5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau-pulau kecil

advertisement
74
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia sangat kompleks keberadaannya
ditinjau dari aspek pengelolaan sumberdaya alam, apabila dihubungkan dengan
kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan
negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar sangatlah
baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur pengelolaan dan tidak
dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi lingkungan dan konflik
antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar negara.
Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan
Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung antara
Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, seperti dilihat dalam
Gambar 12 di bawah ini.
Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina
75
5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara
Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change
(perubahan cuaca), drug trafficking (Peraturan Daerahgangan obat terlarang),
political violence out control (kekerasan politik), illegal fishing (pencurian ikan).
Kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di Indonesia diperkirakan mengalami
kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata
lain, 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih
besar, yakni antara Rp. 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing
tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Secara geografis,
hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan
dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber
perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya.
Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua
(Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan
wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun, daerah yang menjadi
titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi
Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia).
Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut,
begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang
semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat
diakibatkan karena :
(1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan
peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk
mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan
bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh
76
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun,
pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
intenasional.
(2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat
pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan,
padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat
dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu,
adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal
fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang
perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus
yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan
kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.
(3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing
secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi
yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada
kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang
dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata
sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing
terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari
5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.
(4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing
para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di
Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan
masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi
izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya
penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap
kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.
77
(5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media
massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus
illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang
berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan
bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa
lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap
16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana
kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak
memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.
(6) Kurangnya koordinasi antar-Kementerian yang terkait dalam mengatasi
masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari
tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan
Perikanan,
Kementerian
Perhubungan,
Kementerian
Luar
Negeri,
Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah
Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama
antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam
menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC.
Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling
melempar tanggung jawab.
(7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal
fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas
sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya
Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan
Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali
dapat diminimalkan.
Belum tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh
pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang
kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain.
Sebagai gambaran, dapat di lihat negara Filipina yang merupakan negara
mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor
itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara
78
mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang
ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13
Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara
Pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsidi, di mana kerugian
negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp. 500 miliar. Untuk
meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UndangUndang Anti Illegal fishing karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, Pasal 29 dan 30, masih kurang memperhatikan nasib nelayan
dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut, bahkan UU
terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi
sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi
Eksklusif Indonesia).
Pelaksanaan kegiatan tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus
dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan
tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara
dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang
berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus
illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya. Dari gambaran di
atas, dilihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang
mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing.
Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya
pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah,
79
tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu
karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15
persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari
pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana
yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.
5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati
Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan,
pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas
maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai
kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih
bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona
Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini disebabkan
jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada umumnya batas
maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak di Laut Sulawesi
dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku Utara. Panjang
garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona
Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai
yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau
Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.
Gambar 14 Pulau Marore
80
Pulau Marore merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan
Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas 3.12 Km² dimasukkan dalam
anggota gugusan pulau-pulau perbatasan yang langsung dengan negara Filipina.
Pulau Marore merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 61 pada
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar, tercatat pada nomor urut 26.
Pulau Miangas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan
Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Pulau seluas 3.20 Km² ini dimasukkan dalam
anggota gugusan Kepulauan Nanusa, yang merupakan daerah perbatasan langsung
dengan negara Filipina. Pulau Miangas merupakan pulau terluar yang tercatat
dalam nomor urut 63 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia,
sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tercatat pada nomor urut 28.
Gambar 15 Pulau Miangas
Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan
perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di
Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui
pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian yang serius dicurahkan
81
oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari.
Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil
terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara
lain antara lain Pulau Miangas (05°34'02"U 126°34'54"T / TD.056 TR.056 antara
TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056ATD.057A = 57.91 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04°44'14"U
125°28'42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan
TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus
Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04°44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak
TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau
Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi.
Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur
28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai
bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban
manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang
dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar
negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya
termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Salah satu hal
penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah
yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah
negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas
maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga,
baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).
Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis
dengan peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
merupakan
landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara.
82
Gambar 16 Peta Garis pangkal di perbatasan Indonesia dan Filipina
Penetapan batas terluar wilayah Negara Indonesia yang berbatasan
langsung di darat yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste,
sedangkan wilayah maritim yang berbatasan langsung yaitu
(1) India, (2)
Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik
Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste, dan (10) Papua New Guinea (PNG).
Adapun permasalah yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan 10
negara antara lain :
(1) Perbatasan Indonesia-India.
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau
Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titiktitik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman,
sudah disepakati oleh kedua negara. Permasalahan di antara kedua negara masih
timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak,
terutama yang dilakukan para nelayan.
83
(2) Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah
perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas
maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan
dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas
belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua
negara
adalah
masalah
pelintas
batas,
penebangan
kayu
ilegal,
dan
penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia
Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam
menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.
(3) Perbatasan Indonesia-Singapura.
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah
yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun 1970.
Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan
kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian
nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat
penambangan
pasir
laut.
Kerusakan
ekosistem
yang
diakibatkan
oleh
penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para
nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil
karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya
pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena
dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan
batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
(2) Perbatasan Indonesia-Thailand.
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan
antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau
Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian
Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan
Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan
84
Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah
keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing
merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai
Indonesia.
(3) Perbatasan Indonesia-Vietnam.
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan
Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur
landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di
antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan
perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.
(4) Perbatasan Indonesia-Filipina.
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan
Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang
harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint
Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang
secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua
negara secara bilateral.
(5) Perbatasan Indonesia-Republik Palau.
Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE
Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering
timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para
nelayan kedua pihak.
(6) Perbatasan Indonesia-Australia.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas
kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RIAustralia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang
baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara
trilateral bersama Timor Leste
85
(7) Perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada di perbatasan
masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi
secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan
ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan,
dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang
menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi
Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup
besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.
(8) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan
maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat
menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan
kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan,
menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi
masalah kompleks di kemudian hari.
5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia
Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan
dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan
nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil
amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit
mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar
harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena
itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa
Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen)
disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan
86
eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa
pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.
Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA,
Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang
tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang
udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan
tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3
menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:
(1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di
Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
(2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
(3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.
Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa
perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah
negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara
merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang
harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, dimana
pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari
sumberdaya.
87
Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti
zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
Bangsa
Indonesia
dengan
memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang
terdapat di zona ekonomi eksklusifnya. Dengan demikian maka untuk melindungi
kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani
bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber
daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan penting untuk dilaksanakan pengaturannya di zona
ekonomi eksklusif yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif dan disahkan di Jakarta pada
tanggal 18 Oktober 1983.
Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif, maka pemerintah telah mengeluarkan pengumuman
pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengumuman tersebut menegaskan
tentang rezim hukum internasional yaitu penetapan zona ekonomi eksklusif yang
telah
dikembangkan
oleh
masyarakat
internasional
melalui
Konperensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara
(state practice) dimana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai
dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh
kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Di samping itu zona
ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan
negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah
kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona
tersebut. Melalui konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut telah
memberikan rekomendasi hukum kepada Republik Indonesia sebagai negara
pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang
terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak berdaulat tersebut.
Ketentuan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban pula
untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain
88
kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel
dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif. Khusus yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut
negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang
Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati
tersebut.
Di samping asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang
terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok
kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya
agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak
lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan
dengan demikian tercapai pula kepastian hukum.
Berhubung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan
hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik
Indonesia maka kebijakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di perbatasan negara dalam. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
sumberdaya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk
bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Selanjutnya sumber daya alam non hayati adalah unsur alam
bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya
serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Sumberdaya alam perlu di
konservasi sebagai upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan
sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; sedangkan perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Substansi Pasal 1 tersebut mensyaratkan akan tujuan dari UndangUndang Zona Ekonomi Eksklusif untuk menjaga dan memelihara ekosistem,
dalam hal ini ekosistem pulau-pulau kecil di perbatasan negara, apabila
berdampingan atau berdekatan dengan zona ekonomi eksklusif.
89
Penentuan batas zona ekonomi eksklusif diatur dalam Pasal 2
menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu :
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi
eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan
dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan
negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan
negara yang bersangkutan.
Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa :
Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak
terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau
garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik
terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara
tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia termaksud.
Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak
berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak
dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh
Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam
di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.
Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik
Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-
90
kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban
lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia
untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan
penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan
kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables
and pipelines).
Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di
dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang
landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas
kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan
negara-negara
tetangga
yang
pantainya
saling
berhadapan
atau
saling
berdampingan dengan Indonesia.
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti
yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi
eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan
pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian
dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat
udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.
Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti
pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan
kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau
91
badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan.
Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain
kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan
tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati,
Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari (maximum
sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia
berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang
diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum
dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan
tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah
kemampuan tangkap (capacity to harvest).
Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah
tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah
kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara
lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.
Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi
yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea
cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia
mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti
92
wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan
kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.
Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber
kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas
kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar
laut dan tanah di bawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan
kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat.
Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang
berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari
1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang
membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang
Landas Kontinen Indonesia.
Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan
diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk
menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu
Undang-Undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak
atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum.
Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup
kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan
dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah
atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan
olehnya.
Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang
terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan
garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara
mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Landas Kontinen
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973.
Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas
Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan
93
wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4
Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin
diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya kekayaan
alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan/atau
di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang
termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya
tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak
kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di
bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan
kekayaan alam dilandas kontinen.
Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil terluar
di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Landas
Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen Indonesia,
termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, termasuk
berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas kontinen
dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara mengadakan
perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan dapat
dilakukan untuk kepentingan negara.
Ketentuan lain yang menyangkut eksploitasi kekayaan diatur dalam Pasal
10 ayat (1) yaitu Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam
di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:
(1) Pertahanan dan keamanan nasional;
(2) Perhubungan;
(3) Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut;
(4) Perikanan;
(5) Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya;
(6) Cagar alam.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihanperselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini
mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen
94
Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku. Syarat lain diatur dalam ayat (3) yaitu apabila terjadi hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat
menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain
usaha yang bersangkutan.
5.4 Perbandingan antara ketentuan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi
Eksklusif dengan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nation
Convention on the Law of The Sea 1982
Secara historis, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eklsklusif (UU ZEE) umurnya satu tahun lebih muda
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS 1982. Dalam artian, bisa saja ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UU ZEE Indonesia adalah mengadopsi ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982.
Dengan mengenyampingkan bahwa Indonesia barulah meratifikasi UNCLOS
1982 pada tahun 1985, yakni 2 tahun setelah UU ZEE lahir. Namun patutlah
kiranya dapat disinkronkan antara UNCLOS 1982 dan UU ZEE dalam
pengambilan kebijakan penentuan wilayah negara di daerah perbatasan.
Dari segi struktur, UU ZEE terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. Dengan
masing-masing bab mengatur ketentuan tertentu. Sedangkan dalam UNCLOS
1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS
1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS 1982. Meskipun pengaturannya
hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982
dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab.
Dari segi substansi, ketentuan yang ada di dalam UU ZEE lebih
mengkhususkan
pengaturannya
pada
hal-hal
yang
konkrit
ada
dan
terimplementasikan dalam wilayah Indonesia, sedangkan ketentuan dalam
UNCLOS 1982 lebih mengatur hal yang sifatnya umum dan universal bisa
diterapkan di berbagai negara yng meratifikasi. Meskipun UNCLOS 1982
tidaklah secara tegas dinyatakan sebagai bahan rujukan penyusunan UU ZEE,
dengan tidak memasukkanya pada konsiderans menimbang UU ZEE, namun
95
substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS 1982. Bahkan
dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex
specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut
beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam
UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE.
5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Selaras dengan ketentuan pasal 2 UU ZEE yang menyatakan bahwa Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia, maka pada pasal 55 UNCLOS 1982, tidak secara
menonjol terdapat perbedaan. Bahkan terlihat bahwa konsepsi yang ada dalam
UU ZEE merupakan konkretisasi dari ketentuan pasal 55 UNCLOS 1982.
disamping itu telah tercakup pula ketentuan lebar laut tertitorial yang diatur pasal
57 UNCLOS 1982 dalam ketentuan Pasal 2 UU ZEE ini.
Secara umum dalam UU ZEE dan UNCLOS 1982 menganut prinsip
hukum yang sama yakni terdiri dari:
(1) Hak berdaulat negara pantai
(2) Hak partisipasif bagi negara tak berpantai dan negara lain untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati
(3) Prinsip Keadilan
Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam
Pasal 4 UU ZEE.
Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Coastal
States mempunyai hak berdaulat untuk tujuan:
(1) Explorasi dan exploitasi, konservasi dan mengelola SDA
(2) Aktivitas lain untuk exploitasi ekonomi spt energy production
Coastal States mempunyai jurisdiction yang berkaitan dengan:
(1) Proteksi dan preservasi lingkungan laut
96
(2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE
(3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures
(4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research)
Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi
(Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula
dalam pasal 4 UU ZEE.
UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan
wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau
buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban
memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE
mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara
di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan
dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61.
Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS
1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut
melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun
mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap
mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti
rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE.
Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan
UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan
negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur
perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme
penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara.
Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan
wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur
perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan
mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS 1982.
Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu
ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme
ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan
97
ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 terdapat ketentuan pembebasan dengan
jaminan. Di samping itu terdapat ketentuan larangan untuk melakukan hukuman
badan dalam UNCLOS 1982. sedangkan pada UU ZEE, ketentuan ini tidak
diterapkan secara tegas.
5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir dan laut, yaitu sumberdaya alam
dan masyarakat, mutlak memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu bagi
keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut. Berdasarkan karakteristik dan
dinamika dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan,
serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir dan
laut, baik dari masyarakat maupun pemerintah, sehingga untuk pencapaian
pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan
melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis konservasi,
masyarakat dan pemerintah.
Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di
daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut
mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara
ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam pencapaian
pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya Alam, Sosial
Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan, yang
merupakan bagian dari pembangunan berlanjutanan.
Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus mengetahui
karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang biogeofisiknya
menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu :
(1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat
insuler,
(2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya
relatif kecil,
(3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran,
(4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,
98
(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi
dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di
batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang
sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,
(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari
pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu
dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam wilayah
hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan,
diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah.
Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan :
(1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem,
fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
(2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika
lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
(3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam
pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus
dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20
(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan
dituangkan dalam Peraturan Daerah. Fungsi keterpaduan pulau-pulau kecil terluar
terdiri dari fungsi (1) sumberdaya alam, (2) sosial budaya, (3) fungsi sosial politik
(4) fungsi sosial ekonomi, dan (5) fungsi pertahanan keamanan yaitu :
(1) Fungsi Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Alam merupakan satuan kehidupan (organisme hidup/biotik)
saling berhubungan dan berinteraksi dengan
lingkungan nir-hayati
(fisik/abiotik). Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil terluar
mencakup sumber daya hayati, meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
99
mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir,
air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan.
Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi
tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman
hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui
fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data
dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya.
Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan
masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga
swadaya masyarakat dan masyarakat lokal.
(2) Fungsi Sosial Budaya
Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih
mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan
kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional
yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang
berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan
budaya untuk membendung masuknya budaya asing.
(3) Fungsi Sosial Politik.
Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan
pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian
dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat
pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.
(4) Fungsi Sosial Ekonomi
Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem
dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus
diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh
ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan
100
dengan memperhatikan hak-hak atas tanah dan perairan. Pembangunan sarana
dan prasarana penunjang yang memperkuat ekonomi daerah, dan mendorong
kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat sehingga merupakan pilihan utama yang
harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Dengan pembangunan sosial ekonomi dapat berfungsi sebagai pendukung
logistik wilayah pertahanan keamanan dan pemberdayaan masyarakat
sekaligus kebijakan mengembangkan jalur kerja sama dengan negara tetangga
yang dapat mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, dan pertahanan
keamanan.
(5) Fungsi Pertahanan Keamanan
Secara geografis, pulau-pulau kecil di perbatasan negara sangat terisolasi,
juga mempunyai kepentingan geopolitis tinggi dalam menjaga keutuhan
kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau terluar ditetapkan
sebagai titik pangkal batas negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Saat ini
teridentifikasi berjumlah 92 pulau terluar, dengan 67 pulau berbatasan
langsung dengan 10 negara tetangga.
Pelaksanaan pertahanan dan keamanan, dengan pembuatan pos-pos
perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial
yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan
maupun swakarsa masyarakat dan meningkatkan patroli perbatasan.
Sebagai fungsi pertahanan dan keamanan maka peranan effective occupation
(penguasaan secara efektif) pemerintah pada aspek administrasi, dengan
melakukan kegiatan. Dengan demikian keberadaannya dapat berlangsung
terus menerus (continous presence). Upaya melindungi dan melestarikan
ekologi (maintenance and ecology preservation) juga bisa dilakukan sehingga
menjadikan pulau-pulau kecil sebagai beranda depan negara.
101
5.7 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS
Tahun 1982
Masyarakat internasional yang tergabung alam Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui forum Konperensi Hukum Laut III, telah berhasil merumuskan dan
menandatangani suatu konvensi hukum laut yang baru, pada tanggal 10 Desember
tahun 1982 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982.
Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, Konvensi ini
juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat
internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional
yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif
(progressive development) dalam hukum internasional.
Perkembangan ini disebabkan oleh bertambah pentingnya laut bagi
kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Meningkatnya peranan yang demikian
itu pula disebabkan oleh bertambahnya kemampuan manusia di dalam usaha
memanfaatkan laut sebagai salah satu sumber kehidupan.
Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat
yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi
kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana
pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih
menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan.
Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi
kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa
dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional.
Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi
hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan
laut oleh berbagai negara. Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan
besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling
berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun
yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah
secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan
nasionalnya.
102
Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya potensi kerawanan pada
perbatasan antar negara yang bersumber dari masalah-masalah kelautan, mengingat
klaim-klaim dari sejumlah negara yang tentunya tidak selamanya berdasarkan pada
aturan-aturan yang berlaku, dan kadangkala timbul klaim sepihak seperti Proklamasi
Truman 28 September 1945. Tindakan-tindakan seperti itu akan mendapat reaksi dari
sejumlah negara, khususnya negara-negara yang berkepentingan atas laut maupun
perbatasannya. Sebagai negara kepulauan juga dihadapkan pada masalah yang sama,
mengingat Indonesia memiliki pantai yang terbentang panjang dan luas, yang juga
dikelilingi oleh negara-negara lain baik yang berbatasan dengan daratan maupun
dengan lautan. Demikian pula dari segi geografis Indonesia yang berada pada posisi
silang yang sangat strategis dalam pelayaran internasional, dapat menjadi potensi
sengketa tentang masalah-masalah kelautan.
5.8 Perairan Indonesia
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima
dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah
menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta)
yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara
kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh
Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan
nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia.
Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai
penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia
juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini
menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut
kepulauan bagi kapal-kapal asing.
103
Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia
tidak ber-maksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai
suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan
wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas
negara kepulauan ini akhirnya diterima dunia internasional.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957
dan Undang-Undang Nomor 4/Prp./Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia
bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian
diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara
kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut Tahun 1982.
Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam
Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara
kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp./ Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah
dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa
dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan
Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan
Indonesia terdapat lebih kurang 17.480 pulau yang berada di bawah kedaulatan
Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk
mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat
ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan
dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional
di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah
dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan
pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan
lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan
pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.
104
5.8.1
Perikanan
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa
pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku
usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan
ketersediaan sumber daya ikan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak
dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa
yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat
besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan
perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan
perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat,
keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara
optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan
peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara
berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara
terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan
perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian
105
hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-Undang ini
lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas
tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus
mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani
tindak pidana di bidang perikanan.
5.8.2
Pemerintahan daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan
cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan
106
teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,
pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan
dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah
eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan
sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik.
Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan
kawasan khusus tersebut.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap
urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara
proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota
maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan
mempertimbangkan
keserasian
hubungan
pengelolaan
urusan
pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan
yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan,
pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat lokal, maka urusan pemerintahan
tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional
menjadi kewenangan Pemerintah.
107
Selain itu yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa
pengelolaan urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang
berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau
Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.
5.8.3
Penataan ruang
Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada
di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan
nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca,
musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat
besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat
strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang
secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan
tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan
secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan,
dan kelestarian lingkungan hidup.
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya
tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan nusantara dan ketahanan nasional dalam Undang-Undang tata
ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan
108
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun,
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
5.8.4
Pengelolaan pulau-pulau kecil
Pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang
dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu,
akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di
pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang
didukung peraturan perUndang-Undangan yang ada sering menimbulkan
kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada
eksploitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis
masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e,
panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa
prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi
dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem
pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati
untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi
dengan sumber daya lain.
Keunikan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan
terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pulau-pulau kecil, perlu dikelola
secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian pulau
kecil dapat dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk
mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi
insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma pengelolaan
pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,
109
pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan normanorma yang diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya.
5.8.5
Wilayah negara
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak
berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A
mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem:
(1) pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(3) desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
(4) kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
Negara, dan hak–hak berdaulat.
Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan
di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam,
110
perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah
Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian
lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upayaupaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di Kawasan
Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap
bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan
Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang
merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan.
5.8.6
Persetujuan pelaksanaan ketentuan-ketentuan konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang berkaitan dengan
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam
sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada
tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,
khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan
keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang
beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain
sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.
Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE
ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan
beberapa
samudera
sehingga
memiliki
kemungkinan
timbulnya
konflik
kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya
dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang
111
berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap
sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul.
Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam satu wilayah Laut Lepas yang
seluruhnya dikelilingi oleh suatu wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari satu
Negara dan Negara tersebut harus bekerjasama untuk merumuskan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan yang berkaitan dengan sediaan tersebut di
wilayah Laut Lepas. Dengan memperhatikan karakteristik alamiah dari wilayah
tersebut, Negara-negara harus memperhatikan secara khusus untuk menetapkan
tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang cocok untuk sediaan tersebut
berdasarkan Pasal 7.
Langkah-langkah
yang
diambil
dalam
hal
Laut
Lepas
harus
mempertimbangkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan
dari negara pantai sesuai dengan Konvensi, harus didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan juga harus memperhatikan tindakan-tindakan konservasi
dan pengelolaan yang diambil dan dilaksanakan dalam kaitannya dengan sediaan
yang sama sesuai dengan Pasal 61 dari konvensi oleh negara pantai di dalam
wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Negara-negara harus juga menyetujui
tindakan-tindakan pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum
untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan
dalam kaitannya dengan Laut Lepas.
Berdasarkan Pasal 8, negara-negara harus bertindak dengan iktikad baik
dan membuat setiap usaha menyetujui tanpa penundaan tindakan konservasi dan
pengelolaan untuk diterapkan dalam operasi penangkapan ikan dalam wilayah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Apabila, dalam jangka waktu yang layak,
negara-negara penangkap ikan terkait dan negara pantai tidak dapat menyetujui
tindakan tersebut, mereka harus, dengan memperhatikan ayat (1), menerapkan
Pasal 7 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), berkaitan dengan pengaturan-pengaturan
atau tindakan-tindakan sementara. Sementara menunggu penetapan pengaturanpengaturan atau tindakan-tindakan sementara, Negara-negara terkait harus
mengambil tindakan-tindakan berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan
112
bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat
merusak sediaan terkait.
Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui
organisasi-organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau
regional, untuk menjamin penaatan dan penegakan hukum bagi tindakan-tindakan
konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis
besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk
jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya
jauh (highly migratory fish). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut
dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS
of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling
Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing
Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang
mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang
beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63
dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11
Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan
standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah
menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi
Indonesia.
Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan
perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I
hingga Konferensi Hukum Laut III, namun hingga disahkan Konvensi Hukum
Laut
1982.
Konferensi
belum
berhasil
merumuskan
pengaturan
yang
komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut
Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang
berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing.
113
Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya
jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus
mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat
internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni
1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negaranegara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan
multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, dan menjamin bahwa
perikanan di laut lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982.
5.8.7
Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
ditetapkan untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut, dalam Pasal 6 menentukan bahwa Garis-garis Pangkal
Kepulauan Indonesia harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai
untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai
referensi Datum Geodetis yang diperlukan.
Pembuatan
peta
laut
perairan
Indonesia
yang
memadai
untuk
menggambarkan garis-garis pangkal kepulauan memerlukan waktu pembuatan
yang lama, di samping memerlukan dana dan sumber daya manusia yang besar.
Di samping itu perubahan pantai dan dasar laut di sekitarnya oleh kekuatan alam
menyebabkan bahwa kegiatan pembuatan Peta Navigasi memerlukan kegiatan
yang bertahap, terus-menerus, sistematis dan melembaga.
Pembuatan Peta Navigasi yang masih menunggu penyelesaiannya yang
dilakukan secara bertahap, perlu dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk kegiatan pelayanan dan penegakan
hukum di Perairan Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
114
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dalam perairan kepulauan dapat ditarik
garis-garis penutup untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman di Teluk, di
Muara Sungai atau Terusan, di Kuala dan di daerah Pelabuhan. Ketentuan Pasal
50 tersebut tidak menentukan bahwa garis batas perairan pedalaman di perairan
kepulauan dapat ditarik di sepanjang pantai, perairan yang terletak pada sisi dalam
Garis Air Rendah sepanjang pantai mempunyai kedudukan sebagai perairan
pedalaman. Berhubung dengan itu garis rendah tersebut juga merupakan batas
perairan pedalaman dalam perairan kepulauan. Ketentuan mengenai penetapan
batas Perairan Pedalaman tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia tidak terdapat suatu ketentuan untuk diatur lebih
lanjut, namun demi kepastian hukum mengenai penetapan batas Perairan
Pedalaman dalam Perairan Kepulauan perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara
tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar
bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua
negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan
dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan UndangUndang.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Peraturan Pemerintah ini
dilampirkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Daftar Koordinat Geografis tersebut merupakan lampiran pada
Peraturan Pemerintah ini dan tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang
tubuh Peraturan Pemerintah ini, dengan tujuan agar perubahan atau pembubaran
(updating) data dalam Daftar Koordinat Geografis tersebut dapat dilakukan
dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah
ini. Namun demikian, lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Selain untuk kepentingan pelayanan dan untuk penegakan hukum di
perairan Indonesia, Daftar Koordinat tersebut juga dibuat untuk memenuhi
115
ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat
tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
5.8.8
Peraturan presiden pengelolaan pulau kecil terluar
Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di
bidang social, ekonomi, budaya, hokum, sumber daya manusia, pertahanan dan
keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai
Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah
Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen
Indonesia;
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi
sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar
adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu
kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang
menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional
dan nasional.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:
(1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan
nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan;
(2) memanfaatkan
sumberdaya
alam
dalam
rangka
pembangunan
yang
berkelanjutan;
(3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b.
berkelanjutan; c. berbasis masyarakat.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara
116
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a. sumberdaya alam
dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c. pembinaan wilayah; d.
pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan budaya
5.8.9
Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup
besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi
seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan
hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki
potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan
hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas), dan teripang.
Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi
nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan.
Selama ini kawasan pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan
pembangunan yang berarti karena Pembangunan Nasional di waktu lampau lebih
berorientasi ke darat. Walaupun terdapat kegiatan pembangunan, kegiatan tersebut
lebih
mempertimbangkan
pertumbuhan
ekonomi,
sehingga
kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan dan bahkan seringkali memarjinalkan
masyarakat setempat. Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa perairan pulau-pulau
kecil yang memiliki potensi perikanan cukup tinggi cenderung menjadi tempat
penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan asing maupun nelayan lokal
dengan cara tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan, penggunaan
racun, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang
terpencil sering dijadikan sebagai tempat penyelundupan, pembuangan limbah
dan/atau penambangan pasir secara liar.
Era globalisasi saat ini yang berciri perdagangan bebas serta dilengkapi
sistem komunikasi dan informasi tanpa batas, dapat mengakibatkan penduduk
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan menjadi lebih dekat serta lebih
menguntungkan jika berhubungan dengan negara-negara lain dibandingkan
dengan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melingkupinya. Hal ini juga harus
117
menjadi pertimbangan dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil di wilayah
perbatasan dengan negara tetangga.
Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain :
(1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau
kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan
oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
kelestarian lingkungan.
(3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan sesuai
dengan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development).
Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai
berikut:
(1)
Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia usaha
sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan
penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan
tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat,
dan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(3)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun
rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan
pulau-pulau kecil di wilayahnya.
(4)
Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang
berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil dan
membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.
118
(5)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan
pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai
dengan hukum adat dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(6)
Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri,
sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih
dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah.
(7)
Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana
investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis
pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota.
(8)
Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu
menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana
strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang dinilai oleh
Pemerintah.
(9)
Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan
kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka
dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan
masyarakat setempat.
(10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak
ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) dan Rencana
(11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan
akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan
dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi
baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion
(OTEC), dan tenaga surya.
(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan
pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri
strategis sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
119
(14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat
menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan
sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2.
(15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau kecil
sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
(16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang
sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan.
(17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak
ketiga,
harus
ada
jaminan
pengelolaan
dan
asuransi
lingkungan
(environmental insurance) kepada Pemerintah.
(18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga,
yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan
nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk
mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa
persetujuan dari pihak ketiga.
5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1983 sebagai produk hukum nasional yang
melanjutkan dan
mengembangkan isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasalpasal yang penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan
rancangbangun hukum.
Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2
berbunyi:
―Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-
120
Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia".
Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut yang
berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya dengan
batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sedangkan
yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk hak-hak
berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia (Pasal
4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-Undangan landas Kontinen
Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara
tetangga dan ketentuanketentuan hukurn internasional yang berlaku. Hal yang penting
lainnya adalah ketentuan yang menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi
Eksklusif dengan negara tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 )
yang berbunyi:
"Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona
Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dengan negara yang bersangkutan".
Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang
tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling
berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan untuk
kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan
bilateral.
Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk
menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi
Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut :
121
(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar
hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian
sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea, pada
Bab XV.
(3) Sambil
menunggu
suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal
299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian
dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir.
Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir
mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang
bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas zona
ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya
untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negaranegara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa terakhir
ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat internasional.
Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada
Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani
suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-batas
Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini
merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin
122
berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara
tetangga yang belum terselesaikan.
Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang
tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan
mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi
Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan).
Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua negara
tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulaupulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut :
"Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya
adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut
(Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud)
dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut".
ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.
Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang
lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas
daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90% sumbersumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas
keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang
ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat pada
ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk
menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua
Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai
mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber daya
alam yang terdapat di ZEE tersebut.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai
menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,
123
konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang
bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal
eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara
negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu
mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.
Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum
khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut
lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim
tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal
batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas luar
laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi jarak
sejauh 200 mil laut.
Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86
Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan melalui
suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan
yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang bersangkutan
wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya
dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang merinci datum
geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atas garis-garis penetapan batas
tersebut. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau
daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
124
Hubungan ZEE dengan Landas Kontinen dapat diketahui dengan mengkaji
ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat dalam kedua rejim hukum tersebut, terutama
mengenai hak dan kewajiban Negara pantai. Di ZEE , Pasal 56 ayat (1) huruf (a)
menyebutkan bahwa:
"Dalam Zona Ekonorni Eksklusif Negara pantai mempunyai: (a) hak-hak
berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas
dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan
kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin"
Dari rumusan Pasal ini dapat diartikan bahwa negara pantai di ZEE
mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di perairan di atas laut, dasar
laut dan tanah di bawahnya.
Dasar laut dan tanah di bawahnya pada jarak 200 mil laut adalah juga
merupakan daerah landas kontinen. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas
mana yang termasuk bagian ZEE atau landas kontinen dapat kita lihat dalam
ketentuan Pasal 56 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: "Hak-hak yang tercantum
dalam Pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus
dilaksanakan sesuai dengan Bab VI"
Pada bab VI Konvensi ini dalam Pasal 76 ayat (1) dikatakan landas
kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang
kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga
suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur,
dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Dengan demikian pengelolaan sumber kekayaan alam yang terdapat di
dasar laut dan tanah dibawahnya di ZEE akan tunduk pada ketentuan landas
Kontinen. Begitu pula mengenai organisme jenis sedenter (menetap) dapat kita
lihat pada ketentuan Pasal 58 yang menyebutkan bahwa bagian ini tidak berlaku
125
bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4) yang
berbunyi sebagai berikut:
"Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber
kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut
dan tanah dibawahnya, bersama dengan organisasi hidup yang tergolong
jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat
dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau dibawah dasar laut atau
tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan
dasar laut atau tanah di bawahnya".
Menurut Pasal ini bahwa jenis ikan sedenter yang terdapat di ZEE
termasuk sumber kekayaan hayati dasar laut pengaturannya tunduk pada
ketentuan landas kontinen.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas terlihat dari dua rejim hukum yang
berbeda, yaitu rejim hukum ZEE dan landas kontinen yang mengatur masalah
yang sama mengenai hak-hak berdaulat Negara pantai atas kekayaan alam di
dasar laut dan tanah di bawahnya. Melalui kedua rejim ini Negara pantai dapat
menikmati hak-hak berdaulatnya untuk melakukan eksploitasi maupun eksplorasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dari dasar laut maupun
tanah di bawahnya.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang berkembang antara ZEE dan
landas kontinen, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang berlaku di ZEE
bersifat melengkapi pengaturan hukum di landas kontinen, dan begitu pula
sebaliknya ketentuan hukum di landas kontinen melengkapi ketentuan hukum di
ZEE
5.10
Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
126
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.
Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina
Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic
exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond
and from the baselines from which the territorial sea is measured.
Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55 Konvensi
Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa :
"Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara
pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh
ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini".
Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan
sebagai berikut:
"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".
Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui
dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang
berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai, dengan
lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari mana negara
pantai mengukur lebar laut teritorialnya.
Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12 mil
laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut dikurangi
lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut.
Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara
pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah ditetapkan
dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi Ekslusif
Negara pantai mempunyai :
127
"(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun
non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah
di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan
eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi
energi dari air, arus dan angin."
Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai
yurisdiksi yang berhubungan dengan:
"(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan,
(ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut"
Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak,
negara
pantai
juga
harus
melaksanakan
kewajiban-kewajiban
untuk
memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-hak
untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan kebebasan
untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan laut lainnya
berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum internasional.
Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-ketentuan hukum
mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya untuk
menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain dalam melaksanakan kebebasankebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum (laut) internasional tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum negara pantai di ZEE tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan
alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak
tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-kapal
dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu status
hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis").
Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential
Decree) Nomor 1599 tahun 1978. Dalam konsideran Keputusan Presiden tersebut
dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut dari garis
128
dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan
perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE
tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini merupakan
suatu konsepsi hukum internasional yang diakui.
Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah
yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar
darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE
Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan
atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries) akan
ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau sesuai
dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui.
Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori dan
praktek penetapan batas (termasuk
wilayah ZEE)
antar negara
yang
memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi
berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan persetujuan.
Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum internasional tentang
penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana yang tercermin dalam
Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan
bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hakhak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus
memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut :
(1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak
(living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah bawah
dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk eksploitasi
ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona tersebut, seperti
produksi energi dari air, arus dan angin;
(2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan
dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan
129
bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan
pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah;
(3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek
negara.
Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian yang
diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di bawah
wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan hal-hal
sebagai berikut:
(1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun;
(2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap sumbersumber alam;
(3) Melakukan penelitian;
(4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan,
terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau
(5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang
bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang
ditetapkan disini.
Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan ketentuan
angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Pasal 56
Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak, yurisdiksi dan
kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE.
Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa
Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan navigasi
dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa dibawah laut,
dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang berhubungan
dengan navigasi dan komunikasi.
Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE.
130
5.11
Prinsip Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Filipina
Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk
ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah
internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan
bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang berdampingan atau
berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian antara kedua
negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negaranegara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan
Filipina dapat mencontohnya.
Churchill dan Lowe, membenarkan praktek tersebut dengan menyatakan
bahwa selama ini sejumlah 70 atau lebih negara yang telah menetapkan ketentuan
tentang ZEE, dan lebih dari sepertiganya memasukkan dalam perUndangUndangannya yang merujuk pada prinsip sama jarak seperti suatu solusi
sementara sambil menunggu penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan.
Ketentuan
hukum
nasional
Indonesia,
juga
mengatur
mengenai
kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain,
rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia
mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa
dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas
dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan
perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai
persetujuan.
Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya
saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona
Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
131
Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian
antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut
Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik
Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982,
khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa
batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan
harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai
suatu penyelesaian yang adil (the delimitation of the economic exclusive zone and
continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by
agreement on the basis of international law in order to achieve an equitable
solution).
Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan
penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan
persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978
menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai
sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur.
Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang
tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batasbatas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan
negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas hukum internasional
tentang perbatasan yang umumnya diakui.
Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan
dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum
nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan
metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan
dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas,
sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang
ada.
Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir) antara
kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh melalui
132
pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat saling
pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan akhir. Hal
ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang menyatakan bahwa
sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dari
Pasal ini, negara negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian
dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan selama masa peralihan ini tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Menurut
Churchill dan Lowe, sambil memutuskan penyelesaian sengketa, negara-negara
yang berbatasan tersebut dapat mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk
memberlakukan perjanjian sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan
Pasal 74 ayat (3) dan Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh
perjanjian tersebut antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis
sama jarak yang digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu
perbatasan yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan
bahwa selama perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984)
zona perikanan eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai
akan ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia,
dan persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang
mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan
didasar laut untuk kepentingan kedua negara.
5.12
Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Filipina
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa penetapan batas wilayah,
baik laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE sudah merupakan aturan umum
yang dipraktekkan negara-negara, bahkan ketentuan tentang penetapan batas
tersebut sudah menjadi bagian dalam perUndang-Undangan yang bersifat nasional
dari sejumlah negara.
Mochtar Kusumaatmadja membenarkan konsep ini dengan menyatakan
bahwa dengan diadakannya kurang lebih 10 perjanjian garis batas landas kontinen
dan laut teritorial yang didasarkan atas penggunaan azas garis tengah dan azas
sama jarak (median line and equidistance principle) maka azas atau ketentuan
133
tersebut diperkuat kewibawaannya, paling tidak untuk Asia Selatan dan Tenggara
dan Pasifik Barat Daya.
Dalam beberapa persetujuan penetapan batas antara Indonesia dengan
negara lain juga menggunakan prinsip sama jarak. Demikian juga dalam Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dikemukakan bahwa selama
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat
keadaan-keadaan khusus yang pe, dipertimbangkan, maka batas Zona Ekonomi
Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama
jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar
Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negaranegara, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia termaksud.
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 disebutkan
bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan
dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut
teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal darimana lebar
laut teritorial masing-masing negara diukur. Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah
mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun 1978. Sistim
yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama dengan
yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik Indonesia
maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan terjadinya
penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur dari garisgaris pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi
kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan Mindanao) dan
134
bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara) perlu diadakan
penetapan batas-batasnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara
kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan,
maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara
kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di dalamnya
mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang berhadapan atau
bersampingan dengan negara lain.
Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa
dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu
sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang
sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garisgaris pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi
ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas.
Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982
mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi
bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan
penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah.
Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam Konvensi
Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa batas
landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-negara yang
berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan kecuaii kalau
garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus, perbatasan akan
ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6
ayat (2).
135
Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana
disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang
paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi
Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai
keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini
dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau
utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran
terhadap garis sama jarak. Salah satu contoh konfigurasi dari pulau utama yang
menciptakan prinsip sama jarak yang tidak adil dan merupakan salah satu sumber
sengketa adalah peradilan dalam kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun
1969, yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak dari kecekungan atau
kelekukan garis pantai Republik Federal Jerman dan negara-negara yang
berdekatan, yaitu Denmark dan Belanda. Pembenaran penetapan batas
berdasarkan prinsip sama jarak juga mencontohi praktek dari sejumlah negara.
Berdasarkan sejumlah ketentuan konvensi dan yurisprudensi maka
Churchill & Lowe, menyimpulkan bahwa paling sedikit ada empat prinsip yang
dapat diterima dengan jelas mengenai penetapan batas, yaitu :
(1) Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam
penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi
keadilan yang dilibatkan.
(2) Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari
hukum internasional.
(3) Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga,
harus menghasilkan prinsip solusi yang adil.
(4) Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan
penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan.
5.13
Kendala-Kendala Dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina
Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan
lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia
dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-keadan khusus
136
(special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan Filipina. Sebagai
contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di wilayah Sangihe
Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao Selatan-Filipina) yang
jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang berada pada posisi
diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara Pulau Kawio (yang ada
di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di bagian selatan Filipina),
yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan kondisi geografis antara
Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten Kepulauan Talaud
Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin Filipina yang berjarak 50
mil laut.
Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang
berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang yang
diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat
dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE, berdasarkan
keadaan-keadaan tertentu.
5.14
Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
Tata kelola sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan bagian tak
terpisahkan dari tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dari program pemerintah
secara umum. Oleh karena itu, tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil harus
mengikuti prinsip-prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance),
juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil yang
saat ini telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dan praktisi tata kelola
sumber daya pulau-pulau kecil.
Aturan hukum dibuat merupakan bagian tata kelola pemerintah untuk
membentuk perilaku individu dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan aturan hukum sangat tergantung pada
legitimasi dari masyarakat dan pemberian sanksi. Setiap upaya pembuatan
peraturan perundang-undangan harus mengacu pada kerangka hukum yang sudah
ada. Keseluruhan kerangka hukum inilah yang memberi identitas bagi sistem
hukum di Indonesia, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini :
137
Tabel 12 Tata Urutan Hukum yang dipergunakan di Indonesia
Hukum dan proses penyusunannya dapat digambarkan sebagai perangkat
utama dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan. Hukum akan menentukan
baik dan buruknya suatu tata kelola pemerintahan. Hukum yang berbasiskan pada
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seringkali disebut sebagai
faktor penentu keberhasilan pengelolaan yang berkelanjutan (Martin and Smith,
2000). Upaya menciptakan suatu sistem hukum yang bertalian dengan masyarakat
yang diaturnya haruslah didasarkan kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan
kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu, penyusunan suatu hukum harus
memperhatikan
ketentuan
sebagai
berikut:
(1)
menghindari
pemberian
kewenangan yang berlebihan; (2) menghindari pengaturan dan persyaratan yang
tidak perlu, berlebihan, dan sulit diterapkan; (3) mengakomodasi ketetapan yang
bersifat transparan, akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan yang
benar; (4) melibatkan tokoh masyarakat setempat; (5) menyelenggarakan proses
pelibatan publik yang luas; dan (6) meningkatkan efektivitas mekanisme
penegakan hukum (Lindsay, 2000).
Seluruh ketentuan ini dirangkai dengan delapan prinsip tata kelola
pemerintahan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian dasar yaitu proses,
substansi, dan keberpihakan. Proses pembuatan peraturan peraturan perundang-
138
undangan
hendaknya
mengikuti
prinsip-prinsip
transparansi/keterbukaan,
partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan. Substansi peraturan perundangundangan
hendaknya menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-prinsip
kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah, sosial-ekonomi,
kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan. Penerapan menguraikan
penyelenggaraan dan penegakan hukum, yang dituangkan lewat prinsip-prinsip
akuntabilitas, pelaksanaan, keputusan yang adil, keutuhan proses, dan kesempatan
dengar pendapat yang sama (Patlis, 2003).
5.15
Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat
Proses yang transparan dalam pengambilan keputusan memberikan kepada
masyarakat: (1) informasi tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2)
peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan
terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah
bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat
memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung.
Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara pemerintah dan
non pemerintah.
Partisipasi mendorong: (1) terciptanya
komunikasi publik untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk
kemudian
menyediakan
gagasan
baru
dalam
memperluas
pemahaman
komprehensif terhadap suatu isu (Axelrod, 1984). Partisipasi mengurangi
kemungkinan terjadinya konfl ik dalam menerapkan suatu keputusan (Ostrom,
1992) dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk
mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah (Estache, 1995). Partisipasi
publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap
rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3)
tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini
pemerintah.
Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara
pemerintah dan organisasi dalam pemerintah menyediakan mekanisme yang
139
melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan
memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi,
menekan konflik, membatasi ketidakefektifan, dan yang terpenting membatasi
jumlah produk hukum. Keterpaduan tidak mengurangi kewenangan suatu instansi,
melainkan sekadar mengurangi sifat keotonomiannya. Keterpaduan menghasilkan
pemerintah yang lebih efisien.
5.16
Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil
Akurasi llmiah dan pertimbangan sosial-ekonomi, dimana setiap peraturan
yang berhubungan dengan tata kelola wilayah pesisir hendaknya sarat dengan
keilmuan di dalamnya. Akan tetapi, pertimbangan sosial dan ekonomi akan
memperkaya nuansa dan muatan peraturan tersebut dalam upaya pengelolaan
wilayah pesisir. Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga
harus mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi
pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan kebutuhan
yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu kajian akademis terhadap
peraturan yang tengah dirancang atau ditetapkan perlu dilakukan, dengan
menekankan pertimbangan ilmiah, sosial, dan ekonomi di dalamnya.
Pendanaan berkelanjutan mengacu pada pendanaan yang cukup untuk
mengimplementasikan suatu peraturan. Pada sebagian besar wilayah, pendanaan
digunakan untuk keperluan administrasi dan operasional, dan hanya sedikit yang
digunakan untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada
alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan
merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Kejelasan peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan dengan
baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh masyarakat
(Seidman, et al., 2001; Botchway, 2001). Kejelasan mengacu pada bagaimana
suatu peraturan dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang
terdapat di dalamnya.
Akuntabilitas merupakan landasan dalam melaksanakan tata kelola
pemerintahan yang baik (Bennett, 2001), yang dapat mendorong perilaku
pemerintah, baik secara individu dan kelembagaan, untuk melaksanakan tanggung
140
jawab kepada publik dan menegakkan hukum (Turner and Hulme, 1997).
Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong
pengambilan keputusan secara lebih dewasa.
Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum
dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk
sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan
memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan
memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam
masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi
pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat.
Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan
perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi
semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan (Botchway, 2001).
Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan.
Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan
berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian,
setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak
mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat
dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan
menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia.
Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun
golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak
semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan
harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang
jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun.
Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang
menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ―Dalam membentuk peraturan
perUndang-Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan
perUndang-Undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
141
dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan
keterbukaan.‖
Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perUndangUndangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
adalah bahwa setiap jenis peraturan perUndang-Undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perUndang-Undangan yang berwenang.
Peraturan perUndang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Kesesuaian antara jenis dan
materi muatan adalah bahwa dalam pembentakan peraturan perUndang-Undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perUndang-Undangannya.
Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perUndang-Undangan harus memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa materi
142
muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut, yaitu
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka
tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
(1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
(2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
(3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
(4) Asas kekeluargaan‖ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
(5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
(6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndangUndangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
143
(8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Selain asas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndangUndangan yang bersangkutan. Penjelasan, yang dimaksud dengan ―asas lain
sesuai
dengan
bidang
hukum
peraturan
perUndang-Undangan
yang
bersangkutan‖, antara lain: (a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapi dana, dan asas praduga tak
bersalah; (b) dalam Hukum Peraturan Daerah, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Secara formal, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau
Kepala Pemerintah Daerah. Penyusunan sebuah Peraturan Daerah hanya dapat
diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya
memerlukan sebuah Peraturan Daerah baru. Inisiasi awal penyusunan Peraturan
Daerah baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan
sumber daya wilayah pesisir, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan
legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, maupun
kelompok masyarakat.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa ―penyelenggara pemerintahan daerah
144
dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta
atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan
kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah….‖ Lebih
lanjut ditegaskan bawha kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta Peraturan Daerah lain.
Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan
sebuah Peraturan Daerah baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua
jalur penyusunan Peraturan Daerah, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif.
Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan
badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum
melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok
masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi
menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif.
Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip
penyusunan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat
kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Peraturan Daerah. Pada
intinya, pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan satu bentuk
pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan
masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang
akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana Peraturan Daerah yang diusulkan akan
dapat memecahkan masalah tersebut. Konsep atau draft rancangan Peraturan
Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah
diidentifikasi dan dirumuskan. Seperti layaknya usulan pemencahan masalah yang
memerlukan kajian empiris, draft Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara
empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar-instansi. Lebih jauh,
rancangan Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan
pemecahan masalah secara teoristis. Sebagai pemecahan masalah, Peraturan
Daerah yang baru hendaknya dicek secara silang (crosscheck). Peraturan Daerah
perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektifan yang
sebenarnya.
145
Secara umum, terdapat 6 (enam) langkah yang perlu dilalui dalam
menyusun suatu Peraturan Daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat
bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.
(1) Langkah 1: Identifi kasi isu dan masalah;
(2) Langkah 2: Identifi kasi legal baseline atau landasan hukum, dan
bagaimana Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) baru dapat memecahkan
masalah;
(3) Langkah 3: Penyusunan Naskah Akademik;
(4) Langkah 4: Penulisan Rancangan Peraturan Daerah;
(5) Langkah 5: Penyelenggaraan Konsultasi Publik;
• Revisi Rancangan Peraturan Daerah;
• Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan;
(6) Langkah 6: Pembahasan di DPRD
(7) Langkah 7: Pengesahan Peraturan Daerah.
Gambar 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah
Proses legislative drafting sebenarnya sudah dimulai dalam penyusunan
naskah akademik. Isu dan masalah ditelaah dan dianalisis, dan pemikiranpemikiran serta tema-tema disajikan secara tertulis di dalam naskah akademik.
Hal ini akan membentuk struktur atau sistematika penulisan Peraturan Daerah
yang baru. Idealnya, proses penyusunan naskah akademik berlanjut secara alami
menuju proses penyusunan legislative drafting atau rancangan Peraturan Daerah.
146
Secara umum, legislative drafting hendaknya dimulai dengan penulisan
secara garis besar, lalu dilanjutkan ke penulisan yang lebih detil atau rinci. Tim
dapat memulainya dengan membuat satu kerangka tulisan (outline), atau dengan
merumuskan tujuan dari Peraturan Daerah yang dibuat, yang mengidentifi kasi
tema-tema utama dan ruang lingkup dari Peraturan Daerah yang baru.
Telaah naratif berdasarkan naskah akademik dapat dimasukkan di sini.
Tim penyusun hendaknya menyempurnakan ruang lingkup Peraturan Daerah yang
baru, melalui serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan, serta
didukung dengan hasil kerja anggota tim secara individu yang dikerjakan di antara
pertemuan-pertemuan tersebut. Naskah akademik hendaknya dipakai sebagai
dasar dalam melakukan pengecekan silang (cross-checking) dari usulan-usulan
yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan ini.
Dalam tahap-tahap awal, konsep rancangan Peraturan Daerah sebaiknya
tidak ditulis menyerupai suatu Peraturan Daerah. Draft awal hendaknya tidak
ditulis dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim dapat memulai dengan sebuah
matriks yang mengidentifi kasi masalah, mengusulkan pemecahan masalah, dan
tulisan hukum secara singkat yang berkaitan dengan dua hal tersebut.
Materi muatan Peraturan Daerah tentang pulau kecil, tentunya tidak dapat
diseragamkan untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penyusunan
Peraturan Daerah pengelolaan pulau kecil di daerah perbatasan, materi muatannya
hendaknya disesuaikan dengan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masingmasing daerah. Adapun materi muatan yang disajikan di bawah ini dimaksudkan
sebatas sebagai bahan acuan, yang penggunaannya harus mengikuti kebutuhan
masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Pada intinya, pengelolaan pulau kecil bertujuan untuk pengelolaan
berkelanjutan atas seluruh sumber daya yang berada di pulau kecil termasuk
wilayah pesisirnya dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku
kepentingan yang ada. Pengelolaan pulau kecil mengkoordinasikan dan
memadukan seluruh aktivitas di pulau kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya pesisir yang ada untuk tujuan ekonomi dan lainnya, dengan tetap
menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Konsep pengelolaan
pulau kecil memberi keleluasaan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk
147
tetap melakukan program dan aktivitasnya masing-masing di pulau kecil termasuk
wilayah pesisir. Seluruh sektor seperti kehutanan, pertambangan, perikanan dan
sebagainya masih tetap memiliki kewenangan masing-masing dalam mengelola
program dan aktivitas mereka di pulau kecil dalam wilayah pesisir. Program yang
dikehendaki adalah bahwa perencanaan dan pengelolaan seluruh program harus
dilakukan secara terpadu, agar semua program dan aktivitas yang dilakukan saling
memperkuat satu sama lain, tidak saling bertabrakan dan merugikan satu sama
yang lain.
Keterpaduan mutlak diperlukan dalam seluruh proses perencanaan dan
pengelolaan sumber daya pesisir yang bersifat multisektoral. Namun demikian,
mencapai keterpaduan perencanaan dan pengelolaan tersebut bukanlah hal yang
mudah. Apalagi, pengelolaan wilayah dan sumber daya pesisir sangat erat
kaitannya dengan tata kelola kepemerintahan yang kompleks, dan menghadapi
permasalahan-permasalahan sulit seperti kerancuan yurisdiksi, ketidakjelasan
kewenangan, serta status milik bersama (common property) dan akses terbuka
(open access) sumber daya pesisir pada umumnya. Untuk itulah, pengelolaan
sumber daya pesisir perlu melibatkan seluruh tingkatan, dari nasional hingga
pemerintahan desa, dan seluruh pemangku kepentingan pada setiap tingkatan
pemerintahan.
Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan melakukan pengelolaan pulau
kecil dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori. Kategori inilah yang
sedapat mungkin diikutsertakan dalam proses pengelolaan pulau kecil. Keempat
kategori tersebut ialah:
(1) Manfaat dari sumber daya laut dan darat (terrestrial) yang berkelanjutan,
termasuk ikan, karang, pantai, mangrove, estuari, laguna, dan sebagainya;
(2) Manfaaat pencegahan terjadinya pencemaran/polusi, baik yang berasal dari
darat maupun laut, dan perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat
pesisir;
(3) Peningkatan manfaat ekonomi dari industri pariwisata dan maritim;
(4) Pengembangan beberapa manfaat baru seperti energi dan ekowisata.
148
Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik
untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain
dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam
suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai
struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial
(Clark, 1996).
Di Indonesia, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan formal
tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu sudah berjalan selama beberapa
tahun. Di Sulawesi Utara, misalnya, warga di Desa Bentenan, Tumbak, Blongko,
dan Talise menyusun peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan daerah
perlindungan laut dan wilayah pesisir berbasis masyarakat pada tahun 2000-2002,
yang bertujuan menyediakan kerangka hukum di tingkat desa. Berikutnya, tahun
2002-2003, 24 desa di satu kecamatan (Likupang, Minahasa Utara) menetapkan
Perdes tentang pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir. Upaya
penyusunan Perdes di desa-desa lainnya di Sulawesi Utara kemudian dilakukan
oleh pihak-pihak terkait. Perdes di tingkat desa ini kemudian diikuti dengan
penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
jenjangnya, yaitu Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah berbasis
masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi. Di samping itu, upaya penyelesaian
rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tingkat nasional
saat ini sedang berlangsung.
Selain upaya-upaya yang telah di Sulawesi Utara, upaya serupa tengah
berlangsung di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi, yang difasilitasi oleh
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui proyek Marine and Coastal
Resources Management Project (MCRMP). MCRMP diikuti oleh 15 (lima belas)
provinsi dan 43 (empat puluh tiga) kabupaten/kota di Indonesia, yang sebagian
besar berupaya menyusun Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah
pesisir terpadu.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menjelaskan sejumlah pertanyaan, keraguan, dan inkonsistensi yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Banyak kerangka dasar
149
yang diboyong ke Undang-Undang baru. Pasal 2 dan 10 (10) pada UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 mencantumkan wewenang yang luas bagi
pemerintahan daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri. Jangkauan/lingkup
kewenangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 untuk provinsi dan Pasal 14 untuk
kabupaten
dan
kota,
dan
memasukkan
masalah
tata
ruang,
urusan
kemasyarakatan, monitoring lingkungan, dan beberapa urusan lain. Hak-hak
untuk
Pemerintah
Derah
(provinsi
dan
kabupaten/kota),
termasuk
mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam,
diatur dimuat dalam Pasal 21, dan pertanggungjawaban termasuk melindungi dan
melestarikan lingkungan dicantumkan dalam Pasal 22.
Pemerintah Provinsi perlu memiliki kemampuan dalam menangani
permasalahan-permasalahan antar-kabupaten/kota (Pasal 13), dan Pemerintah
Pusat dapat menolak peraturan-Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan
undang-undang (Pasal 136, 145). Bupati kepala daerah dipilih langsung, dan desa
diberi tanggung jawab lebih besar dalam menangani masalah-masalahnya,
meskipun tetap harus merujuk ke kabupaten (Pasal 200).
Undang-undang yang baru memberikan arahan lebih baik dibandingkan
dengan Undang-Unang Nomor 22 Tahun 1999 dalam mendorong tata kelola
pemerintahan yang baik. Masyarakat adat diakui dan diperhatikan, sesuai dengan
prinsip negara (Pasal 2). Prinsip-prinsip manajemen, akuntabilitas, dan efisiensi
menjadi pijakan bagi Pemerintah untuk bekerja (Pasal 11). Pengelolaan sumber
daya alam dilaksanakan dalam cara yang jujur dan harmonis (Pasal 26).
Masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah
(Pasal 139 ayat 1). Di sini dijelaskan juga bahwa Peraturan Daerah harus
mengikuti kerangka hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 139 ayat 2 dan
Pasal 145).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 4, menyatakan secara
umum
bahwa
ketentuan
tersebut
bertujuan
untuk
mengatur
dan
mengorganisasikan masyarakat setempat berdasarkan keputusan yang mereka
ambil dan aspirasi mereka sendiri. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wewenang
ini mencakup setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, hukum/keadilan, keuangan, dan agama. Pemerintah
150
Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal,
termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan
khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut (coastal waters),
yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan
pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12
mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan
tersebut. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan
sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut.
Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama,
dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas
tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah
dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah . Hal ini termasuk dalam hak-hak
pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hakhak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu
daerah.
Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi
Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berada di luar batas 12
mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan
kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, (Pasal 2
(3) (2) (a)), Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi,
memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di
perairan itu.
Hak pemerintah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Pasal 18 yaitu:
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumberdaya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah
dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
151
1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
2) pengaturan administratif;
3) pengaturan tata ruang;
4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi
sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua)
provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari
wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku
terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyusun peraturan
perundang-undangan, dari tingkat desa sampai ke tingkat Pemerintah Pusat, yang
secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sampai saat
ini di Provinsi Sulawesi Utara, setidaknya terdapat beberapa peraturan desa dan
peraturan daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah dibuat dan disahkan
yaitu di tingkat Kabupaten yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2
Tahun 2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; sedangkan
satu Peraturan Daerah provinsi yang telah diberlakukan adalah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Berbasis Masyarakat, yang dibuat belum dilandasi dengan UndangUndang khusus mengenai pengelolaan wilayah pesisir, karena Undang-Undang
152
yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di
tetapkan pada tahun 2007. Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undangUndang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu
pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga
saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten
yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib
melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah
pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan
cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan wilayah pesisir.
Oleh
karena
sebuah
peraturan
perundang-undangan
tidak
boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir
disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang baru ditetapkan.
Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara
didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan
peraturan perUndang-Undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun
mekanisme dalam menggulirkan prosesnya.
Sehingga, diharapkan akan
memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses
penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara.
153
5.17
Analisis Hierahi Proses Rancangbangun Hukum Pengelolaan PulauPulau Kecil
Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing
condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi,
pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil
wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil terluar.
Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah,
akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan sebagai berikut :
5.17.1 Faktor eksternal
Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan
ancaman. Peluang
adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi eksternal
yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar tercapai.
5.17.1.1 Peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
(1) Kebijakan nasional mendorong investasi.
Faktor ini menjadi peluang dengan alasan bahwa investasi adalah kunci
pertumbuhan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah dalam tataran nasional
untuk mendorong investasi maka pemanfaatan potensi sumber daya dalam
kaitannya dengan peningkatan pengelolaan di pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara semakin optimal. Investasi yang dapat dikembangkan
di pulau-pulau terluar berupa investasi di bidang pertanian, perikanan,
perkebunan, dan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya alam dan jasa
lingkungan yang dimiliki oleh pulau-pulau tersebut.
(2) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah.
Kebijakan pemerintah ini merupakan kebijakan pemberian kewenangan
kepada pemerintah daerah menurut kerangka perUndang-Undangan yang
154
berlaku untuk mengatur kepentingan pengelolaan daerah masing-masing.
Faktor ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan asli dareah
dengan mengembangkan sektor-sektor produktif.
(3) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber
daya alam.
Potensi pasar baik lokal, nasional, dan internasional akan kebutuhan hasil
olahan sumber daya alam menjadi dorongan untuk meningkatan nilai tambah
dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dan pemberdayaan aspek sosial
ekonomi masyarakat lokal pulau-pulau terluar
(4) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia.
Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk
menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas
maksimum yang sudah ditetapkan. Penetapan batas merupakan kepastian
hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar di bidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata,
pelayaran dan pertambangan.
(5) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga.
Kerjasama ini diharapkan mampu mengkoordinasikan kegiatan ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
Indonesia dengan negara-negara tetangga sehingga terbentuk sebuah
perjanjian atau persetujuan yang mengakomodir kepentingan masing-masing
negara.
(6) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar.
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005.
Dalam pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi
non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
5.17.1.2 Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
(1) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE).
Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati
dan ditetapkan secara bersama antara kedua negara. Faktor ini menjadi
155
ancaman karena ketidakjelasan batas-batas wilayah suatu negara akan
menimbulkan sengketa dengan negara tetangga dalam memberlakukan
wewenang pengelolaan kekayaan sumber daya.
(2) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara.
Respon pengawasan yang lemah akibat lemahnya perangkat hukum dan
perangkat kelembagaan merupakan ancaman untuk pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar yang menyebabkan berkembangnya kegiatan illegal dan
eksploitasi di kawasan perbatasan. Kegiatan illegal di daerah perbatasan
sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang seperti illegal fishing, illegal
logging, illegal trading, dan penyelundupan. Tindakan ini merupakan
ancaman karena akan menghambat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
(3) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan
masyarakat
memiliki
kebutuhan
dan
pandangan
berbeda
terhadap
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kepentingan ini bisa menjadi sebuah
konflik yang menghambat peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
di Provinsi Sulawesi Utara.
5.17.2 Faktor internal
Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan
kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal
yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing condition dari
segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar tercapai.
5.17.2.1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
(1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar
terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang,
lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat
prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi
156
strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa kelautan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
(2) Posisi geografis yang cukup strategis.
Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena
berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan kawasan
pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar bagi
Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Posisi
yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan keamanan
negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka pembangunan
pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.
(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau
kecil terluar.
Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya
program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian
dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil.
5.17.2.2 Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
Terluar
(1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar.
Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah
terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit
untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial, budaya,
politik, hukum, dan pertahanan keamanan.
(2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian.
Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan prasarana
perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik,
lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan
157
masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini merupakan
penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar.
(3) Terbatasnya sarana prasarana sosial.
Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas
kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah.
Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan wilayah pulaupulau terluar.
(4) Lemahnya koordinasi antar lembaga.
Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar masih
lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan perannya
sendiri-sendiri
bukan
berdasar
kebijakan
bersama.
Kelemahan
ini
menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulaupulau kecil
(5) Kontrol Pendanaan yang lemah.
Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari
pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program
pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang
cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari
pelaksanaan program-program tersebut.
(6) Batas Maritim yang belum selesai.
Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan
percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan
hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas peta
belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga negara
Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang tersentuh
pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan pembangunan di
perbatasan dari berbagai sektor.
(7) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada
pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif.
Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum
laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam
158
berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara
tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut.
(8) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan
kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu sistem
Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan perspektif
sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan keutuhan dan
kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia.
(9) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau perbatasan
negara.
Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi
pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulaupulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-Undang
yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap untuk
dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
5.18
Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal
Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu
dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal.
5.18.1 Evaluasi faktor eksternal
Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat
diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari
gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan
hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga
terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan,
pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.
Sebagai upaya yang diharapkan untuk mengetahui dan mengevaluasi akan
keberhasilan penegakan huku di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
159
undangan yang sudah diberlakukan maka perlu dilakukan evaluasi eksternal atas
implementasi kebijakan berdasarkan penerapannya.
Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat
dan skor pada masing-masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut :
Tabel 13 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
FAKTOR INTERNAL
PELUANG
1 Kebijakan nasional mendorong investasi
2 Kebijakan pemerintah dalam pemberian
otoritas pengelolaan wilayah
3 Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan
internasional terhadap hasil sumber daya
alam
4 Konvensi Internasional terhadap hukum laut
Indonesia
5 Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan
negara tetangga
6 Kebijakan pemerintah untuk membentuk
kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Jumlah
ANCAMAN
(9) Belum ada penetapan batas laut yang
disepakati bersama (ZEE)
(10)
Masih lemahnya respon pengawasan
perbatasan laut antar negara
(11)
Adanya konflik kepentingan antar
stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Total
BOBOT
PERINGKAT
SKOR
0.107
0.115
0.533
2.133
0.272
0.246
0.099
2.267
0.225
0.105
2.733
0.288
0.113
2.933
0.332
0.121
3.000
0.363
1.726
0.113
1.733
0.197
0.126
1.733
0.218
0.099
2.000
0.199
1
0.613
2.339
Berdasarkan Tabel 13, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai
skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi
ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal
adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot
0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan
penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit
160
kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan,
Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional.
Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk
membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang
merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu
melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran
sesuai kewenangannya.
Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong
investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah,
meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya
alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama
bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini dapat
dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek hukum dan
kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga
khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah
perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.
Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati
bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan
disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya
konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak
jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah.
Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
161
5.18.2 Evaluasi faktor internal
Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat
dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat
kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan
utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal.
Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 14 berikut :
Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal
FAKTOR INTERNAL
KEKUATAN
1. Adanya program dari pemerintah daerah
untuk pembangunan pulau-pulau kecil
terluar
2. Posisi geografis yang cukup strategis
3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan
kelautan yang besar
Jumlah
KELEMAHAN
1. Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar
2. Terbatasnya sarana dan prasarana
perekonomian.
3. Terbatasnya sarana prasarana sosial
4. Lemahnya koordinasi antar lembaga
5. Belum adanya UU yang khusus mengenai
pulau-pulau kecil terluar
6. Kontrol Pendanaan yang lemah
Jumlah
Total
BOBOT
PERINGKAT
SKOR
0.119
3.133
0.373
0.105
0.105
3.200
2.667
0.335
0.279
0.987
0.100
0.115
2.200
2.133
0.220
0.245
0.113
0.116
0.103
2.067
2.200
2.133
0.234
0.256
0.219
0.125
2.067
0.258
1.431
2.418
Berdasarkan Tabel 14, total skor faktor strategis internal mendapatkan
angka 2.418. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa
faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan
faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
lemah.
Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah
daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.119.
Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan pulau-pulau
kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam meningkatkan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan.
162
Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan
internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang
lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting karena merupakan
anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil terluar
dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang diperoleh dari berbagai
sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya agar terwujud hasil
yang nyata dan efektif dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Jika dana tidak terkontrol maka peluang terjadi penyalahgunaan dana semakin
besar sehingga program pengelolaan wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu.
Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor
kelemahan yang cukup dominan dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya sarana
dan
prasarana
yang
dilakukan
dengan
penyediaan
perangkat-perangkat
infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan
sangat
berpengaruh
pembangunan.
terhadap
Pembangunan
kelancaran
infrastruktur
terlaksananya
seperti
program-program
sarana
perhubungan
mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasarpasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003)
Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil
terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas SDM
merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang akan terlibat
langsung dalam program-program pembangunan sedangkan mereka belum
memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti pentingnya
pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di kawasan itu
kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh pemberdayaan
SDM.
Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi
antar lembaga dengan bobot 0.116 dan belum adanya UU yang khusus mengenai
pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.103. Kedua faktor ini adalah
permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan
rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan
operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif.
163
Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah
posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam dan
jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot 0.105 dan keterpencilan pulaupulau kecil terluar dengan bobot 0.100. Faktor-faktor ini adalah bagian dari
keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan
maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat
kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya
sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup
strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang
ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan 2.667
untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah potensi
yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga terkait
mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka akan
didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang
berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan di
laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat
dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya
transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul di
Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh karena
itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan mengacu pada
harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
5.19
Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal
Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara
bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan ini
menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada Gambar
15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan internal
diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal adalah
2.339 dan total skor evaluasi faktor internal adalah 2.418. Posisi ini ditunjukkan
oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V pada Gambar 18.
164
Total Skor IFE
Kuat
4,0
Tinggi
Rata-Rata
3,0
I
Lemah
2,0
II
1,0
III
Total Skor EFE
3,0
Menengah
IV
2,0
Rendah
VI
V
VII
VIII
IX
1,0
Gambar 18 Matriks IE (Internal Eksternal) posisi pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di Provinsi Sulawesi Utara
Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada kuadran V
artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang stabil atau
tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih belum
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari aspek
sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan.
Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti
pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat
ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Salah
satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan
sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara
Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan
pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat
kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan
sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan
secara kontinu.
165
Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan
perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari
faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara
membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatankekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal
ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif
merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi.
5.20 Analisis SWOT Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil
Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan
strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategis (strategic
planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis peengelolaan pulau kecil
terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini. Analisis SWOT adalah singkatan
dari lingkungan internal; Strenghts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal;
Opportunities dan Threats.
Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats)
ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan matriks
IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan ancaman akan
disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan sehingga dapat
menghasilkan beberapa strategi.
Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian
berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini di
lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks.
Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 19 Matriks SWOT yang
menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih.
166
Internal
Kekuatan (S)
SDA dan jasa lingkungan
4
kelautan yang besar (S1)
Posisi geografis cukup
5
tinggi (S2)
Adanya program dari
pemerintah daerah untuk
6
pembangunan pulau-pulau
kecil terluar (S3)
7
1
2
3
8
Eksternal
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Peluang (O)
Kebijakan
nasional
mendorong investasi (O1)
Kebijakan pemerintah dalam
pemberian
otoritas
pengelolaan wilayah (O2)
Meningkatnya
kebutuhan
pasar lokal dan internasional
terhadap hasil sumber daya
alam (O3)
Konvensi
Internasional
terhadap
hukum
laut
Indonesia (O4)
Kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara
tetangga (O5)
Kebijakan pemerintah untuk
membentuk
kelembagaan
dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (O6)
Ancaman (T)
Belum ada penetapan batas
laut yang disepakati bersama
(ZEE) (T1)
Masih
lemahnya
respon
pengawasan perbatasan laut
antar negara (T2)
Adanya konflik kepentingan
antar
stakeholder
dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (T3)
Kelemahan (W)
Keterpencilan
pulaupulau kecil terluar (W1)
Terbatasnya sarana dan
prasarana perekonomian.
(W2)
Terbatasnya
sarana
prasarana sosial (W3)
Lemahnya
koordinasi
antar lembaga (W4)
Kontrol Pendanaan yang
lemah (W5)
Belum adanya UU yang
khusus mengenai pulaupulau kecil terluar (W6)
SO
WO
Pelaksanaan
program
Pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan
(S1,S3, O1,O2,O3)
Pembangunan sistem dan
sinergi
kelembagaan
pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar (W4,O6)
Penetapan Batas wilayah Pembangunan
Sarana
yang disepakati Indonesia dan Prasarana Wilayah
dan Filipina (S2, O4, O5)
(W1-3,O1-3)
Peningkatan
kerjasama Peningkatan
kekuatan
bilateral dan Internasional sistem pendanaan (W5,
(S2, O4, O5)
O1)
Penataan ruang wilayah
pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara
(S1,S2, O1-3)
ST
Penetapan Batas wilayah
yang disepakati Indonesia
dan Filipina (S2, T1, T2)
Gambar 19 Matriks SWOT
WT
Perumusan Hukum dan
Peraturan
Pengelolaan
Pulau-Pulau
Kecil
Terluar (W6,T2)
Peningkatan
Keterpaduan
antar
stakeholder
dalam
pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar (W4, T3)
167
Berdasarkan Gambar 18, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari
10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
5.21
Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O)
Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain :
5.21.1 Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan
Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan
yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan
pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional
mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan
wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil
sumber daya alam.
Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut
pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai
dan
meningkatkan
pengelolaan
sumber
daya
pesisir
secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya pemanfaatan
sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau untuk kesejahteraan
manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan datang. Kegiatan-kegiatan
tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan
berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini bencana alam, manajemen
kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang pesisir secara terpadu,
pengelolaan
kawasan
konservasi
laut
sebagai
reservoir,
pengendalian
pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem mangrove, rehabilitasi
ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi
laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan laut.
168
Program
pengelolaan
SDA
dan
jasa
lingkungan
kelautan
juga
dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap
hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. Kebutuhan
ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemanfaatan
jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang apabila
dikembangkan
secara
optimal
mampu
memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya.
5.21.2 Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional
Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna
meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki
posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan
Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki tingkat
kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka salah
satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan
keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan
internasional.
5.21.3 Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar
SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang
cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk
menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah terhadap
pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut.
Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk
menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan,
budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan agar
tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum
dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan
keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan pada
potensi pulau yang bersangkutan.
169
Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian otonomi
daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan penataan ruang
wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik menginvestasikan dana karena
melihat prospek yang cukup menguntungkan. Begitu juga dengan pemberian
otonomi daerah akan membuat pemerintah daerah menjadi lebih leluasa
menggunakan perannya dalam mengatur kepentingan pengelolaan daerah masingmasing.
5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2,
O4, O5)
Batas wilayah darat dan
laut antara Indonesia dan Filipina perlu
ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang
belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar
yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama
penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan
kesejahteraan.
Penetapan batas wilayah
ini memanfaatkan peluang Konvensi
Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi
internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan yang
besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak
kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona
maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.
Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan
peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama
bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian
garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.
5.22
Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T)
Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang
dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara
menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah :
170
5.22.1 Strategi penetapan batas wilayah
Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai
kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi
ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih
lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga ada di
dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda.
5.22.2 Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina
Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan pulau
pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan
kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta
peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi kesalahan
wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara.
5.23
Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O)
Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk
mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang
yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang dengan
cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki.
5.23.1 Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulaupulau kecil terluar.
Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang mempunyai
kewenangan pengelolaan seperti Dewan maritim nasional, Ditjen Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu mengakomodir
permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-lembaga lainnya yang
memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi dengan sinkronasi yang
baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam pelaksanaan di lapangan.
Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam pengelolaan
171
perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk
yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan
Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri,
sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam.
Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan
kementerian yang lain.
Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut
mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu
bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi
sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien.
5.23.2 Pembangunan sarana dan prasarana wilayah
Strategi yang bertujuan untuk mengatasi kelemahan berupa keterpencilan
pulau-pulau kecil terluar, terbatasnya prasarana ekonomi dan sosial untuk meraih
peluang pertumbuhan investasi, otoritas wilayah dan peningkatan taraf hidup
masyarakat terutama pada aspek sosial dan ekonomi.
Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan pembangunan
sarana dan prasarana wilayah baik dari aspek ekonomi dan sosial. Pada aspek
ekonomi perlu dilakukan pengembangan infrastruktur transportasi dari pulau ke
pulau secara kontinyu, pembangunan sarana pelabuhan guna mendukung aliran
barang dan jasa, pengembangan sarana listrik dan air bersih, penyediaan fasilitas
komunikasi, pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pasar sebagai pusat
Peraturan Daerahgangan serta pengembangan lembaga perbankan atau keuangan
lainnya yang menjadi sarana kelancaran pelaku ekonomi untuk melaksanakan
usahanya.
Pada aspek sosial perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan
pengembangan pendidikan formal dan informal serta pembinaan dalam kegiatan
perekonomian dan sosial sehingga SDM memiliki informasi dan wawasan yang
memadai untuk peningkatan taraf hidupnya.
172
5.23.3 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)
Sistem pendanaan perlu diperkuat untuk mengatasi kontrol pendanaan
yang lemah dengan cara pembuatan alokasi anggaran untuk pelaksanaan programprogram pembangunan dan pengawasan terhadap penggunaan alokasi anggaran
tersebut yang melibatkan lembaga-lembaga independen demi penegakan
akuntabilitas publik.
5.24
Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T)
Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
5.24.1 Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (W6,T2)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang
khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon
pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan
peraturan
sangat
diperlukan
guna
menjamin
kepastian
hukum
dalam
penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.
Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang
mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi
Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan
keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan
pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan peraturan ini
akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun daerah dalam
pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.
5.24.2 Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (W4, T3)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar
lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
173
terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga pemerintah
pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi konflik akibat
kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut.
5.25
Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir
Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun
Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3 level
di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu untuk
merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan level 2
adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang produk
hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial ekonomi,
pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut terdapat pula
sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa alternativ
rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang pendukung
yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan budaya. Seperti
pada Gambar 20
Rancang Bangun Hukum
Pulau-Pulau Kecil Terluar
Sumber Daya
Alam
Sosial
Ekonomi
@Pendidikan
@Transportasi
@Adat-Istiadat
@Pemasaran
@Perikanan
@Perkebunan
Rancang Bangun
Hukum
Menurut
Pemerintah
Rancang Bangun
Hukum
Menurut
Akademisi
Pendanaan
Hukum
@APBN
@APBD
@LOAN/GRANT
@Nasional
@International
Rancang Bangun
Hukum
Menurut
Strategi Perwilayaan
Rancang Bangun
Hukum
Menurut
Penataan Batas
Wilayah Negara
Kelembagaan
@Nasional
@Daerahl
Rancang Bangun
Hukum
Menurut
Budaya Lokal
Gambar 19 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar
174
5.26
Kriteria
Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun , kriteria yang ada di ukur dengan
membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam menunjang
tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara level 2 yaitu
factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan, kelembagaan
dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum pesisir,
dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya alam sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan, atau
kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub faktor
hirarki.
5.27
Expert Judgment
Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini
diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian.
Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan (goal).
Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks
dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10), berdasarkan
hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para expert.
Penentuan expert didasarkan atas tingkat kepakarannya berdasarkan pendidikan,
pengalaman pekerjaan dan pengetahuan lainnya yang mempunyai hubungan erat
dengan maksud dan tujuan perolehan informasi dalam penelitian.
Pemilihan expert yang berhubungan dengan kebijakan, maka di tentukan
dan dipilih individu secara random dari kementerian yang ada kaitan dengan
kegiatan penelitian serta memenuhi kriteria-kriteria sebagai expert. Adapun yang
dipilih antara yaitu (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri
(3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum,
(5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah
Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe,
(12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor,
(15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 15
175
Tabel 15 Informasi untuk analisis expert
No
EXPERT
FUNGSI
1
Kementerian Luar Negeri,
Penyelesaian Perbatasan
2
Kementerian Dalam Negeri
Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah
3
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK
4
Kementerian Pekerjaan Umum,
Pembangunan Infrastruktur
5
TNI AL,
Pertahanan Keamanan Negara
6
DPR RI,
Penetapan Kebijakan Nasional
7
DPRD SULUT,
Penetapan Kebijakan Daerah
8
Pemerintah RI,
Peran Internasional di PBB
9
Pemerintah Filipina,
Peran Internasional di PBB
10
Pemerintah Provinsi SULUT,
Pelaksanaan tugas pembantuan
11
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe,
Pelaksanaan tugas pembantuan
12
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud,
Pelaksanaan tugas pembantuan
13
Akademisi,
Kajian Akademik
14
Investor,
Pengembangan Investasi
15
Tokoh Masyarakat/Adat
Informasi Sejarah dan Adat Istiadat
5.28
Penilaian Kriteria
Faktor/criteria diolah dengan menggunakan software AHP (Expert Choice
2000), penilaian dilakukan dengan membandingkan langsung (more important,
preferred or likely), beberapa penilaian akan objektif, warna hitam dalam table
matrik menunjukan angka masuk dan warna merah menunjukan 1 dibagi dengan
angka masukan. (angka masukan di dapat dari transformasi kuesioner dari para
expert).
Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari analisis
AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi. Hirarki analisis
AHP rancangbangun hukum dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar 18
Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini :
(1) Prioritas elemen faktor
Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil
176
analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan
pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 16 dan hasil
prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20
Tabel 16 Hasil analisis faktor AHP
Gambar 21 Hasil analisis faktor
Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu
program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17. Faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya
alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.
Tabel 17 Prioritas elemen faktor
No
1
2
3
4
5
FAKTOR
Hukum
Sumber Daya Alam
Kelembagaan
Pendanaan
Sosial Ekonomi
BOBOT
0.289
0.255
0.231
0.144
0.081
PRIORITAS
1
2
3
4
5
Berdasarkan Tabel 17 faktor yang menduduki prioritas pertama yang
mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan
177
bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya
permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, baik dari sisi
eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal, permasalahan hukum
yang terkait dengan negara tetangga adalah belum adanya penetapan batas negara
antara Indonesia dengan Filipina khususnya untuk pemanfaatan potensi pulaupulau kecil terluar.
Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih
kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum
menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber
daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum
merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan kewenangan
kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin sistem dan
mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif.
(2) Prioritas elemen strategi
Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar
dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi
Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut pemerintah,
[2]rancangbangun hukum menurut akademisi, [3]rancangbangun hukum
menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun hukum menurut penataan
batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun hukum menurut budaya lokal.
Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil analisis strategi dalam AHP dari
beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice dapat
dilihat pada Tabel 15 dan hasil prioritas elemen alternatif strategi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 18 dan analisis alternatif strategi pada Gambar 22
178
Tabel 18 Prioritas elemen alternatif strategi
No
STRATEGI RANCANGBANGUN
1
2
Rancangbangun Hukum Menurut Penataan
Wilayah Negara
Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah
3
BOBOT
Batas
PRIORITAS
0.226
1
0.222
2
Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan
0.211
3
4
Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi
0.180
4
5
Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal
0.161
5
Gambar 22 Hasil analisis alternatif strategi
Berdasarkan Tabel 18 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan
adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara.
Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara penetapan batas
wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta peningkatan kerjasama
bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini menjadi prioritas pertama
karena penetapan batas laut negara di daerah perbatasan akan menjamin kepastian
hukum untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial
ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan lebih efektif jika penetapan
batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga. Oleh karena itu batas laut zona
ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan Filipina segera diselesaikan
melalui pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun multilateral
dan mendapat pengakuan masyarakat internasional terhadap batas pengelolaan
negara di wilayah laut, demi kepentingan pengelolaan negara pantai di wilayah
pesisir dan laut, keberlanjutan sumber daya, kesejahteraan sosial ekonomi
179
masyarakat, keamanan pangan di laut, keamanan dan pertahanan, serta kesatuan
wilayah negara Republik Indonesia.
Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam
forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia
diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines
South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas
dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan kedua negara.
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,
komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi
dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari
orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan
(prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan
perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan
Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun
diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/
development approach). Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di
dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, diperlukan pertimbangan
terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui
penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.
180
Sas
ara
n:
Fa
kt
or:
Alter
nativ:
Rancangbangun Hukum dalam rangka
peningkatan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di sulawesi utara
Sumber
Daya
- Alam
Perika
nan
- (0,255)
Perkeb
unan
Rancang
bangun
Hukum
Menurut
Pemerin
tah
(0,222)
Sosial
Penda
Hukum
Ekonomi
naan
- Pendidi
- APB
-(0,289)
Nasi
(0,081)
(0,144)
kan
N
onal
- Transp
- APB
- Inter
ortasi
D
nasio
- Adat- Long
nal
Istiadat
gran
Ranca
Rancan
Rancangba
- Pemasagbangu t
ngban
ngun
ran
gun
n
Hukum
Hukum
Hukum
Menurut
Menur
Menur
Penataan
ut
ut
Batas
Akade
Strateg
Wilayah
i
misi
Negara
Perwila
(0,180)
(0,226)
yahan
(0,211)
Gambar 23 RBH
Kelem
bagaa
n
- Nasi
onal
-(0,231)
Daer
ah
Rancan
gbangu
n
Hukum
Menur
ut
Budaya
Lokal
(0,161)
181
5.29 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang
dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut
menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas
rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi
pertimbangan dalam pencapaian tujuan.
Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi
kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif
skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang dihasilkan
dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan usaha yang
komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan
sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis
alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa depan
untuk kurun waktu 5 – 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 19
Tabel 19 Analisis skenario
FAKTOR
Penetapan Batas
wilayah yang
disepakati Indonesia
dan Filipina
Kerjasama bilateral
dan Internasional
1A
Penetapan batas
wilayah justru akan
merugikan Indonesia
2A
Tetap dan kurang
memiliki pengaruh
dalam memperkuat
posisi geografis
Indonesia
SKENARIO
1B
1C
Penetapan batas
Batas Wilayah laut
wilayah masih
antara Indonesia
berbelit-belit dan
dan Filipina
tidak menghasilkan menjadi semakin
sebuah kesepakatan jelas dan
menghasilkan
kesepakatan yang
win-win solution
2B
Semakin
berkembang dan
memiliki pengaruh
yang signifikan
dalam memperkuat
posisi geografis
Indonesia
182
Program Pengelolaan
SDA dan jasa
lingkungan kelautan
Sinergi kelembagaan
Sistem pendanaan
Hukum dan Peraturan
Pengelolaan
Penataan ruang
wilayah
Sarana dan Prasarana
Wilayah
Keterpaduan antar
stakeholder
3A
Pelaksanaan program
kurang mendukung
kelestarian sumber
daya alam
4A
Tetap dalam arti
masih adanya
tumpang tindih
wewenang dan antar
lembaga kurang
bersinergi dalam
mencapai tujuan
5A
Semakin lemah
karena tidak adanya
keseriusan dalam
pengontrolan dana
6A
Gagal karena
kesadaran hukum
masih rendah
7A
Tetap
8A
Memberikan dampak
negatif terhadap
aspek sosial dan
ekonomi masyarakat
karena
ketidakbijakan dalam
pemanfaatan sarana
dan prasarana
tersebut
9A
Semakin buruk
karena tidak adanya
prinsip keterbukaan
dan tingkat
kepercayaan
masyarakat yang
rendah terhadap
pemerintah
3B
Pelaksanaan
program tetap atau
statis
3C
Pelaksanaan
program berjalan
efektif dan efisien
4B
Semakin kuat dan
efektif dalam
menjalankan
masing-masing
perannya
5B
5C
Semakin kuat
6B
6C
Mendukung dalam
penyelenggaraan
pengelolaan
Tetap
Tetap
7B
Mendukung dalam
penyelenggaraan
pengelolaan
8B
8C
Tetap dalam arti
Semakin
tidak berpengaruh
meningkatkan
aksesbilitas yang
memberikan
dampak positif
terhadap aspek
sosial dan ekonomi
masyarakat
9B
Tetap
9C
Semakin terpadu
karena adanya
prinsip
keterbukaan dan
peran serta antar
stake holder dalam
pengelolaan
183
Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden
pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5
tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan.
Alternatif
skenario
yang
mungkin
terjadi
terhadap
peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Tabel 20 Alternatif skenario
No
Skenario
Uraian Keadaan
1
Sangat Optimistik
2
Cukup Optimisrtik
3
Optimistik dengan syarat pertama
4
Optimistik dengan syarat kedua
Penyusunan Rancangbangun hukum di
wilayah perbatasan negara dan penetapan
batas negara termasuk ZEE
Penyusunan Rancangbangun hukum dan
menyelesaikan perundingan bilateral batas
negara dan ZEE
Penyelesaian Perundingan Bilateral
mengenai Batas Negara dan Nota
kesepakatan ZEE
Perundingan Bilateral penetapan ZEE
5
Pesimistik
Penyelesaian Mahkamah Internasional
Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu
program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17, faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber
daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.
Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini
maka dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice
2000. Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak
Kementerian Luar Negeri RI Tabel 21 dan Tabel 22 Sosial Ekonomi.
184
Tabel 21 Hasil kuesioner responden
Tabel 22 Sosial ekonomi
Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun
produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan
batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert
dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat :
berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah
rancangbangun hukum
menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun
hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut penataan
batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi (0.193) dan
rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil 0.154). Untuk
rasio inkonsistensi adalah 0.04.
Gambar 24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi
185
Secara total, hasil kuisioner dari semua expert yang sudah dimasukan
dalam expert choice 2000 dapat dilihat dalam Table 23
Tabel 23 Hasil analisis AHP total
RANCANG HUKUM MENURUT
No
1
2
3
4
5
PAKAR
(RESPONDEN)
KEMENTERI
AN LUAR
NEGERI
KEMENTERI
AN DALAM
NEGERI
KEMENTERI
AN
KELAUTAN
DAN
PERIKANAN
KEMENTERI
AN
PEKERJAAN
UMUM
TNI AL
KRITERIA
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
PEME
RINTA
H
AKAD
EMISI
STRATEGI
PERWILAY
AHAN
PENATAA
N BATAS
WILAYAH
BUD
AYA
LOK
AL
0.206
0.204
0.263
0.225
0.103
0.232
0.193
0.223
0.200
0.152
0.193
0.198
0.168
0.190
0.221
0.190
0.292
0.232
0.127
0.175
0.226
0.193
0.203
0.25
0.127
0.207
0.206
0.245
0.23
0.112
0.254
0.189
0.227
0.212
0.117
0.246
0.282
0.169
0.141
0.232
0.272
0.224
0.190
0.179
0.107
0.231
0.170
0.172
0.224
0.203
0.222
0.201
0.203
0.211
0.164
0.234
0.193
0.215
0.229
0.13
0.256
0.225
0.122
0.194
0.230
0.200
0.223
0.225
0.168
0.149
0.258
0.193
0.202
0.208
0.139
0.226
0.147
0.223
0.242
0.162
0.195
0.119
0.210
0.270
0.191
0.217
0.233
0.134
0.189
0.146
0.189
0.261
0.228
0.243
0.161
0.265
0.163
0.164
0.252
0.159
0.151
0.167
0.257
0.254
0.172
0.234
0.174
0.194
0.205
0.194
0.250
0.197
0.194
0.197
0.219
0.227
0.219
0.227
0.110
0.152
0.172
0.169
0.228
0.261
0.169
INSKON
SISTENS
I
186
6
DPR - RI
DPRD
SULUT
7
8
9
10
11
PEMERINTAH
INDONESIA
PEMERINTAH
FILIPINA
PEMERINTAH
SULAWESI
UTARA
PEMERINTAH
KAB.
KEPULAUAN
SANGIHE
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
0.190
0.175
0.190
0.232
0.198
0.229
0.173
0.195
0.229
0.173
0.222
0.189
0.157
0.196
0.194
0.233
0.283
0.233
0.145
0.149
0.229
0.173
0.195
0.229
0.173
0.221
0.186
0.206
0.201
0.185
0.174
0.194
0.205
0.234
0.194
0.224
0.219
0.198
0.219
0.224
0.219
0.224
0.240
0.131
0.102
0.246
0.107
0.222
0.257
0.169
0.229
0.173
0.195
0.229
0.173
0.210
0.171
0.252
0.241
0.118
0.258
0.252
0.101
0.14
0.178
0.223
0.247
0.252
0.137
0.126
0.186
0.199
0.191
0.257
0.167
0.247
0.160
0.255
0.212
0.117
0.165
0.170
0.202
0.259
0.203
0.232
0.229
0.152
0.190
0.233
0.207
0.193
0.203
0.200
0.171
0.221
0.185
0.206
0.201
0.186
0.224
0.160
0.302
0.187
0.127
0.193
0.155
0.163
0.297
0.193
0.259
0.21
0.149
0.109
0.196
0.252
0.225
0.252
0.171
0.169
0.253
0.149
0.199
0.231
0.168
0.167
0.148
0.295
0.195
0.295
0.211
0.105
0.160
0.340
0.176
0.219
0.255
0.184
0.177
0.197
0.22
0.202
0.225
0.176
0.253
0.194
0.194
0.161
0.257
0.194
187
12
13
14
15
PEMERINTAH
KAB.
KEPULAUAN
TALAUD
AKADEMISI
INVESTOR
TOKOH ADAT /
MASYARAKAT
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
SUMBER
DAYA
ALAM
SOSIAL
EKONOMI
PENDANAA
N
HUKUM
KELEMBAG
AAN
0.226
0.192
0.182
0.226
0.174
0.189
0.189
0.233
0.228
0.161
0.221
0.250
0.186
0.162
0.201
0.216
0.206
0.227
0.185
0.138
0.219
0.186
0.168
0.320
0.107
0.187
0.286
0.221
0.160
0.146
0.225
0.255
0.220
0.177
0.153
0230
0.226
0.236
0.226
0.192
0.156
0.192
0.229
0.150
0.160
0.225
0.225
0.194
0.208
0.149
0.194
0.174
0.205
0.234
0.194
0.188
0.188
0.208
0.208
0.208
0.167
0.217
0.167
0.166
0.200
0.206
0.205
0.206
0.261
0.206
0.169
0.298
0.232
0.235
0.166
0.232
0.198
0.175
0.198
0.198
0.183
0.195
0.209
0.162
0.232
0,216
0.229
0.121
0.203
0.24
0.190
0.288
0,207
0.134
0.171
0.186
0.164
0.204
0.211
0.235
Dalam Table 23 di atas terlihat bahwa Rancangbangun Hukum menurut
Pemerintah dan Penataaan Batas Wilayah merupakan pilihan mayoritas dari
sejumlah expert yang di minta pendapatnya, dengan kriteria hukum dan sumber
daya alam merupakan kriteria dominan dalam pengambilan keputusan untuk
menunjang pencapaian tujuan untuk merancang suatu Rancangbangun Hukum
Pulau-Pulau Terluar di wilayah perbatasan Indonesia bagian Utara.
5.30
Sintesis
Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi prioritas
dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah
188
ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan
pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai untuk
alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang terbaik
adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Tabel 18 sintesis yang
dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam menghasilkan
produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum menurut penataan
wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut pemerintah (0.222),
RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi (180), dan
rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi adalah 0.04
yang masih dalam batas rasio normal.
Gambar 25 Sintesis rancangbangun hukum penataan wilayah
5.31
Sensitivitas Analisis
Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana
perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang
ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau
criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya.
Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan
beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head to
Head.
5.32
Sensitivitas dinamis
Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang
hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada
didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),
189
Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%).
Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic) yaitu
nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut penataan
batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan (22%), RH
menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH menurut
budaya (13.8%)
Gambar 26 Dinamik sensitive
5.33
Analisis head to head
Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari
setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini
membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan
ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga
keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada.
Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara dengan
RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari kriteria
yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan wilayah negara
190
mempunyai skala prioritas utama. Dalam perbandingan dengan Rancangbangun
Hukum lainnya juga disimpulkan bahwa RH menurut Penataan Batas Wilayah
Negara menjadi skala prioritas utama.
Gambar 27 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah
5.34 Penentuan Prioritas Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil
Prioritas strategi merupakan pemilihan strategi berdasarkan prioritas dari
rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Strategi yang
terpilih menjadi prioritas dan dianggap sesuai dengan keadaan faktor yang
dipertimbangkan dalam pelaksanaannya. Faktor ini adalah kriteria-kriteria
pertimbangan dalam memprioritaskan strategi.
Informasi yang digunakan dalam menganalisis dengan metode AHP
(Analytical Hierarchy Process) ini berasal dari responden-responden yang
mengetahui dan memahami pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi
Utara untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Responden-responden
tersebut dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akedemisi, dan
masyarakat lokal.
Dalam penentuan prioritas strategi maka sasaran dan faktor yang
mempengaruhi
perlu
di
rumuskan
untuk
mendapatkan
suatu
produk
191
rancangbangun hukum yang optimal dan sesuai dengan potensi sumber daya yang
ada dan ditunjang oleh semua aspek penunjang pelaksanaanya.
Metode yang dipakai untuk mencapai sasaran atau tujuan menggunakan
metode AHP, sasaran atau tujuan dalam analisis AHP merupakan bagian penting
sehingga sedemikian rupa ditempatkan paling atas pada susunan hirarki AHP.
Sasaran ini menjadi acuan secara langsung bagi kriteria faktor. Kriteria ini
diperlukan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan yang
berupa penetapan prioritas strategi. Elemen-elemen sasaran, kriteria, dan strategi
tersebut dijelaskan sebagai berikut :
5.35
Elemen sasaran
Sasaran yang ingin dituju adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau-
pulau kecil terluar sehingga dapat menjadi solusi dari beberapa masalah-masalah
(coastal disease) di wilayah pulau-pulau kecil terluar yang sudah berlangsung
sejak dulu hingga saat ini, antara lain permasalahan batas wilayah negara,
pemanfaatan sumber daya belum optimal, sarana dan prasarana yang terbatas,
permasalahan
hukum,
sosial
ekonomi
dan
kesejahteraan
masyarakat,
keterpencilan, dan Peraturan Daerahgangan ilegal.
5.35.1 Elemen faktor
Faktor dalam analisis AHP diartikan sebagai faktor yang dipertimbangkan
ataupun diperlukan dalam mendukung upaya pencapaian sasaran, dalam hal ini
adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar. Faktor yang
dipertimbangkan adalah aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan,
hukum
dan
kelembagaan.
Keterpaduan
aspek
ini
diharapkan
mampu
mengoptimalkan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
5.35.2 Elemen strategi
Alternatif strategi dari perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau
kecil terluar terdiri dari lima strategi antara lain rancangbangun hukum menurut
pemerintah, rancangbangun hukum menurut akademisi, rancangbangun hukum
menurut strategi perwilayahan, rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah negara, dan rancangbangun hukum menurut budaya lokal.
192
Unsur-unsur strategi rancangbangun hukum tersebut disusun dari strategistrategi yang dihasilkan dari matriks SWOT. Penyusunan unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut : RB Hukum menurut Pemerintah, Akademisi, Stategi
Perwilayahan, Penataan Batas Wilayah dan Budaya lokal.
5.36
Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah
Rancangbangun hukum menurut pemerintah terdiri dari empat unsur
strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut pemerintah adalah sebagai berikut :
(1) Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3,
O1,O2,O3)
(2) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (W4,O6)
(3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)
(4) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)
Gambar 28 Head to head RH pemerintah
5.37
Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi
Rancangbangun hukum menurut akademisi terdiri dari dua unsur strategi
yang memadukan kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan
193
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
akademisi adalah sebagai berikut :
(1) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (W4,O6)
(2) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)
Gambar 29 Head to head RH akademisi
5.38
Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan
Rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan terdiri dari dua
unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, dan peluang dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut strategi perwilayahan adalah sebagai berikut :
(1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
(S1,S2, O1-3)
(2) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3)
Gambar 30 Head to head RH stategi perwilayahan
194
5.39
Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal
Rancangbangun hukum menurut budaya lokal terdiri dari satu unsur
strategi yang memadukan kelemahan dan ancaman dari peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut budaya lokal
hanyalah peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (W4, T3)
Gambar 31 Head to head RH budaya lokal
5.40
Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara
Rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara terdiri dari
dua unsur strategi yang memadukan kekuatan dan peluang dari peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
penataan batas wilayah negara adalah sebagai berikut :
(2) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5)
(3) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5)
Gambar 32 Head to head RH penataan batas wilayah
195
5.41
Rekomendasi Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17
ayat (3) menentukan bahwa ―Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat
atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).‖ Ketentuan ini kemudian digunakan secara
bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan suatu
rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.
Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah
sebagai
upaya
untuk
menyelaraskan,
menyesuaikan,
memantapkan
dan
membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun
yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan,
sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih
(overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan ―Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal
dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan‖.
Dengan ketentuan tersebut, peran Direktorat Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan menjadi semakin penting, karena Direktorat Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan
Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang ditugaskan untuk melakukan
koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya
terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPERPRES).
Terhadap
peraturan
perundang-undangan
yang
disampaikan
oleh
pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian. Rapat
196
pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing subdirektorat sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
Implementasi Hukum & Kelembagaan
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Undang- Undang
Wilayah Negara
Undang- Undang
Pemerintahan Daerah
Undang- Undang
Perikanan
Undang- Undang
Konservasi
Undang- Undang
Sumberdaya Alam
KONVENSI INTERNASIONAL YANG DIRATIVIKASI : UNCLOS 1982
Landasan Formil dan Materil
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Gambar 33 Rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
Rancangbangun hukum menginventarisasi sejumlah peraturan perUndangUndangan yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di perbatasan negara termasuk pengelolaan wilayah pesisir seperti yang
tercantum dalam Tabel 24 di bawah ini
Tabel 24 Daftar Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan
wilayah pesisir.
1
2
3
Peraturan
PerundangNomor dan Tahun
undangan
Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
No.
Nomor 1 Tahun 1962
Nomor 16 Tahun 1964
Nomor 11 Tahun 1967
Nomor 1 Tahun 1973
Nomor 8 Tahun 1981
Nomor 5 Tahun 1983
Nomor 2 Tahun 1986
Nomor 5 Tahun 1986
Nomor 5 Tahun 1990
Tentang
Perubahan Ke IV
Perairan Indonesia
Peraturan
Dasar
Pokok-Pokok
Agraria
Karantina Laut
Bagi Hasil Perikanan
Ketentuan Pokok Pertambangan
Landas Kontinen Indonesia
Hukum Acara Pidana
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Peradilan Umum
Peradilan Tata Usaha Negara
Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya
197
13
14
15
16
17
18
Peraturan
Perundangundangan
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 9 Tahun
Nomor 5 Tahun
Nomor 12 Tahun
Nomor 14 Tahun
Nomor 15 Tahun
Nomor 16 Tahun
1990
1991
1992
1992
1992
1992
19
20
21
22
23
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 21 Tahun
Nomor 23 Tahun
Nomor 24 Tahun
Nomor 10 Tahun
Nomor 4 Tahun
1992
1992
1992
1995
1996
24
25
26
27
28
29
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 6 Tahun
Nomor 7 Tahun
Nomor 15 Tahun
Nomor 18 Tahun
Nomor 20 Tahun
Nomor 21 Tahun
1996
1996
1997
1997
1997
1997
30
31
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 23 Tahun 1997
Nomor 4 Tahun 1999
32
33
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1999
Nomor 25 Tahun 1999
34
Undang Undang
Nomor 28 Tahun 1999
35
Undang Undang
Nomor 30 Tahun 1999
36
Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999
37
38
39
40
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 36 Tahun 1999
Nomor 41 Tahun 1999
Nomor 43 Tahun 1999
Nomor 16 Tahun 2000
41
42
43
44
45
46
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2000
Nomor 34 Tahun 2000
Nomor 22 Tahun 2001
Nomor 16 Tahun 2002
Nomor 3 Tahun 2002
Nomor 18 Tahun 2002
47
48
49
50
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 28 Tahun 2002
Nomor 17 Tahun 2003
Nomor 27 Tahun 2003
Nomor 2 Tahun 2004
No.
Nomor dan Tahun
Tentang
Kepariwisataan
Kejaksaan
Sistem Budidaya Tanaman
Lalulintas dan Angkutan Jalan
Penerbangan
Karantina
Hewan
Ikan
dan
Tumbuhan
Pelayaran
Kesehatan
Penataan Ruang
Kepabeanan
Hak Tanggungan atas Tanah beserta
Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah.
Perairan Indonesia
Pangan
Ketransmigrasian
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
Pemerintahan Daerah
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan
Nepotisme
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Telekomunikasi
Kehutanan
Pokok Pokok Kepegawaian
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Minyak Bumi
Yayasan
Pertanahan Negara
Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Bangunan Gedung
Keuangan Negara
Panas Bumi
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
198
51
52
53
54
55
Peraturan
Perundangundangan
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 4 Tahun 2004
Nomor 7 Tahun 2004
Nomor 8 Tahun 2004
Nomor 9 Tahun 2004
Nomor 10 Tahun 2004
56
57
56
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2004
Nomor 19 Tahun 2004
Nomor 25 Tahun 2004
59
60
61
Undang Undang
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 31 Tahun 2004
Nomor 32 Tahun 2004
Nomor 33 Tahun 2004
62
63
Undang Undang
Undang Undang
Nomor 26 Tahun 2007
Nomor 27 Tahun 2007
64
65
Undang Undang
Peraturan
Pemerintah
Peraturan
Pemerintah
Peraturan
Pemerintah
Keputusan
Presiden
Keputusan
Menteri
Kelautan dan
Perikanan
Keputusan
Menteri
Kelautan dan
Perikanan
Peraturan
Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2008
Nomor 47 Tahun 1997
72
Peraturan
Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2008
73
Peraturan
Menteri
Kelautan
Peraturan
Presiden
Peraturan
Presiden
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Peraturan
Daerah Provinsi
Nomor Per.16/Men/2008
No.
66
67
68
69
70
71
74
75
76
77
Nomor dan Tahun
Nomor 19 Tahun 1999
Nomor 82 Tahun 2001
Nomor 32 Tahun 1990
Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Sumber Daya Air
Peradilan Umum
Peradilan Tata Usaha Negara
Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Perkebunan
Kehutanan
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Perikanan
Pemerintahan Daerah
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Penataan Ruang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Wilayah Negara
Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Pengololaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Pengendalian Pencemaran Dan/Atau
Perusakan Laut
Pengelolaan Kawasan Lindung
Nomor 41 Tahun 2000
Pedoman Umum Pengelolaan Pulaupulau Kecil yang berkelanjutan dan
Berbasis Masyarakat
Nomor 10 Tahun 2002
Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Pesisir Terpadu
Nomor 38 Tahun 2002
Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia
Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2002 Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nomor 78 Tahun 2005
Nomor 12 Tahun 2010
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar
Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Nomor 2 Tahun 2002
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
Nomor 38 Tahun 2003
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut Terpadu Berbasis Masyarakat
199
5.42
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian
ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang).
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundangundangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan perundangundangan.
Dengan
memahami
konstitusi
maka
pembentukan
peraturan
perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang benar yang
dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengertian Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan dan Pentingnya dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan
Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural
terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam
dasar hukum ―mengingat‖ suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan
untuk memberikan tanda (sign) bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum
―mengingat‖ suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk.
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian
diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dituangkan dalam
norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih
lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat)
200
disesuaikan dengan keinginan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden)
sebagai kebijakan/politik hukum (legal policy) namun harus tetap dalam
pemahaman koridor konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini
melalui metoda penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk
undang-undang (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi terhadap
(pasal-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijabarkan dalam suatu undang-undang maka yang dimenangkan adalah
penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan
penafsir akhir konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution).
Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan menjadi penting
dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan
wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundangundangan yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen. Dalam
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan
konstitusional semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) maupun dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada kewenangan
konstitusional semacam ini yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung hanya didasarkan
undang-undang, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004).
Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan
201
kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan konstitusional semacam ini
belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan faham/sistem
‖Supremasi Konstitusi‖ di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem checks and
balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang
dapat diuji secara judicial (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, yang
selama kurang lebih 55 tahun usia Republik Indonesia suatu undang-undang tidak
dapat diganggu-gugat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pra amendemen memang tidak diatur mengenai pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga timbul kesan pemahaman yang
sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 bahwa
undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is ondschendbaar)
sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat (2)
UUDS 1950.
Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2001) di Era
Reformasi, undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar.
Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian
secara legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang
mengujinya adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966.
Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan
konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan
kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang
sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan
perundang-undangan
di
bawah
undang-undang
terhadap
undang-undang,
pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-
202
undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundangundangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Teknik Pembuatan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundangundangan, sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi
prosedural
terhadap
pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
yang
dicantumkan dalam dasar hukum ―mengingat‖.
Pembuatan atau prosedur pembuatannya apabila tidak benar atau
menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam
Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk undang-undang) dan Tata tertib DPRD
(untuk Peraturan Daerah) serta prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 dan undang-undang Pemerintahan Daerah (bagi Perda),
maka undang-undang dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh
oleh Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang) atau oleh Mahkamah Agung
(untuk Peraturan Daerah).
Berdasarkan pemahaman di atas maka Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan untuk:
(1) Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Undang-Undang (UU) adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari Presiden/Pemerintah), Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari DPR);
(3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Pasal 22
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
203
(4) Peraturan Pemerintah (PP) adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(5) Peraturan Presiden (Perpres) adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(6) Peraturan Daerah (Perda) adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Landasan Materiil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasalpasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dicantumkan juga dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu Peraturan Perundangundangan yang (akan) dibentuk.
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini
kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan
dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh
dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan
kalau kurang jelas.
Pencantuman pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan
perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan
dijabarkan dalam batang tubuh peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebagai
contoh, misalnya akan dibentuk Rancangan Undang-Undang (Undang-Undang)
tentang Partai Politik, dicantumkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena pasal ini memuat hak-hak dasar manusia
(dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan
politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam dasar hukum
―mengingat‖ suatu rancangan undang-undang (undang-undang) memberikan
indikasi bahwa landasan materiil konstitusional rancangan undang-undang
(undang-undang) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di
bidang ekonomi dan sumber daya alam (SDA).
204
Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan
secara ringkas dalam konsiderans ‖menimbang‖, dan dijabarkan atau dituangkan
lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam ‖Batang Tubuh‖, sampai dengan
‖Penjelasan‖
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan
kalau
dibutuhkan.
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundangundangan kemudian diberikan landasan undang-undang yaitu Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Dalam Lampiran Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan:
(1) Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok–pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang–
undangan.
(2) Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau
peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang
menjadi latar belakang pembuatannya .
Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan
tertentu (khususnya undang-undang dan peraturan daerah) harus mempunyai
landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam ‖menimbang‖
dan dasar hukum ‖mengingat‖.
Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu
undang-undang/peraturan daerah merupakan hakekat (inti) dari landasan formil
dan materiil konstitusional Peraturan Perundang-undangan. Unsur filosofis yang
akan diuraikan secara singkat dalam ‖menimbang‖ ini terkandung dalam:
(1)Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(tersurat-tersirat);
(2)Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3)Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah ‖dirangkum‖ dan ‖dimuat‖
dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila; atau
205
(4)Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam Peraturan Perundangundangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang akan
diatur (relatif).
Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undangundang/peraturan daerah adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam
masyarakat. Misalnya: dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika unsur sosiologisnya adalah adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika yang semakin banyak terjadi di masyarakat yang dapat merusak
tatanan
Unsur
kehidupan
yuridis
bermasyarakat,
yang dimuat
dalam
berbangsa,
latar
dan
belakang dibuatnya
bernegara.
undang-
undang/peraturan daerah adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada baik yang menjadi dasar hukum ―mengingat‖ maupun yang berkaitan
secara
langsung
dengan
substansi
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
Disamping Butir 17-18, Landasan Formil dan Materiil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
diberikan alas hukum juga yaitu dalam Butir 26 yang berbunyi: Dasar hukum
memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan. Ketentuan dalam Butir 26 tersebut berisi landasan formil
dan materiil konstitusional, apabila menyangkut Undang-Undang Dasar. Kalau
menyangkut peraturan perundang-undangan lain di bawah Undang-Undang Dasar
dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis (yuridis formilmateriil) peraturan perundang-undangan.
Contoh: Landasan formil dan materiil konstitusional dan yuridis formilmateriil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
adalah:
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
206
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan tata Kerja Lembaga
Tertinggi Negara dan/atau AntarLembaga-lembaga Tinggi Negara;
(3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951).
Kedudukan
Ketetapan
MPR
dalam
Dasar
Hukum
‖Mengingat‖
Ketetapan MPR (TAP MPR) dapat dimuat dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu
undang-undang sebagai ―landasan materiil konstitusional‖ (kalau TAP MPR
dikategorikan aturan/hukum dasar). Kalau TAP MPR dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan bukan hukum dasar maka TAP MPR dapat
didudukkan sebagai ‖landasan materiil-yuridis‖ dari pembentukan suatu undangundang, apabila dalam TAP MPR tersebut ada perintah langsung (secara tegas)
untuk
mengatur
lebih
lanjut
substansinya
ke
dalam
undang-undang.
Pada masa Orde Baru TAP MPR tentang GBHN pada umumnya menjadi dasar
hukum (‖mengingat‖) suatu undang-undang, misalnya TAP MPR Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum memerintahkan secara tegas agar dibentuk
Undang-Undang tentang Referendum. Contoh lain adalah perintah TAP MPR
Nomor VI/MPR/2002 kepada DPR dan Presiden untuk merevisi (mengubah)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Berdasarkan TAP MPR Nomor
I/MPR/2003 masih ada beberapa TAP MPRS dan TAP MPR yang masih
‖diberlakukan‖ atau ‖berlaku‖ dengan syarat sampai terbentuknya undang-undang
yang mengatur substansi yang ada dalam TAP MPR tersebut atau selesainya
masalah yang disebutkan dalam TAP MPR tersebut.
Arahan kedepan, disepakati MPR tidak akan membuat lagi produk hukum
berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR
Nomor 7 jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih
dimungkinkan dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam
bentuk/arti beschikking sehingga ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 10/2004 dan Penjelasannya tak mungkin dapat dilaksanakan yang
207
berkaitan dengan TAP MPR karena MPR tidak akan mengeluarkan lagi TAP
MPR yang mengikat ke luar sebagai jenis peraturan perundang-undangan.
Kebijakan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan pulaupulau kecil terluar di perbatasan negara pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 dalam Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739.
Berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang sangat terkait
diantara perUndangan-Undangan yang diinventarisasi dalam Tabel 24 di atas
yaitu:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslklusif
(3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nation Conventin on the Law of the Sea.
(4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
(5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
(6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati
(8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(9) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(10) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(11) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
(13) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(14) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
(15) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar
208
(16) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
(17) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2008
tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(18) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan
5.43
Dasar Penentuan Batas Laut dan Penanganan Hukum
Sejarah membuktikan, baik ―Mare Liberum‖ Belanda maupun ―Mare
Clausum‖ Inggris, tidak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan
konsekwen. Grotius sendiri dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625)
mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang
dapat dikuasai dari darat. Sedangkan Selden mangakui hak-hak negara untuk
memiliki lautnya masing-masing dan mengakui adanya hak ―innocent passage‖
atau hak lintas damai di laut-laut yang dimiliki atau dituntut (Djalal 1979).
Mengenai berapa lebar laut yang dapat dikuasai (laut wilayah) oleh suatu
negara menurut Bynkerhoek seorang sarjana Belanda, mengatakan, sampai di
mana kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan
selebihnya adalah bebas untuk dinikmati seluruh umat manusia. (Kusumaatmadja
1979 dan Hasjim. 1979).
Pada waktu itu umumnya negara-negara maritim di Eropa mempraktekkan
laut teritorial 3 mil tersebut, tetapi ajaran 3 mil tembakan meriam tersebut
bukanlah satu-satunya aturan Hukum Internasional mengenai lebar laut wilayah.
Sejak saat itu negara-negara Eropa telah menerima ajaran pembagian laut yang
dapat dimiliki oleh suatu negara dengan adanya “Innocent Passage” dan di luar
itu adalah laut lepas yang dapat dimiliki oleh semua negara. Dalam hal
menentukan mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam
praktek negara-negara. Dalam perkembangannya dalam usaha untuk menentukan
lebar laut wilayah masalah lintas damai “innocent passage” selalu diterima.
209
Perkembangan lahirnya konsepsi lahirnya laut teritorial, konsepsi antara
laut terbuka (mare liberum) dan laut tertutup (mare clausum) akhirnya tercapai
kompromi, Inggris juga lambat laut menerima ajaran kebebasan lautan, sedangkan
Belanda mengakui hak suatu negara untuk menguasai laut yang berbatasan
dengan pantainya sejauh yang dapat dijangkau oleh tembakan meriam. Sedangkan
pendekar-pendekar kedaulatan atas lautan masa lalu Portugal dan Spanyol telah
mengalami kemerosotan.
Sejarah perbatasan membuktikan bahwa wilayah perairan Pulau Miangas
dan Pulau Marore rawan terhadap konflik sosial, terutama berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya alam dan perdagangan berbagai komuditas. Data hasil
analisi penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% responden mengatakan bahwa
perangkat hukum yang ada di Pulau Miangas dan Pulau Marore telah cukup
tersedia dan berfungsi, hal ini didukung oleh tersedianya unit kerja yang terkait
dengan hukum, antara lain Kepolisian Sektor (Polsek) , Komando Rayon Militer
(Koramil), Polisi Air dan Udara (Polairud), Bea Cukai, Pos Angkatan Laut. Unit
kerja ini berfungsi untuk menjaga kepentingan negara dari gangguan negara asing.
Namun demikian, di kedua pulau tersebut belum ada instansi Kejaksaan dan
Pengadilan, sehingga permasalah permasalah hukum harus diselesaikan di ibu
kota kabupaten yaitu di Melongguane dan Tahuna. Kantor Perwakilan Negara
Filipina telah ada di kedua pulau tersebut, untuk menfasilitasi pelintas batas antara
warga negara Indonesia yang akan berkunjung ke Filipina dan atau sebaliknya,
serta menjadi kantor penghubung bagi kedua negara apabila terjadi permasalahan
di laut, terutama nelayan-nelayan Filipina yang memasuki wilayah laut Indonesia.
Keterbatasan personil pada unit kerja di Pulau Miangas dan Pulau Marore
menyebabkan unit kerja kurang responsive dan harus selektif dalam penyelesaian
masalah keamanan dan konflik kepentingan yang sering terjadi. Konflik yang
sering terjadi di perbatasan adalah nelayan Filipina yang memasuki wilayah
perairan Indonesia, dan penyelundupan barang-barang yang dilakukan oleh
nelayan dan pelintas batas.
210
5.44
Politik dan Pertahanan Keamanan
Pembinaan politik di Pulau Miangas secara administrasi dilakukan oleh
Camat, karena pulau tersebut merupakan Kecamatan Khusus, sedangkan untuk
Pulau Marore, masih dilakukan oleh Kepala Desa. Secara fungsional, pembinaan
pertahanan dan keamanan dilakukan dengan koordinasi antara Kepolisian,
Angkatan Laut dan Komando Rayon Militer (Koramil) sebagai upaya untuk
menangkal infiltrasi budaya dan ideologi asing yang masuk dari Pulau Mindanao
di Filipina.
Sebagai upaya tangkal akibat kejahatan transnasional di daerah perbatasan,
dilakukan patrol bersama antar instansi terkait, dan melakukan penyuluhan dan
informasi kepada masyarakat tentang cegah tanggal apabila menemukan
pendatang-pendatang yang di curigai bukan warna kampong. Dengan demikian
masyarakat melaporkan kepada pihak aparat yang berwewenang untuk
pengusutan dan proses penyelidikan dan penyidikan.
Kajian hukum permasalahan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Filipina, mensyaratkan untuk dilakukan kebijakan penyusunan peraturan
perundangan-undangan yang khusus mengatur pulau-pulau perbatasan negara
dengan berpedoman pada prinsip-prinsip rancangbangun hukum.
5.45 Prinsip dan Mekanisme Rancangbangun Hukum Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar
Prinsip dan mekanisme pengaturan bagi rancangbangun hukum dan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, perlu untuk dituangkan dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU). Bagian pertama menjelaskan tentang prinsip-prinsip
mekanisme dasar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Bagian kedua membahas
ruang lingkup dan obyek pengaturan. Bagian ketiga membahas tentang
mekanisme pengaturan secara khusus yang diatur didalam RUU, dan bagaimana
mekanisme itu dapat dilaksanakan. Bagian keempat, mengkaji beberapa isu utama
yang akan ditangani melalui perundang-undangan. Isu dan obyek pengaturan di
bawah ini, difokuskan pada isu-isu penting yang perlu penanganan lebih lanjut
melalui pengaturan.
211
Berdasarkan pembahasan pada Bab 4, terdapat beberapa prinsip dasar
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yaitu:
(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil difokuskan pada pulau terluar yang
mempunyai banyak kegiatan dan rentan terhadap perubahan lingkungan,
dimana terjadi peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, secara
biofisik lingkungan.
(2) Proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dilakukan secara
terbuka, partisipatif, demokratis dan adaptif secara terus-menerus.
(3) Pengelolaan tersebut menekankan pada koordinasi, kerjasama dan
keterpaduan diantara berbagai kegiatan horizontal dan vertikal yang
mempengaruhi kondisi sumberdaya pesisir serta makhluk hidup lain yang
ada di wilayah pesisir; antara berbagai kelompok masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya atau mendapatkan dampak dari pemanfaatan
sumberdaya tersebut.
(4) Strategi pengelolaan tersebut adalah memanfaatkan secara bijaksana,
memelihara,
melindungi/proteksi,
merestorasi
dan
merehabilitasi
sumberdaya pulau kecil, sehingga sumberdayanya dapat digunakan secara
berkelajutan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang.
5.46
Prinsip keterpaduan
Keterpaduan perencanaan horisontal memadukan antara perencanaan dari
sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan konservasi yang berada di daerah
aliran sungai hulu, sektor perikanan baik budidaya perikanan ikan maupun
perikanan tangkap, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri maritim,
pertambangan lepas pantai, konservasi laut, serta pengembangan kota pantai yang
difokuskan pada pemanfaatan pesisir yang lestari.
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan
perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi,
hingga Nasional.
212
5.46.1 Keterpaduan antara ekosistem darat dengan laut.
Perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan secara
terpadu, dengan kombinasi pendekatan batas ekologis dan administratif,
diprioritaskan dengan menempatkan batas wilayah negara sebagai basis
perencanaan. Akibatnya, dampak dari kegiatan perikanan dan jalur laut serta
pembangunan pulau perlu diperhitungkan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya.
5.46.2 Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen
Perencanaan pulau-pulau kecil terluar terpadu, perlu didasarkan pada input
data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi
pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosialekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.
5.46.3 Keterpaduan program antar negara
Dalam mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil di perbatasan antar negara perlu di integrasikan
kebijakan masing-masing negara Indonesia Filipina.
Kegiatan integrasi dilakukan dengan melakukan program kerja sama
terpadu yang didahului dengan melakukan penelitian bersama tentang potensi
sumberdaya masing-masing negara di daerah perbatasan. Hasil yang diperoleh
menjadi acuan dalam menentukan kebijakan terpadu dalam pengelolaan
sumberdaya antara negara yang berbatasan. Angaran dapat diperoleh melalui
kesepakatan bersama negara, atau melalui bantuan badan dan lembaga
internasional.
5.47
Prinsip pembangunan berkelanjutan sumberdaya perbatasan
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi
pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem
serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat
mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang
bergantung pada perubahan teknologi dan karakteristik sosial-ekonomi dan
budaya masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam, serta kemampuan
biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain,
pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem pesisir,
213
sehingga kapasitas lingkungan dan fungsinya untuk memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia tidak rusak, dan berkelanjutan sehingga dapat digunakan
diggunakan generasi yang akan datang. Secara garis besar konsep pembangunan
berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi
budaya, (3) geofisik dan teknologi, dan (4) hukum dan kelembagaan.
Sejalan dengan otonomi
daerah, maka kewenangan pengelolaan
pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil terluar menjadi kewenangan
pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 23.
Untuk tingkat daerah perlu diperhatikan kesiapan daerah dan kemampuan
kelembagaannya untuk mengemban tanggung jawab dan kewenangan dalam
mengelola pulau kecil dan sumberdaya pesisirnya. Namun disisi lain pengaturan
pegelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih menjadi kewenangan
pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga
diperlukan perundangan dan norma-norma hukum yang baru dapat mengatur
pengelolaan pulau perbatasan dan keseimbangan kepentingan Pemerintah dan
Daerah.
5.47.1 Prinsip partisipasi dan keterbukaan
Partisipasi dan keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas
untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah
pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan
kepentiungannya untuk dapat dimuat di dalam naskah RUU, serta ikut berperan
dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan
perundang-undangan tersebut.
Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari
pihak yang memprakarsai, dalam hal ini Pemerintah. Keterbukaan Pemerintah
menginformasikan draft rumusan-rumusan aturan, kebijakan dan rencana kegiatan
sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan,
serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan
persepsi masyarakat.
214
Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah
wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
yang dilakukan Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat
mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang diakibatkan
oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan. Sehingga konsultasi publik kepada
stakeholder utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap
pengendalian sangat penting.
5.47.2 Prinsip kepastian hukum
Kepastian hukum dalam penerapan undang-undang merupakan prinsip
utama dalam pelaksanaan undang-undang secara tegas dan konsisten. Hal ini
dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi
objek hukum terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Dalam hal ini masyarakat perlu mengetahui proses perumusan
perundang-undangan, misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang
tersebut diterapkan. Mereka ikut memberikan masukan, tanggapan, dan keberatan
tentang obyek pengaturan dan bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi
kehidupan mereka. Proses ini harus dimulai sejak rumusan undang-undang
dipersiapkan dari Naskah Akademiknya sampai disahkannya Rancangan Undangundang tersebut di DPR. Untuk itu, isi dan lingkup pengaturan perundangundangan tersebut harus dikonsultasikan, disosioalisasikan dan disebarluaskan
sejak dini. Selanjutnya masyarakat diberi peran didalam mengawasi pelaksanaan
undang-undang tersebut, sehingga norma hukum yang tertulis (de jure)
dilaksnakan secara konsisten dan konsekuen (de facto).
Kepastian hukum sangat penting untuk melaksanakan sistem pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan
masyarakat. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim
yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum
(compliance), serta tidak ragu-ragu mempertahankannya jika pihak lain bertindak
di luar jalur humum. Kepastian hukum juga membatasi intervensi dari pihak
penguasa atau pejabat dalam mempengaruhi penerapan peraturan perundangundangan. Sehingga masyarakat dan dunia usaha sebagai pelaku pembangunan di
215
wilayah pesisir perbatasan negara, mempunyai kepastian dan jaminan bahwa
usaha dan investasinya dalam dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Sementara bagi pemerintah daerah, kebijakan pemerintah yang konsisten
mendukung pelaksanakan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
5.48
Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan
5.48.1 Mekanisme koordinasi pada tingkat pusat
Mekanisme koordinasi dibutuhkan untuk menyelenggarakan penyusunan
perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, dan koordinasi pengambilan
keputusan
serta
pembiayaan
program
pengelolaannya.
Mekanisme
ini
dikoordinasikan oleh sebuah lembaga atau badan lintas-institusi yang berwenang
dan memiliki otoritas cukup. Otoritas ini didelegasikan dari institusi-institusi
sektoral, untuk menyelesaikan perbedaan persepsi, konflik atau sengketa diantara
institusi yang berbeda, dan pihak instansi terkait menghormati serta melaksanakan
keputusan tersebut. Badan koordinasi tersebut akan membuat keputusan atau
rekomendasi lintas-sektoral, badan tersebut sebaiknya memiliki otoritas atas tiaptiap departemen sektor, atau ada proses untuk membawa kasus konflik atau
sengketa ke instansi yang lebih tinggi.
Mengingat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar merupakan kebijakan
yang bersifat lintas sektor, maka kegiatan pengelolaannya perlu dikoordinasikan
oleh suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Fungsi koordinasi itu bisa dilihat dari beberapa alternatif
kelembagaan. Menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya
Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Bappenas, atau membentuk badan baru
non-kementerian yang bersifat lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat,
seperti
Badan Nasional Pengelolan Perbatasan Negara (BNPP) dan Dewan
Kelautan Indonesia (DKI). Jika pilihannya membentuk suatu badan baru, atau
memakai dan merubah yang sudah ada, maka badan yang baru tersebut dapat saja
dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikana atau Presiden.
(1) Alternatif
kelembagaan
dimana
satu
kementerian
dapat
mengkoordinasikan kebijakan antara instansi itu sendiri. Kementerian
hanya bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan dan
216
keputusan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau kecil terluar diantara
lembaga, badan dan instasi pemerintah. Kelebihannya, alternatif ini lebih
efisien. Sementara kekurangannya adalah kecilnya kemungkinan instansi
lain menjalankan kebijakan dan pedoman umum dari departemen sektor
lain tentang hal-hal dibawah yurisdiksi sektor tersebut.
(2) Alternatif menggunakan badan lintas sektor dan kemasyarakatan yang
sudah ada, seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan Negara (BNPP)
dan Dewan Kelautan Indonesia (DKI). Badan ini bertanggung jawab
mengkoordinasikan kebijakan antara instasi pemerintah, karena badan
tersebut sudah terbentuk, ada beberapa keuntungan yang diperoleh: tidak
ada kendala personil, fasilitas dan pembiayaan. Biaya operasionalnya
relatif lebih murah dibandingkan dengan pembentukan sebuah badan baru.
Kekurangannya ialah badan ini masih memiliki fungsi asalnya, dan tidak
sepenuhnya berdedikasi pada hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir. Mungkin
badan ini
sudah bias, struktur atau
keanggotaannya mungkin tidak cocok sepenuhnya dengan kepentingan
pengelolaan pesisir. Kesuksesan pilihan ini akan bergantung pada
kemungkinan
apakah
suatu
badan
yang
sudah
terbentuk
dapat
dimodifikasi.
(3) Alternatif membentuk sebuah badan antar instansi yang diketuai oleh
Menteri Koordinator. Sebuah badan antar instansi yang dibentuk
berdasarkan perundang-undangan yang baru. Badan tersebut memiliki
tanggung jawab khusus untuk mengkoordinasikan kebijakan dan
keputusan mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Kelebihannya, badan ini
akan dirancang khusus untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kekurangannya ialah secara
politis, kemungkinan sulit untuk membentuk sebuah organisasi antar
instansi yang baru, dan bila Menteri Perikanan dan Kelautan memimpin
organisasi ini, maka tidak ada kepastian seberapa banyak oraganisasi ini
memiliki
kekuatan.
Efektivitas
pendekatan
ini
kemampuan menyelesaikan perbedaan antar instansi.
bergantung
pada
217
(4) Alternatif membentuk sebuah organisasi antar instansi baru yang dipimpin
oleh Presiden. Alternatif ini sama dengan alternatif 3, hanya saja Presiden
akan memimpin langsung organisasi baru ini. Kelebihan pilihan ini adalah
bahwa ada kewenangan yang jelas di atas para menteri, yang dapat
mengambil tindakan lintas sektoral. Kekurangannya, organisasi ini
mungkin tidak dapat menangani persoalan-persaolan yang lebih kecil
karena profilnya terlalu tinggi.
Alternatif yang dipilih adalah alternatif 2, yaitu sebuah badan yang
dipimpin oleh Presiden dan Menteri Koordinator sebagai ketua pengarah dan
dibantu oleh menteri-menteri yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
melakukan
koordinasi
dengan
Kementerian/Lembaga
Pemerintah
Non
Kementerian dan pemerintah daerah terkait pembangunan dan pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, dan menghimpun salinan dokumen dan
informasi dari Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian untuk
keperluan basis data penyusunan sistem informasi perbatasan.
Badan yang dibentuk mempunyai tugas menetapkan kebijakan program
pembangunan
perbatasan,
menetapkan
rencana
kebutuhan
anggaran,
mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan
terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.
Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut,
badan
yang
terbentuk
menyelenggarakan fungsi di antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana
induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan.
Selain itu badan memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan
dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah
negara dan kawasan perbatasan, menyusun program dan kebijakan pembangunan
sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan perbatasan, serta,
menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas.
218
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelolaan Perbatasan Negara (BNPP), susunan keanggotaan BNPP ini
terdiri dari Ketua Pengarah yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan, Wakil Ketua Pengarah I yakni Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Wakil Ketua II Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, dan selaku Kepala BPP adalah Mendagri. Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, BNPP dibantu oleh sekretariat tetap yang terdiri dari Sekretaris BNPP
dan tiga deputi yakni bidang pengelolaan batas wilayah negara, pengelolaan
potensi kawasan perbatasan, dan deputi bidang pengelolaan infrastruktur kawasan
perbatasan.
5.48.2 Fasilitasi dan konsultasi dari pemerintah ke pemerintah daerah.
Pemerintah menyusun petunjuk untuk kabupaten/kota dan provinsi dalam
rangka mengembangkan program pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (P3K).
Petunjuk tersebut bersifat fleksibel dan luas sehingga pemerintah daerah dapat
mengakomodir kebutuhan dan tujuan daerahnya yang bersifat khusus. Petunjuk
ini akan menjadi dasar bagi program P3K daerah. Petunjuk ini penting untuk
kesuksesan program karena beberapa alasan. Pertama, petunjuk tersebut bisa
menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota, yang umumnya belum memiliki
pengetahuan tentang Program P3K. Kedua, petunjuk tersebut memberikan arahan
dalam penulisan isi program dan mekanisme penyusunan program, apakah
program tersebut bersifat sentralistik (op-down) atau desentralistik (boom-up)
Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 secara khusus mempertimbangkan
apakah petunjuk tersebut sebaiknya bersifat mengikat (mandatory requirements)
atau sukarela (voluntarily standars).
5.49
Penegakan Hukum dan Sanksi
Kepatuhan untuk melaksanakan (compliance) dan penegakan hukum
(enforcement) di wilayah perbatasan negara adalah proses yang dapat dilakukan
bila kegiatan pemantauan dan evaluasi seiring dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemantauan dibutuhkan untuk memastikan adanya
kepatuhan akan persyaratan yang mengikat. Pemantauan dan evaluasi bertujuan
untuk memastikan bahwa program dilaksanakan dengan efektif dan sesuai dengan
219
persyaratan, tujuan, dan prinsip perundang-undangan. Bahkan, institusi-institusi
yang dibentuk untuk melakukan pemantauan seharusnya juga digunakan untuk
upaya penegakkan hukum. Ada perbedaan penting antara pemantauan dengan
penegakkan hukum.
Pemantauan memastikan bahwa program tetap mematuhi hukum;
penegakkan hukum memastikan bahwa tindakan yang tepat akan diambil jika
program keluar dari jalur hukum. Penegakkan hukum memiliki beberapa tujuan:
untuk menginformasikan pada masyarakat tentang cara yang tetap untuk
menerapkan perundang-undangan; menciptakan keengganan untuk melanggar
hukum; serta memberi ganjaran yang setimpal jika terjadi pelanggaran hukum.
Agar penegakkan hukum efektif, harus dibuat serangkaian peringatan dan sanksi,
dengan hukuman yang semakin berat jika jumlah dan jenis pelanggaran semakin
besar. Penegakkan hukum sangat penting, bahkan bila programnya bersifat
sukarela. Contohnya, jika kabupaten/kota menerima bantuan dari pemerintah
pusat, harus ada semacam dorongan untuk memastikan bahwa (1) program
kabupaten/kota akan terus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan
persyaratan, prinsip dan tujuan program; dan (2) bantuan itu digunakan sesuai
perundang-undangan. Harus dicatat bahwa alternatif-alternatif, baik altenatif
pemerintah atau non-pemerintah, untuk lembaga-lembaga hukum akan sama
dengan alternatif bagi lembaga yang melakukan pemantauan.
Ada beberapa mekanisme penegakkan hukum yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan alternatif di bawah ini.
(1) Sanksi (Sanction). Sanksi melibatkan serangkaian peringatan dan
hukuman finansial untuk pelanggaran perundang-undangan. Hukuman
dapat berupa pengurangan,penundaan bantuan, dan jika pelanggaran yang
dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan sertifikasi
(perijinan).
(2) Denda Sipil (Civil fitnes). Denda melibatkan serangkaian pembayaran
yang harus dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk
persyaratan hukum yang bersifat mengikat.
(3) Sanksi kriminal (Criminal sanction). Sanksi kriminal adalah hukuman
untuk pelanggaran yang lebih serius dan bentuknya dapat berupa hukuman
220
penjara. Penghargaan dapat diberikan bagi daerah yang melaksanakan
program dengan baik.
Alternatif yang dipilih: Sanksi, dapat berupa peringatan dan hukuman
finansial, dibutuhkan untuk persyaratan yang tidak mengikat. Sementara denda
diberlakukan untuk persyaratan yang mengikat. Meski demikian, bahwa sanksi
kriminal tidak tepat diberikan untuk sebagian besar program administratif.
5.50
Penyelesaian konflik
(1) Penanganan konflik.
Dalam penanganan konflik dikenal berbagai istilah seperti pencegahan
konflik (prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik
(resolution), penyelesaian konflik (settlement), dan pilihan penyelesaian
sengketa (alternaive dispute resolution atau ADR). Pencegahan Konflik
(conflict prevention) adalah upaya untuk mencegah konflik sebelum konflik
tersebut memuncak, menjadi negatif dan destruktif, yang biasanya ditandai
dengan kekerasan (violence). Upaya pencegahan konflik dapat dilakukan
dengan tiga cara : a. Mengantisipasi munculnya konflik kekerasan (konflik
kekerasan belum muncul); b. Mencegah konflik yang sedang berlangsung (on
going) agar tidak meluas; dan c. Mencegah terjadinya pengulangan terjadinya
lagi konflik kekerasan (reemergence).
Salah satu metode pencegahan konflik yaitu sistem peringatan dini (SPD)
(crisis earlywarning) dan sistem tanggap dini (STD) (crisis early response).
SPD merupakan kegiatan pengumpulan dan penganalisaan informasi yang
berasal dari wilayah konflik yang bertujuan: Melakukan antisipasi terhadap
kemungkinan meningkatnya konflik kekerasan; Pengembangan mekanisme
tanggap yang bersifat strategis terhadap krisis; Penyampaian terhadap pilihanpilihan langkah pencegahan kepada pihak yang kompeten (critical actors)
sebagai bahan pengambilan keputusan.
(2) Pendekatan dalam penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa yang efektif menuntut adanya keseimbangan /
kesetaraan kekuatan (equal bargaining power) antara pihak-pihak yang
bersengketa. Kesetaraan kekuatan menciptakan kondisi saling tergantung
221
(interdependensi) dan saling memiliki kemampuan memberikan ancaman.
Kondisi saling ketergantungan dan kemampuan memberikan ancaman
memberikan motivasi atau insentif bagi masing-masing pihak untuk
menyelesaikan
sengketa/masalah
yang
dihadapi.
Pendekatan
dalam
penyelesaian sengketa dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis: 1. Pendekatan
dengan cara penggunaan kekuatan (power based); 2. Pendekatan dengan cara
―benar – salah‖ (right based); dan 3. Pendekatan dengan cara penggalian
kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa (interest based).
Pendekatan dengan mendasarkan pada kekuatan (power based) ditujukan
untuk memaksa pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk
memecahkan persoalan. Pendekatan dengan cara benar-salah (right based) yang
dilakukan melalui mekanisme penyelesaian ajudikatif (arbitrase atau pengadilan)
ditujukan untuk mencari siapa yang benar dan bersalah. Pendekatan ini
menghasilkan solusi menang-kalah ( win lose solution).
Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest based) adalah pendekatan
penyelesaian sengketa dimana kepentingan serta kebutuhan para pihak digali
secara bersama untuk kemudian dibangun kesepakatan (solusi) yang mampu
mencerminkan kebutuhan serta kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara
seimbang (mutually shared interest). Pendekatan penyelesaian sengketa ini
ditujukan untuk mencapai suatu solusi/kesepakatan yang sifatnya menangmenang. Pendekatan penyelesaian sengketa berdasarkan kepentingan ini dapat
dilakukan melalui mekanisme perundingan (negosiasi) maupun penengahan
(mediasi).
Ketiga pendekatan power, right dan interest tidak dapat dipisahkan dan
berdiri sendiri. Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Efektifitas dari pendekatan kepentingan (interest based) akan sangat bergantung
pada efektifitas dalam mendayagunakan pendekatan kekuatan (power based).
Disisi lain, pendayagunaan power based yang tepat dan efektif dapat membantu
membangun kekuatan salah satu pihak yang pada awalnya tidak memiliki
kekuatan yang memadai. Disisi lain, pendekatan right based (ajudikasi) juga daapt
didayagunakan sebagai ancaman untuk menarik salah satu pihak yang awalnya
222
tidak tertarik untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan menjadi pada
akhirnya termotifasi untuk berunding. Kesepakatan yang dihasilkan oleh
perundingan interest based dalam bentuk kesepakatan juga membutuhkan
pendekatan power based dalam bentuk eksekusi pengadilan dalam hal
kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Dalam suatu strategi penyelesaian sengketa, ketiga pendekatan ini dapat
berpindah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya tergantung pada konteks
seberapa memadai kekuataan yang dimilki oleh salah satu pihak.
Untuk memilih pendekatan yang paling tepat dari tiga pendekatan di atas
dalam suatu dinamika penanganan kasus, dipergunakan empat kriteria sebagai
berikut dibawah ini :
(1) Biaya transaksi
Pemilihan terhadap setiap pendekatan berdampak pada biaya transaksi
(transaction cost) – biaya dalam pengertian waktu, uang, energi yang terkuras
akibat emosi yang timbul dari konflik yang terjadi, sumber daya yang
terkuras, serta kesempatan yang hilang (opportunities lost). Salah satu kriteria
untuk menetapkan pilihan dari ketiga pendekatan diatas adalah seberapa besar
biaya transaksi yang akan tersita.
(2) Kepuasan terhadap hasil akhir
Salah satu kriteria menilai kelayakan dari salah satu pendekatan (power, right
atau interest) adalah dengan cara mengukur kepuasan pihak-pihak yang
bersengketa terhadap hasil akhir. Kepuasan yang dimaksudkan disini
didasarkan
pada
pertimbangan
seberapa
jauh
hasil
kesepakatan
mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa
secara memadai. Kepuasan juga ditentukan oleh faktor fairness (dianggap
patut dan adil oleh para pihak) proses penyelesaiannya.
(3) Dampak terhadap hubungan antar manusia
Penilaian terhadap seberapa jauh dampak pemilihan salah satu pendekatan
terhadap hubungan antar manusia (hubungan kerjasama yang telah dibangun
dan hubungan jangka panjang antar berbagai pihak) juga merupakan hal yang
223
perlu diperhitungkan. Kriteria ini mengakomodasikan faktor pentingnya
pemenuhan kepentingan psikologis (pentingnya hubungan antar manusia).
(4) Kemampuan mencegah konflik kambuhan (Recurrence)
Salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menetapkan salah
satu pendekatan (power, right, dan interes) adalah seberapa jauh pendekatan
tersebut mampu untuk mencegah konflik/sengketa kambuhan (muncul
kembali walaupun kesepakatan telah dicapai). Sengketa dapat muncul
kembali andaikata kesepakatan yang dihasilkan merupakan kesepakatan
semu, atau kesepakatan belum mampu mencerminkan kepentingan/kebutuhan
para pihak secara seimbang. Semakin besar kemampuan kesepakatan untuk
mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan pihak yang bersiteru,
semakin kokoh kesepakatan tersebut bertahan dan dapat secara konsisten
dilaksanakan.
Untuk membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif dalam suatu
sistem hukum maka pendekatan (power right dan interest) hendaknya diletakkan
dalam posisi prisma normal, kebalikan dengan suatu kondisi dimana
pendayagunaan ketiga kepentingan dalam proporsi seperti digambarkan dalam
bentuk prisma terbalik. Pendekatan sengketa seperti tergambar dalam prisma
terbalik
merupakan
kondisi
yang
digambarkan
sangat
menegangkan
(distressed)—sedangkan prisma normal digambarkan sebagai sistem penyelesaian
sengketa yang efektif.
5.51
Mekanisme pentaatan dan penegakan hukum
Mengembangkan konsep penegakan hukum dan penaatan (enforcement
and compliance) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, terlebih dahulu menelusuri
faktor penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dalam konteks
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan batas
negara. Pengidentifikasian faktor penyebab memudahkan untuk mengembangkan
berbagai pilihan solusi. Berbagai solusi tersebut diharapkan dapat diwadahi dan
224
difasilitasi dalam norma peraturan perundang-undangan yang berhubungan
Undang-Undang yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di
perbatasan negara.
Beberapa penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
(1) Kehendak politik penyelenggaraan negara (eksekutif dan legislatif) yang
belum menganggap penting pengintegrasian pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan dan berbasiskan kepentingan rakyat banyak
(ecologically sustainable development – ESD) ke dalam pengambilan
keputusan atas pengelolaan sumber daya publik termasuk di dalamnya
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
(2) Peraturan perundang-undangan sektoral tidak selamanya sinkron dengan
prinsip-prinsip ESD yang terangkum dalam konsep pengelolaan pulaupulau kecil di wilayah pesisir secara terpadu;
(3) Kondisi
penyelenggara
negara
(governance)
sangat
buruk
(bad
governance) termasuk peradilan yang belum mampu menjalankan
peranannya sebagai rumah keadilan bagi pencari keadilan (masyarakat);
(4) Kapasitas penegak hukum sangat tidak memadai – kuantitas, kualitas
maupun integritas (di tingkat pengawas/inspektur, penyidik/PPNS maupun
polisi, jaksa/penuntut maupun hakim/pemutus);
(5) Tekanan masyarakat (civil society) dalam mendorong tingkat penaatan
belum memadai.
(6) Orientasi penegakan hukum kuratif (setelah masalah muncul dan
menimbulkan kerugian masyarakat dan perusakan lingkungan) dan
pendekatan Command and Control (atur dan awasi) masih sangat
dominan;
Berbagai penyebab tersebut di atas maka pengenalan konsep penegakan
hukum konvensional (penegakan hukum administratif, perdata dan pidana)
sebagaimana dianut oleh mayoritas peraturan perundang-undangan,
dapat
menjadi sangat kontra produktif. Agar efektif, penegakan hukum konvensional
225
yang lebih dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau : atur
dan awasi (ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki:
(1) Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran;
(2) Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan
pasti (swift & sure responses);
(3) Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam
memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect).
Ketiga prasyaratan diatas, keberadaannya sangat ditentukan oleh
kemampuan dan integritas aparatur pemerintah dan penegak hukum, serta
peradilan yang independen elemen-elemen ini, merupakan elemen penting dalam
good governance. Sejalan dengan pembenahan aparatur pemerintah dan penegak
hukum dan lembaga peradilan yang kini sedang dilakukan, maka pemberlakuan
pendekatan tunggal (single approach) yaitu pendekatan CAC atau ADA tidak
akan efektif dalam mencapai tujuan penegakan hukum di Indonesia yaitu
kepatuhan menjalankan (compliance) nilai-nilai perlindungan daya dukung
sumber daya alam, khususnya pulau kecil di wilayah pesisir.
5.52
Mekanisme Sistem Kelembagaan
Komponen pertama dari mekanisme sistem kelembagaan adalah
pengembangan sebuah ketentuan hukum baru, yakni sebuah perundang-undangan.
Perundang-undangan akan mencantumkan persyaratan bagi pemerintah pusat
untuk mengembangkan pedoman bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan negara. Perundangan juga akan menciptakan sebuah kerangka kerja
bagi pemerintah kabupaten/kota dan rakyatnya untuk mengelola sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh bangsa,
serta bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kesemuanya itu dapat
dilaksanakan dalam sebuah proses yang terpadu.
Kerangka
kerja
ini
akan
dikembangkan
pada
semua
tingkatan
pemerintahan, dalam suatu rangkaian bertingkat, dan akan mempengaruhi tiap
keputusan
yang
akan
dibuat.
Secara
khusus,
pemerintah
pusat
akan
mengembangkan pedoman untuk membantu pemerintah daerah. Pedoman ini
226
akan mencantumkan proses-proses pengembangan program untuk memastikan
adanya keterlibatan publik, keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Pedoman
tersebut juga akan memasukkan kriteria untuk memastikan keabsahan ilmu yang
digunakan dan pemanfaatan informasi; standar pengelolaan untuk memastikan
keseimbangan dan kesinambungan pendayagunaan sumber daya pesisir. Jika
perlu, provinsi dan kabupaten/kota dapat mengembangkan program-program yang
sejalan dengan pedoman tersebut. Apabila pemerintah pusat setuju, bantuan dapat
dihibahkan kepada pemerintah daerah yang melaksanakan program-program
tersebut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menyusun standar-standar,
kriteria, dan pedoman umum bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar untuk
pemerintah
daerah,
terutama
kabupaten/kota.
Langkah
selanjutnya,
kabupaten/kota bebas untuk memutuskan apakah ingin menyusun suatu program
yang konsisten dengan standar-standar, kriteria, dan petunjuk umum yang
disediakan oleh pemerintah pusat. Kabupaten/kota dapat mencari bantuan
keuangan dan teknis untuk hal tersebut. Selanjutnya kabupaten/kota dapat
menyusun sebuah program dengan bekerjasama dengan semua stakeholders,
termasuk
desa-desa,
dan
dengan
dukungan
dari
pemerintah
provinsi.
Kabupaten/kota selanjutnya mengajukan program tersebut kepada pemerintah
pusat untuk dikaji dan apabila pemerintah pusat menyetujui programnya,
kabupaten/kota tersebut berhak atas sejumlah manfaat, termasuk bantuan
pembiayaan dan teknis.
Diperlukan Undang-Undang baru untuk mengelola dan melindungi
sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Hukum ini
akan bersifat lintas-sektoral dan mencakup semua sektor yang mempengaruhi
wilayah pesisir dan sumberdaya wilayah pesisir. Sebuah Undang-Undang baru
akan sangat efektif untuk pelaksanaan sebuah program pengelolaan pulau-pulau
kecil karena dua alasan :
(1) Pertama, hampir seluruh Undang-Undang yang telah ada bersifat sektoral,
sementara sebuah program pengelolaan pulau-pulau kecil memerlukan
pendekatan lintas-sektoral agar dapat efektif. Kedua, hampir seluruh
Undang-Undang yang telah ada bersifat terpusat, dan jika program
227
pengelolaan pulau-pulau kecil ingin konsisten dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, maka harus ada
Undang-Undang khusus yang dapat mendorong pelaksanaan otonomi
daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara.
(2) Ketiga, mencantumkan kewenangan daerah dalam mengelola pulau-pulau
kecil di perbatasan negara, memperoleh bagi hasil, sejalan dengan
peraturan-peraturan desentralisasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat harus
mengembangkan petunjuk dan kebijakan, bukannya mengendalikan dan
mengelola kegiatan secara langsung. Secara khusus mengakui bahwa pusat
memiliki kewenangan untuk menentukan standar pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Sebagai konsekuensinya, rancangan undang-undang akan
memberikan petunjuk-petunjuk tentang pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di perbatasan negara dan pemerintah daerah mengikuti petunjuk
dalam naskah akademiknya.
5.53
Kelembagaan
Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah
pengembangan
sebuah
mekanisme
prosedural
untuk
mengkoordinasikan
kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan
proses untuk tiga jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai
pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1) koordinasi antara pemerintah
dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai
sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan pemerintahan akan
memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya pesisir di
Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara
khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat
keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi
tersebut mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu
didirikan organisasi yang baru sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
228
5.53.1 Pelaksanaan mekanisme
Bagian ini memberikan ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme
kelembagaan diterapkan atau dilaksanakan. Langkah pertama dalam pelaksanaan
mekanisme adalah pembentukan sebuah proses antar sektor untuk menangani halhal yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir. Proses ini melibatkan sebuah
organisasi yang beranggotakan seluruh instansi terkait, perwakilan dari para
stakeholeder, seperti pemerintah provinsi dan kabupaten, LSM dan para
akademisi. Proses ini juga terdiri dari mekanisme penyelesaian sengketa, seperti
penyampaian permasalahan dari dalam organisasi kepada pihak berwenang yang
lebih tingggi tingkatannya, misalnya kepada seorang menteri koordinator atau
presiden. Proses semacam ini akan memenuhi tujuan yang telah disebutkan di
atas, yakni mengkoordinasikan lembaga dan menciptakan keharmonisan antara
interpretasi hukum yang berbeda-beda.
Langkah berikutnya adalah penyusunan pedoman. Pedoman tersebut akan
mencakup semua aspek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan
pengelolaan pesisir terpadu. Pedoman akan terdiri dari kebijakan-kebijakan,
standar serta kriteria. Pedoman ini akan merupakan dasar bagi pemerintah daerah
untuk mengembangkan program-program pengelolaan pesisir terpadunya masingmasing. Pedoman ini juga menjadi dasar untuk sertifikasi: bila pemerintah pusat
menemukan bahwa program daerah telah memenuhi standar, kriteria dan arahan,
maka pemerintah pusat dapat mengesahkan program daerah tersebut.
Pedoman sebagian besar terdiri dari standar yang mengikat yang
mencakup
prinsip-prinsip
yang
dibahas
di
atas.
Pedoman
juga
akan
mencantumkan langkah-langkah penting yang bersifat umum dalam upaya
mencapai koordinasi, partisipasi, keterbukaan, pengetahuan ilmiah yang baik dan
kepastian hukum.
Proses untuk mempersiapkan pedoman akan bersifat terbuka dan
transparan. Rancangan pedoman tersebut kemudian dikonsultasikan pada
masyarakat. Setelah disempurnakan dan disebarluaskan, pedoman akan diuraikan
ke dalam penjelasan yang lebih terinci oleh provinsi. Provinsi akan
mengembangkannya sesuai dengan pedoman nasional, tetapi lebih terinci untuk
yurisdiksi masing-maing, dan disesuaikan dengan dengan kebutuhan serta
229
kemampuan daerahnya. Pedoman provinsi akan mencantumkan informasi spesifik
mengenai inventori sumber daya, pemetaan dan penggunaan lahan, yang menjadi
dasar untuk rencana tata ruang. Termasuk juga didalamnya adalah informasi
mengenai wilayah pengelolaan tertentu serta metodologi khusus untuk
pengendalian pencemaran dan pertahanan keamanan.
Kabupaten harus mentaati pedoman yang bersifat mengikat tentang hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan nasional atau kesepakatan international.
Namun, kabupaten/kota dapat menentukan kemudian jika mereka ingin
mengembangkan sebuah program yang bersifat suka rela yang sejalan dengan
pedoman pusat dan provinsi. Bila mereka ingin melakukannya, mereka dapat
meminta bantuan teknis dan finansial dari pemerintah pusat dan provinsi.
Program-program ini pada dasarnya merupakan rencana kegiatan (action plan)
dari pelaksanaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi.
Pedoman yang bersifat tidak mengikat ini memiliki dua keuntungan. Pertama,
kabupaten dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai cara mengelola
sumber daya secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, kabupaten akan dapat
meminta bantuan finansial dan teknis dari pemerintah pusat dan provinsi.
Program kabupaten perlu mentaati persyaratan prosedur dan substantif dari
pedoman. Hal ini termasuk persyaratan yang memastikan bahwa program akan
dikembangkan dengan cara terpadu dan transparan, dengan melibatkan konsultasi
dan partisipasi publik. Termasuk juga di dalamnya adalah persyaratan yang
memastikan bahwa program kabupaten dirancang sedemikian rupa untuk
menangani permasalahan dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Setelah
pengembangan program, kabupaten akan bekerja sama dengan provinsi untuk
menyerahkan program tersebut kepada pemerintah pusat untuk dianalisa. Jika
program memenuhi maksud dan tujuan pedoman pemerintah pusat serta
persyaratannya, maka program itu akan disetujui dan disahkan oleh pemerintah
pusat. Setelah pengesahan, kabupaten/kota akan memperoleh keuntungan
tambahan, termasuk bantuan finansial dan teknis untuk melaksanakan kegiatankegiatan yang termasuk dalam program.
Setelah program disahkan, akan ada kewajiban menyerahkan laporan
tahunan dan pemantauan, untuk memastikan bahwa program tetap dilaksanakan
230
sesuai dengan pedoman nasional. Selain itu, kabupaten/kota perlu memperbaharui
ijin program secara berkala, misalnya tiap lima tahun sekali. Pemerintah pusat,
sesuai persyaratan yang menyangkut kepentingan nasional dan hukum
internasional, akan memberlakukan sanksi dan penegakan persyaratan bagi
komponen-komponen dari sebuah program kabupaten/kota. Namun, tidak ada
sanksi atau denda untuk komponen program yang bersifat sukarela. Sebaliknya,
jika kabupaten/kota tidak melaksanakan program sebagaimana mestinya,
pemerintah pusat akan menunda hibah atau bantuan. Kabupaten/kota akan diberi
kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya, dan bila berhasil, baru hibah
akan dikucurkan. Namun demikian, bila pelaksanaan program tetap keluar dari
jalur semula, maka bantuan dapat dibatalkan, dan pada akhirnya perijinan juga
akan dicabut.
5.53.2 Mekanisme daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil
sebagai pelaksanaan otonomi daerah
Implementasi
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan peluang bagi
pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Untuk itu dibutuhkan
komitmen dan peran serta stakeholdes di daerah baik di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan desa-desa, untuk bersama-sama aktif mengatur dan menjaga
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta meminimumkan
munculnya konflik kewenangan dan pemanfaatan yang selama ini seringkali
muncul di wilayah pesisir.
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut
kewenangan pemerintah dan masyarakat daerah di wilayah pesisir, adalah
implementasi dari komitmen tadi sekaligus menjadi dasar bagi pengaturan
pengelolaan wilayah pesisir daerah. Peraturan daerah penting pula agar ada arahan
fungsi dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut daerah.
231
5.53.3 Integrasi stakeholders di daerah bagi pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu
Kerjasama dan koordinasi horizontal dan vertikal antar-instansi adalah
sangat krusial bagi pengelolaan pesisir terpadu. Disadari bahwa kompleksitas
dinamika permasalahan pengelolaan di wilayah pesisir harus melibatkan banyak
sektor pemerintahan dan stakeholders lain, termasuk organisasi non-pemerintah,
aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan lembaga peradilan, serta
wakil rakyat (DPRD). Karena itu, kesadaran bagi kerjasama dan koordinasi dari
semua pihak diatas sangat penting.
Hal tersebut menyiratkan pula perlunya pengembangan kapasitas institusi,
bukan hanya bagi institusi pemerintahan, juga institusi non-pemerintah seperti
LSM, lembaga penelitian, universitas, serta komunitas masyarakat pesisir.
5.54 Pembentukan institusi lintas sektoral bagi pengelolaan pulau kecil
terluar
Direkomendasikan pengkajian lebih dalam bagi pembentukan institusi
lintas sektoral tersendiri, yang akan menangani pengelolaan pulau terluar yang
merupakan bagian dari wilayah pesisir dan lautan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Pembentukan institusi ini, yang menangani koordinasi antar
institusi secara horizontal, dianggap penting karena kompleksitas dan luasnya
cakupan permasalahan di wilayah pesisir, sehingga membutuhkan institusi yang
menanganinya secara tersendiri dan kontinu.
5.54.1 Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir
Potensi kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan, seperti perikanan dan
pariwisata, bila dikelola secara berkelanjutan oleh pemerintah dan masyarakat
daerah harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah
kemiskinan masyarakat pesisir khususnya, harus dapat dipecahkan dengan
memberdayakan dan mengikutsertakan mereka dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir yang bermanfaat bagi peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat miskin
di pesisir.
232
5.54.2 Peran aktif masyarakat dalam identifikasi potensi sumberdaya bagi
perencanaan pengelolaan pulau kecil perbatasan
Identifikasi potensi sumberdaya pulau kecil melalui proses yang
partisipatoris,
transparan,
dan
komprehensif,
adalah
hal
penting
yang
direkomendasikan pula. Identifikasi menjadi kunci penting bagi pengelolaan
pulau khususnya dan wilayah pesisir pada umumnya, karena tahap ini menjadi
masukan penting bagi penyusunan serta penetapan kebijakan dan peraturan
rencana pemanfaatan wilayah pesisir. Termasuk dalam perencanaan tersebut
adalah penyusunan tata ruang wilayah pesisir.
5.54.3 Edukasi dan percontohan tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang
berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.
Terkait dengan pengembangan kapasitas institusi, faktor edukasi dan
penyuluhan kepada masyarakat tentang praktek pengelolaan dan pemanfaatan
yang berkelanjutan menjadi perhatian penting pula. Peran Organisasi non-politik
seperti LSM dan Universitas menjadi krusial bagi asistensi teknis dan bimbingan
kepada komunitas masyarakat pesisir, untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya
pulau di wilayah pesisir secara terpadu agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan mereka secara berkelanjutan.
Percontohan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat yang
berhasil misalnya pengelolaan daerah perlindungan laut di berbagai daerah di
Indonesia, kiranya dapat menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain untuk
melakukan yang sama.
5.54.4 Permodalan dan investasi
Identifikasi lainnya yang diperoleh termasuk peluang untuk menarik
investor untuk menanam modal bagi aktivitas di pulau-pulau perbatasan negara,
yang karenanya membutuhkan promosi, kemudah perijinan, penyediaan prasarana
dan sarana, serta jaminan keamanan; penataan tata ruang dan lingkungan pesisir
dan laut, dengan inventarisasi dan perencanaan penggunaan lahan pulau kecil;
pembuatan peraturan daerah dan sosialisasi tentang tata ruang pulau perbatasan
negara; peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
dan konservasi sumberdaya pesisir, melalui inventarisasi sumberdaya, pembinaan
sumberdaya manusia, penyiapan perangkat hukum yang dibutuhkan, dan
233
melakukan monitoring dan evaluasi; peluang peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD) dan pengembangan ekonomi rakyat dengan melibatkan masyarakat dan
operator wisata, koordinasi promosi pariwisata daerah, serta penyediaan prasarana
yang memadai.
5.55 Kebutuhan Pengaturan bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan
Negara
Proses penyusunan Naskah Akademik dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar, dibentuk Tim Penyusun dengan mengkaji beberapa isu seperti hak adat
dan ulayat, institusi pengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah,
peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, koordinasi antar institusi
pemerintahan baik vertikal maupun horizontal, merupakan isu-isu yang penting
untuk dielaborasi tuntas pada perUndang-Undangan yang berhubungan dengan
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan negara.
Pertanyaan cukup mendasar yang sangat penting untuk dijawab dalam
proses penyusunan RUU
adalah, apakah
bangsa ini
sungguh-sungguh
memerlukan pengaturan berupa Undang-Undang Pulau Perbatasan Negara, karena
saat ini ada Undang-Undang yang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara. Apabila
jawabannya adalah ya, maka kita perlu hati-hati dalam menentukan materi yang
akan diatur. Materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena menyangkut
kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara detil-detil
pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP). Karenanya Rancangan
Undang-Undang cukup bersifat umum saja. Pertanyaan kedua yang perlu dijawab
menyangkut tingkat pengaturan, yakni apakah pengaturan perlu dilakukan melalui
Undang-Undang atau cukup di tingkat kabupaten/kota berupa Peraturan Daerah.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah,
maka
pengaturan
wilayah
pesisir
berada
pada
kewenangan
kabupaten/kota. Namun Undang-Undang yang mengatur pengelolaan pulau-pulau
wilayah perbatasan negara belum menetapkan hal-hal khusus yang mesti diatur
oleh daerah dan standar baku bagi pengelolaan daerah yang tetap menjaga
234
kepentingan nasional. Apabila jawabannya adalah tidak, maka kita hanya
melakukan penetapan dari peraturan pemerintah dan atau peraturan lainnya yang
sudah ada untuk di revisi dan atau dijadikan Undang-Undang. Dalam menentukan
materi yang akan diatur, materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena
menyangkut kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara
detil-detil pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara, sendiri belum bisa menjadi dasar hukum yang memberi
kejelasan dan kepastian bagi pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan negara
oleh pemerintah daerah. Sehingga berbagai konflik kewenangan, konflik hukum,
konflik pemanfaatan, dan konflik pengelolaan masih akan tetap berlangsung.
Untuk itu diperlukan produk-produk hukum baik berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah, yang akan memberi pedoman atas
pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dalam wilayah pesisir daerah. Produk
hukum tersebut tentunya dijabarkan hingga ke tingkat aturan-aturan desa.
Penegakan hukum sendiri, juga menjadi faktor krusial atas pelanggaranpelanggaran yang terjadi dengan sanksi hukum yang jelas dan memadai. Sehingga
dapat memberi kepastian hukum bagi berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya
pesisir.
5.56
Rekomendasi Hal-Hal Pokok Rancangbangun Hukum Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil
Sejumlah isu pokok berhasil diidentifikasikan, yang dianggap penting
untuk dicakup pada RUU nantinya. Isu-isu pokok tersebut terbagi dalam 3 (tiga)
kelompok yakni, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta hukum atau
kelembagaan.
5.56.1 Aspek biofisik
(1) Karakteristik dan cakupan pulau-pulau kecil.
(2) Program pemerintah pusat, seperti RTRN, RTRWP/K, dan sinkronisasi
program pusat-daerah.
(3) Manajemen tata ruang dan delimitasi/garis batas.
235
(4) Pencegahan degradasi kualitas dan kuantitas habitat dan sumberdaya:
1) Mitigasi dan penanggulangan bencana alam.
2) Pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove.
3) Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang.
4) Eksploitasi dan sumberdaya perikanan dan pembatasannya.
5) Pengaturan pencegahan dan rehabilitasi akibat abrasi pantai.
6) Pencegahan intrusi air laut.
7) Penangkapan ikan dengan teknik merusak, seperti bom dan
lainnya.
8) Preservasi dan konservasi.
9) Aturan tentang kegiatan reklamasi pantai.
10) Pengambilan harta karun.
(5) Pencemaran, yang dikategorikan berasal dari:
1) Rumah tangga.
2) Industri di darat.
3) Submarine Tailing Disposal.
4) Pencemaran lainnya: seperti penambangan yang menghasilkan
senyawa metil merkuri, yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan.
5.56.2 Aspek sosial, ekonomi, dan budaya
(1) Strategi dan identifikasi sosial, ekonomi, dan budaya, bagi pemberdayaan
masyarakat pesisir.
(2) Masalah kemiskinan dan sosial budaya masyarakat pesisir.
(3) Pengakomodasian kepentingan masyarakat, termasuk adat.
(4) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, termasuk pada tahap
perencanaan.
(5) Valuasi ekonomi (economic valuation).
(6) Fungsi atau peran masyarakat dalam proses sertifikasi wilayah pesisir.
(7) Pengendalian aktivitas yang menyebabkan abrasi pantai.
(8) Mekanisme penyelesaian konflik.
(9) Bantuan pemerintah bagi masyarakat pesisir.
236
(10) Pendidikan
dan
pelatihan
bagi
masyarakat
nelayan,
termasuk
pemberdayaan perempuan.
(11) Pengambilan peninggalan sejarah di bawah laut, seperti harta karun, dan
lain-lain.
5.56.3 Aspek hukum dan kelembagaan
(1) Kajian dan inventarisasi UU dan PP yang sudah ada yang terkait dengan
sumberdaya wilayah pesisir.
(2) Kejelasan
kewenangan
dan
tanggung
jawab
pengelolaan
di
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
(3) Kejelasan posisi UU PWP terhadap UU dan peraturan lain dan agar tidak
overlapping.
(4) Kewenangan yang dimiliki oleh institusi khusus pengelola wilayah pesisir.
(5) Mekanisme proses sertifikasi program pengelolaan.
(6) Sanksi-sanksi hukum yang baku, akurat dan tepat bagi pelanggaran yang
terjadi.
(7) Penegakan hukum.
(8) Kepemilikan individu atau adat perlu diatur.
(9) Kejelasan kewenangan dan tanggung jawab bagi preservasi dan
konservasi.
(10) Mendorong percepatan pengelolaan konservasi laut.
(11) Tidak bertentangan dengan hukum alam.
(12) Pengaturan sistem informasi yang terintegrasi mengenai potensi dan
pemanfaatan sumberdaya.
Rekomendasi diberikan bagi pembahasan aspek-aspek lain yang penting
untuk dibahas dalam Naskah Akademik dan RUU ini yakni: aspek pertahanan dan
keamanan, kesehatan masyarakat, dan lainnya. Pembahasan ini akan memberi
tambahan perspektif mengenai pentingnya pengelolaan pulau kecil secara khusus
ditinjau dari aspek tersebut dan bagaimana integrasi aspek tersebut dalam
pengelolaan wilayah pesisir nasional dan daerah yang berkelanjutan sesuai
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
237
5.57 Rekomendasi
Peran
bagi
Pemerintah
Pusat,
Provinsi,
dan
Kabupaten/Kota
Dalam menentukan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan, maka perlu mempertimbangkan akan pemberian kewenangan
pemerintah kepada pemerintah daerah khususnya menyangkut tugas pembantuan
yang berhubungan dengan perencanaan, pengelolaan keuangan, pembinaan,
pengawasan dan pertanggungjawaban.
Berikut ini merupakan rekomendasi identifikasi peran pemerintah pusat,
provinsi,
dan
kabupaten/kota
dengan
mempertimbangkan
implementasi
desentralisasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir kepada pemerintah daerah:
Tabel 25 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Pusat
Provinsi
Kabupaten/Kota
Membuat UU dan PP
tentang pengelolaan
pulau kecil terluar bagi
kepentingan nasional.
•Menetapkan strategi
pengelolaan tingkat
makro.
•Membuat kebijakan
teknis dan pedoman
umum yang memuat
prinsip-prinsip
pengelolaan pulau
perbatasan negara.
• Menetapkan standar
kriteria dan aturan
umum lain bagi
program pengelolaan
pulau perbatasan.
• Memberi masukan bagi
program pengelolaan
pulau di daerah
perbatasan.
• Koordinasi masalah
strategis menyangkut
lintas provinsi dan lintas
negara.
• Melakukan pengawasan
dan evaluasi
pengelolaan wilayah
Mempersiapkan strategi
pengelolaan dan
kebijakan regional.
•Membuat Petunjuk
Teknis Pengelolaan.
•Menyusun dan
mengkoordinasi Tata
Ruang Pulau-Pulau
Kecil di perbatasan
negara.
• Menyusun inventarisasi
atau atlas sumberdaya
pulau kecil perbatasan
negara.
•Membuat aturan
berdasarkan usulan
kabupaten.
•Mengkoordinasi
kebijakan atau masalah
lintas kabupaten/kota.
• Monitoring dan evaluasi
pengelolaan wilayah
pesisir di provinsi.
Bertanggung jawab
langsung dengan
menjadi pelaksana
pengelolaan pulaupulau kecil di
perbatasan negara.
• Menyusun Master Plan
dan menjabarkan
petunjuk teknis
pengelolaan pulau kecil
perbatsan negara.
• Membuat perencanaan
spesifik kawasan
berdasarkan
karakteristik khusus
wilayah dan kebutuhan
masyarakat setempat.
• Melakukan koordinasi
masalah operasional
dalam wilayah provinsi.
• Pelaksana perijinan
peman-faatan wilayah
atau sumberdaya
pesisir, melalui
sertifikasi.
• Melakukan pengawasan
langsung pulau kecil
perbatasan negara.
• Melakukan penegakan
238
pesisir nasional.
•Merespon dan
mengkoordinasi
kebutuhan bantuan
teknis dan pembiayaan
daerah perbatasan.
•Menetapkan dan
menyalurkan bantuan
dana bagi program
pengelolaan daerah.
•Menetapkan kawasan
khusus bagi konservasi
perbatasan.
hukum berdasarkan
peraturan yang berlaku.
• Memajukan pendidikan
masyarakat bagi
pengelolaan
berkelanjutan.
• Memberikan bantuan
teknis kemasyarakatan.
Rekomendasi rancangabangun hukum hendaknya lebih terfofus pada:
Pertama, merevisi kembali Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen, agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk
mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas
kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan
pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982)
adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia.
Sementara Undang-Undang Landas Kontinen tersebut masih berdasarkan
UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis
Pangkal
Kepulauan
Indonesia
menjadi
Undang-undang
serta
mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini
belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal
tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-titik
perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-batas
wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas lantas
kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009, namun hingga saat
ini belum terselesaikan, untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil dari garis
pangkal kepulauan nusantara. Karena apabila sampai batas waktu tersebut belum
menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas landas kontinen sampai
jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang sudah mengajukan klaim
239
landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah meratifikasi UNCLOS
1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia (2004).
Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan secara
lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya
di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya tidak melanggar
prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai menghilangkan
pulau-pulau kecil tersebut dari wilayah negara Indonesia.
5.58
Proses Pembuatan Peraturan perUndang-Undangan
Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah
pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah,
terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah
penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundangundangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan
yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita
Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat
mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan,
sehingga
dapat
melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan dimaksud.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan
240
Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh
Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundangundangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundangundangan.
Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia meliputi:
(1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(2) Peraturan Pemerintah;
(3) Peraturan Presiden mengenai: 1) pengesahan perjanjian antara negara
Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2)
pernyataan keadaan bahaya.
(4) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka
pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara
Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(2) Dewan Perwakilan Rakyat;
(3) Mahkamah Agung;
(4) Mahkamah Konstitusi; dan
(5) Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka
pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan
241
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan
himpunan.
Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
(1) Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1
(satu) softcopy.
(2) Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang
bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk
diundangkan.
(3) Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan
memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia untuk ditandatangani.
(4) Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi
pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan sebagai arsip.
(5) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan.
(6) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada
akhir tahun.
242
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan :
(1) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui
media cetak, media elektronik, dan cara lainnya.
(2) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa
lembaran lepas maupun himpunan.
(3) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk
lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk
disampaikan
kepada
kementrian/Lembaga
yang
memprakarsai
atau
menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang
membutuhkan.
(4) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk
himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk
disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan pihak terkait.
(5) Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui
website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.
(6) Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka
atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah,
konfrensi pers, dan cara lainnya.
Download