74 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia sangat kompleks keberadaannya ditinjau dari aspek pengelolaan sumberdaya alam, apabila dihubungkan dengan kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar sangatlah baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur pengelolaan dan tidak dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi lingkungan dan konflik antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar negara. Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung antara Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, seperti dilihat dalam Gambar 12 di bawah ini. Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina 75 5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (Peraturan Daerahgangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik), illegal fishing (pencurian ikan). Kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp. 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia). Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat diakibatkan karena : (1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh 76 dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional. (2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya. (3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin. (4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya. 77 (5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya. (6) Kurangnya koordinasi antar-Kementerian yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab. (7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan. Belum tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, dapat di lihat negara Filipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara 78 mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13 Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara Pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsidi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp. 500 miliar. Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UndangUndang Anti Illegal fishing karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 29 dan 30, masih kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut, bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia). Pelaksanaan kegiatan tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya. Dari gambaran di atas, dilihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing. Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, 79 tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas. 5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan, pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina. Gambar 14 Pulau Marore 80 Pulau Marore merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas 3.12 Km² dimasukkan dalam anggota gugusan pulau-pulau perbatasan yang langsung dengan negara Filipina. Pulau Marore merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 61 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, tercatat pada nomor urut 26. Pulau Miangas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Pulau seluas 3.20 Km² ini dimasukkan dalam anggota gugusan Kepulauan Nanusa, yang merupakan daerah perbatasan langsung dengan negara Filipina. Pulau Miangas merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 63 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tercatat pada nomor urut 28. Gambar 15 Pulau Miangas Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian yang serius dicurahkan 81 oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari. Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara lain antara lain Pulau Miangas (05°34'02"U 126°34'54"T / TD.056 TR.056 antara TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056ATD.057A = 57.91 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04°44'14"U 125°28'42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04°44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi. Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur 28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite). Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis dengan peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, merupakan landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara. 82 Gambar 16 Peta Garis pangkal di perbatasan Indonesia dan Filipina Penetapan batas terluar wilayah Negara Indonesia yang berbatasan langsung di darat yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, sedangkan wilayah maritim yang berbatasan langsung yaitu (1) India, (2) Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste, dan (10) Papua New Guinea (PNG). Adapun permasalah yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan 10 negara antara lain : (1) Perbatasan Indonesia-India. Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titiktitik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan. 83 (2) Perbatasan Indonesia-Malaysia. Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan. (3) Perbatasan Indonesia-Singapura. Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari. (2) Perbatasan Indonesia-Thailand. Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan 84 Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia. (3) Perbatasan Indonesia-Vietnam. Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut. (4) Perbatasan Indonesia-Filipina. Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral. (5) Perbatasan Indonesia-Republik Palau. Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua pihak. (6) Perbatasan Indonesia-Australia. Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RIAustralia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste 85 (7) Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari. (8) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari. 5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan 86 eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa. Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA, Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan: (1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa; (2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan (3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya. Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, dimana pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari sumberdaya. 87 Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di zona ekonomi eksklusifnya. Dengan demikian maka untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan penting untuk dilaksanakan pengaturannya di zona ekonomi eksklusif yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif dan disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1983. Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, maka pemerintah telah mengeluarkan pengumuman pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengumuman tersebut menegaskan tentang rezim hukum internasional yaitu penetapan zona ekonomi eksklusif yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara (state practice) dimana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Di samping itu zona ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona tersebut. Melalui konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut telah memberikan rekomendasi hukum kepada Republik Indonesia sebagai negara pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat tersebut. Ketentuan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban pula untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain 88 kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif. Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati tersebut. Di samping asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan dengan demikian tercapai pula kepastian hukum. Berhubung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik Indonesia maka kebijakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di perbatasan negara dalam. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa sumberdaya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selanjutnya sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Sumberdaya alam perlu di konservasi sebagai upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; sedangkan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Substansi Pasal 1 tersebut mensyaratkan akan tujuan dari UndangUndang Zona Ekonomi Eksklusif untuk menjaga dan memelihara ekosistem, dalam hal ini ekosistem pulau-pulau kecil di perbatasan negara, apabila berdampingan atau berdekatan dengan zona ekonomi eksklusif. 89 Penentuan batas zona ekonomi eksklusif diatur dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu : Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa : Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal- 90 kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines). Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia. Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut. Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau 91 badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari (maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest). Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti 92 wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia. Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar laut dan tanah di bawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat. Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu Undang-Undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum. Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan olehnya. Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Landas Kontinen Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973. Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan 93 wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen. Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Landas Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, termasuk berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan dapat dilakukan untuk kepentingan negara. Ketentuan lain yang menyangkut eksploitasi kekayaan diatur dalam Pasal 10 ayat (1) yaitu Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan: (1) Pertahanan dan keamanan nasional; (2) Perhubungan; (3) Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut; (4) Perikanan; (5) Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; (6) Cagar alam. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihanperselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen 94 Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Syarat lain diatur dalam ayat (3) yaitu apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain usaha yang bersangkutan. 5.4 Perbandingan antara ketentuan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif dengan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea 1982 Secara historis, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif (UU ZEE) umurnya satu tahun lebih muda dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Dalam artian, bisa saja ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU ZEE Indonesia adalah mengadopsi ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982. Dengan mengenyampingkan bahwa Indonesia barulah meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985, yakni 2 tahun setelah UU ZEE lahir. Namun patutlah kiranya dapat disinkronkan antara UNCLOS 1982 dan UU ZEE dalam pengambilan kebijakan penentuan wilayah negara di daerah perbatasan. Dari segi struktur, UU ZEE terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. Dengan masing-masing bab mengatur ketentuan tertentu. Sedangkan dalam UNCLOS 1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS 1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS 1982. Meskipun pengaturannya hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982 dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab. Dari segi substansi, ketentuan yang ada di dalam UU ZEE lebih mengkhususkan pengaturannya pada hal-hal yang konkrit ada dan terimplementasikan dalam wilayah Indonesia, sedangkan ketentuan dalam UNCLOS 1982 lebih mengatur hal yang sifatnya umum dan universal bisa diterapkan di berbagai negara yng meratifikasi. Meskipun UNCLOS 1982 tidaklah secara tegas dinyatakan sebagai bahan rujukan penyusunan UU ZEE, dengan tidak memasukkanya pada konsiderans menimbang UU ZEE, namun 95 substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS 1982. Bahkan dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE. 5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Selaras dengan ketentuan pasal 2 UU ZEE yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, maka pada pasal 55 UNCLOS 1982, tidak secara menonjol terdapat perbedaan. Bahkan terlihat bahwa konsepsi yang ada dalam UU ZEE merupakan konkretisasi dari ketentuan pasal 55 UNCLOS 1982. disamping itu telah tercakup pula ketentuan lebar laut tertitorial yang diatur pasal 57 UNCLOS 1982 dalam ketentuan Pasal 2 UU ZEE ini. Secara umum dalam UU ZEE dan UNCLOS 1982 menganut prinsip hukum yang sama yakni terdiri dari: (1) Hak berdaulat negara pantai (2) Hak partisipasif bagi negara tak berpantai dan negara lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati (3) Prinsip Keadilan Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam Pasal 4 UU ZEE. Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Coastal States mempunyai hak berdaulat untuk tujuan: (1) Explorasi dan exploitasi, konservasi dan mengelola SDA (2) Aktivitas lain untuk exploitasi ekonomi spt energy production Coastal States mempunyai jurisdiction yang berkaitan dengan: (1) Proteksi dan preservasi lingkungan laut 96 (2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE (3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures (4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research) Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi (Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula dalam pasal 4 UU ZEE. UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61. Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS 1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE. Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara. Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS 1982. Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan 97 ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 terdapat ketentuan pembebasan dengan jaminan. Di samping itu terdapat ketentuan larangan untuk melakukan hukuman badan dalam UNCLOS 1982. sedangkan pada UU ZEE, ketentuan ini tidak diterapkan secara tegas. 5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir dan laut, yaitu sumberdaya alam dan masyarakat, mutlak memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu bagi keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut. Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, baik dari masyarakat maupun pemerintah, sehingga untuk pencapaian pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis konservasi, masyarakat dan pemerintah. Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam pencapaian pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya Alam, Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan, yang merupakan bagian dari pembangunan berlanjutanan. Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus mengetahui karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang biogeofisiknya menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu : (1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat insuler, (2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil, (3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran, (4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi, 98 (5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara, (6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam wilayah hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah. Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan : (1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan (3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan dituangkan dalam Peraturan Daerah. Fungsi keterpaduan pulau-pulau kecil terluar terdiri dari fungsi (1) sumberdaya alam, (2) sosial budaya, (3) fungsi sosial politik (4) fungsi sosial ekonomi, dan (5) fungsi pertahanan keamanan yaitu : (1) Fungsi Sumberdaya Alam, Sumberdaya Alam merupakan satuan kehidupan (organisme hidup/biotik) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayati (fisik/abiotik). Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil terluar mencakup sumber daya hayati, meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, 99 mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan. Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya. Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal. (2) Fungsi Sosial Budaya Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan budaya untuk membendung masuknya budaya asing. (3) Fungsi Sosial Politik. Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial. (4) Fungsi Sosial Ekonomi Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan 100 dengan memperhatikan hak-hak atas tanah dan perairan. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang yang memperkuat ekonomi daerah, dan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat sehingga merupakan pilihan utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dengan pembangunan sosial ekonomi dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah pertahanan keamanan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus kebijakan mengembangkan jalur kerja sama dengan negara tetangga yang dapat mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan. (5) Fungsi Pertahanan Keamanan Secara geografis, pulau-pulau kecil di perbatasan negara sangat terisolasi, juga mempunyai kepentingan geopolitis tinggi dalam menjaga keutuhan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau terluar ditetapkan sebagai titik pangkal batas negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Saat ini teridentifikasi berjumlah 92 pulau terluar, dengan 67 pulau berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga. Pelaksanaan pertahanan dan keamanan, dengan pembuatan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat dan meningkatkan patroli perbatasan. Sebagai fungsi pertahanan dan keamanan maka peranan effective occupation (penguasaan secara efektif) pemerintah pada aspek administrasi, dengan melakukan kegiatan. Dengan demikian keberadaannya dapat berlangsung terus menerus (continous presence). Upaya melindungi dan melestarikan ekologi (maintenance and ecology preservation) juga bisa dilakukan sehingga menjadikan pulau-pulau kecil sebagai beranda depan negara. 101 5.7 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS Tahun 1982 Masyarakat internasional yang tergabung alam Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui forum Konperensi Hukum Laut III, telah berhasil merumuskan dan menandatangani suatu konvensi hukum laut yang baru, pada tanggal 10 Desember tahun 1982 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, Konvensi ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dalam hukum internasional. Perkembangan ini disebabkan oleh bertambah pentingnya laut bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Meningkatnya peranan yang demikian itu pula disebabkan oleh bertambahnya kemampuan manusia di dalam usaha memanfaatkan laut sebagai salah satu sumber kehidupan. Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan. Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional. Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan laut oleh berbagai negara. Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan nasionalnya. 102 Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya potensi kerawanan pada perbatasan antar negara yang bersumber dari masalah-masalah kelautan, mengingat klaim-klaim dari sejumlah negara yang tentunya tidak selamanya berdasarkan pada aturan-aturan yang berlaku, dan kadangkala timbul klaim sepihak seperti Proklamasi Truman 28 September 1945. Tindakan-tindakan seperti itu akan mendapat reaksi dari sejumlah negara, khususnya negara-negara yang berkepentingan atas laut maupun perbatasannya. Sebagai negara kepulauan juga dihadapkan pada masalah yang sama, mengingat Indonesia memiliki pantai yang terbentang panjang dan luas, yang juga dikelilingi oleh negara-negara lain baik yang berbatasan dengan daratan maupun dengan lautan. Demikian pula dari segi geografis Indonesia yang berada pada posisi silang yang sangat strategis dalam pelayaran internasional, dapat menjadi potensi sengketa tentang masalah-masalah kelautan. 5.8 Perairan Indonesia Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut). Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing. 103 Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini akhirnya diterima dunia internasional. Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4/Prp./Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp./ Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.480 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak. 104 5.8.1 Perikanan Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian 105 hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan. 5.8.2 Pemerintahan daerah Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan 106 teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah. 107 Selain itu yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. 5.8.3 Penataan ruang Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan nusantara dan ketahanan nasional dalam Undang-Undang tata ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan 108 pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 5.8.4 Pengelolaan pulau-pulau kecil Pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perUndang-Undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Keunikan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian pulau kecil dapat dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, 109 pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan normanorma yang diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya. 5.8.5 Wilayah negara Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem: (1) pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (3) desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat. Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, 110 perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upayaupaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan. 5.8.6 Persetujuan pelaksanaan ketentuan-ketentuan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang 111 berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam satu wilayah Laut Lepas yang seluruhnya dikelilingi oleh suatu wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari satu Negara dan Negara tersebut harus bekerjasama untuk merumuskan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan yang berkaitan dengan sediaan tersebut di wilayah Laut Lepas. Dengan memperhatikan karakteristik alamiah dari wilayah tersebut, Negara-negara harus memperhatikan secara khusus untuk menetapkan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang cocok untuk sediaan tersebut berdasarkan Pasal 7. Langkah-langkah yang diambil dalam hal Laut Lepas harus mempertimbangkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan dari negara pantai sesuai dengan Konvensi, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan juga harus memperhatikan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang diambil dan dilaksanakan dalam kaitannya dengan sediaan yang sama sesuai dengan Pasal 61 dari konvensi oleh negara pantai di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Negara-negara harus juga menyetujui tindakan-tindakan pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan dalam kaitannya dengan Laut Lepas. Berdasarkan Pasal 8, negara-negara harus bertindak dengan iktikad baik dan membuat setiap usaha menyetujui tanpa penundaan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk diterapkan dalam operasi penangkapan ikan dalam wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Apabila, dalam jangka waktu yang layak, negara-negara penangkap ikan terkait dan negara pantai tidak dapat menyetujui tindakan tersebut, mereka harus, dengan memperhatikan ayat (1), menerapkan Pasal 7 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), berkaitan dengan pengaturan-pengaturan atau tindakan-tindakan sementara. Sementara menunggu penetapan pengaturanpengaturan atau tindakan-tindakan sementara, Negara-negara terkait harus mengambil tindakan-tindakan berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan 112 bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat merusak sediaan terkait. Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasi-organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, untuk menjamin penaatan dan penegakan hukum bagi tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia. Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I hingga Konferensi Hukum Laut III, namun hingga disahkan Konvensi Hukum Laut 1982. Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing. 113 Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negaranegara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, dan menjamin bahwa perikanan di laut lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982. 5.8.7 Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang ditetapkan untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, dalam Pasal 6 menentukan bahwa Garis-garis Pangkal Kepulauan Indonesia harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi Datum Geodetis yang diperlukan. Pembuatan peta laut perairan Indonesia yang memadai untuk menggambarkan garis-garis pangkal kepulauan memerlukan waktu pembuatan yang lama, di samping memerlukan dana dan sumber daya manusia yang besar. Di samping itu perubahan pantai dan dasar laut di sekitarnya oleh kekuatan alam menyebabkan bahwa kegiatan pembuatan Peta Navigasi memerlukan kegiatan yang bertahap, terus-menerus, sistematis dan melembaga. Pembuatan Peta Navigasi yang masih menunggu penyelesaiannya yang dilakukan secara bertahap, perlu dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk kegiatan pelayanan dan penegakan hukum di Perairan Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 114 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dalam perairan kepulauan dapat ditarik garis-garis penutup untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman di Teluk, di Muara Sungai atau Terusan, di Kuala dan di daerah Pelabuhan. Ketentuan Pasal 50 tersebut tidak menentukan bahwa garis batas perairan pedalaman di perairan kepulauan dapat ditarik di sepanjang pantai, perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Air Rendah sepanjang pantai mempunyai kedudukan sebagai perairan pedalaman. Berhubung dengan itu garis rendah tersebut juga merupakan batas perairan pedalaman dalam perairan kepulauan. Ketentuan mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia tidak terdapat suatu ketentuan untuk diatur lebih lanjut, namun demi kepastian hukum mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman dalam Perairan Kepulauan perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan UndangUndang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Peraturan Pemerintah ini dilampirkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Daftar Koordinat Geografis tersebut merupakan lampiran pada Peraturan Pemerintah ini dan tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini, dengan tujuan agar perubahan atau pembubaran (updating) data dalam Daftar Koordinat Geografis tersebut dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selain untuk kepentingan pelayanan dan untuk penegakan hukum di perairan Indonesia, Daftar Koordinat tersebut juga dibuat untuk memenuhi 115 ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 5.8.8 Peraturan presiden pengelolaan pulau kecil terluar Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang social, ekonomi, budaya, hokum, sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia; Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan: (1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; (2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; (3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b. berkelanjutan; c. berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara 116 Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c. pembinaan wilayah; d. pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan budaya 5.8.9 Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas), dan teripang. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan. Selama ini kawasan pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan yang berarti karena Pembangunan Nasional di waktu lampau lebih berorientasi ke darat. Walaupun terdapat kegiatan pembangunan, kegiatan tersebut lebih mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan bahkan seringkali memarjinalkan masyarakat setempat. Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa perairan pulau-pulau kecil yang memiliki potensi perikanan cukup tinggi cenderung menjadi tempat penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan asing maupun nelayan lokal dengan cara tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan, penggunaan racun, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang terpencil sering dijadikan sebagai tempat penyelundupan, pembuangan limbah dan/atau penambangan pasir secara liar. Era globalisasi saat ini yang berciri perdagangan bebas serta dilengkapi sistem komunikasi dan informasi tanpa batas, dapat mengakibatkan penduduk pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan menjadi lebih dekat serta lebih menguntungkan jika berhubungan dengan negara-negara lain dibandingkan dengan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melingkupinya. Hal ini juga harus 117 menjadi pertimbangan dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain : (1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. (2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. (3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai berikut: (1) Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia usaha sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat, dan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. (3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayahnya. (4) Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil dan membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. 118 (5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai dengan hukum adat dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. (6) Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri, sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah. (7) Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota. (8) Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang dinilai oleh Pemerintah. (9) Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan masyarakat setempat. (10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana (11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. (12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), dan tenaga surya. (13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri strategis sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. 119 (14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2. (15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau kecil sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan. (16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. (17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga, harus ada jaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan (environmental insurance) kepada Pemerintah. (18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa persetujuan dari pihak ketiga. 5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 sebagai produk hukum nasional yang melanjutkan dan mengembangkan isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasalpasal yang penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan rancangbangun hukum. Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 berbunyi: ―Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang- 120 Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia". Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut yang berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sedangkan yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk hak-hak berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia (Pasal 4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-Undangan landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuanketentuan hukurn internasional yang berlaku. Hal yang penting lainnya adalah ketentuan yang menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 ) yang berbunyi: "Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan". Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan untuk kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan bilateral. Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut : 121 (1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil. (2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea, pada Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal 299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. (4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu. Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negaranegara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa terakhir ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat internasional. Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin 122 berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara tetangga yang belum terselesaikan. Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan). Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua negara tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulaupulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut : "Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud) dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut". ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini. Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90% sumbersumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat pada ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber daya alam yang terdapat di ZEE tersebut. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, 123 konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya. Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas luar laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi jarak sejauh 200 mil laut. Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86 Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan melalui suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang bersangkutan wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang merinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atas garis-garis penetapan batas tersebut. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa. 124 Hubungan ZEE dengan Landas Kontinen dapat diketahui dengan mengkaji ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat dalam kedua rejim hukum tersebut, terutama mengenai hak dan kewajiban Negara pantai. Di ZEE , Pasal 56 ayat (1) huruf (a) menyebutkan bahwa: "Dalam Zona Ekonorni Eksklusif Negara pantai mempunyai: (a) hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin" Dari rumusan Pasal ini dapat diartikan bahwa negara pantai di ZEE mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di perairan di atas laut, dasar laut dan tanah di bawahnya. Dasar laut dan tanah di bawahnya pada jarak 200 mil laut adalah juga merupakan daerah landas kontinen. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas mana yang termasuk bagian ZEE atau landas kontinen dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 56 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: "Hak-hak yang tercantum dalam Pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI" Pada bab VI Konvensi ini dalam Pasal 76 ayat (1) dikatakan landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Dengan demikian pengelolaan sumber kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya di ZEE akan tunduk pada ketentuan landas Kontinen. Begitu pula mengenai organisme jenis sedenter (menetap) dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 58 yang menyebutkan bahwa bagian ini tidak berlaku 125 bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut: "Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah dibawahnya, bersama dengan organisasi hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau dibawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya". Menurut Pasal ini bahwa jenis ikan sedenter yang terdapat di ZEE termasuk sumber kekayaan hayati dasar laut pengaturannya tunduk pada ketentuan landas kontinen. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas terlihat dari dua rejim hukum yang berbeda, yaitu rejim hukum ZEE dan landas kontinen yang mengatur masalah yang sama mengenai hak-hak berdaulat Negara pantai atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Melalui kedua rejim ini Negara pantai dapat menikmati hak-hak berdaulatnya untuk melakukan eksploitasi maupun eksplorasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dari dasar laut maupun tanah di bawahnya. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang berkembang antara ZEE dan landas kontinen, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang berlaku di ZEE bersifat melengkapi pengaturan hukum di landas kontinen, dan begitu pula sebaliknya ketentuan hukum di landas kontinen melengkapi ketentuan hukum di ZEE 5.10 Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya 126 dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond and from the baselines from which the territorial sea is measured. Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa : "Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini". Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan sebagai berikut: "Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur". Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai, dengan lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari mana negara pantai mengukur lebar laut teritorialnya. Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12 mil laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut dikurangi lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut. Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi Ekslusif Negara pantai mempunyai : 127 "(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin." Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai yurisdiksi yang berhubungan dengan: "(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut" Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak, negara pantai juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-hak untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan laut lainnya berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum internasional. Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-ketentuan hukum mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya untuk menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain dalam melaksanakan kebebasankebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum (laut) internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum negara pantai di ZEE tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-kapal dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu status hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis"). Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential Decree) Nomor 1599 tahun 1978. Dalam konsideran Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut dari garis 128 dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini merupakan suatu konsepsi hukum internasional yang diakui. Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui. Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori dan praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan persetujuan. Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum internasional tentang penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hakhak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut : (1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak (living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah bawah dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk eksploitasi ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; (2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan 129 bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah; (3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek negara. Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian yang diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di bawah wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan hal-hal sebagai berikut: (1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun; (2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap sumbersumber alam; (3) Melakukan penelitian; (4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau (5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang ditetapkan disini. Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan ketentuan angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE. Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan navigasi dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa dibawah laut, dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang berhubungan dengan navigasi dan komunikasi. Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE. 130 5.11 Prinsip Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Filipina Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang berdampingan atau berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian antara kedua negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negaranegara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan Filipina dapat mencontohnya. Churchill dan Lowe, membenarkan praktek tersebut dengan menyatakan bahwa selama ini sejumlah 70 atau lebih negara yang telah menetapkan ketentuan tentang ZEE, dan lebih dari sepertiganya memasukkan dalam perUndangUndangannya yang merujuk pada prinsip sama jarak seperti suatu solusi sementara sambil menunggu penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan. Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain, rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai persetujuan. Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan. 131 Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (the delimitation of the economic exclusive zone and continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of international law in order to achieve an equitable solution). Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978 menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batasbatas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui. Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang ada. Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir) antara kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh melalui 132 pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat saling pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang menyatakan bahwa sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dari Pasal ini, negara negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama masa peralihan ini tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Menurut Churchill dan Lowe, sambil memutuskan penyelesaian sengketa, negara-negara yang berbatasan tersebut dapat mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk memberlakukan perjanjian sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) dan Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh perjanjian tersebut antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis sama jarak yang digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu perbatasan yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan bahwa selama perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984) zona perikanan eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai akan ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia, dan persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan didasar laut untuk kepentingan kedua negara. 5.12 Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Filipina Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa penetapan batas wilayah, baik laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE sudah merupakan aturan umum yang dipraktekkan negara-negara, bahkan ketentuan tentang penetapan batas tersebut sudah menjadi bagian dalam perUndang-Undangan yang bersifat nasional dari sejumlah negara. Mochtar Kusumaatmadja membenarkan konsep ini dengan menyatakan bahwa dengan diadakannya kurang lebih 10 perjanjian garis batas landas kontinen dan laut teritorial yang didasarkan atas penggunaan azas garis tengah dan azas sama jarak (median line and equidistance principle) maka azas atau ketentuan 133 tersebut diperkuat kewibawaannya, paling tidak untuk Asia Selatan dan Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Dalam beberapa persetujuan penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain juga menggunakan prinsip sama jarak. Demikian juga dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dikemukakan bahwa selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang pe, dipertimbangkan, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negaranegara, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut. Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun 1978. Sistim yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik Indonesia maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur dari garisgaris pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan Mindanao) dan 134 bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara) perlu diadakan penetapan batas-batasnya. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan, maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di dalamnya mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang berhadapan atau bersampingan dengan negara lain. Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garisgaris pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas. Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah. Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa batas landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-negara yang berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan kecuaii kalau garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus, perbatasan akan ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2). 135 Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran terhadap garis sama jarak. Salah satu contoh konfigurasi dari pulau utama yang menciptakan prinsip sama jarak yang tidak adil dan merupakan salah satu sumber sengketa adalah peradilan dalam kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun 1969, yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak dari kecekungan atau kelekukan garis pantai Republik Federal Jerman dan negara-negara yang berdekatan, yaitu Denmark dan Belanda. Pembenaran penetapan batas berdasarkan prinsip sama jarak juga mencontohi praktek dari sejumlah negara. Berdasarkan sejumlah ketentuan konvensi dan yurisprudensi maka Churchill & Lowe, menyimpulkan bahwa paling sedikit ada empat prinsip yang dapat diterima dengan jelas mengenai penetapan batas, yaitu : (1) Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi keadilan yang dilibatkan. (2) Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari hukum internasional. (3) Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga, harus menghasilkan prinsip solusi yang adil. (4) Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan. 5.13 Kendala-Kendala Dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-keadan khusus 136 (special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao Selatan-Filipina) yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang berada pada posisi diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara Pulau Kawio (yang ada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di bagian selatan Filipina), yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan kondisi geografis antara Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten Kepulauan Talaud Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin Filipina yang berjarak 50 mil laut. Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang yang diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. 5.14 Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Tata kelola sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan bagian tak terpisahkan dari tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dari program pemerintah secara umum. Oleh karena itu, tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil harus mengikuti prinsip-prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance), juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil yang saat ini telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dan praktisi tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil. Aturan hukum dibuat merupakan bagian tata kelola pemerintah untuk membentuk perilaku individu dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan aturan hukum sangat tergantung pada legitimasi dari masyarakat dan pemberian sanksi. Setiap upaya pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada kerangka hukum yang sudah ada. Keseluruhan kerangka hukum inilah yang memberi identitas bagi sistem hukum di Indonesia, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini : 137 Tabel 12 Tata Urutan Hukum yang dipergunakan di Indonesia Hukum dan proses penyusunannya dapat digambarkan sebagai perangkat utama dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan. Hukum akan menentukan baik dan buruknya suatu tata kelola pemerintahan. Hukum yang berbasiskan pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seringkali disebut sebagai faktor penentu keberhasilan pengelolaan yang berkelanjutan (Martin and Smith, 2000). Upaya menciptakan suatu sistem hukum yang bertalian dengan masyarakat yang diaturnya haruslah didasarkan kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu, penyusunan suatu hukum harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1) menghindari pemberian kewenangan yang berlebihan; (2) menghindari pengaturan dan persyaratan yang tidak perlu, berlebihan, dan sulit diterapkan; (3) mengakomodasi ketetapan yang bersifat transparan, akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan yang benar; (4) melibatkan tokoh masyarakat setempat; (5) menyelenggarakan proses pelibatan publik yang luas; dan (6) meningkatkan efektivitas mekanisme penegakan hukum (Lindsay, 2000). Seluruh ketentuan ini dirangkai dengan delapan prinsip tata kelola pemerintahan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian dasar yaitu proses, substansi, dan keberpihakan. Proses pembuatan peraturan peraturan perundang- 138 undangan hendaknya mengikuti prinsip-prinsip transparansi/keterbukaan, partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan. Substansi peraturan perundangundangan hendaknya menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-prinsip kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah, sosial-ekonomi, kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan. Penerapan menguraikan penyelenggaraan dan penegakan hukum, yang dituangkan lewat prinsip-prinsip akuntabilitas, pelaksanaan, keputusan yang adil, keutuhan proses, dan kesempatan dengar pendapat yang sama (Patlis, 2003). 5.15 Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat Proses yang transparan dalam pengambilan keputusan memberikan kepada masyarakat: (1) informasi tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2) peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara pemerintah dan non pemerintah. Partisipasi mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu (Axelrod, 1984). Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya konfl ik dalam menerapkan suatu keputusan (Ostrom, 1992) dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah (Estache, 1995). Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3) tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah. Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam pemerintah menyediakan mekanisme yang 139 melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan konflik, membatasi ketidakefektifan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk hukum. Keterpaduan tidak mengurangi kewenangan suatu instansi, melainkan sekadar mengurangi sifat keotonomiannya. Keterpaduan menghasilkan pemerintah yang lebih efisien. 5.16 Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil Akurasi llmiah dan pertimbangan sosial-ekonomi, dimana setiap peraturan yang berhubungan dengan tata kelola wilayah pesisir hendaknya sarat dengan keilmuan di dalamnya. Akan tetapi, pertimbangan sosial dan ekonomi akan memperkaya nuansa dan muatan peraturan tersebut dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir. Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga harus mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan kebutuhan yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu kajian akademis terhadap peraturan yang tengah dirancang atau ditetapkan perlu dilakukan, dengan menekankan pertimbangan ilmiah, sosial, dan ekonomi di dalamnya. Pendanaan berkelanjutan mengacu pada pendanaan yang cukup untuk mengimplementasikan suatu peraturan. Pada sebagian besar wilayah, pendanaan digunakan untuk keperluan administrasi dan operasional, dan hanya sedikit yang digunakan untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kejelasan peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan dengan baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh masyarakat (Seidman, et al., 2001; Botchway, 2001). Kejelasan mengacu pada bagaimana suatu peraturan dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang terdapat di dalamnya. Akuntabilitas merupakan landasan dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (Bennett, 2001), yang dapat mendorong perilaku pemerintah, baik secara individu dan kelembagaan, untuk melaksanakan tanggung 140 jawab kepada publik dan menegakkan hukum (Turner and Hulme, 1997). Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong pengambilan keputusan secara lebih dewasa. Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat. Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan (Botchway, 2001). Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan. Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia. Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun. Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ―Dalam membentuk peraturan perUndang-Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan perUndang-Undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; 141 dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.‖ Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perUndangUndangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perUndang-Undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perUndang-Undangan yang berwenang. Peraturan perUndang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentakan peraturan perUndang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perUndang-Undangannya. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perUndang-Undangan harus memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa materi 142 muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut, yaitu pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. (2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. (3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. (4) Asas kekeluargaan‖ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. (5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndangUndangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. (6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndangUndangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 143 (8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. (9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. (10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndangUndangan yang bersangkutan. Penjelasan, yang dimaksud dengan ―asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndang-Undangan yang bersangkutan‖, antara lain: (a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapi dana, dan asas praduga tak bersalah; (b) dalam Hukum Peraturan Daerah, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. Secara formal, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Kepala Pemerintah Daerah. Penyusunan sebuah Peraturan Daerah hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya memerlukan sebuah Peraturan Daerah baru. Inisiasi awal penyusunan Peraturan Daerah baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan sumber daya wilayah pesisir, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, maupun kelompok masyarakat. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa ―penyelenggara pemerintahan daerah 144 dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah….‖ Lebih lanjut ditegaskan bawha kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain. Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Peraturan Daerah baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Peraturan Daerah, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Peraturan Daerah. Pada intinya, pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana Peraturan Daerah yang diusulkan akan dapat memecahkan masalah tersebut. Konsep atau draft rancangan Peraturan Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah diidentifikasi dan dirumuskan. Seperti layaknya usulan pemencahan masalah yang memerlukan kajian empiris, draft Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar-instansi. Lebih jauh, rancangan Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan pemecahan masalah secara teoristis. Sebagai pemecahan masalah, Peraturan Daerah yang baru hendaknya dicek secara silang (crosscheck). Peraturan Daerah perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektifan yang sebenarnya. 145 Secara umum, terdapat 6 (enam) langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Peraturan Daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. (1) Langkah 1: Identifi kasi isu dan masalah; (2) Langkah 2: Identifi kasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) baru dapat memecahkan masalah; (3) Langkah 3: Penyusunan Naskah Akademik; (4) Langkah 4: Penulisan Rancangan Peraturan Daerah; (5) Langkah 5: Penyelenggaraan Konsultasi Publik; • Revisi Rancangan Peraturan Daerah; • Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan; (6) Langkah 6: Pembahasan di DPRD (7) Langkah 7: Pengesahan Peraturan Daerah. Gambar 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah Proses legislative drafting sebenarnya sudah dimulai dalam penyusunan naskah akademik. Isu dan masalah ditelaah dan dianalisis, dan pemikiranpemikiran serta tema-tema disajikan secara tertulis di dalam naskah akademik. Hal ini akan membentuk struktur atau sistematika penulisan Peraturan Daerah yang baru. Idealnya, proses penyusunan naskah akademik berlanjut secara alami menuju proses penyusunan legislative drafting atau rancangan Peraturan Daerah. 146 Secara umum, legislative drafting hendaknya dimulai dengan penulisan secara garis besar, lalu dilanjutkan ke penulisan yang lebih detil atau rinci. Tim dapat memulainya dengan membuat satu kerangka tulisan (outline), atau dengan merumuskan tujuan dari Peraturan Daerah yang dibuat, yang mengidentifi kasi tema-tema utama dan ruang lingkup dari Peraturan Daerah yang baru. Telaah naratif berdasarkan naskah akademik dapat dimasukkan di sini. Tim penyusun hendaknya menyempurnakan ruang lingkup Peraturan Daerah yang baru, melalui serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan, serta didukung dengan hasil kerja anggota tim secara individu yang dikerjakan di antara pertemuan-pertemuan tersebut. Naskah akademik hendaknya dipakai sebagai dasar dalam melakukan pengecekan silang (cross-checking) dari usulan-usulan yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan ini. Dalam tahap-tahap awal, konsep rancangan Peraturan Daerah sebaiknya tidak ditulis menyerupai suatu Peraturan Daerah. Draft awal hendaknya tidak ditulis dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim dapat memulai dengan sebuah matriks yang mengidentifi kasi masalah, mengusulkan pemecahan masalah, dan tulisan hukum secara singkat yang berkaitan dengan dua hal tersebut. Materi muatan Peraturan Daerah tentang pulau kecil, tentunya tidak dapat diseragamkan untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penyusunan Peraturan Daerah pengelolaan pulau kecil di daerah perbatasan, materi muatannya hendaknya disesuaikan dengan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masingmasing daerah. Adapun materi muatan yang disajikan di bawah ini dimaksudkan sebatas sebagai bahan acuan, yang penggunaannya harus mengikuti kebutuhan masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Pada intinya, pengelolaan pulau kecil bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan atas seluruh sumber daya yang berada di pulau kecil termasuk wilayah pesisirnya dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Pengelolaan pulau kecil mengkoordinasikan dan memadukan seluruh aktivitas di pulau kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang ada untuk tujuan ekonomi dan lainnya, dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Konsep pengelolaan pulau kecil memberi keleluasaan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk 147 tetap melakukan program dan aktivitasnya masing-masing di pulau kecil termasuk wilayah pesisir. Seluruh sektor seperti kehutanan, pertambangan, perikanan dan sebagainya masih tetap memiliki kewenangan masing-masing dalam mengelola program dan aktivitas mereka di pulau kecil dalam wilayah pesisir. Program yang dikehendaki adalah bahwa perencanaan dan pengelolaan seluruh program harus dilakukan secara terpadu, agar semua program dan aktivitas yang dilakukan saling memperkuat satu sama lain, tidak saling bertabrakan dan merugikan satu sama yang lain. Keterpaduan mutlak diperlukan dalam seluruh proses perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang bersifat multisektoral. Namun demikian, mencapai keterpaduan perencanaan dan pengelolaan tersebut bukanlah hal yang mudah. Apalagi, pengelolaan wilayah dan sumber daya pesisir sangat erat kaitannya dengan tata kelola kepemerintahan yang kompleks, dan menghadapi permasalahan-permasalahan sulit seperti kerancuan yurisdiksi, ketidakjelasan kewenangan, serta status milik bersama (common property) dan akses terbuka (open access) sumber daya pesisir pada umumnya. Untuk itulah, pengelolaan sumber daya pesisir perlu melibatkan seluruh tingkatan, dari nasional hingga pemerintahan desa, dan seluruh pemangku kepentingan pada setiap tingkatan pemerintahan. Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan melakukan pengelolaan pulau kecil dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori. Kategori inilah yang sedapat mungkin diikutsertakan dalam proses pengelolaan pulau kecil. Keempat kategori tersebut ialah: (1) Manfaat dari sumber daya laut dan darat (terrestrial) yang berkelanjutan, termasuk ikan, karang, pantai, mangrove, estuari, laguna, dan sebagainya; (2) Manfaaat pencegahan terjadinya pencemaran/polusi, baik yang berasal dari darat maupun laut, dan perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat pesisir; (3) Peningkatan manfaat ekonomi dari industri pariwisata dan maritim; (4) Pengembangan beberapa manfaat baru seperti energi dan ekowisata. 148 Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial (Clark, 1996). Di Indonesia, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan formal tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu sudah berjalan selama beberapa tahun. Di Sulawesi Utara, misalnya, warga di Desa Bentenan, Tumbak, Blongko, dan Talise menyusun peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir berbasis masyarakat pada tahun 2000-2002, yang bertujuan menyediakan kerangka hukum di tingkat desa. Berikutnya, tahun 2002-2003, 24 desa di satu kecamatan (Likupang, Minahasa Utara) menetapkan Perdes tentang pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir. Upaya penyusunan Perdes di desa-desa lainnya di Sulawesi Utara kemudian dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Perdes di tingkat desa ini kemudian diikuti dengan penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi jenjangnya, yaitu Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah berbasis masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi. Di samping itu, upaya penyelesaian rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tingkat nasional saat ini sedang berlangsung. Selain upaya-upaya yang telah di Sulawesi Utara, upaya serupa tengah berlangsung di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi, yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui proyek Marine and Coastal Resources Management Project (MCRMP). MCRMP diikuti oleh 15 (lima belas) provinsi dan 43 (empat puluh tiga) kabupaten/kota di Indonesia, yang sebagian besar berupaya menyusun Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan sejumlah pertanyaan, keraguan, dan inkonsistensi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Banyak kerangka dasar 149 yang diboyong ke Undang-Undang baru. Pasal 2 dan 10 (10) pada UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 mencantumkan wewenang yang luas bagi pemerintahan daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri. Jangkauan/lingkup kewenangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 untuk provinsi dan Pasal 14 untuk kabupaten dan kota, dan memasukkan masalah tata ruang, urusan kemasyarakatan, monitoring lingkungan, dan beberapa urusan lain. Hak-hak untuk Pemerintah Derah (provinsi dan kabupaten/kota), termasuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, diatur dimuat dalam Pasal 21, dan pertanggungjawaban termasuk melindungi dan melestarikan lingkungan dicantumkan dalam Pasal 22. Pemerintah Provinsi perlu memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan-permasalahan antar-kabupaten/kota (Pasal 13), dan Pemerintah Pusat dapat menolak peraturan-Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan undang-undang (Pasal 136, 145). Bupati kepala daerah dipilih langsung, dan desa diberi tanggung jawab lebih besar dalam menangani masalah-masalahnya, meskipun tetap harus merujuk ke kabupaten (Pasal 200). Undang-undang yang baru memberikan arahan lebih baik dibandingkan dengan Undang-Unang Nomor 22 Tahun 1999 dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang baik. Masyarakat adat diakui dan diperhatikan, sesuai dengan prinsip negara (Pasal 2). Prinsip-prinsip manajemen, akuntabilitas, dan efisiensi menjadi pijakan bagi Pemerintah untuk bekerja (Pasal 11). Pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan dalam cara yang jujur dan harmonis (Pasal 26). Masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah (Pasal 139 ayat 1). Di sini dijelaskan juga bahwa Peraturan Daerah harus mengikuti kerangka hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 139 ayat 2 dan Pasal 145). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 4, menyatakan secara umum bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatur dan mengorganisasikan masyarakat setempat berdasarkan keputusan yang mereka ambil dan aspirasi mereka sendiri. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wewenang ini mencakup setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, hukum/keadilan, keuangan, dan agama. Pemerintah 150 Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal, termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut (coastal waters), yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12 mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan tersebut. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut. Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama, dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah . Hal ini termasuk dalam hak-hak pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hakhak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu daerah. Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berada di luar batas 12 mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, (Pasal 2 (3) (2) (a)), Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi, memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di perairan itu. Hak pemerintah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Pasal 18 yaitu: (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 151 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2) pengaturan administratif; 3) pengaturan tata ruang; 4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; 5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. (4) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. (5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. (7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyusun peraturan perundang-undangan, dari tingkat desa sampai ke tingkat Pemerintah Pusat, yang secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sampai saat ini di Provinsi Sulawesi Utara, setidaknya terdapat beberapa peraturan desa dan peraturan daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah dibuat dan disahkan yaitu di tingkat Kabupaten yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; sedangkan satu Peraturan Daerah provinsi yang telah diberlakukan adalah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, yang dibuat belum dilandasi dengan UndangUndang khusus mengenai pengelolaan wilayah pesisir, karena Undang-Undang 152 yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di tetapkan pada tahun 2007. Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undangUndang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan dengan peraturan perUndang-Undangan yang baru ditetapkan. Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun mekanisme dalam menggulirkan prosesnya. Sehingga, diharapkan akan memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara. 153 5.17 Analisis Hierahi Proses Rancangbangun Hukum Pengelolaan PulauPulau Kecil Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil terluar. Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan sebagai berikut : 5.17.1 Faktor eksternal Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi eksternal yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai. 5.17.1.1 Peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Kebijakan nasional mendorong investasi. Faktor ini menjadi peluang dengan alasan bahwa investasi adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah dalam tataran nasional untuk mendorong investasi maka pemanfaatan potensi sumber daya dalam kaitannya dengan peningkatan pengelolaan di pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara semakin optimal. Investasi yang dapat dikembangkan di pulau-pulau terluar berupa investasi di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, dan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau-pulau tersebut. (2) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah. Kebijakan pemerintah ini merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah menurut kerangka perUndang-Undangan yang 154 berlaku untuk mengatur kepentingan pengelolaan daerah masing-masing. Faktor ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan asli dareah dengan mengembangkan sektor-sektor produktif. (3) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam. Potensi pasar baik lokal, nasional, dan internasional akan kebutuhan hasil olahan sumber daya alam menjadi dorongan untuk meningkatan nilai tambah dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dan pemberdayaan aspek sosial ekonomi masyarakat lokal pulau-pulau terluar (4) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar di bidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran dan pertambangan. (5) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Kerjasama ini diharapkan mampu mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia dengan negara-negara tetangga sehingga terbentuk sebuah perjanjian atau persetujuan yang mengakomodir kepentingan masing-masing negara. (6) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Dalam pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 5.17.1.2 Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE). Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan ditetapkan secara bersama antara kedua negara. Faktor ini menjadi 155 ancaman karena ketidakjelasan batas-batas wilayah suatu negara akan menimbulkan sengketa dengan negara tetangga dalam memberlakukan wewenang pengelolaan kekayaan sumber daya. (2) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Respon pengawasan yang lemah akibat lemahnya perangkat hukum dan perangkat kelembagaan merupakan ancaman untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang menyebabkan berkembangnya kegiatan illegal dan eksploitasi di kawasan perbatasan. Kegiatan illegal di daerah perbatasan sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang seperti illegal fishing, illegal logging, illegal trading, dan penyelundupan. Tindakan ini merupakan ancaman karena akan menghambat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. (3) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kepentingan ini bisa menjadi sebuah konflik yang menghambat peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. 5.17.2 Faktor internal Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing condition dari segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar tercapai. 5.17.2.1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar. Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi 156 strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa kelautan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. (2) Posisi geografis yang cukup strategis. Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan kawasan pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Posisi yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan keamanan negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka pembangunan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. (3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. 5.17.2.2 Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil Terluar (1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar. Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial, budaya, politik, hukum, dan pertahanan keamanan. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan prasarana perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan 157 masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini merupakan penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar. (3) Terbatasnya sarana prasarana sosial. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan wilayah pulaupulau terluar. (4) Lemahnya koordinasi antar lembaga. Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar masih lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan perannya sendiri-sendiri bukan berdasar kebijakan bersama. Kelemahan ini menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulaupulau kecil (5) Kontrol Pendanaan yang lemah. Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari pelaksanaan program-program tersebut. (6) Batas Maritim yang belum selesai. Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas peta belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang tersentuh pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan pembangunan di perbatasan dari berbagai sektor. (7) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif. Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam 158 berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut. (8) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu sistem Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan perspektif sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan keutuhan dan kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. (9) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau perbatasan negara. Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulaupulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-Undang yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. 5.18 Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal. 5.18.1 Evaluasi faktor eksternal Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya. Sebagai upaya yang diharapkan untuk mengetahui dan mengevaluasi akan keberhasilan penegakan huku di Indonesia berdasarkan peraturan perundang- 159 undangan yang sudah diberlakukan maka perlu dilakukan evaluasi eksternal atas implementasi kebijakan berdasarkan penerapannya. Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor pada masing-masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 13 berikut : Tabel 13 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal FAKTOR INTERNAL PELUANG 1 Kebijakan nasional mendorong investasi 2 Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah 3 Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam 4 Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia 5 Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga 6 Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Jumlah ANCAMAN (9) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) (10) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara (11) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Total BOBOT PERINGKAT SKOR 0.107 0.115 0.533 2.133 0.272 0.246 0.099 2.267 0.225 0.105 2.733 0.288 0.113 2.933 0.332 0.121 3.000 0.363 1.726 0.113 1.733 0.197 0.126 1.733 0.218 0.099 2.000 0.199 1 0.613 2.339 Berdasarkan Tabel 13, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit 160 kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional. Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara. Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. 161 5.18.2 Evaluasi faktor internal Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal. Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 14 berikut : Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal FAKTOR INTERNAL KEKUATAN 1. Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar 2. Posisi geografis yang cukup strategis 3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar Jumlah KELEMAHAN 1. Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar 2. Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. 3. Terbatasnya sarana prasarana sosial 4. Lemahnya koordinasi antar lembaga 5. Belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar 6. Kontrol Pendanaan yang lemah Jumlah Total BOBOT PERINGKAT SKOR 0.119 3.133 0.373 0.105 0.105 3.200 2.667 0.335 0.279 0.987 0.100 0.115 2.200 2.133 0.220 0.245 0.113 0.116 0.103 2.067 2.200 2.133 0.234 0.256 0.219 0.125 2.067 0.258 1.431 2.418 Berdasarkan Tabel 14, total skor faktor strategis internal mendapatkan angka 2.418. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara lemah. Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.119. Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan pulau-pulau kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan. 162 Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting karena merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang diperoleh dari berbagai sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya agar terwujud hasil yang nyata dan efektif dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Jika dana tidak terkontrol maka peluang terjadi penyalahgunaan dana semakin besar sehingga program pengelolaan wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu. Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor kelemahan yang cukup dominan dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya sarana dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-perangkat infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan sangat berpengaruh pembangunan. terhadap Pembangunan kelancaran infrastruktur terlaksananya seperti program-program sarana perhubungan mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasarpasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003) Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas SDM merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang akan terlibat langsung dalam program-program pembangunan sedangkan mereka belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti pentingnya pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di kawasan itu kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh pemberdayaan SDM. Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi antar lembaga dengan bobot 0.116 dan belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.103. Kedua faktor ini adalah permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif. 163 Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot 0.105 dan keterpencilan pulaupulau kecil terluar dengan bobot 0.100. Faktor-faktor ini adalah bagian dari keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan 2.667 untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah potensi yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga terkait mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka akan didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan di laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul di Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh karena itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan mengacu pada harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. 5.19 Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan ini menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada Gambar 15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan internal diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal adalah 2.339 dan total skor evaluasi faktor internal adalah 2.418. Posisi ini ditunjukkan oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V pada Gambar 18. 164 Total Skor IFE Kuat 4,0 Tinggi Rata-Rata 3,0 I Lemah 2,0 II 1,0 III Total Skor EFE 3,0 Menengah IV 2,0 Rendah VI V VII VIII IX 1,0 Gambar 18 Matriks IE (Internal Eksternal) posisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada kuadran V artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang stabil atau tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Salah satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu. 165 Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatankekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi. 5.20 Analisis SWOT Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis peengelolaan pulau kecil terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini. Analisis SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal; Strenghts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal; Opportunities dan Threats. Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats) ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan matriks IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan ancaman akan disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan sehingga dapat menghasilkan beberapa strategi. Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini di lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks. Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 19 Matriks SWOT yang menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih. 166 Internal Kekuatan (S) SDA dan jasa lingkungan 4 kelautan yang besar (S1) Posisi geografis cukup 5 tinggi (S2) Adanya program dari pemerintah daerah untuk 6 pembangunan pulau-pulau kecil terluar (S3) 7 1 2 3 8 Eksternal 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Peluang (O) Kebijakan nasional mendorong investasi (O1) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah (O2) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam (O3) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia (O4) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga (O5) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (O6) Ancaman (T) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) (T1) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara (T2) Adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (T3) Kelemahan (W) Keterpencilan pulaupulau kecil terluar (W1) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. (W2) Terbatasnya sarana prasarana sosial (W3) Lemahnya koordinasi antar lembaga (W4) Kontrol Pendanaan yang lemah (W5) Belum adanya UU yang khusus mengenai pulaupulau kecil terluar (W6) SO WO Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3, O1,O2,O3) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4,O6) Penetapan Batas wilayah Pembangunan Sarana yang disepakati Indonesia dan Prasarana Wilayah dan Filipina (S2, O4, O5) (W1-3,O1-3) Peningkatan kerjasama Peningkatan kekuatan bilateral dan Internasional sistem pendanaan (W5, (S2, O4, O5) O1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara (S1,S2, O1-3) ST Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, T1, T2) Gambar 19 Matriks SWOT WT Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (W6,T2) Peningkatan Keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4, T3) 167 Berdasarkan Gambar 18, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari 10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.21 Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O) Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain : 5.21.1 Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam. Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau untuk kesejahteraan manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan datang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini bencana alam, manajemen kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang pesisir secara terpadu, pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir, pengendalian pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem mangrove, rehabilitasi ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan laut. 168 Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan juga dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. Kebutuhan ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang apabila dikembangkan secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya. 5.21.2 Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka salah satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan internasional. 5.21.3 Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah terhadap pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut. Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan pada potensi pulau yang bersangkutan. 169 Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian otonomi daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan penataan ruang wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik menginvestasikan dana karena melihat prospek yang cukup menguntungkan. Begitu juga dengan pemberian otonomi daerah akan membuat pemerintah daerah menjadi lebih leluasa menggunakan perannya dalam mengatur kepentingan pengelolaan daerah masingmasing. 5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5) Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan. Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan yang besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan. Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. 5.22 Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T) Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah : 170 5.22.1 Strategi penetapan batas wilayah Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga ada di dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda. 5.22.2 Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan pulau pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi kesalahan wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara. 5.23 Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O) Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang dengan cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki. 5.23.1 Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulaupulau kecil terluar. Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan pengelolaan seperti Dewan maritim nasional, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu mengakomodir permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-lembaga lainnya yang memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi dengan sinkronasi yang baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam pelaksanaan di lapangan. Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam pengelolaan 171 perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain. Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien. 5.23.2 Pembangunan sarana dan prasarana wilayah Strategi yang bertujuan untuk mengatasi kelemahan berupa keterpencilan pulau-pulau kecil terluar, terbatasnya prasarana ekonomi dan sosial untuk meraih peluang pertumbuhan investasi, otoritas wilayah dan peningkatan taraf hidup masyarakat terutama pada aspek sosial dan ekonomi. Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah baik dari aspek ekonomi dan sosial. Pada aspek ekonomi perlu dilakukan pengembangan infrastruktur transportasi dari pulau ke pulau secara kontinyu, pembangunan sarana pelabuhan guna mendukung aliran barang dan jasa, pengembangan sarana listrik dan air bersih, penyediaan fasilitas komunikasi, pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pasar sebagai pusat Peraturan Daerahgangan serta pengembangan lembaga perbankan atau keuangan lainnya yang menjadi sarana kelancaran pelaku ekonomi untuk melaksanakan usahanya. Pada aspek sosial perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan pengembangan pendidikan formal dan informal serta pembinaan dalam kegiatan perekonomian dan sosial sehingga SDM memiliki informasi dan wawasan yang memadai untuk peningkatan taraf hidupnya. 172 5.23.3 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1) Sistem pendanaan perlu diperkuat untuk mengatasi kontrol pendanaan yang lemah dengan cara pembuatan alokasi anggaran untuk pelaksanaan programprogram pembangunan dan pengawasan terhadap penggunaan alokasi anggaran tersebut yang melibatkan lembaga-lembaga independen demi penegakan akuntabilitas publik. 5.24 Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T) Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. 5.24.1 Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W6,T2) Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan peraturan sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan peraturan ini akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun daerah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. 5.24.2 Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (W4, T3) Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil 173 terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi konflik akibat kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut. 5.25 Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3 level di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu untuk merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan level 2 adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang produk hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut terdapat pula sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa alternativ rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang pendukung yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan budaya. Seperti pada Gambar 20 Rancang Bangun Hukum Pulau-Pulau Kecil Terluar Sumber Daya Alam Sosial Ekonomi @Pendidikan @Transportasi @Adat-Istiadat @Pemasaran @Perikanan @Perkebunan Rancang Bangun Hukum Menurut Pemerintah Rancang Bangun Hukum Menurut Akademisi Pendanaan Hukum @APBN @APBD @LOAN/GRANT @Nasional @International Rancang Bangun Hukum Menurut Strategi Perwilayaan Rancang Bangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara Kelembagaan @Nasional @Daerahl Rancang Bangun Hukum Menurut Budaya Lokal Gambar 19 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar 174 5.26 Kriteria Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun , kriteria yang ada di ukur dengan membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam menunjang tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara level 2 yaitu factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan, kelembagaan dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum pesisir, dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya alam sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan, atau kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub faktor hirarki. 5.27 Expert Judgment Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian. Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan (goal). Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10), berdasarkan hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para expert. Penentuan expert didasarkan atas tingkat kepakarannya berdasarkan pendidikan, pengalaman pekerjaan dan pengetahuan lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan maksud dan tujuan perolehan informasi dalam penelitian. Pemilihan expert yang berhubungan dengan kebijakan, maka di tentukan dan dipilih individu secara random dari kementerian yang ada kaitan dengan kegiatan penelitian serta memenuhi kriteria-kriteria sebagai expert. Adapun yang dipilih antara yaitu (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri (3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum, (5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe, (12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor, (15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 15 175 Tabel 15 Informasi untuk analisis expert No EXPERT FUNGSI 1 Kementerian Luar Negeri, Penyelesaian Perbatasan 2 Kementerian Dalam Negeri Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah 3 Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK 4 Kementerian Pekerjaan Umum, Pembangunan Infrastruktur 5 TNI AL, Pertahanan Keamanan Negara 6 DPR RI, Penetapan Kebijakan Nasional 7 DPRD SULUT, Penetapan Kebijakan Daerah 8 Pemerintah RI, Peran Internasional di PBB 9 Pemerintah Filipina, Peran Internasional di PBB 10 Pemerintah Provinsi SULUT, Pelaksanaan tugas pembantuan 11 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pelaksanaan tugas pembantuan 12 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Pelaksanaan tugas pembantuan 13 Akademisi, Kajian Akademik 14 Investor, Pengembangan Investasi 15 Tokoh Masyarakat/Adat Informasi Sejarah dan Adat Istiadat 5.28 Penilaian Kriteria Faktor/criteria diolah dengan menggunakan software AHP (Expert Choice 2000), penilaian dilakukan dengan membandingkan langsung (more important, preferred or likely), beberapa penilaian akan objektif, warna hitam dalam table matrik menunjukan angka masuk dan warna merah menunjukan 1 dibagi dengan angka masukan. (angka masukan di dapat dari transformasi kuesioner dari para expert). Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari analisis AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi. Hirarki analisis AHP rancangbangun hukum dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar 18 Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini : (1) Prioritas elemen faktor Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil 176 analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 16 dan hasil prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 Tabel 16 Hasil analisis faktor AHP Gambar 21 Hasil analisis faktor Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17. Faktor hukum memiliki nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi (0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah angka 0.1. Tabel 17 Prioritas elemen faktor No 1 2 3 4 5 FAKTOR Hukum Sumber Daya Alam Kelembagaan Pendanaan Sosial Ekonomi BOBOT 0.289 0.255 0.231 0.144 0.081 PRIORITAS 1 2 3 4 5 Berdasarkan Tabel 17 faktor yang menduduki prioritas pertama yang mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan 177 bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki peranan yang sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, baik dari sisi eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal, permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga adalah belum adanya penetapan batas negara antara Indonesia dengan Filipina khususnya untuk pemanfaatan potensi pulaupulau kecil terluar. Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan kewenangan kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif. (2) Prioritas elemen strategi Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut pemerintah, [2]rancangbangun hukum menurut akademisi, [3]rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun hukum menurut budaya lokal. Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil analisis strategi dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice dapat dilihat pada Tabel 15 dan hasil prioritas elemen alternatif strategi tersebut dapat dilihat pada Tabel 18 dan analisis alternatif strategi pada Gambar 22 178 Tabel 18 Prioritas elemen alternatif strategi No STRATEGI RANCANGBANGUN 1 2 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Wilayah Negara Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah 3 BOBOT Batas PRIORITAS 0.226 1 0.222 2 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan 0.211 3 4 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi 0.180 4 5 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal 0.161 5 Gambar 22 Hasil analisis alternatif strategi Berdasarkan Tabel 18 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara. Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta peningkatan kerjasama bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini menjadi prioritas pertama karena penetapan batas laut negara di daerah perbatasan akan menjamin kepastian hukum untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan lebih efektif jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga. Oleh karena itu batas laut zona ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan Filipina segera diselesaikan melalui pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun multilateral dan mendapat pengakuan masyarakat internasional terhadap batas pengelolaan negara di wilayah laut, demi kepentingan pengelolaan negara pantai di wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan sumber daya, kesejahteraan sosial ekonomi 179 masyarakat, keamanan pangan di laut, keamanan dan pertahanan, serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia. Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan kedua negara. Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan (prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/ development approach). Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan. 180 Sas ara n: Fa kt or: Alter nativ: Rancangbangun Hukum dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di sulawesi utara Sumber Daya - Alam Perika nan - (0,255) Perkeb unan Rancang bangun Hukum Menurut Pemerin tah (0,222) Sosial Penda Hukum Ekonomi naan - Pendidi - APB -(0,289) Nasi (0,081) (0,144) kan N onal - Transp - APB - Inter ortasi D nasio - Adat- Long nal Istiadat gran Ranca Rancan Rancangba - Pemasagbangu t ngban ngun ran gun n Hukum Hukum Hukum Menurut Menur Menur Penataan ut ut Batas Akade Strateg Wilayah i misi Negara Perwila (0,180) (0,226) yahan (0,211) Gambar 23 RBH Kelem bagaa n - Nasi onal -(0,231) Daer ah Rancan gbangu n Hukum Menur ut Budaya Lokal (0,161) 181 5.29 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi pertimbangan dalam pencapaian tujuan. Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang dihasilkan dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan usaha yang komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa depan untuk kurun waktu 5 – 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 19 Tabel 19 Analisis skenario FAKTOR Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina Kerjasama bilateral dan Internasional 1A Penetapan batas wilayah justru akan merugikan Indonesia 2A Tetap dan kurang memiliki pengaruh dalam memperkuat posisi geografis Indonesia SKENARIO 1B 1C Penetapan batas Batas Wilayah laut wilayah masih antara Indonesia berbelit-belit dan dan Filipina tidak menghasilkan menjadi semakin sebuah kesepakatan jelas dan menghasilkan kesepakatan yang win-win solution 2B Semakin berkembang dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam memperkuat posisi geografis Indonesia 182 Program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan Sinergi kelembagaan Sistem pendanaan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Penataan ruang wilayah Sarana dan Prasarana Wilayah Keterpaduan antar stakeholder 3A Pelaksanaan program kurang mendukung kelestarian sumber daya alam 4A Tetap dalam arti masih adanya tumpang tindih wewenang dan antar lembaga kurang bersinergi dalam mencapai tujuan 5A Semakin lemah karena tidak adanya keseriusan dalam pengontrolan dana 6A Gagal karena kesadaran hukum masih rendah 7A Tetap 8A Memberikan dampak negatif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat karena ketidakbijakan dalam pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut 9A Semakin buruk karena tidak adanya prinsip keterbukaan dan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah 3B Pelaksanaan program tetap atau statis 3C Pelaksanaan program berjalan efektif dan efisien 4B Semakin kuat dan efektif dalam menjalankan masing-masing perannya 5B 5C Semakin kuat 6B 6C Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan Tetap Tetap 7B Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan 8B 8C Tetap dalam arti Semakin tidak berpengaruh meningkatkan aksesbilitas yang memberikan dampak positif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat 9B Tetap 9C Semakin terpadu karena adanya prinsip keterbukaan dan peran serta antar stake holder dalam pengelolaan 183 Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5 tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan. Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Tabel 20 Alternatif skenario No Skenario Uraian Keadaan 1 Sangat Optimistik 2 Cukup Optimisrtik 3 Optimistik dengan syarat pertama 4 Optimistik dengan syarat kedua Penyusunan Rancangbangun hukum di wilayah perbatasan negara dan penetapan batas negara termasuk ZEE Penyusunan Rancangbangun hukum dan menyelesaikan perundingan bilateral batas negara dan ZEE Penyelesaian Perundingan Bilateral mengenai Batas Negara dan Nota kesepakatan ZEE Perundingan Bilateral penetapan ZEE 5 Pesimistik Penyelesaian Mahkamah Internasional Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17, faktor hukum memiliki nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi (0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah angka 0.1. Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini maka dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice 2000. Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak Kementerian Luar Negeri RI Tabel 21 dan Tabel 22 Sosial Ekonomi. 184 Tabel 21 Hasil kuesioner responden Tabel 22 Sosial ekonomi Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat : berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah rancangbangun hukum menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut penataan batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi (0.193) dan rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil 0.154). Untuk rasio inkonsistensi adalah 0.04. Gambar 24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi 185 Secara total, hasil kuisioner dari semua expert yang sudah dimasukan dalam expert choice 2000 dapat dilihat dalam Table 23 Tabel 23 Hasil analisis AHP total RANCANG HUKUM MENURUT No 1 2 3 4 5 PAKAR (RESPONDEN) KEMENTERI AN LUAR NEGERI KEMENTERI AN DALAM NEGERI KEMENTERI AN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERI AN PEKERJAAN UMUM TNI AL KRITERIA SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN PEME RINTA H AKAD EMISI STRATEGI PERWILAY AHAN PENATAA N BATAS WILAYAH BUD AYA LOK AL 0.206 0.204 0.263 0.225 0.103 0.232 0.193 0.223 0.200 0.152 0.193 0.198 0.168 0.190 0.221 0.190 0.292 0.232 0.127 0.175 0.226 0.193 0.203 0.25 0.127 0.207 0.206 0.245 0.23 0.112 0.254 0.189 0.227 0.212 0.117 0.246 0.282 0.169 0.141 0.232 0.272 0.224 0.190 0.179 0.107 0.231 0.170 0.172 0.224 0.203 0.222 0.201 0.203 0.211 0.164 0.234 0.193 0.215 0.229 0.13 0.256 0.225 0.122 0.194 0.230 0.200 0.223 0.225 0.168 0.149 0.258 0.193 0.202 0.208 0.139 0.226 0.147 0.223 0.242 0.162 0.195 0.119 0.210 0.270 0.191 0.217 0.233 0.134 0.189 0.146 0.189 0.261 0.228 0.243 0.161 0.265 0.163 0.164 0.252 0.159 0.151 0.167 0.257 0.254 0.172 0.234 0.174 0.194 0.205 0.194 0.250 0.197 0.194 0.197 0.219 0.227 0.219 0.227 0.110 0.152 0.172 0.169 0.228 0.261 0.169 INSKON SISTENS I 186 6 DPR - RI DPRD SULUT 7 8 9 10 11 PEMERINTAH INDONESIA PEMERINTAH FILIPINA PEMERINTAH SULAWESI UTARA PEMERINTAH KAB. KEPULAUAN SANGIHE SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN 0.190 0.175 0.190 0.232 0.198 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173 0.222 0.189 0.157 0.196 0.194 0.233 0.283 0.233 0.145 0.149 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173 0.221 0.186 0.206 0.201 0.185 0.174 0.194 0.205 0.234 0.194 0.224 0.219 0.198 0.219 0.224 0.219 0.224 0.240 0.131 0.102 0.246 0.107 0.222 0.257 0.169 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173 0.210 0.171 0.252 0.241 0.118 0.258 0.252 0.101 0.14 0.178 0.223 0.247 0.252 0.137 0.126 0.186 0.199 0.191 0.257 0.167 0.247 0.160 0.255 0.212 0.117 0.165 0.170 0.202 0.259 0.203 0.232 0.229 0.152 0.190 0.233 0.207 0.193 0.203 0.200 0.171 0.221 0.185 0.206 0.201 0.186 0.224 0.160 0.302 0.187 0.127 0.193 0.155 0.163 0.297 0.193 0.259 0.21 0.149 0.109 0.196 0.252 0.225 0.252 0.171 0.169 0.253 0.149 0.199 0.231 0.168 0.167 0.148 0.295 0.195 0.295 0.211 0.105 0.160 0.340 0.176 0.219 0.255 0.184 0.177 0.197 0.22 0.202 0.225 0.176 0.253 0.194 0.194 0.161 0.257 0.194 187 12 13 14 15 PEMERINTAH KAB. KEPULAUAN TALAUD AKADEMISI INVESTOR TOKOH ADAT / MASYARAKAT SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN 0.226 0.192 0.182 0.226 0.174 0.189 0.189 0.233 0.228 0.161 0.221 0.250 0.186 0.162 0.201 0.216 0.206 0.227 0.185 0.138 0.219 0.186 0.168 0.320 0.107 0.187 0.286 0.221 0.160 0.146 0.225 0.255 0.220 0.177 0.153 0230 0.226 0.236 0.226 0.192 0.156 0.192 0.229 0.150 0.160 0.225 0.225 0.194 0.208 0.149 0.194 0.174 0.205 0.234 0.194 0.188 0.188 0.208 0.208 0.208 0.167 0.217 0.167 0.166 0.200 0.206 0.205 0.206 0.261 0.206 0.169 0.298 0.232 0.235 0.166 0.232 0.198 0.175 0.198 0.198 0.183 0.195 0.209 0.162 0.232 0,216 0.229 0.121 0.203 0.24 0.190 0.288 0,207 0.134 0.171 0.186 0.164 0.204 0.211 0.235 Dalam Table 23 di atas terlihat bahwa Rancangbangun Hukum menurut Pemerintah dan Penataaan Batas Wilayah merupakan pilihan mayoritas dari sejumlah expert yang di minta pendapatnya, dengan kriteria hukum dan sumber daya alam merupakan kriteria dominan dalam pengambilan keputusan untuk menunjang pencapaian tujuan untuk merancang suatu Rancangbangun Hukum Pulau-Pulau Terluar di wilayah perbatasan Indonesia bagian Utara. 5.30 Sintesis Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi prioritas dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah 188 ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai untuk alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang terbaik adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Tabel 18 sintesis yang dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam menghasilkan produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum menurut penataan wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut pemerintah (0.222), RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi (180), dan rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi adalah 0.04 yang masih dalam batas rasio normal. Gambar 25 Sintesis rancangbangun hukum penataan wilayah 5.31 Sensitivitas Analisis Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya. Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head to Head. 5.32 Sensitivitas dinamis Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%), 189 Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%). Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic) yaitu nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut penataan batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan (22%), RH menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH menurut budaya (13.8%) Gambar 26 Dinamik sensitive 5.33 Analisis head to head Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada. Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara dengan RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari kriteria yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan wilayah negara 190 mempunyai skala prioritas utama. Dalam perbandingan dengan Rancangbangun Hukum lainnya juga disimpulkan bahwa RH menurut Penataan Batas Wilayah Negara menjadi skala prioritas utama. Gambar 27 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah 5.34 Penentuan Prioritas Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Prioritas strategi merupakan pemilihan strategi berdasarkan prioritas dari rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Strategi yang terpilih menjadi prioritas dan dianggap sesuai dengan keadaan faktor yang dipertimbangkan dalam pelaksanaannya. Faktor ini adalah kriteria-kriteria pertimbangan dalam memprioritaskan strategi. Informasi yang digunakan dalam menganalisis dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) ini berasal dari responden-responden yang mengetahui dan memahami pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Responden-responden tersebut dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akedemisi, dan masyarakat lokal. Dalam penentuan prioritas strategi maka sasaran dan faktor yang mempengaruhi perlu di rumuskan untuk mendapatkan suatu produk 191 rancangbangun hukum yang optimal dan sesuai dengan potensi sumber daya yang ada dan ditunjang oleh semua aspek penunjang pelaksanaanya. Metode yang dipakai untuk mencapai sasaran atau tujuan menggunakan metode AHP, sasaran atau tujuan dalam analisis AHP merupakan bagian penting sehingga sedemikian rupa ditempatkan paling atas pada susunan hirarki AHP. Sasaran ini menjadi acuan secara langsung bagi kriteria faktor. Kriteria ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan yang berupa penetapan prioritas strategi. Elemen-elemen sasaran, kriteria, dan strategi tersebut dijelaskan sebagai berikut : 5.35 Elemen sasaran Sasaran yang ingin dituju adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau- pulau kecil terluar sehingga dapat menjadi solusi dari beberapa masalah-masalah (coastal disease) di wilayah pulau-pulau kecil terluar yang sudah berlangsung sejak dulu hingga saat ini, antara lain permasalahan batas wilayah negara, pemanfaatan sumber daya belum optimal, sarana dan prasarana yang terbatas, permasalahan hukum, sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, keterpencilan, dan Peraturan Daerahgangan ilegal. 5.35.1 Elemen faktor Faktor dalam analisis AHP diartikan sebagai faktor yang dipertimbangkan ataupun diperlukan dalam mendukung upaya pencapaian sasaran, dalam hal ini adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar. Faktor yang dipertimbangkan adalah aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Keterpaduan aspek ini diharapkan mampu mengoptimalkan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar 5.35.2 Elemen strategi Alternatif strategi dari perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar terdiri dari lima strategi antara lain rancangbangun hukum menurut pemerintah, rancangbangun hukum menurut akademisi, rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan, rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara, dan rancangbangun hukum menurut budaya lokal. 192 Unsur-unsur strategi rancangbangun hukum tersebut disusun dari strategistrategi yang dihasilkan dari matriks SWOT. Penyusunan unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut : RB Hukum menurut Pemerintah, Akademisi, Stategi Perwilayahan, Penataan Batas Wilayah dan Budaya lokal. 5.36 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah Rancangbangun hukum menurut pemerintah terdiri dari empat unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut pemerintah adalah sebagai berikut : (1) Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3, O1,O2,O3) (2) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4,O6) (3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1) (4) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (W6,T2) Gambar 28 Head to head RH pemerintah 5.37 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi Rancangbangun hukum menurut akademisi terdiri dari dua unsur strategi yang memadukan kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan 193 pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut akademisi adalah sebagai berikut : (1) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4,O6) (2) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (W6,T2) Gambar 29 Head to head RH akademisi 5.38 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan Rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan terdiri dari dua unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, dan peluang dari peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan adalah sebagai berikut : (1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara (S1,S2, O1-3) (2) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3) Gambar 30 Head to head RH stategi perwilayahan 194 5.39 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal Rancangbangun hukum menurut budaya lokal terdiri dari satu unsur strategi yang memadukan kelemahan dan ancaman dari peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut budaya lokal hanyalah peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (W4, T3) Gambar 31 Head to head RH budaya lokal 5.40 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara Rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara terdiri dari dua unsur strategi yang memadukan kekuatan dan peluang dari peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara adalah sebagai berikut : (2) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5) (3) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5) Gambar 32 Head to head RH penataan batas wilayah 195 5.41 Rekomendasi Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17 ayat (3) menentukan bahwa ―Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).‖ Ketentuan ini kemudian digunakan secara bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas. Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan ―Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan‖. Dengan ketentuan tersebut, peran Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan menjadi semakin penting, karena Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPERPRES). Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan oleh pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian. Rapat 196 pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing subdirektorat sesuai dengan tugas dan fungsinya. Implementasi Hukum & Kelembagaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Undang- Undang Wilayah Negara Undang- Undang Pemerintahan Daerah Undang- Undang Perikanan Undang- Undang Konservasi Undang- Undang Sumberdaya Alam KONVENSI INTERNASIONAL YANG DIRATIVIKASI : UNCLOS 1982 Landasan Formil dan Materil UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Gambar 33 Rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Rancangbangun hukum menginventarisasi sejumlah peraturan perUndangUndangan yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara termasuk pengelolaan wilayah pesisir seperti yang tercantum dalam Tabel 24 di bawah ini Tabel 24 Daftar Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir. 1 2 3 Peraturan PerundangNomor dan Tahun undangan Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang No. Nomor 1 Tahun 1962 Nomor 16 Tahun 1964 Nomor 11 Tahun 1967 Nomor 1 Tahun 1973 Nomor 8 Tahun 1981 Nomor 5 Tahun 1983 Nomor 2 Tahun 1986 Nomor 5 Tahun 1986 Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Perubahan Ke IV Perairan Indonesia Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Karantina Laut Bagi Hasil Perikanan Ketentuan Pokok Pertambangan Landas Kontinen Indonesia Hukum Acara Pidana Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Peradilan Umum Peradilan Tata Usaha Negara Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya 197 13 14 15 16 17 18 Peraturan Perundangundangan Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 9 Tahun Nomor 5 Tahun Nomor 12 Tahun Nomor 14 Tahun Nomor 15 Tahun Nomor 16 Tahun 1990 1991 1992 1992 1992 1992 19 20 21 22 23 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 21 Tahun Nomor 23 Tahun Nomor 24 Tahun Nomor 10 Tahun Nomor 4 Tahun 1992 1992 1992 1995 1996 24 25 26 27 28 29 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 6 Tahun Nomor 7 Tahun Nomor 15 Tahun Nomor 18 Tahun Nomor 20 Tahun Nomor 21 Tahun 1996 1996 1997 1997 1997 1997 30 31 Undang Undang Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Nomor 4 Tahun 1999 32 33 Undang Undang Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Nomor 25 Tahun 1999 34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 37 38 39 40 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Nomor 41 Tahun 1999 Nomor 43 Tahun 1999 Nomor 16 Tahun 2000 41 42 43 44 45 46 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Nomor 34 Tahun 2000 Nomor 22 Tahun 2001 Nomor 16 Tahun 2002 Nomor 3 Tahun 2002 Nomor 18 Tahun 2002 47 48 49 50 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Nomor 17 Tahun 2003 Nomor 27 Tahun 2003 Nomor 2 Tahun 2004 No. Nomor dan Tahun Tentang Kepariwisataan Kejaksaan Sistem Budidaya Tanaman Lalulintas dan Angkutan Jalan Penerbangan Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan Pelayaran Kesehatan Penataan Ruang Kepabeanan Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah. Perairan Indonesia Pangan Ketransmigrasian Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Penerimaan Negara Bukan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pengelolaan Lingkungan Hidup Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwaklikan Rakyat Daerah Pemerintahan Daerah Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Telekomunikasi Kehutanan Pokok Pokok Kepegawaian Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pajak Penghasilan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Minyak Bumi Yayasan Pertanahan Negara Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bangunan Gedung Keuangan Negara Panas Bumi Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 198 51 52 53 54 55 Peraturan Perundangundangan Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Nomor 7 Tahun 2004 Nomor 8 Tahun 2004 Nomor 9 Tahun 2004 Nomor 10 Tahun 2004 56 57 56 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Nomor 19 Tahun 2004 Nomor 25 Tahun 2004 59 60 61 Undang Undang Undang Undang Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Nomor 32 Tahun 2004 Nomor 33 Tahun 2004 62 63 Undang Undang Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Nomor 27 Tahun 2007 64 65 Undang Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Nomor 47 Tahun 1997 72 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 73 Peraturan Menteri Kelautan Peraturan Presiden Peraturan Presiden Peraturan Daerah Kabupaten Peraturan Daerah Provinsi Nomor Per.16/Men/2008 No. 66 67 68 69 70 71 74 75 76 77 Nomor dan Tahun Nomor 19 Tahun 1999 Nomor 82 Tahun 2001 Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Kekuasaan Kehakiman Sumber Daya Air Peradilan Umum Peradilan Tata Usaha Negara Pembentukan Peraturan Perundangundangan Perkebunan Kehutanan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Perikanan Pemerintahan Daerah Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Penataan Ruang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Negara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pengololaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Pengelolaan Kawasan Lindung Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan Pulaupulau Kecil yang berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor 78 Tahun 2005 Nomor 12 Tahun 2010 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat 199 5.42 Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang- undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang). Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundangundangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Dengan memahami konstitusi maka pembentukan peraturan perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang benar yang dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dan Pentingnya dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan tanda (sign) bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas. Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat) 200 disesuaikan dengan keinginan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) sebagai kebijakan/politik hukum (legal policy) namun harus tetap dalam pemahaman koridor konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini melalui metoda penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi terhadap (pasal-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijabarkan dalam suatu undang-undang maka yang dimenangkan adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir akhir konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution). Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan menjadi penting dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundangundangan yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen. Dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan konstitusional semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) maupun dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada kewenangan konstitusional semacam ini yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung hanya didasarkan undang-undang, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004). Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan 201 kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan konstitusional semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan faham/sistem ‖Supremasi Konstitusi‖ di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang dapat diuji secara judicial (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, yang selama kurang lebih 55 tahun usia Republik Indonesia suatu undang-undang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra amendemen memang tidak diatur mengenai pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga timbul kesan pemahaman yang sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 bahwa undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is ondschendbaar) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950. Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2001) di Era Reformasi, undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar. Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian secara legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang mengujinya adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang- 202 undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundangundangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Teknik Pembuatan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundangundangan, sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum ―mengingat‖. Pembuatan atau prosedur pembuatannya apabila tidak benar atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk undang-undang) dan Tata tertib DPRD (untuk Peraturan Daerah) serta prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan undang-undang Pemerintahan Daerah (bagi Perda), maka undang-undang dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang) atau oleh Mahkamah Agung (untuk Peraturan Daerah). Berdasarkan pemahaman di atas maka Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan untuk: (1) Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Undang-Undang (UU) adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang yang datang dari Presiden/Pemerintah), Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang yang datang dari DPR); (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 203 (4) Peraturan Pemerintah (PP) adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (5) Peraturan Presiden (Perpres) adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (6) Peraturan Daerah (Perda) adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasalpasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu Peraturan Perundangundangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas. Pencantuman pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam batang tubuh peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh, misalnya akan dibentuk Rancangan Undang-Undang (Undang-Undang) tentang Partai Politik, dicantumkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena pasal ini memuat hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu rancangan undang-undang (undang-undang) memberikan indikasi bahwa landasan materiil konstitusional rancangan undang-undang (undang-undang) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di bidang ekonomi dan sumber daya alam (SDA). 204 Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ‖menimbang‖, dan dijabarkan atau dituangkan lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam ‖Batang Tubuh‖, sampai dengan ‖Penjelasan‖ peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau dibutuhkan. Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundangundangan kemudian diberikan landasan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan: (1) Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok–pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang– undangan. (2) Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya . Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu (khususnya undang-undang dan peraturan daerah) harus mempunyai landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam ‖menimbang‖ dan dasar hukum ‖mengingat‖. Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu undang-undang/peraturan daerah merupakan hakekat (inti) dari landasan formil dan materiil konstitusional Peraturan Perundang-undangan. Unsur filosofis yang akan diuraikan secara singkat dalam ‖menimbang‖ ini terkandung dalam: (1)Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (tersurat-tersirat); (2)Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (3)Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah ‖dirangkum‖ dan ‖dimuat‖ dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila; atau 205 (4)Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam Peraturan Perundangundangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang akan diatur (relatif). Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undangundang/peraturan daerah adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam masyarakat. Misalnya: dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika unsur sosiologisnya adalah adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang semakin banyak terjadi di masyarakat yang dapat merusak tatanan Unsur kehidupan yuridis bermasyarakat, yang dimuat dalam berbangsa, latar dan belakang dibuatnya bernegara. undang- undang/peraturan daerah adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang menjadi dasar hukum ―mengingat‖ maupun yang berkaitan secara langsung dengan substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam masyarakat. Disamping Butir 17-18, Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diberikan alas hukum juga yaitu dalam Butir 26 yang berbunyi: Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan dalam Butir 26 tersebut berisi landasan formil dan materiil konstitusional, apabila menyangkut Undang-Undang Dasar. Kalau menyangkut peraturan perundang-undangan lain di bawah Undang-Undang Dasar dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis (yuridis formilmateriil) peraturan perundang-undangan. Contoh: Landasan formil dan materiil konstitusional dan yuridis formilmateriil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah: (1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 206 (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau AntarLembaga-lembaga Tinggi Negara; (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951). Kedudukan Ketetapan MPR dalam Dasar Hukum ‖Mengingat‖ Ketetapan MPR (TAP MPR) dapat dimuat dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu undang-undang sebagai ―landasan materiil konstitusional‖ (kalau TAP MPR dikategorikan aturan/hukum dasar). Kalau TAP MPR dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan bukan hukum dasar maka TAP MPR dapat didudukkan sebagai ‖landasan materiil-yuridis‖ dari pembentukan suatu undangundang, apabila dalam TAP MPR tersebut ada perintah langsung (secara tegas) untuk mengatur lebih lanjut substansinya ke dalam undang-undang. Pada masa Orde Baru TAP MPR tentang GBHN pada umumnya menjadi dasar hukum (‖mengingat‖) suatu undang-undang, misalnya TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum memerintahkan secara tegas agar dibentuk Undang-Undang tentang Referendum. Contoh lain adalah perintah TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 kepada DPR dan Presiden untuk merevisi (mengubah) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 masih ada beberapa TAP MPRS dan TAP MPR yang masih ‖diberlakukan‖ atau ‖berlaku‖ dengan syarat sampai terbentuknya undang-undang yang mengatur substansi yang ada dalam TAP MPR tersebut atau selesainya masalah yang disebutkan dalam TAP MPR tersebut. Arahan kedepan, disepakati MPR tidak akan membuat lagi produk hukum berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR Nomor 7 jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih dimungkinkan dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam bentuk/arti beschikking sehingga ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10/2004 dan Penjelasannya tak mungkin dapat dilaksanakan yang 207 berkaitan dengan TAP MPR karena MPR tidak akan mengeluarkan lagi TAP MPR yang mengikat ke luar sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Kebijakan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan pulaupulau kecil terluar di perbatasan negara pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil yang diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 dalam Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739. Berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang sangat terkait diantara perUndangan-Undangan yang diinventarisasi dalam Tabel 24 di atas yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslklusif (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Conventin on the Law of the Sea. (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (9) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (10) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (11) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (13) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (14) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (15) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar 208 (16) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (17) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (18) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan 5.43 Dasar Penentuan Batas Laut dan Penanganan Hukum Sejarah membuktikan, baik ―Mare Liberum‖ Belanda maupun ―Mare Clausum‖ Inggris, tidak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan konsekwen. Grotius sendiri dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625) mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat. Sedangkan Selden mangakui hak-hak negara untuk memiliki lautnya masing-masing dan mengakui adanya hak ―innocent passage‖ atau hak lintas damai di laut-laut yang dimiliki atau dituntut (Djalal 1979). Mengenai berapa lebar laut yang dapat dikuasai (laut wilayah) oleh suatu negara menurut Bynkerhoek seorang sarjana Belanda, mengatakan, sampai di mana kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan selebihnya adalah bebas untuk dinikmati seluruh umat manusia. (Kusumaatmadja 1979 dan Hasjim. 1979). Pada waktu itu umumnya negara-negara maritim di Eropa mempraktekkan laut teritorial 3 mil tersebut, tetapi ajaran 3 mil tembakan meriam tersebut bukanlah satu-satunya aturan Hukum Internasional mengenai lebar laut wilayah. Sejak saat itu negara-negara Eropa telah menerima ajaran pembagian laut yang dapat dimiliki oleh suatu negara dengan adanya “Innocent Passage” dan di luar itu adalah laut lepas yang dapat dimiliki oleh semua negara. Dalam hal menentukan mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam praktek negara-negara. Dalam perkembangannya dalam usaha untuk menentukan lebar laut wilayah masalah lintas damai “innocent passage” selalu diterima. 209 Perkembangan lahirnya konsepsi lahirnya laut teritorial, konsepsi antara laut terbuka (mare liberum) dan laut tertutup (mare clausum) akhirnya tercapai kompromi, Inggris juga lambat laut menerima ajaran kebebasan lautan, sedangkan Belanda mengakui hak suatu negara untuk menguasai laut yang berbatasan dengan pantainya sejauh yang dapat dijangkau oleh tembakan meriam. Sedangkan pendekar-pendekar kedaulatan atas lautan masa lalu Portugal dan Spanyol telah mengalami kemerosotan. Sejarah perbatasan membuktikan bahwa wilayah perairan Pulau Miangas dan Pulau Marore rawan terhadap konflik sosial, terutama berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan perdagangan berbagai komuditas. Data hasil analisi penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% responden mengatakan bahwa perangkat hukum yang ada di Pulau Miangas dan Pulau Marore telah cukup tersedia dan berfungsi, hal ini didukung oleh tersedianya unit kerja yang terkait dengan hukum, antara lain Kepolisian Sektor (Polsek) , Komando Rayon Militer (Koramil), Polisi Air dan Udara (Polairud), Bea Cukai, Pos Angkatan Laut. Unit kerja ini berfungsi untuk menjaga kepentingan negara dari gangguan negara asing. Namun demikian, di kedua pulau tersebut belum ada instansi Kejaksaan dan Pengadilan, sehingga permasalah permasalah hukum harus diselesaikan di ibu kota kabupaten yaitu di Melongguane dan Tahuna. Kantor Perwakilan Negara Filipina telah ada di kedua pulau tersebut, untuk menfasilitasi pelintas batas antara warga negara Indonesia yang akan berkunjung ke Filipina dan atau sebaliknya, serta menjadi kantor penghubung bagi kedua negara apabila terjadi permasalahan di laut, terutama nelayan-nelayan Filipina yang memasuki wilayah laut Indonesia. Keterbatasan personil pada unit kerja di Pulau Miangas dan Pulau Marore menyebabkan unit kerja kurang responsive dan harus selektif dalam penyelesaian masalah keamanan dan konflik kepentingan yang sering terjadi. Konflik yang sering terjadi di perbatasan adalah nelayan Filipina yang memasuki wilayah perairan Indonesia, dan penyelundupan barang-barang yang dilakukan oleh nelayan dan pelintas batas. 210 5.44 Politik dan Pertahanan Keamanan Pembinaan politik di Pulau Miangas secara administrasi dilakukan oleh Camat, karena pulau tersebut merupakan Kecamatan Khusus, sedangkan untuk Pulau Marore, masih dilakukan oleh Kepala Desa. Secara fungsional, pembinaan pertahanan dan keamanan dilakukan dengan koordinasi antara Kepolisian, Angkatan Laut dan Komando Rayon Militer (Koramil) sebagai upaya untuk menangkal infiltrasi budaya dan ideologi asing yang masuk dari Pulau Mindanao di Filipina. Sebagai upaya tangkal akibat kejahatan transnasional di daerah perbatasan, dilakukan patrol bersama antar instansi terkait, dan melakukan penyuluhan dan informasi kepada masyarakat tentang cegah tanggal apabila menemukan pendatang-pendatang yang di curigai bukan warna kampong. Dengan demikian masyarakat melaporkan kepada pihak aparat yang berwewenang untuk pengusutan dan proses penyelidikan dan penyidikan. Kajian hukum permasalahan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Filipina, mensyaratkan untuk dilakukan kebijakan penyusunan peraturan perundangan-undangan yang khusus mengatur pulau-pulau perbatasan negara dengan berpedoman pada prinsip-prinsip rancangbangun hukum. 5.45 Prinsip dan Mekanisme Rancangbangun Hukum Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar Prinsip dan mekanisme pengaturan bagi rancangbangun hukum dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, perlu untuk dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU). Bagian pertama menjelaskan tentang prinsip-prinsip mekanisme dasar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Bagian kedua membahas ruang lingkup dan obyek pengaturan. Bagian ketiga membahas tentang mekanisme pengaturan secara khusus yang diatur didalam RUU, dan bagaimana mekanisme itu dapat dilaksanakan. Bagian keempat, mengkaji beberapa isu utama yang akan ditangani melalui perundang-undangan. Isu dan obyek pengaturan di bawah ini, difokuskan pada isu-isu penting yang perlu penanganan lebih lanjut melalui pengaturan. 211 Berdasarkan pembahasan pada Bab 4, terdapat beberapa prinsip dasar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yaitu: (1) Pengelolaan pulau-pulau kecil difokuskan pada pulau terluar yang mempunyai banyak kegiatan dan rentan terhadap perubahan lingkungan, dimana terjadi peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, secara biofisik lingkungan. (2) Proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dilakukan secara terbuka, partisipatif, demokratis dan adaptif secara terus-menerus. (3) Pengelolaan tersebut menekankan pada koordinasi, kerjasama dan keterpaduan diantara berbagai kegiatan horizontal dan vertikal yang mempengaruhi kondisi sumberdaya pesisir serta makhluk hidup lain yang ada di wilayah pesisir; antara berbagai kelompok masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya atau mendapatkan dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. (4) Strategi pengelolaan tersebut adalah memanfaatkan secara bijaksana, memelihara, melindungi/proteksi, merestorasi dan merehabilitasi sumberdaya pulau kecil, sehingga sumberdayanya dapat digunakan secara berkelajutan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. 5.46 Prinsip keterpaduan Keterpaduan perencanaan horisontal memadukan antara perencanaan dari sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan konservasi yang berada di daerah aliran sungai hulu, sektor perikanan baik budidaya perikanan ikan maupun perikanan tangkap, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi laut, serta pengembangan kota pantai yang difokuskan pada pemanfaatan pesisir yang lestari. Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga Nasional. 212 5.46.1 Keterpaduan antara ekosistem darat dengan laut. Perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan secara terpadu, dengan kombinasi pendekatan batas ekologis dan administratif, diprioritaskan dengan menempatkan batas wilayah negara sebagai basis perencanaan. Akibatnya, dampak dari kegiatan perikanan dan jalur laut serta pembangunan pulau perlu diperhitungkan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya. 5.46.2 Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen Perencanaan pulau-pulau kecil terluar terpadu, perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosialekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya. 5.46.3 Keterpaduan program antar negara Dalam mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing negara Indonesia Filipina. Kegiatan integrasi dilakukan dengan melakukan program kerja sama terpadu yang didahului dengan melakukan penelitian bersama tentang potensi sumberdaya masing-masing negara di daerah perbatasan. Hasil yang diperoleh menjadi acuan dalam menentukan kebijakan terpadu dalam pengelolaan sumberdaya antara negara yang berbatasan. Angaran dapat diperoleh melalui kesepakatan bersama negara, atau melalui bantuan badan dan lembaga internasional. 5.47 Prinsip pembangunan berkelanjutan sumberdaya perbatasan Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada perubahan teknologi dan karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem pesisir, 213 sehingga kapasitas lingkungan dan fungsinya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak, dan berkelanjutan sehingga dapat digunakan diggunakan generasi yang akan datang. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi budaya, (3) geofisik dan teknologi, dan (4) hukum dan kelembagaan. Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil terluar menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 23. Untuk tingkat daerah perlu diperhatikan kesiapan daerah dan kemampuan kelembagaannya untuk mengemban tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola pulau kecil dan sumberdaya pesisirnya. Namun disisi lain pengaturan pegelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih menjadi kewenangan pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga diperlukan perundangan dan norma-norma hukum yang baru dapat mengatur pengelolaan pulau perbatasan dan keseimbangan kepentingan Pemerintah dan Daerah. 5.47.1 Prinsip partisipasi dan keterbukaan Partisipasi dan keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kepentiungannya untuk dapat dimuat di dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundang-undangan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari pihak yang memprakarsai, dalam hal ini Pemerintah. Keterbukaan Pemerintah menginformasikan draft rumusan-rumusan aturan, kebijakan dan rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan, serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat. 214 Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dilakukan Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang diakibatkan oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan. Sehingga konsultasi publik kepada stakeholder utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap pengendalian sangat penting. 5.47.2 Prinsip kepastian hukum Kepastian hukum dalam penerapan undang-undang merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan undang-undang secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam hal ini masyarakat perlu mengetahui proses perumusan perundang-undangan, misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang tersebut diterapkan. Mereka ikut memberikan masukan, tanggapan, dan keberatan tentang obyek pengaturan dan bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Proses ini harus dimulai sejak rumusan undang-undang dipersiapkan dari Naskah Akademiknya sampai disahkannya Rancangan Undangundang tersebut di DPR. Untuk itu, isi dan lingkup pengaturan perundangundangan tersebut harus dikonsultasikan, disosioalisasikan dan disebarluaskan sejak dini. Selanjutnya masyarakat diberi peran didalam mengawasi pelaksanaan undang-undang tersebut, sehingga norma hukum yang tertulis (de jure) dilaksnakan secara konsisten dan konsekuen (de facto). Kepastian hukum sangat penting untuk melaksanakan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum (compliance), serta tidak ragu-ragu mempertahankannya jika pihak lain bertindak di luar jalur humum. Kepastian hukum juga membatasi intervensi dari pihak penguasa atau pejabat dalam mempengaruhi penerapan peraturan perundangundangan. Sehingga masyarakat dan dunia usaha sebagai pelaku pembangunan di 215 wilayah pesisir perbatasan negara, mempunyai kepastian dan jaminan bahwa usaha dan investasinya dalam dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Sementara bagi pemerintah daerah, kebijakan pemerintah yang konsisten mendukung pelaksanakan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab. 5.48 Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan 5.48.1 Mekanisme koordinasi pada tingkat pusat Mekanisme koordinasi dibutuhkan untuk menyelenggarakan penyusunan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, dan koordinasi pengambilan keputusan serta pembiayaan program pengelolaannya. Mekanisme ini dikoordinasikan oleh sebuah lembaga atau badan lintas-institusi yang berwenang dan memiliki otoritas cukup. Otoritas ini didelegasikan dari institusi-institusi sektoral, untuk menyelesaikan perbedaan persepsi, konflik atau sengketa diantara institusi yang berbeda, dan pihak instansi terkait menghormati serta melaksanakan keputusan tersebut. Badan koordinasi tersebut akan membuat keputusan atau rekomendasi lintas-sektoral, badan tersebut sebaiknya memiliki otoritas atas tiaptiap departemen sektor, atau ada proses untuk membawa kasus konflik atau sengketa ke instansi yang lebih tinggi. Mengingat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar merupakan kebijakan yang bersifat lintas sektor, maka kegiatan pengelolaannya perlu dikoordinasikan oleh suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Fungsi koordinasi itu bisa dilihat dari beberapa alternatif kelembagaan. Menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Bappenas, atau membentuk badan baru non-kementerian yang bersifat lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat, seperti Badan Nasional Pengelolan Perbatasan Negara (BNPP) dan Dewan Kelautan Indonesia (DKI). Jika pilihannya membentuk suatu badan baru, atau memakai dan merubah yang sudah ada, maka badan yang baru tersebut dapat saja dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikana atau Presiden. (1) Alternatif kelembagaan dimana satu kementerian dapat mengkoordinasikan kebijakan antara instansi itu sendiri. Kementerian hanya bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan dan 216 keputusan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau kecil terluar diantara lembaga, badan dan instasi pemerintah. Kelebihannya, alternatif ini lebih efisien. Sementara kekurangannya adalah kecilnya kemungkinan instansi lain menjalankan kebijakan dan pedoman umum dari departemen sektor lain tentang hal-hal dibawah yurisdiksi sektor tersebut. (2) Alternatif menggunakan badan lintas sektor dan kemasyarakatan yang sudah ada, seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan Negara (BNPP) dan Dewan Kelautan Indonesia (DKI). Badan ini bertanggung jawab mengkoordinasikan kebijakan antara instasi pemerintah, karena badan tersebut sudah terbentuk, ada beberapa keuntungan yang diperoleh: tidak ada kendala personil, fasilitas dan pembiayaan. Biaya operasionalnya relatif lebih murah dibandingkan dengan pembentukan sebuah badan baru. Kekurangannya ialah badan ini masih memiliki fungsi asalnya, dan tidak sepenuhnya berdedikasi pada hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir. Mungkin badan ini sudah bias, struktur atau keanggotaannya mungkin tidak cocok sepenuhnya dengan kepentingan pengelolaan pesisir. Kesuksesan pilihan ini akan bergantung pada kemungkinan apakah suatu badan yang sudah terbentuk dapat dimodifikasi. (3) Alternatif membentuk sebuah badan antar instansi yang diketuai oleh Menteri Koordinator. Sebuah badan antar instansi yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan yang baru. Badan tersebut memiliki tanggung jawab khusus untuk mengkoordinasikan kebijakan dan keputusan mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Kelebihannya, badan ini akan dirancang khusus untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kekurangannya ialah secara politis, kemungkinan sulit untuk membentuk sebuah organisasi antar instansi yang baru, dan bila Menteri Perikanan dan Kelautan memimpin organisasi ini, maka tidak ada kepastian seberapa banyak oraganisasi ini memiliki kekuatan. Efektivitas pendekatan ini kemampuan menyelesaikan perbedaan antar instansi. bergantung pada 217 (4) Alternatif membentuk sebuah organisasi antar instansi baru yang dipimpin oleh Presiden. Alternatif ini sama dengan alternatif 3, hanya saja Presiden akan memimpin langsung organisasi baru ini. Kelebihan pilihan ini adalah bahwa ada kewenangan yang jelas di atas para menteri, yang dapat mengambil tindakan lintas sektoral. Kekurangannya, organisasi ini mungkin tidak dapat menangani persoalan-persaolan yang lebih kecil karena profilnya terlalu tinggi. Alternatif yang dipilih adalah alternatif 2, yaitu sebuah badan yang dipimpin oleh Presiden dan Menteri Koordinator sebagai ketua pengarah dan dibantu oleh menteri-menteri yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan pemerintah daerah terkait pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, dan menghimpun salinan dokumen dan informasi dari Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian untuk keperluan basis data penyusunan sistem informasi perbatasan. Badan yang dibentuk mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, badan yang terbentuk menyelenggarakan fungsi di antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Selain itu badan memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, menyusun program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan perbatasan, serta, menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas. 218 Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Negara (BNPP), susunan keanggotaan BNPP ini terdiri dari Ketua Pengarah yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wakil Ketua Pengarah I yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Wakil Ketua II Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan selaku Kepala BPP adalah Mendagri. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPP dibantu oleh sekretariat tetap yang terdiri dari Sekretaris BNPP dan tiga deputi yakni bidang pengelolaan batas wilayah negara, pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan deputi bidang pengelolaan infrastruktur kawasan perbatasan. 5.48.2 Fasilitasi dan konsultasi dari pemerintah ke pemerintah daerah. Pemerintah menyusun petunjuk untuk kabupaten/kota dan provinsi dalam rangka mengembangkan program pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (P3K). Petunjuk tersebut bersifat fleksibel dan luas sehingga pemerintah daerah dapat mengakomodir kebutuhan dan tujuan daerahnya yang bersifat khusus. Petunjuk ini akan menjadi dasar bagi program P3K daerah. Petunjuk ini penting untuk kesuksesan program karena beberapa alasan. Pertama, petunjuk tersebut bisa menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota, yang umumnya belum memiliki pengetahuan tentang Program P3K. Kedua, petunjuk tersebut memberikan arahan dalam penulisan isi program dan mekanisme penyusunan program, apakah program tersebut bersifat sentralistik (op-down) atau desentralistik (boom-up) Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 secara khusus mempertimbangkan apakah petunjuk tersebut sebaiknya bersifat mengikat (mandatory requirements) atau sukarela (voluntarily standars). 5.49 Penegakan Hukum dan Sanksi Kepatuhan untuk melaksanakan (compliance) dan penegakan hukum (enforcement) di wilayah perbatasan negara adalah proses yang dapat dilakukan bila kegiatan pemantauan dan evaluasi seiring dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemantauan dibutuhkan untuk memastikan adanya kepatuhan akan persyaratan yang mengikat. Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk memastikan bahwa program dilaksanakan dengan efektif dan sesuai dengan 219 persyaratan, tujuan, dan prinsip perundang-undangan. Bahkan, institusi-institusi yang dibentuk untuk melakukan pemantauan seharusnya juga digunakan untuk upaya penegakkan hukum. Ada perbedaan penting antara pemantauan dengan penegakkan hukum. Pemantauan memastikan bahwa program tetap mematuhi hukum; penegakkan hukum memastikan bahwa tindakan yang tepat akan diambil jika program keluar dari jalur hukum. Penegakkan hukum memiliki beberapa tujuan: untuk menginformasikan pada masyarakat tentang cara yang tetap untuk menerapkan perundang-undangan; menciptakan keengganan untuk melanggar hukum; serta memberi ganjaran yang setimpal jika terjadi pelanggaran hukum. Agar penegakkan hukum efektif, harus dibuat serangkaian peringatan dan sanksi, dengan hukuman yang semakin berat jika jumlah dan jenis pelanggaran semakin besar. Penegakkan hukum sangat penting, bahkan bila programnya bersifat sukarela. Contohnya, jika kabupaten/kota menerima bantuan dari pemerintah pusat, harus ada semacam dorongan untuk memastikan bahwa (1) program kabupaten/kota akan terus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan persyaratan, prinsip dan tujuan program; dan (2) bantuan itu digunakan sesuai perundang-undangan. Harus dicatat bahwa alternatif-alternatif, baik altenatif pemerintah atau non-pemerintah, untuk lembaga-lembaga hukum akan sama dengan alternatif bagi lembaga yang melakukan pemantauan. Ada beberapa mekanisme penegakkan hukum yang dapat digunakan sebagai pertimbangan alternatif di bawah ini. (1) Sanksi (Sanction). Sanksi melibatkan serangkaian peringatan dan hukuman finansial untuk pelanggaran perundang-undangan. Hukuman dapat berupa pengurangan,penundaan bantuan, dan jika pelanggaran yang dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan sertifikasi (perijinan). (2) Denda Sipil (Civil fitnes). Denda melibatkan serangkaian pembayaran yang harus dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang bersifat mengikat. (3) Sanksi kriminal (Criminal sanction). Sanksi kriminal adalah hukuman untuk pelanggaran yang lebih serius dan bentuknya dapat berupa hukuman 220 penjara. Penghargaan dapat diberikan bagi daerah yang melaksanakan program dengan baik. Alternatif yang dipilih: Sanksi, dapat berupa peringatan dan hukuman finansial, dibutuhkan untuk persyaratan yang tidak mengikat. Sementara denda diberlakukan untuk persyaratan yang mengikat. Meski demikian, bahwa sanksi kriminal tidak tepat diberikan untuk sebagian besar program administratif. 5.50 Penyelesaian konflik (1) Penanganan konflik. Dalam penanganan konflik dikenal berbagai istilah seperti pencegahan konflik (prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik (resolution), penyelesaian konflik (settlement), dan pilihan penyelesaian sengketa (alternaive dispute resolution atau ADR). Pencegahan Konflik (conflict prevention) adalah upaya untuk mencegah konflik sebelum konflik tersebut memuncak, menjadi negatif dan destruktif, yang biasanya ditandai dengan kekerasan (violence). Upaya pencegahan konflik dapat dilakukan dengan tiga cara : a. Mengantisipasi munculnya konflik kekerasan (konflik kekerasan belum muncul); b. Mencegah konflik yang sedang berlangsung (on going) agar tidak meluas; dan c. Mencegah terjadinya pengulangan terjadinya lagi konflik kekerasan (reemergence). Salah satu metode pencegahan konflik yaitu sistem peringatan dini (SPD) (crisis earlywarning) dan sistem tanggap dini (STD) (crisis early response). SPD merupakan kegiatan pengumpulan dan penganalisaan informasi yang berasal dari wilayah konflik yang bertujuan: Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan meningkatnya konflik kekerasan; Pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap krisis; Penyampaian terhadap pilihanpilihan langkah pencegahan kepada pihak yang kompeten (critical actors) sebagai bahan pengambilan keputusan. (2) Pendekatan dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa yang efektif menuntut adanya keseimbangan / kesetaraan kekuatan (equal bargaining power) antara pihak-pihak yang bersengketa. Kesetaraan kekuatan menciptakan kondisi saling tergantung 221 (interdependensi) dan saling memiliki kemampuan memberikan ancaman. Kondisi saling ketergantungan dan kemampuan memberikan ancaman memberikan motivasi atau insentif bagi masing-masing pihak untuk menyelesaikan sengketa/masalah yang dihadapi. Pendekatan dalam penyelesaian sengketa dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis: 1. Pendekatan dengan cara penggunaan kekuatan (power based); 2. Pendekatan dengan cara ―benar – salah‖ (right based); dan 3. Pendekatan dengan cara penggalian kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa (interest based). Pendekatan dengan mendasarkan pada kekuatan (power based) ditujukan untuk memaksa pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk memecahkan persoalan. Pendekatan dengan cara benar-salah (right based) yang dilakukan melalui mekanisme penyelesaian ajudikatif (arbitrase atau pengadilan) ditujukan untuk mencari siapa yang benar dan bersalah. Pendekatan ini menghasilkan solusi menang-kalah ( win lose solution). Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest based) adalah pendekatan penyelesaian sengketa dimana kepentingan serta kebutuhan para pihak digali secara bersama untuk kemudian dibangun kesepakatan (solusi) yang mampu mencerminkan kebutuhan serta kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara seimbang (mutually shared interest). Pendekatan penyelesaian sengketa ini ditujukan untuk mencapai suatu solusi/kesepakatan yang sifatnya menangmenang. Pendekatan penyelesaian sengketa berdasarkan kepentingan ini dapat dilakukan melalui mekanisme perundingan (negosiasi) maupun penengahan (mediasi). Ketiga pendekatan power, right dan interest tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri. Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Efektifitas dari pendekatan kepentingan (interest based) akan sangat bergantung pada efektifitas dalam mendayagunakan pendekatan kekuatan (power based). Disisi lain, pendayagunaan power based yang tepat dan efektif dapat membantu membangun kekuatan salah satu pihak yang pada awalnya tidak memiliki kekuatan yang memadai. Disisi lain, pendekatan right based (ajudikasi) juga daapt didayagunakan sebagai ancaman untuk menarik salah satu pihak yang awalnya 222 tidak tertarik untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan menjadi pada akhirnya termotifasi untuk berunding. Kesepakatan yang dihasilkan oleh perundingan interest based dalam bentuk kesepakatan juga membutuhkan pendekatan power based dalam bentuk eksekusi pengadilan dalam hal kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Dalam suatu strategi penyelesaian sengketa, ketiga pendekatan ini dapat berpindah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya tergantung pada konteks seberapa memadai kekuataan yang dimilki oleh salah satu pihak. Untuk memilih pendekatan yang paling tepat dari tiga pendekatan di atas dalam suatu dinamika penanganan kasus, dipergunakan empat kriteria sebagai berikut dibawah ini : (1) Biaya transaksi Pemilihan terhadap setiap pendekatan berdampak pada biaya transaksi (transaction cost) – biaya dalam pengertian waktu, uang, energi yang terkuras akibat emosi yang timbul dari konflik yang terjadi, sumber daya yang terkuras, serta kesempatan yang hilang (opportunities lost). Salah satu kriteria untuk menetapkan pilihan dari ketiga pendekatan diatas adalah seberapa besar biaya transaksi yang akan tersita. (2) Kepuasan terhadap hasil akhir Salah satu kriteria menilai kelayakan dari salah satu pendekatan (power, right atau interest) adalah dengan cara mengukur kepuasan pihak-pihak yang bersengketa terhadap hasil akhir. Kepuasan yang dimaksudkan disini didasarkan pada pertimbangan seberapa jauh hasil kesepakatan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa secara memadai. Kepuasan juga ditentukan oleh faktor fairness (dianggap patut dan adil oleh para pihak) proses penyelesaiannya. (3) Dampak terhadap hubungan antar manusia Penilaian terhadap seberapa jauh dampak pemilihan salah satu pendekatan terhadap hubungan antar manusia (hubungan kerjasama yang telah dibangun dan hubungan jangka panjang antar berbagai pihak) juga merupakan hal yang 223 perlu diperhitungkan. Kriteria ini mengakomodasikan faktor pentingnya pemenuhan kepentingan psikologis (pentingnya hubungan antar manusia). (4) Kemampuan mencegah konflik kambuhan (Recurrence) Salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menetapkan salah satu pendekatan (power, right, dan interes) adalah seberapa jauh pendekatan tersebut mampu untuk mencegah konflik/sengketa kambuhan (muncul kembali walaupun kesepakatan telah dicapai). Sengketa dapat muncul kembali andaikata kesepakatan yang dihasilkan merupakan kesepakatan semu, atau kesepakatan belum mampu mencerminkan kepentingan/kebutuhan para pihak secara seimbang. Semakin besar kemampuan kesepakatan untuk mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan pihak yang bersiteru, semakin kokoh kesepakatan tersebut bertahan dan dapat secara konsisten dilaksanakan. Untuk membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif dalam suatu sistem hukum maka pendekatan (power right dan interest) hendaknya diletakkan dalam posisi prisma normal, kebalikan dengan suatu kondisi dimana pendayagunaan ketiga kepentingan dalam proporsi seperti digambarkan dalam bentuk prisma terbalik. Pendekatan sengketa seperti tergambar dalam prisma terbalik merupakan kondisi yang digambarkan sangat menegangkan (distressed)—sedangkan prisma normal digambarkan sebagai sistem penyelesaian sengketa yang efektif. 5.51 Mekanisme pentaatan dan penegakan hukum Mengembangkan konsep penegakan hukum dan penaatan (enforcement and compliance) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, terlebih dahulu menelusuri faktor penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan batas negara. Pengidentifikasian faktor penyebab memudahkan untuk mengembangkan berbagai pilihan solusi. Berbagai solusi tersebut diharapkan dapat diwadahi dan 224 difasilitasi dalam norma peraturan perundang-undangan yang berhubungan Undang-Undang yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara. Beberapa penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut : (1) Kehendak politik penyelenggaraan negara (eksekutif dan legislatif) yang belum menganggap penting pengintegrasian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan berbasiskan kepentingan rakyat banyak (ecologically sustainable development – ESD) ke dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan sumber daya publik termasuk di dalamnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) Peraturan perundang-undangan sektoral tidak selamanya sinkron dengan prinsip-prinsip ESD yang terangkum dalam konsep pengelolaan pulaupulau kecil di wilayah pesisir secara terpadu; (3) Kondisi penyelenggara negara (governance) sangat buruk (bad governance) termasuk peradilan yang belum mampu menjalankan peranannya sebagai rumah keadilan bagi pencari keadilan (masyarakat); (4) Kapasitas penegak hukum sangat tidak memadai – kuantitas, kualitas maupun integritas (di tingkat pengawas/inspektur, penyidik/PPNS maupun polisi, jaksa/penuntut maupun hakim/pemutus); (5) Tekanan masyarakat (civil society) dalam mendorong tingkat penaatan belum memadai. (6) Orientasi penegakan hukum kuratif (setelah masalah muncul dan menimbulkan kerugian masyarakat dan perusakan lingkungan) dan pendekatan Command and Control (atur dan awasi) masih sangat dominan; Berbagai penyebab tersebut di atas maka pengenalan konsep penegakan hukum konvensional (penegakan hukum administratif, perdata dan pidana) sebagaimana dianut oleh mayoritas peraturan perundang-undangan, dapat menjadi sangat kontra produktif. Agar efektif, penegakan hukum konvensional 225 yang lebih dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau : atur dan awasi (ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki: (1) Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran; (2) Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan pasti (swift & sure responses); (3) Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect). Ketiga prasyaratan diatas, keberadaannya sangat ditentukan oleh kemampuan dan integritas aparatur pemerintah dan penegak hukum, serta peradilan yang independen elemen-elemen ini, merupakan elemen penting dalam good governance. Sejalan dengan pembenahan aparatur pemerintah dan penegak hukum dan lembaga peradilan yang kini sedang dilakukan, maka pemberlakuan pendekatan tunggal (single approach) yaitu pendekatan CAC atau ADA tidak akan efektif dalam mencapai tujuan penegakan hukum di Indonesia yaitu kepatuhan menjalankan (compliance) nilai-nilai perlindungan daya dukung sumber daya alam, khususnya pulau kecil di wilayah pesisir. 5.52 Mekanisme Sistem Kelembagaan Komponen pertama dari mekanisme sistem kelembagaan adalah pengembangan sebuah ketentuan hukum baru, yakni sebuah perundang-undangan. Perundang-undangan akan mencantumkan persyaratan bagi pemerintah pusat untuk mengembangkan pedoman bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Perundangan juga akan menciptakan sebuah kerangka kerja bagi pemerintah kabupaten/kota dan rakyatnya untuk mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh bangsa, serta bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kesemuanya itu dapat dilaksanakan dalam sebuah proses yang terpadu. Kerangka kerja ini akan dikembangkan pada semua tingkatan pemerintahan, dalam suatu rangkaian bertingkat, dan akan mempengaruhi tiap keputusan yang akan dibuat. Secara khusus, pemerintah pusat akan mengembangkan pedoman untuk membantu pemerintah daerah. Pedoman ini 226 akan mencantumkan proses-proses pengembangan program untuk memastikan adanya keterlibatan publik, keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Pedoman tersebut juga akan memasukkan kriteria untuk memastikan keabsahan ilmu yang digunakan dan pemanfaatan informasi; standar pengelolaan untuk memastikan keseimbangan dan kesinambungan pendayagunaan sumber daya pesisir. Jika perlu, provinsi dan kabupaten/kota dapat mengembangkan program-program yang sejalan dengan pedoman tersebut. Apabila pemerintah pusat setuju, bantuan dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah yang melaksanakan program-program tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menyusun standar-standar, kriteria, dan pedoman umum bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar untuk pemerintah daerah, terutama kabupaten/kota. Langkah selanjutnya, kabupaten/kota bebas untuk memutuskan apakah ingin menyusun suatu program yang konsisten dengan standar-standar, kriteria, dan petunjuk umum yang disediakan oleh pemerintah pusat. Kabupaten/kota dapat mencari bantuan keuangan dan teknis untuk hal tersebut. Selanjutnya kabupaten/kota dapat menyusun sebuah program dengan bekerjasama dengan semua stakeholders, termasuk desa-desa, dan dengan dukungan dari pemerintah provinsi. Kabupaten/kota selanjutnya mengajukan program tersebut kepada pemerintah pusat untuk dikaji dan apabila pemerintah pusat menyetujui programnya, kabupaten/kota tersebut berhak atas sejumlah manfaat, termasuk bantuan pembiayaan dan teknis. Diperlukan Undang-Undang baru untuk mengelola dan melindungi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Hukum ini akan bersifat lintas-sektoral dan mencakup semua sektor yang mempengaruhi wilayah pesisir dan sumberdaya wilayah pesisir. Sebuah Undang-Undang baru akan sangat efektif untuk pelaksanaan sebuah program pengelolaan pulau-pulau kecil karena dua alasan : (1) Pertama, hampir seluruh Undang-Undang yang telah ada bersifat sektoral, sementara sebuah program pengelolaan pulau-pulau kecil memerlukan pendekatan lintas-sektoral agar dapat efektif. Kedua, hampir seluruh Undang-Undang yang telah ada bersifat terpusat, dan jika program 227 pengelolaan pulau-pulau kecil ingin konsisten dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, maka harus ada Undang-Undang khusus yang dapat mendorong pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. (2) Ketiga, mencantumkan kewenangan daerah dalam mengelola pulau-pulau kecil di perbatasan negara, memperoleh bagi hasil, sejalan dengan peraturan-peraturan desentralisasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat harus mengembangkan petunjuk dan kebijakan, bukannya mengendalikan dan mengelola kegiatan secara langsung. Secara khusus mengakui bahwa pusat memiliki kewenangan untuk menentukan standar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Sebagai konsekuensinya, rancangan undang-undang akan memberikan petunjuk-petunjuk tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara dan pemerintah daerah mengikuti petunjuk dalam naskah akademiknya. 5.53 Kelembagaan Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan proses untuk tiga jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan pemerintahan akan memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya pesisir di Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi tersebut mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu didirikan organisasi yang baru sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 228 5.53.1 Pelaksanaan mekanisme Bagian ini memberikan ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme kelembagaan diterapkan atau dilaksanakan. Langkah pertama dalam pelaksanaan mekanisme adalah pembentukan sebuah proses antar sektor untuk menangani halhal yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir. Proses ini melibatkan sebuah organisasi yang beranggotakan seluruh instansi terkait, perwakilan dari para stakeholeder, seperti pemerintah provinsi dan kabupaten, LSM dan para akademisi. Proses ini juga terdiri dari mekanisme penyelesaian sengketa, seperti penyampaian permasalahan dari dalam organisasi kepada pihak berwenang yang lebih tingggi tingkatannya, misalnya kepada seorang menteri koordinator atau presiden. Proses semacam ini akan memenuhi tujuan yang telah disebutkan di atas, yakni mengkoordinasikan lembaga dan menciptakan keharmonisan antara interpretasi hukum yang berbeda-beda. Langkah berikutnya adalah penyusunan pedoman. Pedoman tersebut akan mencakup semua aspek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan pengelolaan pesisir terpadu. Pedoman akan terdiri dari kebijakan-kebijakan, standar serta kriteria. Pedoman ini akan merupakan dasar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program-program pengelolaan pesisir terpadunya masingmasing. Pedoman ini juga menjadi dasar untuk sertifikasi: bila pemerintah pusat menemukan bahwa program daerah telah memenuhi standar, kriteria dan arahan, maka pemerintah pusat dapat mengesahkan program daerah tersebut. Pedoman sebagian besar terdiri dari standar yang mengikat yang mencakup prinsip-prinsip yang dibahas di atas. Pedoman juga akan mencantumkan langkah-langkah penting yang bersifat umum dalam upaya mencapai koordinasi, partisipasi, keterbukaan, pengetahuan ilmiah yang baik dan kepastian hukum. Proses untuk mempersiapkan pedoman akan bersifat terbuka dan transparan. Rancangan pedoman tersebut kemudian dikonsultasikan pada masyarakat. Setelah disempurnakan dan disebarluaskan, pedoman akan diuraikan ke dalam penjelasan yang lebih terinci oleh provinsi. Provinsi akan mengembangkannya sesuai dengan pedoman nasional, tetapi lebih terinci untuk yurisdiksi masing-maing, dan disesuaikan dengan dengan kebutuhan serta 229 kemampuan daerahnya. Pedoman provinsi akan mencantumkan informasi spesifik mengenai inventori sumber daya, pemetaan dan penggunaan lahan, yang menjadi dasar untuk rencana tata ruang. Termasuk juga didalamnya adalah informasi mengenai wilayah pengelolaan tertentu serta metodologi khusus untuk pengendalian pencemaran dan pertahanan keamanan. Kabupaten harus mentaati pedoman yang bersifat mengikat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nasional atau kesepakatan international. Namun, kabupaten/kota dapat menentukan kemudian jika mereka ingin mengembangkan sebuah program yang bersifat suka rela yang sejalan dengan pedoman pusat dan provinsi. Bila mereka ingin melakukannya, mereka dapat meminta bantuan teknis dan finansial dari pemerintah pusat dan provinsi. Program-program ini pada dasarnya merupakan rencana kegiatan (action plan) dari pelaksanaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi. Pedoman yang bersifat tidak mengikat ini memiliki dua keuntungan. Pertama, kabupaten dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai cara mengelola sumber daya secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, kabupaten akan dapat meminta bantuan finansial dan teknis dari pemerintah pusat dan provinsi. Program kabupaten perlu mentaati persyaratan prosedur dan substantif dari pedoman. Hal ini termasuk persyaratan yang memastikan bahwa program akan dikembangkan dengan cara terpadu dan transparan, dengan melibatkan konsultasi dan partisipasi publik. Termasuk juga di dalamnya adalah persyaratan yang memastikan bahwa program kabupaten dirancang sedemikian rupa untuk menangani permasalahan dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Setelah pengembangan program, kabupaten akan bekerja sama dengan provinsi untuk menyerahkan program tersebut kepada pemerintah pusat untuk dianalisa. Jika program memenuhi maksud dan tujuan pedoman pemerintah pusat serta persyaratannya, maka program itu akan disetujui dan disahkan oleh pemerintah pusat. Setelah pengesahan, kabupaten/kota akan memperoleh keuntungan tambahan, termasuk bantuan finansial dan teknis untuk melaksanakan kegiatankegiatan yang termasuk dalam program. Setelah program disahkan, akan ada kewajiban menyerahkan laporan tahunan dan pemantauan, untuk memastikan bahwa program tetap dilaksanakan 230 sesuai dengan pedoman nasional. Selain itu, kabupaten/kota perlu memperbaharui ijin program secara berkala, misalnya tiap lima tahun sekali. Pemerintah pusat, sesuai persyaratan yang menyangkut kepentingan nasional dan hukum internasional, akan memberlakukan sanksi dan penegakan persyaratan bagi komponen-komponen dari sebuah program kabupaten/kota. Namun, tidak ada sanksi atau denda untuk komponen program yang bersifat sukarela. Sebaliknya, jika kabupaten/kota tidak melaksanakan program sebagaimana mestinya, pemerintah pusat akan menunda hibah atau bantuan. Kabupaten/kota akan diberi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya, dan bila berhasil, baru hibah akan dikucurkan. Namun demikian, bila pelaksanaan program tetap keluar dari jalur semula, maka bantuan dapat dibatalkan, dan pada akhirnya perijinan juga akan dicabut. 5.53.2 Mekanisme daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil sebagai pelaksanaan otonomi daerah Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan peluang bagi pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Untuk itu dibutuhkan komitmen dan peran serta stakeholdes di daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan desa-desa, untuk bersama-sama aktif mengatur dan menjaga pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta meminimumkan munculnya konflik kewenangan dan pemanfaatan yang selama ini seringkali muncul di wilayah pesisir. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut kewenangan pemerintah dan masyarakat daerah di wilayah pesisir, adalah implementasi dari komitmen tadi sekaligus menjadi dasar bagi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir daerah. Peraturan daerah penting pula agar ada arahan fungsi dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut daerah. 231 5.53.3 Integrasi stakeholders di daerah bagi pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu Kerjasama dan koordinasi horizontal dan vertikal antar-instansi adalah sangat krusial bagi pengelolaan pesisir terpadu. Disadari bahwa kompleksitas dinamika permasalahan pengelolaan di wilayah pesisir harus melibatkan banyak sektor pemerintahan dan stakeholders lain, termasuk organisasi non-pemerintah, aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan lembaga peradilan, serta wakil rakyat (DPRD). Karena itu, kesadaran bagi kerjasama dan koordinasi dari semua pihak diatas sangat penting. Hal tersebut menyiratkan pula perlunya pengembangan kapasitas institusi, bukan hanya bagi institusi pemerintahan, juga institusi non-pemerintah seperti LSM, lembaga penelitian, universitas, serta komunitas masyarakat pesisir. 5.54 Pembentukan institusi lintas sektoral bagi pengelolaan pulau kecil terluar Direkomendasikan pengkajian lebih dalam bagi pembentukan institusi lintas sektoral tersendiri, yang akan menangani pengelolaan pulau terluar yang merupakan bagian dari wilayah pesisir dan lautan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pembentukan institusi ini, yang menangani koordinasi antar institusi secara horizontal, dianggap penting karena kompleksitas dan luasnya cakupan permasalahan di wilayah pesisir, sehingga membutuhkan institusi yang menanganinya secara tersendiri dan kontinu. 5.54.1 Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir Potensi kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan, seperti perikanan dan pariwisata, bila dikelola secara berkelanjutan oleh pemerintah dan masyarakat daerah harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah kemiskinan masyarakat pesisir khususnya, harus dapat dipecahkan dengan memberdayakan dan mengikutsertakan mereka dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang bermanfaat bagi peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat miskin di pesisir. 232 5.54.2 Peran aktif masyarakat dalam identifikasi potensi sumberdaya bagi perencanaan pengelolaan pulau kecil perbatasan Identifikasi potensi sumberdaya pulau kecil melalui proses yang partisipatoris, transparan, dan komprehensif, adalah hal penting yang direkomendasikan pula. Identifikasi menjadi kunci penting bagi pengelolaan pulau khususnya dan wilayah pesisir pada umumnya, karena tahap ini menjadi masukan penting bagi penyusunan serta penetapan kebijakan dan peraturan rencana pemanfaatan wilayah pesisir. Termasuk dalam perencanaan tersebut adalah penyusunan tata ruang wilayah pesisir. 5.54.3 Edukasi dan percontohan tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir. Terkait dengan pengembangan kapasitas institusi, faktor edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang praktek pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan menjadi perhatian penting pula. Peran Organisasi non-politik seperti LSM dan Universitas menjadi krusial bagi asistensi teknis dan bimbingan kepada komunitas masyarakat pesisir, untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya pulau di wilayah pesisir secara terpadu agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Percontohan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat yang berhasil misalnya pengelolaan daerah perlindungan laut di berbagai daerah di Indonesia, kiranya dapat menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain untuk melakukan yang sama. 5.54.4 Permodalan dan investasi Identifikasi lainnya yang diperoleh termasuk peluang untuk menarik investor untuk menanam modal bagi aktivitas di pulau-pulau perbatasan negara, yang karenanya membutuhkan promosi, kemudah perijinan, penyediaan prasarana dan sarana, serta jaminan keamanan; penataan tata ruang dan lingkungan pesisir dan laut, dengan inventarisasi dan perencanaan penggunaan lahan pulau kecil; pembuatan peraturan daerah dan sosialisasi tentang tata ruang pulau perbatasan negara; peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi sumberdaya pesisir, melalui inventarisasi sumberdaya, pembinaan sumberdaya manusia, penyiapan perangkat hukum yang dibutuhkan, dan 233 melakukan monitoring dan evaluasi; peluang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengembangan ekonomi rakyat dengan melibatkan masyarakat dan operator wisata, koordinasi promosi pariwisata daerah, serta penyediaan prasarana yang memadai. 5.55 Kebutuhan Pengaturan bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara Proses penyusunan Naskah Akademik dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, dibentuk Tim Penyusun dengan mengkaji beberapa isu seperti hak adat dan ulayat, institusi pengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, koordinasi antar institusi pemerintahan baik vertikal maupun horizontal, merupakan isu-isu yang penting untuk dielaborasi tuntas pada perUndang-Undangan yang berhubungan dengan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan negara. Pertanyaan cukup mendasar yang sangat penting untuk dijawab dalam proses penyusunan RUU adalah, apakah bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan pengaturan berupa Undang-Undang Pulau Perbatasan Negara, karena saat ini ada Undang-Undang yang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara. Apabila jawabannya adalah ya, maka kita perlu hati-hati dalam menentukan materi yang akan diatur. Materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena menyangkut kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara detil-detil pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP). Karenanya Rancangan Undang-Undang cukup bersifat umum saja. Pertanyaan kedua yang perlu dijawab menyangkut tingkat pengaturan, yakni apakah pengaturan perlu dilakukan melalui Undang-Undang atau cukup di tingkat kabupaten/kota berupa Peraturan Daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka pengaturan wilayah pesisir berada pada kewenangan kabupaten/kota. Namun Undang-Undang yang mengatur pengelolaan pulau-pulau wilayah perbatasan negara belum menetapkan hal-hal khusus yang mesti diatur oleh daerah dan standar baku bagi pengelolaan daerah yang tetap menjaga 234 kepentingan nasional. Apabila jawabannya adalah tidak, maka kita hanya melakukan penetapan dari peraturan pemerintah dan atau peraturan lainnya yang sudah ada untuk di revisi dan atau dijadikan Undang-Undang. Dalam menentukan materi yang akan diatur, materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena menyangkut kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara detil-detil pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, sendiri belum bisa menjadi dasar hukum yang memberi kejelasan dan kepastian bagi pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan negara oleh pemerintah daerah. Sehingga berbagai konflik kewenangan, konflik hukum, konflik pemanfaatan, dan konflik pengelolaan masih akan tetap berlangsung. Untuk itu diperlukan produk-produk hukum baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah, yang akan memberi pedoman atas pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dalam wilayah pesisir daerah. Produk hukum tersebut tentunya dijabarkan hingga ke tingkat aturan-aturan desa. Penegakan hukum sendiri, juga menjadi faktor krusial atas pelanggaranpelanggaran yang terjadi dengan sanksi hukum yang jelas dan memadai. Sehingga dapat memberi kepastian hukum bagi berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir. 5.56 Rekomendasi Hal-Hal Pokok Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Sejumlah isu pokok berhasil diidentifikasikan, yang dianggap penting untuk dicakup pada RUU nantinya. Isu-isu pokok tersebut terbagi dalam 3 (tiga) kelompok yakni, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta hukum atau kelembagaan. 5.56.1 Aspek biofisik (1) Karakteristik dan cakupan pulau-pulau kecil. (2) Program pemerintah pusat, seperti RTRN, RTRWP/K, dan sinkronisasi program pusat-daerah. (3) Manajemen tata ruang dan delimitasi/garis batas. 235 (4) Pencegahan degradasi kualitas dan kuantitas habitat dan sumberdaya: 1) Mitigasi dan penanggulangan bencana alam. 2) Pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove. 3) Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang. 4) Eksploitasi dan sumberdaya perikanan dan pembatasannya. 5) Pengaturan pencegahan dan rehabilitasi akibat abrasi pantai. 6) Pencegahan intrusi air laut. 7) Penangkapan ikan dengan teknik merusak, seperti bom dan lainnya. 8) Preservasi dan konservasi. 9) Aturan tentang kegiatan reklamasi pantai. 10) Pengambilan harta karun. (5) Pencemaran, yang dikategorikan berasal dari: 1) Rumah tangga. 2) Industri di darat. 3) Submarine Tailing Disposal. 4) Pencemaran lainnya: seperti penambangan yang menghasilkan senyawa metil merkuri, yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. 5.56.2 Aspek sosial, ekonomi, dan budaya (1) Strategi dan identifikasi sosial, ekonomi, dan budaya, bagi pemberdayaan masyarakat pesisir. (2) Masalah kemiskinan dan sosial budaya masyarakat pesisir. (3) Pengakomodasian kepentingan masyarakat, termasuk adat. (4) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, termasuk pada tahap perencanaan. (5) Valuasi ekonomi (economic valuation). (6) Fungsi atau peran masyarakat dalam proses sertifikasi wilayah pesisir. (7) Pengendalian aktivitas yang menyebabkan abrasi pantai. (8) Mekanisme penyelesaian konflik. (9) Bantuan pemerintah bagi masyarakat pesisir. 236 (10) Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat nelayan, termasuk pemberdayaan perempuan. (11) Pengambilan peninggalan sejarah di bawah laut, seperti harta karun, dan lain-lain. 5.56.3 Aspek hukum dan kelembagaan (1) Kajian dan inventarisasi UU dan PP yang sudah ada yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir. (2) Kejelasan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan di kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. (3) Kejelasan posisi UU PWP terhadap UU dan peraturan lain dan agar tidak overlapping. (4) Kewenangan yang dimiliki oleh institusi khusus pengelola wilayah pesisir. (5) Mekanisme proses sertifikasi program pengelolaan. (6) Sanksi-sanksi hukum yang baku, akurat dan tepat bagi pelanggaran yang terjadi. (7) Penegakan hukum. (8) Kepemilikan individu atau adat perlu diatur. (9) Kejelasan kewenangan dan tanggung jawab bagi preservasi dan konservasi. (10) Mendorong percepatan pengelolaan konservasi laut. (11) Tidak bertentangan dengan hukum alam. (12) Pengaturan sistem informasi yang terintegrasi mengenai potensi dan pemanfaatan sumberdaya. Rekomendasi diberikan bagi pembahasan aspek-aspek lain yang penting untuk dibahas dalam Naskah Akademik dan RUU ini yakni: aspek pertahanan dan keamanan, kesehatan masyarakat, dan lainnya. Pembahasan ini akan memberi tambahan perspektif mengenai pentingnya pengelolaan pulau kecil secara khusus ditinjau dari aspek tersebut dan bagaimana integrasi aspek tersebut dalam pengelolaan wilayah pesisir nasional dan daerah yang berkelanjutan sesuai peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. 237 5.57 Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Dalam menentukan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan, maka perlu mempertimbangkan akan pemberian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah khususnya menyangkut tugas pembantuan yang berhubungan dengan perencanaan, pengelolaan keuangan, pembinaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Berikut ini merupakan rekomendasi identifikasi peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan implementasi desentralisasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir kepada pemerintah daerah: Tabel 25 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Membuat UU dan PP tentang pengelolaan pulau kecil terluar bagi kepentingan nasional. •Menetapkan strategi pengelolaan tingkat makro. •Membuat kebijakan teknis dan pedoman umum yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan pulau perbatasan negara. • Menetapkan standar kriteria dan aturan umum lain bagi program pengelolaan pulau perbatasan. • Memberi masukan bagi program pengelolaan pulau di daerah perbatasan. • Koordinasi masalah strategis menyangkut lintas provinsi dan lintas negara. • Melakukan pengawasan dan evaluasi pengelolaan wilayah Mempersiapkan strategi pengelolaan dan kebijakan regional. •Membuat Petunjuk Teknis Pengelolaan. •Menyusun dan mengkoordinasi Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil di perbatasan negara. • Menyusun inventarisasi atau atlas sumberdaya pulau kecil perbatasan negara. •Membuat aturan berdasarkan usulan kabupaten. •Mengkoordinasi kebijakan atau masalah lintas kabupaten/kota. • Monitoring dan evaluasi pengelolaan wilayah pesisir di provinsi. Bertanggung jawab langsung dengan menjadi pelaksana pengelolaan pulaupulau kecil di perbatasan negara. • Menyusun Master Plan dan menjabarkan petunjuk teknis pengelolaan pulau kecil perbatsan negara. • Membuat perencanaan spesifik kawasan berdasarkan karakteristik khusus wilayah dan kebutuhan masyarakat setempat. • Melakukan koordinasi masalah operasional dalam wilayah provinsi. • Pelaksana perijinan peman-faatan wilayah atau sumberdaya pesisir, melalui sertifikasi. • Melakukan pengawasan langsung pulau kecil perbatasan negara. • Melakukan penegakan 238 pesisir nasional. •Merespon dan mengkoordinasi kebutuhan bantuan teknis dan pembiayaan daerah perbatasan. •Menetapkan dan menyalurkan bantuan dana bagi program pengelolaan daerah. •Menetapkan kawasan khusus bagi konservasi perbatasan. hukum berdasarkan peraturan yang berlaku. • Memajukan pendidikan masyarakat bagi pengelolaan berkelanjutan. • Memberikan bantuan teknis kemasyarakatan. Rekomendasi rancangabangun hukum hendaknya lebih terfofus pada: Pertama, merevisi kembali Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen, agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia. Sementara Undang-Undang Landas Kontinen tersebut masih berdasarkan UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi Undang-undang serta mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-titik perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-batas wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas lantas kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009, namun hingga saat ini belum terselesaikan, untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil dari garis pangkal kepulauan nusantara. Karena apabila sampai batas waktu tersebut belum menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas landas kontinen sampai jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang sudah mengajukan klaim 239 landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah meratifikasi UNCLOS 1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia (2004). Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan secara lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya tidak melanggar prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai menghilangkan pulau-pulau kecil tersebut dari wilayah negara Indonesia. 5.58 Proses Pembuatan Peraturan perUndang-Undangan Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundangundangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan 240 Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundangundangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundangundangan. Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi: (1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (2) Peraturan Pemerintah; (3) Peraturan Presiden mengenai: 1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2) pernyataan keadaan bahaya. (4) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Rakyat; (3) Mahkamah Agung; (4) Mahkamah Konstitusi; dan (5) Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan 241 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan. Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan (1) Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy. (2) Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan. (3) Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani. (4) Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip. (5) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan. (6) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun. 242 Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan : (1) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan cara lainnya. (2) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran lepas maupun himpunan. (3) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan. (4) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait. (5) Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya. (6) Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya.