BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Pendidikan Politik 1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan tentang Pendidikan Politik
1. Pengertian Pendidikan Politik
Pendidikan di Indonesia merupakan upaya untuk menciptakan sumber daya manusia
yang berkualitas dan berdasarkan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa yaitu
Pancasila. Selain itu, fungsi pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Sesuai rumusan pasal 7 Bab V Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, upaya pendidikan politik merupakan sarana vital dalam pembentukan warga negara
atau individu-individu untuk mendapatkan informasi, wawasan, serta memahami sistem
politik yang berimplikasi pada persepsi mengenai politik dan peka terhadap gejala-gejala
politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki
keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif
pemecahan masalah dari masalah-masalah politik yang ada.
Pendidikan politik di Indonesia secara edukatif merupakan upaya yang sistematis
untuk memantapkan kesadaran politik dan bernegara untuk menjaga kelestarian Pancasila dan
UUD 1945. Jadi, pendidikan politik disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat
serta yang menjadi landasan moral bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam Instruksi Presiden
Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Bagi Generasai Muda sebagai berikut:
Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha
untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna
menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai budaya
bangsa.
Perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik dilakukan secara
sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap individu. Dalam
proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif diyakini dan
dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1993:3) menyatakan pendapatnya,
“Pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses dimana
individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai unsur yang
penting dari konsep dirinya”. Proses internalisasi nilai-nilai ini menjadi kekuatan pendidikan
politik yang memberi makna bahwa pendidikan dan politik itu saling bertautan.
Pendidikan politik mencoba mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi yang akan
diterapkan pada warga negara sebagai landasan pola pikir dalam membangun partisipasi
politik warga negara. Partisipasi politik warga negara dapat diwujudkan dalam bentuk
pengambilan keputusan politik yang didasarkan pada kebebasan memilih dan menentukan
keputusan yang dibuat. Hal ini senada dengan Haines (Brownhill, 1989:4) bahwa upaya
pendidikan politik bertujuan untuk “Free men have to decide, to chose, to elect
refresentatives, support or under mine policies, advocate, persuade, guide, teach, as well as
manage, their own affairs as well as they are able”.
Dengan demikian pendidikan politik menghargai hak setiap individu untuk memilih
dan mengambil keputusan politik tanpa ada tekanan dari pihak manapun serta berpartisipasi
dalam sistem politik yang ada. Pendidikan politik pun memiliki tujuan untuk menarik
individu memahami politik sehingga menjadi warga negara yang bertanggungjawab dengan
mencoba bagaimana menganalisa dan memberikan penilaian terhadap situasi politik yang
sedang berlangsung secara mandiri.
Pendapat ini senada dengan pernyataan Haines (Idrus Affandi, 1993:5) bahwa:
Pendidikan politik adalah bagaimana mengembangkan keinginan professional dalam
politik dan mengutamakan yang mengarah kepada tanggungjawab politik, yang dalam
waktu yang sama berusaha memberikan kepada mereka pengetahuan yang penting
dan keterampilan untuk melaksanakan tanggungjawab.
Definisi di atas menunjukkan bahwa pendidikan politik merupakan upaya pembinaan
kepada setiap individu untuk berpartisipasi terhadap kehidupannya dengan penuh rasa
tanggungjawab.
Rusadi Kantaprawira (1988:54) memandang bahwa “pendidikan politik sebagai salah
satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat
agar mereka dapat berpartisipasi secara nasional dalam sistem politiknya”. Dengan demikian
pendidikan politik sebagai cara untuk mengenalkan serta memahami politik kepada warga
negara untuk secara aktif berpartisipasi dalam sistem politik yang sedang berjalan.
Sedangkan Alfian (1992:235) mengemukakan pendapat tentang pendidikan politik
sebagai berikut:
Pendidikan politik (dalam arti kata yang lebih ketat) dapat diartikan sebagai usaha
yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi masyarakat sehingga memahami dan
menghayati betul-betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun.
Dengan demikian, pendidikan politik menurut Alfian sama dengan sosialisasi politik,
yaitu proses menyampaikan atau menyebarkan program-program pemerintah (penguasa)
kepada masyarakat dalam suatu sistem politik. Senada dengan Alfian, Wahab (Komarudin,
2005:19) mengemukakan, bahwa “pendidikan politik secara umum adalah sosialisasi nilainilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kedua pendapat tersebut
berkaitan erat dengan sosialisasi politik. Dalam hal ini pendidikan politik merupakan upaya
mengenalkan suatu sistem politik pada individu dan menentukan reaksi terhadap gejala-gejala
politik dalam sistem tersebut. Konsep pendidikan politik dan sosialisasi politik memiliki arti
yang berdekatan atau hampir sama sehingga dapat digunakan secara bergantian.
Menurut Michael Rush dan Philip Althoff (2001:22), bahwa sosialisasi politik
diartikan sebagai “suatu proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem
politik yang kemudian menentukan sifat-sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik”.
Inti dari pengertian sosialisasi yang diungkapkan Michael Rush dan Philip Althoff
tersebut, yaitu pengenalan terhadap sistem politik. Apabila seorang individu telah mengenali
lingkungan sistem politiknya maka individu tersebut akan memiliki persepsi terhadap
lingkungan sistem politiknya. Perlu diketahui bahwa persepsi setiap individu terhadap
lingkungan sistem politiknya akan berbeda-beda tergantung intensitas sosialisasi, pesan yang
ada dalam sosialisasi, penyampaian atau media sosialisasi tersebut. Selain itu aspek-aspek
yang ada dalam individu juga akan mempengaruhi tingkat persepsi orang mengenai sistem
politiknya seperti intelegensi, tingkat pendidikan, emosi, nilai-nilai, dan sebagainya. Karena
persepsi setiap individu berbeda maka tidak aneh reaksi-reaksi terhadap sistem politiknya pun
akan berbeda-beda pula.
Proses ini dipengaruhi oleh lingkungan individu berada baik secara sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Pendidikan politik yang diperoleh setiap individu menimbulkan
pengalaman-pengalaman politik yang baru sehingga menimbulkan perilaku politik. Perilaku
politik sebagai hasil pendidikan politik diungkapkan oleh Kenzie dan Silver (Rush dan
Althoff, 200:180) bahwa:
Perilaku politik seseorang itu ditentukan oleh interaksi dari sikap sosial dan sikap
politik individu yang mendasar, dan oleh situasi khusus yang dihadapainya. Asosiasi
antara berbagai karakteristik pribadi dan sosial dan tingkah laku politik mungkin
adalah hasil dari motivasi sadar atau tidak sadar, atau yang lebih mungkin lagi
kombinasi keduanya.
Dengan demikian perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik
dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap
individu. Dalam proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif
diyakini dan dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1996:3) menyatakan
pendapatnya “pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses
dengan mana individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai
unsur yang penting dari konsep dirinya”.
Dalam hal ini politik dilihat sebagai inti dari proses pendidikan politik yakni
membenarkan nilai-nilai dan menerapkannya di masyarakat, sedangkan pendidikan adalah
media untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut. Sehingga inti dari proses pendidikan politik
yakni internalisasi nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk mengembangkan pemahaman
sistem politik menuju pembentukan warga negara yang melek politik. Hal ini sesuai dengan
Made Suara (2006) bahwa “Pendidikan politik merupakan proses mempengaruhi individu
agar mendapat informasi, wawasan, dan keterampilan politik hingga sanggup bersikap kritis
dan lebih internasional serta lebih terarah hidupnya”.
Dengan demikian, pendidikan politik merupakan suatu usaha untuk menciptakan
warga negara yang benar-benar melek politiknya. Selain itu, pendidikan politik sebagai usaha
dalam mencapai hak politik yang dimiliki setiap warga negara dalam membangun dan
menjalankan suatu sistem politik yang ada. Di samping itu warga negara diharapkan mampu
berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang menuntut kedewasaan berpolitik untuk
menciptakan kedamaian bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.
Tujuan Pendidikan Politik
Pada dasarnya tujuan pendidikan politik di setiap negara berbeda-beda. Hal ini terjadi
karena landasan serta tujuan pelaksanaan pendidikan politik disesuaikan dengan dasar dan
falsafah bangsa. Indonesia sebagai negara yang demokratis menjalankan proses pendidikan
politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan warga negara. Sehingga tujuan
pendidikan politik harus sejalan dengan penjabaran tujuan pendidikan nasional. Dalam
rumusan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab.
Upaya untuk mengembangkan pendidikan yang membentuk watak dan peradaban
bangsa serta menjadi warga negara adalah bagian penting dari tujuan pendidikan politik.
Menurut Wahab (Komarudin, 2005:24), “… pendidikan politik bertujuan membentuk warga
negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan
baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga negara”. Dengan demikian,
terwujudnya warga yang baik (good citizen) yaitu warga negara yang melek politik, memiliki
kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari
pendidikan politik.
Proses
pendidikan
politik
merupakan
suatu
proses
untuk
membina
dan
mengembangkan warga negara untuk mengenali sistem politik dan reaksi terhadap gejalagejala politik. Pada dasarnya tujuan pendidikan politik adalah membentuk manusia yang
sadar akan hak dan kewajibannya dalam rangka memahami situasi sistem politik menuju
kesejahteraan hidup bangsa. Selain itu, pendidikan politik diharapkan mampu menciptakan
warga negara yang memiliki jiwa nasionalis dan egaliter serta kualitas pribadi yang kuat
sebagai warga negara.
Terdapat beberapa tujuan dari pendidikan politik sebagaimana dikemukakan oleh
Amril (2004:104) sebagai berikut:
a. Melatih orang muda dan orang dewasa menjadi warga negara yang baik;
khususnya dalam fungsi sosial dan fungsi politik, seperti bisa mengembangkan
sikap gotong royong/kooperatif, mau bermusyawarah dan kerjasama; bersikap
toleran, solider, loyal terhadap bangsa dan negara, bersikap sportif dan seterusnya
demi kesejahteraan hidup bersama.
b. Membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa etika politik dan
tanggungjawab politik, agar orang menjadi insan politik yang terpuji (bukan
memupuk egoisme dan menjadi bintang politik).
c. Agar orang memiliki wawasan kritis mengenai relasi-relasi politik yang ada di
sekitarnya. Memiliki kesadaran bahwa urusan-urusan manusia dan struktur sosial
yang ada di tengah masyarakat itu tidak permanen, tidak massif atau immanen
sifatnya, tetapi selalu saja bisa berubah dan dapat diubah melalui perjuangan
politik.
d. Kemudian mampu mengadakan analisis mengenai konflik-konflik politik yang
aktual, lalu berusaha ikut memecahkan; jadi terdapat partisipasi politik. Sebab,
urusan politik itu jelas membawa dampak kebaikan atau dampak keburukan
kepada rakyat banyak. Karena itu rakyat juga sangat berkepentingan dengan
urusan politik yang menyangkut mati hidupnya diri sendiri dan keselamatan
rakyat pada umumnya.
e. Selanjutnya berpartisipasi politik dengan jalan memberikan pertimbangan yang
konstruktif mengenai masyarakat dan kejadian politik itu merupakan hak-hak
demokratis yang asasi. Hal yang perlu bukan hanya melancarkan proses-proses
politik dari warga negara dan pertanggungjawabannya untuk mengatur
masyarakat dan negara mengarah pada kehidupan yang sejahtera.
f. Partisipasi aktif itu memiliki pengaruh dan kekuatan sebab biasanya ikut pula
dalam pengawasan aktivitas mengatur masyarakat dan negara. Maka menjalani
proses pendidikan politik tanpa bisa berbuat politik itu sama saja dengan
berenang di atas kasur. Sebaliknya melakukan perbuatan politik tanpa refleksi
atau kearifan dan pendidikan politik bisa disebut aktivisme, yaitu berbuat awurawuran atau anarki dan perbuatan makar.
Jika melihat maksud pendidikan politik di atas tidaklah salah apabila pendidikan
politik diberikan kepada generasi muda sebagai bagian dari pembinaan generasi muda
Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang demokratis di masa yang akan datang. Selain
itu diharapkan para generasi muda mampu berperan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara tangguh dan penuh tanggungjawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1982 tentang
Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan tujuan pendidikan politik sebagai
berikut:
Untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah
satu usaha untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang
perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:
a. Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggungjawab sebagai warga negara
terhadap kepentingan bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku.
c. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa
depan yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.
d. Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.
e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD
1945 dan Pancasila.
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara
khususnya dalam usaha pembangunan nasional.
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan
keanekaragaman bangsa.
h. Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara
selaras, serasi, dan seimbang.
i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai serta ancaman yang
bersumber dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir
dan penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal ini pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa dan
bernegara diharapkan mampu meningkatkan partisipasi secara aktif untuk membangun
bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas sejalan dengan Sumantri
dan Affandi (1986:126) yang menyatakan bahwa:
Maksud diselenggarakannya pendidikan politik pada dasarnya adalah untuk
memberikan pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran
kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan dengan arah dan cita-cita bangsa
Indonesia.
Generasi muda sebagai pewaris cita-cita bangsa dituntut untuk berpartisipasi secara
aktif membangun bangsa. Oleh sebab itu, generasi muda harus memiliki pengetahuan serta
keterampilan politi sehingga para generasi muda menggunakan pengetahuannya untuk
berpolitik secara bertanggungjawab. Pendapat ini sejalan dengan Brownhill dan Patricia
Smart (1989:4) bahwa:
The aim of political education should therefore be to develop the professionals
interest and to poin them toward their political responsibilities, while at the same
time endeavouring togive them the necessary knowledge and skills to carry out those
responsibilities.
Dengan demikian, pendidikan politik bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman serta kemampuan untuk bertanggungjawab sebagai warga. Selain itu
memberikan pemahaman mengenai pengetahuan politik sehingga warga negara berpartisipasi
dalam sistem politik yang sedang berjalan. Pelaksanaan pendidikan politik harus dilakukan
secara sistematis untuk menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Menurut Ragnar Muller (2006) mengungkapkan bahwa “One of the fundamental
objectives of political education is to develop an understanding of politics among pupils and
to give them an insight into how politics works and how it is connected”. Jadi, salah satu
tujuan pendidikan politik adalah mengembangkan sebuah pemahaman diantara siswa dan
memberikan kepada siswa wawasan tentang bagaimana politik berjalan dan mencari
hubungan konsep dasar politik.
Konsep dasar politik atau basic knowledge yang dapat diberikan kepada setiap
individu adalah konsep demokrasi, pemilihan umum, partai politik, dan lain-lain. Konsep ini
diberikan kepada individu sebagai upaya peningkatan pemahaman terhadap politik. Setelah
memahami politik diharapkan individu mampu memberikan opini politik secara independent
berdasarkan konsep dasar politik yang diketahuinya. Setelah itu, individu diharapkan mampu
berpartisipasi
aktif dalam
politik
sebagai
perwujudan
bertanggungjawab. Berikut ilustrasi dari uraian di atas:
dari
warga negara
yang
Gambar 2.1 Tujuan dan Tugas Pendidikan Politik
WARGA NEGARA YANG BERTANGGUNG
JAWAB
PARTISIPASI POLITIK
OPINI POLITIK
INDEPENDENT
[
PEMAHAMAN
POLITIK
KONSEP DASAR
POLITIK
TUJUAN DAN TUGAS PENDIDIKAN POLITIK
(Sumber: Devi Andriana, 2007:34)
Dalam hal ini pendidikan politik diarahkan pada pembentukan warga negara yang
memiliki sikap dan analisis kritis terhadap berbagai masalah sosial politik di lingkungannya.
Sehingga diharapkan warga negara ikut serta dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan
memiliki kesadaran politik yang berimbas pada partisipasi politik aktif.
Pendidikan politik menjadi sebuah pemahaman dalam setiap warga negara untuk
dihayati sehingga membentuk perilaku politik atau melek politik. Kedudukan dan
pelaksanaan pendidikan politik dikemukakan oleh Affandi (1996:6) sebagai berikut:
Pendidikan politik tidak saja akan menentukan efektivitas sebuah sistem politik
karena mampu melibatkan warganya, tetapi juga memberikan corak pada kehidupan
bangsa di waktu yang akan datang melalui upaya penerusan nilai-nilai politik yang
dianggap relevan denga pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.
Sedangkan A. Kosasih Djahiri (Iyep Candra Hermawan, 2004:33) mengemukakan
bahwa pendidikan politik di Indonesia memiliki target ysng jelas, yaitu membina siswa melek
politik yakni manusia Indonesia yang:
1. Melek konstitusi dan hukum; yang memahami pokok pikiran UUD 1945 dan
hukum yang ada dalam negara RI serta mengerti esensi penegakkannya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Melek pembangunan; yakni manusia yang memahami laju gerak kemajuan
bangsa yang sudah, sedang, dan akan ditempuh serta mau dan mampu
berpartisipasi secara aktif dan fungsional.
3. Melek masalah; yakni tahu persoalan, kendala, dan kesulitan yang dihadapi
masyarakat, bangsa, negara, dan dirinya dalam membina hal-hal di atas.
Dari penjelasan di atas, pendidikan politik memegang peranan yang sangat vital untuk
mencapai kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Dengan pendidikan politik dibentuk dan
dikembangkan warga negara yang memiliki kesadaran politik dalam kerangka kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya
pewarisan nilai-nilai budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan
hak dan kewajiban warga negara. Sehingga partisipasi aktif warga negara memberikan
konstribusi bagi pembangunan demokrasi Indonesia serta sesuai dengan cita-cita bangsa yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.
3.
Bentuk-bentuk Pendidikan Politik
Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya pewarisan nilai-nilai
budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan hak dan kewajiban
warga negara. Sehingga partisipasi aktif warga negara memberikan kontribusi bagi
pembangunan demokrasi Indonesia yang sesuai dengan cita-cita bangsa yang terkandung
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian ini berkaitan dengan bentuk-bentuk
pendidikan politik yang akan dilaksanakan dan ditinjau dari sudut proses maupun tujuan yang
hendak dicapai. Bentuk-bentuk pendidikan politik diharapkan mampu menciptakan warga
negara yang melek politik. Menurut Stradling (Brownhill dan Patricia Smart, 1989:105)
mengemukakan bahwa:
Pengertian melek politik di sini sebaiknya menyangkut keterampilan tindakan yang di
dalamnya terdapat kemampuan untuk berpartisipasi dalam membentuk keputusan
kelompok dan kemampuan secara selektif untuk mempengaruhi dan atau merubah
institusi politik.
Pendidikan politik untuk menciptakan warga negara yang melek politik merupakan
upaya pembangunan politik masyarakat untuk mengenal, mengetahui, dan memahami sistem
politik yang berjalan serta nilai-nilai politik tertentu yang akan mempengaruhi perilaku warga
negara. Menurut Idrus Affandi (Komarudin S, 2005:22) bahwa: “Pembangunan politik
merupakan proses penataan kehidupan pemerintah yang terus-menerus sesuai dengan
pertumbuhan sosial politik masyarakata dan tidak dapat dibendung oleh suatu rezim tertentu
yang menghendaki kekuasaan absolut”. Dari definisi tersebut terungkap bahwa perubahan
yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia harus disikapi serta direspon melalui
pembangunan politik atau pendidikan politik agar manusia sebagai warga negara dapat
menyikapi perubahan yang terjadi secara sadar dan bertanggungjawab.
Perubahan yang selalu terjadi menjadi wahana bagi pembinaan perilaku politik yang
cerdas, kritis, dan bertanggungjawab. Pembinaan perilaku politik dapat melalui
penyelenggaraan pendidikan politik yang dilakukan dengan pengajaran-pengajaran yang
mengacu pada substansi dari pendidikan politik tersebut. Dalam hal ini, substansi kurikulum
pendidikan politik menurut Stradling (Brownhill dan Patricia Smart, 1989:104) membaginya
ke dalam tiga bagian, yaitu:
Pertama, pengetahuan; yang terdiri dari pengetahuan professional, dan pengetahuan
praktikal, pemahaman. Kedua, keterampilan yang terdiri dari keterampilan intelektual,
keterampilan tindakan, keterampilan komunikasi. Ketiga, sikap dan nilai-nilai
prosedural.
Dari pendapat di atas, secara garis besar kurikulum pendidikan politik menyentuh
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam aspek kognitif pendidikan politik memberikan
pengetahuan dan pemahaman politik terhadap setiap individu. Sedangkan dalam aspek
psikomotor kurikulum pendidikan politik hendaknya memberikan kemampuan keterampilan
kepada individu untuk memiliki keterampilan intelektual, tindakan, dan komunikasi politik
secara efektif. Kurikulum pendidikan politik secara efektif harus membuat individu
menimbulkan sikap politik sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal senada
diungkapkan oleh Brownhill dan Patricia Smart (1989:110) yang mengungkapkan bahwa
kurikulum pendidikan politik harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Nilai-nilai, tujuan, etika dasar serta sasaran yang dicapai, antara lain: isi
kurikulum harus didasarkan kepada suatu etika yang dapat diterima oleh semua
jenis dan kalangan masyarakat.
b. Nilai-nilai tersebut nantinya dipakai sebagai bahan untuk menyusun informasi,
pengetahuan teoritis serta hal-hal yang bersifat informative dan kognitif.
c. Selain pengetahuan yang bersifat teoritis, kurikulum pendidikan politik harus
mengandung seperangkat pengetahuan praktis.
Lebih lanjut, Brownhill dan Patricia Smart (1989:110) mengemukakan pengetahuan
praktis dalam kurikulum pendidikan politik terdiri dari:
a. Hakekat argumen rasional, argument deduktif. Argument induktif, serta
bentuk-bentuk argumen dialektika dari argument politik.
b. Argument persuasive, yakni bagaimana memberikan argumentasi dengan caracara yang dapat meyakinkan orang dan mampu memprestasikan secara logis
maupun retorik.
c. Penggunaan tekanan dalam perjanjian, bargaining, dan diplomasi dinamika
kelompok diskusi.
d. Keterampilan berkomunikasi dan menanamkan pengaruh di kalangan
pengikut, keterampilan mengembangkan argument secara rasional maupun
tertulis serta teknik-teknik persuasi.
Dengan demikian isi dari kurikulum pendidikan politik tidak hanya menanamkan
pengetahuan dan keterampilan semata, akan tetapi mengandung bagaimana bersikap secara
politik yang disertai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat. Hal ini
didasarkan bahwa pendidikan politik merupakan proses pewarisan dan internalisasi nilai-nilai
yang terkandung di dalam masyarakat ke setiap individu.
Pendidikan politik sesungguhnya telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia
sebab di mana ada manusia maka terdapat pula masyarakat atau dengan kata lain manusia
adalah zoon politicon. Sehingga ketika terdapat unsur politik dalam kehidupan manusia maka
akan terjadi sosialisasi politik dalam arti longgar dari pendidikan politik, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini sebagaimana yang telah digariskan dalam
Inpres No. 12 Tahun 1982 bahwa jalur-jalur terlaksananya pendidikan politik meliputi: a)
jalur informal, b) jalur formal, dan c) jalur non formal.
Hal senada diungkapkan oleh Kuntowijoyo (Dian Sudiono, 2004:78) yang
menyebutkan bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan politik sebagai berikut:
Pendidikan politik formal, yaitu pendidikan politik yang diselenggarakan melalui
indoktrinasi. Berikutnya adalah pendidikan politik yang diselenggarakan tidak melalui
pendidikan formal, seperti pertukaran pemikiran melalui mimbar bebas, sedangkan
pendidikan politik yang baik adalah pendidikan politik yang memobilisasi simbolsimbol nasional, seperti sejarah, seni, sastra, dan bahasa.
Dalam definisi di atas metode indoktrinasi merupakan metode pendidikan politik
secara formal yakni di tingkat persekolahan. Namun pendidikan politik yang baik adalah
pendidikan politik yang menampilkan simbol-simbol nasional untuk memperkuat jati diri
bangsa. Warga negara yang melek politik harus memiliki karakter atau jati diri bangsa yang
tangguh.
Ruslan (Abu Ridha, 2002:58) mengemukakan, bahwa institusi untuk menyampaikan
pendidikan politik meliputi “Keluarga, sekolah, partai politik, dan kelompok penekan,
berbagai media informasi dan komunikasi massa”. Dari dua pendapat di atas menunjukkan,
bahwa media massa memegang peranan yang sangat besar untuk mempengaruhi pikiran,
perasaan, dan perilaku individu sebagai imbas dari era globalisasi dan kemajuan teknologi
informasi. Selain media massa pendidikan politik secara formal dilakukan pada persekolahan
dan hal ini menjadi tahap awal yang penting bagi proses pendidikan politik sehingga peranan
sekolah sangat penting dalam pendidikan politik. Pendidikan politik di persekolahan akan
menentukan sikap politik setiap individu yang dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan serta
keakuratan informasi yang diterima dari media cetak atau elektronik. Proses pendidikan
politik yang dilakukan secara formal di persekolahan menjadi tahap awal untuk indoktrinasi
politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Brownhill (1989:143) bahwa “Most opposition to the
inclusion of political education in the curriculum comes from those who maintain that the
teaching of politics in schools would be the first stepping stone to political indoctrination”.
Kajian terhadap proses indoktrinasi dalam proses pendidikan masih menjadi
perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra. Walaupun sesungguhnya dalam proses
pendidikan selalu menggunakan indoktrinasi karena indoktrinasi merupakan langkah awal
untuk menanamkan ideologi. Pendidikan politik dalam lembaga formal harus menghilangkan
kekhawatiran terhadap proses indoktrinasi sebagai hambatan dalam pengajaran politik. Hal
ini didasarkan pada pendidikan politik merupakan salah satu pelajaran yang ditempatkan
pada semua jenjang persekolahan. Alasan lainnya menurut Dunn (Brownhill, 1989:8) yakni
“pendidikan politik di sekolah-sekolah telah memiliki tempat yang sah dalam kurikulum
persekolahan dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan politik sebagai syarat mutlak
menjadi warga negara yang lebih dewasa”.
Di Indonesia pendidikan politik yang diberikan di persekolahan dilakukan melalui
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini tercantum dalam misi Pendidikan
Kewarganegaraan yang baru yakni sebagai pendidikan politik. Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki program pendidikan untuk memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat
kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran politik (political awareness), serta
kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi.
Dalam bentuk pendidikan nonformal, pendidikan politik dapat dilakukan oleh partai
politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan politik yang
dilakukan partai politik merupakan sebuah kewajiban karena salah satu ciri berjalannya
fungsi partai politik sebagai media pendidikan politik. Berfungsinya partai politik sebagai
media pendidikan politik merupakan tahap lanjutan bahkan tingkat akhir dari proses
pendidikan politik di persekolahan. Partai politik dapat dijadikan tempat setiap warga negara
untuk mengaplikasikan ilmu politik yang diperoleh sebagai perwujudan partisipasi politik.
Sedangkan secara informal pendidikan politik dapat dilakukan dalam keluarga dan
lingkungan, diantaranya memberikan contoh keteladanan. Secara nonformal dapat dilakukan
oleh partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan
(ormas).
Dengan
demikian
bentuk-bentuk
penyelenggaraan
pendidikan
politik
dapat
dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah melalui partai politik
dan organisasi kemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan politik yang terbagi ke dalam
tiga jalur tidak menghilangkan esensi dari tujuan pendidikan politik itu sendiri yakni
meningkatkan kemelekan politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik yang tinggi.
Sesungguhnya komponen pokok dari proses pendidikan politik bukan terletak pada
bentuknya, akan tetapi yang lebih pokok adalah substansi dari proses pendidikan politik
tersebut yang meliputi materi dan kurikulum pendidikan politik.
B. Tradisi Politik Pesantren
1.
Landasan Etik Politik Islam
Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya aqidah, syariah, dan akhlak
mempunyai korelasi yang erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi
masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik.
Implementasinya kemudian diatur dalam rumusan syari’ah sebagai katalog lengkap dari
perintah dan larangan Alloh SWT, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek
kehidupan manusia.
Islam dan politik mempunyai titik singgung yang kuat bila keduanya dipahami
sebagai sarana untuk menata hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan
sebagai ‘kedok” dan “alat legitimasi’ terhadap kekuasaan dan dipahami sebagai sarana
perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan. Politik yang hanya dipahami demikian pada
akhirnya akan mengaburkan makna dan menutup kontribusi Islam terhadap dunia politik.
Dengan demikian Islam perlu dijadikan sebagai sumber inspirasi cultural dan kerangka
paradigmatic dalam pemikiran politik.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, Islam belum mampu meletakkan sistem religiopolitiknya sebagai kekuatan pembebas atau pengatur pranata sosial yang mapan. Islam
cenderung berperan sebagai sumber ideologis untuk menjustifikasi kemapanan sebuah
kekuasaan (status quo).
Pemikiran politik Islam sebagai hasil sistematisasi ajaran-ajaran Islam dan tradisitradisi kaum muslimin di bidang politik muncul sejalan dengan kepesatan Islam keluar
jazirah Arab. Ekspansi ini menimbulkan masalah-masalah baru tentang cara pengaturan
negara, di samping konsekuensi logis munculnya kelompok-kelompok kepentingan (political
interest groups). Kelompok-kelompok ini baik yang berbasis sosial budaya atau sosial
keagamaan tertentu (mazhab) merasa ikut memberi kontribusi dalam proses jihad fisabilillah.
Data historis menyebutkan fenomena persaingan-persaingan kelompok pemikiran keagamaan
baik mazhab pemikiran kalam maupun dalam merebut pengaruh dan patronase dengan
penguasa.
Polarisasi pemikiran politik dalam Islam tampaknya lebih disebabkan oleh perbedaan
dalam menafsirkan teks-teks normative agama, disamping perbedaan-perbedaan basis sosial
budaya yang melingkupinya. Perbedaan itu sangat wajar karena Islam tidak secara eksplisit
memberikan suatu formulisasi bagi sistem kenegaraan yang baku dan harus diikuti oleh
seluruh umat Islam. Perhatian utama Al-Qur’an adalah memberikan landasan etik bagi
terbangunnya sistem politik yang didasarkan pada prinsip tegaknya masyarakat yang
berkeadilan dan bermoral. Oleh karena itu modal dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah
sesuatu yang tidak dapat diubah karena ia senantiasa terikat dengan perubahan dimensi ruang
dan waktu.
Salah satu isu yang kontroversial dalam sejarah pemikiran politik Islam mengenai
teori khilafah atau imamah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, masyarakat Islam yang
masih
baru
mengalami
kekosongan
pemerintahan
dihadapkan
pada suatu
krisis
konstitusional, yaitu mengenai bagaimana mekanisme pemilihan kepala negara untuk
menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai pemimpin komunitas Islam.
Dalam konteks yang demikian ini, Al-Qur’an dan Al-Sunah tidak memberikan
ketentuan yang jelas tentang mekanisme suksesi, bentuk pemerintahan dan lembaga politik
lainnya. Informasi yang ada hanya bersifat global tentang garis-garis besar bagaimana suatu
masyarakat harus dibentuk. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Al-Qur’an ataupun AlSunah tidak memberikan suatu teori atau sistem politik yang baku sebagai pedoman
masyarakat muslim? Paling tidak ada dua alasan pokok yang mendasarinya. Pertama, AlQur’an bukanlah sebuah kitab politik. Kedua, sudah merupakan kenyataan sejarah
(sunnatullah) bahwa institusi-institusi sosial politik dan organisasi yang dibentuk manusia
akan mengalami perubahan.
Dari sini dapat dimengerti bahwa diamnya Al-Qur’an dalam masalah ini memberikan
suatu jaminan dan sengaja member peluang bagi umat Islam untuk melakukan kajian-kajian
dalam memformulasikan sistem politiknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Landasan
etik dari bangunan politik Islam adalah nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kemerdekaan.
Dari perspektif ini, suatu negara bisa dikatakan bercorak Islam manakala mampu
menerjemahkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam tatanan politik praktis
tanpa harus mempertanyakan bentuk dan sistem politik apa yang harus dibangun.
Oleh karena itu mengkaji pemikiran politik dan sistem ketatanegaraannya dalam
Islam harus diorientasikan pada upaya menerjemahkan cita-cita politik Islam dengan cara
membuat format dan sistem politik yang sesuai dengan etika Al-Qur’an. Pada level
perumusan formulasi sistem politik inilah sesungguhnya yang menjadi fokus perdebatan di
kalangan pemikir muslim dari zaman klasik sampai pemikir muslim kontemporer.
2.
Islam dan Wawasan Politik
Salah satu karakteristik syariah Islam adalah cakupannya. Tidak ada satu pun dalam
kehidupan yang tidak ada hukumnya dalam syariah. Oleh karena itu, dalam teks-teks AlQur’an kita dapat menemukan hukum-hukum ibadah, aqidah (teologi), akhlak dan muamalah
dalam maknanya yang luas yang mengatur hubungan timbal balik manusia, baik sebagai
individu maupun makhluk sosial. Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan
persoalan keagamaan yang bersifat ritual saja. Lebih dari itu, Islam merupakan sistem ajaran
yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia.
Dari kajian tentang Al-Qur’an dan karir Nabi Muhammad selama ke-Rasul-annya,
disimpulkan bahwa Islam dan wawasan kekuasaan (politik) harus disinari oleh wawasan
moral sebagai salah satu indicator iman dalam konteks sosial dan realitas sejarah. Al-Qur’an
telah menegaskan bahwa, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku adalah untuk Allah pemelihara alam semesta”. Menurut ayat ini, shalat di masjid,
berjualan di pasar, atau berbicara tentang masalah pembatasan masa jabatan presiden di
parlemen tidaklah ditempatkan pada kategori dikhotomis antara ibadah dan kerja sekuler.
Oleh karena itu agama tidak bisa dipisahkan dari politik dan politik harus disinari oleh nilai
moral.
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam telah diberi tauladannya oleh
Rasulullah setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah (Al-Madinah, kota parexcellence). Dari
nama yang dipilih oleh Nabi sebagai kota hijrahnya, menunjukkan rencana Nabi dalam
rangka mengemban misi suci dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya
tinggi yang kemudian menghasilkan suatu entetitas sosial politik sebuah negara. Negara
Madinah yang dipimpin oleh Nabi adalah model bagi hubungan antara agama dan negara
dalam Islam.
Risalah Al-Qur’an adalah untuk member petunjuk kepada manusia termasuk dalam
kapasitasnya sebagai makhluk politik. Maka agar kita mendapat gambaran yang memadai
tentang petunjuk Al-Qur’an yang telah beroperasi dalam kenyataan sejarah, kita perlu
mempelajari secara ringkas karir sejarah Nabi Muhammad, baik periode Mekkah maupun
Madinah. Pada periode Mekkah, Nabi tidak mempunyai kekuasaan politik untuk menyokong
misi kenabiannya, sementara di Madinah Nabi berperan sebagai kepala politik.
Kerangka dasar pemikiran politik dalam Islam banyak diintrodusir oleh nash, baik AlQur’an maupun Al-Hadist terutama nash-nash yang berkaitan dengan konsep musyawarah
(syura), keadilan (‘adalah), dan perjuangan melawan agresi. Pada umumnya konsep-konsep
ini jarang tersentuh pada pembahasan kitab fiqih karena aksetuansi kitab fiqih lebih banyak
pada aspek ibadah, mu’amalah dan jinayat. Oleh karena itu, maka kajian pada wilayah politik
ini membuka kita untuk melakukan entellectual exercise (ijtihad) yang didasarkan pada
penalaran manusia dan menjadi wilayah ijtihadiyyah. Prinsip syura dalam Islam
sesungguhnya mengidealkan suatu sistem sosial politik sebagai manifestasi dari egaliter dan
penegakkan nilai demokrasi.
Dalam Islam mendirikan institusi politik (imamah) adalah bagian tugas keagamaan,
rangka membumikan ajaran Islam dalam kerangka kehidupan sosial. Persoalannya kemudian
adalah bagaimana sistem politik dijalankan. Diantara refleksi tauhid dalam kehidupan
bermasyarakat adalah tumbuhnya sikap egaliter. Sikap ini akan dapat tercermin dan menjadi
sistem nilai manakala teori-teori tentang keunggulan ras, suku bangsa, dan keturunan
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam Islam negara dipandang sebagai instrument bagi tegaknya syariah dan ia bukan
eksistensi dari agama. Persoalannya kemudian, kenapa Islam tidak memberikan suatu sistem
politik yang baku dan sistematis sehingga dapat dijadikan srandar dan berlaku universal bagi
dunia Islam. Dalam hal ini ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, Al-Qur’an
pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia, ia bukanlah kita ilmu hukum atau politik.
Kedua, sudah menjadi kenyataan sejarah manusia bahwa institusi politik dan organisasi
manusia akan selalu berubah seiring dengan dinamika perubahan masyarakat. Oleh karena
itu, diamnya Al-Qur’an dalam konteks ini justru memberikan ruang gerak bagi munculnya
pemikiran-pemikiran baru dengan didasarkan pada kerangka etik Al-Qur’an.
Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak tertarik pada teori tertentu tentang bentuk dan
sistem politik tertentu. Perhatian utama Al-Qur’an adalah agar masyarakat ditegaskan atas
nilai-nilai keadilan dan moralitas. Konsekuensinya adalah model dari ketatanegaraan Islam
bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah tetapi ia senantiasa terikat dengan perubahan,
modifikasi, dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan tempat. Untuk membumikan nilainilai etika Al-Qur’an dalam kerangka kehidupan dan menjadi sistem sosial maka negara
menjadi alat untuk mengorganisasikan dan menggerakkannya. Tanpa dukungan otoritas
politik, syariah tidak akan tegak maksimal.
C. Kultur Pesantren
Anwar dan Matahari (2000:3) berpendapat, bahwa:
“Secara kultural lembaga pondok pesantren telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai
kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur kyai,
santri, dan perangkat fisiknya biasanya menunjukkan iklim yang senantiasa dikelilingi
oleh kultur yang bersifat religious keislaman. Proses keterpaduan dalam pesantren
antara belajar, beribadah, dan bekerja merupakan proses keterpaduan dalam
melaksanakan hakekat hidup manusia yang sudah diamalkan oleh santri”.
Perlu dibedakan antara kultur pesantren dengan pesantren kultural. Kultur pesantren
adalah kultur atau budaya yang eksis sebagaimana adanya dan terjadi di suatu pesantren
tertentu berdasarkan khas nilai-nilai keislaman, yaitu yang berlandaskan ajaran Islam.
Sedangkan pesantren kultural adalah kehidupan pesantren yang lebih menitikberatkan atau
mengedepankan kultur atau budaya sehingga pesantren itu eksis dalam menjalankan fungsi
dan perannya.
Apabila meninjau pendapat di atas maka secara eksplisit pesantren itu merupa
kan
lembaga yang berperan serta dalam aspek kebudayaan di masyarakat, yaitu dalam
membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa
tumbuh dan berkembang. Kultur pesantren menurut pendapat di atas lebih menekankan
kepada iklim yang senantiasa bersifat religious keislaman. Pendapat tersebut memang benar
karena dalam pesantren terdapat budaya yang melekat (inhern). Biasanya budaya yang
dikembangkannya berbeda-beda sesuai dengan latar belakang historisnya, kondisi masyarakat
setempat, dan dengan faktor kedekatannya dengan budaya masyarakat, misalnya antara
pesantren di daerah Sunda memiliki kultur dan tradisi yang berbeda dengan pesantren di
daerah Jawa. Walaupun demikian setiap pesantren memiliki kesamaan khas kultural, yaitu
terdapat pewarisan nilai-nilai lama yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama Islam.
D. Tinjauan tentang Kiai
1.
Pengertian Kiai
Menurut Dhofier Z (2000:55) asal-usul perkataan Kiai dalam bahasa jawa dipakai
untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
a.
b.
c.
Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
umpamanya, “Kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang
ada di keratin.
Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang
alim (orang yang dalam pengetahun Islamnya).
Adapun penggolongan pengertian kiai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
Perlu ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan umat Islam
disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
ulama yang memimpin pesantren disebut Kiai. Namun di zaman sekarang banyak ulama yang
cukup berpengaruh di masyarakat mendapat gelar Kiai juga walaupun mereka tidak
memimpin pesantren. Gelar kiai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok
Islam tradisional.
Pendapat lain tentang definisi kiai dikemukakan oleh Turmudi, bahwa Kiai adalah
orang yang diyakini penduduk desa mempunyai otoritas yang sangat besar dan kharismatik.
Hal ini karena kiai adalah orang suci yang dianugerahi berkah.
2.
Kategori Kiai
Kiai dalam menjalankan perannya sebagai pengembang agama Islam dapat
dikategorikan menjadi beberapa macam diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Turmudi
E (2004:32) ada beberapa kategori kiai, yaitu Kiai pesantren, Kiai tarekat, Kiai politik, dan
Kiai panggung sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka dalam pengembangan Islam.
Kemudian Turmudi E (2004:32) mengungkapkan lebih lanjut tentang kategori kiai,
bahwa dari empat kategori tersebut kekiaian dapat dibagi menjadi dua kategori yang lebih
besar dalam kaitannya dengan para pengikutnya. Kategori pertama adalah kiai yang
mempunyai pengikut yang lebih banyak dan pengaruh yang lebih luas daripada kiai yang
masuk kategori kedua. Pengaruh kiai yang masuk kategori pertama menyebar ke seluruh
daerah. Kategori yang pertama ini terdiri dari kiai pesantren dan kiai tarekat.
Kiai pesantren memusatkan perhatiannya pada mengajar di pesantren untuk
meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. Hubungan antara santri dengan
kiai menyebabkan keluarga santri secara tidak langsung menjadi pengikut sang kiai. Ketika
orangtua mengirimkan anak-anaknya kepada seorang kiai maka secara tidak langsung mereka
juga mengakui bahwa kiai itu adalah orang yang patut untuk diikuti dan seorang pelajar yang
tepat untuk mengembangkan pengetahuan Islam.
Santri adalah sumber pendukung lain bagi kiai pesantren. Santri tidak saja penting
bagi eksistensi pesantren tetapi juga menjadi sumber yang menjamin eksistensinya di masa
mendatang. Selain itu santri adalah sumber jaringan yang menghubungkan satu pesantren
dengan pesantren lainnya. Mereka yang menyelesaikan pendidikan di suatu pesantren dan
kemudian menjadi kiai maka mereka juga membangun jaringan yang menghubungkan antara
mereka dengan kiai pesantren di mana mereka nyantri atau dengan penggantinya yang
melanjutkan kepemimpinan di pesantren.
Kiai tarekat memusatkan kegiatan mereka dalam membangun batin (dunia hati) umat
Islam. Tarekat adalah sebuah lembaga formal dan para pengikut kiai tarekat merupakan
anggota formal gerakan tarekat. Jumlah pengikut ini bisa lebih banyak daripada pengikut kiai
pesantren karena melalui cabang-cabang di berbagai kota di Indonesia para anggota tarekat
secara otomatis menjadi pengikut kiai tarekat.
Kategori kedua terdiri dari kiai panggung dan kiai politik. Kiai panggung adalah para
dai. Mereka menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui kegiatan dakwah. Seorang kiai
panggung mempunyai pengikut dari berbagai daerah namun demikian hal itu jarang terjadi
karena hanya kiai panggung yang popular saja yang biasa diundang memberikan ceramah di
daerah lain. Kebanyakan kiai panggung bersifat local dalam arti hanya dikenal oleh umat
Islam di daerahnya saja. Sementara itu kiai politik lebih merupakan kategori campuran. Ia
merujuk pada kiai yang mempunyai concern untuk mengembangkan aliran Islam secara
politis.
3.
Peran Kiai
Ciri budaya pesantren yang bersifat komunal menempatkan figur kiai sebagai
pencetus gagasan dan penjaga tradisi keagamaan. Karena itu, Gertz menyebut kiai sebagai
cultural broker yang berfungsi menyampaikan informasi-informasi baru dari lingkungan
yang dianggap baik dan membuang informasi-informasi yang dianggap kurang baik atau
menyesatkan komunitas pesantren.
Sukamto (1996:6) memaparkan tentang peran kiai, bahwa berdasarkan penelitian
Horikhosi, kiai adalah figur yang berperan sebagai penyaring informasi dalam memacu
perubahan di dalam pondok pesantren dan sekitarnya.
Peran dalam kedudukan kiai di atas adalah pemegang pesantren yang menawarkan
agenda perubahan sosial keagamaan, baik yang menyangkut masalah interpretasi agama
dalam kehidupan sosial maupun perilaku keagamaan santri yang kemudian menjadi rujukan
masyarakat.
Selain peran kiai yang telah disebutkan di atas, Sukamto (1999:7) juga memaparkan
peran kiai yang lain, yaitu “Kiai berperan dalam melakukan sosialisasi budaya baru melalui
berbagai kegiatan dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada. Karena itu penerimaan
budaya baru sangat bergantung atas keberhasilan kiai dalam melakukan akulturasi budaya”.
Penelitian Jackson berkaitan dengan fungsi tokoh masyarakat atau kewibawaan
tradisional seorang tokoh dalam mendominasi aktivitas politik masyarakat, di mana
keikutsertaan masyarakat dalam politik disebabkan oleh pengaruh posisi tokoh tradisional
yang senantiasa dipatuhi orang-orang Sunda. Peranan tokoh tradisional sangat besar dalam
mempengaruhi komunitas Sunda untuk melakukan pemberontakan atau perlawanan terhadap
penjajah. Kekuatan hubungan kewibawaan tradisional dalam kehidupan masyarakat
dibuktikan oleh adanya kepatuhan dan keikutsertaan masyarakat di bidang politik sesuai
dengan pilihan politik yang ditentukan oleh kalangan orangtua atau tokoh masyarakat.
Jackson mengklasifikasikan bentuk hubungan masyarakat, di satu sisi sebagian kelompok
masyarakat menduduki status sosial yang tinggi atau superior, terdiri atas tokoh masyarakat
informal maupun formal, para orangtua, dan sesepuh desa. Kelompok ini menjadi panutan
masyarakat dan menentukan corak kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, kelompok yang
jumlahnya lebih besar terdiri atas anggota masyarakat secara keseluruhan dan kalangan muda
yang menduduki posisi status sosial lebih rendah atau subordinat. Afiliasi pilihan politik
kelas subordinat ditentukan dan mengikuti kelas superior. Ikatan-ikatan sosial yang terjalin
dalam komunitas membentuk suatu pengaruh kewibawaan tradisional dengan kehidupan
sosial politik masyarakat.
Para kiai membentuk jaringan kerja sampai tingkat desa dalam melakukan
transformasi keagamaan. Karena itu para pemimpin formal yang terdiri dari kepala desa dam
pamong desa hampir semua merupakan kepanjangan dari peranan kiai atau ulama dan
pengaruh kepala desa tidak terlepas dari pengaruh kiai. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sukamto (1999:9) tentang fungsi kiai, yaitu “Fungsi kiai tidak hanya sebagai ahli ilmu
keagamaan yang sikap dan tindakannya dijadikan rujukan masyarakat melainkan juga
menjadi pimpinan masyarakat yang sering kali dimintai pertimbangan dalam menjaga
stabilitas keamanan desa”.
Kiai khususnya yang memimpin pesantren mempunyai posisi yang lebih terhormat.
Hal ini telah menjadikannya sebagai pemimpin dalam masyarakat dan kepemimpinannya
juga tidak terbatas pada wilayah agama tetapi meluas pada wilayah politik. Keberhasilannya
dalam peran-peran kepemimpinan ini menjadikannya semakin kelihatan sebagai orang
berpengaruh yang dengan mudah dapat menggerakkan aksi sosial. Oleh karena itu kiai telah
lama menjadi elit yang sangat kuat.
Hukum agama Islam tidak hanya mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan
tetapi juga hampir semua hubungan sosial dan personal sehingga dengan demikian
memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada para kiai dalam masyarakat. Masyarakat
mempercayakan kepada kiai bimbingan dan keputusan-keputusan tentang hak milik,
perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya, itulah sebabnya pengaruh mereka sangat
kuat. Dibarengi dengan sikap enggan mereka terhadap urusan-urusan kenegaraan maka
pengaruh mereka yang sangat besar itu memberikan pula kekuasaan moral yang luar biasa
dan mempersembahkan kepada mereka kedudukan sebagai suatu kelompok intelektual yang
menonjol.
Para kiai yang memimpin pesantren besar telah berhasil memperluas pengaruh
mereka di seluruh wilayah negara dan sebagai hasilnya mereka diterima sebagai bagian dari
elite nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak diantara mereka yang diangkat menjadi
menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.
4.
Tipe Kepemimpinan Kiai
Kepemimpinan kiai sering diidentikan dengan sebutan kepemimpinan kharismatik
sekalipun telah lahir pemetaan kedudukan dan fungsi dalam struktur organisasi pondok
pesantren. Berkaitan dengan figure kharismatik ini, Sartono Kartodirjo (1999:21) yang
dikutip oleh Sukamto mengatakan bahwa “Kiai-kiai pondok pesantren dulu dan sekarang
merupakan sosok penting yang dapat membentuk kehidupan sosial cultural dan keagamaan
warga muslim Indonesia”.
Pengaruh kiai sendiri terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih
di pondok pesantren saja melainkan juga pengaruh itu tetap berlaku dalam kurun waktu yang
panjang bahkan seumur hidup.
Mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengarahkan perilaku orang lain
guna mencapai tujuan mempunyai makna bahwa kepemimpinan memerankan fungsi penting
sebagai pelopor dalam menetapkan struktur kelompok, keadaan kelompok, ideologi
kelompok, pola dan kegiatan kelompoknya. Sukamto (1999:22-24) membagi kepemimpinan
menjadi tiga cara pandang yang berbeda, yaitu:
“Pertama, kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam
diri individu atas orang-perorangan. Kedua, bentuk kepemimpinan terletak bukan
pada diri kekuasaan individu melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang
individu. Ketiga, kepemimpinan bersumber pada kepercayaan yang telah mapan
terhadap kesakralan tradisi kuno”.
Untuk lebih jelasnya tentang kepemimpinan di atas dipaparkan di bawah ini: Pertama,
kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atas
orang-perorangan. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu
“penampilan berkuasa” dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai sesuatu
yang harus diikuti (sang individu dianggap mendapat anugerah kekuasaan luar biasa).
Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat bimbingan wahyu, memiliki
kualitas yang sacral dan menghimpun massa dari masyarakat kebanyakan.
Menurut Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa
disebut kepemimpinan charisma atau charismatic authority. Kepemimpinan jenis ini
didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain. Makna identifikasi
adalah keterlibatan emosional seorang individu dengan individu lain yang akhirnya nasib
orang itu berkaitan dengan nasib orang lain. Bagi para pengikut, pimpinan adalah harapan
untuk suatu kehidupan yang lebih baik. Dia adalah penyelamat dan pelindung. Kedua, bentuk
kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu melainkan dalam jabatan atau
status yang dipegang individu. Menurut Max Weber kekuasaan yang bersandar pada tata
urutan disebut legal authority.
Otoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggungjawab pemimpin
dalam mengendalikan organisasi tidak ditentukan oleh penampilan kepribadian dari individu
melainkan
dari
prosedur
aturan
yang
telah
disepakati.
Unsur-unsur
emosional
dikesampingkan dan diganti unsur rasional.
Ketiga, kepemimpinan bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap
kesakralan tradisi kuno. Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang
lama dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam menjalankan berbagai tradisi.
Kepemimpinan kharismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh
seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat ideologis karena untuk mengidentifikasi
daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang harus dengan menggunakan asumsi
bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian yang dimiliki adalah merupakan anugerah
Tuhan.
5.
Tradisi Hubungan Kiai-Santri
Kharisma yang dimiliki oleh para kiai menyebabkan mereka menduduki posisi
kepemimpinan dalam lingkungannya. Selain sebagai pemimpin agama dan pemimpin
masyarakat desa, kiai juga memimpin sebuah pondok pesantren tempat di mana ia tinggal. Di
lingkungan pondok pesantren inilah kiai tidak saja diakui sebagai guru pengajar pengetahuan
agama tetapi juga dianggap oleh santri sebagai seorang bapak atau orangtuanya sendiri.
Sebagai seorang bapak yang luas jangkauan pengaruhnya kepada semua santri menempatkan
kiai sebagai seorang yang disegani, dihormati, dipatuhi, dan menjadi sumber petunjuk ilmu
pengetahuan bagi santri.
Kedudukan kiai seperti itu sesungguhnya merupakan patron, tempat bergantung para
santri. Hubungan santri dan kiai apalagi dilandasi dengan pembenaran ajaran agama, seperti
hubungan murid-guru di lingkungan tarekat. Karena kewibawaan kiai, seorang murid tidak
pernah (enggan) membantah apa yang dilakukan kiai. Kedudukan santri sebagai client bagi
dirinya. Lajimnya kiai sebagai patron tidak saja terbatas pada kehidupan santri tetapi juga
warga masyarakat sekitarnya dan para orangtua santri. Keampuhan kiai selain ilmu agama
juga mahir dalam pengobatan, mempunyai kesaktian atau hal-hal lain yang dianggap luar
biasa sering memperkuat kedudukannya sebagai patron dalam masyarakatnya.
Hubungan pemimpin dan yang dipimpin dalam orientasi budaya seperti itu setidaknya
melahirkan hubungan kepemimpinan model patron-client relationship. Secara definitive,
James C. Scoot yang dikutip Sukamto (1999:78) menjelaskan hubungan patron-client sebagai
berikut:
“Hubungan timbal balik diantara dua orang dapat diartikan sebagai sebuah kasus
khusus yang melibatkan perkawanan secara luas, di mana individu yang satu memiliki status
sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber
yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada
individu lain yang memiliki status lebih rendah (klien). Dalam hal ini klien mempunyai
kewajiban membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk
pelayanan-pelayanan pribadi kepada patron.
Merujuk pada penjelasan Scoot di atas, peran patron dalam kehidupan kepemimpinan
di pondok pesantren dijalankan oleh kiai atau keluarga kiai. Seperti diungkapkan Dhofier,
bahwa kiai merupakan patron karena memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak dalam
mewarnai lembaga pondok pesantren. Tak satu pun melawan kiai apalagi santri di lingkungan
pesantren, kecuali kiai yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Dengan
sumber-sumber kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki berarti kiai secara normative
ditempatkan dalam status paling tinggi dari unsur-unsur lain yang ada di lingkungan pondok
pesantren.
Dari penjelasan ini tampak bahwa hubungan kiai sebagai patron dengan santri sebagai
klien diperkuat oleh sistem nilai yang melembaga, yaitu tradisi sami’na wa’atho’na
(mendengar dan menaati).
6.
Unsur-unsur Patron Klien
a. Kiai
Kiai adalah orang yang memiliki lembaga pondok pesantren dan menguasai
pengetahuan agama serta secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama.
b. Santri
Istilah santri ditujukan kepada orang yang sedang menuntun pengetahuan agama di
pondok pesantren. Para santri menuntut pengetahuan agama kepada para kiai dan mereka
bertempat tinggal di pondok pesantren. Karena posisi santri seperti ini maka kedudukan
dalam komunitas pesantren menempati status sosial subordinat sedangkan kiai menempati
posisi superdinat.
Menurut Zamakshari D yang dikutip oleh Sukamto (1999:102), istilah santri terbagi
menjadi dua pengertian yang berbeda, yaitu santri mukim dan santri kalong. Pengertian
secara lughowi, mukim adalah orang yang bertempat tinggal di suatu tempat. Istilah ini
kemudian berkembang menjadi istilah santri mukim, yaitu santri yang menetap di pondok
pesantren dalam kurun waktu yang relative lama dan berasal dari daerah jauh.
Sedangkan istilah santri kalong mempunyai arti bahwa santri yang bersangkutan tidak
menetap di pondok pesantren. Mereka pergi ke pondok pesantren dan pulang ke rumah dalam
sehari dan begitu pula pada hari-hari berikutnya mereka tidak menginap di pondok. Disebut
kalong karena mereka diibaratkan seperti binatang kelelawar yang pada waktu siang hari
tinggal di sarang dan pada malam hari mereka mencari makan.
c.
Khadam
Istilah khadam mempunyai arti sikap rendah diri seorang ulama akan keterbatasan
ilmu yang dimiliki. Hubungan khadam dan kiai bersifat vertical. Kedudukan kiai berada di
posisi atas dan khadam berada di posisi bawah. Hubungan keduanya dapat diibaratkan
sebagai majikan dengan buruh meskipun berbeda karakter.
d. Guru/Ustadz
Istilah ustadz lebih khusus lagi berlaku di pesantren dengan sebutan sebagai ahli ilmu
agama yang dipercaya kiai. Mereka membantu para santri dalam memahami kitab dan
membaca Al-Qur’an secara benar. Ustadz adalah wakil kiai dalam mengajarkan pebgetahuan
agama di pondok pesantren bila kiai tidak dapat melakukan tugas dan kewajibannya.
Berikut ilustrasi tentang hubungan antar unsur-unsur pendukung kekuasaan kiai
dalam mengembangkan ikatan-ikatan sosial budaya.
Gambar 2.2 : Ilustrasi tentang hubungan antar unsur-unsur pendukung
kekuasaan kiai dalam mengembangkan ikatan-ikatan sosial budaya
KIAI
SANTRI
KHADAM
GURU /
USTADZ
Kesimpulan yang dapat ditarik dari sketsa ini adalah bahwa kiai memiliki tiga unsur
pendukung kekuasaan yang selalu dipertahankan di pondok pesantren, yaitu santri, khadam,
dan ustadz. Santri merupakan unsur dalam komunitas pesantren karena selain jumlahnya
besar juga sebutan santri dirujuk dari istilah pesantren. Kiai dapat menyampaikan perintahperintah secara langsung berupa fatwa, pengajian, wejangan, dan pengumuman tertulis
kepada ketiga unsure tanpa ada hambatan. Di pondok pesantren hanya kiai yang memiliki
posisi yang tertinggi. Kiai adalah sumber pengetahuan agama, santri memperoleh
pengetahuan dari kegiatan mengaji atau melihat perilaku keagamaan sehari-hari dalam
kehidupan pondok pesantren. Dalam melestarikan tradisi-tradisi kepercayaan, kiai
mempercayakan ustadz menjadi wakilnya untuk melakukan transformasi pengetahuan.
Seorang ustadz pada awalnya mentransfer ilmu-ilmu keagamaan dari kiai dan kemudian
menyampaikannya kepada santri. Proses transformasi pengetahuan dan perilaku keagamaan
ini memakan waktu yang cukup lama sehingga akhirnya membentuk tradisi keilmuan pondok
pesantren.
7.
Hubungan Kiai-Masyarakat
Hubungan kiai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi keagamaan yang membuat
kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma yang menyertai aksi-aksi kiai juga
menjadikan hubungan penuh emosi. Alasan tersebut didukung oleh pendapat cf Horiskoshi
yang dikutip oleh Turmudi E (2004:97) yang menyatakan bahwa:
“Karena kiai telah menjadi penolong bagi para penduduk dalam memecahkan
masalah-masalah mereka yang tidak hanya terbatas pada masalah spiritual tetapi juga
mencakup aspek kehidupan yang lebih luas, maka para penduduk juga menganggap
kiai sebagai pemimpin dan wakil mereka dalam sistem nasional”.
Keberhasilannya dalam menunjukkan peran penting tersebut diungkapkan oleh Geertz
(1962:238) yang menyatakan sebagai berikut: “….mengarah secara hampir tak terelakan pada
penempatannya tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi juga
sebagai kekuatan suci itu sendiri”.
Di bawah kondisi-kondisi seperti ini, kiai di Jawa mempunyai pengaruh yang sangat
kuat dalam masyarakat dan memainkan peran krusial dalam menggerakkan aksi-aksi sosial
dan bahkan politik. Posisi dan peran pentingnya juga tidak hanya terbatas pada masyarakat di
bawah saja, seperti dapat dilihat dalam NU khususnya ketika ia merupakan organisasi politik
yang mempunyai berbagai macam anggota termasuk para intelektual dan politisi
professional. Hal ini senada dengan pendapat Samson (1978:201) yang menyatakan, bahwa
“Persetujuan kiai dapat menjamin dukungan masyarakat pada sebuah partai politik karena
kiai pada umumnya diyakini sejak lama menggunakan kekuasaan secara sah karena mereka
melakukannya demi Tuhan”.
Hubungan antara kiai dengan masyarakat mirip dengan hubungan antara ulama atau
orang suci dalam masyarakat dunia Islam lain. Kemiripan ini mungkin disebabkan oleh
kenyataan bahwa umat Islam sama-sama menerima konsep dan pengalaman keagamaan yang
menciptakan gaya kepemimpinan yang sama. Gagasan yang mempengaruhi terbentuknya
pola-pola ini ditemukan dalam ajaran Islam. Posisi terhormat kiai pada dasarnya berasal dari
fatwa bahwa Islam menekankan pentingnya pengetahuan yang harus dikejar oleh semua umat
Islam. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits selalu ditekankan bahwa mencari ilmu adalah bagian
penting dari kehidupan umat Islam dan bahwa seorang muslim yang berpengetahuan
mempunyai status yang lebih tinggi di hadapan Alloh SWT. Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa konsep ini mendorong umat Islam untuk mencari pengetahuan. Oleh karenanya
memiliki keingintahuan akademik menjadi bagian dari kewajiban seorang muslim dan
mereka yang berhasil memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan itu akan dihargai oleh
masyarakat. Pandangan ini melahirkan sebuah budaya yang menghargai ulama karena ia
adalah orang yang memperoleh pengetahuan seperti itu.
8.
Hubungan Kiai-Penguasa
Baik kiai maupun pemerintah mempunyai kekuasaan dalam hubungannya dengan
masyarakat. Mereka menggunakan kekuasaannya ini untuk saling menawar dan mendapat
keuntungan. Dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi
tindakan sosial politik masyarakat. Hal ini karena mereka menduduki posisi sebagai
legitimator keagamaan dan umat Islam seperti di Indonesia membutuhkan legitimasi kiai
untuk melakukan hal-hal duniawi mereka. Pandangan kiai dan pemerintah yang berbeda
sering kali menyulut situasi dimana hubungan mereka ditandai oleh disharmonisasi dan
bahkan ketegangan. Di Indonesia ketegangan ini biasanya terjadi karena pemerintah
membutuhkan kiai untuk memperoleh dukungan politik dari umat Islam. Selain itu
pemerintah juga memerlukan legitimasi kiai atas kebijakan-kebijakannya yang bersentuhan
dengan persoalan agama.
Para kiai telah memegang posisi penting sejak kedatangan Islam di Indonesia. Sejak
pembentukan kerajaan Islam pada masa-masa awal Indonesia, beberapa kiai terkenal sudah
terlibat dalam masalah-masalah pemerintahan. Namun demikian hubungan antara kiai dan
pemerintah Indonesia mengalami fluktualisasi. Pandangan-pandangan yang mendasari
hubungan ini kebanyakan berasal dari ulama salaf. Bagi kebanyakan dari mereka bergabung
dengan pemerintah selalu dipandang secara negative. Pada saat itu ada pandangan umum
bahwa menjadi bagian dari pemerintah adalah tidak baik karena jika ini terjadi orang akan
masuk pada hal-hal secara agama kurang bisa diterima. Meski demikian, garis antara ‘dapat
diterima’ dan ‘tidak dapat diterima’ tidak ditetapkan secara jelas. Akibatnya kiai manapun
yang benar-benar mendekati pemerintah akan menjadi sasaran gosip dan cemooh sebagai kiai
keceng.
Oleh karena hubungan antara kiai dan masyarakat telah lama terlembagakan melalui
norma-norma patron klien, pemerintah menyadari posisi kiai yang begitu menentukan dalam
mempengaruhi tidakan sosial politik masyarakat serta dalam membimbing mereka untuk
menerima langkah-langkah tertentu. Pemerintah lantas coba memasukkan kiai dalam
mesinnya dengan mendirikan sebuah lembaga formal yang disebut Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dari tingkat Kecamatan hingga tingkat nasional. Tujuan awal lembaga ini adalah untuk
menjembatani kesenjangan antara pemerintah di satu sisi dengan umat Islam di sisi lain.
Akan tetapi secara praktis lembaga ini sering dikritik karena menjadi alat pemerintah untuk
melegitimasi program-programnya. Namun demikian hanya sejumlah kecil saja kiai yang
mau direkrut ke dalam badan milik pemerintah ini, mayoritas mereka bersikap independen.
E. Pesantren dan Pendidikan Politik
Pendidikan politik di Indonesia secara edukatif merupakan upaya yang sistematis
untuk memantapkan kesadaran politik dan bernegara untuk menjaga kelestarian Pancasila dan
UUD 1945. Jadi, pendidikan politik disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat
serta yang menjadi landasan moral bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam Instruksi Presiden
Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Bagi Generasai Muda sebagai berikut:
Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha
untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna
menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai budaya
bangsa.
Perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik dilakukan secara
sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap individu. Dalam
proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif diyakini dan
dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1993:3) menyatakan pendapatnya
“Pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses dimana
individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai unsur yang
penting dari konsep dirinya”. Proses internalisasi nilai-nilai ini menjadi kekuatan pendidikan
politik yang memberi makna bahwa pendidikan dan politik itu saling bertautan.
Salah satu tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia adalah budaya politik
Islam. Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada suatu
keyakinan dan nilai agama tertentu, dalam hal ini tentu saja agama Islam. Agama Islam di
Indonesia menjadi agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Islam menjadi salah satu
budaya politik yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi politik yang
mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun
negeri ini.
Politik budaya Islam biasanya dipelopori oleh salah satu kelompok masyarakat yang
biasa disebut sebagai kelompok santri. Kelompok santri adalah kelompok kelompok
masyarakat yang identik dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok
masyarakat ini, dapat kita klasifikasikan lagi menjadi dua, yaitu tradisional dan modern.
Kelompok tradisional biasanya diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Sementara yang modern biasanya diwakili oleh masyarakat santri
yang berasal dari organisasi Muhammadiyah. Perbedaan karakter Islam ini juga turut
melahirkan perbedaan pilihan politik. Ini membuat budaya politik Islam menjadi tidak satu
warna. Pada masa lalu, kelompok santri biasanya berafiliansi pada partai seperti Masyumi
dan partai NU. Kedua partai ini memiliki basis pada kelompok masyarakat Islam.
Pendidikan politik harus diajarkan secara komprehensif di lingkungan pesantren.
Pendidikan kewarganegaraan yang menjelaskan hak-hak dan kewajiban warga negara harus
kembali diajarkan sehingga proses demokrasi yang dilangsungkan benar-benar menjadi ajang
pembelajaran, bukan pembodohan terhadap rakyat. Kalangan pesantren, selain mengajarkan
ilmu politik melalui Adab al-Dunya wa al-Din dan Ahkam al-Sulthaniyya, juga perlu
memahami secara baik ilmu politik Barat yang dianut Indonesia.
Pesantren sangat perlu melakukan kajian kritis atas pasang surutnya politik pada era
daulat-daulat Islam, terutama Muawiyah dan Abbasiyah. Santri dapat mengkaji bagaimana
ilmu pengetahuan bisa mencapai puncaknya berkat suksesnya kepemimpinan politik dua
dinasti itu. Sebaliknya, santri akan mengerti pula bagaimana puncak-puncak peradaban itu
hancur oleh ambisi-ambisi kekuasaan. Dari kajian ilmu politik ini akan diketahui bahwa batas
antara agama dan politik sangatlah tipis. Dengan begitu, santri akan mampu mengkritisi
klaim-klaim keagamaan (keislaman) yang dijual para politisi mutakhir.
Dengan pendidikan politik yang terstruktur itu, pesantren sejak awal bisa membagibagi peran. Kepada santri yang berniat menjadi politisi, pesantren membekalinya dengan
etika berpolitik. Sementara santri yang memilih jalur keilmuan bisa memahami permainan
dunia politik sehingga tidak mudah diperdaya oleh broker politik. Kepada santri yang ingin
berdagang, pesantren bisa mengajarkan kiat-kiat bisnis serta aturan, hukum, dan perundangan
di dunia bisnis saat ini. Dari praktik dagang Nabi Muhammad SAW, kejujurannya itulah
yang patut diteladani. Adapun untuk terjun di dunia bisnis mutakhir, santri harus berbekal
ilmu ekonomi mutakhir pula.
Mengubah kurikulum, menambah atau mengurangi bukan perkara mudah. Di sekolah
formal, hal itu berkaitan dengan proses birokrasi yang berbelit. Sementara di pesantren,
problemnya adalah tantangan untuk merombak konvensi, wasiat, dan tradisi yang sudah
terlanjur disakralkan. Dibandingkan dengan sekolah formal, pesantren mempunyai peluang
yang lebih terbuka. Untuk memasukkan mata pelajaran ilmu politik, pesantren hanya
memerlukan izin ajengan atau dewan ustadz. Pilihan pada ilmu politik ini karena real life saat
ini menuntut kalangan pesantren untuk segera melek politik agar tidak selalu menjadi bulanbulanan permainan para politisi.
Untuk mewujudkan pendidikan ilmu politik itu, ada beberapa tahap yang dapat dilalui
kalangan pesantren. Pertama, sharing (membagi) gagasan antarpengasuh pesantren yang
sudah terorganisasi dalam asosiasi pesantren. Pesantren saat ini terkotak dalam berbagai
organisasi sesuai dengan afiliasi organisasi massa, partai politik, atau aliran Islam yang
dianutnya. Dari sharing awal ini akan dihasilkan beberapa rancangan, yaitu materi
(kurikulum), pengajar, dana belajar-mengajar, jenjang usia santri, termasuk dampak yang
akan timbul akibat penerapan pelajaran baru ini.
Kedua, para pengasuh yang sudah sepakat itu mengadakan pertemuan. Mereka
membawakan bahan (kertas kerja) yang dipresentasikan dalam forum sesuai dengan sudut
pandang yang disepakati sebelumnya. Sebagai pembanding, bisa dihadirkan pakar ilmu
politik dan politisi yang dianggap kapabel serta kredibel. Dalam forum ini, rancangan dalam
sharing gagasan dimatangkan sampai siap untuk diaplikasikan.
Ketiga, memilih satu-dua pesantren sebagai proyek rintisan. Menilik kemampuan
sarana dan prasarana yang dimiliki, tidak mungkin menerapkan kurikulum itu secara
langsung di semua pesantren yang mengikuti pertemuan. Ke pesantren terpilih inilah secara
periodik pesantren lainnya mengirimkan santri untuk belajar ilmu politik.
Maka dengan adanya pembelajaran ilmu politik ini pesantren secara sadar
memandang perlunya santri mengerti dunia politik. Dengan pilihan itu, pesantren
membuktikan diri tidak setengah-setengah dalam membimbing santri. Santri diberi wawasan
seluas-luasnya dalam berbagai bidang kajian. Trauma masa lalu biarlah berlalu seiring
dengan perjalanan waktu. Sebab, jika membiarkan santri sekadar menjadi bobotoh partai
politik atau politisi tertentu, hal itu akan menghasilkan sejarah yang lebih pahit lagi. Dengan
inovasi ini, tidak berlebihan jika pesantren di masa depan diprediksikan akan sangat
menentukan kehidupan di tengah masyarakat.
F. Pengembangan Budaya Politik Pesantren
Pada dasarnya kondisi kehidupan yang dibentuk atau terjadi dalam suatu komunitas
masyarakat tentunya diwarnai budaya-budaya yang sudah ada. Budaya melalui kompleksitas
nilai-nilainya akan bersentuhan, baik dengan individu maupun dengan kelompok. Begitu juga
sebaliknya kondisi dan situasi baru dalam masyarakat bisa juga memberikan corak dan warna
bagi kebudayaan yang sudah ada sehingga muncul budaya baru. Kondisi demikian
merupakan dinamika cultural dalam masyarakat sebagai konsekuensi tarik ulurnya faktor
manusia sebagai pelaku budaya dengan aspek-aspek kehidupannya, termasuk di dalamnya
aspek religi, ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan.
Pembahasan tentang pengembangan budaya politik pesantren tentunya harus ditinjau
dari perkembangan masyarakat pesantren itu sendiri. Antara politik-lembaga politik dengan
masyarakat. Perkembangan masyarakat erat kaitannya dengan bagaimana konsepsi pemikiran
dan perilakunya yang ditunjukkan dalam politik.
Dilihat dari tingkah laku atau perilaku politik masyarakat, sebagaimana dikemukakan
oleh David E. Apter (1996:210), bahwa:
“Perhatian utama paham tingkah laku terletak pada hubungan antara pengetahuan
politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat
politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang menyadari
peristiwa-peristiwa politik. Kategori-kategori pemikiran seperti itu biasanya dianggap
sebagai ideologi atau sistem kepercayaan yang menciptakan pola-pola tingkah laku
yang penuh makna”…. Pendekatan behavioral memperhitungkan factor-faktor
sosialisasi, cara kita menginternalisir nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang
berlaku, cara perubahan-perubahan pandangan yang terjadi”.
Berdasarkan pendapat tersebut, penekanan utama adanya perkembangan budaya
politik masyarakat pesantren tentunya harus ditinjau dari sistem kepercayaan atau keyakinan
(ideologi) masyarakat itu sendiri dan kaitannya dengan perilaku politiknya. Sistem keyakinan
politik tentunya memiliki kaitan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat itu sendiri.
Karena itu dalam penguatan politik termasuk lembaga politik di dalamnya harus
dipertimbangkan pula kekuatan sosial yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan Samuel P. Huntington (2003:12), bahwa:
“Dalam praktek perbedaan antara suatu lembaga politik dengan kekuatan sosial bukan
merupakan perbedaan yang tegas. Banyak kelompok dapat menggabungkan beberapa
ciri khas kedua bentuk tersebut. Namun bagaimana pun secara teoritis perbedaan
antara kedua kelompok itu cukup jelas. Semua orang yang melibatkan diri di dalam
suatu tindakan politik dapat diasumsikan bahwa mereka adalah juga anggota berbagai
kelompok sosial. Tingkat pembangunan politik yang dapat dicapai oleh suatu
masyarakat sebagian besar tergantung dari sejauh mana orang-orang yang aktif
berkecimpung di bidang politik itu termasuk juga di dalam mengidentifikasikan
dirinya dengan berbagai lembaga politik”.
Ditinjau dari arah pengembangan budaya politik pesantren, memang pesantren bukan
merupakan lembaga politik sebagaimana dijumpai dalam struktur politik. Tetapi
bagaimanapun dalam kaitannya dengan politik kenegaraan, tentunya pesantren itu tidak
mungkin dapat menarik diri dari dinamika politik yang terjadi. Dengan demikian adanya
preseden bahwa pesantren sebagai lembaga non-politik atau memiliki kiprah secara aktif di
bidang politik pun termasuk satu bukti bahwa pesantren dengan independensinya yang
otonom harus mampu mengimbangi dinamika masyarakat, terutama dalam bidang politik
yang sedang dan akan terjadi.
Secara historis pesantren telah memberikan peranan sangat berarti bagi proses
pendewasaan berpikir masyarakat, bahkan menjadi garda terdepan dalam menentang sistem
kolonialisme di Indonesia. Ketika penjajahan terjadi, solidaritas kalangan penduduk termasuk
kalangan Islam-pesantren di dalamnya telah mampu mengusir dan menghantam penjajah dan
kebodohan sehingga mencapai puncak kemerdekaan. Dalam hal ini sebagaimana
dikemukakan Manfred Ziemek (1986:188), sebagai berikut:
“Berbeda dengan abad ke-18 dan 19, ketika pesantren menjadi basis revolusi politik,
dimana dikorbankan semangat terhadap tekanan sosial tumbuh di kalangan penduduk
pedesaan, yang menjadi bebas dalam luapan kekerasan, sudah dalam bagian pertama
abad ini jawaban dari Islam politik atas penindasan colonial amat lebih rasional dan
efektif. Dikonsentrasikan dalam gerakan-gerakan sosial dan politik, potensi-potensi
Islam itu tidak hanya sanggup membangun dalam sistem sekolah pribumi terhadap
sistem sekolah colonial, melainkan juga dalam perjuangan militer dan politik
merupakan sumbangan yang menentukan untuk mencapai kemerdekaan”.
Berdasarkan pendapat tersebut, penulis sependapat bahwa pada dasarnya adanya
gerakan-gerakan sosial dan politik Islam (pesantren) apabila dilihat dari potensi-potensi yang
dimilikinya akan sangat menentukan dinamika politik yang terjadi. Interpretasi kemerdekaan
di atas tidak hanya diartikan sebagai secara sempit, yaitu hanya terbebas dari kemelut
penjajahan kolonialisme tetapi kemerdekaan sebenarnya, termasuk dalam mengisi
kemerdekaan dewasa ini. Alasannya didasarkan pada kenyataan bahwa pesantren merupakan
lembaga yang menunjukkan eksistensinya, baik sebelum kemerdekaan negara dicapai
maupun setelah merdeka.
Pesantren dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan masyarakat yang terjadi, lebih
lanjut menurut Manfred Ziemek (1986:188):
“Bilamana pesantren ingin memelihara komponen-komponen terpenting dari
identitasnya (pendidikan pemimpin masyarakat Muslim, pemeliharaan sistem nilai
dan dengan demikian perkembangan selanjutnya dari tradisi Islam), haruslah
diberikan jawaban baru atas pengaruh-pengaruh luar yang kuat, yang merubah
kehidupan masyarakat”.
Apabila penulis tinjau dari pendapat Ziemek di atas, beliau melihat kehidupan
pesantren (budaya pesantren) sebagai sesuatu yang dinamis. Pendapat tersebut menempatkan
“memberikan jawaban baru terhadap pengaruh luar” menunjukkan identitas pesantren dengan
segala kelengkapannya komponen-komponennya itu harus mampu relevan dengan kondisi
masyarakat. Walaupun demikian tentunya jangan sampai identitas pesantren ini menjadi
semu atau hilang karena elasitiasnya dalam beradaptasi dengan masyarakat, tetapi tingkat
elasitas itu justru menjadi fondasi dalam menciptakan budaya yang benar-benar menjadi
sentral tauladan untuk masyarakat.
Pesantren ditinjau dari peranan politik kemasyarakatannya, menurut Manfred Ziemek
(1986:191), sebagai berikut:
“Pesantren sehubungan dengan peranan politik kemasyarakatannya berada dalam
tatanan hubungan yang mempunyai tiga komponen, yaitu: pesantren dan atau kyai,
masyarakat dan kelembagaan negara (pemerintah daerah/lingkungan instansi
negara)….dalam ikatan segitiga ini untuk membedakan tiga macam proses: proses
keputusan politik, komunikasi dan pelaksanaan program. Dengan demikian dapat
lebih dibedakan bidang tegangan politik di lingkungan yang untuk pengamanan
selanjutnya dianggap relevan…”
Kedekatan hubungan pesantren dengan masyarakat dalam peranannya di kehidupan
masyarakat, lembaga pesantren ini merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan. Dalam
pola hubungannya tentunya pesantren memiliki andil besar termasuk dalam proses keputusan
politik. Dilihat dari statusnya, pesantren bukan merupakan lembaga dalam infrastruktur
politik, tetapi hanya sebagai suprastruktur politik yang berada di luar kelompok kepentingan
atau juga kelompok penekan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pesantren itu lebih
otonom dalam membangun komunikasi baik dengan pemerintah maupun dengan masyarakat
dan lembaga lainnya.
Akan tetapi permasalahannya yang berkembang di masyarakat timbulnya preseden
negatif, bahwa pesantren termasuk santri di dalamnya itu seringkali dijadikan onderbouw
kendaraan politik tertentu dan mudah tergiur untuk membackup kiai sebagai orang yang
berpengaruh. Terlebih budaya politik yang berkembang di pesantren dianggap budaya
paternalistic, yaitu sebagai politik manut atau taklid buta. Asumsi atau preseden buruk
tersebut sangat kontradiktif dengan pendapat Ziemek (1986:193) yang mengemukakan,
bahwa:
“Berdasarkan pandangan para kyai maka pesantren membentuk dasar dan alat dari
politik kemasyarakatannya. Akan tetapi para kyai tidak dapat secara mutlak atau
otonom melaksanakan pengaruhnya. Mereka harus mempertimbangkan pandangan
dari tokoh-tokoh pimpinan lainnya dalam pesantren dan seraya berada dalam ikatan
tradisi, turut menentukan aliran politik dan pandangan duniawi. Terlebih jelas adalah
perluasan proses pengambilan keputusan dalam pesantren yang didukung oleh sebuah
Yayasan…. Ikatan tradisional sebagai dasar pandangan duniawi bersama dalam hal
itu ditunjukkan sebagai contoh dengan mematuhi fatwa-fatwa yang diucapkan oleh
para ulama yang terhormat, atau warisan rohaniah dari para kyai pendiri, yang lama
setelah ia meninggal tetap menjadi inspirasi sehingga tetap langgeng dan dihormati”.
Berdasarkan pendapat tersebut maka secara eksplisit disebutkan bahwa atas kyai tidak
dijalankan mutlak, tetapi didasarkan pada pertimbangan para pemimpin pesantren lainnya.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan Ziemek, bahwa dengan adanya tradisi yang
digunakan di pesantren itu merupakan salah satu pengukur normatif yang dapat ditempuh
dalam menentukan aliran politik dan pandangan terhadap kondisi duniawi. Dengan demikian
keputusan santri terhadap consensus ulama atau para pemimpin pesantren bukan merupakan
harga mati pandangan berikutnya tetapi hanya sebuah pelanggengan tradisi. Keadaan tersebut
sama dengan yang dikemukakan Ziemek (1986:193-194), sebagai berikut:
“Selanjutnya dalam hal keputusan-keputusan tentang rencana kemasyarakatan harus
memperhatikan pendapat rakyat desa, demikian juga pendapat pemimpin formal dan
informal. Karena kemufakatan tradisional dan sebagai hasil partisipasi sukarela dari
penduduk pada pelaksanaan program hanya dapat dicapai bilamana keputusankeputusan dibuat, yang semua peserta dapat mengidentifikasikan diri
dengannya”….dengan demikian kegiatan-kegiatan kemasyarakatan pesantren berada
dalam suatu bidang tegangan antara kepentingan sendiri, tugas pendidikan keagamaan
dan kecakapan untuk memobilisasi loyalitas dari penduduk pedesaan”.
Berdasarkan pendapat di atas, peletak dasar adanya kesolidan yang mungkin
menunjukkan warna yang sama memiliki alasan yang sangan kuat. Dalam terminology
budaya politik, kondisi demikian tidak menjadi permasalahan selama masih berada dalam
suatu keseimbangan antara kepentingan pribadi, tugas pendidikan keagamaan, dan kecakapan
untuk memobilisasi loyalitas dari penduduk pedesaan.
Selain dari kajian terhadap tradisi kepatuhan santri dan masyarakat pesantren terhadap
kiai yang menjadi dasar pertimbangan kita menurut penulis adalah seberapa kuat dasar
rasionalitas dan emosi yang dimiliki masyarakat pesantren itu dalam menentukan sikap, cara
berpikir, dan tindakan politik tersebut.
Tentang kedekatan emosi atau ikatan moral yang terjadi di pesantren kaitannya
dengan tindakan politik dikemukakan Jackson dan Moeliono yang dikutif Manfred Ziemek
(1986:194):
“Dalam penyelidikan mereka mengenai mekanisme pengaruh otoritas tradisional
dalam situasi-situasi ketegangan politik di Jawa Barat, ikatan-ikatan moral dan pribadi
antara pemimpin dan pengikut tradisional menentukan tingkat sosial kemasyarakatan.
Ikatan sosial dan pribadi ini mengandung kewajiban moril atau hutang budi seorang
anak buah yang diwajibkan terhadap bapak. Sekali terbentuk hubungan antara bapak
dan anak buah mengandung arti emosional dan praktis bagi kedua belah pihak.
Kewajiban moril yang diikuti oleh hutang budi dapat dimobilisasi untuk aksi politik
dan malaham untuk tindak kekerasan politik walaupun hampir tanpa ada petunjuk
terhadap isi ideologi dari pertentangan itu”.
Berdasarkan pendapat tersebut, penulis melihat bahwa interpretasi Jackson dan
Moeliono di atas berkenaan dengan factor pola hubungan yang dibentuk antara kiai dengan
santri. Permasalahan yang menjadi focus kajian dalam hal itu bukan tentang kekentalan atau
kedekatan emosi antara kiai dengan santrinya yang diinterpretasikan Jackson dan Moeliono
sebagai “hutang budi seorang anak buah yang diwajibkan terhadap bapaknya”, tetapi tentang
bagaimana pola hubungan , termasuk komunikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Apabila pola hubungan yang dilakukan cenderung searah, yaitu secara sepihak memposisikan
santri sebagai yang dirugikan tentunya keseimbangan dalam sistem budaya pesantren itu
belum tercapai. Artinya kepatuhan tersebut hanya didasarkan atas tradisi yang keliru dan
dapat dikatakan sebagai non-ideologis, tetapi hanya merupakan cikal entropi cultural
pesantren karena tidak menempatkan pesantren sebagai lembaga yang independen atau
mandiri dalam eksistensi budayanya.
Pendapat Ziemek juga tidak membatasi pesantren sebagai lembaga stagnan dalam
kaitannya dengan kondisi sosial-kemasyarakatan. Beliau melihat pesantren itu sebagai
lembaga yang dinamis. Menurut Ziemek (1986:197):
“Kebanyakan pesantren termasuk tradisional yang khusu mengajarkan agama dan
terutama mengarah pada para santri yang berdiam dalam pondok. Namun di sini
masih terdapat proses reformasi yang luas, yang menuju pada ilmu pendidikan
kemasyarakatan yang lebih kuat. Ini adalah hasil kesadaran baru yang diperluas:
• Bagi peranan politik kemasyarakatan pesantren dalam masyarakat di
lingkungannya;
• Bagi keharusan perkembangan selanjutnya dari sistem nilai Islam dan
sehubungan dengan itu pemahaman ilmu pendidikan keagamaan sebagai
konsekuensi perubahan sosial budaya yang cepat;
• Bagi peranan ilmu pendidikan yang berkonsentrasi kemasyarakatan, dipahami
sebagai proses interaksi antara tempat pendidikan desa dengan masyarakat
sekelilingnya”.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa peran pesantren erat sekali dengan pendidikan
yang terjadi. Dalam hal ini penulis sependapat bahwa kondisi yang tidak rigid pesantren
sebagai institusi dapat dicapai apabila pola pendidikan yang dikemas menempatkan faktor
kesadaran masyarakat sebagai hal yang sangat penting sehingga santri diorientasikan dan
memiliki orientasi baik ke dalam pesantren itu sendiri maupun ke dalam kehidupan
masyarakat di luar pesantren.
Manfred Ziemek (1986:239) berpendapat, bahwa sikap dasar konservatif dan
individualistis para kiai dengan interpretasi mereka yang khas mengenai masalah agama,
sosial, dan politik pada mulanya menghambat kerjasama yang lebih erat dan diterimanya
pembaharuan. Di lain pihak, sifat-sifat baik yang seringkali terdapat pada mereka, seperti
toleransi, keterbukaan, kesediaan dalam diskusi mempertimbangkan pikiran baru, dapat
menyebabkan adanya fleksibilitas. Karena itu kiai berorientasi pada nasehat tokoh-tokoh
yang mereka terima sebagai yang berwenang dalam hal agama, maka pikiran baru akan
relative cepat diterima jika ada seorang pemimpin terkemuka dengan memiliki charisma di
bidang ini, dapat diyakinkan akan kebenaran suatu perencanaan. Loyalitas terhadap seorang
kiai yang diakui sebagai senior adalah demikian besar sehingga seorang ulama yang begitu
muda menuruti nasehatnya bagi suatu perintah. Dari sanalah demi kelanjutan perkembangan
dan terbukanya kesempatan kegiatan pesantren, dapat terjadi efek-efek bola salju”….loyalitas
agama dan politik seringkali mempercepat dalam suatu “ikatan-kiai” pembaharuan, akan
tetapi di lain pihak menghambat pula komunikasi dengan warga-warga pesantren yang tidak
termasuk ikatan tersebut.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, Devi Andriana dalam skripsi sarjana SI-nya
(2007:93-94) mengutif pendapat Abdurrahman Wahid sebagaimana dikutif Manfred Ziemek
(1986:253), mengemukakan tentang masalah-masalah penting yang harus dipecahkan apabila
ingin mempertahankan dan membangun peranan pesantren dalam perkembangan selanjutnya
di Indonesia, sebagai berikut:
1. Bagaimana pesantren menyesuaikan dirinya dengan kenyataan bahwa sistem
sekolah modern tak terhindarkan dalam jangka panjang, dengan implikasiimplikasi besar bagi pesantren sendiri (hubungan antara kyai dengan santri
pengembangan suatu sistem nilai yang baru dalam lingkungannya sendiri dan
sebagainya).
2. Bagaimana pesantren merencanakan untuk membiayai kegiatan-kegiatannya
sendiri, dalam bidang pendidikan maupun pelayanan sosial, sedangkan dalam
jangka jauh, memusatkan perhatian kepada pola pembiayaan sendiri di masa
mendatang.
3. Bagaimana pesantren menemukan cara pemecahan dilemma dasarnya kepada
kehidupannya walaupun kyai tidak tergantung kepada bantuan pemerintah,
pesantren masih lebih melayani golongan berpunya daripada yang tidak
berpunya, akibat ketergantungannya kepada bantuan-bantuan keuangan dari
lapisan atas masyarakat pedesaan (suatu dilemma yang dikenal sebagai hal
umum di lembaga-lembaga tradisional di dunia ketiga).
4. Bagaimana pesantren memahami implikasi stuktural dari peran serta rakyat
dalam pengembangan masyarakat dan bagaimana pesantren menanggapi
peranannya dalam proses tersebut.
5. Bagaimana pesantren merencanakan untuk membina sifat-sifat khas budaya
maupun kedudukan sosio-kulturalnya dalam kehidupan masyarakat dalam
rangka tanggapannya tentang peranannya sendiri dalam pengembangan
masyarakat.
Berdasarkan pendapat Wahid di atas, Devi Andriana mengemukakan pendapatnya
(2007:94-95), bahwa ia sepakat dengan argumen yang diajukan karena bagaimanapun
pesantren harus mampu menunjukkan kiprahnya, baik dalam skala kehidupan pesantren itu
sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan demikian pesantren akan lebih
menunjukkan eksistensinya sebagai tempat pendalaman ilmu-ilmu agama dan mampu
berkiprah sesuai dengan keaslian karakteristiknya dalam kehidupan masyarakat.
Apabila dihubungkan dengan masalah budaya berkaitan dengan pengembangan
budaya pesantren, penulis sependapat dengan Andriana (2007:95), bahwa kajian terhadap
permasalahan-permasalahan tersebut dapat difokuskan menjadi tiga prioritas. Pertama
mengenai kemandirian pesantren dalam berbudaya termasuk di dalamnya memberi arah
penyesuaian serta peka dengan perkembangan masyarakat dan mampu memfilterisasi
terhadap budaya negatif yang masuk. Permasalahan kedua tentang kemampuan kemandirian
dalam hal financial dan manajerialnya, tentunya pertimbangannya agar secara ekonomi
pesantren itu memiliki potensi untuk mensejahterakan masyarakatnya atau minimal orangorang di dalam pesantren, sehingga tidak selamanya tergantung kepada bantuan pihak lain
termasuk bantuan dari pemerintah. Kemudian permasalahan yang terakhir, pesantren
merencanakan untuk membina sifat-sifat khas keaslian budaya Indonesia maupun dalam
kedudukan sosio-kulturalnya dalam kehidupan masyarakat dalam rangka tanggapannya
tentang peranannya sendiri dalam pengembangan masyarakat.
Berbeda dengan pendapat Wahid yang lebih melihat pesantren sebagai lembaga yang
sangat potensial dalam terminology budaya atau sosio-kultural. Hasil penelitian Horikoshi
lebih menyoroti tentang aspek politiknya (budaya politik) berkenaan dengan masalah
kepemimpinan di pesantren. Sebagaimana dikutif oleh Manfred Ziemek (1986:194), bahwa
posisi yang menentukan dari pemimpin keagamaan tradisional juga berdasarkan berbagai
faktor sebagai berikut:
Kekayaan di atas rata-rata dalam bentuk pemilikan tanah dan pemanfaatan
tanah secara efisien yang mengikutsertakan penduduk pedesaan melalui
pengupahan dan penyewaan lahan.
Keunggulan intelektual, baik dalam pemanfaatan pengetahuan secular
maupun keagamaan.
Daya memimpin kharismatik dengan menerapkan kepintaran berpidato
mereka, demikian pula memanfaatkan loyalitas moral dan keagamaan.
Ikatan kekeluargaan atau hubungan keagamaan yang erat dengan keluargakeluarga pemimpin lainnya di lingkungan dan juga di tingkat wilayah.
Koneksi dengan instansi pemerintah di tingkat wilayah.
Mekanisme komunikasi keagamaan dan politik sendiri di tingkat wilayah.
Partisipasi pada pembentukan kehendak politik sentral dengan memasuki
partai Islam, pers, dan parlemen.
Berdasarkan pendapat tersebut, mengenai kemampuan pemimpin tradisional tersebut
selain memiliki keunggulan potensi sebagai individu dalam bidang finansial, intelektual serta
spiritual tentunya sangat cerdas dalam memainkan simbol-simbol politik sesuai dengan
perkembangan budaya masyarakatnya. Mengenai keunggulan yang dikemukakan di atas tidak
terdapat arah atau potensi kekuasaan yang didasarkan atas kekuatan fisik atau melalui caracara pemaksaan kehendak untuk menjadi pemimpin. Karakteristik yang khas adalah tentang
potensi kharismatis dan kedekatan emosi atau hubungan keagamaan dengan keluargakeluarga pemimpin lainnya.
Setiap masyarakat tentunya memiliki dinamika budaya dan politiknya. Berkaitan
dengan politik Islam, termasuk yang dikembangkan oleh pesantren tentunya konsepsi tentang
pengembangannya tidak lepas dari bagaimana langkah setting sosiokultural yang dilakukan
akan dihadapkan dengan kondisi riil sosiokultural itu sendiri.
Pembangunan budaya politik pesantren erat kaitannya dengan usaha bagaimana
menumbuhkan tingkat kemelekkan politik santri. Mengenai pentingnya kemelekkan politik
itu sebagaimana dikemukakan oleh Idrus Affandi (1996:27). Aspek pengetahuan seseorang
dapat diketahui dapat dikatakan melek politik apabila sekurang-kurangnya menguasai
tentang:
Informasi dasar tentang siapa pemegang kekuasaan, dari mana uang berasal,
bagaimana sebuah institusi bekerja.
Bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan.
Kemampuan memprediksi secara efektif bagaimana memutuskan sebuah isu.
Kemampuan mengenali tujuan kebijakan secara baik yang dapat dicapai ketika
isu (masalah) terpecahkan.
Kemampuan memahami pandangan orang lain dan pembenaran mereka
tentang tindakannya sendiri.
Untuk mengukur tinggi rendahnya kesadaran politik sangatlah sulit untuk diukur
secara kuantitaf, maka salah satu jalan yang ditempuh untuk mengukur tingkat kesadaran
politik tersebut yaitu dengan mengemukakan dan menggali indikator-indikator yang dapat
menunjukkan kecenderungan kesadaran politik warga negara.
Tentunya dalam hal ini peranan ulama dan santrinya sangat diperhitungkan dalam
keterlibatannya berkaitan dengan orientasi-orientasi dan perilaku politiknya. Peran ulama
dalam kehidupan dewasa ini sebagaimana dikemukakan Nanang Takik (2004:189) yang
dikutif oleh Andriana (2007:101), sebagai berikut:
“Dalam bahasa lain peran ini (ulama) disebut juga amar ma’ruf nahy munkar, yang
rinciannya meliputi tugas untuk: (1) menyebarkan dan mempertahankan ajaran-ajaran
dan nilai-nilai agama, (2) melakukan control dalam masyarakat (social control), (3)
memecahkan problem yang terjadi dalam masyarakat, dan (4) menjadi agen
perubahan sosial (agent of social change)…peran tersebut teraktualisasi sepanjang
sejarah Islam, meskipun bentuk dan kapasitasnya tidak selalu sama antara satu waktu
dengan lainnya dan antara satu tempat dengan lainnya. Hal ini tergantung pada
struktur sosial dan politik serta problem dihadapi oleh masyarakat Islam dimana
ulama itu berada….”
Peran ulama sebagaimana dikemukakan Nanang di atas berkaitan dengan posisinya
sebagai leader baik di pesantren maupun di masyarakat sekitar pesantren itu. Peran tersebut
memang harus mampu mengimbangi kondisi-kondisi yang terjadi termasuk memiliki
relevansi dengan kondisi sosial dan politik serta permasalahan yang terjadi.
Tentang keterlibatan ulama dalam politik, khususnya partai politik lebih lanjut
dikemukakan oleh Nanang Takik (2004:199) yang dikutif oleh Andriana (2007:102), sebagai
berikut:
“Keterlibatan ulama dalam partai-partai politik itu dengan sendirinya
menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu.
Memang hal ini bisa membawa dampak positif karena mereka akan dapat ikut
serta memberikan pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum.
Namun hal ini juga bisa membawa dampak negatif karena mereka kemudian
berupaya mempengaruhi umatnya untuk memilih partainya dengan cara
bijaksana dalam sistem dan budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan
ini, kini memang masih tampak perilaku politik yang belum dewasa, baik
dilakukan oleh para tokoh maupun oleh publik”.
Berdasarkan pendapat di atas, telah jelas bahwa segala sesuatunya memiliki dua sisi
seperti uang koin, sisi positif dan negatif begitu pula dalam hal berpolitik. Konsepsi politik
dalam Islam tidak dimaknai sebagai alat atau kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan
semata apalagi diorientasikan untuk dijalankan dengan penuh kesewenang-wenangan
(corrupt). Perlu diperhatikan bagaimana sistem politik itu mampu berjalan secara efektif
termasuk berkaitan dalam hal budaya masyarakatnya. Kedewasaan dalam berpolitik baik
dalam menentukan atau mengakomodir orientasi politik individu maupun orientasi kelompok
harus mampu menjadikan lahirnya genuine will (kemauan asli) ke dalam political will atau
kehendak politik bersama yang didasarkan untuk kemaslahatan umat. Kondisi demikian dapat
tercapai apabila budaya yang dikembangkan di pesantren itu menciptakan kemelekan politik
(political democracy) sehingga tertanam adanya penalaran, pengetahuan, pemahaman, serta
internalisasi nilai moral politik demokrasi.
Urgensi pendidikan politik dalam kaitannya dengan perilaku politik sebagaiman
dikemukakan Kartini Kartono (1989:4) yang dikutif oleh Devi Andriana (2007:103), bahwa
“pendidikan politik pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan orang dewasa”.
Karena itu para ulama termasuk santri diusahakan agar mempunyai kecakapan politik
sehingga dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan politik demokrasi dalam
membentuk tatanan sistem politik (political system). Langkah yang ditempuh dalam hal ini
adalah peningkatan pemahaman tentang budaya pesantren dan kaitannya dengan politik agar
mereka menjadi insan politik yang melek atau cakap politik. Peningkatan pemahaman
tersebut dapat ditempuh misalnya melalui pendidikan politik yang bertujuan agar mampu
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kemelekan politik sehingga mereka menjadi
cakap dalam tindakan politiknya. Dengan adanya perkembangan politik Islam sekarang ini
sesuai dengan dinamika yang terjadi tidak menjadikan politik Islam yang dijalankan oleh para
aktor politik, baik ulama maupun kalangan santri yang terjun dalam politik itu menyimpang
dari nilai-nilai Islam, termasuk nilai budaya pesantren. Percaturan politik Islam oleh kalangan
ulama maupun santri tidak diorientasikan sebagai langkah politik yang melahirkan polarisasi
diantara umat Islam itu sendiri karena bagaimanapun adanya konsepsi, orientasi, dan
tindakan politik Islam harus sanggup mengarungi dinamika politik dan dapat diterima oleh
masyarakat secara lebih luas.
Dalam kaitannya dengan keterlibatan ulama dalam berpolitik, Nanang Takik
(2004:200), berpendapat bahwa:
“Sementara itu para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap memiliki
peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan dari peran
pencerahan mereka terhadap umat. Peran ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh
para ulama, tetapi belum optimal. Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski
dengan jalan non-politik (political action in the non-political way), yang dilakukan
dalam kerangka melakukan amr ma’ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan
mencegah kemungkaran). Dengan komitmen kepada penegakkan etika-moral, mereka
bisa jadi pihak independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses
dan aktivitas politik yang berlangsung”.
Pendidikan politik bagi rakyat sangatlah penting karena secara prinsipil setiap warga
negara harus cakap berpolitik. Diperlukan pola pengembangan budaya yang mampu
menjembatani nilai-nilai budaya yang menunjukkan eksistensi realitas dalam dinamika serta
kondisi politik yang diharapkan.
Lebih lanjut tentang urgensi pendidikan politik dikemukakan Idrus Affandi
(1996:132) yang dikutif oleh Andriana (2007:104), bahwa:
“…pendidikan dengan indoktrinasi dipandang sudah kurang tepat karena dalam
banyak hal terbukti kurang memberi hasil sebagaimana diinginkan. Sementara itu
penyadaran politik lebih berorientasi pada tindakan-tindakan, yakni mempraktekkan
apa yang telah diketahui dan dipahami masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan politik yang efektif tidak
sekedar menambah pengetahuan, tetapi sampai pada tingkat pengambilan keputusan
dan tindakan…”
Urgensi pendidikan politik dalam meningkatkan pemahaman dan penyadaran akan
menggeser budaya politik parochial-kaula ke partisipan. Tentunya membutuhkan eksistensi
nilai-nilai budaya sehingga mencerminkan adanya moral politik-demokrasi. Dengan
demikian kesadaran akan pentingnya nilai-nilai yang melandasi pengetahuan, orientasi, dan
tindakan politik sangat dibutuhkan bagi setiap insan politik sehingga pomeo “Islam yes dan
Islam politik atau politik Islam no” atau berpolitik itu kotor ditepis dan dikikis dalam kultur
sebagian masyarakat terlebih dalam masyarakat pesantren.
Memang nilai budaya memiliki urgensi dan relevansinya dengan realita kehidupan
masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Berliana Kartakusumah (2006:35) yang dikutif
oleh Andriana (2007:105), bahwa:
“…dalam kehidupan manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar nilai-nilai,
yaitu (1) nilai-nilai dasar atau pokok (fundamental values), dan (2) nilai-nilai
tambahan (instrumental values). Nilai-nilai dasar adalah nilai-nilai yang memiliki
sifat mutlak, abadi, dan universal semisal nilai agama yang tertulis dalam kitab suci
maupun di dalam hukum alam semesta. Sedangkan nilai-nilai tambahan adalah nilainilai yang memiliki sifat berubah, terbatas, dan kontekstual. Kedua nilai tersebut di
dalam kehidupan manusia amat berpengaruh dan menentukan”.
Apabila pendapat di atas dihubungkan dengan nilai budaya tentu saja nilai budaya
politik terkait dengan fundamental values. Adanya nilai tambahan bukan berarti kontradiktif
dengan nilai universal tetapi sebagai tambahan dalam penjabaran untuk memperkuat
eksistensi nilai fundamental. Kondisi demikian apabila ditafsirkan dan diterapkan dalam
perilaku sosial akan menciptakan masyarakat yang tidak determinan (free will) tetapi
merupakan kesatuan yang terikat dalam tatanan nilai. Namun tantangannya adalah tentang
pola pendidikan dan penyadaran berpolitik yang diterapkan di masyarakat pesantren itu
berperan optimal, yaitu menempatkan santri sebagai agen perubahan, pembaharu, dan calon
pemimpin masa depan sebagai subjek politik yang aktif.
Download