate akan mengikat zat besi (non heme iron)
dengan perbandingan 0.6 : 2.17 (Fe : Phythate)
2. Senyawa phenol
Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran)
sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus
hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat, sehingga
dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Asam chlorogenat (kopi) dan asam
gallat merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi.
Oregano (rempah-rempah), yang digunakan dalam pembuatan pizza, dapat
menurunkan penyerapan zat besi sebanyak dua kali lipat.
22
Status Gizi
Menurut Supariasa (2001) Status gizi merupakan suatu ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang dinilai melalui
proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data
individu. Data tersebut bersifat obyektif dan subyektif, untuk kemudian
dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data obyektif dapat diperoleh
dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain yang dapat
diukur oleh anggota tim penilai. Penilaian status gizi dilakukan sebagai indikator
untuk menentukan status gizi seseorang. Ada dua metode yang data dilakukan
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Metoda secara lagsung diantaranya
dengan pengukuran antropometri, biokimia, biofisik dan klinik. Sedangkan tidak
langsung diantaranya adalah mengukur konsumsi makan, ekologi, berdasar
pada lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, dan vital statistik.
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada
tulang. Pada remaja lemak tubuh cenderung meningkat dan protein otot
menurun. Berat badan menjadi pilihan utama karena :
mudah memperlihatkan perubahan dalam waktu singkat karena perubahanperubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
memberikan gambaran status gizi sekarang dan jika dilakukan secara periodic
memberikan gambaran yang berkaitan dengan pertumbuhan.
merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan.
ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Tinggi
badan merupakan ukuran antropometri kedua yang terpenting (Supariasa 2001).
Pengukuran IMT merupakan salah satu metoda pengukuran antropometri yang
dapat dipakai dalam menentukan status gizi. IMT direkomendasikan sebagai
indikator yang baik untuk memantau status gizi, baik yang kekurangan berat
badan maupun yang kelebihan berat badan.
Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19
tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan
indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan
IMT/U dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
23
Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U
Variabel
-3 ≤ z ≤ -2
-2 ≤ z ≤ +1
+1 ≤ z ≤ +2
z > +2
Sumber : WHO (2007)
Kategori
Kurus
Normal
Gemuk
Obese
24
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik contoh yang meliputi usia, BB, TB, dan besar uang saku
akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan atau kebiasaan makan. Semakin
besar uang saku yang didapatkan maka akan semakin bervariasi makanan yang
dikonsumsi. Kebiasaan makan yang terbentuk dengan baik akan mempengaruhi
konsumsi pangan dan jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi terutama bagi
pemenuhan zat gizi besi. Pangan yang dikonsumsi memiliki beraneka ragam
karakteristik antara lain pangan heme dan pangan non heme, dimana kedua
jenis pangan ini memiliki kandungan zat besi yang berbeda. Pangan heme dan
pangan non heme dalam penyerapannya sangat dipengaruhi oleh faktor
penghambat dan pendorong, dimana pangan yang menjadi penghambat
penyerapan Fe antara lain pangan yang mengandung tannin; teh, kopi,coklat,
dan kalsium, terutama dari susu dan produk susu serta pangan yang dapat
menjadi faktor pendorong penyerapan Fe seperti besi heme, terdapat dalam
daging, unggas, ikan dan sea food, asam askorbat atau vitamin C terdapat dalam
buah-buahan dan sayuran hijau.
Konsumsi pangan sumber besi memiliki karakteristik sebagai pendorong
penyerapan Fe dan penghambat penyerapan Fe yang akan berpengaruh
terhadap
asupan
zat
besi.
Pangan
sumber
besi yang
memiliki nilai
bioavailabilitas baik jika didukung oleh konsumsi pangan yang berperan sebagai
pendorong penyerapan zat besi maka kebutuhan besi tubuh akan terpenuhi
sedangkan bila bersamaan dengan pangan yang berperan sebagai faktor
penghambat besi maka kebutuhan besi tidak akan tercukupi dengan baik karena
penyerapannya tidak sempurna.
Faktor – faktor tersebut akan berpengaruh
terhadap asupan besi dan menentukan ketersediaan zat besi yang siap
dimanfaatkan oleh tubuh dan secara langsung asupan zat besi akan
mempengaruhi tingkat kecukupan zat besi. Tingkat kecukupan zat besi
seseorang yang disesuaikan dengan angka kecukupan gizi akan menunjukkan
kesesuaian antara zat besi yang dianjurkan dengan asupan yang sebenarnya.
Tingkat kecukupan zat besi dan ketersediaan zat besi akan berpengaruh
terhadap status anemia.
25
Karakteristik contoh
Konsumsi pangan
-pangan sumber Fe non heme
- pangan sumber Fe heme
Faktor pendorong
penyerapan Fe
Faktor penghambat
penyerapan Fe
Angka Kecukupan
Gizi
Tingkat asupan Fe
Besi tersedia
Tingkat
Kecukupan Fe
Status Anemia
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai bioavailabilitas zat besi konsumsi
pangan pada remaja putri anemia dan non anemia.
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Hubungan yang di analisis
26
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah crosectional study. Penelitian dilakukan
menggunakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di
Sekolah untuk Peningkatan Prestasi Akademik siswa SMA (Briawan et al 2009).
Penelitian ini dilakukan di SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan
Desember 2009. Persyaratan SMA sebagai lokasi penelitian adalah: 1)
mempunyai jumlah pelajar wanita >50%, 2) mayoritas berasal dari keluarga
dengan tingkat sosial-ekonomi rendah/sedang, 3) mempunyai Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), 4) mempunyai komitmen untuk peningkatan kesehatan siswa
yang ditunjukkan oleh surat pernyataan dari kepala sekolah.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah siswi kelas 1 (satu), 2 (dua), dan 3
(tiga) SMAN 1 Cibungbulang yang berjumlah 80 orang. Contoh dipilih dengan
kriteria remaja putri yang sudah menstruasi dan tidak memiliki riwayat penyakit
yang terkait dengan anemia (demam berdarah, malaria, sakit karena kecelakaan
atau perdarahan hebat, cacingan, talasemia serta sedang melakukan transfusi
darah). Jumlah contoh yang diperlukan untuk penelitian dihitung dengan cara
mencari Zα, bila tingkat kepercayaan 95% (Z α=1,96) dan power of test=90%
(Zß=1,28), maka diperlukan minimal 73 siswi dan apabila asumsi drop out 10%,
maka ditetapkan jumlah contoh 80 siswi (Kirkwood 1998).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data sekunder yang
didapatkan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner serta análisis
laboratorium. Pengisian kuesioner diisi oleh siswa yang dipandu oleh
enumerator. Data karakteristik contoh berupa identitas contoh seperti tempat dan
tanggal lahir contoh, kelas serta usia menarche didapatkan dengan cara
pengisian kuesioner. Data jumlah uang saku diperoleh dengan menanyakan
kepada contoh berapa jumlah uang saku yang diberikan oleh orang tua dalam
satu hari. Data status gizi contoh didapatkan dengan cara pengukuran
antropometri yaitu mengukur secara langsung berat badan dan tinggi badan
contoh. Pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang badan
27
dan stadiometer (ketelitian 0,1 cm). Data konsumsi pangan yang dikumpulkan
melalui food frequency questionare (FFQ) dan konsumsi pangan didapatkan dari
pengisian kuesioner berupa recall 1x24 jam yang dilakukan dengan menanyakan
jenis serta jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh contoh selama
24 jam. Hasil recall kemudian digolongkan berdasarkan pangan yang menjadi
sumber heme dan non heme.
Status anemia sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah.
Pemeriksaan kadar Hb dilakukan pada bulan Oktober 2009. Sampel darah
diambil oleh tenaga kesehatan yang terlatih dari RS PMI Bogor. Untuk analisa
Hb menggunakan metode cyanmethemoglobin. Pengambilan darah dilakukan
dari vena dengan jarum kupu- kupu (wing needle) kapasitas 23 ½ cc yang
disposible (sekali pakai) sebanyak 2 cc. Darah yang sudah didapatkan, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan untuk pemeriksaan
hemoglobin.
Hasil recall 1x24 jam digunakan untuk mendapatkan data mengenai
tingkat kecukupan energi dan zat gizi seperti energi, protein, vitamin A, vitamin C,
dan zat besi, kemudian data mengenai pangan yang tergolong sebagai
pendorong penyerapan zat besi dan penghambat penyerapan zat besi serta data
bioavailabilitas zat besi pangan.
Pengolahan dan Analisis Data
Data
yang
telah
dikumpulkan
kemudian
diolah
dan
dianalisis
menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16 for
Windows. Proses pengolahan dimulai dari editing, coding, entry dan analisis.
Data tersebut kemudian diberi kode sesuai dengan kode dalam code book.
Seluruh data yang telah dikumpulkan akan dientri menggunakan software
microsoft excel for windows.
Data yang telah dientri kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dan
inferensia. Untuk menjawab tujuan penelitian, maka hasil analisis data tersebut
akan ditampilkan dalam bentuk tabel. Adapun kategori dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 5.
28
Tabel 5 Kategori variabel penelitian
No.
1.
Variabel
Usia
2.
Kelas
3.
Uang saku
4.
Tingkat kecukupan
energi dan protein
5.
6.
Tingkat kecukupan
vitamin dan mineral
Status gizi (IMT/U)
7.
Status anemia
Kategori
Remaja awal (12-14)
Remaja pertengahan (15-17)
Remaja akhir (18-21)
1
2
3
< Rp 6000
Rp 6000-17000
> Rp 17000
Defisit tingkat berat : <70% AKG
Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG
Defisit tingkat ringan : 80-89 % AKG
Normal : 90-119% AKG
Berlebih : ≥120% AKG
Kurang <77% AKG
Cukup ≥77% AKG
Sangat Kurus : z< -3
Kurus : -3 ≤ z < -2
Normal : -2 ≤ z ≤ +1
Over weight : +1 < z ≤ +2
Obese : z > +2
Normal : >12,0-15,0 g/dl
Ringan : 10,0–11,9 g/dl
Sedang : 7,0-10,0 g/dl
Berat : < 7,0 g/dl
Keterangan
Mandleco
(2004)
Depkes (1996)
Gibson (2005)
WHO (2007)
Allen
(1991)
Data karakteristik contoh seperti usia, kelas, uang saku dan usia
menarche digolongkan berdasarkan kategori pada Tabel 5 diatas. Hasil kategori
variabel tersebut kemudian diolah dengan menggunakan uji beda Mann Witney.
Data mengenai status anemia dan status gizi diolah menggunakan uji beda
Independent sampel t-test.
Tingkat kecukupan zat gizi pada remaja dihitung menggunakan Angka
Kecukupan Gizi (WNPG 2004) yang dibagi berdasarkan kelompok umur. Angka
kecukupan energi kategori 13-15 tahun yaitu 2100 kkal, usia 16-19 tahun 2000
kkal, angka kecukupan protein usia 13-15 tahun yaitu 62 g dan usia 16-19 tahun
51 g, untuk vitamin A usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun sebesar 500 RE, angka
kecukupan vitamin C usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun sebesar 60 mg. Angka
kecukupan Fe usia 13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-18 tahun sebesar 25
mg.
Data konsumsi pangan sumber Fe diperoleh dengan melihat pangan
yang dikonsumsi mengandung Fe, kemudian data yang diperoleh dikonversikan
29
kedalam kandungan zat besi yang dimiliki oleh bahan pangan yang dikonsumsi
untuk
dihitung rata-rata jumlah Fe yang dikonsumsi contoh per hari. Data
konsumsi pangan yang dilakukan dengan recall selama 1x24 jam terdiri dari
waktu makan, nama makanan, komposisi, URT dan gram pangan. Setelah
konsumsi Fe diketahui maka tingkat kecukupan Fe dapat diketahui dengan
membandingkan antara konsumsi Fe aktual dengan kecukupan zat gizi yang
dianjurkan.
Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengisian kuesioner food
frequency questionare (FFQ) digunakan untuk menggambarkan kebiasaan
pangan yang dikonsumsi selama satu bulan baik pada siswi anemia maupun
siswi non anemia. Data intake didapatkan dengan cara data konsumsi yang
didapatkan dikonversi kedalam zat gizi. Data konsumsi energi, protein, vitamin A,
vitamin C dan zat besi contoh didapatkan dengan cara mengkonversi gram
bahan pangan yang dikonsumsi kedalam kandungan zat gizi yang dimiliki oleh
bahan pangan tersebut. Data kecukupan zat gizi, vitamin dan mineral contoh
yang memiliki status gizi normal didapatkan dengan cara BB contoh di bagi BB
ideal berdasarkan WKNPG kemudian di kali dengan angka kecukupan gizi. Data
kecukupan zat gizi, vitamin dan mineral contoh yang memiliki status gizi kurang
dan berlebih menggunakan BB yang tercantum dalam AKG. Data mengenai
tingkat kecukupan zat gizi dihitung dengan cara energi aktual dibagi kecukupan
berdasarkan angka kecukupan zat gizi dikali 100 persen.
Data mengenai pangan yang berpotensi sebagai pendorong dan
penghambat zat besi dihitung dengan cara mengklasifikasikan bahan pangan
yang dikonsumsi kedalam bahan pangan yang mampu mendorong dan
menghambat zat besi, jumlah gram bahan pangan yang dikonsumsi kemudian
dikonversikan kedalam zat besi yang terkandung dalam masing-masing bahan
pangan untuk dihitung rata-rata gram yang dikonsumsi dan jumlah contoh yang
mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Bioavailabilitas zat besi yang dimiliki oleh
suatu pangan bervariasi, dalam proses absorpsinya zat besi dapat dipengaruhi
oleh vitamin C agar penyerapannya lebih optimal. Monsen et al (1978)
menjelaskan estimasi tingkat ketersedian zat besi pada Tabel 6 sebagai berikut.
30
Tabel 6 Estimasi tingkat ketersediaan zat besi
Tingkat bioavailabilitas
Tingkat availabilitas rendah jika :
- Konsumsi vitamin C <25mg
Tingkat availabilitas sedang jika :
- Konsumsi vitamin C 25-75 mg
Tingkat availabilitas tinggi jika :
- Konsumsi vitamin C >75 mg
Monsen et al (1978)
% absorpsi
3%
5%
8%
Monsen et al (1978) menyatakan bahwa cara perhitungan bioavailabilitas
Fe secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut.
Tabel 7 Contoh cara perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan sumber Fe
Bioavailabilitas
(%)
Bahan
Makanan
Brt
(g)
Tot.
Fe
(mg)
Vit.
C
(mg)
Heme
Faktor
Besi
Heme
(mg)
Besi
Non
Heme
(mg)
(1)
Nasi Putih
Telur dadar
Tahu
goreng
Tempe
goreng
Nasi putih
Telur dadar
Tempe
goreng
Chocolatos
Teh manis
Mie ayam
Total
(2)
86
30
(3)
0,4
0,8
(4)
0,0
0,0
(5)
0,4
(6)
0,3
(7)
0,4
0,5
50
0,3
0,0
-
-
0,3
3
75
7,9
0,0
-
-
7,9
3
86
60
0,4
1,5
0,0
0,0
0,4
0,6
0,4
0,9
75
7,9
0,0
-
-
7,9
30
216
262
0
0
19,7
0,0
0,0
0,0
-
-
0
0
19,7
Heme
(8)
23
23
Non
Heme
(9)
3
3
3
3
Besi terserap
Heme
(mg)
(10)
0,07
Total
(mg)
(12)
0,24
0,14
3
-
Non
Heme
(mg)
(11)
0,01
0,02
0,01
3
0,21
0,01
0,03
0,24
0,59
1,15
1,36
Keterangan :
1. Kolom pertama yaitu jenis bahan makanan yang dikonsumsi, makanan yang
dihitung adalah makanan yang contoh konsumsi dalam satu hari dan
termasuk dalam golongan pangan sumber heme (hewani) dan pangan
sumber non heme (selain hewani yang memiliki kandungan zat besi).
Makanan yang tidak memiliki kandungan besi tidak dilakukan perhitungan
bioavailabilitasnya.
2. Kolom kedua yaitu berat bahan makanan yang dikonsumsi
3. Kolom ketiga yaitu total besi (mg), nilai tersebut merupakan kandungan zat
besi dalam pangan yang dikonsumsi dan dihitung dengan cara berat bahan
makanan yang dikonsumsi (kolom 2) dibagi 100 kemudian dikalikan dengan
nilai Fe dalam DKBM
4. Kolom keempat yaitu Vitamin C (mg), nilai tersebut merupakan kandungan
vitamin C dalam pangan yang dikonsumsi dan dihitung dengan cara berat
31
bahan makanan yang dikonsumsi (kolom 2) dibagi 100 kemudian dikalikan
dengan nilai vitamin C dalam DKBM
5. Kolom kelima yaitu heme faktor, dengan nilai 0,4
6. Kolom keenam yaitu besi heme (mg), yang dihitung dengan perkalian heme
faktor (kolom 5) dengan total besi (kolom 3)
7. Kolom ketujuh yaitu besi non heme (mg) yang dihitung dengan pengurangan
total besi (kolom 3) dengan besi heme kolom 6 (hanya untuk pangan non
heme saja)
8. Kolom kedelapan yaitu besi heme yang merupakan bagian dari bioavailabilitas
(%), nilai ini didapatkan dari literatur yang diperoleh. Nilai bioavailabilitas untuk
hewani sebesar 23%
9. Kolom kesembilan yaitu besi non heme yang merupakan bagian dari
bioavailabilitas (%), nilai ini didapatkan dari literatur yang diperoleh. Nilai
bioavailabilitas untuk semua jenis pangan sumber non heme yaitu 3% (low)
jika konsumsi vitamin C < 25mg, 5% (medium) jika konsumsi vitamin C 2575mg, dan 8% (high) jika konsumsi vitamin C >75mg
10.Kolom kesepuluh yaitu Besi terserap khususnya besi heme. Merupakan hasil
dari nilai bioavailabilitas besi heme (kolom 8 ) dikali besi heme (kolom 6).
Perhitungan dilakukan untuk per jenis bahan pangan sumber heme. Contoh
perhitungan untuk telur dadar yaitu 23% x 0,3 mg = 0,07 mg.
11.Kolom kesebelas yaitu besi terserap khususnya besi non heme. Merupakan
hasil dari nilai bioavailabilitas besi non heme (kolom 9) dikali besi non heme
(kolom 7). Perhitungan dilakukan untuh per jenis bahan pangan. Contoh
perhitungan untuk nasi putih yaitu 3% x 0,4 mg = 0,01 mg.
12.Kolom keduabelas yaitu total besi terserap. Merupakan hasil penjumlahan
antara total besi terserap sumber heme (kolom 10) dan total besi terserap
sumber non heme (kolom 11).
Vitamin C yang dimiliki per bahan pangan dihitung untuk melihat jumlah
bioavailabilitas Fe (% bioavailabilitas) yang dapat diserap oleh tubuh. Nilai
yang didapat berdasarkan pangan sumber heme dan sumber non heme yang
dikonsumsi. Adapun
estimasi bioavailabilitas Fe yang dilihat berdasarkan
tingkat konsumsi vitamin C menurut Monsen et al (1978) adalah sebagai
berikut :
- Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 3% jika vitamin C per bahan pangan dari
hasil recall 1x24 jam mencapai <25 mg.
32
- Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 5% jika vitamin C per bahan pangan yang
dikonsumsi mencapai 25-75 mg.
- Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 8% jika vitamin C per bahan pangan yang
dikonsumsi mencapai > 75 mg.
- Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 23% khusus untuk semua jenis pangan
sumber heme. Nilai ini didapat tanpa melihat konsumsi vitamin C.
Uji Independent sample t-test digunakan untuk melihat beda antara
variabel yang diteliti dengan kategori siswi anemia dan non anemia. Uji Pearson
digunakan untuk melihat hubungan antara konsumsi pangan terhadap status
anemia. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%.
Definisi Operasional
Anemia Gizi Besi adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah,
yakni jumlah hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari kadar normal
Contoh adalah siswi-siswi SMA Negri 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor
Remaja putri : adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa, ditandai
dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan
berfungsinya alat reproduksi seperti menstruasi (umur 10-19 tahun).
Karakteristik contoh adalah data umum contoh meliputi nama,usia,BB,TB dan
besar uang saku
Besar uang saku adalah jumlah total uang yang diterima contoh per bulan yang
digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
Konsumsi pangan
adalah keseluruhan makanan dan minuman
yang
dikonsumsi oleh contoh dalam satu hari (1x24 jam)
Faktor pendorong penyerapan Fe adalah faktor yang mempengaruhi
penyerapan Fe dan berperan sebagai pendorong atau membantu dalam
penyerapan Fe seperti : asam askorbat (sayur dan buah), pangan hewani
dan makanan fermentasi.
Faktor penghambat penyerapan Fe adalah faktor yang mempengaruhi
penyerapan Fe dan berperan sebagai penghambat dalam penyerapan Fe
seperti : protein dalam kacang kedelai, kalsium (susu dan produk
olahannya), serta zat thanin (kopi dan teh).
Menarche adalah datangnya haid pertama kali
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai dengan
perdarahan secara periodik
Kadar Hb adalah kadar hemoglobin dalam darah
33
Status anemia contoh adalah keadaan kadar Hb contoh yang menunjukkan
kondisi contoh anemia dan non-anemia. Contoh dikatakan anemia jika
kadar Hb < 12 g/dL darah. Pengukuran kadar Hb ditentukan dengan
Chyanmet Hemoglobin.
Tingkat kecukupan Besi adalah kecukupan konsumsi pangan sumber Fe
contoh yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Bioavailabilitas Besi adalah ketersediaan biologi Fe (zat besi) yang terkandung
dalam makanan. Cara perhitungan bioavailabilitas Fe didapatkan dari
literatur yang kemudian diambil nilai rata-ratanya.
Status Gizi adalah keaadaan fisik siswa yang diukur dengan antropometri
dengan indeks IMT/U.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh
Berdasarkan hasil penelitian, usia siswi yang menjadi contoh dalam
penelitian yaitu berkisar antara 14 hingga 18 tahun. Contoh sebagian besar
tergolong dalam remaja pertengahan sebesar 93,4% pada siswi anemia dan
92,0% pada siswi non anemia. Menurut Mandleco (2004), masa remaja terbagi
kedalam tiga aspek yaitu masa remaja awal (12-14 tahun), masa remaja
pertengahan (15-17 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Rata-rata usia
siswi anemia yaitu 15,7 ± 0,8 tahun dan 15,7 ± 0,9 tahun pada siswi non anemia.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,919) antara usia siswi anemia dan
siswi non anemia.
Uang saku contoh dibagi dalam tiga kategori, yaitu : <Rp 6.000, Rp
6.000-Rp 17.000 dan >Rp 17.000. Tabel 8 menjelaskan bahwa sebagian besar
contoh memiliki uang saku antara Rp6.000-Rp17.000 yaitu pada siswi yang
mengalami anemia sebesar 80,0%, dan pada siswi non anemia sebesar 80,0%.
Rata-rata uang saku siswi anemia yaitu sebesar Rp 11866,7 ± 4819,0 nilai ini
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata uang saku siswi non anemia yaitu
sebesar Rp 10730,0 ± 6843,1. Tidak terdapat perbedaan (p=0,206) uang saku
siswi anemia dan non anemia. Napitu (1994) menyatakan bahwa, uang saku
merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada
anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan atau
bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, sehingga anak
diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku
yang dimiliki.
Tabel 8 menjelaskan bahwa kisaran contoh mendapatkan menstruasi
pertama kali adalah saat usia 11 hingga 15 tahun. Usia menarche adalah usia
pertama kali contoh mendapat menstruasi. Biasanya wanita mendapatkan
menstruasi pertamakali yaitu pada usia 10-14 tahun. Menstruasi merupakan
indikator perkembangan/kematangan fisik anak perempuan (Arisman 2004).
Berdasarkan penjelasan tersebut, pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian
besar siswi anemia yang menjadi contoh mengalami menarce saat usia 12 tahun
yaitu sebesar 33,3%. Contoh yang tidak mengalami anemia sebagian besar
mengalami menarche pada usia 13 tahun yaitu 42,0%. Rata-rata usia menarche
siswi anemia yang menjadi contoh sebesar 12,7 ± 1,1 tahun lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rata-rata siswi non anemia 12,9 ± 0,8 tahun. Tidak
35
terdapat perbedaan (p=0,266) usia menarche siswi anemia dan non anemia.
Karakteristik contoh seperti usia, jumlah uang saku, dan usia menarche disajikan
dalam Tabel 8 sebagai berikut.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik siswi anemia dan non anemia
Karakteristik
contoh
Kategori
12-14 tahun
Usia (tahun)
15-17 tahun
18-21 tahun
Total
<Rp 6.000
Jumlah uang
saku
Rp 6.000-17.000
(Rp/hari)
>Rp 17.000
Total
11 tahun
12 tahun
Usia
13 tahun
Menarche
14 tahun
15 tahun
Total
Anemia (n=30)
n
1
28
1
30
1
24
5
30
4
10
9
6
1
30
%
3,3
93,4
3,3
100,0
3,3
80,0
16,7
100,0
13,3
33,3
30,0
20,0
3,3
100,0
Non anemia
(n=50)
N
%
3
6,0
46
92,0
1
2,0
50
100,0
7
14,0
40
80,0
3
6,0
50
100,0
2
4,0
14
28,0
21
42,0
13
26,0
0
0,0
50
100,0
Total
n
4
74
2
80
8
64
8
80
6
24
30
19
1
80
%
5,0
92,5
2,5
100,0
10,0
80,0
10,0
100,0
7,5
30,0
37,5
23,7
1,3
100,0
Contoh dalam penelitian ini berasal dari kelas 1,2 dan 3. Sebagian besar
siswi yang menjadi contoh dalam penelitian ini berasal dari kelas dua yaitu pada
siswi yang mengalami anemia sebesar 63,3% dan pada siswi non anemia
sebesar 50,0%. Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan (p=0,197) kelas antara siswi anemia dan siswi non anemia.
Status Gizi
Tabel 9 menjelaskan bahwa siswi yang menjadi contoh, memiliki status
gizi kurus, normal, overweight dan obes. Siswi yang mengalami anemia sebagian
besar memiliki status gizi normal yaitu sebesar 90,0%. Siswi non anemia yang
menjadi contoh sebagian besar memiliki status gizi normal yaitu sebesar 90,0%.
Nilai rata-rata status gizi siswi anemia sebesar -0,9 ± 1,2 nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rata-rata siswi non anemia yaitu -0,3 ± 0,7.
Berdasarkan hasil uji beda t-test, terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,004)
status gizi siswi anemia dan non anemia. Status gizi contoh dapat dilihat pada
Tabel 9.
36
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi pada siswi anemia dan
non anemia
Status gizi (IMT/U)
Kurus (-3 ≤ z ≤-2)
Normal (-2 ≤ z ≤ +1)
Overweight (+1 ≤ z ≤ +2)
Obes (z > +2)
Total
Anemia (n=30)
n
%
2
6,7
27
90,0
1
3,3
0
0,0
30
100,0
Non anemia (n=50)
N
%
3
6,0
45
90,0
2
4,0
0
0,0
50
100,0
Total
N
5
72
3
0
80
%
6,3
90,0
3,7
0,0
100,0
Mahan dan Escott-Stump (2004) menyatakan bahwa masa remaja
merupakan masa dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat dan jelas
perubahannya dari anak-anak menjadi tubuh orang dewasa. Status gizi remaja
merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan gizi
remaja tergantung pada asupan zat gizi, serta relatif dengan kebutuhan dan
kemampuan tubuh untuk menggunakannya.
Status anemia
Status anemia pada siswi SMAN 1 Cibungbulang yaitu, sebesar 37,5 %
mengalami anemia dan siswi yang tidak anemia 62,5%. Allen (1991) menetapkan
bahwa, batas nilai kadar hemoglobin dalam darah yaitu dikatakan normal jika
>12-15 g/dL, anemia ringan jika 10.0-11.9 g/dL, anemia sedang jika 7-10 g/dL
dan anemia berat jika nilai hemoglobin dalam darah <7 g/dL. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pada Tabel 10 status anemia siswi yang
menjadi contoh dalam penelitian ini dibagi kedalam empat kategori yaitu normal,
anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat. Siswi yang menderita anemia
ringan sebesar 36,3%, siswi yang mengalami anemia sedang 1,2% dan tidak ada
siswi yang mengalami anemia berat, sedangkan sebesar 62,5% tidak mengalami
anemia. Nilai rata-rata hemoglobin siswi anemia yaitu (11,3 ± 0,6 g/dL) dan pada
siswi non anemia sebesar (13,3 ± 1,0 g/dL). Penjelasan mengenai status anemia
siswi dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori status anemia
Kategori anemia
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Total
Batas nilai kadar Hb (g/dL)
>12-15 g/dL
10,0-11,9 g/dL
7-10 g/dL
<7 g/dL
N
50
29
1
0
80
%
62,5
36,3
1,2
0,0
100,0
Menurut WHO (2001) prevalensi anemia > 20% menunjukkan masalah
kesehatan masyarakat. Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa prevalensi
anemia di SMAN 1 Cibungbulang cukup tinggi yaitu 30 siswi menderita anemia
37
(37,5%) ini berarti anemia masih menjadi masalah kesehatan dikalangan usia
sekolah atau remaja.
Pangan potensial pendorong penyerapan Fe
Almatsier (2004) menyatakan bahwa protein terutama protein hewani dan
vitamin C membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Pangan yang
mengandung zat besi dalam jumlah yang cukup tinggi adalah hati, daging,
makanan laut, buah kering dan sayuran hijau. Berdasarkan hasil recall 1x24 jam,
dapat dilihat bahwa pangan pendorong penyerapan Fe paling banyak dikonsumsi
oleh siswi anemia dan non anemia yaitu daging ayam, telur ayam dan sayuran.
Daging ayam yang dikonsumsi terdiri dari daging ayam yang diolah dengan
berbagai cara pengolahan, telur ayam yang dikonsumsi terdiri dari telur yang
dikonsumsi dalam berbagai cara pengolahan, sayuran yang dikonsumsi terdiri
dari berbagai jenis sayuran yang kemudian dikategorikan kedalam satu kelompok
pangan sayuran. Jenis–jenis pangan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh siswi dan tergolong dalam
pangan pendorong penyerapan Fe dapat dilihat pada Tabel 11 sebagai berikut.
Tabel 11 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan pendorong penyerapan
Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia
no
Jenis Pangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Hati ayam
Ampela ayam
Daging ayam
Daging sapi
Daging kerbau
Telur ayam
Cumi
Usus ayam
Ikan air laut
Ikan air tawar
Sayuran
Buah-buahan
Total
N
1
15
2
14
1
1
3
5
12
5
Anemia (n=30)
%
Rata-rata (g)
3,3
0,8
50,0
25,4
6,7
5,0
46,7
53,9
3,3
1,7
3,3
0,7
10,0
3,6
16,7
8,1
40,0
30,9
16,7
22,0
152,1
N
1
23
5
1
23
1
5
9
26
10
Non anemia (n=50)
%
Rata-rata (g)
2,0
0,5
46,0
22,9
10,0
6,0
2,0
1,0
46,0
52,3
2,0
2,0
10,0
6,4
18,0
10,5
52,0
43,7
20,0
85,0
230,3
Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa sebesar 50,0% siswi anemia
mengkonsumsi daging ayam dengan rata-rata berat konsumsi pangan sebesar
25,4 ± 22,2 g. Sebesar 40% contoh mengkonsumisi sayuran dengan rata-rata
pangan yang dikonsumsi sebesar 30,9 ± 49,5 g. Siswi non anemia sebagian
besar mengonsumsi sayuran 52,0% dengan rata-rata konsumsi pangan sebesar
43,7 g dan 46,0% mengkonsumsi telur ayam dengan rata-rata konsumsi sebesar
52,3 g. Berdasarkan uji beda t-test tidak terdapat perbedaan (p=0,964) antara
38
siswi anemia dan siswi non anemia yang mengkonsumsi pangan yang
berpotensial sebagai pendorong penyerapan Fe.
Pangan potensial penghambat penyerapan Fe
Karyadi dan Muhilal (1995) menyatakan bahwa zat yang menghambat
penyerapan zat besi antara lain tanin dan kalsium yang terdapat dalam teh, kopi,
coklat, oregano dan susu. Tingkat keasaman lambung, faktor intrinsik dan
kebutuhan tubuh dapat menjadi faktor penghambat penyerapan Fe dalam tubuh.
Tabel 12 menunjukkan bahwa pangan potensial penghambat penyerapan zat
besi yang dikonsumsi oleh contoh antara lain : kopi, teh manis, susu dan cokelat.
Jenis kopi yang dikonsumsi berupa kopi serbuk yang telah di larutkan dalam air,
teh manis yang dikonsumsi contoh terdiri dari berbagai macam jenis dan ukuran,
teh tersebut dikonsumsi dalam bentuk cairan. Susu yang dikonsumsi terdiri dari
jenis serbuk, susu kental manis, dan susu segar cair yang telah dikonversikan
kedalam ukuran gram bahan pangan. Cokelat yang dikonsumsi contoh terdiri dari
cokelat pasta, wafer dan batangan. Lebih jelasnya berbagai pangan potensial
penghambat penyerapan zat besi yang dikonsumsi oleh contoh dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Cokelat merupakan pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi
oleh siswi anemia sebesar 26,7% dengan rata-rata konsumsi sebesar 6,6 g dan
pada siswi non anemia, pangan penghambat yang paling banyak dikonsumsi
yaitu teh manis sebesar 28,0% dengan rata-rata konsumsi 47,8 g.
Kalsium dalam susu dapat menjadi salah satu penyebab terhambatnya
penyerapan zat besi, sebesar 20,0% siswi anemia mengkonsumsi susu dengan
rata-rata konsumsi 37,6 g. Sebesar 14,0% siswi non anemia mengkonsumsi susu
dengan rata-rata konsumsi 28,2 g. Rata-rata Ca susu yang dikonsumsi pada
siswi anemia yaitu sebesar 593,8 ± 89,4 mg nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan
dengan nilai rata-rata Ca susu yang dikonsumsi pada remaja non anemia yaitu
sebesar 300,6 ± 2870,6 mg. Berdasarkan hasil uji beda t-test menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p=0,345) antara siswi anemia dan siswi
non
anemia
yang
mengkonsumsi
pangan
yang
berpotensial
sebagai
penghambat penyerapan Fe. Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh
siswi dan tergolong dalam pangan yang menjadi penghambat penyerapan Fe
dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut.
39
Tabel 12 Jumlah contoh dan rata-rata (g) bahan pangan penghambat
penyerapan Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia
Bahan
Makanan
Kopi
Teh manis
Susu
Cokelat
Total
n
0
7
6
8
Anemia (n=30)
%
Rata-rata (g)
0,0
0,0
23,3
56,8
20,0
37,6
26,7
6,6
101,0
N
1
14
7
13
Non anemia (n=50)
%
Rata-rata (g)
2,0
0,6
28,0
47,8
14,0
28,2
26,0
9,1
85,7
Kopi dapat menurunkan penyerapan besi bila dikonsumsi setelah makan
sebesar 39 persen karena kopi mengandung zat polifenol yang dapat mengikat
besi (Morck et al 1983). Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi juga
menghambat absorbsi besi. Diet yang banyak mengandung makanan tinggi
tanin, akan menurun kan absorpsi zat besi sekitar 1-2 persen (UNICEF 1998).
Konsumsi Pangan Sumber Fe
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa daging ayam merupakan
pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi siswi anemia yaitu
sebesar 50,0% dengan rata-rata Fe sebesar 0,6 mg dan pangan sumber non
heme paling banyak dikonsumsi adalah serealia seperti nasi, bubur ayam, bihun
dan mie sebesar 100% dengan rata-rata Fe 5,2 mg. Pada siswi non anemia
serealia seperti nasi, mie, binun dan bubur merupakan pangan sumber non
heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu sebesar 100% dengan rata-rata Fe
5,6 mg dan pangan sumber heme yang paling banyak dikonsumsi yaitu telur
ayam ayam sebesar 46,0% dengan rata-rata Fe sebesar 2,6 mg.
Achadi (2007) menyatakan bahwa sumber utama Fe adalah pangan
hewani terutama berwarna merah, yaitu hati dan daging, sedangkan sumber lain
adalah sayuran berdaun hijau. Pangan hewani relatif lebih tinggi tingkat
absorpsinya yaitu 20-30 persen dibandingkan pangan nabati hanya 1-7 persen.
Hal tersebut karena Fe dalam ferri ketika akan diabsorpsi harus direduksi dahulu
menjadi bentuk ferro.
Hasil analisis konsumsi pangan hewani dari data Susenas (1995)
menunjukkan bahwa lebih dari 50% rumah tangga Indonesia sangat jarang
mengkonsumsi daging. Rendahnya frekuensi daging dan buah segar pada
rumah tangga Indonesia menyebabkan risiko kekurangan zat besi lebih tinggi
karena penyerapan besi dari sayuran tanpa heme dari daging dan tanpa vitamin
C akan sangat rendah (Prihatini dkk 2009).
40
Konsumsi pangan sumber Fe contoh terdiri dari jenis pangan heme dan
pangan non heme. Pangan heme terdiri dari pangan hewani beserta olahannya,
sementara pangan non heme terdiri dari kelompok pangan sayuran, buahbuahan, serealia dan olahan nya serta kacang-kacangan. Adapun jenis-jenis
bahan pangan yang termasuk dalam kelompok jenis non heme seperti sayuran,
buah-buahan, serealia dan kacang-kacangan yang dikonsumsi contoh dapat
dilihat pada Lampiran 3. Pangan sumber heme dan non heme yang dikonsumsi
contoh disajikan pada Tabel 13 dibawah ini.
Tabel 13 Rata-rata Fe yang dikonsumsi siswi anemia dan non anemia
Bahan
Pangan
Heme
Hati ayam
Ampela ayam
Daging ayam
Daging sapi
Daging kerbau
Telur ayam
Cumi
Usus ayam
Ikan air laut
Ikan air tawar
Susu
Rata-rata ± SD
Non heme
Sayuran
Buah-buahan
Serealia
Kacangkacangan
Rata-rata ± SD
Pertumbuhan
N
Anemia (n=30)
RataRata-rata
%
rata
Fe (mg)
(g)
n
Non anemia (n=50)
RataRata-rata
%
rata
Fe (mg)
(g)
1
15
2
14
1
1
3
5
6
3,3
50,0
6,7
46,7
3,3
3,3
10,0
16,7
20,0
0,8
25,4
5,0
53,9
1,7
0,7
3,6
8,1
37,6
0,8
0,6
0,1
2,6
0,0
0,0
0,1
0,6
0,7
5,9±7,5
1
23
5
1
23
1
5
9
7
2,0
46,0
10,0
2,0
46,0
2,0
10,0
18,0
14,0
0,5
22,9
6,0
1,0
52,3
2,0
6,4
10,5
28,2
0,0
0,5
0,1
0,0
2,6
0,1
0,3
0,5
0,3
6,0±7,9
12
5
30
40,0
16,7
100,0
30,9
22,0
343,3
1,8
0,1
5,2
26
10
50
52,0
20,0
100,0
43,7
85,0
347,2
2,3
0,4
5,6
17
56,7
10,7
0,8
22
44,0
22,8
1,4
9,8±10,4
badan
yang
cepat
selama
7,9±9,0
remaja
membutuhkan
ketersediaan makanan sumber zat besi yang berlimpah (Spear 2004). Pangan
sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi sangat
jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang karena sebagian
besar penduduknya memenuhi asupan zat besi dari produk nabati (Backstrand et
al 2002). Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa rata-rata dari total asupan zat besi
yang berasal dari pangan sumber heme siswi anemia dan siswi non anemia
sebesar 5,9 ± 7,7 mg. Pangan sumber non heme memiliki rata-rata dari total
asupan zat besi siswi anemia dan siswi non anemia sebesar 8,6 ± 9,5 mg.
Achadi (2007) mengatakan bahwa bahan pangan kelompok lauk pauk
sering digunakan sebagai sumber protein utama yang berfungsi sebagai zat
pembangun. Sayuran dan buah-buahan termasuk dalam bahan pangan nabati.
41
Buah dan sayuran bermanfaat sebagai sumber vitamin dan mineral, selain itu
vitamin dan mineral pada buah dan sayuran memiliki fungsi sebagai zat pengatur
dan membantu preoses metabolisme tubuh. Recall 1x24 jam digunakan untuk
melihat asupan energi dan zat gizi contoh dalam satu hari, adapun contoh hasil
recall 1x24 jam yang terdiri dari bahan pangan yang dikonsumsi contoh beserta
gram bahan pangan yang dikonsumsi pada siswi anemia dan non anemia
disajikan pada Tabel 14 sebagai berikut.
Tabel 14 Contoh konsumsi pangan pada siswi anemia
Anemia (n=30)
Banyaknya
Bahan
makanan
Waktu
Malam
Pagi
Selingan
Siang
Mie
goreng
Nasi
Sayur
sup
Cokelat
Teh
manis
Siomay
Komposisi
Fe
(mg)
Besi
tersedia
Jumlah
URT
Berat
(g)
1
bks
85
4,5
0,14
1
ctg
86
0,4
0,01
Wortel
2
sdk syr
80
0,0
0,00
Choki-choki
3
bks
24
0,1
0,00
Teh botol
1
btl
250
16,0
0,48
Siomay
TOTAL
1
biji
111
0,0
21,0
0,0
0,63
Indomie
goreng
Nasi putih
(mg)
Tabel diatas menunjukkan bahwa contoh anemia memiliki frekuensi
makan dalam satu hari sebanyak empat kali yang terdiri dari tiga kali makan
utama dan satu kali selingan. Jenis pangan yang dikonsumsi berupa makanan
pokok (nasi dan mie), sayuran wortel, makanan jajanan seperti siomay dan
makanan berpotensi sebagai penghambat penyerapan zat besi (cokelat dan teh
manis). Contoh tidak mengkonsumsi pangan hewani. Nilai besi terserap salah
satu contoh anemia yang diperoleh berdasarkan pangan yang dikonsumsi dalam
satu hari adalah sebesar 0,63 mg dengan pembulatan satu angka dibelakang
koma sehingga menjadi 0,7 mg dan total asupan zat besi sebesar 21,0 mg.
Asupan zat besi sebesar 21,0 mg menunjukkan bahwa contoh sudah cukup
memenuhi asupan zat besi berdasarkan angka kecukupan zat gizi yang
dianjurkan untuk zat besi yaitu sebesar 19-25 mg per hari. Nilai zat besi yang
terserap sebesar 0,6 mg menunjukkan bahwa tidak semua asupan zat besi
mampu diserap oleh tubuh sehingga bila dibandingkan dengan anjuran jumlah
besi yang harus dikonsumsi berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh yaitu
1,5 mg, nilai ini masih kurang akan asupan zat besi yang sesuai.
42
Tabel 15 Contoh konsumsi pangan pada siswi non anemia
Non anemia (n=50)
Banyaknya
Waktu
Malam
Komposisi
Nasi
campur
Nasi putih
Nasi
campur
Pagi
Selingan
Siang
Bahan
makanan
Cokelat
Teh
manis
Mie ayam
Fe
(mg)
Besi
tersedia
Jumlah
URT
Berat (g)
1
ctg
86
0,4
0,01
Telur dadar
Tahu
goreng
Tempe
goreng
0,5
btr
30
0,8
0,09
2
ptg
50
0,3
0,01
3
ptg
75
7,9
0,24
Kerupuk
10
bh
80
0,0
0,00
Nasi putih
Telur dadar
Tempe
goreng
Chocolatos
1
1
ctg
btr
86
60
0,4
1,5
0,01
0,17
3
bh
75
7,9
0,24
2
bks
30
0,0
0,00
Teh manis
1
gls
216
0,0
0,00
Mie ayam
TOTAL
1
mangkok
262
19,7
38,9
0,59
1,36
(mg)
Tabel 15 diatas menunjukkan bahwa siswi non anemia memiliki frekuensi
makan dalam satu hari sebanyak empat kali yang terdiri dari tiga kali makan
utama dan satu kali selingan. Jenis pangan yang dikonsumsi berupa makanan
pokok nasi putih, pangan nabati (tahu dan tempe goreng), pangan hewani telur
ayam, makanan jajanan seperti mie ayam, kerupuk dan makanan berpotensi
sebagai penghambat penyerapan zat besi (cokelat dan teh manis). Contoh tidak
mengkonsumsi sayuran. Nilai besi terserap salah satu siswi non anemia yang
diperoleh berdasarkan pangan yang dikonsumsi dalam satu hari adalah sebesar
1,36 mg dengan pembulatan satu angka dibelakang koma sehingga menjadi 1,4
mg dengan total asupan zat besi sebesar 38,9 mg. Asupan zat besi sebesar 38,9
mg menunjukkan bahwa contoh sudah memenuhi asupan zat besi sesuai
dengan angka kecukupan zat gizi khususnya zat besi yang dianjurkan yaitu
sebesar 19-25 mg per hari. Nilai zat besi yang terserap sebesar 1,4 mg
menunjukkan bahwa contoh sudah cukup akan konsumsi zat besi yang dilihat
berdasarkan kehilangan zat besi dalam tubuh per hari yaitu 1,5 mg.
Food frequncy questionare merupakan metode lain yang digunakan
dalam penelitian ini selain recall 1x24 jam. Metode ini bertujuan untuk melihat
gambaran secara umum mengenai bahan pangan apa saja yang dikonsumsi
contoh dalam satu bulan, hasil tersebut kemudian di sajikan secara deskriptif,
43
adapun hasil dari rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan metode food
frequncy questionare disajikan dalam Tabel 16 berikut.
Tabel 16 Rata-rata frekunsi konsumsi pangan selama satu minggu pada siswi
anemia dan non anemia
Nama
makanan/minuman
(Anemia n=30)
Rata-rata frekuensi
(x/minggu)
Non anemia (n=50)
Rata-rata frekuensi
(x/minggu)
15,8
2,1
4,1
0,0
16,1
0,8
3,2
0,0
2,7
3,4
0,2
0,0
0,0
0,5
0,1
3,5
3,5
0,5
0,0
0,1
0,1
0,2
0,1
2,5
0,6
1,7
3,6
0,1
3,0
0,6
1,8
2,3
0,0
0,0
1,6
0,4
3,5
0,3
1,6
0,8
0,5
1,1
0,5
1,0
3,3
0,3
0,1
0,2
0,5
0,5
1,0
0,2
1,1
0,1
0,0
2,8
0,6
0,4
0,2
0,2
0,7
1,2
0,6
1,0
0,0
0,3
Serealia :
Nasi
Roti
Mie
Bihun
Kacang-kacangan :
Tahu
Tempe
Oncom
Tauco
Kedelai
Kacang tanah
Kacang hijau
Daging :
Kambing
Ayam
Sapi
Ikan
Telur
Kerbau
Susu :
Bubuk
SKM
Segar
Yoghurt
Es krim
Minuman :
Teh
Kopi
Soft Drink
Minuman sereal
Minuman isotonik
Juice
Sari buah
Es campur
Minuman jelly
Es buah
Pop ice
44
Tabel 16. Lanjutan
Nama
makanan/minuman
Suplemen/Herbal :
Multivitamin
Vitamin C hisap
Energi drink
Vegeta
Jamu
Minuman penyegar
Buah :
Pisang
Pepaya
Jeruk
Nanas
Jambu
Mangga
Sayur :
Bayam
Kangkung
Sawi
Caisin
Wortel
Daun singkong
Makanan jajanan:
Gorengan
Chiki
Biskuit
Cokelat
Anemia (n=30)
Frekuensi
(x/minggu)
Non anemia (n=50)
Frekuensi
(x/minggu)
0,1
0,7
0,1
0,1
0,0
0,4
0,2
0,2
0,1
0,1
0,1
0,1
0,9
0,1
4,2
0,0
1,8
2,8
1,1`
0,2
2,9
0,0
1,5
2,2
1,5
2,0
0,6
0,3
2,2
0,1
1,8
1,3
1,0
0,4
1,1
0,6
4,3
1,1
2,0
3,0
2,3
1,3
1,4
2,6
Tabel diatas menjelaskan rata-rata frekuensi pangan yang paling sering
dikonsumsi oleh siswi anemia dalam satu minggu. Kelompok pangan yang
dikonsumsi terdiri dari kelompok serealia, kacang-kacangan, daging, susu,
minuman, suplemen/herbal, buah, sayur dan makanan jajanan. Adapun jenis
pangannya yaitu nasi sebanyak 15,8 kali, tempe sebanyak 3,4 kali, telur ayam
sebanyak 3,6 kali. Susu segar sebanyak 3,5 kali, teh sebanyak 3,3 kali, vitamin C
hisap sebanyak 0,7 kali. Jeruk sebanyak 4,2 kali, wortel sebanyak 2,2 kali dan
gorengan sebanyak 4,3 kali.
Rata-rata frekuensi pangan yang paling sering dikonsumsi oleh siswi non
anemia dalam satu minggu antara lain nasi sebanyak 16,1 kali, tempe sebanyak
3,5 kali, daging ayam sebanyak 3,0 kali. Susu segar sebanyak 1,1 kali, teh
sebanyak 2,8 kali, vitamin C hisap sebanyak 0,2 kali. Jeruk sebanyak 2,9 kali,
bayam sebanyak 1,8 kali dan cokelat sebanyak 2,6 kali. Rata-rata frekuensi
konsumsi pangan selama satu bulan dapat dilihat pada Lampiran 4.
45
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Rata-rata kecukupan energi pada siswi anemia sebesar 1848 ± 265
kkal/hari dan pada siswi non anemia sebesar 1934 ± 229 kkal/hari. Kecukupan
protein pada siswi anemia rata-rata sebesar 50,8 ± 9,2 g/hari dan pada siswi non
anemia sebesar 53,0 ± 9,0 g/hari. Kecukupan vitamin A pada siswi anemia
sebesar 451 ± 62 RE/hari lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan vitamin
A pada siswi non anemia sebesar 473 ± 51 RE/hari. Kecukupan vitamin C siswi
anemia lebih rendah dibandingkan dengan siswi non anemia, pada siswi anemia
rata-rata kecukupan vitamin C sebesar 54,2 ± 7,5 mg/hari dan pada siswi non
anemia sebesar 56,8 ± 6,1 mg/hari. Pada siswi anemia kecukupan Fe lebih
rendah yaitu 20,0 ± 3,6 mg/hari dibandingkan dengan siswi non anemia yaitu
21,1 ± 3,0 mg/hari.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.
Kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk
terhadap kesehatan. Kebutuhan energi dan zat-zat gizi dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktifitas fisik. Oleh
karena itu, perlu disusun angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai untuk
rata-rata penduduk yang hidup di daerah tertentu. Angka kecukupan gizi yang
dianjurkan digunakan sebagai standar guna mencapai status gizi optimal bagi
penduduk (Almatsier 2004). Tingkat kecukupan energi dan zat gizi remaja
anemia dan non anemia dapat dilihat pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan tingkat kecukupan energi dan
zat gizi siswi anemia dan non anemia
Energi dan Zat
Gizi
Energi
Rata-rata
SD
Protein
Rata-rata
SD
Vitamin A
Rata-rata
SD
Vitamin C
Rata-rata
SD
Zat Besi
Rata-rata
SD
Anemia (n=30)
Tk kec
Asupan
(%)
Non anemia (n=50)
Tk kec
Asupan
(%)
Total (n=80)
Tk kec
Asupan
(%)
1657
561
89,9
27,4
1671
701
87,8
39,1
1665
649
88,6
35,0
89,3
41,8
182,5
92,7
85,9
55,0
169,0
114,2
87,2
50,2
174,0
106,2
188
173
41,8
36,7
275
354
60,4
82,4
242
300
53,4
69,2
8,1
12,6
15,1
24,7
15,0
31,3
26,6
54,0
12,4
26,0
22,3
45,4
22,7
10,9
114,9
59,7
21,5
12,9
104,8
66,6
22,0
12,1
108,6
63,9
46
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang
dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi
negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat badan yang ideal.
Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan
dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan berat badan dan kerusakan
jaringan tubuh. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan
melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan dirubah menjadi lemak
tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau kegemukan (Almatsier 2004).
Tingkat kecukupan energi dan protein contoh disajikan dalam tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
pada siswi anemia dan non anemia
Tingkat kecukupan
Anemia (n=30)
N
%
Non anemia (n=50)
N
%
Total (n=80)
n
%
Energi :
Defisit tingkat Berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Kelebihan
Total
Protein :
Defisit tingkat berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Kelebihan
Total
9
4
0
13
4
30
30,0
13,3
0,0
43,3
13,3
100,0
19
11
1
10
9
50
38,0
22,0
2,0
20,0
18,0
100,0
28
15
1
23
13
80
35,0
18,8
1,2
28,8
16,2
100,0
4
2
1
3
20
30
13,3
6,7
3,3
10,0
66,7
100,0
11
1
5
5
28
50
22,0
2,0
10,0
10,0
56,0
100,0
15
3
6
8
48
80
18,8
3,7
7,5
10,0
60,0
100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa siswi yang mengalami anemia
sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan energi normal yaitu sebesar
43,3%, dan pada siswi non anemia sebagian besar tergolong dalam defisit energi
tingkat berat 38,0%. Tingkat kecukupan energi siswi anemia sebesar 89% nilai ini
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi siswi non anemia
sebesar 87%. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi (p=0,778)
antara siswi anemia dan siswi non anemia.
Tingkat kecukupan protein pada remaja anemia dan tidak anemia
sebagian besar tergolong dalam tingkat kecukupan berlebih. Sebesar 66,7%
terjadi pada siswi anemia dan sebesar 56,0% pada siswi non anemia. Tingkat
kecukupan protein siswi anemia sebesar 182,5% sedangkan tingkat kecukupan
protein siswi non anemia sebesar 169,0%. Tidak terdapat perbedaan (p=0,564)
tingkat kecukupan protein antara siswi anemia dan siswi non anemia.
47
Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat yang sosial
ekonominya
rendah.
Kekurangan
protein
murni
pada
stadium
berat
menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah lima tahun (balita).
Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan
energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Sindroma
gabungan
antara
dua
jenis
kekurangan
ini
dinamakan
energy-protein
malnutrition/EPM atau kurang energi protein/KEP atau kurang kalori-protein/KKP.
Sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia (Almatsier 2004).
Kurangnya konsumsi pangan siswa menyebabkan konsumsi energi dan
protein
berkurang, sehingga
tingkat kecukupannya defisit. Siswa
perlu
meningkatkan konsumsi pangan yang tinggi energi dan protein. Fungsi protein
antara lain untuk pertumbuhan, jika konsumsi protein rendah maka pertumbuhan
akan terhambat dan antibodi kurang terbentuk sehingga rentan terhadap sakit.
Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan vitamin A
pada siswi anemia dan non anemia termasuk pada kategori kurang. Tabel tingkat
kecukupan vitamin A menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A terjadi pada
siswi yang mengalami anemia sebesar 76,7%, dan siswi non anemia sebesar
78,0%. Tingkat kecukupan vitamin A siswi anemia sebesar 41% lebih rendah
dibandingkan dengan nilai tingkat kecukupan siswi non anemia sebesar 60%.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,878) tingkat kecukupan vitamin A
siswi anemia dan non anemia. Tingkat kecukupan vitamin A tergantung dari
konsumsi pangan sumber vitamin A. Vitamin A selain berfungsi untuk kesehatan
mata, berperan juga untuk pertumbuhan dan imunitas.
Diperkirakan pada suatu waktu sebanyak 3 juta anak-anak buta karena
kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat meningkatkan resiko anak
terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pernapasan dan diare,
meningkatkan
angka
kematian
karena
campak,
serta
menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan. Konsumsi vitamin A yang cukup dapat mencegah
terjadinya penyakit atau dampak dari kekurangan vitamin A. Makanan sumber
vitamin A yang banyak terdapat dan dikonsumsi masyarakat seperti hati, susu,
telur, wortel, mangga serta sayur berwarna hijau tua seperti daun pepaya
(Almatsier 2004). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan
mineral dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.
48
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral
pada siswi anemia dan non anemia
Tingkat kecukupan
Vitamin A
Kurang
Cukup
Total
Vitamin C
Kurang
Cukup
Total
Zat Besi (Fe)
Kurang
Cukup
Total
Anemia (n=30)
N
%
Non anemia (n=50)
N
%
Total (n=80)
n
%
23
7
30
76,7
23,3
100,0
39
11
50
78,0
22,0
100,0
62
18
80
77,5
22,5
100,0
29
1
30
96,7
3,3
100,0
46
4
50
92,0
8,0
100,0
75
5
80
93,8
6,2
100,0
6
24
30
20,0
80,0
100,0
19
31
50
38,0
62,0
100,0
25
55
80
31,3
68,7
100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar siswi anemia dan tidak
anemia mengalami kekurangan vitamin C. Siswi anemia sebesar 96,7% dan
sebesar 92,0% terjadi pada siswi non anemia. Tabel 18 menunjukkan bahwa
tingkat kecukupan vitamin C siswi anemia sebesar 15,1% sedangkan tingkat
kecukupan vitamin C siswi non anemia sebesar 26,6%. Tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p=0,411) tingkat kecukupan vitamin C pada siswi yang
mengalami anemia dan non anemia. Almatsier (2004) mengatakan bahwa
kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan sariawan, luka sulit sembuh, dan
anemia, sehingga siswa perlu meningkatkan asupan vitamin C.
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat didalam pangan nabati, yaitu
sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan dan tomat.
Vitamin C juga banyak terdapat didalam sayuran daun-daunan dan jenis kol.
Skorbut merupakan akibat dari kekurangan mengkonsumsi vitamin C dalam
waktu yang lama. Tanda awal dari skorbut adalah lelah, lemah, nafas pendek,
kejang otot dan kurang nafsu makan. Kelebihan vitamin C yang berasal dari
makanan tidak menimbulkan gejala (Almatsier 2004).
Tingkat kecukupan zat besi pada contoh baik yang mengalami anemia
maupun non anemia sebagian besar tergolong dalam kategori cukup. Sebesar
80,0% pada siswi anemia dan sebesar 62,0% pada siswi non anemia. Tingkat
kecukupan zat besi siswi yang mengalami anemia sekitar 114,9% lebih tinggi
daripada siswi non anemia yaitu sebesar 104,8%. Hasil uji beda t-test
menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,487) tingkat
kecukupan zat besi pada remaja yang mengalami anemia dan non anemia.
WKNPG (2004) menyatakan bahwa kecukupan zat besi (Fe) untuk wanita usia
49
13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-19 tahun sebesar 25 mg. Tingkat
kecukupan Fe siswi didapat dengan cara melakukan wawancara (recall 1x24
jam) mengenai makanan yang dikonsumsi siswi dalam satu hari. Hasil recall
yang dilakukan terhadap siswi dibagi dalam dua kategori tingkat kecukupan zat
besi yaitu cukup dan kurang.
Bioavailabilitas Fe konsumsi pangan
Monsen et al (1978) menyebutkan bahwa nilai bioavailabilitas pangan
hewani sebesar 3% jika vitamin C per bahan pangan yang dikonsumsi mencapai
<25 mg. Nilai bioavailabilitas Fe sebesar 5% jika vitamin C per bahan pangan
mencapai 25-75 mg. Dan bioavailabilitas Fe sebesar 8% jika vitamin C per bahan
pangan yang dikonsumsi mencapai > 75 mg. Penyerapan zat besi akan optimal
bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan sumber vitamin C. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka, pangan yang dikonsumsi contoh dalam satu hari
dikonversikan kedalam persentase nilai bioavailabilitas sesuai dengan nilai yang
dimiliki oleh masing-masing pangan untuk kemudian dihitung total besi
terserapnya (mg).
WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus
dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta
jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi
yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5
mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002). Tabel 20 menjelaskan bahwa,
rata-rata besi terserap pada siswi anemia sebesar (1,4 ± 0,8 mg) dan rata-rata
besi terserap untuk siswi non anemia sebesar (1,2 ± 0,9 mg). Berdasarkan
penjelasan diatas dapat dilihat bahwa jumlah besi yang dikonsumsi sudah sesuai
dengan kebutuhan zat besi dalam tubuh sesuai dengan besi yang hilang didalam
tubuh per hari yaitu sebesar 1,5 mg pada wanita. Uji beda t-test menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,331) besi terserap antara siswi
anemia dan siswi non anemia. Tabel 20 berikut ini menunjukkan rata-rata besi
terserap pangan yang dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia di SMAN 1
Cibungbulang.
Tabel 20 Rata-rata besi terserap pada siswi anemia dan non anemia
Besi terserap (mg)
Rata-rata ± SD
Maksimum
Minimum
Anemia (n=30)
1,4 ± 0,8
3,3
0,1
Non anemia (n=50)
1,2 ± 0,9
3,0
0,2
50
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
nyata (p=0,433) antara besi terserap dengan kejadian anemia pada remaja. Hal
ini diduga karena selain konsumsi pangan jenis heme dan non heme, pangan
yang menjadi pemicu sebagai pendorong dan penghambat zat besi sangat
berpengaruh terhadap status anemia. Selain itu diduga terdapat faktor lain yang
dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja seperti pola konsumsi
pangan yang kurang beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (cacing
tambang) (UNICEF 1998).
Nilai biologis vitamin dan mineral pangan menggambarkan daya cerna,
daya serap, distribusi dan masuknya vitamin dan mineral pangan ke dalam sel
untuk digunakan sebagai kofaktor enzim, bagian dari hormon atau bagian
struktural sel. Evaluasi nilai biologis dilakukan untuk menentukan jumlah vitamin
dan mineral yang terkandung dalam bahan pangan yang dapat diserap dan
digunakan oleh sel untuk keperluan metabolisme sel (Palupi et al 2010).
51
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Contoh adalah siswi SMAN 1 Cibungbulang kelas 1,2 dan 3. kisaran umur
contoh yaitu 14 sampai 18 tahun. Contoh mengalami usia menarche pada usia
11 sampai 15 tahun. Rata-rata uang saku siswi anemia (Rp 11866 ± 4819) lebih
tinggi dibandingkan dengan siswi non anemia (Rp 10730 ± 6843). Status gizi
siswi yang menjadi contoh sebesar 90,0% adalah normal, 6,3% memiliki status
gizi kurus dan 3,7% memiliki status gizi overweight.
Rata-rata asupan zat besi pada siswi anemia sebesar 22,7 ± 10,9 mg dan
pada siswi non anemia sebesar 21,5 ± 12,9 mg. Tingkat kecukupan zat besi siswi
anemia sebesar 114,9 ± 59,7 mg dan pada siswi non anemia sebesar 104,8 ±
66,6 mg.
Rata-rata besi terserap pada siswi anemia sebesar (1,4 ± 0,8 mg) dan
rata-rata besi terserap untuk siswi non anemia sebesar (1,2 ± 0,9 mg). Uji beda ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,331) besi
terserap antara siswi anemia dan siswi non anemia. Hasil uji korelasi Pearson
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,433) antara
besi terserap dengan kejadian anemia pada remaja.
Saran
Anemia terjadi karena berbagai faktor diantaranya kondisi tubuh, gaya hidup,
serta pola konsumsi pangan yang kurang baik. Konsumsi pangan yang kurang
zat besi dikarenakan masyarakat kurang faham akan manfaat zat besi bagi
tubuh sehingga perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai kejadian
anemia dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Analisis mengenai kejadian anemia, asupan zat besi konsumsi pangan
beserta berbagai macam faktor yang mempengaruhinya masih perlu di
pertajam oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
bioavailabilitas zat besi konsumsi pangan dengan berbagai faktor lain yang
mempengaruhinya.
52
DAFTAR PUSTAKA
Achadi LE. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Affandi B, Danukusumo D. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Allen LH, Gillespire SR. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and
Effectiveness of Nutrition Interventions. UN. ACC/SCN.ADB.
Almatsier S. 1989. Pengaruh Pendekatan Belajar Status Anemia Gizi Besi
terhadap Prestasi Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Jakarta:
IKIP Jakarta.
_________ . 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Anderson C. 2000. Petunjuk Modern Kepada Kesejahteraan Indonesia.
Bandung: Penerbit Publishing House.
Arisman MB. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Buku
Kedokteran. EGC.
Bakta IM. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Interna
Publishing.
Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi Multivitamin terhadap Perbaikan
Status Besi Remaja Wanita. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor.
Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press.
De Maeyer EM. 1995. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi.
Jakarta : Widya Medika.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi
Orang dewasa. Jakarta : Depkes.
_
. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia
Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Subur. Jakarta : Direktorat Jendral
Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
_________
. 2001. Pedoman praktis memantau Status Gizi
Orang dewasa. Jakarta : Depkes.
_________
. 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi
pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta : Depkes.
_________
. 2005. Pedoman Umum Kebutuhan Gizi untuk
Masa Tumbuh Kembang Remaja Putri. Jakarta : Depkes.
_________
. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
53
[FAO/WHO] Food and Agriculture Organization. 2001.Human Vitamin and
Mineral Requirement. Rome: Food & Nutrition Division. FAO.
Ganong WF. 2001. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Gibson. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Oxford : Oxford University
Perss.
Hardinsyah, Briawan D. 2000. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
_________ , Martianto D. 1988. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta
Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta : Wirasari.
Hurlock EB. 1997. Psikologi, perkembangan, suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Husaini M.A. 1989. Study Nutritional Anemia, An Assessment of Information.
Compilation for Supporting and Formulating National Policy and Program.
Jakarta: Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.
Jelliffe DB. And E.F. Patrice Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assessment.
New York: Oxford University Press.
Karyadi D & Muhilal. 1995. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta:
Gramedia.
Khumaidi M. 1997. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Jakarta : Gunung Mulia.
Kirkwood BR. 1988. Essentials of medical statistics.
Publication. London. Page: 138-146.
Blackwell Scientific
Latunde D, Neale. 1986. Availability of iron from foods. Journal of Food
Technology (1986) 21, 255-268. http://www.ifst.org. [18 jan 2011].
Mahan LK, Stump E. 2004. Krause’s : Food, Nutrition and Diet Therapy 11
USA: Elsevier.
th
Ed.
Mandleco LB. 2004. Growth and Development Handbook Newborn Through
Adolescent. Canada: Thomson Elmar Learning.
Moehji, Sjahmien. 2000. Ilmu Gizi 1 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : PT
Bhratara Niaga Media.
Monsen ER et al. 1978. Estimation of available dietary iron. Am J Clin Nutr
January.
Morck TA, Lynch SR, Cook JD. 1983. Inhibition on food iron absoption by coffee.
Am J Clin Nutr 1983;37:416-420.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metoda kimia biokimia dan biologi
dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan Dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
54
Napitu N. 1994. Perilaku jajan di kalangan siswa di kota dan di pinggiran kota
DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Palupi NS, Zakaria FR, Prangdimurti E. 2010. Evaluasi nilai biologis vitamin dan
mineral. http://xa.yimg.com/kq/groups/20875559/1523764269. [20 jan
2011].
Pardede N. 2002. Masa Remaja Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak edisi
ke–1. Jakarta : Sagung Seto.
Path FE. 2004 . Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC.
Permaesih D, Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada
remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171.
Price et al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses–Proses Penyakit edisi ke–6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi
Cacing Pada Ibu Hamil. [Skripsi]. UNSU : Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Reddy et al. 2000. Estimation of non heme iron bioavailability from meal
composition. American society for clinical nutrition USA.
Roosita K, Uripi V, Nasoetion A. 2006. Pengembangan Modul E-Learning
Fisiologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Cet.4.
Jakarta : Dian Rakyat.
Soekirman. 2004. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarata : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Soemantri AG. 1985. Hubungan Kekurangan Zat Besi dengan Konsentrasi dan
Prestasi Belajar. [Tesis]. Semarang: UNDIP.
Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta:
CV. Sagung Seto
Suandi KG. 2004 . Obesitas Pada Remaja. Jakarta : CV Sagung Seto.
Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC.
Sutaryo. 2004. Aspek Klinis Anemia Defisiensi Besi. Makalah Seminar Anemia
Defisiensi Besi Disampaikan pada tanggal 29 Mei 2004. Yogyakarta:
Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hal: 14-28.
[UNICEF]. 1998. Preventing Iron Deficiency in Woman and Children :
Background and consensus on key technical issues and resources for
advocacy, planning, and Implementing National Program. Canada :
International Nutritional Foundation (INF).
55
[WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment,
Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva :
World World Health Organization.
_____________________________. 2007. BMI for Age (5-19 years).
http://www.who.int/growthref/who2007bmi-for-age/en/index.html (11 Maret
2011).
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi [WNPG] VIII. 2004. Angka Kecukupan
Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta. Direktorat Standarisasi Produk
Pangan.
Wiknjosastro. 1999. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
Yatim F. 2003. Talasemia, Leukimia dan Anemia. Jakarta : Pustaka Populer
Obor.
Yuanita L. 2008. Pengaruh derajat keasaman dan lama perebusan terhadap
ketersediaan hayati Fe : pengikatan Fe oleh makromolekul serat pangan
kacang
panjang
(Vigna
sesqui
pedalis
(L)
Fruhw).
http://www.adln.lib.unair.ac.id. [26 jan 2011].
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Pangan pendorong penyerapan Fe yang paling banyak dikonsumsi
oleh siswi anemia dan non anemia
Anemia (n=30)
Kelompok daging ayam
- Kwetiaw ayam
- Ayam goreng
- Ayam balado
- Sop ayam
- Sate ayam
Kelompok sayuran
- Wortel
- Kacang panjang
- Daun singkong
- Kangkung
- Jagung
- Kentang
Non anemia (n=50)
Kelompok telur ayam
- Telur ceplok
- Telur dadar
- Bakso telur
- Telur rebus
Kelompok sayuran
- Toge
- Bayam
- Sayur nagka
- Kangkung
- Sawi
Lampiran 2. Pangan penghambat penyerapan Fe yang paling banyak
dikonsumsi oleh siswi anemia dan non anemia
Anemia (n=30)
Kopi
Non anemia (n=50)
Kopi
Tidak ada yang mengkonsumsi kopi
Susu
Kopi susu
Susu
Susu kental manis
Susu sapi
Susu bubuk
Teh
Susu sapi
Susu kental manis
Susu ultra
Teh
Teh gelas
Teh manis
Teh botol
Mountea
Cokelat
Gery pasta
Chunky bar
Beng-beng
Choki-choki
Teh gelas
Teh jus
Teh botol
Teh sisiri
Mountea
Cokelat
Chocolatos
Astor
Beng-beng
Roti coklat
Choki-choki
58
Lampiran 3. Jenis pangan sumber non heme yang dikonsumsi siswi anemia dan
non anemia
Jenis pangan yang dikonsumsi
Sayuran
Buah-buahan
Serealia
Kacang-kacangan
Anemia (n=30)
Sayur sop (wortel)
Ketimun
Tomat
Wortel
Kentang
Kangkung
Daun singkong
Sawi
Sayur gambas
Sayur sop
Sayur labu
Jagung
Selada
Sayur asam
Mangga
Buah labu
Nangka
Kelapa
Jeruk manis
Mie
Nasi
Roti
Bubur ayam
Lontong
Tempe
Tahu
Kacang kedelai
Non anemia (n=50)
Sayur asam
Capcai (wortel)
Bayam
Kentang
Sayur sop (wortel)
Ketimun
Kol
Sayur sop
Jagung
Sayur nangka
Sawi
Kangkung
Toge
Mangga
Semangka
Jambu biji
Jambu air
Pisang
Pepaya
Salak
Nasi
Bihun
Bubur ayam
Mie
Roti
Tahu
Tempe
Kacang hijau
Kacang kedelai
59
Lampiran 4. Rata-rata frekuensi konsumsi pangan selama satu bulan pada siswi
anemia dan non anemia
Nama
makanan/minuman
Serealia :
Nasi
Roti
Mie
Bihun
Kacang-kacangan :
Tahu
Tempe
Oncom
Tauco
Kedelai
Kacang tanah
Kacang hijau
Daging :
Kambing
Ayam
Sapi
Ikan
Telur
Kerbau
Susu :
Bubuk
SKM
Segar
Yoghurt
Es krim
Minuman :
Teh
Kopi
Soft Drink
Minuman sereal
Minuman isotonik
Juice
Sari buah
Es campur
Minuman jelly
Es buah
Pop ice
(Anemia n=30)
Rata-rata
Rata-rata
frekuensi
frekuensi
(x/bulan)
(x/minggu)
Non anemia (n=50)
Rata-rata
Rata-rata
frekuensi
frekuensi
(x/bulan)
(x/minggu)
63,3
8,4
16,5
0,1
15,8
2,1
4,1
0,0
64,4
3,1
12,6
0,1
16,1
0,8
3,2
0,0
10,9
13,6
0,9
0,0
0,0
1,8
0,4
2,7
3,4
0,2
0,0
0,0
0,5
0,1
13,8
14,0
2,0
0,0
0,4
0,4
0,6
3,5
3,5
0,5
0,0
0,1
0,1
0,2
0,4
9,9
2,2
6,8
14,5
0,0
0,1
2,5
0,6
1,7
3,6
0,3
11,9
2,2
7,0
9,3
0,1
3,0
0,6
1,8
2,3
0,0
0,1
0,0
6,4
1,7
14,0
1,1
6,4
1,6
0,4
3,5
0,3
1,6
3,0
1,8
4,5
2,1
3,8
0,8
0,5
1,1
0,5
1,0
13,1
1,3
0,2
0,7
1,9
2,1
3,8
0,9
4,3
0,4
0,0
3,3
0,3
0,1
0,2
0,5
0,5
1,0
0,2
1,1
0,1
0,0
11,3
2,3
1,5
0,8
0,9
2,8
4,6
2,2
3,9
0,0
1,1
2,8
0,6
0,4
0,2
0,2
0,7
1,2
0,6
1,0
0,0
0,3
60
Lampiran 4. Lanjutan
Nama
makanan/minuman
Suplemen/Herbal :
Multivitamin
Vitamin C hisap
Energi drink
Vegeta
Jamu
Minuman penyegar
Buah :
Pisang
Pepaya
Jeruk
Nanas
Jambu
Mangga
Sayur :
Bayam
Kangkung
Sawi
Caisin
Wortel
Daun singkong
Makanan jajanan:
Gorengan
Chiki
Biskuit
Cokelat
Anemia (n=30)
Rata-rata
Rata-rata
frekuensi
frekuensi
(x/bln)
(x/minggu)
Non anemia (n=50)
Rata-rata
Rata-rata
frekuensi
frekuensi
(x/bln)
(x/minggu)
0,2
2,7
0,3
0,3
0,0
1,6
0,1
0,7
0,1
0,1
0,0
0,4
0,9
0,9
0,2
0,4
0,2
0,2
0,2
0,2
0,1
0,1
0,1
0,1
3,7
0,4
16,8
0,0
7,2
11,1
0,9
0,1
4,2
0,0
1,8
2,8
4,3
0,6
11,4
0,0
5,9
8,9
1,1`
0,2
2,9
0,0
1,5
2,2
6,0
8,1
2,3
1,1
8,7
0,4
1,5
2,0
0,6
0,3
2,2
0,1
7,1
5,1
3,8
1,5
4,3
2,3
1,8
1,3
1,0
0,4
1,1
0,6
17,1
4,4
7,8
12,1
4,3
1,1
2,0
3,0
9,1
5,0
5,4
10,2
2,3
1,3
1,4
2,6
Download