Percampuran turbulen akibat pasang surut internal

advertisement
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas
Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan
temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan
jelas (Gambar 9). Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas (sigma
theta) masing-masing ulangan dapat dilihat pada Lampiran 1, 3, dan 5,
sedangkan profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas yang diperbesar
sampai tekanan 500 db dapat dilihat pada Lampiran 2, 4, dan 6. Berdasarkan
temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu
lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan
kolom perairan didasarkan pada gradien temperatur
dan densitas
(Thomson dan Fine, 2002; Montegut et al., 2004). Kolom perairan dikategorikan
sebagai lapisan permukaan tercampur jika
< 0,1oC dan
< 0,02 kg m-3,
sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat
> 0,1oC dan
> 0,02 kg m-3 (Weller dan Pleudemman, 1996; Kara et al.,
2000; Cisewski et al., 2005). Penentuan lapisan dalam didasarkan pada
pengamatan visual pada profil densitas dan temperatur dimana pada lapisan ini
densitas dan temperatur tidak menurun tajam terhadap kedalaman.
Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang
hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 21-71 db.
Lapisan paling tebal didapatkan pada ulangan 5-2 dan paling tipis pada ulangan
5-7 (Gambar 9a). Perbedaan ketebalan lapisan ini diduga dipengaruhi oleh
aktifitas gelombang internal di lokasi penelitian. Pada saat puncak gelombang
internal melewati kolom perairan, lapisan tercampur akan termampatkan dan
akan menjadi lebih tipis, namun lapisan tercampur akan menjadi lebih tebal bila
dilewati oleh lembah gelombang internal. Hal ini dijelaskan oleh Li et al. (2000)
bahwa gelombang internal merupakan salah satu penyebab perbedaan tingkat
ketebalan lapisan tercampur selain kecepatan tiupan angin. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan kecepatan tiupan angin memberikan kontribusi yang
kecil terhadap perbedaan ketebalan lapisan tercampur yang ditunjukkan dengan
korelasi linier cukup rendah (Gambar 10), walaupun dua data yang memiliki nilai
yang menyimpang diabaikan. Nilai korelasi yang rendah tersebut disebabkan
karena hubungan antara kecepatan angin dan ketebalan lapisan tercampur tidak
28
(a)
(b)
(c)
Gambar 9
Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat
Ombai.
29
2
R = 0.499
Kecepatan Angin (m/s)
12
10
8
6
4
2
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Ketebalan Lapisan Tercampur (m)
Gambar 10 Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan
tercampur
sepenuhnya berpola linier dan juga diduga karena pengukuran angin hanya
bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan selama proses pengambilan data oleh
sensor CTD, sedangkan pengaruh angin membutuhkan jeda waktu (time leg)
untuk memberikan efek terhadap ketebalan lapisan tercampur.
Hasil pengukuran CTD menunjukkan kisaran temperatur lapisan tercampur
antara 28,13-28,51oC. Kisaran temperatur ini lebih tinggi dibandingkan dengan
yang didapat oleh Ilahude dan Gordon (1996) pada saat musim timur (AgustusSeptember 1993) di Laut Flores, Laut Banda bagian barat dan Laut Timor yang
memiliki kisaran temperatur 26,10-27,50oC. Hal ini diduga karena terjadinya
anomali iklim seperti El Nino Southern Oscilaton (ENSO) yang akan
mempengaruhi transfer bahang dan transport Arlindo dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia (Sprintall et al., 2003; Gordon, 2005). Pada tahun 1993 terjadi
fase El Nino yang kuat (Gordon, 2005) sehingga jumlah bahang yang ditransfer
dari Samudera Pasifik juga melemah dan temperatur lapisan tercampur menjadi
lebih rendah dibandingkan tidak terjadinya El Nino.
Salinitas dan densitas di lapisan tercampur berkisar 33,393-33,476 psu dan
21,03-21,21 kg m-3 (Gambar 11). Salinitas yang rendah di lapisan ini diduga
akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas
permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. (2009)
dari
hasil
model
menjelaskan
lapisan
dekat
permukaan
Selat
Ombai
mendapatkan suplai air laut yang lebih tawar dari Laut Jawa yang mengalir ke
arah timur setelah tiga bulan dari pucak musim hujan (Maret) dan sisa-sisa
30
(a)
(b)
(c)
Gambar 11 Profil vertikal temperature (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang
diperbesar sampai tekanan 500 db.
31
salinitas air laut yang lebih tawar di dekat permukaan masih terlihat sampai bulan
Juli di Selat Ombai. Laut Jawa sendiri memiliki salinitas 31,000-32,000 psu pada
saat musim hujan (Soeriaatmadja, 1956; Wyritki, 1961; Petit et al., 1996;
Atmadipoera et al., 2009).
Lapisan termoklin terletak di bawah lapisan tercampur dan merupakan
lapisan dimana temperatur turun secara drastis terhadap kedalaman. Lapisan
termoklin di Selat Ombai memiliki rata-rata penurunan temperatur > 0,1oC per
satu meter. Lapisan termoklin ini memiliki tekanan yang hampir sama
(berhimpitan) dengan tekanan lapisan pycnocline (Gambar 9) dengan tekanan
berkisar antara 22–254 db. tekanan lapisan atas termoklin memiliki variasi antara
22–72 db (Gambar 11), perbedaan ini diduga karena adanya aktivitas gelombang
internal dimana letak lapisan atas termoklin akan lebih dangkal atau dalam jika
pucak atau lembah gelombang internal melewati kolom perairan. Gelombang
yang terjadi di Selat Ombai dibuktikan dengan profil arus komponen meridional
dari hasil pengukuran LADCP (Gambar 12) (Atmadipoera AS 23 Agustus 2011,
komunikasi pribadi). Hasil observasi yang mirip didapatkan oleh Antony et al.
(1985) dari satelit radar bahwa terdapat variasi kedalaman (tekanan) lapisan
termoklin di Teluk Bengal karena adanya aktivitas gelombang internal.
Gambar 12 Arus komponen meridional yang diukur dengan LADCP di Selat
Ombai. Warna merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak
ke utara dan biru sampai ungu ke arah selatan (Atmadipoera AS 23
Agustus 2011, komunikasi pribadi).
32
Pada Gambar 11 terlihat bahwa lapisan termoklin memiliki struktur mirip
dengan struktur step like terutama pada ulangan 5-2, 5-3, 5-4 dan 5-5 (Lampiran
2). Hal ini dijelaskan Matsuno et al. (2005) bahwa adanya struktur mirip struktur
step like pada lapisan termoklin disebabkan adanya proses percampuran
turbulen yang kuat sehingga struktur temperatur dan densitas di lapisan termoklin
tidak menurun tajam terhadap tekanan (kedalaman).
Salinitas dan densitas Selat Ombai pada lapisan termoklin menunjukkan
profil yang berlawanan dengan profil temperatur (Gambar 9), dimana pada
lapisan ini salinitas dan densitas perairan meningkat dengan tajam terhadap
tekanan. Kisaran salinitas dan densitas di lapisan termoklin masing-masing
adalah 33,406-34,545 psu dan 21,06-26,41(kg m-3). Nilai salinitas maksimum di
Selat Ombai hampir sama dengan yang didapatkan Ilahude dan Gordon (1996)
di Laut Flores (34,500 psu), namun lebih rendah dibandingkan yang didapat di
Selat Makassar (34,700 psu). Perbedaan salinitas ini disebabkan adanya
aktivitas percampuran yang kuat di Ambang Dewakang (Hatayama 2004)
sehingga massa air salinitas tinggi bercampur dengan massa air salinitas rendah.
Lapisan dalam merupakan lapisan paling bawah yang memiliki temperatur
paling rendah dan hampir homogen. Nilai temperatur, salinitas, dan densitas di
lapisan ini masing-masing berkisar antara 15,03–3,33oC; 34,615-34,494 psu; dan
27,55-25,61 kg m-3. Pada lapisan ini terjadi penurunan temperatur, namun
penurunannya tidak setajam seperti di lapisan termoklin (Gambar 9).
Pada
Gambar 9 terlihat bahwa lapisan dalam ulangan 5-6 (ditandai dengan garis biru)
terdapat pola temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan
dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di
lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat.
4.2
Massa Air yang Melewati Selat Ombai
Beberapa massa air yang melewati Selat Ombai dapat diketahui dari
diagram TS (Gambar 13) dan tabulasi karaktersitik setiap massa air dapat dilihat
pada Tabel 2. Pada Gambar 13 terlihat
salinitas dan densitas (
bahwa terdapat massa air dengan
) yang rendah serta temperatur yang tinggi
dibandingkan lapisan lainnya, yang mencirikan massa air lapisan tercampur
(Tabel 2). Massa air ini diduga sebagai sisa-sisa dari massa air Laut Jawa yang
memasuki Selat Ombai dan mulai bercampur dengan massa air salinitas tinggi
yang berasal dari Selat Makassar. Hal ini dijelaskan Atmadipoera et al. (2009)
33
Massa air
Laut Jawa
(a)
NPSW
NPIW
(b)
(c)
Gambar 13 Diagram TS di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010 (a). Tanda
panah dan kotak merah menunjukkan massa air yang terdeteksi.
Hasil pembesaran kotak merah pada Gambar (a) yaitu massa air
NPSW (b) dan NPIW (c).
Tabel 2 Karakter massa air yang melewati Selat Ombai
Jenis
Massa Air
Laut Jawa
Tekanan
(db)
1-63
Sifat Massa Air
Temperatur
Salinitas (psu)
Potensial (oC)
26,25-28,51
33,387-33,864
Densitas (sigma
theta) (kg m-3)
21,00-22,00
NPSW
118-198
15,45-21,35
34,364-34,541
24,00-25,50
NPIW
217-346
9,31-13,10
34,502-34,563
26,00-26,70
34
yang melakukan pemodelan dan memperoleh hasil bahwa lapisan permukaan
Selat Ombai mendapatkan suplai massa air densitas rendah dari massa air Laut
Jawa yang bergerak ke arah timur. Ditambahkan pula bahwa hasil pemodelan
menunjukkan pergerakan massa air Laut Jawa menuju Selat Ombai ini mencapai
puncak pada bulan Maret. Sisa-sisa massa air rendah di dekat permukaan masih
terlihat di bulan Juni-Juli meskipun sudah mulai melemah. Pengambilan data
CTD pada pelayaran INDOMIX 2010 berlangsung pada bulan Juli dengan hasil
salinitas dan densitas yang sesuai dengan pemodelan tersebut. Lebih lanjut,
Molcard et al. (2001) menemukan salinitas dekat permukaan perairan Selat
Ombai lebih rendah di awal bulan Mei pada program survei Java-Australia
Dynamics Experiment (JADE).
Pada Gambar 13 terlihat terdapat massa air dengan
24,50 (kg m-3) dan
salinitas 34,413-34,509 psu yang mencirikan lapisan termoklin atas, massa air ini
diduga merupakan massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) yang
mengalir melalui Arlindo ke Samudera Hindia. Pada lapisan termoklin bawah
ditemukan massa air dengan
26,50 (kg m-3) dan salinitas 34,514-34,537 psu
yang diduga adalah massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW). Hasil
yang sama didapatkan oleh Atmadipoera et al. (2009) bahwa massa air NPSW
dan NPIW dicirikan dengan
masing-masing 24,50 dan 26,50 (kg m-3).
Ditambahkan juga bahwa massa air NPSW dan NPIW ini dicirikan dengan
salinitas masing-masing sekitar 34,530 dan 34,470 psu pada jalur keluar Arlindo.
Pada saat memasuki Arlindo massa air NPSW memiliki salinitas yang
tinggi yaitu 34,900 psu (Atmadipoera et al., 2009 ), sedangkan hasil observasi di
Selat Makassar dan Laut Flores menunjukkan NPIW memiliki salinitas yang
rendah yaitu 34,400 psu (Ilahude dan Gordon, 1996). Pada penelitian ini
ditemukan salinitas NPSW menjadi lebih rendah dan salinitas NPIW menjadi
lebih tinggi (Tabel 2), hal ini diduga disebabkan oleh proses percampuran vertikal
yang kuat pada jalur Arlindo sehingga terjadi perubahan karakter massa air.
Hasil analisis pada diagram TS (Gambar 11) menunjukkan bahwa sinyal
massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat
lemah (tidak terdeteksi). Atmadipoera et al. (2009) menjelaskan bahwa massa air
SPSLTW dicirikan dengan
antara 26,00 dan 27,00 (kg m-3) serta salinitas
34,250 psu di jalur keluar Arlindo. Tidak terdeteksinya massa air ini diduga
disebabkan oleh adanya variasi musiman massa air Samudera Pasifik Selatan
yang masuk ke jalur Arlindo. Hal ini dijelaskan oleh Ilahude dan Gordon (1996)
35
massa air Samudera Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia dominan pada
saat bertiup Angin Muson Barat Laut dan melemah saat bertiup Angin Muson
Tenggara. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, mengingat pengambilan data
penelitian ini dilakukan pada bulan Juli saat bertiup Angin Muson Tenggara.
4.3
Stabilitas Statis
Hasil pehitungan nilai frekuensi Brunt Vaisala
untuk semua CTD di
Selat Ombai dapat dilihat pada Gambar 14. Profil vertikal
oleh profil vertikal temperatur dan
ulangan 5-9 memiliki nilai
sangat ditentukan
. Lapisan tercampur ulangan 5-1 sampai
yang yang hampir mendekati 0-0.0025 s-2. Nilai
di lapisan termoklin berkisar antara -7,2 x 10-4-4,8 x 10-3 s-2. Lapisan termoklin
memiliki nilai
yang paling tinggi dibandingkan dengan lapisan tercampur dan
lapisan dalam yang homogen. Lapisan dalam yang homogen memiliki nilai
berkisar antara -3,98 x 10-4–1,02 x 10-3 s-2. Profil
yang mirip dengan Gambar
14 didapatkan juga oleh Park et al. (2008) dan Lee et al. (2009) yang melakukan
penelitian masing-masing di Kerguelen Plateau dan Submarine Canyon, Taiwan.
Menurut Pond dan Pickard (1983) nilai
yang tinggi pada lapisan termoklin
disebabkan karena pada lapisan ini terdapat lapisan pycnocline yang merupakan
lapisan dimana gradien densitas meningkat secara tajam terhadap kedalaman
(tekanan). Dikatakan juga bahwa semakin tinggi nilai
pada suatu lapisan,
maka stabilitas statis (massa air densitas rendah di atas massa air densitas
tinggi) dari lapisan tersebut semakin besar, sebaliknya bila nilai
semakin
negatif maka kolom perairan semakin tidak stabil atau berada dalam kondisi
instabilitas statis. Hal ini mengindikasikan bahwa lapisan termoklin merupakan
lapisan yang paling stabil dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan
dalam yang hampir homogen.
Pada Gambar 14 terlihat bahwa lapisan dalam merupakan lapisan yang
memiliki tingkat kestabilan yang paling rendah, hal ini dindikasikan dengan
banyaknya
yang bersifat negatif. Pada lapisan dalam ulangan 5-2 (900-1300
db) dan ulangan 5-6 (1100-1400 db) terlihat bahwa massa air didominasi oleh
massa air dalam kondisi instabilitas statis (Gambar 14b dan 14f) dibandingkan
dengan ulangan lain (Gambar 14a, 14c, 14d, 14e, 14g, 14h, dan 14i). Profil
vertikal
ini memiliki keterkaitan yang erat dengan profil vertikal temperatur,
salinitas, dan densitas (Lampiran 1, 3 dan 5), dimana di lapisan dalam ulangan
36
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Gambar 14 Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan
temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4
(d), 5-5 (e), 5-6 (f), 5-7 (g), 5-8 (h), dan 5-9 (i).
37
5-2 dan 5-6 profil vertikal temperatur, salinitas dan densitas berbentuk zigzag dan
tidak beraturan (Gambar 9). Fenomena ini diduga akibat adanya aktivitas
gelombang internal yang sangat kuat sampai pada dasar perairan sehingga
terjadi proses pengadukan massa air di lapisan bawah.
4.4
Gelombang Internal
Hasil plot melintang data
selama 24 jam mengindikasikan adanya
rambatan gelombang internal (Gambar 15a). Pada Gambar 15a terlihat
gelombang internal terdapat pada lapisan interface antara lapisan tercampur
dengan lapisan termoklin yaitu pada garis isopycnal 22,00-25,00 kg m-3.
Dijelaskan oleh Garrett (2003) bahwa pada lapisan interface densitas tidak jauh
berbeda, dengan adanya gangguan sedikit saja (misalnya oleh arus yang
melewati ambang) menyebabkan massa air densitas tinggi mengalami
pemindahan ke massa air densitas rendah di bagian atas. Adanya osilasi massa
air yang mengalami displacement untuk mencari titik semula yang stabil
menyebabkan timbulnya gelombang internal di lapisan interface ini. Ditambahkan
Robertson dan Ffield (2005) bahwa Ambang Selat Ombai merupakan salah satu
penyebab timbulnya gelombang internal di Perairan Indonesia.
Gelombang internal yang terdeteksi di Selat Ombai merupakan gelombang
internal dengan periode pasut semidiurnal. Hal ini ditandai dengan terbentuknya
2 lembah dan 3 puncak gelombang yang ditunjukkan dengan anak panah pada
Gambar 15a. Periode gelombang internal pertama dan kedua hampir sama yaitu
masing-masing 9 jam 51 menit dan 9 jam 45 menit. Puncak gelombang internal
terdeteksi pada isopycnal 22,00 kg m-3 yang berada di tekanan sekitar 47, 52,
dan 57 db, sedangkan lembah gelombang berada di isopycnal 25,00 kg m -3 yang
terdeteksi di tekanan 162 dan 185 db. Keberadaan gelombang pasut internal
dengan periode semidiurnal di Selat Ombai sesuai dengan yang dapatkan oleh
Robertson dan Ffield (2005) bahwa perairan Indonesia umumnya didominasi
oleh pasut internal M2 (semidiurnal). Periode pasut internal ini hampir mirip
dengan prediksi pasut di Pelabuhan Dili (Gambar 15b) walaupun pada jam
08:00-11:00 tanggal 17 Juli 2010 terjadi sedikit penyimpangan pada isopycnal
22,00-26,00 kg m-3. Adanya time lag efek pasut pada lembah kedua
menyebabkan efek surut pada gelombang internal ulangan 5-5 jelas terlihat
memberikan pengaruh pada lapisan dalam ulangan 5-6.
38
(a)
Puncak 1
Lembah 2
Lembah 1
(b)
5-1
Puncak 3
Puncak 2
5-2
5-3
5-4
5-5
5-6
5-7 5-8 5-9
Gambar 15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan
puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a).
prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal 16-17 Juli 2010 (b).
Pada Gambar 15a terlihat perubahan tekanan garis isopycnal mengikuti
pola dari gelombang internal (kecuali pada garis isopycnal 26,00 kg m-3). Pada
saat pasang, garis isopycanal massa air di lapisan bawah akan terdorong
(terinduksi) ke tekanan yang lebih rendah (kedalaman yang lebih dangkal) (jelas
terlihat pada ulangan 5-4), namun sebaliknya pada saat surut garis isopycnal
massa air akan terdorong (tertekan) ke lapisan yang lebih dalam. Contoh efek
surut (lembah gelombang) paling jelas terlihat pada ulangan 5-2 dan 5-6 dimana
efek gelombang internal sampai di dekat dasar perairan. Adanya perubahan
garis isopycnal sesuai dengan pola gelombang internal menunjukkan bahwa efek
39
dari gelombang internal sangat kuat terhadap strukutur vertikal kolom perairan.
Prasad dan Rajasekhar (2006) menjelaskan bahwa aktvitas gelombang internal
pada suatu kolom perairan akan sangat mempengaruhi profil vertikal
(temperatur, salinitas, dan densitas) perairan. Hal ini sejalan dengan yang
didapatkan pada profil vertikal temperatur, salinitas, dan densitas kolom perairan
dimana pada saat gelombang internal sampai di dekat dasar, profil vertikal
salinitas, dan densitas menjadi tidak beraturan (Gambar 9) serta menyebabkan
ketidakstabilan pada kolom air di lapisan dalam (Gambar 14). Pada Gambar 15a
terlihat bahwa efek dari gelombang internal lebih kuat ke arah bawah
dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena pada bagian bawah
lebih
seragam dibandingkan dengan lapisan atas.
4.5
Estimasi Skala Thorpe
Hasil pengukuran CTD menunjukkan bahwa profil menegak densitas
perairan Selat Ombai (Gambar 9c) dicirikan oleh data yang bersifat instabilitas
(ketidakstabilan) statis artinya kondisi suatu perairan dimana kemungkinan masih
terjadi proses displacement akibat massa air densitas tinggi berada di atas
massa air densitas rendah. Data instabilitas statis akan jelas terlihat pada saat
terjadi surut (lembah gelombang internal) (Gambar 16), sedangkan pada saat
terjadi pasang (puncak gelombang) data lebih cenderung berada dalam kondisi
stabilitas statis (Gambar 17). Hal ini diduga karena pada saat surut efek dari
gelombang internal sampai mendekati dasar sehingga pengadukan massa air
lebih kuat, sedangkan pada saat pasang efek dari gelombang internal menjauhi
dasar dan pengadukan menjadi lebih lemah. Contoh ketidakstabilan untuk
seluruh tekanan disajikan pada Gambar 16a, jika kotak hijau pada Gambar 16a
diperbesar maka akan didapatkan gambar ketidakstabilan yang lebih jelas
(Gambar 16b). Pada Gambar 16b terlihat bahwa massa air densitas tinggi (kotak
hitam garis putus-putus) berada di atas massa air densitas rendah (kotak hitam
garis titik-titik). Pada Gambar 16 terlihat juga bila densitas awal (garis biru)
massa air disusun ulang (reordering) ke kondisi densitas stabilitas statis (garis
merah) maka banyak massa air yang berubah posisinya dari posisi awal ke
posisi baru (ditunjukkan dengan anak panah di Gambar 16b). Jarak perpindahan
massa air dari posisi awal ke posisi baru menghasilkan Thorpe displacement
(Gambar 8).
40
(a)
(a)
(b)
(b)
Gambar 16 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh tekanan pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan
ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar
maka akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam
garis titik-titik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak
hitam garis putus-putus) (b).
41
Gambar 17 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh tekanan pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila
kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa
massa air pada saat pasang cenderung dalam kondisi stabilitas
statis (b).
Adanya noise pada instrumen CTD (Galbraith dan Kelley, 1996) dan
gerakan naik turun kapal selama pengambilan data (Johnson dan Garrett, 2004)
mengakibatkan timbulnya bias pada nilai . Data bias ini dihaluskan dengan
metode GK (Galbraith and Kelley method). Pada perhitungan metode GK
didapatkan bahwa nilai minimum displacement yang dapat dideteksi oleh CTD
adalah > 5 m. Hal ini berarti displacement yang kurang dari 5 m akan dihilangkan
(Gambar 18). Pada Gambar 18a
terlihat nilai
masih tersusun dari data
displacement yang kurang dari 5 m (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis
titik-titik), sedangkan di Gambar 18b nilai
yang kurang dari 5 m sudah
dihilangkan (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis putus-putus). Data yang
dipakai untuk perhitungan selanjutnya adalah data yang sudah dihaluskan oleh
metode GK.
Nilai
untuk keseluruhan data CTD Selat Ombai disajikan pada Gambar
19. Pada Gambar 19 terlihat nilai
negatif dan positif. Nilai
positif
menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk mecari kestabilan
42
statis, kondisi ini terjadi bila massa air densitas rendah berada di bawah massa
air berdensitas tinggi. Nilai
negatif menunjukkan massa air bergerak ke bawah,
hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada di atas massa air densitas
rendah.
Pada Gambar 19 terlihat bahwa lapisan tercampur memiliki nilai
berkisar antara -51 m sampai 31 m. Tinggi rendahnya nilai
lapisan tercampur
diduga berkaitan dengan kecepatan bertiupnya angin di lokasi penelitian. Hal ini
dijelaskan oleh Cisewski et al. (2005) yang mendapatkan adanya korelasi positif
sebesar 0,83 antara kecepatan tiupan angin dan nilai
lapisan tercampur.
Lapisan termoklin Selat Ombai memiliki nilai
yang paling rendah
dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir
homogen (Gambar 19). Pada Gambar 19 terlihat nilai
lapisan termoklin
berkisar antara -10 m sampai 27 m. Hal ini diduga karena lapisan termoklin
merupakan lapisan yang memiliki tingkat stabilitas statis yang paling tinggi
dibandingkan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen
(Gambar 14).
(a)
(b)
Gambar 18 Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan
metode GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh
data noise lebih jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang
sudah dihaluskan di kotak garis putus-putus.
43
Gambar 19 Thorpe displacement
seluruh ulangan.
44
Nilai
yang paling tinggi ditemukan di lapisan dalam yang hampir
homogen. Pada Gambar 19 terlihat bahwa massa air pada lapisan ini bergerak
turun sampai 240 m dan massa air lainnya bergerak ke atas hingga 342 m.
Kisaran nilai
lapisan dalam yang hampir homogen ini lebih tinggi dibandingkan
dengan lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Tingginya nilai
di
lapisan dalam yang hampir homogen diduga karena nilai stabilitas statis lapisan
ini relatif kecil dibandingkan dengan lapisan termoklin (Gambar 14). Pada
Gambar 19 terlihat juga bahwa nilai displacement yang paling besar berada pada
ulangan 5-2 dan 5-6 dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena
adanya efek dari aktivitas gelombang internal pada saat surut yang sampai ke
dekat dasar perairan (Gambar 15a) sehingga menimbulkan pengadukan yang
mengakibatkan rendahnya kestabilan massa air pada ulangan ini. Efek dari
pengadukan oleh gelombang pada ulangan 5-2 dan 5-6 terlihat juga pada profil
vertikal temperatur, salinitas, dan densitas yang menjadi zigzag dan tidak
beraturan (Gambar 9). Ditambahkan oleh Polzin et al. (1997) bahwa
displacement yang tinggi di dasar laut disebabkan karena adanya interaksi
antara topografi dasar dengan arus yang melintas diatasnya. Ditambahkan oleh
Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan salah satu daerah di
perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus pasut yang paling tinggi yaitu
mencai 0,5 m s-1.
Nilai skala Thorpe
dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung
dari besar kecilnya nilai
dan jumlah massa air yang mengalami displacement
(Gambar 20). Secara keseluruhan nilai skala Thorpe tinggi pada lapisan
tercampur, menurun pada lapisan termoklin dan meningkat kembali pada lapisan
dalam yang homogen. Pada lapisan tercampur memiliki nilai
paling tinggi
sebesar 24,41 m, yang diduga disebabkan rendahnya tingkat stabilitas statis,
sehingga displacement massa air menjadi lebih mudah terjadi. Nilai
lapisan
termoklin paling rendah dibandingkan dengan lapisan lainnya dengan kisaran
nilai 5-16,97 m. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai
dan jumlah air yang
mengalami displacement (Gambar 17). Lapisan dalam merupakan lapisan yang
memiliki nilai
paling tinggi dengan kisaran 20,19-106,89 m. Tingginya nilai
pada lapisan dalam ini sangat terkait dengan profil vertikal temperatur dan
densitas kolom perairan (Gambar 9a dan 9c) yang berbentuk zigzag dan tidak
beraturan. Profil vertikal massa air acak pada lapisan dalam ini juga diperkuat
dengan nilai stabilitas statis yang paling rendah dibandingkan lapisan tercampur
45
Gambar 20 Nilai skala Thorpe Selat Ombai.
dan termoklin (Gambar 14). Ditambahkan juga oleh Polzin et al. (1997) bahwa
tingginya nilai
pada lapisan dalam disebabkan scattering gelombang dari
topografi dasar dan intensitas lokal pemantulan gelombang.
4.6
Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy
dan Difusivitas Vertikal
Eddy
Nilai rata-rata estimasi energi kinetik disipasi turbulen eddy
-6
Selat Ombai
-1
pada semua lapisan adalah 4,22 x 10 W kg , sedangkan untuk nilai pada setiap
lapisan disajikan pada Gambar 21. Hasil perata-rataan nilai
bahwa nilai
-6
menunjukkan
-1
di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10 W kg ) dibandingkan
dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya
nilai
pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang
berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk
yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi
ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung
berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline (Gambar 9), hal ini
menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi (Gambar
14). Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai
displacement dan nilai skala Thorpe yang memiliki korelasi linier dengan nilia .
Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6 W kg-1) berada pada lapisan dalam yang
hampir homogen, hal ini menunjukkan bahwa lapisan dalam merupakan lapisan
dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya
46
Gambar 21 Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy
deviasi di Selat Ombai
dengan standar
akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran. Dijelaskan oleh
Finnigan et al. (2002) bahwa peningkatan nilai percampuran di daerah dekat
ridge disebabkan makin mendekatnya kolom air dengan topografi dasar.
Nilai difusivitas vertikal eddy
Gambar 22. Dari nilai
dengan rataan tiap 10 m disajikan pada
antar ulangan, dapat dilihat bahwa nilai
pada
ulangan 5-2 dan 5-6 lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan lain, sedangkan
nilai
terendah didapatakan pada ulangan 5-4. Tinggi rendahnya nilai
ini
diduga terkait dengan aktivitas gelombang internal yang ada di ulangan tersebut
(Gambar 15a), dimana pada ulangan 5-2 dan 5-6 gelombang sedang mengalami
fase surut dan pada ulangan 5-4 gelombang sedang mengalami fase pasang.
Aktivitas gelombang internal juga akan mempengaruhi besar kecilnya nilai
displacement (Gambar 19), skala Thorpe (Gambar 20), dan energi kinetik
disipasi turbulen eddy (Gambar 21) yang nantinya semua nilai ini akan
mempengaruhi tinggi rendahnya nilai
Tabulasi
pada tiap lapisan kolom perairan.
untuk lapisan tercampur, termoklin, dan dalam di Selat Ombai
disajikan pada Tabel 3. Nilai rata-rata
Selat Ombai untuk seluruh pengukuran
CTD adalah 7,56 x 10-2 (+ 2,83 x 10-1) m2 s-1. Sebagai gambaran hasil penelitian
Koch-Larrouy et al. (2007) mendapatkan nilai rata-rata
sebesar 1,5 x 10-4
m2 s-1 untuk perairan Indonesia. Diduga tingginya nilai
di Selat Ombai ini
sangat terkait dengan kuatnya gelombang internal yang ada di daerah ini. Hal ini
dijelaskan oleh Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan
47
Gambar 22 Nilai difusivitas vertikal eddy
dengan rataan tekanan 10 db.
48
Tabel 3 Nilai rata-rata difusivitas vertikal eddy (
Lapisan
Rata-rata
) di Selat Ombai
(m2 s-1)
Standar deviasi
Tercampur
9,17 x 10-3
+ 9,67 x 10-3
Termoklin
9,33 x 10-4
+ 1,34 x 10-3
Dalam
2,17 x 10-1
+ 4,75 x 10-1
daerah yang meiliki pasut internal yang paling kuat di perairan Indonesia dan
Ambang Ombai merupakan salah satu daerah pembangkit pasut baroklinik.
Nilai
paling rendah di Selat Ombai ditemukan pada lapisan termoklin
(Tabel 3), rendahnya nilai ini diduga karena pada lapisan ini terdapat lapisan
pcynoclin dan halocline (Gambar 9) sehingga tingkat stabilitas statisnya juga
menjadi tinggi (Gambar 14). Nilai
lapisan termoklin ini lebih tinggi dari yang
didapatkan Ffield dan Gordon (1992) sebesar 1 x 10-4 m2 s-1, namun lebih kecil
dibandingkan dengan nilai
yang didapatkan Hatayama (2004) di Ambang
Dewakang yang mencapai 6,0 x 10-3 m2 s-1. Ditambahkan Hatayama (2004)
bahwa tingginya nilai
di Ambang Dewakang disebabkan oleh adanya arus M2
yang sangat intensif dan adanya interaksi antara gelombang lee dan gelombang
permukaan. Walapun nilai
di lapisan termoklin rendah, namun proses
percampuran turbulen yang terjadi pada daerah ini diduga menjadi pemicu yang
menyebabkan struktur step like pada lapisan termoklin (Lampiran 2).
Rata-rata nilai
pada lapisan dalam disajikan pada Tabel 3, nilai ini
hampir sama dengan yang didapatkan oleh Hatayama (2004) pada dasar Sill
Dewakang (2,0 x 10-1 m2 s-1). Fenomena yang sama didapatkan juga oleh Lukas
et al. (2001) bahwa tingginya nilai
pada daerah ambang diduga karena
adanya interaksi gelombang internal dan shear dengan topografi dasar perairan.
4.7
4.7.1
Nutrien Selat Ombai
Profil Vertikal Nutrien
Hasil pengukuran nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) pada ulangan 5-3
disajikan pada Gambar 23. Pola sebaran nutrien menunjukkan konsentrasi
nutrien cenderung meningkat dengan bertambahnya tekanan. Lalli dan Parsons
(2006) menjelaskan rendahnya konsentrasi nutrien pada lapisan tercampur
akibat adanya penggunaan nutrien yang tinggi oleh fitoplankton untuk melakukan
proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan termoklin dan lapisan dalam
49
ketidaktersediaan cahaya (zona afotik) untuk proses fotosintesis membuat
nutrien pada kolom air tidak termanfaatkan dan akhirnya meningkat. Miller (2004)
menambahkan bahwa fitoplankton hanya hidup pada lapisan yang memiliki
ketersediaan cahaya yang cukup untuk melakukan proses fotosintesis. Pola
sebaran nutrien secara vertikal yang mirip didapatkan juga oleh Prommas et al.
(2004) di Teluk Bengal dan Montojo (1999) di Laut Cina Selatan.
(a)
(b)
(c)
Gambar 23 Profil vertikal nitrat (a), fosfat (b), dan silikat (c) di Selat Ombai.
50
Hasil pengukuran nutrien menunjukkan konsentrasi fosfat paling rendah (00,88 µmol.l-1) dibandingkan nitrat dan silikat pada semua tekanan. Pada lapisan
tercampur (0-125 m) konsentrasi fosfat bahkan tidak terdeteksi (0 µmol l-1),
sedangkan konsentrasi nitrat tidak terdeteksi pada tekanan 5 dan 75 db (Gambar
21). Hal ini dijelaskan oleh Riley dan Chester (1971), bahwa kandungan fosfat
lebih kecil dibandingkan nitrat akibat sumber fosfor yang lebih kecil dibandingkan
nitrogen. Konsentrasi nitrat dan fosfat maksimum didapatkan pada tekanan 1400
db masing-masing sebesar 25,65 dan 0,88 µmol l-1.
Silikat memiliki konsentrasi paling tinggi dibandingkan nitrat dan fosfat
(Gambar 23), menurut Chester (1990) hal ini disebabkan sumber silikat yang
lebih banyak dari nitrat dan silikat, ditambahkan juga oleh Lalli dan Parsons
(2006) bahwa nitrat dan fosfat merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh
organisme biologis (fitoplankton) untuk melakukan proses fotosintesis sehingga
konsentrasinya rendah di kolom perairan. Millero dan Sohn (1992) juga
menjelaskan bahwa silikat terdapat pada hampir seluruh batuan dan mudah
mengalami pelapukan. Sumber alami utama silikat adalah mineral kuarsa dan
feldspar. Konsentrasi silikat cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya
tekanan dengan konsentrasi paling tinggi pada tekanan 1400 db (70,93 µmol l-1)
dan paling rendah di tekanan 25 db (5,10 µmol l-1). Menurut Miller (2004), pada
lapisan tercampur (eufotik), silikat digunakan oleh fitoplankton (Diatom,
Radiolaria, dll) untuk pembentukan cangkang, sedangkan silikat pada lapisan
dalam merupakan hasil pengendapan dengan pemanfaatan yang sangat rendah.
4.7.2
Fluks Nutrien
Hasil perhitungan fluks nutrien Selat Ombai disajikan pada Gambar 24.
Nilai fluks nutrien berbanding lurus dengan nilai difusivitas vertikal eddy (Gambar
22) dan konsentrasi nutrien (Gambar 23). Pada lapisan termoklin tidak terdapat
fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) karena pada lapisan termoklin ulangan 5-3
tidak terjadi percampuran (ditunjukkan dengan nilai
sebesar 0 m2 s-1) (Gambar
24). Meskipun pada lapisan termoklin ini terdapat konsentrasi nutrien lebih tinggi
dibandingkan
lapisan
tercampur,
tidak
adanya
proses
percampuran
mengakibatkan nutrien tidak mengalami perpindahan secara vertikal. Tidak
terjadinya percampuran ini disebabkan oleh tingkat stabilitas yang tinggi pada
lapisan termoklin ulangan 5-3 (Gambar 14c). Lapisan tercampur memiliki nilai
fluks (8,42 x 10-5 -1,32 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) yang lebih rendah dibandingkan
51
lapisan dalam namun lebih tinggi dibandingkan lapisan termoklin. Fluks nutrien
yang rendah di lapisan tercampur disebabkan karena konsentrasi nutrien pada
lapisan ini rendah (Gambar 23) sehingga jumlah nutrien yang dipindahkan
(mengalami fluks) juga sedikit. Fluks nutrien paling tinggi ditemukan di lapisan
dalam (8,28 x 10-5-165,56 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1). Hal ini disebabkan karena
adanya kombinasi antara konsentrasi nutrien yang tinggi (Gambar 23) dan nilai
percampuran turbulen yang besar (Gambar 22), sehingga fluks yang dihasilkan
juga besar. Law et al. (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya fluks nutrien
akan semakin tinggi dengan bertambahnya tekanan, namun ditambahkan oleh
Horne et al. (1996) bahwa nilai fluks nutrien sangat ditentukan oleh besar
kecilnya nilai percampuran dan konsentrasi nutrien yang ada pada tiap tekanan.
Secara keseluruhan fluks fosfat paling rendah (0-8,42 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1),
kemudian diikuti oleh fluks nitrat (0–1,18 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) dan paling tinggi
fluks silikat (0-1,32 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) (Gambar 24). Tinggi rendahnya fluks ini
sangat ditentukan oleh konsentrasi masing-masing nutrien (Gambar 23) dan
besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi (Gambar 22). Fluks nitrat pada
Selat Ombai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan fluks nitrat di daerah
Front Georges Bank yang mencapai 210 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1 (Horne et al., 1996),
hal ini diduga disebabkan oleh konsentrasi nutrien yang tinggi di Georges Bank.
Nilai standar deviasi pada masing-masing nutrien dapat dilihat dari error bars
yang tampak pada grafik (Gambar 24). Standar deviasi ini menunjukkan kisaran
nilai fluks masing-masing nutrien, dimana semakin tinggi error bars maka kisaran
nilai fluks akan semakin lebar.
Gambar 24 Fluks Nutrien Selat Ombai (x 10-5 m2 µmol l-1 s-1).
Download